Anda di halaman 1dari 9

RINGKASAN MATAKULIAH

AKUNTANSI KEBERLANJUTAN

PONDASI TEORITIS RISET-RISET DI BIDANG PENGUNGKAPAN CSR


DAN SUSTAINABILITY REPORTING

Kelompok 1:
NI KADEK DWITA DEASRI (1807531012 / 01)
NI KADEK WINDA ARDIYANI (1807531030 / 02)
NI MADE DIAN KEMALA RATIH PALGUNADI (1807531045 / 03)

Kelas : EKA463 C1

Dosen Pengampu : Dr. I Gusti Ayu Nyoman Budiasih, S.E., M.Si

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI REGULER


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021

1
Pokok Bahasan :
1. Legitimacy Theory
2. Stakeholder Theory
3. Voluntary Disclosure Theory
4. Teori lainnya (New Institutional Theory)

PEMBAHASAN
1. LEGITIMACY THEORY
Dikutip dari Rokhlinasari (2016), teori legitimasi menyatakan bahwa
organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin operasi mereka
berada dalam batas dan norma yang berlaku di masyarakat. Dalam perspektif teori
legitimasi, suatu perusahaan akan secara sukarela melaporkan aktifitasnya jika
manajemen menganggap bahwa hal ini adalah yang diharapkan komunitas. Teori
legitimasi bergantung pada premis bahwa terdapat ’kontrak sosial’ antara
perusahaan dengan masyarakat di mana perusahaan tersebut beroperasi. Kontrak
sosial adalah suatu cara untuk menjelaskan sejumlah besar harapan masyarakat
tentang bagaimana seharusnya organisasi melaksanakan operasinya. Harapan
sosial ini tidak tetap, namun berubah seiring berjalannya waktu. Hal ini menuntut
perusahaan untuk responsif terhadap lingkungan di mana mereka beroperasi. Jika
perusahaan merasa bahwa legitimasinya dipertanyakan maka dapat mengambil
beberapa strategi perlawanan, yaitu:
1. Perusahaan dapat berupaya untuk mendidik dan menginformasikan kepada
stakeholder-nya mengenai perubahan yang terjadi dalam perusahaan.
2. Perusahaan dapat berupaya untuk merubah pandangan stakeholder tanpa
mengganti perilaku perusahaan.
3. Perusahaan dapat berupaya untuk memanipulasi persepsi stakeholder dengan cara
membelokkan perhatian stakeholder dari isu yang menjadi perhatian kepada isu
lain yang berkaitan dan menarik.

2
4. Perusahaan dapat berupaya untuk mengganti dan mempengaruhi harapan pihak
eksternal tentang kinerja (performance) perusahaaan.
Dalam teori legitimasi, organisasi harus secara berkelanjutan
menunjukkan telah beroperasi dalam perilaku yang konsisten dengan nilai
social. Hal ini seringkali dapat dicapai melalui pengungkapan (disclosure)
dalam laporan perusahaan. Organisasi dapat menggunakan disclosure untuk
mendemonstrasikan perhatian manajemen akan nilai sosial, atau untuk
mengarahkan kembali perhatian komunitas akan keberadaan pengaruh negatif
aktifitas organisasi. Sejumlah studi terdahulu melakukan penilaian atas
pengungkapan lingkungan sukarela laporan tahunan dan memandang
pelaporan informasi lingkungan dan sosial sebagai metode yang digunakan
organisasi untuk merespon tekanan public. Berdasarkan kajian tentang teori
legitimasi, dapat disimpulkan bahwa teori tersebut memiliki penekanan yang
berbeda tentang pihak-pihak yang dapat mempengaruhi luas pengungkapan
informasi di dalam laporan keuangan perusahaan. Teori legitimasi
menempatkan persepsi dan pengakuan publik sebagai dorongan utama dalam
melakukan pengungkapan suatu informasi di dalam laporan keuangan.

