Anda di halaman 1dari 121

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.Y DAN Tn.

V YANG MENGALAMI
ISOLASI SOSIAL DENGAN PEMBERIAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
SAMPAI 3 DI RUANG NAKULA DAN SENA RUMAH SAKIT JIWA
DAERAH Dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA

DISUSUN OLEH :
GIBRAN KUSUMO SURYO SANTOSO
P14021

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA


SURAKARTA

2017
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.Y DAN Tn.V YANG MENGALAMI
ISOLASI SOSIAL DENGAN PEMBERIAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
SAMPAI 3 DI RUANG NAKULA DAN SENA RUMAH SAKIT JIWA
DAERAH Dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA

Karya Tulis Ilmiah


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan

DISUSUN OLEH :
GIBRAN KUSUMO SURYO SANTOSO
P14021

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017

i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Gibran Kusumo Suryo Santoso

NIM : P14021

Program Studi : D3 Keperawatan

Judul Karya Tulis Ilmiah : Asuhan Keperawatan Pada Tn.Y Dan Tn.V Yang

Mengalami Isolasi Sosial Dengan Pemberian

Strategi Pelaksanaan 1 Sampai 3 Di Ruang Nakula

Dan Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Arif

Zainudin Surakarta

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini

benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan/

pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah

hasil jiblakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai

dengan ketentuan akademik yang berlaku.

Surakarta, 26 Juli 2017


Yang Membuat Pernyataan

Gibran Kusumo Suryo Santoso


NIM. P14021

ii
MOTTO

Jika kegagalan adalah sukses yang tertunda, berarti bisa kita harapkan
kebohongan adalah jujur yang tertunda.
(Sujiwo Tedjo)

iii
LEMBAR PERSETUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.Y DAN Tn.V YANG MENGALAMI


ISOLASI SOSIAL DENGAN PEMBERIAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
SAMPAI 3 DI RUANG NAKULA DAN SENA RUMAH SAKIT JIWA
DAERAH Dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar


Ahli Madya Keperawatan (Amd. Kep.)

Oleh :
GIBRAN KUSUMO SURYO SANTOSO
P14021

Surakarta, 26 Juli 2017

Menyetujui,
Pembimbing

Joko Kismanto, S.Kep.,Ns

NIK.200670020

iv
LEMBAR PENETAPAN DEWAN PENGUJI

Telah Di Uji Pada Tanggal :


08 Agustus 2017

Dewan Penguji

Ketua :
1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si (....................................)
NIK : 201160078

Anggota

1. Joko Kismanto, S.Kep.,Ns (....................................)


NIK : 200670020

v
HALAMAN PENGESAHAN

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :


Nama : Gibran Kusumo Suryo Santoso
NIM : P14021
Program Studi : D3 Keperawatan
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Tn.Y Dan Tn.V Yang Mengalami
Isolasi Sosial Dengan Pemberian Strategi Pelaksanaan 1
Sampai 3 Di Ruang Nakula Dan Sena Rumah Sakit Jiwa
Daerah Dr Arif Zainudin Surakarta

Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan


Dewan Penguji Karya Tulis Imiah
Prodi D3 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Surakarta
Hari/Tanggal : Selasa / 08 Agustus 2017

DEWAN PENGUJI

Ketua : Dra. Agnes Sri Harti, M.Si (.......................................)


NIK : 201160078

Anggota : Joko Kismanto, S.Kep.,Ns (.......................................)


NIK : 200670020

Mengetahui,
Ketua Program Studi D3 Keperawatn
STIKes Kusuma Husada Surakarta

Meri Oktariani.,S.Kep.,Ns,.M.Kep
NIK. 200981037

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat, rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn.Y Dan Tn.V Yang
Mengalami Isolasi Sosial Dengan Pemberian Strategi Pelaksanaan 1 Sampai 3 Di
Ruang Nakila dan Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Arif Zainudin Surakarta.”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
1. Ns. Wahyu Rima Agustin M.Kep., selaku ketua institusi yang memberikan
kesempatan kepada saya untuk menjadi mahasiswa di STIKes Kusuma
Husada Surakarta
2. Ns. Meri Oktariani M.Kep., selaku Ketua Program Studi D3 Keperawatan
yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes
Kusuma Husada Surakarta.
3. Ns. Erlina Windyastuti M.Kep., selaku Sekretaris Program Studi D3
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
4. Joko Kismanto, S.Kep.,Ns selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat memberikan masukan-
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Dra. Agnes Sri Harti selaku penguji yang telah membimbing dengan
cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam
bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
6. Semua Program Studi D3 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya ilmu
yang bermanfaat.
7. Kedua orangtua ku, Bapak dan Ibu yang selalu menjadi motivasi saya
dalam menempuh pendidikan dan yang selalu setia mendampingi serta
menyemangati saya dalam keadaan apapun.

vii
8. Teman-teman Mahasiwa Program Studi D3 Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.

Surakarta, 26 Juli 2017

Gibran Kusumo Suryo Santoso

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .................................................... ii
MOTTO .......................................................................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ iv
LEMBAR PENETAPAN DEWAN PENGUJI ............................................... v
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah ................................................................................ 3
1.3 Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................... 5
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................ 5
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Teoritis ...................................................................... 6
1.5.2 Manfaat Praktis ....................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Isolasi Sosial
2.1.1 Definisi .................................................................................... 8
2.1.2 Etiologi .................................................................................... 8
2.1.3 Tanda dan Gejala ..................................................................... 10
2.1.4 Batasan Karakteristik ............................................................... 11
2.1.5 Rentang Respon ....................................................................... 12
2.1.6 Pohon Masalah ........................................................................ 13
2.1.7 Patofisiologi ............................................................................. 14
2.1.8 Penatalaksanaan ....................................................................... 14
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian ............................................................................... 17
2.2.2 Diagnosis ................................................................................. 20
2.2.3 Perencanaan ............................................................................. 20
2.2.4 Implementasi ........................................................................... 33
2.2.5 Evaluasi ................................................................................... 36
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ............................................................................... 39
3.2 Batasan Istilah .................................................................................... 39
3.3 Partisipan ............................................................................................ 39
3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 40
3.5 Pengumpulan Data ............................................................................. 40
3.6 Uji Keabsahan Data ........................................................................... 42
3.7 Analisa Data ....................................................................................... 43

ix
BAB IV HASIL
4.1 Hasil
4.1.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data ....................................... 45
4.1.2 Pengkajian ............................................................................... 45
4.1.3 Analisa Data ............................................................................ 54
4.1.4 Pohon Masalah ........................................................................ 55
4.1.5 Diagnosa Keperawatan ............................................................ 55
4.1.6 Intervensi Keperawatan ........................................................... 55
4.1.7 Evaluasi ................................................................................... 56
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan
5.1.1 Pengkajian ............................................................................... 60
5.1.2 Diagnosa Keperawatan ............................................................ 69
5.1.3 Intervensi Keperawatan ........................................................... 70
5.1.4 Implementasi Keperawatan ..................................................... 71
5.1.5 Evaluasi Keperawatan ............................................................. 75
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
6.1.1 Pengkajian ............................................................................... 79
6.1.2 Diagnosa Keperawatan ............................................................ 79
6.1.3 Intervensi Keperawatan ........................................................... 79
6.1.4 Implementasi Keperawatan ..................................................... 80
6.1.5 Evaluasi Keperawatan ............................................................. 80
6.2 Saran
6.2.1 Bagi Perawat ........................................................................... 80
6.2.2 Bagi Institusi Pendidikan ........................................................ 80
6.2.3 Bagi Rumah Sakit ................................................................... 81
6.2.4 Bagi Klien Dan Keluarga ........................................................ 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar 1 Gambar 2.1 Rentang respon Isolasi sosial 12


2. Gambar 2 Gambar 2.2 Pohon masalah Isolasi sosial 13
3. Gambar 3 Gambar 4.1 Genogram Tn.Y (klien 1) 47
4. Gambar 4 Gambar 4.1 Genogram Tn.V (klien 2) 48

xi
LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Konsultasi


Lampiran 2. Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 3. Lembar Audience
Lampiran 4. Jurnal
Lampiran 5. Asuhan Keperawatan Jiwa

xii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

World Health Organitation (WHO dalam Yusuf dkk, 2015),

menjelaskan kriteria orang yang sehat jiwanya merupakan orang yang

dapat melakukan, diantaranya menyesuaikan diri secara konstruktif pada

kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk, merasa bebas secara relatif dari

ketegangan dan kecemasan, memperoleh kepuasan dari usahanya dan

perjuangan hidupnya, merasa lebih puas untuk memberi daripada

menerima. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan

saling memuaskan, mempunyai daya kasih sayang yang besar, menerima

kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran dikemudian hari,

mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan

konstruktif.

Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat

berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu

tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat

bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk

komunitasnya (UU Kesehatan Jiwa no. 18 tahun 2014). Menurut Keliat,

dkk dalam Prabowo (2014), kesehatan jiwa suatu kondisi mental sejahtera

yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagian yang utuh

dari kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi

kehidupan manusia dengan ciri menyadari sepenuhnya kemampuan

dirinya. Mampu menghadapi stress kehidupan dengan wajar, mampu

1
2

bekerja dengan produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya,

dapat berperan serta dalam lingkungan hidup, menerima dengan baik apa

yang ada pada dirinya dan merasa nyaman dengan orang lain.

Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku

seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan

(distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang

penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan

gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu

tetapi juga dengan masyarakat (Maslim, 2002; Maramis, 2010 dalam

Yusuf et al. 2015:8). Gangguan jiwa adalah orang yang mengalami

gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam

bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna,

serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan

fungsi orang sebagai manusia (UU Kesehatan Jiwa no.18 2014). Macam

macam gangguan jiwa seperti : Isolasi sosial, Halusinasi, Resiko perilaku

kekerasan, Harga diri rendah, Defisit perawatan diri.

Menurut WHO, sampai tahun 2011 tercatat penderita gangguan

jiwa sebesar 542.700.000 jiwa atau 8,1% dari jumlah keseluruhan

penduduk dunia yang berjumlah sekitar 6.700.000.000 jiwa sekitar 10%

orang dewasa mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama

hidupnya. Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara usia 18-21

tahun. Menurut National Institute of Mental Health gangguan jiwa

mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan

berkembang menjadi 25% ditahun 2030 (WHO dalam Rochmawati 2013 )


3

data tersebut menunjukan bahwa data pertahun di indonesia yang

mengalami gangguan jiwa selalu meningkat, Pasien yang mengalami

gangguan jiwa seringkali kurang mempedulikan perawatan diri.

Berdasarkan dari data yang diluncurkan Riset Kesehatan Dasar

tahun 2013 (Riskesdas, 2013) oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat

Jenderal Kementrian Kesehatan RI mengatakan, dari temuan di lapangan

terlihat prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan

gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15

tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevelensi gangguan

jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar

400.000 orang. Berdasarkan jumlah tersebut, ternyata 14,3% diantaranya

atau sekitar 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Angka

pemasungan dipedesaan adalah sebesar 18,2% Angka ini lebih tinggi jika

dibandingkan dengan angka diperkotaan yaitu sekitar 10,7% (Pusat

Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan data pencatatan Rekam

Medis (RM) Rumah Sakit Jiwa Daerah dr Arif Zainudin Surakarta pada

periode bulan januari sampai maret 2015, ditemukan masalah keperawatan

pada klien rawat inap yaitu Isolasi sosial 2.364 klien, Halusinasi 4.021

klien, Resiko Perilaku Kekerasan 3.980 klien, Defisit Perawatan Diri 1.026

klien. (Ramdhani, 2016)

Salah satu gejala negatif pada gangguan jiwa yaitu isolasi sosial.

Isolasi Sosial adalah kesendirian yang dialami oleh individu dan dianggap

timbul karena orang lain dan sebagai suatu pernyataan negatif atau
4

mengancam (keliat,2017). Isolasi sosial adalah suatu gangguan

interpersonal yang menyebabkan perilaku maladptif dan mengganggu

fungsi sosial seseorang sebagai akibat dari kepribadian yang tidak

fleksibel (Afnuhazi,2015). Klien kesulitan berhubungan interpersonal

secara spontan yang dimanifestasikan dengan klien mengalami isolasi diri,

tidak ada perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Dermawan &

Rusdi, 2013).

Perilaku sosial menarik diri dapat disebabkan karena seseorang

nenilai dirinya rendah sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi

dengan orang lain (Fitria,2009 : 31). Tindakan keperawatan yang dapat

dilakukan untuk mengatasi isolasi sosial yaitu mengidentifikasi penyebab

pasien menarik diri, mendiskusikan bersama pasien keuntungan

berhubungan dengan orang lain dan kerugian menarik diri, membantu

pasien berhubungan dengan orang lain secara bertahap, dan membantu

mengungkapkan perasaan pasien setelah berkenalan dengan orang lain

(Damaiyanti,2010 : 98)

Berdasarkan dengan keterangan di atas, penulis tertarik untuk

membahas masalah isolasi sosial menarik diri karena isolasi sosial

mempunyai karakteristik berbeda dengan gangguan jiwa yang lain seperti

pada pasien isolasi sosial biasanya lebih menyendiri dan tidak mau

berinteraksi dengan orang lain


5

1.2 Batasan Masalah

Isolasi sosial adalah suatu gangguan interpersonal yang

menyebabkan perilaku maladptif dan mengganggu fungsi sosial seseorang

sebagai akibat dari kepribadian yang tidak fleksibel. Dampak isolasi sosial

pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu

membinahubungan yang berarti dengan orang lain. Gejala isolasi sosial

pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain, pasien banyak diam

dan tidak mau bicara, dan pasien menyendiri tidak mau berinteraksi

dengan orang lain.

Masalah pada kasus ini dibatasi pada Asuhan Keperawatan pada

Tn.Y dan Tn.V yang Mengalami Isolasi Sosial/Menarik Diri dengan

Pemberian Strategi Pelaksanaan 1 Sampai 3 di Ruang Nakula dan Sena

Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Arif Zainudin Surakarta.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Pada Tn.Y dan Tn.V yang

Mengalami Isolasi Sosial/Menarik Diri dengan Pemberian Strategi

Pelaksanaan 1 sampai 3 di Ruang Nakula dan Sena Rumah Sakit Jiwa

Daerah Dr Arif Zainudin Surakarta.

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan adalah melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn.Y dan

Tn.V yang Mengalami Isolasi Sosial/Menarik Diri dengan

Pemberian Strategi Pelaksanaan 1 Sampai 3 di Ruang Nakula dan

Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Arif Zainudin Surakarta.


6

1.4.2 Khusus

a. Penulis mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Tn.Y dan

Tn.V yang Mengalami Isolasi Sosial/Menarik Diri

b. Menetapkan diagnosis keperawatan pada Tn.Y dan Tn.V yang

Mengalami Isolasi Sosial/Menarik Diri

c. Menyusun perencanaan keperawatan pada Tn.Y dan Tn.V yang

Mengalami Isolasi Sosial/Menarik Diri

d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada Tn.Y dan Tn.V yang

Mengalami Isolasi Sosial/Menarik Diri

e. Melakukan evaluasi keperawatan pada Tn.Y dan Tn.V yang

Mengalami Isolasi Sosial/Menarik Diri

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan dengan di buatnya karya tulis ini penulis memperoleh

ilmu pengetahuan mengenai gangguan Isolasi Sosial/Menarik Diri

1.5.2 Bagi Praktisi Penulis

Diharapkan hasil dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dapat

memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi praktisi perawat

khususnya bagi perawat yang bertugas tentang pemberian Asuhan

Keperawatan pada klien dengan gangguan Isolasi Sosial/Menarik

Diri
7

1.5.3 Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan pemberian pelayanan

Asuhan Keperawatan berkait dengan gangguan Isolasi

Sosial/Menarik Diri

1.5.4 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi Institusi Keperawatan

khususnya keperawatan dalam penanganan kasus dengan gangguan

Isolasi Sosial/Menarik Diri

1.5.5 Bagi Pasien

Diharapkan dengan intervensi pasien dapat mengetahui cara

mengatasi masalah Isolasi Sosial/Menarik Diri.


BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Isolasi Sosial

2.1.1 Definisi

Isolasi Sosial adalah kesendirian yang dialami oleh individu dan

dianggap timbul karena orang lain dan sebagai suatu pernyataan negatif

atau mengancam (Keliat, 2017).

Isolasi sosial adalah suatu gangguan interpersonal yang

menyebabkan perilaku maladaptif danmengganggu fungsi sosial seseorang

sebagai akibat dari kepribadian yang tidak fleksibel (Afnuhazi, 2015).

Klien kesulitan berhubungan interpersonal secara spontan yang

dimanifestasikan dengan klien mengalami isolasi diri, tidak ada perhatian

dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Dermawan & Rusdi, 2013).

Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang

merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam

dirinyan dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan

lingkungan. (Dalami dkk, 2009)

2.1.2 Etiologi

Menurut Afnuhazi (2015) penyebab Isolasi sosial ada 2 yaitu, faktor

predisposisi dan faktor presipitasi

a. Faktor Predisposisi :

1) Faktor tumbuh kembang

8
9

Masa tumbuh kembang seorang individu ada perkembangan tugas

yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan

sosial.

2) Faktor komunikasi dalam keluarga

Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor

pendukung untuk terjadinya gangguan dalam hubungan sosial.

3) Faktor sosial budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial

merupakan faktor pendukung untuk terjadinya gangguan

hubungan sosial.

4) Faktor biologis

Faktor keturunan juga merupakan faktor pendukung terjadinya

gangguan dalam hubungan sosial.

b. Faktor presipitasi

1.) Stressor sosial budaya

Stressor sosial budaya seperti keluarga yang labil, berpisah

dengan orang yang terdekat atau berarti.

2.) Hipotesa biological lingkungan sosial

Tubuh akan menggambarkan ambang toleransi seseorang

terhadap stress pada saat terjadinya interaksi dengan stressor di

lingkungan sosial.
10

2.1.3 Tanda dan Gejala

Menurut Iyus Yosep (2011), perilaku yang berhubungan dengan isolasi

sosial meliputi :

a. Gejala subjektif :

1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang

lain.

2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.

3. Respon verbal kurang dan singkat.

4. Klien mengatakan hubungan yang tidak bearti dengan orang lain.

5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.

6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan

7. Klien merasa tidak berguna.

8. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

9. Klien merasa ditolak.

b. Gejala objektif :

1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.

2. Tidak mengikuti kegiatan.

3. Banyak terdiam diri dikamar.

4. Klien menyendiri dan tidaak mau berinteraksi dengan orang yang

terdekat.

5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.

6. Kontak mata kurang.

7. Kurang spontan.

8. Apatis (acuh terhadap lingkungan)


11

9. Ekspresi wajah kurang.

10. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.

11. Mengisolasi diri.

12. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.

13. Masukan makan dan minuman terganggu.

14. Aktivitas menurun.

15. Kurang energy (tenaga)

16. Rendah diri.

2.1.4 Batasan karakteristik

Batasan karakteristik menurut (Keliat, 2017) meliputi :

a. Afek datar dansedih

b. Ingin sendirian

c. Keterlambatan perkembangan

d. Ketidakmampuan memenuhi harapan orang lain

e. Kondisi difabel

f. Menarik diri

g. Menunjukkan permusuhan

h. Merasa tidak aman di tempat umum

i. Perasaan beda dari orang lain

j. Tidak ada kontak mata

k. Tidak mempunyai tujuan


12

2.1.5 Rentang respon

Adaftif Maladaptif

Menyendiri Menarik diri


Otonomi Manipulasi
Bekerja sama Dependen
Interdependen Curiga
Gambar 2.1 Rentang Respon Isolasi Sosial (Prabowo,2014)
a.) Respon adaptif meliputi :

1. Menyendiri

Respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang

telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan suatu cara

mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya.

2. Kerjasama

Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal yang mana individu

tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.

3. Otonomi

Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-

ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.

