Anda di halaman 1dari 15

2.

1 PENGERTIAN SIKAP
Sikap adalah suatu sistem yang terbentuk dari kognisi, perasaan dan kecenderungan
perilaku yang saling berkaitan. Sikap menurut GW Allport (dalam Sears, dkk., 1985:137)
adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang
memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respons individu pada semua obyek dan
situasi yang berkaitan dengannya. Sikap terutama digambarkan sebagai kesiapan untuk
menanggapi dengan cara tertentu dan menekankan implikasi perilakunya.
Beberapa pendapat tentang sikap antara lain (dalam Dayakisni,2006:113)
a. Sikap merupakan suatu tingkatan afek, baik itu bersifat positif maupun negatif dalam
hubungannnya dengan obyek-obyek psikologis
b. Sikap merupakan suatu prediposisi mental untuk melakukan suatu tindakan (Kimball
Young, 1945).
c. Sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam
cara tertentu berkenaan dengan obyek tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975).
d. Sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya
dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu
keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (Sherif &
Sherif, 1956).
Karakteristik sikap adalah:
a. Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
b. Sikap ditujukan mengarah kepada obyek psikologis atau kategori dalam hal ini skema
yang dimiliki orang menentukan bagaimana mereka mengkategorisasikan target
obyek dimana sikap di arahkan.
c. Sikap dipelajari.
d. Sikap mempengaruhi perilaku. Pengukuhan sikap yang mengarah pada satu obyek
memberikan alasan untuk berperilaku mengarah pada obyek itu dengan suatu cara
tertentu.
Fungsi sikap menurut Kantz(1960)
a. Utilitarian function yaitu sikap membantu dalam memahami lingkungan dengan
melengkapi ringkasan evalusai tentang obyek dan kelompok obyek atau segala sesuatu
yang di jumpai di dunia ini.
b. Value Expressive Fiction yaitu sikap kadang-kadang mengkomunikasikan sikap nilai dan
identitas yang dimiliki seseorang terhadap orang lain.
c. Ego-Defensive Function yaitu sikap melindungi diri, menutup kesalahan, agresi dan
sebagainya dalam rangka mempertahankan diri.

Komponen sikap terdiri atas (Scars, 1985:138-141):


1. Komponen Kognitif dalam suatu sikap terdiri dari keyakinan seseorang mengenal
obyek tersebut bersifat "evaluatif yang melibatkan diberikannya kualitas disukai atau
tidak disukai, diperlukan atau tidak diperlukan, baik atau buruk terhadap obyek.
2. Kompomen Perasaan dalam suatu sikap berkenaan dengan emosi yang berkaitan
dengan obyek tencbut. Obyek tersebut dirasakan sebagai hal yang menyenangkan
atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. Beban emosional inilah yang
memberikan watak tertentu terhadap sikap yaitu watak mantap, tergerak dan
termotivasi
3. Komponen Kecenderungan Tindakan dalam suatu sikap mencakup semua kesiapan
perilaku yang berkaitan dengan sikap. Jika seorang individu bersikap positif terhadap
obyek tertentu, maka ia akan cenderung membantu atau memuji mendukung obyek
tersebut. Jika ia bersikap negatif maka ia akan cenderung untuk mengganggu
menghukum merusak obyek tersebut
Kompleksitas kognitif adalah banyaknya pikiran dan keyakinan yang dimiliki oleh
individu tentang sebuah obyck untuk disikapi. Setiap kognisi bisa berbeda dalam tingkat
kepentingan. Sikap dapat berupa hal yang cukup rumit dan melibatkan sejumlah kognisi yang
mempunyai perbedaan dalam hubungannya dengan inti masalah dalam komponen
penilaiannya. Gambaran ini merupakan penyederhanaan yang berlebihan dari berbagai sikap
dalam kehidupan nyata. Kesan kita tentang orang lain cenderung menjadi konsisten secara
evaluatif. Sebagian besar sikap menjadi cenderung sederhana secara evaluatif.

