Anda di halaman 1dari 21

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Tentang Efisiensi

1. Pengertian Efisiensi

Secara umum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010: 138), pengertian

efisiensi adalah suatu ukuran keberhasilan sebuah kegiatan yang dinilai

berdasarkan besarnya biaya atau sumber daya yang digunakan untuk mencapai

hasil yang diinginkan. Dalam hal ini, semakin sedikit sumber daya yang

digunakan untuk mencapai hasil yang diharapkan maka prosesnya dapat

dikatakan semakin efisien. Suatu kegiatan dapat dikatakan efisien jika ada

perbaikan pada prosesnya, misalnya menjadi lebih cepat atau lebih murah.

Menurut P.Hasibuan (1984: 233), pengertian efisiensi adalah perbandingan

yang terbaik antara input (masukan) dan output (hasil antara keuntungan

dengan sumber-sumber yang dipergunakan), seperti halnya juga hasil optimal

yang dicapai dengan penggunaan sumber yang terbatas. Dengan kata lain

hubungan antara apa yang telah diselesaikan.

Efisiensi sering dilakukan pada berbagai bidang kehidupan manusia yang

tentunya memiliki tujuan sebagai alasan dilakukannya efisiensi. Secara umum,

tujuan efisiensi adalah sebagai berikut:


17

a) Untuk mencapai suatu hasil atau tujuan sesuai dengan yang diharapkan.

b) Untuk menghemat atau mengurangi penggunaan sumber daya dalam

melakukan kegiatan.

c) Untuk memaksimalkan penggunaan segala sumber daya yang dimiliki

sehingga tidak ada yang terbuang percuma.

d) Untuk meningkatkan kinerja suatu unit kerja sehingga output-nya semakin

maksimal.

e) Untuk memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan.

Dari penjelasan diatas kita mengetahui bahwa tujuan dari berbagai upaya

efisiensi adalah untuk mencapai efisiensi optimal. Efisiensi optimal adalah

perbandingan terbaik antara pengorbanan yang dilakukan untuk mendapatkan

suatu hasil yang diharapkan.

2. Konsep Efisensi

Konsep Efisiensi Publik menurut Gerring (2001: 124) menjabarkan bahwa

pendekatan formasi efisiensi publik yang biasa digunakan adalah Kaldor-Hicks

efisiensi dan  Pareto efisiensi.

1. Kaldor-Hicks Efisiensi

Kaldor-Hicks efisiensi adalah jenis efisiensi ekonomi yang berupaya untuk

memaksimalkan sumber daya sosial. Sebuah perbaikan Kaldor-Hicks adalah

setiap alternatif yang meningkatkan nilai ekonomi sumber daya sosial

sebagai berikut: Hasil Sebuah ekonomi didefinisikan sebagai efisien jika

mereka yang berpotensi memperoleh kompensasi bisa orang-orang yang

kalah dan masih memiliki sesuatu yang tersisa.


18

Jenis bentuk efisiensi alasan yang mendasari analisis biaya-manfaat. Dalam

administrasi publik, analisis biaya-manfaat digunakan untuk mengevaluasi

proyek-proyek sektor publik atau kebijakan dengan membandingkan total

biaya dengan total manfaat. Sebuah proyek administrasi publik, menurut

kriteria ini biasanya akan diberikan persetujuan untuk maju jika

didefinisikan keuntungan/manfaat  melebihi biaya yang ditetapkan. Dengan

menggunakan pendekatan ini menurut (Trebilcock 1993) dan (Adler 2000)

dapat dibenarkan dengan alasan tertentu yang diperbolehkan untuk

membuat beberapa hal lebih buruk jika hal ini menyebabkan keuntungan

yang lebih besar bagi masyarakat luas. Gagasan ini berhubungan, tetapi

terpisah dari formulasi  pembentukan efisiensi dalam administrasi publik.

