Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. 1
Daftar Isi........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 3
1.2 Tujuan......................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 5
2.1 Definisi................................................................................................... 5
2.2 Epidemiologi........................................................................................... 5
2.3 Anatomi Kelenjar Saliva......................................................................... 6
2.4 Etiologi dan Patofisisologi...................................................................... 8
2.5 Diagnosis Klinis......................................................................................10
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................11
2.7 Penatalaksanaan......................................................................................15
2.8 Komplikasi..............................................................................................21
BAB III PENUTUP..........................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................23

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Rongga mulut setiap harinya dibasahi oleh 1.000 hingga 1500 ml saliva.
Kesehatan lapisan mukosa mulut dan faring serta fungsi pengunyahan dan pernapasan
dalam tingkatan yang lebih rendah, bergantung puda cukupnya aliran saliva. Saliva
berasal dari tiga pasang kelenjar saliva mayor, yaitu kelenjar parotidea, kelenjar
sublingualis, dan mandibularis, dan sejumlah kelenjar minor pada mukosa dan
submukosa bibir, palatum, dan lidah. Kelenjar saliva merupakan sasaran dari
keadaan-keadaan yang ditimbulkan oleh penyumbatan. infeksi, trauma, dan
neoplasia. Kebanyakan diagnosis awal kelainan kelenjar saliva dideteksi oleh dokter
gigi umum dan perawatannya dilakukan oleh spesialis bedah.
Salah satu kelainan yang bisa terjadi adalah obstruksi pada kelenjar saliva,
misalnya sialolithiasis, sialolithiasis adalah pembentukan batu (calculi) diduga karena
penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalami
proses kalsifikasi hingga terbentuk batu, sialolit ini umumnya berasat dari adanya
deposit kalsium dan memberikan rasa tidak nyaman pada penderita. Sialolithiasis
menyumbangkan 30% dari penyakit saliva, kurang lebih 80% sialolithiasis ini berasal
dari ke1enjar submandibula, 6% pada kelenjar parotid dan 2% terjadi pada kelenjar
sublingualis dan kelenjar minor. Sialolithiasis kebanyakan terjadi pada orang dewasa,
yaitu insidennya pada laki-laki lebih sering dari pada perempuan. Rasa sakit biasanya
timbul ketika ada makanan yang sangat merangsang sekresi saliva.

1.2 TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, serta penatalaksanaan dari sialolithiasis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan pada
kelenjar submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi pada duktus
kelenjar saliva. Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga karena
penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalami
proses kalsifikasi hingga terbentuk batu.1
Sebagian besar (80% - 90%) sialolithiasis terjadi di duktus submandibula
(warthons duct) karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari
sekresi kelenjar saliva. Kedua faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi pada
duktus submandibula sehingga muncul sialolithiasis.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Sialolithiasis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada kelenjar
saliva, diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi. Perbandingan angka kejadian pada
laki-laki dan perempuan adalah 1,04 banding 1, dan usia paling banyak terjadi antara
25 tahun sampai 50 tahun.3 80-90% sialolithiasis ditemukan pada kelenjar
submandibula, 6% pada kelenjar parotis, 2% pada kelenjar sublingual, dan 2%
ditemukan pada kelenjar liur minor. Terdapat dua faktor penting yang menjadi alasan
tingginya kejadian sialolithiasis pada kelenjar submandibula. Pertama, sifat saliva
yang dihasilkan oleh kelenjar submandibula mengandung banyak mucin, bahan
organik, enzim fosfatase, kalsium, fosfat, pH alkalin, karbon dioksida rendah. Kedua,

faktor anatomi dimana warthons duct panjang dan berkelok, posisi orifisium lebih
tinggi dari duktusnya dan ukuran duktus lebih kecil dari lumennya. 2,4,5
2.3 ANATOMI KELENJAR SALIVA
Kelenjar

saliva

dapat

dibedakan

atas

kelenjar

parotidea,

kelenjar

submandibularis, kelenjar lingualis, dan kelenjar assesorius.

