Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rongga mulut terdapat dua jenis kelenjar saliva yaitu kelenjar saliva

mayor dan minor. Kelenjar saliva mayor terdiri dari kelenjar submandibula,

sublingual dan kelenjar parotis. Kelenjar saliva minor terdapat pada daerah labial,

bukal, palatum, tonsil, retromolar dan lingual, dilapisi oleh membran mukosa

mulut berjumlah 800 sampai 1000 kelenjar yang tersebar dalam rongga mulut

(Miloro M, 2003).

Selain memberikan lubrikasi untuk fungsi bicara, saliva juga berperan

dalam fungsi pengunyahan. Kelenjar saliva menghasilkan kira-kira 1000-1500 ml

saliva per hari, dengan aliran yang tertinggi terjadi sewaktu makan. Kontribusi

produksi tiap kelenjar bervariasi yaitu submandibula 70%, parotis 25%,

sublingual 3-4% dan kelenjar minor sisanya. Komposisi elektrolit saliva juga

berbeda tiap kelenjar. Kelenjar parotis konsentrasi elektrolitnya lebih tinggi dari

kelenjar submandibula, kecuali konsentrasi kalsiumnya yang dua kali lebih tinggi

dari parotis (Miloro M, 2003).

Sialolitiasis merupakan penyakit yang paling umum terjadi pada kelenjar

saliva. Sialolitiasis terjadi oleh karena akumulasi deposit kalsium atau kalkulus

yang terbentuk pada duktus kelenjar saliva atau di dalam kelenjar saliva sehingga

menghambat aliran kelenjar saliva. Etiologi dan patogenesis terjadinya

sialolitiasis belum diketahui secara pasti. Namun diduga merupakan serangkaian

proses yang diawali dengan abnormalitas metabolisme kalsium dan presipitasi

1
garam. Kemudian diikuti dengan pelapisan bahan organik dan anorganik sehingga

terjadi sebuah batu (Maulani, 2017).

Insidensi pada orang dewasa lebih sering terjadi dibandingkan anak-anak dan

laki-laki lebih banyak dua kali lipat dibandingkan perempuan. Kelainan ini dapat

menyebabkan rasa nyeri serta peradangan pada kelenjar saliva. Penanganan

sialolitiasis dilakukan secara konservatif dan tindakan operasi dengan

mengeksplorasi duktus dari sialolith (sialithectomy) (Yeh S, 2002).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat ditarik suatu

permasalahan yang dapat dilaporkan yaitu bagaimana cara penatalaksanaan

sialolitiasis.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada

pembaca tentang bagaimana penatalaksanaan Sialolitiasis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Saliva

Kelenjar saliva merupakan kelenjar eksokrin yang berperan penting dalam

mempertahankan kesehatan rongga mulut. Saliva sebagian besar terdiri dari air

yakni sekitar 99% dari total volume. 1% komponen sisanya terdiri atas elemen

lain yang memiliki peranan penting seperti agen bakteriosid dan faktor

pertumbuhan (Ningsih, 2018).

2.1.1 Anatomi Kelenjar Saliva

Berdasarkan ukurannya kelenjar saliva dibagi menjadi dua yakni

kelenjar saliva mayor dan minor. Berdasarkan tipe saliva yang dihasilkan

dibagi menjadi serosa, mukus dan seromukus. Kelenjar saliva yang

berpasangan adalah kelenjar saliva mayor, yaitu kelenjar parotis, kelenjar

submandibula dan kelenjar sublingual. Kelenjar saliva minor terletak secara

tersebar diseluruh mukosa rongga mulut termasuk mukosa labial, bukal,

palatoglosus, palatal dan kelenjar lingual. Sekresi saliva dikendalikan oleh

saraf autonom, saliva utamanya diproduksi oleh sel parenkim yang

mengalami modifikasi. Penurunan aliran saliva baik karena usia maupun

sebagai efek samping terhadap pengobatan tertentu dapat menyebabkan

keluhan (Ningsih, 2018).

Kelenjar parotis mempunyai ukuran 5,8 cm pada bagian cranio kaudal

dan 3,4 cm di bagian ventro dorsal dengan berat 14,28 gram. Kelenjar parotis

merupakan kelenjar liur yang terbesar dan menempat ruangan di depan

3
prosessus mastoid dan liang telinga luar. Sisi depan, kelenjar ini terletak di

lateral dari ramus mandibula dan otot maseter. Di bagian bawah, kelenjar ini

berbatasan dengan otot sternokleidomastoideus dan menutupi bagian poterior

abdomen otot digastrikus (Kasuma, 2015).

