Anda di halaman 1dari 23

BAB II

Pembahasan

A. Sejarah dan Perkembangan Keperawatan Jiwa Di Dunia


Sejarah keperawatan di dunia diawali pada zaman purbakala (Primitive Culture)
sampai pada munculnya Florence Nightingale sebagai pelopor keperawatan yang berasal
dari Inggris. Perkembangan keperwatan sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur
dan kemajuan peradaban manusia.
Perkembangan keperawatan diawali pada :
1. Zaman Sebelum Masehi
Manusia diciptakan memiliki naluri untuk merawat diri sendiri (tercermin pada
seorang ibu). Harapan pada awal perkembangan keperawatan adalah perawat harus
memiliki naluri keibuan (Mother Instinc). Dari masa Mother Instic kemudian bergeser ke
zaman dimana orang masih percaya pada sesuatu tentang adanya kekuatan mistic yang
dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan ini dikenal dengan nama
Animisme. Mereka meyakini bahwa sakitnya seseorang disebabkan karena kekuatan
alam/pengaruh gaib seperti batu-batu, pohon-pohon besar dan gunung-gunung tinggi.
Kemudian dilanjutkan dengan kepercayaan pada dewa-dewa dimana pada masa itu
mereka menganggap bahwa penyakit disebabkan karena kemarahan dewa, sehingga kuil-
kuil didirikan sebagai tempat pemujaan dan orang yang sakit meminta kesembuhan di
kuil tersebut. Setelah itu perkembangan keperawatan terus berubah dengan adanya
Diakones & Philantrop, yaitu suatu kelompok wanita tua dan janda yang membantu
pendeta dalam merawat orang sakit, sejak itu mulai berkembanglah ilmu keperawatan.
Perkembangan keperawatan mulai bergeser kearah spiritual dimana seseorang yang
sakit dapat disebabkan karena adanya dosa/kutukan Tuhan. Pusat perawatan adalah
tempat-tempat ibadah sehingga pada waktu itu pemimpin agama disebut sebagai tabib
yang mengobati pasien. Perawat dianggap sebagai budak dan yang hanya membantu dan
bekerja atas perintah pemimpin agama.
2. Zamam Yunani
Hippocrates (460-357 SM) yang sekarang di anggap sebagai bapak ilmu kedokteran
yang terkenal karena rumus sumpah dokternya telah menggambarkan gejala- gejala
melancholia dan berpendapat bahwa penyakit ayan itu bukanlah suatu penyakit keramat
akan tetapi mempunyai penyebab alamiah seperti penyakit lain.Dalam kuil-kuil yang di
pakai sebagai tempat perawatan pasien dengan gangguan jiwa di gunakan hawa segar, air
murni dan sinar matahari serta musik yang menarik dalam pengobatan para penderita itu.
Dalam jaman romawi pada waktu itu di lakukan “pengeluaran darah dan mandi
belerang”. Setelah jatuhnya kebudayaan yunani dan romawi, dan ilmu kedokteran
mengalami kemunduran. Penderita gangguan jiwa di ikat, di kurung, di pukuli atau
dibiarkan kelaparan. Ada yang di masukan ke dalam sebuah tong lalu di gulingkan dari
atas bukit ke bawah ada yang di cemplungkan ke dalam sungai secara mendadak dari atas
jembatan.
3. Zaman Masehi
Keperawatan dimulai pada saat perkembangan agama Nasrani, dimana pada saat itu
banyak terbentuk Diakones yaitu suatu organisasi wanita yang bertujuan untuk
mengunjungiorang sakit sedangkan laki-laki diberi tugas dalam memberikan perawatan
untuk mengubur bagi yang meninggal.
Pada zaman pemerintahan Lord-Constantine, ia mendirikan Xenodhoecim atau
hospes yaitu tempat penampungan orang-orang sakit yang membutuhkan pertolongan.
Pada zaman ini berdirilah Rumah Sakit di Roma yaitu Monastic Hospital.
a. Pertengahan abad VI Masehi
Pada abad ini keperawatan berkembang di Asia Barat Daya yaitu Timur Tengah,
seiring dengan perkembangan agama Islam. Pengaruh agama Islam terhadap
perkembangan keperawatan tidak lepas dari keberhasilan Nabi Muhammad SAW
menyebarkan agama Islam.
Abad VII Masehi, di Jazirah Arab berkembang pesat ilmu pengetahuan seperti
Ilmu Pasti, Kimia, Hygiene dan obat-obatan. Pada masa ini mulai muncul prinsip-
prinsip dasar keperawatan kesehatan seperti pentingnya kebersihan diri, kebersihan
makanan dan lingkungan. Tokoh keperawatan yang terkenal dari Arab adalah
Rufaidah.
b. Permulaan abad XVI
Pada masa ini, struktur dan orientasi masyarakat berubah dari agama menjadi
kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan dan semangat kolonial. Gereja dan
tempat-tempat ibadah ditutup, padahal tempat ini digunakan oleh orde-orde agama
untuk merawat orang sakit. Dengan adanya perubahan ini, sebagai dampak negatifnya
bagi keperawatan adalah berkurangnya tenaga perawat. Untuk memenuhi kurangnya
perawat, bekas wanita tuna susila yang sudah bertobat bekerja sebagai perawat.
Dampak positif pada masa ini, dengan adanya perang salib, untuk menolong korban
perang dibutuhkan banyak tenaga sukarela sebagai perawat, mereka terdiri dari orde-
orde agama, wanita-wanita yang mengikuti suami berperang dan tentara (pria) yang
bertugas rangkap sebagai perawat.
c. Perkembangan keperawatan di Inggris
Florence kembali ke Inggris setelah perang Crimean. Pada tahun 1840 Inggris
mengalami perubahan besar dimana sekolah-sekolah perawat mulai bermunculan dan
Florence membuka sekolah perawat modern. Konsep pendidikan Florence ini
mempengaruhi pendidikan keperawatan di dunia.
Kontribusi Florence bagi perkembangan keperawatan :
1) Nutrisi merupakan bagian terpenting dari asuhan keperawatan.
2) Okupasi dan rekreasi merupakan terapi bagi orang sakit
3) Manajemen RS
4) Mengembangkan pendidikan keperawatan
5) Perawatan berdiri sendiri berbeda dengan profesi kedokteran
6) Pendidikan berlanjut bagi perawat.
d. Zaman Revolusi industry
Pada akhir revolusi abad ke- 18 terjadi perubahan dalam tempat penampungan
penderita gangguan jiwa. PHILLIPE PINEL (1745- 1826) menjadi pengawas rumah
sakit Bicetre ( untuk penderita pria) dan kemudian pada Salpetriere ( untuk penderita
wanita). Keduanya di huni oleh penjahat , penderita retradasi mental dan penderita
gangguan jiwa. Tindakan pertama pinel ialah melepaskan penderita gangguan jiwa
dari belenggu mereka.