2. STAKEHOLDER THEORY
Hal pertama mengenai Stakeholder Teory atau teori stakeholder yaitu
menyatakan bahwa stakeholder merupakan sistem yang secara eksplisit berbasis pada
pandangan tentang suatu organisasi dan lingkungannya, mengenai sifat saling
memengaruhi antara keduanya yang kompleks dan dinamis. Stakeholder dan
organisasi saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat dari hubungan sosial keduanya
yang berbentuk responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena itu organisasi memiliki
akuntabilitas terhadap stakeholdernya. Menurut Ghazali dan Chariri (2007:409),
Teori Stakeholder merupakan teori yang menyatakan bahwa perusahaan bukanlah
entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun harus memberikan
manfaat kepada seluruh stakeholder-nya seperti pemegang saham, kreditor,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain. Dengan

3
demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang
diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Tujuan utama dari
teori stakeholder adalah untuk membantu manajemen perusahaan dalam
meningkatkan penciptaan nilai sebagai dampak dari aktivitas-aktivitas yang
dilakukan dan meminimalkan kerugian yang mungkin muncul bagi stakeholder.
Premis dasar dari teori stakeholder adalah bahwa semakin kuat hubungan
korporasi, maka akan semakin baik bisnis korporasi. Sebaliknya, semakin buruk
hubungan korporasi maka akan semakin sulit. Hubungan yang kuat dengan para
pemangku kepentingan adalah berdasarkan kepercayaan, rasa hormat, dan kerjasama.
Teori stakeholder adalah sebuah konsep manajemen strategis yang mana tujuan nya
adalah untuk membantu korporasi dalam memperkuat hubungan dengan kelompok -
kelompok eksternal dan mengembangkan keunggulan kompetitif. Salah satu
tantangan pertama bagi korporasi adalah untuk mengidentifikasi:
1. Pemegang saham dan investor yang menginginkan hasil optimal atas investasi
mereka.
2. Karyawan ingin tempat kerja yang aman, gaji yang kompetitif, dan keamanan
kerja.
3. Pelanggan menginginkan barang dan jasa berkualitas dengan harga yang
wajar.
4. Masyarakat setempat ingin investasi masyarakat.
5. Regulator ingin sesuai dengan peraturan yang berlaku
Meskipun teori stakeholder mampu memperluas perspektif pengelolaan
perusahaan dan menjelaskan dengan jelas hubungan antara perusahaan
dengan stakeholder, teori ini juga memiliki kelemahan. Gray et al (1997) mengatakan
bahwa kelemahan dari teori stakeholder terletak pada fokus teori tersebut yang hanya
tertuju pada cara-cara yang digunakan perusahaan dalam mengatur stakeholder-nya.
Perusahaan hanya diarahkan untuk mengidentifikasi stakeholder yang dianggap
penting dan berpengaruh serta memiliki perhatian terhadap perusahaan akan
diarahkan pada stakeholder yang dianggap bermanfaat bagi perusahaan. Mereka
yakin bahwa teori stakeholder mengabaikan pengaruh masyarakat luas (society as a

4
whole) terhadap penyediaan informasi dalam pelaporan keuangan (Ghozali dan
Chariri, 2007:411).

3. VOLUNTARY DISCLOSURE THEORY


Voluntary disclosure atau pengungkapan sukarela yaitu penyampaian
informasi yang diberikan secara sukarela oleh perusahaan di luar pengungkapan
wajib. Pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan informasi yang melebihi
persyaratan minimum dari peraturan pasar modal yang berlaku. Perusahaan memiliki
keleluasaan dalam melakukan pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan
sehingga menimbulkan adanya keragaman atau variasi luas pengungkapan sukarela
antar perusahaan.
Pengungkapan sukarela merupakan salah satu cara meningkatkan kredibilitas
pelaporan keuangan perusahaan dan untuk membantu investor dalam memahami
strategi bisnis perusahaan (Healy, Palepu, 1993 dalam Sotomo, 2004). Dalam konteks
pengungkapan sukarela manajemen perusahaan bebas memilih untuk memberikan
informasi akuntansi lainnya yang dianggap relevan dalam mendukung pengambilan
keputusan oleh pemakai laporan tahunan (Meek, Gary K, Clare B. Robert dan Sidney
J. Gray, 1995 dalam Sutomo, 2004).
Pertimbangan manajemen untuk mengungkapkan informasi secara sukarela
dipengaruhi oleh faktor biaya dan manfaat. Manajemen akan mengungkapkan
informasi secara sukarela jika manfaat yang diperoleh lebih besar daripada biayanya.
Manfaat utama yang diperoleh perusahaan dari pengungkapan sukarela adalah biaya
modal yang rendah (Elliot, Robert K. dan Jacobson, Peter D, 1994 dalam Sutomo,
1994). Pengungkapan informasi oleh perusahaan diharapkan akan membantu investor
dan kreditor memahami risiko investasi.
Biaya pengungkapan informasi oleh perusahaan dapat digolongkan ke dalam
biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya pengungkapan langsung adalah biaya
yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengembangkan dan menyajikan informasi.
Biaya-biaya tersebut meliputi biaya pengumpulan, biaya pemrosesan, biaya
pengauditan dan biaya penyebaran informasi. Biaya pengungkapan tidak langsung