Duktus parotis atau stensen duct yang keluar dari batas anterior

kelenjar parotis berdiameter 1,5 mm dan terletak di bawah zigoma. Panjang

duktus ini antara 4-6 cm berjalan melewati anterior dari otot maseter dan

berbelok ke medial menembus otot businator kemudian berlanjut ke jaringan

submukosa mulut memasuki rongga mulut dan berhadapan dengan gigi molar

kedua rahang atas (Kasuma, 2015).

Gambar 1. Kelenjar Parotis.

Kelenjar submandibula terletak di segitiga submandibular yang terdiri

dari bagin anterior dan posterior M. digastrikus dan tepi inferior mandibula.

Beratnya adalah sekitar 50% berat kelenjar parotis dengan berat antara 7-15

gram. Duktus kelenjar submandibula bermuara di duktus Warthon yang

terletak di dasar mulut pada kedua sisi frenulum lingual. Duktus warthon

berukuran panjang 4-5 cm dan melintasi bagian superior N. hipoglosus dan

4
bagian inferior menuju N. lingualis. kelenjar submandibula memiliki 3-6

nodus limfa yang ditemukan di segitiga submandibular (Kasuma, 2015).

Gambar 2. Kelenjar submandibula.

Kelenjar sublingual merupakan kelenjar yang ukurannya paling kecil

dengan berat antara 2-4 gram. Kelenjar sublingual terletak di dalam dasar

mulut antara mandibula dan M. Genioglossus. Kelenjar sublingual tidak

memiliki kapsula fascial yang jelas dan duktus yang dominan, namun

terdapat drainase 10 duktus kecilyang disebut ducts of rivinus. Pada

umunnya, beberapa duktus di bagian anterior menyatu membentuk satu

duktus yang lebih besar, yaituduktus Bartholin yang menyekresikan saliva

melalui duktus Warthon. Duktus Bartholin menyatu dengan duktus Warthon

di sublingual caruncula pada kedua sisifrenulum lingualis (Kasuma, 2015).

5
Gambar 3. Kelenjar sublinguali.

2.1.2 Komposisi dan Fungsi Saliva

1) Komposisi Saliva

Saliva terdiri dari 99% air dan1% bahan padat yang didominasi

oleh protein dan elektrolit. Elektrolit yang paling banyak terdapat di

saliva adalah natrium, kalium, klorida, bikarbonat, kalsium fosfat dan

magnesium. Komposisi saliva di rongga mulut ditentukan oleh tingkatan

sekresi dari sel acinar ke sistem duktus yang menyebabkan peningkatan

konsentrasi garam dan osmolaritas seiring dengan peningkatan laju aliran

saliva. Komponen saliva berperan penting dalam menjalankan fungsi-

fungsi saliva (Kasuma, 2015).

Sekitar 0,5 L saliva disekresikan dalam 24 jam, paling banyak di

pagi-siang hari. Aliran saliva distimulasi melalui refleks neural pathway

yang di stimulasi dengan mengecap dan mengunyah makanan. Stimulasi

taktil dan fungsi saliva berkurang pada saat tidur (Kasuma, 2015).

2) Fungsi Saliva

Menurut Sherwood (2001), terdapat beberapa fungsi saliva, yaitu:

6
a. Mempermudah proses menelan dan membasahi partikel-partikel

makanan sehingga saling menyatu dan menghasilkan pelumas yaitu

mukus yang kental dan licin.

b. Membantu proses berbicara dengan mempermudah gerakan bibir

dan lidah.

c. Membantu menjaga kebersihan mulut dan gigi. Aliran saliva yang

terus menerus dapat membantu membilas sisa-sisa makanan dan

melepaskan sel epitel serta benda asing di rongga mulut.

d. Penyangga bikarbonat di saliva berfungsi untuk menetralkan asam

makanan yang dihasilkan oleh bakteri di dalam mulut.

