Anda di halaman 1dari 18

Psikologi Sosial

Sikap Dan Perilaku

Di Susun Oleh

Kelompok 2

1.Aldi Sepliandri (1810901001)

2. Esti Fitriani (1810901019)

3. Diana Azizah (1810901014)

4. Laila Fitriani ( 1810901028)

5. Putri Siregar (1810901039)

DOSEN PENGAMPU :

SERI ERLITA, M.A

FAKULTAS PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2019
SIKAP

1. Definisi Sikap

Sikap (Attitude), adalah evaluasi positif-negatif-ambivalen individu terhadap objek,


peristiwa, orang, atau ide tertentu. Sikap merupakan perasaan, keyakinan, dan kecenderungan
perilaku yang relative menetap. Unsur-unsur sikap meliputi kognisi, afeksi, dan
kecenderungan bertindak. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap adalah
pengalaman khusus, komunikasi dengan orang lain, adanya model, iklan, dan opini, lembaga-
lembaga sosial dan lembaga keagamaan.

2. Faktor Faktor pembentukan sikap (attitude)


Proses belajar sosial terbentuk dari interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, individu
membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya.
Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah:

a) Pengalaman pribadi.
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus
meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila
pengalaman pribadi tersebut melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang
melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih
lama berbekas.
b) Kebudayaan.

B.F. Skinner (dalam, Azwar 2005) menekankan pengaruh lingkungan (termasuk Commented [i-[1]: Dapat dari mana ini? Azwar tidak ada buku
theory, kenapa ini bisa menjadi referensi?
kebudayaan) dalam membentuk kepribadian seseorang. Kepribadian tidak lain
daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement
(penguatan, ganjaran) yang dimiliki. Pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap
dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.

c) Orang lain yang dianggap penting.

Pada umumnya, individu bersikap konformis atau searah dengan sikap orang orang
yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan
untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut.
d) Media massa.

Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti televisi, radio, mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Adanya informasi
baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut,
apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam mempersepsikan dan menilai
sesuatu hal sehingga terbentuklah arahsikaptertentu.

e) Institusi Pendidikan dan Agama.

Sebagai suatu sistem, institusi pendidikan dan agama mempunyai pengaruh kuat
dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan
konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah
antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan
dari pusat keagamaan sertaajaran-ajarannya.

f) Faktor emosi dalam diri.

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman
pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang
didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau
pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bersifat sementara dan
segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap
yang lebih persisten dan lebih tahan lama. contohnya bentuk sikap yang didasari oleh
faktor emosional adalah prasangka.

3. Struktut Sikap.

Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yaitu komponen kognitif,
komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif berupa keyakinan seseorang
(behavior belief dan group belief), komponen afektif menyangkut aspek emosional, dan
komponen konatif merupakan aspek kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap nya.
Komponen afektif atau aspek emosional biasanya berakar paling dalam sebagai komponen
sikap, yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin mengubah sikap
(Azwar, 1988:17-18). Commented [i-[2]: Ini tidak ada di referensi

a) Komponen Kognitif Commented [i-[3]: Pindah halaman selanjutnya


Komponen Kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang
dimiliki individu mengenai sesuatu. Persepsi dan kepercayaan seseorang
mengenai objek sikap berwujud pandangan (opini) dan sering kali merupakan
stereotipe atau sesuatu yang telah terpolakan dalam pikirannya. Komponen
kognitif dari sikap ini tidak selalu akurat. Kadang-kadang kepercayaan justru
timbul tanpa adanya informasi yang tepat mengenai suatu objek. Kebutuhan
emosional bahkan sering merupakan determinan utama bagi terbentuknya
kepercayaan.

b) Komponen Afektif

Komponen afektif melibatkan perasaanatau emosi. Reaksi emosional kita


terhadap suatu objek akan membentuk sikap positif atau negatif terhadap objek
tersebut. Reaksi emosional ini banyak ditentukan oleh kepercayaan terhadap suatu
objek, yakni kepercayaan suatu objek baik atau tidak baik, bermanfaat atau tidak
bermanfaat.

