Anda di halaman 1dari 152

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.K DAN Tn.

S
YANG MENGALAMI ISOLASI SOSIAL DENGAN
PEMBERIAN STRATEGI PELAKSANAAN 1 SAMPAI 4
DI RUANG SADEWA RUMAH SAKIT JIWA
DAERAH Dr. ARIF ZAINUDDIN
SURAKARTA

DI SUSUN OLEH :

CHANDRA GILBERT LODA

NIM.P14068

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.K DAN Tn.S
YANG MENGALAMI ISOLASI SOSIAL DENGAN
PEMBERIAN STRATEGI PELAKSANAAN 1 SAMPAI 4
DI RUANG SADEWA RUMAH SAKIT JIWA
DAERAH Dr. ARIF ZAINUDDIN
SURAKARTA

Proposal Karya Ilmiah

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program


Diploma Tiga Keperawatan

DI SUSUN OLEH :

CHANDRA GILBERT LODA

NIM.P14068

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017

i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Chandra Gilbert Loda

NIM : P14068

Program Studi : D3 Keperawatan

Judul Karya Tulis Ilmiah : As uhan Kep eraw at an P ada Tn.K D an


Tn.S Yang M en gal a m i Isolasi Sosial Dengan
Pemberian Strategi Pelaksanaan 1 Sampai 4 Di Ruang
Sadewa Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Arif Zainuddin
Surakarta.
.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
dengan ketentuan akademik yang berlaku.

Surakarta, Juli 2017


Yang Membuat pernyataan
Materai 6000

CHANDRA GILBERT LODA


NIM . P14068

ii
MOTTO

Kesuksesan hanya dapat diraih dengan segala upaya dan usaha yang disertai

dengan doa, karena sesungguhnya nasib seseorang manusia tidak akan berubah

dengan sendirinya tanpa berusaha dan percayalah usaha tidak akan mengkhiyanati

hasil.

iii
LEMBAR PERSETUJUAN

AS UH AN KE PE RA WAT AN PADA T n .K DAN T n .S YAN G


ME NGAL A MI ISOLASI SOSIAL DENGAN PEMBERIAN STRATEGI
PELAKSANAAN 1 SAMPAI 4 DI RUANG SADEWA RUMAH SAKIT JIWA
DAERAH Dr. ARIF ZAINUDDIN SURAKARTA

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Ahli Madya
Keperawatn (Amd. Kep.)

Oleh :

CHANDRA GILBERT LODA


P14068

Surakarta, 25 April 2017

Menyetujui,

Pembimbing

Joko Kismanto S.Kep., Ns


NIK. 200670020

iv
LEMBAR PENETAPAN DEWAN PENGUJI

Telah Di Uji Pada Tanggal :

Dewan Penguji :

Ketua : ( )

1.

Anggota : ( )

2.

v
HALAMAN PENGESAHAN

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :

Nama : Chandra Gilbert Loda

Nim : P14068

Program Studi : DIII Keperawatan

Judul : As uhan Kepe raw a t an P ada Tn.K D a n Tn.S


Yan g M en gal am i Isolasi Sosial Dengan Pemberian Strategi
Pelaksanaan 1 Sampai 4 Di Ruang Sadewa Rumah Sakit Jiwa
Daerah Dr. Arif Zainuddin Surakarta.

Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan

Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah

Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta

Ditetapkan di :

Hari/Tanggal :

DEWAN PENGUJI

Ketua : ( )

1. Anggota : ( )

Mengetahui

Ketua Program Studi DIII Keperawatan

STIKes Kusuma Husada Surakarta

Ns. Meri Oktariani, M. Kep


NIK. 200981037

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Isolasi Sosial Rumah
Sakit Jiwa Daerah Dr. Arif Zainuddin Surakarta”

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat:

1. Ns. Wahyu Rima Agustin M.Kep, selaku Ketua STIkes yang telah
memberikan kesempatan untuk dapat membina ilmu di STIkes Kusuma
Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktariani M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan
yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes
Kusuma Husada Surakarta.
3. Ns. Erlina Windyastuti. M.Kep, selaku sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
4. Joko Kismanto S.Kep., Ns selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
5. selaku dosen penguji yang telah membimbing
dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan
nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi
kasus ini.
6. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan
wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.

vii
7. Kedua orangtuaku yang selaku menjadi inspirasi dan memberikan
semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.

Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu


keperawatan dan kesehatan. Amin.

Surakarta, 25 April 2017

Chandra Gilbert Loda

viii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i


PERNYTAAN TIDAK PLAGIATISME ................................................ ii
MOTTO .................................................................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................... iv
LEMBAR PENETAPAN DEWAN PENGUJI....................................... v
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
DAFTAR ISI.............................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah................................................................. 3
1.3 Rumusan Masalah ............................................................. 4
1.4 Tujuan ................................................................................ 4
1.5 Manfaat .............................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Perilaku Kekerasan ..................................... 7
2.1.1 Definisi ............................................................................ 7
2.1.2 Etiologi ............................................................................ 8
2.1.3 Patofisiologi .................................................................... 12
2.1.4 Pathway ........................................................................... 13
2.1.5 Manifestasi Kllinik.......................................................... 13
2.1.6 Komplikasi ...................................................................... 14
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang................................................... 15
2.1.8 Penatalaksanaan............................................................... 15

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan ............................................ 18


2.2.1 Pengkajian ....................................................................... 18
2.2.2 Masalah Keperawatan ..................................................... 23
2.2.3 Intervensi......................................................................... 23
2.2.4 Implementasi Keperawatan ............................................. 24
2.2.5 Evaluasi ........................................................................... 25

ix
BAB III METODE STUDI KASUS
3.1 Desain Studi Kasus............................................................. 26
3.2 Batasan Istilah .................................................................... 26
3.3 Partisipan............................................................................ 26
3.4 Lokasi dan Waktu............................................................... 26
3.5 Pengumpulan Data ............................................................. 27
3.6 Uji Keabsahan Data............................................................ 28
3.7 Analisa Data ....................................................................... 28
3.8 Kesimpulan......................................................................... 29
BAB IV HASIL
4.1 Gambaran lokasi pengambilan data ................................... 30
4.2 Pengkajian .......................................................................... 30
4.3 Analisa Data ....................................................................... 38
4.4 Diagnosa Keperawatan....................................................... 29
4.5 Intervensi Keperawatan...................................................... 41

BAB V PEMBAHASAN
5.1 pengkajian .......................................................................... 51
5.2 Diagnosa Keperawatan....................................................... 62
5.3 Intervensi............................................................................ 63
5.4 Implementasi ...................................................................... 64
5.5 Evaluasi .............................................................................. 69

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan......................................................................... 72
6.2 Saran................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar 2 Pohon masalah ................................................................ 14

xi
LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar konsultasi

Lampiran 2. Daftar riwayat hidup

Lampiran 3. Lembar audience

xii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa bukan hanya suatu keadaan tidak gangguan jiwa

melainkan mengandung berbagai karakteristik yang bersifat positif yang

menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang

mencerminkan kedewasaan kepribadian yang bersangkutan. Kesehatan jiwa

merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,

intelektual, emosional yang optimal dari seseorang, dan perkembangan itu

selaras dengan perkembangan orang lain. Sehat adalah keadaan yang

sempurna baik fisik, mental maupun sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa

penyakit atau kelemahan, tidak hanya terbebas dari penyakit serta kelemahan

atau secukupnya. Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang

secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan

dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia.

Di era globalisasi akan terjadi berbagai masalah pada masyarakat baik fisik

maupun kejiwaan. (Keliat, 2011).

Gambaran menurut penelitian WHO (2009), prevalensi masalah

kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, sekitar 10% orang dewasa mengalami

gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk dunia diperkirakan akan

mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu hidupnya. Usia ini biasanya

terjadi pada dewasa muda antara 18-20 tahun 1% diantaranya adalah

1
2

gangguan jiwa berat, potensi seseorang mudah terserang gangguan jiwa

memang tinggi, setiap saat 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak

permasalahan jiwa, saraf maupun perilaku. Prevalensi isolasi sosial didunia

0,1 per mil dengan tanpa memandang perbedaan status sosial atau budaya.

National Institute of Mental Health gangguan jiwa mencapai 13%

dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi

25% di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya

prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai Negara.

Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004,

diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18-30 tahun atau lebih

mengalami gangguan jiwa, jika prevalensi gangguan jiwa diatas 100 jiwa per

1000 penduduk dunia, maka berarti di Indonesia mencapai 264 per 1000

penduduk.

Indonesia sendiri menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun

2013 jumlah seluruh responden dengan tipe gangguan jiwa berat sebanyak

1,7%. Dengan prevalensi psikosis tertinggi berada di DI Yogyakarta dan

Aceh masing-masing 2,7 %. Sedangkan yang terendah di Kalimantan barat

sebanyak 0,7 % dan di Jawa Tengah sebanyak 2,3 %. Prevalensi penduduk

yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional adalah 6,0 %

(37.728 orang) dari subyek yang dianalisis. Provinsi dengan prevalensi

gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah (11,6 %),

sedangkan yang terendah di Lampung (1,2 %) dan untuk di Jawa Tengah

sebesar (4,7%) (Kemenkes RI, 2013).


3

Hasil Riset Dasar Kesehatan Nasional Tahun 2007, menyebutkan

bahwa sebanyak 0,46 per mil masyarakat Indonesia mengalami gangguan

jiwa berat. Mereka adalah yang diketahui mengidap skizofrenia dan

mengalami gangguan psikotik berat. Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di

Indonesia terdapat di Provisi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (24,3%), di

ikuti Nangroe Aceh Darussalam (18,5%), Sumatra Barat (17,7%), NTB

(10,9%), Sumatera Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah (6,8%). Kebijakan

Pemerintah dalam menangani pasien gangguan jiwa tercantum dalam

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan jiwa, disebutkan

dalam pasal 149 ayat (2) mengatakan bahwa Pemerintah dan masyarakat

wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan

bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam

keselamatan dirinya dan mengganggu ketertiban atau keamanan umum,

termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa

untuk masyarakat miskin (Depkes RI, 2010).

1.2 Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini di batasi pada Asuhan Keperawatan

pada Tn.K dan Tn.S yang mengalami Isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa

Daerah dr. Arif Zainuddin Surakarta.


4

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan keperawatan pada Tn.K dan Tn.S dengan

isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainuddin Surakarta.

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan umum

Tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu

melakukan asuhan keperawatan pada Tn.K dan Tn.S dengan Isolasi

Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainuddin Surakarta.

1.4.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus dan perumusan yang hendak dicapai adalah

kemampuan untuk:

a. Mampu melakukan pengkajian pada Tn.K dan Tn.S dengan Isolasi

Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainuddin Surakarta.

b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn.K dan Tn.S

dengan Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif

Zainuddin Surakarta.

c. Mampu menyususn keperawatan pada Tn.K dan Tn.S dengan

Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainuddin

Surakarta.
5

d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada Tn.K dan Tn.S

dengan Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif

Zainuddin Surakarta.

e. Mampu melakukan evaluasi pada Tn.K dan Tn.S dengan Isolasi

Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainuddin Surakarta.

1.5 Manfaat Teoritis dan Praktis

1.5.1 Teoritis

Proposal ini di harapkan dapat memberikan informasi mengenai

Isolasi Sosial pada masyarakat umum sehingga masyarakat dapat lebih

waspada terhadap penyebab dan faktor resiko sehingga dapat mencegah

terjadinya Isolasi Sosial.

1.5.2 Praktis

1. Bagi Penulis

Sebagai tambahan pengalaman dan pengetahuan bagi penulis

dalam penerapan ilmu keperawatan jiwa yang telah didapatkan selama

pendidikan.

2. Bagi Perawat

Sebagai masukan bagi perawat pelaksana di Unit Pelayanan

Keperawatan Jiwa dalam rangka mengambil kebijakan untuk

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya pada klien yang

mengalami perubahan proses pikir isolasi sosial.

3. Bagi Institusi Pendidikan


6

Sebagai sumber informasi dan bahan bacaan pada kepustakaan

institusi dalam meningkatkan mutu pendidikan pada masa yang akan

datang di bidang keperawatan.

4. Bagi Rumah Sakit

Hasil ini akan dapat digunakan sebagai data tambahan

berikutnya yang terkait dengan penerapan strategi pelaksanaan pada

pasien dengan isolasi sosial untuk meningkatkan kemampuan

berinteraksi dengan orang lain.


BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1 Konsep Dasar Isolasi Sosial

2.1.1. Definisi Isolasi Sosial

Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami

penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan

orang lain disekitarnya. Klien mungkin merasa ditolak, tidak terima,

kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan

orang lain (Deden dan Rusdi,2013,Hal.34 ).

Isolasi sosial juga merupakan kesepian yang dialami oleh

individu dan dirasakan saat didorong oleh keberadaan orang lain dan

sebagai pernyataan negative atau mengancam (Teguh Purwanto, 2012).

Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal

yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang

menimbulkan prilaku maladaktif dan mengganggu fungsi seseorang

dalam hubungan sosial ( Depkes RI, 2010 ).

Menarik diri adalah suatu keadaan pasien yang mengalami

ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain atau

dengan lingkungan di sekitarnya secara wajar dan hidup dalam khayalan

sendiri yang tidak realistis (Erlinafsiah,2010,Hal.101).

7
8

2.1.2. Etiologi

1) Faktor Predisposisi

a) Faktor Tumbuh Kembang

Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas

perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam

hubungan sosial. Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak

terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang

nantinya akan dapat menimbulkan masalah.

b) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga

Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor

pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori

ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga

menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana seorang

anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam

waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga

yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar

keluarga.

c) Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari dari lingkungan

sosial merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam

hubungan sosial. Hal ini di sebabkan oleh norma-norma yang salah

dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota yang tidak produktif


9

seperti usia lanjut, penyakit kronis, dan penyandang cacat diasingkan

dari lingkungan sosialnya.

d) Faktor Biologis

Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan

hubungan social adalah otak, misalnya pada klien Isolasi sosial yang

mengalami masalah dalam hubungan social memiliki struktur yang

abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan

bentuk sel-sel.

2) Faktor Presipitasi

a) Faktor Eksternal

Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang

ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.

b) Faktor Internal

Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress terjadi

akibat ansietas atau kecemasan yang berkepanjangan dan terjadi

bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk

mengatasinya (Ade Herman Surya Direja,2011,Hal.123).

3) Perilaku

Perilaku pada klien gangguan social menarik diri yaitu: kurang

sopan, apatis, sedih, afek tumpul, kurang perawatan diri, komunikasi

verbal turun, menyendiri, kurang peka terhadap lingkungan, kurang


10

energy, harga diri rendah dan sikap tidur seperti janin saat tidur.

Sedangkan perilaku pada gangguan sosial curiga meliputi tidak

mempercayai orang lain, sikap bermusuhan, mengisolasi diri dan paranoia.

Kemudian perilaku pada klien dengan gangguan social manipulasi adalah

kurang asertif, mengisolasi diri dari lingkungan, harga diri rendah, dan

sangat tergantung pada orang lain (Sujono Riyadi dan Teguh

Purwanto,2013,Hal.157).

4) Rentang Respon

Rentang respon berhubungan dapat berfluktuasi dari respons

berhubungan adaktif samapai maladaktif

Respon Adaktif Respon Maladaktif

Menyendiri/solitude Merasa sendiri Manipulasi

Otonomi Menarik diri Impulsif

Bekerja sama Tergantung Narcissm

Saling tergantung

(interdependen)

Gambaran 2.1 Rentang Respon


(Rusdi, 2013)

Keterangan :

1. Respon Adaktif
11

Respon individu dalam menyelesaikan masalah yang masih dapat

di terima oleh norma-norma sosial dan budaya yang umum berlaku ( masih

dalam batas normal ), meliputi:

a) Menyendiri/solitude

Respon seseorang untuk merenungkan apa yang telah

dilakukan dilingkungan sosial dan juga suatu cara mengevaluasi diri

untuk menentukan langkah berikutnya.

b) Otonomi

Kemampuang individu menentukan dan menyampaikan ide,

pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.

c) Bekerja Sama

Kondisi hubungan interpersonal dimana individu mampu

untuk saling member dan menerima.

d) Saling Tergantung (interdependen)

Suatu hubungan saling tergantung antar individu dengan

orang lain dalam membina hubungan interpersonal.

2. Respon Maladaptif

Respon individu dalam penyelesaianmasalah menyimpang dari

norma-norma sosial dan budaya lingkungannya, meliputi:

a) Manipulasi
12

Orang lain diperlakukan sebagai objek, hubungan terpusat

pada masalah pengendalian orang lain dan individu cenderung

berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang lain.

b) Implusif

Tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari

pengalaman, dan tidak dapaat diandalkan.

c) Narkisme

Harga diri yang rapuh, secara terus-menerus berusaha

mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap egosentris, pencemburu,

marah jika orang lain tidak mendukung (Deden Dermawan

Rusdi,2013,Hal.35).

2.1.3. Patofisiologi

Menurut Stuart and Sundeen (2012). Salah satu gangguan

berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi social

yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga, yang bias dialami klien

dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan,

kekecewaan dan kecemasan.

Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit dalam

mengembangan hubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi


13

regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan kurangnya

perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri.

Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa

lalu serta tingkah laku primitive antara lain pembicaraan yang autistic dan

tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut

menjadi halusinasi (Ernawati Dalami dkk,,2012,Hal.10).

2.1.4. Pathway

Gambar 2.2 Pathway Isolasi Sosial


(Dermawan, 2013)

2.1.5. Manifestasi Klinis

1. Tanda dan Gejala

Observasi yang dilakukan pada klien dengan isolasi social

akan ditemukan data objektif meliputi apatis, ekspresi wajah sedih, afek

tumpul, menghindar dari orang lain, klien tampak memisahkan diri dari

orang lain, komunikasi kurang, klien tampak tidak bercakap-cakap


14

dengan klien lain atau perawat, tidak ada kontak mata atau kontak mata

kurang, klien lebih sering menunduk, berdiam diri dikamar. Menolak

berhubungan dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari-hari,

meniru posisi janin pada saat lahir, sedangkan untuk data Subjektif

sukar didapat, jika klien menolak komunikasi, beberapa data subjektif

adalah menjawab dengan singkat dengan kata-kata “tidak, “ya” dan

tidak tahu”.

2. Mekanisme Koping

Individu yang mengalami respon social maladaktif

menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi

ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah

hubungan yang spesifik (Gail,W Stuart 2011).

Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian

antisocial antara lain proyeksi, splitting dan merendahkan orang lain,

koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang

splitting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain,

merendahkan orang lain dan identifikasi proyeksi.

3. Sumber koping

Menurut Gail W. Stuart 2011, sumber koping berhubungan

dengan respon social mal-adaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan

keluarga yang luasan teman, hubungan dengan hewan peliharaan dan

penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan stress interpersonal


15

misalnya kesenian, music atau tulisan (Ernawati Dalami

dkk,2013,Hal.10).

2.1.6. Komplikasi

Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan

dan tingkah laku masa lalu primitive antara lain pembicaraan yang autistic

dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat

lanjut menjadi resiko gangguan sensori persepsi: halusinasi, mencederai

diri sendiri, orang lain serta lingkungan dan penurunan aktivitas sehingga

dapat menyebabkan defisit perawatan diri (Deden Dermawan dan

Rusdi,2013,Hal.40).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Minnesolla Multiphasic Personality Inventory (MMPI)

Adalah suatu bentuk pengujian yang dilakukan oleh psikiater dan

psikolog dalam menentukan kepribadian seseorang yang terdiri dari 556

pernyataan benar atau salah.

2. Elektroensefalografik (EEG)

Suatu pemeriksaan dalam psikiatri untuk membantu membedakan antara

etiologi fungsional dan organik dalam kelainan mental.

3. Test laboratorium kromosom darah untuk mengetahui apakah gangguan

jiwa disebabkan oleh genetik.


16

4. Rontgen kepala untuk mengetahui apakah gangguan jiwa disebabkan

kelainan struktur anatomi tubuh.

2.1.8. Penatalaksanaan

1. Obat anti psikotik

a. Clorpromazine (CPZ)

Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam

kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai

norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi -

fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku

yang aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi

kehidupan sehari -hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan

melakukan kegiatan rutin.

Efek samping: Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi,

antikolinergik/ parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan

defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler

meninggi, gangguan irama jantung), gangguan ekstra piramidal

(distonia akut, akatshia, sindromaparkinson/tremor, bradikinesia

rigiditas), gangguan endokrin, metabolik, hematologik, agranulosis,

biasanya untuk pemakaian jangka panjang.

b. Haloperidol (HLD)

Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita

dalam fungsi netral serta dalam fungsi kehidupan sehari –hari.


17

Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan

otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatik, mulut kering,

kesulitan miksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan

intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).

c. Trihexy phenidyl (THP)

Indikasi:Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska

ensepalitis dan idiopatik,sindrom parkinson akibat obat misalnya

reserpin dan fenotiazine.

Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan

otonomik (hypertensi, anti kolinergik/ parasimpatik, mulut kering,

kesulitanmiksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan

intra oluker meninggi, gangguan irama jantung)

2. Therapy Farmakologi

3. Electro Convulsive Therapi

Electro Convulsive Therapi (ECT) atau yang lebih dikenal

dengan Elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan

energy shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT

ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada

obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan oleh

2 orang neurologist italia Ugo Cerletti dan Lucio Bini pada tahun 1930.

Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia mendapat terapi ECT setiap

tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu.


18

ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang

dapat memberi efek terapi (Therapeutic Clonic Seizure) setidaknya 15

detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang

kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme

pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan

memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat

meningkatkan kadar serum Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF)

pada pasien depresi yang tidak responsive terhadap terapi farmakologis.

4. Terapi Kelompok

Therapy kelompok merupakan suatu psikotherapy yang

dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu

sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau

petugas kesehatan jiwa. Therapy ini bertujuan memberi stimulus bagi

klien dengan ganggua interpersonal.

5. Terapi Lingkungan

Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek

lingkungan harus mendapat perhatian khusus dalam kaitannya untuk

menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat

dengan stimulus psikologi seseorang yang akan berdampak pada

kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak baik

pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang (Deden

Dermawan dan Rusdi,2013,Hal..40).


19

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

a. Faktor Predisposisi

Faktor-faktor predisposisi terjadinya gangguan hubungan sosial,

adalah:

1. Faktor Perkembangan

Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas

perkembangan yang harus dilalui individu dengan sukses agar

tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Tugas

perkembangan pada masing-masing tahap tumbuh kembang ini

memiliki karakteristik sendiri. Apabila tugas ini tidak terpenuhi,

akan mencetuskan seseorang sehingga mempunyai masalah

respon sosial maladaptif.

System keluarga yang terganggu dapat menunjang perkembangan

respon social maladaktif. Beberapa orang percaya bahwa individu

yang mempunyai masalah ini adalah orang yang tidak berhasil

memisahkan dirinya dan orang tua. Norma keluarga yang tidak

mendukung hubungan keluarga dengan pihak lain diluar keluarga.

2. Faktor Biologis

Genetic merupakan salah satu factor pendukung gangguan jiwa.

Berdasarkan hasil penelitian, pada penderita isolasi sosial 8%

kelainan pada struktur otak, seperti atrofi, pembesaran ventrikel,


20

penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur lmbik

diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

3. Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini

akibat dan norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap

orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak

produktif, seperti lansia, orang cacat, dan penyakit kronik. Isolasi

dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku, dan system nilai

yang berbeda dan kelompok budaya mayoritas. Harapan yang

tidak realistis terhadap hubungan merupakan factor lain yang

berkaitan dengan gangguan ini.

4. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga

Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan factor

pendukung untuk terjadinya gangguan dalam berhubungan sosial.

Dalam teori ini termasuk masalah komunikasi yang tidak jelas

yaitu suatu keadaan dimana seseorang anggota keluarga

menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu

bersamaan, ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang

menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar

keluarga.

b. Stressor Presipitasi

Stressor presipitasi umumnya mencakup kejadian kehidupan

yang penuh stress sperti kehilangan, yang mempengaruhi kemampuan


21

individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan

ansietas. Stressor presipitasi dapat dikelompokkan dalam kategori :

1. Stressor Sosial Budaya

Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa factor antara factor lain

dan factor keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga

dan berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya,

misalnya dirawat di rumah sakit.

2. Stressor Psikologis

Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya

kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain.

Intensitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai

terbatasnya kemampuan individu mengatasi masalah diyakini

akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan

(isolasi sosial).

c. Perilaku

Adapun perilaku yang bisa mucul pada isolasi sosial berupa :

kurang spontan, apatis (kurang acuh terhadap lingkungan), ekspresi

wajah kurang berseri (ekspresi sedih), afek tumpul. Tidak merawat

dan memperhatikan kebersihan diri, komunikasi verbal menurun atau

tidak ada. Klien tidak bercakap-cakap dengan klien lain atau perawat,

mengisolasi diri (menyendiri). Klien tampak memisahkan diri dan

orang lain, tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.

Pemasukan makanan dan minuman terganggu, retensi urine dan feses,


22

aktivitas menurun, kurang energi (tenaga), harga diri rendah, posisi

janin saat tidur, menolak hubungan dengan orang lain. Klien

memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.

d. Sumber Koping

Sumber koping yang berhubungan dengan respon sosial

maladaktif termasuk : keterlibatan dalam berhubungan yang luas di

dalam keluarga maupun teman, menggunakan kreativitas untuk

mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, music, atau

tulisan.

e. Mekanisme Defensif

Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi

kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam

dirinya. Mekanisme yang sering digunakan pada isolasi sosial adalah

regresi, represi, dan isolasi.

1. Regresi adalah mundur kemasa perkembangan yang telah lain

2. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang tidak

dapat diterima, secara sadar dibendung supaya jangan tiba di

kesadaran.

3. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang

mengakibatkan timbulnya kegagalan defensif dalam

menghubungkan perilaku dengan motivasi atau pertentangan


23

antara sikap dan perilaku (Mukhripah Damaiyanti dan

Iskandar,2012,Hal.82).

Untuk mengkaji pasien isolasi sosial, kita dapat

menggunakan wawancara dan observasi kepada pasien dan keluarga.

f. Tanda dan Gejala

a. Gejala Subjektif :

1) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang

lain.

2) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.

3) Respons verbal kurang dan sangat singkat.

4) Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang

lain.

5) Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.

6) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.

7) Klien merasa tidak berguna

8) Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.

9) Klien merasa ditolak.

b. Gejala Objektif :

1) Klien banyak diam dan tidak mau bicara.

2) Tidak mengikuti kegiatan.

3) Banyak berdiam diri dikamar.

4) Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang

yang terdekat.
24

5) Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.

6) Kontak mata kurang.

7) Kurang spontan.

8) Apatis (acuh terhadap lingkungan).

9) Ekspresi wajah kurang berseri.

10) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.

11) Mengisolasi diri.

12) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.

13) Masukan makan dan minuman terganggu.

14) Aktivitas menurun.

15) Kurang energy (tenaga).

16) Rendah diri.

17) Postur tubuh berubah, misalnya sikap fectus/janin (khususnya

pada posisi tidur) (Iyus Yosep,2011,Hal.231).

2.2.2 Masalah Keperawatan

1. Isolasi Sosial

2.2.3 Intervensi

Diagnosa : Isolasi Sosial

Tujuan : Klien dapat membina hubungan saling percaya

Intervensi : 1. Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan

prinsip komunikasi Terapeutik


25

2. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal

3. Perkenalkan diri dengan sopan

4. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang

disukai klien

5. Jelaskan tujuan pertemuan

6. Jujur dan menepati janji

7. Tunjukkan sifat empati dari menerima klien apa adanya

8. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan

dasar klien

Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran

hubungan interaksi selanjutnya (Mukhripah Damaiyanti dan

Iskandar,2012,Hal.86).

2.2.4 IMPLEMENTASI
Diagnosa : Isolasi Sosial
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial
2. Berdiskusi dengan klien tentang keuntungan bila berhubungan dengan
orang lain
3. Berdiskusi dengan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan
dengan orang lain
4. Mengajarkan klien cara berkenalan
5. Menganjurkan klien memasukkan kegiatan latihan berkenalan ke
dalam kegiatan harian
(Damaiyanti, 2012).

5. EVALUASI
Diagnosa : Isolasi Sosial
26

Ekspresi wajah bersahabat menunjukkan rasa senang, ada kontak mata,


mau berjabat tangan, mau menjawab salam, klien mau berdampingan dengan
perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi (Damaiyanti, 2012).
BAB III

METODE STUDI KASUS

3.1 Desain Studi Kasus

Studi kasus merupakan metode pengumpulan data secara

komprehensif yang meliputi aspek fisik dan psikologis individu, dengan tujuan

memperoleh pemahaman secara mendalam. Studi kasus ini adalah studi untuk

mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami

Isolasi Sosial.

3.2 Batasan Masalah

Asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Isolasi Sosial maka

penyusun studi kasus harus menjabarkan tentang konsep Isolasi Sosial.

Batasan istilah disusun secara naratif dan apabila diperlukan tambahan

informasi kualitatif sebagai penciri dari batasan yang dibuat penulis.

3.3 Partisipan

Subyek studi dalam kasus ini adalah pasien yang mengalami Isolasi

Sosial di Rumah Sakit dr. Arif Zainudin Surakarta.

3.4 Lokasi dan Waktu

Pada kasus ini tempat pengambilan kasus dilakukan di Rumah Sakit

dr. Arif Zainudin Surakarta dan waktu pelaksanaan studi kasus ini secara

keseluruhan membutuhkan waktu 2 minggu dari tanggal 22 Mei 2017 – 3

Juni 2017.

26
27

3.5 Pengumpulan Data

Sehubungan dengan pendekatan penelitian diatas, teknik

pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian lapangan (field research), dilakukan dengan cara mengunjungi

langsung ke objek penelitian yaitu Rumah Sakit dr. Arif Zainudin. Metode

pengumpulan data yang digunakan adalah :

1. Teknik pengumpulan data primer

Pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian

atau objek yang diteliti. Dalam hal ini data diperoleh dengan cara-cara

sebagai berikut:

a. Observasi adalah melakukan pengamatan secara langsung pada

objek penelitian terhadap pasien yang mengalami masalah Isolasi

Sosial.

b. Wawancara adalah melakukan tanya-jawab dengan pihak-pihak

yang berhubungan dengan masalah penelitian wawancara

dinyatakan sebagai suatu percakapan dengan bertujuan untuk

memperoleh kontruksi yang terjadi sekarang tentang orang,

kejadian, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan,

kerisauan dan sebagainya. peneliti melakukan pengkajian terhadap

pasien ( hasil pengkajian berisi tentang identitas klien, alasan

masuk, faktor predisposisi dan lain-lain) sumber data dari klien,

keluarga dan perawat lainnya.


28

2. Teknik pengumpulan data sekunder merupakan teknik pengumpulan data

yang dilakukan melalui studi bahan-bahan kepustakaan yang perlu untuk

mendukung data primer (data lain yang relevan). Pengumpulan data

sekunder dapat dilakukan dengan instrumen sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (Library research) adalah pengumpulan data

yang dilakukan dari buku-buku, karya ilmiah, pendapat ahli yang

memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.

b. Studi Dokumentasi (Documentary) adalah pengumpulan data yang

diperoleh dengan menggunakan catatan-catatan tertulis yang ada di

lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang menyangkut

masalah diteliti dengan instansi yang terkait.

3.6 Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dimaksud dengan mengambil data baru (here and

now) dengan menggunakan instrumen pengkajian yang sesuai sehingga

menghasilkan data dengan validitas tinggi. Pengkajian menggunakan klien,

perawat dan keluarga klien sebagai sumber informasi dan sumber

dokumentasi. Menegakkan diagnosa NANDA keperawatan intervensi NIC

NOC, implementasi strategi pelaksanaan (SP), evaluasi dengan menggunakan

evaluasi formatif dan evaluasi surmatif.

3.7 Analisa Data

Setelah melakukan asuhan keperawatan akan dilakukan analisa data

dengan metode membandingkan antara tindakan yang dilakukan dengan

jurnal penelitian dan teori didalam buku.


29

1. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.

Hasil ditulis dalam bentuk transkip (catatan terstruktur).

2. Mereduksi Data

Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan

dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data

subjektif dan objektif dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik

kemudian dibandingkan nilai normal.

3. Penyajian Data

Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan maupun

teks naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan

identitas dari klien.

3.8 Kesimpulan

Dari data yang disajikan kemudian data dibahas dan dibandingkan

dengan Isolasi kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode

induksi. Data yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis,

perencanaan, tindakan dan evaluasi.