2.2 Sialolitiasis

Sialolitiasis merupakan penyakit pada kelenjar liur yang ditandai dengan

terganggunya sekresi yang disebabkan oleh adanya obstruksi pada saluran

kelenjar liur dengan terbentuknya batu. Penyakit disertai dengan rasa nyeri dan

pembengkakan pada kelenjar, terutama setelah makan jika obstruksi yang terjadi

belum seutuhnya dan biasanya bersifat unilateral. Kasus ini sering dijumpai pada

pria dibandingkan wanita dengan perbandingan 2:1. Sialolitiasis biasanya terjadi

pada usia dekade 3 sampai dekade 6, meskipun bisa terjadi pada usia remaja

(Holsinger dan Bui, 2007).

Mekanisme terbentuknya sialolitiasis sampai sekarang belum dketahui

dengan pasti, akan tetapi diduga karena beberapa faktor yang berperan serta dalam

terbentuknya batu, diantaraya inflamasi, iritasi lokal dan iregularitas pada saluran

liur. Faktor ini yng diduga mempengaruhi terjadinya kalsifikasi pada material

7
organik yang terdapat pada saliva, sehingga terbentuk sialolith (Lim HK dkk,

2012).

Sialolitiasis lebih sering terjadi pada kelenjar submandibula (85-90%) dari

jumlah kasus dan bersifat unilateral tanpa ada perbedaan sisi kiri dan kanan. Pada

beberapa penelitian, rata-rata batu sialolitiasis di kelenjar submandibula berukuran

7,3 mm. Sekitar 5-10% dari jumlah kasus sialolitiasis terjadi pada kelenjar parotis

(Walvekar dan Bowen, 2014).

2.2.1 Etiopatogenesis Sialolitiasis

Sialolitiasis mengandung bahan campuran dari kalsium karbonat dan

kalsium fosfat dengan bahan organik yang ditemukan antara lain glikoprotein,

mukopolisakarida dan debrisel. Disertai kandungan amonium, magnesium

dan fosfat hanya sekitar 20-25% apabila didapati proses infeksi. Ukuran rata-

rata sialolith 2 mm – 2 cm atau lebih berbentuk bulat atau irreguler dengan

permukaan kasar atau halus. Dilihat dari bentuk yang sering ditemukan

adalah bulat atau lonjong, ukurannya mulai dari milimeter hingga centimeter.

Sedangkan warna bervariasi dari putih hingga coklat tua. Batu kelenjar

submandibula untuk komposisi bahan anorganik 81% dan bahan organik 19%

(Yeh S, 2002).

Ada 2 faktor yang menjadi alasan tingginya insidensi sialolitiasis

kelenjar submandibula. Pertama, karena sifat dari liur yang dihasilkan banyak

mengandung musin, bahan organik, enzim fosfatase, kalsium fosfat, pH alkali

serta karbondioksida yang rendah. Kedua, karena bentuk anatomi warthon’s

duct yang panjang dan berkelok dengan posisi orifisum lebih tinggi dari

duktus dan ukuran duktus yang lebih kecil dari lumennya (Yeh S, 2002).

8
Kurang lebih 90% kasus sialolitiasis kelenjar liur ditemukan dalam

duktus submandibula (warthon’s duct). Ada 10% kasus dari kelenjar parotis

dikarenakan struktur anatomis duktus dan karakteristik kimiawwi sekresi dari

kelenjar liur. Kedua faktor ini saling mendukung terjadinya proses kalsifikasi

pada duktus submandibular sehingga menyebabkanterjadinya sialolitiasis.

Dugaan adanya substansi dari bakteri di rongga mulut yang migrasi ke dalam

duktus kelenjar liur dan menjadi sialolith (Junqueira dan Carneiro, 2007).

Gambar 4. Gambaran sialolith pada kelenjar submandibula


(Junqueira dan Carneiro, 2007)

Umumnya batu terbentuk dalam hilus kelenjar tetapi biasanyatampak

seperti sumbatan dalam saluran utama kelenjar liur. Sialolith umumnya

merupakan ikatan kalsium dan fosfat anorganik, terbentuknya bukan karena

hiperkalsemia, tetapi akibat pembentukkan kalkulus pada debris organik

karena infeksi atau sumbatan. Kedua hipotesa ini diduga sebagai etiologi

akibat penumpukan bahan organik, adapun pendapat lainnya adalah terdapat

proses biologi terbentuknya batu yang ditandai dengan menurunnya produksi

sekresi kelenjar (Yeh S, 2002).

