Rindyani Dwi Hastuti1 , Nabilla Dwi Lustiani2, Maria Qibtiya3, Shafira Cindy Arselia4
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, FITK – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam kawasan seluas itu dapat dijumpai aktivitas keseharian masyarakat Betawi seperti:
Latihan Pukul (Pencak Silat), Ngederes, Aqiqah, Injek Tanah, Ngarak Penganten Sunat,
memancing, budidaya ikan tawar, berkebun, berdagang sampai pada kegiatan memasak
makanan khas Betawi seperti : Sayur Asem, Sayur Lodeh, Soto Mie, Soto Betawi, Ikan Pecak,
Gabus Pucung, Gado-Gado, Laksa, Toge Rebus, Kerak Telor, Bir Pletok, Dodol, Tape Uli,
Geplak, Wajik, dan lain-lain.
Sebagai Kawasan Wisata Budaya, Wisata Air Dan Wisata Agro, Perkampungan Budaya
Betawi memiliki potensi lingkungan alam yang asri dan sangat menarik yang sulit dijumpai di
tengah hiruk pikuknya kota Jakarta. Dua buah setu alam yang ada di Perkampungan Budaya
Betawi yaitu: Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong dikelilingi hijau dan rindangnya pohon-
pohon buah khas Betawi seperti Kecapi, Belimbing, Rambutan, Sawo, Melinjo, Pisang, Jambu,
Nangka, Namnam yang tumbuh sehat membumi di halaman depan, samping dan di antara
rumah-rumah penduduk. Hal ini menjadikan Perkampungan Budaya Betawi sebagai obyek
wisata yang paling lengkap, menarik serta menjadi pilihan bagi para wisatawan baik lokal
maupun mancanegara.
Potensi Wisata
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Perkampungan Budaya Betawi sebagai pilihan
para wisatawan lokal maupun mancanegara memiliki potensi dan daya tarik yang luar
biasa, karena hanya di Perkampungan Budaya Betawi wisatawan dapat menikmati tiga
obyek wisata sekaligus yaitu : Wisata Budaya, Wisata Air, dan Wisata Agro.
Secara Administratif
Secara Definisi
Misi:
Bagi Pemerintah :
Bagi Masyarakat :
1
Setu Babakan, “Perkempungan Budaya Betawi”, http://www.setubabakanbetawi.com/profil-perkampungan-
budaya-betawi/, diakses pada Senin, 1 November 2021 Pukul 18:02 WIB.
Dengan menggunakan konsep ini dalam mengembangkan Perkampungan Budaya Betawi
Setu Babakan untuk menambah harkat serta martabat dari masyarakat Betawi yang
kehidupannya berasal dari nilai-nilai sosial budaya yang berkembang ( Sukiyanto, 2018: 59).
Setelah diresmikan sebagai kawasan pelestarian Budaya Betawi oleh PBB pada tahun 2004,
maka berdasarkan PERDA No. 3 Tahun 2005 dibentuklah Unit Pengelola Kawasan
Perkampungan Budaya Betawi ( UPK PBB) yang dimana unit ini bertugas untuk mengelola
Setu Babakan dan sebagai pelaksana teknis dilapangan yang bertanggung jawab langsung
dibawah PEMDA. Selain itu pemerintah juga memiliki lahan sekaligus property berupa
sejumlah gedung dikawasan Setu Babakan yang kemudian lahan dan property tersebut
diserahkan kepada lembaga pengelola untuk dapat didaya gunakan sesuai tujuan dibentuknya
Kampung Budaya Betawi dan juga pemerintah menyewa beberapa aset masyarakat seperti
lahan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak ( Pemerintah dan mayarakat) dalam sebuah
perjanjian. Dan setelah melalui kesepakatan, Pemerintah menggunakan lahan tersebut sebagai
sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan wisata dan dengan pengelolaan di lapangan
dikembalikan kepihak pengelola.2
C. Hakikat Kebudayaan
Kebudayaan merupakan salah satu buah pikiran, baik berupa benda maupun Tindakan yang
mana perlu kita lestarikan guna menjaga sejarah yang telah ada di Negera ini. Kebudayaan
menurut Koentjaraningrat (1985:180) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan
belajar. Sedangkan menurut Richard Brisling (1990:11) kebudyaan mengacu pada cita-cita
Bersama secara luas, nilai, pembentukan dan penggunaan kategori, asumsi tentang kehidupan
dan kegiatan.3
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
2
Rahmanto Dwi Sasongko, dan Jumardi, “Setu Babakan: Kampung Betawi dalam segi Historis”, Jurnal Sejarah,
Pendidikan Dan Humaniora Vol. 5, No.2. 161-164 Oktober 2021, hlm. 162-163,
3
http://repository.unwira.ac.id/1344/3/BAB%20II.pdf diunduh pada tangal 01 November 2021 pukul 20.10
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya.
Walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang saling berbeda dengan yang
lainya, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua
kebudayaan dimanapun juga.sebelum berlanjut ada baiknya jika kita memahami pengertian
kebudayaan dan pentingnya kebudayaan itu sendiri Soerjono Soekanto (Setiawan, 2013 : 114)
mengutarakan sifat hakikat kebudayaan itu adalah sebagai berikut.