BAB IV

HASIL

4.1 Gambaran lokasi pengambilan data

Pengambilan data ini dilakukan di rumah sakit dr. Arif Zainudin Surakarta.

Pasien dirawat di ruang Sadewa dengan kondisi ruangan yang bersih serta

lebih dekat dengan perawat ruangan. Situasi yang cukup aman bagi pasien

dan perawat ruangan. Di dapatkan 2 data pasien bernama Tn. K dan Tn. S.

4.2 Pengkajian

1. Identitas Klien

IDENTITAS KLIEN KLIEN 1 KLIEN 2


Inisial Tn. K Tn. S
Umur 37 tahun 28 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki
No. RM 0469xx 0371xx
Ruang Rawat Sadewa Sadewa
Tanggal Dirawat 27 april 2017 23 april 2017
Tanggal Pengkajian 22 mei 2017 22 mei 2017
Informan Klien dan keluarga Klien dan keluarga

30
31

2. Alasan Masuk

KLIEN 1 KLIEN 2
ALASAN MASUK Keluarga klien mengatakan klien dibawa ke RSJ
alasan klien dibawa ke RSJD Surakarta karena klien sering
dr. Arif Zainudin Surakarta menyendiri, tidak pernah
karena klien di rumah sering berinteraksi dengan orang
mengurung diri, tidak mau lain, tidak bisa tidur, tidak
makan dan kurang mau makan, tidak mau
bersosialisasi baik dengan mandi. klien mengurung diri,
orang yang berada di di kamar, tidak mau bicara
rumahnya dan tetangga karena merasa di PHK dari
sekitar. Klien tidak mau tempat kerjanya. Saat
bicara, tidak mau makan, dilakukan pengkajian tanggal
tidak mau mandi karena 27 mei 2017, klien banyak
temannya telah merebut diam, tidak mau bicara,
pacarnya. Pada saat di menundukkan kepala.
lakukan pengkajian tanggal
30 mei 2017 klien tampak
berdiam diri, menundukkan
kepala dan tidak mau bicara.

3. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi

KLIEN 1 KLIEN 2
Faktor predisposisi Klien sudah 2 kali masuk Gangguan jiwa ini sudah
rumah jiwa pada tahun 2015 dialami klien pada tahun
dan 2017. Pengobatan klien 2014 dan sudah pernah
sebelumnya berhasil dan dirawat di rumah sakit jiwa.
klien sempat bekerja sebagai Klien sudah dibawa pulang
penjual tissue galon. Klien ke rumah tapi tidak pernah di
pernah di aniaya fisik pada kontrol sehingga kambuh
saat klien berumur 35 tahun. lagi dan saat ini di bawa
Klien juga pernah pukul kembali pada tanggal 23
tetangganya pada saat klien april 2017. Pengobatan klien
berumur 36 tahun. Keluarga sebelumnya kurang berhasil.
klien tidak ada yang Klien tidak pernah
mengalami gangguan jiwa. mengalami aniaya fisik,
aniaya seksual, penolakan,
kekerasan dalam keluarga
dan tindakan kriminal.
Anggota keluarga klien tidak
ada yang mengalami
gangguan jiwa
Faktor presipitasi Faktor pancetus terjadinya Faktor pancetus terjadinya
gangguan jiwa yaitu karena gangguan jiwa yaitu karena
temannya telah merebut di PHK dari tempat kerjanya
pacarnya.
32

4. Fisik

FISIK KLIEN 1 KLIEN 2


1. TTV
Nadi 96x/ menit 84x/ menit
Tekanan darah 120/80 mmhg 120/80 mmhg
RR 20x/ menit 20x/ menit
Suhu 37o C 36o C
2. Ukur
Tinggi badan 158 cm 158 cm
Berat badan 45 kg 45 kg
3. Keluhan Fisik Tidak ada Tidak ada
Masalah keperawatan Tidak ada Tidak ada

5. Psikososial

PSIKOSOSIAL KLIEN 1 KLIEN 2


1. Genogram

Penjelasan Klien mengatakan klien Pasien tinggal serumah


anak ke 5 dari 6 bersaudara. dengan orang tuanya dan
Klien juga belum menikah kakak serta adiknya.
dan tinggal serumah dengan
bapak, kakak, dan adiknya.

Masalah Tidak ada


keperawatan Tidak ada

2. Konsep diri Klien mengatakan bagian


a. Gambaran diri tubuh yang paling disukai Klien mengatakan menyukai
adalah mata, karena kata semua anggota tubuhnya.
tetangganya mata pasien
bagus. Bagian tubuh yang
tidak disukai adalah wajah
dan rambut, karena kata
pasien kalau wajahnya jelek
dan rambutnya botak.

Klien seorang laki-laki dan Klien mengatakan belum


b. Identitas klien juga belum menikah. menikah, klien anak ke 3
dari 4 bersaudara.

Klien mengatakan klien Klien mengatakan orang tua


c. Peran anak ke 5 dari 6 bersaudara mencari nafkah, namun
dan klien bekerja sebagai semenjak ia masuk RSJ,
penjual tissue galon. klien tidak mempedulikan
perannya.

Pasien mengatakan ingin Klien mengatakan ingin


d. Ideal diri cepat sembuh dan cepat pulang dan kerja.
berkumpul dengan
33

keluarganya serta pasien


bisa kerja lagi dan menikah.

Klien mengatakan malu Klien mengatakan merasa


e. Harga diri kepada tetangga karena sedih ketika ia berhenti dari
pasien di bawa ke rumah pekerjaan sehingga klien
sakit jiwa. merasa tidak berharga
karena tidak mampu
membantu orang tuanya.
Klien menyendiri dikamar
dan tidak berinteraksi
dengan orang lain.

Harga diri rendah. Harga diri rendah.


Masalah keperawatan
Klien mengatakan orang Klien mengatakan orang
3. Hubungan sosial yang paling dekat adalah terdekat adalah ibu. Klien
ibu. Klien klien tidak mengatakan jarang
mempunyai peran serta mengikuti kegiatan
dalam kegiatan kelompok kelompok/masyarakat
masyarakat karena klien karena klien malu jika
malu dan minder jika dirinya dirinya di anggap orang
dianggap orang stress stress. Klien mengatakan
sehingga klien tidak mau males berhubungan dengan
bergaul. orang lain.

Isolasi sosial Isolasi sosial


Masalah keperawatan

4. Spiritual Klien mengatakan bahwa ia Klien mengatakan bahwa ia


a. Nilai dan tidak mengalami gangguan tidak mengalami gangguan
keyakinan. jiwa, klien meyakini dirinya jiwa, klien meyakini dirinya
sehat. sehat.

b. Kegiatan Klien mengatakan dia Klien mengatakan jarang


ibadah. dirumah maupun RSJ tetap melakukan ibadah 5 waktu.
melakukan sholat 5 waktu.

Tidak ada. Gangguan spiritual.


Masalah keperawatan

6. Status Mental

STATUS MENTAL KLIEN 1 KLIEN 2


1. Penampilan Penampilan klien rapi, Dalam berpakaian klien
pakaian bersih dan diganti kurang rapi, rambut klien
setiap hari dan berpakaian tidak tertata, rambut
sesuai. berketombe.

Masalah keperawatan Tidak ada Tidak ada

2. Pembicaraan Klien berbicara pelan dan Klien berbicara lambat tapi


lambat, cenderung diam saja jelas, terbuka.
dan menjawab pertanyaan
dengan singkat.
Kerusakan komunikasi
34

Masalah keperawatan verbal. Kerusakan komunikasi


verbal
Pasien tampak lesu, malas
3. Aktivitas motorik beraktivitas, pasien lebih Ketika berbicara kontak
sering berdiam diri dan mata klien kurang,
sering menghabiskan menyendiri, sering tidur.
waktunya ditempat tidur.

Isolasi sosial.
Masalah keperawatan Isolasi sosial.
Pasien merasa putus asa,
4. Alam perasaan berdiam diri dan tampak Klien mengatakan putus asa
ekspresi wajah sedih . karena ia tidak bisa
membantu keluarganya.
Isolasi sosial, Harga Diri
Masalah keperawatan Rendah. Harga Diri Rendah.

Datar, karena selama


5. Afek interaksi pasien lebih banyak Datar, karena selama
diam. interaksi kien diam kalau
tidak ditanya sama perawat.
Isolasi sosial.
Masalah keperawatan Isolasi sosial.
Saat berinteraksi dengan
6. Interaksi selama klien, klien lebih banyak Klien kooperatif saat
wawancara diam dan kontak mata berbicara tapi kontak mata
kurang karena klien selalu kurang.
menunduk.

Isolasi sosial.
Masalah keperawatan Tidak ada.
Klien mengatakan
7. Persepsi mendengarkan bisikan dan Klien mengatakan sering
melihat bayangan hitam. mendengar ada bisikan-
bisikan pada saat ia sendiri
dan suara itu adalah suara
wanita.
Halusinasi pendengaran dan
Masalah keperawatan penglihatan. Halusinasi pendengaran.

Proses klien sesuai. Tidak


8. Proses pikir ada tangensial maupun Klien mengalami
sirkumtansial. Pembicaraan sirkumtansial, Saat
klien jelas tidak terbelit- wawancara, pembicaraan
belit, sampai pada tujuan klien terbelit-belit tetapi
pembicaraan. sampai pada tujuan
pembicaraan.
Tidak ada
Masalah keperawatan Tidak ada
Klien ingin pulang cepat dan
9. Isi pikir dan bertemu keluarganya Klien saat ini berpikir untuk
Waham kembali. cepat pulang dan membantu
keluarganya.
Tidak ada.
Masalah keperawatan Tidak ada.
Composmentis, klien tidak
10. Tingkat kesadaran mengalami disorientasi Tingkat kesadaran klien
dan Disorientasi waktu, tempat maupun yaitu sadar penuh, klien
35

orang. Klien menyadari mampu mengingat dan


kalau dirinya dirawat RSJ. dapat menyebutkan nama
tempat dan waktu.
Tidak ada.
Masalah keperawatan Tidak ada.
Klien tidak mengalami
11. Memori gangguan memori jangka Klien mampu mengingat
panjang maupun memori yang lalu dan baru-baru
jangka pendek. Klien dapat terjadi.
mengingat dengan baik.

Tidak ada.
Masalah keperawatan Tidak ada.
Pasien mampu untuk
12. Tingkat konsentrasi berkosentrasi penuh, pasien Klien mampu berhitung
dan berhitung mampu berhitung sederhana dengan baik, saat diberi soal
dibuktikan dengan pasien penambahan, klien bisa
dapat menyebutkan menjawab dengan baik.
perhitungan dari 1-10 dan
sebaliknya 10-1.

Tidak ada. Tidak ada.


Masalah keperawatan
Pasien tidak mengalami Klien dapat menilai yang
13. Kemampuan gangguan kemampuan baik dan buruk.
penilaian penilaian.

Tidak ada. Tidak ada.


Masalah keperawatan
Klien mengatakan tau kalau Klien tidak menyadari apa
14. Daya tilik diri sekarang berada di rumah yang diderita klien. Klien
sakit jiwa tapi klien merasa sehat dan tidak perlu
mengatakan bahwa dirinya ada perawatan khusus.
tidak sakit jiwa.
Tidak ada.
Tidak ada
Masalah keperawatan

7. Kebutuhan Persiapan Pulang

Kebutuhan Persiapan KLIEN 1 KLIEN 2


Pulang
1. Makan Klie mampu makan sendiri Klien makan sehari 3 kali 1
sehari 3 kali dengan menu porsi secara mandiri.
diet yang disediakan dari
rumah sakit.

2. BAB/ BAK Klien mampu BAB/ BAK Klien mengatakan BAB/


secara mandiri tanpa BAK secara mandiri.
bantuan orang lain di toilet.

3. Mandi Klien mengatakan mandi Klien mengatakan mandi


sendiri 2 kali sehari pagi dan secara mandiri sehari 2 kali
sore. pagi dan sore.
Klien mampu berpakaian Klien mampu berpakaian
36

4. Berpakaian/ secara mandiri dan berhias secara mandiri tanpa


berhias sendiri tanpa bantuan orang bantuan orang lain.
lain.

Biasanya klien tidur siang Klien mengatakan tidur


5. Istirahat dan tidur jam 13.00 – 16.00, tidur siang dari jam 1 dan bangun
malam biasanya jam 19.00 – jam 4, kalau tidur malam
05.00. dari jam 10 dan bangun jam
5 pagi.

Klien mampu minum obat Klien minum obat secara


6. Penggunaan obat secara mandiri sesuai teratur dengan dosis yang
jadwal. benar.

Klien mengatakan jika sakit Klien mengatakan saat ini


7. Pemeliharaan klien akan pergi periksa ke rutin minum obat dan obat
kesehatan dokter. yang diminum sesuai yang
diberikan perawat.

Klien mengatakan saat di Klien mengatakan kalau di


8. Aktivitas di dalam rumah sering mencuci rumah sering membantu
rumah piring, bantu orang tua keluarganya menyapu.
menyapu halaman rumah.

Klien mengatakan kalau Klien mengatakan jarang


9. Aktivitas di luar kegiatan di luar rumah yaitu keluar rumah kecuali
rumah jual tissue galon. disruruh ibunya beli sesuatu.

Tidak ada.
Tidak ada.
Masalah keperawatan

10. Mekanisme Koping

Mekanisme Koping KLIEN 1 KLIEN 2


Adaptif - -
Maladaptif Pasien masih sering Pasien mengatakan apabila
menghindar dari orang lain. memiliki masalah lebih baik
Tidak mau mengungkapkan menghindar dari masalah
perasaannya. Kalau dirumah tersebut, dan jika ada
punya masalah, pasien masalah, pasien akan
memendam dan tidak mau memendam masalahnya itu
menceritakan ke orang lain. dan lebih baik menyendiri
dan menghindar dari orang
lain.

Masalah keperawatan Koping individu tidak Koping individu tidak


efektif. efektif.
37

11. Masalah Psikososial dan Lingkungan

KLIEN 1 KLIEN 2
Masalah Psikososial dan Klien tidak mempunyai Klien tidak mempunyai
Lingkungan masalah dengan dukungan masalah dengan dukungan
kelompok, lingkungan, kelompok, lingkungan,
pendidikan, pekerjaan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, ekonomi. perumahan, ekonomi.

12. Pengetahuan Kurang Tentang

KLIEN 1 KLIEN 2

Pengetahuan Kurang Klien mengatakan tidak tahu Klien tidak mengetahui


Tentang penyebab sakit jiwa tetapi tentang penyakit jiwa,
mengerti bagaimana tanda koping dan obat-obatan.
orang sakit jiwa, tidak
seperti orang biasanya, jalan
terus, berbicara sendiri, suka
menyendiri dan orang sakit
jiwa itu harus diobati biar
sembuh.

Masalah keperawatan Kurang pengetahuan tentang Kurang pengetahuan.


gangguan jiwa.

13. Aspek Medik

ASPEK MEDIK KLIEN 1 KLIEN 2


Diagnosa medis F20.0 Skizofrenia tak terinci F20.0 Skizofrenia tak terinci

Chlorpromazine 1x100mg
Terapi medis haloperidol 1 x 5 mg haloperidol 2 x 5 mg
Trihexyphenidyl 2x2mg

14. Daftar Masalah Keperawatan

KLIEN 1 KLIEN 2
Daftar Masalah 1. Isolasi sosial. 1. Isolasi sosial.
Keperawatan 2. Halusinasi pendengaran 2. Halusinasi pendengaran
dan penglihatan 3. Harga diri rendah.
3. Harga diri rendah
38

4.3 Analisis Data

Hari/ Tanggal Data Fokus Masalah Keperawatan

KLIEN 1
Senin, Ds: Isolasi sosial.
22 Mei 2017  Klien mengatakan takut
bersosialisasi dengan orang lain
karena takut dihina, dipukul.

Do:
 Pasien tampak males
bergabung dengan orang lain
 Pasien tampak sering
menyendiri dari teman-
temannya.
Selasa, Ds: Halusinasi pendengaran dan
23 Mei 2017  Klien mengatakan sering
mendengar bisikan-bisikan. penglihatan.
 Klien mengatakan sring
melihatt bayangan hitam.

Do:
 Klien tampak berbicara sendiri.
 Klien tampak menghayati
sesuatu dalam jangka waktu
yang lama.
Rabu, Ds: Harga diri rendah.
24 Mei 2017  Klien merasa malu dan minder
karena dianggap orang stres.
 Klien selalu menyendiri.
Do:
 Tidak ada kontak mata ketika
di ajak berbicara
 Klien tampak lebih suka
beraktivitas sendiri
 Klien tampak tidak percaya diri
ketika berinteraksi dengan
orang lain

KLIEN 2
Sabtu, Ds: Isolasi sosial
27 Mei 2017  Klien mengatakan bingung
dalam memulai pembicaraan
karena menurut klien tidak ada
bahan pembicaraan untuk
berinteraksi dengan orang lain.
Do:
 Klien lebih banyak berdiam diri
 Kontak mata kurang
 Klien sering menyendiri
Senin, Ds: Klien mengatakan mendengar Halusinasi pendengaran
29 Mei 2017 bisikan-bisikan wanita mengajak
klien melakukan hal tidak baik
Do:
 Klien sering menyendiri
39

 Klien terkadang berbicara


sendiri
 Klien sering melamun

Selasa, Ds: Harga diri rendah


30 Mei 2017  Klien mengatakan malu dan
takut berbicara dengan orang
lain,
Do:
 Klien tidak percaya diri ketika
berbicara dengan orang lain
 Klien jarang memulai
pembicaraan dengan orang lain

4.4 Diagnosa Keperawatan

Data Diagnosa Keperawatan

KLIEN 1
Ds: Isolasi sosial.
 Klien mengatakan takut
bersosialisasi dengan orang lain
karena takut dihina, dipukul.

Do:
 Pasien tampak males bergabung
dengan orang lain
 Pasien tampak sering
menyendiri dari teman-
temannya.
Ds: Halusinasi pendengaran dan penglihatan.
 Klien mengatakan sering
mendengar bisikan-bisikan.
 Klien mengatakan sring
melihatt bayangan hitam.

Do:
 Klien terlihat selalu menyendiri.
 Klien tampak melamun di
tempat tidur.
Ds: Harga diri rendah.
 Klien merasa malu dan minder
karena dianggap orang stres.
 Klien selalu menyendiri.
Do:
 Selalu menyendiri
 Malu
 Minder
KLIEN 2
Ds: Isolasi sosial
 Klien mengatakan bingung
dalam memulai pembicaraan
karena menurut klien tidak ada
bahan pembicaraan untuk
berinteraksi dengan orang lain.
40

Do:
 Klien lebih banyak berdiam diri
 Kontak mata kurang
 Klien sering menyendiri
Ds: Halusinasi pendengaran
 Klien mengatakan mendengar
bisikan-bisikan wanita
mengajak klien melakukan hal
tidak baik
Do:
 Klien sering menyendiri
 Klien terkadang berbicara
sendiri
 Klien sering melamun

Ds: Harga diri rendah


 Klien mengatakan malu dan
takut berbicara dengan orang
lain,
Do:
 Klien tidak percaya diri ketika
berbicara dengan orang lain
 Klien jarang memulai
pembicaraan dengan orang lain

4.5 Intervensi Keperawatan


41

Diagnosa RENCANA/ INTERVENSI KEPERAWATAN


Keperawatan
Tujuan Intervensi

KLIEN 1
Isolasi sosial Tujuan Umum: SP 1:
Pasien dapat berinteraksi 1. Bina hubungan saling
dengan orang lain. percaya.
Tujuan Khusus: 2. Identifikasi penyebab isolasi
1. Klien dapat membina sosial.
hubunagn saling percaya. 3. Tanyakan keuntungan dan
2. Pasien mampu kerugian berinteraksi dengan
menyebutkan penyebab orang lain.
menarik diri. a. Tanyakan pendapat
3. Pasien dapat menyebutkan pasien tentang kebiasaan
keuntungan berhubungan berinteraksi dengan
sosial dan kerugian orang lain.
menarik diri. b. Tanyakan apa yang
4. Pasien dapat menyebabkan pasien
melaksanakan hubungan mengurung diri.
sosial secara bertahap. c. Diskusikan keuntungan
5. Pasien mampu dan kerugian bila pasien
menjelaskan perasaannya akrab dengan orang lain.
setelah berhubungan 4. Latih berkenalan
sosial. a. Jelaskan pada pasien
6. Pasien dapat dukungan cara berkenalan.
keluarga. dalam b. Berikan contoh cara
memperluas hubungan berkenalan dengan
sosial. orang lain.
7. Pasien dapat c. Beri kesempatan pasien
memanfaatkan obat mempraktikkan cara
dengan baik. berinteraksi dengan
orang lain yang
dilakukan dihadapan
perawat.

SP 2:
1. Evaluasi SP 1.
2. Latih cara berkenalan dengan
2-3 orang.
3. Masukkan ke jadwal harian
pasien berkenalan dengan 2-3
orang.

SP 3:
1. Evaluasi SP 1 dan SP 2.
2. Latih cara berkenalan dengan
4-5 orang.
3. Masukkan ke jadwal harian
pasien berkenalan dengan 4-5
orang

SP 4:
1. Evaluasi SP 1, SP 2, dan SP 3
2. Latih cara berbicara dengan
lebih dari 5 orang.
3. Masukkan ke jadwal harian
pasien berkenalan dengan
42

lebih dari 5 orang.


KLIEN 2
Isolasi sosial Tujuan Umum: SP 1:
Pasien dapat berinteraksi 5. Bina hubungan saling
dengan orang lain. percaya.
Tujuan Khusus: 6. Identifikasi penyebab isolasi
8. Klien dapat membina sosial.
hubunagn saling percaya. 7. Tanyakan keuntungan dan
9. Pasien mampu kerugian berinteraksi dengan
menyebutkan penyebab orang lain.
menarik diri. d. Tanyakan pendapat
10. Pasien dapat menyebutkan pasien tentang kebiasaan
keuntungan berhubungan berinteraksi dengan
sosial dan kerugian orang lain.
menarik diri. e. Tanyakan apa yang
11. Pasien dapat menyebabkan pasien
melaksanakan hubungan mengurung diri.
sosial secara bertahap. f. Diskusikan keuntungan
12. Pasien mampu dan kerugian bila pasien
menjelaskan perasaannya akrab dengan orang lain.
setelah berhubungan 8. Latih berkenalan
sosial. d. Jelaskan pada pasien
13. Pasien dapat dukungan cara berkenalan.
keluarga. dalam e. Berikan contoh cara
memperluas hubungan berkenalan dengan
sosial. orang lain.
14. Pasien dapat f. Beri kesempatan pasien
memanfaatkan obat mempraktikkan cara
dengan baik. berinteraksi dengan
orang lain yang
dilakukan dihadapan
perawat.

SP 2:
4. Evaluasi SP 1.
5. Latih cara berkenalan dengan
2-3 orang.
6. Masukkan ke jadwal harian
pasien berkenalan dengan 2-3
orang.

SP 3:
4. Evaluasi SP 1 dan SP 2.
5. Latih cara berkenalan dengan
4-5 orang.
6. Masukkan ke jadwal harian
pasien berkenalan dengan 4-5
orang

SP 4:
4. Evaluasi SP 1, SP 2, dan SP 3
5. Latih cara berbicara dengan
lebih dari 5 orang.
6. Masukkan ke jadwal harian
pasien berkenalan dengan
lebih dari 5 orang.
44

4.6 Penatalaksanaan

Diagnosa IMPLEMENTASI
Keperawatan
22 Mei 2017 23 Mei 2017 24 Mei 2017 25 Mei 2017

KLIEN 1

Isolasi sosial SP 1: SP 2: SP 3: SP 4:
1. Bina hubungan 1. Evaluasi SP 1. 1. Evaluasi SP 1 dan 1. Evaluasi SP 1, SP 2, dan
saling percaya. 2. Latih cara SP 2. SP 3
2. Identifikasi berkenalan 2. Latih cara 2. Latih cara berbicara
penyebab isolasi dengan 2-3 berkenalan dengan dengan lebih dari 5 orang.
sosial. orang. 4-5 orang. 3. Masukkan ke jadwal harian
3. Tanyakan 3. Masukkan ke 3. Masukkan ke jadwal pasien berkenalan dengan
keuntungan dan jadwal harian harian pasien lebih dari 5 orang.
kerugian pasien berkenalan dengan
berinteraksi dengan berkenalan 4-5 orang
orang lain. dengan 2-3
a. Tanyakan orang.
pendapat
pasien tentang
kebiasaan
berinteraksi
dengan orang
lain.
b. Tanyakan apa
yang
menyebabkan
pasien
mengurung
diri.
c. Diskusikan
45

keuntungan
dan kerugian
bila pasien
akrab dengan
orang lain.
4. Latih berkenalan
a. Jelaskan pada
pasien cara
berkenalan.
b. Berikan
contoh cara
berkenalan
dengan orang
lain.
c. Beri
kesempatan
pasien
mempraktikka
n cara
berinteraksi
dengan orang
lain yang
dilakukan
dihadapan
perawat.
46

KLIEN 2

Isolasi sosial SP 1: SP 2: SP 3: SP 4:
1. Bina hubungan saling 4. Evaluasi SP 1. 4. Evaluasi SP 1 dan 4. Evaluasi SP 1, SP 2,
percaya. 5. Latih cara SP 2. dan SP 3
2. Identifikasi penyebab berkenalan 5. Latih cara 5. Latih cara berbicara
isolasi sosial. dengan 2-3 berkenalan dengan dengan lebih dari 5
3. Tanyakan orang. 4-5 orang. orang.
keuntungan dan 6. Masukkan ke 6. Masukkan ke jadwal 6. Masukkan ke jadwal
kerugian berinteraksi jadwal harian harian pasien harian pasien
dengan orang lain. pasien berkenalan dengan berkenalan dengan
a. Tanyakan berkenalan 4-5 orang lebih dari 5 orang.
pendapat pasien dengan 2-3
tentang orang.
kebiasaan
berinteraksi
dengan orang
lain.
b. Tanyakan apa
yang
menyebabkan
pasien
mengurung diri.
c. Diskusikan
keuntungan dan
kerugian bila
pasien akrab
dengan orang
lain.
4. Latih berkenalan
a. Jelaskan pada
pasien cara
berkenalan.
47

b. Berikan contoh
cara berkenalan
dengan orang
lain.
c. Beri
kesempatan
pasien
mempraktikkan
cara
berinteraksi
dengan orang
lain yang
dilakukan
dihadapan
perawat.
48

4.7 Evaluasi

EVALUASI HARI 1 HARI 2 HARI 3 HARI 4

KLIEN 1
Isolasi sosial S: S: S: S:
Klien mengatakan mau Klien mengatakan Klien mengatakan Klien mengatakan sudah mau
berkenalan dan klien penyebab klien adalah senang setelah bercakap- berinteraksi dengan orang
mau menyebutkan orang lain tidak mau cakap dengan 2-3 orang lain
namanya Tn. K. bergaul dengan klien. dan sudah mengerti cara O:
O: O: berinteraksi dengan  Klien sudah mau
Saat berkenalan klien Klien tampak menunduk orang lain. keluar kamar.
berbicara sopan, mau namun tampak senang O:  Klien bisa melakukan
berjabat tangan, ekspresi mengungkapkan Klien tampak senang aktivitas di ruangan
agak tegang tapi klien perasaannya. setelah berbincang A:
terkesan terbuka. A: dengan 2-3 orang. Isolasi sosial.
A: Iolasi sosial. A: P:
Isolasi sosial P: Isolasi sosial. Evaluasi SP 1, SP 2, SP 3,
P: Praktikkan cara P: dan SP 4 isolasi soail, jika
Latih cara berkenalan berkenalan dengan 2-3 Praktikkan cara berhasil lanjut intervensi
dan masukkan dalam orang dan masukkan ke berkenalan dengan 4-5 selanjutnya dan masukkan ke
jadwal harian pasien. dalam jadwal harian orang dan masukkan ke dalam jadwal harian pasien.
pasien. dalam jadwal harian
pasien.

KLIEN 2
Resiko perilaku S: S: S: S:
kekerasan  Klien mengatakan  Pasien  Pasien Klien mengatakan sudah mau
namanya Tn. S. mengatakan cara- mengatakan sudah berinteraksi dengan orang
 Klien mengatakan cara berkenalan berkenalan dengan lain
males berinteraksi itu tahap-tahapnya 2 orang. O:
dengan orang lain. : jabatkan tangan,  Pasien  Klien sudah mau
 Klien mengatakan perkenalkan diri, mengatakan cara keluar kamar.
49

selama di rumah nama lengkap, berkenalan itu  Klien bisa melakukan


sakit hanya nama panggilan, pertama : jabatkan aktivitas di ruangan
mengenal wajah alamat dan hobi. tangan, A:
orang lain, tapi  Pasien perkenalkan diri, Isolasi sosial.
tidak mengenal mengatakan alamat dan hobi P:
wajahnya. merasa lega sudah setelah itu baru Evaluasi SP 1, SP 2, SP 3,
 Klien mengatakan bisa berkenalan. tanyakan kembali. dan SP 4 isolasi soail, jika
jika tidak ada O: O: berhasil lanjut intervensi
teman, klien  Pasien tampak  Pasien tampak selanjutnya dan masukkan ke
merasa kesepian. berkenalan berkenalan dengan dalam jadwal harian pasien.
 Klien mengatakan dengan Tn. K & Tn. K, Tn. Y, Tn.
senang dan Tn. Y. I, dan Tn. L.
menambah ilmu  Pasien masih ingat  Pasien tampak
setelah belajar dengan SP 1 ceria setelah
cara berkenalan. isolasi sosial. berkenalan dengan
O:  Pasien mampu Tn. K, Tn. Y, Tn.
 Pasien tidak menyelesaikan I, dan Tn. L.
mampu memulai kembali cara  Pasien mampu
pembicaraan. berkenalan menjelaskan
 Pasien dengan orang lain. kembali cara-cara
mempraktikkan A: berkenalan.
cara berkenalan. Isolasi sosial. A:
 Pasien mampu Isolasi sosial.
menyadari P: P:
penyebab isolasi Praktikkan cara Praktikkan cara
sosial. berkenalan dengan 2-3 berkenalan dengan4-5
 Pasien mampu orang dan masukkan ke orang dan masukkan ke
menyebutkan dalam jadwal harian dalam jadwal harian
keuntungan dan pasien. pasiens.
kerugian tidak
berinteraksi
dengan orang lain.
 Pasien mampu
50

mempraktikkan
cara berkenalan
dengan perawat.
A:
Isolasi sosial.
P:
Latih cara berkenalan
dan masukkan dalam
jadwal.
BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas tentang Asuhan Keperawatan Jiwa

Pada Tn. K dan Tn. S Dengan Gangguan Konsep Diri : Isolasi Sosial Di Ruang

Sadewa Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta. Pembahasan pada

bab ini berisi perbandingan antara tinjauan pustaka dengan tinjauan kasus yang

disajikan. Asuhan keperawatan memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar

manusia melalui tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,

implementasi dan evaluasi.

5.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam

pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan

mengidentifikasi status kesehatan klien (Setiadi, 2012). Format pengkajian

meliputi aspek-aspek identitas klien, alasan masuk, faktor predisposisi, fisik,

psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping,

masalah psikososial dan lingkungan, pengetahuan dan aspek medik. Format

pengkajian ini dibuat agar semua data relevan tentang semua masalah klien

saat ini, lampau atau potensial didapatkan sehingga diperoleh suatu data

dasar yang lengkap (Damaiyanti dan Iskandar, 2012).

Pengkajian yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 22 Mei 2017

didapatkan data identitas klien bernama Tn.S, usia 28 tahun, berjenis

51
52

kelamin laki-laki, ruang rawat di bangsal sadewa, klien masuk rumah sakit

pada tanggal 23 april 2017. Sedangkan klien bernama Tn.K, usia 37 tahun,

berjenis kelamin laki-laki, ruang rawat di bangsal sadewa, klien masuk

rumah sakit pada tanggal 27 april 2017.

Alasan masuk Tn.S yaitu karena sering menyendiri, tidak pernah

berinteraksi dengan orang lain, tidak bisa tidur, tidak mau makan, tidak mau

mandi. Sedangkan alasan Tn.K dibawa ke rsj karena di rumah sering

mengurung diri, tidak mau makan dan kurang bersosialisasi baik dengan

orang yang berada di rumahnya dan tetangga sekitar. Hal ini sesuai dengan

tanda dan gejala isolasi sosial yaitu: sering menyendiri, tidak pernah

berinteraksi dengan orang lain, tidak ada kontak mata, sering menunduk,

tidak mampu merawat diri dan memperhatikan kebersihan diri (Suliswati,

2014).