9
Proses terbentuknya sialolith terdiri dari 2 fase yaitu, fase

terbentuknya inti dan fase terbentuknya lapisan luar. Pada fase awal inti

terbentuk oleh endapan garam yang berkaitan dengan substansi organik yang

kemudian akan melapisi fase berikutnya oleh bahan organik dan anorganik

seperti komponen bakteri, deskuamasi sel epitelial, perubahan elektrolit, hal

ini terjadi karena pembusukkan membran sel akibat proses penuaan (Yeh S,

2002).

2.2.2 Diagnosis Sialolitiasis

Sialolitiasis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit serta gejala

klinis, pemeriksaan fisik dan bila perlu dilakukan pemeriksaan radiologi dan

endoskopi.

1. Gejala Klinis

Pada beberapa kasus sialolitiasis, biasanya dapat bersifat

asimptomatis (tidak ada gejala). Gejala klinis yang paling sering

ditemukan pada penderita sialolitiasis adalah nyeri dan pembengkakan

pada submandibula, nyeri akan meningkat terutama selama dan setelah

makan. Nyeri tergantung dari obstruksi yang ditimbulkan dari batu yang

terbentuk. Pada beberapa kasus, sialolitiasis menyebabkan statis pada

saliva, sehingga terjadinya kontaminasi bakteri pada kelenjar liur dan

menyebabkan terjadinya sialoadenitis. Sedangkan pada kasus sialolitiasis

yang tidak disertai infeksi pada kelenjar liur, akan terjadi atrofi dan

penurunan fungsi sekresi kelenjar yang disebabkan obstruksi jangka

panjang pada saluran liur (Lim HK dkk, 2012).

10
Gambar 5. Gambaran klinis sialolith pada kelnjar liur.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan pembengkakan dan

eritem pada daerah submandibula, pastaurikula. Pada pemeriksaan

intraoral ditemukan udem dan hiperemis pada muara saluran liur.

Pemeriksaan bimanual pada dasar mulut dari arah posterior ke arah

anterior sering didapatkan batu pada saluran liur ( Witt dan Edkins, 2013).

Gambar 6. Teknik palpasi bimanual (Witt dan Edkins, 2013)

3. Pemeriksaan Penunjang

Ada berbagai macam metode klinis dan radiologis untuk

mendiagnosis sialolitiasis, yaitu pemeriksaan radiologis oklusal dan

11
panoramik, sialografi, ultrasonografi, xeroradiografi, scintigrafi dan

tomografi komputer yang secara indirect dapat memberikan informasi

mengenai keberadaan sialolith maupun kondisi kelenjar liur (Andretta dkk,

2005).

a) Standar X-ray Films (Oklusal dan Panoramik)

Teknik ini secara elektif dapat menunjukkan adanya sialolith di

saluran kelenjar liur, namun mempunyai kelemahan yaitu, tidak dapat

memperlihatkan sialolith berukuran kecil dan introglandular sialolith.

Sialolith akan tampak pada teknik foto panoramik (Andretta dkk,

2005).

Gambar 7. Gambaran sialolith dengan foto panoramik


(Ghorayeb, 2010).

b) Computed Tomographic Scan

Metode ini yang paling sering dilakukan. CT Scan menjadi

pemeriksaan adekuat untuk mendiagnosis sialolitiasis apabila ukuran

batu besar atau dilakukan potongan gambar CT Scan permilimeter.

Akan tetapi CT Scan memiliki kekurangan yaitu, tidak dapat

menentukan lokasi sialolith secara pasti dan tidak dapat

12
memperlihatkan gambaran anomali duktus kelenjar liur (Andretta dkk,

2005).

c) Sialografi

Sialografi memperlihatkan gambaran radiopak dari duktus

kelenjar liur dengan cara retrograde intracannular injection bahan

kontras yang larut dalam air. Metode ini merupakan pemeriksaan baku

emas dari diagnosis sialolitiasis karena dapat menunjukkan secara jelas

gambaran bukan hanya sialolitnya namun juga satruktur morfologis

duktus kelenjar liur tersebut. Selain itu sialografi juga mempunyai

keuntungan sebagai alat terapi dimana saat kontras dimasukkan akan

menyebabkan dilatasi dari duktus kelenjar liur sehingga sialolit dapat

keluar. Namun sialografi juga mempunyai kerugian yaitu, irradiation

doess, nyeri saat dilakukan prosedur, kemungkinan terjadinya perforasi

dari duktus, komplikasi infeksi dan syok anafilaktik serta makin

terdorongnya sialolith menjadi lebih jauh ke dalam sehingga

menyulitkan apabila direncanakan untuk dilakukan pengeluaran

dengan sialoendoskopi. Kontraindikasi pada infeksi akut dari pasien

alergi bahan kontras (Andretta dkk, 2005).