2. Pareto efisiensi

Efisiensi dalam pendekatan ini beranggapan bahwa distribusi sumber daya

yang diberikan adalah efisien apabila dan hanya bila terjadi distribusi

sumber daya dengan cara realokasi yang dapat membuat setidaknya satu

orang lebih baik sementara tidak meninggalkan orang lain lebih buruk.

Situasi ini disebut sebagai Pareto optimal atau ketika hasil tertentu mustahil

adalah untuk mencapai tanpa membuat setidaknya satu orang lebih buruk

dalam situasi baru ini.


19

B. Tinjauan Tentang Kemitraan

1. Pengertian Kemitraan

Kemitraan sesungguhnya merupakan sebuah kebutuhan bagi para pihak dengan

kesamaan orientasi yang ingin menghemat energi dan menghasilkan manfaat

yang berlipat ganda. Menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2004:129) kemitraan

dilihat dari perspektif etimologis diadaptasi dari kata partnership dan berakar

dari kata partner. Partner dapat diterjemahkan sebagai pasangan, jodoh, sekutu,

kompanyon, sedangkan partnership diterjemahkan sebagai persekutuan atau

perkongsian.

Berdasarkan terjemahan dari asal katanya, kemitraan dapat dimaknai sebagai

suatu bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang membentuk suatu

ikatan kerjasama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan.

Kerjasama tersebut terjalin dalam rangka meningkatkan kapasitas dan

kapabilitas di suatu bidang usaha tertentu, atau tujuan tertentu, sehingga dapat

memperoleh hasil yang lebih baik Menurut Ketentuan Umum Peraturan

Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 terutama dalam Pasal 1.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

kemitraan adalah proses interaksi dua pihak atau lebih yang diwujudkan dalam

bentuk kerjasama. Pihak-pihak yang melakukan kemitraan meliputi berbagai

sektor seperti kelompok masyarakat, lembaga pemerintah dan lembaga non-

pemerintah. Beberapa pihak ini bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama

berdasarkan atas kesepakatan, prinsip, dan peran masing-masing.


20

2. Prinsip-prinsip Kemitraan

Terdapat 3 prinsip kunci dalam pelaksanaannya, menurut (Wibisono 2007:93)

yaitu:

a. Prinsip Kesetaraan (Equity)

Pendekatannya bukan top down atau bottom up, bukan juga berdasarkan

kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling

menghargai dan saling percaya. Untuk menghindari antagonism perlu

dibangun rasa saling percaya. Kesetaraan meliputi adanya penghargaan,

kewajiban dan ikatan.

b. Prinsip Transparansi

Transparansi diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra

kerja. Meliputi transparansi pengelolaan informasi dan transparansi

pengelolaan keuangan.

c. Saling Menguntungkan

Suatu kemitraan harus membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat.

Selain perinsip kemiraan diatas, terdapat pula prinsip kemitraan menurut

Gumbira Said dan Intan (2000:230-231) antara lain prinsip saling

ketergantungan dan saling membutuhkan, saling menguntungkan, memiliki

transparansi, memiliki azaz formal dan legal, melakukan alih pengetahuan dan

pengalaman, melakukan pertukaran informasi, penyelesaian masalah dan

pembagian keuntungan yang adil.


21

Berdasarkan beberapa prinsip kemitraan, peneliti menyimpulkan bahwa prinsip

kemitraan secara garis besar yaitu adanya kesetaraan dalam hal kedudukan,

pembagian tugas, pembagian keuntungan dan saling membutuhkan. Selain itu

adanya keterbukaan diantara sesama anggota dan saling melakukan pertukaran

informasi berbentuk ilmu pengetahuan dan pengalaman.