c) Komponen Konatif

Komponen konatif atau kecenderungan bertindak (berperilaku) dalam diri


seseorang berkaitan dengan objek sikap. Perilaku seseorang dalam situasi tertentu
dan dalam situasi menghadapi stimulus tertentu, banyak ditentukan oleh
kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Kecenderungan
berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini
membentuk sikap individual (Azwar, 1988:21). Commented [i-[4]: Referensinya tidak ada di dafpus

4. Teori Tentang Sikap

Bahasan Psikologi Sosial menyangkut pembentukan dan perubahan sikap yang


sampai pada konsep-konsep yang canggih menyebabkan banyaknya penelitian tentang
sikap yang terkait dengan teori. Konstruksi prinsip-prinsip dan hipotesis-hipotesis tentang
sikap telah mengalami modifikasi dan reinterpretasi yang terus berkembang sebagai hasil
dari temuan-temuan penelitian yang terus menerus dikaji kembali. Fleksibilitas teori-teori
tentang sikap mendorong penelitian lebih lanjut didasarkan pada kenyataan bahwa banyak
di antara teori-teori yang berawal dari data empiris.

A. Teori Disonansi Kognitif (1957) Commented [i-[5]: Teori siapa? Pindahkan halaman
selanjutnya
Teori disonansi kognitif dari Festinger adalah yang paling baik dalam memenuhi
kriteria produktivitas. Pendukung-pendukung teori ini adalah peneliti yang aktif dan
penelitian mereka menghasilkan banyak temuan-temuan baru dalam metode
eksperimen yang didukung oleh data-data baru yang relavan. Teori ini mempunyai
fleksibilitas yang tinggi yang memungkinkan modifikasi atau penyempurnaan dari
tahun ke tahun.

Teori disonansi adalah teori yang paling kurang memenuhi kriteria untuk di uji.
Masalahnya adalah bahwa walaupun banyak proposisi disonansi yang memang teruji,
ada proposisi-proposisi lain dari teori ini yang dalam eksperimen-eksperimen tertentu
bisa menjelaskan beberapa hal sekaligus. Bukan hanya sikap, tetapi juga hal lain
seperti emosi dan sebagainya.

B. Teori Sarnoff Commented [i-[6]: Referensinya mana?

Teori Sarnoff adalah yang paling kurang memenuhi kriteria dibandingkan dengan
teori-teori sikpa yang lain. Hal ini disebabkan teori ini kurang spesifik dalam prediksi-
prediksinya. Bagaimana mekanisme hubungan motif, tension, dan sikap tidak
diterangkan dengan jelas. Selanjutnya, teori ini didasarkan pada prapotensi dari motif
untuk menentukan hubungan motif dan sikap. Hubungan yang tidak jelas ini belum
pernah diuji dalam eksperimen-eksperimen. Mungkin untuk meningkatkan kejelasan
dan keterujian dari teori ini diperlukan penjelasan alternatif dari teori tentang
hubungan sikap dan motif ini, yakni penjelasan teori yang tidak mempostulatkan
mekanisme pertahanan sebagai dasar dari pembentuk sikap.
C. Teori Sheriff & Hovland dan Bem Commented [i-[7]: Referensinya mana?

Teori Sheriff & Hovland dan Bem adalah yang paling kuat ditinjau dari kriteria-
kriteria formal. Kedua teori ini didasarkan pada proposisi-proposisi dari dua aliran
Psikologi yang sudah cukup teruji, yaitu Sosiologi/Antropologi dan aliran
Behaviorisme /Skinnerian. Teori Sheriff & Hovland mencoba bergerak lebih jauh ke
arah terapan dan mengajarkan beberapa istilah dan hipotesis baru, sedangkan teori
Bem lebih cenderung untuk tetap berada pada prinsip-prinsip Skinerrian yang klasik.
Teori Sheriff & Hovland terdapat sedikit kelemahan dalam konsistensi internalnya
karena beberapa proposisi yang menyangkut konstruk tentang “garis lintang,
penerimaan, penolakkan, dan ketidakterlibatan” yang masih memerlukan penjelasan
yang lebih lanjut.
Teori Bem perannya cukup besar dalam memengaruhi penganut-penganut teori
disonansi untuk mempertimbangkan kembali interpretasi mereka tentang sikap. Teori
Bem merupakan teori yang memiliki interpretasi yang agak terlalu sederhana tentang
sikap (yaitu tidak mengakui proses internal dalam pembentukan sikap), tetapi justru
penyederhanaan ini mampu memberikan kriteria yang lebih jelas tentang masalah
sikap tersebut hingga patut dipertimbangkan oleh kaum kognitif untuk merumuskan
kembali proposisi-proposisi pokok mereka.
D. Teori Osgood dan Tannenbaum Commented [i-[8]: Referensinya?