Faktor predisposisi isolasi sosial terdapat beberapa teori yang

menjadi penyebab munculnya isolasi sosial salah satunya yaitu faktor

perkembangan (Suliswati, 2014). Setiap tahap tumbuh kembang memiliki

tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas

perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa

perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang

memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan

orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan

dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang

dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan

tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun
53

lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting

dalam masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek (Purba,

dkk, 2012). Berdasarkan data pengkajian faktor predisposisi yang

ditemukan pada Tn.K dimana klien pernah masuk rumah sakit jiwa 2 kali

pada tahun 2015 dan 2017. pengobatan klien sebelumnya berhasil dan

sempat bekerja sebagai penjual tissue galon. klien juga pernah di aniaya

fisik pada umur 35 tahun, keluarga klien tidak ada yang mengalami

gangguan jiwa. Sedangkan menurut Direja (2011), faktor yang berhubungan

dengan isolasi sosial dapat terjadi karena stimulus lingkungan dan putus

obat, hal ini sama dengan data pengkajian faktor predisposisi yang

ditemukan pada kasus klien Tn.S dimana klien pernah mengalami gangguan

jiwa pada tahun 2014 dan sudah sudah pernah di rawat di rumah sakit jiwa.

Klien sudah pulang ke rumah tapi tidak pernah di kontrol sehingga kambuh

lagi dan saat ini dibawa kembali pada tanggal 23 april 2017. Pengobatan

klien sebelumnya kurang berhasil. Klien tidak pernah mengalami aniaya

fisik, aniaya seksual, penolakan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan

kriminal. Anggota keluarga klien tidak ada yang mengalami gangguan jiwa.

Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh

faktor internal maupun eksternal, meliputi : Stressor Sosial Budaya, Stressor

Biokimia, Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial, Stressor Psikologis.

Stressor Sosial Budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,

terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan

orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena

ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat
54

menimbulkan isolasi sosial. Stressor Biokimia Teori dopamine yaitu

Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus saraf

dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia, Menurunnya MAO (Mono

Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan dopamin dalam otak.

Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan

dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi

terjadinya skizofrenia, Faktor endokrin yaitu Jumlah FSH dan LH yang

rendah ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin

mengalami penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,

adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali

dikaitkan dengan tingkah laku psikotik, Viral hipotesis yaitu Beberapa jenis

virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus

HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak. Stressor Biologik dan

Lingkungan Sosial dimana beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus

skizofrenia sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan

maupun biologis. Stressor Psikologis yaitu Kecemasan yang tinggi akan

menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan

orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai

terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan

menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

Menurut Purba, dkk (2012), dalam pengkajian faktor presipitasi yaitu

seseorang yang tidak mau berinteraksi dengan orang lain karena takut di

pukul maupun di hina. Faktor pencetus isolasi sosial antara lain kelemahan

fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, masa lalu yang tidak menyenangkan,


55

penghinaan, penganiayaan, permasalahan diri klien sendiri maupun faktor

eksternal dari lingkungan. Dari pengkajian Tn.K didapatkan data faktor

pancetus terjadinya gangguan jiwa yaitu karena temannya telah merebut

pacarnya. Pengkajian Tn.S didapatkan data faktor pencetus terjadinya

gangguan jiwa yaitu karena merasa di PHK dari tempat kerjanya.

Konsep diri di definisikan sebagai semua pikiran, keyakinan, dan

kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya yang

mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak terbentuk

waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam

dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan realitas dunia. Harga diri (self

esteem) merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh

dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri.

Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berasal dari penerimaan diri

sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan

kegagalan, tetap merasa seseorang yang penting dan berharga. Harga diri

rendah merupakan perasaan negatife terhadap dirinya sendiri termasuk

kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, pesimis, tidak ada

harapan dan putus asa (Stuart, 2006 dalam Gumilar, 2016). Menurut

Towsend(1998 dalam Nengsi, 2014), harga diri rendah adalah perilaku

negatif terhadap diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang

negatif, yang dapat diekspresikan secara langsung maupun tak langsung.

Harga diri klien yang rendah menyebabkan klien merasa malu, dianggap

tidak berharga dan berguna. Klien kemudian merasa sedih, klien merasa

tidak berharga, klien menyendiri di kamar dan tidak berinteraksi dengan


56

orang lain. Berdasarkan teori yang telah disampaikan tersebut sama dengan

data pengkajian konsep diri harga diri yang ditemukan pada kasus klien

Tn.K yaitu klien merasa malu kepada tetangga karena klien di bawa ke

rumah sakit jiwa. Sedangkan pada kasus Tn.S yaitu klien merasa sedih

ketika ia berhenti dari pekerjaan sehingga klien merasa tidak berharga

karena tidak mampu membantu orang tuanya. klien menyendiri di kamar

dan tidak berinteraksi dengan orang lain.

Menurut Achlis (2011 dalam Fauziah & Latipun, 2016)

keberfungsian sosial merupakan kemampuan individu melaksanakan tugas

dan perannya dalam berinteraksi dengan situasi sosial tertentu yang

bertujuan mewujudkan nilai diri untuk mencapai kebutuhan hidup. Terdapat

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberfungsian sosial individu

yaitu, adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi, individu mengalami frustasi

dan kekecewaan, keberfungsian sosial juga dapat menurun akibat individu

mengalami gangguan kesehatan, rasa duka yang berat, atau penderitaan lain

yang disebabkan bencana alam. (Ambari, 2010 dalam Fauziah & Latipun,

2016). Berdasarkan teori yang telah disampaikan tersebut sama dengan data

pengkajian hubungan sosial yang ditemukan pada kasus kedua klien yaitu

klien tidak mempunyai peran serta dalam kegiatan kelompok masyarakat

karena klien malu jika dirinya dianggap orang stress sehingga klien tidak

mau bergaul. Hambatan yang dialami kedua klien untuk berhubungan atau

berinteraksi dengan orang lain yaitu masyarakat mengucilkan klien karena

klien sering menyendiri, tidak mau berinteraksi dengan orang lain.


57

Data yang didapat dari pengkajian spiritual, kedua klien mengatakan

beragama islam, tetapi terdapat perbedaan pada kegiatan ibadah pada

masing-masing klien yaitu Tn.K rajin beribadah dengan solat 5 waktu,

sedangkan Tn.S jarang melakukan sholat 5 waktu. Penelitian psikiatrik

membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara

komitmen agama dan kesehatan. Orang yang sangat religius dan taat

menjalankan ajaran agamanya relatif lebih sehat dan atau mampu mengatasi

penderitaan penyakitnya sehingga proses penyembuhan penyakit lebih cepat

(Zainul Z, 2007 dalam Sulistyowati & Prihantini, 2015).

Pengkajian status mental Tn.K dari penampilan klien terlihat rapi,

pakaian bersih, di ganti setiap hari, berpakaian sesuai. Dilihat dari cara

bicara, klien berbicara dengan nada pelan dan lambat, cenderung diam, dan

pertanyaan dengan singkat. Aktivitas motorik pasien tampak lesu, malas

beraktivitas, pasien lebih sering berdiam diri dan sering menghabiskan

waktunya ditempat tidur. Alam perasaan, klien merasa putus asa, berdiam

diri dan tampak ekspresi wajah sedih. Afek klien datar, karena selama

interaksi pasien lebih banyak diam. Saat berinteraksi dengan klien, klien

lebih banyak diam dan kontak mata kurang karena klien selalu menunduk.

Persepsi Klien, klien mengatakan mendengarkan bisikan dan melihat

bayangan hitam. Proses klien sesuai. Tidak ada tangensial maupun

sirkumtansial. Pembicaraan klien jelas tidak terbelit-belit, sampai pada

tujuan pembicaraan. Isi pikir dan waham klien, Klien ingin pulang cepat dan

bertemu keluarganya kembali. Tingkat kesadaran klien composmentis, klien

tidak mengalami disorientasi waktu, tempat maupun orang. Klien menyadari


58

kalau dirinya dirawat RSJ. Memori klien, Klien tidak mengalami gangguan

memori jangka panjang maupun memori jangka pendek. Klien dapat

mengingat dengan baik. Tingkat kosentrasi dan berhitung klien, klien

mampu untuk berkosentrasi penuh, pasien mampu berhitung sederhana

dibuktikan dengan pasien dapat menyebutkan perhitungan dari 1-10 dan

sebaliknya 10-1. Kemampuan penilaian klien, Pasien tidak mengalami

gangguan kemampuan penilaian. Daya tilik diri klien, Klien mengatakan tau

kalau sekarang berada di rumah sakit jiwa tapi klien mengatakan bahwa

dirinya tidak sakit jiwa.

Pengkajian status mental Tn.K dari penampilan klien rapi, pakaian

bersih dan diganti setiap hari dan berpakaian sesuai. Di lihat dari cara bicara

Klien berbicara dengan nada pelan dan lambat, pasien cenderung diam saja

dan menjawab pertanyaan dengan singkat. Dilihat dari aktivitas motorik

klien tampak lesu, malas beraktivitas, pasien lebih sering berdiam diri dan

sering menghabiskan waktunya ditempat tidur. Dilihat dari alam perasaan

klien merasa putus asa, berdiam diri dan tampak ekspresi wajah sedih.

Dilihat dari afek klien datar, karena selama interaksi pasien lebih banyak

diam. Saat berinteraksi dengan klien, klien lebih banyak diam dan kontak

mata kurang karena klien selalu menunduk. Dilihat dari persepsi klien

mengatakan mendengarkan bisikan dan melihat bayangan hitam. Proses

klien sesuai, tidak ada tangensial maupun sirkumtansial, Pembicaraan klien

jelas tidak terbelit-belit, sampai pada tujuan pembicaraan. Dilihat dari isi

pikir dan waham klien ingin pulang cepat dan bertemu keluarganya kembali.

Dilihat dari tingkat kesadaran dan disorientasi composmentis, klien tidak


59

mengalami disorientasi waktu, tempat maupun orang, klien menyadari kalau

dirinya dirawat RSJ. Dilihat dari memori klien tidak mengalami gangguan

memori jangka panjang maupun memori jangka pendek. Klien dapat

mengingat dengan baik. Dilihat dari tingkat kosentrasi dan berhitung klien

mampu untuk berkosentrasi penuh, pasien mampu berhitung sederhana

dibuktikan dengan pasien dapat menyebutkan perhitungan dari 1-10 dan

sebaliknya 10-1. Dilihat dari kemampuan penilaian klien tidak mengalami

gangguan kemampuan penilaian. Dilihat dari daya tilik diri klien

mengatakan tau kalau sekarang berada di rumah sakit jiwa tapi klien

mengatakan bahwa dirinya tidak sakit jiwa. Sedangkan pengkajian status

mental Tn.S dari penampilan klien terlihat kurang rapi, rambut klien tidak

tertata, rambut berketombe. Dilihat dari cara bicara Klien berbicara lambat

tapi jelas, terbuka. Aktivitas motorik klien Ketika berbicara kontak mata

klien kurang, menyendiri, sering tidur. Alam perasaan, Klien mengatakan

putus asa karena ia tidak bisa membantu keluarganya. Afek klien datar,

karena selama interaksi kien diam kalau tidak ditanya sama perawat. Saat

berinteraaksi dengan klien, Klien kooperatif saat berbicara tapi kontak mata

kurang. Persepsi klien, Klien mengatakan sering mendengar ada bisikan-

bisikan pada saat ia sendiri dan suara itu adalah suara wanita. Klien

mengalami sirkumtansial. Saat wawancara, pembicaraan klien terbelit tetapi

sampai pada tujuan pembicaraan. Isi pikir dan waham klien, Klien saat ini

berpikir untuk cepat pulang dan membantu keluarganya. Tingkat kesadaran

klien yaitu sadar penuh, klien mampu mengingat dan dapat menyebutkan

nama tempat dan waktu. Memori klien, Klien mampu mengingat yang lalu
60

dan baru-baru terjadi. Pada pengkajian tingkat konsentrasi dan berhitung,

Klien mampu berhitung dengan baik, saat diberi soal penambahan, klien

bisa menjawab dengan baik. Kemampuan penilaian klien, Klien dapat

menilai yang baik dan buruk. Klien tidak menyadari apa yang diderita klien.

Klien merasa sehat dan tidak perlu ada perawatan khusus. Menurut suliswati

(2012), tanda gejala klien isolasi sosial dapat dilihat dari pengkajian status

mental dalam pembicaraan dengan nada pelan dan lambat, tampak lesu,

putus asa, lebih banyak berdiam diri.

Perencanaan pulang merupakan bagian penting dari program

pengobatan klien yang dimulai dari saat klien masuk rumah sakit. Hal ini

merupakan proses yang menggambarkan usaha kerjasama antara tim

kesehatan, keluarga, klien, dan orang yang penting bagi klien (Yosep, 2007

dalam Sambodo, 2013). Pengkajian kebutuhan persiapan pulang, didapatkan

data sebagai berikut: Makan, kedua klien makan 3x sehari dengan menu

yang disediakan dari rumah sakit, klien mampu makan secara mandiri.

BAB/ BAK, kedua klien mampu melakukan BAB/ BAK secara mandiri.

Mandi, kedua klien mampu mandi secara mandiri pagi dan sore.

Berpakaian/ berhias, kedua klien mampu berpakaian secara mandiri dan

berhias sendiri tanpa bantuan orang lain. Istirahat dan tidur, kedua klien

tidur siang selama 1-2 jam, tidur malam selama 7-8 jam, tidak ada aktivitas

khusus sebelum atau sesudah tidur. Dalam penggunaan obat, kedua klien

mampu minum obat secara mandiri sesuai jadwal. Pemeliharaan kesehatan

dan sistem dukungan, kedua klien berusaha untuk rutin minum obat dan

kontrol, klien mendapat dukungan penuh dari keluarga. Aktivitas didalam


61

rumah, Tn.K di rumah sering mencuci piring, bantu orang tua menyapu

halaman rumah. Tn.S ,saat di rumah sakit, sering membantu keluarganya

menyapu. Aktivitas di luar rumah, Tn.K menjual tissue galon. Tn.S saat di

rumah sakit, klien jarang keluar rumah kecuali di suruh ibunya beli sesuatu.

Pengkajian mekanisme koping kedua klien yaitu maladapif, klien

mengatakan jika mempunyai masalah klien sering menghindar dari orang

lain. Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien sehingga

dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang

konstruktif (Dermawan & Rusdi, 2013).

Pengkajian masalah psikososial dan lingkungan, kedua klien tidak

mempunyai masalah dengan dukungan kelompok, lingkungan, pendidikan,

pekerjaan, perumahan dan ekonomi.

Pengkajian tentang pengetahuan, Tn.K tidak tahu penyebab sakit

jiwa tetapi mengerti bagaimana tanda orang sakit jiwa, tidak seperti orang

biasanya, jalan terus, berbicara sendri, suka menyendiri dan orang sakit jiwa

itu harus diobati agar sembuh. Tn.S tidak mengetahui tentang penyakit jiwa,

koping dan obat-obatan. Aspek medik, diagnosa medis kedua klien yaitu

skizofrenia tak terinci F.20.0. Terapi medis yang di berikan kepada Tn.K

yaitu haloperidol 1 x 5 mg, Trihexyphenidyl 2x2mg. Terapi medis yang di

berikan kepada Tn.S yaitu Chlorpromazine 1x100mg, haloperidol 2 x 5 mg.

Haloperidol adalah obat untuk mengatasi berbagai masalah kejiwaan,

seperti meredakan gejala skizofrenia, sindrom Tourette, tic disorder, mania,

psychomotor agitation, dan masalah psikosis lainnya. Trihexyphenidyl

merupakan jenis obat pada pengobatan segala bentuk parkinson karena


62

pengaruh obat untuk susunan syaraf, efek sampingnya adalah mulut kering,

pusing, mual, muntah, bingung, takikardi. Chlorpromazine adalah obat yang

termasuk golongan antispikotik fenotiazina, obat ini digunakan

untukmenangani berbagai gangguan mental seperti skizofrenia dan

gangguan psikosis yang lainnya, perilaku agresif yang membahayakan

pasien atau orang lain, kecemasan, kegelisahan yang parah, efek

sampingnya antara lain sakit kepala, mengantuk, pandangan kabur, mulut

kering (Keliat, 2014).

5.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang dibuat oleh perawat

profesional yang memberi gambaran tentang masalah atau status kesehatan

klien, baik aktual maupun potensial, yang ditetapkan berdasarkan analisa

dan interpretasi data hasil pengkajian. Pernyataan diagnosis keperawatan

harus jelas, singkat, dan lugas terkait masalah kesehatan klien berikut

penyebabnya yang dapat diatasi melalui tindakan keperawatan (Asmadi,

2011).

Menurut keliat (2013), masalah keperawatan yang mungkin muncul

isolasi sosial adalah Menghindar dari orang lain (menyendiri), Berdiam diri

di kamar, Komunikasi kurang/tidak ada, Tidak ada kontak mata, Menolak

berhubungan sosial dengan orang lain, Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.

Diagnosa utama yang diangkat pada Tn.K dan Tn.S yaitu isolasi

sosial, diagnosa ini didukung dengan data subjektif kedua klien sering

mengurung diri, tidak mau makan dan kurang bersosialisasi baik dengan

orang yang berada di rumahnya dan tetangga sekitar. Kemudian data


63

objektifnya klien lebih banyak berdiam diri, kontak mata kurang, klien

sering menyendiri. Diagnosa ini diambil sebagai prioritas utama karena

pada saat pengkajian data-data diatas yang paling aktual dibandingkan

dengan diagnosa harga diri rendah dan halusinasi.

Dalam pohon masalah dijelaskan bahwa yang menjadi core problem

adalah isolasi sosial, etiologinya yaitu harga diri rendah, dan sebagai akibat

yaitu halusinasi (Keliat,2012). Berdasarkan teori yang disebutkan ada

sedikit perbedaan dengan kasus, pada kasus yang menjadi core problem

adalah isolasi sosial. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang

individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu

berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak,

tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti

dengan orang lain (Purba, dkk. 2011). Isolasi sosial adalah gangguan dalam

berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang

mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain

dan lingkungan. isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami

oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan

mengancam bagi dirinya (dalami, 2013).

5.3 Intervensi

Intervensi keperawatan adalah preskipsi untuk spesifik yang

diharapkan dari klien dan/ atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.

Intervensi harus spesifik dan dinyatakan dengan jelas dimulai dengan kata

kerja aksi/ kalimat perintah (Doengoes, 2000 dalam Damaiyanti dan


64

Iskandar, 2012). Perencanaan terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan umum,

tujuan khusus dan rencana tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus

pada penyelesaian permasalahan dari diagnosis tertentu, tujuan umum dapat

dicapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai. Tujuan khusus

berfokus pada penyelesaian etiologidari diagnosis tertentu (Direja, 2011).

Intervensi keperawatan yang dilakukan pada Tn.K dan Tn.S

berdasarkan pada teori keperawatan jiwa, dimana terdapat tujuan umum

yaitu klien dapat berinteraksi dengan orang lain dan terdapat tujuh tujuan

khusus. tujuan khusus pertama yaitu Klien dapat membina hubungan saling

percaya. Tujuan khusus kedua yaitu Pasien mampu menyebutkan penyebab

menarik diri. Tujuan khusus ketiga yaitu Pasien dapat menyebutkan

keuntungan berhubungan sosial dan kerugian menarik diri. Tujuan khusus

keempat yaitu Pasien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap.

Tujuan khusus kelima yaitu Pasien mampu menjelaskan perasaannya setelah

berhubungan sosial. Tujuan khusus keenam yaitu Pasien dapat dukungan

keluarga, dalam memperluas hubungan sosial. Tujuan khusus ketujuh yaitu

Pasien dapat memanfaatkan obat dengan baik (Damaiyanti & Iskandar,

2012). Dalam rencana keperawatan yang penulis susun pada masalah

keperawatan Tn.K dan Tn.S, penulis sesuaikan dengan teori diatas.

5.4 Implementasi

Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan

keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan,

perawat perlu memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan masih


65

sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini. Semua tindakan yang telah

dilaksanakan beserta respon klien didokumentasikan (Prabowo, 2014).

Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), strategi pelaksanaan klien dengan

isolasi sosial ada empat yaitu strategi pelaksanaan pertama melatih cara

berinteraksi dengan orang lain. Strategi pelaksanaan kedua melatih cara

berkenalan dengan 2-3 orang. Strategi pelaksanaan ketiga membantu klien

latihan cara berkenalan dengan 4-5 orang. Strategi pelaksanaan keempat

membantu klien latihan cara berbicara dengan lebih dari 5 orang.

Penulis melaksanakan strategi pelaksanaan 1 pada hari Senin tanggal

22 Mei 2017, untuk Tn.K pada pukul 08.00 WIB, sedangkan Tn.S pukul

08.30 WIB. Tindakan strategi pelaksanaan 1 antara lain: membina hubungan

saling percaya, mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, mengidentifikasi

keuntungan berinteraksi dengan orang lain, mengidentifikasi

mengidentifikasi kerugian bila tidak berinteraksi dengan orang lain, melatih

cara berkenalan dengan perawat atau orang lain (1 orang), membimbing

klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Saat pemberian strategi pelaksanaan 1, Tn.K lebih cepat menangkap

apa yang perawat instruksikan, sedangkan Tn.S membutuhkan 2-3 kali

contoh berkenalan dengan perawat atau orang lain (1 orang), sebelum klien

melakukan cara berkenalan dengan benar.

Teknik cara berkenalan ini tujuannya agar dapat berinteraksi dengan

orang lain. Oleh karena itu beberapa teknik cara berkenalan dapat

membantu untuk tidak menyendiri, tidak mengurung diri, mau berinteraksi


66

dengan orang lain (suliswati,2011). Penelitian yang dilakukan oleh direja

(2012) juga menunjukkan bahwa ada pengaruh teknik berkenalan yang

berhubungan dengan pasien isolasi sosial salah satunya adalah berkenalan

dengan orang lain dan penelitian tersebutkan mendapatkan hasil bahwa ada

pengaruhnya.

Strategi pelaksanaan 2 dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 23

Mei 2017, untuk Tn.K pada pukul 08.00 WIB, Tn.S pukul 08.30 WIB.

Tindakan strategi pelaksanaan 2 antara lain: mengevaluasi kemampuan

klien berkenalan dengan perawat atau orang lain (1 orang), melatih cara

berkenalan dengan 2-3 orang, membimbing klien memasukkan dalam

jadwal kegiatan harian.

Saat pemberian strategi pelaksanaan 2, kedua klien dapat melakukan

cara berkenalan 2-3 orang dengan benar tanpa di beri contoh berulang-ulang

dari perawat. Tn.S mengatakan menyukai cara ini karena dapat berinteraksi

dengan 2-3 orang.

Teknik berkenalan dengan 2-3 orang ini memiliki pengaruh supaya

tidak menyendiri lagi. Teknik berkenalan dengan 2-3 orang dimaksudkan

untuk lebih berani berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan adaptasi

penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu berfungsi kembali secara

wajar (Dermawan dan Rusdi, 2010). Untuk mengurangi isolasi sosial maka

perlu dilakukan terapi yang berguna untuk mendapatkan teman yang

banyak, salah satunya adalah teknik berkenalan dengan 2-3 orang (Fitria,

2008). Teknik ini digunakan agar isolasi sosial yang dialami oleh pasien
67

dapat tersalurkan dangan baik sehingga tidak mengurung diri dan tidak mau

berinteraksi dengan orang lain.

Strategi pelaksanaan 3 dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 24 Mei

2017, untuk Tn.K pada pukul 08.00 WIB, Tn.S pukul 09.00 WIB. Tindakan

strategi pelaksanaan 3 antara lain: mengevaluasi kemampuan klien

berkenalan dengan perawat atau orang lain (1 orang), melatih cara

berkenalan dengan 2-3 orang, melatih cara berkenalan dengan 4-5 orang,

membimbing klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian. Saat

pemberian strategi pelaksanaan 3, kedua klien dapat mempraktekkan cara

berkenalan 4-5 orang dengan baik.

Strategi pelaksanaan 4 dilaksanakan pada hari kamis tanggal 25 Mei

2017, untuk Tn.K pada pukul 08.30 WIB, sedangkan Tn.S pukul 09.00

WIB. Tindakan strategi pelaksanaan 4 antara lain: mengevaluasi

kemampuan klien berkenalan dengan perawat atau orang lain (1 orang),

melatih cara berkenalan dengan 2-3 orang, melatih cara berkenalan dengan

4-5 orang, melatih cara berkenalan dengan lebih dari 5 orang, membimbing

klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Pada saat pelaksanaan strategi pelaksanaan 4 kedua klien sudah

mampu melakukan teknik cara berkenalan dengan lebih dari 5 orang. Kedua

klien tersebut sudah mau berkenalan dengan lebih dari 5 orang, sudah mau

keluar kamar dan bisa melakukan aktivitas di ruangan.

Latihan keterampilan sosial berisi diskusi tentang penyebab isolasi

sosial, diskusi tentang keuntungan bersosialisasi dan kerugian tidak

bersosialisasi serta latihan-latihan berkenalan dengan satu orang atau lebih


68

dari satu orang. Dari hasil diskusi didapatkan rata-rata klien mengatakan

penyebab menarik diri yaitu karena malas bersosialisasi dan mengatakan

bahwa orang lain berbuat jahat pada dirinya. Klien juga bisa menyebutkan

keuntungan bersosialisasi dan kerugian tidak bersosialisasi dengan orang

lain. Klien melakukan latihan berkenalan dengan satu orang atau lebih dan

memasukkan ke dalam jadwal sebagai bukti telah melakukan latihan

berkenalan dengan klien lain di dalam satu ruangan. Hal ini sesuai dengan

tujuan strategi pertemuan yaitu klien mampu membina hubungan saling

percaya, menyadari penyebab isolasi sosial dan mampu berinteraksi dengan

orang lain (Purba,dkk,2008 dalam Nasution, 2011).

Menurut Keliat (2009) untuk membina hubungan saling percaya

dengan klien isolasi sosial kadang membutuhkan waktu yang lama dan

interaksi yang singkat serta sering karena tidak mudah bagi klien untuk

percaya pada orang lain. Oleh karena itu perawat harus konsisten bersikap

terapeutik terhadap klien. Selalu menepati janji adalah salah satu upaya

yang dapat dilakukan. Pendekatan yang konsisten akan membuahkan hasil.

Jika pasien sudah percaya dengan perawat, program asuhan keperawatan

lebih mungkin dilaksanakan. Perawat tidak mungkin secara drastis

mengubah kebiasaan klien dalam berinteraksi dengan orang lain karena

kebiasaan tersebut telah terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu

perawat dapat melatih klien berinteraksi secara bertahap. Mungkin pada

awalnya klien hanya akan akrab dengan perawat, tetapi setelah itu perawat

harus membiasakan klien untuk dapat berinteraksi secara bertahap dengan

orang-orang disekitarnya.Latihan keterampilan sosial secara luas


69

memberikan keuntungan dengan meningkatkan interaksi, ikatan aktivitas

sosial, mengekspresikan perasaan kepada orang lain dan perbaikan kualitas

kerja. Pasien mulai berpartisipasi dalam aktivitas sosial seperti interaksi

dengan teman dan perawat. Latihan keterampilan sosial sangat berguna

dalam meningkatkan fungsi sosial pada pasien skizofrenia kronis karena

pasien dapat belajar dan melaksanakan keterampilan dasar yang dibutuhkan

untuk hidup mandiri, belajar dan bekerja dalam komunitas tertentu

(Kumar,2015).

Menurut Rachmawati tahun, (2013)dalam pemberian tindakan

keperawatan ini memiliki tujuan yaitu pada klien untuk menilai tanda dan

gejala sebelum dan sesudah tindakan keperawatan, dan untuk keluarga

bertujuan agar keluarga klien dapat merawat klien dengan baik.

5.5 Evaluasi

Teori dari Kusumawati & Hartono,(2010) menyebutkan evaluasi

adalah proses yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan

untuk menilai afek terhadap tindakan keperawatan yang telah di laksanakan

terhadap klien, evaluasi dibagi menjadi 2 yaitu evaluasi proses dan evaluasi

hasil,evaluasi proses (Formatif ) yaitu evaluasi yang dilakukan setiap selesai

melakukan tindakan keperawatan sedangkan evaluasi Proses (hasil ) yaitu

evaluasi yang digunakan sebagai pembanding antara tujuan khusus yang

telah di buat dengan respon klien yang didapatkan. Dalam proses

pengevaluasian klien digunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir, S

yaitu hasil Subyektif dari klien, O yaitu hasil yang di lihat secara obyektif

oleh penulis(perawat), A yaitu analisa terdapat data subyektif maupun data


70

obyektif sedangkan P yaitu Perencanaan terhadapat tindakan lanjutan yang

akan dilakukan terhadap klien.

Evaluasi SP1 pada tanggal 23 Mei 2017. Pada Tn.K, Subjektif Klien

mengatakan mau berkenalan dan klien mau menyebutkan namanya Tn. K.

Objektif Saat berkenalan klien berbicara sopan, mau berjabat tangan,

ekspresi agak tegang tapi klien terkesan terbuka. Analisis SP1 tercapai.

Planning Latih cara berkenalan dan masukkan dalam jadwal harian pasien.

Sedangkan pada Tn.S, Subjektif Klien mengatakan namanya Tn. S, Klien

mengatakan males berinteraksi dengan orang lain, Klien mengatakan selama

di rumah sakit hanya mengenal wajah orang lain, tapi tidak mengenal

wajahnya, Klien mengatakan jika tidak ada teman, klien merasa kesepian,

Klien mengatakan senang dan menambah ilmu setelah belajar cara

berkenalan. Objektif Pasien tidak mampu memulai pembicaraan, Pasien

mempraktikkan cara berkenalan, Pasien mampu menyadari penyebab isolasi

sosial, Pasien mampu menyebutkan keuntungan dan kerugian tidak

berinteraksi dengan orang lain, Pasien mampu mempraktikkan cara

berkenalan dengan perawat. Analisis SP1 tercapai. Planning Latih cara

berkenalan dan masukkan dalam jadwal.

Evaluasi SP2 pada tanggal 24 Mei 2017. Pada Tn.K, Subjektif Klien

mengatakan penyebab klien adalah orang lain tidak mau bergaul dengan

klien. Objektif Klien tampak menunduk namun tampak senang

mengungkapkan perasaannya. Analisis SP2 tercapai. Planning Praktikkan

cara berkenalan dengan 2-3 orang dan masukkan ke dalam jadwal harian

pasien. Sedangkan pada Tn.S Subjektif Pasien mengatakan cara-cara


71

berkenalan itu tahap-tahapnya : jabatkan tangan, perkenalkan diri, nama

lengkap, nama panggilan, alamat dan hobi, Pasien mengatakan merasa lega

sudah bisa berkenalan. Objektif Pasien tampak berkenalan dengan Tn. K &

Tn. Y, Pasien masih ingat dengan SP 1 isolasi sosial, Pasien mampu

menyelesaikan kembali cara berkenalan dengan orang lain. Analisis SP2

tercapai. Planning Praktikkan cara berkenalan dengan 2-3 orang dan

masukkan ke dalam jadwal harian pasien.

Evaluasi SP3 pada tanggal 25 Mei 2017. Pada Tn.K, Subjektif Klien

mengatakan senang setelah bercakap-cakap dengan 2-3 orang dan sudah

mengerti cara berinteraksi dengan orang lain. Objektif Klien tampak senang

setelah berbincang dengan 2-3 orang. Analisis SP3 tercapai. Planning

Praktikkan cara berkenalan dengan 4-5 orang dan masukkan ke dalam

jadwal harian pasien. Sedangkan pada Tn.S, Subjektif Pasien mengatakan

sudah berkenalan dengan 2 orang, Pasien mengatakan cara berkenalan itu

pertama : jabatkan tangan, perkenalkan diri, alamat dan hobi setelah itu baru

tanyakan kembali. Objektif Pasien tampak berkenalan dengan Tn. K, Tn. Y,

Tn. I, dan Tn. L, Pasien tampak ceria setelah berkenalan dengan Tn. K, Tn.

Y, Tn. I, dan Tn. L, Pasien mampu menjelaskan kembali cara-cara

berkenalan. Analisis SP3 tercapai. Planning Praktikkan cara berkenalan

dengan4-5 orang dan masukkan ke dalam jadwal harian pasiens.