TEORI SIKAP
Pendekatan belajar memandang sikap sebagai kebiasaan, seperti hal-hal lain yang
dipelajari, prinsip yang diterapkan pada bentuk belajar lainnya juga menentukan
pembentukan sikap. Teori insentif menyatakan bahwa jika seseorang mengambil sikap yang
memaksimalkan keuntungan. Setiap sisi suatu masalah memiliki keuntungan dan kerugian
dan individu akan mengambil sisi yang memberikan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan
pendekatan kognitif menegaskan bahwa orang mencari keselarasan dan kesesuaian dalam
sikap mereka dan antara sikap dan perilaku. Hal im terutama menekankan penerimaan sikap
yang sesuai dengan keseluruhan struktur kognitif seseorang (dalam Sears, 1985-144-148)
(1) Teori Belajar dan Reinforcement
Sikap dipelajari dengan cara yang sama seperti kebiasaan lainnya. Orang memperoleh
informasi dan fakta-fakta, mereka juga mempelajari perasaan-perasaan dan nilai-nilai yang
berkaitan dengan fakta tersebut. Proses-proses dasar terjadinya belajar dapat diterapkan pada
pembentukan sikap. Individu dapat memperoleh informasi dan perasaan melalui proses
asosiasi. Asosiasi terbentuk bila stimulus muncul pada saat dan tempat yang sama. Misalnya
saja pengucapan kata Nazi dengan nada yang penuh kebencian berarti hal ini menunjukkan
adanya aso asosiasi antara perasaan yang negatif dengan kata Nazi tersebut
(2) Teori Insentif
Teori insentif memandang pembentukan sikap sebagai proses menimbang baik
buruknya berbagai kemungkinan posisi dan kemudian mengambil alternatif yang terbaik.
Salah satu versi terkenal dari pendekatan insentif terhadap sikap adalah teori respons kognitif
(cognitive response theory) dimana teori ini mengasumsikan bahwa seseorang memberikan
respons terhadap suatu komunikasi dengan beberapa pikiran positif dan negatif (atau respons
kognitif) dan bahwa pikiran ini sebaliknya menentukan apakah orang akan mengubah
sikapnya sebagai akibat komunikasi atau tidak. Asumsi pokok dari sudut pandang respons
kognitif adalah bahwa orang merupakan pemroses informasi yang aktif yang membangkitkan
respons kognitif terhadap pesan, dan tidak sekedar menjadi penerima pasif dari pesan apapun
yang mereka terima.
(3) Teori Konsistensi Kognitif
Kerangka utama lain untuk mempelajari sikap menekankan, konsistensi kognitif.
Pendekatan konsistensi kognitif berkembang dari pandangan kognitif dimana pendekatan ini
menggambarkan orang sebagai makhluk yang menemukan makna dan hubungan dalam
struktur kognitifnya Terdapat tiga pokok yang berbeda dalam gagasan konsistensi kognitif
Pertama adalah teori keseimbangan yang meliputi tekanan konsistensi diantara akibat-akibat
dalam sistem kognitif yang sederhana. Sistem seperti ini terdiri dari doa obyck, hubungan
diantara kedua obyek itu dan penilaian individu tentang obyek-obyek tersebut. Kedua adalah
pendekatan konsistensi kognitif-afektif Pendekatan ini menjelaskan bahwa orang Juga
berusaha membuat kognisi mereka konsisten dengan afeksi mereka.
Dengan kata lain keyakinan kita, pengetahuan kita, pendirian kita tentang fakta, ditentukan
oleh pilihan afeksi kita, demikian juga sebaliknya. Bagi kita cukup jelas bahwa informasi
menentukan perasaan kita. Misalnya, kita tahu bahwa kita tidak menyukai diktator yang
memenjarakan dan membunuh schagaian besar lawan politiknya Versi konsistensi kognitif
ini menjadi lebih menarik karena penilaian kita mempengaruhi keyakinan kita. Ketiga adalah
teori ketidaksesuaian atau disonance theory. Sikap akan berubah demi mempertahankan
konsistensi perilaku dengan perilaku nyatanya.