Teori Osgood dan Tannenbaum, kekuatannya pada kecermatan/ketepatannya dalam


mengukur besaran (magnitude) perubahan sikap dan kekuatan sikap. Walaupun
demikian, masih juga terdapat sedikit masalah pada konsistensi internal dari teori ini,
yaitu pada konsep tentang koreksi ketidakdapatan dipercaya (correction for
incredulity) dan asersi disosiatif (dissociative assertion) yang membutuhkan
pendefinisian yang lebih cermat.

E. Teori Rangsang-Balas Untuk Menerangkan Sikap

Teori rangsang-balas (stimulus-response theory) yang disebut juga teori penguat


(reinforcement-theory) dapat digunakan untuk menerangkan berbagai gejala tingkah laku
sosial. Sikap adalah kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku kalau
ia menghadapi suatu rangsang tertentu. Sikap bisa terjadi terhadap benda, situasi, orang,
kelompok, nilai-nilai, dan semua hal di sekitar manusia. Commented [i-[9]: Referensinya mana?

Salah satu teori untuk menerangkan terbentuknya sikap ini dikemukakan oleh Daryl
Beum (1964) yang merupakan pengikut Skinner (berpandangan operan). Ia mendasarkan
diri pada pernyataan Skinner bahwa tingkah laku manusia berkembang dan dipertahankan
oleh anggota-anggota masyarakat yang memberi penguat pada individu untuk bertingkah
laku secara tertentu (yang dikehendaki oelh masyarakat). Atas dasar pendapat Skinner itu,
Beum mengemukakan empat asumsi dasar, yaitu:

1. Setiap tingkah laku, baik yang verbal maupun sosial, merupakan suatu hal yang bebas
dan berdiri sendiri, bukan merupakan refleksi (menggambarkan) sikap, sistem
kepercayaan, dorongan, kehendak, ataupun keadaan-keadaan tersembunyi lainnya
dalam diri individu.
2. Rangsang dan tingah laku-balas adalah konsep-konsep dasar untuk menerangkan
suatu gejala tingkah laku. Konsep-konsep ini hanya dapat didefinisikan dan diukur
secara fisik dan nyata.
3. Prinsip-prinsip hubungan rangsang-balas sebetulnya hanya sedikit. Prinsip ini tampak
sangat bervariasi karena bervariasinya lingkungan di mana hubungan rangsang-balas
itu berlaku.
4. Dalam analisis tentang lingkah laku perlu dihindari diikusertakannya keadaan-
keadaan internal yang terjadi pada waktu tingkah laku itu timbul, baik yang bersifat
fisiologik (kelelahan, lapar, dan lain-lain) maupun yang bersifat konseptual
(dorongan, kehendak, ddan lain-lain).

Berdasarkan asumsi-asumsi dasar tersebut, Beum mengemukakan teori tentang


Hubungan Fungsional (Functional Relationship) dalam interaksi sosial. Beum
menyatakan bahwa dalam interaksi sosial terjadi dua macam hubungan fungsional,
pertama adalah hubungan fungsional di mana terdapat kontrol penguat, yaitu jika tingkah
laku-balas ternyata menimbulkan yang bersifat ganjaran (reward). Dalam hal ini ada-
tidaknya atau banyak-sedikitnya rangsang penguat akan mengontrol tingkah laku-balas.
Misalnya, seorang anak berkata kepada ibunya “Bu, saya minta kue” ternyata ibunya
benar-benar memberi kue (ganjaran), maka pada kesempatan lain anak itu akan
mengucapkan kalimat yang sama untuk mendapatkan kue.