3. Pola Kemitraan

Dalam proses implementasinya, kemitraan yang dijalankan tidak selamanya

ideal karena dalam pelaksanaannya kemitraan yang dilakukan didasarkan pada

kepentingan pihak yang bermitra. Menurut Wibisono (dalam Astuti Pudji,

2019:126-128), Kemitraan yang dilakukan antara perusahaan dengan

pemerintah maupun komunitas/ masyarakat dapat mengarah pada tiga pola,

diantaranya:

1. Pola kemitraan kontra produktif

Pola ini akan terjadi jika perusahaan masih berpijak pada pola konvensional

yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders yaitu mengejar profit

sebesar-besarnya. Fokus perhatian perusahaan memang lebih bertumpu pada

bagaimana perusahaan bisa meraup keuntungan secara maksimal, sementara

hubungan dengan pemerintah dan komunitas atau masyarakat hanya sekedar

pemanis belaka. Perusahaan berjalan dengan targetnya sendiri, pemerintah

juga tidak ambil peduli, sedangkan masyarakat tidak memiliki akses apapun

kepada perusahaan. Hubungan ini hanya menguntungkan beberapa oknum

saja, misalnya oknum aparat pemerintah atau preman ditengah masyarakat.

Biasanya, biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan hanyalah digunakan


22

untuk memelihara orang-orang tertentu saja. Hal ini dipahami, bahwa bagi

perusahaan yang penting adalah keamanan dalam jangka pendek.

2. Pola Kemitraan Semi produktif

Dalam skenario ini pemerintah dan komunitas atau masyarakat dianggap

sebagai obyek dan masalah diluar perusahaan. Perusahaan tidak tahu

program-program pemerintah, pemerintah juga tidak memberikan iklim

yang kondusif kepada dunia usaha dan masyarakat bersifat pasif. Pola

kemitraan ini masih mengacu pada kepentingan jangka pendek dan belum

atau tidak menimbulkan sense of belonging di pihak masyarakat dan low

benefit dipihak pemerintah. Kerjasama lebih mengedepankan aspek karitatif

atau public relation, dimana pemerintah dan komunitas atau masyarakat

masih lebih dianggap sebagai objek. Dengan kata lain, kemitraan masih

belum strategis dan masih mengedepankan kepentingan sendiri (self

interest) perusahaan, bukan kepentingan bersama (commont interest) antara

perusahaan dengan mitranya.

3. Pola Kemitraan Produktif

Pola kemitraan ini menempatkan mitra sebagai subyek dan dalam

paradigma commont interest. Prinsip simbiosis mutualisme sangat kental

pada pola ini. Perusahaan mempunyai kepedulian sosial dan lingkungan

yang tinggi, pemerintah memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha

dan masyarakat memberikan dukungan positif kepada perusahaan. Bahkan

bisa jadi mitra dilibatkan pada pola hubungan resourced based patnership,

dimana mitra diberi kesempatan menjadi bagian dari shareholders. Sebagai

contoh, mitra memperoleh saham melalui stock ownership Program.


23

4. Syarat-syarat Kemitraan

Syarat-syarat prinsip kemitraan menurut Gumbira Said dan Intan (2000: 230-

231) dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Saling pengertian (common understanding)

Prinsip saling pengertian ini dikembangkan dengan cara meningkatkan

pemahaman yang sama mengenai lingkungan, permasalahan lingkungan,

serta peranan masing-masing komponen. Selain aspek lingkungan yang

mungkin sangat baru bagi para pelaku pembangunan, juga pemahaman diri

mengenai fungsi dan peranan masing-masing aktor penting. Artinya masing-

masing aktor harus dapat memahami kondisi dan posisi komponen yang

lain, baik pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat.

b. Kesepakatan bersama (mutual agreement)

Kesepakatan bersama adalah aspek yang penting sebagai tahap awal dari

suatu kerjasama yang baik antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Kesepakatan ini hanya dapat diraih dengan adanya saling pengertian seperti

yang disebutkan di atas. Hal ini merupakan dasar-dasar untuk dapat saling

mempercayai dan saling memberi diantara para pihak yang bersangkutan.

c. Tindakan bersama (collective action)

Tindakan bersama ini adalah tekad bersama-sama dimana cara yang

dilakukan tentu berbeda antara pihak yang satu dengan pihak yang lain

tetapi tujuannya sama.