SIKAP DAN PERILAKU


Sikap jika di asumsumsikan secara seederhana menentukan perilaku dari seseorang.
Wicker (1939) dalam seurce(1985:149-150) telah malakukan penelitian yang menguji tentang
konisitensi sikap dan perilaku dalam hubungan ras, kepuasan kerja dan peilaku mencontek di
kelas. Kesimpulanya bahwa lebih besar kemungkinan sikap kurang atau hanya sedikit
berhubungan dengan peilaku nyata dari pada tindakan. Worchel dan Cooper (1983) akhirnya
menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku bisa konsisten apabila ada kondisi seperti di bawah
ini dipenuhi;
1. Spesifikasi sikap dan perilaku. Sering terjadi pengukuran sikap terhadap suatu obyek
atau topik yang spesifik dikenakan untuk memprediksikan obyek yang lebih luas.
Misalnya pengukuran tentang sikap terhadap alat kontrasepsi pil yang menunjukkan
skor tinggi tidak bisa untuk memprediksi perilakunya dalam penggunaan berbagai
jenis alat kontrasepsi. Sikap tersebut hanya besar korelasinya dengan perilaku
penggunaan pil, tidak dengan alat kontrasepsi lainnya.
2. Relevansi sikap terhadap perilaku. Di samping spesifikasi harus ada pula relevansi
antara sikap tersebut dengan perilaku. Yang dimaksudkan di sini adalah kejelasan
relevansi antara keduanya. Sebab kalau hanya sekedar relevansi, dua hal bisa menjadi
tampak relevan tetapi kadarnya rendah. Ketiadaan dan rendahnya relevansi antara
sikap dengan perilaku sering menjadi penyebab ketidak konsistenan antara sikap
dengan perilaku.
3. Tekanan normatif. Sikap yang positif terhadap pengguguran akan terhambat muncul
dalam bentuk perbuatan karena lingkungan sosial menganggap bahwa, perilaku
tersebut menyimpang dari norma. Di lain pihak, dengan adanya legalisasi terhadap
pengguguran dapat diprediksikan tidak akan menghambat munculnya perilaku
tersebut.
4. Pengalaman. Orang yang terlibat dalam suatu pengalaman tertentu akan lebih
memahami segala persoalan. Dengan adanya pemahaman tersebut ia akan segera
mengambil sikap yang paling sesuai dengan keadaannya, dan operasionalisasi dari
sikap tersebut dalam bentuk perbuatan sudah ikut disertakan dalam membuat
pertimbangan.
Perilaku sendiri berarti hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia
dengan lingkunganya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan.
Perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar
maupun dari dalam dirinya (Notoatmojo, 2010). Sedangkan menurut Wawan (2011) Perilaku
merupakan suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan
tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku adalah kumpulan berbagai faktor yang saling
berinteraksi. Jenis-jenis perilaku :
Jenis-jenis perilaku individu menurut Okviana(2015):
1. Perilaku sadar, perilaku yang melalui kerja otak dan pusat susunan saraf,
2. Perilaku tak sadar, perilaku yang spontan atau instingtif,
3. Perilaku tampak dan tidak tampak,
4. Perilaku sederhana dan kompleks,
5. Perilaku kognitif, afektif, konatif, dan psikomotor.
Bentuk-bentuk perilaku Menurut Notoatmodjo (2011), dilihat dari bentuk respons terhadap
stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua.
1. Bentuk pasif /Perilaku tertutup (covert behavior).Respons seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respons atau reaksi terhadap
stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan
sikap yang terjadi pada seseorang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat
diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior) Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas
dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat
orang lain.
2.2 PENGARUH SOSIAL
Dalam kehidupan, individu menipakan makhluk sosial yang tidak bisa terlepas dari
pengaruh sosial yang mempengaruhi bagaimana individu tersebut berperilaku terhadap
lingkungannya. Pengaruh sosial adalah usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan (belief),
persepsi atau pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnya. Contoh pengaruh sosial
adalah perkelahian pelajar yang termasuk dalam konformitas. Konformitas adalah suatu
bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai
dengan norma sosial (Baron,Byne, dan Branscombe, 2008 dalam Sarwono & Meinarno
2009). Selain itu dalam pengaruh sosial juga terdapat compliance yaitu bagaimana teknik
agar orang lain mengikuti permintaan yang kita ajukan serta Obedience (kepatuhan) dimana
individu berperilaku karena peraturan memiliki kekuatan yang kuat. Individu melakukan
tingkah laku tersebut berdasarkan keputusan antara kebutuhan dan keinginan dengan tuntutan
atau keadaan sosial agar dapat bertahan hidup serta melakukan penyesuaian diri terhadap
peraturan sehingga bisa diterima dalam lingkungan sosialnya.
Pengaruh sosial dibagi menjadi beberapa bentuk, yakni:
1. Konformitas
Secara sadar atau tidak individu dalam kehidupan mengikuti peraturan yang
ada dalam lingkungan sosialnya. Seperti saat memilih pakaian, seseorang cenderung
mengikuti tren pakaian yang ada dalam masyarakat. Sebenarnya bisa saja orang
tersebut memilih pakaian menurut pilihannya sendiri, namun ia lebih memilih pakaian
yang sesuai atau yang sedang tren dalam lingkungan, hal inilah yang disebut
konformitas, Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu
mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial (Baron,Byne,
dan Branscombe,2008 dalam Sarwono & Meinamo 2009). Misal ketika seseorang
berada dalam suatu kelompok, ia akan cenderung mengikuti norma sosial yang
berlaku dalam kelompok tersebut. Norma sosial merupakan aturan yang mengatur
bagaimana individu berperilaku. (Sarwono dan Meinarno,2009)
Faktor yang mempengaruhi terjadinya konformitas yaitu:
1. Alasan pribadi seperti menambah pengalaman, memang ra percaya diri.
2. Kesenangan, individu memang suka berkelahi meski takut bisa
membuat terluka.
3. Keterpaksaah dengan alasan,merasa was-was jika nanti dipukul
4. Ketidaksetujuan
5. Kesetiakawanan ingin membantu teman yang dipukul siswa lain.

(Rambe, 1997 dalam Suwarno & Meinarno,2009) membagi


konformitasmenjadi dua yaitu:
a. Konformitas compliance: individu berperilaku berdasarkan tekanan
dalam kelompok. Meski sebenarnya hal itu bertentangan dengan
keinginan individu. Hal ini dimaksudkaan agar individu diterima dalam
kelompok serta mennghindari penolakan.
b. Konformitas acceptance: tingkah laku dan keyakinan individu berdasar
pada tekanan kelompok yang diterimanya. Konformitas terjadi karena
kelompok memiliki informasi sangat penting yang tidak miliki individu

Tidak semua individu melakukan konformitas terhadap norma kelompok, ada


faktor-faktor tertentu yang menentukan sejauh mana individu melakukan konformitas
atau justru malah menolaknya.( Baron, Branscombe, dan Byrne 2008 dalam Saworno
& Meinarno, 2009) menjelaskan tiga faktor yang mempengaruhi terjadi konformitas,
yaitu:
1. Kohesivitas kelompok adalah sejauh mana kita tertarik terhadap suatu
kelompok social tertentu dan ingin menjadi bagian dari kelompok
social tersebut.
2. Besar kelompok menunjukan berapa banyak orang yang berprilaku
dengan norma tertentu yang ada dalam kelompok sehingga semakin
banyak yang mau mengikutinya.
3. Norma yang bersifat injuctive cenderung di abaikan, sedangkan norma
yang bersifat descriptive cenderung diikuti.