Evaluasi SP4 pada tanggal 26 Mei 2017. Pada Tn.K, Subjektif Klien

mengatakan sudah mau berinteraksi dengan orang lain. Objektif Klien sudah

mau keluar kamar, Klien bisa melakukan aktivitas di ruangan. Analisis SP4

tercapai. Planning Evaluasi SP 1, SP 2, SP 3, dan SP 4 isolasi soail, jika


72

berhasil lanjut intervensi selanjutnya dan masukkan ke dalam jadwal harian

pasien. Sedangkan pada Tn.S, Subjektif Klien mengatakan sudah mau

berinteraksi dengan orang lain. Objektif Klien sudah mau keluar kamar,

Klien bisa melakukan aktivitas di ruangan. Analisis SP4 tercapai. Planning

Evaluasi SP 1, SP 2, SP 3, dan SP 4 isolasi soail, jika berhasil lanjut

intervensi selanjutnya dan masukkan ke dalam jadwal harian pasien.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari uraian bab pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai

berikut :

A. Pengkajian

Pengkajian diperoleh pada Tn. K data subjektif klien mengatakan takut

bersosialisasi dengan orang lain karena takut dihina, dipukul. Sedangkan data

objektif klien tampak males bergabung dengan orang lain, klien tampak sering

menyendiri dari teman-temannya. Pada Tn. S didapat data subjektif Klien

mengatakan bingung dalam memulai pembicaraan karena menurut klien tidak

ada bahan pembicaraan untuk berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan data

objektif Klien lebih banyak berdiam diri, Kontak mata kurang, Klien sering

menyendiri.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa utama yang muncul saat dilakukan pengkajian pada Tn. K dan Tn.S

yaitu isolasi sosial.

C. Intervensi keperawatan

Rencana keperawatan yang dapat dilakukan meliputi tujuan yang

pertama yaitu membina hubungan saling percaya, tujuan yang kedua yaitu

mampu menyebutkan penyebab menarik diri, tujuan ketiga dapat menyebutkan

keuntungan berhubungan sosial dan kerugian menarik diri, tujuan keempat yaitu

72
73

dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap, tujuan kelima yaitu

mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan sosial, tujuan keenam

yaitu dapat dukungan keluarga, dalam memperluas hubungan sosial, tujuan

ketujuh yaitu dapat memanfaatkan obat dengan baik.

D. Implementasi Keperawatan

Dalam asuhan keperawatan Tn. K dan Tn. S dengan isolasi sosial di

Ruang Sadewa Rumah sakit Jiwa Daerah Dr. Arif Zainudin Surakarta telah

sesuai dengan intervensi yang dibuat oleh penulis. Penulis melakukan strategi

pelaksanaan pertama melatih cara berinteraksi dengan orang lain. Strategi

pelaksanaan kedua melatih cara berkenalan dengan 2-3 orang. Strategi

pelaksanaan ketiga membantu klien latihan cara berkenalan dengan 4-5 orang.

Strategi pelaksanaan keempat membantu klien latihan cara berbicara dengan

lebih dari 5 orang.

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi yang penulis dapatkan pada Tn. K dan Tn. S adalah tercapainya

tujuan yang pertama yaitu mampu berkenalan dengan perawat atau orang lain

(1 orang), hasil evaluasi yang penulis dapatkan dalam tujuan yang kedua sesuai

dengan kriteria evaluasi pada perencanaan yaitu mampu berkenalan dengan 2-3

orang, evaluasi yang penulis dapatkan dalam tujuan yang ketiga yaitu mampu

berkenalan dengan 4-5 orang, tujuan keempat yaitu mampu berkenalan dengan

lebih dari 5 orang.


74

6.2 Saran

Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, penulis dapat memberikan saran

sebagai berikut :

A. Bagi Perawat

Diharapkan dapat memberikan pelayanan dan meningkatkan komunikasi

terapeutik kepada pasien, sehingga dapat mempercepat penyembuhan pasien.

B. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat meningkatkan bimbingan klinik kepada mahasiswa

secara maksimasl, sehingga mahasiswa mendapatkan gambaran dalam

memberikan asuhan keperawatan yang benar.

C. Bagi Penulis

Penulis dapat meningkatkan pengkajian dengan baik melalui penyusunan

rencana kerja dengan baik dalam mendapatkan data yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD. 2013. Penerapan
Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial
Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan
Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor. Jurnal
Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 34-48

Abraham & Shanley. (1997). Psikologi sosial untuk perawat. Jakarta:


EGC.

Aprilistyawati, Ana. 2013. Keperawatan Psikiatri dan Kesehatan


Jiwa.Yogyakarta; Imperium.

Dalami, Ermawati, Suliswti, Rochimah, Suryati Rai Ketut, Lestari Wiji.


2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Jiwa.Jakarta ; Trans Info Media.

Damaiyanti dan Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung :


Refika Aditama.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Buku Pedoman


Kesehatan Jiwa, Jakarta Depkes.

Dermawan, D dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa Konsep dan Kerangka


Kerja Asuhan Keperawatan. Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Direja, Surya Herman Ade. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta; Nuha Medika.

Eyvin Berhimpong Sefty Rompas Michael Karundeng. 2016. Pengaruh


Latihan Keterampilan Sosialisasi Terhadap Kemampuan
Berinteraksi Klien Isolasi Sosial Di Rsj Prof. Dr. V. L.
Ratumbuysang Manado. E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4
Nomor 1, Februari 2016.

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan


Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan. Jakarta :
Salemba Medika.

Heardman. 2012. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta


: Buku Kedokteran EGC.

Herman, Ade. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :


Nuha Medika.
Isaacs, A. (2004). Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Jakarta:
EGC.

Keliat, B. A. (2005). Keperawatan jiwa TAK. Jakarta: EGC.

Keliat, B.A, dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:


EGC.

Keliat, B.A, (2006). Peran Serta Keluarga daalam Perawatan Gangguan


Jiwa, Jakarta : EG

Keliat. B.A dan Akemat. (2007). Model Praktik Keperawatan Profesional


Jiwa. Jakarta : EGC.

Keliat, Anna (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta: EGC.

Keliat, B A. dkk. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN


(Basic Course). Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:


Balitbang Kemenkes Ri.

Kusumawati, F dan Yudi Hartono, 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.


Jakarta : Salemba Medika.

Natsir & Muhith. (2010). Dasar-dasar keperawatan jiwa: Pengantar dan


teori. Malang: Salemba Medika.

Niven, N. (2000). Psikologi kesehatan. (Edisi 3). Jakart: EGC.

Notosoedirjo, M, L. (2002). Kesehatan mental konsep dan penerapan.


Universitas Muhammadiyah Malang.

Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu


keperawatan (edisi 2). Jakarta: Salemba Medika.

Prabowo, E. 2014. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.


Jakarta : Nuha Medika.

Prayitno, E. (2006). Psikologi orang dewasa. Padang: Angkasa Raya.

Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah


Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medart USU Press.
Riyadi, S dan Teguh Purwanto. 2013. Asuhan Keperawatan Jiwa. Edisi 1.
Yogyakarta : Graham Ilmu.

Ruti Wiyati, Dyah Wahyuningsih, Esti Dwi Widayanti. 2010. Pengaruh


Psikoedukasi Keluarga Terhadap Kemampuan Keluarga Dalam
Merawat Klien Isolasi Sosial. Jurnal Keperawatan Soedirman
(The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

Saam, Zulfam dan wahyuni Sri. 2012. Psikologi Keperawatan. Jakarta;


Rajagrafindo Persada.

S, Trimelia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial.Jakarta ;


Trans Info Media.

Setiadi, (2013). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta :


Graha Ilmu.

Sri Nyumirah, 2013. Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif,


Afektif Dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi Perilaku
Kognitif Di Rsj Dr Amino Gondohutomo Semarang. Jurnal
Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 121-12.

Stuart, Wiscarz Gail dan Sundeen J.Sandra. 1995. Buku Saku


Keperawatan Jiwa Edisi 3 terjemahan. EGC.

Surtiningrum A. (2011). Pengaruh Terapi Suportif Terhadap Kemampuan


Bersosialisasi Pada Klien Isolasi Sosial Di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Depok.

Wakhid Abdul, dkk. 2013. Penerapan terapi latihan keterampilan sosial


pada klien isolasi sosial dan harga diri rfendah dengan
pendekatan model hubungan interpersonal Peplau di RS. DR. H.
Marzoeki Mahdi Bogor.Jurnal Keperawatan Jiwa Vol.1 No.1.

Wiyati Ruti, dkk. 2010. Pengaruh Psikoedukasi keluarga terhadap


kemampuan keluarga dalam merawat klien Isolasi Sosial.Jurnal
keperawatan Soedirman vol.5 no.2.

Yosep. I dan Sutini. T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung :


PT. Refika Aditama.

Yusuf, Fitriyasari dan Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan


Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
LEMBAR KONSTJLTASI KARYA TULIS ILMIAH

Nama Mahasiswa : Ch^o&.l Gi lb.& {-"&^

NIM : P14068

Judul KTI : Asuhan Keperawatan Pada Klien \5, lqsi $"eiqL


Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakafia,.

Na Hari/TGL Materi Saran Pembimbing Nama&TTD


Pembimbing

Far'Ur
L"/ uL't
Itt
,ffi
'4wl e&,w t p/t<tY\\ffi
lrr,r,pAtu",<rJf,\;

) ,u/ w7 d;w^4%
R W-f
t
n {vitrt-y
,1/ zc t)/
{lfW v,,r A4u
t1 [,"+
rl^n g
.

-i utl {yffTe v yugvikl^ &)'t&af,-


W AI^Qov,'
{bz/r1rL,
y*7*-*;

Surak arta,r. . . . . r . . . . . . . .' . . . . i . . . . . . . .' .

Mengetahui,

Pembimbing,

( ...oo!.t'..r...rr...r..t....t
)
l.lama lvfahasiswa : Chandra Gilbert L,:da

NiM : P14068
-rat'
Judul KTI : Asuhan Keperarnratan Pada W*nlsolasi Sosial Rumah

f, d^+^--i
1\.l^
r\U HarifTanggal lvlaLCI t Saran Pembirnbing lrlama&TTD
Dprnhirnhitrrt
I. r, rI I L-rrlll1-' r lia
r

,}trb v --0 ATrrn;^^


r/ ? ,YY
I oo
d

'[ W./ - {7 fr *,+A


/',
x
W

\
I
T=EMBAR K*HSTJI"?AST KAFSA ?L}LIS ILMTAH

Nama Mahasiswa : Chandra Gilbert Loda

NIM : P14068

Judul KTI : Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi Sosial Rumah


Sakit Jiwa Daerah dr. Arrf Zalnudin Surakarta

r**: l-r/:17 h d^+^*i l ^ .* -a 9- -T-'T- n

w
T\T^
1\t T
-flal rr I- \J -tJ rvl(lLEI I Saran peiiihimbing -L
1\d.ilr(roc r L L)
Pembimhqs

''',;'i^-
tru T

W
W" t4"

Surak artar, 1 4, 1,,, f , +. ! i, ., u E . )! ? +, ! r,,,, + . r,

Mengetahui

Fen:bimb,ing.

/
\ "**+++*iii=++*+;EFt+i**if
t++ q.zd*- -) i
'.t. " ' .. : '
'!
\

:' .
. t.

.o
E,Fp,BAE
E
lg-J! 'i.J AliltEiicE, Liii sEB.tuHG E{TH
o

t ''
.

?t'1" $l

.tl Y d rr{rraI.\
nama dE L LU
Hari / Ta-nggul NagaTenr-ii Drrh.r.,ii
i- iJl-&aa. '-.3 3 :
J

/,.''rJt^^
Bi^ I*3 htpq.,*4
)fum
['f +t%q; ,

CtrlhJ o &r,L;
Vwvwota\,1
?^lL
?"J-
h:* d^tt
11-1!oe-?aal,1,
r
iDi P(uO ,t

I
\rJo\no6ir-,

45uLq* Lk+"*"li
Z, Setor|^, 9 n^ci U,ki f=uet a"*tv'tr1.y"l
[)-J-
UUhr4
tr^al^Jti LSrp
- |

1!
kq( o\^9^gfr t

lAs;u.^. t^E lau6


to A"/Li it'.t,r & :

1^t? iil,^-,,.,iilr,

e.

I
Nhma Mahasiswa : CHAIiIDRA GILBERT LODA
.ot.
NIM

NO TGL

5u ira
5 tr,lsftlitl

6 Sato Ag^-^t"
ts{;/wt

t..

.t
' .,|

LEMBAR KONSULTASI ICARYATULIS ILMIAH


4x''r
.t
-
,
1.

, .'

...
I

Asuhan Keperu*ut* Pada Klien \'Sri*i| )'"ti-'L


Rumatl SakitJiwaDaerah dr. Arif Zatnudin Strrakarln-

,NO

/LQ)o)<'l &)'A^?'t
&-WNr" W,.-
(ryP44)

t-
.t .
' ..'l

.t

/f

,/,/
o

o..

Sakiiliwa Daerah dr. Artf Zainudin Smakarta

Nb Irlama&TTD
Pembimbing

tr- ^r&
-'a

o
j. i.u

.t ,'
"

LEMBAR KONST]LTASI IilRYA TULIS .ILNf,IAH

Nama Mahasiswa .(
. \./;hqt^:r"* Gillrqt, [i4 .: , ,

- , 't,
.. 1

NIM a,
.t

Judul KTI t.'

No Materi

WY' T .14<-rj-S Sydac-ln


aj"-d M-
' ---
> ?rt.o.', J: q-\-*o.+tt
vlh u ahncn"\
M
Y ,srl

"/ tP\7
/1

'o

,
,l

.a
,: TULIS ILMIAH
LEMBAR KONSULTASI KARYA

NIM

Judul I(TI

NO. HARYTGL MATERI

%r1.

,' '

\ )

BAg I}

t"
o

a,

r.l:

a'

r
-r)

B7

.
t.. ..1
,l
PENERAPAN TERAPI LATIHAN KETRAMPILAN SOSIAL PADA
KLIEN ISOLASI SOSIAL DAN HARGA DIRI RENDAH DENGAN
PENDEKATAN MODEL HUBUNGAN INTERPERSONAL PEPLAU
DI RS DR MARZOEKI MAHDI BOGOR

Abdul Wakhid*), Achir Yani S. Hamid**), Novy Helena CD***)

*) AKPER Ngudi Waluyo, Ungaran, 50515, Indonesia


**) Departemen Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia,
16424, Indonesia
***) Departemen Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia,
16424, Indonesia

Email: abdul.wakhid2010@gmail.com

Abstract

Application of social skills training therapy to client with social isolation and low self esteem disturbance
with Interpersonal relationship Peplau Model Approach in RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor. Social skills
training was designed to improve communication and social skills for someone was experienced difficulties in
their interaction skills include giving reinforcement, complain because they do not agree, reject the request of
other, exchange experience, demanding personal rights, give advice to others, problem solving and working with
people, sharing experience, ask for privacy (Michelson, 1985). Objective this final assignment was to found
describing result of Application of social skills training therapy management on Social isolation and low self
esteem client with interpersonal relationship Peplau Model approach in RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor.
Application of social skills therapy was done to 18 clients since 10 September-9 November 2012. Finding was
revealed social skills training exactly effective may used for client with social isolation and low self esteem,
where all of clients who have done social skills therapy. Base on this finding, recommended social skills training
become to specialist standard therapy in psychiatric nursing and may used for social isolation and low self
esteem clients.

Key word : social skills training, social isolation, low self esteem, Peplau interpersonal model

Pendahuluan tentang kesehatan Bab IX pasal 144 yang


menyatakan bahwa upaya kesehatan jiwa
Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang ditujukan untuk menjamin setiap orang
kesehatan, tercantum bahwa kesehatan dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
mental, spiritual maupun sosial yang gangguan lain yang dapat mengganggu
memungkinkan setiap orang untuk hidup kesehatan jiwa.
produktif secara sosial dan ekonomis.
Untuk mencapai tingkat kesehatan jiwa WHO (2009) memperkirakan sebanyak
secara optimal, pemerintah Indonesia 450 juta orang di seluruh dunia mengalami
menegaskan perlunya upaya peningkatan gangguan mental, terdapat sekitar 10%
kesehatan jiwa, seperti yang dituangkan orang dewasa mengalami gangguan jiwa
dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 saat ini dan 25% penduduk diperkirakan

34 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 34-48


akan mengalami gangguan jiwa pada usia Skizofrenia adalah gangguan,
tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa multifaktorial perkembangan saraf
mencapai 13% dari penyakit secara dipengaruhi oleh faktor genetik dan
keseluruhan dan kemungkinan akan lingkungan serta ditandai dengan gejala
berkembang menjadi 25% di tahun 2030, positif, negatif dan kognitif (Andreasen
gangguan jiwa juga berhubungan dengan 1995; Nuechterlein et al 2004;. Muda et al.
bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta 2009 dalam Jones et al, 2011). Gejala
kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat kognitif sering mendahului terjadinya
gangguan jiwa. Gangguan jiwa ditemukan psikosis, dan pengobatan yang segera
di semua negara, pada perempuan dan laki- dilakukan diyakini sebagai prediktor yang
laki, pada semua tahap kehidupan, orang lebih baik dari hasil terapi (Green, 2006;
miskin maupun kaya baik di pedesaan Mintz dan Kopelowicz, 2007 dalam Jones
maupun perkotaan mulai dari yang ringan et al, 2011). Gejala positif meliputi waham,
sampai berat. halusinasi, gaduh gelisah, perilaku aneh,
sikap bermusuhan dan gangguan berpikir
Data WHO (2006) mengungkapkan bahwa formal. Gejala negatif meliputi sulit
26 juta penduduk Indonesia mengalami memulai pembicaraan, afek tumpul atau
gangguan jiwa, dimana panik dan cemas datar, berkurangnya motivasi,
adalah gejala paling ringan. Gambaran berkurangnya atensi, pasif, apatis dan
gangguan jiwa berat di Indonesia pada penarikan diri secara sosial dan rasa tidak
tahun 2007 memiliki prevalensi sebesar 4.6 nyaman (Videbeck, 2008).
permil, artinya bahwa dari 1000 penduduk
Indonesia terdapat empat sampai lima Isolasi sosial sebagai salah satu gejala
diantaranya menderita gangguan jiwa berat negatif pada skizofrenia digunakan oleh
(Puslitbang Depkes RI, 2008). Penduduk klien untuk menghindar dari orang lain
Indonesia pada tahun 2007 (Pusat Data dan agar pengalaman yang tidak
Informasi Depkes RI, 2009) sebanyak menyenangkan dalam berhubungan dengan
225.642.124 sehingga klien gangguan jiwa orang lain tidak terulang lagi. Dan konsep
di Indonesia pada tahun 2007 diperkirakan diri merupakan semua perasaan dan
1.037.454 orang. Provinsi Jawa Barat pemikiran seseorang mengenai dirinya
didapatkan data individu yang mengalami sendiri, dimana hal ini meliputi
gangguan jiwa sebesar 0,22 % (Riskesdas, kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan
2007). hidup, kebutuhan dan penampilan diri.

Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan 35
Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor
Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
Tindakan keperawatan yang dapat untuk membantu menyelesaikan
dilakukan kepada klien isolasi sosial dan perasalahan yang dihadapi oleh klien dan
harga diri rendah adalah terapi generalis diakhiri dengan tahap resolusi dimana
dan terapi spesialis (terapi klien diupayakan untuk tidak tergantung
psikososial/psikoterapi) yang ditujukan kepada perawat karena telah dilakukan
kepada klien sebagai individu, kelompok latihan mengatasi masalah oleh perawat.
klien, dan keluarga klien, serta komunitas
disekitar klien (Carson, 2000; Chen, et, al., Metode
2006; Eiken, 2012). Tindakan keperawatan
spesialis diberikan kepada pasien yang Karya ilmiah akhir ini merupakan analisis
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan terhadap penerapan manajemen terapi
bersosialisasi adalah latihan ketrampilan latihan ketrampilan sosial pada klien
sosial (Cacioppo, et, al, 2002). Terapi ini isolasi sosial dan harga diri rendah dengan
merupakan metode yang didasarkan pendekatan model teori hubungan
prinsip-prinsip sosial dan menggunakan interpersonal Peplau yang dilaksanakan
teknik perilaku bermain peran, praktek dan terhadap klien yang mengalami isolasi
umpan balik guna meningkatkan sosial dan harga diri rendah di Ruang
kemampuan seseorang dalam Antareja Rumah Sakit dr Marzoeki Mahdi
menyelesaikan masalah (Kneisl, 2004 & Bogor sejak tanggal 10 September hingga
Varcarolis, 2006). 9 November 2012 dengan jumlah klien
yang mengalami isolasi sosial sebanyak 18
Karya tulis ilmiah ini menggabungkan klien.
tindakan keperawatan dengan salah satu
teori model keperawatan yang sesuai
dengan kondisi klien isolasi sosial yaitu
teori keperawatan Hildegard Peplau’s.
Teori Peplau sangat tepat diaplikasikan
pada klien yang mengalami isolasi sosial
dan harga diri rendah karena menjelaskan
proses hubungan antara perawat dan klien
dimulai dari tahap orientasi dimana
perawat merupakan orang asing yang baru
dikenal oleh klien, selanjutnya masuk
kedalam tahap identifikasi dan eksploitasi
dimana terjadi proses hubungan terapeutik

36 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 34-48


Hasil Tabel 2
Distribusi Faktor Predisposisi Pada Klien dengan
masalah Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah di
Tabel 1 Ruang Antareja Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Distribusi Karakteristik Klien Dengan Masalah Bogor 2012 (n=18)
Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah di Ruang
Antareja Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor 2012 Faktor Predisposisi Jumlah %
(n=18) Biologis
a. Trauma/penyakit fisik 6 33,3
Karakteristik Jumlah Prosentase b. Genetik 12 66,7
Usia c. Riwayat gangguan jiwa 9 50,0
a. 18 – 24 tahun 5 27,8 sebelumya 5 27,8
b. 25 – 65 tahun 13 72,2 d. Penyalahgunaan NAPZA
Jenis kelamin Psikologis
Laki-laki 18 100,0 a. Introvert 13 72,2
Pendidikan b. Riwayat 14 77,8
a. Menengah 11 61,1 kegagalan/kehilangan 9 50,0
(SMP-SMA) 7 38,9 c. Riwayat kekerasan
b. Tinggi (PT) Sosial kultural
Pekerjaan a. Pendidikan menengah 11 61,1
a. Bekerja 9 50,0 b. Status ekonomi rendah 11 61,1
b. Tidak bekerja 9 50,0 c. Jarang terlibat kegiatan 4 22,2
Status perkawinan sosial
a. Belum menikah 6 33,3
b. Menikah 12 66,7
Penanggung jawab
biaya 2 11,1 Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan
a. Umum 10 55,6
b. Jamkesmas 6 33,3
bahwa pada faktor predisposisi biologis
c. Jamkesda terbanyak yaitu adanya riwayat genetik
yaitu sebanyak 12 klien (66,7%). Sebanyak
Berdasarkat tabel 1 dapat dijelaskan bahwa
14 klien (77,8%) mengalami riwayat
mayoritas klien pada rentang usia 25-65
kegagalan, serta dari sosial ekonomi
tahun atau pada masa dewasa yaitu 13
rendah sebanyak 11 klien (61,1%)
klien (72.2%) dan seluruhnya berjenis
merupakan faktor sosial budaya.
kelamin laki-laki (100%). Mayoritas klien
memiliki latar belakang pendidikan
sekolah menengah (SMP-SMA), yaitu 11
klien (61,1%), 50% memiliki pekerjaan, 12
klien (66,7%) sudah menikah dan 10 klien
(55,6%) biaya perawatan ditanggung oleh
Jamkesmas.

Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan 37
Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor
Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
Tabel 3
Distribusi Faktor Presipitasi Pada Klien dengan
masalah Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah di
Ruang Antareja Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Bogor 2012 (n=18)
Tabel 4
Distribusi Penilaian Stresor terhadap masalah
Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah di Ruang
Faktor Presipitasi Jumlah %
Antareja Rumah Sakit Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor
Biologis
2012 (n=18)
Putus obat 6 33,3
Psikologis
Isolasi Sosial Harga diri rendah
1. Keinginan tidak terpenuhi 14 77,8
Penilaian Min Min-
2. Gagal membina hubungan 9 50,0 Terhadap - maks
dengan lawan jenis n Mean SD Mean SD
Stresor mak
3. Gagal bekerja 12 66,7 s
4. Merasa tak berguna 12 66,7 Respon 18 27,50 7,548 16- 16,06 4,7 7-23
Sosial Kultural Kognitif 39 9
1. Ekonomi 11 61,1 Respon Afektif 18 15,89 5,368 8-27 13,61 3,5 8-23
2. Masalah pekerjaan 12 66,7 6
3. Konflik keluarga 11 61,1 Respon 18 14,94 2,711 9-19 17,61 5,2 10-27
Asal stresor Perilaku 4
Respon Sosial 18 19,61 3,109 13- 13,44 4,1 8-20
1. Internal 18 100,0
24 6
2. Eksternal 14 77,8 Respon 18 15,17 3,536 9-21 7,94 1,3 6-10
Waktu stresor Fisiologis 0
1. < 6 bulan 6 33,3 Jumlah 18 93,11 16,97 69- 60,92 15,57 46-99
2. > 6 bulan 12 66,7 130
Jumlah stresor
1. >1 stresor 18 100,0 Berdasarkan tabel 4 dapat dijelaskan
bahwa rata-rata penilaian terhadap stressor
Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan
pada 18 klien isolasi sosial pada respon
bahwa pada faktor presipitasi aspek
kognitif 27,50, respon afektif sebesar
biologis yaitu putus obat sebanyak 6 klien
15,89, respon perilaku sebesar 14,94,
(33,3%), dan secara psikologis 77,8% klien
respon sosial sebesar 19,61, respon
memiliki keinginan yang tidak terpenuhi,
fisiologis sebesar 15,17 dan secara
pada faktor sosial budaya didapatkan
keseluruhan respon klien harga diri rendah
masalah pekerjaan sebanyak 66,7%, asal
sebesar 93,11. Sedangkan penilaian stresor
stresor seluruhnya berasal dari internal
pada masalah harga diri rendah didapatkan
tetapi ada juga stresor ekstrenal yang
gambaran rata-rata respon kognitif klien
menyertainya yang didapatkan pada 14
sebelum diberikan terapi latihan
klien (77,8%). Waktu stresor paling
ketrampilan sosial sebesar 16,06, respon
banyak pada waktu >6 bulan sebanyak 12
afektif sebesar 13,61, respon perilaku
klien (66,7%) dan jumlah stresor
sebesar 17,61, respon sosial sebesar 13,44,
seluruhnya lebih dari 1 stresor.
respon fisik sebesar 7,94 dan secara
komposit didapatkan respon klien harga
diri rendah sebesar 60,92.

38 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 34-48


Tabel 5
Distribusi Penilaian Stresor pada Klien dengan masalah Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah Sebelum dan
Sesudah Diberikan Latihan Ketrampilan Sosial di Ruang Antareja Rumah Sakit Dr.H.Marzoeki Mahdi
Bogor 2012 (n=18)
Penilaian Isolasi Sosial Harga diri rendah
Terhadap Stresor n Mean Sebelum Mean Sesudah Min-maks Mean sebelum Mean sesudah Min-maks
Respon Kognitif 18 27,50 14,89 12-18 16,06 9,28 7-13
Respon Afektif 18 15,89 11,33 9-14 13,61 7,94 6-10
Respon Perilaku 18 14,94 9,83 8-13 17,61 9,83 8-13
Respon Sosial 18 19,61 13,89 10-17 13,44 7,11 6-11
Respon Fisiologis 18 15,17 10,61 8-13 7,94 6,00 5-7
Jumlah 18 93,11 60,56 53-66 60,92 40,17 32-49
2010). Pendapat tersebut didukung
Berdasarkan tabel 5, rata-rata respon
oleh Stuart (2009) yang
secara keseluruhan sebelum diberikan
menyatakan bahwa usia merupakan
terapi latihan ketrampilan sosial sebesar
aspek sosial budaya terjadinya
93,11 dan sesudah diberikan terapi latihan
gangguan jiwa dengan risiko
ketrampilan sosial sebesar 60,56. Rata-rata
frekuensi tertinggi mengalami
respon secara keseluruhan sebelum
gangguan jiwa yaitu pada usia
diberikan terapi latihan ketrampilan sosial
dewasa.
sebesar 60,92 dan sesudah diberikan terapi
latihan ketrampilan sosial sebesar 40,17.
Usia dewasa merupakan usia
produktif dimana klien memiliki
Pembahasan
tuntutan untuk mengembangkan
aktualisasi diri, baik dari diri
1. Karakteristik klien
sendiri, keluarga, maupun
a. Usia
lingkungan. Aktualisasi diri dapat
Klien yang dirawat dengan masalah
dicapai dengan terlebih dulu
isolasi sosial dan harga diri rendah
mencapai harga diri yang positif
di ruang Antareja sebagian besar
(Maslow, 1970, dalam Townsend,
berada dalam rentang usia 25-65
2009). Individu yang merasa gagal,
tahun atau pada masa dewasa yaitu
merasa tidak berguna ditambah lagi
13 klien (72.2%). Masa dewasa
adanya stressor lain seperti gagal
merupakan masa kematangan dari
menemukan pasangan sehingga
aspek kognitif, emosi, dan perilaku.
dampaknya klien menjadi malu
Kegagalan yang dialami seseorang
untuk bersosialisasi merupakan
untuk mencapai tingkat
akibat dari ketidakmampuan klien
kematangan tersebut akan sulit
dalam mencapai aktualisasi diri.
memenuhi tuntutan perkembangan
Menurut Erikson (2000) dalam
pada usia tersebut dapat berdampak
Stuart & Laraia (2005), pada usia
terjadinya gangguan jiwa (Yusuf,

Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan 39
Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor
Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
ini individu mulai mempertahankan dibandingkan wanita dan wanita
hubungan saling ketergantungan, tampaknya memiliki fungsi sosial
memilih pekerjaan, memilih karir, yang lebih baik daripada laki-laki.
melangsungkan perkawinan. Didukung pula oleh pendapat
Sinaga (2007), yang menyatakan
Individu dalam kehidupannya prevalensi Skizofrenia berdasarkan
memiliki tugas-tugas jenis kelamin, ras dan budaya
perkembangan sesuai tingkat adalah sama. Dimana wanita
usianya. Tugas perkembangan yang cenderung mengalami gejala yang
tidak dapat diselesaikan dengan lebih ringan, lebih sedikit rawat
baik dapat menjadi stresor untuk inap dan fungsi sosial yang lebih
perkembangan berikutnya dan jika baik di komunitas dibandingkan
stresor tersebut menumpuk sangat dengan laki-laki. Laki-laki lebih
berisiko mengalami gangguan jiwa. banyak mengalami harga diri
Kondisi tersebut akan rendah dan isolasi sosial karena
menyebabkan individu merasa disebabkan tuntutan terhadap
rendah diri dan apabila berlangsung tanggung jawab atau peran yang
lama akan menjadi harga diri harus dipenuhi seorang laki-laki
rendah kronis. didalam keluarga lebih tinggi
dibanding perempuan, sehingga
b. Jenis Kelamin stresor yang dialami juga lebih
Jenis kelamin merupakan bagian banyak.
dari aspek sosial budaya faktor
predisposisi dan presipitasi c. Pendidikan
terjadinya gangguan jiwa. Seluruh Klien yang dirawat dengan masalah
klien adalah laki-laki karena di isolasi sosial dan harga diri rendah
ruangan Antareja merupakan ruang sebagian besar memiliki latar
perawatan klien laki-laki. Terlepat belakang pendidikan sekolah
dari kondisi tersebut, Kaplan, menengah (SMP-SMA), yaitu 11
Sadock, dan Grebb (1999); klien (61,1%). Hal ini
Davison dan Neale (2001), dalam menunjukkan bahwa klien
Fausiah dan Widury, (2005) dalam mempunyai latar belakang
penelitiannya yang menunjukkan pendidikan yang cukup memenuhi
bahwa laki-laki lebih mungkin syarat dalam menerima informasi
memunculkan gejala negatif baru. Klien sebagian besar mampu