d) Sialoendoskopi

Sebagai alat diagnostik metode ini memperlihatkan gambaran

langsung informasi mengenai keadaan patologi dari duktus dan

kelenjar liur. Tidak ada kontraindikasi dalam melakukan tindakan ini

serta dapat dilakukan disegala usiadalam lokal anastesi. Kekuranga

dari sialoendoskopi adalah membutuhkan operator yang ahli sehingga

13
dapat menghindari komplikasi yang mungkin terjadi seperti perforasi

dan kerusakan pada pembuluh darah atau saraf (Marchal dan

Dulguernov, 2003).

2.2.2 Perawatan Sialolitiasis

Penatalaksanaan pada kasus sialolitiasis telah berkembang sejak tahun

1960an dan terus berkembang sampai saat ini. Beberapa penatalaksanaan pada

kasus sialolitiasis diantaranya adalah:

1) Tanpa Pembedahan

Adapun penanganan sialolitiasis kelenjar liur dengan pendekatan

konservatif. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik dan antiinflamasi

dengan harapan batu dapat keluar melalui karunkula secara spontan.

Pengobatan yang diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan

NSAID (ibuprofen 600 mg setiap 8 jam selama 7 hari) dan infeksi bakteria

dengan antibiotik golongan penicillin dan sefalosporin (875 mg

amoxicillin dan asam klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk jangka waktu

satu minggu) atau augmentin, cefzil, nafcillin, diet kaya protein dan cairan

asam termasuk makanan dan minuman juga dianjurkan untuk menghindari

pembentukan batu lebih lanjut dalamkelenjar saliva, sialoglogues (lemon

test yang merangsang salivasi), kemudian batu dikeluarkan dengan pijat

atau masase pada kelenjar. Sering kali batu masih tersisa terutama bila

berada di bagian posterior warthon’s duc, sehingga pendekatan konservatif

jarang diterapkan (Marchal dan Dulgerov, 2003).

2) Pembedahan

14
Pada beberapa kasus batu yang berada di warthon’s duct dapat

dilakukan pembedahan atau sialodochoplasty. Sering kali batu masih

tersisa terutama bila berada dibagian posterior warthon’s duct sehingga

pendekatan konservatif sering diterapkan. Sebelum teknik endoskopi dan

litotripsi berkembang pesat, terapi untuk mengeluarkan batu dengan

pengangkatan sialolith dilakukan pembedahan dengan pendekatan

intraoral (sialithectomy) terutama pada kasus dengan diameter batu yang

besar atau lokasi yang sulit. Bila lokasi batu di belakang ostium duktus

maka bisa dilakukan tindakan simple sphincterotomy dengan anastesi

lokal untuk mengeluarkannya. Pada batu yang berada di tengah-tengah

duktus harus dilakukan diseksi dengan menghindari kerusakan pada N.

Lingualis. Hal ini bisa dilakukan dengan anastesi lokal atau pun general

anastesi (Katz dan Banzile, 2004).

Sialithectomy dengan pendekatan intraoral diikuti reseksi kelenjar

liur dengan teknik operasi menggunakan anastesi umum, kemudia

dilakukan pemasangan pembuka mulut dan lidah diangkat. Setelah

dilkukan perabaan pada dasar mulut untuk menentukan lokasi batu

(kalkulus), lakukan diseksi secara tumpul melalui orificum duktus

submandibula menembus mukosa rongga mulut tepat diatas lokasi

kalkulus hingga kalkulus terpapar. Lalu kalkulus dipisahkan perlahan-

lahan dari jaringan sekitar kemudian diangkat (Eibling, 2008)

Perdarahan diatasi sebaik mungkin kemudian dilanjutkan dengan

tindakan reseksi kelenjar submandibula dengan insisi horizontal otot

aplatysma hingga lapisan superfisial fasia servikalis. Tahap akhir jika

15
memerlukan tindakan ligasi terhadap pembuluh darah arteri dan vena

sebelum dilakukan diseksi secara tumpul untuk memisahkan kelenjar

submandibula dar jaringan sekitarnya hingga struktur anatomi sekitar

kelenjar submandibula diangkat kemudian di reseksi mulai dari bagian

inferior (Fraioli dan Grandis, 2008).