2. Compliance(pemenuhan) merupakan cara untuk mempengaruhi orang lain untuk


melakukan hal yang sama. Seperti meminta seorang teman untuk menilai
bagaimana penampilan kita atau meminjam uang pada seorang teman. Tanpa
sadar dalam kehidupan sehari hari tingkah laku individu dipengaruhi oleh
permintaan sekitar. Hal utama dalam compliance adalah kemauan untuk merespon
permintaan orang lain
Compliance memiliki prinsip dasar sebagai berikut:
1. Pertemanan atau rasa suka,kecenderungan untuk lebih memenuhi
permintaan dari orang yang disukai dari pada orang belum dikenali
atau dibenci.
2. Komitmen dan konsisten, kecenderungan untuk lebih mudah
memenuhi permintaan dari hal yang konsisten. Misal memasang
bendera stiap hari kemerdekaan Indonesia.
3. Kelangkaan, kecenderungan memenuhi permintaan karena menghargai
keberadaan sesuatu yang langka
4. Timbal balik, memenuhi permintaan dari orang yang sudah pernah
memberikan bantuan.
5. Validitas sosial, kecenderungan memenuhi permintaan dengan cara
bertingkah laku dan berfikir seperti orang lain
6. Otoritas, kecenderungan melaksanakan permintaan dari pihak yang
memiliki kekuasaan.
Selain prinsip dasar ada teknik teknik yang dapat dilakukan agar keinginan dipenuhi
oleh orang lain.
1. Teknik foot in the door
Mengajukan permintaan kecil terlebih dahulu,kemudian permintaan besar. Misal
seseorang yang diminta datang kerumah teman, setelah sampai dirumah teman
ternyata diminta untuk membantu membersihkan rumah.
2. Teknik door in the face
Mengajukan permintaan yang besar untuk kemudian mengajukan permintaan yang
besar, Misal seorang penjual menawarkan barang dengan harga 10.000, untuk
mendapatkan penawaran dibawah harga tersebut. Karena harga sebenarnya adalah
8.0003.
3. Teknik Law ball
Cara membuat seseorang tunduk dengan memberikan informasi yang kurang lengkap
selanjutnya memberikan informasi yang lengkap.
4. Teknik That's Not All
Memberikan kesepakatan selanjutnya menaikkan tawaran. Misal ada seorang sales
yang menawarkan perlengkapan dapur berupa panci dengan merk X kepada seorang
pengunjung, awalnya pengunjung berpikir untuk membeli atau tidak barang tersebut.
Selanjutnya sales tersebut mengatakan bahwa apabila pengunjung membeli panci
tersebut akan gratis buku resep.
5. Teknik Pique
Inti dari teknik ini adalah menarik perhatian. Terkadang orang akan menolak sebuah
permintaan tanpa berpikir panjang karena hal tersebut tidak menarik. Misal seorang
pejalan kaki yang tidak mempedulikan seorang pengemis yang ada di pinggir jaln.
Setelah pengemis tersebut menggunakan tulisan yang berisi "beri saya 500 perak
maka saya kenyang". Maka tulisan tersebut akan memungkinkan seorang pejalan kaki
memberikan perhatian dan uang.
Obedience(kepatuhan) merupakan salah satu jenis pengaruh sosial, di mana seseorang
menaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena
adanya unsur power. (Baron, Branscombe, dan Brymne, 2008 dalam Suwamo & Meinarno,
2009). Faktor yang mempengaruhi obedience:
1. Jenis kelamin. Untuk hal-hal yang mengerikan, wanita lebih tidak patuh karena
merasa ngeri melihat dan mendengarkan korban.
2. Tingkat otoritas. Orang diperintah atasan akan lebih patuh dibandingkan yang
memerintah adalah teman yang setingkat. (misal: pimpinan - karyawan).
3. Seseorang akan menjadi penurut apabila dirasakan meningkatnya situasi yang
menuntut kepatuhan (contoh: siswa yang mau tak mau harus mengikuti ujian
Nasional)
4. Terbatasnya peluang untuk tidak patuh.
Penyebab rusaknya kepatuhan yaitu:
1. Pernyataan "saya hanya menjalankan perintah", seringkali dijadikan alas an bila
sesuatu yang buruk terjadi.
2. Orang-orang yang berkuasa sering kali mengenakan simbol untuk menunjukkan
kekuasaannya. Menimbulkan norma "Patahilah orang yang memegang kendali".
3. Perintah awal mungkin saja meminta tindakan yang ringan baru selanjutnya perintah
untuk melakukan tindakan yang berbahaya.
4. Situasi yang melibatkan kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan ini
menyebabkan kecenderungan meningkatnya kepatuhan.
2.3 PRASANGKA SOSIAL, DISKRIMINATIF, DAN STREROTIP
Prasangka sosial merupakan sikap-perasaan individu terhadap golongan individu
tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berlainan, yang terdiri atas sikap-sikap sosial
yang negatif terhadap golongan individu lain, serta mempengaruhi tingkah laku individu yang
bersangkutan terhadap golongan individu yang lain tadi. Sikap-sikap perasaan negatif ini
lama kelamaan akan menjadi tindakan yang "diskriminatif yakni tindakan yang bercorak
menghambat, merugikan perkembangan bahkan mengancam kehidupan pribadi individu yang
diprasangkai tersebut. Para pakar psikologi sosial umumnya membedakan tiga komponen
antagonisme kelompok :
a. Komponen Kognitif yaitu "Stereotip", merupakan keyakinan tentang sifat-sifat pribadi
yang dimiliki orang dalam kelompok atau kategori sosial tertentu. Stereotip hisa menjadi
