l8 Inka Siti Rabiah 10060321151
l8 Inka Siti Rabiah 10060321151
PERCOBAAN 8
PANCA INDERA
Disusun oleh:
Kelompok/Shift : 1 D/2
1443 H/2021 M
PERCOBAAN 8
PANCA INDERA
I. Tujuan Percobaan
1. Menjelaskan struktur anatomi dan fungsi panca indera dan kaitannya dengan sistem
saraf
2. Menjelaskan mekanisme fisiologi dan sifat-sifat indera
1. Interoreseptor
Berfungsi untuk mengenali perubahan-perubahan yang terjadi di dalam tubuh. Sel –
sel interoreseptor terdapat pada sel otot, tendon, ligamentum, sendi, dinding pembuluh
darah, dan lain sebagainya. Sel – sel ini dapat mengenali berbagai perubahan yang ada
di dalam tubuh seperti terjadi rasa nyeri di dalam tubuh, kadar oksigen menurun, kadar
glukosa, tekanan darah menurun/naik, dan lain sebagainya. (Coad, 2001)
2. Eksoreseptor
Berfungsi untuk mengenali perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi di luar
tubuh. Yang termasuk eksoreseptor yaitu: mata, telinga, kulit, lidah, dan hidung.
Kelima indra ini dikenal dengan sebutan panca indera.(Coad, 2001)
A. Mata
Mata merupakan organ yang disusun dari bercak sensitif cahaya primitif. Dalam
selubung pelindungnya, mata mempunyai lapisan reseptor, sistem lensa pemfokusan
cahaya atas reseptor, dan merupakan suatu sistem saraf. Secara struktural bola mata
seperti sebuah kamera, tetapi mekanisme persarafan yang ada tidak dapat dibandingkan
dengan apapun. Susunan saraf pusat dihubungkan melalui suatu berkas serat saraf yang
disebut saraf optik. (Syaifuddin, 2006)
Mata adalah organ yang mendeteksi cahaya yang paling sederhana, tidak hanya
mengetahui apakah lingkungan sekitarnya terang atau gelap. Sekitar 70% dari semua
reseptor sensoris dalam tubuh terdapat di mata, dan hampir setengah dari korteks serebral
terlibat dalam beberapa aspek pemrosesan visual. Ukuran diameter mata orang dewasa
sekitar 2,5 cm yang terletak di bagian depan orbit. (Hoehn, 2013)
Struktur aksesori mata mencakup alis, kelopak mata, konjungtiva, otot lakrimal,
dan otot mata ekstrinsik. (Hoehn, 2013)
a. Alis, merupakan bulu-bulu pendek dan kasar yang menutupi bagian luar tengkorak.
Berfungsi untuk membantu menaungi mata dari cahaya matahari dan mencegah keringat
menetes di dahi agar tidak mencapai mata. (Hoehn, 2013)
b. Kelopak mata, merupakan lipatan tipis yang dapat bergerak dan melindungi orbita.
Fissura palpebra merupakan lubang berbentuk elips di antara palpebra superior dan
palpebra inferior, tempat masuk ke dalam sakus konjungtiva. Glandula sebasea bermuara
langsung ke dalam folikel bulu mata. (Syaifuddin, 2006)
c. Konjungtiva, merupakan selaput lendir yang transparan. Fungsi utama konjungtiva
adalah untuk menghasilkan cairan pelumas yang dapat mencegah mata mongering.
(Hoehn, 2013)
d. Otot lakrimal, terdiri dari pars orbitalis yang besar dan pars palpebralis yang kecil.
Keduanya saling berhubungan pada ujung lateral aponerosis muskulus levator palpebrae
superior bagian lateral forniks (lateral konjungtiva), nucleus lakrimalis, dan nervus VII
(nucleus fasialis). Air mata untuk membasahi kornea.(Syaifuddin, 2006)
e. Otot mata ekstrinsik, otot ini berasal dari dinding orbit dan menyisipkan ke permukaan
luar bola mata.(Hoehn, 2013)
Mata bisa melihat benda karena adanya cahaya yang dipantulkan oleh benda
tersebut ke mata. Jika tidak ada cahaya yang dipantulkan benda, maka mata tidak bias
melihat benda tersebut.(Shier, 2015)
Proses mata melihat benda adalah sebagai berikut.
a. Cahaya yang dipantulkan oleh benda di tangkap oleh mata, menembus kornea dan
diteruskan melalui pupil.
b. Intensitas cahaya yang telah diatur oleh pupil diteruskan menembus lensa mata.
c. Daya akomodasi pada lensa mata mengatur cahaya supaya jatuh tepat di bintik kuning.
d. Pada bintik kuning, cahaya diterima oleh sel kerucut dan sel batang, kemudian
disampaikan ke otak.
e. Cahaya yang disampaikan ke otak akan diterjemahkan oleh otak sehinga kita bisa
mengetahui apa yang kita lihat.