40 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 34-48


memahami penjelasan, pengarahan, menerima informasi pembelajaran
melakukan latihan seperti yang yang disampaikan oleh perawat.
disampaikan oleh perawat dalam Hal ini dapat diamati pada saat
pelaksanaan terapi latihan perawat melakukan terapi latihan
ketrampilan sosial. Hal ini sesuai ketrampilan sosial, pasien mudah
dengan pendapat Siagian (1995) menangkap informasi yang
yang menyatakan semakin tinggi disampaikan mengenai penjelasan
pendidikan seseorang semakin terapi dan sesi-sesi yang akan
besar untuk memanfaatkan dilakukan sebelum melakukan
pengetahuan dan keterampilan. terapi.
Tingkat pendidikan sangat
mempengaruhi cara individu d. Status Pekerjaan
berperilaku, membuat keputusan Klien yang dirawat dengan masalah
dan memecahkan masalah, serta isolasi sosial dan harga diri rendah
mempengaruhi cara penilaian klien sebagian besar memiliki pekerjaan
terhadap stresor. sebelum dirawat yaitu (50,0%). Hal
ini memberikan gambaran bahwa
Faktor pendidikan mempengaruhi klien sebelum masuk ke rumah
kemampuan seseorang dalam sakit, mampu terlibat aktif dan
menyelesaikan masalah yang produktif dalam menjalankan peran
dihadapinya. Hal ini senada dengan sehari-hari dilingkungannya.
pendapat Kopelowicz (2002) yang Pekerjaan juga mencerminkan
menyatakan bahwa semakin tinggi produktivitas dan penghasilan
pendidikan dan pengetahuan seseorang. Hal ini sesuai dengan
seseorang akan berkorelasi positif fungsi ekonomi keluarga yang
dengan keterampilan koping yang memberikan tugas anggota,
dimiliki. Pendidikan sebagai terutama kepala keluarga untuk
sumber koping berhubungan mencari sumber-sumber kehidupan
dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi fungsi-fungsi
untuk menerima informasi yang keluarga yang lain terutama
dapat membantu mengatasi memenuhi kebutuhan keluarga
masalah yang dihadapi seseorang. (WHO, 1978, dalam Effendy,
Pada klien kelolaan, pendidikan 1998). Pekerjaan merupakan salah
klien termasuh dalam pendidikan satu faktor predisposisi dan
menengah sehingga mampu presipitasi sosial budaya proses

Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan 41
Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor
Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
terjadinya gangguan jiwa. Faktor sudah menikah yaitu sebanyak 12
status sosioekonomi yang rendah klien (66,7%). Hal ini didukung
lebih banyak mengalami gangguan dengan pendapat Hawari (2001)
jiwa dibanding pada tingkat dan Kintono (2010) yang
sosioekonomi tinggi. Pendapat menyatakan bahwa berbagai
tersebut juga didukung oleh masalah perkawinan dapat menjadi
Townsend (2009) yang menyatakan sumber stress bagi seseorang dan
bahwa salah satu faktor sosial yang merupakan salah satu penyebab
menyebabkan tingginya angka umum gangguan jiwa. Masalah
gangguan jiwa termasuk umum yang sering terjadi selama
skizofrenia adalah tingkat sosial menjalani perkawinan adalah
ekonomi rendah. pertengkaran, ketidaksetiaan,
kematian salah satu pasangan, dan
Penjelasan tersebut menjelaskan perceraian yang jika tidak dapat
bahwa seseorang yang berada diatasi dapat menjadi sumber stres
dalam sosial ekonomi rendah dan yang menyebabkan masalah
tidak memiliki pekerjaan lebih kejiwaan. Cara seseorang
berisiko untuk mengalami berbagai mengatasi permasalah yang muncul
masalah terutama kurangnya rasa merupakan mekanisme koping
percaya diri dalam menjalankan dalam menjalankan 5 (lima) fungsi
aktivitas hidup sehari-hari. Terapi dalam sebuah keluarga, yaitu
latihan ketrampilan sosial sangat fungsi afektif, fungsi sosialisasi dan
tepat dilakukan terhadap individu penempatan sosial, fungsi
yang mengalami masalah kurang reproduksi, fungsi ekonomi, serta
percaya diri sehingga klien memberikan pelayanan kesehatan
memiliki pengetahuan bagaimana bagi seluruh anggota keluarga
cara membina hubungan dengan (Friedman, 1998). Beberapa fungsi
orang lain, cara melakukan kerja keluarga tersebut merupakan
sama dengan orang lain yang dapat stresor bagi setiap orang yang
dijadikan sebagai mekanisme sudah melangsungkan pernikahan
koping konstruktif. sehingga apabila salah satu atau
beberapa fungsi tersebut tidak
e. Status Perkawinan terpenuhi dapat menyebabkan
Klien isolasi sosial dan harga diri terjadinya harga diri rendah. Harga
rendah yang dirawat sebagian besar diri rendah yang dialami seseorang

42 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 34-48


dapat menyebabkan seseorang anggota keluarga yang mengalami
mengalami penurunan minat dan gangguan jiwa akan dapat
merasa tidak mampu menjalani melangsungkan proses
interaksi dengan orang lain karena kehidupannya tanpa harus merasa
merasa tidak percaya diri. minder, tidak percaya diri serta
masih tetap dapat melakukan
2. Faktor Predisposisi interaksi terhadap orang lain.
a. Aspek Biologis
Sebagian besar faktor predisposisi b. Aspek Psikologis
pada klien yang diberikan terapi Faktor predisposisi pada aspek
latihan ketrampilan sosial adalah psikologis sebagian besar akibat
adanya riwayat genetik yaitu adanya riwayat
sebanyak 66,7%. Faktor genetik kegagalan/kehilangan (77,8%).
memiliki peran terjadinya Pengalaman kehilangan dan
gangguan jiwa pada klien yang kegagalan akan mempengaruhi
menderita skizofrenia (Sadock dan respon individu dalam mengatasi
Sadock, 2007). Jika salah satu stresornya. Hal ini sesuai dengan
orang tua menderita gangguan jiwa, teori psikoanalisa Freud (1994)
keturunannya memiliki resiko 10%, yang menyampaikan bahwa
dan resiko sebesar 40% jika kedua ketidakmampuan menyelesaikan
orang tua memiliki riwayat masalah, konflik yang tidak
gangguan jiwa. Pada klien isolasi disadari antara impuls agresif atau
sosial dan harga diri rendah yang kepuasan libido serta pengakuan
dilakukan pengelolaan, dapat terhadap ego dari kerusakan
dilihat bahwa faktor genetik eksternal yang berasal dari
merupakan faktor yang lebih besar kepuasan. Hal ini senada dengan
dibandingkan dengan faktor yang disampaikan Erickson (1963,
predisposisi lainnya seperti trauma dalam Townsend 2009) yang
fisik, riwayat napza, ataupun menyatakan bahwa pengalaman
riwayat gangguan jiwa sebelumnya. penolakan orang tua pada masa
bayi akan membuat anak menjadi
Pemberian terapi latihan tidak percaya diri dalam
ketrampilan sosial dapat membantu berhubungan dengan orang lain.
klien mengembangkan cara berpikir Kondisi ini akan membuat individu
bahwa klien yang memiliki riwayat lebih cenderung merasa rendah diri.

Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan 43
Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor
Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
Pemberian terapi latihan Klien dengan gangguan jiwa berat
ketrampilan sosial dapat membantu yang memiliki status ekonomi
klien mengembangkan mekanisme rendah sering mendapatkan stigma
koping dalam memecahkan dari lingkungan sosialnya sehingga
masalah terkait masa lalu yang akan membuat mereka lebih
tidak menyenangkan. Klien dilatih memilih tidak terlibat dalam
untuk mengidentifikasi kemampuan kegiatan sosial sehingga terkesan
yang masih dapat digunakan yang menutup diri.
dapat meningkatkan harga dirinya
sehingga tidak akan mengalami Terapi latihan ketrampilan sosial
hambatan dalam berhubungan akan melatih klien dalam
sosial. meningkatkan hubungan dengan
orang lain dengan cara memberikan
c. Aspek Sosial Budaya pengetahuan serta kemampuan
Faktor predisposisi selanjutnya bagaimaa menjalani hubungan
adalah aspek sosial budaya, dimana dengan orang lain yang akan
pada klien kelolaan didapatkan meningkatkan kemampuan untuk
aspek sosial budaya sebagian besar mencapai harga diri yang positif.
adalah pendidikan menengah dan
sosial ekonomi rendah masing- 3. Faktor Presipitasi
masing sebanyak 11 klien (61,1%). Hasil pengkajian terhadap 18 klien
Menurut Townsend (2009) status yang mengalami isolasi sosial dan
sosioekonomi yang rendah lebih harga diri rendah kronis diperoleh
rentan mengalami gangguan jiwa bahwa 6 klien (33,3%) mengalami
dibanding pada tingkat putus obat. Rata-rata klien
sosioekonomi tinggi. Kemiskinan menyampaikan bahwa mereka merasa
yang dialami oleh seseorang bosan dan merasa sudah sembuh
menjadikan terjadinya keterbatasan sehingga tidak perlu lagi minum obat,
dalam pemenuhan kebutuhan disamping itu klien juga
pokok seperti nutrisi, pemenuhan menyampaikan bahwa jika minum obat
kesehatan, kurangnya perhatian terus menerus menjadikan klien tidak
terhadap pemecahan masalah yang bisa bekerja seperti biasa karena mudah
dapat menimbulkan munculnya ngantuk dan lemas.
stres.

44 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 34-48


Seluruh klien yang mengalami masalah sebesar 14,94, respon sosial sebesar
isolasi sosial dan harga diri rendah 19,61, respon fisiologis sebesar 15,17
memiliki stresor berasal dari diri klien dan secara keseluruhan respon klien
sendiri dan juga ditambah dengan harga diri rendah sebesar 93,11.
stresor dari luar diri pasien. Hal ini Sedangkan penilaian stresor pada
sesuai dengan pendapat Stuart dan masalah harga diri rendah didapatkan
Laraia (2005) bahwa stresor dapat gambaran rata-rata respon kognitif
berasal dari internal maupun eksternal. klien sebelum diberikan terapi latihan
Waktu terpaparnya stresor pada klien ketrampilan sosial sebesar 16,06,
sebagian besar sudah mengalami respon afektif sebesar 13,61, respon
gangguan jiwa > 6 bulan dan jumlah perilaku sebesar 17,61, respon sosial
stresor yang dialami oleh klien lebih sebesar 13,44, respon fisik sebesar 7,94
dari 1 stresor. Kondisi ini menujukkan dan secara komposit didapatkan respon
bahwa rata-rata klien sudah mengalami klien harga diri rendah sebesar 60,92.
gangguan jiwa kronis. Jumlah stresor
lebih dari satu yang dialami oleh Respon klien dengan isolasi sosial dan
individu dalam satu waktu yang harga diri rendah dalam menghadapi
bersamaan akan lebih sulit diselesaikan stresor tersebut sesuai dengan pendapat
dibandingkan dengan satu stresor Stuart dan Laraia (2005) yang
dalam satu waku. Setiap stresor atau melihatnya dari aspek kognitif, afektif,
masalah yang muncul membutuhkan fisiologis, perilaku, dan sosial. Kelima
penyelesaian sehingga semakin banyak aspek tersebut dijadikan pedoman
stresor yang dimiliki oleh individu dalam penilaian terhadap respon klien
maka individu tersebut makin dituntut dengan isolasi sosial dan harga diri
untuk memiliki penyelesaian koping rendah kronis dalam karya ilmiah ini.
yang adekuat dan makin bervariasi Didapatkannya penilaian terhadap
dalam mengatasi stresornya (Stuart dan stresor pada kelima respon tersebut
Laraia, 2005). mendorong penulis untuk memberikan
terapi latihan ketrampilan sosial yang
4. Penilaian Terhadap Stresor bertujuan untuk membantu
Berdasarkan hasil penilaian terhadap meningkatkan respon kognitif, afektif,
stresor pada klien yang memiliki fisiologis, perilaku, dan sosialnya.
masalah isolasi sosial didapatkan rata-
rata respon kognitif 27,50, respon Terapi latihan ketrampilan sosial
afektif sebesar 15,89, respon perilaku merupakan proses pembelajaran

Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan 45
Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor
Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
dengan menggunakan teknik perilaku hubungan sosial. Adanya latihan
bermain peran, praktik dan umpan ketrampilan sosial terbukti dapat
balik untuk meningkatkan kemampuan membantu meningkatkan kemampuan
menyelesaikan masalah (Kneisl, 2004). sosial klien yang dapat dilihat pada
Proses pembelajaran sosial mengacu respon kognitif, sektif, psikomotor,
kepada kekuatan berpikir tentang sosial dan fisik. Pada klien harga diri
bagaimana belajar memberikan pujian rendah juga didapatkan penurunan
dan hukuman, termasuk beberapa respon kognitif, afektif, perilaku, sosial
pujian dan model yang akan diberikan. dan fisik. Hal ini diakibatkan karena
Pembelajaran sosial meliputi motivasi, sebelum diberikan terapi, klien merasa
emosi, pikiran, penguatan sosial, malu, minder dan tidak percaya diri
penguatan diri. Penguatan sosial bisa untuk membina hubungan sosial
berbentuk perhatian, rekomendasi, dengan lingkunganya. Setelah
perhatian dan lainnya yang dapat diberikan terapi, didapatkan pengaruh
membuat individu terus berperilaku ke yang signifikan terhadap kemampuan
arah yang lebih baik. sosial klien.

5. Ketepatan Penerapan Manajemen Pelaksanaan terapi latihan ketrampilan


Terapi Latihan Ketrampilan Sosial sosial yang dilakukan dengan
pada Klien Isolasi Sosial dan Harga menggunakan pendekatan model
Diri Rendah Kronis dengan hubungan interpersonal Peplau pada
Menggunakan Pendekatan Model klien dengan masalah isolasi sosial dan
Hubungan Interpersonal Peplau harga diri rendah. Model interpersonal
dapat dilakukan secara efektif karena
Penurunan respon tersebut proses tahap pertama dalam hubungan
menunjukkan bahwa terapi latihan perawat dengan klien yang disebut
ketrampilan sosial memiliki pengaruh tahap orientasi diawali dengan
yang signifikan setelah dilakukan pada membina hubungan saling percaya
klien yang mengalami masalah isolasi dimana perawat dan klien belum saling
sosial. Pada klien isolasi sosial, latihan mengenal dan perawat merupakan
ketrampilan sosial diberikan orang asing bagi klien. Tahap
berdasarkan hasil identifikasi masalah identifikasi dilakukan oleh perawat
klien yang didapatkan adanya dengan melakukan pengkajian secara
ketidaktahuan dan ketidakmampuan mendalam terhadap masalah yang
klien dalam membina dan melakukan muncul pada klien. Pada tahap ini

46 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 34-48


hubungan perawat dan klien sudah yang termasuk dalam tahap akhir yaitu
terbina dengan baik sehingga perawat tahap resolusi.
dapat menggali permasalahan yang
klien alami. Simpulan

Setelah mendapatkan berbagai data, 1. Faktor predisposisi biologis terbanyak


perawat dengan klien bersama-sama yaitu adanya riwayat genetik yaitu
menentukan tujuan untuk membantu sebanyak 12 klien (66,7%). Sebanyak
mengatasi masalah yang termasuk 14 klien (77,8%) mengalami riwayat
dalam tahap eksploitasi. Pada tahap kegagalan, serta berpendidikan
eksploitasi ini perawat melatih klien menengah dan dari sosial ekonomi
tentang kemampuan untuk rendah masing-masing sebanyak 11
meningkatkan hubungan sosial melalui klien (61,1%) merupakan faktor sosial
terapi latihan ketrampilan sosial. Terapi budaya. Faktor presipitasi aspek
latihan ketrampilan sosial terdiri dari 4 biologis yaitu putus obat sebanyak 6
sesi dimana pada tiap-tiap sesi klien (33,3%), dan secara psikologis
dilakukan rata-rata 3 kali pertemuan, 77,8% klien memiliki keinginan yang
dan masing-masing pertemuan tidak terpenuhi, pada faktor sosial
dilakukan selama 30-45 menit. Tahap budaya didapatkan masalah pekerjaan
eksploitasi ini dilakukan bersama klien sebanyak 66,7%, asal stresor
sampai klien benar-benar menguasai seluruhnya berasal dari internal tetapi
baik secara kognitif maupun ada juga stresor ekstrenal yang
psikomotor untuk tiap-tiap sesi latihan menyertainya yang didapatkan pada 14
terapi. Setelah perawat merasa yakin klien (77,8%). Waktu stresor paling
bahwa klien telah mampu menguasai banyak pada waktu >6 bulan sebanyak
terapi yang dilatihkan, selanjutnya 12 klien (66,7%) dan jumlah stresor
perawat melakukan identifikasi seluruhnya lebih dari 1 stresor.
kembali terhadap kemampuan klien 2. Latihan ketrampilan sosial dapat
dalam melaksanakan kemampuan yang meningkatkan kemampuan sosialisasi
telah dilatihkan serta perawat pada klien isolasi sosial dan harga diri
membantu klien untuk mempersiapkan rendah. Semua klien telah mampu
lepas dari ketergantungan terhadap melakukan latihan berbicara yang baik,
perawat dalam melakukan hubungan melakukan latihan berbicara untuk
sosial dengan lingkungan sekitarnya menjalin persahabatan, melakukan
latihan berbicara untuk bekerjasama

Penerapan Terapi Latihan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan 47
Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau Di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor
Abdul Wakhid, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena CD
dan melakukan latihan berbicara untuk
Chen, K, & walk. (2006). Social Skills Training
menghadapi situasi yang sulit. Intervension for Student with
Emotional/Behavioral Disorder: A Literature
3. Latihan ketrampilan sosial dapat Review from American Perspective.
www.ccbd.net/dokuments/bb/BB.15(3)%socia
menurunkan tanda dan gejala pada l % 20 skills pdf. Desember 12, 2012.
klien yang mengalami isolasi sosial dan
Kneisl, C.R., Wilson, S.K., and Trigoboff, E.
harga diri rendah. Rata-rata respon (2004). Psychiatric mental health nursing.
New Jersey: Pearson Prentice Hall.
secara keseluruhan pada masalah
Kopelowitz, dkk (2002), Psycosocial treatment for
isolasi sosial sebelum diberikan terapi schizofrenia, NewYork, Oxford University
latihan ketrampilan sosial sebesar Michelson, L., Sugai, P.D & Wood, R.P.(1985).
93,11 dan sesudah diberikan terapi Social skills assesment, New York: Plenum
press.
latihan ketrampilan sosial sebesar
Riskesdas, (2007), Riset Kesehatan Dasar, Badan
60,56. Dan rata-rata respon secara Penelitian Kesehatan Nasional, Jakarta.
keseluruhan pada masalah harga diri Sadock, B.J., & Sadock, V.A. (2007). Kaplan and
Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral
rendah sebelum diberikan latihan Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed.
ketrampilan sosial sebesar 60,92 dan Lippincott Williams & Wilkins

sesudah diberikan terapi latihan Stuart, G.W. & Laraia, M.T. (2005). Principles and
Practice of Psychiatric Nursing, 8th ed.
ketrampilan sosial sebesar 40,17. Missouri: Mosby, Inc.
4. Pendekatan model hubungan Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health
Nursing Concepts of Care in Evidence-Based
interpersonal Peplau dirasakan tepat Practice. 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis
diterapkan pada klien dengan masalah Company

isolasi sosial dan harga diri rendah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
karena tahapan-tahapan pemberian
Varcarolis, E.M.,. (2010). Foundations of
asuhan keperawatan dalam model Psychiatric Mental Health Nursing a Clinical
Approach. Missouri: Saunders Elsevier
hubungan interpersonal Peplau yang
terdiri dari tahap orientasi, identifikasi, Videbeck, S.L. (2008). Psychiatric-Mental Health
Nursing. 4th ed. Philadelphia: Lippincott
eksploitasi dan resolusi dapat Williams & Wilkins

diterapkan sesuai dengan karakteristik WHO. (2006). The world health report: 2006:
mental health: new Understanding, new hope.
klien. www.who.int/whr/2001/en/ diperoleh tanggal
20 Februari 2011.
Daftar pustaka WHO. (2009). Improving health systems and
services for mental health (Mental health
Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Crawford, L. E., policy and service guidance package). Geneva
Ernst, J. M., Burleson, M. H., Kowalewski, R. 27, Switzerland: WHO Press.
B., . . . Berntson, G. G. (2002). Loneliness and
Health: Potential Mechanisms. Psychosomatic
Medicine, 64, 407–417.

Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The


Nurse-Patient Journey. 2nd ed. Philadelphia:
W.B. saunders Company.

48 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 34-48


Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
Terhadap Perubahan Perilaku Klien Isolasi Sosial
Surya Efendia, Atih Rahayuningsihb, Wan Muharyatic
a
RSJ HB Sa’anin Padang
b
Keperawatan Universitas Andalas
c
Perawat RSJ HB Sa’anin Padang

Abstract: This study aims to determine the Effect of Activity Group Therapy: Socialization
(AGTS) to Client Behavior Change Social Isolation in Gelatik Room Prof. HB Sa'anin Mental
Hospital Padang. This study used quasi experiment design without a control group with the
approach one group pretest and posttest design. Objects in this study is the client's social
isolation. Sampling was purposive sampling with a sample of 10 people. Instruments used in the
form of sheets of observation and interview guides. Clients of social isolation pretest conducted
before given AGTS, then do posttest. The average value of 31.5 pretest and posttest mean value of
40.1. This shows a decline in social isolation behavior after being given the AGTS. Data were
analyzed using Two Different Tests Mean Dependent (Paired Samples) with 95% degree of
confidence. The results of statistical tests obtained p = 0.00 (p <0.05). This suggests there is a
significant influence on the administration AGTS to changes in client behavior of social isolation.
Expected to hospital nurses to be able to improve the implementation of AGTS with respect to
indications that the client can participate in the activities of the AGTS. Then the researchers next
to be examined by using qualitative techniques.

Key words: social isolation, behaviour changes, group activity therapy

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi aktivitas
kelompok sosialisasi terhadap Perubahan Perilaku Klien Isolasi Sosial di Ruang Gelatik RS Jiwa
Prof HB Sa’anin Padang. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment tanpa kelompok
kontrol dengan pendekatan one group pretest and posttest design. Sampel dalam penelitian ini
adalah klien isolasi sosial yang diambil secara purposive sampling berjumlah 10 orang.
Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi dan pedoman wawancara.Nilai rata-rata
pretest 31,5 dan posttest 40,1. Data diuji dengan Uji Beda Dua Mean Dependen (Paired Sampel)
dengan derajat kepercayaan 95 %. Hasil uji statistik didapatkan p = 0,00 (p<0,05). Hal ini
menunjukkan terdapat pengaruh yang bermakna pada pemberian TAKS terhadap perubahan
perilaku klien isolasi sosial. Diharapkan kepada perawat rumah sakit untuk dapat meningkatkan
pelaksanaan TAKS dengan memperhatikan indikasi klien yang bisa diikutsertakan dalam
kegiatan TAKS. Kemudian kepada peneliti selanjutnya diharapkan untuk dapat melanjutkan
penelitian ini dengan menggunakan teknik kualitatif.

Kata kunci: isolasi sosial, perubahan perilaku, terapi aktifitas kelompok

Sehat menurut WHO adalah keadaan Dalam definisi tersebut jelas bahwa sehat
yang sempurna baik fisik, mental maupun bukan sekedar terbebas dari penyakit atau
sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit, cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun
kelemahan atau cacat (Notosoedirjo, 2002). belum tentu dikatakan sehat. Seseorang

105
NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 8, No 2, Desember 2012 : 105-114

semestinya dalam keadaan yang sempurna dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat
baik fisik, mental maupun sosial. Dalam menimbulkan perilaku tidak ingin
perkembangan dan pembangunan dunia akhir- berkomunikasi dengan orang lain, lebih
akhir ini yang ditandai dengan modernisasi, menyukai berdiam diri, menghindar dari
industrialisasi dan globalisasi, akan membawa orang lain, dan kegiatan sehari-hari terabaikan
banyak perubahan dalam kehidupan yang bisa (Kusumawati dan Hartono, 2010). Menurut
menjadi stressor bagi seseorang. Dengan Stuart and Sundeen, (2006) Individu dalam
tingginya stressor itu diperkirakan gangguan situasi seperti ini harus diarahkan pada respon
jiwa akan semakin meningkat (Setiaji, 2002). perilaku dan interaksi sosial yang optimal
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang melalui asuhan keperawatan yang
paling banyak terdapat di seluruh dunia komprehensif dan terus menerus disertai
adalah gangguan jiwa skizofrenia. Prevalensi dengan terapi-terapi modalitas seperti Terapi
skizofrenia di dunia adalah 0,1 per mil dengan Aktivitas Kelompok (TAK), bahkan TAK
tanpa memandang perbedaan status sosial Sosialisasi memberikan modalitas terapeutik
atau budaya (Varcarolis and Halter 2010). yang lebih besar daripada hubungan
Sedangkan hasil riset dasar kesehatan terapeutik antara dua orang yaitu perawat dan
nasional tahun 2007 menyebutkan bahwa klien.
sebanyak 0,46 per mil masyarakat Indonesia TAK adalah terapi modalitas yang
mengalami gangguan jiwa berat. Mereka dilakukan perawat kepada sekelompok klien
adalah yang diketahui mengidap skizofrenia yang mempunyai masalah keperawatan yang
dan mengalami gangguan psikotik berat sama. Aktivitas yang digunakan sebagai
(Depkes RI, 2007). terapi, dan kelompok digunakan sebagai
Skizofrenia adalah suatu gangguan target asuhan. Di dalam kelompok terjadi
jiwa berat yang ditandai dengan penurunan dinamika interaksi yang saling bergantung,
atau ketidakmampuan berkomunikasi, saling membutuhkan dan menjadi
gangguan realitas (halusinasi atau waham), laboratorium tempat klien berlatih perilaku
afek yang tidak wajar atau tumpul, gangguan baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku
kognitif (tidak mampu berpikir abstrak) serta lama yang maladaptif. Stuart and Sundeen
mengalami kesukaran melakukan aktivitas (2006) menambahkan bahwa TAK dilakukan
sehari-hari. Salah satu gejala negatif untuk meningkatkan kematangan emosional
skizofrenia adalah menarik diri dari pergaulan dan psikologis pada klien yang mengidap
sosial (isolasi sosial). Isolasi sosial adalah gangguan jiwa pada waktu yang lama. TAK
keadaan dimana seorang individu mengalami dapat menstimulus interaksi diantara anggota
penurunan atau bahkan sama sekali tidak yang berfokus pada tujuan kelompok. TAK
mampu berinteraksi dengan orang lain di Sosialisasi juga membantu klien
sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, berinteraksi/berorientasi dengan orang lain.
tidak diterima, kesepian dan tidak mampu Terapi Aktivitas Kelompok :
membina hubungan yang berarti dengan Sosialisasi (TAKS) merupakan suatu
orang lain (Keliat et al, 2005). rangkaian kegiatan yang sangat penting
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi dilakukan untuk membantu dan memfasilitasi
oleh faktor predisposisi diantaranya klien isolasi sosial untuk mampu
perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan bersosialisasi secara bertahap melalui tujuh
dapat mengakibatkan individu tidak percaya sesi untuk melatih kemampuan sosialisasi
pada diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, klien. Ketujuh sesi tersebut diarahkan pada
takut salah, pesimis, putus asa terhadap orang tujuan khusus TAKS, yaitu : kemampuan
lain, tidak mampu merumuskan keinginan, memperkenalkan diri, kemampuan

106
Efendi, dkk, Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok

berkenalan, kemampuan bercakap-cakap, bahwa semua ruang rawat inap di RS. Jiwa
kemampuan menyampaikan dan Prof. HB. Sa’anin Padang khususnya ruang
membicarakan topik tertentu, kemampuan Gelatik telah melaksanakan TAK sebagai
menyampaikan dan membicarakan masalah bagian dari kegiatan perawatan pasien yang
pribadi, kemampuan bekerja sama, dilaksanakan setiap hari yang salah satunya
kemampuan menyampaikan pendapat tentang adalah TAKS. TAKS dilakukan berurutan
manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan. dari sesi 1 sampai sesi 7 yang dilaksanakan
Langkah-langkah kegiatan yang dilakukan oleh perawat ruangan dan mahasiswa yang
dalam TAKS yaitu tahap persiapan, orientasi, sedang melaksanakan praktik klinik di RS.
tahap kerja dan tahap terminasi dengan Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang. Perawat
menggunakan metode dinamika kelompok, melaksanakannya sesuai dengan prosedur
diskusi atau tanya jawab serta bermain peran yang ada pada buku panduan, tapi belum
atau stimulasi. sepenuhnya memperhatikan indikasi untuk
Penelitian yang dilakukan oleh Setya, pasien yang sudah bisa diikutsertakan dalam
T (2009) didapatkan adanya pengaruh TAKS kegiatan ini, seperti masih ada klien yang
terhadap kemampuan berinteraksi pada klien belum bisa melakukan interaksi interpersonal
isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Pusat Dr. dan berespon sesuai dengan stimulus juga
Soeharto Heerdjan Jakarta. Sedangkan diikutsertakan. Selain itu, klien yang tidak ada
penelitian Joko (2009) di Rumah Sakit Jiwa kemajuan setelah dirawat secara individu juga
Surakarta menyatakan bahwa ada pengaruh diikutsertakan dalam kegiatan TAKS, padahal
yang signifikan pelaksanaan TAKS sesi satu klien seperti ini belum bisa diikutsertakan
dan sesi dua terhadap perubahan perilaku karena tidak akan memberi dampak walaupun
menarik diri. dilibatkan dalam kegiatan TAKS.
Berdasarkan data laporan masing- Hasil observasi pada tanggal 16
masing ruang rawat inap RS. Jiwa Prof. HB. Oktober 2011 pada sepuluh orang klien
Sa’anin Padang dalam enam bulan terakhir dengan masalah keperawatan isolasi sosial
(dari bulan Maret 2011 sampai Agustus yang telah diberikan TAKS sesi 1 sampai sesi
2011), diketahui bahwa klien dengan masalah 7 di ruang Gelatik RS Jiwa Prof. HB. Sa’anin
isolasi sosial terbanyak terdapat di ruang Padang, ditemukan tujuh orang klien masih
Gelatik yaitu sebanyak 64 orang dari 352 suka menyendiri, jarang berbincang-bincang
orang (18,1 %). Sedangkan di ruangan dengan pasien yang lain, terlihat tidak
Merpati sebanyak 54 orang dari 382 orang semangat, afek tumpul, kontak mata kurang
(14,1 %), ruangan Melati sebanyak 45 orang dan lebih sering menunduk, sedangkan tiga
dari 331 orang (13,5 %), ruangan orang pasien yang sudah mulai mau
Cenderawasih 34 orang dari 462 orang (7,3 berinteraksi dengan pasien yang lain kadang-
%), ruangan Flamboyan 19 orang dari 288 kadang masih sering tampak melamun.
orang (6,6 %), dan ruangan Anggrek Data di atas menunjukkan bahwa pasien yang
sebanyak 4 orang dari 86 orang (4,7 %). telah mendapat TAKS sebagian besar masih
RS. Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang menunjukkan perilaku isolasi sosial, seperti
merupakan sebuah Rumah Sakit Jiwa tipe A masih suka menyendiri, jarang berbincang-
yang telah menerapkan Terapi Aktivitas bincang dengan pasien yang lain, tampak
Kelompok yaitu dengan dibentuknya ruang tidak bersemangat, afek tumpul, kontak mata
MPKP, dimana salah satu programnya adalah kurang dan lebih sering menunduk. Padahal
pelaksanaan TAK. Berdasarkan pengalaman secara teoritis TAKS dapat membantu pasien
peneliti secara langsung selama bekerja di RS untuk berinteraksi/bersosialisasi dengan orang
Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang diketahui lain.