destruktif bila mengabaikan bukti realitas dan digeneralisasikan terhadap semua anggota
kelompok.
b. Komponen Afektif yaitu "Prasangka merupakan penilaian terhadap suatu kelompok atau
seorangindividu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok orang tersebut.
Prasangka mempunyai kualitas tambahan berupa penilaian pendahuluan prejudgments
c. Komponen Perilaku yaitu "Diskriminasi", merupakan perilaku menerima atau menolak
seseorang berdasarkan (atau setidaknya dipengaruhi oleh) keanggotaan kelompoknya.
Ada beberapa hal yang menimbulkan prasangka :
1. Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam (scape - Goastism)
2. Orang berprasangka karena memang ia sudah dipersiapkan di dalam
lingkungannya atau kelompoknya untuk berprasangka ini
3. Prasangka timbul karena adanya perbedaan, dimana perbedaan menimbulkan
perasaan superior. Perbedaan disini bisa meliputi:
 Perbedaan fisik/biologis, ras.
 Perbedaan lingkungan/geografis
 Perbedaan status sosial.
 Perbedaan kepercayaan/agama.
 Perbedaan kekayaan.
 Perbedaan norma-norma sosial.
4. Prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi pendapat umum
atau kebiasaan di dalam lingkungan tertentu (misalnya ibu tiri, janda, dan lain-
lain)
5. Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tidak
menyenangkan (A. Ahmadi, 2002: 210-211).
Prasangka merupakan penilaian negatif yang telah dimiliki sebelumnya terhadap
suatu kelompok dan masing-masing anggota kelompoknya (Myers, 2012:6). Prasangka
adalah sikap, dimana sikap adalah kombinasi dari perasaan (affect), kecenderungan
berperilaku (behavior tendency) dan keyakinan (cognition). Bentuk-bentuk prasangka di
banyak masyarakat di dunia ini yang membutuhkan pemahaman kita adalah prasangka yang
negatif seperti:
a. Was-was (wary)
b. Ketakutan (fearful)
c. Kecurigaan (suspicious)
d. Penghinaan (derogatory)
e. Permusuhan (hostility)
f. Tindakan saling membunuh antar kelompok.
Prasangka harus dianggap sebagai seperangkat kepercayaan yang salah atau irasional,
generalisasi yang serampangan (ngawur) atau disposisi yang tidak beralasan yang
menyebabkan orang berperilaku negatif terhadap kelompok lain.
Adanya prasangka sosial berkaitan erat dengan stereotip yang merupakan gambaran
atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi individu golongan lain yang
bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang
berprasangka sebelum ia bergaul dengan individu yang dikenai prasangka tersebut Biasanya
stereotip terbentuk berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subyektif.
Stereotip adalah Kognisi yang relatif kompleks mengenai kelompok sosial yang membutakan
individu terhadap beragamnya perbedaan yang ada diantara anggota kelompok manapun baik
kelompok sosial, etnis, usia, jenis kelamin dan kelas sosial serta cenderung membekukan
penilaiannya.Myers (2012:7) menyatakan bahwa stereotip yang merupakan bentuk evaluasi
negatif yang menandai prasangka, menunjukkan adanya generalisasi seperti orang Indonesia
sangat ramah, orang Amerika mudah bergaul, profesor adalah orang yang linglung dan
sebagainya. Jadi stereotip merupakan keyakinan mengenai atribut kepribadian dari satu
kelompok atau orang-orang. Stereotip terkadang terlalui digeneralisasi tidak akurat dan
resisten terhadap adanya informasi baru.
Bentuk lain dari prasangka selain stereotip adalah adanya perilaku diskriminasi,
rasisme dan seksisme, Diskriminasi adalah perilaku negatif yang tidak pada tempatnya
kepada satu kelompok dan anggota kelompoknya. Contoh perilaku diskriminatif adalah
perbedaan respons atau kesan terhadap orang kaya dan orang miskin ketika mengakses
pelayanan kesehatan. Rasisme adalah (1) sikap prasangka seseorang dan perilaku yang
mendiskriminasi terhadap orang dari ras tertentu atau (2) praktik institusional (bahkan
meskipun tidak dimotivasi oleh prasangka) yang merendahkan orang lain dari ras tertentu.
AM Rose (dalam Gerungan, 2004:188) mengemukakan kerugian kerugian yang bisa terjadi
akibat adanya prasangka sosial yaitu :
a. Potensi-potensi dalam masyarakat tidak dapat berkembang, Tindakan diskriminatif
hanya menguntungkan sebagian golongan tetapi dapat merugikan masyarakat sebagai
keseluruhan
b. Tindakan diskriminatif menimbulkan konflik-konflik sosial yang memerlukan usaha-
usaha dan waktu tambahan bagi pemerintah untuk meredakannya. Usaha-usaha dan
waktu yang sebenarnya dapat dihemat dan dikerahkan untuk pekerjaan-pekerjaan
yang lebih produktif.
c. Prasangka sosial yang timbul akan menyebabkan hambatan dalam pergaulan antar
golongan dan kemudian dapat memecah-belah kerjasama yang wajar antar golongan
tersebut.
d. Pada akhirnya prasangka sosial itu dapat menjadi "outlet", pelepasan dari frustasi-
frustasi yang dialami orang lalu menjelma ke dalam tindakan-tindakan agresif
terhadap suatu golongan yang menjadi kambing hitamnya sehingga masyarakat
mengalami kekacauan

