Anda di halaman 1dari 21

Xerostomia

MATA KULIAH PATOLOGI UMUM DAN MAKSILOFASIAL

Oleh:
Gita Retyoningrum (160321210004)

Dosen Pembimbing:

Prof. S.Sunardhi Widyaputra,drg.M.S.,Ph.D

Drg. Jamas Ari Anggraini,M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS ORTODONTI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

1
UNIVERSITAS PADJAJARAN BANDUNG
2021

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4

2.1 Kelenjar Saliva...................................................................................................4

2.1.1 Komposisi dan Fungsi Saliva.........................................................................5

2.1.2 Proses Salivasi Normal...................................................................................7

2.2 Xerostomia..........................................................................................................8

2.2.1 Etiologi Saliva..................................................................................................9

2.2.2 Akibat Xerostomia..........................................................................................11

2.2.3 Patofisiologi Xerostomia.................................................................................13

2.2.4 Penanggulangan Xerostomia..........................................................................14

2.3 Hubungan Xerostomia dan Bidang Ortodonti................................................16

2.4 Perubahan Saliva akibat Ortodonti Cekat......................................................18

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................19

Daftar Pustaka..........................................................................................................20

2
BAB I

PENDAHULUAN

Banyak keluhan yang dapat timbul di rongga mulut. Salah satu keluhan
tersebut adalah mulut kering atau xerostomia. Keadaan ini merupakan suatu gejala
dan bukan penyakit. Umumnya berhubungan dengan berkurangnya saliva oleh
berbagai faktor penyebab. Keadaan ini bagi pasien sangat tidak menyenangkan,
demikian juga bagi dokter gigi merupakan masalah yang dapat mempersulit, terutama
dalam bidang ortodonti yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

Xerostomia dapat terjadi akut atau kronis, bersifat sementara atau menetap
dan ada saliva yang hanya berkurang sedikit alau hampir seluruhnya 1. Banyak faktor
yang dapat menyebabkan xerostomia, baik yang bersifat fisiologis maupun patologis.
Faktor-faktor fisiologis terdiri dari keadaan-keadaan lokal yang menyebabkan
kekeringan pada mukosa, gangguan lokal pada kelenjar saliva atau duktus dan faktor-
faktor sistemik yang mempengaruhi fungsi kelenjar saliva2.

Produksi saliva yang berkurang selalu disertai dengan perubahan dalam


komposisi saliva yang mengakibatkan sebagian besar fungsi saliva tidak dapat
berperan dengan baik. Hal ini mengakibatkan timbulnya beberapa keluhan pada
penderita xerostomia, seperti kesulitan dalam mengunyah dan menelan, kesulitan
berbicara, kepekaan terhadap rasa berkurang, kesulitan dalam memakai gigi palsu,
dan pemakaian alat ortodonti. Selain itu terjadi perubahan pada mukosa mulut
meliputi lidah berfisur, atropi papilla lidah, kandidiasis dan meningkatnya karies.

Mengingat pentingnya peran saliva dan akibat yang ditimbulkan oleh


xerostomia, maka perlu diupayakan perawatan terhadap pasien-pasien xerostomia.
Perawatan yang diberikan terhadap pasien xerostomia tergantung dari penyebab dan

3
keparahannya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang xerostomia dan hubungannya
dengan perawatan ortodonti, faktor etiologi dan akibat yang ditimbulkan serta
penanggulangannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Saliva


Kelenjar saliva adalah kelenjar yang melepaskan sekresi yang disebut saliva
ke dalam rongga mulut. Biasanya, saliva yang dikeluarkan cukup untuk menjaga
selaput lendir mulut dan faring tetap lembab dan untuk membersihkan mulut dan gigi.
Saat makanan masuk ke mulut, sekresi saliva meningkat, dan berfungsi untuk
melumasi, melarutkan, dan memulai pemecahan kimiawi makanan.11
Selaput lendir mulut dan lidah mengandung banyak kelenjar ludah kecil yang
terbuka secara langsung, atau tidak langsung melalui saluran pendek, ke rongga
mulut. Kelenjar ini termasuk kelenjar labial, bukal, dan palatal di bibir, pipi, dan
langit-langit, dan kelenjar lingual di lidah, yang semuanya memberikan kontribusi
kecil menghasilkan saliva. Kebanyakan saliva disekresikan oleh kelenjar ludah
utama, yang terletak di luar mukosa mulut, ke dalam saluran yang menuju ke rongga
mulut. Ada tiga pasang kelenjar ludah utama: parotis, kelenjar submandibular, dan
sublingual (Gambar 1). Kelenjar parotis terletak di inferior dan anterior telinga, di
antara kulit dan otot masseter. Masing-masing kelenjar parotis mengeluarkan saliva
ke dalam rongga mulut melalui duktus parotis yang menembus otot buccinator untuk
membuka ke ruang depan yang berlawanan dengan gigi molar kedua rahang atas.
Kelenjar submandibular ditemukan di dasar mulut; bagian medial dan sedikit lebih
rendah dari badan mandibula. Duktus submandibular berjalan di bawah mukosa di
kedua sisi garis tengah dasar mulut dan memasuki rongga mulut tepat di lateral
frenulum lingual. Kelenjar sublingual berada di bawah lidah dan lebih tinggi dari