B. Telinga
Telinga adalah suatu organ kompleks dengan komponen-komponen fungsional
penting, aparatus pendengaran dan mekanisme keseimbangannya, terletak di dalam
tulang temporalis tengkorak. Sebagian besar telinga tidak dapat diperiksa secara
langsung dan hanya dapat diperiksa dengan tes-tes khusus. Telinga terdiri dari telinga
luar, telinga tengah, dan telinga dalam.(Hoehn, 2013)
1. Telinga luar
Telinga luar terdiri atas daun telinga, gendang telinga, dan membran timpani. Struktur
anatomi telinga luar dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Daun telinga (pinna atau aurikula) yakni daun kartilago yang menangkap
gelombang bunyi dan menjalarkannya ke kanal auditori eksternal (meatus atau lubang
telinga), suatu lintasan sempit panjangnya 2,5 cm yang merentang dari aurikula sampai
membran timpani (gendang telinga). Dan lobulnya yang menggantung dan berdaging,
tidak memiliki tulang rawan untuk menopangnya. (Hoehn, 2013)
Gendang telinga atau membran timpani adalah perbatasan telinga tengah.
Membran timpani berbentuk kerucut dan dilapisi kulit pada permukaan eksternal dan
membran mukosa yang sesuai untuk menggetarkan gelombang bunyi secara
mekanis(Shier, 2015)
2. Telinga tengah
Telinga tengah terletak di rongga berisi udara dalam bagian petrosus tulang
temporal. Pada bagian ini terdapat saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan
faring yaitu tuba eustachius (saluran eustachius). Saluran yang biasanya tertutup dapat
terbuka saat menguap, menelan, atau mengunyah. Saluran ini berfungsi untuk
menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani. (Hoehn, 2013)
Pada telinga bagian tengah ini terdapat tulang-tulang pendengaran (osikel
auditori) yang dinamai sesuai bentuknya, terdiri dari:
a. Maleus (tulang martil)
b. Incus (tulang landasan atau anvil)
c. Stapes (tulang sanggurdi)
Telinga dalam terdiri dari dua bagian yakni labirin tulang dan labirin membranosa
yang terletak di dalam labirin tulang.(Hoehn, 2013)
a. Labirin tulang
Labirin tulang adalah ruang berliku berisi perilimfe, suatu cairan yang
menyerupai cairan serebrospinalis. Bagian ini melubangi bagian petrosus tulang
temporal dan terbagi menjadi 3 bagian sebagai berikut.(Hoehn, 2013)
1) Vestibula adalah bagian sentral labirin tulang yang menghubungkan saluran
semisirkular dengan koklea.
Dinding lateral vestibula mengandung fenestra vestibuli dan fenestra cochleae, yang
berhubungan dengan telinga tengah.
Membran yang melapisi fenestra untuk mencegah keluarnya cairan perilimfe.
2) Rongga tulang saluran semisirkular yang menonjol dari bagian posterior vestibula.
Saluran semisirkular anterior dan posterior mengarah pada bidang vertikal, di setiap
sudut kanannya.
Saluran semisirkular lateral terletak horizontal dan pada sudut kanan kedua saluran
di atas.
3) Koklea mengandung reseptor pendengaran.
b. Labirin membranosa
Labirin membranosa adalah serangkaian tuba berongga dan kantong yang terletak dalam
labirin tulang dan mengikuti kontur labirin tersebut. Bagian ini mengandung cairan
endolimfe, cairan yang menyerupai cairan interselular. Labirin membranosa dalam regio
vestibula merupakan lokasi awal dua kantong, utrikulus dan sakulus yang dihubungkan
dengan duktus endolimpe sempit dan pendek. Duktus semisirkular yang berisi endolimfe
terletak dalam saluran semisirkular pada labirin tulang yang mengandung
perilimfe.(Hoehn, 2013)
Setiap duktus semisirkular, utrikulus dan sakulus mengandung reseptor untuk
ekuilibrium statis (bagaimana cara kepala berorientasi terhadap ruang bergantung pada
gaya gravitasi) dan ekuilibrium dinamis (apakah kepala bergerak atau diam dan
kecepatan serta arah gerakan). Utrikulus terhubung dengan duktus semisirkular; sedang
sakulus terhubung dengan duktus koklear dalam koklea.(Hoehn, 2013)
Koklea membentuk dua setengah putaran di sekitar inti tulang sentral, mediolus yang
mengandung pembuluh darah dan serabut saraf cabang koklear dari saraf
vestibulokoklear. Sekat membagi koklea menjadi tiga saluran terpisah sebagai
berikut.(Hoehn, 2013)
1) Duktus koklear atau skala media yang merupakan bagian labirin membranosa yang
terhubung ke sakulus adalah saluran tengah yang berisi cairan endolimfe.
2) Dua bagian labirin tulang yang terletak di atas dan di bawah skala media adalah skala
vestibuli dan skala timpani. Kedua skala tersebut mengandung cairan perilimfe dan terus
memanjang melalui lubang pada apeks koklea yang disebut helikotrema.
Membran Reissner (membran vestibular) memisahkan skala media dari skala vestibuli
yang berhubungan dengan fenestra vestibuli.
Membran basilar memisahkan skala media dari skala timpani yang berhubungan
dengan fenestra cochleae.
3) Skala media berisi organ corti yang terletak pada membran basilar.
Organ corti terdiri dari reseptor, disebut sel rambut dan sel penunjang yang menutupi
ujung bawah sel-sel rambut dan berada pada membran basilar.