Teori utama didalam prasangka terdiri dari 4 teori, yakni :


1. Teori Konflik Kelompok Realistis (Realistic Group Conflict Theories),
menyelidiki kapan dan bagaimana prasangka berkembang dalam masyarakat,
kebudayaan atau kelompok tertentu. Teori ini biasanya memfokuskan diri
pada kelompok dan bukan pada individu. Prasangka merupakan konsekuensi
dari konflik nyata yang tidak dapat dielakkan.
2. Teori Belajar Kelompok (Social Learning Theories) berkaitan dengan
prasangka individu tertentu dan menempatkan penyebabnya pada pengalaman
orang yang berprasangka dalam hubungannya dengan orang tua, guru, teman
dan sebagainya. Teori ini memandang prasangka sebagai sesuatu yang
dipelajari dengan cara yang sama seperti bila orang mempelajari nilai-nilai
sosial yang lain. Prasangka disebarluaskan dari orang yang satu kepada orang
yang lain sebagai bagian dari sejumlah norma. Penyebarluasan dan
pengungkapan prasangka yang terus menerus akan memperkuat peranannya
sebagai norma budaya.
3. Teori Kognitif (Cognitive Theories), menekankan peranan proses
kognitifseperti kategorisasi, penonjolan dan skema dalam pembentukan
prasangka. Proses kategorisasi membantu pengamat memproses informasi
tentang berbagai individu secara efisien. Misalnya adanya kategorisasi
berdasarkan etnis, kategorisasi berdasarkan status sosial ekonomi, kategorisasi
berdasarkan tingkat pendidikan, dan sebagainya.
4. Teori Psikodinamika (Psychodynamic Theories) yang mencari sumber
prasangka pada orang yang berprasangka. Salah satunya adalah menganggap
prasangka sebagai agresi yang dialihkan. Pengalihan terjadi bila sumber
frustasi atau gangguan tidak dapat diserang karena ada rasa takut atau karena
sumber itu benar-benar tidak ada. Dalam kondisi ini orang akan mencari
kambing hitam untuk dipersalahkan dan diserang.