B. Sejarah dan Perkembangan Keperawatan Jiwa di Indonesia


Sejarah dan perkembangan keperawatan di Indonesia dimulai pada masa penjajahan
Belanda sampai pada masa kemerdekaan.
1. Masa Penjajahan Belanda
Perkembangam keperawatan di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi sosial
ekonomi yaitu pada saat penjajahan kolonial Belanda, Inggris dan Jepang. Pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk pribumi yang disebut
Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga orang sakit.
Tahun 1799 didirikan rumah sakit Binen Hospital di Jakarta untuk memelihara
kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah kolonial Belanda pada masa ini
adalah membentuk Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat. Daendels
mendirikan rumah sakit di-Jakarta, Surabaya dan Semarang, tetapi tidak diikuti
perkembangan profesi keperawatan, karena tujuannya hanya untuk kepentingan
tentara Belanda.
2. Masa Penjajahan Inggris (1812 – 1816)
Gurbernur Jenderal Inggris ketika VOC berkuasa yaitu Raffles sangat
memperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitu kesehatan
adalah milik manusia, ia melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat
kesehatan penduduk pribumi antara lain :
a. pencacaran umum
b. cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa
c. kesehatan para tahanan
Setelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda, kesehatan penduduk
lebih maju. Pada tahun 1819 didirikan RS. Stadverband di Glodok Jakarta dan pada
tahun 1919 dipindahkan ke Salemba yaitu RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Tahun
1816 – 1942 berdiri rumah sakit – rumah sakit hampir bersamaan yaitu RS. PGI
Cikini Jakarta, RS. ST Carollus Jakarta, RS. ST. Boromeus di Bandung, RS Elizabeth
di Semarang. Bersamaan dengan itu berdiri pula sekolah-sekolah perawat.
3. Zaman Penjajahan Jepang (1942 – 1945)
Pada masa ini perkembangan keperawatan mengalami kemunduran, dan dunia
keperawatan di Indonesia mengalami zaman kegelapan. Tugas keperawatan
dilakukan oleh orang-orang tidak terdidik, pimpinan rumah sakit diambil alih oleh
Jepang, akhirnya terjadi kekurangan obat sehingga timbul wabah.
4. Zaman Kemerdekaan
Tahun 1949 mulai adanya pembangunan dibidang kesehatan yaitu rumah sakit
dan balai pengobatan. Tahun 1952 didirikan Sekolah Guru Perawat dan sekolah
perawat setimgkat SMP. Pendidikan keperawatan profesional mulai didirikan tahun
1962 yaitu Akper milik Departemen Kesehatan di Jakarta untuk menghasilkan
perawat profesional pemula. Pendirian Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) mulai
bermunculan, tahun 1985 didirikan PSIK ( Program Studi Ilmu Keperawatan ) yang
merupakan momentum kebangkitan keperawatan di Indonesia.
Tahun 1995 PSIK FK UI berubah status menjadi FIK UI. Kemudian muncul
PSIK-PSIK baru seperti di Undip, UGM, UNHAS dll.

