Anda di halaman 1dari 10

Tes UKBI dan Pengajaran BIPA

Maryanto
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional

1. Pengantar

Perkembangan bahasa Indonesia menuju bahasa internasional tampak sangat


menggembirakan. Sebagai ilustrasi, di Australia bahasa Indonesia telah diangkat
sebagai salah satu dari empat bahasa Asia prioritas (Cina, Indonesia, Jepang, dan
Korea) yang perlu diajarkan di sekolah dasar dan menengah dengan sistem
pendidikan Australia. Bahkan, di antara empat bahasa itu bahasa Indonesia
direkomendasikan menjadi bahasa Asia pertama di Australia (lihat Kirpatrick, 1995).
Yang sangat menarik dari pengangkatan itu adalah target yang ingin dicapai, baik dari
segi kuantitas pemelajar maupun kualitas pemelajaran bahasa itu1. Dalam kaitan itu,
diharapkan bahwa menjelang tahun 2006 siswa sekolah menengah yang mempelajari
bahasa Indonesia di Australia akan berjumlah 40.000 and di antara jumlah itu harus
ada 2000 siswa yang mencapai tingkat kemampuan yang disebut kemahiran
vokasional (vocational proficiency)2.
Perkembangan bahasa Indonesia tersebut memunculkan masalah yang
berkaitan dengan pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Masalah
yang sangat mudah diidentifikasi adalah yang bertalian dengan bahan ajar yang
digunakan oleh setiap institusi pengajaran BIPA dan bahan evaluasi yang dapat
digunakan untuk memberi keputusan tentang kemampuan penutur asing dalam
berbahasa Indonesia. Setakat ini tampaknya institusi pengajaran BIPA hanya
menggunakan bahan ajar dan evaluasi yang mereka susun berdasarkan tujuan
institusional masing-masing. Alhasil, masih ada kesenjangan interpretasi tentang hasil
evaluasi terhadap kemampuan berbahasa Indonesia. Misalnya, apa yang disebut
program BIPA I (Dasar) di satu institusi mungkin berbeda dari program itu di institusi
lain.
Tulisan ini hanya akan menyoroti masalah bahan evaluasi, sedangkan masalah
bahan ajar tidak menjadi pokok bahasan. Fokus tulisan ini adalah pentingnya
pengujian eksternal dalam konteks pengajaran BIPA, seperti halnya TOEFL dan
IELTS dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Dalam kaitan itu,
tulisan ini bermaksud memperkenalkan lebih lanjut sarana pengujian eksternal yang
disebut UKBI (Uji kemahiran Berbahasa Indonesia). Ihwal UKBI yang akan dibahas
mencakupi tujuan pengujian, ragam bahasa, komponen soal, sistem skor yang
digunakan serta hasil analisis tentang validitas. Melalui tulisan ini diharapkan
diperoleh implikasi pengujian eksternal itu dalam pengajaran BIPA.
2. Ihwal Tujuan UKBI

1
Menurut Moeliono (dalam komunikasi pribadi, 2001), ungkapan ‘pemelajar bahasa’ merupakan
padanan ‘language learner’ dan ‘pembelajaran bahasa’ padanan ‘language learning’. Moeliono juga
menyebutkan bahwa bentuk ‘pembelajaran merupakan padanan ‘instruction’ dan ‘pembelajar’
dipadankan ‘instructor’, bukan kata ‘learner’. Sehubungan dengan itu, sering terjadi kesalahan yang
perlu diperbaiki dalam pemilihan bentuk-bentuk tersebut.
2
Seperti yang dikutip Kirkpatrick (1995), Kalvin Rudd (1994) telah mengembangkan skala yang
sangat menarik dalam hubungan dengan pemeringkatan kemahiran berbahasa Indonesia. Menurutnya,
peringkat terendah disebut kemahiran survival dan peringkat berikutnya dinamai kemahiran sosial.
Peringkat kemahiran yang lebih tinggi disebut kemahiran vokasional.