Hubungan fungsional yang kedua terjadi jika tingkah laku-balas hanya mendapat
ganjaran pada keadaan-keadaan tertentu. Misalnya, ibu hanya memberi kue kepada anak
jika ia sudah menghabiskan nasinya. Hubungan fungsional seperti ini disebut hubungan
fungsional dimana terdapat kontrol deskriminatif dan tingkah laku-balas yang terjadi
hanya jika ada rangsang diskriminatif disebut tact.

Menurut Beum, tact lama-lama bisa menjadi kepercayaan (belief). Kumpulan


kepercayaan terhadap suatu hal akan menyebabkan timbulnya sikap tertentu terhadap hal
tersebut. Dalam kontak sosial, menurut Beum yang penting adalah kesanggupan
seseorang untuk membedakan tingkah-tingkah laku mana yang merupakan tact.
Seseorang yang melakukan yang terlalu sering melakukan mandbiasanya tidak dapat
dipercaya, sedangkan seseorang yang melakukan tact(hanya melakukan hal-hal tertentu
pada kondisi-kondisi tertent) lebih mudah mendapat kepercayaan orang lain.
Teori lain untuk menerangkan sikap diajukan oleh Doob (1947). Ia penganut paham
mediationist dan menyatakan bahwa sikap pada hakikatnya adalah tingkah laku-balas
yang tersembunyi yang terjadi langsung setelah ada rangsang, baik secara disadari atau
tidak disadari. Tingkah laku-balas yang tersembunyi ini ditambah dengan faktor-faktor
lain dari dalam diri individu seperti dorongan, kehendak, kebiasaan, dan lain-lain akan
menimbukan tingkah laku nyata (overt behavior). Dengan demikian, maka sikap selalu
merujuk ke tingkah laku nyata tersebut.

F. Teori Psikoanalisis Tentang Sikap Sosial

Teori ini diajukan oleh Sarnoff (1960). Materi teori ini menyangkut sikap yang
diterangkan berdasarkan mekanisme pertahanan ego. Menurut Sarnoff, diantara berbagai
sikap yang ditunjukkan oleh manusia, ada yang fungsinya mempertahankan ego dari
ancaman bahaya, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri sendiri.

1. Konsep-konsep Dasar
a. Motif, adalah suatu rangsang yang menimbulkan ketegangan dan ketegangan itu
mendorong orang yang bersangkutan untuk meredakannya.
b. Konflik, jika ada dua motif yang bekerja pada suatu saat yang sama, maka akan
timbullah konflik. Batasan ini di dasarkan pada praanggapan yang dikemukakan
oleh Sarnoff bahwa setiap individu hanya dapat melayani (meredakan) satu motif
pada satu saat. Jika konflik ini terpecahkan, maka konflik tersebut bisa berlarut-
larut dan individu yang bersangkutan bisa menjadi korban dari motifnya sendiri
yang saling berhubungan.
c. Pertahanan Ego, jika menghadapi rangsang atau situasi yang berbahaya, maka ego
terencam. Ancaman bahaya ini akan menimbulkan motif takut kepada individu
yang bersangkutan. Kalau motif takut ini sudah tidak dapat ditolerir lebih lanjut
dan orang yang bersangkutan tidak dapat melepaskan diri dari objek yang ditakuti
itu maka ia akan mempertahankan egonya. Respons mempertahankan atau
melindungi ego ini disebut “pertahanan ego”.
d. Sikap, Sarnoff mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi secara
positif atau secara negatif terhadap objek-objek tertentu. Sebagaimana respons
nyata lainnya, sikap berfungsi untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan oleh
motif-motif tertentu. Fungsi ini dapat dilakukan dalam kesadaran yang penuh dan
bisa pula berupa bagian dari suatu proses yang tidak disadari. Dengan demikian,
tidak semua sikap merupakan tolok ukur untuk melihat motif tidak disadari yang
mendasarinya. Untuk itu, Sarnoff menyarankan agar orang-orang yang mau
meneliti motif-motif yang mendasari sikap, membuat perkiraan-perkiraan yang
mengaitkan unsur-unsur sikap tertentu, motif tertentu, dan perilaku tertentu.
2. Keselarasan Sikap-Motif
Sarnoff menyatakan bahwa sikap dan motif bisa selaras dan juga tidak. Dalam
hal sikap dan motif selaras, maka sikap merupakan respons yang disadari terhadap
motif yang dapat diterima oleh individu. Sedangkan dalam sikap dan motif tidak
selaras, maka individu tidak mennyadari motifnya maupun tujuan dari respons nyata.
3. Sikap yang Memungkinkan Respons Simtomatis yang Nyata.
Selain berfungsi sebagai sarana pertahanan ego, sikap dapat juga berfungsi untuk
memungkinkan respons simtomatis.