Membran tektorial adalah struktur gelatin seperti pita yang merentang di atas sel- sel
rambut.
Ujung basal sel rambut bersentuhan dengan cabang bagian koklear saraf
vestibulokoklear. Sel rambut tidak memiliki akson dan langsung bersinanpsis dengan
ujung saraf koklear.
C. Hidung
Rasa penciuman dirangsang oleh gas yang terhirup ataupun oleh unsur-unsur
halus. Jika kita bernafas lewat hidung dan kita mencium bau suatu udara, udara yang kita
hisap melewati bagian atas dari rongga hidung melalui konka nasalis. Di dalam konka
nasalis terdapat tiga pasang karang hidung yaitu konka nasalis superior, konka nasalis
media, dan konka nasalis inferior.(Amerman, 2016)
a. Rongga hidung (nasal cavity) berfungsi untuk mengalirkan udara dari luar ke
tenggorokan menuju paru paru. Rongga hidung ini dihubungkan dengan bagian belakang
tenggorokan. Rongga hidung dipisahkan oleh langit-langit mulut kita yang disebut
dengan palate. Di rongga hidung bagian atas terdapat sel-sel reseptor atau ujung- ujung
saraf pembau. Ujung-ujung saraf pembau ini timbul bersama dengan rambut-rambut
halus pada selaput lendir yang berada di dalam rongga hidung bagian atas. Rongga ini
dapat membau dengan baik.(Amerman, 2016)
a. Korteks olfaktori primer dan area asosiasi olfaktori. Kedua area ini merupakan tempat
membedakan persepsi bau dan memori yang berkaitan dengan pusat olfaktori di otak.
b. Sistem limfatik (amigdala dan septum) tempat sinyal olfaktori mengaktifkan emosi
dan perilaku yang berkaitan dengan bau yang memproyeksikan insting dan respon
stereoptik disebut feromon.
c. Pusat hipotalamik, pengatur makanan, respon otonom dan kontrol hormon terutama
hormon reproduksi.
d. Formasioretikular suatu pengatur atensi dan terjaga, sinyal ini dipancarkan secara tidak
langsung melalui sistim limbik dan korteks.
D. Lidah
Lidah adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang dapat
membantu pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan. Lidah juga turut
membantu dalam tindakan bicara. Permukaan atas lidah penuh dengan tonjolan (papila).
Tonjolan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam bentuk, yaitu bentuk benang,
bentuk dataran yang dikelilingi parit-parit, dan bentuk jamur. Tunas pengecap terdapat
pada parit-parit papila bentuk dataran, di bagian samping dari papila berbentuk jamur,
dan di permukaan papila berbentuk benang.(Sloane, 2004)
Besar lidah tersusun atas otot rangka yang terlekat pada tulang hyoideus, tulang
rahang bawah, dan processus styloideus di tulang pelipis. Terdapat dua jenis otot pada
lidah yaitu otot ekstrinsik dan intrinsic. Lidah memiliki permukaan yang kasar karena
adanya tonjolan yang disebut papila. Terdapat tiga jenis papila yaitu: (Sloane, 2004)
a. Papila filiformis berbentuk seperti benang halus.
b. Papila sirkumvalata berbentuk bulat, tersusun seperti huruf V di belakang
lidah.
c. Papila fungiformis berbentuk seperti jamur.
Tunas pengecap adalah bagian pengecap yang ada di pinggir papila, terdiri dari
dua sel yaitu sel penyokong dan sel pengecap. Sel pengecap berfungsi sebagai reseptor,
sedangkan sel penyokong berfungsi untuk menopang. Bagian-bagian lidah terdiri dari
bagian depan, pinggir, dan belakang. (Sloane, 2004)
b. Bagian pinggir lidah, fungsinya untuk mengecap rasa asin dan asam.
Lidah memiliki kelenjar ludah yang menghasilkan air ludah dan enzim amilase
(ptialin). Enzim ini berfungsi mengubah zat tepung (amilum) menjadi zat gula. Letak
kelenjar ludah yaitu kelenjar ludah atas terdapat di belakang telinga, dan kelenjar ludah
bawah terdapat di bagian bawah lidah.(Sloane, 2004)
E. Kulit
Kulit merupakan lapisan yang menutupi seluruh bagian tubuh dan melindungi
tubuh dari bahaya yang datang dari luar. Kulit tipis menutupi seluruh bagian tubuh
kecuali vola manus dan planta pedis yang merupakan kulit tebal. (Hoehn, 2013)
Reseptor merupakan percabangan akhir dendrit dari neuron sensorik. Beberapa
reseptor tersusun atas beberapa dendrit dan ada yang mengalami sel khusus. Jika reseptor
dirangsang, terjadi impuls sepanjang dendrit yang diteruskan ke sistem saraf pusat.
(Moriwaki, 2012)
Ada beberapa maca reseptor:
1. Korpuskula Paccini
Merupakan ujung saraf pada kulit yang peka terhadap rangsangan berupa tekanan atau
saraf perasa tekanan kuat.
2. Korpuskula Ruffini
Merupakan ujung saraf pada kulit yang peka terhadap rangsangan panas.
