DISUSUN OLEH :
Astry Marveilla S
2014-16-055
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan
ini, yang merupakan tugas dari Kepaniteraan Klinik di RS. Bhayangkara TK. I Raden Said
Sukanto. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung
penulis secara materi maupun moril sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan
waktunya, serta tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah.
Oleh karena makalah ini dibuat masih dalam tahap pembelajaran, penulis sangat
menyadari banyaknya kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, maka mohon maaf atas
segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat pada makalah ini. Besar harapan penulis atas
kritik dan saran pembaca untuk pembuatan makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini
dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A .Latar Belakang
Rongga mulut setiap harinya dibasahi oleh 1.000 hingga 1500 ml saliva. Kesehatan
lapisan mukosa mulut dan faring serta fungsi pengunyahan dan pernapasan dalam tingkatan
yang lebih rendah, bergantung pada cukupnya aliran saliva. Saliva berasal dari tiga pasang
kelenjar saliva mayor, yaitu kelenjar parotis, kelenjar submandibula, dan lingualis, dan sejumlah
kelenjar minor pada mukosa dan submukosa bibir, palatum, dan lidah. Kelenjar saliva
merupakan sasaran dari keadaan-keadaan yang ditimbulkan oleh penyumbatan. infeksi, trauma,
dan neoplasia(Benjamin dan Michael,2006).
Kebanyakan diagnosis awal kelainan kelenjar saliva dideteksi oleh dokter gigi umum dan
perawatannya dilakukan oleh spesialis bedah mulut. Salah satu kelainan yang bisa terjadi adalah
obstruksi pada kelenjar saliva, misalnya sialolithiasis, sialolithiasis adalah pembentukan batu
(kalkulus) diduga karena penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva
dan mengalami proses kalsifikasi hingga terbentuk batu, sialolithiasis ini umumnya berasal dari
adanya deposit kalsium dan memberikan
menyumbangkan 50% dari penyakit saliva, kurang lebih 80% sialolithiasis ini berasal dari
ke1enjar submandibula, 20% pada kelenjar parotid dan 2% terjadi pada kelenjar sublingualis dan
kelenjar minor. Sialolithiasis kebanyakan terjadi pada orang dewasa(Dent,2002).
Sialolithiasis adalah salah satu penyakit pada kelenjar saliva dimana angka kejadiannya
sangat jarang terjadi, hal tersebut membuat sedikitnya pengalaman kita dalam menegakkan
diagnosis dan penatalaksanaannya,sehingga penulis tertarik untuk melakukan penulisan referat
tentang sialolithiasis.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, serta penatalaksanaan dari sialolithiasis.
C. Manfaat
Manfaat penulisan ini untuk menambah pengetahuan penanganan sialolithiasis baik
dengan cara pembedahan atau dengan minimal invasif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sialolithiasis adalah pembentukan batu (kalkulus) pada kelenjar saliva, sialolithiasis
diduga karena penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan
mengalami proses kalsifikasi hingga terbentuk batu. Dimana komposisi batu terbentuk dari
kalsium dan fosfat yang bersifat sebagai heteropik kalsifikasi, namun kadar serum kalsium dan
fosfat didalam darah dalam batas normal, hal tersebut diketahui sebagai idiopatik kalsifikasi
(Mouli dan Kumar, 2011).
B. Epidemiologi
Sialolithiasis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada kelenjar saliva,
diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi di eropa. Perbandingan angka kejadian pada laki-laki
dan perempuan adalah 1,04 banding 1, dan usia paling banyak terjadi antara 25 tahun sampai 50
tahun. 80-90% sialolithiasis sering ditemukan pada kelenjar submandibula (warthons duct)
karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari sekresi kelenjar saliva. Dua faktor
penting tersebut yang menjadi alasan tingginya kejadian sialolithiasis pada kelenjar
submandibula. Pertama, sifat saliva yang dihasilkan oleh kelenjar submandibula mengandung
banyak
musin, bahan organik, enzim fosfatase, garam kalsium, fosfat, pH alkali, karbon
dioksida rendah. Kedua, faktor anatomi dimana warthons duct panjang dan berkelok, posisi
orifisium lebih tinggi dari duktusnya dan ukuran duktus lebih kecil dari lumennya,sedangkan 6%
pada kelenjar parotis, 2% pada kelenjar sublingual, dan 2% ditemukan pada kelenjar liur
minor(Zenk dan Constantinidis,2011).