Sifat hakikat kebudayaan diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya tersalur lewat perilaku
manusia dan keberadaanya tetap eksis karena ada pelakunya yang mengisi dan budaya
menentukan jalanya kehidupan manusia dan akan mempengaruhi aktivitas kehidupan dalam
lingkunganya termasuk didalamnya tata cara untuk mencapai kekuasaan tertentu.4
D. Masyarakat Betawi
Nama Betawi dipergunakan sebagai nama suku bangsa setelah J. P. Coen menaklukkan
Keraton Jayakarta pada 1619 dan memberi nama kota ini Batavia. Secara tertulis sebutan orang
Betawi pertama kali terdapat dalam dokumen tahun 1644, berupa testamen Nyai Inqua, janda
tuan tanah Souw Beng Kong, Kapiten Tionghoa pertama di Batavia. Nyai Inqua menyebut
4
https://andrisoesilo.blogspot.com/2014/06/sifat-dan-hakikat-kebudayaan.html diunduh pada tanggal 01 November
2021 jam 19:50
seorang pembantu perempuannya adalah orang Betawi (Saidi 95). Dalam kitab Sejarah Banten
disebutkan istilah wong Jakerta.5
Gubernur Jenderal VOC J. P. Coen sendiri pernah mempergunakan nama Jacerta, sebelum
ia menetapkan nama Batavia. Meski nama wong Jakerta atau orang Betawi baru dikenal pada
abad ke-17, tetapi menurut (Saidi 97), suku bangsa di kawasan yang disebut Nusa Kalapa
tersebut sudah berkelompok paling sedikit sejak 3.000 tahun yang lalu dan sebelumnya
memang belum ada namanya. Pendapat yang cukup berbeda dipaparkan oleh Rahmani
(Rahmani).
Menurutnya, kata Betawi diambil dari kata Fatawi, yaitu nama suatu golongan yang terdiri
dari 40 orang. Orang-orang ini adalah pembawa fatwa dari panglima Fatahilah; dari 40 orang
ini dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan keahlian mereka, yaitu ahli strategi, ahli politik,
mata-mata, agama, dan ekonomi. Mereka menyatakan diri sebagai kaum Fatawi—orang
Betawi menyebutnya dengan kaum Betawi, dengan mengubah kata Fa menjadi Be (Rahmani
16). Adapun menurut Hidayah, Betawi berasal dari kata Batavia, yaitu nama kota Jakarta pada
zaman penjajahan Belanda (Hidayah 79).
Batavia sendiri adalah nama pengganti kota Jacatra yang telah dihancurkan oleh Jan Pieterzoon
Coen, yang kemudian olehnya dijadikan tempat semua perintah dan kebijakan yang berlaku
terhadap semua wilayah VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) di Asia (Taylor 4).
Kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan
benar. Menurut Sejarahwan Ridwan Saidi Pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini
memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti
Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. “Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak
ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan”. Sehinga
Kata “Betawi” bukanlah berasal dari kata “Batavia” (nama lama kota Jakarta pada masa Hindia
Belanda), dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah asal nenek moyang orang
Belanda.6
5
Herliyana Rosalinda dkk,” Konstruksi Sosial Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dalam Kehidupan Sehari-
hari” Vol.1, No.1, thn 2019, hlm 32
6
https://egindo.com/sejarah-asal-usul-suku-betawi-dan-kebudayaannya/ diunduh pada tanggal 1 November 2021
pukul 20.00 WIB.
Terdapat sebutan “orang Melayu Jawa” untuk komunitas penduduk di Jawa (Nusa Kalapa)
yang berbahasa Melayu, dan kelompok suku bangsa ini kemudian hari disebut sebagai orang
Betawi. Jadi, sebelum munculnya sebutan orang Betawi, dikenal beberapa sebutan untuk suku
bangsa yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi.
Mereka disebut orang Jawa, orang Melayu Jawa, atau orang Jaketra. Sebutan lainnya
mengacu pada agama yang dianutnya, di mana mereka dulu disebut sebagai orang Selam.
Selanjutnya, tampaknya sulit untuk mengetahui sebutan lain di luar yang sudah diuraikan ini
(Erwantoro 10).
Meskipun demikian, usaha Ali Sadikin tidak dapat berjalan seperti yang diharapkannya.
Banyak orang Condet yang berada dalam kawasan cagar budaya memilih untuk menjual
tanahnya dengan berbagai alasan, khususnya alasan ekonomi praktis yang menguntungkan
bagi mereka (Windarsih 191). Namun nampaknya pemerintah Jakarta tidak begitu saja
melepaskan masyarakat pergi dari wilayah ini.
E. Kekayaan Budaya Betawi & Kekayaan Kebudayaan Betawi Kebudayaan yang Ada di
Setu Babakan
A. Kekayaan Budaya Betawi
Nama "Betawi" berasal dari kata "Batavia". Nama yang diberikan oleh Pemerintah
Belanda pada zaman penjajahan dahulu. Orang-orang Betawi ini memang sudah menetap
ditempat ini bahkan sebelum Jan Pieterzoon Coen membakar Jayakarta pada tahun 1619
dan mendirikan serta kota bernama Batavia tersebut.
Betawi merupakan suatu etnik dengan jumlah penduduk yang mendominasi Jakarta.
