Disusun Oleh :
NAMA : Danar Fauzan Adi Prayitno
NIM : SN211024
2. Anatomi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor
nyeri disebut juga nosireseptor, secara anatomis reseptor nyeri ada yang bermielin
dan ada juga yang tidak dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya , nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian
tubuh, yaitu pada kulit (kutaneus),somatik dalam (deep somatic) dan pada daerah
viseral, karena letaknya yang berbeda-beda nyeri yang timbul juga memiliki sensasi
yang berbeda. Nosireseptor kutanesu berasal dari kulit dan sub cuttan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefenisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam 2 komponen, yaitu :
a. Reseptor A Delta, merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30
m/det) uang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C, ,merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dialokasi ( Sumantri, 2015).
3. Fisiologi Nyeri
Mekanisme nyeri dimulai dari transduksi stimuli akibat kerusakan jaringan
dalam saraf sensori menjadi aktivitas listrik kemudian ditransmisikan melalui serabut
saraf bermielin A delta (mentransmisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi) dan
saraf bermielin C (mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan) ke kornus
dorsalis medulla spinalis, thalamus, dan korteks serebri. Impuls listrik tersebut
dipersepsikan dan didiskriminasi sebagai kulaitas dan kuantitas nyeri setelah
mengalami modulasi sepanjang saraf perifer dan disusun saraf pusat. Rangsangan
nyeri dapat berupa rangsangan mekanik, suhu (panas dan dingin), agen kimia,
trauma/inflamasi (Iqbal Mubarak,M 2015). 13 Efek yang ditimbulkan dapat berupa
pasien mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif terhadap lokasi nyeri,
menimbulkan kegelisahan, frekuensi nadi meningkat, pasien mengalami kesulitan
tidur, tekanan darah meningkat, pola nafas berubah, nafsu makan berubah, menarik
diri, berfokus pada diri sendiri, dalam kasus tertentu pasien bias mengalami
perubahan proses berfikir dan diaphoresis (PPNI, 2016).
4. Etiologi
a. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya kerusakan jaringan akibat bedah atau
cidera.
b. Iskemik jaringan
c. Spasmus otot merupakan suatu keadaan kontraksi yang tak disadari atau tak
terkendali dan sering menimbulkan rasa sakit. Spasme biasanya terjadi pada otot
yang kelelahan dan bekerja berlebihan. Khususnya ketika otot teregang berlebihan
atau diam menahan beban pada posisi yang tetap dalam waktu yang lama.
d. Inflamasi pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan
juga karena pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif lainnya.
e. Post operasi setelah dilakukan pembedahan (Manuaba, 2012).
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Faktor yang mempengaruhi nyeri (Black & Hawks, 2014 dalam Mulyanto dkk, 2014;
Potter & Perry, 2012 ; Lusianah dkk, 2012).
a. Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan persepsi individu menerima dan menginterpretasikan
nyeri berdasarkan pengalaman masing-masing. Nyeri yang dirasakan tiap individu
berbeda-beda. Persepsi nyeri dipengaruhi oleh toleransi individu terhadap nyeri.
b. Faktor sosio budaya
Faktor sosiobudaya merupakan faktor penting dalam respons individu terhadap
nyeri. Respon terhadap nyeri cenderung merefleksikan moral dan budaya masing-
masing.
c. Usia
Usia dapat mengubah persepsi dan pengalaman nyeri. Individu yang berumur
lebih tua mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh
terhadap masa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, sehingga
analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri.
d. Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat menjadikan faktor yang dapat mempengaruhi respon nyeri.
Pada dasarnya pria lebih jarang melaporkan nyeri dibandingkan wanita.
e. Pengalaman masa lalu
Pengalaman sebelumnya mengenai nyeri mempengaruhi persepsi akan nyeri yang
dialami saat ini. Individu yang memiliki pengalaman negatif dengan nyeri pada
masa kanak-kanak dapat memiliki kesulitan untuk mengelola nyeri.
f. Ansietas (kecemasan)
Hubungan antara nyeri dengan kecemasan bersifat kompleks. Kecemasan
terkadang meningkatkan persepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri juga menyebabkan
perasaan cemas. Dalam teorinya melaporkan bahwa stimulus nyeri yang
mengaktivasi bagian dari sistem limbic dipercaya dapat mengontrol emosi,
terutama kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi emosional terhadap nyeri,
apakah dirasa mengganggu atau berusaha untuk mengurangi nyeri.
g. Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri
yang dirasakan, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan
respon nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan
nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imagery), dan masase.