Kasus terjadinya sialoltihiasis billateral pada kedua kelenjar sangat jarang terjadi dengan
angka kejadian kurang dari 3 % kasus, dan dilaporkan 88% kalkulus adalah kurang dari 10 mm,
dan sisa nya bisa melebihi dari 15 mm namun sangat jarang terjadi, dan sialolthiasis dapat terjadi
pada semua umur namun pada anak-anak sangat jarang, dan pada dewasa antara umur 30 tahun
sampai 60 tahun yang paling sering terjadi(Fowell dan MacBean,2012).
C. Anatomi Kelenjar Saliva
Kelenjar saliva dapat dibedakan atas kelenjar parotidea, kelenjar submandibularis,
kelenjar lingualis, dan kelenjar assesorius.
Kelenjar saliva mayor terdiri dari :
a.Kelenjar parotis
Terletak dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula (antara prossesus mastoideus
dan ramus mandibula)
Mengandung sejumlah besar enzim antara lain amilase lisozim, fosfatase asam, aldolase,
dan kolinesterase. Merupakan kelenjar serous pada manusia dewasa sekresi yang kaya
akan air. Pada anak-anak masih mengandung kelenjar mukus. Saliva terdiri dari 25%
sekresi kelenjar parotis
Merupakan kelenjar terbesar dibandingkan dengan kelenjar saliva lainnya dengan berat
20-30 gram, panjang duktus 35-40 mm, dengan diameter 3 mm
Duktus parotis yakni duktus stensen yang berjalan menyilang permukaan otot masseter.
Duktus kelenjar ini berjalan menembus pipi dan bermuara pada vestibulum oris pada
lipatan antara mukosa pipi dan gusi dihadapan molar 2 atas.
Kelenjar parotis terletak pada bagian samping, di atas m. masseter. Bagian inferior menempel
pada m. sternocleidomastoideus, dan pada bagian posterior, kelenjar ini terletak di atas venter
posterior m. digastricus. Kelenjar ini dipisahkan dari kelenjar submandibularis oleh ligamentum
stylomandibularis, sedangkan bagian dalam, yaitu perluasan retromandibular berhubungan
dengan rongga parafaringeal .
Cabang dan
parotikus, misalnya duktus stensen, dengan panjang 5 sampai 6 cm, bermula dari aspek anterior
kelenjar, melintasi m. masseter, menembus m. buccinator, dan memasuki rongga mulut pada
regio molar pertama atau molar kedua rahang atas (Benjamin dan Michael,2006).
b.Kelenjar Submandibularis
Terletak di bawah ramus mandibula
Duktus muncul dari permukaan bagian dalam kelenjar dan berjalan sampai mencapai
dasar mulut, kemudian bermuara pada caruncula sublingualis di dekat frenulum lidah.
Panjang duktus 40-50 mm, diameter lebih kecil dari kelenjar parotis
superfisial
dan
profunda.
Lobus
bagian
profunda
lebih
besar
dari
lobus
Kelenjar sublingual menempati rongga sublingual bagian anterior dan karena itu hampir
memenuhi dasar mulut. Aliran dari sublingualis memasuki rongga mulut melalui sejumlah muara
yang terdapat sepanjang plika sublingualis. yaitu suatu mukosa anteroposterior di dasar mulut
yang menunjukkan alur dan duktus submandibularis atau melalui duktus utama yaitu duktus
bartholin) yang berhubungan dengan duktus mandibularis(Benjamin dan Michael,2006).
Kelenjar saliva minor dalam jumlah besar terletak pada submukosa atau mukosa bibir,
permukaan lidah bagian bawah, bagian posterior palatum durum dan mukosa bukal. Pengetahuan
atau pengenalan lokasi kelenjar minor ini dibutuhkan karena banyak proses penyakit yang
terdapat di kelenjar saliva mayor juga rnengenai kelenjar assesorius ini Kemungkinan terjadinya
penyakit kelenjar saliva memberikan diagnosis altematif untuk patologis yang terbadap pada
regio ini (Benjamin dan Michael,2006).
kelenjar, Sjgren's sindrom dan atau peningkatan kalsium, dehidrasi, yang meningkatkan
viskositas saliva; asupan makanan berkurang atau obat yang menurunkan produksi saliva,
termasuk anti histamin tertentu, anti hipertensi (diuretik) dan anti psikotik, tetapi dalam banyak
kasus dapat timbul secara idiopatik(Becker,2001).
Sialolithiasis mengandung bahan organik pada pusat batunya, dan anorganik di
permukaannya. Bahan organik antara lain glikoprotein, mukopolisakarida, dan debris sel. Bahan
anorganik yang utama adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Sedangkan ion kalsium,
magnesium, dan fosfat sekitar 20-25%. Senyawa kimia yang menyusunnya antara lain
mikrokristalin apetit [Ca5(PO4)OH] atau whitlokit [Ca3(PO4)]. Pengamatan dengan
menggunakan transmisi mikroskop elektron dan mikroanalisis X ray. Pada batu sialolithiasis,
didapatkan gambaran menyerupai struktur mitokondria, lisosom, dan jaringan fibrous. Substansi
tersebut diduga sebagai salah satu penyebab proses kalsifikasi dalam sistem duktus
submandibula(Mimura,et al.,2005).
Etiologi sialolithiasis belum diketahui secara pasti, beberapa patogenesis dapat digunakan
untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini. Pertama, adanya ekresi dari intrasellular mikrokalkuli
ke dalam saluran duktus dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua, dugaan adanya substansi dan
bakteri dari rongga mulut yang migrasi ke dalam duktus salivari dan menjadi nidus kalsifikasi.
Kedua hipotesis ini sebagai pemicu nidus organik yang kemudian berkembang menjadi
penumpukan substansi organik dan inorganik(Marchal dan Dulgeorov P,2003).
Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknya batu, yang
ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan elektrolit, dan menurunnya sintesis
glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi pembusukan membran sel akibat proses
penuaan(Mimura,et al., 2005).
E. Diagnosis Klinis
Pada obstruksi parsial kadang-kadang sialolithiasis tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatis). Nyeri dan pembengkakkan kelenjar yang bersifat intermitten merupakan keluhan
paling sering dijumpai dimana gejala ini muncul berhubungan dengan selera makan (mealtime
syndrome). Pada saat selera makan muncul sekresi saliva meningkat, sedangkan drainase melalui
duktus mengalami obstruksi sehingga terjadilah stagnasi yang menimbulkan rasa nyeri dan
pembengkakan kelejar(Dalkiz,Dogan,Beydemir,2001).
Stagnasi yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering dijumpai sekret
yang supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut. Kadang-kadang juga timbul gejala infeksi
sistemik. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi pada kelenjar saliva yang menyebabkan
hiposalivasi, dan akhirnya terjadi proses fibrosis( Palpasi bimanual di dasar mulut arah posterior
ke anterior sering mendapatkan kalkulus pada duktus submandibula, juga dapat meraba
pembesaran duktus dan kelenjar. Perabaan ini juga berguna untuk mengevaluasi fungsi kelenjar
saliva (hipofungsional atau non-fungsional).. Studi imaging sangat berguna untuk diagnosis
sialolithiasis, radiografi oklusal berguna dalam menunjukkan batu radiopaque(Bar,et al.,2007).