5
adalah biaya-biaya yang timbul akibat diungkapkannya atau tidak diungkapkannya
informsi. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya litigasi dan proprietary cost (biaya
competitive disadvantage dan biaya politik). Biaya litigasi timbul karena
pengungkapan informasi yang tidak mencukupi atau pengungkapan informasi yang
menyesatkan. Biaya politik terjadi bila praktik pengungkapan perusahaan memicu
regulasi oleh pemerintah. Kerugian persaingan dari pengungkapan informasi terjadi
bila informasi yang diungkapkan melemahkan daya saing perusahaan karena
informasi tersebut digunakan pesaing untuk memperkuat daya saing mereka.
Manajer menyediakan item-item pengungkapan sukarela dalam laporan
tahunan perusahaan karena mereka mempersepsikan bahwa item-item tersebut
penting untuk diungkap. Ada beberapa kelompok user yang masing-masing memiliki
persepsi berkenaan dengan item-item pengungkapan sukarela. Satu kelompok user
mungkin mempersepsikan item A lebih penting daripada item B. Sebaliknya mungkin
kelompok user lain mempersepsikan item B lebih penting daripada item A. Perbedaan
persepsi ini di antara group users mungkin disebabkan oleh perbedaan kebutuhan
informasi untuk memenuhi tujuan spesifik mereka. Situasi ini memunculkan
penelitian yang bertujuan:
• mengidentifikasi item-item pengungkapan sukarela yang biasanya disajikan
dalam laporan tahunan perusahaan yang terdaftar di bursa efek.
• menentukan item-item pengungkapan sukarela yang penting dari persepsi
users dan prepares (penyedia laporan keuangan).
• menentukan tingkat konsensus antara users dan prepares atas pengungkapan
sukarela yang penting.

4. NEW INSTITUTIONAL THEORY


Neoinstitutional Theory menurut Scott (2008), adalah tentang bagaimana
menggunakan pendekatan kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi.
Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan
etnometodologi.Ada 3 elemen analisis yang membangun kelembagaan walau kadang-
kadang ada yang dominan, tapi elemen-elemen tersebut saling mengkombinasi.

6
Ketiganya datang dari perbedaan cara pandang terhadap sifat realitas sosial dan
keteraturan sosial dalam tradisi sosiologi sebelumnya . Lebih jauh Scott (2008)
menjelaskan tentang adanya 3 pilar dalam perspektif kelembagaan baru. Pertama,
pilar regulatif (regulative pillar), yang bekerja pada konteks aturan (rule setting),
monitoring, dan sanksi. Hal ini berkaitan dengan kapasitas untuk menegakkan aturan,
serta memberikan reward dan pusnishment. Cara penegakkannya melalui mekanisme
informal (folkways) dan formal (kebijakan dan pengadilan). Meskipun pilar tersebut
bekerja melalui represi dan pembatasan (constraint), namun disadari bahwa
kelembagaan dapat memberikan batasan sekaligus kesempatan (empower) terhadap
individu di dalamnya. Individu tersebut yang berada dalam konteks ini dipandang
akan memaksimalkan keuntungan. Karena itulah kelembagaan ini disebut pula
dengan kelembagaan regulatif (regulative institution) dan kelembagaan pilihan
rasional (rational choice institution). Kedua, pilar normatif (normative pillar). Dalam
pandangan ini, norma menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan
tanggung jawab dalam kehidupan sosial.
Dalam pilar ini dicakup nilai (value) dan norma. Norma berguna untuk
memberi pedoman pada individu apa tujuan yang ingin dicapai (goal and objectives),
serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian ini seringkali disebut dengan
kelembagaan normatif (normative institution) dan kelembagaan historis (historical
institutionalism). Inilah yang sering disebut sebagai teori “ kelembagaan yang asli”.
Ketiga, pilar kultural-kognitif (cultural-cognitive pillar). Inti dari pilar ini adalah
bahwa manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai
(meaning) dunia dan lingkungannya.
Menurut Scott dan Meyer (1994), elemen teori institusional adalah institusi,
organisasi dan pelaku.Institusi memberikan aturan-aturan yang harus diikuti oleh
organisasi dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya dan dalam keterlibatannya dalam
persaingan. Institusi juga akan mempengaruhi perilaku dan pandangan yang dimiliki
oleh para pelaku dalam organisasi secara individual. Namun para pelaku juga
mempengaruhi institusi dengan cara membuat atau melakukan transformasi pada
institusi yang telah ada menjadi bentuk institusi baru. Dengan demikian institusi