3) Minimal Invasif

Terapi pendekatan non invasif yang cukup efektif pada sialolitiasis

adalah terapi dengan metode Extracorporeal Shock Wave Lithotrpsy

(ESWL) dan Interventional Sialoendoscopy.

a. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithopsy)

ESWL menjadi alternatif penanganan batu pada kelenjar liur

saat ini. Tujual ESWL adalah untuk mengurangi ukuran batu menjadi

fragmen yang kecil sehingga tidak mengganggu aliran air liur dan

mengurangi simptom. Diharapkan juga fragmen batu bisa keluar

spontan mengikuti aliran air liur (Baek dan Jeong, 2006). Akan tetapi

teknik memiliki kelemahan yaitu, sisa batu yang tertinggal akan

menjadi nidus terbentuknya sialolith kembali. Angka keberhasilan

dengan teknik ini adalah 40% untu btu di kelenjar submandibula dan

75% untu batu di kelenjar parotis (Nahlieli dkk, 2006).

Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua kasus sialolitiasis

baik dalam kelenjar maupun dalam duktus, kecuali jika posisi batu

yang dekat dengan nervus fasialis. Selain kelainan pembekuan darah

dan kelainan kardiologi, merupakan kontraindikasi umum untuk

tindakan ESWL (Nahlieli dkk, 2006).

16
b. Interventional Sialoendoscopy

Metode dengan menggunakan Interventional Sialoendoscopy

merupakan teknik minimal invasif dalam pengeluaran sialolith dan

juga sebagai alat diagnostik yang baik. Dengan meningkatnya

penggunaan endoskopi dalam berbagai macam jenis operasi seperti

pada operasi ginjal dan saluran empedu, maka teknik ini juga

digunakan dalam penatalaksanaan batu kelenjar liur (Nahlieli dkk,

2006).

Keberhasilan dari teknik ini sangan berhubungan dengan ukuran

sialolith kelenjar liur. 97% sialolith berukuran kurang dari 3 mm dapat

dikeluarkan langsung, sedangkan sialolith yang berukuran lebih dari 3

mm harus difragmentasi dahulu (Baek dan Jeong, 2006).

17
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Kasus

Dilaporkan seorang laki-laki berusia 34 tahun dapat ke poli Bedah Mulut

dan Maksilofasial Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan keluhan rasa sakit dan

bengkal yang hilang timbul sejak 4 sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik umum

didapatkan status umum baik, dengan tanda vital: frekuensi pernafasan 18x/menit,

frekuensi nadi 80x/menit, tekanan darah 120/80 mmHg. Pemeriksaan fisik lokal

didapatkan pada intraoral yaitu vestibulum lingual kiri posterior molar kedua

terdapat sialolith yang sudah tereskpos, ukuran 5x3x1 cm berwarna putih

kekuningan. Berdasarkan pemeriksaan klinis, riwayat pasien, pengantaran

radiologi (panoramik) (Gambar 8), sialografi (Gambar 9A dan 9B) dan CT-Scan

(Gambar 10A dan 10B), ditegakkan diagnosis sialolitiasis disertai ruptur muara

kelenjar ludah submandibula kiri dan direncanakan sialodektomi dan

pengangkatan kelenjar submandibula kiri dengan anastesi umum yang dilakukan

pada 25 juni 2009.

Gambar 8. Foto panoramik pasien.

18
Gambar 9A. Sialogram, lateral.

Gambar 9B. Sialogram AP.

Gambar 10A. CT Scan pasien.

19
Gambar 10B. CT Scan pasien

3.2 Penatalaksanaan

Jalannya operasi adalah sebagai berikut: persiapan alat, operator dan

asisten, pamasangan infus di tangan kiri, tindakan anastesi umum dengan O2 dan

N2O, injeksi obat-obatan anastesi, tindakan intubasi, pemberian salep mata dan

penutup mata dengan hypafix. Kemudian dilakukan tindakan aseptik ekstraoral

dengan alkohol 70% dan povidone iodine solution 10%, aseptik intraoral dengan

povidone iodine solution. Lalu dilakukan penutupan tubuh pasien dengan kain

steril, kecuali daerah operasi. Untuk mencagah tertariknya selang intubasi selama

operasi, dilakukan fiksasi tube nasal dengan benang silk 2,0. Lalu untuk

mencegah terjadinya aspirasi, dilakukan pemasangan kassa pack orofaring.

Selanjutnya agar didapat lapang pandang operasi yang cukup, dilakukan

penjahitan lidah untuk meretraksi lidah ke arah lateral dan pemasangan mouth

spreader pada sisi kanan.

20
Gambar 11. Intraoral pre op.

Operasi dimulai dengan pemberian vasokontriksi intraoral berupa

pemberian adrenalin 1:200.000 pada vestibulum lingual kiri, dilanjutkan dengan

insisi pada regio sublingual 37 dan 38 untuk memanjangkan jaringan mukosa

pada vestibulum yang sudah ruptur dengan blade no. 15. Kemudian dilakukan

pemisahan jaringan mukosa dengan respatorium dan arteri klem, dilanjutkan

dengan pengambilan sialolith serta jaringan granulasi pada rongga bekas sialolith

dan irigasi rongga tersebut dengan larutan NaCl 0,9% (Gambar 12). Bagian

intraoral diakhiri dengan penutupan rongga dengan penjahitan menggunakan

benang vicryl 3,0.

Gambar 12. Sialolith ditemukan 2, dengan ukuran masing-masing ±1 x


0,5 x 0,5 cm dan ±4 x 3 1 cm.

21
Selanjutnya dialakukan persiapan untuk pengambilan kelenjar liur

submandibula kiri pada ekstraoral. Pertama dilakukan pembuatan pola regio

submandibula kiri 2 jari di bawah tepi mandibula (Gambar 13).

Gambar 13. Pola insisi submandibula kiri.

Dilanjutkan dengan insisi kutis pada regio submandibuka kiri dan otot-otot

selapis demi selapis sampai terlihat kelenjar liur submandibula kiri dengan blade

no. 15, cauter, gunting jaringan dan arteri klem. Kemudian pemisahan jaringan

otot dengan kelenjar liur submandibula kiri dengan menggunakan arteri klem dan

cauter. Dilanjutkan dengan pengikatan pembuluh darah dengan benang vicryl 3,0.

Kemudian dilakukan pemotongan kelenjar submandibula dari jaringan mukosa

dengan cauter dan pengangkatan kelenjar liur submandibula kiri (Gambar 14 dan

15).

Gambar 14. Pengangkatan kelenjar getah bening.

22
Gambar 15. Ukuran kelenjar liur submandibula kiri ±9 x 5 x 2 cm dan
KGB submandibula kiri (benang silk)

Operasi bagian ekstra oral diakhiri dengan irigasi daerah operasi dengan

larutan NaCl 0,9%, penjahitan otot dengan benang vicryl 3,0, pemasangan

penrose drain serta penjahitan subkutis dengan benang vicryl 4,0 dan kutis

dengan benang dermalon 4,0 (Gambar 16).

Gambar 16. Intraoral dan ekstraoral post op.

Kemudian bagian intra oral diirigasi dengan larutan NaCl 0,9%, diikuti

dengan pelepasan kassa pack dari orofaring, pelepasan mouth spreader,

pembersihan daerah operasi, pemasangan sufratul dan hipafiks, tindakan ekstubasi

23
dan pengiriman hasil ke patologi anatomi (kelenjar submandibula dan kelenjar

getah bening submandibula kiri).

Selanjutnya pasien dikontrol setiap hari selama dirawat di Rumah Sakit,

kemudian pulang pada hari ke-4 setelah operasi. Pasien kontrol kembali ke poli

Bedah Mulut hari ke-6, 8 dan 15 setelah operasi. Pada kontrol hari ke-8 dan 15,

pasien mengeluhkan adanya parestesi lidag sebelah kiri, sedangkan gerakan lidah

normal. Untuk mengatasi keluhan ini, pasien diberikan Neurobion tablet 2 x 1.

Pasien dianjurkan untuk kontrol kembali bila masih ada keluhan, namun sampai

laporan dibuat pasien tidak datang kontrol kembali.