Kelenjar parotidea terletak pada bagian samping, di atas m. masseter. Bagian


inferior menempel pada m. sternocleidomastoideus, dan pada bagian posterior,
kelenjar ini terletak di atas venter posterior m. digastricus. Kelenjar ini dipisahkan
dari kelenjar submandibularis oleh ligamentum stylomandibularis, sedangkan bagian
dalam, yaitu perluasan retromandibular berhubungan dengan rongga parafaringeal .
Cabang dan terminal n. facialis berjalan di dalam substansi kelenjar tersebut. Ductus
paroticus, misalnya ductus stensen, dengan panjang 5 sampai 6 cm, bermula dari

aspek anterior kelenjar, melintasi m. masseter, menembus m. buccinator, dan


memasuki rongga mulut pada regio molar pertama atau molar kedua rahang atas.
Kelenjar submandibula terletak di segitiga submandibula yang dibatasi oleh
muskulus digastrikus anterior posterior dan inferior dari os. mandibula. Posisi
kelenjar submandibula terletak di medial dan inferior ramus mandibula. Bagian
posterior kelenjar submandibula sebagian berada di atas dan sebagian di bawah dari
mandibula posterior. Kelenjar ini berbentuk seperti huruf C mengelilingi batas
anterior dari muskulus milohioid kemudian menjadi dua lobus, superfisial dan
profunda. Lobus bagian profunda lebih besar dari lobus superfisialisnya.6
Kelenjar submandibula mendapatkan inervasi dari dua sumber, yaitu simpatis
dan para simpatis. Inervasi saraf simpatis dari ganglion cervikalis superior melalui n.
lingualis, dan inervasi saraf parasimpatis dari ganglion Submandibula yang diberi
makan oleh arteri lingualis. Bagian dalam kelenjar submandibula mendapat
vaskularisasi dari cabang submental arteri dan vena fasialis yang kemudian berjalan
sampai bagian superfisial melalui tepi inferior mandibula. Lymph node pada kelenjar
submandibula terdiri dari (A) superfisial, (B) anterior, (C) posterior, dan (D)
submental.
Duktus submandibula (whartons duct) berada di permukaan medial dari
kelenjar dan berjalan di antara lateral muskulus Milohioid dan muskulus Hioglosus
dan di atas muskulus Genioglosus, membentuk belokan tajam di lateral m. Milohioid
(sering menjadi tempat calculi). Duktus ini bermuara ke dalam rongga mulut, lateral
dari frenulum lingualis yang terlihat di bagian depan dasar mulut. Panjangnya rata6

rata sekitar 5 cm. Duktus Submandibula mendapat inervasi dari n. Lingualis dan n.
Hipoglosus yang berjalan di bawah dan mengikuti duktus.6,7
Kelenjar sublingual menempati rongga sublingual bagian anterior dan karena
itu hampir memenuhi dasar mulut. Aliran dari sublingualis memasuki rongga mulut
melalui sejumlah muara yang terdapat sepanjang plica sublingualis. yaitu suatu lingir
mukosa anteroposterior di dasar mulut yang menunjukkan alur dan ductus
submandibularis atau melalu ductus utama yaitu ductus bartholin) yang berhubungan
dengan ductus mandibularis.
Kelenjar saliva minor dalam jumlah besar terletak pada submukosa atau
mukosa bibir, permukaan lidah bagian bawah, bagian posterior palatum durum dan
mukosa bukal. Pengetahuan atau pengenalan lokasi kelenjar minor ini dibutuhkan
karena banyak proses penyakit yang terdapat di kelenjar saliva mayor juga rnengenai
kelenjar assesorius ini Kemungkinan terjadinya penyakit kelenjar saliva memberikan
diagnosis altematif untuk patologis yang terbadap pada regio ini.