3. Korpuskula Meisner
Merupakan ujuang saraf perasa pada kulit yang peka terhadap sentuhan.
4. Korpuskula Krause
Merupakan ujung saraf perasa pada kulit yang peka terhadap rangsangan dingin.
5. Lempeng Merkel
Merupakan ujung perasa sentuhan dan tekanan ringan.
6. Ujung Saraf Tanpa Selaput
Merupakan ujung saraf perasa nyeri.
Pupil mata diukur di bawah sinar biasa dan sinar terang (alat yang
digunakan adalah senter). Perbedaan pupil mata di bawah sinar biasa dan sinar
terang diamati dan dicatat. Lalu, pupil mata kembali diukur pada saat objek dengan
jarak 5 meter dan 20 cm dilihat oleh mata.
Uji buta warna dilakukan dengan uji ishihara. Nomor atau gambar yang
terdapat dalam plat gambar ishihara dijawab dan dicatat oleh praktikan. Setiap
jawaban diberikan waktu tidak lebih dari 3 detik.
Uji ketulian dilakukan dengan uji weber. Uji ini digunakan untuk melihat
perbedaan antara tuli konduktif dengan tuli perseptif (tuli sensori neural, tuli
saraf). Uji weber tidak dilakukan di ruangan yang sepi.
Sebuah garpu tala dipukulkan dengan frekuensi 512 cps pada lutut. Garpu
tala digigit di antara gigi dengan bibir terbuka. Suara yang terdengar pada orang
dengan pendengaran normal akan dilokalisir seakan dari posisi median. Suara
yang terdengar pada penderita tuli konduktif akan lebih jelas terdengar pada
telinga tersebut. Suara yang terdengar pada penderita tuli perseptif akan lebih
jelas terdengar pada telinga yang normal.
Semua larutan dipanaskan pada suhu 37℃. Lalu, satu tetes larutan
diteteskan pada lidah yang bersih (lidah tidak digoyangkan sewaktu larutan
dicicipi). Uji kebenaran literatur ini dilakukan pada seluruh anggota kelompok.
4.8. Penciuman
Percobaan dilakukan oleh dua orang. Mata salah satu praktikan ditutup. Lalu,
kamfer diciumkan pada satu lubang hidungnya (lubang hidung yang lain ditutup)
dengan bantuan praktikan lainnya. Kamfer dicium terus-menerus. Waktu yang
diperlukan sampai praktikan tidak dapat lagi mendeteksi bau kamfer dicatat.
Waktu yang diperoleh adalah waktu adaptasi. Lalu, bau minyak permen dan
minyak cengkeh diciumkan kepada praktikan untuk dibedakan dan dikenali
baunya.
4.9. Peliput
Suatu daerah dengan luas sekitar 2cm yang terdiri dari 20 kotak digambarkan
pada bagian anterior dari lengan bawah dan pada telapak tangan (alat yang
digunakan adalah pulpen).
Di dalam daerah tersebut, dilakukan sentuhan perlahan dengan bulu sikat
paling sedikit pada 20 bagian. Diberikan tanda huruf S ketika dirasakan adanya
sensasi sentuh. S artinya terasa adanya sensasi sentuh.
Paku dipanaskan dalam air yang bersuhu sekitar 40℃ atau 50℃, kemudian
dikeringkan. Lokasi reseptor panas dicari seperti pada prosedur sebelumnya.
Diberikan tanda huruf P ketika dirasakan adanya sensasi panas.
Paku didinginkan dengan cara direndam dalam air es, kemudian dikeringkan.
Lokasi reseptor dingin dicari seperti pada prosedur sebelumnya. Diberikan tanda
huruf D ketika dirasakan adanya sensasi dingin.
V. Data Pengamatan
Hasil (mm)
Lebih kecil daripada saat tidak ada
Diameter pupil pada cahaya terang
cahaya
Lebih besar daripada saat ada cahaya
Diameter pupil pada cahaya biasa
terang
Titik dekat adalah titik terdekat yang dapat dilihat mata secara jelas dengan mata
berakomodasi. Pada titik dekat ini lensa mata akan cembung maksimal. Umumnya
pada jarak 25-30 cm pada orang normal.
Baris terkecil yang masih dapat dibaca pasien pada kartu Snellen adalah baris
ke-8, yang memiliki nilai visus sebesar 20/20. Hal ini menunjukan bahwa pasien
memiliki ketajaman mata yang normal karena jarak pasien dengan kertas snellen
tersebut sama besarnya dengan jarak maksimal terbacanya baris tersebut yaitu 20.
Sehingga nilai ketajaman pasien adalah 1 yang merupakan angka maksimal
ketajaman mata normal.
Piringan
Yang Jawaban Piringan Jawaban Praktikan
Diujikan
1 12 12
2 8 8
13 96 96
12 35 35
11 Terlacak Terlacak bergelombang
4 29 29
3 5 5
Nilai ambang rasa setiap orang berbeda-beda yang dapat disebabkan karena
faktor kebiasaan sehingga impuls saraf yang dikirimkan berbada mengakibatkan
aktivasi kelenjar neuron pengecap berbeda. Nilai ambang rasa adalah konsentrasi
minimum lidah dapat mengecap rasa. Sistem saraf yang berperan adalah saraf
kranial yang menghantar impuls rasa di lidah kemudian impuls diteruskan menuju
medulla oblongata masuk ke nucleus.