4
kelenjar submandibular. Duktus sublingual yang lebih rendah, terbuka ke dasar mulut
di rongga mulut yang tepat.11,12

Gambar 1. Tiga kelenjar ludah utama yaitu parotis, sublingual, dan submandibular. Kelenjar
submandibular, ditunjukkan dalam mikrograf ringan (b), sebagian besar terdiri dari asini
serosa (bagian kelenjar yang mensekresi cairan serosa) dan beberapa asini mukus (bagian
kelenjar yang mensekresi lendir); kelenjar parotis hanya terdiri dari asini serosa; dan
kelenjar sublingual sebagian besar terdiri dari asinus mukus dan sedikit asinus serosa 11

2.1.1 Komposisi dan Fungsi Saliva


Secara kimiawi, saliva terdiri dari 99,5% air dan 0,5% zat terlarut. Di dalam
zat terlarut terkandung ion, termasuk natrium, kalium, klorida, bikarbonat, dan fosfat.
Juga hadir beberapa gas terlarut dan berbagai zat organik, termasuk urea dan asam
urat, lendir, imunoglobulin A, enzim lisozim bakteriolitik, dan amilase, enzim
pencernaan yang bekerja pada pati.11

5
Saliva memainkan peran sentral dalam pemeliharaan homeostasis oral.
Campuran kompleks protein, glikoprotein, musin, dan ion membantu mencegah
karies gigi, meningkatkan remineralisasi lesi karies awal, menyangga asam yang
dihasilkan oleh bakteri mulut, dan mencegah jenis infeksi mulut lainnya. Protein
seperti peroksidase saliva, lisozim, dan laktoferin bersifat antibakteri dan membatasi
pertumbuhan bakteri kariogenik. Lapisan musin saliva pada gigi dan permukaan
mukosa dipercaya dapat melindungi struktur mulut ini dari kerusakan. Histatin,
keluarga protein saliva, memiliki sifat antijamur kuat yang membatasi pertumbuhan
ragi rongga mulut. Komponen saliva ini, bersama dengan jaringan mukosa,
merupakan bagian dari sistem imun bawaan yang terus menerus melindungi tubuh
manusia dari infeksi. Rongga mulut juga dilindungi oleh sekretori imunoglobulin A
dan M, yang diproduksi secara lokal oleh sel B di dalam kelenjar ludah. Antibodi ini
termasuk yang spesifik melawan bakteri kariogenik oral. Bukti lain menunjukkan
bahwa saliva berperan penting dalam melindungi dan menyembuhkan kerongkongan
karena saliva menetralkan asam yang melindungi kerongkongan dari kerusakan
setelah refluks lambung dan mengandung faktor pertumbuhan yang dapat
merangsang pertumbuhan epitel untuk mempercepat penyembuhan.13
Tidak semua kelenjar ludah menyediakan bahan yang sama. Kelenjar parotis
mengeluarkan cairan encer (serosa) yang mengandung amilase. Kelenjar
submandibular memproduksi saliva yang mengandung sel yang mirip dengan yang
ditemukan di kelenjar parotis dengan ditambah beberapa sel mukus. Kelenjar
submandibular mengeluarkan cairan yang mengandung amilase tetapi konsistensinya
lebih kental seperti lendir. Kelenjar sublingual sebagian besar mengandung sel
mukosa, sehingga mereka memproduksi saliva yang lebih kental, tapi hanya sedikit
mengandung amilase.11
Air dalam saliva menjadi media untuk melarutkan makanan agar dapat
dicicipi oleh reseptor gustatori dan agar reaksi pencernaan dapat dimulai. Ion
klorida dalam saliva mengaktifkan amilase, enzim yang memulai pemecahan pati di

6
mulut menjadi maltosa, maltotriosa, dan α-dekstrin. Ion bikarbonat dan fosfat
menjadi buffer makanan asam yang masuk ke mulut. Kelenjar ludah membantu
membuang molekul limbah dari tubuh, yang menyebabkan adanya kadar urea dan
asam urat dalam saliva. Lendir melumasi makanan sehingga dapat dengan mudah
dipindahkan di dalam mulut, dibentuk menjadi bola, dan ditelan. Immunoglobulin A
(IgA) mencegah perlekatan mikroba sehingga tidak dapat menembus epitel, dan
enzim lisozim membunuh bakteri.11