24

5. Model-model dan Jenis Kemitraan

Secara umum menurut Notoadmodjo (2007:194) model kemitraan dapat

dikelompokkan menjadi dua yaitu:

a. Model I

Model kemitraan yang paling sederhana adalah dalam bentuk jaring kerja

(networking) atau building linkages. Kemitraan ini berbentuk jaringan kerja

saja. Masing-masing mitra memiliki program tersendiri mulai dari

perencanaannya, pelaksanaannya hingga evalusi. Jaringan tersebut terbentuk

karena adanya persamaan pelayanan atau sasaran pelayanan atau

karakteristik lainnya.

b. Model II

Kemitraan model II ini lebih baik dan solid dibandingkan model I. Hal ini

karena setiap mitra memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap

program bersama. Visi, misi, dan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan

kemitraan direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi bersama.

Menurut Sulistiyani (2004:74) terdapat 3 model kemitraan yang mampu

menggambarkan hubungan antar organisasi, yakni :

a. Pseudo partnership atau kemitraan semu

Kemitraan semu merupakan sebuah persekutuan yang terjadi antara dua

pihak atau lebih, namun tidak sesungguhnya melakukan kerjasama secara

seimbang satu dengan yang lainnya. Bahkan pada suatu pihak belum tentu

memahami secara benar akan makna sebuah persekutuan yang dilakukan,

dan untuk tujuan apa itu semua serta disepakati. Ada suatu yang unik
25

dalam kemitraan semacam ini, bahwa kedua belah pihak atau lebih sama-

sama merasa penting untuk melakukan kerjasama, akan tetapi pihak-pihak

yang bermitra belum tentu memahami substansi yang diperjuangkan dan

manfaatnya apa.

b. Mutualism partnership atau kemitraan mutualistik.

Kemitraan mutualistik adalah merupakan persekutuan dua pihak atau lebih

yang sama-sama menyadari aspek pentingnya melakukan kemitraan, yaitu

untuk saling memberikan manfaat dan mendapatkan manfaat lebih,

sehingga akan dapat mencapai tujuan secara optimal.

c. Conjugation partnership atau kemitraan melalui peleburan dan

pengembangan.

Kemitraan konjugasi adalah kemitraan untuk mendapatkan energi dan

kemudian terpisah satu sama lain, dan selanjutnya dapat melakukan

pembelahan diri. Maka organisasi, agen-agen, kelompok-kelompok atau

perorangan yang memiliki kelemahan di dalam melakukan usaha atau

mencapai tujuan organisasi dapat melakukan kemitraan model ini. Dua

pihak atau lebih dapat melakukan konjugasi dalam rangka meningkatkan

kemampuan masing-masing.

6. Ruang Lingkup Kemitraan

Ruang lingkup kemitraan secara umum meliputi pemerintah, dunia usaha,

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Organisasi Masyarakat (ORMAS),

serta kelompok profesional. Menurut Notoatmodjo (2007:91) dalam


26

Departemen Kesehatan RI (2004) secara lengkap menggambarkan ruang

lingkup kemitraan dengan diagram sebagai berikut:

Gambar 1. Bagan Ruang Lingkup Kemitraan

7. Indikator Keberhasilan Kemitraan

Untuk dapat mengetahui keberhasilan pengembangan kemitraan diperlukan

adanya indikator yang dapat diukur. Dalam penentuan indikator sebaiknya

dipahami prinsip-prinsip indikator yaitu : spesifik, dapat diukur, dapat dicapai,

realistis, dan tepat waktu. Sedangkan pengembangan indikator melalui


27

pendekatan program menurut Ditjen P2L & PM (dalam Yanti Andi, 2009:174)

dijelaskan sebagai berikut:

Input Proses Output Outcome

Sumber: Yanti Andi (200:174)

Gambar 2. Indikator Keberhasilan Kemitraan

1. Indikator input

Tolok ukur keberhasilan input dapat diukur dari tiga indikator, yaitu:

a) Terbentuknya tim wadah atau sekretariat yang ditandai dengan adanya

kesepakatan bersama dalam kemitraan.

b) Adanya sumber dana/biaya yang memang diperuntukkan bagi

pengembangan kemitraan.

c) Adanya dokumen perencanaan yang telah disepakati oleh institusi

terkait.

Hasil evaluasi terhadap input dinilai berhasil apabila adanya ketiga tolok

ukur di atas

2. Indikator proses

Tolok akur keberhasilan proses dapat diukur dari indikator sebagai

frekuensi dan kualitas pertemuan tim atau sesuai kebutuhan. Hasil evaluasi

terhadap proses nilai berhasil, apabila tolok ukur tersebut terbukti adanya

yang dilengkapi dengan agenda pertemuan, daftar hadir dan notulen hasil

pertemuan.

3. Indikator output
28

Tolok ukur keberhasilan output dapat diukur dari indikator sebagai berikut:

jumlah kegiatan yang dikerjakan oleh institusi terkait sesuai dengan

kesepakatan peran masing-masing institusi. Hasil evaluasi terhadap output

dinilai berhasil, apabila tolok ukur tersebut diatas terbukti ada.

4. Indikator Outcome

Tolok ukur keberhasilan outcome adalah menurunnya angka permasalahan

yang terjadi.

8. Skema Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)

mengembangkan Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) Kota Bandar

Lampung yang akan melayani 300.000 jiwa penduduk di 8 Kecamatan di

wilayah Kota Bandar Lampung. Pembangunan SPAM Bandar Lampung

menggunakan skema Kerja sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) dengan

total perkiraan nilai investasi sebesar Rp 1,26 trilyun. Proyek  SPAM ini

merupakan salah satu proyek strategis nasional (PSN) yang bertumpu pada

kolaborasi sinergis antara Kementerian PUPR dengan Kementerian Keuangan,

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Pemerintah Kota Bandar

Lampung, PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung, dan PT. Penjaminan

Infrastruktur Indonesia (PT.PII).

Penandatanganan perjanjian kerja sama proyek ini telah dilakukan  pada 14

Februari 2018 antara PDAM Way Rilau dan PT. Adya Tirta Lampung sebagai

badan usaha pemenang lelang. Kementerian PUPR melalui BPPSPAM

bersama dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) juga memberikan


29

dukungan memberikan pendampingan dalam rangka peningkatan kapasitas

Tim KPBU dan Panitia Pengadaan Badan Usaha SPAM Kota Bandar

Lampung.

Investasi  pembangunan SPAM Bandar Lampung akan digunakan untuk

pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan SPAM  yang mencakup intake

dengan kapasitas 825 liter/detik untuk pengambilan air baku, Instalasi

Pengolahan Air (IPA) dengan kapasitas produksi 750 liter/detik, pembangunan

pipa transmisi diameter 1.000 mm sepanjang 22 km, reservoir dengan kapasitas

10.000m³ dan pembangunan sebagian jaringan distribusi untuk sistem

pemompaan (jaringan distribusi utama dan jaringan distribusi pembawa).

Untuk memenuhi besaran tarif air minum SPAM Kota Bandar Lampung yang

terjangkau bagi masyarakat, Kementerian Keuangan memberikan Dukungan

Kelayakan (VGF) sebesar Rp 258,8 milyar. Kementerian PUPR melalui Ditjen

Cipta Karya memberikan dukungan konstruksi berupa pembiayaan dan

pembangunan pipa jaringan distribusi utama sistem gravitasi. Selain itu,

Kementerian PUPR melalui Ditjen Bina Marga juga memberikan dukungan

perizinan dan penempatan pipa di Ruang Milik Jalan (Rumija) pada jalan

nasional dari Desa Relung Helok Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Selatan dan perizinan untuk konstruksi bangunan intake dan penerbitan Surat

Ijin Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan (SIPPA) dari Ditjen Sumber

Daya Air.

