Pembahasan
1. Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan
ilmutingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara
teraupetik dalammeningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental
klien dan kesehatan mentalmasyarakat dimana klien berada (American Nurses
Associations).
2. Kes. Jiwa bukan hanya suatu keadaan tdk ganguan jiwa, melainkan mengandung
berbagaikarakteristik yg adalah perawatan langsung, komunikasi dan management,
bersifat positif ygmenggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yg
mencerminkan kedewasaankepribadian yg bersangkutan. (menurut WHO).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan kriteria orang yang
sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan hal berikut :
1) Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu
buruk.
2) Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
3) Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
4) Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.
5) Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling
memuaskan.
6) Mempunyai daya kasih sayang yang besar.
7) Menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran di kemudian hari.
8) Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif.
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
4. Kategori kondisi kesehatan jiwa seseorang
a. Orang sehat
Keadaan yang sempurna baik fisik, mental mauun social, tidak hanya terbebas
dari penyakit atau kelemahan/cacat.
b. Orang Dengan Masalah Kejiwaan
ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial,
pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki
risiko mengalami gangguan jiwa.
c. Orang Dengan Gangguan Jiwa
ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan
perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
D. Trend curent issue dan kecenderungan dalam keperawatan jiwa
Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang
sedang hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat
dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa
baik dalam tatanan regional maupun global.
Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di antaranya
adalah sebagai berikut:
I. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat
onset terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak
gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat
fenomena masalah sebelum anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan
bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa harus dimulai dari masa konsepsi atau
bahkan harus dimulai dari masa pranikah. Banyak penelitian yang menunjukkan
adanya keterkaitan masa dalam kandungan dengan kesehatan fisik dan mental
seseorang di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan
bahwa kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada
pada trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk
menderita skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan
bahwa lingkungan luar yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan
dapat meningkatkan risiko menderita skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif, yang
menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan perkembangan
neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif seperti
berkurangnya kemampuan dalam mempertahankan perhatian, membedakan suara
rangsang yang berurutan, working memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering
dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan dan
dalam kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya, tekanan berat
dalam kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang
mempengaruhi fungsi otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah
berkembang ini menjadi dasar dari gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi,
kekacauan proses pikir, waham/delusi, perilaku yang aneh dan gangguan emosi.
II. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah
penderita sakit jiwa di provinsi lain dan Daerah Istimewa Yogyakarta terus
meningkat. Penderita tidak lagi didominasi masyarakat kelas bawah, kalangan
pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga tersentuh gangguan
psikotik dan depresif.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter
di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial
maupun usia. Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan
semua harta bendanya akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan
remaja, juga menunjukkan kecenderungan meningkat. Neurosis adalah bentuk
gangguan kejiwaan yang mengakibatkan penderitanya mengalami stress,
kecemasan yang berlebihan, gangguan tidur, dan keluhan penyakit fisik yang
tidak jelas penyebabnya. Neurosis menyebabkan merosotnya kinerja individu.
Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar menjadi lesu, dan sifatnya
menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada anak dan remaja
kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik. Trauma nonfisik bisa
berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien yang
menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang
kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan
dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.
III. Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan
salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan
kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization (WHO),
masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi
masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyataan, paling tidak ada satu dari
empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada
sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan
jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang
mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal
karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan
dengan upaya bunuh diri dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa
setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal.
Namun, menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri)
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan
penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic.
Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak,
penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan
alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan.
Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan (pattern of parenting)
hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik,
dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan. Penyebabnya dapat
berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan
antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah
keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-
lain).
IV. Kecenderungan situasi di era globalisasi
Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas sebagai ciri
globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan. Perawat
dituntut mampu memberikan askep yang profesional dan dapat mempertanggung
jawabkan secara ilmiah. Perawat dituntut senantiasa mengembangkan ilmu dan
teknologi di bidang keperawatan khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa
dalam era global harus membekali diri dengan bahasa internasional, kemampuan
komunikasi dan pemanfaatan teknologi komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa
entrepreneurship.
V. Perubahan Orientasi Sehat
Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan termasuk
keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan persaingan
penyelenggaraan pelayanan (persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat
“jiwa” ) harus mempunyai standar global dalam memberikan pelayanan
kesehatan, jika tidak ingin ketinggalan. Fenomena masalah kesehatan jiwa,
indicator kesehatan jiwa di masa mendatang bukan lagi masalah klinis seperti
prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks kehidupan sosial.
Fokus kesehatan jiwa bukan hanya menangani orang sakit,melainkan pada
peningkatan kualitas hidup. Jadikonsep kesehatan jiwa buka lagi sehat atau sakit,
tetapi kondisi optimal yang ideal dalam perilaku dan kemampuan fungsi social
Paradigma sehat Depkes, lebih menekankan upaya proaktif untuk pencegahan
daripada menunggu di RS, orientasi upaya kesehatan jiwa lebih pada pencegahan
(preventif) dan promotif. Penangan kesehatan jiwa bergeser dari hospital base
menjad community base.
Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg
diperalat oleh orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang
diperalat/ memperalat diri sendiri, dimana manusia itu menjadi pusat dari
semua aktivitas ekonomi maupun politik diturunkan pada tujuan
perkembangan diri manusia.
b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya,
merangsang perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu
membuat manusia untuk mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni
dan perilaku normatif kolektif.
c. Masyarakat terhindar dari sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan
berlebihan, narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan
material tanpa batas.
d. Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi-
dimensi yang dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan
bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan
struktur masyarakat sehat, kuncinya : Setiap orang harus meningkatkan
kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya kondisi sehat yang
sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada orang lain merupakan
orientasi paradigma kesehatan jiwa.