107
NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 8, No 2, Desember 2012 : 105-114

Penelitian ini bertujuan untuk anggota kelompok kecil menurut Stuart dan
mengetahui bagaimana pengaruh pemberian Laraia (2006), yaitu 7-10 orang. Untuk
terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap menetapkan sampel maka digunakan kriteria
perubahan perilaku klien isolasi sosial di inkulusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi
Ruang Gelatik RS Jiwa Prof HB Sa’anin adalah karakteristik umum subjek penelitian
Padang Tahun 2011. dari suatu populasi, suatu target dan
terjangkau akan diteliti (Nursalam, 2008).
Adapun kriteria inklusi penelitian ini adalah :
METODE a. Klien isolasi sosial yang sudah mendapat
Penelitian ini menggunakan desain asuhan keperawatan untuk masalah isolasi
quasi eksperiment tanpa kelompok kontrol sosial.
dengan pendekatan one group pretest and b. Klien isolasi sosial yang telah mulai
posttest design (Nursalam, 2008). Dalam melakukan interaksi interpersonal.
rancangan ini kelompok subjek dilakukan c. Klien isolasi sosial yang telah mulai
pretest terlebih dahulu. Populasi dalam berespon sesuai dengan stimulus.
penelitian ini adalah jumlah pasien isolasi d. Klien isolasi sosial yang bersedia dijadikan
sosial yang dirawat di ruang Gelatik RS. Jiwa responden.
Prof. HB. Sa’anin Padang dalam 6 bulan Penelitian ini dilakukan di Ruang Gelatik RS
terakhir (dari bulan Maret 2011 sampai bulan Jiwa Prof HB Sa’anin Padang dari bulan
Agustus 2011), yaitu berjumlah : 64 orang Agustus sampai Desember 2011.
dengan rata-rata perbulan 11 orang. teknik
pengambilan sampel yang digunakan peneliti
adalah purposive sampling, yaitu penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN
yang didasarkan pada suatu pertimbangan Hasil pengambilan data pada klien
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri isolasi sosial di Ruang Gelatik RS. Jiwa Prof.
berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang HB. Sa’anin Padang selama 10 hari mulai dari
sudah diketahui sebelumnya. Jumlah sampel tanggal 4 sampai 13 Desember 2011 dengan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah responden 10 orang didapatkan data
10 orang yang didasarkan pada jumlah sebagai berikut :

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Umur, Jenis Kelamin,


Pekerjaan dan Pendidikan di Ruang Gelatik RS Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang Tahun
2011
No Karakteristik Kriteria Frekuensi Persentase
1. Umur 18 – 25 4 40
Cameron (1969) (Dewasa Muda Awal)
>25 – 40 6 60
(Dewasa Muda Akhir)
Total 10 100
2. Jenis Kelamin Laki-Laki 10 100
Perempuan 0 0
Total 10 100
3. Pekerjaan Bekerja 4 40
Tidak Bekerja 6 60
Total 10 100

108
Efendi, dkk, Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok

4. Pendidikan SD 3 30
SMP/Sederajat 5 50
SMA/Sederajat 2 20
Perguruan Tinggi 0 0
Total 10 100

Tabel di atas memperlihatkan bahwa lebih dari separuh (60 %) responden berumur >25-40,
semua responden (100 %) berjenis kelamin laki-laki, lebih dari separuh (60 %) responden tidak
bekerja, lebih banyak (50 %) responden berpendidikan SMP.

Tabel 2. Rerata perbahan perilaku isolasi sosial sebelum dan sesudah terapi aktivitas
kelompok sosialisasi di Ruang Gelatik RS Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang Tahun 2011
No. Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuan Kategori
Responden (Pretest) (Posttest)
1 30 41 11
2 27 37 10
3 30 39 9
4 33 43 10
5 33 41 8
6 30 37 7
7 34 42 8
8 35 41 6
9 31 39 8
10 32 41 9
31,5 40,1

Tabel 2. di atas memperlihatkan penelitian yang dilakukan oleh Joko (2009) di


bahwa semua responden (100%) mengalami Rumah Sakit Jiwa Surakarta yang
perubahan perilaku isolasi sosial, yang berarti menyatakan bahwa ada pengaruh yang
bahwa terjadi penurunan perilaku isolasi signifikan pelaksanaan TAKS sesi satu dan
sosial dari sebelum dan sesudah perlakuan sesi dua terhadap perubahan perilaku menarik
dalam rentang 6 sampai 11 dengan nilai rata- diri dengan perbedaan nilai antara pretest dan
rata pretest 31,5 dan nilai rata-rata posttest posttest yaitu sebesar 0,34.
40,1. Rata-rata perilaku isolasi sosial Salah satu gejala negatif skizofrenia
responden pada saat pretest dan posttest adalah menarik diri dari pergaulan sosial
didapatkan perbedaan nilai sebesar 8,6, (isolasi sosial). Isolasi sosial adalah keadaan
artinya perilaku isolasi sosial klien menurun dimana seorang individu mengalami
sebesar 15,3 % setelah diberikan TAKS penurunan atau bahkan sama sekali tidak
selama 7 sesi. Adapun klien yang mengalami mampu berinteraksi dengan orang lain di
rentang perubahan nilai 6 sampai 8 adalah 5 sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak,
orang (50%), sedangkan yang mengalami tidak diterima, kesepian dan tidak mampu
rentang perubahan nilai 9 sampai 11 adalah 5 membina hubungan yang berarti dengan
orang (50%). Penelitian ini sesuai dengan orang lain (Keliat et al, 2005).

109
NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 8, No 2, Desember 2012 : 105-114

Penelitian ini menunjukkan bahwa berkurang dan berat badannya mulai


semua responden berada dalam rentang usia menurun. Tidurnya hampir selalu terganggu
dewasa muda. Hal ini sesuai dengan pendapat dan keluhan yang paling sering adalah
Natsir dan Muhith (2010) yang menyatakan terbangun dini hari dan tidak dapat tidur
bahwa skizofrenia ditemukan 7 per mil orang sesudahnya. Dengan berkembangnya depresi
dewasa dan terbanyak usia 15-35 tahun. seseorang menjadi lebih lamban, merasa sedih
Sedangkan dilihat dari karakteristik dan mungkin terlalu dihantui rasa bersalah
responden berdasarkan pekerjaan, didapatkan dan tidak berguna.
lebih dari separoh (60%) responden tidak Terjadinya gangguan dalam
bekerja. Menurut Prayitno, E (2006), bekerja berhubungan dengan orang lain (isolasi
merupakan salah satu dimensi kehidupan sosial) juga dapat dipengaruhi oleh jenis
orang dewasa awal yang sangat penting. kelamin. Dalam penelitian ini didapatkan
Mereka bekerja dengan berbagai alasan, semua (100%) responden berjenis kelamin
seperti untuk mendapatkan kepuasan pribadi, laki-laki. Gillian (1982) dalam Abraham dan
penghasilan, dan status sosial. Bagi kalangan Shanley (1997) menyatakan bahwa bagi
ekonomi lemah, bekerja untuk mendapatkan perempuan adanya kepentingan dan hubungan
penghasilan. Bagi kalangan ekonomi tinggi, pengasuhan dapat membuat mereka
tujuan bekerja adalah untuk mendapatkan mengembangkan keterampilan yang bersifat
kepuasan dan status. McGhie, Andrew (1996) hirarki. Laki-laki di sisi lain tidak mengalami
menyatakan bahwa alasan yang paling lazim kesulitan pada persaingan tetapi bermasalah
dari simptom neurotik yang diberikan pasien dalam membuat hubungan dengan orang lain
dewasa yang menjalani rawat jalan di bagian yang berarti bertentangan dengan
psikiatri adalah bekerja terlalu keras atau kemandiriannya. Selain itu, Maccoby dan
stress yang diberikan dengan pekerjaan. Bila Jackson (1974) dalam Abraham dan Shanley
kita tidak mampu mencapai kepuasan atau (1997) menyatakan bahwa perempuan
menemukan makna dari pekerjaan kita, dalam mempunyai kemampuan verbal dan bahasa
batas tertentu kita gagal dalam lebih baik dibandingkan dengan laki-laki.
mengekspresikan diri yang mengakibatkan Pernyataan di atas menjelaskan bahwa
rasa tidak puas dan kecewa. seorang laki-laki memiliki masalah dalam
McGhie, Andrew (1996) membuat hubungan dengan orang lain, hal ini
menambahkan bahwa seseorang yang tidak berarti laki-laki cenderung mengisolasikan
mampu merampungkan volume pekerjaan dirinya dari pergaulan sosial (isolasi sosial).
yang sama, atau apabila ia tidak mampu Selain itu, Laki-laki juga memiliki
menangani atau tidak memiliki pekerjaan kemampuan verbal dan bahasa yang kurang
domestik rutin, dalam suasana hati yang dari perempuan, sehingga laki-laki cenderung
demikian seseorang merasa sedih, pesimis tertutup dan memendam sendiri setiap
terhadap masa depan dan ia mungkin terlalu masalah dan stessor psikologis yang mereka
merisaukan kesehatannya secara tidak wajar. hadapi. Kondisi ini jika berlangsung lama
Minatnya semakin berkurang dan dengan tanpa ada mekanisme koping yang
perhatiannya tidak lagi dapat terpusat pada konstruktif, maka kecenderungan ia jatuh ke
kegiatan-kegiatan yang semula digemarinya. dalam gangguan jiwa akan lebih tinggi.
Ia merasa dunia sebagai tempat yang Dilihat dari hasil observasi pada saat
menyedihkan dan tidak dapat membayangkan pretest yang dapat dilihat pada master tabel,
perbaikan-perbaikan di kemudian hari atau hal yang paling banyak dilakukan oleh klien
mengingat saat-saat dimana ia merasa adalah menyendiri dalam ruangan dengan
gembira dan puas. Selera makannya total nilai nilai 17, tidak berkomunikasi

110
Efendi, dkk, Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok

dengan total nilai 20, suka melamun dengan Dalam penelitian ini masih terdapat
total nilai 19 dan menghindar dari orang lain separuh (50 %) responden yang mengalami
dengan total nilai 19. Setelah diberikan penurunan perilaku isolasi sosial dalam
TAKS, hal tersebut mengalami penurunan rentang 6 sampai 8. Walaupun tidak ada yang
dengan nilai perubahan sebagai berikut : mengalami penurunan nilai atau peningkatan
menyendiri dalam ruangan 10, tidak perilaku isolasi sosial dalam penelitian ini,
berkomunikasi 8, suka melamun 9, dan perubahan skor yang sedikit dalam penelitian
menghindar dari orang lain 8. Sedangkan ini dapat terjadi karena penurunan konsentrasi
dilihat dari pedoman wawancara, hal yang dan juga sikap responden selama kegiatan
paling banyak dirasakan klien pada saat TAKS. Hal ini dapat diihat dari hasil evaluasi
pretest adalah merasa kesepian dengan total TAKS yang menunjukkan masih adanya
nilai 19, tidak percaya atau merasa tidak aman responden yang tidak ada/kurang kontak
berada dengan orang lain dengan total nilai 20 mata, menggunakan bahasa tubuh yang tidak
dan merasa bosan dan lambat menghabiskan sesuai dan minta izin ke kamar mandi, minum
waktu dengan total nilai 19. Setelah diberikan ataupun melakukan kegiatan lain di luar
TAKS, hal tersebut mengalami perubahan ruangan TAK pada setiap sesi selama
dengan nilai perubahan sebagai berikut : pelaksanaan TAKS. Menurut Depkes, (2000)
merasa kesepian 9, tidak percaya atau merasa keadaan ini dipengaruhi oleh faktor internal
tidak aman berada dengan orang lain 7 dan yaitu faktor sosiopsikologis seperti sikap,
merasa bosan dan lambat menghabiskan kebiasaan dan kemauan dapat mempengaruhi
waktu 4. apa yang kita perhatikan dan faktor eksternal
Perubahan ini sesuai dengan yang terdiri dari intensitas stimulus sehingga
pernyataan Stuart and Sundeen (2006) yang perhatian akan tertuju atau terfokus pada
menyatakan bahwa TAKS dilakukan untuk stimulus yang menonjol serta dapat juga
meningkatkan kematangan emosional dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dimana
psikologis pada klien yang mengidap lingkungan yang bising, warna yang
gangguan jiwa pada waktu yang lama. TAKS mencolok akan mempengaruhi konsentrasi
dapat menstimulus interaksi diantara anggota anggota kelompok dalam melakukan TAK.
yang berfokus pada tujuan kelompok. TAKS Selain itu, keadaan tersebut di atas
juga membantu klien berinteraksi/berorientasi juga dapat dipengaruhi oleh tingkat
dengan orang lain. pendidikan responden, dimana dalam
Menurut Niven, (2000) Keberhasilan penelitian ini didapatkan lebih banyak (50%)
pasien dalam TAK dimungkinkan karena responden dengan tingkat pendidikan
telah terbentuknya rasa percaya antara SMP/Sederajat. Menurut Purwanto, H (1999),
anggota kelompok, dimana rasa saling inti dari kegiatan pendidikan adalah proses
percaya (trust) antara anggota akan belajar mengajar. Hasil dari proses belajar
memungkinkan pasien untuk dapat bekerja mengajar adalah seperangkat perubahan
sama. Rasa saling percaya, saling menerima perilaku. Dengan demikian, pendidikan
dalam norma kelompok akan meningkatkan sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku
rasa kebersamaan antar anggota. Dimana seseorang. Seseorang yang berpendidikan
kekuasaan dan pengaruh masing-masing tinggi akan berbeda perilakunya dengan orang
anggota kelompok sangat menentukan dalam yang berpendidikan rendah.
pencapaian tujuan dari suatu TAK. Selain itu Seseorang yang memiliki tingkat
juga dapat dipengaruhi oleh peran terapis pendidikan yang tinggi akan relatif mudah
dalam memberikan motivasi kepada memahami setiap terapi yang diberikan dalam
responden agar terlibat dalam diskusi. kegiatan TAKS. Sehingga akan menghasilkan

111
NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 8, No 2, Desember 2012 : 105-114

penurunan perilaku isolasi sosial yang cepat. terhambat sehingga penurunan perilaku
Sedangkan tingkat pendidikan yang rendah isolasi sosial klien juga akan ikut terhambat.
membuat proses terapi dalam TAKS menjadi

Tabel 3. Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok : Sosialisasi (TAKS) terhadap


Perubahan Perilaku Klien Isolasi Sosial di Ruang Gelatik RS Jiwa Prof. HB. Sa’anin
Padang Tahun 2011
Variabel Mean SD CI 95 % t p
Lower Upper
Pretest 31,50 2,369
Perilaku Isolasi Sosial -9,677 -7,523 -18,064 0,00
Posttest 40,10 2,025
Perilaku Isolasi Sosial

Hasil uji statistik dengan menggunakan Uji Dilihat dari tujuan terapeutik, TAKS
Beda Dua Mean Dependen (Paired Sampel) mempunyai tujuan untuk memfasilitasi proses
didapatkan rata-rata perilaku isolasi sosial interaksi, meningkatkan sosialisasi,
sebelum pemberian TAKS adalah 31,50 meningkatkan kemampuan klien memberi
dengan standar deviasi 2,369. Sedangkan rata- respon terhadap realita, mengenali cara baru
rata perilaku isolasi sosial setelah pemberian dalam mengatasi masalah, meningkatkan
TAKS adalah 40,10 dengan standar deviasi identitas diri, menyalurkan emosi secara
2,025. Hasil uji statistik ini didapatkan nilai p konstruktif dan meningkatkan kemampuan
= 0,00 (p<0,05), maka dapat disimpulkan ekspresi diri. Sedangkan dilihat dari tujuan
terdapat pengaruh yang bermakna pada rehabilitasi, TAKS bertujuan untuk
pemberian TAKS terhadap perubahan meningkatkan keterampilan ekspresi diri,
perilaku klien isolasi sosial. Dengan demikian meningkatkan kemampuan berempati,
Ho ditolak. meningkatkan kemampuan berhubungan
sosial, meningkatkan kemampuan pemecahan
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian masalah dan meningkatkan kepercayaan diri
Joko (2009) di Rumah Sakit Jiwa Surakarta (Depkes RI, 2000).
dengan nilai p = 0,00 (p<0,05). Namun, pada Pemberian TAKS pada responden
penelitian yang dilakukan oleh Joko (2009) dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap
hanya melaksanakan TAKS dalam 2 sesi saja, dan dilaksanakan dalam tujuh sesi yang
yaitu sesi 1 dan sesi 2. Padahal menurut dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang
Keliat dan Akemat (2004), rangkaian kegiatan ada dalam buku panduan dan responden yang
dalam TAKS terdiri dari tujuh sesi. diikutsertakan dalam kegiatan ini memenuhi
Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti indikasi pasien TAKS. Adapun indikasinya
melaksanakan semua sesi dalam TAKS, yaitu adalah klien isolasi sosial yang telah mulai
dari 1 sampai sesi 7. melakukan interaksi interpersonal, dan telah
Menurut Niven (2000) TAK sangat mulai berespon sesuai dengan stimulus.
efektif dilakukan pada pasien gangguan jiwa Pelaksanaan TAKS di RS Jiwa Prof.
karena memiliki beberapa keuntungan yang HB. Sa’anin Padang telah sesuai dengan
akan diperoleh pasien, meliputi dukungan prosedur yang ada dalam buku panduan, tapi
moral, pendidikan, meningkatkan kemampuan perawat belum sepenuhnya memperhatikan
pemecahan masalah dan meningkatkan indikasi untuk pasien yang sudah bisa
hubungan interpersonal. diikutsertakan dalam kegiatan ini, seperti

112
Efendi, dkk, Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok

masih ada klien yang belum bisa melakukan KESIMPULAN DAN SARAN
interaksi interpersonal dan berespon sesuai Penelitian ini menyimpulkan bahwa
dengan stimulus juga diikutsertakan. Selain seluruh responden mengalami penurunan
itu, klien yang tidak ada kemajuan setelah perilaku isolasi sosial setelah diberikan
dirawat secara individu juga diikutsertakan TAKS. Selain itu, terdapat pengaruh yang
dalam kegiatan TAKS. Hal ini berbeda bermakna pada pemberian TAKS terhadap
dengan yang dilakukan dalam penelitian ini, perubahan perilaku klien isolasi sosial.
dimana peneliti melaksanakan TAKS sesuai Disarankan kepada perawat di RS.
dengan buku panduan dan memperhatikan Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang untuk dapat
indikasi pasien yang bisa diikutsertakan meningkatkan pelaksanaan TAKS dengan
dalam TAKS. Sehingga terapi yang diberikan memperhatikan indikasi klien yang sudah bisa
dapat memberikan perubahan yang bermakna diikutsertakan dalam TAKS. Kepada peneiti
terhadap perubahan perilaku klien isolasi selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian
sosial. lebih lanjut tentang TAKS dengan
Dilihat dari hasil evaluasi masing- menggunakan teknik kualitatif untuk klien
masing sesi pada saat pelaksanaan TAKS, yang masih ditemukan penurunan
ditemukan responden yang mengalami kemampuan dalam masing-masing sesi pada
penurunan kemampuan dari sesi sebelumnya. kegiatan TAKS agar klien tersebut dapat
Seperti yang dialami oleh responden 2 dan mengeksplorasikan perasaan dan pikirannya
responden 9. pada pelaksanaan TAKS sesi 4, sehingga dapat diketahui penyebab penurunan
responden 2 mampu menyampaikan topik kemampuan tersebut.
secara spontan, memilih topik secara spontan
dan memberi pendapat secara spontan.
Namun pada pelaksanaan TAKS sesi 5 dan DAFTAR PUSTAKA
sesi 6, hal tersebut mengalami penurunan. Abraham & Shanley. (1997). Psikologi sosial
Begitu juga dengan responden 9, pada saat untuk perawat. Jakarta: EGC.
pelaksanaan TAKS sesi 4 responden mampu Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
menyampaikan topik dengan jelas, (2000). Keperawatan jiwa, teori dan
menyampaikan topik secara spontan dan tindakan keperawatan. Jakarta.
menjawab dan memberi secara spontan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Namun pada sesi 5, terjadi penurunan (2007). Laporan hasil riset kesehatan
kemampuan dalam menyampaikan topik dasar. Jakarta.
dengan jelas dan menyampaikan topik secara Isaacs, A. (2004). Keperawatan Kesehatan
spontan. Sedangkan pada sesi 6 terjadi Jiwa dan Psikiatri. Jakarta: EGC.
penurunan kemampuan dalam menjawab dan Joko. (2009). Pengaruh pelaksanaan terapi
memberi secara spontan. Oleh karena itu, aktivitas kelompok sosialisasi sesi 1 dan
perlu diadakan penelitian lebih lanjut sesi 2 terhadap perubahan perilaku
mengenai TAKS dengan menggunakan teknik menarik diri klien di Ruang Abimayu,
kualitatif agar masing-masing responden Ruang Maespati dan Ruang Pringgodani
dapat lebih mengeksplorasikan perasaan dan di RSJ Daerah Surakarta. Diakses
pikirannya sehingga dapat diketahui penyebab Tanggal 4 Juni 2011 dari
terjadinya penurunan kemampuan responden http://www.scribd/doc/32713247/proposal
pada masing-masing sesi pelaksanaan TAKS. -terapi-aktivitas-kelompok-sosialisasi
Keliat, B. A. (2005a). Keperawatan jiwa
TAK. Jakarta: EGC.

113
NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 8, No 2, Desember 2012 : 105-114

Keliat, B.A. (2005b). Modul basic course Varcarolis & Halter. (2010). Foundations of
community mental health nursing. Jakarta psychiatric mental health nursing: A
: FIK UI. clinical spproach, (Edisi 6). Philadelphia:
Kusumawati, F & Hartono, Y. (2010). Buku WB. Saunders Company.
ajar keperawatan jiwa. Malang: Salemba
Medika.
McGhie, A. (1996). Penerapan psikologi
dalam perawatan. Yogyakarta: Yayasan
Essentia Medica.
Natsir & Muhith. (2010). Dasar-dasar
keperawatan jiwa: Pengantar dan teori.
Malang: Salemba Medika
Niven, N. (2000). Psikologi kesehatan. (Edisi
3). Jakart: EGC
Notosoedirjo, M, L. (2002). Kesehatan mental
konsep dan penerapan. Universitas
Muhammadiyah Malang
Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan
metodologi penelitian ilmu keperawatan
(edisi 2). Jakarta: Salemba Medika.
Prayitno, E. (2006). Psikologi orang dewasa.
Padang: Angkasa Raya
Setiaji, S. (2002). Upaya yang perlu
dilakukan untuk menghilangkan stigma
masyarakat terhadap gangguan jiwa.
Yogyakarta: Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa Fakultas Kedokteran Jiwa UGM.
Setya, T. (2009). Pengaruh terapi aktifitas
kelompok : sosialisasi terhadap
kemampuan berinteraksi pada kien isolasi
sosial di Rumah Sakit Jiwa Pusat Dr.
Soeharto Heerdjan Jakarta. Diakses
tanggal 4 Juni 2011 dari
http://darsananursejiwa.blogspot.com/201
0/05/strategi-pelaksanaan-tindakan.html
Stuart, G. & Laraia. (2005). Principles and
practice of psychiatric nursing. Misouri:
Mosby Year Book.
Stuart, G.W. & Sundeen, S. J. (2006).
Principles and practice of psychiatric
nursing. Mosby Year Book : Misouri
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental
health nursing: Consepts of care in
evidence-based practice. Philadelphia:
FA. Davis.

114
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari 2016

PENGARUH LATIHAN KETERAMPILAN SOSIALISASI TERHADAP


KEMAMPUAN BERINTERAKSI KLIEN ISOLASI SOSIAL
DI RSJ Prof. Dr. V. L. RATUMBUYSANG MANADO

Eyvin Berhimpong
Sefty Rompas
Michael Karundeng

Program Studi Ilmu Keperawatan


Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi
Email : eyvinberhimpong@yahoo.com

Abstract : Socialization skilss training are given to patients with impaired social isolation to
practice their skills in relationships with others and the environment optimally that have aims to
teach the patients ability to interact with others. The aim of this research is is to know the effect of
socialization skills training to the interaction of social pateints’ ability. This research method is
using the design / pre-experimental study design one group pre test post test. The results is using
wilcoxon signed rank test with significant value is 0,000 or less than the significant value of 0,05
(0,00 < 0, 005). Conclusion from the results of this research showed that there is an influence of
socialization skills training to interaction capability of social isolation patient in Prof. Dr. V. L.
Ratumbuysang Manado. Suggestions socialization skills training can be used as one of the
independent actions of nurses in improving the quality of health services to the interaction
capability of social isolation patient.

Keywords : Socialization Skills Training, Ability Interact, Social Isolation

Abstrak : Latihan keterampilan sosialisasi diberikan pada pasien dengan gangguan isolasi sosial
untuk melatih keterampilan dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan lingkungan secara
optimal bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi seseorang dengan orang lain.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh latihan keterampilan sosialisasi terhadap
kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial. Metode penelitian ini menggunakan rancangan/desain
penelitian pra eksperimental one group pre test post test, Sampel dengan teknik pengambilan
sampel total sampling 30 responden. Hasil penelitian dengan menggunakan uji wilcoxon signed
rank testdengan nilai signifikan adalah 0,000 atau lebih kecil dari nilai signfikan 0,05 (0,00 < 0,05).
Kesimpulan hasil penelitian ini menunjukan adanya pengaruh latihan keterampilan sosialisasi
terhadap kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial di Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang
Manado. Saran latihan keterampilan sosialisasi dapat dijadikan sebagai salah satu tindakan
mandiri perawat dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan terhadap kemampuan berinteraksi
klien isolasi sosial.

Kata kunci : Latihan keterampilan sosialisasi, kemampuan berinteraksi, isolasi sosial

1
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari 2016

PENDAHULUAN orang lain. Salah satu tidakan keperawatan


Dewasa ini kesehatan jiwa menjadi tersebut yang termasuk kelompok terapi
masalah kesehatan yang sangat serius dan psikososial adalah social skills training(SST).
memprihatinkan. Menurut World Health Latihan ketrampilan sosial atau yang sering
Organization WHO dikutip dalam disebut dengan SST(Social Skill
Iyus,Sutini, 2014 Kesehatan jiwa bukan hanya Training)diberikan pada pasien dengan
tidak ada gangguan jiwa, melainkan gangguan isolasi sosial untuk melatih
mengandung berbagai karakteristik yang keterampilan dalam menjalin hubungan
positif yang menggambarkan keselarasan dan dengan orang lain dan lingkungannya secara
keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan optimalbertujuan untuk mengajarkan
kedewasaan pribadinnya. WHO (2013) kemampuan berinteraksi seseorang dengan
menyatakan lebih dari 450 juta orang dewasa orang lain.
secara global diperkirakan mengalami
gangguan jiwa. Dari jumlah itu hanya kurang Dari data rekam medik di Rumah
dari separuh yang bisa mendapatkan Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang
pelayanan yang dibutuhkan. Menurut data Manado, jumlah pasien skizofrenia sebanyak
kementerian Kesehatan tahun 2013 jumlah 129 orang dan pasien isolasi sosial yang
penderita gangguan jiwa di Indonesia lebih dirawat sampai pada bulan September 2015
dari 28 juta orang dengan kategori gangguan sebanyak 34 Jiwa. Berdasarkan pemaparan
jiwa ringan 14,3% dan 17% atau 1000 orang diatas, penulis merasa tertarik untuk
menderita gangguan jiwa berat. Di banding mengetahui bagaimana Pengaruh Latihan
rasio dunia yang hanya satu permil, Keterampilan Sosialisasi Terhadap
masyarakat Indonesia yang telah mengalami Kemampuan Berinteraksi Klien Isolasi Sosial
gangguan jiwa ringan sampai berat telah di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L.
mencapai 18,5% (Depkes RI, 2009). Ratumbuysang Manado.

Kemunduran fungsi sosial dialami METODE PENELITIAN


seseorang di dalam diagnosa keperawatan Rancangan penelitian yang digunakan dalam
jiwa disebut isolasi sosial. Isolasi sosial penelitian ini adalah rancangan/desain
merupakan keadaan dimana seseorang penelitianpra eksperimental one group pre
individu mengalami penurunan atau bahkan test post test.Populasi dalam penelitian ini
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan adalah seluruh pasien isolasi sosial yang
orang lain disekitarnya (Yosep,Sutini, 2014). dirawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L.
Pasien dengan isolasi sosial mengalami Ratumbuysang Manado yang berjumlah 30
gangguan dalam berinteraksi dan mengalami orang.Teknik pengambilan sampel adalah
perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan total populasi yaitu mengambil keseluruhan
orang lain, lebih menyukai berdiam diri, dan populasi untuk dijadikan sampel. Sampel
menghindar dari orang lain. pada penelitian ini adalah 30 sampel pasien
isolasi sosial.
Manusia merupakan makhluk sosial
yang tak lepas dari sebuah keadaan yang HASIL dan PEMBAHASAN
bernama interaksi dan senantiasa melakukan Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Jenis
hubungan dan pengaruh timbal balik dengan Kelamin Responden
manusia yang lain dalam rangka memenuhi Jenis Kelamin n %
kebutuhan dan mempertahankan Laki-Laki 17 56,7
kehidupannya. Dalam mengatasi masalah Perempuan 13 43,3
gangguan interaksi pada pasien gangguan Total 30 100
jiwa khususnya pasien isolasi sosial dapat
Sumber: Data Primer 2016
dilakukan upaya – upaya tindakan
keperawatan bertujuan untuk melatih klien
melakukan interkasi sosial sehingga klien
merasa nyaman ketika berhubungan dengan
2
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari 2016

Tabel 2.Distribusi Berdasarkan Umur diketahui bahwa nilai signifikansi adalah


Responden 0,000 atau lebih kecil dari nilai signifikasi
Umur n % 0,05 (0,000 < 0,005). Dari nilai diatas maka
<40 Tahun 13 43,3 dapat diambil kesimpulan yaitu H0 ditolak
>41 Tahun 17 56,7 atau terdapat pengaruh latihan sosialisasi
Total 30 100 terhadap kemampuan berinteraksi klien
isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Sumber: Data Primer 2016
V. L. Ratumbuysang Manado.
Tabel 3.Distribusi Berdasarkan Lama Rawat A. Karakteristik Responden
Responden Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Lama Rawat n % responden terbanyak adalah responden
< 10 Tahun 25 83,3 dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar
>11 Tahun 5 16,7 17 orang (56,7%), sedangkan responden
Total 30 100 perempuan sebanyak 13 orang
Sumber: Data Primer 2016 (43,3%).Kaplan, Saddock, dan Grebb (1999);
Davidson dan Neale (2001); dalam Wakhid,
Tabel 4. Distribusi Berdasarkan Kemampuan Hamid, dan Helena (2013) dalam
Berinteraksi Sebelum Latihan Keterampilan penelitiannya menunjukkan bahwa laki-laki
Sosialisasi lebih mungkin memunculkan gejala negatif
dibandingkan wanita dan wanita tampaknya
Kemampuan Berinteraksi n % memiliki fungsi sosial yang lebih baik
Tidak Mampu 27 90,0 daripada laki-laki.
Mampu 3 30,0 Berdasarkan kriteria umur, responden
Total 30 100 yang berumur 41 tahun ke atas adalah
Sumber: Data Primer 2016 sebanyak 17 orang sedangkan responden
yang berumur kurang dari 40 tahun sebanyak
Tabel 5.Distribusi Berdasarkan Kemampuan 13 orang (43,3%).Menurut Wakhid, Hamid
Berinteraksi Setelah Latihan Keterampilan dan Helena (2013), masa dewasa merupakan
Sosialisasi masa kematangan dari aspek kognitif, emosi
Kemampuan Berinteraksi N % dan perilaku. Kegagalan yang dialami
Tidak Mampu 5 16,7 seseorang untuk mencapai tingkat
Mampu 25 83,3 kematangan tersebut akan sulit memenuhi
Total 30 100 tuntutan perkembangan pada usia tersebut
Sumber: Data Primer 2016 dapat berdampak terjadinya gangguan jiwa.
Usia dewasa merupakan aspek sosial budaya
Tabel 6.Pengaruh Latihan Sosialisasi dengan frekuensi tertinggi mengalami
Terhadap Kemampuan Berinteraksi Sosial gangguan jiwa.
Klien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Prof. Berdasarkan kriteria lama dirawat,
dr. V. L. Ratumbuysang Manado. responden responden yang dirawat kurang
Median dari 10 tahun adalah sebanyak 25 orang
n (Minimum – p-value (83,3%), sedangkan responden yang dirawat
Maksimum) lebih dari 11 tahun sebanyak 5 orang
Sebelum (16,7%).Menurut Surtiningrum (2011),
Latihan 30 1 (0-10) waktu atau lamanya seseorang terpapar
0,000 stressor akan memberikan dampak terhadap
Sesudah 30 10 (0-10)
Latihan keterlambatan dalam mencapai kemampuan
Sumber: Data Primer 2016 dan kemandirian.