2.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Meskipun penyebab pasti sialolithiasis masih belum jelas, beberapa batu
saliva mungkin berhubungan dengan infeksi kronis (Staphylococcus aureus ,
Streptococcus viridans) dari kelenjar, Sjgren's sindrom

dan atau peningkatan

kalsium, dehidrasi, yang meningkatkan viskositas saliva; asupan makanan berkurang,


yang menurunkan permintaan untuk saliva, atau obat yang menurunkan produksi

saliva, termasuk anti histamin tertentu, anti hipertensi (diuretic) dan anti psikotik,
tetapi dalam banyak kasus dapat timbul secara idiopatik.
Sialolithiasis mengandung bahan organik pada pusat batunya, dan anorganik
di permukaannya. Bahan organik antara lain glikoprotein, mukopolisakarida, dan
debris sel. Bahan anorganik yang utama adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat.
Sedangkan ion kalsium, magnesium, dan fosfat sekitar 20-25%. Senyawa kimia yang
menyusunnya antara lain mikrokristalin apetit [Ca5(PO4)OH] atau whitlokit
[Ca3(PO4)].1,8 Pengamatan dengan menggunakan transmisi mikroskop elektron dan
mikroanalisis X ray.
Pada

batu

sialolithiasis,

didapatkan

gambaran

menyerupai

struktur

mitokondria, lisosom, dan jaringan fibrous. Substansi tersebut diduga sebagai salah
satu penyebab proses kalsifikasi dalam sistem duktus submandibula. 1 Etiologi
sialolithiasis belum diketahui secara pasti, beberapa patogenesis dapat digunakan
untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini. Pertama, adanya ekresi dari intracellular
microcalculi ke dalam saluran duktus dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua, dugaan
adanya substansi dan bakteri dari rongga mulut yang migrasi ke dalam duktus
salivary dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua hipotesis ini sebagai pemicu nidus
organik yang kemudian berkembang menjadi penumpukan substansi organik dan
inorganik. 1,8
Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknya
batu, yang ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan elektrolit, dan

menurunnya sintesis glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi pembusukan membran
sel akibat proses penuaan.1
2.5 DIAGNOSIS KLINIS
Pada obstruksi parsial kadang-kadang sialolithiasis tidak menunjukkan gejala
apapun (asimptomatis). Nyeri dan pembengkakkan kelenjar yang bersifat intermitten
merupakan keluhan paling sering dijumpai dimana gejala ini muncul berhubungan
dengan selera makan (mealtime syndrome). Pada saat selera makan muncul sekresi
saliva meningkat, sedangkan drainase melalui duktus mengalami obstruksi sehingga
terjadilah stagnasi yang menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan kelejar.4,9,10
Stagnasi yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering dijumpai
sekret yang supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut. Kadang-kadang juga
timbul gejala infeksi sistemik. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi pada
kelenjar saliva yang menyebabkan hiposalivasi, dan akhirnya terjadi proses fibrosis.
4,9,10,11

Palpasi bimanual di dasar mulut arah posterior ke anterior sering mendapatkan

calculi pada duktus submandibula, juga dapat meraba pembesaran duktus dan
kelenjar. Perabaan ini juga berguna untuk mengevaluasi fungsi kelenjar saliva
(hypofunctional atau non-functional gland).4,9. Studi imaging sangat berguna untuk
diagnosis sialolithiasis, radiografi

oklusal berguna dalam menunjukkan batu

radiopaque.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Radiologis Imaging
Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar saliva
antara lain Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CTScan),
Sialography, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound, dan
Nuclear Scintigraphy. Masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan tertentu
dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri, bengkak dan keluhan lainnya yang
berkaitan dengan gangguan kelenjar saliva, seperti pada Sialolithiasis Submandibula.9
1. Plain - Film Radiography
Sebelum teknologi imaging berkembang pesat seperti sekarang, plainfoto
masih dapat digunakan untuk menentukan kelainan pada kelenjar saliva. Teknik ini
banyak memberikan informasi selain data dari pemeriksaan klinis. Pada evaluasi
sialolithiasis submandibula, masih efektif untuk melihat batu pada duktus, tapi sulit
untuk mengevaluasi batu di glandula atau batu yang kecil. Hanya 20% sialolith yang
radiotransparent sehingga metode ini hanya digunakan untuk skreening bila metode
lainnya tidak tersedia.8,9 Untuk memaksimalkan hasil, dianjurkan pengambilan film
dari berbagai sudut yang berbeda, termasuk dari sudut dasar mulut. Hal ini penting
untuk mendapatkan gambaran yang jelas, dimana batu kadang-kadang tertutup oleh
tulang mandibula. Sehingga perlu diambil gambaran dari rongga mulut dan regio
submandibula, termasuk gambaran oklusi duktus dengan dental-film atau
anteroposterior view tulang mandibula.