VI. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“
(Michard & Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health
Policy” yang secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit
infeksi. Standar pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional
adalah angka kematian akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa
seolah-olah bukan masalah. Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY
(Disabilitty Adjusted Lfe Year) diketahuilah bahwa gangguan jiwa merupakan
masalah kesehatan utama secara internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang
tidak menentu menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan,
dan kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan
jiwa dalam kehidupan manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti
psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari
segi kuantitas.
Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa
ancaman kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta
yang dalam ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons
yang terjadi berupa rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-
anak apa yang menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari.
Pengalaman katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang
sedang terjadi), pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun
bencana alam, (gempa dan bencana tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan berusaha
untuk tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria klinik seperti yang
disusun dalam Diagnostic and Statical Manual Of Mental Disorder lll dan Lv serta
Pedoman Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa lll di Indonesia
menyatakan, gejala yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu yang
stress yang terjadi berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian
mereka menjadi manusia yang invalid dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan
resultante akhir penderita ini akan menjadi tidak produktif. Padahal seperti
diketahui ada diantara mereka yang berkali-kali telah mengalami pengalaman
katastropik yaitu saat daerah tersebut ada dalam kondisi berlangsungnya Daerah
Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Kondisi itu memang amat
melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga kondisi kejadian masyarakat di
daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi manusia yang tanpa alasan
selalu berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip, terutama terhadap
kekerasan yang sebernarnya tidak akan terjadi. Mereka juga menjadi manusia
yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya, tidur
yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi tubuh, namun yang
terjadi adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan berada
dalam kondisi depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa seakan-
akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi,
halusinasi, dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai memahami
bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat individual.
Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan
ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam
konteks tsunami Aceh dan bencana-bencana besar lainnya di Indonesia,
kompleksitas sosial dan kultural sangat penting mengingat bahwa masyarakat
telah mengalami dan menjadi saksi berbagai macam kekerasan sejak
berlangsungnya operasi keamanan di daerah ini. Oleh karena itu, pemahaman
tentang trauma sebagai proses sosial dan sekaligus proses kejiwaan yang bersifat
personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar dari lingkaran ingatan
traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang mengalami
bencana di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri pernah
mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan, karena
direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam periode
yang cukup lama. Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan
mengerikan tentang gelombang tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan,
dan tentang kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus berpotensi untuk
membentuk ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma,
juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai
transference. Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis yang
terjadi dari orang yang secara fisik langsung mengalami peristiwa yang
mengerikan kepada orang lain yang tak secara langsung mengalaminya. Freud
memberi contoh bahwa psikoanalis juga dapat mengalami proses transference saat
ia secara tak sadar melakukan identifikasi dengan korban trauma tersebut. Dori
Laub, psikiater yang terlibat dalam pembuatan Shoah, mengatakan bahwa
transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun juga yang melakukan
wawancara dengan korban.
VII. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder
Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman trauma
yang umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari. Mengakibatkan keadaan
stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang demikian.
Mereka menjdi manusia yang invalid dlam kondisi kejiwaan dengan akibat akhir
menjadi tidak produktif. Trauma bukan semata2 gejala kejiwaan yang bersifat
individual, trauma muncul sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan sosial
dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.
VIII. Meningkatnya Masalah Psikososial
Lingkup masalah kesehatan jiwa, sangat luas dan kompeks juga saling
berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada undang-
undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Ilmu Kedokteran Jiwa
(psychitri), secara garis besar masalah kesehatan jiwa digolongkan menjadi :
a. Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan kualitas,
hidup yaitu masalah kejiwaan yang berkait dengan makna dan nilai-nilai
kehidupan manusia, misalnya:
1) Masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan lifecycle kehidupan
manusia, mulai dari persiapan pranikah, anak dalam kandungan, balita,
anak, remaja, dewasa, usia lanjut.
2) Dampak dari menderita penyakit menahun yang menimbulkan
disabilitas.
3) Pemukiman yang sehat.
4) Pemindahan tempat tinggal.
b. Masalah Psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai
aikbat terjadinya perubahan sosial, misalnya :
1) Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat umum
dan diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap
mengganggu ketertiban/keamanan lingkungan).
2) Pemasungan penderita gangguan jiwa.
3) Masalah anak jalanan.
4) Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan).
5) Penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika.
c. Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual, dan lain-lain).
1) Tindak kekerasaan sosial (kemiskinan, penelataran tidak diberi nafkah,
korban kekerasaan pada anak dan lain-lain).
2) Stress pascatrauma (ansietas, gangguan emosional, berulangkali
merasakan kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam,
ledakan, kekerasaan, penyerangan/penganiyaan secara fisik atau
seksual, termasuk pemerkosaan, terorisme dan lain-lain).
3) Pengungsi/imigrasi (masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai
akibat terjadinya suatu perubahan sosial, seperti cemas, depresi, stress
pascatrauma, dan lain-lain.
d. Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan fisik,
gangguan psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan,
perubahan minat, gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan pada daya
ingat, dll).
e. Masalah kesehatan tenaga kerja ditempat kerja (kesehatan jiwa tenaga kerja,
penurunan produktivitas, stress di tempat kerja, dan lain-lain).
https://id.scribd.com/document/445557171/Menganalisis-Sejarah-Keperawatan-Jiwa-dan-Trend-
Isu-dalam-Keperawatan-Jiwa-Global-FIXX-docx
SEJARAH KEPERAWATAN JIWA DAN TREND & ISSUE
DALAM KEPERAWATAN JIWA GLOBAL
Dosen pengampuh :
Ns. Rizkan Djafar, S.Kep, M.Kep
Kelas
7A Keperawatan