Anda di halaman 1dari 7

A.

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Globalisasi,  Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu


proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu
di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Sebenarnya, globalisasi belum memiliki
definisi yang pasti karena mencakup banyak aspek dan kekompleksan sifatnya,
sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Sebagai bukti, ada yang
menyebut globalisasi di bidang budaya atau di bidang ekonomi, atau di bidang
informasi dan sebagainya. Dampak dari adanya globalisasi ini amat banyak  dan
beragam. MNC atau multinational corporation atau di dalam bahasa Indonesia
dikenal sebagai perusahaan multinasional adalah salah satunya. Dalam
perkembangannya, disamping memberikan manfaat bagi perekonomian suatu
negara ternyata perusahaan multinasional juga turut berperan sebagai penghambat
karena dampak negatif yang ditimbulkannya. Terlepas dari perdebatan mana yang
lebih dominan, manfaat atau kerugiannya, yang pasti harus dipikirkan bersama
cara-cara untuk menanggulangi dampak negative dari adanya perusahaan
multinasional.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:


1. Memenuhi tugas Komunikasi Pertanian.
2. Untuk menambah wawasan bagi pembaca.
3.Agar mengetahui masalah apa saja yang dihadapi dalam
lingkungan kerja multinasional.
B. Pembahasan
 

A. Perusahaan Multinasional, Definisi dan Gambaran Sekilas

Salvatore, dalam bukunya Ekonomi Internasional jilid 1, menyebutkan


bahwa perusahaan multinasional ialah badan usaha yang memiliki,
mengendalikan, dan atau mengelola fasilitas-fasilitas produksi yang tersebar di
sejumlah negara. Dari definisi ini paling tidak bisa dibayangkan bahwa
perusahaan multinasional adalah perusahaan yang berskala besar, gross profit
yang luar biasa, serta melibatkan manajemen yang kompleks. Pada kenyataannya,
memang secara keseluruhan perusahaan multinasional menguasai lebih dari 20
persen output dunia dan nilai transaksi perdagangannya  mencapai lebih dari 25
persen dari keseluruhan transaksi perusahaan manufaktur di dunia.  Mungkin juga
bisa dikatakan bahwa perkembangan yang paling penting dalam hubungan
ekonomi internasional dalam dua atau tiga dasawarsa ini adalah perusahaan
multinasional dimana lonjakan  yang mengagumkan atas kekuatan dan pengaruh
berhasil mereka ciptakan. Terlihat dari mendunianya produk-produk, misal,
Microsoft, Honda, Toshiba, Exxon, Toyota , Sony dsb. Bahkan gross profitnya
bisa melebihi PDB suatu negara. Sehingga, Indonesia sebagai salah satu negara
yang berdaulat yang berusaha memakmurkan rakyatnya juga tidak bisa menutup
mata terhadap adanya perusahaan multinasional ini. Dimana seringkali disini
perusahaan multinasional  dihujat sebagai imperialis model baru, penghisap
kekayaan alam,dsb. Tentu hal ini tidak terlepas akibat eksternalitas negative yang
ditimbulkan akibat dizinkannya perusahaan multinasional beroperasi di Indonesia.
Hal-hal seperti ini tidak hanya negara Indonesia saja yang mengalaminya, tetapi
juga di banyak negara baik sebagai tuan rumah maupun negara asal perusahaan.
Tetapi,  pelarangan perusahaan multinasional juga bukan langkah bijak yang
diambil  karena disamping memiliki sisi negative perusahaan multinasional juga
memiliki banyak sisi positif, belum lagi pengucilan internasional jika langkah ini
diambil oleh pemerintah. Sehingga, hal yang terbaik adalah memikirkan suatu
cara-cara untuk menanggulangi dan meminimalisasi dampak-dampak negative
tadi.
B. Beberapa Masalah dalam Lingkungan Kerja Multinasional
Alasan utama banyaknya negara berhati-hati sebelum mengizinkan operasi
suatu perusahaan multinasional di negaranya adalah dampak-dampak negatif yang
mungkin ditimbulkannya. Salvatore paling tidak menyebutkan  6 dampak ini di
dalam bukunya,

Terhadap negara asal:

