Anda di halaman 1dari 15

RINGKASAN MATAKULIAH

AKUNTANSI KEBERLANJUTAN
PERSPEKTIF HISTORIS CSR, SUSTAINABLE DEVELOPMENT DAN
SUSTAINABILITY ACCOUNTING

Kelompok 1:
NI KADEK DWITA DEASRI (1807531012 / 01)
NI KADEK WINDA ARDIYANI (1807531030 / 02)
NI MADE DIAN KEMALA RATIH PALGUNADI (1807531045 / 03)

Kelas : EKA463 C1

Dosen Pengampu : Dr. I Gusti Ayu Nyoman Budiasih, S.E., M.Si

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI REGULER


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
Pokok Bahasan :
1. Perspektif Historis Pemikiran Corporate Social Responsibility
2. Perspektif Historis Pemikiran Sustainable Development
3. Perspektif Historis Pemikiran Sustainability Accounting
PEMBAHASAN
I. PERSPEKTIF HISTORIS PEMIKIRAN CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY
CSR yang kini kian marak diimplementasikan berbagai macam
perusahaan, mengalami evolusi dan metamorphosis dalam rentang waktu yang
cukup lama.
Tahun 1700 SM
Dari beberapa artikel dituliskan dalam Kode Hammurabi (1700 -an SM)
yang berisi ratusan hukum kurang lebih ada 282 hukum yang memerikan sanksi
bagi para pengusaha yang menyebabkan kematian bagi pelangganya. Pada Kode
Hammurabi dijelaskan bahwa akan diberikan hukuman mati kepada orang yang
mememiliki ijin memproduksi makanan minuman namun memberikan pelayanana
yang buruk serta melakukan pembangunan dibawah kualitas standar.
1930 fenomena Tanggung Jawab Moral
Pada waktu ini banyak protes yang muncul dari masyarakat akibat ulah
perusahaan yang tidak mempedulikan masyarakat sekitarnya. Segala sesuatu
hanya diketahui oleh perusahaan. Ditambah kenyataan bahwa pada saat itu telah
terjadi resesi dunia secara besar-besaran yang mengakibatkan pengangguran dan
banyak perusahaan yang bangkrut. Pada masa ini dunia berhadapan dengan
kekurangan modal untuk input produksinya. Buruh terpaksa berhenti bekerja,
pengangguran sangat meluas dan merugikan pekerjannya. Saat itu timbul
ketidakpuasan terhadap sikap perusahaan yang tidak bertanggung jawab terhadap
pekerjanya karena perusahaan hanya diam dan tidak bisa berbuat apa -apa.
Menurut masyarakat pada masa ini perusahaan sama sekali tidak memiliki
tanggung jawab moral. Menyadari kemarahan masyarakat muncul beberapa
perusahaan yang meminta maaf kepada masyarakat dan memberi beberapa
jaminan kepada para karyawannya yang dipecat. Sesuatu yang menarik dari
fenomena ini adalah belum dikenalnya istilah CSR tapi perusahaan sudah

2
melakukan. Meskipun upaya perusahaan untuk memperhatikan ma syarakat
sekitarnya sudah jelas terlihat. Namun usaha itu lebih dikenal sebatas tanggung
jawab moral.
Tahun 1940-an : Pengembangan Masyarakat
Dimulai dengan istilah Comdev dipergunakan di Inggris 1948, untuk
mengganti istilah mass education (pendidikan massa). Pengembangan masyarakat
merupakan pembangunan alternatif yang komprehensif dan berbasis komunitas
yang dapat melibatkan baik oleh Pemerintah, Swasta, ataupun oleh lembaga –
lembaga non pemerintah. Beberapa alternatif pendekatan yang pernah terjadi di
Amerika Serikat terkait dengan pengembangan masyarakat ini, antara lain :
(1) Pendekatan komunitas,
(2) pendekatan pemecahan masalah,
(3) pendekatan eksperimental,
(4) pendekatan konflik kekuatan,
(5) pengelolaan sumberdaya alam
(6) perbaikan lingkungan komunitas masyarakat perkotaan.
Pendekatan komunitas merupakan pendekatan yang paling sering
dipergunakan dalam pengembangan masyarakat. Pendekatan ini mempunyai tiga
ciri utama :
(1) basis partisipasi masyarakat yang luas
(2) fokus pada kebutuhan sebagian besar warga komunitas
(3) bersifat holistik.
Keunggulan pendekatan ini adalah adanya partisipasi yang tinggi dari
warga dan pihak terkait dalam pengambilan keputusan(perencanaan) dan
pelaksanaan, serta dalam evaluasi dan menikmati hasil kegiatan bersama warga
komunitas.
Tahun 1950-an: CSR MODERN
(SR bukan CSR). Tidak disebutkan kata corporate kemungkinan karena
intervensi dari korporasi modern. Menurut Howard R. Bowen dalam bukunya:
“Social Responsibility of The Businessman” dianggap sebagai tonggak
bagi CSR modern. Dalam buku itu Bowen (1953:6) memberikan definisi awal
dari CSR sebagai :“… obligation of businessman to pursue those policies, to