Berdasarkan hasil analisis dengan


menggunakan uji Wilcoxon Signed Rankdapat

3
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari 2016

B.Pengaruh Latihan Sosialisasi Terhadap berkenalan dengan satu orang atau lebih dan
Kemampuan Berinteraksi Klien Isolasi memasukkan ke dalam jadwal sebagai bukti
Sosial telah melakukan latihan berkenalan dengan
klien lain di dalam satu ruangan. Hal ini
Berdasarkan hasil analisis dengan sesuai dengan tujuan strategi pertemuan yaitu
menggunakan uji Wilcoxon Signed klien mampu membina hubungan saling
Rankmenyatakan bahwa nilai signifikansi percaya, menyadari penyebab isolasi sosial
adalah 0,000 atau lebih kecil dari nilai dan mampu berinteraksi dengan orang lain
signifikasi 0,05 (0,000 < 0,005). Dari nilai (Purba,dkk,2008 dalam Nasution, 2011).
diatas maka dapat diambil kesimpulan yaitu
H0 ditolak atau terdapat pengaruh penerapan Menurut Keliat (2009) untuk membina
latihan sosialisasi terhadap kemampuan hubungan saling percaya dengan klien isolasi
berinteraksi klien isolasi sosial di Rumah sosial kadang membutuhkan waktu yang lama
Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang dan interaksi yang singkat serta sering karena
Manado. tidak mudah bagi klien untuk percaya pada
orang lain. Oleh karena itu perawat harus
Penelitian ini sejalan dengan penelitian konsisten bersikap terapeutik terhadap klien.
yang dilakukan oleh Dewi Rahmadani Lubis Selalu menepati janji adalah salah satu upaya
(2011) di Ruang Kamboja RSJ Daerah yang dapat dilakukan. Pendekatan yang
Provinsi Sumatera Utara Medan dengan konsisten akan membuahkan hasil. Jika
jumlah responden sebesar 7 orang. Dari hasil pasien sudah percaya dengan perawat,
uji statistik menggunakan Paired Sample T program asuhan keperawatan lebih mungkin
Test diperoleh nilai p=0,000 (p < 0,05), maka dilaksanakan. Perawat tidak mungkin secara
dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh drastis mengubah kebiasaan klien dalam
Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi berinteraksi dengan orang lain karena
Latihan Keterampilan Sosial terhadap
kebiasaan tersebut telah terbentuk dalam
kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. jangka waktu yang lama. Untuk itu perawat
Penelitian ini juga sejalan dengan dapat melatih klien berinteraksi secara
penelitian yang dilakukan oleh Arni Wiastuti bertahap. Mungkin pada awalnya klien hanya
(2011) di Rumah Sakit Ghrasia Provinsi DIY akan akrab dengan perawat, tetapi setelah itu
dengan jumlah responden sebanyak 15 orang. perawat harus membiasakan klien untuk dapat
Hasil uji statistik menggunakan Wilcoxon berinteraksi secara bertahap dengan orang-
Sign Rank Test adalah nilai p=0,001 (p < orang disekitarnya.
0,05) yang artinya Terapi Aktivitas Kelompok Latihan keterampilan sosial secara luas
Sosial Latihan Keterampilan Sosial memberikan keuntungan dengan
berpengaruh dalam meningkatkan meningkatkan interaksi, ikatan aktivitas
kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial, mengekspresikan perasaan kepada
sosial di RS Ghrasia Provinsi DIY. orang lain dan perbaikan kualitas kerja.
Latihan keterampilan sosial berisi diskusi Pasien mulai berpartisipasi dalam aktivitas
tentang penyebab isolasi sosial, diskusi sosial seperti interaksi dengan teman dan
tentang keuntungan bersosialisasi dan perawat. Latihan keterampilan sosial sangat
kerugian tidak bersosialisasi serta latihan- berguna dalam meningkatkan fungsi sosial
latihan berkenalan dengan satu orang atau pada pasien skizofrenia kronis karena pasien
lebih dari satu orang. Dari hasil diskusi dapat belajar dan melaksanakan keterampilan
didapatkan rata-rata klien mengatakan dasar yang dibutuhkan untuk hidup mandiri,
penyebab menarik diri yaitu karena malas belajar dan bekerja dalam komunitas tertentu
bersosialisasi dan mengatakan bahwa orang (Kumar,2015).
lain berbuat jahat pada dirinya. Klien juga
bisa menyebutkan keuntungan bersosialisasi
dan kerugian tidak bersosialisasi dengan
orang lain. Klien melakukan latihan
4
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari 2016

SIMPULAN Nasution SR. (2011). Pengaruh Strategi


1. Klien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Pertemuan Isolasi Sosial Terhadap
Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado Kemampuan Sosialisasi Klien Di
sebelum dilakukan latihan keterampilan rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera
sosialisasi klien paling banyak tidak Utara Medan. Medan.
mampu berinteraksi
2. Klien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan
Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado Metodologi Penelitian Ilmu
setelah dilakukan latihan keterampilan Keperawatan. Jakarta : Salemba
sosialisasi banyak klien dinyatakan Medika
mampu berinteraksi.
Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan
3. Terdapat pengaruh penerapan latihan
pada Klien dengan Masalah
keterampilan sosialisasi terhadap
Psikososial dan Gangguan Jiwa.
kemampuan berinteraksi klien isolasi
Medart USU Press
sosial di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L.
Ratumbuysang Manado. Riyadi dan Purwanto. (2009). Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Graha Ilmu
DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, (2013). Konsep dan Penulisan Riset
Hernawan. K. (2008). Arti Komunitas. Keperawatan. Yogyakarta : Graha
Gramedia Pustaka Ilmu

Keliat. B.A dan Akemat. (2007). Model


Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta : EGC Sujarweni. W.V. (2014). Metodologi
Penelitian Keperawatan. Yogyakarta :
Keliat, Anna (2009). Model Praktik Gava Media
Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC. Setiawan A dan Sunyoto D. (2013). Buku
Ajar Statistik Kesehatan. Yogyakarta:
Kumar B. (2015). Efficacy Of Social Skill Nuha Medika.
Training For The Persons With
Chronic Schizophrenia. The Soekanto. S. (2010). Sosiologi Suatu
Qualitative Report 2015 Volume 20, Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo
Number 5, Article 7, 660-96. Surtiningrum A. (2011). Pengaruh Terapi
Kusumawati.F dan Hartono. Y. (2010). Buku Suportif Terhadap Kemampuan
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Bersosialisasi Pada Klien Isolasi
Salemba Medika Sosial Di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Lubis DL. (2011). Pengaruh Terapi Aktivitas Depok.
Kelompok Sosialisasi Terhadap
Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi Townsend, Mary C. (2009). Psychiatric
Sosial Di Ruang Kamboja Rumah Mental Health Nursing, By : F. A.
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Aderis Company
Utara Medan. Medan. Yosep. I dan Sutini. T. (2014). Buku Ajar
Masithoh AR. (2011). Pengaruh Keterampilan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT.
Sosial Terhadap Kemampuan Refika Aditama.
Sosialisasi Pada Lansia Dengan
Kesepian Di Panti Wredha Di
Kabupaten Semarang. Depok.
5
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari 2016

Wakhid A, Hamid AYS, dan Helena N.


(2013). Penerapan Terapi Latihan
Keterampilan Sosial Pada Klien
Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah
Dengan Pendekatan Model Hubungan
Interpersonal PEPLAU di RS DR
Marzoeki Mahdi Bogor. Jakarta

6
E-Journal Keperawatan (EKP) Volome 4 Nomor 1, Februari 2016

7
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

PENGARUH PSIKOEDUKASI KELUARGA TERHADAP KEMAMPUAN KELUARGA


DALAM MERAWAT KLIEN ISOLASI SOSIAL

Ruti Wiyati¹, Dyah Wahyuningsih², Esti Dwi Widayanti³


Prodi Keperawatan Purwokerto, Poltekkes Semarang
123

ABSTRACT
Social isolation is an individual failure in the interaction with other people because of negative
thinking or threatening.The purpose of this study to determine the effect of family psycho
education therapy toward family’s ability on caring of client with social isolation. This study
used a quasi experiment design by method of pre post test with control group. Respondents of
this study were families where 48 clients with social isolation devided as random sampling
consist of 24 respondents who got family psycho education therapy as the intervention group
and 24 respondents who did not get family psycho education therapy as control group.
Analysis univariate data by analyzing variables as descriptive. Analysis bivariate using
dependent and independent sample t-test. Family psycho education therapy had been done by
5 sessions. Study result indicated that the average of respondent age were 43,81 females with
basic educations and period of caring more than one year. Cognitive abilities in intervention
group before therapy were 47,5 and after therapy were 77,5. Cognitive abilities in control group
before therapy were 51,25 and after therapy were 64,17. The average of psychomotor abilities
in intervention group before therapy were 48,75 and after therapy were 75,83. While the
average of psychomotor abilities in control group before therapy were 52,5 and after therapy
were 65. From result of bivariate analysis indicated that family psycho education therapy can
improve affective and psychomotor abilities in intervention group compared than control group.
It was recommended to implement above as family therapy on caring of clients with social
isolation.

Keywords : Social Isolation, Family Psycho Education Therapy, Cognitive, Motoric

PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan Kesehatan RI yaitu masyarakat yang
bertujuan meningkatkan kesadaran, mandiri untuk hidup sehat. Masyarakat
kemampuan dan kemauaan hidup sehat yang mandiri untuk hidup sehat adalah
bagi seluruh masyarakat dalam rangka masyarakat yang sadar, mampu mengenali
mewujudkan derajat masyarakat yang dan mengatasi permasalahan kesehatan
setinggi-tingginya. Masyarakat diharapkan yang dihadapi sehingga dapat bebas dari
berpartisipasi aktif dalam memelihara dan gangguan kesehatan, baik yang
meningkatkan derajat kesehatannya disebabkan penyakit termasuk gangguan
sendiri, sehingga masyarakat bukan hanya kesehatan akibat bencanan, maupun
menjadi sasaran tetapi juga menjadi lingkungan dan perilaku yang yang tidak
pelaksana dalam pembangunan kesehatan mendukung untuk hidup sehat termasuk
jiwa. Sesuai dengan Visi Departemen masalah kesehatan jiwa ( Farid, 2008).

85
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

Gangguan jiwa adalah respon untuk mencari pemecahan masalah dan


maladaptif dari lingkungan internal dan pencegahan lebih lanjut meningkatnya
eksternal, dibuktikan melalui pikiran, angka gangguan jiwa.
perasaan dan perilaku yang tidak sesuai Data statistik gangguan jiwa di
dengan norma lokal atau budaya setempat Kabupaten Banyumas belum diketahui
dan menganganggu fungsi sosial, secara pasti, tetapi terjadi peningkatan
pekerjaan dan atau fisik (T ownsend, 2005). jumlah klien gangguan jiwa di RSUD
Pengertian ini menjelaskan klien dengan Banyumas. RSUD Banyumas merupakan
gangguan jiwa akan menunjukan perilaku rumah sakit pendidikan dan rujukan untuk
yang tidak sesuai dengan norma kasus gangguan jiwa di Jawa Tengah
masyarakat dimana perilaku tersebut bagian selatan yang melayani klien umum
mengganggu fungsi sosialnya. Masalah dan tersedia poli jiwa serta rawat inap klien
kesehatan terutama gangguan jiwa ganggun jiwa. Jumlah klien ruang psikiatri
insidennya masih cukup tinggi. Data selama empat bulan ditahun 2008 yaitu
American Psychiatric Association (APA) Maret (99 orang), April (110 orang), Mei
tahun 1995 menyebutkan 1% penduduk (83 orang) dan Juni (79 orang), kondisi ini
dunia akan mengidap skizofrenia. Jumlah ruangan rawat inap 60 orang.
tiap tahun makin bertambah dan akan Jumlah kunjungan poli jiwa rata –
berdampak bagi keluarga dan masyarakat rata 20 orang per hari ( tahun 2008). Pada
(Kaplan & Saddock, 2005 ). bulan Pebruari 2009 klien yang dirawat di
Gangguan jiwa di Indonesia psikiatri 90% terdiagnosis Skizofrenia (80
menjadi masalah yang cukup serius. orang dari jumlah total 90 orang).
Berdasarkan data Depkes (2001) ada satu Berdasarkan alasan masuk rumah sakit
dari lima penduduk Indonesia menderita klien dengan perilaku kekerasan 62 kasus
gangguan jiwa. Data dari WHO pada tahun (68%), isolasi sosial 24 kasus, (26 %) dan
2006, terdapat 26 juta penduduk Indonesia halusinasi 14 kasus (16 %). Tujuh puluh
mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan lima persen berasal dari warga ekonomi
data tersebut dapat disimpulkan bahwa lemah. Diperkirakan jumlah gangguan jiwa
angka gangguan jiwa di Indonesia akan meningkat seiring dengan kenaikan
mencapai 12% - 16% dari populasi bahan pokok yang semakin meningkat dan
penduduk. Hasil SKMRT menunjukan beban hidup yang semakin meningkat.
gangguan mental emosional pada usia (Anonim, 2009).
diatas lima belas tahun adalah 140 orang World Health Organization (WHO)
per 1.000 penduduk dan usia lima sampai menyebutkan masalah utama gangguan
empat belas tahun sebanyak 104 orang jiwa di dunia adalah skizofrenia, depresi
per 1.000 penduduk (Maramis, 2006). unipolar, penggunaan alkohol, gangguan
Prevalensi gangguan jiwa di bipolar, gangguan obsesis kompulsif (
Indonesia tahun 2007 sebesar 4,6%, Stuart & Laraia, 2005). Skizofrenia adalah
sedangkan di Jawa Tengah 3,3% gangguan pada otak dan pola pikir (Torrey,
(Batitbangkes 2008). Data diatas 1997 dalam Carson, 2003). Skizofrenia
menunjukan prevalensi gangguan jiwa di mempunyai karakteristik dengan gejala
Indonesia cenderung meningkat secara positif dan negatif. Gejala positif antara
bermakna. Perlu perhatian yang serius lain thought echo, delusi, halusinasi.

86
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

Gejala negatif seperti : sikap apatis, bicara Secara medis tidak ada
jarang, afek tumpul, menarik diri. Gejala penggolongan untuk masalah gangguan
lain dapat bersifat non-skizofrenia meliputi isolasi sosial. Isoalasi sosial menjadi tanda
kecemasan, depresi dan psikosomatik. dan gejala dari gangguan jiwa. Tanda
Perilaku yang sering muncul pada gejala utama klien dengan episode depresi
klien skizofrenia: motivasi kurang (81%), adalah sedih yang mendalam,
isolasi sosial (72%), perilaku makan dan berkurangnya energi dan menurunnya
tidur buruk (72%), sukar menyelesaikan aktivitas gejala tambahan yang meliputi
tugas (72%), sukar mengatur keuangan adalah harga diri rendah , kepercayaan diri
(72%), penampilan tidak rapih (64%), lupa kurang, rasa bersalah, pesimis, tidur
melakukan sesuatu (64%), kurang terganggu, tidak nafsu makan (Maslam
perhatian pada orang lain (56%), sering 2003).
bertengkar (47%), bicara pada diri sendiri Isolasi sosial tidak hanya
(41%), dan tidak teratur makan obat (47%) berdampak secara individu pada klien
(Stuart & Larai, 2005). Dari data diatas yang mengalami tetapi juaga pada sistim
mengindikasikan isolasi sosial adalah klien secara keseluruhan yaitu keluarga
salah satu perubahan yang muncul pada dan lingkungan sosialnya. Isolasi sosial
skizofrenia. Isolasi sosial adalah suatu dapat menurunkan produktifitas atau
pengalaman menyendiri dari seseorang berdampak buruk pada fungsi di tempat
dan perasaan segan terhadap orang lain kerja, karena kecenderungan klien menarik
sebagai sesuatu yang negatif atau diri dari peran dan fungsi sebelum sakit,
keadaan yang mengancam (Nanda, 2005). membatasi hubungan sosial dengan
Dengan kata lain dapat dikatakan oarang lain dengan berbagai macam
bahwa isolasi sosial adalah kegagalan alasan.
individu dalam melakukan interaksi dengan Beban yang ditimbulkan oleh
orang lain yang disebabkan oleh pikiran gangguan jiwa sangat besar. Hasil studi
negatif atau mengancam. Seseorang dapat Bank Dunia menunjukkan, global burden of
dikatakan mengalami gangguan isolasi disease akibat masalah kesehatan jiwa
sosial jika individu tersebu: menarik diri, mencapai 8,1 persen, jauh lebih tinggi dari
tidak komunikatif, menyendiri, asyik tuberklosis (72%), kanker (58%), penyakit
dengan pikiran dan dirinya sendiri, tidak jantung (4,4 %), atau malaria (2,6%)
ada kontak mata, sedih, afek tumpul, (Kompas, 2007). Menurut Chandra
perilaku bermusuhan, menyatakan (2001), Health and Behaviour Advisor dari
perasaan sepi atau ditolak, kesulitan WHO Wilayah Asia Tenggara (WHO-
membina hubungan di lingkungannya, SEARO), meski bukan penyebab utama
menghindari orang lain dan kematian, gangguan jiwa merupakan
mengungkapkan perasaan tidak dimengerti penyebab utama disabilitas pada kelompok
orang lain. Jika perilaku isolasi sosial tidak usia paling produktif, yakni antara 15 - 44
ditangani dengan baik dapat dapat tahun. Dampak sosial berupa penolakan,
menurunkan produktifitas individu dan pengucilan, dan diskriminasi. Begitu pula
menjadikan beban bagi keluarga ataupun dampak ekonomi berupa hilangnya hari
masyarakat. produktif untuk mencari nafkah bagi
penderita maupun keluarga yang harus

87
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

merawat, serta tingginya biaya perawatan merawat anggota keluarga mereka yang
yang harus ditanggung keluarga maupun mengalami gangguan jiwa, sehingga
masyarakat. diharapkan keluarga akan mempunyai
Menurut Hawari (2003) salah satu koping yang positif terhadap stress dan
kendala dalam upaya penyembuhan beban yang dialaminya (Goldenberg &
pasien gangguan jiwa adalah Goldengerg, 2004).
pengetahuan masyarakat dan keluarga. Pendapat lain menjelaskan bahwa
Keluarga dan masyarakat menganggap Psikoedukasi keluarga adalah pemberian
gangguan jiwa penyakit yang memalukan pendidikan kepada seseorang yang
dan membawa aib bagi keluarga. mendukung treatment dan rehabilitasi.
Penilaian masyarakat terhadap gangguan Berdasarkan penelitian psikoedukasi
jiwa sebagai akibat dari dilanggarnya keluarga terbukti efektif keluarga klien
larangan, guna –guna, santet, kutukan skizofrenia keluarga klien ketergantungan
dan sejenisnya berdasarkan kepercayaan napza, keluarga klien dengan bipolar
supranatural. Dampak dari kepercayaan disorder dan keluarga klien dengan
mayarakat dan keluarga, upaya pengobtan depresi. Skizofrenia ditandai dengan dua
pasien gangguan jiwa dibawa berobat ke katagori gejala utama, positif dan
dukun atau paranormal. Kondisi ini negative.
diperberat dengan sikap keluarga yang Mengacu pada hal tersebut,
cenderung memperlakukan pasien dengan penulis menfokuskan pada psikoedukasi
disembunyikan, diisolasi, dikucilkan yang dilakukan pada keluarga klien
bahkan sampai ada yang dipasung. dengan gangguan isolasi sosial. Penulis
Keluarga merupakan faktor yang mengharapkan dengan psikoedukasi yang
sangat penting dalam proses kesembuhan dilakukan pada keluarga klien denga
klien yang mengalami gangguan jiwa. isolasi sosial, maka pengetahuan keluarga
Kondisi keluarga yang terapeutik dan tentang kemampuan cara merawat klien
mendukung klien sangat membantu isolasi sosial dan kemampuan koping
kesembuhan klien dan memperpanjang terhadap stress dan beban yang dialami
kekambuhan. dapat meningkat.
Berdasarkan penelitian ditemukan
bahwa angka kekambuhan pada klien METODE PENELITIAN
tanpa terapi keluarga sebesar 25 - 50% Penelitian ini menggunakan
sedangkan angka kekambuhan pada klien metode kuantitatif dengan desain
yang diberikan terapi keluarga 5 - 10% ( penelitian eksperimen semu (quasi
Keliat, 2006). Keluarga sebagai ”perawat experimant pre dan post test with kontrol
utama” dari klien memerlukan treatment group). Besar sampel penelitian ditetapkan
untuk meningkatkan pengetahuan dan dengan purposive sample yaitu 24
ketrampilan dalam merawat klien. kelompok intervensi yang diberikan terapi
Berdasarkan evidance based psikoedukasi keluarga dan 24 keluarga
practice psikoedukasi keluarga adalah sebagai kelompok kontrol yang diberikan
terapi yang digunakan untuk memberikan terapi generalis. Pelaksanaan penelitian
informasi pada keluarga untuk dibantu oleh perawat rumah sakit yaitu
meningkatkan ketrampilan mereka dalam ruang Samiaji dan Yudistira dalam

88
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

memberikan terapi generalis, sedangkan Analisa data dilakukan menggunakan 2 uji


untuk terapi psikoedukasi keluarga yaitu univariat untuk karakteristik
dilakukan oleh peneliti. responden dan bivariat untuk menganalisa
Instrumen penelitian digunakan kemampuan keluarga sebelum dan
adalah kuesioner, terdiri dari kuisioner sesudah terapi psikoedukasi keluarga. Uji
tentang karakteristik keluarga, kemampuan univariat dengan menggunakan uji chi-
kognitif dan psikomotor keluarga. square dan uji bivariat menggunakan
Instrumen sudah diuji validitas dan analisis Independent Sample t-tes dan
reabilitasnya di RSJ Solo, pada paired t-test.
kemampuan kognitif hasil 0,984 dan pada
kemampuan psikomotor 0,987. HASIL DAN BAHASAN
Pengumpulan data dilakukan Penelitian dilakukan di RSUD
dalam dua periode yaitu : melakukan pre Banyumas ruang Samiaji dan Yudistira
test pada responden kelompok kontrol dan terhadap 48 responden(keluarga dengan
intervensi untuk menilai kemapuan anggota keluarga isolasi sosial) yaitu 24
keluarga, kemudian memberikan terapi kelompok intervensi dan 24 kelompok
generalis pada kelompok intervensi dan kontrol. Hasil analisis penelitian ini
kontrol. Pada kelompok intervensi menunjukan bahwa kemampuan keluarga
diberikan terapi psikoedukasi keluarga dalam merawat klien isolasi sosial baik
selama lima sesi yang masing – masing kognitif dan psikomotor sebelum
sesi selama 45 menit. Setelah itu diukur pemberian terapi psikoedukasi keluarga
kembali kemampuan kognitif dan setara(p>0,05) (Tabel 1).
psikomotor dengan menggunakan post tes,
pada kelompok intervensi dan kontrol.

Tabel 1.Kesetaraan Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol Berdasarkan Usia Di RSUD
Banyumas. Bulan Mei – Juni 2009 ( n=48).
Kelompok Mean SD SE N P T
Intervensi 43,96 8,730 1,782 24 0,905 0,120
Kontrol 43,67 8,117 1,657 24

Hasil analisis penelitian menunjukan bermakna (p<0,05) sesudah pemberian


bahwa ada peningkatan kemampuan terapi psikoedukasi keluarga (Tabel 2).
kognitif dan psikomotor keluarga secara

89
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

Tabel 2. Kesetaraan Kelompok intervensi dan Kontrol berdasarkan jenis kelamin, pendidikan
dan lama merawat di RSUD Banyumas Mei – Jini 2009 (n=48)
Karakteristik Intervensi Kontrol Jumlah X² P value
n % n % n %
Kelamin
Laki-laki 10 20,8 13 27,1 23 66,7 0,334 0,564
Perempn 14 29,2 11 22,9 25 33,3
Pendidikan
Dasar 15 31,75 12 25 21 43,8 0,339 0,561
Menegah 9 18,75 12 25 27 56,2
Lama Merawat
< 1 tahun 12 25 11 22,9 23 47,9 0,000 1,000
> 1 tahun 12 25 13 27,1 25 52,1

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa lebih tinggi secara bermakna dibandingkan
rerata kemampuan kognitif dan psikomotor kelompok kontrol (p<0,05) (Tabel 3).
keluarga kelompok intervensi meningkat

Tabel 3. Analisis Kemampuan keluarga Dalam Merawat Klien Isolasi Sosial Sebelum Dan
Sesudah Terapi Psikoedukasi Keluarga Kelompok Intervensi dan Kontrol Di RSUD
Banyumas. Mei –Juni 2009(n= 48)
Kemampuan Mean SD SE T P Value
Kelompok Intervensi
Kognitif
Sebelum 47,50 9,891 2,019 -17,621 0,000*
Sesudah 77,50 11,51 2,351
Selisih 30
Psikomotor
Sebelum 48,75 10,347 2,112 -10,195 0,000*
Sesudah 75,83 9,286 1,896
Selisih 27,08
Kelompok Kontrol
Kognitif
Sebelum 51,25 9,918 2,025 -9,167 0,000*
Sesudah 64,17 7,755 1,583
Selisih 12,93
Psikomotor
Sebelum 52,50 11,561 2,351 -1073 0,000*
Sesudah 65.00 9,325 1,903
Selisih 12,5 2,236 0,448

90
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

T erapi Psikoedukasi keluarga kesempatan untuk bertanya, bertukar


dapat meningkatkan kemampuan kognitif pandangan dan bersosialisasi dengan
karena dalam terapi mengandung unsur anggota yang lain dan profesi kesehatan
untuk meningkatkan pengetahuan keluarga mental. Penelitian membuktikan
tentang penyakit, mengajarkan tehnik yang psikoedukasi keluarga sangat efektif
dapat membantu keluarga untuk diberikan kepada keluarga.
mengetahui gejala–gejala penyimpangan Kenaikan kemampuan psikomotor
perilaku, serta peningkatan dukungan bagi pada kelompok intervensi dimungkinkan
anggota keluarga itu sendiri. Tujuan karena terapi psikoedukasi keluarga yang
program pendidikan ini adalah berkaitan dengan adanya komponen
meningkatkan pencapaian pengetahuan ketrampilan latihan yang terdiri dari :
keluarga tentang penyakit, mengajarkan komunikasi, latihan menyelesaikan konflik,
keluarga bagaimana tehnik pengajaran latihan asertif, latihan mengatasi perilaku
untuk keluarga dalam upaya membantu dan mengatasi stress. Komponen latihan
mereka melindungi keluarganya dengan terdapat dalam sesi tiga yaitu demonstrasi
mengetahui gejala-gejala perilaku dan keluarga cara berintreraksi dan
mendukung kekuatan keluarga (Stuart & berkenalan dengan orang lain, meragakan
Laraia, 2005). cara beraktifitas dan meragakan cara
Aktifitas program memberikan obat pada pasien.
psychoeducational untuk keluarga menurut Peningkatan kemampuan
Marsh (2000) yang dikutip oleh Stuart & psikomotor ini kemungkinan berkaitan
Laraia (2005), yang dapat meningkatkan dengan teori belajar yang menjelaskan
kemampuan terdapat unsur didaktik yaitu bahwa seorang belajar bukan saja dari
:Komponen didaktik: memberikan informasi pengalaman langsung, tetapi dari
tentang gangguan jiwa dan sistim peniruan, peneladanan (modeling).
kesehatan jiwa yang dalam penelitian ini Perilaku merupakan hasil faktor – faktor
lebih difokuskan pada klien isolasi sosial. kognitif dan lingkungan artinya seseorang
Kemampuan kognitif yang mengalami mampu memiliki ketrampilan tertentu bila
peningkatan yaitu keluarga mampua terdapat jalinan positif dan stimuli yang
mengetahui penyebab, tanda gejala isolasi diamati dan karakteristik diri seseorang.
sosial akibatnya keluarga mampu untuk Kemampuan psikomotor dalam merawat
merawat klein dengan isolasi sosial. Meski klien ditujukan pada kemampuan keluarga
tidak ada satupun program bisa bekerja, untuk senantiasa memberi pujian dan
sama baiknya dalam semua situasi, untuk penghargaan pada klien, berupaya
menjelaskan struktur umum yang dapat memberi dukungan pengobatan dengan
memodifikasi kebutuhan pertemuan membawa klien berobat ke pelayanan
individu. Kebanyakan program pendidikan kesehatan. Kemungkinan lain diperkuat
mempunyai batasan dan didesain terbatas oleh besarnya porposi usia dan tingkat
terutama untuk pola pikir dan perilaku dari pendidikan keluarga dalam kelompok ini.
keluarga. Yang paling penting dari Meskipun semua responden berpendidikan
program Psikoedukasi keluarga adalah dasar dan menengah, namun dalam
bertemu keluarga berdasarkan pada mengingat aktifitas sederhana justru pada
kebutuhan dan keluarga memberi usia dewasa madya terjadi peningkatan.

91
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

Denney (1993) dalam Notoatmojo (2007) kemampuan keluarga secara bermakna


menentukan bahwa kecakapan untuk dalam merawat klien isolasi sosial. Hasil
menyelesaikan problem praktis, meningkat penelitian menunjukan bahwa terdapat
pada usia 40 – 50 tahun. perbedaan kemampuan yang bermakna
Kemampuan psikomotor antara kelompok yang mendapat terapi
didapatkan sebagian besar keluarga TPK dan keluarga yang tidak mendapat
mampu meragakan cara berinteraksi, TPK sesudah TPK. Perbedaan ini terjadi
berkenalan dengan orang lain dan yang pada aspek kognitif dan psikomotor.
jarang dilakukan adalah mengontro minum Perbedaan yang paling besar pada aspek
obat dan melibatkan dalam aktifitas, kognitiif yaitu 30.
karena klien masih dirawat di ruamah sakit. Perbedaan bermakna pada aspek
Hasil penelitian ini sesuai dengan kemampuan keluarga karena pelaksanaan
pendapat Wardani dkk, (2006) dalam psikoedukasi keluarga yang berjalan
penelitian yang berjudul pengaruh intensif dari sesi satu samapi sesi lima
psikoedukasi terhadap beban dan dan masing – masing peserta mengikuti
kemampuan keluarga dalama merawat dari awal sampai akhir. Hasil dari
klien halusinasi di Yogyakarta. penelitian ini sesuai teori yang
Keluarga yang mendapatkan disampaikan oleh goldenberg (2004)
terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan bahwa Family Psycoeducation adalah
kemampuan yang bermakna sebesar terapi yang digunakan untuk memberikan
25,36 kali. Sesuai pendapat dari informasi terhadap kemampuan keluarga
Goldenberg (2004) bahwa psikoedukasi yang mengalami distress, memberiakan
adalah terapi yang diberiakn untuk pendidikan kepada mereka untuk
memberiakan informasi terhadap keluarga meningkatkan kemampuan untuk dapat
yang mengalami distress, memberikan mamahami dan mempunyai koping akibat
pendidikan pada mereka untuk gangguan jiwa yang mengakibatkan
meningkatkan ketrampilan, untuk dapat masalah pada hubungan keluarga.
memahami dan meningkatkan koping Menurut Suny & Win-King (2007) terapi
akibat gangguan jiwa yang dpat psikoedukasi keluarga sangat efektif
mengakibatkan masalah pada keluarga. karena memberikan informasi tentang
Lawrenece & Veronika (2002) prefentif dan promotif, ketrampilan koping,
mengungkapkan terjadi peningkatan 33% kognitifn tingkah laku dan ketrampilan bagi
pada kelompok klien skizofrenia setelah keluarga.
diberikan terapi psikoedukasi keluarga,
karena dalam psikoedukasi keluarga berisi SIMPULAN DAN SARAN
tentang : peningkatan hubungan yang Karakteristik keluarga yang
positif antara anggota keluarga, mempunyai klien isolasi sosial di RSUD
meningkatkan stabilitas keluraga, Banyumas pada umumnya pada rentang
menajemen stess keluarga, kemampuan usia dewasa ,mempunyai tingkat
motorik keluarga melalu role play. Dengan pendidikan dasar, berjenis kelamin
demikian dapat disimpulkan penelitian ini perempuan. Terapi Psikoedukasi Kelurga
menjawab hipotesa bahwa terapi meningkatkan kemampuan kognitif dan
psikoedukasi keluarga meningkatkan psikomotor secara bermakna. Kualitas

92
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

sumber daya manusia keperawatan perlu keluarga dan terapi generalis untuk
ditingkatkan dalam melakukan asuhan keluarga. Perlu penelitian pada kasus lain
keperawatan pada klien isolasi sosial untuk melengkapi informasi tentang sejuah
berdasarkan terapi generalis. Direktur RS mana terapi psikoedukasi Keluarga dapat
Jiwa atau Umum yang membuka bangsal membantu klien dengan masalah selain
jiwa menetapkan suatu kebijakan untuk isolasi sosial dalam meningkatkan
implementasi terapi keluarga pada pengetahuan kognitif.
keperawatan jiwa yaitu terapi psikoedukasi
Keliat, B. (2003). Pemberdayaan klien dan
DAFTAR PUSTAKA keluarga dalam perawatan klien
American Psychological Association. skizofrenia dengan perilaku
(2001). Publication manual of the kekerasaan di Rumah Sakit Jiwa
American Psychological Pusat Bogor:Desertasi, Jakarta:
Association. Washington, DC. FKM UI
American Psychological Lameshow, Stanley, et.al. (1997), Besar
Association. sampel dalam penelitian
Balitbangkes, (2008). www.litbang kesehatan, Gadjah Mada
depkes.go.id, diperoleh tanggal University Press.
20 januari 2009). Lawrence & Veronika. (2002).
Carson, V .B. (2000). Mental Health Understanding families in their in
Nursing : The Nurse – patien their own context:schizophrenia
Journey. Philadelphia. W.B. and structural family therapy in
Sauders Company Beijing. Journal of family therapy
Departemen Kesehatan Republik 24: 233-257
Indonesia. (2003). Buku Maramis. (2006). http//www.Suarakarya
Pedoman Kesehatan Jiwa, online.
Jakarta Depkes. Com/news.htm/id=157830011,
Farid, A. (2006). Membangun Kesadaran diperoleh pada tanggal 20 februari
Baru tentang Kesehatan Jiwa, 2009.
http//www. Suara karya- Notoatmojo, S. (2005). Promosi
online.com/news-html. Diperoleh Kesehatan dan teori aplikasinya.
tanggal 19 Desember 2008. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Goldenberg, I & Goldengerg, H. (2004). Notoatmojo, S. (2007). Promosi kesehatan
Family Theraphy an overview . dan ilmu perlaku: PT Rineka Cipta
United states, Thomson Nursalam. (2003). Metodologi Penelitian
Kalpan & Saddock . (1997), Synopsis of Ilmu Keperawatan. Jakarta;
Pshyciatry Science Clinical Salemba Medika.
Psychiatry . Baltimore: Williams & Psychoeducation. ( 2006).
Wilkins. Psycoeducation,
Keliat, B. (1996). Peran Serta Keluarga www.psycoeducation.com,
daalam Perawatan Gangguan diambil tanggal 5 Januari 2009.
Jiwa, Jakarta : EGC Psyweb Mental Health Site . (2000).
Schizofrenia. http:/www.