2.1.2 Proses Salivasi Normal


Sekresi saliva, yang disebut salivasi, dikendalikan oleh sistem saraf otonom.
Jumlah saliva yang disekresikan setiap hari sangat bervariasi tetapi rata-rata 1000–
1500 mL. Stimulasi parasimpatis mendorong sekresi saliva dalam jumlah sedang
secara terus-menerus, yang membuat selaput lendir tetap lembab dan melumasi
gerakan lidah dan bibir selama berbicara. Saliva kemudian ditelan dan membantu
melembabkan kerongkongan. Akhirnya, sebagian besar komponen saliva diserap
kembali, yang mencegah kehilangan cairan. Stimulasi simpatis mendominasi selama
stres, menyebabkan kekeringan pada mulut. Jika tubuh mengalami dehidrasi, kelenjar
ludah berhenti mengeluarkan saliva untuk menghemat air; kekeringan yang
dihasilkan di mulut berkontribusi pada sensasi haus. Minum tidak hanya
mengembalikan homeostasis air tubuh tetapi juga berfungsi untuk membasahi
mulut.11
Rasa makanan merupakan stimulator lain yang ampuh untuk sekresi kelenjar
ludah. Bahan kimia dalam makanan menstimulasi reseptor di indera perasa di lidah,
dan impuls dibawa dari indra perasa ke dua inti saliva di batang otak (inti salivatori
superior dan inferior). Impuls parasimpatis yang kembali dalam serabut saraf wajah
(VII) dan glosofaringeal (IX) merangsang sekresi saliva. Saliva terus keluar selama
beberapa waktu setelah makanan ditelan; aliran saliva ini membersihkan mulut dan
mengencerkan dan mem-buffer sisa-sisa bahan kimia yang mengiritasi seperti sambal

7
pada makanan. Bau, penglihatan, suara, atau pikiran tentang makanan juga dapat
merangsang sekresi saliva.11

2.2 Xerostomia
Xerostomia atau yang biasa disebut dengan sindroma mulut kering merupakan
akibat dari penurunan atau tidak adanya flow saliva sehingga menyebabkan mukosa
menjadi kering. Pasien dengan xerostomia melaporkan gejala-gejala yang timbul
berupa rasa tidak nyaman pada rongga mulut, kesulitan dalam menelan, gangguan
pengecapan, rasa terbakar pada rongga mulut, bibir pecah-pecah dan terkelupas.
Xerostomia adalah persepsi mulut kering dan dapat dikaitkan dengan penurunan
aliran saliva. Penurunan aliran saliva sebesar 40% sampai 50% membuat pasien
bergejala dan cenderung mengalami xerostomia. Laju aliran kurang dari 0,1 ml/menit
untuk saliva yang tidak distimulasi dianggap hiposalivasi. Kekeringan mulut dapat
sangat memengaruhi kualitas hidup dan mengganggu fungsi dasar sehari-hari seperti
mengunyah, menelan, dan berbicara. Pengurangan volume saliva dan hilangnya sifat
antibakteri saliva selanjutnya dapat mempercepat infeksi, kerusakan gigi, dan
penyakit periodontal.8,14,15
Manifestasi klinis xerostomia antara lain eritema pada mukosa bukal, lidah
berlobul-lobul, dan hilangnya genangan saliva di dasar mulut. Pada xerostomia ringan
kondisi mukosa masih normal, terjadi hilangnya genangan saliva di dasar mulut dan
pasien sering mengeluhkan mulutnya terasa kering, sedangkan pada kasus xerostomia
berat akan terjadi perubahan pada mukosa rongga mulut seperti eritema bahkan lidah
menjadi berlobul-lobul.6
Xerostomia lebih sering terjadi pada orang paruh baya dan lanjut usia dan
penyebab utamanya adalah kecemasan, ketakutan, stres, depresi dan penggunaan
beberapa obat, penyakit autoimun, infeksi kelenjar ludah virus atau bakteri, tumor
kelenjar ludah, radioterapi dan kemoterapi, diabetes mellitus, AIDS, infeksi HCV,
dan gangguan hormonal seperti menopause.4,8

8
2.2.1 Etiologi Xerostomia
Xerostomia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik fisiologis maupun
patologis. Keadaan-keadaan fisiologis seperti berolahraga, berbicara terlalu lama dan
usia dapat menyebabkan xerostomia. Penyebab yang paling penting diketahui adalah
yang patologis yang terdiri dari tiga kelompok faktor etiologi.
Kelompok pertama yaitu keadaan-keadaan lokal yang menghasilkan
kekeringan pada mukosa, meliputi bernafas melalui mulut dan merokok berlebihan 3,7.
Kelompok kedua, berupa adanya penyakit atau gangguan lokal pada kelenjar saliva
7.9
, sialadenitis kronis, kista dan tumor kelenjar saliva 5. Sindrom Sjogren 2,3,5
dan
1.2.5.10
radioterapi pada daerah kepala dan leher . Kelompok ketiga merupakan faktor-
faktor sistemik yang mempengaruhi fungsi kelenjar saliva, meliputi penyakit-
penyakit sistemik, efek samping obat-obatan dan faktor-faktor psikis.

A. Keadaan-keadaan fisiologis
Tingkat aliran saliva biasanya dipengaruhi oleh keadaan-keadaan fisiologis.
Pada saat berolahraga dan berbicara yang terlalu lama dapat menyebabkan
berkurangnya aliran saliva sehingga mulut menjadi kering. Bernafas melalui mulut
yang terjadi pada saat berolahraga turut berperan memberi efek kering pada mulut 5,7.
Pada orang berusia lanjut sering ditemukan xerostomia. Keadaan ini
disebabkan karena proses penuaan yang terjadi seiring dengan meningkatnya usia.
Proses penuaan akan menyebabkan terjadinya perubahan dan kemunduran fungsi
kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang digantikan oleh jaringan lemak dan
penyambung, lining sel ductus intermediate mengalami atropi.