1. Hilangnya sejumlah lapangan kerja domestik. Ini karena perusahaan


multinasional mengalihkan sebagian modal dan aktivitas bisnisnya ke luar
negeri.
2. Ekspor teknologi, yang oleh sebagian pengamat, secara perlahan-lahan
akan melunturkan prioritas teknologi negara asal dan pada akhirnya
mengancam perekonomian negara bersangkutan.
3. Kecenderungan praktik pengalihan harga sehingga mengurangi pemasukan
perpajakan
4. Mempengaruhi kebijakan moneter domestik.
Terhadap negara tuan rumah:

1. Keengganan cabang perusahaan multinasional untuk mengekspor suatu


produk karena negara tersebut bukan mitra dagang negara asalanya.
2. Mempengaruhi kebijakan moneter negara yang bersangkutan.
3. Budaya konsumsi yang dibawa perusahaan tersebut bisa mengubah budaya
konsumsi konsumen local dan pada akhirnya mematikan unit-unit usaha
tradisional.

Dan tentu saja dampak-dampak lainnya masih banyak mengingat masalah ini
adalah masalah yang kompleks. Mulai dari politik yang mempengaruhinya, belum
lagi bidang lainnya yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik di bidang sosial,
budaya, pendidikan dan sebagainya.

 
C. Cara Mengatasi atau Mengurangi Masalah Dalam Lingkungan
Kerja Multinasional

Perusahaan multinasional, seperti halnya perusahaan komersial lainnya akan


tetap dan selalu bersifat  profit oriented. Disini akan timbul suatu masalah dalam
kaitannya dengan penanggulangan dampak negative perusahaan multinasional.
Program-program penanggulangan dampak negative, bisa dicontohkan asuransi
kesehatan pegawai, pajak lingkungan hidup (di luar negeri), jamsostek, reservasi
lingkungan, akan dianggap sebagai suatu inefisiensi karena sifat profit
orientednya tadi, dimana perusahaan berusaha mencari keuntungan yang sebesar-
besarnya sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap shareholder. Sehingga
tidak akan tercapai titik temu antara tujuan perusahaan dengan tujuan masyarakat.
Disinilah pemerintah mengambil peranannya. Namun, tidak selamanya hal ini bisa
dilakukan oleh pemerintah apalagi pemerintah yang korup. Demi peningkatan
usaha penanggulangan dampak negatif MNC, harus dicari akar masalah dari
hambatan atas penanggulangan ini. Ekonom dan peraih nobel, Joseph E stiglitz
dalam bukunya Making Globalization Works (2006) mengemukan 4 dilema yang
dialami perusahaan sehingga mereka sebenarnya tidak mau melakukan usaha
penanggulangan dampak negatif atas aktivitas yang mereka lakukan.

1. Sifatnya yang profit oriented, sebagaimana penjelasannya di atas.


2. Kompetisi. Ini mengakibatkan perusahaan harus melakukan operasi
seefisien mungkin dengan cara menghasilkan untung yang sebesar-besarnya
dan menekan biaya dalam waktu singkat agar dapat tetap survive. Dalam
kondisi seperti ini, tentu perusahaan akan menghindari segala biaya yang tidak
esensial bagi operasi seperti, misalkan biaya pembangunan rumah sakit bagi
warga sekitar.
3. Kekuatan ekonomi dan politik, mengingat kekuatan peusahaan
multinasional yang luar biasa secara ekonomi dan politik, perusahaan
semacam ini bisa saja “membeli” negara-negara yang memang sedang
membutuhkan modal dari mereka. Contohnya Freeport di Papua dan Exxon di
Aceh. Dilema akan terjadi karena semakin perusahaan ini berperan dalam
pembangunan sosial ekonomi semakin pembangunan ditentukan oleh praktik-
praktik untuk memenuhi interest dari perusahaan tersebut. Misalnya Freeport
memang membangun rumah-rumah sakit,jalan sekolah, tetapi warga sekitar
tetap mengeluh. Mereka mengeluh karena kenyataannya fasilitas-fasilitas
tersebut untuk melayani kepentingan pegawai dan staf perusahaan saja.
4. Kolusi perusahaan-pemerintah. Perusahaan bisa melakukan lobi-lobi
kepada para birokrat, baik daerah maupun pusat untuk membuat undang-
undang yang memenuhi interest dan kebutuhan mereka. Tidak jarang biaya
untuk melakukan lobi-lobi ini melebihi biaya investasi lainnya. Perusahaan
perminyakan seringkali mengurangi biaya kompensasi dan konservasi alam
dengan cara menyuap pejabat publik. Lagipula kebijakan tersebut adalah
banyak dipengaruhi  pejabat publik dan perusahaan saja, tetapi minim
partisipasi masyarakat sehingga tidak jarang mengabaikan hak-hak publik.
Contoh yang bagus adalah kasus Freeport di Indonesia, “Dalam 20 tahun
berikutnya, proses pemakaian tanah yang tidak transparan—dan pemindahan
paksa komunitas lokal—berlanjut pada 1995, anggota-anggota masyarakat
memahami untuk pertama kalinya bahwa, menurut sumber-sumber
pemerintah, mereka telah menyerahkan tanah-tanah ulayat di wilayah Timika
(hampir 1 juta hektar) kepada pemerintah untuk penempatan transmigrasi,
termasuk kota Timika dan lokasi Freeport yang baru, Kuala
Kencana.” (Aderito de Jesus Soares, jurnal LIBERTASAUN V/2005).