5.8. Penciuman
Waktu 16,94 yang tertera pada tabel merupakan waktu adaptasi penciuman
pasien untuk dapat terbiasa dengan bau tersebut, ditandai dengan tidak terciumnya
kamper oleh pasien pada detik tersebut. Hal tersebut merupakan respon hidung
untuk menurunkan kemampuannya dalam mengidentifikasi bau tersebut agar dapat
menerima dan merespon bau lain seperti bau minyak permen yang diberikan
selanjutnya.
Tabel 6. Hasil pengamatan distribusi reseptor pada kulit bagian lengan bawah
Keterangan :
S = Sensasi Sentuhan
D = Sensasi Dingin
P = Sensasi Panas
N = Sensasi Nyeri
Tabel 7. Hasil pengamatan distribusi reseptor pada kulit bagian lengan bawah
D S S-D S-D-P-N
S-P D S-D-P D-P
S-D-P-N S-D-P-N S-D-P-N S-D-N
S-P-N S-D-N S-D-N D-N
S-P
Dari hasil percobaan, reseptor pada kulit lengan bawah lebih banyak daripada
reseptor di telapak tangan.
VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai sistem panca indera.
Percobaan pertama yaitu mengenai fisiologi indera penglihatan lalu indera pendengaran,
pengecapan, penciuman, dan yang terakhir sistem peliput. Percobaan kali ini bertujuan
untuk mengetahui fungsi organ-organ panca indra sebagai organ sensorik khusus dan
anatominya, apakah berfungsi dengan baik atau dengan kata lain adalah normal, atau
sebaliknya organ-organ panca indra tidak berfungsi dengan baik.
Pemeriksaan refleks pupil atau refleks cahaya terdiri dari reaksi cahaya langsung
dan tidak langsung (konsensual). Refleks cahaya langsung maksudnya adalah
mengecilnya pupil (miosis) pada mata yang disinari cahaya. Sedangkan refleks cahaya
tidak langsung atau konsensual adalah mengecilnya pupil pada mata yang tidak disinari
cahaya. (Lumbantobing, 2006).
Radiasi Radiasi ultraviolet, radiasi gelombang mikro akan radiasi inframerah dapat
menimbulkan kekeruhan pada lensa serta melemahnya otot siliaris sehingga menurunkan
kemampuan akomodasi mata.
Pengaruh umur Kemampuan akomodasi semakin menurun seiringan dengan bertam-
bahnya umur. Dengan pertambahan umur maka akan terbentuk serabut-serabut lamel
secara terus menerus sehingga lensa bertambah besar dan berkurang elas-tisitasnya. Hal
ini menyebabkan sifat kecembungan lensa semakin menurun pula. Penurunan
kecembungan lensa menyebabkan berkurangnya ketegangan pada zonula zin yang
diakibatkan oleh kontraksi otot siliar yang terdapat dibadan siliar semakin lemah.
Kontraksi otot siliar yang semakin lemah berarti kemam-puan akomodasi juga semakin
menurun. (Martuti, 1989)
Metabolik Sistem metabolisme tubuh yang terganggu misalnya karena diabetes dapat
menyebabkan perubahan pada lensa dalam mekanisme aldose-reduktase dalam jangka
panjang akan menyebabkan kekeruhan pada lensa dan menurunkan kemampuan
akomodasi mata.
Penyakit Jenis-jenis penyakit mata yang dapat menyebabkan menurunnya kemam-puan
akomodasi antara lain katarak dan glaukoma. Penyakit bukan dari jenis penyakit mata
yang dapat menurunkan kemampuan akomodasi adalah hi-pertensi. Mata yang
mengandung penyakit-penyakit tersebut bila dipakai tidak terlalu lama tidak akan
mempengaruhi kemampuan akomodasi mata. Bila mata yang mengandung penyakit
tersebut dipakai terlalu lama untuk melihat dekat maka kemampuan akomodasi menjadi
lemah. Akibatnya, melihat jadi berkurang sampai akhirnya kabur.
Selanjutnya pada percobaan titik dekat. Titik dekat merupakan titik terdekat yang
dapat dilihat mata secara jelas dengan mata berakomodasi kurang lebih 25 cm pada titik
dekat dengan mata yang cembung. Yang berperan dalam proses akomodasi penglihatan
adalah musculus .
Titik dekat pengihatan adalah jarak minimal dari mata dimana suatu benda dapat
terfokus dengan jelas dan dengan akomodasi maksimal. Umumnya, pada dewasa muda
titik dekat penglihatan berjarak sekitar 10 cm (Tortora, 2013). Bagian dari mata yang
berperan dalam proses akomodasi penglihatan adalah lensa mata. Lensa berperan penting
dalam membantu memfokuskan cahaya agar tepat jatuh di retina sehingga dihasilkan
penglihatan yang jelas.
Lensa mata dapat menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina.