Dengan memfokuskan perhatian dan kosentrasi klien terhadap stimulus lain,
kesadaran mereka akan adanya nyeri menjadi menurun.
h. Kelemahan (fatigue)
Kelemahan akan meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri dan dapat
menurunkan kemampuan untuk mengatasi suatu masalah. Apabila kelemahan
terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi terhadap nyeri akan lebih besar.
i. Teknik koping
Teknik koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengatasi nyeri.
Seseorang yang memiliki koping yang baik mereka dapat mengontrol rasa nyeri
yang dirasakan. Tetapi sebaliknya, jika seseorang yang memiliki koping yang
buruk mereka akan merasa bahwa
orang lainlah yang akan bertanggung jawab terhadap nyeri yang dialaminya.
Konsep inilah yang dapat diaplikasikan dalam penggunaan analgesik yang
dikontrol pasien (patient-controlled analgesia/PCA).
6. Batasan karakteristik
a. Nyeri Akut
1) Melaporkan nyeri secara verbal dan non verbal
2) Menunjukkan kerusakan
3) Posisi untuk mengurangi nyeri
4) Muka dengan ekspresi nyeri
5) Gangguan tidur
6) Respon otonom (penurunan tekanan darah, suhu, nadi)
7) Tingkah laku ekspresif (gelisah, merintih, nafas panjang, mengeluh)
(Tamsuri, 2017).
b. Nyeri Kronis
1) Perubahan berat badan
2) Melaporkan secara verbal dan non verbal
3) Menunjukan gerakan melindungi, gelisah, depresi, focus pada diri sendiri
4) Kelelahan
5) Perubahan pola tidur
6) Takut cidera
7) Interaksi dengan orang lain menurun (Tamsuri, 2017).
8. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (D.0077)
b. Gangguan pola tidur b.d kurang kontrol tidur (D.0055)
c. Defisiti nutrisi b.d faktor psikologis (D.0019)
9. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam,masalah nyeri teratasi dengan kriteria hasil:
1) adanya penurunan intensitas nyeri
2) ketidaknayaman akibat nyeri berkurang
3) tidak menunjukan tanda-tanda fisik dan perilaku dalam nyeri akut
Intervensi :
a) Kaji nyeri PQRST
Rasional : mengetahui daerah nyeri, kualitas, kapan nyeri dirasakan,
faktor pencetus, berat ringannya nyeri yang dirasakan
b) Ajarkan tekhnik relaksasi kepada pasien
Rasional : untuk mengajarkan pasien apa bila nyeri timbul
c) Berikan analgetik sesuai program
Rasional : untuk mengurangi rasa nyeri
d) Observasi TTV
Rasional : untuk mengetahui keadaan umum pasien.
b. Gangguan pola tidur b.d kurang kontrol tidur
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, kebutuhan
tidur tercukupi dengan KH sebagai berikut :
1) Kebutuhan tidur tercukupi
2) Pasien tampak segar
3) Tidak sering terbangun pada saat tidur
Intervensi :
a) Kaji pola tidur pasien
Rasional : untuk mengetahui kebutuhan tidur pasien setiap hari
b) Ciptakan lingkungan nyaman dan tenang dan beri posisi yang nyaman
c) Batasi pengunjung
Rasional : agar pasien lebih nyaman dan dapat tidur dengan nyenyak.
c. Defisit nutrisi b.d faktor psikologis
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam,kebutuhan
nutrisi pasien tercukupi dengan KH sebagai berikut :
1) Nafsu makan bertambah
2) BB meningkat
3) Pasien tidak lemas lagi
Intervensi :
a) Kaji nutrisi pasien
Rasional : untuk mengetahui kebutuhan nutrisi pasien
b) Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya nutrisi tubuh
Rasional : membantu pasien dalam memperluas pengetahuan tentang
nutrisi
c) Kolaborasi dengan ahli gizi
Rasional : untuk mengetahui gizi yang seimbang
DAFTAR PUSTAKA