B. Bernafas melalui mulut dan merokok.

9
Keadaan maloklusi (gigitan terbuka anterior), individu yang tidur dengan
mulut terbuka dan mendengkur menyebabkan individu tersebut bernafas melalui
2.7
mulut yang merupakan faktor lokal yang menimbulkan kekeringan pada mulut .
Penyakit-penyakit infeksi pernafasan seperti polip hidung, tonsil yang membesar atau
penyumbatan pada hidung menyebabkan penderita bernafas melalui mulut yang akan
menyebabkan xerostomia. Perokok juga dapat menyebabkan kekeringan mulut.

C. Penyakit lokal pada kelenjar dan ductus saliva.


Ada beberapa penyakit lokal tertentu yang mempengaruhi kelenjar saliva dan
menyebabkan kekurangan saliva, diantaranya sialodenitis kronis. Penyakit ini
menyebabkan degenerasi sel asini dan penyumbatan duktus 5. Kista dan tumor
kelenjar saliva, baik jinak maupun ganas dapat menyebabkan penekanan ductus saliva
dan menghambat sekresi saliva. Sindrom Sjogren merupakan penyakit autoimun
jaringat ikat yang dapat mempengaruhi kelenjar air mata dan saliva. Adanya
autoantibodi dan infiltrasi limfosit, mengakibatkan sel-sel asini kelenjar saliva rusak
sehingga sekresinya berkurang. Aplasia atau agenesis adalah tidak adanya satu atau
lebih kelenjar saliva mayor saliva secara kongenital. Keadaan ini jarang terjadi tetapi
dapat menyebabkan xerostomia.

D. Radioterapi pada kepala dan leher


Terapi radiasi dan kemoterapi pada penderita kanker terbukti dapat
mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat kerusakan
pada kelenjar saliva yang terkena paparan radiasi.

E. Penyakit-penyakit sistemik
Pada keadaan demam dan diare yang lama dapat menyebabkan gangguan
dalam pengaturan elektrolit yang diikuti dengan terjadinya keseimbangan air negative
yang menyebabkan turunnya sekresi saliva.

10
Beberapa penelitian pada pasien-pasien diabetes yang tidak terkontrol
memperihatkan terjadinya pengurangan aliran saliva. Pengurangan aliran saliva ini
dipengaruhi oleh faktor angiopati, neuropati diabetic, perubahan pola kelenjar parotis
dan poliuri yang berat. Pada penderita gagal ginjal kronis juga terjadi xerostomia.
Keadaan ini disebabkan karena pada penderita gagal ginjal terdapat penurunan
output. Untuk menjagga keseimbangan cairan tetap terjaga, intake cairan perlu
dibatasi. Pembatasan intake cairan akan menyebabkan penurunan aliran saliva dan
saliva menjadi kental.
Kelainan saraf yang diikuti gejala degenerasi, seperti sclerosis multiple akan
menyebabkan hilangnya inervasi kelenjar saliva, kerusakan pada parenkim kelenjar
dan duktus atau kerusakan pada suplai darah kelenjar saliva juga dapat mengurangi
sekresi saliva.
Xerostomia merupakan gejala mulut yang relative umum pada penderita
AIDS. Lebih lanjut telah diamati bahwa beberapa faktor yang menyebabkan penderita
AIDS rentan mengalami xerostomia adalah akibat dari penggunaan obat-obatan dan
terapi yang diberikan.

F. Efek samping obat-obatnan


Xerostomia dapat diakibatkan oleh efek samping penggunaan obat-batan pada
perawatan suatu penyakit. Macam-macam obat yang dapat menyebabkan xerostomia
adalah antikonvulsan, antiemetic, antihistamin, antihipertensi, antiparkinson,
antipruritic, obat demam, diuretic, dekongestan, ekspetoran, muscle relaksan.

G. Faktor psikis
Gangguan emosional seperti stress, putus asa dan rasa takut dapat
mempengaruhi kecepatan aliran saliva. Pada keadaan-keadaan tersebut aliran saliva
menurun sehingga menyebabkan xerostomia. Keadaan stress dapat merangsang
terjadinya pengaruh simpatik dari sistem saraf otonom dan menghalangi sistem
parasimpatik.

11
2.2.2 Akibat Xerostomia
Umumnya seseorang kurang menyadari pentingnya keberadaan saliva di
dalam rongga mulut. Keberadaan saliva dirasakan penting apabila terjadi
pengurangan sekresi saliva yang akan menimbulkan xerostomia. Berbagai macam
masalah akan timbul pada penderita xerostomia, baik bersifat subjektif maupun
objektif (Tabel 1).
Keadaan-keadaan tersebut dapat ringan, sedang dan parah, mulai dari mukosa
mulut yang relative normal dengan hanya sedikti kekeringan dan sensasi terbakar
sampai pada keadaa-keadaan dimana tidak ada saliva dan sensasi terbakar yang
parah, yang dapat memberikan pengaruh negatife pada rongga mulut dan menurunkan
atau mengganggu kualitas hidup.