1
UKBI bertujuan untuk memberikan penilaian standar3 kemampuan seseorang
(pengguna bahasa Indonesia) dalam berbahasa Indonesia tanpa mempertimbangkan
kapan, di mana, dan bagaimana kemampuan itu diperoleh. Sehubungan dengan tujuan
itu, sering ditanyakan apakah UKBI hanya dapat mengukur kemampuan penutur asli
bahasa Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kemampuan seseorang yang
telah mempelajari bahasa itu sebagai bahasa kedua atau bahasa asing dapat terukur
dengan UKBI.
UKBI dirancang tanpa melihat secara langsung situasi apa atau kondisi apa
yang telah mempengaruhi peserta UKBI dalam pemelajaran bahasa Indonesia. Akan
tetapi, sarana pengujian itu dirancang dengan melihat situasi penggunaan bahasa
Indonesia yang mungkin akan dihadapi peserta setelah menempuh ujian itu. Dalam
kaitan itu, sering dikatakan bahwa ada dua situasi pemelajaran bahasa yang berbeda
secara ekstrim. Yang pertama adalah situasi pemelajaran bahasa pertama yang
biasanya dilakukan oleh penutur asli. Yang kedua adalah situasi pembelajaran bahasa
kedua yang sering disejajarkan dengan situasi pembelajaran bahasa asing.
Dengan anggapan bahwa setiap penggunaan bahasa terjadi pembelajaran
bahasa, secara umum dapat dikatakan bahwa pengguna bahasa pertama memperoleh
kesempatan yang lebih banyak untuk melakukan pembelajaran daripada pengguna
bahasa kedua/bahasa asing. Karena itulah pengguna bahasa pertama sering dijadikan
tolok penggunaan bahasa yang ideal (McNamara, 1999). Bahkan, dikatakan bahwa
kemahiran tertinggi hanya akan diperoleh oleh pengguna bahasa pertama atau penutur
asli. Namun, dalam hal kemampuan berbahasa Indonesia situasi pembelajaran bahasa
pertama, kedua, dan bahasa asing menjadi kabur. Hal itu berarti bahwa kemampuan
tertinggi tidak hanya dimiliki oleh pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama. Pengguna bahasa Indonesia sebagai kedua atau asing yang telah mempelajari
bahasa itu sebaik-baiknya mungkin sekali akan memiliki kemampuan yang lebih baik
daripada pengguna bahasa Indonesia yang lain.
Hal di atas telah diamati dengan menggunakan data tentang hasil UKBI. Ada
sepuluh hasil yang diambil secara acak untuk tiap-tiap kelompok pengguna bahasa
Indonesia. Kelompok pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama adalah
peserta UKBI yang berasal dari daerah Jakarta dan sekitarnya atau yang sering disebut
daerah Jabotabek (Jakarta, Bekasi, dan Tangerang). Daerah itu dapat dikatakan
sebagai tempat terjadinya situasi penggunaan sekaligus pembelajaran bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama karena bahasa itu digunakan oleh masyarakat
dalam komunikasi sehari-hari, sedangkan daerah lain di Indonesia, yang di dalamnya
bahasa Indonesia tidak digunakan oleh masyarakat sebagai alat komunikasi sehari-
hari, melainkan bahasa daerah masing-masing, merupakan tempat terjadinya
penggunaan dan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Kelompok
terakhir, yaitu pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa asing, adalah peserta yang
berasal dari luar wilayah Indonesia. Kelompok terakhir itu menggunakan bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi antarwarga negara. Hasil pengamatan itu tampak
pada tabel berikut.

Tabel 1 Perbandingan skor perolehan UKBI


berdasarkan pengguna bahasa Indonesia

3
Yang dimaksud dengan penilaian standar ialah penilaian yang menggunakan instrumen dan
administrasi pengujian yang telah dibakukan serta menggunakan hasil penelitian empiris tentang
reliabilitas dan validitas yang berkaitan dengan instrumen dan administrasi pengujian itu (Bachman,
1992: 74).

2
Bahasa Pertama Bahasa Kedua Bahasa Asing
468 475 398
430 455 323
378 450 318
375 450 300
368 450 260
363 445 260
360 445 255
353 435 240
353 430 213
318 425 198
N = 30
Rentang skor = 162—900

Dari data hasil UKBI yang tercantum pada tabel di atas diketahui bahwa rerata
skor pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama adalah 377, sedangkan
pengguna bahasa itu sebagai bahasa kedua dan asing masing-masing 446 dan 277.
Data itu memperlihatkan bahwa kemampuan pengguna bahasa Indonesia sebagai
bahasa kedua secara umum lebih baik daripada kemampuan pengguna bahasa pertama
dan asing. Bahkan, dari 10 orang pengguna bahasa pertama hanya ada satu orang
yang memperoleh skor di atas rerata skor pengguna bahasa kedua. Sementara itu,
pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa asing secara umum memiliki kemampuan
yang jauh lebih rendah daripada rerata skor pengguna bahasa kedua. Akan tetapi, di
antara pengguna bahasa asing itu terdapat satu orang memperoleh skor di atas rerata
skor pengguna bahasa pertama. Hasil UKBI itu menunjukkan bahwa kemampuan
pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, kedua, dan asing dapat terukur
dengan instrumen UKBI.

3. Masalah Ragam Bahasa Indonesia

Selain ihwal tujuan pengujian, ragam bahasa yang digunakan di dalam UKBI
sering ditanyakan oleh pengguna sarana pengujian itu. Sehubungan dengan tujuan
UKBI, telah disebutkan di atas bahwa penggunaan dan pembelajaran bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama, kedua, dan asing terkait erat dengan aspek
geografis. Jika aspek geografis dijadikan pertimbangan utama dalam pengembangan
UKBI, akan muncul masalah yang terkait dengan ragam kedaerahan (regional) yang
harus dipilih. Dalam kaitan itu, perlu dicatat bahwa secara umum bahasa Indonesia
digunakan di Indonesia sebagai bahasa kedua. Menurut hasil sensus penduduk yang
dilakukan oleh Biro Pusat Statistik pada tahun 1990 (informasi terakhir yang
diperoleh oleh Pusat Bahasa), orang Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pertama hanya berjumlah 23.802.520 atau 15,07% dari 158.262.640
jiwa (jumlah total penduduk Indonesia), sedangkan yang menggunakan bahasa itu
sebagai bahasa kedua berjumlah 107.066.316 atau 67,80% (Alwi, 1996, 2001).4
Di antara pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua itu, terdapat
delapan kelompok besar yang dibedakan atas dasar bahasa pertamanya. Delapan
4
Alwi juga mengutip bahwa pada tahun 1990 terdapat 27.055.488 orang Indonesia atau 17,13% yang
tercatat sebagai kelompok buta bahasa Indonesia. Bagi kelompok itu bahasa Indonesia, baik bentuk
lisan maupun tulis, tidak dapat dipahami sehingga mereka tidak dapat menggunakan bahasa itu sebagai
alat komunikasi.

3
kelompok itu adalah penutur asli bahasa Jawa (38,08%), Sunda (15,26%), Madura
(4,29%), Batak (1,97%), Minang (2,23%), Bali (1,64%), Bugis (2,04%), dan Banjar
(1,74%). Setiap kelompok itu sebenarnya dapat diperinci lebih lanjut berdasarkan
daerah pengguna bahasa daerah masing-masing. Misalnya, bahasa Jawa dapat
dibedakan antara daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yang ingin disampaikan dalam hal ini adalah bahwa bahasa Indonesia
memiliki berbagai ragam kedaerahan yang disebabkan oleh latar belakang bahasa
pertama pengguna bahasa Indonesia. Pemilihan salah satu ragam kedaerahan dalam
pengembangan UKBI agaknya kurang tepat, sedangkan menurut analisis hasil UKBI
di atas, penutur asli bahasa Indonesia belum dapat menjadi model yang ideal dalam
penggunaan bahasa Indonesia.
Selain memiliki berbagai ragam kedaerahan, bahasa Indonesia memiliki
berbagai ragam sosial. Dalam hubungan dengan ragam sosial itu, perlu dicatat bahwa
UKBI berorientasi pada ragam sosial yang dimiliki oleh kelompok pengguna bahasa
Indonesia yang mengaku dirinya terpelajar. Ragam terpelajar ini diperoleh melalui
pendidikan di sekolah dan selanjutnya disebut ragam bahasa tinggi (lihat Lapoliwa,
1998). Lapoliwa menyatakan bahwa ragam bahasa sekolah dianggap sebagai tolok
pemakaian bahasa Indonesia yang benar sehingga disebut juga ragam baku atau
standar, yaitu ragam bahasa yang berfungsi sosial sebagai kerangka acuan dalam
berbahasa Indonesia. Dengan demikian, pemilihan ragam ini dalam pengembangan
UKBI sangat tepat karena apa yang diujikan dalam sarana pengujian itu dapat menjadi
ukuran penggunaan bahasa Indonesia yang benar dan sekaligus dapat menjadi
kerangka acuan dalam pengajaran bahasa itu sebagai bahasa asing.

4. Komposisi Materi Uji

Masalah materi yang harus dikembangkan dalam uji kemahiran masih amat
pelik. Masalah itu mungkin tidak serumit pengembangan materi uji dalam pengajaran
BIPA. Materi uji yang dikembangkan dalam pengajaran BIPA biasanya diambil dari
bahan ajar yang telah diberikan kepada peserta program pengajaran. Hal itu berbeda
dari uji kemahiran. Karena tidak ada bahan ajar yang diberikan kepada peserta
sebelum pengujian dilakukan, uji kemahiran harus dikembangkan dari konsep
kemahiran berbahasa secara umum. Namun, setakat ini belum ada deskripsi yang
komprehensif tentang konsep kemahiran berbahasa itu. Misalnya, Wier (1990:8)
mengatakan, “[…] adequately developed theories of communicative language use are
not yet available”. Hal serupa juga diakui oleh Anderson and Buck (1993), yang
mengatakan, “there is a general lack of theoretical agreement on the nature of
language proficiency”.

Meskipun belum ada deskripsi yang lengkap tentang hakikat kemahiran


berbahasa, perancang UKBI telah mempertimbangkan deskripsi yang ditawarkan oleh
Bachman (1990). Menurut Bachman, ada dua elemen kemahiran yang saling
melengkapi. Elemen kemahiran yang pertama disebut kompetensi organisasional yang
mencakupi dua unsur di bawahnya, yaitu kompetensi gramatikal (misalnya, dalam
pembentukan kata dan struktur kalimat) dan kompetensi tekstual (misalnya, misalnya
penggunaan pengacuan, substitusi, dan konjungsi dalam teks). Elemen kemahiran
yang kedua disebut kompetensi pragmatik. Kompetensi itu juga mencakupi dua unsur
di bawahnya, yaitu kompetensi dalam penggunaan fungsi bahasa dan kompetensi

4
dalam penggunaan fungsi bahasa menurut konteks sosial. Elemen-elemen kemahiran
berbahasa tersebut dijabarkan dalam materi UKBI setiap baterai soal.
Butir-butir dalam satu baterai UKBI—terdiri atas 150 soal—dituangkan dalam
sembilan format, yaitu Format Dialog Singkat (FDS), Format Dialog Panjang (FDP),
Format Ceramah Singkat (FCS), Format Isi Rumpang (FIR), Format Pilih Salah
(FPS), Format Pilih Benar (FPB), Format Pilih Arti (FPA), Format Pilih Tafsir (FPT),
dan Format Bacaan Singkat (FBS). Setiap baterai UKBI terdiri atas tiga seksi pokok
yang disebut seksi uji dengaran (SUD), Seksi Uji Kaidah (SUK), dan seksi uji
pemahaman (SUP). Jika dilihat dari segi seksi dan formatnya, komposisi soal dalam
baterai UKBI adalah sebagai berikut.

Tabel 2 Komposisi soal UKBI


Seksi

Format
Bagian

SoalJumlah

BobotJumlah
Bobot Soal
1,00

0,75

0,50

0,25

0,00
A FDS 3 7 6 3 1 20 12
SUD B FDP 2 6 4 2 1 15 9
C FCS 3 6 3 2 1 15 9,5
A FIS 2 7 7 3 1 20 11,5
SUK B FPB 2 4 2 1 1 10 6,25
C FPS 2 4 6 2 1 15 8,5
A FPA 3 5 4 2 1 15 9,25
SUP B FPT 3 4 1 1 1 10 6,75
C FBS 4 10 9 5 2 30 17,25
Jumlah Soal 24 53 42 21 10 150 90

Rumus Skor maksimum UKBI:


∑ Bobot x 10 atau
90 x 10 = 900

4.1 Sistem Skor

Di atas telah disebutkan bahwa skor yang diberikan pada setiap butir soal
disesuaikan dengan bobot soal. Alasan penggunaan bobot soal itu adalah bahwa setiap
elemen kemahiran menuntut kemampuan yang berbeda-beda sehingga kemampuan
dalam satu elemen kemahiran berbeda bobotnya dari elemen yang lain. Namun,
sebelum pembobotan soal UKBI dibahas lebih lanjut, perlu disebutkan pada bagian
ini bahwa ada dua macam sistem skor yang digunakan dalam pengujian. Dua sistem
skor itu sering disebut sistem norm-referenced test (NRT) dan criterion-referenced
tes (CRT). Sistem yang disebut pertama biasanya digunakan dalam pengujian
kemahiran bahasa, seperti halnya UKBI, sedangkan sistem yang disebut terakhir
mungkin digunakan dalam praktik pengajaran BIPA. Menurut Brown (1989),
perbedaan kedua sistem itu terletak pada karakteristik berikut.

Tabel 3 Perbedaan antara NRT dan CRT


Karakteristik NRT CRT

5
Jenis pengukuran Pengukuran dilakukan terhadap Pengukuran dilakukan terhadap perihal
kemahiran atau kemampuan berbahasa bahasa yang didasarkan pada tujuan
secara umum khusus
Jenis interpretasi Relatif: Kemampuan seorang peserta Absolut: kemampuan seorang peserta
dibandingkan dengan kemampuan semua dibandingkan hanya dengan tujuan
peserta yang lain. pembelajaran tertentu.
Distribusi skor Ada sebuah distribusi normal dari skor Jika semua peserta tahu semua materi,
sekitar rerata. semua harus diberi skor 100%.
Tujuan pengujian Peserta tersebar sepanjang kontinum Yang dinilai adalah jumlah materi yang
kemampuan umum atau kemahiran. diketahui atau dipelajari oleh setiap
peserta.
Pengetahuan Peserta tidak tahu atau memiliki Peserta mengetahui dengan pasti apa
tentang soal pengetahuan sedikit tentang apa yang yang diharapkan dalam soal tes.
diharapkan dalam soal tes.

Karena UKBI menggunakan sistem NRT, skor uji diinterpretasi


dengan mengacu pada kemampuan kelompok tertentu yang dinormakan. Kelompok
norma itu terdiri atas pengguna bahasa Indonesia yang mengaku dirinya sebagai orang
berpendidikan di Indonesia. Jika dilihat dari segi pendidikan, pengguna bahasa
Indonesia dapat diwakili oleh peserta uji menempuh pendidikan dasar, menengah, dan
tinggi. Tiga jenjang pendidikan itu disebut (1) SLP, (2) SLA, dan (3) PT).
Peserta dari tiga jenjang pendidikan (JP) dipilih secara acak (random)
berdasarkan tipe lembaga (TL) pendidikan, minat/jurusan (MJ), dan prestasi
akademik (PA) peserta yang bersangkutan. Ada tiga TL yang pilih, yaitu (1) Tipe A,
(2) Tipe B, (3) Tipe C dan juga ada tiga MJ yang dipilih, yaitu (1) Eksakta, (2)
Bahasa, dan (3) Yang lain. Prestasi akademik yang dipilih adalah (1) Prestasi Baik
(PB) dan (2) Prestasi Kurang (PK). Data tentang JP, TL, MJ, dan PA itu diperoleh
dari sumber resmi yang berwenang untuk menyatakan kebenaran ciri itu. Dengan
demikian, dalam ujicoba instrumen UKBI diperoleh 54 ciri peserta (3 JP x 3 TL x 3
MJ x 2 PA ) dan kemudian setiap ciri diwakili oleh empat peuji sehingga terdapat 216
peuji (54 x 4).

Hasil uji coba instrumen UKBI terhadap 54 ciri peuji itu menunjukkan bahwa
skor rata-rata 506 dan simpangan baku 90,1. Atas dasar hasil uji coba itu, Tim UKBI
menentukan pemeringkatan kemahiran berbahasa Indonesia sebagai berikut.

Tabel 4 Pemeringkatan Kemahiran berbahasa Indonesia


Peringkat Predikat Rentang Skor
I Istimewa 816—900
II Sangat Unggul 717—815
III Unggul 593—716
IV Madya 466—592
V Semenjana 346—465
VI Marginal 247—345
VII Terbatas 162—246

Pemberian skor dilakukan atas dasar pembobotan soal. Setiap butir soal tidak
memiliki bobot skor yang sama. Soal yang berat diberi skor tinggi, sedangkan yang
ringan diberi skor rendah. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan dalam
pembobotan soal, yaitu taraf kesukaran dan indeks daya beda. Dalam penentuan taraf

6
kesukaran Tim UKBI menggunakan teknik yang sederhana, tetapi sangat memuaskan
hasilnya. Teknik itu dilakukan dengan menentukan berapa persen dari peuji yang
menjawab soal dengan benar. Namun, soal dapat diberi bobot jika dijawab benar oleh
10%--90% dari seluruh peserta. Jika ada 90% yang menjawab butir soal yang benar,
soal itu dianggap terlalu mudah. Demikian pula, jika hanya ada 10% yang menjawab
butir soal dengan benar, soal itu dianggap terlalu sukar. Soal yang terlalu mudah atau
terlalu sukar tidak diberi bobot skor.
Daya beda adalah kemampuan setiap butir soal untuk memisahkan peserta
yang sangat mahir dari peserta yang kurang mahir. Kemampuan itu dihitung dengan
indeks daya beda yang berjulat antara 1 dan –1. Indeks daya beda 1 berarti bahwa
100% peserta yang sangat mahir dapat menjawab butir soal yang benar, sedangkan
100% peserta yang kurang mahir tidak dapat menjawab butir soal itu dengan benar.
Sebaliknya, indeks daya benda –1 berarti bahwa 100% peserta yang kurang mahir
dapat menjawab butir soal yang benar, sedangkan 100% peserta yang sangat mahir
tidak dapat menjawab butir soal itu dengan benar. Tentu butir soal yang berindeks
daya beda antara –1—0 tidak diberi bobot skor (bobot nol) karena dianggap tidak
membedakan kedua kelompok peserta tersebut. Butir soal yang berbobot nol itu juga
dianggap soal yang belum jadi atau belum baku.

5. Validitas Prediktif

Uji keberhasilan program pengajaran berorientasi ke belakang pada apa yang


telah dilakukan oleh peserta sebelum pengujian berlangsung, tetapi uji kemahiran
berorientasi ke depan pada apa yang mungkin akan dilakukan dalam penggunaan
bahasa oleh peserta setelah pengujian berlangsung. Karena berorientasi ke depan uji
kemahiran digunakan untuk memprediksi. Kemampuan uji kemahiran untuk
memprediksi itu menunjukkan konsistensi eksternal.
Namun, sebelum memiliki konsistensi eksternal, uji kemahiran harus memiliki
konsistensi internal atau yang sering disebut reliabilitas. Untuk melihat konsistensi
internal itu dapat dilakukan pengujian ulang terhadap dua kelompok peuji yang
memiliki kesamaan ciri. Jika skor kelompok pertama sama dengan kelompok kedua,
instrumen pengujian itu memiliki konsistensi internal. Reliabilitas juga dapat
diketahui dengan menguji peserta secara berulang. Jika hasil pengujian ulang sama
dengan hasil sebelumnya, instrumen pengujian itu memiliki konsistensi internal.
Namun, konsistensi absolut sulit diperoleh karena kesalahan pengukuran mudah
terjadi. Misalnya, kelelahan, kesehatan yang buruk, motivasi yang kurang, dll. dapat
mengganggu kinerja peuji dalam menempuh ujian dan hal itu tidak terkait dengan
kemampuan berbahasa.
UKBI terbukti sangat reliabel. Reliabilitas itu dibuktikan dengan
membandingkan hasil uji dua baterai soal untuk dua kelompok (masing-masing 108
orang) yang memiliki kesamaan ciri. Dengan Uji T diketahui bahwa T data (-1,850)
jauh lebih kecil daripada batas kritis 0,01 (2,602). Bahkan, T data itu masih lebih kecil
daripada batas kritis yang paling besar 0,5 (0,677).
Di atas telah disebutkan bahwa uji kemahiran berbahasa berorientasi ke depan.
Oleh karena itu, uji kemahiran digunakan dalam konteks prediksi. Misalnya, dapat
diprediksi bahwa orang Indonesia yang berpendidikan dasar (sekolah lanjutan
pertama) berkemampuan lebih rendah daripada mereka yang berpendidikan menengah
(sekolah lanjutan atas). Demikian pula, mereka yang berpendidikan menengah itu
lebih rendah daripada orang yang berpendidikan tinggi (perguruan tinggi).

7
Tabel 5 Hasil UKBI menurut jenjang pendidikan peserta
Jenjang Jumlah Skor Skor Simpangan
Pendidikan Peserta Tertinggi Terendah Baku Rerata Median
PT 36 666 378 76,94 550 549
SLA 36 666 324 89,54 480 486
SLP 36 576 261 81,90 452 473

Tabel di atas menunjukkan bahwa peserta UKBI yang berpendidikan tinggi


(PT) memiliki kemampuan yang lebih baik daripada peserta yang berpendidikan di
bawahnya (SLA dan SLP). Rerata peserta PT adalah 550, sedangkan peserta SLA dan
SLP masing-masing 480 dan 452. Hasil analisis dengan ANOVA juga menunjukkan
bahwa perbedaan kemampuan berbahasa ketiga jenis peserta itu sangat signifikan (F
data 13,166 dan F(0,01) hanya 4,813).
Untuk mengetahui konsistensi eksternal skor UKBI, juga telah dilakukan
analisis terhadap hasil UKBI dan TOEFL yang diperoleh oleh peserta yang sama.
Dalam analisis itu diasumsikan bahwa meskipun objek bahasa yang diujikan berbeda
(bahasa Indonesia dan Inggris), hasil yang diperoleh tidak berbeda. Alasan yang
mendasari asumsi itu adalah bahwa komponen tugas kebahasaan yang harus
dilakukan peserta selama ujian berlangsung kurang lebih sama sehingga ada korelasi
antara kemampuan dalam berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris. Misalnya, tugas
untuk menyimpulkan informasi yang secara implisit disebut dalam suatu teks ada,
baik dalam uji kemahiran berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Hasil uji
kemahiran kedua bahasa itu tampak dalam tabel berikut.

Tabel 6 Perbandingan hasil UKBI dengan hasil TOEFL


No. Indeks Skor UKBI Indeks Skor TOEFL

1 0,5 0,6
2 0,6 0,7
3 0,8 0,7
4 0,7 0,6
5 0,8 0,7
6 0,6 0,5
7 0,6 0,5
8 0,6 0,6
9 0,6 0,5
10 0,7 0,7
11 0,6 0,6
12 0,7 0,6
13 0,6 0,5
14 0,7 0,8

Tabel di atas memperlihatkan bahwa perbedaan skor UKBI dan TOEFL yang
diperoleh sebagian besar peserta hanya berkisar 0,1. Bahkan, di antara 14 hasil uji

8
kemahiran terdapat 3 hasil yang sama, baik dalam UKBI maupun TOEFL, yaitu
nomor peserta 8, 10, dan 11. Berdasarkan uji T diperoleh bahwa perbedaan
kemampuan dalam berbahasa Indonesia dan Inggris tidak signifikan (T data 1,046
jauh lebih kecil daripada batas kritis 2,779 (T(0,01)). Dengan demikian, ada korelasi
(0,7) antara kemampuan berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

6. Penutup

Pengujian internal yang dilakukan dalam pengajaran BIPA dapat dianggap


belum cukup untuk mengevaluasi kemampuan penutur asing bahasa Indonesia. Selain
bahan evaluasi yang sekarang digunakan dalam pengajaran BIPA masih sangat
bervariasi, pengajaran BIPA hanya merupakan salah satu kegiatan yang memungkin
kan penutur asing melakukan pembelajaran bahasa itu. Pembelajaran tentu dapat
dilakukan di luar program pengajaran. Karena kemampuan berbahasa Indonesia tidak
hanya diperoleh melalui pengajaran, hasil pengujian internal tidak selalu
mencerminkan kemampuan yang sesungguhnya dalam berbahasa Indonesia. Oleh
karena itulah, sarana pengujian eksternal, seperti halnya UKBI, perlu disediakan bagi
pemelajar yang sewaktu-waktu hendak mengukur kemampuannya dalam berbahasa
Indonesia.
Sarana pengujian eksternal seperti itu tidak perlu disesuaikan dengan bahan
ajar tertentu yang disusun berdasarkan tujuan dari salah satu institusi pengajaran
BIPA. Sarana pengujian eksternal itu perlu beracuan pada penggunaan bahasa
Indonesia standar, yaitu ragam bahasa Indonesia yang dimiliki oleh orang Indonesia
yang terpelajar. Selain itu, sarana pengujian eksternal harus memiliki validitas yang
baik. Dengan demikian, apa yang diujikan dapat menjadi kerangka acuan, baik bagi
pemelajar maupun pengajar BIPA dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan
benar.
Daftar Bacaan

Anderson, J. Charles dan Gary Buck. 1993. ‘Standards in Testing: A Study of Practice
of UK Examination Boards in EFL/ESL Testing’. Language Testing 10/1:1—
27.
Alwi, Hasan. 1996. Pembinaan bahasa Indonesia dalam Peningkatan Kualitas Sumber
Daya Manusia”. Makalah Seminar Nasional VI Himpunan Pembina Bahasa
Indonesia, Solo..
Bachman, Lyle F. 1990. Fundamental Considerations in Language Testing. Oxford:
Oxford University Press.
Bachman, Lyle F. dan Andrian S. Palmer. 1996. Language Testing in Practice.
Oxford: Oxford University Press.
Brown, James Dean. 1989. “Improving ESL Placement Tests Using Two
Perspectives”. Dalam TESOL Quarterly, 23/1:65—83.
Carol, Brenden J. Testing Language Performance. Oxford: Pergamon Press.
Kirkpatrick, Andy. 1995. “The Teaching and Learning of the Four Priority Asian
Languages”. Dalam ARAL Series, 12:17—34.
Lapoliwa, Hans. 1998. “Lafal Bahasa Indonesia baku”. Makalah dalam Kongres
bahasa Indonesia VII, Pusat Bahasa, Jakarta.
McNamara, T.F. 1996. Measuring Second Language Performance”. London dan New
York: Longman.

9
Sugiyono, 1999. “Pengembangan Materi Uji dan Sistem Skor UKBI”. Makalah dalam
Kongres Linguistik National, Masyarakat Linguistik Indonesia, Jakarta.
Wier. Cyril J. 1990. Communicative Language Testing: London: Prentice Hall.

10

Anda mungkin juga menyukai