Ketika otot siliaris melemas, ligamentum suspensorium tegang dan menarik lensa,
sehingga lensa berbentuk gepeng dengan kekuatan refraksi. Sewaktu lensa kurang
mendapat tarikan dari ligamentum suspensorium, lensa mengambil bentuk yang lebih
sferis (bulat) karena elastisitas inherennya. Pada mata normal, otot siliaris melemas dan
lensa mendatar untuk penglihatan jauh, tetapi otot tersebut berkontraksi untuk
memungkinkan lensa menjadi lebih cembung dan lebih kuat untuk penglihatan dekat.
Penglihatan binokular dapat diartikan sebagai keadaan visual yang simultan yang
didapat dengan penggunaan yang terkoordinasi dari kedua mata sehingga bayangan yang
sedikit berbeda dan terpisah yang timbul di tiap-tiap mata dianggap sebagai satu
bayangan tunggal dengan proses fusi. Dengan demikian penglihatan binokular
menyiratkan fusi menggabungkan penglihatan dari kedua mata untuk membentuk suatu
persepsi tunggal. Fusi tersebut akan terpecah dan membiaskan persepsi tunggal saat
objek yang dipandang oleh mata berada terlalu dekat atau melebihi titik dekat mata.
Di kartu snellen terdapat baris huruf dengan ukuran berbeda. Di sebelah kanan adalah
nilai skor ketajaman penglihatan, dinyatakan sebagai berikut :
V= d/D
Selanjutnya pada uji buta warna, diletakkan buku ishihara dengan jarak 75 cm
dari objek. Lalu diberikan jawaban nomor atau gambar apa yang terdapat dalam buku.
Dari hasil pengamatan sukarelawan dapat membaca atau menebak angka atau gambar
dengan benar pada setiap lembar buku Pada uji buta warna, terdapat beberapa isi buku
ishihara. Metode Ishihara adalah metode yang digunakan untuk mendeteksi gangguan
persepsi warna, berupa tabel warna khusus berupa lembaran pseudoisokromatik (plate)
yang disusun oleh titik-titik dengan kepadatan warna berbeda yang dapat dilihat dengan
mata normal, tapi tidak bisa dilihat oleh mata yang mengalami defisiensi sebagian warna
(Prasetya 2015).
Bagian mata yang mengidentifikasi warna adalah retina. Pada retina terdapat sel
batang yang berfungsi mengidentifikasi cahaya dan ada sel kerucut yang berperan pada
pengidentifikasian warna merah, hijau dan biru. Pada penderita buta warna parsial, sel
kerucut pada retina ada yang terganggu. Sedangkan pada buta warna total sel kerucut
pada retina sepenuhnya tidak berfungsi atau rusak. Orang yang mengalami buta warna
total sejak lahir hanya dapat melihat warna hitam, putih, dan abu-abu, karena mereka
tidak pernah mengetahui warna terlihat seperti apa, dan karena itu otak mereka tidak
memiliki memori atas warna apapun untuk membuat mimpi yang berwarna. Sedangkan
buta warna parsial tidak dapat melihat beberapa warna, misalnya buta warna merah hijau
(tidak dapat melihat warna merah dan hijau), buta warna biru- kuning (tidak dapat
melihat warna biru dan kuning).
Tes buta warna ishihara terdiri dari lembaran yang di dalamnya terdapat titik-titik
dengan berbagai warna dan ukuran. Titik berwarna tersebut disusun sehingga
membentuk lingkaran. Warna titik itu dibuat sedemikian rupa agar orang buta warna
tidak akan melihat perbedaan warna seperti yang dilihat oleh orang normal
(pseudoisochromaticism) (Rokhim, Ahmad. N., 2015).
Uji weber dilakukan dengan cara pertama-tama dilakukan pemukulan garpu tala
dengan frekuensi 512 cps pada lutut, menggunakan garpu tala karena garpu tala dapat
memberikan skala pendengaran dari frekuensi rendah hingga tinggi yang akan
memudahkan survey kepekaan pendengaran (Kozier, 2010). Kemudian garpu tala digigit
diantara gigi dengan bibir terbuka. Pada orang yang memiliki pendengaran normal akan
melokalisir suara yang terdengar seakan dari posisi median, hal ini dikarenakan telinga
tengah masih bisa menerima suara dengan jelas, dengan pendengaran yang normal akan
mendengar suara yang seimbang pada kedua telinga atau suara terpusat di tengah (Arifin
Mutaqin, 2010).
Pada saat telinga sebelah kanan disumbat hasil arah rambatan berasal dari sebelah
kanan. Berdasarkan hasil percobaan tersebut menandakan bahwa kejadian tersebut
telinga mengalami tuli konduktif dimana suara tidak bisa masuk ke telinga bagian dalam
karena ada masalah pada saluran telinga, gendang telinga, maupun tulang-tulang
pendengaran di telinga bagian tengah. Pada tuli konduksi, telinga tidak dapat mendengar
karena gangguan pada penghantaran getaran suara.
Penderita tuli konduktif pada salah satu telinga akan mendengar lebih jelas pada
telinga tersebut, hal ini dikarenakan pada tuli konduktif tidak bisa mendengar suara yang
pelan namun pada suara yang lebih nyaring mungkin akan terdengar jelas, hal ini juga
dikarenakan ketika telinga satu ditutup, suara akan berkumpul dari tempat yang ditutup
karena adanya suara getaran sehingga perambatan tidak terjadi karena hanya berada di
satu tempat, pada penderita tuli konduktif biasanya terdapat gangguan di bagian telinga
tengah, selain itu faktor dari penderita tuli konduktif ini adanya kerusakan pada gendang
telinga (Kozier, 2010). Pada tuli perseptif pada salah satu telinga akan mendengar suara
lebih jelas pada telinga yang normal, karena pada tuli perseptif bisa diakibatkan dengan
kerusakan saraf sehingga tidak bisa menerima suara dari telinga yang bermasalah jadi
suara hanya akan terdengar jelas pada telinga normal, penyabab dari tuli perseptif ini
adanya kerusakan telinga bagian dalam dan gangguan pada jalur saraf antar telinga
bagian dalam dan otak (Kozier, 2010).
Percobaan selanjutnya yaitu dilakukan percobaan nilai ambang rasa. tujuan dari
percobaan nilai ambang rasa ini yaitu untuk menentukan nilai ambang rasa pada sampel.
Nilai ambang rasa adalah nilai maksimum dari suatu rangsangan untuk mendeteksi suatu
rasa sehingga dapat terasa oleh alat indera, kepekaan terhadap rasa bervariasi tergantung
dari substansi yang diuji, seperti pada ambang mutlak untuk deteksi rasa manis yaitu
dengan sukrosa 0,01 M, pada ambang mutlak untuk deteksi rasa pahit yaitu dengan kinin
0,000008 M, pada ambang mutlak untuk deteksi rasa asam yaitu dengan asam korida
0,0009 M, pada ambang mutlak untuk deteksi rasa asin yaitu dengan natrium klorida 0,01
M (Setyaningsih, 2010).
Pada percobaan ini pertama-tama dilakukan uji kebenaran data literature pada
anggota kelompok, kemudian dipanaskan semua larutan pada suhu 37o C tujuannya untuk
mempengaruhi kemampuan kuncup kecapan untuk menangkap rangsangan rasa.
Selanjutmya, diteteskan 1 tetes larutan pada lidah yang bersih (Sewaktu mencicipi, lidah
tidak digoyangkan) hal ini dikarenakan dapat berpengaruh pada penangkapan sinyal rasa.
Sensasi rasa pengecap timbul akibat deteksi zat kimia oleh reseptor khusus di ujung sel
pengecap (taste buds) yang terdapat di permukaan lidah dan pallatum molle, sel pengecap
tetap mengalami perubahan pada pertumbuhan, mati, dan regenerasi, proses ini
bergantung pada pengaruh saraf sensoris (Sunariani 2007). Setiap orang memiliki
ambang rasa berbeda karena adanya perbedaan pola impuls yang berbeda (impuls saraf)
dan adanya perbedaan kelompok neuron pengecap yang berbeda, selain itu juga menurut
Winarno (2004).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepekaan diantaranya, Suhu
kurang dari 20° atau lebih dari 30° akan mempengaruhi sensitivitas kuncup rasa (taste
bud). Suhu yang terlalu panas akan merusak sel-sel pada kuncup rasa sehingga
sensitivitas berkurang, namun keadaan ini cenderung berlangsung cepat karena sel yang
rusak akan cepat diperbaiki dalam beberapa hari. Suhu yang terlalu dingin akan membius
kuncup lidah sehingga sensitivitas berkurang (Jalmo, 2007). Usia mempengaruhi
sensitivitas reseptor perasa. Menurut Sunariani (2007), pada orang yang berusia lanjut
terdapat penurunan sensitivitas dalam merasakan rasa asin. Hal ini disebabkan pada
orang berusia lanjut karena berkurangnya jumlah papilla sirkumvalata seiring dengan
bertambahnya usia dan penurunan fungsi transmisi kuncup rasa pada lidah sehingga
mengurangi sensasi rasa (Jalmo,2007). jenis kelamin juga kemungkinan mempengaruhi
sensasi reseptor pengecap. Waktu sensasi pengecap antara wanita dan pria memiliki
perbedaan, namun perbedaan tersebut terlalu kecil, sehingga dapat disimpulkan bahwa
perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap sensitivitas reseptor perasa. Hal ini
juga dikarenakan secara anatomi lidah pria dan wanita tidak jauh berbeda, sehingga
sensitivitas juga tidak berbeda (Jalmo, 2007).
Percobaan ini dilakukan oleh dua orang, praktikan diharuskan menutup kedua
matanya kemudian salah satu lubang hidup ditutup dan diciumkan kamfer pada salah satu
lubang hidung yang tidak ditutup. Kemudian, kamfer dicium terus menerus sampai
praktikan tidak dapat mendeteksi bau kamfer. Pada percobaan ini waktu adaptasi yang
tercatat adalah sebesar 16,94 detik. Selanjutnya praktikan diharuskan mencium bau
minyak permen dan bau minyak cengkeh dengan kedua lubang hidung. Dari hasil
pengamatan, pada awal penciuman kamfer, praktikan dapat mendeteksi bau kamfer yang
menyengat. pada percobaan ini dapat disimpulkan bahwa bau kamfer yang sudah tak
tercium lagi terjadi karena kamfer sudah berikatan dengan reseptor penciuman, sehingga
sel olfaktori sudah beradaptasi dengan bau tersebut. Sehingga terkadang ketika
penciuman kita sudah beradaptasi, maka ketika ada bau yang masuk, bau tersebut tidak
sampai ke dalam reseptor. Namun pada percobaan ini, relawan masih dapat mencium bau
dari minyak permen. Hal ini terjadi karena reseptor belum benar benar beradaptasi
dengan bau kamfer.