Tabel 1. Masalah Yang Timbul Pada Penderita Xerostomia


Subyektif Obyektif
Rasa seperti terbakar Mukosa mulut kering
Halitosis Lidah berfisur
Masalah pada pemakaian protesa Atropi papilla
Gangguan pengecapan Periodontitis
Kesukaran mengunyah dan menelan Kandidiasis
Kesukaran dalam berbicara Karies gigi meningkat

Berkurangnya saliva menyebabkan selaput lendir, mukosa mulut menjadi


kering dan lengket, mudah mengalami iritasi, infeksi. Keadaan ini disebabkan karena
tidak adanya daya lubrikasi dan proteksi dari saliva. Kekeringan pada mulut
menyebabkan fungsi pembersihan saliva berkurang. Akibatnya terjadi radang yang
kronis dari selaput lender yang disertai keluhan rasa seperti terbakar pada mukosa
mulut atau lidah (glossopirosis). Lidah menjadi kering, memerah, berfisur dan atropi
papilla, terutama sekali pada xerostomia yang parah.

12
Proses pengunyahan dan penelanan makanan, apalagi makanan yang
membutuhkan pengunyahan yang banyak dan makanan kering akan sulit dilakukan.
Rasa pengecapan dan proses berbicara juga terganggu. Keadaan ini dapat menganggu
penderita seperti malu untuk berbicara, malu untuk makan dengan orang lain dan
sebagainya 1,2,3.
Pada pemakaian gigi palsu dapat menyebabkan toleransi terhadapt gigi palsu.
Mukosa yang kering akan menyebabkan pemakaian gigi palsu menjadi tidak nyaman,
mengiritasi jaringan mukosa, tidak retensi untuk gigi tiruan lepasan karena tidak
adanya fungsi retensi yang didapat dari ludah.
Susunan mikroflora mulut mengalami perubahan, dimana mikroorganisme
kariogenik seperti streptpkokus mutans, laktobasilus dan candida meningkat. Fungsi
bakteriostase dari saliva berkurang. Akibatnya, pada penderita xerostomia akan
terjadi peningkatan proses karies gigi dan infeksi candida.

2.2.3 Patofisiologi Xerostomia


Xerostomia merupakan suatu keluhan subjektif yang ditandai kondisi mulut
yang kering dan seringkali ditandai dengan penurunan laju alir saliva atau
hiposalivasi.3 Saliva merupakan salah satu cairan tubuh yang sangat penting terutama
bagi berbagai organ di rongga mulut. Pada saat produksi saliva menurun, akan
memicu berbagai masalah di rongga mulut seperti insidensi karies semakin tinggi,
pasien lebih rentan terhadap infeksi oral, kebersihan rongga mulut akan memburuk,
serta dapat memicu fissure tongue.6
Xerostomia seringkali dikaitkan dengan adanya disfungsi pada glandula
saliva, namun untuk menegakkan diagnosa tersebut perlu pemeriksaan lebih lanjut
salah satunya dengan pemeriksaan sialometri. Xerostomia ditandai dengan adanya
hiposalivasi yaitu suatu kondisi saat laju alir saliva dibawah 0,1 mL/menit pada saliva
yang tidak distimulasi atau dibawah 0,7 mL/menit pada saliva yang distimulasi.3
Sekresi saliva diatur oleh sistem saraf otonom baik saraf simpatis dan
parasimpatis. Stimulasi pada saraf simpatis akan mempengaruhi kadar dan komposisi

13
protein dari saliva, sedangkan saraf parasimpatis akan meningkatkan volume dari
sekresi saliva.8 Beberapa studi menjelaskan ada beberapa faktor yang dapat memicu
penurunan sekresi saliva contohnya pada pasien diabetes melitus (DM) yaitu adanya
proses penuaan dan lama menderita DM. Kebanyakan pasien DM terdiri dari
golongan usia lanjut dan seiring bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan
dan kemunduran fungsi dari kelenjar saliva sehingga ada risiko penurunan produksi
saliva.9
Kondisi xerostomia pada pasien DM juga bergantung pada kadar glukosa
dalam darah dimana pasien dengan kadar glukosa darah puasa ≥100mg/dl dan gula
darah 2 jam sesudah makan ≥140 mg/dl memiliki risiko lebih tinggi terkena
xerostomia.7 Pada pasien DM, xerostomia dapat dipicu oleh hiperglikemia
berkepanjangan dan polyuria yang menyebabkan dehidrasi pada pasien. Kondisi
dehidrasi inilah yang akan memicu penurunan fungsi kelenjar saliva dan produksi
saliva.8 Pasien DM mungkin akan mengalami berbagai komplikasi kesehatan seperti
neuropati dan angiopati yang dapat mempengaruhi kinerja saraf otonom simpatis
maupun parasimpatis. Perubahan pada saraf otonom akan memicu perubahan pada
fungsi dari glandula saliva dan menyebabkan xerostomia.10
Patofisiologi xerostomia berkaitan dengan berkurangnya aliran saliva atau
perubahan komposisi biokimia saliva. Kondisi paling berat yang mempengaruhi
aliran saliva adalah sindrom Sjogren dan radioterapi di daerah kepala dan leher.
Kondisi lain yang lebih ringan dan berkaitan dengan patofisiologi xerostomia adalah
dehidrasi, merokok, dan peradangan atau infeksi kelenjar ludah.