4. Interdependen : saling ketergantungan antara individu dengan

orang lain.

b.) Respon maladaptif :

1. Menarik diri

Gangguan hubungan sosial dimana seseorang menemukan

kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang

lain.
13

2. Dependen

Terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri

atau kemampuan untuk berfungsi secara sukses.

3. Manipulasi

Gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang

menganggap orang lain sebagai objek dan individu tersebuit tidak

dapat membina hubungan sosial secara dalam.

4. Curiga

Gangguan hubungan sosial yang terjadi bila seseorang gagal

mengembangkan rasa percaya dengan orang lain.

2.1.6 Pohon Masalah


Resiko gangguan persepsi sensori
halusinasi

effect

Isolasi Sosial

Core Problem

Harga diri rendah kronik

Cause

Gambar 2.1 Pohon masalah Isolasi sosial (Damaiyanti,Mukhripah,2014)


14

2.1.7 Patofisiologi

Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku

menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak

berharga yang bisa dialami klien dengan latar belakang yang penuh

dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan.

Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit dalam

mengembangkan berhubungan dengan orang lain. Akibatnya klien

menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan

kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien

semakin tenggelam dalam perjalinan terhadap penampilan dan tingkah

laku masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,

sehingga berakibat lanjut halusinasi.

Proses terjadinya masalah gangguan jiwa (Isolasi Sosial) adalah

disebabkan seseorang mengalami koping individutidak efektif, selalu

memikir bahwa dirinyatidak berharga terus-menerus sehingga klien

makin sulit mengembangkan.

2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis :

Isolasi sosial termasuk dalam kelompok penyakit skizofrenia tak

tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan

adalah :
15

a) Electro Convulsive Therapy (ECT)

1) Pengertian

Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan

dimana arus listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2

elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri

dan kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mallyang

berlangsung 25-30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon

bangkitkan listrik di otak menyebabkan terjadi perubahan faal dan

biokimia dalam otak.

2) Indikasi

1. Depresi mayor

a) Klien depresi berat dengan retardasi mental, waham, tidak

ada perhatian lagi terhadap dunia sekelilingnya, kehilangan

berat badan yang berleboihan dan ada ide bunuh diri yang

menetap.

b) Klien depresi ringan adanya riwayat responsif atau

memberikan respon membaik pada ECT.

c) Klien depresi yang tidak ada respon terhadap pengobatan

antidepresan atau klien tidak dapat menerima antidepresan.

2. Maniak

Klien maniak yang tidak responsif terhadap cara terapi yang

lain atau terapi lain berbahaya bagi klien.


16

3. Skizofrenia

Terutama akut, tidak efektif untuk skizofrenia kronik, tetapi

bermanfaat pada skizofrenia yang sudah lama tidak kambuh.

4. Psikoterapi

Membutuhkan waktu yang relatif cukup lama dan merupakan

bagian penting dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi

ini meliputi : memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan

lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima klien apa

adanya, memotivasi klien untuk dapat mengungkapkan perasaan

secara verbal, bersikap, ramah, sopan dan jujur kepada klien.

5. Terapi okupasi

Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi

seseorang dalam melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja

dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat, dan

meningkatkan harga diri seseorang.


17

2.2 Konsep Asuhan keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor

presipitasi, penilaian stressor, sumber koping yang dimiliki klien. Setiap

melakukan pengkajian tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi

pengkajian.

Pengkajian menurut Afnuhazi (2015) meliputi :

a. Identitas klien

Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,

tanggal MRS, informan, tanggal pengkajian, nomor, rumah klien dan

alamat klien

b. Keluhan utama

Keluhan biasanya berupa menyendiri (menghindar dari orang lain)

komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri di kamar, menolak

interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari-hari.

c. Faktor predisposisi

Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang

tidak realita, kegagalan (frustasi berulang), tekanan dari kelompok

sebaya, perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba-tiba misal

harus dioperasi, kecelakaan, dicerai suami/istri, putus sekolah, PHK,

perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan), di tuduh

korupsi, di penjara tiba-tiba, perlakuan orang lain yang tidak menghargai

klien, perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.


18

d. Aspek fisik (biologis)

Hasil pengukuran tanda vital (TD, nadi, suhu, pernapasan, tinggi badan,

berat badan) dan keluhan fisik yang dialami oleh klien.

1. Citra tubuh

Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau

tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan

terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif tentang

tubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan

keputuasaan, mengungkapkan ketakutan.

2. Identitas diri

Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan

tidak mampu mengambil keputusan.

3. Peran diri

Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses

menua, putus sekolah, PHK.

4. Ideal diri

Mengungkapkan keputuasaan karena penyakit mengungkapkan

keinginan yang terlalu tinggi.

5. Harga diri

Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri

sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat,

mencederai diri, dan kurang percaya diri. Klien mempunyai gangguan

(hambatan) dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain


19

terdekat dalam kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat.

Keyakinan klien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk ibadah (spiritual).

e. Status mental

Kontak mata klien kurang atau tidak dapat mempertahankan kontak

mata, kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan

kurang mampu berhubungan dengan orang lain, adanya perasaan

keputusasaan dan kurang dalam hidup

f. Mekanisme koping

Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakannya

pada orang lan (lebih sering menggunakan koping menarik).

g. Aspek medik

Terapi yang diterima klien bisa berupa terapi farmakologi ECT,

psikomotor,terapi aktivitas kelompok dan rehabilitas.

h. Kebutuhan persiapan pulang

1) Makan

Keadaan berat, klien sibuk dengan halusinasi dan cenderung tidak

memperhatikan diri termasuk tidak peduli makanan karena tidak

memiliki minat dan kepedulian.

2) BAK atau BAB

Observasi kemampuan klien untuk BAK atau BAB serta kemampuan

klien untuk membersihkan diri.

3) Mandi

Biasanya klien mandi berulang-ulang atau tidak mandi sama sekali


20

4) Berpakaian

Biasanya tidak rapi, tidak sesuai dan tidak diganti

5) Istirahat

Observasi tentang lama dan waktu tidur siang dan malam.Biasanya

istirahat klien terganggu bila halusinasinya datang.

6) Pemeliharaan kesehatan

Pemeliharaan kesehatan klien selanjutnya, peran keluarga dan sistem

pendukung sangan menentukan.

7) Aktifitas dalam rumah

Klien tidak mampu melakukan aktivitas di dalam rumah seperti

menyapu.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah identifikasi atau penilaian pola baik aktual

maupun potensial. Masalah keperawatan yangsering muncul yang dapat

disimpulkan dari pengkajian adalah sebagai berikut :

1. Isolasi sosial

2. Harga diri rendah

3. Gangguan sensori persepsi : halusinasi

(Keliat,2007)

2.2.3 Intervensi

a. Diagnosa Keperawatan : Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

Tujuan Umum : klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya.

Tujuan Khusus :
21

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.

Kriteria hasil : klien dapat menjawab salam, klien mau bersalaman,

klien mau menyebutkan nama, kontak mata tidak mudah teralih, klien

kooperatif.

Intervensi :

a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut

nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.

b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.

c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

Rasional : membina hubungan saling percaya akan mempermudah

untuk mendapat informasi dari klien, klien dapat lebih terbuka dengan

kita dalam mengungkapkan masalahnya.

2. Klien dapat mengenal halusinasi.

Kriteria evaluasi : klien dapat menyebutkan waktu, isi dan frekuensi

timbulnya halusinasi dan klien dapat mengungkapkan perasaan

terhadap halusinasinya.

Intervensi :

a. Adakan kontak dengan klien sering dan singkat secara bertahap.

Rasional : kontak sering dan singkat selain upaya membina

hubungan saling percaya, juga dapat memutuskan halusinasinya.

b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya. Bicara

dan tertawa tanpa stimulus, memandang ke kiri dan ke kanan

seolah – olah ada teman bicara.


22

Rasional : mengenal perilaku pada saat halusinasi timbul

memudahkan perawat dalam melakukan intervensi.

c. Bantu klien mengenal halusinasinya dengan cara :

a. Jika menemukan klien yang sedang halusinasi tanyakan apakah

ada suara yang didengar.

b. Jika klien menjawab ada lanjutkan bertanya apa yang dikatakan.

c. Katakana bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu,

namun perawat sendiri tidak mendengarnya (dengan nada tanpa

menuduh atau menghakimi).

d. Katakana pada klien bahwa ada juga klien lain yang sama

seperti dia.

e. Katakana bahwa perawat akan membantu klien.

Rasional : mengenal halusinasi memungkinkan klien untuk

menghindari faktor timbulnya halusinasi.

d. Diskusikan dengan klien tentang situasi yang menimbulkan atau

tidak menimbulkan halusinasi dan waktu serta frekuensi terjadinya

halusinasi.

Rasional : dengan mengetahui waktu, isi dan frekuensi munculnya

halusinasi mempermuda tindakan keperawatan yang akan

dilakukan perawat.

e. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi

(marah, takut, sedih, senang) beri kesempatan mengungkapkan

perasaannya

Rasional : untuk mengidentifikasi pengaruh halusinasi pada klien.


23

3. Klien dapat mengontrol halusinasinya.

Kriteria evaluasi :

a. Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan untuk

mengendalikan halusinasinya.

b. Klien dapat menyebutkan cara baru.

c. Klien dapat memilih cara mengatasi halusinasi seperti yang telah

didiskusikan dengan klien.

d. Klien dapat melakukan cara yang telah dipilih untuk

mengendalikan halusinasi.

Intervensi :

a. Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan jika terjadi

halusinasi.

Rasional : upaya untuk memutus halusinasi sehingga halusinasi

tidak berlanjut.

b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat

beri pujian.

Rasional : Reinforcement dapat meningkatkan harga diri klien.

c. Diskusikan cara baru untuk memutus atau mengontrol timbulnya

halusinasi :

1) katakan: “saya tidak mau dengar kau” pada saat halusinasi

muncul.

2) Menemui orang lain atau perawat, teman atau anggota keluarga

yang lain untuk bercakap –cakap atau mengatakan halusinasi

yang didengar.
24

3) Membuat jadwal harian agar tidak terjadi halusinasi.

Rasional : memberikan alternatif pilihan untuk mengontrol

halusinasi.

d. Bantu klien memilih cara dan melatih cara untuk memutus

halusinasi secara bertahap

Rasional : Memotivasi dapat meningkatkan kegiatan klien untuk

mencoba memilih salah satu cara mengendalikan halusinasi dan

dapat meningkatkan harga diri klien.

4. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi

Kriteri hasil : klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk

mengontrol halusinasinya.

a. Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga jika mengalami

halusinasi.

Rasional : Untuk mendapatkan bantuan keluarga mengontrol

halusinasi.

b. Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung/pada saat

kunjungan rumah) :

1) Gejala halusinasi yang dialami klien

2) Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus

halusinasi

3) Cara merawat anggota keluarga untuk memutus halusinasi di

rumah, beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama,

pergi bersama.
25

4) Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat

bantuan : halusinasi terkontrol dan risiko menciderai orang lain.

Rasional : Untuk mengetahui pengetahuan keluarga dan

meningkatkan kemampuan pengetahuan tentang halusinasi.

5. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik

Kriteria hasil : klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi

manfaat obat (SP 4)

Rasional : Dengan menyebutkan dosis, frekuensi dan manfaat obat.

b. Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan

manfaatnya.

Rasional : Diharapkan klien melaksanakan progam pengobatan,

menilai kemampuan klien dalam pengobatanya sendiri.

c. Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek

samping obat yang dirasakan.

Rasional : Dengan mengetahui efek smaping obat klien akan tahu

apa yang harus dilakukan setelah minum obat.

d. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi

Rasional : progam pengobatan dapat berjalan sesuai rencana.

e. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip benar

Rasional : Dengan mengetahui prinsip penggunaan obat, maka

kemandirian klien untuk pengobatan dapat ditingkatkan secara

bertahap.
26

b. Diagnosa keperawatan : Isolasi Sosial

Tujuan Umum : klien dapat berinteraksi dengan orang lain.

Tujuan Khusus :

1. Klien mampu menyebutkan penyebab menarik diri.

Kriteria Evaluasi : klien mampu menyebutkan minimal satu penyebab

menarik diri dari : diri sendiri, orang lain, lingkungan.

Intervensi :

a. Tanyakan pada pasien tentang :

1) Orang yang tinggal serumah atau teman sekamar

2) Orang yang paling dekat dengan klien di rumah atau di ruang

perawat.

3) Apa yang membuat klien dekat dengan orang tersebut.

4) Apa yang membuat klien tidak dekat dengan orang tersebut.

5) Upaya yang dilakukan agar dekat dengan orang lain.

b. Diskusikan dengan klien penyebab menarik diri atau tidak mau

bergaul dengan orang lain.

c. Beri pujian terhadap kemampuan pasien mengungkapkan

perasaanya.

Rasional : dengan diketahuinya penyebab menarik diridapat

dihubungkan dengan faktor presipitasi yang dialami oleh klien.

2. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain

dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.

Kriteria evaluasi : klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan

dengan orang lain.


27

Intervensi :

a. Kaji pengetahuan klien tentang keuntungan dan kerugian

berhubungan dengan orang lain.

b. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan

tentang keuntungan dan kerugian berhubungan dengan orang lain.

c. Diskusikan bersama klien tentang keuntungan dan kerugian

berhubungan dengan orang lain.

d. Beri reinforment positif terhadap kemampuan mengungkapkan

perasaan tentang keuntungan dan kerugian berhubungan dengan

orang lain.

Rasional : mengevaluasi manfaat yang dirasakan klien sehingga

timbul motivasi untuk beriteraksi.

3. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap.

Kriteria evaluasi : klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara

bertahap dengan perawat, perawat lain, pasien lain, kelompok.

Intervensi :

a. Kaji kemampuan klien dengan membina hubungan dengan orang

lain.

b. Beri motivasi dan bantu klien untuk berkenalan atau berkomunikasi

dengan perawat lain, pasien lain, kelompok.

c. Libatkan klien dalam terapi aktivitas kelompok sosialisasi.

d. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan kemampuan klien bersosialisasi.


28

e. Beri motivasi untuk melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal yang

telah dibuat.

f. Beri pujian atas kemampuan klien.

Rasional : hubungan sosial secara bertahap akan lebih efektif

dilakukan pada klien isolasi sosial, sehingga klien akan lebih

mudah beradaptasi dengan lingkunganya.

4. Klien dapat mengungkapkan perasaanya setelah berhubungan dengan

orang lain.

Kriteria evaluasi : klien dapat mengungkapkan perasaanya setelah

berhubungan dengan orang lain untuk diri sendiri dan orang lain.

Intervensi :

a. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaanya bila berhubungan

dengan orang lain.

b. Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat berhubungan

dengan orang lain.

c. Beri reinforcement posistif atas kemampuan klien dalam

mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan orang lain.

Rasional : kenyamanan dalam berhubungan dengan orang lain akan

lebih meningkatkan motivasi klien untuk berhubungan dengan

orang lain.
29

5. Klien mendapatkan hubungan keluarga dalam memperluas hubungan

sosial.

Kriteria evaluasi : keluarga dapat menjelaskan tentang pengertian,

tanda dan gejala, penyebab dan akibat dan cara merawat pasien

menarik diri.

Intervensi :

a. Diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung

untuk mengatasi perilaku menarik diri.

b. Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi

perilaku menarik diri.

c. Jelaskan pada keluarga tentang :

1) Pengertian menarik diri

2) Tanda dan gejala menarik diri

3) Penyebab dan akibat menarik diri

4) Cara merawat pasien menarik diri

d. Latih keluarga cara merawat pasien menarik diri.

e. Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatihkan.

f. Beri motivasi keluarga agar membantu klien untuk bersosialisasi.

g. Beri reinforcement positif kepada keluarga atas keterlibatannya

merawat klien.

Rasional : keterlibatan keluarga sangat mendukung terhadap proses

perbaikan perilaku klien.

6. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.


30

Kriteria hasil : klien dapat menyebutkan manfaat minum obat,

kerugian tidak minum obat, nama, warna, dosis, efek terapi dan efek

samping obat, klien mendemonstrasikan penggunaan obat dengan

benar, klien dapat menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa

konsultasi dokter.

Intervensi :

a. Diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak

minum obat, nama, warna, dosis, cara, efek samping penggunaan

obat.

b. Pantau klien saat minum obat.

c. Beri reinforcement positif jika klien menggunakan obat dengan

benar.

d. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan

dokter.

e. Anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter atau perawat jika


terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.
f. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip benar

Rasional : Dengan mengetahui prinsip penggunaan obat, maka

kemandirian klien untuk pengobatan dapat ditingkatkan secara

bertahap.

c. Diagnosa keperawatan : Harga diri rendah

Tujuan Umum:Pasien dapat melakukan hubungan sosial secara bertahap.

Tujuan Khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya


31

Kriteria hasil:Klien dapat menjawab salam, kilen mau bersalaman,

klien mau menyebutkan nama, kontak mata tidak mudah teralih, klien

kooperatif.

Intervensi :

a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut

nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.

b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.

c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

Rasional : membina hubungan saling percaya akan mempermudah

untuk mendapat informasi dari klien, klien dapat lebih terbuka

dengan kita dalam mengungkapkan masalahnya.

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang

dimiliki

Kriteria hasil :klien mengungkapkan aspek positif yang dimilikinya

dan melakukan kemampuan yang masih dapat digunakan.

Intervensi :

a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.

b. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien.

c. Utamakan memberi pujian yang realistik.

Rasional :Pengetahuan klien tentang kemampuan dan aspek positif

yang klien miliki dapat meningkatkan harga diri klien.

3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.


32

Kriteria hasil :adanya kemampuan yang masih dapat dilakukan oleh

klien serta adanya kepercayaan klien atas kemampuan tersebut

Intervensi :

a. Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan

b. Bantu klien menyebutkan dan memberi penguatan terhadap

kemampuan diri yang diungkapkan klien

c. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya

d. Perlihatkan respon yang kondusif dan menjadi pendengar yang

aktif

Rasional : Mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat

dilakukan oleh klien akan memotivasi klien dalam melakukan

aktivitas sesuai kemampuan.

4. Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang

dimiliki.

Kriteria hasil : klien dapat beraktivitas sehari-hari sesuai kemampuan

yang dimilikinya.

Intervensi :

a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap

hari.

b. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.

c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan.


33

Rasional :Perencanaan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang

dimiliki klien dengan tujuan untuk membangkitkan harga diri klien

kembali.

5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuannya.

Kriteria hasil : klien mencoba melakukan kegiatan yang telah

direncanakan, kegiatan dirumah sudah terencanakan.

Intervensi :

a. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah

direncanakan.

b. Diskusikan pelaksanaan kegiatan dirumah

Rasional : Memberikan kesempatan pada klien dalam melakukan

aktivitas sesuai kemampuan dan disesuaikan dengan perencanaan

yang telah dibuat.

6. Keluarga : Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

Kriteria hasil : keluarga mampu merawat klien memberikan dukungan

penuh untuk klien.

Intervensi :

a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat

klien dengan harga diri rendah.

b. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat.

c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah.


34

Rasional :Memberi informasi kepada pasien tentang sistem

pendukung agar klien dapat memanfaatkannya.

2.2.4 Implementasi

Implementasi adalah pelaksanaan keperawatan oleh klien. Hal ini harus

diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah tindakan keperawatan

yang akan dilakukan implementasi pada klien dengan halusinasi dilakukan

secara interaksi dalam melaksanakan tindakan keperawatan. (Afnuhazi,

2015)

a. Strategi Pelaksanaan Halusinasi

1. Strategi pelaksanaan 1 klien

a) Membantu pasien mengenal halusinasi.

b) Menjelaskan cara – cara mengontrol halusinasi

c) Mengarjarkan klien mengontrol halusinasi dengan cara pertama :

menghardik halusinasi.