Reseptor penciuman dapat beradaptasi dengan cepat, bila kita tinggal pada tempat
yang berbau setelah beberapa waktu bau tersebut tidak akan tercium lagi. Ini disebabkan
karena reseptor penghidu beradaptasi dengan bau. Reseptor penghidu berfungsi untuk
membantu pencernaan. Karena itu seseorang yang menderita flu maka penciumannya
terganggu dan nafsu makan akan berkurang (Nurhastuti dan Mega Iswari, 2018).
Pertama pada bagian anterior dari lengan bawah dan pada telapak tangan
digambar suatu daerah dengan luas sekitar 2 Cm2 , yang terdiri dari 20 kotak. Kemudian
didalam daerah tersebut dilakukan sentuhan perlahan dengan bulu sikat paling sedikit
pada 20 tempat berbeda. Hasil yang didapatkan yaitu terdapat 20 sensasi sentuhan dari
20 kotak yang berbeda pada bagian lengan bawah, hal ini menandakan bahwa adanya
kepekaan sensasi kulit pada bagian lengan bawah. Sedangkan pada bagian telapak tangan
terdapat 13 sensasi sentuhan dari 20 kotak yang berbeda, hal ini menandakan bahwa
terdapat beberapa daerah atau bagian dari telapak tangan yang bisa merasakan kepekaan
sensasi kulit. Dari hasil percobaan menandakan bahwa bagian telapak tangan lebih
banyak daerah yang kebal dibandingkan dengan daerah lengan bawah, dikarenakan
bagian telapak tangan memiliki beberapa kulit yang tebal maka semakin tebal kulit akan
semakin kebal sensasi sentuhan yang dirasakan, sedangkan pada bagian lengan bawah
terasa lebih sensitif untuk sensasi sentuhannya dikarenakan daerah lengan bawah
mendekati pembuluh darah. Selain itu pada sensasi sentuhan ini terdapat reseptor yang
menghantarkan sensasi sentuhan, yaitu Korpuskula Meissner yang merupakan kapsul
jaringan ikat tipis yang menyatu dengan perinarium saraf yang menyuplai setiap
korpuskel. Beberapa sel saraf menyuplai setiap korpuskel dan serat saraf ini mempunyai
banyak cabang mulai dari yang mengandung mielin maupun yang tak mengandung
mielin, korpuskulus ini peka terhadap sentuhan dan memungkinkan
deskriminasi/pembedaan dau titik (mampu membedakan rangsang dua titik yang
letaknya berdekatan) (Setiadi, 2008).
Amerman, Erin C. 2016. Human Anatomy & Physiology. USA: Pearson Education.
Arif, Mutaqin. 2010. Pengkajian Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinik. Jakarta: Salemba
Medika.
Coad, Jane. 2001. Anatomy and Physiology For midwives. London: Mosby .
Devere R. 2017. Disorders of Taste and Smell. Contin Lifelong Learn Neurol. New York:
Demos Health.
Evelyn, CPearce. 2008. Anatomi dan Fisiologi untuk Para Medis. Jakarta: PT Gramedia.
Guyton, AC. 1991. Fisiologi Kedokteran II, Diterjemahkan oleh Adji Dharma. Jakarta: EGC
Buku Kedokteran.
Hartono, Y.R.H, Utomo PT, Hernowo AS. 2007. Refraksi dalam: Ilmu Penyakit Mata.
Suhardjo, Hartono (eds). Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM; 185-7.
Hoehn, Katja. 2013. Human Anatomy & Physiology Ninth Edition. USA: Pearson Education.
Iswari, Mega dan Nurhastuti, Nurhastuti. 2018. Anatomi, Fisiologi dan Genetik. Kuningan:
Goresan Pena.
Jalmo, Tri. 2007. Buku Ajar Fisiologi Hewan. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Kozier, Erb. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Konsep, Proses, & Praktek).
Jakarta: EGC.
Aros.
Purnamasari, Prasetya. (2015). Tes Buta Warna Metode Ishihara. Semarang: Teknik
Rokhim, Ahmad N. 2015. Mengenal Tes Buta Warna. Yogyakarta: Rona Publishing.
Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. Asia:
Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H. 2013. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. Asia:
Setyaningsih. Dwi. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press.
Shier, David, and Jackie Butler, Ricki Lewis. 2015. Hole’s Human Anatomy & Physiology
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi Fisiologi Untuk Pemula Alih Bahasa James Veldman. Jakarta:
EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Sunariani, jenny, yulianti, dan B, Aflah. 2007. Perbedaan Pengecap Raga Asin Antara Usia
Sulur dan Usia Lanjut. Makalah ilmu faal Indonesia 6(3): 182-191.
Wibowo, Danil. 2008. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.