Dari akar masalah di atas paling tidak bisa dirumuskan 3 pendekatan dalam
menanggulangi masalah di  atas sebagai  berikut:

1. Pendekatan hukum. Dilema perusahaan akan profit oriented dapat dicegah


melalui legislasi, dimana peraturan perundang-undangan yang mengikat
semua pihak akan menempatkan perusahaan pada standar yang sama.
Perusahaan yang berbisnis dengan standar tinggi pasti akan menyambut baik
hal ini. Perusahaan yang berbisnis dengan standar tinggi, dalam menjalankan
praktiknya akan memperhatikan etika berbisnis (code of conduct). Peraturan
dan legislasi akan melindungi perusahaan  tersebut terhadap kompetisi yang
tidak fair dari perusahaan yang tidak memenuhi standar yang sama.
Pentingnya peraturan dan hukum ini, seperti dikatakan oleh stiglitz, “tanpa
tekanan peraturan pemerintah dan masyarakat, korporasi enggan melindungi
dampak lingkungan secara memadai. Sejatinya mereka memiliki motivasi
untuk merusak lingkungan hidup jika hal tersebut dapat menyelamatkan uang
mereka”
2. Pendekatan sosial dan etika. Pendekatan lainnya untuk menjamin
pertanggungjawaban publik perusahaan multinasional ialah melalui berbagai
macam tekanan  sosial dan etik masyarakat. Paling tidak ada 4 kelompok yang
dapat mengadakan presure antara lain, konsumen, investor, pekerja dan LSM.
Menurut Wegner-Tsukamoto, kelompok ini dapat menciptakan apa yang
disebut “ethical capital” yang artinya nilai yang merasuki empat kelompok
tadi untuk melakukan gerakan moral secara aktif. Contoh nyatanya adalah
boikot yang dilakukan Gandhi, tentu saja diikuti pengikutnya, atas perusahaan
kapas kolonialis Inggris di India, kemudian boikot partai solidaritas buruh di
Glasgow atas perusahaan galangan kapal. Kemudian, contoh dari LSM yang
memberikan tekanan adalah yang sering didengar tentang kampanye “blood
diamond” di Sierra atau “Dirty Oil” di Nigeria yang cukup efektif menarik
perhatian dunia sehingga perusahaan multinasional yang bersangkutan tidak
bisa seenaknya sendiri. Kasus di Indonesia yang terkenal adalah kasus
Freeport di mana LSM bentukan masyarakat/ suku lokal bernama LEMASA 
(Lembaga Masyaraka Adat Komoro) mengajukan gugatannya di pengadilan
New Orleans, kota dimana  kantor pusat Freeport berada.
3. Rahmad Paul,  master pada Conflict Transformation di Center for Justice
and Peacebuilding Eastern Mennonite University, US menyarankan
pendekatan melalui transformasi konflik. Konflik itu seperti pedang bermata
dua, di satu sisi bisa menghambat tetapi jika dikelola dengan baik dapat
menjadikannya sesuatu yang konstruktif. Kalau dinamika konflik dikelola
secara tepat akan berdampak pada perubahan sosial yang transformative dan
significant bagi kepentingan rakyat banyak. Negosiasi dan mediasi konflik
merupakan cara pendekatan yang berprinsip pada nonkekerasan dan dialog
untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak yang bertikai. Para pihak
yang berkonflikperlu duduk bersama dan setara di meja perundingan negosiasi
guna mencari titik temu dan menjembatani perbedaan persepsi dan
kepentingan dan secara bersama-sama membangun consensus yang
membangun dan mengakomodasi semua pihak.