Selain PT Adhya Tirta Lampung ditunjuk sebagai pelaksana tugas, ada pula

badan usaha lain yang terlibat dalam proyek Kerja Sama Pemerintah dan
30

Badan usaha (KPBU) ini. Diantaranya PT Kogas Driyap Konsultan sebagai

konsultan pengawas dan PT Bangun Cipta Kontraktor selaku badan usaha yang

menjadi kontraktor pelaksana dalam proyek ini.

C. Air Minum sebagai Barang Publik

Air merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Dasar hukum yang

mengatur terkait pemenuhan kebutuhan air adalah UUD 1945 Pasal 33 yang

mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar besarnya bagi

kemakmuran rakyat. Menurut Sadyohutomo (dalam Aslamiyah 2014:89), air

bersih merupakan kebutuhan vital setiap manusia, sehingga ketersediaannya

menentukan derajat kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat pada

kenyataannya, keterbatasan penyediaan air bersih erat kaitannya dengan

penyebab kemiskinan, karena kemiskinan juga disebabkan oleh masalah

kesehatan.

Ada kecenderungan yang sangat kuat bahwa ketika air berlimpah ruah seperti

pada musim penghujan, kebanyakan orang kurang bahkan tidak menghargai

air. Selain cenderung boros dalam menggunakan air, mereka juga sering

membiarkan sampah mengotorinya dan tidak memikirkan kelestarian sumber

air dengan memotong pepohonan sesuka hatinya. Namun demikian setelah

ketersediaan air bersih semakin berkurang akibat kemarau panjang, akibat

jumlah penduduk yang terus bertambah, akibat perkampungan yang semakin

padat dan akibat industri yang menggunakan air dalam jumlah besar terus

meningkat, umumnya, mereka baru menyadari betapa pentingnya air bersih


31

bagi kehidupan mereka. Penyediaan air bersih harus aman, higenis, tidak

berbau, tidak berwarna dan tidak mengandung zat-zat berbahaya agar aman

dikonsumsi.untuk itu, air yang dapat dikonsumsi harus memenuhi persyaratan

kualitas air bersih yang terdiri dari:

1. Persyaratan Fasis Kualitas fasis yang harus perlu dilihat dari segi kesehatan,

kenyamanan, estetika dan penerimaan masyarakat. adapun batasan kualitas

fasis air bersih antara lain: Tidak berbau dan tidak berasa Temperatur 10-

250C Tidak berwarna Rasa segar dan tidak memberikan rasa lain

Kekeruhan turbidity 1 mg/SiO2

2. Persyaratan kimiawi Kandungan unsur kimia di dalam air haruslah

mempunyai kadar dan tingkat konsentrasi tertentu yang tidak mengandung

unsur-unsur yang bersifat racun sehingga dapat mengganggu kesehatan,

menimbulkan gangguan pada aktivitas manusia dan merupakan indikator

pengotoran.

3. Persyaratan Bakterologis Dalam persyaratan ini ditentukan batasan tentang

jumlah bakteri dan kuman-kuman penyakit atau bakteri golongan coli yang

masih bisa ditolelir kandungan dalam air.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendeklarasikan

akses terhadap air bersih dan sanitasi sebagai hak asasi manusia. Deklarasi ini

dipastikan dalam sidang umum PBB yang berlangsung pada akhir bulan Juli

2010, melalui proses voting 122 negara mendukung dan 41 negara

menyatakan abstain. Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung

deklarasi ini. Resolusi ini semakin mempertegas dan memperluas pengakuan


32

tentang betapa pentingnya akses terhadap air bersih dan sanitasi. Sebelumnya

pada Tahun 2000, para pemimpin dunia juga bersepakat untuk memasukkan

akses terhadap air bersih dan sanitasi sebagai salah target dalam Millenium

Development Goals (MDGs) yang harus dicapai pada Tahun 2015.