C. Defenisi keperawatan jiwa

1. Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan
ilmutingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara
teraupetik dalammeningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental
klien dan kesehatan mentalmasyarakat dimana klien berada (American Nurses
Associations).
2. Kes. Jiwa bukan hanya suatu keadaan tdk ganguan jiwa, melainkan mengandung
berbagaikarakteristik yg adalah perawatan langsung, komunikasi dan management,
bersifat positif ygmenggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yg
mencerminkan kedewasaankepribadian yg bersangkutan. (menurut WHO).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan kriteria orang yang
sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan hal berikut :
1) Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu
buruk.
2) Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
3) Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
4) Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.
5) Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling
memuaskan.
6) Mempunyai daya kasih sayang yang besar.
7) Menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran di kemudian hari.
8) Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif.
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
4. Kategori kondisi kesehatan jiwa seseorang
a. Orang sehat
Keadaan yang sempurna baik fisik, mental mauun social, tidak hanya terbebas
dari penyakit atau kelemahan/cacat.
b. Orang Dengan Masalah Kejiwaan
ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial,
pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki
risiko mengalami gangguan jiwa.
c. Orang Dengan Gangguan Jiwa
ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan
perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
D. Trend curent issue dan kecenderungan dalam keperawatan jiwa
Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang
sedang hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat
dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa
baik dalam tatanan regional maupun global.
Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di antaranya
adalah sebagai berikut:
I. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat
onset terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak
gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat
fenomena masalah sebelum anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan
bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa harus dimulai dari masa konsepsi atau
bahkan harus dimulai dari masa pranikah. Banyak penelitian yang menunjukkan
adanya keterkaitan masa dalam kandungan dengan kesehatan fisik dan mental
seseorang di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan
bahwa kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada
pada trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk
menderita skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan
bahwa lingkungan luar yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan
dapat meningkatkan risiko menderita skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif, yang
menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan perkembangan
neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif seperti
berkurangnya kemampuan dalam mempertahankan perhatian, membedakan suara
rangsang yang berurutan, working memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering
dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan dan
dalam kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya, tekanan berat
dalam kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang
mempengaruhi fungsi otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah
berkembang ini menjadi dasar dari gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi,
kekacauan proses pikir, waham/delusi, perilaku yang aneh dan gangguan emosi.
II. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah
penderita sakit jiwa di provinsi lain dan Daerah Istimewa Yogyakarta terus
meningkat. Penderita tidak lagi didominasi masyarakat kelas bawah, kalangan
pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga tersentuh gangguan
psikotik dan depresif.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter
di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial
maupun usia. Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan
semua harta bendanya akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan
remaja, juga menunjukkan kecenderungan meningkat. Neurosis adalah bentuk
gangguan kejiwaan yang mengakibatkan penderitanya mengalami stress,
kecemasan yang berlebihan, gangguan tidur, dan keluhan penyakit fisik yang
tidak jelas penyebabnya. Neurosis menyebabkan merosotnya kinerja individu.
Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar menjadi lesu, dan sifatnya
menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada anak dan remaja
kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik. Trauma nonfisik bisa
berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien yang
menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang
kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan
dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.
III. Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan
salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan
kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization (WHO),
masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi
masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyataan, paling tidak ada satu dari
empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada
sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan
jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang
mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal
karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan
dengan upaya bunuh diri dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa
setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal.
Namun, menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri)
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan
penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic.
Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak,
penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan
alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan.
Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan (pattern of parenting)
hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik,
dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan. Penyebabnya dapat
berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan
antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah
keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-
lain).
IV. Kecenderungan situasi di era globalisasi
Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas sebagai ciri
globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan. Perawat
dituntut mampu memberikan askep yang profesional dan dapat mempertanggung
jawabkan secara ilmiah. Perawat dituntut senantiasa mengembangkan ilmu dan
teknologi di bidang keperawatan khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa
dalam era global harus membekali diri dengan bahasa internasional, kemampuan
komunikasi dan pemanfaatan teknologi komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa
entrepreneurship.
V. Perubahan Orientasi Sehat
Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan termasuk
keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan persaingan
penyelenggaraan pelayanan (persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat
“jiwa” ) harus mempunyai standar global dalam memberikan pelayanan
kesehatan, jika tidak ingin ketinggalan. Fenomena masalah kesehatan jiwa,
indicator kesehatan jiwa di masa mendatang bukan lagi masalah klinis seperti
prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks kehidupan sosial.
Fokus kesehatan jiwa bukan hanya menangani orang sakit,melainkan pada
peningkatan kualitas hidup. Jadikonsep kesehatan jiwa buka lagi sehat atau sakit,
tetapi kondisi optimal yang ideal dalam perilaku dan kemampuan fungsi social
Paradigma sehat Depkes, lebih menekankan upaya proaktif untuk pencegahan
daripada menunggu di RS, orientasi upaya kesehatan jiwa lebih pada pencegahan
(preventif) dan promotif. Penangan kesehatan jiwa bergeser dari hospital base
menjad community base.
Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg
diperalat oleh orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang
diperalat/ memperalat diri sendiri, dimana manusia itu menjadi pusat dari
semua aktivitas ekonomi maupun politik diturunkan pada tujuan