Terbentuk sekitar abad ke-17, etnis ini merupakan hasil dari pencampuran beberapa suku
bangsa seperti China, Arab, Sumatera, dan Bali, bahkan juga Portugis. Dari latar belakang
budaya serta status sosial yang berbeda-beda, kelompok masyarakat ini mencoba mencari
identitas bersama dalam bentuk lingua franca bahasa Melayu yang pada akhirnya
terbentuklah masyarakat homogen secara alamiah (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
2011).
Betawi ialah etnis yang kaya akan keragaman budaya, bahasa, serta kultur karena
penduduk Betawi memiliki sifat majemuk yang berasal dari percampuran darah bermacam
suku bangsa serta bangsa asing. Beberapa penelitian terdahulu tentang masyarakat Betawi
menunjukkan bahwa kebudayaan Betawi memang sarat akan pengaruh dari etnis asing
seperti Belanda, Tiongkok, Arab, India, Portugis meskipun ada etnis local lainnya yang
juga ikut mewarnai seperti etnis yang berasal dari Sumatra, Jawa dan Sunda.8 Diketahui
juga bahwa warna pakaian pengantin Betawi yang bercorak warna merah berasal dari
budaya Tiongkok yang identic dengan warna merah dan begitu pula warna hijau
merupakan pengaruh dari Islam yang berasal dari bangsa Arab. Dalam dialek Bahasa
Betawi juga ditemukan kesan dialek Tionghoa, Belanda serta bahasa Arab yang
diIndonesiakan.9
7
Ibid, hlm. 33
8
Irwan dkk, "Identifikasi Potensi Kampung Budaya Betawi Setu Babakan Sebagai Destinasi Wisata Pendidikan Yang
Berkelanjutan", Vol. 11, No. 2, thn. 2020, hlm. 64
9
Ibid, hlm. 65
B. Kekayaan Kebudayaan Betawi
Masyarakat Betawi sebagai suatu rumpun keragaman etnisitas, sudah terbentuk sejak
abad ke-16. Dari masyarakat tersebut lahir kebudayaan “adonan” dari berbagai budaya
(Karim, 2001). Masyarakat Betawi sebagai penduduk yang terlebih dahulu menetap di
Jakarta, memiliki kebudayaan yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan
asing. Para pendatang, yang berasal dari pelosok nusantara dan dari luar negeri, membawa
kebudayaan-kebudayaan asing yang lama kelamaan mengendap menjadi kebudayaan
Betawi. Proses penyerapan kebudayaan asing tanpa menghilangkan kebudayaan yang telah
lebih dulu ada ini oleh Soekanto (2001) disebut dengan proses akulturasi.
Proses akulturasi yang terjadi di dalam kebudayaan Betawi, membuat kebudayaan
Betawi menjadi beraneka ragam. Sugiarti (1999) memaparkan, bahwa dari segi dialek,
masyarakat Betawi terbagi menjadi Masyarakat Betawi Tengah (MBT) dan Masyarakat
Betawi Pinggir (MBP). MBT meliputi wilayah yang berjarak radius kurang lebih 7 km dari
Monas, yaitu seluruh Jakarta Pusat, sebagian Jakarta Timur, dan sebagian Jakarta Selatan.
MBT banyak dipengaruhi oleh budaya Melayu dan sangat kental dengan Islam sebagai
contoh dapat terlihat dalam kesenian rebana.
MBP terbagi menjadi dua, yaitu MBP bagian Utara dan MBP bagian Selatan. MBP
bagian Utara meliputi wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Tangerang, dimana unsur
kebudayaannya banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina, semisal tari cokek, teater
lenong, dan gambang kromong.10 Kelompok ini mampu mengelola dan menyebarluaskan
kebudayaannya sehingga dapat mempengaruhi kebudayaan Betawi hingga ke seluruh
Jabotabek, namun di wilayah ini arus urbanisasi cukup besar, sehingga kelompok ini sulit
untuk mempertahankan kebudayaannya. MBP bagian Selatan meliputi wilayah Jakarta
Timur, Jakarta Selatan, Bogor dan Bekasi yang sangat kuat dipengaruhi kebudayaan Jawa
dan Sunda tanpa menghilangkan unsur kebudayaan Betawi-Melayu itu sendiri, seperti
yang terlihat dalam kesenian tari Topeng Betawi.
Koentjaraningrat (1990) mensarikan dari Kluckhohn (1974), menyatakan bahwa ada
tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan di seluruh dunia, termasuk di dalam
10
Priarti Megawanti, "Persepsi Masyarakat Setu Babakan Terhadap Perkampungan Budaya Betawi Dalam Upaya
Melestarikan Kebudayaan Betawi", Vol. 7 No. 3, thn. 2015, hlm. 229
masyarakat Betawi. Koentjaraningrat mengurutkan unsurunsur di atas mulai dari yang
paling sulit diubah sampai yang paling mudah. Kebudayaan masyarakat Betawi pun
memiliki ke tujuh unsur tersebut, berikut merupakan penjabarannya.