2.2.4 Penanggulangan Xerostomia


Melihat akan pentingnya fungsi saliva di dalam rongga mulut dan akibat yang
ditimbulkan dari xerostomia, maka sebgagai praktisi kedokteran gigi kita harus
mengetahui Langkah-langkah untuk menanggulanginya. Untuk mengatasi
xerostomia, kita harus mengetahui terlebih dahulu etiologinya. Prosedur pemeriksaan
standar dan rutin seperti anamnesa, pemeriksaan klinis dan bahkan pemeriksaan

14
penunjang lainnya diperlukan untuk mengetahui apakah ada gangguan sistemik yang
dapat menyebabkan xerostomia pada pasien.
Pada anamnesa perlu ditanyakan hal-hal antara lain lamanya keadaan
xerostomia berlangsung. Apakah ada gangguan dalam mengunyah dan menelan
makanan, berbicara, apakah mulut terasa seperti terbakar, adanya penyakit-penyakit
dan pemakaian obat-obatan 13.
Pada pemeriksaan klinis diperhatikan apakah mukosa mulut kering,
pemeriksaan dengan menempatkan kaca mulut pada mukosa pipi apakah kaca mulut
tersebut akan lengket. Atau dengan menggunakan sialometri untuk mengukur
kecepatan aliran saliva.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan klinis, Langkah pertama yang
dilakukan dengan penanggulangan xerostomia dimulai dengan menyingkirkan faktor-
faktor yang menjadi etiologinya. Kebiasaan buruk bernafas melalui mulut, merokok
yang berlebihan harus dapat dikurangi atau dikoreksi. Bila penyebab xerostomia
merupakan penyakit lokal yang mempengaruhi kelenjar saliva, seperti sialodenitis
kronis, kista atau tumor kelenjar saliva, sebaiknya keadaan-keadaan tersebut dirawat
terlebih dahulu.
Bila xerostomia disebabkan oleh efek samping obat-obatan yang digunakan
untuk perawatan suatu penyakit, mengganti obat dengan efek yang sama dari
golongan yang berbeda merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah xerostomia. Pada pasien xerostomia yang disebabkan gangguan psikis
dapat dikonsultasikan kepada psikiater untuk merawat penyebabnya.
Terapi radiasi pada daerah kepala dan leher telah dipastikan menyebabkan
xerostomia. Tetapi walaupun begitu telah diupayakan usaha-usaha untuk mencegah
xerostomia yang lebih parah dengan melakukan pembagian dosis, menggunakan
radioprotector seperti WR-2721 Tu dengan menstimulasi kelenjar saliva dengan
pilokarpin sebelum terapi radiasi 13.
Pada keadaan-keadaan dimana etioologi xerostomia tidak dapat dieliminasi,
atau apabila kelenjaar saliva telah mengalami kerusakan, perawatan yang dilakukan

15
adalah dengan menggunakan zat perangsangan saliva atau zat pengganti saliva. Zat
perangsang saliva digunakan pada penderita xerostomia dengan kerusakan kelenjar
saliva yang ringan 1. Beberapa zat perangsang saliva yang umum digunakan seperti
Mouth Lubricant, LemonMucilage, Mentol, Salivix, Saliram dan permen karet
1,6
bebas gula yang menggunakan xylitol . Sekresi saliva juga dapat dirangsang
dengan pemberian obat-obatan yang mempunyai pengaruh merangsang melalui
system saraf parasimpatis, seperi pilokarpin, karbamilkolin dan betanekol.
Zat pengganti saliva digunakan pada penderita xerostomia dengan kerusakan
kelenjar saliva yang besar dan menetap. Pengganti saliva tersedia dalam bentuk
cairan, spray, gel dan tablet isap. Berbagai syarat untuk zat ini seperti bersifat
reologis, rasa menyenangkan, pengaruh buffer, peningkatan remineralisasi dan
menghambat demineralisasi, menghambat pertumbuhan bakteri dan sifat pembasahan
yang baik. Beberapa nama dagang zat pengganti saliva yang digunakan yaitu V.A
Oralube, Saliva, Orthoma, Glandosam, Polyolox dan Oral Balance 13.
Selain itu, beberapa anjuran berikut ini perlu diterapkan. Bagi individu yang
akan menjalani radioterapi sebaiknya dievaluasi dahulu sebelum radioterapi dimulai.
Pesien seharusnya menghindari makanan yang banyak mengandung gula untuk
mencegah terbentuknya plak. Berkumur-kumur dengan larutan yang mengandung
flourida seharusnya dilakukan dengan teratur untuk mencegah karies yang menjalar
1.3
. pasien yang menderita xerostomia seharusnya dimonitor kebersihan mulutnya,
perkembangan karies yang menjalar 1,3. Pasien yang menderita xerostomia seharusnya
dimonitor kebersihan mulutnya, perkembangan karies dan keadaan mukosa mulut.
Kunjungan ke dokter gigi setiap 3 bulan, pemeriksaan ulang dan tindakan profilaksis
akan membantu mencegah dan mengontrol efek dari xerostomia.

2.3 Hubungan antara Xerostomia dan Bidang Ortodonsia


Perawatan ortodonti menyebabkan perubahan lingkungan dalam rongga mulut
diantaranya perubahan kondisi saliva pasien yang dapat mempengaruhi kesehatan
rongga mulut pasien. Perubahan yang terjadi dianggap sebagai respon fisiologis

16
terhadap stimulus mekanis. Belum ada laporan kasus bahwa perawatan ortodonti baik
cekat maupun lepasan dapat menyebabkan xerostomia secara langsung. Tetapi yang
perlu digarisbawahi adalah, pada penderita xerostomia yang ingin dilakukan
perawatan ortodonti baik lepasan maupun cekat harus hati-hati. Hal tersebut
dikarenakan banyakanya piranti alat ortodonti pada pemakaian cekat dapat
memperparah kondisi tidak nyaman pada penderita xerostomia, seperti friksi atau
gesekan alat-alat cekat (contoh: bracket, wire, loop, open coil spring, close coil
spring, dll) dapat menyebabkan luka pada jaringan lunak.
Dalam bidang ortodonti, beberapa pasien dengan kebiasaan buruk bernafas
melalui mulut dapat ditemui ciri-ciri pasien mengalami xerostomia karena kebiasaan
buruk tersebut. Bernafas melalui mulut dapat menyebabkan pasien mengalami
xerostomia, gejala xerostomia akan hilang jika pasien sudah diterapi untuk
dihilangkan penyebab bernafas melalui mulutnya.
Pada penderita xerostomia, perasaan tidak nyaman pada rongga mulut dapat
menurunkan kualitas hidup, kesulitan berbicara, menelan, dan mengunyah. Kondisi
mulut yang kering karena ketidakhadiran saliva dapat membuat mukosa rentan untuk
terjadi luka, apalagi ditambah dengan pemakaian piranti orto cekat.
Pada penggunaan piranti orto lepasan, plat akrilik yang berguna sebagai plat
landasan dan penjangkaran piranti dapat membuat pasien penderita xerostomia
semakin tidak nyaman. Gesekan antara plat landasan dengan mukosa dapat
mengiritasi dan menimbulkan luka. Kasus sebenarnya banyak ditemui pada penderita
dengan pemakaian gigi tiruan sebagian atau seluruhnya yang bersifat lepasan. Untuk
membantu pasien xerostomia, pada plat landasan dapat dibuatkan tempat
penampungan untuk saliva buatan, agar pasien dapat lebih nyaman menggunakan gigi
tiruannya. Namun apabila pada pasien ortodonti lepasan hal tersebut dapat dijadikan
pilihan, apakah akan menggunakan saliva buatan, atau menghentikan penggunaan alat
ortodontinya.
Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Wihda Munawwarah (2018) di
Universitas Sumatera Utara mengatakan bahwa penggunaan alat ortodonti cekat pada

17
pasien normal dapat meningkatkan laju produksi saliva, karena adanya tekanan gaya
mekanis pada piranti cekat yang dapat membuat tubuh memberikan respon fisiologis.

2.4 Perubahan Saliva Akibat Ortodonti Cekat


Pemakaian ortodonti cekat bertujuan untuk mengoreksi maloklusi dan
abnormalitas pada gigi. Namun dalam penggunaannya selain memiliki tujuan dan
fungsi tertentu, penggunaan piranti ortodonti cekat akan mempengaruhi kebersihan
mulut subjek karena dapat menghambat prosedur kebersihan mulut, tetapi juga
mengubah sifat dan komposisi saliva. Perawatan ortodonti dapat mengakibatkan
perubahan laju alir, kapasitas buffer, pH dan kalsium saliva, hal ini dapat
menyebabkan efek samping lokal seperti karies, penyakit periodontal, mukositis oral,
kandidiasis, infeksi oral dan gangguan mengunyah serta efek samping ekstra oral
seperti disfagia, halitosis dan penurunan berat badan.
Perubahan pada kapsitas buffer dan pH saliva dikarenakan terjadinya
peningkatan pada laju alir saliva setelah pemakaian piranti ortodonti cekat yang
merupakan pertimbangan sebagai faktor perlindungan karena adanya benda asing
pada rongga mulut sehingga menyebabkan stimulasi dengan meningkatnya laju alir
saliva. Selain itu, tingginya laju alir saliva pada pengguna piranti ortodonti cekat
diperkirakan karena pemasangan ortodonti cekat dapat meningkatkan proses stimulasi
secara mekanis di dalam rongga mulut. Sejak pemasangan piranti ortodonti
dilakukan, tubuh merespon piranti ortodonti cekat sebagai benda asing di dalam
rongga mulut dan dapat menjadi pemicu yang menyebabkan terjadinya stimulasi yang
meningkatkan laju alir saliva sehingga merubah pH dan kapasitas buffer saliva 6.
Begitu pula dengan konsentrasi ion kalsium saliva, konsentrasi kalsium dalam saliva
sangat tergantung pada pH dan laju alir saliva. Menurut Jenkins, ada peningkatan
konsentrasi ion kalsium saliva bila laju alir saliva lebih tinggi. Perubahan yang terjadi
di dalam rongga mulut dipertimbangkan sebagai respon fisiologis terhadap stimulasi
mekanis yang berasal dari pemasangan ortodonti cekat6,7.