Dalam hal respons simtomatis, ada tujuan:

 Ketegangan yang diakibatkan motif tertentu dikurangi


 Tetapi sekaligus motif itu sendiri harus tetap dijauhkan dari pengamatan
ego.

Untuk mencapai sasaran ganda ini, individu dapat melakukan


rasionalisasi.Rasionalisasi memungkinkan individu menyalahinterpretasikan tujuan
dari perilaku yang dapat meredakan ketegangan.
PERILAKU

1. Pengertian Perilaku Sosial

Perilaku Sosial adalah aktifitas fisik dan psikis seseorang terhadap orang lain atau
sebaliknya dalam rangka memenuhi diri atau orang lain yang sesuai dengan tuntutan sosial
(Hurlock, 2004:262). Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang merupakan
keharusan untuk menjamin keberadaan manusia, artinya bahwa kelangsungan hidup manusia
berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan, (Rusli Ibrahim 2001: 23).
Perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada antar hubungan antara individu dan
lingkungannya yang terdiri atas bermacam-macam objek sosial dan non sosial atau tidak
menyenangi objek tersebut. Perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk
menanggapi orang lain dengan cara-cara yang berbeda. Misalnya dalam kerjasama, ada orang
yang melakukan dengan tekun, sabar dan selalu mementingkan kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadinya.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Sosial

Islam mengimbangi hak-hak pribadi, hak orang lain dan hak masyarakat, sehingga
tidak timbul pertentangan. Semuanya harus berkerja sama dalam mengembangkan hukum-
hukum Allah. Bentuk perilaku sosial yang dikembangkan sebagai berikut:

a. Menghormati orang lain


Menghormati merupakan perilaku dimana seseorang dapat menempatkan dirinya
dalam suasana maupun lingkungannya ketika ia dihadapkan dengan berbagai
perbedaan. Sikap saling menghormati banyak sekali manfaatnya dalam pergaulan,
sikap menghormati ini nantinya juga akan kembali kepada kita sendiri. Barang siapa
menghormati orang lain, sesungguhnya ia sedang menghormati dirinya sendiri.

b. Tolong- menolong
Tolong-menolong merupakan hal yang harus dilakukan oleh setiap manusia, karena
pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian.
c. Sopan Santun
Sopan santun adalah suatu kebiasaan seseorang dalam berbicara, bergaulan, dan
berperilaku. Sopan santun hendaknya dimiliki oleh setiap anak dan peserta didik agar
terhindar dari hal-hal yang negatif, seperti kerenggangan hubungan anak dengan
orang tua karena anak tidak punya sopan santun.

Diantara perilaku yang berkaitan erat dengan sopan santun adalah:

1) Etika Berbicara
Diantara tata krama berbicara adalah memperhatikan apa yang diberbicarakan oleh
orang lain dan bersikap ramah. Tata karma dalam berbicara adalah bersikap ramah
kepada orang yang diajak bicara pada saat dan sesudahnya termasuk etika yang baik
agar mereka tidak jenuh ditengah-tengah pembicaraan.

2) Peka dan peduli


Kepedulian tentunya harus bersumber dari hati yang tulus tanpa sebuah noda tanpa
sebuah noda kepentingan. Disaat seseorang bersedia membantu, ,menolong dan peduli
pada orang lain namun berdiri dibalik sebuah kepentingan, maka sesungguhnya dia
sedang terjebak dalam keperdulian tanpa hati nurani, sebuah kepedulian tanpa
keikhlasan.