2. Strategi pelaksanaan 2 klien

a) Mengevaluasi klien cara menghardik halusinasi.

b) Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua :

bercakap – cakap dengan orang lain.

3. Strategi pelaksanaan 3 klien

a) Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga :

melaksanakan aktivitas terjadwal.

4. Strategi pelaksanaan 4 klien

a.) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.


35

b.) Melatih klien cara mengontrol perilaku halusinasi dengan cara

minum obat.

c.) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.

5. Strategi pelaksaanaan 1 keluarga

a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat

klien.

b) Menjelaskan pengertian halusinasi jenis halusinasi yang dialami

klien, tanda dan gejala halusinasi dan cara – cara merawat pasien

halusinasi.

6. Strategi pelaksanaan 2 keluarga

a) Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien dengan

halusinasi.

b) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien

halusinasi.

7. Strategi pelaksanaan 3 keluarga.

a) Membantu keluarga membuat jadwal aktifitas dirumah termasuk

minum obat. Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

b. Strategi pelaksanaan Isolasi sosial

2. Strategi pelaksanaan 1 pada klien

a) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial.

b) Mengidentifikasi keuntungan berinteraksi dengan orang lain.

c) Mengidentifikasi kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.

d) Melatih klien berkenalan dengan satu orang.

e) Membimbing klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.


36

3. Strategi pelaksanaan 2 pada klien

a) Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.

b) Melatih klien berkenalan dengan dua orang atau lebih.

c) Membimbing klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

4. Strategi pelaksanaan 3 pada klien

a) Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.

b) Melatih klien berinteraksi dalam kelompok.

c) Membimbing klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

5. Strategi pelaksanaan 1 keluarga

a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat

klien.

b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang

dialami klien beserta proses terjadinya.

c) Menjelaskan cara – cara merawat klien isolasi sosial.

6. Strategi pelaksanaan 2 keluarga

a) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien dengan

isolasi sosial.

b) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien

isolasi sosial.

c. Strategi pelaksanaan Harga Diri Rendah

1. Strategi pelaksanaan 1 pasien

a) Mengidenfikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien

b) Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat

digunakan
37

c) Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai

dengan kemampuan pasien

d) Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan

e) Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

2. Strategi pelaksanaan 2 pasien

a) Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.

b) Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai

kemampuan

c) Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

3. Strategi pelaksanaan 1 keluarga

a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat

pasien

b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang

dialami pasien beserta proses terjadinya

c) Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah

2.2.5 Evaluasi

Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan

keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon

klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi

dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif yangdilakukan setiap

selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan

dengan membandingkan antara respon klien dan tujuan khusus serta umum

yang telah ditentukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan

pendekatan SOAP sebagai pola pikir :


38

S : Respon subyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan.

O : Respon obyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan.

A :Analisis ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah

masalah masih tetap atau masalah baru atau ada data yang kontrakdiksi

dengan masalah yang ada.

P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon

pasien yang terdiri dari tindakan lanjut pasien dan tindak lanjut oleh

perawat.

Rencana tindak lanjut dapat berupa:

a. Rencana diteruskan jika masalah tidak berubah

b. Rencana dimodifikasi jika masalah tetap, semua tindakan sudah

dilakukan tetapi hasil belum memuaskan

c. Rencana dibatalkan jika ditemukan masalah baru dan bertolak

belakang dengan masalah yang ada serta diagnosa lama dibatalkan

d. Rencana atau diagnosa selesai jika tujuan sudah tercapai dan yang

diperlukaan adalah memelihara dan memprtahankan kondisi yang

baru.

Pasien dan keluarga perlu dilibatkan dalam evaluasi agar dapat melihat

perubahan dan berupaya mempertahankan dan memelihara.Pada evaluasi

sangat diperluhkan reinforcement untuk menguatkan perubahan yang

positif. Pasien dan keluarga juga dimotivasi untuk melakukan self-

reinforcemen.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah studi untuk mengeskplorasi masalah asuhan

keperawatan pada Tn.Y dan Tn.V yang mengalami Isolasi Sosial dengan

pemberian strategi pelaksaan 1 sampai 3 di ruang nakula dan sena Rumah

Sakit Jiwa Daerah Dr. Arif Zainudin Surakarta.

3.2 Batasan Istilah

Batasan istilah (atau dalam versi kuantitatif disebut sebagai definisi

operasional) adalah pernyataan yang menjelaskan istilah - istilah kunci yang

menjadi focus studi kasus.

Batasan istilah pada asuhan keperawatan pada Tn.Y dan Tn.V yang

mengalami Isolasi Sosial dengan pemberian strategi pelaksanaan 1 sampai 3 di

ruang nakula dan sena Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta,

maka penulis hanya menjabarkan konsep Isolasi Sosial beserta asuhan

keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi yang disusun

secara naratif.

3.3 Partisipan

Pada sub bab ini partisipan dalam stusi kasus ini adalah pasien yang

mengalami gangguan harga diri rendah di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Arif

Zainudin. Subyek yang digunakan adalah 2 klien dengan masalah keperawatan

dan diagnosis medis yang sama yaitu pada pasien yang mengalami isolasi

sosial.

39
40

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Menjelaskan tempat atau lokasi tersebut dilakukan (Notoadmojo

2010). Lokasi studi kasus ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Dr. Arif Zainudin Surakarta. Waktu pelaksanaan pada tanggal 22 Mei – 3 Juni

2017

3.5. Pengumpulan Data

1. Data primer dengan cara :

a. Pemeriksaan fisik menurut (Handayani, 2015)

1) Inspeksi

Inspeksi adalah proses observasi dengan menggunakan mata,

inspeksi dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda fisik yang

berhubungan dengan statusfisik.Pada kasus dengan gangguan

Isolasi Sosial inspeksi dilakukandari kepala sampai kaki.

2) Palpasi

Palpasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan menggunakan

sentuhan atau rabaan.

3) Auskultasi

Auskultasi adalah metode pengkajian yang menggunakan

stetoskop untuk memperjelas pendengaran.

4) Perkusi

Perkusi adalah metode pemeriksaan dengan cara mengetuk bagian

permukaan tubuh tertentu untuk membandingkan dengan bagian

tubuh lainnya.
41

b. Wawancara

Menurut Hidayat (2014), bahwa wawancara adalah metode

pengumpulan data dengan cara mewawancarai langsung responden

yang diteliti, sehingga metode ini memberikan hasil secara langsung.

Hal ini digunakan untuk hal-hal dari responden secara lebih

mendalam. Pada kasus ini wawancara dilakukan pada pasien.

c. Observasi

Observasi adalah cara pengumpulan data dengan mengadakan

pengamatan secara langsung kepada responden penelitian untuk

mencari perubahan atau hal-hal yang akan diteliti. Dalam metode

observasi ini instrument yang dapat digunakan, antara lain lembar

observasi, panduan pengamatan observasi atau lembar checklist

(Hidayat, 2014).
42

2. Data sekunder

a. Dokumentasi

Dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara

mengambil data yang berasal dari dokumen asli, dokumen asli

tersebut dapat berupa gambar, table,daftar pustaka dan film

dokumenter (Hidayat, 2014). Pada kasus ini pendokumentasian Isolasi

Sosial diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.

Arif Zainudin Surakarta.

b. Studi Kepustakaan

Menurut Hidayat (2014), studi kepustakaan adalah kegiatan

peneliti yang dilakukan oleh peneliti dalam rangka mencari landasan

teoritis dari permasalahan peneliti. Pada kasus ini studi kepustakaan

diperoleh dari buku-buku yang membahas tentang gangguan Isolasi

Sosial dari tahun 2007 sampai tahun 2017.

3.6 Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dimaksudkan untuk menguji kualitas

data/informasi yang diperoleh sehingga menghasilkan data dengan validitas

tinggi. Uji keabsahan mempunyai dua fungsi yaitu melaksanakan pemeriksaan

sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuan dapat dipercaya, dan

memperlihatkan derajad keercayaan hasil – hasil penemuan dengan jalan

pembuktian terhadap kenyataan ganda yang sedang diteliti (Prastowo, 2011).

Uji keabsahan data dilakukan dengan memperpanjang waktu

pengamatan /tindakan, dan sumber informasi tambahan menggunakan

triagulasi dari tiga sumber data yaitu klien, perawat, dan keluarga klien yang
43

berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu pada pasien yang mengalami

Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Arif Zainudin Surakarta.

3.7 Analisis Data

Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu

pengumpulan data sampai dengan semua data terkumpul. Analisis data

dilakukan dengan cara mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan

dengan teori yang ada dan selanjutnya di tuangkan dalam opini pembahasan.

Teknik analisis yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban jawaban

yang diperoleh dari hasil interpretasi wawancara mendalam yang dilakukan

untuk menjawab rumusan masalah. Teknik analisis digunakan dengan cara

observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk

selanjutnya diinterpretasikan dan dibandingkan teori yang ada sebagai bahan

untuk memberikan rekomendasikan dalam intervensi tersebut. Urutan dalam

analisi adalah :

1. Pengumpulan data

Data dikumpulan dari hasil WOD (Wawancara, Observasi, Dokumen).

Hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian disalin dalam

bentuk transkip (catatan terstruktur).

2. Mereduksi Data

Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan

dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data

subyektif dan obyektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan

diagnostik kemudiandibandingkan nilai normal.


44

3. Penyajian data

Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan maupun teks

naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan

identitas dari klien.

4. Kesimpulan

Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan

dengan hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku

kesehatan. Penarikan esimpulan dilakukan dengan metode induksi.

Data yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis,

perencanaan, tindakan, dan evaluasi.


BAB IV

HASIL

4.1 Hasil

4.1.1 Gambaran lokasi pengambilan data

Pada bab ini dijelakan tentang asuhan keperawatan pada Tn. Y

dan Tn. V dengan Isolasi Sosial yang dilaksanakan pada tanggal 25 - 27

Mei 2017 di bangsal Nakula dan Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Arif

Zainudin Surakarta. Asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian,

pemeriksaan fisik, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan

evaluasi.

4.1.2 pengkajian

1. Identitas Klien

IDENTITAS KLIEN Klien 1 Klien 2


Inisial Tn. Y Tn. V
Umur 43 tahun 24 tahun
Jenis Kelamin Laki- Laki Laki- Laki
Alamat Surakarta Brebes
Pendidikan SMP SMK
Tanggal Pengkajian 25 Mei 2017 jam 09.00 wib 27 Mei 2017 jam 10.00 wib
No Rm 035xxx 060xxx
Informan Pasien, perawat dan keluarga Pasien, perawat dan keluarga
Pekerjaan Buruh Tidak bekerja
Agama Islam Islam

2. Alasan Masuk

Klien 1 Klien 2
Klien datang ke RSJD dr. Arif Zainudin Klien datang ke RSJD dr. Arif Zainudin
Surakarta di IGD pada tanggal 30 April 2017 Surakarta di IGD pada tanggal 7 mei 2017 jam
jam 11.00 wib diantar oleh keluarganya. 09.00 wib diantar oleh keluarganya. Keluarga
Keluarga mengatakan 2 hari yang lalu saat mengatakan saat dirumah kurang lebih 2
dirumah klien gelisah, marah- marah, minggu klien selalu menyendiri, hanya diam
menyendiri di rumah dan tidak mau saja, sering melamun malas beraktifitas, sulit
berkumpul dengan orang lain. tidur, dan pernah mengamuk tanpa sebab.

39
40

3. Faktor Presdisposisi

Klien 1 Klien 2
a. Pernah mengalami Klien mengatakan pernah Klien mengatakan belum pernah
gangguan jiwa mengalami gangguan jiwa mengalami gangguan jiwa
dimasa lalu sebelumnya pada tahun 2013, sebelumnnya, ini pertama
pernah dirawat di rumah sakit kalinya klien di rawat di rumah
jiwa daerah Dr. Arif Zainudin sakit jiwa.
Surakarta sebanyak 2 kali dan
yang kedua sekarang.

b. Pengobatan Klien mengatakan pengobatan Klien mengatakan tidak


sebelumnya sebelumnya tidak berhasil melakukan pengobatan
karena tidak rutin minum obat. sebelumnya.

c. Pengalaman Klien mengatakan tidak pernah Klien mengatakan tidak pernah


1) Aniaya fisik mengalami aniaya fisik dan mengalami aniaya fisik dan
tidak melakukan aniaya fisik melakukan aniaya fisik, tapi
sebelumnya. klien pernah marah-marah tanpa
sebab.

2) Aniaya Klien mengatakan tidak pernah Klien mengatakan tidak pernah


seksual mengalami aniaya seksual. mengalami aniaya seksual.

3) Penolakan Klien mengatakan merasa Klien mengatakan merasa


mengalami penolakan di mengalami penolakan di
lingkungannya. lingkungannya.

4) Kekerasan Klien megatakan tidak pernah Klien mengatakan tidak pernah


dalam mengalami kekerasan dalam mengalami kekerasan dalam
keluarga keluarga. keluarga.

5) Tindakan Klien mengatakan tidak pernah Klien mengatakan tidak pernah


kriminal melakukan tindakan kriminal melakukan tindakan kriminal.

d. Adakah anggota Klien mengatakan keluarganya Klien mengatakan keluarganya


keluarga yang tidak ada yang mengalami tidak ada yang mengalami
mengalami gangguan jiwa. gangguan jiwa.
gangguan jiwa

4. Faktor Presipitasi

Klien 1 Klien 2
faktor pencetus yang di dapat dari Tn.Y Faktor pencetus yang di dapat dari Tn.V
adalah klien kehilangan pekerjaannya. adalah ditinggal ayahnya pergi.
41

5. Fisik

Keterangan Klien 1 Klien 2


Tekanan Darah 130/90 mmHg 100/80 mmHg
Nadi 84x/menit 78x/menit
RR 20x/menit 18x/menit
Suhu 35,8 0C 36 0C
Tinggi Badan 165 cm 160 cm
Berat Badan 62 kg 42 kg
Keluhan Fisik Tidak ada Tidak ada

6. Psikososial

a. Genogram

1) Klien 1

44 th

Gambar 4.1 Genogram Tn.Y (klien 1)

Penjelasan : Klien adalah anak dari ke 9 bersaudara. Klien belum

pernah menikah, klien tinggal 1 rumah bersama kedua orang tua

nya. Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.


42

2) Klien 2

24 th

Gambar 4.2 Genogram Tn.V (klien 2)

Penjelasan : klien adalah anak kedua, klien tinggal serumah

dengan kedua orangtuanya, di dalam keluarganya

tidak ada yang mengalami gangguan jiwa.

Keterangan:

: Laki- laki

: Perempuan

X : Meninggal

: Klien/ pasien

------ : Tinggal serumah


43

b. Konsep diri

Keterangan Klien 1 Klien 2


1) Citra tubuh Klien mengatakan suka dengan Klien mengatakan suka dengan
semua anggota tubuhnya, semua anggota tubuhnya, dan
tanpa terkecuali. mensyukuri semua anggota
tubuhnya.

2) Identitas Klien mengatakan seorang Klien megatakan seorang laki-


laki- laki berusia 43 tahun, laki berusia 24 tahun, belum
belum menikah, berpendidikan menikah, berpendidikan
terakhir SMA, klien belum terakhir SMK, klien belum puas
puas sebagai laki- laki karena sebagai laki- laki karena belum
belum menikah dan bekerja. bekerja.

3) Peran Klien mengatakan sebagai Klien mengatakan sebagai


seorang anak ke 9 dari 9 seorang anak tunggal, klien
bersaudara, klien bekerja hanya bekerja membantu orang
sebagai buruh. tuanya.

4) Ideal diri Klien mengatakan ingin cepat Klien mengatakan ingin cepat
pulang , ingin berkumpul pulang , ingin berkumpul
bersama keluarga, ingin bersama keluarga, ingin bekerja
bekerja dan menikah. dan menikah.

5) Harga diri Klien mengatakan merasa Klien mengatakan merasa malu


malu dan kurang percaya diri. dan kurang percaya diri.

Masalah keperawatan Harga Diri Rendah Harga Diri Rendah

c. Hubungan sosial

Keterangan Klien 1 Klien 2

1) Orang terdekat Klien mengatakan orang yang Klien mengatakan orang yang
paling terdekat yaitu ibu. paling terdekat yaitu adek.

2) Peran serta dalam Klien mengatakan tidak Klien mengatakan jarang


kegiatan kelompok / pernah mengikuti kegiatan di mengikuti kegiatan sosial di
masyarakat lingkungan sekitar. rumah karena malu dan
malas.

3) Hambatan dalam Klien mengatakan susah Klien mengatakan susah


berhubungan dengan berhubungan dengan orang berhubungan dengan orang
orang lain lain karena merasa malu dan lain karena merasa malu dan
tidak percaya diri. tidak percaya diri.
Masalah keperawatan Isolasi Sosial Isolasi Sosial
44

d. Spiritual

Keterangan Klien 1 Klien 2

1) Nilai dan keyakinan Klien mengatakan bahwa Klien mengatakan bahwa


sakitnya ini adalah takdir. sakitnya ini adalah takdir.

2) Kegiatan ibadah Klien megatakan beragama Klien mengatakan beragama


Islam, selama sakit klien tidak Islam, selama sakit klien jarang
melakukan ibadah. melakukan ibadah.

Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

7. Status Mental

Keterangan Klien 1 Klien 2


1) Penampilan Penampilan tidak rapi, rambut Penampilan tidak rapi, rambut
kotor terdapat ketombe, wajah panjang, acak-acakan, kotor,
terlihat kusam, gigi tidak bersih, sedikit gimbal, wajah kusam,
dan bau badan. dan bau badan .

Masalah keperawatan Defisit Perawatan Diri Defisit Perawatan Diri

2) Pembicaraan Nada bicara klien pelan, Nada bicara klien pelan,


menjawab seperlunya dan menjawab seperlunya dan
singkat sesuai pertanyaan yang singkat sesuai pertanyaan yang
diajukan, klien suka berbicara diajukan.
sendiri.

Masalah Keperawatan Isolasi Sosial Isolasi Sosial

3) Aktifitas motorik Klien terlihat lesu, kurang Klien terlihat lesu, kurang
bersemangat, dan sering duduk bersemangat dan sering duduk
menyendiri, klien mengatakan menyendiri, tidak melakukan
malas melakukan kegiatan aktifitas.
diruangan.

Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

4) Alam perasaan Klien mengatakan sedih tidak Klien mengatakan sedih karena
bisa berkumpul dengan tidak ada keluarga yang
keluarganya dan klien meminta menjenguknya.
untuk pulang.

Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

5) Afek Klien tampak bingung dan Klien tampak bingung dan


datar. datar.

Masalah keperawatan Isolasi Sosial Isolasi Sosial

6) Interaksi selama Saat wawancara klien kurang Saat wawancara klien kurang
wawancara kooperatif, dapat menjawab kooperatif, dapat menjawab
pertanyaan yang diajukan, tetapi pertanyaan yang diajukan,
kontak mata kurang. tetapi kontak mata kurang.
45

Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

7) Persepsi Klien mengatakan malas Klien mengatakan malu


berintersksi dengan orang lain berinteraksi dengan orang lain
karena klien menganggap karena klien merasa kurang
berinteraksi dengan orang lain percaya diri.
tidak ada keuntungannya.

Masalah keperawatan Isolasi Sosial Harga Diri Rendah

8) Proses pikir Saat pengkajian proses pikir Saat pengkajian proses pikir
tidak terkaji, klien saat diajak tidak terkaji, klien saat diajak
berbicara langsung ke topik berbicara langsung ke topik
pembicaraan tapi terkadang pembicaraan.
menyimpang dari pembicaraan.

Masalah Keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

9) Isi pikir dan waham Saat pengkajian tidak terkaji Saat pengkajian tidak terkaji
fobia, obsesi, pikiran magis dan fobia, obsesi, pikiran magis dan
waham. waham.

Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

10) Tingkat kesadaran Kesadaran klien tenang , tidak Kesadaran klien tenang , tidak
terjadi disorientasi. terjadi disorientasi.

Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

11) Memori Klien masih dapat mengingat Klien masih dapat mengingat
yang terjadi selama 1 hari, 1 yang terjadi selama 1 hari, 1
minggu dan masih dapat minggu dan masih dapat
mengingat masalalunya. mengingat masalalunya.

Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

12) Tingkat konsentrasi Klien berkonsentrasi penuh, Klien berkonsentrasi penuh,


berhitung klien dapat menyebutkan angka klien dapat menyebutkan angka
1- 10 tapi saat di balik klien 1- 10 tapi saat di balik klien
bingung bingung

Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

13) Kemampuan penilaian Klien tidak mengalami Klien tidak mengalami


gangguan penilaian, klien gangguan penilaian, klien
mampu memilih kebutuhan mampu memilih kebutuhan
klien mau mandi dulu terus klien mau mandi dulu terus
makan. makan.

Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

14) Daya tilik diri Klien menyadari bahwa dirinya Klien menyadari bahwa dirinya
mengalami gangguan jiwa. mengalami gangguan jiwa.

Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan
46

8. Kebutuhan persiapan pulang

Keterangan Klien 1 Klien 2

1) Makan Klien makan 3 kali sehari (pagi, Klien makan 3 kali sehari (pagi,
siang dan sore) habis seporsi siang dan sore) habis seporsi
dengan menu yang berbeda dengan menu yang berbeda
yang disediakan rumah sakit, yang disediakan rumah sakit,
klien makan sendiri tanpa klien makan sendiri tanpa
bantuan. bantuan.

2) BAB/ BAK Klien BAB 1 kali sehari dan Klien BAB 1 kali sehari dan
BAK 4-5 kali sehari, klien BAK 3-4 kali sehari, klien
melakukan sendiri tanpa melakukan sendiri tanpa
bantuan. bantuan.

3) Mandi Klien mandi 1 kali sehari tiap Klien mandi 2 kali sehari tiap
sore hari dengan memakai pagi dan sore hari dengan
sabun, menggosok gigi setiap memakai sabun, menggosok
mandi dan 3 hari sekali gigi setiap mandi dan 2 hari
keramas. sekali keramas.

4) Berpakaian/ berhias Klien mampu memakai Klien mampu memakai


pakaiannya sendiri tanpa pakaiannya sendiri tanpa
bantuan, klien berpakaian cukup bantuan, klien berpakaian
rapi. cukup rapi.

5) Istirahat dan tidur Klien dapat istirahat cukup, Klien dapat istirahat cukup,
tidur siang 2-3 jam dan tidur tidur siang 1-2 jam dan tidur
malam 6-8 jam sehaari. malam 6-7 jam sehari.

6) Pengguanaan obat Klien minum obat 2 kali sehari Klien minum obat 2 kali sehari
(pagi dan sore) klien minum (pagi dan sore) klien minum
obat sesuai dosis dan anjuran obat sesuai dosis dan anjuran
yang telah ditentuakn oleh yang telah ditentuakn oleh
dokter secara rutin dan teratur. dokter secara rutin dan teratur.

7) Aktifitas didalam Klien mengatakan apabila Klien mengatakan apabila


rumah didalam rumah klien menjaga didalam rumah klien menjaga
kerapian rumah dan mencuci kerapian rumah dan mencuci
pakaian. pakaian.

8) Aktifitas diluar rumah Klien mengatakan apabila diluar Klien mengatakan apabila
rumah klien tidak berinteraksi diluar rumah klien jarang
dengan orang lain. berkumpul dengan teman-
temannya.
Masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan
47

9. Mekanisme koping

Klien 1 Klien 2

Klien mengatakan jika mendapatkan masalah Klien mengatakan jika mendapatkan masalah
klien lebih memilih untuk memendamnya klien lebih memilih untuk memendamnya
sendiri (menyendiri) dengan alasan malu sendiri (menyendiri) dengan alasan malu
menceritakan masalahnya pada orang lain. menceritakan masalahnya pada orang lain.

Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

10. Masalah psikososial dan lingkungan

Klien 1 Klien 2

Klien mengatakan hanya lulusan SMP, dan Klien mengatakan selalu menghindar dari
selama ini klien sulit mencari pekerjaan lingkungan sekitar karena klien kurang percaya
karena hanya lulusan SMP diri dengan dirinya

Harga Diri Rendah Harga Diri Rendah

11. Pengetahuan kurang tentang

Klien 1 Klien 2

Klien kurang mengetahui tentang jenis obat, Klien kurang mengetahui tentang jenis obat,
fungsi obat, kontraindiksi obat dan cara fungsi obat, kontraindiksi obat dan cara minum
minum obat. obat.

Tidak ada masalah keperawatan Tidak ada masalah keperawatan

12. Aspek medis

Keterangan Klien 1 Klien 2

a. Diagnosa medis F.20 F.20


b. Terapi medis Trifluoperazine 5 mg (3x1) Trifluoperazine 5 mg (3x1)
Thihexyphenidyl 2 mg (2x1) Thihexyphenidyl 2 mg (2x1)
Chlorpromazine 100 mg Chlorpromazine 100 mg (2x1)
(2x1)

13. Daftar masalah keperawatan

Klien 1 Klien 2

a. Isolasi sosial a. Isolasi sosial


b. Harga diri rendah b. Harga diri rendah
c. Defisit perawatan diri
48

4.1.3 Analisa Data

Data Fokus Masalah Keperawatan

Klien 1

DS: Isolasi Sosial


Klien mengatakan malu dan malas berinteraksi
dengan orang lain.

DO:
Klien tampak lemah dan tidak bersemangat
Klien suka menyendiri
Kontak mata kurang
Pandangan satu arah
Klien tampak datar

DS: Harga Diri Rendah


Klien mengatakan malu dengan dirinya dan
kurang percaya diri.

DO:
Menghindar dari lingkungan
Kontak mata kurang
Klien kurang bersemangat dan lesu

DS: Defisit Perawatan Diri


Klien mengatakan malas mandi

DO:
Klien tampak kotor dan bau
Penampilan kurang rapi
Klien 2

DS: Isolasi Sosial


Klien mengatakan malas berinteraksi dengan
orang lain

DO:
Klien lemah dan lesu
Klien suka menyendiri
Klien sering melamun
Kontak mata kurang

DS: Harga Diri Rendah


Klien mengatakan kurang percaya diri dengan
dirinya

DO:
Klien menghindar dari lingkungan
Klien tampak menyendiri dan tidak berinteraksi
dengan orang sekitar
49

4.1.4 Pohon Masalah

Gangguan persepsi sensori : halusinasi

(Effect)

Isolasi Sosial

(Core Problem)

Harga diri rendah

(Causa)

4.1.5 Diagnosa Keperawatan

Klien 1 Klien 2

a. Isolasi sosial a. Isolasi sosial

4.1.6 Rencana/ Intervensi keperawatan

Diagnosa keperawatan Rencana/ intervensi keperawatan

Tujuan Intervensi

Isolasi Sosial a. Klien dapat membina SP 1


hubungan saling percaya a. Bina Hubungan Saling
(BHSP) Percaya (BHSP)
b. Klien menyadari penyebab b. Identifikasi penyebab
isolasi sosial, keuntungan isolasi sosial
berinteraksi dengan orang c. Tanyakan keuntungan
lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang
berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak
lain. berhubungan dengan orang
c. Klien dapat melakukan lain.
interkasi dengan orang lain d. Ajarkan klien cara
secara bertahap berkenalan
 Jelaskan kepada klien
Setelah dilakukan 1x interaksi cara berkenalan
diharapkan klien mampu:  Berikan contoh cara klien
50

a. Klien mampu menyebutkan berkenlan dengan orang


penyebabkan menarik diri lain
b. Klien dapat menyebutkan  Beri kesempatan klien
keuntungan berhubungan mempraktekkan cara
dengan orang lain dan berkenalan dengan orang
kerugian tidak berhubungan lain yang dilakukan
dengan orang lain. dihadapan perawat
e. Anjurkan pada klien untuk
memasukkan ke jadwal
harian

Setelah dilakukan 1x interaksi SP 2 :


diharapkan klien mampu: a. Tanyakan kembali
a. Klien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan
penyebab menarik diri dengan orang lain dan
b. Klien mampu berkenalan kerugian tidak berhubungan
dengan orang lain dengan orang lain
b. Evaluasi cara berkenalan
klien
c. Latih klien berhungan sosial
secara bertahap
d. Anjurkan pada klien untuk
memasukkan ke jadwal
harian

Setelah dilakukan 1x interaksi SP 3:


diharapkan klien mampu: a. Evaluasi cara berkenalan
a. Klien mampu berhungan klien
sosial secara bertahap b. Latih klien untuk
b. Klien mampu berkenalan berkenalan dengan 2 orang
dengan 2 orang atau lebih atau lebih
c. Anjurkan pada klien untuk
memasukkan ke jadwal
harian

4.1.7 Catatan perkembangan/ Evaluasi

Hari 1

Klien 1 Klien 2

Implementasi Evaluasi Implementasi Evaluasi

Dx: S: Dx: S:

Isolasi Sosial Klien mengatakan Isolasi Sosial Klien mengatakan


namanya Tn.Y namanya Tn. V
Tindakan SP 1: Tindakan SP 1:
Klien malas dan malu Klien mengatakan malu
a. Membina hubungan berkenalan dengan orang a. Membina hubungan berkenalan dengan orang
saling percaya lain saling percaya lain
(BHSP) (BHSP)
Klien selama di rumah Klien selama di rumah
b. Identifikasi sakit hanya mengenal b. Identifikasi sakit hanya mengenal
penyebab isolasi wajah orang lain tapi penyebab isolasi
51

sosial tidak lupa namanya sosial beberapa orang


c. Tanyakan Klien mengatakan jika c. Tanyakan O:
keuntungan tidak ada teman merasa keuntungan
berhubungan dan kesepian. berhubungan dan Klien tampak menyendiri
kerugian tidak kerugian tidak di lapangan
berhubungan O: berhubungan dengan
dengan orang lain orang lain Klien mampu
Klien tampak mempraktikkan cara
d. Ajarkan klien cara menyendiri d. Ajarkan klien cara berkenalan
berkenalan berkenalan
Klien tidak mampu Klien tampak senang
e. Masukkan ke dalam memulai pembicaraan e. Memasukkan ke setelah berkenalan dengan
jadwal harian dalam jadwal harian orang lain
Klien mempraktikkan
cara berkenalan Klien tidak mampu
memulai pembicaraan
Klien tampak senang
setelah berkenalan A:
dengan orang lain
Klien dapat menyadari
A: penyebab isolasi sosial

Klien dapat menyadari Klien dapat menjelaskan


penyebab isolasi sosial keuntungan berhubungan
dengan orang lain dan
Klien dapat menjelaskan kerugian tidak
keuntungan berhubungan dengan
berhubungan dengan orang lain
orang lain dan kerugian
tidak berhubungan Klien dapat
dengan orang lain mempraktikkan cara
berkenalan dengan orang
Klien dapat lain
mempraktikkan cara
berkenalan dengan orang P:
lain
Evaluasi SP 1, jika
berhasil lanjut ke SP 2

P: Anjurkan pada klien


untuk berkenalan dengan
Evaluasi SP 1, jika orang lain
berhasil lanjut ke SP 2
Kontrak waktu cara yang
Anjurkan pada klien kedua yaitu berkenalan
untuk berkenalan dengan secara bertahap
orang lain
Anjurkan klien untuk
Kontrak waktu cara memasukkan ke dalam
yang kedua yaitu jadwal kegiatan
berkenalan secara
bertahap

Anjurkan klien utnuk


memasukkan ke dalam
jadwal kegiatan
52

Hari 2

Klien 1 Klien 2

Implementasi Evaluasi Implementasi Evaluasi

Dx: S: Dx: S:

Isolasi Sosial Klien menjelaskan cara- Isolasi Sosial Klien menjelaskan cara-
cara berkenalan, itu cara berkenalan, itu tahap-
Tindakan SP 2: tahap-tahapnya : Tindakan SP 2: tahapnya : pertamanya
pertamanya jabatkan jabatkan tangan,
a. Mengevaluasi tangan, perkenalkan diri, a. Mengevaluasi jadwal perkenalkan diri, nama
jadwal harian nama lengkap, nama harian (review cara lengkap, nama panggilan,
(review cara panggilan, alamat, hobi, berkenalan) alamat, hobi, dan
berkenalan) dan tanyakan kembali tanyakan kembali kepada
b. Melatih berhubungan
b. Latih cara kepada orang lain social secara bertahap orang lain
berhubungan sosial
Klien merasa senang c. Masukkan ke dalam Klien senang bisa
secara bertahap
sudah bisa berkenalan jadwal harian berkenalan dengan orang
c. Masukkan ke dalam lain
jadwal harian O:
O:
Klien tampak berkenalan
dengan Tn.F Klien berkenalan dengan
Tn.W
Klien masih ingat
dengan SP 1 isolasi Klien masih ingat dengan
sosial SP 1 isolasi sosial

A: A:

Klien mampu Klien mampu


menjelaskan kembali menjelaskan kembali
cara-cara berkenalan cara-cara berkenalan
dengan orang lain dengan orang lain

P: P:

Evaluasi SP 1, SP 2, jika Evaluasi SP 1, SP 2, jika


berhasil lanjut SP 3 berhasil lanjut SP 3

Praktikkan cara Praktikkan cara


berkenalan dengan berkenalan dengan
perawat atau klien lain perawat atau klien lain

Kontrak waktu yang Kontrak waktu yang


ketiga yaitu melatih cara ketiga yaitu melatih caara
berkenalan dengan 2 berkenalan dengan 2
orang atau lebih orang atau lebih

Masukkan ke dalam
jadwal kegiatan
53

Hari 3

Klien 1 Klien 2

Implementasi Evaluasi Implementasi Evaluasi

Dx: S: Dx: S:

Isolasi Sosial Klien mengatakan sudah Isolasi Sosial Klien mengatakan sudah
berkenalan dengan 2 berkenalan dengan 2
Tindakan SP 3 : orang Tindakan SP 3 : orang
a. Mengevaluasi Klien mengatakan cara- a. Mengevaluasi Klien mengatakan cara-
jadwal harian (cara cara berkenalan, itu jadwal harian (cara cara berkenalan, itu tahap-
berkenalan secara tahap-tahapnya : berkenalan secara tahapnya : pertamanya
bertahap) pertamanya jabatkan bertahap) jabatkan tangan,
tangan, perkenalkan diri, perkenalkan diri, nama
b. Melatih cara b. Melatih cara
nama lengkap, nama lengkap, nama panggilan,
berkenalan dengan berkenalan dengan 2
panggilan, alamat, hobi, alamat, hobi, dan
2 orang atau lebih orang atau lebih
dan tanyakan kembali tanyakan kembali kepada
c. Masukkan ke dalam kepada orang lain c. Masukkan ke dalam orang lain
jadwal harian jadwal harian
O: O:

Klien tampak berkenalan Klien berkenalan dengan


dengan Tn.H dan Tn.A Tn.V dan Tn.S

Klien tampak senang Klien tampak senang


setelah berkenalan setelah berkenalan dengan
dengan Tn.H dan Tn.A Tn.V dan Tn.S

A: A:

Klien mampu Klien mampu


menjelaskan kembali menjelaskan kembali
cara-cara berkenalan cara-cara berkenalan

P: P:

Evaluasi SP 1, SP 2, dan Evaluasi SP 1, SP 2, dan


SP 3 Isolasi sosial, jika SP 3 Isolasi sosial, jika
berhasil lanjut intervensi berhasil lanjut intervensi
selanjtunnya selanjtunnya

Anjurkan pada klien Anjurkan pada klien


untuk mempraktekkan untuk mempraktekkan
cara berkenalan jika cara berkenalan jika
bertemu dengan orang bertemu dengan orang
baru baru

Masukkan ke dalam Masukkan ke dalam


jadwal kegiatan harian jadwal kegiatan harian
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan

Pada bab ini penulis akan membahas tentang Asuhan Keperawatan

Jiwa Pada Tn.Y dan Tn.V Dengan Isolasi Sosial Di Ruang Nakula dan Sena

Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta. Pembahasan pada

bab ini berisi perbandingan antara tinjauan pustaka dengan tinjauan kasus

yang disajikan. Asuhan keperawatan memfokuskan pada pemenuhan

kebutuhan dasar manusia melalui tahap pengkajian, diagnosa keperawatan,

intervensi, implementasi dan evaluasi.

5.1.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses

keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan

perumusan kebutuhan atau masalah pasien (Kusumawati dan Hartono,

2010). Kemampuan perawat yang diharapkan dalam pengumpulan data

yaitu punya kesadaran/tilik diri, kemampuan mengobservasi dengan akurat,

komunikasi terapeutik, mampu berespon secara efektif. Data yang

dikumpulkan saat melakukan pengkajian proses keperawatan jiwa yaitu

biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Pengelompokan data dengan

faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber

koping dan kemampuan koping yang dimiliki. (Yosef dan Iyus, 2011).

Teknik pengkajian yang dilakukan menggunakan cara auotoanamnesa dan

alloanamnesa.

54
55

Pengkajian yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 25 Mei 2017

didapatkan identitas 2 pasien yaitu pasien 1 dengan inisial Tn.Y yang

berumur 43 tahun, dengan jenis kelamin laki-laki, bertempat tinggal di

Surakarta, pasien masuk tanggal 30 April 2017. Sedangkan identitas pasien

2 dengan inisial Tn.V berumur 24 tahun, dengan jenis kelamin laki-laki,

bertempat tinggal di Brebes, pasien masuk tanggal 7 Mei 2017.

Keluhan utama Tn.Y dan Tn.V adalah klien megatakan malu atau

malas untuk berinteraksi dengan orang lain. Dari pengkajian Tn. Y

didapatkan data faktor pencetus terjadinya gangguan jiwa yaitu klien

kehilangan pekerjaannya. Pengkajian Tn.V didapatkan data faktor pencetus

terjadinya gangguan jiwa yaitu klien di tinggal ayahnya pergi. Saat dibawa

ke Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta alasan masuk

Tn.Y adalah Keluarga mengatakan 2 hari yang lalu saat dirumah klien

gelisah, marah- marah, menyendiri di rumah dan tidak mau berkumpul

dengan orang lain. Sedangkan alasan masuk Tn.V dibawa ke Rumah Sakit

Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta karena saat dirumah kurang lebih

2 minggu klien selalu menyendiri, hanya diam saja, sering melamun malas

beraktifitas, sulit tidur, dan pernah mengamuk tanpa sebab. Hal ini sesuai

dengan tanda dan gejala isolasi sosial yaitu klien banyak diam dan tidak

mau bicara, klien menyendiri tidak mau berinteraksi dengan orang lain,

aktivitas menurun, tidak atau acuh terhadap lingkungan sekitar. (Iyus

Yosep,2011)

Faktor predisposisi Isolasi sosial terdapat beberapa teori yang

menjadi penyebab munculnya isolasi sosial, salah satunya dari segi


56

kesehatan mental dan, masa lalu yang tidak menyenangkan

(Prabowo,2014). Menurut Afnuhazi (2015), faktor yang berhubungan

dengan masalah isolasi sosial dapat terjadi karena faktor komunikasi dalam

keluarga. Berdasarkan teori yang telah disampaikan tersebut sama dengan

pengkajian faktor predisposisi yang ditemukan pada kasus Tn.Y dimana

klien merasa masa lalu yang tidak menyenangkan menyebabkan putus asa,

ada gangguan jiwa sebelumnya, pengobatan sebelumnya kurang berhasil

karena pasien tidak rutin kontrol dan kondisi ekonomi keluarga yang

kurang mampu. Sedangkan pada kasus Tn.V ditemukan klien merasa tidak

diperhatikan oleh anggota keluarganya sehingga klien menjadi sering

menyendiri.