Keperihatinan dunia akan persoalan air bersih dan sanitasi setidaknya

didasarkan atas fakta bahwa masih banyak penduduk dunia (terutama

penduduk miskin) yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi.

Menurut World Health Organization (WHO), (dalam Santono 2010:2)

sampai dengan Tahun 2008 sedikitnya 900 juta penduduk dunia tidak

memiliki akses terhadap air bersih yang baik dan 2,6 milyar penduduk dunia

belum memiliki akses terhadap sanitasi. Menurut Santono (2010:3), lemahnya

pengelolaan lingkungan di Indonesia, memberikan dampak negatif terhadap

sektor air bersih dan sanitasi.

Terbatasnya ketersediaan air baku menjadi salah satu masalah yang dihadapi

dalam penyediaan layanan air bersih di Indonesia. Berdasarkan laporan

Bappenas (dalam Santono 2010: 3), jumlah rumah tangga yang memiliki

akses terhadap air bersih yang layak sebanyak 47,71% dan rumah tangga

yang memiliki akses sanitasi sebanyak 51,19%. Target yang ingin dicapai

Indonesia pada tahun 2015 sebesar 68,87% untuk air bersih dan 62,41%

untuk sanitasi. Tabel 3 di bawah ini memberikan gambaran pencapaian

Indonesia khususnya di sektor air bersih.


33

Tabel 3. Akses Masyarakat terhadap Air Bersih di Indonesia

Progress on Drinking Progress on Drinking


Laporan MDGs Tahun
Water and Sanitation 2008 Water and Sanitation
2010 (Bappenas)
(Unicef, WHO) 2010 (Unicef, WHO)

Perkotaan Pedesaan Air Sumber air Air Sumber Air


(%) (%) terlindungi Perpipaan Terlindungi
Perpipaan (%) (%)
(%) (%)

49,8 45,72 20 60 23 57

Sumber: Santono (2010:4)

Berdasarkan tabel 3 diatas terlihat bahwa, terdapat perbedaan antara laporan

yang diterbitkan oleh Unicef dan WHO dengan laporan yang diterbitkan oleh

UNESCAP, ADB, dan UNDP serta laporan yang dibuat oleh Bappenas.

Laporan yang disusun oleh UNICEF dan WHO baik pada tahun 2008 maupun

2010 menunjukkan bahwa 80% penduduk Indonesia telah memliki akses

terhadap air bersih. Sedangkan laporan ADB meskipun tidak menyebutkan

angka, menunjukkan bahwa Indonesia berada pada off track untuk tercapainya

MDGs air bersih dan sanitasi. Jika dilihat lebih dalam lagi, semua laporan

tersebut menunjukkan rendahnya akses masyarakat Indonesia terhadap air

perpipaan, padahal air perpipaan dipandang sebagai air yang memiliki kualitas

yang dapat diandalkan dan lebih sehat dibandingkan dengan sumber air

lainnya. Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, dapat dikatakan

Indonesia masih tertinggal, kecuali jika dibandingkan dengan Kamboja dan

Malaysia misalnya, akses masyarakat terhadap air bersih telah mencapai 100%,

dimana 97% berasal dari air perpipaan. Demikian pula dengan Thailand yang

akses air bersihnya telah mencapai 98%.


34

Dapat dikatakan air adalah kebutuhan pokok yang seharusnya mudah

didapatkan tanpa perlu mengeluarkan uang lebih, namun sekarang air bersih

dan air minum sudah banyak di perjual belikan ini menjadi bukti bahwa

pemenuhan air bersih dan air minum oleh pemerintah masih kurang. Adanya

SPAM Jaringan Perpipaan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat

akan air bersih maupun air minum dengan menjamin kualitas dan kuatitas air

yang dihasilkan.

