Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH EVIDENCE BASED DALAM ASUHAN MASA NIFAS SERTA

KAJIAN JURNAL
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Evidance Based Dalam Praktik
Kebidanan

Disusun Oleh :

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepadat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan tugas makalah matakuliah Epidence Based Dalam Praktik Kebidanan
“Epidance Based Dalam Asuhan Masa Nifas serta Kajian Jurnal” ini dengan tepat
waktu. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih kurang sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun diharapkan demi
kesempurnaan makalah selanjutnya. Besar harapan semoga makalah ini dapat
bermanfaat sebagai informasi ataupun pengetahuan bagi pembaca dan dapat menjadi
literatur guna membantu mahasiswa dalam belajar mata kuliah Epidance Based
Dalam Praktik Kebidanan.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................ii

Daftar Isi .................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................……........4

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................6

1.3 Tujuan Penulisan ..........................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Evidence Based Practice .................................................7

2.2 Manfaat Evidence Based Practice ......................................................7

2.3 Karakteristik Evidence Based Practice .....................................……8

2.4 Proses Eksplorasi Evidence Based Practice ......................................8

2.5 Etika Pemanfaatan Evidence Based Practice ...................................9

2.6 Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas Dengan Memanfaatkan Evidence Based
Practice........................................................................…….10

2.7 Based Practice Berdasarkan Jurnal ..................................................14

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ..........................................................................................18

3.2 Saran .......................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................20
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masa nifas atau puerperium adalah masa setelah partus selesai sampi pulihnya
kembali alat-alat kandungan seperto sebelum hamil. Lamanya masa nifas ini yaitu
kirakira 6-8 minggu. (Abidin, 2011) Tahap-tahap masa nifas meliputi : puerperium
dini, puerperium intermedial, remot puerperium. Tidak dapat dipungkiri bahwa
periode nifas adalah masa yang beresiko terhadap ibu dan bayi baru lahir, namun
mendapat perhatian yang sangat sedikit oleh petugas kesehatan, tidak sebesar pada
masa hamil dan melahirkan. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, dimana cakupan
kunjungan nifas hanya mencapai 86,64%, sementara cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan mencapai 90,88%.
Fakta lain menyebutkan bahwa dari 30 negara sedang berkembang yang
disurvey sejak tahun 1999 – 2004, terdapat 40% ibu melahirkan yang tidak pernah
memperoleh perawatan nifas. Di antara ibu melahirkan di luar fasilitas kesehatan,
ratarata lebih dari 70% tidak menerima perawatan postpartum. Di antara semua ibu
yang menerima perawatan postpartum, 57% diperoleh dari tenaga kesehatan dan
sisanya menerima perawatan dari dukun bersalin tradisional (Traditional Birth
attendance / TBA) sebesar 36% dan dari sumber lainnya sebesar 7%.
Pada jam, hari dan minggu pertama setelah persalinan adalah waktu yang
berbahaya bagi ibu dan bayi yang baru lahir. Di antara lebih dari 500.000 wanita yang
meninggal setiap tahun karena komplikasi kehamilan dan persalinan, sebagian besar
kematian terjadi selama atau segera setelah melahirkan. Setiap tahun tiga juta bayi
meninggal pada minggu pertama kehidupan, dan 900.000 lainnya mati dalam tiga
minggu ke depan. Adapun proporsi kematian ibu dan bayi pada masa nifas dalam satu
minggu pertama persalinan dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Perdarahan dan infeksi setelah proses persalinan untuk banyak kematian ibu,
sementara kelahiran prematur, asfiksia dan infeksi berat berkontribusi pada dua
pertiga dari semua kematian neonatal. Perawatan yang tepat di jam-jam pertama dan
hari-hari setelah melahirkan dapat mencegah sebagian besar kematian ini. WHO
merekomendasikan agar para ahli kesehatan yang terampil menghadiri semua
kelahiran, untuk memastikan hasil terbaik bagi ibu dan bayi yang baru lahir.
Namun, sebagian besar wanita masih kurang peduli. Rata-rata, penolong
kelahiran terampil mencakup 66% kelahiran di seluruh dunia, dan beberapa bagian
Afrika dan Asia memiliki tingkat cakupan yang jauh lebih rendah. Fakta bahwa dua
pertiga kematian ibu dan bayi baru lahir terjadi pada dua hari pertama setelah
kelahiran membuktikan kurangnya perawatan.
Karena permasalahan tersebut, pelayanan kesehatan harus lebih ditingkatkan
menjadi lebih baik. Cara yang dilakukan salah satunya dengan menerapkan evidence
based practice, dimana semua tindakan didasarkan pada bukti penelitian yang telah
dilakukan. Tujuan dari evidence base pada masa nifas yaitu untuk mengetahui
kesejahteraan ibu dan bayi, baik dari kesehatan, kebersihan, nutrisi, pemberian ASI,
tanda bahaya masa nifas dan perdarahan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan
kompetensi tenaga kesehatan dan ibu nifas beserta bayi dapat sehat dan terhindar dari
kematian.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan evidence based practice?
b. Apa manfaat dari evidence based practice? c.
c. Apa saja karakteristik evidence based practice? d.
d. Bagaimana proses eksplorasi evidence based practice?
e. Apa saja etika pemanfaatan evidence based practice?
f. Apa saja asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan memanfaatkan evidence
based practice?
g. Apa saja based practice berdasarkan jurnal?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pentingnya melakukan pelayanan kesehatan berdasarkan
evidence based practice.
b. Untuk mengetahui mengetahui kesejahteraan ibu dan bayi, baik dari kesehatan,
kebersihan, nutrisi, pemberian ASI, tanda bahaya masa nifas dan perdarahan.
c. Untuk mengetahui menghasilkan praktik profesi yang optimal.
d. Agar masyarakat mendapat pelayanan kesehatan yang optimal.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Evidence Based Practice


Pengertian evidence base jika ditinjau dari pemenggalan kata (Inggris)
maka evidence base dapat diartikan sebagai berikut evidence artinya bukti atau
fakta dan based artinya dasar. Jadi evidence based adalah: Praktik berdasarkan
bukti.
Evidence Based Midwifery (Practice) didirikan oleh RCM dalam rangka
untuk membantu mengembangkan kuat professional dam ilmiah dasar untuk
pertumbuhan tubuh bidan berorientasi akademis. EBM secara resmi
diluncurkan sebagai sebuah jurnal mandiri untuk penelitian murni bukti pada
konferensi tahunan di RCM Harrogate, Inggris pada tahun 2003 (Hemmings et
al, 2003). Itu dirancang ‘untuk membantu bidan dalam mendorong maju yang
terikat pengetahuan kebidanan dengan tujuan utama meningkatkan perawatan
untuk ibu dan bayi’ (Silverton, 2003). EBM mengakui nilai yang berbeda jenis
bukti harus berkontribusi pada praktik dan profesi kebidanan. Jurnal kualitatif
mencakup aktif serta sebagai penelitian kuantitatif, analisis filosofis dan konsep
serta tinjauan pustaka terstruktur, tinjauan sistematis, kohor studi, terstruktur,
logis dan transparan, sehingga bidan benar dapat menilai arti dan implikasi
untuk praktik, pendidikan dan penelitian lebih lanjut.
Jadi pengertian Evidence Base-Midwifery dapat disimpulkan sebaagai
asuhan kebidanan berdasarkan bukti penelitian yang telah teruji menurut
metodologi ilmiah yang sistematis.
2.2 Manfaat Evidence Based Practice
Manfaat yang dapat diperoleh dari pemanfaatan Evidence Based antara lain:
a. Keamanan bagi tenaga kesehatan karena intervensi yang dilakukan
berdasarkan bukti ilmiah.
b. Meningkatkan kompetensi (kognitif).
c. Memenuhi tuntutan dan kewajiban sebagai professional dalam memberikan
asuhan yang bermutu.
d. Memenuhi kepuasan pelanggan yang mana dalam asuhan kebidanan klien
mengharapkan asuhan yang benar sesuai dengan bukti dan teori serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.3 Karakteristik Evidence Based Practice
Menurut Sackett et al. Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu
pendekatan medic yang di dasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk
kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam
praktiknya, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik
dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya. Pengertian lain
dari evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan secara
sistematik untuk menemukan, menelaah/me-riview, dan memanfaatkan hasil-
hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik.
Jadi secara rincinya lagi, EBM merupakan keterpaduan antara (1) Bukti-
bukti ilmiah, yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence);
dengan (2) Keahlian klinis (clinical expertise) dan (3) Nilai-nilai yang ada pada
masyarakat (patient values). Publikasi ilmiah ada pada pempublikasian hasil
penelitian atau sebuah hasil pemikiran yang telah ditelaah dan disetujui dengan
beberapa pertimbangan baik dari accountable aspek metodologi maupun
accountable aspek ilmiah yang berupa jurnal, artikel, e-book atau buku yang
diakui.
Adapun accountable aspek ilmiah adalah mensurvey secara langsung
tentang suatu pemasalahan dengan penelitian untuk mendapatkan dasar yang
valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Maksudnya adalah melalui evidence
based medicine kita mengadakan survei tentang kelainan fisik sejumlah
penderita penyakit tertentu. Selain mensurvei keluhan dan kelainan fisik
penderita, melalui evidence based medicine kita juga dapat mensurvei hasil
terapinya. Sedangkan accountable aspek metodologis adalah ilmu yang
digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan tata cara tertentu dalam
pengumpulan data hasil penelitian yang telah ditelaah dan diakui kebenarannya.
2.4 Proses Eksplorasi Evidence Based Practice
Pada evidence based medicine, pengobatan didasar pada bukti ilmiah
yang dapat dipertanggung jawabkan. Sedangkan evidence based practice, bukti
tidak dapat hanya dikaitkan dengan bukti-bukti ilmiah saja, tetapi juga harus
dikaitkan dengan bukti/data yang ada pada saat praktik profesi dilakukan.
Dengan demikian perbedaan waktu, situasi, kondisi, tempat dan lain-lain,
mungkin akan mempengaruhi tindakan profesi, keputusan profesi, dan hasil
dari swamedikasi. Dan jalannya praktik profesi apoteker tetap harus berjalan
optimal pada setiap situasi dan kondisi termasuk pada swamedikasi. Agar tetap
menghasilkan praktik profesi yang optimal, setiap apoteker atau calon apoteker
harus terlatih dalam penguasaan dan penerapan skill dan knowledge dalam
praktik profesi sesuai kebutuhan.
Setiap apoteker bisa jadi mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam
skill dan knowledge, hal ini tergantung dari banyak hal, termasuk model,
manajemen, lokasi, orientasi dan lain-lain. Tetapi semua mempunyai semua
mempunyai kesamaan dalam standar profesi. Oleh karena itu pada apoteker
komunitas, jam terbang apoteker dapat mempengaruhi kualitas penguasaan skill
dan knowledge dari seorang apoteker. Apoteker yang sangat cerdas bisa jadi
akan kalah dengan apoteker yangsangat aktif di dalam pelayanan komunitas.
Salah satu standar yang digunakan untuk mendapatkan kualitas layanan
yang ‘ajeg’ adalah ‘Standar Prosedur Operasional’ (SPO). Yang mana standar
ini harus disusun sesuai praktik profesi yang telah dilakukan, bukan hanya
sekedar teori belaka yang belum diuji coba, yang ujung-ujungnya adalah
membuat susah dalam penerapannya. Selanjutnya SPO ini harus diuji cobakan
secara luas dan proporsional sebelum dijadikan standar secara nasional.
2.5 Etika Pemanfaatan Evidence Based Practice
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang
berperngaruh terhadap meningkatnya kritis masyarakat terhadap mutu
pelayanan kesehatan terutama pelayanan kebidanan. Menjadi tantangan bagi
profesi bidan untuk mengembangkan kompetensi dan profesionalisme dalam
menjalankan praktik kebidanan serta dalam memberikan pelayanan berkualitas.
Sikap etis professional bidan akan mewarnai dalam setiap langkahnya,
termasuk dalam mengambil keputusan dalam merespon situasi yang muncul
dalam usaha. Pemahaman tentang etika dan moral menjadi bagian yang
fundamental dan sangat penting dalam memberikan asuhan kebidanan dengan
senantiasa menghormati nilainilai pasien.
Etika merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku
benar atau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku.
Etika berfokus pada prinsip dan konsep yang membimbang manusia berfikir
dan bertindak dalam kehidupannya dilandasi nilai-nilai yang dianutnya.
2.6 Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dengan Memanfaatkan Evidence Based
Practice :
A. Pengertian Asuhan Postnatal Care Postnatal artinya suatu periode yang tidak
kurang dari 10 atau lebih dari 28 hari setelah persalinan. Dimana selama
waktu itu kehadiran yang continue dari bidan kepada ibu dan bayi sedang
diperlukan bertujuan untuk mendeteksi dini adanya komplikasi dan penyulit
pada masa postnatal.
B. Konsep Dasar Masa Nifas Nifas adalah masa dimulai setelah kelahiran
plasenta dan berakhir ketika alat kandung kembali seperti semula sebelum
hamil, yang berlangsung selama 6 minggu ata +- 40 hari (Prawirohardjo,
2002).
Masa nifas (puerperium) adalah pulih kembali, mulai dari persalinan
selesai sampai alat-alat kandung kembali seperti pra hamil. Lamanya masa
nifas ini yaitu 6-8 minggu (Mochtar, 1998).
Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-
alat kandung kembali seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung kira-
kira 6 minggu. (Abdul Bari, 2000: 122).
Masa nifas merupakan masa selama persalinan dan segera setelah
kelahiran yang meliputi minggu-minggu berikutnya pada waktu saluran
reproduksi kembali ke keadaan tidak hamil yang normal. (F.Gary
Cunningham, Mac Donald, 1995:281).
C. Peran dan Tanggung Jawab Bidan Bidan memiliki peranan yang sangat penting
dalam pemberian asuhan post partum. Adapun peran dan tanggung jawab dalam
masa nifas antara lain :
 Memberikan dukungan secara berkesinambungan selama masa nifas
sesuai dengan kebutuhan ibu untuk mengurangi ketegangan fisik dan
psikologis selama masa nifas.
 Sebagai promotor hubungan antara ibu dan bayi serta keluarga.
 Mendorong ibu untuk menyusui ayinya dengan meningkatkan rasa
nyaman.
 Membuat kebijakan, perencanaan program kesehatan yang berkaitan ibu
dan anak dan mampu melakukan kegiatan administrasi.
 Mendeteksi komplikasi dan perlunya rujukan.
 Memberikan informasi dan konseling untuk ibu dan keluarganya
mengenai cara mencegah perdarahan, mengenali tanda-tanda bahaya,
menjaga gizi yang baik, serta mempraktikan kebersihan yang aman.
 Melakukan menejemen asuhan kebidanan dengan cara mengumpulkan
data, menetapkan diagnose dan rencana tindakan serta melaksanakannya
untuk mempercepat proses pemulihan, mencegah komplikasi dengan
memenuhi kebutuhan ibu dan bayi selama periode nifas.
 Memberikan asuhan kebidanan secara professional.
 Mendukung pendidikan kesehatan termasuk pendidikan dalam
peranannya sebagai orangtua.
D. Tahapan Masa Nifas Nifas dapat dibagi ke dalam 3 periode :
1. Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri
dan berjalan-jalan
2. Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia
yang lamanya 6-8 minggu
3. Remote puerperium, yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih kembali dan
sehat sempurna baik selama hamil ataupun sempurna berminggu-minggu,
berbulan-bulan atau tahunan.
E. Perubahan fisik masa nifas
1. Rasa kram dan mules dibagian bawah perut akibat penciutan rahim (involusi)
2. Keluarnya sisa-sisa darah dari vagina (Lochia)
3. Kelelahan kaena proses melahirkan
4. Pembentukan ASI sehingga payudara membesar
5. Kesulitan buang sir besar (BAB) dan BAK
6. Ganggun otot (betis, dada, perut, panggul dan bokong).
7. Perlukaan jalan lahir (lecet atau jahitan)
Perubahan psikis masa nifas
1. Perasaan ibu berfokus pada dirinya, berlangsung setelah melahirkan
sampai hari ke 2 (Fase Taking In)
2. Ibu merasa kuatir akan ketidakmampuan merawat bayi, muncul perasaan
sedih (Baby Blues disebut Fase Taking Hold hari ke 3-10)
3. Ibu merasa percaya diri untuk merawat diri dan bayinya disebut Fase
Letting Go. (hari ke 10-akhir masa nifas)
F. Pengeluaran lochea terdiri dari:
 Lochea rubra : Hari ke 1-2 : Terdiri dari darah yang bercampur sisa-sisa
ketuban, sel-sel desidua, sisa-sisa vernix kaseosa, lanugo dan mekonium.
 Lochea sanguinolenta : Hari ke 3-7, terdiri dari : Darah bercampur lender,
warna kecoklatan
 Lochea serosa : Hari ke 7—14, berwarna kekuningan
 Lochea alba : Hari ke 14- selesai nifas, hanya merupakan cairan putih
lochea yang berbau busuk dan terinfeksi disebut lochea purulent
G. Tujuan kunjungan masa nifas yaitu :
1. Menilai kondisi kesehatan Ibu dan bayi
2. Melakukan pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya
gangguan kesehatan ibu nifas dan bayinya
3. Mendeteksi adanya komplikasi atau masalah yang terjadi pada masa nifas
4. Menangani komplikasi atau masalah yang timbul dan mengganggu
kesehatan ibu nifas maupun bayinya.
H. Kunjungan masa nifas terdiri dari :
1. Kunjungan 1 : 6-8 jam setelah persalinan, tujuannya:
a. Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri
b. Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan, merujuk bila
perdarahan berlanjut.
c. Memberian konseling pada Ibu atau salah satu anggota keluarga bagaimana
mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri.
d. Pemberian ASI awal.
e. Melakukan hubungan antara ibu dan bayi.
f. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermi.
2. Kunjungan II : 6 hari setelah persalinan, tujuannya:
a. Memastikan, fundus di bawah umbilicus, tidak ada perdarahan abnormal.
b. Menilai adanya tanda-tanda demam infeksi atau perdarahan abnormal.
c. Memastikan ibu mendapat cukup makanan, minuman dan istirahat.
d. Memastikan ibu menyusui dengan dan memperhatikan tanda-tanda
penyakit.
e. Memberikan konseling kepada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali pusat,
menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari.
3. Kunjungan III : 2 minggu setelah persalinan, Tujuannya: sama dengan di atas
(6 hari setelah persalinan).
4. Kunjungan IV : 6 minggu setelah persalinan, Tujuannya : Menanyakan ibu
tentang penyakit-penyakit yang di alami, Memberikan konseling untuk KB
secara dini (Mochtar, 1998). Table 5. Perkembangan Evidence Base dalam
Praktik Kebidanan Postnatal Care :
Kebiasaan Keterangan
Tampon vagina Tampon vagina menyerap darah tetapi
tidak menghentikan perdarahan
perdarahan, tetap terjadi bahkan dan
dapat menyebabkan infeksi.
Gurita atau sejenisnya Selama 2 jam pertama atau selanjutnya
penggunaan gurita akan menyebabkan
kesulitan pemantauan involusio rahim.

Memisahkan Ibu dan Bayi Bayi benar-benar siaga selama 2 jam


pertama setelah kelahiran. Ini
merupakan waktu yang tepat untuk
melakukan kontak kulit ke kulit kulit ke
kulit untuk mempererat bounding
attachment serta keberhasilan
pemberian ASI.
Asuhan Kebidanan Postnatal : Deteksi dini komplikasi masa postnatal,
Persiapan pasien pulang. Home visit dalam asuhan postnatal, Suport system
dalam asuhan postnatal breastfeeding, Peran menjadi orangtua, Kelompok ibu
postpartum.
2.7 Based Practice Berdasarkan Kajian Jurnal
1). Melakukan Senam Nifas Jurnal : Pengaruh Senam Nifas Terhadap Involusi
Uterus dan Pengeluaran Lokia di Wilayah Kerja Puskesmas Cilembang Kota
Tasikmalaya Tahun 2015 oleh Etin Rohmatin pada tahun 2015.
a. Apakah senam nifas perlu dilakukan? Senam nifas perlu dilakukan oleh ibu
pasca melahirkan karena memiliki manfaat untuk proses involusi uterus dan
pengeluaran lokia yang normal.
b. Manfaat senam nifas
 Membantu mencegah pembekuan (thrombus) pada pembuluh
tungkai
 Membantu ketergantungan peran sakit menjadi sehat dan tidak
ketergantungan
 Mengencangkan otot perut, liang senggama, otot-otot sekitar
vagina maupun otot-otot dasar panggul
 Sirkulasi darah menjadi teratur dan optimal
 Mempercepat penyembuhan dan mencegah terjadinya
komplikasi
 Dapat menimbulkan kebugaran dan tenaga yang lebih baik
sehingga mampu meningkatkan mobilisasi pada diri ibu nifas.
c. Hasil penelitian
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan mengenai pengaruh
senam nifas terhadap involusi uterus dan pengeluaran lokia di wilayah
kerja Puskesmas Cilembang Kota Tasikmalaya Tahun 2015 dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pelaksanaan intervensi senam nifas
ini dilakukan pada 32 ibu nifas. Involusi uterus pada ibu yang
melakukan senam nifas terbanyak pada kategori normal sebanyak 24
orang (75%). Pengeluaran lokia pada ibu yang melakukan senam nifas
terbanyak pada kategori normal sebanyak 23 orang (71,9%). Ada
pengaruh senam nifas terhadap involusi uterus dengan  value sebesar
0,005 (<0,05). Ada pengaruh senam nifas terhadap pengeluaran lokia
dengan value sebesar 0,013 (<0,05).
d. Mengapa harus dilakukan senam nifas?
Senam nifas harus dilakukan untuk menyadarkan ibu nifas yang
beranggapan bahwa setelah persalinan tidak boleh banyak melakukan
gerakan-gerakan karena akan mengganggu penyembuhan setelah
persalinan, padahal gerakan-gerakan yang dilakukan pasca melahirkan
dapat merangsang otot-otot untuk cepat kembali normal dan mobilisasi
sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan ibu.
2) . Konseling dan Pendampingan Suami Selama Pemberian ASI Pertama Kali
Jurnal : Pengaruh Pelaksanaan Konseling dan Pendampingan Suami Terhadap
Keberhasilan Ibu Menyusui dalam Pemberian Kolostrum oleh Nuraeni, Suryani
Soepardan, Bahiyatun, Ari Soewondo pada tahun 2017.
A. Apakah pelaksanaankonseling dan pendampingan suami dalam pemberian
kolostrum perlu dilakukan?Perlu, karena ibu nifas dan suami perlu diberikan
edukasi yang jelas dan tepat agar mereka tahu pentingnya memberikan kolostrum
pada bayinya.
B. Manfaat pelaksanaan konseling dan pendampingan suami dalam pemberian
Kolostrum Manfaat dilakukan pemberian konseling agar ibu menyusui
dapatmemberikan kolostrum pada bayinya sedini mungkin karena kolostrum
mengandung protein, antibody,dan immunoglobulin yang dapat berfungsi sebagai
perlindungan terhadap infeksi pada bayi karena zat antibody yang dimiliki dapat
mencegah dan menetralisir bakteri, virus, jamur dan parasit, serta untuk
melindungi bayi dari berbagai penyakit seperti diare yang menduduki peringkat
ke 3 penyebab kematian bayi. Pendampingan suami dalam pemberian kolostrum
ialah memberikan dukungan penuh pada ibu menyusui untuk memberikan
kolostrumnya dengan baik.
C. Hasil penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan di BPM Kota Cirebon pada tanggal 01
November 2013 – 31 Desember 2013 dengan responden berjumlah 30 ibu hamil
aterm dan ibu menyusui, menunjukan bahwa responder yang diberi tindakan
konseling dan pendampingan suami terdapat 14 orang (93,30%) yang
memberikan kolostrum pada bayiny, sedangkan pada responder yang tidak
diberikan tindakan konseling dan pendampingan suami ada 6 orang (40%) yang
memberikan kolostrum pada bayinya. Hasil : Pengaruh dari tindakan pemberian
konseling dan pendampingan suami adalah bahwa responden yang diberikan
tindakan konseling dan pendampingan suami mempunyai peluang 2,333 kali lebih
besar untuk memberikan kolostrum pada bayinya dibandingkan dengan responden
yang tidak diberikan konseling dan pendampingan suami.
D. Mengapa harus dilakukan pelaksanaan konseling dan pendampingan suami
dalam pemberian kolostrum? Pelaksanaan konseling dan pendampingan suami
dalam pemberian kolostrum harus dilakukan agar wanita hamil, ibu menyusui dan
para suamimendapatkan informasi yang jelas, lengkap dan berkelanjutan
mengenai pemberian kolostrum sedini mungkin sehingga dapat menurunkan AKB
yang terjadi dengan cara pemberian kolostrum yang memiliki banyak manfaat.
3). Pijat Oksitosin
- Jurnal : Efektifitas Pijat untuk Merangsang Hormon Oksitosin Pada Ibu Nifas
Primipara oleh Murti Ani, Novita Ika Wardani, Septalia Isharyanti 2014.
1. Apakah pijat untuk merangsang hormone oksitosin pada ibu nifas perlu
dilakukan?
Perlu
2. Manfaat pijat untuk merangsang hormone oksitosin pada ibu nifas
 Meminimalkan jumlah perdarahan post partum
 Menstimulasi sekresi oksitosin yang merangsang sekresi ASI
 Memperbanyak jumlah produksi kolostrum
 Membuat ibu nifas lebih nyaman, rileks dan mengurangi kelelahan setelh
melahirkan.
3. Hasil penelitian Intervensi pijat untuk merangsang hormone oksitosin mampu
memperbanyak produksi ASI yang dalam hal ini di ukur dari perningkatan berat
badan bayi. Adanya pengaruh pijat oksitosin dapat mempercepat penurunn TFU
dari kondisi normal pada umumnya. Rata-rata perubahan TFU pada ibu nifas
primipara tertinggi pada hari ke 7 pada kelompok control sebesar 5,420dan
kelompok perlakuan sebesar 3,330. Terdapat perbedaan penurunan sebesar 2.090
cm.
4. Mengapa harus dilakukan pijat untuk merangsang hormone oksitosin pada ibu
nifas? Karena penyebab kematian ibu pada waktu nifas diantaranya adalah
perdarahan post partum. Upaya untuk mengendalikan terjdinya perdarahan di
tempat plasenta yaitu dengan memperbaiki kontraksi dan retraksi myometrium
yang kuat dengan pijatan yang merangsang pengeluaran oksitosin. Serta,
pemberian ASI saat ini masih terhalang dengan banyaknya kendala, diantaranya
adalah produksi ASI yang kurang lancar.

- Jurnal : Manfaat pijat oksitosin terhadap produksi ASI pada ibu postpartum normal
oleh Hanum dkk (2015).
Metode penelitian menggunakan desain quasy eksperimen dengan
rancangan penelitian eksperimen semu atau dengan rancangan non randomized
posttest without control group design. Pengambilan sampel dengan purposive
sampling. Sampel berjumlah 40 orang ibu postpartum normal yang dibagi dalam 2
kelompok yaitu 20 responden dengan melakukan pijat oksitosin dan 20 responden
tanpa pijat oksitosin. Hasil menunjukan rata-rata usia ibu yaitu 20-35 tahun
(92,5%), multipara (70%). Berdasarkan hasil analisis dengan uji statistic chi-square
didapatkan bahwa nilai t hitung 9,22 > t table 3,84 dengan demikian Ho ditolak dan
H1 diterima. Simpulan dari hasil didapatkan produksi ASI pada ibu postpartum
normal adalah cukup dan ada perbedaan antara produksi ASI ibu postpartum setelah
mendapatkan pijat oksitosin dan tidak. Pijat oksitosin adalah salah satu cara untuk
memperlancar dan meningkatkan produksi ASI. Pijat oksitosin merupakan salah
satu contoh dari intervensi mandiri bidan dan mudah dipilih dala penatalaksanaan
merangsang produksi ASI.

Anda mungkin juga menyukai