F. Pemeriksaan Penunjang
Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar saliva antara lain
Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CTScan), Sialography, Magnetic
Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound. Masing-masing memiliki kelebihan dan
keterbatasan tertentu dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri, bengkak dan keluhan lainnya
yang
berkaitan
dengan
Submandibula(Becker,2001).
a. Plain - Film Radiography
gangguan
kelenjar
saliva,
seperti
pada
Sialolithiasis
Sebelum teknologi imaging berkembang pesat seperti sekarang, plain foto masih dapat
digunakan untuk menentukan kelainan pada kelenjar saliva. Teknik ini banyak memberikan
informasi selain data dari pemeriksaan klinis. Pada evaluasi sialolithiasis submandibula, masih
efektif untuk melihat batu pada duktus, tapi sulit untuk mengevaluasi batu di glandula atau batu
yang kecil. Hanya 20% sialolithiasis yang radiotransparent sehingga metode ini hanya digunakan
untuk screening bila metode lainnya tidak tersedia.Untuk memaksimalkan hasil, dianjurkan
pengambilan film dari berbagai sudut yang berbeda, termasuk dari sudut dasar mulut. Hal ini
penting untuk mendapatkan gambaran yang jelas, dimana batu kadang-kadang tertutup oleh
tulang mandibula. Sehingga perlu diambil gambaran dari rongga mulut dan regio submandibula,
termasuk gambaran oklusi duktus dengan dental-film atau anteroposterior view tulang
mandibula(Jager,et al.,2000).
c. Ultrasonography(USG)
Ultrasonografi merupakan metode diagnostik noninvasif, tapi penggunaan dan hasil yang
didapat sangat tergantung pada keahlian operator (operator dependent) dan gambaran yang
dihasilkan tidak bisa diintepretasi langsung oleh ahli bedah, kecuali dia mengerjakan sendiri.
USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi sialolithiasis. Untuk memperjelas hasil bisa
menggunakan resolusi tinggi (7-12 MHz) dengan tranducer linier dan kontak permukaan yang
kecil. Gambar diperoleh terutama menggunakan bidang aksial submandibula dengan setelan
oblique untuk menentukan letak lesi dan menelusuri pembuluh darah. Penekanan seminimal
mungkin untuk menghindari distorsi anatomis(Ching dan Ahuja, 2002).
d. Sialography
Sialografi merupakan upaya untuk membuat gambaran radiopaque (opacification) pada
duktus kelenjar saliva dengan memasukkan bahan kontras berupa water soluble radiopaque dye
secara retrograde intracanular.Dimana kontras dimasukkan kedalam duktus orifisum parotis
atau submandibula sehingga dapat terlihat gambaran defek apabila terdapat batu di duktus
utamanya. Cara ini dianggap sebagai gold standar karena dapat memberikan gambaran yang jelas
tidak hanya batu
tapi juga struktur morfologis duktus seperti lesi karena trauma, massa, proses inflamasi, dan
penyakit obstruktif lainnya. Keuntungan sialografi bisa bersifat terapeutik, dimana cairan dye
menyebabkan dilatasi pada duktus dan batu terdorong keluar melalui orifisium duktus (caruncula
sublingualis). Kerugian metode ini antara lain, dapat menyebabkan nyeri, infeksi, anafilaktik
shock, dan perforasi dinding duktus, kadang-kadang justru mendorong batu menjauhi caruncula.
Oleh karena itu, sialografi tidak boleh dilakukan bila terjadi infeksi akut karena akan memicu
meningkatnya proses inflamasi. Kelemahan ini diminimalisir dengan teknik pengembangan
tanpa kontras, cukup dengan merangsang saliva sebagai pengganti fungsi kontras (yaitu
Magnetic Resonance Sialography)(Becker,2001).
f.Endoskopi
Endoskopi yang dikenal dengan sialoendoskopi merupakan prosedur noninvasif yang
dapat mengeksplorasi secara lengkap sistem duktus, termasuk cabang sekunder dan tersier
duktus. Pada pasien yang terdapat kalkulus yang kurang dari 3 mm pada parotid dan 4 mm untuk
submandibular sulit untuk di evaluasi, oleh karena itu metode ini adalah salah satu cara untuk
melihat sialolithiasis(Al Abri dan Maschal F,2010).