perkembangan diri manusia.
b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya,
merangsang perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu
membuat manusia untuk mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni
dan perilaku normatif kolektif.
c. Masyarakat terhindar dari sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan
berlebihan, narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan
material tanpa batas.
d. Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi-
dimensi yang dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan
bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan
struktur masyarakat sehat, kuncinya : Setiap orang harus meningkatkan
kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya kondisi sehat yang
sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada orang lain merupakan
orientasi paradigma kesehatan jiwa.
VI. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“
(Michard & Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health
Policy” yang secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit
infeksi. Standar pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional
adalah angka kematian akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa
seolah-olah bukan masalah. Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY
(Disabilitty Adjusted Lfe Year) diketahuilah bahwa gangguan jiwa merupakan
masalah kesehatan utama secara internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang
tidak menentu menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan,
dan kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan
jiwa dalam kehidupan manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti
psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari
segi kuantitas.
Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa
ancaman kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta
yang dalam ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons
yang terjadi berupa rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-
anak apa yang menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari.
Pengalaman katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang
sedang terjadi), pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun
bencana alam, (gempa dan bencana tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan berusaha
untuk tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria klinik seperti yang
disusun dalam Diagnostic and Statical Manual Of Mental Disorder lll dan Lv serta
Pedoman Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa lll di Indonesia
menyatakan, gejala yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu yang
stress yang terjadi berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian
mereka menjadi manusia yang invalid dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan
resultante akhir penderita ini akan menjadi tidak produktif. Padahal seperti
diketahui ada diantara mereka yang berkali-kali telah mengalami pengalaman
katastropik yaitu saat daerah tersebut ada dalam kondisi berlangsungnya Daerah
Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Kondisi itu memang amat
melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga kondisi kejadian masyarakat di
daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi manusia yang tanpa alasan
selalu berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip, terutama terhadap
kekerasan yang sebernarnya tidak akan terjadi. Mereka juga menjadi manusia
yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya, tidur
yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi tubuh, namun yang
terjadi adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan berada
dalam kondisi depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa seakan-
akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi,
halusinasi, dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai memahami
bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat individual.
Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan
ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam
konteks tsunami Aceh dan bencana-bencana besar lainnya di Indonesia,
kompleksitas sosial dan kultural sangat penting mengingat bahwa masyarakat
telah mengalami dan menjadi saksi berbagai macam kekerasan sejak
berlangsungnya operasi keamanan di daerah ini. Oleh karena itu, pemahaman
tentang trauma sebagai proses sosial dan sekaligus proses kejiwaan yang bersifat
personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar dari lingkaran ingatan
traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang mengalami
bencana di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri pernah
mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan, karena
direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam periode
yang cukup lama. Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan
mengerikan tentang gelombang tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan,
dan tentang kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus berpotensi untuk
membentuk ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma,
juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai
transference. Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis yang
terjadi dari orang yang secara fisik langsung mengalami peristiwa yang
mengerikan kepada orang lain yang tak secara langsung mengalaminya. Freud
memberi contoh bahwa psikoanalis juga dapat mengalami proses transference saat
ia secara tak sadar melakukan identifikasi dengan korban trauma tersebut. Dori
Laub, psikiater yang terlibat dalam pembuatan Shoah, mengatakan bahwa
transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun juga yang melakukan
wawancara dengan korban.
VII. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder
Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman trauma
yang umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari. Mengakibatkan keadaan
stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang demikian.
Mereka menjdi manusia yang invalid dlam kondisi kejiwaan dengan akibat akhir
menjadi tidak produktif. Trauma bukan semata2 gejala kejiwaan yang bersifat
individual, trauma muncul sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan sosial
dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.
VIII. Meningkatnya Masalah Psikososial
Lingkup masalah kesehatan jiwa, sangat luas dan kompeks juga saling
berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada undang-
undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Ilmu Kedokteran Jiwa
(psychitri), secara garis besar masalah kesehatan jiwa digolongkan menjadi :
a. Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan kualitas,
hidup yaitu masalah kejiwaan yang berkait dengan makna dan nilai-nilai
kehidupan manusia, misalnya:
1) Masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan lifecycle kehidupan
manusia, mulai dari persiapan pranikah, anak dalam kandungan, balita,
anak, remaja, dewasa, usia lanjut.
2) Dampak dari menderita penyakit menahun yang menimbulkan
disabilitas.
3) Pemukiman yang sehat.
4) Pemindahan tempat tinggal.
b. Masalah Psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai
aikbat terjadinya perubahan sosial, misalnya :
1) Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat umum
dan diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap
mengganggu ketertiban/keamanan lingkungan).
2) Pemasungan penderita gangguan jiwa.
3) Masalah anak jalanan.
4) Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan).
5) Penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika.
c. Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual, dan lain-lain).
1) Tindak kekerasaan sosial (kemiskinan, penelataran tidak diberi nafkah,
korban kekerasaan pada anak dan lain-lain).
2) Stress pascatrauma (ansietas, gangguan emosional, berulangkali
merasakan kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam,
ledakan, kekerasaan, penyerangan/penganiyaan secara fisik atau
seksual, termasuk pemerkosaan, terorisme dan lain-lain).
3) Pengungsi/imigrasi (masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai
akibat terjadinya suatu perubahan sosial, seperti cemas, depresi, stress
pascatrauma, dan lain-lain.
d. Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan fisik,
gangguan psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan,
perubahan minat, gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan pada daya
ingat, dll).
e. Masalah kesehatan tenaga kerja ditempat kerja (kesehatan jiwa tenaga kerja,
penurunan produktivitas, stress di tempat kerja, dan lain-lain).