3) Berterima kasih
Berterima kasih adalah salah satu kualitas tertinggi manusia. Suatu masyarakat yang
tidak mengenal rasa terima kasih adalah masyarakat yang tidak rasional. Dalam
tindakan-tindakan manusiawi yang sangat natural, seseorang harus berterima kasih
pada orang lain yang memberikan sesuatu dengan tulus dan jujur.
3. Faktor-faktor Perilaku Sosial

Baron dan Byrne( 2003 :24 ) berpendapat bahwa ada empat kategori utama yang
dapat membentuk perilaku sosial seseorang yaitu:

a. Perilaku dan karakteristik orang lain


Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki karakter
santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti kebanyakan orang-orang
berkarakter santun dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya jika ia bergaul dengan
orang-orang berkarakter sombong maka ia akan terpengaruh oleh perilaku seperti itu.

b. Proses kognitif
Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang menjadi
dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku sosialnya.
c. Faktor lingkungan
Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Misalnya
orang yang berasal dari daerah pantai atau pegunungan yang terbiasa berkata dengan
keras, maka perilaku sosialnya seolah keras pula, ketika berada di lingkungan
masyarakat yang terbiasa lembut dan halus dalam bertutur kata, maka anak cenderung
cenderung bertutur kata yang lemah lembut pula.

d. Tatar Budaya
Sebagai tampat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi. Misalnya seseorang yang
berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika
berada dalam lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain atau berbeda.

4. Teori Tentang Perilaku

Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan


pada dua kemungkinan, yaitu: (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-
instink biologis – lalu dikenal dengan penjelasan “nature” – dan (2) perilaku bukan
diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal
dengan penjelasan “nurture”. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles
Darwin pada abad ke-19 di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku
manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc
Duogal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia
didasarkan pada pandangan ini.

Namun, William James seorang psikolog percaya bahwa walau instink merupakan hal
yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung ke arah kebiasaan,
yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang kehidupan seseorang. Hal
ini memunculkan “nurture explanation”. Tokoh lain, yaitu John Dewey mengatakan bahwa
perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara
terus menerus berubah atau di ubah oleh lingkungan “situasi” kita termasuk orang lain.
Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian
memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial. Perspektif perilaku dan kognitif
lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial yang berakar pada psikologi. Kemudian ada
perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial yang
berasal dari disiplin sosiologi. Berikut penjelasan masing-masing perspektif.

a) Perspektif Perilaku ( Behavioral Pespective)


Pendekatan ini awalnya diperkenakan oleh John B. Watson (1941, 1919).
Ketika memulai penelitiannya, dia menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar
satu alternatif bagipendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga
merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran, kesadaran, ataupun
imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu, yang menurutnya
bersifat “mistik”, “mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi obyektif maka
fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati” (observable), yaitu pada “apa yang
dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)”. Dalam hal ini pandangan
Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa proses
mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelesaikan perilaku sosial.
Para ”behaviorist” memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan
”tanggapan” (responses), dan lingkungan ke dalam unit ”rangsangan” (stimuli).
Menurut penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa
berasosiasi satu sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional.
Contohnya, sebuah rangsangan ”seorang teman datang”, lalu memunculkan tanggapan
misalnya, ”tersenyum”. Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang
kepadanya. Para behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat
dihubungkan tanpa mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri
seseorang. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika para behaviorisme tersebut
dikategorikan sebagai pihak yang menggunakan pendekatan ”kotak hitam (black-
box)”. Rangsangan masuk kesebuah kotak (box) dan menghasilkan tanggapan.
Mekanisme di dalam kotak hitam tadi - struktur internal atau proses mental yang
mengolah rangsangan dan tanggapan - karena tidak dapat dilihat secara langsung( not
directly observable), bukanlah bidang kajian para behavioris tradisional.
Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus
behaviorisme melalui percobaan yang dinamakan ”operant behavior” dan
”reinforcement”. Yang dimaksud dengan ”operant condition” adalah setiap perilaku
yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan
akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum
kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman
yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang
lain tersebut merupakan ”operant behavior”. Yang dimaksud dengan ”reinforcement”
adalah proses di mana akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan
memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya, jika kapan saja kita selalu
tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal sebelumnya), dan mereka
tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan bahwa jika dikemudian
hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui,
reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Conto h di atas
merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat
kita bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam
saja atau bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu
orang asing kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja). Dalam pendekatan
perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara lebih mendalam
mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku bisa terjadi.
Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory)
dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).

b) Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)


Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan
penjelasan alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang
di samping instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau
hanya kedua hal tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka
dipandang terlampau ekstrem - karena mengabaikan kegiatan mental manusia.
Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua
bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan
pada wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru.
Walau dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham
dengan pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada
perilaku sosial yang melibatkan proses mental atau kognitif . Kemudian banyak
para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk memahami proses
mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W. I. Thomas dan Florian Znaniecki
mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya sebagai
proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu
dalam dunia sosial”. Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang
melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi
dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori
Kognisi Kontemporer.

c) Perspektif Struktural
Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial
dalam hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial
seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan,
dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan
cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu.
William James dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual,
tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan
kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat-atau struktur sosial. Para sosiolog yakin
bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang
relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan
oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh
struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan. James
menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas ”diri” (self) - perasaan kita
terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri - self. Sosiolog lain Robert
Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan,
mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu- individu ke dalam
berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita.
Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam,
Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita lakukan dalam
masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran
(Role Theory), Teori Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan
Posmodernisme (Postmodernism).

d) Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)


Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar
psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori
ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial
menghasilkan perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu
yang bersamaan, dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi
berbeda dalam suatu kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga
memunculkan perilaku yang juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda
dengan pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun
dia juga menentang pandangan bahwa perilaku kita melulu dipengaruhi oleh
lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya Mead percaya bahwa kita sebagai
bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah membantu menciptakan lingkungan
tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa walau kita sadar akan adanya
sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat,namun hal tersebut tidaklah berarti
bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya. Mead juga tidak setuju pada
pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa memahami perilaku sosial, maka yang
harus dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku yang teramati) saja. Dia
menyarankan agar aspek internal (mental) sama pentingnya dengan aspek eksternal
untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek internal dan eksternal atas dua atau
lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut aliran perilakunya dengan nama
”social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada beberapa teori yang layak
untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory), dan Teori
Identitas (Identity Theory).

Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku sosial maka
seringkali muncul pertanyaan : ”Teori mana yang paling benar ?” atau ”teori mana yang
terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab bahwa tidak ada teori yang salah
atau yang paling baik, atau paling jelek. Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam
aplikasinya. Misalnya dalam mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para
behavioris bisa memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya perilaku
agresif - pada bagaimana orang tua, guru, dan pihakpihak lain yang memberi perlakuan
positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka obyek
kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan berpikir tentang
perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin menggunakan teori medan akan
mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat hubungan antara karakteristik individu dengan
situasi di mana perilaku agresif tersebut ditampilkan. Para teoritisi pertukaran sosial bisa
memusatkan pada adanya imbalan sosial terhadap individu yang menampilkan perilaku
agresif. Jika memakai kacamata teori peran, perilaku agresif atau tidak agresif ditampilkan
oleh seseorang karena harapan-harapan sosial yang melekat pada posisi sosialnya harus
dipenuhi.

Commented [i-[10]: Banyak sekali referensi yang tidak ada di


DAFTAR PUSTAKA DP, tetapi ada di Isi
Perbaiki sesuai aturan APA
Perhatikan kembali cara melakukan pengutipan
Asti nurlaela . (2014) . Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 14,No 1 Kata2 dalam bahasa asing harus dituliskan miring
Tambahkan theory2 lainya
Darmayati Zuehdi (1995) . Jurnal cakwarala Pendidikan , No 3

Hasan Mustofa. 2011. Jurnal Administrasi Bisnis. Perilaku Manusia Dalam Perspektif
Psikologi Sosial. Vol. 7. Hal 143 - 156

Nisrima, S. Yunus, M. Hayati. E. 2016. Pembinaan Perilaku Remaja Penghuni Yayasan


Islam Media Kasih Kota Banda Aceh. Bandar Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan
Kewarganegaraan Unsyiah.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2017. Teori-Teori Psikologi Sosial. Depok : Raja Grafindo
Persada

Syani, Abdul. 2007. Sosiologi (Sistematika, Teori dan Terapan). Jakarta: Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai