Anda di halaman 1dari 16

TES UKBI BAGI PEJABAT PUBLIK

Yuriska Dewi
Universitas Negeri Yogyakarta
yuriskadewi.2021@student.uny.ac.id

ABSTRAK
Kata Kunci: Tes UKBI, Pejabat Publik
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan produk kebudayaan yang membedakan satu kelompok manusia
baik suku, etnis, maupun bangsa dengan yang lainnya. Bagi bangsa Indonesia, bahasa
Indonesia bukan hanya suatu produk kebudayaan melainkan juga pemersatu sekaligus
identitas bangsa. Bahasa Indonesia merupakan identitas nasional yang menyatukan ribuan
bahasa daerah dan berbagai kelompok etnis yang mendiami kepulauan Nusantara. Hal ini
memberi bukti bahwa bahasa Indonesia telah memberikan sumbangan besar pada
pembentukan persatuan dan nasionalisme Indonesia (Ubaedillah & Rozak, 2008: 19-21).
Pejabat publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki
posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sebagai pemangku kepentingan publik,
sudah selayaknya pejabat publik mencerminkan sikap bahasa yang baik. Bahasa
merupakan cerminan pribadi seseorang. Cerminan pribadi seorang pejabat publik yang
baik dapat dibuktikan dengan bahasa yang ia gunakan. Di atas telah dijelaskan bahwa
bahasa Indonesia memberi sumbangan besar pada pembentukan persatuan dan
nasionalisme Indonesia. Bagaimana mungkin kebijakan yang dibuat oleh pejabat publik
berpihak pada persatuan dan nasionalisme, sedang mereka tidak memiliki sikap bahasa
yang baik. Kebijakan dibuat untuk kepentingan bersama, kesejetahteraan bersama, oleh
karena itu pejabat publik harus mampu menyampaikan urgensi kebijakan tersebut dengan
baik kepada publik. Hal tersebut membuktikan bahwa peran bahasa Indonesia sangatlah
penting sebagai jembatan komunikasi pejabat publik dengan publik.
Pejabat publik harus menjunjung etika publik. Etika publik menjadi aspek yang
sangat penting untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang optimal kepada
masyarakat. Penerapan etika publik memiliki dampak yang besar bagi kualitas pelayanan
publik, Namun permasalahannya di Indonesia para pejabat publik yang memiliki tugas
sebagai penyelenggara pelayanan publik kerap kali abai terhadap penerapan etika. Tentu
saja konsekuensi logis dari keadaan ini adalah terjadinya degradasi kualitas pelayanan
publik di Indonesia. Buruknya kualitas pelayanan publik secara pararel akan berimbas
pada terabaikannya hak-hak dari masyarakat untuk mengakses layanan publik. Dampak
yang lebih mengerikan dari minimnya penerapan etika oleh pejabat publik adalah tindakan
melanggar aturan oleh sejumlah pejabat publik karena praktik nir-etika yang terjadi
membuat pejabat publik gagal memisahkan mana kepentingan publik yang harus
diprioritaskan dan mana kepentingan pribadi atau kelompok. Tercampurnya kepentingan
itu membuat kepentingan publik kerap tersisih dan pada akhirnya yang dirugikan adalah
masyarakat.
Publik Indonesia telah banyak mendapati kasus pejabat publik yang memiliki
masalah terhadap bahasa. Beberapa diantaranya, kasus mantan gubernur DKI Jakarta,
Basuki Thahaja Purnama dalam kasus penistaan agama, menteri sosial Tri Rismaharini
yang memaksa seorang anak tunawicara untuk berbicara tanpa bahasa isyarat, pejabat
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berujar bercampurnya pria dan
wanita di kolam renang bisa membuat hamil, pernyataan Sekda DKI mengenai banjir yang
memberikan pernyataan “agar banjir dinikmati saja”. Pernyataan seorang pejabat publik
bisa menimbulkan opini di masyarakat dan juga tidak bisa ditarik kembali (irreversible).
Jadi, bila pernyataan tersebut dikeluarkan kemudian disanggah oleh si pembuat
pernyataan, masyarakat akan tetap mengingat pernyataan pertama yang disampaikan oleh
pejabat tersebut. Pernyataan pejabat publik tidak boleh mendiskreditkan golongan atau
kelompok tertentu. Dihar menyampaikan, pejabat publik harus selalu berada di posisi
netral, bahkan jika memang harus berpihak, keberpihakan tersebut harus didukung oleh
fakta dan data yang valid, sehingga menjadi dasar yang kuat.
Kasus-kasus di atas membuktikan bahwa pejabat publik masih memiliki tugas
untuk meningkatkan kompetensi berbahasanya. Diketahui bahwa memang banyak tes yang
dilakukan untuk mengukur ataupun melihat kompetensi yang dimiliki oleh calon pejabat
publik seperti tes wawasan kebangsaan misalnya. Tetapi, apakah tes tersebut belum cukup
untuk menjawab persoalan kesalahan berbahasa seperti kasus di atas. Pelayanan publik
yang baik dilakukan karena adanya komunikasi yang baik. Oleh karena itu, pejabat publik
harus diuji kompetensi berbahasanya sebelum ia memangku jabatan sebagai pelayan
publik. Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI) adalah alat yang tepat untuk menguji
kemahiran berbahasa pejabat publik.
Uji Kemahiran Bahasa Indonesia, selain sebagai alat untuk menguji kemahiran
berbahasa Indonesia, diakui memang telah ikut berperan dalam pemartabatan bahasa
Indonesia. Dengan adanya uji ini, bahasa Indonesia disandingkan dengan bahasa modern
lainnya dalam hal tersedianya alat uji berstandar untuk kemahiran berbahasa seperti
TOEFL, IELST, dan TOEIC untuk bahasa Inggris. Instrumen ini secara tidak langsung
juga ikut berperan dalam peningkatan kualitas penggunaan dan pengajaran bahasa
Indonesia. Dengan adanya UKBI, berbagai kalangan atau pihak yang memerlukannya akan
berupaya untuk meningkatkan kemampuan mereka melalui penggunaan dan/atau
pembelajaran bahasa Indonesia.
Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia juga dapat berperan dalam meningkatkan
sikap positif pejabat publik terhadap bahasa Indonesia dengan memberdayakan materi
semua seksi uji. Gagasan tentang pengintegrasian indikator-indikator sikap bahasa
(kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran terhadap norma bahasa) menjadi
teks soal patut dipertimbangkan. Melalui pengintegrasian indikator-indikator sikap bahasa
itu dalam bentuk teks soal pada semua seksi (mulai seksi mendengar, merespons kaidah,
membaca, menulis, hingga berbicara) diharapkan peserta uji memperoleh informasi
tentang cara-cara bersikap positif terhadap bahasa Indonesia. Jadi, saat mengikuti UKBI,
pejabat publik tidak saja sekadar menjawab, tetapi juga memperoleh informasi tentang
cara bersikap positif terhadap bahasa Indonesia.

METODE PENELITIAN
Metode yang dilakukan menggunakan library research atau penelitian
kepustakaan, yang dilakukan dengan menggunakan literatur berupa aturan-aturan yang
mendukung dalam menganalisis topik penelitian ini. Adapun pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Pengumpulan data
primer pada penelitian ini berkaitan dengan konsep tes UKBI bagi pejabat publik. Sumber
data kemudian direduksi dan peneliti mencoba mengeksplorasi dan memberikan argumen
yang berkaitan dengan urgensi tes UKBI bagi pejabat publik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Uji Kemahiran Bahasa Indonesia


Sejarah Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) dirintis melalui berbagai
peristiwa kebahasaan yang diprakarsai Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Gagasan awal terungkap dalam Kongres Bahasa Indonesia IV pada tahun 1983.
Selanjutnya, dalam Kongres Bahasa Indonesia V pada tahun 1988 muncul pula gagasan
tentang perlunya sarana tes bahasa Indonesia yang standar. Oleh karena itu, Pusat Bahasa
mulai menyusun dan membakukan sebuah instrumen evaluasi bahasa Indonesia. Pada awal
tahun 1990-an, instrumen evaluasi itu diwujudkan, kemudian dinamai dengan Uji
Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Sejak saat itu UKBI dikembangkan untuk
menjadi tes standar yang dirancang guna mengevaluasi kemahiran seseorang dalam
berbahasa Indonesia, baik tulis maupun lisan. Dengan UKBI seseorang dapat mengetahui
mutu kemahirannya dalam berbahasa Indonesia tanpa mempertimbangkan lokasi dan
jangka waktu ia telah belajar bahasa Indonesia. Sebagai tes bahasa untuk umum, UKBI
terbuka bagi setiap penutur bahasa Indonesia, terutama yang berpendidikan, baik warga
negara Indonesia maupun warga negara asing. Dengan UKBI, instansi pemerintah dan
swasta dapat mengetahui mutu karyawan atau calon karyawannya dalam berbahasa
Indonesia. Demikian pula, perguruan tinggi dapat memanfaatkan instrumen ini dalam
seleksi penerimaan mahasiswa barunya. Melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor
152/U/2003 tanggal 28 Oktober 2003, Menteri Pendidikan Nasional telah mengukuhkan
UKBI sebagai sarana untuk menentukan kemahiran berbahasa Indonesia di kalangan
masyarakat.
UKBI bertujuan memberikan penilaian standar kemampuan seseorang (pengguna
bahasa Indonesia) dalam berbahasa Indonesia tanpa mempertimbangkan kapan, di mana,
dan bagaimana kemampuan itu diperoleh. Sehubungan dengan tujuan itu, sering
ditanyakan apakah UKBI hanya dapat mengukur kemampuan penutur asli bahasa
Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kemampuan seseorang yang telah
mempelajari bahasa itu sebagai bahasa kedua atau bahasa asing dapat terukur dengan
UKBI. Tes ini dirancang tanpa melihat secara langsung situasi apa atau kondisi apa yang
telah memengaruhi peserta UKBI dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Akan tetapi,
sarana pengujian itu dirancang dengan melihat situasi penggunaan bahasa Indonesia yang
mungkin akan dihadapi peserta setelah menempuh bicara dan ujian itu. Dalam kaitan itu,
sering dikatakan bahwa ada dua situasi pembelajaran bahasa yang berbeda secara ekstrem.
Pertama adalah situasi pembelajaran bahasa pertama yang biasanya dilakukan oleh penutur
asli. Kedua adalah situasi pembelajaran bahasa kedua yang sering disejajarkan dengan
situasi pembelajaran bahasa asing (Pusat Bahasa, 2007).
Dengan anggapan bahwa setiap penggunaan bahasa terjadi pembelajaran bahasa,
secara umum, dapat dikatakan bahwa pengguna bahasa pertama memperoleh kesempatan
yang lebih banyak untuk melakukan pembelajaran daripada pengguna bahasa
kedua/bahasa asing. Karena itulah, pengguna bahasa pertama sering dijadikan tolok
penggunaan bahasa yang ideal (McNamara, 1999). Bahkan, dikatakan bahwa kemahiran
tertinggi hanya akan dicapai oleh pengguna bahasa pertama atau penutur asli. Namun,
dalam hal kemampuan berbahasa Indonesia, situasi pembelajaran bahasa pertama, kedua,
dan bahasa asing menjadi kabur. Hal itu berarti bahwa kemampuan tertinggi tidak hanya
dimiliki oleh pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Pengguna bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua atau asing yang telah mempelajari bahasa itu
sebaikbaiknya mungkin sekali akan memiliki kemampuan yang lebih baik daripada
pengguna bahasa Indonesia yang lain (Mardiyanto, 2007).
UKBI dikembangkan berdasarkan prinsip penyusunan tes terkini dan telah diujikan
kepada berbagai lapisan masyarakat dari berbagai jenjang pendidikan, termasuk sejumlah
penutur asing. Hasil UKBI menunjukkan kecocokan dengan kenyataan kemampuan
berbahasa Indonesia seseorang. Saat ini, beberapa institusi, baik negeri maupun swasta,
telah menjadikan UKBI sebagai alat uji dalam agenda tetap mereka, baik dalam perekrutan
pegawai atau karyawan atau untuk keperluan tertentu (Pusat Bahasa, 2007).
Secara umum, materi UKBI adalah penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai
situasi dan laras, seperti sejarah, kebudayaan, hukum, teknologi, dan ekonomi. Materi
tersebut berasal dari berbagai sumber, baik wacana komunikasi lisan sehari-hari di
masyarakat maupun wacana tulis di berbagai media massa, buku acuan, dan tempat umum.
Dengan materi itu, UKBI menguji kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, baik lisan
maupun tulis di dalam bahasa Indonesia. Kemampuan itu dapat diukur dari empat
keterampilan, yaitu mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara, serta pengetahuan
tentang kaidah bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2007).
Seksi I (Mendengarkan)
Seksi ini bertujuan mengukur kemampuan memahami informasi yang diungkapkan
secara lisan. Wacana lisan tersebut berbentuk dialog dan monolog yang membahas
berbagai topik dalam situasi dan kondisi yang beragam. Seksi ini terdiri atas empat buah
dialog dan empat buah monolog. Keseluruhan butir soal berjumlah 40 butir soal pilihan
ganda dengan alokasi waktu 25 menit. Setiap dialog atau monolog disertai lima butir soal
pilihan ganda yang harus dijawab sekaligus ketika dialog dan monolog tersebut
diperdengarkan.
Contoh soal:
1. Dialog tersebut berlangsung di ___.
(A) sebuah ATM (C) sebuah bank
(B) jalan raya (D) sebuah kantor
2. Nama Si Laki-laki adalah ___ Burhan.
(A) Amat (C) Muhamad
(B) Ahmad (D) Achmad
Seksi II (Merespons Kaidah)
Seksi ini bertujuan mengukur kepekaan peserta uji dalam merespons penggunaan
kaidah bahasa Indonesia ragam formal. Kaidah tersebut meliputi ejaan, bentuk dan pilihan
kata, serta kalimat. Soal dalam seksi ini terdiri atas satu atau dua kalimat yang memiliki
dua bagian yang bergaris bawah dan bercetak tebal. Satu dari dua bagian itu berisi
kesalahan dalam penerapan kaidah bahasa Indonesia. Peserta uji harus menentukan satu
bagian yang berisi kesalahan dan menentukan satu dari dua pilihan jawaban di bawahnya
sebagai jawaban yang benar. Keseluruhan soal yang ada dalam seksi ini berjumlah 25 butir
soal pilihan ganda dengan alokasi waktu 20 menit.
Contoh soal:
1. Program pendidikan dan latihan ini sangat berguna.
(A) pelatih (C) digunakan
(B) pelatihan (D) dipergunakan
2. X: Dia memang pantas mendapatkan pukulan dan tamparan dari massa.
(A) pukulan dan tamparan oleh
(B) pemukulan dan tamparan dari
Y: Ya. Itulah akibatnya karena mencuri.
(C) Itulah akibatnya kalau mencuri
(D) Itu akibatnya dari pencurian
Jawaban untuk soal no 1 dan 2 di atas adalah B dan C.
Seksi III (Membaca)
Seksi ini bertujuan mengukur kemampuan peserta uji dalam memahami informasi
yang disampaikan dalam bentuk wacana tulis atau bacaan. Bacaan tersebut disajikan dalam
berbagai laras bahasa bidang ilmu. Dalam seksi ini terdapat lima bacaan yang masing-
masing diiringi delapan butir soal pilihan ganda. Dalam seksi ini terdapat 40 butir soal
pilihan ganda dengan alokasi waktu 45 menit.
Contoh wacana akademik:
Kemiri telah lama dikenal masyarakat sebagai tanaman rempah yang dimanfaatkan
untuk bumbu dapur. Kemiri mengandung zat kimia, seperti gliserin,dan asam
linoleat serta protein dan vitamin B1. Oleh karena itu, kemiri juga dikenal
berkhasiat sebagai penguat dan penyubur rambut. Yang belum dikenal secara luas
tentang kemiri adalah bahwa kemiri dapat mengatasi beberapa penyakit. Penyakit
yang dapat diatasi dengan kemiri, antara lain demam, diare, disentri, sariawan,
sakit gigi, sembelit, dan bisul. Dengan demikian, kemiri juga bermanfaat sebagai
obat. Bagian kemiri yang dapat dimanfaatkan adalah biji, kulit batang, dan
daunnya. dst.
Soal:
1. ___ kemiri berkhasiat untuk meredakan sakit gigi.
(A) getah batang (C) kulit batang
(B) getah daun (D) kulit daun
2. Hingga sekarang kemiri kurang dikenal luas luas sebagai ___.
(A) penyubur rambut (B) penguat rambut
(C) pereda sariawan (D) pelengkap bumbu masak
Jawaban untuk soal no 1 dan 2 di atas adalah C dan C.

Dalam UKBI pencapaian hasil tes peserta uji diklasifikasikan ke dalam tujuh
peringkat dan ditafsirkan ke dalam tujuh predikat. Ketujuh peringkat dan predikat tersebut
ditentukan berdasarkan rentang skor yang ditetapkan dalam UKBI.
Pemeringkatan hasil UKBI ditunjukkan dalam tabel berikut ini.
Peringkat Predikat Skor
I Istimewa 816-900
II Sangat Unggul 717-815
III Unggul 593-716
IV Madya 466-592
V Semenjana 346-465
VI Marginal 247-345
VII Terbatas 162-246

Peringkat I (Istimewa): Predikat ini menunjukkan bahwa peserta uji memiliki


kemahiran yang sempurna dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia,
baik lisan maupun tulis. Bahkan, dalam berkomunikasi untuk keperluan keilmuan yang
kompleks pun, yang bersangkutan tidak mengalami kendala. Predikat tersebut dapat
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
1. Peserta uji memiliki kemampuan menganalisis informasi faktual, konseptual, dan
prosedural dalam wacana lisan dan tulis dalam berbagai ranahvkomunikasi,
terutama komunikasi yang dibutuhkan dalam kehidupan profesional dan akademik.
2. Peserta uji memiliki pemahaman kaidah bahasa Indonesia yang baik untuk
keperluan keilmiahan.
3. Peserta uji mampu menangkap gagasan dari berbagai bacaan yang menggunakan
kalimat kompleks dan kosakata yang sulit serta bervariasi.
4. Peserta dengan predikat ini mampu menyimpulkan wacana, baik dialog, monolog,
maupun bacaan secara detail serta mampu merefleksikan gagasan dalam bentuk
wacana lisan dan tulis dengan baik.
5. Peserta dapat memahami tujuan penulisan wacana dengan baik serta
mengungkapkannya kembali, baik lisan maupun tulis, dengan penggunaan
parafrasa yang beragam.
6. Peserta uji secara umum siap mengungkapkan kemahiran berbahasanya secara lisan
dan tulis.

Peringkat II (Sangat Unggul): Predikat ini menunjukkan bahwa peserta uji


memiliki kemahiran yang sangat tinggi dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Indonesia, baik lisan maupun tulis. Dalam berkomunikasi untuk keperluan keilmuan yang
kompleks, yang bersangkutan masih mengalami kendala, tetapi tidak untuk keperluan yang
lain. Predikat tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
1. Peserta uji memiliki kemampuan untuk mengevaluasi dan menganalisis informasi
faktual, konseptual, dan prosedural di dalam wacana lisan dan tulis.
2. Peserta uji memahami kaidah bahasa Indonesia untuk keperluan keilmiahan dengan
cukup baik.
3. Peserta uji mampu menangkap gagasan dari berbagai bacaan yang menggunakan
kalimat kompleks dan kosakata yang sulit dan bervariasi. Akan tetapi, ia masih
memiliki kendala dalam pengungkapan secara tulis maupun lisan dengan
menggunakan parafrasa.
4. Peserta uji mampu menyimpulkan dengan benar dan baik wacana lisan dan tulis.
5. Peserta uji memahami struktur yang benar dan kosakata yang tepat dalam wacana
lisan dan tulis.
6. Peserta uji mampu merefleksikan gagasan di dalam wacana dengan cukup baik.
Akan tetapi, kadang-kadang ia masih salah ketika menyimpulkan wacana yang
kompleks untuk keilmiahan.
Peringkat III (Unggul): Predikat ini menunjukkan bahwa peserta uji memiliki
kemahiran yang tinggi dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, baik
lisan maupun tulis. Dalam berkomunikasi untuk keperluan keilmuan dan keprofesian yang
kompleks, yang bersangkutan masih mengalami kendala. Predikat tersebut dapat
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
1. Peserta uji memiliki kemampuan untuk menganalisis informasi faktual, konseptual,
dan prosedural dalam kehidupan profesional, dan keilmiahan tingkat rendah.
2. Peserta uji memahami kaidah bahasa Indonesia yang umum digunakan untuk
keperluan keprofesian dan keilmiahan dengan cukup baik sehingga ia dapat
mengungkapkan gagasan, baik secara lisan maupun tulis.
3. Peserta uji mampu menangkap gagasan dari berbagai bacaan yang menggunakan
kalimat dengan struktur yang cukup kompleks.
4. Peserta uji cukup memahami hubungan antargagasan di dalam wacana yang cukup
kompleks dengan baik.
5. Ketika memahami wacana dengan struktur yang kompleks serta pilihan kosakata
bervariasi, peserta uji masih mengalami kendala. Peserta uji dengan predikat ini
mampu menyimpulkan wacana, baik berupa dialog, monolog, maupun bacaan,
sekalipun tidak selalu benar.
6. Peserta uji dapat memahami tujuan penulisan wacana dengan baik. Pengungkapan
kembali informasi dari wacana masih harus dibantu dengan pola-pola yang telah
diketahui dari wacana atau kalimat penjolok yang terdapat dalam soal.

Peringkat IV (Madya): Predikat ini menunjukkan bahwa peserta uji memiliki


kemahiran yang memadai dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia,
baik lisan maupun tulis. Dalam berkomunikasi untuk keperluan keprofesian yang
kompleks, yang bersangkutan masih mengalami kendala. Kendala tersebut semakin besar
jika untuk keperluan keilmuan.
1. Peserta uji memiliki kemampuan untuk memahami informasi faktual, konseptual,
dan prosedural dalam wacana lisan dan tulis dalam kehidupan sosial dan
profesional.
2. Peserta uji kadang-kadang sudah dapat mengevaluasi informasi.
3. Peserta uji memiliki pemahaman yang baik terhadap kaidah bahasa Indonesia
untuk keperluan sosial.
4. Peserta uji mampu menangkap dengan baik gagasan pada wacana yang
menggunakan struktur kalimat dan kosakata yang sedang tingkat kesulitannya.
5. Peserta uji mampu mengungkapkan kembali informasi yang terdapat di dalam
wacana dengan struktur dan kosakata yang sedang tingkat kesulitannya.
6. Peserta uji mengalami kesulitan untuk menyimpulkan wacana yang struktur dan
kosakatanya kompleks. Akan tetapi, ia masih mampu memahami hubungan
antargagasan pada wacana yang cukup kompleks.

Peringkat V (Semenjana): Predikat ini menunjukkan bahwa peserta uji memiliki


kemahiran yang memadai dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia,
baik lisan maupun tulis. Dalam berkomunikasi untuk keperluan keilmuan, yang
bersangkutan sangat terkendala. Untuk keperluan keprofesian dan kemasyarakatan yang
kompleks, yang bersangkutan masih mengalami kendala, tetapi tidak terkendala untuk
keprofesian dan kemasyarakatan yang tidak kompleks.
1. Peserta uji memiliki kemampuan untuk mengingat dan memahami informasi
faktual dalam wacana lisan dan tulis dalam kehidupan sosial di masyarakat.
2. Peserta uji hanya dapat memahami sebagian informasi konseptual dan prosedural
dalam wacana yang sederhana.
3. Peserta uji cukup baik dalam memahami kaidah bahasa Indonesia untuk keperluan
sosial, sekalipun sesekali masih mengalami kendala.
4. Peserta uji mampu menangkap dengan baik gagasan pada wacana yang
menggunakan struktur kalimat dan kosakata yang sederhana.
5. Peserta uji memahami hubungan antargagasan dalam wacana yang sederhana.
6. Peserta uji dapat mengungkapkan kembali secara lisan dan tulis informasi yang
terdapat di dalam wacana yang sederhana.

Peringkat VI (Marginal): Predikat ini menunjukkan bahwa peserta uji memiliki


kemahiran yang tidak memadai dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Indonesia, baik lisan maupun tulis. Dalam berkomunikasi untuk keperluan kemasyarakatan
yang tidak kompleks, termasuk keperluan kesintasan, yang bersangkutan tidak mengalami
kendala. Akan tetapi, untuk keperluan kemasyarakatan yang kompleks, yang bersangkutan
masih mengalami kendala. Hal ini berarti yang bersangkutan belum siap berkomunikasi
untuk keperluan keprofesian, apalagi untuk keperluan keilmuan.
1. Peserta uji memilki kemampuan untuk mengingat dan memahami informasi faktual
wacana lisan dan tulis di dalam kehidupan seharihari.
2. Peserta uji memiliki pemahaman yang rendah terhadap informasi konseptual dan
prosedural.
3. Peserta uji hanya dapat memahami informasi ketika struktur kalimat dan pilihan
kata sama persis dengan wacana.
4. Peserta uji memahami hubungan antargagasan dalam wacana yang struktur dan
kosakatanya sangat sederhana.
5. Peserta uji memahami kaidah bahasa Indonesia untuk keperluan seharihari yang
sederhana.
6. Peserta uji dapat mengungkapkan gagasan secara tulis atau lisan dengan struktur
dan pilihan kata yang lazim dan sederhana.

Peringkat VII (Terbatas): Predikat ini menunjukkan bahwa peserta uji memiliki
kemahiran yang sangat tidak memadai dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Indonesia, baik lisan maupun tulis. Dengan kemahiran ini, yang bersangkutan hanya siap
berkomunikasi untuk keperluan kesintasan. Pada saat yang sama, predikat ini
menggambarkan potensi yang bersangkutan dalam berkomunikasi masih sangat besar
kemungkinannya untuk ditingkatkan. Predikat tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut
sebagai berikut.
1. Peserta uji memiliki kemampuan untuk mengingat informasi faktual dalam wacana
lisan dan tulis yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari dalam bahasa Indonesia.
2. Peserta uji sesekali mampu memahami informasi faktual dengan baik. Peserta uji
memiliki pemahaman terhadap kaidah bahasa Indonesia untuk keperluan sehari-
hari yang terbatas.
3. Peserta uji dapat mengungkapkan gagasan, baik lisan maupun tulis, dalam situasi
dan kondisi yang dikenal secara terbatas.
4. Peserta uji menguasai kosakata yang ada di sekitarnya sesuai dengan kebutuhan
dasar hidupnya.
5. Peserta uji kadang-kadang masih terkendala dalam memahami gagasan dan
hubungan antargagasan, meskipun dalam wacana yang mudah dan sederhana.

7. Urgensi Uji Kemahiran Bahasa Indonesia bagi Pejabat Publik


a. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik
Kualitas pelayanan menurut Brady dan Conin (dalam Rezha,et.al., 2013) adalah
perbandingan antara apa yang didapatkan penerima layanan dengan harapan yang
diinginkan oleh penerima layanan tersebut. Artinya kualitas layanan dapat dinilai dari apa
yang diinginkan oleh penerima layanan tersebut. Bersandar pada formulasi tersebut, maka
bila apa yang didapatkan oleh penerima layanan sesuai dengan apa yang mereka harapkan
maka kualitas layanan publik bisa dikatakan baik.
Adapun menurut (Pasolong, 2007) mengatakan bahwa untuk menilai baik
buruknya suatu pelayanan publik yang diberikan oleh para pejabat publik dapat dilihat dari
baik buruknya penerapan lima indikator dibawah ini,
a) efisiensi, yaitu para birokrat tidak boros dalam melaksanakan tugas-tugas
pelayanan kepada masyarakat. Dalam artian bahwa para birokrat secara berhati-hati
agar memberikan hasil yang sebesar-besarnya kepada publik;
b) efektivitas,yaitu pada birokrat dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada
publik harus baik (etis) apabila memenuhi target atau tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya tercapai. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan publik bukan tujuan
pemberi pelayanan (birokrasi publik);
c) kualitas layanan, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan oleh pada birokrat kepada
publik harus memberikan kepuasan kepada yang dilayani;
d) responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab pejabat publik dalam
merespon kebutuhan publik yang sangat mendesak. Mereka dalam menjalankan
tugasnya dinilai baik (etis) jika sangat responsif dan memiliki profesionalitas yang
tinggi;
e) akuntabilitas,yaitu berkaitandenganpertanggungjawaban dalam melaksanakan tugas
dan kewenangan pelayanan publik. Birokrat atau pejabat publik yang baik (etis)
adalah yang akuntabel dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Selanjutnya, penyelenggara layanan publik menurut (Maani, 2010) yang
menjelaskan bahwa para pejabat publik tidak mungkin dilepaskan dari praktik atau
penerapan nilai-nilai etika publik. Karena hal itu sangat berkaitan dengan soal baik dan
buruk di dalam tindakan manusia, maka tugas-tugas dari pejabat publik sebagai pelayan
publik tidak terlepas dari hal-hal tersebut. Dalam jurnalnya, ia juga disampaikan bahwa
pejabat publik harus memiliki tindakan/praktik “melayani, bukan dilayani”; “mendorong,
bukan menghambat”; “mempermudah, bukan mempersulit”; “sederhana, bukan berbelit-
belit”. Standar pelayanan publik tersebut diperlukan untuk pemenuhan atau perwujudan
nilai-nilai dan norma-norma atas sikap dan perilaku pejabat publik dalam setiap pelayanan
dan tindakannya untuk memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat luas. Adapun
menurut (Denhardt, 1988) pejabat publik wajib memiliki sikap, mental dan perilaku yang
mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan asas etis. Ia wajib mengembangkan
diri agar sungguh-sungguh memahami, menghayati, dan menerapkan berbagai asas etis
yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral khususnya keadilan dalam tindakan
jabatannya. Berdasarkan indikator-indikator di atas, maka pejabat publik haruslah
memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Pernyataan pejabat publik di media umum
tidaklah boleh menimbulkan kegaduhan, keresahan masyarakat, ataupun propaganda.

b. Menumbuhkan Sikap Positif Terhadap Bahasa Indonesia


Sikap bahasa (language attitude) merupakan salah satu topik dalam sosiolinguistik
(sociolinguistics). Secara definitif, sikap bahasa merupakan "The feelings people have
about their own language or the languages of others” (Crystal dalam Coronel-Molina,
2009). Gerak-gerik dan perbuatan yang dilandasi oleh suatu pendirian, pandangan,
pendapat, dan keyakinan tentang bahasa-bahasa tertentu adalah ujud sikap bahasa
(Ridwan, 2006). Sikap tersebut meliputi keyakinan, perasaan, dan kecenderungan
bertindak penutur terhadap suatu bahasa (Anderson dalam Yance dkk., 2016). Sikap terdiri
atas tiga unsur, yaitu unsur kognitif, afektif, dan konatif (psikomotorik) (Fasold, 1987).
Unsur kognitif menyangkut masalah pengetahuan alam sekitar dan gagasan, yang
kategorinya dipergunakan dalam proses berpikir. Unsur afektif berhubungan dengan
masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap suatu situasi. Unsur konatif
berhubungan dengan perilaku atau perbuatan seseorang dalam mengambil keputusan
terakhir terhadap suatu keadaan (Lambert dalam Coronel-Molina).
Sikap bahasa setidak-tidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu sebagai berikut.
(1) sikap kesetiaan bahasa (language loyalty), yang mendorong suatu masyarakat bahasa
mempertahankan bahasanya dan jika perlu mencegah adanya pengaruh asing, (2) sikap
kebanggaan bahasa (language pride), yang mendorong orang mengembangkan bahasanya
dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, (3) sikap
kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness of the norms), yang mendorong orang
menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun (Garvin dan Mathiot dalam Halim,
1983:156). Ketiga ciri tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Apabila
ketiga ciri bahasa tersebut melemah atau sudah menghilang dari diri seseorang atau dari
suatu komunitas, berarti telah muncul sikap negatif terhadap bahasa tersebut.
Pejabat publik sudah seharusnya mengutamakan sikap bahasa tersebut. Bahasa
merupakan identitas suatu negara, pejabat publik yang bekerja untuk kepentingan negara
haruslah menjunjung kesetiaan pada bahasa Indonesia. Hal tersebut bukan menghentikan
pejabat publik untuk menggunakan bahasa asing. Bahasa asing masih memiliki peran
penting terutama dalam hubungan diplomatik dengan negara lain, tetapi sejatinya pejabat
publik mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia pada media dan fasilitas publik dalam
negeri. Kebanggaan pejabat publik dalam menggunakan bahasa Indonesia akan memicu
kepercayaan publik lebih baik. Oleh karena itu, pejabat publik juga harus memperhatikan
penggunaan bahasa Indonesia secara santun dan cermat.

c. Sebagai Wujud Aksi Bela Negara


Nasionalisme seorang warga negara, antara lain diukur berdasarkan kecintaan
kepada Tanah Air-nya dan sikap positif terhadap bahasanya. Sikap positifnya terhadap
bahasa tecermin dari kebanggaannya dalam menggunakan bahasa nasionalnya. Dewasa ini,
rakyat Indonesia sepertinya tidak bangga lagi ber-Tanah Air Indonesia, sudah enggan
menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Indikasi ini, antara lain, terlihat
dari pembedaan perlakuan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dibandingkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Oleh karena itu, pejabat publik harus
menjadi figur yang mencontohkan kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia.
Kasus umum seperti yang disebutkan di atas merupakan salah satu bagian dari
berbagai permasalahan kebahasaan yang melanda bangsa ini. Namun demikian, yang
menjadi titik fokus saat ini adalah mengembalikan kejayaan bahasa Indonesia melalui
konsep UKBI yang diharapkan akan menumbuhkan nasionalisme bahasa dari pejabat
publik negara Indonesia dan menjadi bagian dari aksi bela negara. Sudah semestinya
UKBI menjadi hal yang utama dan perlu digalakkan kepada para pejabat publik sebagai
bukti rasa nasionalismenya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh
sebab itu, semua pihak, terutama pemerintah perlu bersikap positif terhadap kebijakan
politik bahasanya.
Wujud sikap positif salah satunya, pemerintah harus tegas dan berani menjadikan
UKBI sebagai syarat menjadi pejabat publik sehingga akan tercipta suasana cinta dan
bangga terhadap bahasa. Tuntutan bersikap positif terhadap bahasa Indonesia merupakan
amanat UUD 1945, UU RI Nomor 24 Tahun 2009 (tentang kebahasaan), dan Permen
Nomor 57 Tahun 2014 (tentang pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan
sastra serta peningkatan fungsi bahasa). Jika kebijakan itu, tidak mau dilaksanakan oleh
pemerintah, sampai kapan pun kualitas kebahasaan pejabat publik berada di bawah
standar.

SIMPULAN
Uji Kemahiran Bahasa Indonesia, selain sebagai alat untuk menguji kemahiran
berbahasa Indonesia, diakui memang telah ikut berperan dalam pemartabatan bahasa
Indonesia. Secara umum, materi UKBI adalah penggunaan bahasa Indonesia dalam
berbagai situasi dan laras, seperti sejarah, kebudayaan, hukum, teknologi, dan ekonomi.
Materi tersebut berasal dari berbagai sumber, baik wacana komunikasi lisan sehari-hari di
masyarakat maupun wacana tulis di berbagai media massa, buku acuan, dan tempat umum.
Pejabat publik sudah seharusnya mengutamakan sikap bahasa tersebut. Bahasa merupakan
identitas suatu negara, pejabat publik yang bekerja untuk kepentingan negara haruslah
menjunjung kesetiaan pada bahasa Indonesia. Kesetiaan itu bukan hanya menggunakan
bahasa Indonesia sehari-hari, tetapi menggunakannya dengan baik dan benar. Oleh karena
itu, UKBI tepat dijadikan tes yang menguji kemahiran berbahasa pejabat publik dan sudah
selayaknya menjadi standar dalam penyeleksian pejabat publik.

DAFTAR PUSTAKA
Coronel-Molina, Serafin M. 2009. MONOGRAPH (2009, pp.164)Definitions and Critical
Literature Review of Language Attitude, Language Choice and Language Shift: Samples of
Language Attitude Surveys. Diunduh dari
https://scholarworks.iu.edu/dspace/bitstream/handle/2022/3785/Defi nitions-Critical-Review-
of-Topics-in-Sociolinguistics.pdf pada 23 Februari 2017.
Denhardt,K.G.(1988).The Ethics of Public Service: Resolving Moral Dilemmas in the Public
Organizations. New York: GreewoodPress.
Fasold, Ralph. 1987 The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.
Halim, Amran. 1983. Pembinaan Bangsa Indonesia. Jakarta: Gramedia Ridwan
Maani, KarjuniD.(2010).Etika PelayananPublik.DEMOKRASI,4(1).
Maryanto. 2007. Tes UKBI dan Pengajaran BIPA. Jakarta: Pusat Bahasa.
Mukti, Wijang Iswara dkk. (2017). Pengajaran BIPA dan Tes Ukbi Dalam Upaya Menjaga
Eksistensi Bahasa Indonesia Di Era Masyarakat Ekonomi Asean. The 1st Education and
Language International Conference Proceedings Center for International Language
Development of Unissula. Mei 2017.
Pasolong,H.(2007).Teori Administrasi Publik.Alfabeta.
Pusat Bahasa. 2007. Buklet UKBI, Edisi Kedua. Jakarta: Pusat Bahasa.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat. Jakarta:
Gramedia.
Pusat Bahasa. Bedah Soal UKBI, Seri Pelatihan, Edisi Ketiga. Jakarta: Koperasi Primer Pusat
Bahasa.
Rezha,Fahmi.,et.al.(2013).Analisis PengaruhKualitasPelayananPublik
TerhadapKepuasanMasyarakat
(Studi Tentang Pelayanan PerekamanKartuTandaPenduduk Elektronik(E-KTP)DiKotaDepok
Ubaedillah, A & Rozak, A. (2008). Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
https://news.detik.com/berita/d-4917515/para-pejabat-diminta-hati-hati-bicara-ke-publik-
jangan-bikin-gaduh.
Yance, Imelda dkk. 2016. “Sikap Bahasa Pengembang Perumahan di Riau”. Laporan Penelitian
Balai Bahasa Riau.

Anda mungkin juga menyukai