1) Sistem Religi dan Upacara Keagamaan
Masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang menjadikan Islam sebagai
pedoman utama dalam kehidupan mereka (Probonegoro, 1996). Di setiap kegiatan
yang mereka lakukan tidak lepas dari agama yang disebarkan oleh para pedagang Arab
tersebut. Penyebaran Islam berlangsung semakin pesat pada tahun 1491 yang ditandai
dengan berdirinya pesantren di Tanjung Pura, Karawang (Saidi, 2002).
Kepercayaan religius akan Islam juga tidak menyurutkan kepercayaan akan adanya
ruh-ruh nenek moyang, jin, hantu dan kekuatan spiritual. Mereka mempercayai bahwa
dalam Islam pun diajarkan untuk mengakui adanya makhluk-makhluk gaib tersebut.
Masyarakat Betawi memiliki upacara keagamaan yang dilakukan sepanjang lingkar
kehidupan, seperti perkawinan, nuju bulanan, khitanan, penguburan, dan masih banyak
lagi.
3) Sistem Pengetahuan
Castles (1967) seperti dikutip dalam Probonegoro (1996) menyatakan, bahwa pada
masa penjajahan sampai masa awal kemerdekaan, terhambatnya kemajuan masyarakat
Betawi dalam bidang pendidikan disebabkan karena Islam. Castles menganggap bahwa
ajaran Islam melarang masyarakat Betawi untuk bersekolah di sekolah-sekolah
Belanda. Pendidikan formal yang diadakan oleh Belanda yang beragama Kristen
dianggap akan membawa dampak buruk dan bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka
cenderung memasukkan anak-anaknya ke pesantren agar dapat memperdalam
keislaman.
Pernyataan Castles di atas tidak sepenuhnya benar. Seiring berjalannya waktu,
masyarakat Betawi semakin sadar akan pentingnya pendidikan formal sebagai bekal
mereka dalam menghadapi pembangunan Jakarta.11
4) Bahasa Betawi
Seperti yang telah dipaparkan di atas, menurut Sugiarti (1999), bahasa menjadi ciri
utama dalam pembagian geografis wilayah budaya Betawi, yaitu bahasa Betawi dengan
berbagai dialek dan subdialeknya. Menurut dialek yang diucapkan, geografis wilayah
budaya Betawi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu MBT dan MBP atau biasa
disebut dengan Betawi Ora. Dilihat dari segi bahasa, terdapat perubahan vokal a dalam
suku kata terakhir menjadi e’, semisal kata kita menjadi kite’. Oleh karena cakupan
wilayah yang berada di tengah-tengah kota Jakarta, kelompok MBT lebih banyak
mendapatkan kesempatan untuk maju dibandingkan MBP.
Dilihat dari segi subdialek, bahasa Masyarakat Betawi Pinggir bagian Selatan
mengubah ucapan suku kata terakhir dari a menjadi ah, semisal saya menjadi sayah.
Kelompok ini memiliki keanekaragaman seni budaya Betawi yang lebih kuat
dibandingkan kelompok masyarakat Betawi lainnya, seperti kesenian Topeng Betawi,
tanjidor, Rebana biang, wayang kulit, wayang wong, dan juga memiliki sebagian besar
kesenian dari masyarakat Betawi bagian tengah maupun Utara.
5) Kesenian
Menurut kebudayaan Betawi, pertunjukkan kesenian selalu dihubungkan dengan
adanya pesta hajatan, seperti perkawinan atau khitanan. Bentuk kesenian yang dipilih
pun dapat dibedakan menurut siapa yang mengadakan pesta hajatan tersebut. Misalnya,
11
Ibid, hlm. 230
masyarakat Betawi yang banyak dipengaruhi etnik Tionghoa akan memilih tari cokek
untuk memeriahkan hajatannya, atau masyarakat Betawi yang banyak dipengaruhi
etnik Sunda akan memilih teater topeng atau kliningan. Ada juga yang memilih orkes
gambus, rebana, atau qasidahan jika yang mengadakan hajatan adalah pemuka agama,
sedang untuk masyarakat Betawi biasa, umumnya akan memilih orkes dangdut, orkes
keroncong, atau orkes Melayu (Probonegoro, 1996).
Dari ke tujuh unsur kebudayaan yang telah dipaparkan di atas, dapat terlihat bahwa
masyarakat Betawi memiliki kebudayaan seperti halnya masyarakat dari suku lain.
Masyarakat Betawi memiliki sifat gotong royong dan egaliter kepada siapa saja.
Namun, dengan tingkat pertambahan penduduk Jakarta yang melebihi setengah dari
masyarakat Betawi, sifat gotong royong yang dimiliki masyarkat Betawi mulai hilang.
Sifat egaliter yang dimiliki masyarakat Betawi pun ternyata membuat mereka mudah
untuk terbuka dan mudah beradaptasi dengan penduduk pendatang dalam lingkungan
Betawi. Hal itu dapat terlihat dari tidak adanya perselisihan antara pendatang dengan
penduduk asli. Namun, justru keterbukaan itu membuka peluang terjadinya
percampuran kebudayaan diantara penduduk pendatang dengan masyarakat Betawi.