10

2. Computed Tomography Scan (CT-Scan)


Kehadiran CT Scan merevolusi diagnostic imaging sejak ditemukannya pada
tahun 1970-an, terutama untuk kasus head and neck imaging. Dia sering digunakan,
karena cukup adekuat untuk mendiagnosis sialolithiasis dengan potongan tiap
milimeter. Akan tetapi CT scan tidak bisa menentukan lokasi batu yang kecil secara
tepat, kadang kala irisannya tidak mengenai duktus sehingga tidak terlihat gambaran
hyperdense.8,9
3.

Ultrasonography (USG)
Ultrasonografi merupakan metode diagnostik noninvasif, tapi penggunaan dan

hasil yang didapat sangat tergantung pada keahlian operator (operator dipendent) dan
image yang dihasilkan tidak bisa diintepretasi langsung oleh ahli bedah, kecuali dia
mengerjakan sendiri. USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi sialolithiasis. 8
Untuk memperjelas hasil bisa menggunakan resolusi tinggi (7-12 MHz) dengan
tranducer linier dan kontak permukaan yang kecil. Gambar diperoleh terutama
menggunakan bidang aksial submandibula dengan setelan oblique untuk menentukan
letak lesi dan menelusuri pembuluh darah. Penekanan seminimal mungkin untuk
menghindari distorsi anatomis.
4. Sialography (Sebagai Gold Standar)
Sialografi merupakan upaya

untuk

membuat

gambaran

radiopaque

(opacification) pada duktus kelenjar saliva dengan memasukkan bahan kontras berupa
water soluble radiopaque dye secara retrograde intracanular. Cara ini dianggap
sebagai gold standar karena dapat memberikan gambaran yang jelas tidak hanya batu,
tapi juga struktur morfologis duktus seperti lesi karena trauma, massa, proses

11

inflamasi, dan penyakit obstruktif lainnya. 2,8 Keuntungan sialografi bisa bersifat
terapeutik, dimana cairan dye menyebabkan dilatasi pada duktus dan batu terdorong
keluar melalui orifisium duktus (caruncula sublingualis). Kerugian metode ini antara
lain, dapat menyebabkan nyeri, infeksi, anafilaktik shock, dan perforasi dinding
duktus, kadang-kadang justru mendorong batu menjauhi caruncula. Oleh karena itu,
sialografi tidak boleh dilakukan bila terjadi infeksi akut karena akan memicu
meningkatnya proses inflamasi. Kelemahan ini diminimalisir dengan teknik
pengembangan tanpa kontras, cukup dengan merangsang saliva sebagai pengganti
fungsi kontras (yaitu Magnetic Resonance Sialography).8,9
5. Magnetic Resonance (MR) Sialography
MR Sialografi merupakan prosedur diagnostik nonivasif yang relatif baru
dengan akurasi tinggi untuk mendeteksi calculi, sensitifitas 91% spesifisitas 94% nilai
pediksi positif 97% dan nilai prediksi negatif 93%. Hal ini lebih baik dari sialografi
konvensional. Secara teknis fungsi bahan kontras digantikan oleh saliva (natural
contras) yang dirangsang produksinya dengan orange juice, dan menggunakan
imaging T2-Weighted turbo spin-echo slides bidang sagital dan axial.. 8,12,13
Keuntungannya adalah tidak invasif, tidak menggunakan bahan kontras, tidak ada
radiasi, tidak menimbulkan rasa nyeri, bahkan juga bisa mengevaluasi kelainan fungsi
kelenjar (Dynamic MR sialography). Kekurangan teknik ini membutuhkan waktu
yang lebih lama pada proses merangsang saliva sebagai kontras alami, menimbulkan
rasa tidak nyaman, dan biaya sangat mahal.8,12,14
b. Endoskopis