7
memberikan pilihan-pilihan tindakan yang merupakan batasan yang harus dihadapi
pelaku dalam pengambilan keputusan.
Menurut NIT, ada dua jenis lingkungan yang harus dihadapi sebuah
organisasi, yaitu lingkungan teknis dan lingkungan institusional. Lingkungan teknis
adalah lingkungan dimana barang dan jasa diproduksi dan dipertukarkan dalam pasar,
dan juga merupakan lingkungan dimana organisasi menerima legitimasi untuk
efisiensi yang dilakukannya. Sedangkan lingkungan institusional merupakan
kolaborasi antara nilai-nilai sosial dan budaya yang harus dipenuhi agar organisasi
dapat memperoleh legitimasi untuk dapat bertahan. Karenanya, dalam m enganalisis
lingkungan organisasi, maka fokusnya perlu meliputi pihak-pihak yang melakukan
pertukaran secara institusi (misal badan pembuat undang-undang, organisasi politik
dan sosial, organisasi profesi, dan sebagainya). Seringkali lingkungan teknis dan
institusional tidak dapat dipisahkan dengan mudah.
Agar suatu organisasi dapat menjadi efisien secara teknis, perusahaan tersebut
harus memperhatikan lingkungan institusional dimana dia berada dan memperoleh
legitimasi darinya untuk dapat bertahan dalam jangka panjang. Scott (1995)
menunjukkan bahwa, untuk bertahan hidup, organisasi harus mematuhi aturan-aturan
dan sistem kepercayaan yang berlaku di lingkungan, karena isomorphism
kelembagaan, baik struktural dan prosedural, akan mendapatkan legitimasi organisasi.
Perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai negara dengan
berbagai lingkungan kelembagaan akan menghadapi berbagai tekanan. Beberapa dari
tekanan di rumah tuan rumah dan lingkungan kelembagaan yang bersaksi untuk
mengerahkan pengaruh mendasar pada strategi kompetitif dan praktik manajemen
sumber daya manusia.

8
DAFTAR PUSTAKA

_. (th). Stakeholder Teory. Dikutip dari


http://repository.radenintan.ac.id/1201/3/BAB_II.pdf . Diakses pada tanggal 7
Maret 2021.
_. (th). Stakeholder Teory. Dikutip dari http://www.skripsi.id/2015/03/teori-
stakeholder.html. Diakses pada tanggal 7 Maret 2021.
Kusumawardani, A., Setiawati, L., Irwansyah, & Ginting, Y. L. (2017). Urgensi
Akuntan Sosial Dan Lingkungan :Perspektif Institusional. Profesionalisme
Akuntan Menuju Sustainable Business Practice Bandung. hal 939-948.
Rokhlinasari, S. (2016). Teori-teori dalam Pengungkapan Informasi Corporate Social
Responbility Perbankan. Al-Amwal: Jurnal Ekonomi dan Perbankan
Syari'ah, 7(1).
Wahyudi, I. (2017). CSR Disclosure- Legitimacy Dan Perubahan Retorika. Jurnal
Akuntansi & Auditing Indonesia, Vol. 21 No. 1, hal 71 - 80.

Anda mungkin juga menyukai