Dengan demikian, pergeseran nilai-nilai budaya pun tak dapat dihindari.12
Sekarang ini, menurut penelitian Sugiarti (1999), frekuensi pelaksanaan tradisi-
tradisi yang berhubungan dengan agama, adat-istiadat, dan kesenian Betawi mulai
menurun. Faktor biaya yang relatif mahal dan faktor keamanan yang tidak mendukung
terselenggaranya kegiatan tersebut, merupakan beberapa hal yang menyebabkan
menurunnya frekuensi kegiatan pelaksanaan tradisi-tradisi. Faktor kurangnya
pemahaman terhadap kebudayaan Betawi di kalangan penduduk asli maupun
pendatang juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan semakin berkurangnya
pelaksanaan tradisitradisi yang berhubungan dengan agama, adatistiadat, dan kesenian
Betawi. Faktor pemahaman terhadap suatu jenis kesenian daerah cenderung
mempengaruhi masyarakat untuk mengadakan kegiatan atau acara kesenian tersebut.
Parahnya, menurut Sugiarti, penduduk asli Betawi yang paham terhadap kesenian
Betawi sekarang ini relatif rendah. Hal ini jelas akan mempersulit masyarakat Betawi
untuk mempelajari atau melestarikan kebudayaannya yang semakin hari semakin
bergeser.13
12
Ibid, hlm. 231
13
Ibid, hlm. 232
1) Lebaran
Lebaran adalah salah satu puncak kegembiraan setelah menjalankan masa bakti dan
ketakwaaan. Untuk sampai pada tahap Lebaran masih beberapa tahap lagi yang harus
dilalui dengan baik dan benar. Tahap itu adalah mengerjakan ibadah puasa Ramadhan dan
membayar zakat fitrah.
Orang Betawi mengenal paling sedikit tiga macam lebaran, yaitu pertama Lebaran Idul
Fitri, kedua Lebaran Aji yaitu lebaran bulan haji tanggal 10, 11, dan 12 bulan Dzul Hijjah
dan memotong hewan kurban berupa kambing, sapi, atau kerbau. Ketiga Lebaran Anak
Yatim, yaitu lebaran khusus untuk membahagiakan anak yatim-piatu. Lebaran ini
dilaksanakan tanggal 10 Muharram tahun baru Islam.
2) Kaulan / Nazar
Nazar, ngucap, kaulan adalah semacam janji yang diniatkan dalam hati dan diucapkan
dengan tegas serta dapat didengar oleh orang di sekitarnya. Karena ini merupakan ikrar,
maka akan sangat mempengaruhi perjalanan hidup orang yang ngucap selanjutnya. Artinya
nazar itu harus dilaksanakan sesuai janji dan manakala tidak dilaksanakan akan berakibat
buruk bagi yang nazar. Itulah sebabnya orang Betawi sangat berhati-hati bila ingin ngucap
(kaulan, nazar). Karena jika ngucap telah diikrarkan meskipun secara tidak sadar, mau
tidak mau harus dilaksanakan ucapan itu. Kepercayaan atau keyakinannya pada ucapan
atau niatan yang dinazarkan itu membuatnya seperti dibayang-bayangi beban atau hutang
sehingga keadaan itu membuat hidupnya tidak tenang.14
3) Upacara Mangkeng
Upacara Mangkeng diambil dari kata pangkeng yang artinya kamar. Pangkeng itu kata
benda, Mangkeng kata kerja. Upacara ini dilakukan oleh seorang dukun, biasanya dukun
perempuan yang disebut dengan Dukun Pangkeng, karena seluruh kegiatan upacara ini
diselenggarakan di pangkeng. Pada masyarakat Betawi Upacara Mangkeng dikenal dengan
beberapa sebutan, antara lain, Dukun Dudukin (karena sang Dukun menduduki
pendaringan), Dukun Nyarang (karena Sang Dukun seolah-olah membuat sarang di
14
“Adat Tradisi Betawi”, http://www.setubabakanbetawi.com/en/adat-tradisi-betawi/ diakses pada Senin 1 November
2021 pukul 09.12
pangkeng), Dukun Nolak Ujan (karena Sang Dukun berperan juga sebagai pawang hujan).
Dukun ini diminta oleh orang yang ingin menyelenggarakan pesta perkawinan dan
sebagainya, agar berjalan lancar tanpa suatu halangan apapun.
Dalam melaksanakan tugas ritualnya, Dukun Pangkeng mempersonifikasikan dirinya
sebagai Dewi Sri Pohaci (Sang Dukun berdandan sebagaimana layaknya seoorang Dewi)
yaitu Dewi Kesuburan dan Kemakmuran. Tugas utama Dukun Pangkeng selain yang sudah
disebutkan di atas, juga mencatat pemasukan dan pengeluaran dari tuan rumah yang tengah
menyelenggarakan pesta. Semua bantuan sumbangan dari keluarga maupun masyarakat
sekitarnya dicatat dengan tertib. Dalam melaksanakan tugasnya Sang Dukun dibantu oleh
seorang asisten yang menjadi penghubung antara dia dengan tuan rumah. Tugas yang justru
paling penting adalah melakukan ritual yang tujuannya, agar orang-orang yang diundang
selalu ingat dan datang pada pelaksanaan pesta (hajatan). Juga merapal jampe agar sedikit
atau sebanyak apapun makanan yang disiapkan selalu cukup.