3
makethose decision or to follow those line of action wich are desirable in term of
theobjectives and values of our society.” kalau membaca ju dulnya seolah bias
gender (hanya menyebutkan businessman tanpa mencantumkan businesswoman),
sejak penerbitan buku tersebut definisi CSR yang diberikan Bowen memberikan
pengaruh besar kepada literatur-literatur CSR yang terbit setelahnya. Sumbangsih
besar pada peletakan fondasi CSR sehingga Bowen pantas disebut sebagai Bapak
CSR. Setelah itu, gema CSR diramaikan dengan terbitnya “Silent Spring” yang
ditulis oleh Rachel Carson, ia mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa
betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Sejak itu,
perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat
perhatian yang luas.
Tahun 1960
. Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan
formalisasi definisi CSR. Salah satu akademisi CSR yang terkenal pada masa itu
adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang
mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis
mengutarakan “Iron Law of Responsibility ” yang menyatakan bahwa tanggung
jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial yang mereka miliki (social
responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social
power ). Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidak menggunakan
kekuasaan dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapan masyarakat akan
kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang. Kata corporate mulai
dicantumkan pada masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan sumbangsih Davis yang
telah menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosial
dengan korporasi. Tahun 1962, Rachel Carlson menulis buku yang berjudul
“Silent Spring”. Buku tersebut dianggap memberikan pengaruh besar pada
aktivitas pelestarian alam. Buku tersebut berisi efek buruk penggunaan DDT
sebagai pestisida terhadap kelestarian alam, khususnya burung. DDT
menyebabkan cangkang telur menjadi tipis dan menyebabkan gangguan
reproduksi dan kematian pada burung. Silent Spring juga menjadi pendorong dari
pelarangan penggunaan DDT pada tahun 1972. Selain penghargaan Silent Spring
juga menuai banyak kritik dan dinobatkan sebagai salah satu ”buku paling

4
berbahaya abad ke-19 dan ke-20” versi majalah Human Events. Tahun 1963,
Joseph W. McGuire (1963:144) memperkenalkan istilah Corporate Citizenship.
McGuire menyatakan bahwa: “The idea of social responsibilities supposes that the
corporation has not only economic and legal obligations but also certain
responsibilities to society which extend beyond these obligations”. McGuire
kemudian menjelaskan lebih lanjut kata “beyond” dengan menyatakan bahwa
korporasi harus memperhatikan masalah politik, kesejahteraan masyarakat,
pendidikan, “kebahagiaan” karyawan dan seluruh permasalahan sosial
kemasyarakatan lainnya. Oleh karena itu korporasi harus bertindak “baik,”
sebagai mana warga negara (citizen) yang baik.
Tahun 1970
Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan
Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap
sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan
usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk
memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. CED merumuskan CSR dengan
menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan
tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas
pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); Lingkaran tengah
menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai
dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan
diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan
muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga
lingkungan dan masyarakat.
Tahun 1970-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam
artikel yang berjudul “Dimensions of Corporate Social Performance”, S. Prakash
Sethi memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social
obligation, social responsibility , dan social responsiveness. Menurut Sethi, social
obligation adalah perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan
pertimbanganpertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligatioan hanya
menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social
responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada

5
aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan
norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social
responsivenes merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat
mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan
tindakan antisipasi dan preventif. Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa
social obligation bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social
responsivenes bersifat preventif. Dimensidimensi kinerja sosial (social
performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran
konsentris yang dipaparkan oleh CED.
Tahun 1980-1990 : “triple bottom line”
Ketenaran istilah CSR semakin menjadi ketika buku Cannibals With
Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) terbit dipasaran .
Didalam buku ini ia mengembangkan tiga komponen penting sustainable
development, yakni economic growth, environmental protection, dan social
equity, yang digagas the World Commission on Environment and Development
(WCED). dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam
tiga fokus yang senagaja ia singkat menjadi 3P yaitu singkatan dari profit, planet
dan people. Di dalam bukunya itu ia menjelaskan bahwa Perusahaan yang baik
tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula
memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan k esejahteraan
masyarakat (people). Menurut Elkington, sebuah perusahaan tidak akan pernah
menjadi besar jika lingkungan dan masyarakat tidak mendukung.

II. PERSPEKTIF HISTORIS PEMIKIRAN SUSTAINABLE


DEVELOPMENT
Konsep Sustainable Development atau Pembangunan Berkelanjutan
pertama kali diperkenalkan sebagai tujuan sosial pada konferensi pertama PBB
dalam bidang Lingkungan Hidup di Stocklom pada tahun 1972. Latar belakang
diadakan konferensi tersebut dipicu oleh kekhawatiran global akan kemiskinan
yang berlarut-larut dan meningkatnya ketidakadilan sosial, ditambah dengan
kebutuhan pangan dan masalah lingkungan global serta kesadaran bahwa

6
ketersedian sumber daya alam untuk mendukung pembangunan ekonomi
amatlah terbatas.
Kekhawatiran akan kelangkaan sumberdaya alam sangatlah wajar dan
dapat kita lihat kembali pada berbagai tulisan-tulisan sosial di masa lampau.
Salah satunya yang berpengaruh ada pada tulisan klasik Thomas Malthus, An
Essay on the Principles of Population (1798), dimana digambarkan sebuah
ketakutan akan pertumbuhan populasi manusia, yaitu pembangunan industri
yang cepat pada abad ke-19 disertai dengan polusi dan sentra pertumbuhan
masyarakat yang tinggal dan bekerja dalam kondisi miskin di kota-kota besar.
Sebuah era dari perubahan sosial masyarakat yang penuh masalah, kekauan
sosial dan anarkisme, termasuk di dalamnya tumbuhnya gerakan-gerakan yang
berhubungan dengan kesehatan lingkungan dan masyarakat pada sebuah
populasi urban. Ide-ide tentang proto-enviromentalist kemudian muncul dalam
beberapa alur pemikiran radikal abad ke-19. Sementara itu, beberapa langkah
juga dilakukan dengan pemahaman ilmiah dan sistematik dari inter relasi
antara spesies-spesies alami, populasi dan lingkungan-lingkungannya seperti
pada Teori Evolusi Darwin dan asal mula ilmu ekologi. (Goodland, 1975)
Meski demikian, baru pada tahun 1960-an pergerakan perlawanan
terhadap polusi lingkungan industri lebih memperhatikan pada inter relasi
antara aktivitas manusia dan lingkungan alam. Dengan menggunakan sebuah
pendekatan ‘sistem’ dan model computer, pada tahun 1972 lahirlah ‘Limit of
Growth’, salah satu proyek dari Club of Rome, sebuah organisasi individu
yang memiliki kepedulian yang sama terhadap masa depan umat manusia,
didanai oleh Volkswagen Foundation. Buku ‘Limit of Growth’ mengkaji
sebuah interaksi antara populasi, pertumbuhan industri, produksi pangan dan
keterbatasan ekosistem di Planet Bumi. Gelombang literatur tentang
Pembangunan Berkelanjutan kemudian semakin diperluas pada tahun 1980-an,
ketika the International Union for the Conservation of Nature Influential World
Conservation Strategy (1980) atau Uni International untuk Konservasi Alam
mengajukan konsep Pembangunan Berkelanjutan, atau sebuah pembangunan
yang mempertimbangkan fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati agar
terus dipertahankan.