IX. Trend Bunuh Diri pada Anak dan Remaja


Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam
Sejak tahun 1958, dari 100.000 penduduk Jepang 25 orang diantaranya meninggal
akibat bunuh diri. Sedangkan untuk negara Austria, Denmark, dan Inggris, rata-
rata 25 orang. Urutan pertama diduduki Jerman dengan angka 37 orang per
100.000 penduduk. Di Amerika tiap 24 menit seorang meninggal akibat bunuh
diri. Jumlah usaha bunuh diri yang sebenarnya 10 kali lebih besar dari angka
tersebut, tetapi cepat tertolong. Kini yang mengkhawatirkan trend bunuh diri
mulai tampak meningkat terjadi pada anak-anak dan remaja.
Di Benua Asia, Jepang dan Korea termasuk Negara yang sering diberitakan
bahwa warganya melakukan bunuh diri. Di Jepang, harakiri (menikam atau
merobek perut sendiri) sering dilakukan bawahan untuk melindungi nama baik
atasannya. Sebagai contoh, sekretaris pribadi mantan Perdana Menteri Takeshita
melakukan bunuh diri, ketika skandal suap perusahaan Recruits Cosmos
terbongkar pada tahun 1984 atau yang paling terkenal kasus bunuh dirinya sopir
pribadi mantan Perdana menteri Tanaka, ketika skandal suap Lockheed
terbongkar. Sang sopir menusuk perutnya, demi menjaga kehormatan
pimpinannya.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan
bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau terjadi dalam seiap
40 detiknya. Bunuh diri juga termasuk satu dari tiga penyebab utama kematian
pada usia 15-34 tahun, selain faktor kecelakaan.