Faktor presipitasi isolasi sosial antara lain kehilangan kesehatan,

kehilangan peran dalam keluarga, kehilangan posisi di masyarakat,

kehilangan harta benda atau orang yang di cintainya (Prabowo,2014). Dari

pengkajian Tn. Y didapatkan data faktor pencetus terjadinya gangguan jiwa

yaitu klien kehilangan pekerjaannya. Pengkajian Tn.V didapatkan data

faktor pencetus terjadinya gangguan jiwa yaitu klien di tinggal ayahnya

pergi.

Hasil pengkajian pemeriksaan fisik klien 1 atau Tn.Y didapatkan

tanda-tanda vital, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 84x/menit, respirasi

20x/menit dan suhu 35,80C, tinggi badan 165 cm, berat badan 62 kg. Hasil

pengkajian pemeriksaan fisik klien 2 atau Tn.V didapatkan tanda-tanda

vital, tekanan darah 100/80 mmHg, nadi 78x/menit, respirasi 18x/menit dan

suhu 360 C, tinggi badan 160 cm, berat badan 42 kg. Hasil pengkajian
57

psikososial klien 1 atau Tn.Y tentang genogram pasien merupakan anak ke

9 dari 9 bersaudara, belum menikah. Dalam riwayat keluarga tidak ada

yang mengalami gangguan jiwa. Hasil pengkajian psikososial klien 2 atau

Tn.V tentang genogram pasien merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara.

Dalam riwayat keluarga tidak ada yang mengalami gangguan jiwa.

Konsep diri merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang

mengenai dirinya senidri, dimana hal ini meliputi kemampuan, karakter

diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri. Gangguan konsep

diri adalah orang-orang dengan konsep diri yang tidak sehat menyatakan

perasaan tidak berharga, perasaan dibenci dan selalu merasakan kesedihan

yang mendalam dan juga mudah putus asa. Harga diri rendah merupakan

perasaan negatif terhadap diri sendiri, termasuk kehilangan rasa percaya

diri, tidak berharga, tidak berdaya dan pesimis (Wakhid, 2013). Menurut

Prabowo (2014) harga diri rendah adalah perilaku negatif terhadap diri

yang negatif, yang dapat diekspresikan secara langsung maupun tak

langsung. Harga diri pasien yang rendah menyebabkan pasien merasa malu,

dianggap tidak berharga dan berguna. Klien kemudian mengurung diri dan

tidak mau berinteraksi dengan orang lain. Berdasarkan teori yang telah

disampaikan tersebut sama dengan data pengkajian konsep diri harga diri

yang ditemukan pada kasus pasien Tn.Y yaitu klien mengungkapkan malu

karena tidak bekerja dan merasa dirinya gila. Sedangkan pada kasus Tn.V

yaitu pasien mengungkapkan tidak berguna karena tidak bisa

membahagiakan orang tua, malu dan tidak berguna saat berada

dilingkungan masyarakat.
58

Menurut Achlis (2011 dalam Fauziah & Latipun, 2016)

keberfungsian sosial merupakan kemampuan individu melaksanakan tugas

dan perannya dalam berinteraksi dengan situasi sosial tertentu yang

bertujuan mewujudkan nilai diri untuk mencapai kebutuhan hidup.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberfungsian sosial

individu yaitu, adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi, individu mengalami

frustasi dan kekecewaan, keberfungsian sosial juga dapat menurun akibat

individu mengalami gangguan kesehatan, rasa duka yang berat, atau

penderitaan lain yang disebabkan bencana alam. (Ambari, 2010 dalam

Fauziah & Latipun, 2016). Berdasarkan teori yang telah disampaikan

tersebut sama dengan data pengkajian hubungan sosial yang ditemukan

pada kasus kedua pasien yaitu pasien tidak mempunyai peran serta dalam

kegiatan kelompok masyarakat.. Hambatan yang dialami kedua pasien

untuk berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain yaitu pasien lebih

senang sendiri daripada berbicara dengan orang lain.

Data yang didapat dari pengkajian spiritual, kedua pasien

mengatakan beragama islam, dan terdapat kesamaan pada kegiatan ibadah

klien yaitu Tn.Y tidak pernah beribadah , dan Tn.V tidak pernah beribadah.

Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat

signifikan antara komitmen agama dan kesehatan. Orang yang sangat

religius dan taat menjalankan ajaran agamanya relatif lebih sehat dan atau

mampu mengatasi penderitaan penyakitnya sehingga proses penyembuhan

penyakit lebih cepat (Zainul Z, 2007 dalam Sulistyowati & Prihantini,

2015). Dengan terapi psikoreligi jika dilaksanakan secara lebih maksimal


59

atau khusuk akan menjadi tindakan yang efektif dalam proses

penyembuhan klien selama di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

Pengkajian status mental Tn.Y klien berpenampilan tidak rapi,

rambut berketombe, wajah kusam, giginya kotor, bau badan, cara

berpakaian sudah tepat, menggunakan baju Rumah Sakit Jiwa. Fungsi

fisiologis klien seperti halnya kemampuan melakukan perawatan diri sering

kali terpengaruh akibat adanya masalah emosional. Akibat masalah

emosional, seseorang menjadi malas makan, malas mandi, malas berganti

baju/berhias (Direja, 2011). Klien berbicara dengan pelan, menjawab

seperlunya dan singkat. Aktivitas motorik wajah terlihat lesu, kurang

bersemangat dan malas melakukan kegiatan. Alam perasaan klien terlihat

sedih, khawatir dan ketakutan. Afek klien tampak bingung dan datar.

Interaksi selama pengkajian klien kurang kooperatif, tidak ada kontak mata

dan tatapan kosong. Klien tidak mengalami gangguan persepsi. Proses pikir

pasien saat diajak bicara berbelit-belit. Tingkat kesadaran composmentis

atau sadar penuh. Memori jangka pendek, menengah dan lama pasien

mampu menceritakan kejadian. Klien susah berkonsentrasi dan berhitung,

kemampuan penilaian klien sudah menyadari dan mampu menilai jika

masalah yang di landasi dengan emosi akan merugikan/membahayakan diri

sendiri, orang lain, dan lingkungan. Daya tilik diri klien menyadari

penyakitnya.

Pengkajian status mental Tn.V klien berpenampilan tidak rapi,

rambut berketombe, wajah kusam, giginya kotor, bau badan, cara

berpakaian sudah tepat, postur tubuh sedikit membungkuk dan kaku. Klien
60

berbicara dengan pelan, menjawab seperlunya dan singkat. Aktivitas

motorik wajah terlihat lesu, kurang bersemangat dan malas melakukan

kegiatan. Alam perasaan klien terlihat sedih, khawatir dan ketakutan. Alam

perasaan pasien terlihat sedih, khawatir dan ketakutan. Afek klien tampak

bingung dan datar. Interaksi selama pengkajian pasien terlihat tidak ada

kontak mata dan tatapan kosong. Klien tidak ada gangguan persepsi. Proses

pikir klien saat diajak bicara klien menjawab pertanyaan agak lama tidak

langsung ke topik pembicaraan. Isi pikir klien selalu tanggap waktu diajak

berbicara meskipun agak lama saat menjawab pertanyaan. Tingkat

kesadaran composmentis atau sadar penuh. Memori jangka pendek,

menengah dan lama klien mampu menceritakan kejadian. Klien dapat

memfokuskan berkonsentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian klien

sudah menyadari dan menilai jika masalah yang di landasi dengan emosi

akan merugikan/membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Daya tilik diri klien menyadari penyakitnya.

Perencanaan pulang merupakan bagian penting dari program

pengobatan klien yang dimulai dari saat klien masuk rumah sakit. Hal ini

merupakan proses yang menggambarkan usaha kerjasama antara tim

kesehatan, keluarga, klien, dan orang yang penting bagi klien (Yosep,

2011). Pengkajian tentang kebutuhan persiapan pulang kedua pasien makan

3x sehari dengan menu nasi, sayur, lauk pauk dan buah. Pasien BAB 1x

sehari, BAK 4-5x dalam sehari. Pasien mandi 2x sehari pagi dan sore,

memakai sabun, sikat gigi dan pasta gigi. Pasien berpakaian tidak rapi,

rambut berketombe. Pasien Tn.Y tidur siang selama 2-3 jam, Tn.V tidur
61

siang selama 2 jam, kedua pasien tidur malam 8 jam tanpa terbangun dan

aktivitas sebelum dan sesudah tidur selalu merapikan tempat tidur. Kedua

pasien minum obat secara teratur setelah makan siang dan sore hari. Kedua

pasien memerlukan perawatan lanjutan di Rumah Sakit Jiwa untuk

mengetahui kelanjutan kesehatannya. Kedua pasien saat dirumah ingin

membantu melakukan aktivitas didalam rumah seperti mempersiapkan

makanan, menjaga kerapian rumah, mencuci pakaian dan mengatur

keuangan. Pasien juga ingin melakukan aktivitas diluar rumah seperti

bekerja bakti atau kegiatan sosial lainnya.

Pengkajian mekanisme koping kedua pasien maladaptif pasien Tn.Y

mengatakan jika ada masalah suka memendam sendiri, merokok, suka

bersendiri dan menghindar dengan teman sekitar. Sedangkan Tn. A pasien

mengatakan jika ada masalah suka memendam sendiri, suka bersendiri dan

menghindar dengan teman sekitar. Perawat perlu mengidentifikasi

mekanisme koping klien sehingga dapat membantu klien untuk

mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam

mengekspresikan marahnya (Rusdi, 2013).

Pengkajian masalah psikososial dan lingkungan, Tn.Y mempunyai

masalah dengan pendidikan, klien mengatakan pernah tidak mau

melanjutkan sekolah setelah lulus SMP, klien mengatakan setelah klien

kehilangan pekerjaan klien jarang bergaul dengan tetangganya. Tn.V

mempunyai masalah dengan lingkungan, klien mengatakan setelah klien di

tiinggal ayahnya pergi, klien jarang bergaul dengan tetangganya. Masalah

psikososial dan lingkungan pasien dapat yang mempengaruhi diagnosis,


62

penanganan, serta prognosis gangguan mental. Masalah psikososial dan

lingkungan dapat berupa pengalaman hidup yang tidak baik, kesulitan atau

defisiensi lingkungan, stres interpersonal ataupun familial, kurangnya

dukungan sosial atau penghasilan pribadi, ataupun masalah lain yang

berkaitan dengan kesulitan seseorang untuk dapat berkembang (Dalami,

2009).

Pengkajian kurang pengetahuan untuk kedua pasien mengatakan tidak

mengerti apa yang sedang dialami, apa yang menyebabkan pasien seperti

ini, cara penyelesaian masalah, penyakit fisik yang di alami dan

penggunaan obat-obatan. Diagnosa medik kedua pasien Skizofrenia F20.

dengan terapi medis yang diberikan Tn.Y yaitu Trifluoperazine 5mg 3x1,

Trihexyphenidyl (THP) 2mg 2x1 dan Chlorpromazine 100mg 2x1.

Sedangkan terapi medis Tn.V Trifluoperazine 5mg 3x1, Trihexyphenidyl

(THP) 2mg 2x1 dan Chlorpromazine 100mg 2x1. merupakan

Trifluoperazine memperbaiki keseimbangan otak, Trihexyphenidyl (THP)

merupakan meningkatkan kendali otot dan mengurangi kekakuan, dan

Chlorpromazine (CPZ) merupakan untuk mengobati gangguan

jiwa/suasana hati (Sirait, 2014).

Berdasarkan keluhan dan alasan masuk Tn.Y dan Tn.V dapat

disimpulkan bahwa strategi pelaksanaan 1, 2, dan 3 atau SP 1, 2, dan 3

dapat digunakan untuk menangani masalah isolasi sosial. Dalam melakukan

SP 1, 2, dan 3 salah satu tujuan yang diharapkan adalah klien dapat

mengetahui penyebab mengurung diri dan menyebutkan keuntungan

berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi dengan


63

orang lain, klien dapat berinteraksi dengan orang lain, dan klien dapat

berinteraksi dengan dua orang atau kelompok.

5.1.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis terhadap respon

aktual atau potensial dari individu, keluarga atau masyarakat terhadap

masalah kesehatan proses kehidupan (Keliat, 2017).

Menurut Dermawan & Rusdi (2013), masalah keperawatan yang

mungkin muncul untuk isolasi sosial adalah gangguan persepsi sensori:

halusinasi, isolasi sosial, dan harga diri rendah. Diagnosa utama yang

diangkat pada dari Tn.Y yaitu isolasi sosial yang didukung dari data

subyektif : Klien mengatakan malu dan malas berinteraksi dengan orang

lain. Dari data objektif : klien tampak lesu tidak bersemangat, sering

menyendiri, kontak mata kurang, klien kurang kooperatif. Sedangkan data

Tn.V yang data subyektif : klien mengatakan malas berinteraksi dengan

orang lain. Dari data objektif : klien tampak murung, suka menyendiri, dan

sering melamun. Isolasi sosial merupakan upaya untuk menghindari

komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab

dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan

kegagalan. Pasien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan

dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada

perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Yosep, 2011).

Berdasarkan data yang diperoleh tersebut, diagnosa prioritas yang

disesuaikan dengan masalah utama yaitu isolasi sosial karena pada saat
64

pengkajian data-data diatas yang paling aktual dibandingkan dengan

diagnosa lainnya.

Dalam pohon masalah dijelaskan bahwa yang menjadi core problem

adalah isolasi sosial, etiologinya yaitu harga diri rendah, dan sebagai efek

yaitu gangguan persepsi sensori : halusinasi (Damaiyanti, Mukhripah,

2014). Berdasarkan teori yang disebutkan ada sedikit perbedaan dengan

kasus, pada kasus yang menjadi core problem adalah isolasi sosial. Isolasi

sosial adalah suatu penyakit gangguan jiwa yang ditandai dengan seseorang

tidak mau berkomunikasi, berinteraksi, dan menghindari hubungan dengan

orang lain (Afnuhazi, 2015). Menurut Damaiyanti, Mukhripah 2014 Tn.Y

dan Tn.V , dapat digambarkan pohon masalah sebagai berikut :

Effect gangguan persepsi sensori : halusinasi

Core Problem isolasi sosial

Causa harga diri rendah

5.1.3 Intervensi Keperawatan

Rencana keperawatan Tn.Y dan Tn.V yang disusun setelah

memprioritaskan masalah keperawatan dengan diagnosa keperawatan

isolasi sosial tujuan : klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri dan

klien dapat berinteraksi dengan orang lain. Fokus intervensi keperawatan

isolasi sosial (Damaiyanti, 2014).

Tujuan pertama yaitu membina hubungan saling percaya, dengan

kriteria hasil pada Tn.Y dan Tn.V menunjukkan terjalinnya interaksi yang
65

santai, wajah bersahabat, mau berjabat tangan, klien mau menyebutkan

nama, mau menjawab salam, klien mau duduk berdampingan dengan

perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapinya. Tujuan kedua yaitu

klien dapat mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, dengan kriteria hasil

pada Tn.Y dan Tn.V dapat menjelaskan penyebab isolasi sosial.

Tujuan ketiga yaitu klien dapat menyebutkan keuntungan

berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan

orang lain, dengan kriteria hasil pada Tn.Y dan Tn.V dapat mengetahui

keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi

dengan orang lain. Tujuan keempat yaitu klien berinteraksi dengan orang

lain, dengan kriteria hasil pada Tn.Y dan Tn.V dapat melakukan interaksi

dengan orang lain. (Damaiyanti, 2014).

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x30 menit

diharapkan klien dapat menyebutkan penyebab isolasi sosial, menyebutkan

keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi

dengann orang lain, dapat melakukan atau mempraktekkan cara beinteraksi

dengan orang lain, dapat berinteraksi dengan dua orang atau kelompok

strategi pelaksanaan 1, 2, dan 3 atau SP 1, 2, dan 3 di Bangsal Nakula dan

Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta.

5.1.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah pelaksanaan keperawatan oleh klien. Hal ini

harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah tindakan

keperawatan yang akan dilakukan implementasi pada klien dengan isolasi

sosial dilakukan secara interaksi dalam melaksanakan tindakan


66

keperawatan (Afnuhazi, 2015). Menurut Damaiyanti (2014), strategi

pelaksanaan klien dengan isolasi sosial ada tiga yaitu strategi pelaksanaan

pertama mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, menyebutkan keuntungan

berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi dengan

orang lain. Strategi pelaksanaan kedua mengajarkan dan melatih klien cara

berkenalan atau berinteraksi dengan orang lain. Strategi pelaksanaan ketiga

melatih klien berinteraksi dengan dua orang atau kelompok.

Teori tersebut sesuai dengan yang penulis lakukan. Penulis

melaksanakan SP 1 kepada Tn.Y dan Tn.V dilakukan pada tanggal 25 Mei

2017 waktu 09.00 WIB dan 10.00 WIB di bangsal Nakula dan Sena Rumah

Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta. Tindakan keperawatan yang

dilakukan penulis dalam bentuk strategi pelaksanaan 1 (SP 1 pasien) yaitu

membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab isolasi

sosial, menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan

kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain. Pada pelaksanaan strategi

pelaksanaan 1 respon pada Tn.Y klien kurang kooperatif, klien mengtakan

penyebab mengurung diri adalah karena klien kehilngan pekerjaannya,

klien kurang bisa menyebutkan keuntungan berinteraksi sosial dan kerugian

tidak berinteraksi social. Tn.V klien kurang kooperatif, klien mengatakan

penyebab mengurung diri adalah karena klien ditinggal ayahnya pergi,

klien dapat menyebutkan keuntungan mengurung diri yaitu dapat

mendapatkan banyak teman dan kerugian mengurung diri yaitu tidak dapat

berinteraksi dengan orang lain. Hikikomori atau menarik diri adalah kondisi

pengasingan diri tanpa mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di


67

lingkungannya selama lebih dari enam bulan. Kegiatan sosial disini adalah

seperti pergi ke sekolah, bekerja atau menjali hubungan dekat dengan orang

di luar anggota keluarga (Tamaki, Saito, 2008). Sedangkan dalam jurnal

(Irvansyah, M. 2014) Beberapa fenomena sosial yang tejadi diantaranya

seseorang menyebabkan seseorang untuk mengurung diri dan menjadi

pelaku Hikikomori atau menarik diri. Seseorang menarik diri karena

beberapa permasalahan yang terjadi. Permasalahan-permasalahan tersebut

tidak hanya berasal dari individu (pelaku hikikomori) saja, faktor dari luar

lingkungan luar (seperti sekolah atau kantor) pun dapat menjadi salah satu

penyebab mengapa seseorang menjadi hikikomori.

Penulis melaksanakan SP II kepada Tn.Y dan Tn.V dilakukan pada

tanggal 26 Mei 2017 waktu 09.00 WIB dan 10.00 WIB di bangsal Nakula

dan Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta yaitu

memberi salam terapeutik, mengevaluasi penyebab isolasi sosial,

menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan kerugian

berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan dan melatih cara berinteraksi

dengan orang lain dan memberi kesempatan pasien untuk mempraktekkan.

Pada pelaksanaan strategi pelaksanaan 2 respon pada Tn.Y klien kurang

kooperatif, klien dapat menyebutkan cara-cara berkenalan yaitu jabatkan

tangan, sebutkan nama lengkap, nama panggilan, dan alamat, klien dapat

mempraktekkan cara berkenalan dengan penulis tetapi membutuhkan 2 kali

percobaan sampai klien bisa melakukannya dengan benar. Sedangkan Tn.V

klien kurang kooperatif, klien dapat menyebutkan cara-cara berkenalan

yaitu jabatkan tangan, sebutkan nama lengkap, nama panggilan, dan alamat,
68

klien lebih cepat menangkap saat diajari cara berkenalan, klien dapat

mempraktekkan cara berkenalan dengan penulis tanpa pengulangan.