7
Namun, meski telah banyak literatur tentang pembangunan berkelanjutan,
konsep tersebut tidak semata-mata langsung diterima secara internasional.
Barulah pada Laporan Komisi Brundtland tahun 1987, disebutkan bahwa
Pembangunan Berkelanjutan merupakan sebuah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan di masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi di masa
depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Berdasarkan pada Laporan tersebut, prinsip-prinsip dasar dari
Pembangunan Berkelanjutan dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Kepercayaan Publik/Masyarakat: Terdapat kewajiban negara untuk
mengelola sumber daya alam yang dipercayakan untuk keuntungan
masyarakatnya.
2. Prinsip Kehati-hatian: adanya tindakan untuk mencegah kerusakan
ireversibel atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan kembali dan
pencegahannya tidak dapat ditunda hanya karena keterbatasan
pengetahuan akan ilmu ilmiah.
3. Keadilan Antar Generasi: Genarasi di masa depan tidak boleh dirugikan
atau mendapat dampak buruk karena keputusan yang dibuat pada masa
sekarang.
4. Asas Subsidiaritas: Keputusan-keputusan harus dibuat atau dilakukan
dengan mempertimbangkan keputusan atau masukan dari lembaga maupun
pemangku kepentingan pada tingkat terendah yang sesuai kapasitasnya.
5. Pencemar Membayar: Biaya kerusakan/terganggunya lingkungan harus
ditanggung oleh pihak-pihak yang turut bertanggung jawab akan
kerusakan/gangguan tersebut.
Beberapa prinsip-prinsip tambahan lain juga memperhatikan pada upaya
solusi terhadap kemiskinan yang berkelanjutan dan ketidakadilan sosial antara
bangsa-bangsa di dunia. Keberlangsungan hidup generasi masa kini dan masa
depan, hingga kini masih terletak pada jantung perdebatan tentang
pembangunan berkelanjutan. Kepercayaan masyarakat, partisipasi
pemerintahan pusat dan daerah juga menjadi prinsip dasar pada konsep
pembangunan ini.

8
Di Indonesia, Konsep Kebijakan Pembangunan berdasarkan kepada
Undang Undang Dasar 1945. Konsep Pembangunan Berkelanjutan di
Indonesia telah masuk pada amandemen UUD 45 yang keempat pada tanggal
10 Agustus 2002. Konsep tersebut salah satunya dapat dijumpai dalam Pasal 33
ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional”.
Presiden Jokowi melalui acara World Culture Forum di Bali pada tanggal
10 – 14 Oktober 2016, yaitu Culture for An Inclusive Sustainable Planet,
menyatakan pemerintah Indonesia sepakat bahwa pembangunan berkelanjutan
merupakan komitmen global yang harus bersama-sama diwujudkan dengan
terus bekerja sama dan saling bertukar pengalaman.
Dengan memahami konsep dan tujuan Pembangunan Berkelanjutan,
diyakini bahwa keberlangsungan hidup manusia dan kesejahteraan sosial,
ekonomi dan lingkungan masyarakat akan terus terjaga dalam kurun waktu
yang lama dan berkelanjutan.

III. PERSPEKTIF HISTORIS PEMIKIRAN SUSTAINABILITY


ACCOUNTING
KEMUNCULAN SUSTAINABILITY ACCOUNTING
Dalam Kemunculan sustainability accounting ini terdapat 10 tahapan atau
fase yang dimana dalam setiap fase menjelaskan hal penting oleh para ahli, yakni
sebagai berikut :
Fase Pertama Howard Bowen
Howard Bowen (1908-1989) merupakan seorang historian ekonom
Amerika yang memberikan inspirasi tentang kemunculan Sustainability
Accounting. Dimana Bowen mengawali karirnya di Universitu of Iowa, hingga
keposisi the presiden of Grinnell College, the University of Iowa. Dalam hal ini
bowen memberikan kontribusi yakni dengan publikasi bukunya yang berjudul
Social Responsibility of Businessmen tahun 1953.