Selama tugasnya, Sang Dukun tidak pernah keluar dari Pangkeng, kecuali ada
kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan. Maka komunikasi dengan tuan rumah diwakili
oleh asistennya. Tugas Dukun berakhir sehari setelah acara pesta yang diselenggarakan
oleh tuan rumah. Sebagai pencatat keluar masuk sumbangan dari masyarakat, maka catatan
itu dilaporkan kepada tuan rumah.
15
“Adat Tradisi Betawi”, http://www.setubabakanbetawi.com/en/adat-tradisi-betawi/, diakses pada Senin 1
November 2021 pukul 09.14
sebagai tiang guru, dinding rumah, dan pintu panel berukir. Komposisi kayu nangka dan
kayu jamblang akan jauh lebih indah jika diambil bagian paling tengahnya. Jenis kayu
cempaka seyogyanya dipakai untuk kusen pintu bagian atas. Ini mempunyai makna tertentu
yaitu agar pemilik rumah senantiasa dihormati dan disenangi tetangga. Sedangkan jenis
kayu asem pantang digunakan sebagai bahan bangunan. Sifat asem ditafsirkan akan
mempengaruhi harmonisasi antara pemilik rumah dengan tetangganya. Dapat terjadi
rumah mempunyai kesan kumal, gersang dan tidak berwibawa.
Pindah rumah (pinde rume) bagi orang Betawi memiliki arti khusus dan strategis.
Rumah bukan hanya berfungsi sebagai tempat berlindung dari gempuran musim yang tidak
ramah, namun lebih dari itu rumah adalah tempat dimulai terjadinya generasi mendatang
yang kokoh lahir batin. Itulah sebabnya pinde rumeini wajib dipersiapkan sematang-
matangnya, membutuhkan ketersediaan dana serta melibatkan seluruh tetangga, tokoh
masyarakat, alim ulama, grup kesenian, dan lain-lain. Filosofi utama rumah dalam
masyarakat Betawi dinyatakan dalam peribahasa kata “Mulaiin dari rumah, pulang ke
rumah”16
16
“Adat Tradisi Betawi”, http://www.setubabakanbetawi.com/en/adat-tradisi-betawi/ diakses pada Senin 1 November
2021 pukul 09.16
atau yang semacamnya). Dari tempat pengajian ini diadakan upacara pelepasan dan si anak
akan diarak sampai ke rumahnya.
7) Upacara Kematian
Menurut tradisi Betawi, Upacara Kematian atau ngurus mayit dilakukan dari perawatan
sampai penguburan dan disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Setelah dimandikan,
dikafani, disalatkan, jenazah dikebumikan di pekuburan yang dilakukan oleh kaum pria.
Kaum wanita tinggal di rumah dan mempersiapkan sedekahan untuk acara tahlil yang
diadakan pada malam pertama sampai dengan malam ketujuh, dan dilanjutkan pada malam
keempat puluh.
Orang yang biasa menangani persoalan kematian dibantu oleh masyarakat sekitar yang
sudah memahami apa yang harus dikerjakan sesuai dengan urutannya. Mulai dari
menyiapkan baskom sholawat, sampai kepada proses turun tangan (penguburan) dilakukan
dengan gotong royong. Kegotongroyongan ini masih terus dapat dilihat sampai pada
malam kelimabelas, karena sepanjang hari-hari itu masyarakat sekitar atau tetangga
memberikan bantuan moril dan materil kepada sohibul musibah. Dengan kata lain upacara
kematian dalam kehidupan masyarakat Betawi merupakan simbol kegotongroyongan.17
17
“Adat Tradisi Betawi”, http://www.setubabakanbetawi.com/en/adat-tradisi-betawi/, diakses pada tanggal 1
November 2021 pukul 09.18
Duduk Nike (Akad Nikah atau Ijab Kabul), ikrar yang diucapkan oleh mempelai pria
di hadapan wali mempelai wanita. Kebesaran, upacara kedua mempelai duduk di puade
(pelaminan) untuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan undangan. Negor, upaya
suami merayu istrinya untuk memulai hidup baru sebagai sebuah keluarga. Pulang Tige
Ari, upacara resepsi pernikahan yang dilakukan di rumah keluarga mempelai pria. Sebelum
pelaksanaan Ijab Kabul, lazimnya diselenggarakan upacara adat yang disebut Buka Palang
Pintu. Upacara Buka Palang Pintu adalah salah satu prosesi yang harus dilalui oleh kedua
mempelai menjelang pernikahannya. Upacara diawali dengan arak-arakan mempelai pria
menuju rumah calon istrinya. Dalam arak-arakan itu, selain iringan Rebana Ketimpring
juga diikuti barisan sejumlah seserahan mulai roti buaya (lambang kesetiaan), maket
masjid, sirih nanas, pesalin, sayur mayur, uang, jajanan khas Betawi, dan pakaian.