D. Kerangka Fikir

Konsep good governance yang saat ini coba diterapkan di Indonesia, memiliki

paradigma baru tentang tata kelola pemerintahan. Tata kelola pemerintahan

yang baik dimana konsep ini mengurangi peran pemerintah dalam menjalankan

tugasnya. Berkurangnya peran pemerintah diikuti dengan berperannya swasta

dan pemerintahan. Ini yang menjadikan pemerintah-swasta saat ini bersama-

sama menjalankan perannya untuk pembangunan. Bila pemerintah memiliki

good governance, dalam dunia usaha atau korporasi ada good corporate

governance. Good corporate governance merupakan salah satu bentuk

implementasi good governance di bidang korporasi. Konsep good corporate

governance inilah yang menjadi acuan korporasi dalam menjankan perannya

saat ini bersama-sama pemerintah dan masyarakat. Salah satu dari prinsip good

corporate governance yang sangat berkaitan dengan menjalankan perannya

dalan membantu pemerintah dibidang pembangunan adalah tanggung jawab.

Baik atau buruknya sebuah kemitraan ini akan berdampak pada pelaksanaan

kebijakan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pola kemitraan menurut


35

Wibisono (dalam Astuti Pudji, 2019:126-128), Kemitraan yang dilakukan

antara perusahaan dengan pemerintah maupun komunitas/ masyarakat dapat

mengarah pada tiga pola, diantaranya:

1. Pola Kemitraan Kontra Produktif

2. Pola kemitraan Semi Produktif

3. Pola Kemitraan Produktif

Pola-pola di atas dapat terlibat dari peran masing-masing aspek:

1. Aspek Kebijakan, Kementrian PUPR Sebagai Pembuat program

pembangunan Proyek SPAM.

2. Aspek Mitra, PT. Adhiya Tirta Lampung sebagai mitra Pemerintah Kota

Bandar Lampung yang melaksanakan pembangunan proyek SPAM Kota

Bandar Lampung.

3. Aspek Implementasi, Masyarakat yang merasakan dampak pada

pembangunan SPAM Kota Bandar Lampung.

Selain melihat pola kemitraan yang dijalankan oleh pemerintah dengan PT.

Adhya tirta Lampung, peneliti juga melihat efisensi dari pelaksanaannya

menggunakan pengembangan indikator melalui pendekatan program menurut

Ditjen P2L & PM (dalam Yanti Andi, 2009:174) dijelaskan bawha ada empat

indikator yang dilihat berupa, indikator Input, Proses, Output, dan indikator

berupa Outcome.

Oleh karena itu, program SPAM dapat tersusun sesuai dengan kebutuhan,

sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai. Uraian di atas

menjadi alur kerangka pikir dalam penelitian ini yang dapat diilustrasikan

dengan gambar berikut ini:


36

Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha


(KPBU) SPAM Way Rilau
Aspek Kebijakan
Peran pemerintah
dalam perancangan
proyek SPAM

Aspek Mitra Pola Kemitraan


Peran Badan Usaha  Kontra Produktif
dalam  Semi Produktif
pembangunan  Produktif
proyek SPAM

Aspek
Implementasi
Eisiensi kemitraan
Masyarakat yang
Pemerintah dengan
merasakan dampak
Badan Usaha
dari pembangunan
SPAM di Kota
Bandar Lampung

Indikator Keberhasilan Kemitraan

Input Proses Output Outcome

Efisiensi pola kemitraan Pemerintah dengan PT Adhya Tirta Lampung


dalam proyek Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Kota
Bandar Lampung

Sumber: Diolah Oleh Peneliti Tahun 20019

Gambar 3. Bagan Kerangka Pikir

Anda mungkin juga menyukai