PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merawat orang yang sakit merupakan salah satu sifat kemanusiaan yang
terdapat dalam diri manusia. Politik, agama, serta keadaan masyarakat selama
Di dunia ini, setiap orang pasti pernah merasakan sakit. Bukan hanya
dokter saja yang mampu mengobati, dokter juga pastinya membutuhkan rekan
Perawatan bagi individu yang sehat ataupun sakit, dari segala umur, latar
rohani.
dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi yaitu pada saat penjajahan Belanda,
PEMBAHASAN
purba orang masih percaya pada sesuatu tentang adanya kekuatan mistis
kesejahteraan. Pada saat itu peran perawat bisa disamakan dengan dukun
waktu itu pemimpin agama dapat disebut sebagai tabib yang mengobati
agama sedangkan pada waktu itu perawat dianggap sebagai budak yang
(deaconesses), dan para wanita bertugas untuk merawat oarng yang sakit
meninggal, sehingga pada saat itu berdirilah rumah sakit di Roma seperti
Monastic Hospital.
ibadah yang dahulu digunakan untuk merawat sakit tidak lagi digunakan
kembali.
penderitaan yang panjang akibat perang dunia kedua, dan tuntutan perawat
oleh Florence Nightingale sekitar abad ke 18 dan 19. Hasil didikan sekolah
Lalu, pada tahun 1924 sampai 1934, muncul konsep progam pendidikan
oppaser” sebagai penjaga orang sakit. Mereka bekerja pada rumah sakit
Binnen Hospital di Jakarta yang didirikan tahun 1799. Pada masa VOC
semboyan “Kesehatan adalah milik manusia” Pada saat itu Raffles telah
berdiri beberapa rumah sakit swasta milik misionaris katolik dan zending
RS. Elizabeth di Semarang. Bahkan pada tahun 1906 di RS. PGI dan tahun
kemunduran.
Akper Depkes di Jl. Kimia No. 17 Jakarta Pusat. Walaupun sudah ada
medis.
Namun baru mulai tahun 1983 organisasi profesi ini terlibat penuh
akan mewarnai masa depan. Apa yang terjadi di masa sekarang dipengaruhi
oleh sejarah pada masa sebelumnya. Kesuksesan yang diraih seseorang dalam
hidupnya merupakan hasil atau buah dari keuletan dan perjuangannya di masa
lalu.
Indonesia telah memberi dampak yang sangat besar pada seluruh lini
tertekan, lemah, dan tidak berdaya. Kita cenderung menuruti apa saja yang
menjadi keinginan penjajah. Situasi ini terus berlanjut dalam kurun waktu
mencakup pola perilaku, pola pikir, dan pola bertindak. Formasi kultural ini
dari Boemi Putera yang tidak lain adalah kaum terjajah, sedangkan dokter
didatangkan dari negara Belanda sebab pada saat itu di Indonesia belum ada
berada pada posisi yang termarjinalkan. Keadaan ini berlangsung selama ber-
perawat. Posisi perawat sebagai subaltern yang tunduk dan patuh mengikuti
sebagai pembantu dokter. Karena stigma tersebut, peran dan posisi perawat di
dalam diri perawat yang pada akhirnya berpengaruh pada profesi keperawatan
secara umum. Perawat menjadi sosok tenaga kesehatan yang tidak mempunyai
kejelasan wewenang atau ruang lingkup. Orientasi tugas perawat dalam hal ini
yang merupakan kewenangan dokter. Hal seperti ini sering kita temui di
disebut mantri, dan perawat perempuan disebut suster. Ketimpangan ini terjadi
fenomena ini masih terus berlangsung hingga kini. Hal ini tentunya akan
yang profesional. Seperti kita ketahui, kultur yang sudah terinternalisasi akan
sulit untuk diubah. Dibutuhkan persamaan persepsi dan cita-cita antar perawat
serta kemauan profesi lain untuk menerima dan mengakui perawat sebagai
dan berada pada posisi submisif. Kondisi seperti ini sering kali temui dalam
dari perawatan klien dan perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling
sering serta paling lama berinteraksi dengan klien. Asuhan keperawatan yang
secara menyeluruh dan bertanggung jawab atas klien. Hal yang sama juga
keperawatan bukan hanya pada saat klien sakit, tetapi juga setelah kondisi
klien sehat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
manusia itu memiliki naluri seorang ibu (mother instinct). Awalnya orang-
orang berpikir bahwa penyakit itu berasal dari hal-hal mistis, tetapi seiring
pesat.
yang berkelanjutan.