93
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.2, Juli 2010

Psyweb.com Diperoleh 25 Utami, TW. (2008). Pengaruh Self Help


Februari 2009. Group T erhadap Kemampuan
Rasmun. (2001). Keperawatan Keluarga dalam Merawat Klien
Kesehatan Mental Psikiatri Gangguan Jiwa Di Kelurahan
T erintegrasi Dengan Keluarga. Sindang Barang Bogor T ahun
Jakarta, Sagung Seto. 2008. Jakarta. Tidak
Stuart, G., and Laraia, M., (2005) The dipublikasikan.
Principle and Practise of Varcarolis, Elizabet. M et al (2006)
Psychiatric Nursing . Elsevier Foundations of Pshychiatric
Mosby, St Louis Missouri. Mental Health Nursing A Clinical
Sugiyono. (2002). Metode penelitian Approach, Edisi 5. Sounders
administrasi. Bandung : Alfabeta Elsevier, St Louis Missouri.
Suny & Wing-Kin-Lee . (2007). Videbeck, S. L. (2006). Buku Ajar
Psychoeducational programme in Keperaawatan Jiwa, Edisi 1,
Hong Kong for People with Jakarta EGC.
Schizofrenia. Occup. Ther. Int. 14 Wardiningsih, Santi (2007), Pengaruh
(2): 86 – 98 . Family Psychoeducation terhadap
Sutatminingsih, R. (2002). Schizofrenia. Beban dan Kemampuan Keluarga
http:// www.library usu. ac.id/ dalam Merawat Klien dengan
modules. php. Diperoleh 1 januari Halusinasi di Kabupaten Bantul
2009 Y ogyakarta, Hasil Tesis Fakultas
T ownsend, CM. (2005). Esesential of Ilmu Keperawatan Universitas
Psychiatric Mental Health Indonesia.
Nursing. Ed.3. Philadelphia : F .A.
Davis Company.

94
PENINGKATAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL (KOGNITIF, AFEKTIF
DAN PERILAKU) MELALUI PENERAPAN TERAPI PERILAKU KOGNITIF
DI RSJ DR AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG

Sri Nyumirah
Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia
Email : srinyumirah@yahoo.co.id
ABSTRAK

Isolasi sosial merupakan suatu keadaan perubahan yang dialami klien skizofrenia. Suatu pengalaman
menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi perilaku kognitif terhadap
kemampuan klien isolasi sosial dalam melakukan interaksi di ruang rawat inap di RSJ Dr Amino
Gondohutomo Semarang. Desain penelitian quasi experimental pre-post test with without control. Sampel
berjumlah 33 orang dengan tehnik pengambilan sampel total sampling. Hasil penelitian menunjukkan ada
pengaruh terapi perilaku kognitif terhadap kemampuan interaksi (kognitif, afektif dan perilaku) pada klien
isolasi sosial (p value < 0.05). Ada peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan
perilaku) setelah dilakukan terapi perilaku kognitif. Terapi perilaku kognitif direkomendasikan diterapkan
sebagai terapi keperawatan dalam merawat klien dengan isolasi sosial dengan penurunan kemampuan
interaksi sosial.

Kata kunci :Terapi perilaku kognitif, kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan psikomotor),
klien isolasi sosial
Daftar pustaka : 88 (1999 -2012)

ABSTRACT

Social isolation is a state of change experienced by clients with schizophrenia. A person's solitude
experience and shyness towards others as something negative. This study aims to determine the effect of
cognitive behavioral therapy for social isolation in the client's ability to interaction the hospitalized in the
RSJ Dr Amino Gondohutomo Semarang. Quasi-experimental research design pre-post test without
control. Sample 33 peoples with total sampling technique. Results showed no effect of cognitive
behavioral the rapyon the ability of interaction (cognitive, affective and behavioral) on the client's social
isolation (p value <0.05). There is increasing social interaction skills (cognitive, affective and
behavioral) after cognitive behavioral therapy. Cognitive behavioral therapy is recommended as a
treatment applied to nursing in the care of clients with social isolation with a reduction in social
interaction skills.

Keyword : Cognitive Behavioral Therapy, ability of social interaction (cognitive, affective and
behavioral), social isolation client.
Bibliography : 88 ( 1999 - 2012)

Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Afektif Dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi 121
Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial Perilaku Kognitif Afektif
(Kognitif, Di RSJ Dr Amino
Dan Gondohutomo
Perilaku) MelaluiSemarang
Penerapan 121
Terapi Perilaku Kognitif Di RSJ DR Amino Gondohutomo Sri Nyumirah
Semarang
Sri Nyumirah
PENDAHULUAN orang (Widyayati, 2009). Angka kejadian
ini merupakan penderita yang sudah
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat terdiagnosa. Persentase gangguan kesehatan
emosional, psikologis, dan sosial yang jiwa itu akan terus bertambah seiring
terlihat dari hubungan interpersonal yang dengan meningkatnya beban hidup
memuaskan perilaku dan koping individu masyarakat Indonesia.
efektif, konsep diri yang positif dan
kestabilan emosional (Johnsons, 1997 Salah satu bentuk gangguan kejiwaan yang
dalam Videback, 2008). Kesehatan jiwa memiliki tingkat keparahan yang tinggi
juga mempunyai sifat yang harmonis dan adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan
memperhatikan semua segi dalam gangguan jiwa berat yang akan membebani
kehidupan manusia dalam berhubungan masyarakat sepanjang hidup penderita yang
dengan manusia lainnya yang akan dikarakteristikan dengan disorganisasi
mempengaruhi perkembangan fisik, mental, pikiran, perasaan dan perilaku
dan sosial individu secara optimal yang (Lenzenweger & Gottesman, 1994 dalam
selaras dengan perkembangan masing- Sinaga 2008). Seseorang yang mengalami
masing individu. skizofrenia akan mempengaruhi semua
aspek dari kehidupannya yang ditandai
Menurut WHO (2009), prevalensi masalah dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan
kesehatan jiwa mencapai 13% dari penyakit terjadi kemunduran fungsi sosial yaitu
secara keseluruhan dan kemungkinan akan gangguan dalam berhubungan dengan orang
berkembang menjadi 25% di tahun 2030, lain, fungsi kerja menurun, kesulitan dalam
gangguan jiwa juga berhubungan dengan berfikir abstrak, kurang spontanitas, serta
bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta gangguan pikiran/ inkoheren.
kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat
gangguan jiwa. Gangguan jiwa ditemukan Gejala yang lebih banyak muncul pada
di semua negara, terjadi pada semua tahap klien dengan skizofrenia yaitu disfungsi
kehidupan, termasuk orang dewasa dan sosial dan pekerjaan yang mempengaruhi
cenderung terjadi peningkatan gangguan perilaku pada klien skizofrenia
jiwa. menyebabkan depresi pada klien yang
mengganggu konsep diri klien sehingga
Prevalensi terjadinya gangguan jiwa berat menjadikan kurangnya penerimaan klien di
di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan lingkungan keluarga dan masyarakat
Dasar (2007) adalah sebesar 4,6 permil, terhadap kondisi yang dialami klien yang
dengan kata lain dari 1000 penduduk mengakibatkan klien mengalami isolasi
Indonesia empat sampai lima diantaranya sosial (Sinaga, 2008). Isolasi sosial adalah
menderita gangguan jiwa berat (Balitbang merupakan suatu keadaan perubahan yang
Depkes RI, 2008). Penduduk Indonesia dialami klien skizofrenia. Isolasi sosial
pada tahun 2007 (Pusat Data dan Informasi adalah suatu pengalaman menyendiri dari
Depkes RI, 2009) sebanyak 225.642.124 seseorang dan perasaan segan terhadap
sehingga klien gangguan jiwa di Indonesia orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau
pada Tahun 2007 diperkirakan 1.037.454 keadaan yang mengancam (NANDA,
orang. Kondisi diatas mengambarkan 2005). Klien yang mengalami isolasi sosial
jumlah klien gangguan jiwa yang akan cenderung muncul perilaku
mengalami ketidakmampuan untuk terlibat menghindar saat berinteraksi dengan orang
dalam aktivitas oleh karena keterbatasan lain dan lebih suka menyendiri terhadap
mental akibat gangguan jiwa berat yang lingkungan agar pengalaman yang tidak
akan mempengaruhi kualitas kehidupan menyenangkan dalam berhubungan dengan
penderitanya. Tahun 2009 angka kejadian orang lain tidak terulang kembali (Keliat,
penderita gangguan jiwa di Jawa Tengah 1999). Dengan demikian kegagalan
berkisar antara 3300 orang sampai 9300 individu dalam melakukan interaksi dengan

122 Jurnal Keperawatan Jiwa


122 Volume
Jurnal1 No. 2 November 2013
Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 121-128
121-128
orang lain sebagai akibat dari pikiran perilaku kognitif yang didasarkan pada teori
negatif dan pengalaman yang tidak bahwa tanda dan gejala fisiologis
menyenangkan sebagai ancaman terhadap berhubungan dengan interaksi antara
individu. pikiran, perilaku dan emosi (Pedneault,
2008). Sedang menurut (Epigee, 2009)
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di terapi ini merupakan terapi yang didasari
RSJ Dr Amino Gondohutomo oleh peneliti dari gabungan beberapa terapi yang
bahwa sudah dilakukan tindakan dirancang untuk merubah cara berfikir dan
keperawatan namun dampak terhadap memahami situasi dan perilaku sehingga
kemampuan klien dalam melakukan mengurangi frekuensi negatif, emosi yang
interaksi sosial masih belum maksimal menganggu dan mengurangi penurunan
dengan masih tampaknya gejala isolasi motivasi terutama dalam melakukan
sosial yang muncul dan pikiran interaksi sosial. Sesuai penelitian
menganggap tidak penting dan tidak ada Renidayati (2008) tentang pengaruh Social
gunanya berinteraksi dengan orang lain Skills Training (SST) pada klien isolasi
sehingga menurunkan motivasi klien saat sosial bahwa terdapat peningkatan
akan berinteraksi dengan orang lain. kemampuan kognitif dan kemampuan
Tindakan keperawatan pada klien isolasi perilaku pada kelompok yang mengikuti
sosial akan lebih efektif dan meningkatkan SST dan yang tidak mengikuti SST, dimana
kemampuan klien dalam melakukan pada kelompok yang mengikuti SST
interaksi sosial secara adekuat bila mengalami peningkatan kemampuan
dipadukan dengan tindakan keperawatan kognitif dan perilaku yang lebih tinggi
lanjut/spesialis. Menurut Putdangmith dibandingkan kelompok yang tidak
(2011 dalam Suryani, 2006) apabila tidak mengikuti SST.
ada komunikasi saat melakukan interaksi
sosial akan terjadi berkurangnya individu Menurut (Martin, 2010) bahwa penerapan
yang kita kenali, adanya ketidakharmonisan terapi psikososial dengan perilaku kognitif
terhadap individu yang satu sama lain, dapat merubah pola pikir yang negatif
dapat berakibat konflik, bahkan menjadi positif sehingga perilaku yang
terpecahnya suatu kelompok itu sendiri. maladaptif yang timbul akibat pola pikir
yang salah juga akan berubah menjadi
Berdasarkan data dari RSJ Dr Amino perilaku yang adaptif, sehingga pada
Gondohutomo Semarang untuk gangguan akhirnya diharapkan individu dengan
jiwa dengan isolasi sosial tahun 2011 masalah isolasi sosial memiliki peningkatan
sebanyak 553, sedangkan bulan Januari kemampuan untuk melakukan interaksi
sampai Februari 2012 sebanyak 40 orang sosial dan bereaksi secara adaptif dalam
dari delapan ruang rawat inap. Dari data menghadapi masalah atau situasi yang sulit
tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam setiap fase hidupnya.
banyaknya gangguan jiwa yang terjadi
dengan masalah isolasi sosial maka perlu Menurut Singer dan Addington (2009
menjadi perhatian dan penanganan khusus dalam Lelono, 2010) penerapan terapi
bagi individu, keluarga, petugas di rumah perilaku kognitif dapat menurunkan gejala
sakit maupun lingkungan tempat tinggal negatif skizofrenia yang akan menjadi
klien. positif serta fungsi sosial yang baik dan
menunjukan efek yang menetap setelah
Salah satu bentuk psikoterapi yang dapat pengobatan berakhir, dibandingkan dengan
diterapkan pada klien isolasi sosial dengan perawatan rutin saja, karena dengan terapi
penurunan kemampuan dalam melakukan perilaku kognitif klien dapat membantu
interaksi sosial karena pengalaman yang klien melakukan perilaku dan pikiran yang
tidak menyenangkan dan pikiran negatif positif. Jika diterapkan pada klien dengan
yang muncul pada individu sebagai isolasi sosial terbentuk pikiran yang positif
ancamanindividu yaitu dengan terapi sehingga mendapatkan perilaku yang

Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Afektif Dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi 123
Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial Perilaku Kognitif Afektif
(Kognitif, Di RSJ Dr Amino
Dan Gondohutomo
Perilaku) MelaluiSemarang
Penerapan 123
Terapi Perilaku Kognitif Di RSJ DR Amino Gondohutomo Sri Nyumirah
Semarang
Sri Nyumirah
positif. Klien dengan isolasi sosial yang yang digunakan peneliti Maleficience,
mengalami penurunan motivasi dalam Justice, Anomymous, Beneficence
melakukan interaksi sosial dengan danInformed concent.
diberikan terapi perilaku kognitif akan
mempunyai persepsi yang positif dan klien HASIL PENELITIAN
mengetahui pentingnya interaksi sosial.
Menjelaskan bahwa dari 33 orang
Tujuan Umum: Penelitian ini bertujuan responden dalam penelitian ini, usia
untuk mendapatkan gambaran tentang produktif pada responden adalah 31
pengaruh terapi perilaku kognitif tahun dengan umur termuda 20tahun
terhadap tingkat kemampuan klien dan tertua 45 tahun yang paling banyak
isolasi sosial dalam melakukan interaksi berjenis kelamin laki-laki 25 (75,8%)
sosial di ruang rawat inap RSJ Dr yang berpendidikan SMP 20 (60,6%),
Amino Gondohutomo Semarang. bekerja 20 (60,6%), tidak kawin 24
(72,7%).
METODE PENELITIAN
Berdasarkan hasil uji statistik tidak ada
Penelitian ini adalah penelitian dengan hubungan umur dengan kognitif, afektif
metode kuantitatif menggunakan desain dan perilaku dan ada hubungan antara
”Quasi experimental pre-post test jenis kelamin dengan kognitif (p<0,05).
without control” dengan intervensi Ada hubungan antara pekerjaan dengan
terapi perilaku kognitif yang terdiri dari semua kemampuan responden dalam
5 sesi pada tanggal 25 April-5 Juni melakukan interaksi sosial (kognitif,
2012. Teknik pengambilan sampel afektif, perilaku) responden (p<0,05).
secara total sampling. Penelitian Ada hubungan pendidikan SD-SMA
dilakukan untuk menganalisa dengan kemampuan kognitif responden
peningkatan kemampuan kognitif, dalam melakukan interaksi sosial. Ada
afektif dan perilaku klien isolasi social hubungan antara status perkawinan
dalam melakukan interaksi sosial. dengan kognitif dan afektif responden.
Sampel berjumlah 33 orang. Instrumen
yang digunakan instrumen ini Berdasarkan tabel 1 menjelaskan bahwa
modifikasi peneliti dari (Townsend, dari 33 responden rata-rata kemampuan
2009; Videback, 2008; Suryani, 2006; dalam melakukan interaksi sosial
Nasir dkk 2009; Nurjannah, 2001) dan (kognitif, afektif dan perilaku) setelah
penilaian dari buku catatan harian klien dilakukan terapi perilaku kognitif lebih
dan raport hasil evaluasi pelaksanaan tinggi dibandingkan sebelum dilakukan
terapi perilaku kognitif dengan terapi perilaku kognitif.
menggunakan modul, buku kerja, buku
raport yang dibuat oleh Sasmita (2007); Variabel Mean P Value
Fauziah (2009) dan Wahyuni, (2010); Kognitif
Erwina (2010); Hidayat (2010); Lelono Sebelum 13,79 0,000
(2010); Sudiatmika (2010). Pengolahan Sesudah 19,88
data dengan editing, coding, processing Afektif
Sebelum 14,58
dan cleaning. Analisis statistik yang 0,000
Sesudah 17,33
dipergunakan yaitu univariat dan
Perilaku
bivariat dengan analisis dependen dan
Sebelum 9,64 0,000
independent sample t-test sertauji anova Sesudah 11,06
dankorelasi regresi. Etika penelitian

124 Jurnal Keperawatan Jiwa


124 Volume
Jurnal1 No. 2 November 2013
Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 121-128
121-128
Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 2 terapi perilaku kognitif pada klien
bahwa hasil uji statistik dengan nilai p halusinasi dan perilaku kekerasan
<0,05. Rata-rata kemampuan kognitif, mendapatkan hasil terjadi peningkatan
afektif dan perilaku responden setelah kemampuan kognitif secara bermakna.
dilakukan terapi perilaku kognitif lebih Menurut Davis (2005) mengatakan terapi
besar dibandingkan sebelum dilakukan perilaku kognitif dapat diberikan klien
terapi perilaku kognitif. skizofrenia untuk intervensi meningkatkan
kepercayaan yang positif bagi klien
PEMBAHASAN sehingga muncul perilaku yang positif juga
pada klien.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil
uji statistik ada peningkatan kemampuan Hasil uji statistik ada peningkatan
kognitif responden setelah dilakukan terapi kemampuan interaksi sosial dengan
perilaku kognitif. Responden dalam kemampuan afektif responden setelah
penelitian ini memiliki pengalaman yang dilakukan terapi perilaku kognitif.
tidak menyenangkan saat berhubungan Meningkatnya respon afektif pada
dengan orang lain, karena ada penolakan, responden setelah dilakukan terapi perilaku
merasa bodoh, tidak percaya dan merasa kognitif karena klien merasa tidak cemas
tidak ada manfaatnya jika berhubungan selalu optimis dan dapat menghargai
dengan orang lain karena merasa takut individu, orang lain dan lingkungan
untuk mendapatkan penolakan untuk sehingga responden dapat mengubah
berhubungan dengan orang lain sehingga perasaan yang negatif menjadi positif yang
responden merasa tidak nyaman yang akhirnya akan memunculkan perilaku yang
mengakibatkan responden suka menyendiri, positif juga setelah diajarkan mengubah
lebih banyak diam, dan malas melakukan perasaan negatif untuk menjadi positif pada
interaksi dengan orang lain. Kenyataan sesi 3 dalam penerapan terapi perilaku
yang ditemukan dalam penelitian ini juga kognitif. Respon emosi merefleksikan
sesuai dengan yang diuraikan Townsend respon perilaku dan fisiologis sebagai hasil
(2009), NANDA (2007) dan Keliat (2005). analisis kognitif dalam mengahadapi suatu
situasi yang penuh stres (Stuart & Laraia,
Hal ini sesuai dengan pendapat Oemarjoedi 2005).
(2003) bahwa terapi perilaku kognitif
Min-
meyakini pola pemikiran manusia terbentuk Kemampuan Mean SD
Maks
95% CI
melalui proses rangkaian stimulus-kognisi- Kognitif
respon yang saling terkait dan membentuk Sebelum 13,79 3,09 9-22 12,69-14,88
jaringan dalam otak manusia, dimana faktor Sesudah 19,88 3,01 12-24 18,81-20,95
kognitif akan menjadi penentu dalam Afektif
menjelaskan bagaimana manusia berpikir, Sebelum 14,58 1,6 11-18 14,00- 15,15
merasa, dan bertindak. Klien isolasi sosial Sesudah 17,33 2,16 14-22 16,57 - 18,10
memiliki pikiran negatif (distorsi kognitif) Perilaku
yang menyebabkan terjadinya perilaku Sebelum 9,64 4,39 8-11 9,27 - 10,00
isolasi sosial sehingga pikiran negatif perlu Sesudah 11,06 4,95 8-12 10,66 - 11,46
mendapatkan penanganan terlebih dahulu.
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh
Hasil penelitian ini juga didukung oleh Lelono (2010) bahwa ada peningkatan
hasil penelitian sebelumnya Hidayat (2011) kemampuan afektif pada klien halusinasi
dalam penelitiannya tentang pengaruh dan perilaku kekerasan setelah dilakukan
terapi perilaku kognitif pada klien perilaku terapi perilaku kognitif.
kekerasan yang mengalami peningkatan
kemampuan kognitif untuk mengurangi Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil
munculnya perilaku kekerasan. Hasil uji statistik ada peningkatan perilaku dalam
penelitian Lelono (2010) tentang pengaruh melakukan interaksi sosial responden
Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Afektif Dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi 125
Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial Perilaku Kognitif Afektif
(Kognitif, Di RSJ Dr Amino
Dan Gondohutomo
Perilaku) MelaluiSemarang
Penerapan 125
Terapi Perilaku Kognitif Di RSJ DR Amino Gondohutomo Sri Nyumirah
Semarang
Sri Nyumirah
setelah dilakukan terapi perilaku kognitif. bagi klien sehingga muncul perilaku yang
Penerapan terapi perilaku kognitif di sesi 4 positif juga pada klien.
responden dilatih dalam melakukan
perilaku yang negatif menjadi positif yang KESIMPULAN DAN SARAN
ditulis dalam buku kerja klien. Pada setiap
akhir sesi pertemuan peneliti memberikan Tidak ada hubungan antara umur
tugas pada klien untuk melakukan latihan responden dengan kemampuan interaksi
mandiri dengan klien lain di ruangan dan sosial. Ada hubungan antara jenis
mendokumentasikan latihan yang dilakukan kelamin responden dengan kemampuan
pada buku kerja klien. Peneliti melakukan
kognitif dalam melakukan interaksi
evaluasi terhadap pelaksanaan latihan
mandiri pada masing-masing responden dan
sosial. Ada hubungan pendidikan SD-
memberikan umpan balik positif terhadap SMA responden dengan kemampuan
apa yang telah dilakukan responden. kognitif dalam melakukan interaksi
sosial. Ada hubungan antara pekerjaan
Peningkatan kemampuan psikomotor atau dengan semua kemampuan responden
peningkatan perilaku yang positif dalam dalam melakukan interaksi sosial
melakukan interaksi sosial pada responden (kognitif, afektif, perilaku). Ada
ini terjadi karena pada terapi terapi perilaku hubungan antara status perkawinan
kognitif diberikan latihan melawan pikiran dengan kognitif dan afektif responden.
negatif dan kemudian dilanjutkan dengan Ada peningkatan kemampuan interaksi
membentuk perilaku yang positif dalam
sosial (kognitif, afektif dan perilaku)
melakukan interaksi sosial. Latihan
meningkatkan kemampuan interaksi sosial.
responden setelah dilakukan terapi
Hal ini sesuai dengan Frisch dan Frisch perilaku kognitif.
(2006) bahwa tindakan keperawatan pada
klien isolasi sosial bertujuan untuk melatih Rumah sakit dengan pelayanan psikiatri
klien ketrampilan sosial sehingga merasa hendaknya selalu menerapkan terapi
nyaman dalam situasi sosial dan melakukan generalis dengan pelaksanaan strategi
interaksi sosial. pelaksanaan dan terapi aktivitas kelompok
pada klien isolasi sosial sehingga dapat
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan mengevaluasi perubahan kemampuan
oleh Ramdhani dalam Prawitasari (2002) (kognitif, afektif dan perilaku) pada klien
bahwa pada penerapan ketrampilan isolasi sosial dalam melakukan interaksi
berkomunikasi diajarkan cara bertanya sosial. Rumah sakit merencanakan ruangan
untuk konfirmasi, cara memberi dan untuk pelaksanaan intervensi keperawatan
menerima pujian, cara mengeluh dan pada klien dengan tempat khusus yang lebih
menghadapi keluhan, cara menolak, cara nyaman dan leluasa dalam melakukan
meminta pertolongan, cara menuntut hak, terapi sehingga mudah berkonsentrasi
cara berempati, dan cara berinteraksi dalam proses intervensi. Perawat
dengan orang lain. Menurut Halgin dan Puskesmas keperawatan jiwa diberikan
Whitbourne (2007) bahwa penerapan pelatihan tentang kesehatan jiwa di
latihan komunikasi dalam melakukan masyarakat yang dapat diterapkan saat klien
interaksi dengan orang lain adalah sudah pulang dari Rumah Sakit dengan
intervensi perilaku yang meliputi pemberian penerapan terapi keperawatan jiwa.
penguatan terhadap perilaku yang sesuai
khususnya dalam hal membina hubungan Pihak pendidikan tinggi keperawatan
interpersonal. Menurut Davis (2005) hendaknya mengembangkan terapi perilaku
mengatakan terapi perilaku kognitif dapat kognitif beserta modul atau pedoman
diberikan klien skizofrenia untuk intervensi pelaksanaan terapi perilaku kognitif pada
meningkatkan kepercayaan yang positif kelompok klien dengan masalah yang lain,
baik kelompok klien gangguan maupun

126 Jurnal Keperawatan Jiwa


126 Volume
Jurnal1 No. 2 November 2013
Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 121-128
121-128
kelompok klien risiko (remaja atau anak Practice. New York : A Division of
sekolah dengan kesulitan bergaul atau Guildford Publications, Inc.
berinteraksi dengan orang lain) dalam
upaya meningkatkan terapi modalitas dalam Kelana(2010). EEfektivitas Cognitive
keperawatan jiwa yang efektif. Hasil
Behavioral Therapy (CBT) Dan
penelitian ini bisa dijadikan acuan untuk
pelaksanaan terapi individu perilaku
Rational Emotive Behavioral
kognitif pada klien isolasi sosial untuk Therapy (REBT) Terhadap Klien
meningkatkan kemampuan interaksi sosial. Perilaku Kekerasan, Halusinasi dan
Harga Diri Rendah di RS. Dr. H.
Perlunya dilakukan penelitian tentang Marzoeki Mahdi Bogor.Tesis FIK-
pengaruh terapi perilaku kognitif pada klien UI. Tidak dipublikasikan.
dengan masalah keperawatan yang lain baik
pada klien kelompok gangguan maupun Keliat, B.A., dkk. (2005). Modul Basic
kelompok risiko yang mengalami Course Community Mental Health
penurunan kemampuan interaksi sosial Nursing. Kerjasama FIK UI dan
sehingga muncul perilaku negatif dengan
WHO.
menggunakan instrumen yang berbeda yang
dapat mengukur kemampuan kognitif klien
dalam melakukan interaksi sosial sehingga Morrison. (2009). Cognitive behavior
meningkatkan kemampuan klien dalam therapy for people with
melakukan interaksi sosial. Perlunya schizofrenia.Department of
dilakukan penelitian dengan Psychiatry.Wright State University
mengkombinasikan terapi kelompok Boonshoft School of Medicine,
dengan terapi individu perilaku kognitif Dayton, Ohio.
yang dibandingkan hasilnya dalam
penerapan terapi tersebut dengan melihat NACBT. (2009). Cognitive Behavior
faktor-faktor yang mempengaruhi tanda dan Therapy.
gejala yang muncul pada penurunan dan
http://www.nacbt.og.uk/nacbt/cogni
peningkatan kemampuan interaksi sosial
(kognitif, afektif dan perilaku) dalam
tice_behavioral_therapy.htm.
rentang waktu yang lebih lama sehingga Pebruari 13, 2012
evaluasi yang optimal.
NANDA. (2005). Nursing Diagnoses :
DAFTAR PUSTAKA Definitions & Classification 2007-
2008. Philadelphia: NANDA
Davis, dkk. (2005). The indianapolis International
vocational intervention program A
cognitive behavioral apporoach to Oemarjoedi, A,K,. (2003). Pendekatan
addresy rehabilitation. Departement Cognitive Behavioral Dalam
of veterans affairs. Psikoterapi. Jakarta : Kreativ
Media.
Frisch, N.C., & Frisch, L.E. (2006).
Psychiatric Mental Health Nursing. Prawitasari, dkk. (2002). Psikoterapi
3th ed. Canada : Thomson Delmar Pendekatan Konvensional dan
Learning Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar dan Unit Publikasi Fakultas
Kazantzis, N., Reinecke, M.A., & Psikologi UGM.
Freeman, A. (2010). Cognitive and
Behavioral Theories in Clinival Saksa, J.R., dkk. (2009). Cognitive
Bahavioral Therapy for Early Psychosis
Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Afektif Dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi 127
Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial Perilaku Kognitif Afektif
(Kognitif, Di RSJ Dr Amino
Dan Gondohutomo
Perilaku) MelaluiSemarang
Penerapan 127
Terapi Perilaku Kognitif Di RSJ DR Amino Gondohutomo Sri Nyumirah
Semarang
Sri Nyumirah
: A Comprehensive Review of Townsend, M.C. (2008). Psychiatric
Individual vs. Group treatment Studies. Mental Health Nursing Concepts of
International Journal of Group Care in Evidence-Based Practice.
Psychotherapy, 59(3), 357-377 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis
Company
Sasmita, H. (2007). Efektifitas Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) pada Klien
Harga Diri Rendah di RS Dr. Marzoeki Wahyuni, SE. (2010). Pengaruh
Mahdi Bogor tahun 2007. Tesis FIK- Cognitive Behaviour Therapy
UI. Tidak dipublikasikan Terhadap Halusinasi Pasien di
Rumah Sakit Jiwa Pempropsu
Stuart, G.W. (2009). Principles and Medan. Tesis FIK-UI. Tidak
Practice of Psychiatric Nursing, 9th dipublikasikan.
ed. Missouri : Mosby, Inc.

128 Jurnal Keperawatan Jiwa


128 Volume
Jurnal1 No. 2 November 2013
Keperawatan Jiwa . Volume 1, No. 2, November 2013; 121-128
121-128
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Chandra Gilbert Loda

Tempat tanggal lahir : Halmahera, 14 Maret 1997

Jenis kelamin : Laki – laki

Alamat rumah : Mertoudan rt. 03/ rw. 09 Surakarta

Riwayat pendidikan :

1. SDN Toguraci
2. SMP Kristen 3 Surakarta
3. SMK Kristen 1 Surakarta

Riwayat pekerjaan :-

Riwayat organisasi :-

Publikasi :-

Anda mungkin juga menyukai