12

Endoskopi yang dikenal dengan Sialendoskopi merupakan prosedur


noninvasif yang dapat mengeksplorasi secara lengkap sistem duktus, termasuk
cabang sekunder dan tersier duktus. Sialendoskopi dapat dilakukan di klinik rawat
jalan dengan menggunakan anestesi lokal lidocain 2% dimana pasien duduk di kursi
atau setengah berbaring. Fungsi utama Sialendoskopi untuk konfirmasi sekaligus
diagnosis obstruksi dan striktur sistem duktus serta pengambilan sialolith. Pada
prinsipnya Sialendoskopi dilakukan dengan memasukkan sistem semirigid ke
intraluminar duktus melalui caruncula sublingualis. Diameter Sialendoskop yang
sering digunakan antara 0.8 mm - 1,6 mm. Visualisasi intraluminar dan kondisi
patologis dapat diamati secara langsung.8,15,16 Selain diagnostik, metode ini bisa
melakukan prosedur intervensi seperti dilatasi progresif, pembersihan dan
pembilasan, serta pengambilan batu dengan forcep maupun laser fragmentation.
Indikasi penggunaannya pada semua pembengkakan dan nyeri intermitten pada
kelenjar atau duktus saliva yang belum diketahui sebabnya. Tidak ada kontra indikasi
mutlak termasuk pada anak maupun manula, karena selain minimal invasif
Sialendoskopi hanya membutuhkan anestesi lokal dan cukup rawat jalan saja. 8 Pada
keadaan tertentu Sialendoskopi dapat menimbulkan komplikasi lesi pada saraf yang
menimbulkan parastesi (0,4%), terjadi infeksi (1,6%), perdarahan (0,5%), dan
kerusakan sistem duktus seperti striktur (2,5%).15,16

2.7 PENATALAKSANAAN
13

1. Tanpa pembedahan
Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan
antibiotik dan anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara
spontan. pengobatan yang diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan
NSAID (e.g ibuprofen, 600 mg setiap 8 jam selama 7 hari) dan infeksi bacteria
diobati dengan antibiotik golongan penicillin dan Cephalosporins, (875mg
amoxicillin dan asam klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk jangka waktu satu
minggu ) atau augmentin, cefzil, ceftin, nafcillin, diet kaya protein dan cairan asam
termasuk makanan dan minuman juga dianjurkan untuk menghindari pembentukan
batu lebih lanjut dalam kelenjar saliva, sialologues (lemon tetes yang merangsang
Salivasi), batu dikeluarkan dengan pijat atau masase pada kelenjar.
Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat dilakukan
tindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa terutama
bila berada di bagian posterior Wartons duct, sehingga pendekatan konservatif sering
diterapkan. 8
2. Pembedahan
Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk
mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan,
terutama pada kasus dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10
mm), atau lokasi yang sulit.17,18 Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa
dilakukan