24
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sialolitiasis merupakan penyakit yang paling umum terjadi pada kelenjar

saliva. Sialolitiasis terjadi oleh karena akumulasi deposit kalsium atau kalkulus

yang terbentuk pada duktus kelenjar saliva atau di dalam kelenjar saliva sehingga

menghambat aliran kelenjar saliva. Kasus Sialolitiasis pada pasien ini didiagnosis

berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang yang mendukung.

Pemilihan terapi bedah, yaitu sialodektomi dan pengangkatan kelenjar saliva

submandibula kiri berdasarkan pertimbangan letak sialolith yang berada pada

posterior ( distal gigi molar kedua).

25
DAFTAR PUSTAKA

Andretta M., Tregnaghi A., Prosenikliev V., Staffieri A. 2005. Current Opinion in
Sialolithiasis Diagnosis and Treatment. Dalam: Yusuf M., Elvia.
Diagnosis dan Terapi Sialolitiasis Kelenjar Liur. Posted 2018:6.

Baek CH., Jeong HS. 2006. Endoscope Assisted Submandibular Sialadenectomy a


New Minimally Invasiv Approach to Submandibular Gland. In:
American Journal of Otolaryngology Head and Neck Medicine and
Surgery.27:306-9.

Eibling DE. Transoral Removal of Salivary Duct Calculi. Dalam: Yusuf M.,
Elvia. Diagnosis dan Terapi Sialolitiasis Kelenjar Liur. Posted 2018:6.

Fraioli RE., Grandis JR. 2008. Exicision of Submandibular Gland. Dalam: Yusuf
M., Elvia. Diagnosis dan Terapi Sialolitiasis Kelenjar Liur. Posted
2018:6.

Holsinger FC., Bui DT. 2007. Anatomy, Function and Evaluation of the Salivary
Glands. In: Myers EN., Ferris RL., editors. Salivary gland Disorder
Otolaryngology. 15th ed. Berlin: Springer. p.6-8.

Junqueira LC., Carneiro J. 2007. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. Edisi 10. Alih
Bahasa: Jan Tambayong. Jakarta: EGC. 312-5.

Lim HK.,ed. 2012. Clinical, Statistical and Chemical Study of Sialolithiasis.


Korean Association Oral Maxillofac Surg.38:44-9.

Kasuma N. 2015. Fisiologi dan Patologi Saliva. Padang: Andalas University


Press. ISBN: 97-602-8821-69-8.

Katz D., Johns ME. 2001. Two Non Surgical Therapies of Salivary Lithiasis.
IEFGS Paris-France. 7:5017

Marchal F., Dulguernov P. 2003. Sialolithiasis Management, The State of Arch


Otolaryngol Head Neck Surg. 129:951-6.

Maulani IR. 2017. Sialodektomi dan Pengangkatan Kelenjar Saliva Submandibula


Kiri pada Sialolitiasis (Laporan Kasus). Jurnal Ilmiahdan Teknologi
Kedokteran Gigi FKG UPDM (B). Vol. 13, No. 2: 28-33. ISSN: 1693-
3079

Miloro M. 2003. Diagnosis and Management of Salivary Gland Disorders in


Peterson, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4th. Mosby.

26
Nahlieli O.,ed. 2006. Sialendoskopi. Dalam: Yusuf M., Elvia. Diagnosis dan
Terapi Sialolitiasis Kelenjar Liur. Posted 2018:6.

Ningsih JR. 2018. Ilmu Dasar Kedokteran Gigi. Surakarta: Muhammadiyah


University Press. ISBN: 978-602-361-129-4.

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia;dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Walvekar RR., Bowen MA. 2014. Nonneoplastic Diseases of the Salivary Glands.
Dalam: Wahyudi E., Novialdi. Laporan Kasus: Pendekatan Transoral
Sialolitektomi pada Sialolitiasis. Jurnal Kesahatan Andalas. Posted
2018:7.

Witt R., Edkins O. 2013. Sialolithiasis: Traditional & Sialendoscopic Techniques.


In fagan J, editor. Open Access Atlas of Otolaryngology, Head and Neck
Operative Surgery. Cape Town: University of Cape Town.

Yeh S. 2002. Kelenjar Liur. Dalam: Ballenger JJ.ed. Penyakit Telinga Hidung
Tenggorakan, Kepala dan Leher. Jilid Satu. Edisi 13. Jakarta: Binarupa
Aksara. Alih Bahasa: Staf Ahli Bagian THT-KL RSCM-FKUI;330.

27

Anda mungkin juga menyukai