Sialoendoskopi dapat dilakukan di klinik rawat jalan dengan menggunakan anestesi lokal
lidocain 2% dimana pasien duduk di kursi atau setengah berbaring. Fungsi utama sialoendoskopi
untuk konfirmasi sekaligus diagnosis obstruksi dan striktur sistem duktus serta pengambilan
batu. Pada prinsipnya sialoendoskopi dilakukan dengan memasukkan sistem semirigid ke
intraluminar duktus. Diameter sialendoskopi yang sering digunakan antara 0.9 mm - 1,3 mm.
Visualisasi intraluminar dan kondisi patologis dapat diamati secara langsung, yang dapat
digunakan juga untuk melihat adanya stenosis dan sialodenitis(Al Abri dan Maschal F,2010).
Selain diagnostik, metode ini bisa melakukan prosedur intervensi seperti dilatasi
progresif, pembersihan dan pembilasan, serta pengambilan batu dengan forsep maupun laser
fragmentation. Indikasi penggunaannya pada semua pembengkakan dan nyeri intermitten pada
kelenjar atau duktus saliva yang belum diketahui sebabnya. Tidak ada kontra indikasi mutlak
termasuk pada anak maupun manula, karena selain minimal invasif sialendoskopi hanya
membutuhkan anestesi lokal dan cukup rawat jalan saja. Pada keadaan tertentu sialendoskopi
dapat menimbulkan komplikasi lesi pada saraf yang menimbulkan parastesi (0,4%), terjadi
infeksi (1,6%), perdarahan (0,5%), dan kerusakan sistem duktus seperti striktur (2,5%)( Al Abri
dan Maschal F,2010).
Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan antibiotik dan anti
inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara spontan. pengobatan yang
diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan NSAID (e.g ibuprofen, 600 mg setiap 8 jam
selama 7 hari) dan infeksi bakteria diobati dengan antibiotik golongan penicillin dan
sefalosporin, (875 mg amoxicillin dan asam klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk jangka waktu
satu minggu ) atau augmentin, cefzil, ceftin, nafcillin, diet kaya protein dan cairan asam
termasuk makanan dan minuman juga dianjurkan untuk menghindari pembentukan batu lebih
lanjut dalam kelenjar saliva, sialologues (lemon tetes yang merangsang salivasi), batu
dikeluarkan dengan pijat atau masase pada kelenjar. Sering kali batu masih tersisa terutama bila
berada di bagian posterior Warthons duct, sehingga pendekatan konservatif jarang
diterapkan(Marschal dan Dulgerov,2003).
b. Pembedahan
Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk mengeluarkan
batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan, terutama pada kasus
dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10 mm), atau lokasi yang sulit. Bila
lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa
dilakukan tindakan simple sphincterotomy dengan anestesi lokal untuk mengeluarkannya. Pada
batu yang berada di tengah-tengah duktus harus dilakukan diseksi pada duktus dengan
menghindari kerusakan pada n. lingualis. Hal ini bisa dilakukan dengan anestesi lokal maupun
general anastesi. Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat dilakukan
tindakan sialodochoplasty(Katz dan Banzille,2004).
Tindakan pembedahan:
Lakukan eksisi bentuk elips pada mukosa dasar mulut yang bombaan akibat kista tersebut
dan pilih yang paling sedikit vaskularisasinya, kemudian rawat perdarahan yang terjadi,
lakukan sondase atau palpasi, sebab kadang ada sedimentasi/sialolithiasis, atau sebab lain
sehingga menimbulkan sumbatan pada saluran kelenjar liur sublingual. Tepi eksisi dijahit
marsupialisasi dengan Dexon 0/3 agar tidak menutup lagi.