Adapun Nopirin,  Ph.D dalam bukunya ekonomi internasional jilid 3


mengungkapkan setidaknya  ada 5 cara dalam hal pengaturan  perusahaan
multinasional demi penghindaran efek buruk yang mungkin terjadi:

1. Pengaturan tentang masuknya MNC. Pengaturan meliputi penilaian


tentang kemungkinan efek suatu perusahaan multinasional di masa yang akan
datang terhadap politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Jika penilaian
ini menunjukkan kemungkinan yang sangat buruk atau dengan kata lain
kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya, maka perusahaan
multinasional tersebut ditolak kehadirannya.
2. Penentuan sektor-sektor tertentu yang sudah tertutup untuk investasi asing
atau penentuan pemilikan, sehingga memberi peluang pada wiraswasta local
untuk ikut melakukan kegiatan atau mengambil keputusan.
3. Negara penerima dapat mengatur kegiatan perusahaan multinasional
dengan cara membatasi bahan yang diimpor, penentuan harga produk,
pengaturan tentang kredit, pemilikan serta pengaturan tentang efeknya
terhadap lingkungan.
4. Negara penerima melakukan pengaturan tentang keuntungan yang boleh
dikirimkan kembali ke negara induk.
5. Negara penerima dapat melakukan nasionalisasi perusahaan multinasional.
Biasanya ini adalah tindakan terakhir yang dilakukan suatu negara dan harus
dipertimbangkan secara hati-hati karena hal ini dapat melenyapkan minat
investor untuk berinvestasi di masa-masa yang akan datang.

Pada kenyataannya, memang suatu negara  tidak akan membiarkan perusahaan


multinasional untuk sertamerta masuk dan beroperasi di wilayahnya. Akan banyak
terdapat pembatasan-pembatasan. Negara Kanada misalnya, saat ini menerapkan
tingkat pajak yang lebih tinggi terhadap anak atau cabang perusahaan asing,
termasuk perusahaan patungan, dengan jumlah saham yang dikuasai warga
Kanada kurang dari 25%. India secara ketat membatasi sector-sektor industry
yang boleh menerima penanaman modal asing secara langsung. Beberapa negara
berkembang bahkan tidak memperbolehkan perusahaan yang sahamnya dikuasai
100% oleh pihak asing.

 
C. Simpulan

Perusahaan multinasional sebagai pengaruh globalisasi di abad ini tidak


akan penah bisa dihindari sebab selain banyak dikecam juga tidak salah kiranya 
disebutkan memberikan manfaat yang berguna bagi kesejahteraan bangsa. Yang
menjadi fokus pengaturan adalah bagaimana penanggulangan terhadap efek-efek
negatif yang mungkin muncul sehingga semakin memaksimalkan kesejahteraan
rakyat. Penanggulangan ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara.
Akhirnya penanggulangan ini akan memberikan pelajaran pada perusahaan
multinasional, sebagaimana yang dikatakan Brata T. Hardjosubroto ( Head of
Public Relation Nestle Indonesia ), “Reputasi buruk memberi dampak negatif
bagi suatu perusahaan multinasional. Reputasi buruk yang diterima oleh suatu
perusahaan tidak bisa mendapatkan sangsi pelanggaran hukum, tetapi
mencoreng nama baik perusahaan tersebut”. Sehingga diharapkan dengan
adanya penanggulangan ini, dengan sendirinya akan tercapai titik temu tentang
apa yang diinginkan masyarakat dengan tujuan perusahaan.

D. Daftar Pustaka

https://adinugroho5.wordpress.com/2010/11/18/dampak-dampak-negative-
perusahaan-multinasional-mnc-serta-penanggulangannya/

https://www.dosenpendidikan.co.id/lingkungan-kerja/

https://variansmakalah.blogspot.com/2015/06/makalah-manajemen-perusahaan.html

Anda mungkin juga menyukai