9
Secara kolektif buku tersebut akhirnya dijadikan landasan awal dalam
mendefinisikan tanggungjawab social bagi kewajiban pelaku bisnis untuk
menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan (objectives) dan nilai-nilai
masyarakat (society values). Konsep ini merontokkan paham ekonomi yang
dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang sebesar-
besarnya. Nilai-nilai social dan lingkungan harus menjadi tujuan organisasi.
Sekalipun masa itu belum sangat berarti dalam perkembangannya, tetapi
American Accounting Association (1971) mencatat bahwasannya fase ini mulai
bermunculan gagasan, konsep, proposal, dan pendekatan untuk memperkenalkan
awal akuntansi social dan lingkungan. Dimana asosiasi ini berpandangan bahwa
Non-Financial Measures atau pengukuran non keuangan adalah penting untuk
efektivitas operasional organisasi.
Fase Kedua Keith Davis
Davis (1960) dalam hal ini memperkenalkan tulisannya tentang Can
Business Afford to Ignore its Social Responsibilities? Dimana Davis secara tajam
berpandangan bahwa tanggung jawab social harus dimiliki oleh organisasi.
”Business’ decisions and actions taken for reasons at least partially beyond the
firm’s economic or technical interest (davis,1960)”
Dengan pernyataan ini Davis menegaskan adanya tanggungjawab social
organisasi di luar tanggungjawab ekonomi semata. Argumen Davis menajdi
sangat relevan, karena pada masa tersebut (1960an) pandangan mengenai
tanggungjawab social organisasi masih sangat didominasi oleh pemikiran para
ekonom klasik. Dimana mereka beranggapan bahwa tanggungjawab social hanya
sebatas masyarakat dapat membeli dengan harga yang telah diciptakan secara
efisien. Bila hal tersebut berjalan dengan baik maka organisasi akan mendapatkan
ekuntungan atas penjualan dan kemudian organisasi akan mampu melakukan
tanggungjawab sosialnya, seperti :
1. Menciptakan lapangan pekerjaan
2. Memberikan kontribusi untuk pemerintahan dengan cara membayar pajak,
serta
3. Menghasilkan barang dengan harga yang rasional.

10
Fase Ketiga US Committee for Economic Development in 1971
Commite for Economic Development (CED) merupakan organisasi non-
profit dan non-partisipan Amerika yang beranggotakan 200 senior corporate
executives dan pemimpin universitas terkemuka membuat laporan dengan sangat
fenomena pada tahun 1971 yang berjudul Social Responsibilities of Business
Corporations. Dimana laporan tersebut menggunakan three concentric circles,
yang dimana hal ini dapat dipahami bahwa:
1. Inner circle of responsibilities (lingkaran tanggungjawab terdalam)
2. Intermediate circle of responsibilities (lingkaran tanggungjawab
menengah)
3. Outer circle of responsibilities (lingkaran tanggungjawab terluar)
Carroll (1979) juga menjelaskan tentang komponen-komponen tanggungjawab
social organisasi bisnis ke dalam 4 kategori, yakni :
1. Economic responsibilities, pada dasarnya tanggungjawab ekonomi
merupakan membangun organisasi bisnis
2. Legal responsibilities, tanggungjawab organisasi dalam menjalankan
bisnis yakni dengan menaati hukum dan peraturan yang berlaku
3. Ethical responsibities, organisasi diharapkan menjalankan bisnisnya
secara etis dan sesuai dengan norma moral masyarakat.
4. Discretionary responsibilities, tanggungjawab ini bersumber pada
pandangan bahwa keberadaan dari organisasi diharapkan memberikan
manfaat bagi masyarakat.
Perkembangan akuntansi social pada tahun 1970an juga mencatat adanya
kebutuhan baru dari organisasi yang melaksanakan aktivitas pelaporan social dan
lingkungan agar aktivitas social dan lingkungan yang mereka lakukan terukur.
Oleh karena itu, peneliti seperti Carroll (1979), Wartick dan Cochran (1985), dan
Wood (1991) mengembangkan konsep yang disebut dengan Corporate Social
Performance (CSPP, yang didalamnya mengandung 3 dimensi, yakni :
1. Dimensi kategori tanggungjawab social (ekonomi, hukum, etika, dan
discretionary)
2. Dimensi kemampuan memberikan respons (responsiveness)