X. Masalah Napza dan HIV/AIDS


Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan dampak
dari pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin maju. Hal
terpenting yang mendukung merebaknya NAPZA di negara kita adalah perangkat
hukum yang lemah bahkan terkadang oknum aparat hukum seringkali menjadi
backing, ditambah dengan keragu-raguan penentuan hukuman bagi pengedar dan
pemakai, sehingga dampaknya SDM Indonesia kalah dengan Malaysia yang lebih
bertindak tegas terhadap pengedar dan pemakai NAPZA. Kondisi ini akan
semakin menigkat untuk masa yang akan datang khususnya dalam era globalisasi.
Dalam era globalisasi tersebut terdapat gerakan yang sangat besar yang disebut
dengan istilah “Gerakan Kafirisasi“. Bila beberapa dekade yang lalu kita
mengenal istilah zionisme, maka dengan ini sejalan dengan globalisasi kita
berhadapan dengan dengan ideologi kafirisasi yang disebut dengan Neozionisme,
sebuah ideologi yang ingin menciptakan tatanan dunia global yang sekuler dan
terlepas sama sekali dari ajaran agama yang mereka anggap sebagai kepalsuan,
racun, dan dogmatis fundamentalis.
Gerakan konspirasi mereka telah membuat carut marut dan tercabiknya wajah
kaum beragama, utamanya umat muslim, mereka menuduh umat islam sebagai
fundamentalis, ekstrimis, dan tiran. Bahkan Hungtington (Misionaris Yahudi)
pernah mengatakan : “Musuh Barat terbesar setelah Rusia hancur adalah Islam“.
Salah satu program mereka adalah menghancurkan islam melalui penghancuran
generasi mudanya dengan cara menebarkan narkotik dan zat adiktif lainnya
(NAPZA). Sekarang para imperalis dan konspirasi Yahudi telah memanfaatkan
energi yang tersimpan dalam generasi negeri ini (1,3 juta orang pemuda) yang
berusia 15-25 tahun melalui NAPZA (Narkotik dan Zat Adikif lainnya) dan telah
membunuh 30 orang perbulannya. Masalah lainnya muncul seiring dengan
merebaknya pemakaian NAPZA. Menjelang tahun 2008 pertumbuhan HIV AIDS
di dunia dapat mencapai 4 orang permenit. Ini merupakan ancaman hilangnya
kehidupan dan runtuhnya peradaban.
Kita semua, khususnya tim kesehatan harus merasa terpanggil menyelamatkan
generasi penerus bangsa dari cangkraman NAPZA (Narkotika, Alkohol,
psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya). Perawat merupakan komponen terbesar
dari seluruh tim kesehatan, maka upaya-upaya pengcegahan dan penatalaksanaan
keperawatan menjadi hal yang sangat penting karena perawat senantiasa berada di
sisi klien dalam rentang waktu yang lama di banding tim kesehatan lainnya.
Melalui forum presentasi orientasi keperawatan jiwa kami berusaha memaparkan
suatu topic dengan tema Asuhan Keperawatan pada Pengguna NAPZA.

XI. Pattern Of Parenting dalam Keperawata Jiwa


Dengan banyaknya bunuh diri dan depresi pada anak, maka saat ini pola asuh
keluarga menjadi sorotan. Pola aush yang baik adalah pola asuh dimana orang tua
menerapkan kehangatan tinggi yang disertai dengan kontrol yang tinggi.
Kehangatan adalah bagaimana orang tua menjadi teman curhat, teman bermain,
teman yang menyenangkan bagi anak terutama saat rekreasi, belajar, dan
berkomunikasi. Adakalanya kehangatan diwujudkan dengan mendekap, mencium,
menggendong atau mengajak anak menjalajahi alam sambil belajar. Kehangatan
adalah upaya-upaya yang dilakukan orang tua agar anak dekat dan berani bicara
pada orang tuanya pada saat anak mendapatkan masalah. Orang tua menjadi
teman dalam express feeling anak sehingga anak menjadi sehat jiwanya.
Kontrol yang tinggi adalah bagaimana anak dilatih mandiri dan mengenal
disiplin di rumahnya. Kemandirian ini menjadi hal yang sangat penting dalam
kesehatan jiwa. Anak mandiri terbiasa menyelesaikan masalahnya, ia akan
memiliki self confidence yang cukup. Contoh kontrol yang diterapkan orang tua
adalah kapan anak harus bangun pagi, kapan belajar, kapan anak berlatih
memakai kaos kaki sendiri, makan sendiri dan berpakaian secara mandiri. Orang
tua juga melatih anak bertanggung jawab mengerjakan tugas-tugas di rumah
seperi mencuci, menyiram bunga, dan sebagainya.
Tipe pola asuh :
Autoriatif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol yang tinggi dan
kehangatan tinggi.
Otoriter : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol tinggi kehangatan
rendah.
Permisif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah
kehangatan tinggi.
Neglected : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah
kehangatan rendah.