18
KESIMPULAN
1. Xerostomia merupakaan suatau keadaan yang ditandai dengan penurunan
jumlah saliva didalam mulut. Xerostomia dikatakan merupakan suatu
gejala dan bukan penyakit.
2. Pada penderita xerostomia, perasaan tidak nyaman pada rongga mulut
dapat menurunkan kualitas hidup, kesulitan berbicara, menelan, dan
mengunyah. Kondisi mulut yang kering karena ketidakhadiran saliva
dapat membuat mukosa rentan untuk terjadi luka, apalagi ditambah
dengan pemakaian piranti orto.
3. Perawatan ortodonti menyebabkan perubahan lingkungan dalam rongga
mulut diantaranya perubahan kondisi saliva pasien yang dapat
mempengaruhi kesehatan rongga mulut pasien. Perubahan yang terjadi
dianggap sebagai respon fisiologis terhadap stimulus mekanis
4. Perawatan ortodonti dapat mengakibatkan perubahan laju alir, kapasitas
buffer, pH dan kalsium saliva, hal ini dapat menyebabkan efek samping
lokal seperti karies, penyakit periodontal, mukositis oral, kandidiasis,
infeksi oral dan gangguan mengunyah serta efek samping ekstra oral
seperti disfagia, halitosis dan penurunan berat badan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Amerongen AVN. Ludah dan Kelenjar Ludah. Arti Bagi Kesehatan Gigi. Alih
bahasa Prof. drg. Rafiah Abyono. 1st ed. Yogyakarta. Gajah Mada University.
Press.l99l: 2-6, 194-211. 246-50.

2. Sonis ST, Fauzio RC, Fang L. Principles and Practice of Oral Medicine. 2 nd
ed. Philadelphia. W.B. Saunders Company. 1995: 407, 462, 465-6.

3. Atkinson JC, Wu AJ. Salivary gland dysfuntion: Causes, symptoms,


treatment. An Dent Assoc 1994; l25: 409-15.

4. Agha-Hosseini F, Mirzaii-Dizgah I, Mansourian A, Khayamzadeh M.


Relationship of stimulated saliva 17β-estradiol and oral dryness feeling in
menopause. Maturitas. 2009;62(2):197–9.

5. Al-saif KM. Clinical management of salivary deficiency. A review arlicle.


The Saudi Dental Joumal 199l; 3 (2): 77 -80.

6. Raudah, Maharani Laillyza Apriasari SK. Gambaran Klinis Xerostomia pada


wanita menopause di Kelurahan sungai paring kecamatan Martapura. Dentino
J Kedokt gigi. 2015;II(2):184–8.

7. Haskelf & Gayford JJ. Penyakit Mulut. Alih bahasa drg. Lilian Yuwono. 2nd
ed. Jakarta. Penerbit Buku Kedoktemn EGC. 1990:67-73.

8. Minicucci EM, Pires RBC, Vieira RA, Miot HA, Sposto MR. Assessing the
impact of menopause on salivary flow and xerostomia. Aust Dent J.
2013;58(2):230–4.

20
9. Mc Donald FG, Mantas J. Mc Ewen C.G.et al. Salivary gland applasia: an
ectodermal disorder. J Oral Pathol 1986:15: 115-7.

10. Gark AK, Malo M. Manifestations and trcatmmt of xerostomia and arsociated
oral effect to head and neck radiation therapy. J Am Dent Assoc 1997; 128:
1128-33.

11. Tortora J (Bergen CC, Derrickson B (Valencia C. Principles of anatomy. 15th


ed. Danvers: John Wiley & Sons, Inc; 2017. 906–909 p.

12. Hall JE. Guyton dan Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 12th ed.
Philadelphia: Elsevier Ltd; 2011. 775–776 p.

13. Atkinson JC, Grisius M, Massey W. Salivary hypofunction and xerostomia:


Diagnosis and treatment. Dent Clin North Am. 2005;49(2):309–26.

14. Agha-Hosseini F, Mirzaii-Dizgah I, Mirjalili N. Relationship of unstimulated


saliva cortisol level with severity of oral dryness feeling in menopausal
women. Aust Dent J. 2011;56(2):171–4.

15. Asmi Usman N, Hernawan I. Tata Laksana Xerostomia Oleh Karena Efek
Penggunaan Amlodipine: Laporan Kasus. Insisiva Dent J Maj Kedokt Gigi
Insisiva. 2017;6(2).

21

Anda mungkin juga menyukai