Pada batu yang cukup besar setelah dievaluasi tidak ada batu lagi maka bisa dipasang
tampon pita sampai keujungnya dipertahankan sampai 5 hari sebagai tuntunan
epitelialisasi.
c. Minimal invasif
1. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
ESWL merupakan terapi dengan pendekatan non invasif yang cukup efektif pada
sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di saluran kencing dan pankreas, ESWL
menjadi alternatif penanganan batu pada saluran saliva, dimulai tahun 1990an. Tujuan ESWL
untuk mengurangi ukuran kalkulus menjadi fragmen yang kecil sehingga tidak mengganggu
aliran saliva dan mengurangi simptom. Diharapkan juga fragmen kalkulus bisa keluar spontan
mengikuti aliran saliva.Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam
glandula maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur n. facialis.
Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan inflamasi kronis bukan merupakan kontra
indikasi, sedangkan kelainan pembekuan darah (haemorrhagic diathesis), kelainan kardiologi,
dan pasien dengan pacemaker merupakan kontraindikasi umum ESWL. Metode ini tidak
menimbulkan nyeri dan tidak membutuhkan anestesia, pasien duduk setengah berbaring (semireclining position).
Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm dan kedalaman 20mm sehingga lesi jaringan
sekitarnya sangat minimal. Energi yang digunakan disesuaikan dengan batu pada kelenjar saliva,
yaitu antara 5 30 mPa. Tembakan dilakukan 120 impacts per menit, bisa dikurangi sampai 90
atau 60 impacts per menit. Setiap sesion sekitar 1500 + / - 500 impacts dan antar sesion terpisah
minimal satu bulan(Andretta,et al.,2005).
Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah kalkulus. Ketepatan
posisi (pinpointing) kalkulus bisa dipandu dengan ultrasonography, echography probe 7,5 Mhz.
Kalkulus dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi fragmen. 5,17 Beberapa penelitian telah
melakukan pengamatan dan follow up atas keberhasilan penggunaan ESWL, antara lain Escidier
et al mengamati 122 kasus dimana 68% pasien terbebas dari simptom setelah difollow up selama
3 tahun, Cappaccio et al dengan 322 kasus melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptom
setelah diamati 5 tahun sejak pengobatan menggunakan ESWL(Pasquale,et al.,2004).
membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anak-anak, dewasa maupun
usia lanjut tehnik intervensi sialoendoskopi(Chu,2003)
Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser helium ke dalam
working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-kecil. Kemudian bagian kecil
tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama. Sedangkan pada kasus mukus plak, sekret
yang lengket dimobilisasi dengan pembilasan dan penghisapan. Setelah intervensi sialendoskopi,
dilakukan stenting pada duktus submandibula menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2
sampai 4 minggu dengan tujuan:
1) menghindari striktur
2) mencegah obstruksi karena udema sekitar orifisium
3) sebagai saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva. Pemberian
hydrocortisone 100 mg injeksi intraduktusl atau langsung pada daerah striktur juga dapat
mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendokopi(Nahlieli,Nakar dan Nazarian,2006).
Gambar 2.9 Wire basket dan metalik dilator dengan balon(Al Abri dan Marcshal F,2010).
H.Komplikasi
Komplikasi meliputi obstruksi terus-menerus dari saluran, yang mengarah ke invasi
bakteri, pertumbuhan berlebih dan infeksi yang menyebabkan sialoadenitis. Segala bentuk
intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun minimal invasif dapat
menimbulkan komplikasi antara lain:
1) Kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus
2) Perdarahan post operative,
3) Striktur sistem duktal,
4) Pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,
5) Kutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal therapy, dan
6) residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.
Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih memungkinkan untuk
meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.
BAB IV
KESIMPULAN
.Kelenjar submandibula dan kelenjar parotis terjadi sialolithiasis diperkirakan terdapat 1,2%
DAFTAR PUSTAKA
1. Andretta M, Tregnaghi A, Prosenikliev V, Staffieri A.2005Current Opinion in
Sialolithiasis Diagnosis and Treatment. Acta Otorhinolaryngology Italia,; 25:145-9