XII. Masalah Ekonomi dan Kemiskinan


Pengangguran lebih dari 40 juta orang telah menyebabkan rakyat Indonesia
semakin terpuruk. Daya beli lemah, pendidikan rendah, lingkungan buruk, kurang
gizi, mudah terigitasi, kekebalan menurun dan infrastruktur yang masih
rendahmenyebabkan banyaknya rakyat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa.
Masalah ekonomi merupaka masalah yang paling dominant menjadi pencetus
gangguan jiwa di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan bahwa saat terjadi kenaikan
BBM selalu dsertai dengan peningkatan dua kali lipat angka gangguan jiwa. Hal
ini diperparah dengan biaya sekolah yang mahal, biaya pengobatan tak terjangkau
dan penggusuran yang kerap terjadi.
E. Trend dalam Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri
SejarahKeperawatan mental psikiatri muncul sebagai sebuah profesi pada awal abad
ke-19. Kemudian sejak tahun 1940 keperawatan mental psikiatri mulai berkembang
pesat, tetapi pelayanan masih terpusat di Rumah Sakit (Antai Otong, 1994). Hal ini
terjadi sejalan dengan program deinstitusionalisasi. Deinstitusionalisasi adalah suatu
program pembebasan klien gangguan jiwa kronik dari institusi rumah sakit dan
mengembalikan mereka ke lingkungan rehabilitas di masyarakat (Lefley, 1996). Angka
kejadian gangguan jiwa dapat diminimalkan dengan menggunakan cara-cara preventif
seperti menemukan kasus-kasus secara dini, diagnosa dini da intervensi krisis (Gerald
Kaplan dikutip oleh Antai Otong, 1994).

F. Trend Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri Globalisasi


Leininger (1973) mengemukakan 3 kunci utama dalam proses tersebut : pengalaman
dan pendidikan perawat, peran, dan fungsi perawat serta hubungan perawat dengan
profesi lain di komunitas. Reformasi dalam pekayanan kesehatan ini te;ah menuntut
perawat untuk merendefenisi perannya. Intervensi keperawatan yang menekankan pada
aspek pencegahan dan promosi kesehatan sudah saatnya mengembangkan “community
based care” (Lefley, 1996).
Kurangnya dukungan tenaga, biaya, dan fasilitas yang tersedia menantang perawat
mental psikiatri dan profesi lain untuk memaksimalkan sumber-sumber yang tersedia dan
mengembangkan inovasi-inovasi baru dalam memenuhi kebuuhan masyarakat (Antai
Otong, 1994). Sehubungan dengan hal itu, adalah penting untuk mengembangkan
pendidikan keperawatan (Suhaemi, 1997), terutama keperawatan mental psikiatri yang
bekerja di rumah sakit jiwa maupun di komunitas paling rendah pada level universitas
(Jintana, 2002).

G. Issue Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri


1. Stuart Sundeen (1998) mengemukakan bahwa hasil riset Keperawatan Jiwa
masih sangat kurang.
2. Perawat psikiatri yang ada kurang siap menghadapi pasar bebas karena pendidikan yang
rendah dan belum adanya licence untuk praktek yang bisa diakui secara Internasional.
3. Perbedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman sering kali tidak
jelas dalam “Position Description,” job responsibility dan system reward di dakam
pelayanan keperawatan dimana mereka bekerja (Stuart Sudeen, 1998).
4. Di negara lain pun mempunyai kecenderungan yang sama, hasil penelitian di Ireland
menunjukkan bahwa mahasiswa mempunyai persepsi yang salah tentang peran perawat
psikiatri (Wells, 2000).