USAHA MENGURANGI PRASANGKA SOSIAL


Ada beberapa usaha untuk mengurangi prasangka sosial yaitu (dalam Gerungan, 2004:190-
191; dalam Ahmadi, 2002:215-216; dalam Sears, 1985:254-256):
a. Melalui pendidikan awal terhadap anak-anak dalam keluarga dan sekolah oleh
orang tua dan gurunya
b. Sosialisasi yang menggunakan alat-alat komunikasi massa, seperti surat kabar,
radio, televisi dan lain-lain. Sosialisasi yang dimaksud terutama yang memberi
pengertian-pengertian kesadaran mengenai sebab-sebab terjadinya dan
mengenai kerugian prasangka sosial bagi masyarakat sebagai keseluruhan dan
bagi anggota-anggotanya.
c. Interaksi antar golongan yang cukup intensif mampu sekali melenyapkan
stereotip dan prasangka sosial antar golongan itu.
d. Usaha Preventif: berupa usaha jangan sampai individu (kelompok) terkena
prasangka, menciptakan situasi / suasana yang tentram, damai,jauh dari rasa
permusuhan.
e. Usaha Kuratif: usaha menyembuhkan orang yang sudah terkena prasangka,
berupa usaha menyadarkan bahwa tidak ada hal yang positif dari sebuah
prasangka.
Untuk mengurangi prasangka bisa dilakukan melalui 3 cara, yakni:
1. Efek sosialisasi, melalui orang tua, teman sebaya dan sebagainya.Terutama orang tua
sangat berperan dalam proses sosialisasi awal.
2. Peran pendidikan tinggi, untuk membantu pengungkapan fakta Pendidikan bisa
membantu mengurangi prasangka meskipun pengaruhnya tidak konsisten, tidak
dramatis dan tidak cepat.
3. Kontak langsung, karena ada keyakinan bahwa kontak dapat menghilangkan stereotip
dan bahwa kedekatan dan interaksi biasanya dapat meningkatkan rasa suka.
Menurut Allport, kontak antar kelompok hanya dapat mengurangi permusuhan antar ras bila
kontak itu memenuhi 3 kondisi penting:
1. Harus berada dalam interaksi yang akrab (misalnya di wilayah geografis yang sama)
2. Saling ketergantungan yang kooperatif
3. Kontak harus terjadi dalam status yang sederajat.
4. Keberhasilan dalam usaha kerjasama misalnya bahu membahu dalam pertempuran,
pertandingan, tugas kelompok dan sebagai nya
5. Mengingat keharmonisan dan toleransi kelompok, bahwa manusia adalah hidup
berdampingan dengan manusia lainnya dan bekerja sama
2.4 PERILAKU PROSOSIAL DAN AGRESI
Perilaku prososial mencakup kategori yang lebih luas, meliputi segala bentuk tindakan yang
dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si
penolong Perilaku prososial berkisar dari tindakan altruisme yang tanpa pamrih atau tidak
mementingkan diri sendiri sampai tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh diri
sendiri.
tiga norma yang paling penting dalam perilaku prososial yaitu (Myers, 2012:187-197):
1. Norma tanggung jawab sosial, menentukan bahwa seharusnya kita membantu orang
lain yang bergantung pada kita
2. b.Norma timbal balik, menyatakan bahwa kita harus menolong orang yang menolong
kita.
3. Norma keadilan sosial, yaitu aturan tentang kendilan dan pembagian sumber daya
secara adil, Salah satu prinsip keadilan adalah kesamaan. dua orang yang memberikan
andil yang sama dalam suatu tugas harus menerima ganjaran yang sama.
Faktor penentu perilaku prososial yang spesifik adalah:
a. Situasi, meliputi kehadiran orang lain, sifat lingkungan, fisik dan tekanan keterbatasan
waktu.
b. Karakteristik penolong, meliputi faktor kepribadian, suasana hati, rasa bersalah,
distres diri (reaksi pribadi kita terhadap orang lain-perasaan terkejut, cemas, takut,
prihatin, tidak berdaya) serta sikap empatik (perasaan simpati dan perhatian terhadap
orang lain).
c. Karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan, misalnya menolong orang yang
kita sukai, menolong orang yang pantas ditolong
DEFINISI AGRESI
Terdapat tiga perbedaan penting dalam pengertian agresi, yakni sebagai berikut
Pertama, definisi agresi sebagai perilaku melukai atau mempertimbangkan apakah
orang tersebut bermaksud melukai. Definisi yang paling sederhana yang menggunakan
pendekatan belajar atau pendekatan perilaku (behaviouristiky adalah bahwa agresi
merupakan perilaku melukai orang lain. Keuntungan definisi ini adalah bahwa perilaku itu
sendiri menentukan apakah suatu tindakan agresif atau tidak. Kelemahan definisi ini adalah
mengabaikan maksud orang yang melakukan tindakan tersebut atau mengabaikan tujuannya.
Kedua, biasanya kita mengasosiasikan agresi sebagai sesuatu yang buruk, padahal
perlu dibedakan antara agresi antisosial dengan agresi prososial.
Ketiga, adalah perbedaan antara perilaku agresif dengan perasaan agresif misalnya
rasa marah. Perilaku kita yang tampak tidak selalu mencerminkan perasaan internal.
Agresi dapat didefinisikan sebagai perilaku fisik atau verbal yang bertujuan untuk
menyakiti orang lain. Terdapat dua tipe agresi menurut Myers (2012:69) yaitu "hostile
aggression" yaitu agresi yang didorong oleh kemarahan dan dilakukan dengan tujuan untuk
melampiaskan kemarahan itu sendiri dan "instrumental aggression" yaitu agresi yang
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain.
kita perlu melihat secara singkat makna dua istilah yang saling berhubungan yaitu
koersi atau paksaan (coersion) dan kekerasan (violence). Koersif (coersive) didefinisikan
sebagai tindakan yang dilakukan dengan niat membuat orang lain menderita atau memaksa
orang lain patuh (Tedeschi dan Felson, 1994 dalam Krahe, 2005:19). Tindakan koersif dapat
berbentuk ancaman, hukuman atau paksaan badaniah.Sedangkan kekerasan atau violence
merupakan salah satu sub-tipe agresiyang menunjuk pada bentuk-bentuk agresi fisik ekstrem.
Kekerasan didefinisikan sebagai (dalam Krahe, 2005:20):
 Pemberian tekanan intensif terhadap orang atau properti dengan tujuanmerusak,
menghukum atau mengkontrol (Geen, 1995).
 Serangan fisik yang merusak yang bagaimanapun juga tidak dibenarkan secara sosial
(Archer dan Brown, 1989).
menjadi penyebab terjadinya agresi yaitu:
1. Pengaruh Alkohol
Secara keseluruhan, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari literatur mutakhir
mengenai agresi yang berhubungan dengan alkohol yaitu (dalam Krahe, 2005:131-132):
1. Ada banyak temuan yang menunjukkan bahwa ketika terintoksikasi individu-individu
menunjukkan perilaku agresif lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak
terintoksikasi. Temuan-temuan ini datang dari penelitian laboratoris terkontrol
maupun penelitian penelitian di berbagai konteks kehidupan nyata yang menggunakan
metode-metode laporan-diri (self report) maupun observasi
2. Agaknya jelas bahwa efek farmakologis alkohol sangat ber tanggungjawab atas efek
peningkatan agresinya. Namun, peran harapan yang berhubungan dengan alkohol
belum sepenuhnya dicksplorasi. Alkohol tidak secara langsung menyebabkan perilaku
agresif, tetapi mempengaruhi agresi secara tidak langsung. Interpretasi kognitif
dianggap merupakan penjelasan paling menjanjikan untuk efek alkohol terhadap
agresi. Interpretasi ini menekankan bahwa alkohol merusak kapasitas orang untuk
memproses informasi, termasuk perhatian terhadap berbagai hambatan normatif yang
mestinya menekan respons agresif dalam keadaan tidak terintoksikasi
3. Hubungan antara alkohol dengan agresi dipengaruhi oleh variasi situasi. Provokasi,
frustasi dan perhatian yang difokuskan pada diri sendiri ditengarai sebagai variabel-
variabel relevan yang berhubungan dengan perbedaan efek alkohol terhadap respons
agresif.
2. Temperatur
Efek temperatur udara terhadap agresi telah didemonstrasikan secara konsisten di
berbagai paradigma metodologis yang berbeda. Dengan membandingkan wilayah panas
versus wilayah dingin atau periode waktu panas dan periode waktu dingin di suatu wilayah,
ditemukan bahwa agresi terutama kriminalitas dengan kekerasan, umumnya menonjol pada
kondisi-kondisi temperatur udara tinggi. Kebanyakan penelitian mengacu pada apa yang
dikenal sebagai hipotesis hawa panas (heat hypothesis) yang menyatakan bahwa temperatur
udara tinggi yang tidak nyaman meningkatkan motif dan perilaku agresif (Anderson,
Bushman, Groom, 1997 dalam Krahe, 2005:132). Untuk mempertahankan pendapat bahwa
temperatur udara tidak nyaman menyebabkan afek negatif, agresi afektif (permusuhan)
adalah yang paling tepat untuk hipotesis temperatur panas. Tindakan-tindakan agresif dengan
komponen kemarahan dan permusuhan afektif yang kuat, seperti penyerangan, pembunuhan,
huru hara dan perkosaan diperkirakan lebih banyak dipengaruhi temperatur udara daripada
tindakan-tindakan agresi instrumental seperti perampokan, pencurian atau-barangkali juga-
peperangan internasional.