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis

yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-

kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok

manusia (Gillin dan Gillin dalam Soekanto, 2012). Interaksi sosial dapat

pula meningkatkan jumlah atau kuantitas dan mutu atau kualitas dari

tingkah laku sosial individu sehingga individu makin matang di dalam

bertingkah laku sosial dengan individu lain di dalam situasi sosial (Santoso,

2010). Chaplin (2005 dalam Ningrum, 2014) interaksi sosial merupakan

kesanggupan individu untuk saling berhubungan dan bekerja sama dengan

individu lain maupun kelompok di mana kelakuan individu yang satu dapat

mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang satu

dapat sehingga terdapat adanya hubungan saling timbal balik.

Penulis melaksanakan SP III kepada Tn.Y dan Tn.V dilakukan pada

tanggal 27 Mei 2017 waktu 09.00 WIB dan 10.00 WIB di bangsal Nakula

dan Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta yaitu

mengevaluasi penyebab isolasi sosial, menyebutkan keuntungan

berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi dengan

orang lain, melatih cara berinteraksi dengan orang lain, melatih cara

berinteraksi dengan dua orang atau kelompok dan memberi kesempatan

pasien untuk mempraktekkannya. Pada pelaksanaan strategi pelaksanaan 3

respon Tn.Y klien mulai kooperatif, klien dapat mempraktekkan cara

berkenalan dengan dua orang, klien berkenalan dengan Tn.H dan Tn.A,
69

klien mulai menangkap apa yang di ajarkan oleh penulis. Sedangkan Tn.V

kooperatif, klien dapat mempraktekkan cara berkenalan dengan dua orang,

klien berkenalan dengan Tn.V dan Tn.S, klien lebih cepat menangkap apa

yang penulis ajarkan. Komunikasi menurut Michael Burgoon dan Michael

Ruffner (dalam komala, 2009) komunikasi kelompok sebagai interaksi

tatap muka dari 3 atau lebih individu guna memperoleh maksud dan tujuan

yang dikehendaki seperti sebagai informasi, pemeliharaan diri atau

pemecahan masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan

karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat : 4 elemen yang

tercakup dalam definisi tersebut : interaksi tatap muka, jumlah partisipan

yang melihat interaksi, maksud dan tujuan yang dikehendaki, kemampuan

anggota untuk dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya.

Sedangkan dalam jurnal (Puspita, 2016) Komunikasi kelompok yang

efektif dapat tercipta dengan mengenal annggota-anggota satu dengan yang

lainnya terlebih dahulu dengan baik.

5.1.5 Evaluasi Keperawatan

Tahap evaluasi adalah adalah proses berkelanjutan untuk menilai

efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus

menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan. Evaluasi dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau

formatif yangdilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil

atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respon klien

dan tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan. Menurut Afnuhazi
70

(2015) penulisan evaluasi berdasarkan pada SOAP. S (Subyektif), O

(Obyektif), A (Analisis), P (Planning atau rencana keperawatan).

Evaluasi pada diagnosa keperawatan isolasi sosial yang dilakukan

pada tanggal 25 Mei - 27 Mei 2017 adalah pada Tn.Y yaitu hari pertama

tanggal 25 Mei 2017 jam 09.00 WIB Subyektif : klien mengatakan malas

berinteraksi dengan orang lain, klien mengatakan bingung dan malu

berkomunikasi, klien mengatakan ada masalah saat akan berhubungan

dengan oranglain, klien mengatakan selama di rumah sakit hanya mengenal

wajah orang lain tapi tidak mengenal namanya. Obyektif : klien tampak

menyendiri, kontak mata kurang, klien terlihat kurang kooperatif, klien

tidak mampu memulai pembicaraan Analisis : isolasi sosial masih ada

Planning : anjurkan pada klien untuk memasukkan kedalam jadwal

kegiatan harian , latih cara berkenalan dengan orang lain, dan evaluasi SP

1. Sedangkan Tn.V yaitu hari pertama tanggal 25 Mei 2017 jam 10.00 WIB

Subyektif : klien mengatakan malas dan malu berinteraksi dengan orang

lain, klien mengatakan tidak mampu mengawali suatu pembicaraan.

Obyektif : Klien tampak menyendiri di lapangan, kontak mata kurang,

klien tidak kooperatif, Analisis : isolasi sosial masih ada, Planning :

anjurkan pada klien untuk memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian,

evaluasi SP 1, latih cara berkenalan.

Hari kedua pada Tn.Y tanggal 26 Mei 2017 jam 09.00 WIB

Subyektif : Klien mengatakan masih bingung dan malu berkomunikasi,

klien menyebutkan cara-cara berkenalan, tahap-tahapnya yaitu : jabatkan

tangan, perkenalkan diri, nama lengkap, nama panggilan, alamat dan hobi
71

dan tanyakan kembali kepada orang lain. Obyektif : Klien terlihat

berkenalan dengan Tn.F, klien terlihat mulai lebih santai ketika

berinteraksi. Analisis : isolasi sosial masih ada. Planning : anjurkan pada

klien untuk memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian, latih cara

berkenalan dengan 2 orang atau lebih, evaluasi SP 2. Sedangkan pada Tn.V

hari kedua tanggal 26 Mei 2017 jam 10.00 WIB Subyektif : Klien

mengatakan tidak bersemangat, klien mengatakan masih merasa malu jika

berada diantara oranglain. Klien mengatakan dapat menyebutkan cara-cara

berkenalan. Klien mengatakan cara-cara berkenalan, tahap-tahapnya yaitu :

jabatkan tangan, perkenalkan diri, nama lengkap, nama panggilan, alamat

dan hobi dan tanyakan kembali kepada orang lain. Obyektif : klien tampak

berkenalan dengan Tn.W, ekspresi wajah mulai tersenyum, kepala klien

terlihat lebih diangkat dan tidak terlalu menunduk. Analisis : isolasi sosial

masih ada, Planning : anjurkan pada klien untuk memasukkan kedalam

jadwal kegiatan harian, evaluasi SP 1 dan SP 2, latih cara berkenalan

dengan 2 orang atau lebih.

Hari ketiga pada Tn.Y tanggal 27 Mei 2017 jam 09.00 WIB

Subyektif : Klien mengatakan masih malu saat berkomunikasi, klien

mengatakan sudah berkenalan dengan 2 orang. Klien mengatakan cara-cara

berkenalan, tahap-tahapnya yaitu : jabatkan tangan, perkenalkan diri, nama

lengkap, nama panggilan, alamat dan hobi dan tanyakan kembali kepada

orang lain. Obyektif : klien masih kurang kooperatif, klien berkenalan

dengan Tn.H dan Tn.A. Analisis : isolasi sosial berkurang, Planning :

anjurkan pada klien untuk memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian,


72

evaluasi SP 1, SP 2, dan SP3. Sedangkan pada Tn.V hari ketiga tanggal 27

Mei 2017 jam 10.00 WIB Subyektif : Klien mengatakan masih malu

didepan orang lain masih ada tetapi sudah berkurang. Klien mengatakan

bisa berkenalan, klien mengatakan cara-cara berkenalan, tahap-tahapnya

yaitu : jabatkan tangan, perkenalkan diri, nama lengkap, nama panggilan,

alamat dan hobi dan tanyakan kembali kepada orang lain. Obyektif : klien

tampak berkenalan dengan Tn.V dan Tn.S, klien masih kurang kooperatif,

klien terlihat bersemangat, kontak mata mulai terfokus. Analisis : isolasi

sosial berkurang, Planning : anjurkan pada klien untuk memasukkan

kedalam jadwal kegiatan harian, evaluasi SP 1, SP 2, dan SP 3.

Menurut penulis evaluasi pada Tn.Y dan Tn.V di Bangsal Nakula

dan Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta dengan

diagnosa keperawatan isolasi sosial dengan menggunakan SP 1, 2, dan 3

cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan klien dalam berinteraksi

dengan orang lain.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

6.1.1 Pengkajian

Penulis mengkaji data yang berfokus pengkajian pada klien 1 atau

Tn.Y klien mengatakan malu dan malas berinteraksi dengan orang lain.

Klien tampak lesu tidak bersemangat, sering menyendiri, kontak mata

kurang, klien kurang kooperatif, dan tidak bisa memulai pembicaraan.

Data pengkajian untuk klien 2 atau Tn.V klien mengatakan malas

berinteraksi dengan orang lain. Klien tampak lesu tidak bersemangat, suka

menyendiri, kontak mata kurang, nada bicara pelan, sering melamun,

kurang kooperatif, dan tidak bisa memulai pembicaraan.

6.1.2 Diagnosa keperawatan

Pada pohon masalah yang menjadi core problem adalah isolasi

sosial, dari data subyektif dan obyektif Tn.Y dan Tn.V dapat diambil

diagnosa keperawatan prioritas yaitu isolasi sosial

6.1.3 Intervensi keperawatan

Intervensi yang dilakukan sesuai dengan Standar Operasional

Prosedur (SOP) yang ditetapkan ada tujuan umum yaitu, yang pertama

yaitu mengidentifikasi penyebab isolasi sosial dan menyebutkan

keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi

dengan orang lain, tujuan yang kedua yaitu klien dapat berinteraksi dengan

73
74

orang lain, tujuan yang ketiga yaitu klien dapat berinteraksi dengan 2

orang atau lebih.

6.1.4 Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan

yang disusun pada Tn.Y dan Tn.V yang dilakukan terdiri dari membina

hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab isolasi sosial dan

menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan kerugian

tidak berinteraksi dengan orang lain, melatih cara berinteraksi dengan

orang lain, melatih cara berinteraksi dengan dua orang atau kelompok.

Penulis dapat menyelesaikan tiga strategi pelaksanaan.

6.1.5 Evaluasi keperawatan

Evaluasi yang penulis dapatkan pada Tn.Y dan Tn.V yaitu setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 3x30 menit menggunakan strategi

pelaksanaan 1 sampai 3 isolasi sosial di dapatkan data pada Tn.Y mampu

melakukan cara berinteraksi sosial dengan orang lain, tapi dengan

beberapa kali pengulangan. Sedangkan pada Tn.V mampu melakukan cara

berinteraksi sosial dengan baik dan tanpa pengulangan.

6.2 Saran

Dengan memperhatikan kesimpulan di atas, penulis dapat

memberikan saran sebagai berikut :

6.2.1 Bagi perawat

Diharapkan dapat memberikan pelayanan dan meningkatkan

komunikasi terapeutik kepada klien, sehingga dapat mempercepat

penyembuhan klien isolasi sosial


75

6.2.2 Bagi institusi pendidikan

Diharapkan mampu meningkatkan mutu dalam pembelajaran untuk

menghasilkan perawat-perawat yang lebih profesional, inovatif, terampil

dan lebih berkualitas

6.2.3 Bagi rumah sakit

Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada klien dengan

isolasi sosial lebih optimal dan meningkatkan mutu pelayanan pada rumah

sakit

6.2.4 Bagi klien dan keluarga

Diharapkan keluarga klien untuk segera bertindak dalam proses

penyembuhan isolasi sosial klien dan lebih memperhatikan kemandirian

penderita dalam melakukan aktivitas, menjaga pola hidup sehat, tidak

membebani mental atau pikiran klien dan selalu memberikan dukungan

mental agar klien mampu meningkatkan harga diri klien.


DAFTAR PUSTAKA
Achlis. 2011. Praktek pekerjaan sosial. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan
Sosial (STKS)
Afnuhazi Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan
Jiwa.Yogyakarta: Gosyen Publishing
Ambari, P.K.M. 2010. Skripsi Hubungan antara dukungan keluarga dengan
keberfungsian social pada pada pasien skizofrenia pasca perawatan di
rumah sakit. Bandung: UNDIP
Chaplin, J.P. 2005. Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Rajawali Pers
Dalami. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta : CV.
Trans Info Media
Damaiyanti Mukhripah, Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:PT.
Refika Aditama
Deden, Alkhosiyah. 2015. Study Of Nursing Care Mental Of Auditory
Hallucinations On Mr D in the Nakula RSJD Of Surakarta. Jurnal
profesi, Volume 12. Nomor 2
Dermawan, D & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogjakarta: Gosyen Publishing
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Jiwa.Yogyakarta: Nuha Medika
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika
Hidayat, A. 2014. Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Edisi 2.Jakarta
:Salemba Medika
Irvansyah, M. 2014. Analisis Penyebab Hikikomori Melalui Pendekatan
Fenomenologi. Japanology. Vol.2, No.2, Maret-September 2014 : 29-39
Keliat, et. al.. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic Course).
EGC. Jakarta. 2017
Kemenkes, RI (2013). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun2013. Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono.2010. Buku Ajar Keperawatan
Jiwa.Jakarta: Salemba Medika
Komala, Lukiati. 2009. Ilmu Komunikasi Perspekif, Proses dan Konteks.
Bandung: Widya Padjadjaran
Muhith Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa: Teori dan Aplikasi Asuhan
Keperawatan Jiwa Perilaku Kekerasan. Yogyakarta: Andi
Ningrum, V., Anam, C. 2014. Kemampuan Interaksi Sosial Antara Remaja Yang
Tinggal Di Pondok Pesantren Dengan Yang Tinggal Bersama Keluarga.
Jurnal Fakultas Psikologi. Vol.2, No.2, Desember 2014
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan, Edisi Revisi. Jakarta:
Rineka Cipta
Prabowo Eko. 2014. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta:
Nuha Medika.
Puspita, R. 2016. Komunikasi Dalam Komunikasi Kelompok. Jurnal Ilmu
Komunikasi. Vol.4, No.1, April 2016, hal. 81-90
Ramdhani, 2016. Upaya Peningkatan Kemampuan Personal Hygience dengan
Komunikasi Terapeutik pada Klien Defisit Perawatan Diri di RSJD Dr
Arif Zainudin, Surakarta, UMS
Riset Kesehatan Dasar. 2013. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul
Data.Jakarta : Badan Litbangkes
Sefrina, F., Latipun. 2016. Hubungan Dukungan Keluarga Dan Keberfungsian
Sosial Pada Pasien Skizofrenia Rawat Jalan. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan. Vol.04, No.02, Agustus 2016
Santoso, S. 2010. Teori-teori psikologi social. Yogyakarta: Reflika Aditama
Soekanto, S. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Sujarweni, V. Wiratna. 2014. Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta :
Gava Media.
Sulistyowati. D.A., Prihantini, E. 2015. Pengaruh Terapi Psikoreligi Terhadap
Penurunan Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Surakarta. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan. Vol.4, No.1,
Mei 2015, hlm 72-77
Wahyu, Desi. A. 2016. Upaya Meningkatkan Sosialisasi Pada Klien Menarik
Diri di RSJD Zainudin Surakarta.Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Di publikasikan. 15 April 2017.
Wakhid, A., Yani,S.A., Hamid. 2013. Penerapan Terapi Latihan Keterampilan
Sosial Pada Klien Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah Dengan
Pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau di RS Dr Marzoeki
Mahdi Bogor. Volume 1, No.1: 23-48
Yosep, Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung :PT.Refika
Yusuf, Rizky dan Hanik. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Media.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Gibran Kusumo Suryo Ssantoso


Tempat tanggal lahir : Surakarta, 04 Februari 1996
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat rumah : Tipes RT 04 RW XIV, Kel.Tipes, Kec.Serengan,
Surakarta.
Riwayat pendidikan :
1. TK LAKSMI SURAKARTA
2. SDN TUGU NO.48 SURAKARTA
3. SMP MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA
4. SMA MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA
Riwayat pekerjaan :-
Riwayat organisasi :-

Publikasi :-
74
75
76
77
78
79
80
81
EMPATHY, Jurnal Fakultas Psikologi Vol. 2, No 2, Desember 2014
ISSN : 2303-114X

KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL ANTARA REMAJA YANG


TINGGAL DI PONDOK PESANTREN DENGAN YANG
TINGGAL BERSAMA KELUARGA

Virgia Ningrum Fatnar, Choirul Anam


Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
virgia_nfatnar@yahoo.com

Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan


kemampuan interaksi sosial antara remaja yang tinggal di pondok pesantren
dengan yang tinggal bersama keluarga pada SMA IT Abu Bakar Yogyakarta.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA IT Abu Bakar Yogyakarta.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
kemampuan interaksi sosial. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan
analisis uji-t dengan bantuan program Statistical Product and Service
Sollution (SPSS) 16,0 for windows. Berdasarkan hasil analisis uji-t diperoleh
hasil t=0,983 dengan p=0,330 (p>0,05) yang berarti tidak signifikan. Dan
hasil kategorisasi menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di pondok
pesantren sebanyak 100% memiliki kategori tinggi. Sedangkan, remaja yang
tinggal bersama keluarga sebanyak 3% memiliki kategori rendah, 7%
memiliki kategori sedang, dan 90% memiliki kategori tinggi. Dari hasil analisis
tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan interaksi
sosial antara remaja yang tinggal di pondok pesantren dengan yang tinggal
bersama keluarga pada SMA IT Abu Bakar Yogyakarta. Dari hasil analisis
tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan interaksi
sosial antara remaja yang tinggal di pondok pesantren dengan yang tinggal
bersama keluarga pada SMA IT Abu Bakar Yogyakarta.
Kata Kunci Kemampuan Interaksi Sosial, Remaja, Tempat Tinggal

PENDAHULUAN
Pada dasarnya setiap individu adalah makhluk sosial yang senantiasa hidup dalam
lingkup masyarakat baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis yang di dalamnya
saling mengadakan hubungan timbal balik antara individu satu dengan individu lainnya.
Salah satu ciri bahwa kehidupan sosial itu ada yaitu dengan adanya interaksi, interaksi
sosial menjadi faktor utama di dalam hubungan antar dua orang atau lebih yang saling
mempengaruhi.
Menurut Hurlock (1980), secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana
individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa. Hinigharst (Sarwono, 2006), seorang
remaja harus memiliki interaksi sosial yang baik dengan lingkungannya. Interaksi sosial di
kalangan remaja yaitu interaksi yang terjadi antara remaja dengan teman sebaya, remaja
dengan lingkungan keluarga dan remaja dengan orang tua. Lingkungan keluarga adalah
faktor utama yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya
yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima dan kebebasan untuk
menyatakan diri dalam keluarga (Ali & Asrori, 2012).
Bergaul atau berinteraksi pada masa remaja sangat penting karena pada masa ini
banyak tuntutan-tuntutan masa perkembangan yang harus dipenuhi yaitu perkembangan
secara fisik, psikis dan yang lebih utama adalah perkembangan secara sosial. Bagi remaja
kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain di luar lingkungan keluarga ternyata sangat
besar, terutama kebutuhan interaksi dengan teman-teman sebayanya.
Di lingkungan pondok pesantren para santri tidak memiliki kebebasan untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat di luar pondok pesantren, santri yang
ingin keluar pondok pesantren untuk suatu keperluan, harus meminta izin terlebih dahulu
kepada pengurus pondok pesantren. Berbeda dengan remaja yang tinggal bersama
keluarga, orang tua membebaskan anaknya untuk berinteraksi dan menjalin hubungan
dengan orang lain di luar keluarga.