H. Upaya Profesi Keperawatan Mental Psikiatri di Indonesia


Dalam menghadapi trend dan issue yang berkembang, profesi keperawatan mental
psikiatri di Indonesia telah melakukan berbagai upaya seperti membuat standar praktek
keperawatan jiwa di rumah sakit, membuat model prakek keperawatan professional
(MPKP) di rumah sakit jiwa, dan mengadakan berbagai pelatihan seperti pelatihan
asuhan keperawatan jiwa dan pelatihan “clinical instructur” bagi perawat mental psikiatri.
Akan tetapi, mungkin masih banyak yang masih perlu dibenahi dan ditingkatkan agar
mampu menghadapi segala tantangan di masa depan.
Berikut ini adalah beberapa hal yang harus menjadi perhatian profesi keperawatan
mental psikiatri dalam menghadapi trend dan issue pelayanan keperawatan mental
psikiatri di era globalisasi :
1. Fokus pelayanan keperawatan jiwa sudah saatnya berbasis pada komunitas (community
based care) yang memberi penekanan pada preventif dan promotif.
2. Meningkatkan penelitian tentang keperawatan mental psikiatri, terutama keperawatan
jiwa klinik.
3. Seharusnya ada “licence” bagi perawat yang bekerja di pelayanan.
4. Estin (1999), menekankan bahwa untuk membina trust dan hubungan terapeutik dengan
klien dan untuk mencegah penundaan dalam mendiagnosa kebutuhan klien, perawat
perlu memahami budaya, nilai-nilai, kepercayaan, dan sikap klien terhadap penyakitnya.

I. Trend dan Issue saat ini


Himpitan ekonomi yang semakin besar dikarenakan penghasilan yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dapat menjadi salah satu pencetus untuk
seseorang bunuh diri. Saat ini masalah ganguan jiwa semakin meningkat. Beban hidup
yang semakin berat, diperkirakan menjadi salah satu penyebab bertambahnya klien
gangguan jiwa. Terutama karena meningkatnya harga-harga semua bahan pokok, BBM
dana dan era globalisasi.
Gangguan jiwa saat ini tidak hanya mengenai orang-orang yang merupakan kalangan
kelas bawah, tapi sekarang gangguan jiwa dapat menyerang baik itu orang kalangan
bawah, menengah maupun kelas atas. Jika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan baik
dalam lingkungan dan tidak dapat berusaha menghadapi masalah-masalah dalam
hidupnya maka seseorang akan cenderung untuk mengalami gangguan jiwa. Dari
berbagai penyebab itulah maka satu demi satu akan muncul tindakan-tindakan yang dapat
dikatakan sebagai suatu penyelewengan atau pengingkaran diri akan kondisi atau
kenyataan yang ada. Pasien cenderung tidak mampu menerima kondisi yang ada sehingga
muncul suatu keinginan untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Dan dalam kasus ini pun cenderung akhir dari segala pengingkaran diri pasien adalah
dengan melakukan bunuh diri. Bunuh diri merupakan salah satu tindakan yang menjadi
trend issue dalam keperawatan jiwa. Tanpa dibatasi umur, status ekonomi, tingkat
pendidikan bahkan beban kerja yang dipikul bunuh diri menjadi suatu alternatif terakhir
dalam menyelesaikan masalah yang dianggap berat untuk dihadapi. Pola pikir inilah yang
seharusnya menjadi pusat garapan perawat-perawat jiwa untuk meluruskan kembali
persepsi yang berkembang di masyarakat mengenai tindakan bunuh diri. Hal ini berguna
untuk rehabilitasi pasien yang pernah mencoba untuk melakukan tindakan tersebut dan
juga untuk pencegahan terjadinya tindakan ini yang semakin marak. Segala tindakan
pencegahan dan rehabilitasi ini tentu akan terlaksana dengan dukungan dari segala pihak
baik pemerintah maupun bidang kesehatan lainnya.
Daftar pustaka

https://id.scribd.com/document/445557171/Menganalisis-Sejarah-Keperawatan-Jiwa-dan-Trend-

Isu-dalam-Keperawatan-Jiwa-Global-FIXX-docx
SEJARAH KEPERAWATAN JIWA DAN TREND & ISSUE
DALAM KEPERAWATAN JIWA GLOBAL

Dosen pengampuh :
Ns. Rizkan Djafar, S.Kep, M.Kep
Kelas
7A Keperawatan

Di susun Oleh Kelompok 5 :


1. Febriyanti Basri Nopo (1801063)
2. Glori Dina (1801030)
3. Siti Warda (1801001)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)


MUHAMMADIYAH MANADO
T.A 2021/2022

Anda mungkin juga menyukai