11
3. Dimensi dalam isu social tempat perusahaan terlibat (lingkungan,
diskriminasi pekerja, keamanan produk, keselamatan pekerja dan
pemegang saham )
Fase Keempat Mandatori Regulasi Perancis Pertama di Dunia
Davis (1960) kemudian mempertegas argumennya dengan statemen
tentang iron law of responsibility yang menjadikan fase ini tumbuh sebagai
penyemangat kemunculan akuntansi social dan lingkungan. Argument -argumen
yang dibangun Davis, menjadi cikal bakal untuk identifikasi kewajiban organisasi
bisnis yang akan mendorong munculnya konsep akuntansi social dan lingkungan
di era 70an. Selain itu, konsepsi Davis, mengenai iron law of responsibility
menjadi acuan bagi pentingnya reputasi dan legitimasi public atas keberadaan
suatu organisasi. Negara Amerika lebih dulu mengemabngkan tanggungjawab ini,
kendatipun regulasi belum dilaksanakan secara mandatory. Fase inilah yang
membawa perubahan yang sangat mendasar tentang beberapa persyaratan detail
tentang pelaporan akuntansi social dan lingkungan.
Fase Kelima Runtuhnya Ekonomi Sosialis
Runtuhnya ekonomi sosialis yang disongsong dengan ekonomi
neoliberalisme yang konservatif pada tahun 1980an mengakibatkan stagnan
pengembangan akuntansi social dan lingkungan. Propoanda kedermawanan para
pemiliki perusahaan besar mulai mengatur strategi baru untuk ekstra hati-hati
terhadap pengeluaran dana mereka. para pemehgang saham perusahaan besar
mengencangkan ikat pinggang mereka terhadap tanggungjawab social. Apalagi
pada runtuhnya ekonomi sosialis juga dibarengi dengan kinerja perusahaan -
perusahaan besar ternama melorot tajam, seperti IBM, General Motors dan
Westinghouse di Amerika. Saat bersamaan pula terjadi skandal keuangan antara
lain Maxwell dan Adir di UK, hal ini berakibat munculnya regulasi tentang
corporate governance yang mengutamakan para pemegang saham. Ini berdampak
ketatnya pengendalian keuangan organisasi-organisasi bisnis besar dunia.
Sekalipun masa tersebut terjadi resistan dan pengendalian keuangan yang
ketat, konsep dan kerangka model akuntansi social dan pelaporannya tetap
berjalan. Hanya pada masa ini beberapa konsep baru dengan nama baru mulai

12
muncul. Istilah baru tersebut adalah Socially Responsible Investing (SRI).
Dimana SRI ini banyak digunakan oleh UK.
Fase Keenam Balance Scorecard
Fase ini merupakan bentuk kombinasi finansiil dan non -finansiil dalam
menilai kinerja organisasi. Diperkenalkan pertama kali tahun 1987 oleh Art
Achneiderman, yang kemudian didesain ulang secara komprehesif oleh Kaplan
dan Norton (1990). Akuntansi social dan lingkungan mendapatkan tempat
tersendiri dalam kemunculan Balance Scorecard. Keempat perspektif sangat
fenomenal tersebut adalah Financial, Customer, Internal Business Processes,
Learning And Growth. Pada awal tahun 1990an merupakan booming model
pelaporan akuntansi social dan lingkungan dengan memenafaatkan konsep
Balance Scorecard. Banyak perusahaan besar di Amerika dan Eropa
menggunakan konsep ini agar mereka mampu mengekspresikan kepedulian
organisasinya kepada stakeholdernya.
Fase ketujuh Robert Hugh Gray
Kontribusi Gray (1992) untuk pengembangan akuntansi social dan
lingkungan tidak diragukan lagi. Publikasinya telah mewarnai konsep akuntansi
social dan lingkungan hingga gagasan accounting for sustainability. Gray (1993)
mengidentifikasikan warna yang berbeda terhadap metode accounting
sustainabilitas. Metode tersebut yaitu sustainable cost, natural capital inventory
accounting, dan input-output analysis.
Fase Kedelapan John Elkington’s Triple Bottom Line
Elkington (1997) adalah peletak dasar konsep “triple bottom line”. Konsep
ini memberikan inspirasi lebih serius tentang perluasan akuntansi konvensional
yang “single bottom line”, yaitu keuangan saja. Istilah ini menjadi penting saat
people, planet dan profit ditawarkan menjadi konsep akuntansi
pertanggungjawaban social dan lingkungan. Jika dirinci lebih lanjut mengenai
ketiga aspek Tripple Bottom Line, maka ketiga aspek ini dapat diwujudkan dalam
kegiatan seperti :
1. Aspek Sosial, misalnya pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan,
penguatan kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan

13
karyawan) kesejahteraan social, olahraga pemuda, wanita, agama,
kebudayaan, dan sebagainya.
2. Aspek Ekonomi, misalnya kewirausahaan, kelompok usaha bersama/ unit
mikro kecil dan menengah, agrobisnis, pembukaan lapangan pekerjaan,
infrastruktur ekonomi dan usaha produktif lain.
3. Aspek Lingkungan, misalnya penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan
air, pelestarian alam, dan lain sebagainya.
Ketiga aspek tersebut tanpa kehadiran aspek spiritual yang implementasinya
dibutuhkan strategi tertentu. Adapun strategi yang dapat digunakan dalam
implementasi akuntansi social dan lingkungan yaitu penguatan kapasitas (capacity
building), Kemitraan (collaboration) dan penerapan inovasi.
Fase Kesembilan Sustainability Reporting
Pada waktu yang bersamaan denganElkington (1997), NGO CERES
(Coalition for Environmentally Responsible Economies) dan the United Nations
Environment Programmes (UNEP) mendirikan GRI (Global Reporting Initiative),
oraganisasi independen yang membangun standard Sustainability Reporting. GRI
mengidentifikasikan 6 extra—indikator keuangan: aspek kemasyarakatan,
ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, tanggungjawab
produk.
Fase Kesepuluh Sosio-Spiritualitas Akuntansi
Akuntansi telah memasuki fenomena baru ‘Beyond Materiality” (2008).
Akhir tahun 2000, jurusan akuntansi fakultas ekonomi universitas brawijaya
memperkenalkan pemahaman akuntansi tidak hanya sebatas pada angka moneter
dan tabel jurnal transaksi ekonomi, tetapi juga memperkenalkan relasi spiritualitas
dan metafisika. Spiritualitas dipahami bahwa setiap individu dan organisasi
mempunyai tanggungjawab membangun peristiwa-peristiwa ekonomi, social, dan
lingkungan dalam organisasinya yang direlasikan dengan ‘holy spirit’ yang
merupakan bentuk berbasis religiusitas dan universilalitas. Sosio-Spiritualitas
akuntansi menjadi penting dalam upaya menanamkan holy spirit dalam
mengkreasikan dan melaksanakan pertanggungjawaban terhadap peristiwa -
peristiwa ekonomi, social dan lingkungan dalam kesatuan organisasi.

14
DAFTAR PUSTAKA
Indonesian Institute for Sustainable Mining (IISM), Web. 2017. Sejarah dan
Konsep Pembangunan Berkelanjutan Sebagai Tujuan Sosial dan Prinsip Dasar
Pembangunan Berkelanjutan. Dikutip pada
https://iism.or.id/2017/12/28/sejarah-dan-konsep-pembangunan-berkelanjutan-
sebagai-tujuan-sosial-dan-prinsip-dasar-pembangunan-berkelanjutan/. Diakses
pada tanggal 20 Februari 2021.
Hardi, Jhon. 2016. RINGKASAN SEJARAH CSR DUNIA KE
INDONESIA. http://jhonhardi.com/ringkasan-sejarah-csr-duni a- ke -
indonesia/ (diakses pada 2 2 Februari 2021)

15

Anda mungkin juga menyukai