3. Stressor Lingkungan Lainnya


Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) stressor lingkungan yang mendorong dan
meningkatkan perilaku agresif yaitu keadaaan berdesak-desakan (crowding), kebisingan dan
polusi udara.
1. Crowding mengacu pada kepadatan ruang yang dipersepsi tidak menyenangkan dan
aversif Crowding merupakan pengalaman subjektif, sementara kepadatan merupakan
konsep fisik yang dapat didefinisikan sebagai jumlah orang per-unit ruang.
Pembedaan ini penting karena tingkat kepadatan yang sama bisa menimbulkan
perasaan berdesak-desakan yang berbeda-beda pada tiap orang, sesak untuk sebagian
orang sementara sebagian yang lainnya tidak. Selain itu, tingkat kepadatan ruang
mungkin bisa dipersepsi sebagai keadaan yang menyenangkan unuk beberapa konteks
(misalnya dalam konser musik di udara terbuka) dan sebagai keadaan yang tidak
menyenangkan dalam konteks lainnya (misalnya dalam gerbong kereta api yang
sempit. Walaupun keadaan semacam itu tidak dapat dihubungkan secara konklusif
dengan agresi, ada temuan bahwa crowding dapat meningkatkan kemungkinan agresi
di berbagai kontek, seperti dalam kondisi keluarga yang tinggal berdesak-desakan di
rumah yang sempit, lingkungan penjara dan pelanggaran ruang pribadi (Geen, 1990
dalam Krahe 2005:144) Temuan-temuan eksperimental menunjukkan bahwa efek
meningkatkan agresi pada crowding diperantarai rangsangan afektif negatif yang
ditimbulkan oleh persepsi subjektif mengenai keterbatasan ruang. Selain itu,
tampaknya laki-laki lebih responsif terhadap crowding dalam hubungannya dengan
perilaku agresif Temuan ini konsisten dengan penjelasan afek negatif dalam arti
bahwa laki-laki ditemukan secara konsisten mengklaim ruang pribadi yang lebih luas
dibandingkan dengan perempuan sehingga lebih mungkin untuk terpengaruh secara
adversif oleh pembatasan terhadap "wilayah kekuasaan".
2. Kebisingan adalah stressor lingkungan lain yang berhubungan dengan perilaku
agresif. Dalam kapasitasnya sebagai pengintensif perilaku yang sedang berlangsung,
kebisingan dapat menguatkan kecenderungan perilaku agresif yang sudah muncul
pada si pelaku. Dalam penelitian yang dilakukan Geen dan O'Neal (dalam Krahe,
2005:144) subjek diminta menonton film yang disertai kekerasan dan film yang tanpa
kekerasan. Setelah selesai menonton mereka diperintahkan mengantarkan kejutan
listrik ke orang lain sebagai hukuman atas kesalahan yang dibuatnya dalam suatu
tugas belajar. Sementara menerapkan kejutan listrik itu, separuh subjek dihadapkan
pada suara-suara keras. Dari sana ditemukan bahwa manipulasi suara bising itu hanya
menimbulkan agresi lebih tinggi pada subjek-subjek yang sebelumnya telah menonton
film keras. Akibat kebisingan lainnya adalah mengacaukan toleransi terhadap frustasi,
sehingga meningkatkan kecenderungan perilaku agresif setelah mengalami frustasi.
Jadi kebisingan berlaku sebagai penguat kecenderungan respons agresif pada orang-
orang yang sudah dalam keadaan meningkat kesiapannya untuk berperilaku agresif.
Tetapi tampaknya bukan kebisingan itu sendiri yang memfasilitasi agresi, melainkan
kenyataan bahwa kebisingan seringkali merupakan kejadian yang tidak dapat
dikontrol. Bila kebisingan itu dipersepsi sebagai dapat dikontrol, dampaknya terhadap
perilaku agresif akan berkurang secara subtansial (Geen dan McCown, 1984 dalam
Krahe, 2005:145).
3. Polusi udara telah ditemukan menjadi penguat kecenderungan respons agresif dengan
cara yang serupa dengan crowding dan kebisingan. Penelitian yang menelaah efek
asap rokok terhadap agresi menemukan bahwa subjek-subjek yang dihadapkan pada
asap rokok memperlihatkan sikap bermusuhan lebih tinggi terhadap orang lain (tidak
hanya terhadap orang yang menghasilkan asap itu) dibandingkan kelompok kontrol
yang tidak dihadapkan pada kondisi penuh asap. Peran bau tidak sedap dalam
meningkatkan agresi telah ditelaah dalam konteks lari dari afek negatif yang
sebelumnya telah disebutkan dalam konteks hipotesis hawa panas. Model ini
memprediksikan bahwa tingkat bau tidak sedap yang moderat meningkatkan agresi,
sementara tingkat agresi itu sendiri akan turun lagi ketika bau tidak sedap itu semakin
intens
Apakah dalam situasi tertentu seseorang akan melakukan agresi atau tidak ditentukan 3
variabel:
a. Intensitas amarah seseorang.
b. Kecenderungan untuk mengekspresikan rasa marah
c. Kekerasan yang dilakukan karena alasan lain yang bersifat instrumental.
Terdapat beberapa cara untuk mengurangi perilaku agresi, yakni :
1. Frustasi dapat dikurangi.
2. Orang dapat belajar untuk tidak melakukan agresi dalam situasi tertentu atau dapat
belajar menekan agresivitasnya. Hal ini dilakukan dengan menyadari adanya
punishment atau hukuman.
3. Mereduksi agresi dengan pemanusiaan korban, sehingga penyerang mempunyai
empati terhadap korban.
4. Pengalihan yaitu mengekspresikan agresi terhadap sasaran pengganti.
5. Katarsis (pembersihan, pengungkapan agresi), maksudnya bila orang merasa agresif
tindakan agresi yang dilakukannya akan mengurangi intensitasnya.

Anda mungkin juga menyukai