71
EMPATHY, Jurnal Fakultas Psikologi Vol. 2, No 2, Desember 2014
ISSN : 2303-114X

Remaja yang memiliki kemampuan interaksi sosialnya baik, biasanya mudah


mendapatkan teman, maupun berkomunikasi dengan baik dan semua itu dilakukan tanpa
menyebabkan perasaan tegang ataupun perasaan tidak enak yang mampu mempengaruhi
emosinya.
Kemampuan Interaksi Sosial
Chaplin (2005), mengemukakan bahwa kemampuan merupakan kesanggupan
bawaan sejak lahir atau merupakan hasil pelatihan atau praktik. Interaksi sosial merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan
kelompok manusia (Gillin dan Gillin dalam Soekanto, 2012).
Menurut Walgito (2003), interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu
dengan individu lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya,
jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Interaksi sosial merupakan salah
satu cara individu untuk memelihara tingkah laku sosial individu tersebut sehingga individu
tetap dapat bertingkah laku sosial dengan individu lain. Interaksi sosial dapat pula
meningkatkan jumlah atau kuantitas dan mutu atau kualitas dari tingkah laku sosial individu
sehingga individu makin matang di dalam bertingkah laku sosial dengan individu lain di
dalam situasi sosial (Santoso, 2010). Menurut Soekanto (2012), interaksi sosial merupakan
kunci semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada
kehidupan bersama.
Soekanto (2012), mengemukakan bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial yaitu (1)
kerja sama yang berarti suatu uasaha bersama antara perorangan ataukelompok untuk
mencapai suatu tujuan, (2) akomodasi, sebagai suatu proses di mana orang perorangan
saling bertentangan, kemudian saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi
ketegangan-ketegangan, (3) persaingan, diartikan sebagai suatu proses di mana individu
atau kelompok bersaing mencari keuntungan melalui bidang kehidupan dengan cara
menarik perhatian atau mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan
kekerasan atau ancaman, dan (4) konflik/pertentangan, adalah suatu proses sosial di mana
individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuan dengan jalan menantang pihak lawan
dengan ancaman atau kekerasan.
Menurut pemaparan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
interaksi sosial merupakan kesanggupan individu untuk saling berhubungan dan bekerja
sama dengan individu lain maupun kelompok di mana kelakuan individu yang satu dapat
mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu lain atau sebaliknya,
sehingga terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan interaksi sosial
pada remaja yang tinggal di pondok pesantren dengan yang tinggal bersama keluarga pada
SMA IT Abu Bakar Yogyakarta.
Berdasarkan uraian yang disampaikan peneliti di atas, maka hipotesis yang diajukan
adalah ada perbedaan kemampuan interaksi sosial antara remaja yang tinggal di pondok
pesantren dengan yang tinggal bersama keluarga pada SMA IT Abu Bakar Yogyakarta.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan
teknik skala yang dilakukan secara klasikal. Alasan dilakukan secara klasikal agar lebih
hemat dari segi waktu dan biaya, serta tenaga, sehingga tidak mengganggu proses belajar
mengajar yang ada di sekolah tersebut.
Penyusunan skala kemampuan interaksi sosial berdasarkan pada bentuk-bentuk
interaksi sosial yang dikemukakan oleh Soekanto (2012) di antaranya: kerja sama,
akomodasi, persaingan dan pertikaian atau konflik. Jumlah aitem yang akan adalah 80 aiten
yang terdiri atas 40 aitem favorable dan 40 aitem unfavorable. Format respon dari skala
kemampuan interaksi sosial adalah model summated rating scale yang terdiri dari empat
pilihan jawaban yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai
(STS).

72
EMPATHY, Jurnal Fakultas Psikologi Vol. 2, No 2, Desember 2014
ISSN : 2303-114X

Tabel 1.
Skor Pilihan Jawaban
Aitem Favorable Unfavorable
SS 4 1
S 3 2
TS 2 3
STS 1 4

Skala kemampuan interaksi sosial kemudian diuji validitas dengan uji coba alat ukur
kepada 44 responden. Hasil uji coba dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2.
Sebaran Aitem yang Gugur dan Aitem yang Valid
pada Skala Kemampuan Interaksi Sosial
No Aitem Jumlah aitem
No Bentuk Favorable Unfavorable
Valid Gugur
Valid Gugur Valid Gugur
1, 25,
9, 17, 41, 13, 21, 29, 37,
1 Kerjasama 33, 49, 5, 61 6 14
73 45, 53, 69, 77
57, 65
10, 18,
2, 34, 42, 6, 14, 22, 38, 46,
2 Akomodasi 26, 50, 30 6 14
58, 74 54, 62, 70, 78
66
3, 11,
19, 27, 51, 7, 23, 31, 39, 47,
3 Persaingan 35, 43, 15 6 14
59, 75 55, 63, 71, 79
67
Pertentangan 12, 20, 28, 4, 60, 8, 16, 24, 32, 40,
4 48 7 12
/Konflik 36, 44, 52 68, 76 56, 64, 72, 80
Jumlah 20 20 5 35 25 55

Berdasarkan tabel 2 diperoleh hasil dari 80 aitem skala kemampuan interaksi sosial
yang diuji cobakan sebanyak 25 aitem yang valid dan 55 aitem yang gugur, dengan indeks
daya beda aitem (rit) terendah 0,457 dan tertinggi 0,803.
Metode analisis data yang digunakan mengungkap perbedaan kemampuan interaksi
sosial antara remaja yang tinggal di pondok pesantren dengan yang tinggal bersama
keluarga pada adalah uji tes atau t-tes. Dengan menggunakan program statistical program
service solution (SPSS) 16.0 for windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil analisis uji-t dengan 62 responden yang terdiri dari 31 remaja
yang tinggal di pondok pesantren dan 31 remaja yang tinggal bersama keluarga pada SMA
IT Abu Bakar Yogyakarta di dapatkan hasil t=0,983 dan p=0,330 (p>0,05) yang berarti tidak
signifikan. Hasil ini menunjukkan tidak ada perbedaan kemampuan interaksi sosial remaja
yang tinggal di pondok pesantren dengan yang tinggal bersama keluarga. Dimana
kemampuan interaksi sosial remaja yang tinggal di pondok pesantren (Mean=81) lebih tinggi
dari remaja yang tinggal bersama keluarga dengan (Mean 79), dengan perbedaan mean
antara remaja yang tinggal di pondok pesantren dengan yang tinggal bersama keluarga
sangat kecil yaitu hanya 2.
Terjadinya penolakan terhadap hipotesis disebabkan oleh berbagai faktor. Salah
satu faktor yang memungkinkan menjadi penyebab hipotesis ditolak adalah faktor
identifikasi. Faktor identifikasi memegang peran dalam interaksi sosial. Di dalam identifiksai,
anak akan mengambil oper sikap-sikap ataupun norma-norma dari orang tuanya yang
dijadikan sebagai tempat identifikasi. Masa perkembangan di mana anak atau individu paling
banyak melakukan identifikasi kepada orang lain ialah pada masa remaja. Dalam masa ini
individu melepaskan identifikasinya dengan orang tua dan mencari norma-norma sosial
sendiri (Walgito, 2003).

73
EMPATHY, Jurnal Fakultas Psikologi Vol. 2, No 2, Desember 2014
ISSN : 2303-114X

Remaja yang tinggal di pondok pesantren dengan yang tinggal bersama keluarga
keduanya sama-sama melakukan identifikasi terhadap orang tuanya. Walaupun remaja yang
tinggal di pondok pesantren tidak tinggal bersama orang tuanya dalam kurun waktu tertentu,
tetapi pada saat kanak-kanak sampai sebelum tinggal di pondok pesantren mereka tinggal
bersama keluarga. Pada saat itulah anak mengidentifikasi norma-norma yang ada dalam
keluarganya yang akan dijadikan pedoman untuk mencari norma-norma sosialnya sendiri.
Menurut Sarwono (2006), seorang anak sebelum mengenal lingkungan yang lebih luas, ia
terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Jadi, sebelum mengenal norma dan nilai-
nilai dari masyarakat umum pertama anak menyerap norma dan nilai-nilai yang berlaku
dalam keluarganya.
Baik tinggal di pondok pesantren atau tinggal bersama keluarga keduanya sama-
sama memiliki syarat untuk terjadinya interaksi sosial yaitu adanya kontak sosial dan adanya
komunikasi. Walaupun remaja yang tinggal di pondok (asrama) memiliki keterbatasan untuk
berinteraksi dengan masyarakat di luar pondok pesantren, tetapi di dalam pondok pesantren
santri dapat melakukan kontak sosial dan komunikasi dengan sesama santri; pengurus
pesantren; atau dengan ustad/ustadzah. Hal ini sama seperti remaja yang tinggal bersama
keluarga, tetapi remaja yang tinggal bersama keluarga memilik kontak sosial yang terjadi
lebih luas. Kontak sosial tidak hanya dengan anggota keluarga, tetapi bisa terjadi dengan
orang lain di luar keluarga seperti teman atau masyarakat sekitar tempat tinggal.
Di rumah, keberadaan figur dan peran orang tua sangat jelas yaitu bapak dan ibu.
Selain itu juga di karnakan adanya penerimaan yang hangat dari orang tua berupa
memberikan rasa aman dengan menerima anak, memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis,
menghargai kegiatannya dan memberikan batasan yang jelas sehingga anak dengan
sendirinya akan merasa yakin dengan kemampuannya. Sedangkan di pesantren, walaupun
hanya ada pengasuh (ustad/ustazah) namun perannya sangat jelas yaitu bertindak sebagai
orang tua (bapak/ibu) untuk santri-santrinya. Pengasuh juga memberikan rasa aman kepada
santri-santrinya dengan cara menerima mereka. Demikian pula dalam pemenuhan
kebutuhan fisik maupun psikologis santri terpenuhi dengan baik.
Lama tinggalnya santri yang tinggal di pondok pesantren memungkinkan tidak
adanya perbedaan kemampuan interaksi sosial antara remaja yang tinggal di pondok
pesantren dengan yang tinggal bersama keluarga pada SMA IT Abu Bakar Yogyakarta,
karena subjek yang tinggal di pondok pesantren pada penelitian ini menempati pesantren
kurang lebih satu tahun, sedangkan waktu satu tahun tidak sebanding dengan lamanya
remaja yang tinggal bersama keluarga.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil analisis uji-t independent samples test dapat disimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan kemampuan interaksi sosial antara remaja yang tinggal di pondok
pesantren dengan yang tinggal bersama keluarga pada SMA IT Abu Bakar dengan nilai
t=0,983 dan p=0,330 (p>0,05) yang berarti tidk signifikan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam
penelitian berikutnya. Bagi peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian dengan
topik yang sama diharapkan melibatkan variabel lain yang berhubungan dengan
kemampuan interaksi sosial seperti prestasi belajar, komunikasi, peran sosial atau yang
lainnya. Penelitian selanjutnya juga diharapkan dalam pemilihan subjek berbeda dengan
penelitian sebelumnya. Jika ingin menggunakan subjek penelitian yang sama disarankan
untuk mengontrol lamanya tinggal di pondok pesantren dan diharapkan jumlah subjek antara
dua kelompok subjek sama. Lebih memperdalam analisis hasil penelitian yang akan
digunakan.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, M & Asrori, M. (2012). Psikologi remaja. Jakarta: Bumi Aksara

Azwar, S. (2011). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chaplin, J. P. (2005). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.

74
EMPATHY, Jurnal Fakultas Psikologi Vol. 2, No 2, Desember 2014
ISSN : 2303-114X

Gunarsa, S. (2008). Psikologi praktis: Anak, remaja, dan keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang


kehidupan. Edisi kelima. Penerjemah: Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta:
Erlangga.

Santoso, S. (2010). Teori-teori psikologi sosial. Yogyakarta: Reflika Aditama

___________ . (2006). Psikologi remaja. Jakarta: Grafindo Persada

Soekanto, S. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Walgito, B. (2003). Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi Offset.

75
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

ANALISIS PENYEBAB HIKIKOMORI MELALUI PENDEKATAN


FENOMENOLOGI

Mohammad Irvansyah
Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan, Surabaya 60286
E-mail: Yon.shi.44@gmail.com

Abstrak

Hikikomori adalah sebuah fenomena sosial di Jepang dimana seseorang menarik diri dari lingkungan sosial
karena suatu alasan. Jangka waktu seseorang untuk menarik diri tersebut sangat lama hingga berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun. Istilah hikikomori diciptakan oleh Dr. Tamaki Saito, seorang psikolog Jepang. Ia
menjelaskan seseorang hikikomori menutup dirinya selama enam bulan atau lebih dan tidak mengikuti
kegiatan sosial apapun di lingkungannya. Penelitian ini, menggunakan pendekatan fenomenologi untuk
mempelajari fenomena hikikomori yang terjadi dan mencari klasifikasi penyebab seseorang menjadi pelaku
hikikomori. Seseorang menjadi pelaku hikikomori dikarenakan beberapa kejadian yang menimpa dirinya.
Kejadian tersebut kebanyakan berasal dari lingkungan di sekitar pelaku hikikomori, seperti lingkungan
sekolah, rumah, dan lingkungan sosialnya. Selain itu faktor individu juga berpengaruh untuk menjadikan
seseorang menjadi pelaku hikikomori.

Kata kunci: hikikomori, faktor penyebab, fenomenologi, menarik diri

Abstract

Hikikomori is a social phenomenon in Japan who seclude themselves from society because of some reason.
Hikikomori have a long period to seclude themselves in, most of them are secluding themselves for months
even for years. The term of hikikomori are created by Dr. Tamaki Saito, a Japanese psychologist. He
explained a hikikomori seclude themselves for six months or more and not attend in any social activities.
Analysis in this research is using phenomenology to study hikikomori phenomenon, and then classified the
cause of hikikomori. Some people became a hikikomori because experiencing some bad conditions in their
life. Most of the problems are happened around the hikikomori. Like their school life, family, and society
around the hikikomori. Moreover, the cause of hikikomori from personal itself can make someone become a
hikikomori.

Keywords: hikikomori, cause, phenomenology, seclude themselves

1. Pendahuluan lingkungannya maupun orang lain, hanya


mengurung diri di dalam kamar.
Dewasa ini banyak permasalahan remaja Fenomena demikian biasa disebut social
mulai bermunculan dimana-mana. Di withdrawal atau biasa disebut hikikomori.
Jepang misalnya, permasalahan sosial Hal tersebut telah menjadi sorotan
salah satunya adalah seorang remaja yang banyak media. Sebagai contoh dalam
sulit bahkan tidak mau bertemu dengan sebuah artikel yang ditulis di New York
29
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

Times : Shutting them self in, disebutkan “Hikikomori adalah kondisi


terdapat sekitar satu juta pelaku pengasingan diri tanpa mengikuti
kegiatan-kegiatan sosial di
hikikomori di Jepang pada tahun 2006. lingkungannya selama lebih dari
Angka tersebut di luar 100.000–320.000 enam bulan. Kegiatan sosial di
jiwa yang disinyalir bakal atau calon sini adalah seperti pergi ke
menjadi seorang hikikomori. Namun sekolah, bekerja atau menjalin
angka tersebut tidak dapat dipastikan, hubungan dekat dengan orang di
luar anggota keluarga. Masalah
salah satu kendalanya adalah sulitnya kejiwaan bukanlah masalah
untuk mendata pelaku hikikomori. utamanya dalam masalah ini.”

Di Jepang banyak terjadi kasus yang 2. Metode Penelitian


disebabkan oleh hikikomori. Hal tersebut
ditanggapi oleh pemerintah di Jepang Metode dalam penelitian ini adalah
khususnya Kementerian Kesejahteraan, deskriptif kualitatif. Metode deskriptif
Kesehatan dan Tenaga Kerja. Pemerintah kualitatif merupakan suatu pemaparan
mengambil langkah untuk mensurvei hasil penelitian secara naratif atas sesuatu
pelaku hikikomori dan hasilnya yang diteliti. Namun, sebelumnya peneliti
dipublikasikan pada tanggal 4 Mei 2001. menganalisis data dengan mencari
Survei tersebut dilakukan selama 12 informasi mengenai objek penelitian
bulan dan hasilnya, tercatat 6151 kasus sebanyak mungkin, mencari hubungan,
yang diambil dari 697 pusat pelayanan perbandingan, hingga akhirnya
kesehatan di seluruh Jepang (Dziesinski, menemukan pola berdasarkan data asli
2003:08). yang di dapat. Dalam mengumpulkan
data yang dibutuhkan untuk penelitian ini,
Untuk menjelaskan perilaku menarik diri peneliti menggunakan metode studi
dari lingkungan yang sebagian besar pustaka. Sumber data yang diambil
dilakukan oleh remaja tersebut, Dr. sebagai bahan penelitian ini bermacam-
Tamaki Saito (psikolog Jepang) macam antara lain dari sejumlah artikel
menciptakan istilah hikikomori di internet, laporan penelitian, dan juga
(Dziesinski, 2003:08). Ia mendefinisikan jurnal ilmiah. Berbagai fenomena
hikikomori sebagai berikut hikikomori di Jepang yang muncul dan
“Hikikomori is a condition of ditulis di artikel diambil dan diteliti untuk
seclusion where there is no social
participation and it lasts at least
mengetahui penyebab seseorang menjadi
six months (social participation is pelaku hikikomori.
defined as attending school,
going to work or sustaining close Untuk mengetahui alasan seseorang
relationships with people from menjadi pelaku hikikomori, peneliti
outside of the person‟s family).
There is rather no possibility that
menggunakan teori fenomenologi.
a mental disease is the major Fenomenologi merupakan sebuah
reason of the problem”. 1 pendekatan filosofis untuk menyelidiki
pengalaman manusia (Hajaroh, 2013:09).
Fenomenologi bermakna metode
30
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

pemikiran untuk memperoleh ilmu terjadi di masyarakat di Jepang yang ada


pengetahuan baru atau mengembangkan kaitannya dengan hikikomori. Dengan
pengetahuan yang ada dengan langkah- menganalisis fenomena-fenomena
langkah logis, sistematis kritis, tidak tersebut dapat diketahui apa saja faktor
berdasarkan apriori/prasangka, dan tidak yang menyebabkan seseorang menjadi
dogmatis. Fenomenologi sebagai metode pelaku hikikomori.
tidak hanya digunakan dalam filsafat
tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial dan 3. Hasil dan Pembahasan
pendidikan. Dalam penelitian
fenomenologi melibatkan pengujian yang Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
teliti dan seksama pada kesadaran menurut Dr. Tamaki Saitou seorang
pengalaman manusia. Konsep utama hikikomori adalah seseorang yang
dalam fenomenologi adalah makna. menutup diri dari lingkungan sosial dan
Makna merupakan isi penting yang tidak mengikuti kegiatan-kegiatan sosial
muncul dari pengalaman kesadaran di sekitarnya selama enam bulan atau
manusia. Untuk mengidentifikasi kualitas lebih. Berdasarkan data yang diperoleh,
yang essensial dari pengalaman jangka waktu seseorang menjadi pelaku
kesadaran dilakukan dengan mendalam hikikomori semuanya adalah di atas enam
dan teliti (Hajaroh, 2013:09). Prinsip- bulan. Hal tersebut dapat dilihat pada
prinsip penelitian fenomenologis ini diagram lingkaran di bawah ini.
pertama kali diperkenalkan oleh Husserl.
Dengan pendekatan fenomenologi ini,
peneliti mempelajari fenomena yang
Diagram 1. Jangka waktu Hikikomori

1 tahun
1-5 tahun
5-10 tahun
10 tahun lebih
tidak menjawab

Diagram 1 di atas menjelaskan tentang lamanya. Lalu urutan kedua selama 1


berapa rata-rata jangka waktu hikikomori tahun (21%). Sebesar 18% mengatakan
menghabiskan waktunya untuk mereka menutup diri selama 5-10 tahun,
mengisolasi diri. Hasilnya adalah paling dan 12% lebih dari 10 tahun lamanya.
banyak (sebesar 40%) mengatakan bahwa Sisanya sebesar 9% tidak menjawab
mereka menutup diri antara 1-5 tahun (Ellis, 2008:45).
31
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

Selain itu, ketika ditanyakan pertanyaan Beberapa fenomena sosial yang terjadi di
kepada 5000 orang hikikomori tentang Jepang, beberapa di antaranya
seberapa sering pelaku hikikomori menyebabkan seseorang untuk
berhubungan dengan keluarganya, mengurung diri dan menjadi pelaku
jawabannya adalah sebagai berikut: hikikomori. Seseorang menarik diri
sebanyak 66,4% menjawab keluarga karena beberapa permasalahan yang
mereka (pelaku hikikomori) sangat terjadi. Permasalahan-permasalah
ramah. Sebanyak 69,2% koresponden tersebut tidak hanya berasal dari individu
menjawab sering berbicara dengan (pelaku hikikomori) saja, faktor dari luar
anggota keluarga lainnya. Lalu sebanyak lingkungan luar (seperti sekolah atau
66,8% menyatakan sangat akrab kantor) pun juga dapat menjadi salah satu
hubungannya dengan keluarga. Sebanyak penyebab mengapa seseorang menjadi
62,5% menyatakan cukup nyaman hikikikomori. Terdapat 14 faktor yang
bersama keluarga. Namun 9,2% menyebab seseorang menjadi hikikomori.
menjawab, tidak pernah sama sekali Faktor-faktor tersebut (dari dalam dan
berhubungan dengan keluarganya. luar) dapat dilihat pada bagan berikut :
Sisanya 0,3% tidak menjawab (Cabinet
Office, 2010:05).