Tradisi Palang Pintu ini merupakan pelengkap saat mempelai pria yang disebut “tuan
raja mude” hendak memasuki rumah mempelai wanita atau ”tuan putri”. Awalnya kedua
belah pihak saling bertukar salam. Lama kelamaan situasi memanas karena pihak
mempelai wanita ingin menguji kesaktian dan kepandaian mempelai pria dalam berilmu
silat serta mengaji. Dengan demikian pasti terjadi baku hantam dan pihak pria biasanya
menang. Usai memenangkan pertarungan, pihak mempelai wanita akan meminta pihak
mempelai pria untuk memamerkan kebolehannya dalam membaca Alquran.18
9) Sunatan
Anak laki-laki yang akan beranjak dewasa diwajibkan untuk bersunat. Sunat bagi orang
Betawi adalah upacara bagi anak lelaki dalam rangka menuruti ajaran agama Islam pada
saat ia memasuki akil balig. Secara tradisional sunat dikerjakan oleh dukun sunat yang
disebut bengkong dengan alat sunat terbuat dari bambu yang disebut bebango atau bango-
bango. Sehari sebelum hari H (hari pelaksanaan sunat) biasanya si anak yang disebut juga
pengantin sunat akan dirias dengan pakaian penganten sunat. Tahap pertama mengarak
penganten sunat dengan mengelilingi kampung dengan urutan pembuka jalan, pengantin
sunat akan mengendarai kuda atau juga tandu yang diiringi oleh barisan rebana dan pencak
silat. Acara arakan ini dilakukan sehari sebelum hari khitan. Tujuannya untuk memberi
18
“Adat Tradisi Betawi”, http://www.setubabakanbetawi.com/en/adat-tradisi-betawi/, diakses pada Senin 1
November 2021 pukul 09.20
hiburan atau memberi kegembiraan serta semangat kepada si anak bahwa besok dia akan
dapat pengalaman baru, yaitu pengalaman sunat.
Pada upacara ini pelengkap dan pendukung acaranya antara lain : pakaian penganten
sunat lengkap, pembaca shalawat dustur, grup Rebana Ketimpring sebagai pengarak dan
membaca shalawat badar, kuda hias, delman hias dan grup Ondel-ondel. Pagi-pagi si anak
yang akan disunat dimandikan dan direndam air beberapa saat. Baru kemudian ia disunat
oleh Bengkong, sekarang dokter. Tahap terakhir adalah selamatan. Bagi keluarga yang
mampu biasanya acara selamatan ini dilengkapi dengan hiburan masyarakat.
19
“Adat Tradisi Betawi”, http://www.setubabakanbetawi.com/en/adat-tradisi-betawi/, diakses pada Senin 1
November 2021 pukul 09.21
Bagi masyarakat Betawi pada umumnya kita mengenal upacara Nuju Bulanan. Upacara
ini dimaksudkan untuk mendapatkan rasa aman, mensyukuri nikmat Tuhan dan memohon
untuk mendapatkan berkat dari Yang Maha Kuasa serta memberitahukan akan ada anggota
keluarga baru yang ada di tengah-tengah mereka. Selain itu upacara ini juga mengandung
harapan agar anak yang sedang dikandung akan lahir dengan selamat.
Ada beberapa keharusan dan pantangan yang senantiasa harus diingat dalam
memelihara kehamilan. Perempuan hamil harus senantiasa berzikir (memuji keesaan
Allah) dan sesering mungkin membaca shalawat dan membaca Al-Qur’an khususnya surat
Yusuf. Sedangkan pantangannya antara lain jangan membunuh binatang, jangan menghina
fisik orang lain, dan jangan membicarakan keburukan orang atau hal-hal buruk lainnya. Ia
juga dilarang makan daging ayam yang kena sakit sampar (telo), ikan yang berenangnya
miring, daging babi, pisang ambon, nanas, nangka dan isi perut binatang ternak. Kalau
pantangan itu dilanggar tanpa disadari akan berakibat buruk bagi anak yang dilahirkan.
Bisa saja si anak akan cacat secara fisik. Sedangkan pantangan memakan daging ayam,
ikan dan daging bagi ibu hamil seperti disebut di atas agar anak yang dilahirkan tidak kena
penyakit ayan (epilepsi) karena banyak ditemui kejadian yang berkenaan dengan kasus itu.
Tahap kehamilan selanjutnya adalah nuju bulan. Tanggal pelaksanaannya biasanya
antara tanggal 7, 17, atau 27 dari bulan hijriyah. Orang Betawi biasanya memilih tanggal
7 atau 17, karena tanggal 27 dianggap sudah masuk bulan ke delapan. Upacara nuju bulan
dilakukan tiga tahap yaitu selametan (tahlilan) dengan membaca surat Yusuf di dalam
ruangan, mandi air kembang di kamar mandi, dan ngirag (pemeriksaan posisi jabang bayi
di dalam perut Ibunya yang dilakukan oleh dukun beranak untuk memastikan kondisi bayi
berada pada posisi yang benar. Ngirag di daerah lain disebut juga gedog. Dapat pula
dilakukan sebaliknya, mulai dari ngirag dan seterusnya.20
20
“Adat Tradisi Betawi”, http://www.setubabakanbetawi.com/en/adat-tradisi-betawi/, diakses pada Senin 1
November 2021, Pukul 09.22
(2) objek dandaya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum,
peninggalan purbakala,peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata
buru, wisata petualangan alam,taman rekreasi dan tempat hiburan.
Sujali (dalam Amdani, 2008) menjelaskan bahwa potensi wisata sebagai kemampuan
dalam suatu wilayah yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, mencakup alam
dan manusia serta hasil karya manusia itu sendiri.