32
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

Bagan 2. Faktor Penyebab Seseorang menjadi Hikikomori

Sumber: Dziesinski, Michael J. (2003)., hal:16 Hikikomori Investigations into the phenomenon of
acute social withdrawal in contemporary Japan.

Supaya dapat memahami dengan mudah sekolah seperti teman sesama angkatan,
faktor penyebab masalah hikikomori ini senior, guru dan lain-lain. Faktor
dari bagan di atas peneliti membagi lingkungan sekolah dapat menyebabkan
menjadi empat kategori. Agar mudah seorang remaja menjadi hikikomori.
untuk mengklasifikasikan penyebab Dalam hal ini antara lain adalah ijime,
seseorang menjadi pelaku hikikomori. tookyoo kyohi, gogatsu byo dan
Keempat faktor tersebut antara lain kegagalan dalam mengikuti ujian.
sebagai berikut: Ijime (苛め) atau bullying. Ijime atau
dikenal juga dengan istilah bullying
1. Faktor lingkungan sekolah. merupakan tindakan yang sering terjadi
Seorang anak dalam menempuh di sekolah di Jepang. Ijime di Jepang
pendidikan di usianya, pasti berinteraksi biasanya menyinggung fisik seorang anak
dengan elemen-elemen di lingkungan yang di-ijime seperti dikatakan gendut,

33
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

berkaca mata tebal, kutu buku dan sebagian orang Jepang memulai aktifitas
sebagainya. Beberapa anak di Jepang baru seperti awal masuk sekolah,
yang merasa tidak nyaman akan adanya perkuliahan, promosi jabatan, dan
ijime ini, cenderung untuk meninggalkan pertama kali masuk kerja. Gogatsu-byo
dan menutup diri mereka dari lingkungan atau penyakit bulan Mei ini terjadi saat
sekolah daripada mengadukan ke setelah jangka waktu sebulan orang
keluarga atau pihak sekolahnya. Hal Jepang memulai aktifitas. Pada saat itu
tersebut mengakibatkan seorang anak menggambarkan betapa susahnya untuk
enggan untuk menjalin komunikasi bergaul di lingkungan baru. Beberapa
dengan teman-teman di sekolahnya dan merasakan tidak bisa tidur, kelelahan,
akhirnya ia tidak mau untuk berangkat ke lesu, kegelisahan, dan gejala- gejala lain
sekolah. seperti demikian. Beberapa orang yang
merasa tidak dapat bersaing pada satu
Tookoo Kyohi ( 登 校 拒 否 ). Sistem bulan setelah bulan april mengakibatkan
pendidikan di Jepang terutama sebelum mereka depresi. Misalnya bersaing untuk
masuk perguruan tinggi sangat kompetitif mengikuti ujian masuk SMA atau
dan menimbulkan banyak tekanan pada perguruan tinggi atau beradaptasi dalam
seorang anak. Peraturan-peraturan di lingkungan kerja yang baru. Bagi mereka
sekolah dan standar nilai yang tinggi yang tidak kuat untuk beradaptasi atau
menuntut seorang anak agar terus belajar bersaing untuk mendapatkan pengalaman
agar mampu bersaing dengan siswa lain. baru, mereka memilih untuk mengisolasi
Tookoo Kyohi sebagai permasalahan diri dan menjadi seorang pelaku
pendidikan di Jepang dimana seorang hikikomori.
anak memilih untuk berhenti bersekolah.
Fenomena tersebut biasanya terjadi pada Kegagalan dalam menempuh ujian.
awal tahun masuk SMA, karena pada Faktor lain yang masih dalam lingkungan
masa SMA, seorang anak diharapkan sekolah adalah kegagalan dalam
agar dapat melanjutkan pendidikannya menempuh ujian. Misalnya ujian masuk
dengan masuk ke universitas dengan perguruan tinggi dan ujian di sekolahnya.
standar yang tinggi. Harapan yang tinggi Kadang ujian-ujian seperti ujian di
tersebut pada orang tua dipaksakan pada sekolah atau ujian masuk perguruan
seorang anak. Pada akhirnya membuat tinggi di Jepang yang dihadapi anak
anak tersebut merasa stress dan akhirnya tersebut sangat membebani pikiran anak
memutuskan untuk berhenti sekolah dan tersebut hingga mengakibatkan depresi.
mengisolasi diri menjadi hikikomori. Dalam mengikuti ujian masuk perguruan
Pada beberapa kasus, seorang anak yang tinggi favorit misalnya, seorang anak
putus sekolah melakukan tindak kriminal. harus memiliki kualifikasi dan nilai yang
baik agar bisa melanjutkan pendidikan
Gogatsu-Byo ( 五 月 病 ). Gogatsu-byo mereka di bangku kuliah. Beberapa
adalah sebuah „penyakit‟ yang di alami mungkin memilih untuk belajar dan
oleh orang Jepang pada waktu masuk mengikuti pelajaran tambahan. Namun
musim semi (bulan April). Pada saat itu, tidak menutup kemungkinan beberapa

34
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

dari mereka akhirnya memilih untuk child’s room. Dalam sebuah keluarga,
diam dan menutup diri kamar sendiri lalu anak laki-laki terutama yang paling tua
menjadi hikikomori. memiliki tanggung jawab yang besar
Kasus tentang penyebab seseorang terhadap keluarganya. Orang tua menaruh
menjadi pelaku hikikomori karena harapan besar kepada anak laki-laki
masalah dalam sekolah tertulis pada tertua mereka untuk meneruskan usaha
artikel Japan’s Teen Hermits Spread keluarga dan juga merawat orang tuanya
Fear oleh Jonathan Watts di Tokyo, The di usia senja. Selain itu, juga harus
Observer Hirokatsu Kobayashi seorang menempuh pendidikan yang tinggi agar
hikikomori yang telah mengurung diri mendapat pekerjaan yang layak. Dalam
selama tujuh tahun di rumah orang hal ini, ada persamaan dengan faktor
tuanya di Tokyo. Hal tersebut yang disebabkan oleh pendidikan atau
dilakukannya sejak ia gagal dalam lingkungan sekolah seperti yang
mengikuti ujian masuk SMA. Karena disebutkan di atas. Seorang anak yang
kegagalan terebut Hirokatsu menjadi dituntut untuk memiliki pendidikan yang
orang yang temperamen, mudah marah. baik agar dapat bersaing masuk ke
Dalam waktu tujuh tahun itu, orang universitas favorit di Jepang dan
tuanya menjadi sangat takut padanya. memiliki karir yang baik di masa
Bahkan ketika kakaknya Takahiro depannya.
Kobayashi mengajaknya untuk berbicara Seseorang yang menarik diri dari
padanya, Hirokatsu memukul dan lingkungan sosial membutuhkan bantuan
menendangnya. Ibunya pun ketakutan, agar segera kembali ke masyarakat, dan
hingga memutuskan untuk tidur di dalam keluarga adalah support yang cocok
mobil karena dirasa aman dari amarah untuk mereka. Namun pada kenyataannya
Hirokatsu. Takahiro menemukan tulisan usaha keluarga untuk menjaga
yang ditulis dengan cakaran di buku keharmonisan dan kehormatan
harian Hirokatsu, “I want to be keluarganya, beberapa keluarga di Jepang
independent... I want to be independent... menyembunyikan anggota keluarganya
I want to be independent... . Dalam kasus yang menjadi pelaku hikikomori dengan
Hirokatsu tersebut ia mengalamani memberikan ruangan dan makanan.
depresi karena gagal dalam ujian. Ia Karena sikap keluarga seperti demikian
mengalami tekanan yang begitu hebat, yang membuat seorang pelaku hikikomori
hingga membuatnya tidak ingin mencoba menjadi betah untuk menutup diri mereka
lagi dan memilih untuk mengurung dari lingkungan sosial (Todd 2011:144) .
dirinya di kamar.
Amae (甘え). Dalam keluarga modern di
2. Faktor Keluarga. Faktor yang kedua Jepang, konsep pemikiran orang Jepang
adalah berasal dari keluarga, antara lain yang bergantung pada kebaikan
hubungan orang tua dengan anak yang seseorang disebut amae (甘え). Amae (甘
terlalu erat, hitorikko, tuntutan orang tua, え) sendiri pertama kali diutarakan oleh
peran anak laki-laki dalam sebuah
Takeo Doi seorang psikoanalis dari
keluarga dan kesejahteraan keluarga dan
Jepang pada tahun 1971. Rasa cinta dan
35
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

kasih sayang orang tua kepada anak yang seorang anak pada waktu duduk di
terlalu besar pun dapat menyebabkan bangku sekolah juga membutuhkan
seseorang menjadi hikikomori. Amae waktu untuk bermain dengan teman-
menjadikan seseorang lebih memilih temannya tidak hanya dituntut untuk
tinggal di rumah bersama keluarga lebih menjadi pintar dan berprestasi dalam
penting daripada mengikuti kegiatan di bidang akademik saja.
luar. Dalam hal ini memungkinan orang
tua untuk menunjukkan rasa kasih 3. Faktor Lingkungan Sosial. Kategori
sayangnya dengan memberi „fasilitas‟ di ketiga adalah faktor sosial. Dari
rumah agar si anak merasa betah tinggal kehidupan sosial seperti lingkungan luar
di rumah. Hal tersebut dimaksudkan agar rumah (tetangga), informasi-informasi
anak merasa nyaman dan orang tua pun yang dipublikasi oleh media massa, serta
tidak khawatir dengan anaknya daripada faktor tradisi juga berpengaruh untuk
mengikuti kegiatan di luar. Namun, membuat seseorang untuk menarik diri
demikian dapat menimbulkan rasa dari lingkungan sosialnya. Kehidupan
ketergantungan yang berlebihan hingga bertetangga adalah bersosialisasi dengan
dia tidak mau keluar rumah bahkan masyarakat sekitar rumah. Sebenarnya
keluar dari kamar pribadi mereka. Bila si hal ini juga berhubungan dengan faktor
anak merasa jenuh setelah pulang dari keluarga dan individu itu sendiri. Ketika
sekolah, maka orang tua memfasilitasi seseorang telah menampakkan gejala
anak tersebut untuk bermain di dalam menjadi hikikomori tentu cepat atau
kamarnya. Seperti memberi komputer, lambat kabar tersebut akan menyebar ke
koneksi internet, bahkan televisi sendiri tetangga sekitar rumahnya. Dari kondisi
di dalam kamar anak tersebut. Hal tersebut beberapa orang tua akan merasa
seperti itu dapat menimbulkan rasa malu bila tetangganya mendengar salah
nyaman yang berlebih kepada anak satu anggota keluarganya menjadi
tersebut dan berujung tidak ingin keluar hikikomori. Maka dari itu orang tua lebih
dari kamar. cenderung untuk menutup-nutupinya
daripada konsultasi ke lembaga yang
Anak tunggal atau anak semata berwenang untuk menyelamatkan
wayang / hitorikko ( 一 人 子 ). Dalam seseorang dari perilaku hikikomori.
sebuah keluarga sang ayah bekerja siang-
malam demi mencari nafkah untuk Kasus hikikomori dituliskan dalam artikel
menghidupi keluarganya dan sang ibu BBC news yang ditulis oleh William
yang merawat anaknya. Seorang ibu yang Kremmer dan Claudia Hammond
tidak bekerja dan memilih mengasuh berjudul Hikikomori : Why are so many
anaknya dengan harapan anaknya fokus Japanese men refusing to leave their
ke pendidikan saja. Dampak buruknya rooms ? Matsu menjadi seorang
adalah seorang anak tidak memiliki hikikomori setelah ia gagal memenuhi
kesempatan untuk bermain dengan harapan orang tuanya untuk berkarir dan
teman-temannya dan kemampuan untuk kuliah di universitas ternama di Jepang.
bersosialisasipun berkurang. Padahal, Matsu adalah anak pertama di

36
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

keluarganya dan menjadi harapan televisi, bermain game, membaca manga,


keluarganya di masa depan. Dia iri berselancar di dunia internet dan
dengan adik laki-lakinya yang dapat sebagainya. Hal tersebut bila dilakukan
melakukan apapun yang disukainya. terus menerus mengakibatkan seorang
Matsu merasa marah dan memutuskan anak terbiasa untuk hidup menyendiri
untuk berpisah dengan keluarganya. dalam kamar dan berakibat anak tersebut
Dalam kasus Matsu ini, masalah tradisi di tidak memiliki kemampuan untuk
Jepang yang menyebabkan dia berkomunikasi dengan dunia luar secara
memutuskan untuk menjadi seorang langsung.
hikikomori. Menurut Yuriko Suzuki
seorang psikolog dari Institut Nasional 4. Faktor Individu. Kategori
Kesehatan Jiwa di Tokyo, masyarakat keempat adalah faktor individu seorang
Jepang secara tradisi memiliki pemikiran hikikomori. Dari sisi individu sendiri
group oriented. Mereka tidak ingin sebenarnya adalah yang paling
memilih alur hidup keluar dari menentukan seseorang akan terjun ke
kelompoknya. Namun bagi generasi dunia hikikomori atau tidak. Dalam hal
muda saat ini, mereka ingin memilih ini adalah karena depresi. Faktor individu
kehidupan mereka sendiri dengan lebih sendiri bisa berupa akibat dari faktor-
mengenal lagi potensi yang tumbuh pada faktor penyebab hikikomori lainnya.
diri pemuda-pemuda tersebut. Kondisi mental seseorang yang terus
Di Jepang, seseorang dituntut untuk menerus ditekan oleh banyaknya tuntutan
mengikuti pola hidup seperti masuk agar menjadi seseorang yang sukses pun
universitas favorit dan bekerja di dapat menimbulkan depresi bagi orang
perusahaan yang ternama. Karena tradisi tersebut. Contoh kasus yang terjadi pada
inilah yang membebani seorang anak individu sebagai penyebab menjadi
yang diharapkan dapat sukses seperti seorang pelaku hikikomori mirip dengan
harapan orang tuanya. Hal tersebut terkait contoh kasus yang terjadi pada faktor dari
dengan masalah di Jepang tentang sekolah. Karena pada saat depresi,
masalah rendahnya angka kelahiran di menjadi hikikomori merupakan salah satu
Jepang (Shoushika mondai). Karena jalan yang akan diambil.
jumlah kelahiran yang semakin rendah di
Jepang, seorang anak diharapkan dapat 4. Simpulan
bersaing dan mendapatkan prestasi yang
baik di antara teman-temannya. Hikikomori yang terjadi di Jepang bukan
Selain itu media massa atau audio visual serta merta seseorang yang ingin menarik
juga menjadi salah satu faktor seseorang diri dari lingkungan sosial dengan
menjadi hikikomori. Hal ini sendirinya. Pelaku hikikomori melakukan
mengakibatkan seorang anak terutama pengasingan diri karena beberapa faktor
anak tunggal atau anak semata wayang yang terjadi dalam kehidupan sehari-
memiliki kamar sendiri. Ia terbiasa hidup harinya. Dengan melakukan pendekatan
menyendiri dalam kamarnya dengan fenomenologi, peneliti mengkaji
melakukan aktifitas seperti menonton fenomena yang terjadi dan

37
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

mengklasifikasikan faktor penyebab Hajaroh, Mami. 2013. “Paradigma,


hikikomori. Hasilnya terdapat empat pendekatan dan metode
faktor yang terdiri dari faktor lingkungan penelitian fenomenologi.
sekolah, faktor keluarga, faktor sosial dan Universitas Negeri
faktor individu. Keempat poin ini Yogyakarta”. (diakses pada 19
merupakan faktor yang sangat dekat Februari 2014)
dengan seseorang sebelum menjadi
pelaku hikikomori. Hal itu disebabkan Todd, Hunter Lea, Kathleen. 2011.
empat hal tersebut adalah sesuatu yang “Hikikomania : Existential
mudah ditemui dalam kehidupan sehari- Horror or Nation
hari. Oleh karena itu, keempat hal Malaise” ?http://www.uky.edu/
tersebut menjadi sesuatu yang berperan Centers/Asia/SECAAS/Seras/2
penting terhadap kehidupan seseorang 011/12_Hikikomania.pdf
dalam bersosialisasi. (diunduh pada tanggal 05
Januari 2014)
Daftar Pustaka
Jones, Maggie, (15 januari 2006).
Dziesinski, Michael J. 2003. Hikikomori “Shutting Themselves In”.
Investigations into the phenomenon nytimes (online),
of acute social withdrawal in halaman6.(http://www.nytime
contemporary Japan. University of s.com/2006/01/15/magazine/1
Hawai‟i, Manoa (diakses pada 21 5japanese.html?pagewanted=
Desember 2011) 1&_r=0) (diunduh 07 Januari
Davies Roger J. dan Osamu Ikeno. 2002. 2014)
The Japanese Mind: Kawanishi, Yuko. 2006. The First Signs
Understanding Contemporary of Mental Illnes: How the
Japanese Culture. ed.Tokyo: Symptomps Emerged and
Tuttle publishing Became Parent. Families
Coping with Mental Illness:
Puspitasari, Ellis. 2008. “Label Positif Stories from the US and
dalam Masalah Hikikomori Japan. Part II.
(Suatu Tinjauan Solusi http://books.google.co.id/boo
Masalah Sosial Menurut ks?id=385B31J98g4C
Perspektif Labeling). Fakultas [diakses pada tanggal 21
Ilmu Pengetahuan Budaya, Januari 2014]
Universitas Indonesia.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=
digital/126781-RB08P439l-
Label%20positif-Analisis.pdf
(diakses pada 20 Desember
2011)

38
JAPANOLOGY, VOL. 2, NO. 2, MARET - SEPTEMBER 2014 : 29 - 39

Koshikawa, Fusako. “A Timeless Phenomenon.” MA,


Technique for Curing an University of Warsaw
Impending Mental Cold.” The (diakses pada 05 April 2013)
Japan News by The Yomiuri Office, Cabinet. “若者の意識に関する
Shinbun 調査(ひきこもりに関する
http://www.yomiuri.co.jp/adv/w 実態調査)報告書(概要
ol/dy/opinion/culture_090525.ht
版)”
m . [21 januari 2014]
http://www8.cao.go.jp/youth/k
Kremmer, William and Claudia
enkyu/hikikomori/pdf/gaiyo.p
Hammond, (04 Juli 2013).
df (diunduh pada tanggal 4
“Hikikomori : Why are so many
Januari 2011)
Japanese men refusing to leave
their rooms ?” BBC World
Wats, Jhonatan (17 November 2002).
Service (online), halaman 1.
“Japan's teen hermits spread
http://www.bbc.co.uk/news/mag
fear Film lifts the lid on the
azine-23182523 [30 November
hell of child recluses”
2013]
(Online)
Krysinska, Dorota. 2002. “Hikikomori
hal:1. :http://www.theguardia
(Social Withdrawal) in Japan:
n.com/world/2002/nov/17/fil
Discourses of Media and
m.japan
Scholars; Multicausal
Explanations of the

39

Anda mungkin juga menyukai