Secara garis besar daya tarik wisata diklasifikasikan ke dalam tiga klasifikasi (Marpaung,
dalam Mulyo, 2005):
Potensi Daya Tarik Wisata Kampung Budaya Setu Babakan antara lain:
Dalam membudidayakan ikan air tawar, biasanya pemilik membeli bibit ikan. Bibit ikan
dikembangbiakkan sehingga dapat menghasilkan setelah 2 sampai 3 bulan, barulah pemilik
ikan dapat menjual kepada pembeli atau dikonsumsi secara pribadi. Manajemen pengelolaan
tempat pemancingan sangat sederhana dan dikelola oleh individu saja, begitu pula dengan
fasilitas yang disediakan. Hanya sedia tenda tempat orang melakukan pemancingan.
Wisata Kuliner aneka jajanan yang ditawarkan bisa menjadi wisata kuliner yang cukup
bervariasi, diantaranya ketoprak, ketupat nyiksa, kerak telor, ketupat sayur, bakso, laksa, arum
manis, soto betawi, mie ayam, soto mie, roti buaya, bir pletok, nasi uduk, kue apem, toge
goreng dan tahu gejrot, dodol, roti buaya.
Masyarakat yang terbiasa bertindak semaunya se- karang lebih tertata, karena adanya
peraturan dari Unit Pengelola Kawasan dalamkegiatan sehari-hari ditambahdengan wawasan
yangsemakin bertambah denganadanya pelatihan-pelatihandari lembaga-lembaga pen- didikan
dalam berbagai hal.
Terjadinya interaksi yang lebih berkualitas antara masya-rakat kelas atas,menengah, dan
bawahdengan terjadinya pemetaan status sosial darimasyarakat menjadi be- berapa fungsi.
Dengan terciptanya berbagai kepentingan yang berbeda antar pihak, menuntut fungsi kelem-
bagaan RT dan RW berfungsi lebih baik. Tujuannya untuk mengatur, mengelola dan
menentukan kebijakan di lapangan. Oleh karena itu petugas RT dan RW dituntut lebih aktif
dan inisiatif.
21
Maryetti dkk, “Pengembangan Berkelanjutan Kampung Budaya Setu Babakan”, Vol. 1, No. 1, thn 2016, hlm. 37.
Dituntutnya kesadaran semua warga masyarakat baik di dalam maupun di sekitar kawasan
sudah menjadi keharusan. Hal tersebut ditunjukkan dengan menurun-nya fungsi air di setu
mangga bolong yang sudah tidak bisa digunakan lagi untuk menyebar benih ikan karena sudah
tercemar akibat adanya usaha laundry yang membuang limbah ke saluran air yang mengalir ke
setu mangga bolong.
Dengan adanya kebutuhan masyarakat akan taman hijau yang bisa digunakan untuk
bersantai bersama keluarga di akhir pekan, mengakibatkan banyaknya warga
Jabodetabek yang berpiknik ke Setu Babakan karena lebih dekat, tidak dipungut biaya dan
menawarkan produk budaya yang jarang ditemui di Jakarta, ditunjang dengan akses yang dekat
dan tidak terlalu macet seperti ke Puncak.
Menciptakan daerah wisata yang menarik untuk dikunjungi melalui Sapta Pesona. Sapta
Pesona me- rupakan jabaran konsep Sadar Wisata yang terkait dengan dukungan dan peran
masyarakat sebagai tuan rumah dalam upaya untuk menciptakan lingkungan dan suasana
kondusif yang mampu mendorong tumbuh dan berkembangnay industry pariwisata melalui
perwujudan tujuh unsur dalam Sapta Pesona tersebut.
Melalui penerapan aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan memang
kebiasaan masya- rakat Betawi di kawasan tidak serta merta berubah, akan tetapi dengan
banyaknya kunjungan dari berbagai instansi yang melakukan CSR, penelitian,
penyelenggaraan event seperti pameran lukisan oleh salah satu pelukis senior, seminar
bagaimana menerapkan cara berpakaian betawi terhadap anak muda oleh Maudy Kusnadi,
mantan None Jakarta. Penuhnya agenda kegiatanyang akan di-selenggarakan di Setu babakan
dari setelah lebaran hingga bulan desember 2016 menunjuk- kan bahwa Setu babakan
walaupun masih kurang di sana-sini tetap menjadi tujuan bagi banyak pihak.
Hasil ini merupakan hasil dari masyarakat yang semakin sadar tentang sadar wisata.
Mempersiapkan diri dalam menerima kunjungan wisatawan melalui hygiene sanitasi dan
pengelolaan sampah yang baik. Pengertian hygiene lingkungan meliputi kebersihan area,
lingkungan, bangunan, ruangan/kamar, dapur serta peralatannya adalah sangat menunjang
untuk meng- hasilkan suatu lingkungan yang aman bersih dan sehat, serta menghasilkan
makanan yang baik dan bersih dan juga aman dimakan. Hal ini membantu para pedagang
dalam memperbaiki kios- kiosnya untuk berbenah diri dalam menyambut ke- datangan para
pengunjung.22
22
Maryetti, Yohanes Sulistyadi, Darmawan Damanik, Hindun Nurhidayati, FX Setio Wibowo, “Pengembangan
Berkelanjutan Kampung Budaya Setu Babakan Sebagai Daya Tarik Wisata”, hlm. 27-44