tindakan

simple

sphincterotomy

14

dengan

anestesia

lokal

untuk

mengeluarkannya. Pada batu yang berada di tengah-tengah duktus harus dilakukan


diseksi pada duktus dengan menghindari injury pada n. lingualis. Hal ini bisa
dilakukan dengan anestesi lokal maupun general, tapi sering menimbulkan nyeri berat
post operative. Harus dilakukan dengan anestesi general, bila lokasi batu berada pada
gland's pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan submaxilectomy dengan tingkat
kesulitan yang tinggi, karena harus menghindari cabang-cabang dari n. facialis.17
3. Minimal invasiv
3.1 Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
ESWL merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup efektif
pada sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di saluran kencing dan
pankreas, ESWL menjadi alternatif penanganan batu pada saluran saliva, dimulai
tahun 1990an. Tujuan ESWL untuk mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang
kecil sehingga tidak mengganggu aliran saliva dan mengurangi simptom. Diharapkan
juga fragmen calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva.5
Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam glandula
maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur n. facialis.
Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan inflamasi kronis bukan
merupakan kontra indikasi, sedangkan kelainan pembekuan darah (haemorrhagic
diathesis), kelainan kardiologi, dan pasien dengan pacemaker merupakan
kontraindikasi umum ESWL.5,17 Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak
membutuhkan anestesia, pasien duduk setengah berbaring (semi-reclining position).
Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm dan kedalaman 20mm sehingga
15

lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi yang digunakan disesuaikan dengan
batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 30 mPa. Tembakan dilakukan 120 impacts
per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts per menit. Setiap sesion sekitar
1500 + / - 500 impacts dan antar sesion terpisah minimal satu bulan.5
Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi.
Ketepatan posisi (pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography,
echography probe 7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi
fragmen.

5,17

Beberapa penelitian telah melakukan pengamatan dan follow up atas

keberhasilan penggunaan ESWL, antara lain Escidier et al mengamati 122 kasus


dimana 68% pasien terbebas dari simptom setelah difollow up selama 3 tahun,
Cappaccio et al dengan 322 kasus melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptom
setelah diamati 5 tahun sejak pengobatan menggunakan ESWL.5,19
3.2 Sialendoskopi
Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjar
saliva. Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan untuk
diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies seperti obstruksi,
striktur, dan sialolith. Prosedur yang dapat dilakukan dengan Sialendoskopi
merupakan complete exploration ductal system yang meliputi duktus utama, cabang
sekunder dan tersier.8,15,20 Indikasi diagnostik dan intervensi dengan Sialendoskopi
adalah semua pembengkakan intermitten pada kelenjar saliva yang tidak jelas
asalnya. Koch et al lebih khusus menjelaskan indikasinya, antara lain untuk :
1) deteksi sialolith yang samar,
16

2) deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs) dan


profilaksis pembentukan batu,
3) pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain,
4) deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi,
5) diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelainan autoimun yang
melibatkan kelenjar saliva,
6) sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.
Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal invasive
yang hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anakanak, dewasa maupun usia lanjut.8,20 Teknik Intervensi Sialendoskopi.20 Sialendoskopi
dilakukan dengan anestesi lokal, papila untuk mencapai kelenjar diinjeksi dengan
bahan anestesi (xylocaine 1% dengan epinephrine 1:200000). Papila dilebarkan
bertahap dengan probe yang bertambah besar sampai sesuai dengan diameter
sialendoskop. Kemudian sialendoskop dimasukkan ke dalam duktus kelenjar saliva
diikuti pembilasan dengan cairan isotonik melalui probe. Pembilasan ini
dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan irigasi debris. Duktus kelenjar saliva ini
diobservasi mulai dari duktus utama sampai cabang tersier hingga probe tidak bisa
masuk lagi, dengan catatan menghindari trauma dan perforasi dinding duktus. Bila
didapatkan obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa teknik untuk mengatasinya.
Untuk pengambilan batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar submandibula atau <
3 mm pada kelenjar parotis, kita dekatkan sialendoskop ke sialolith kemudian kita
masukkan ke dalam working chanel sebuah forsep penghisap yang fleksibel dengan
diameter 1 mm atau stone extractor (wire basket forcep). Berikutnya batu dihisap dan
sialendoskop ditarik dengan forcep penghisapnya .
17

Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser
helium ke dalam working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecilkecil. Kemudian bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama.
Sedangkan pada kasus mucus plug, sekret yang lengket dimobilisasi dengan
pembilasan dan penghisapan.
Setelah

intervensi

Sialendoskopi,

dilakukan

stenting

pada

duktus

submandibula menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggu


dengan tujuan 1) menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena udema sekitar
orifisium, dan 3) sebagai saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva.
Pemberian hydrocortisone 100 mg injeksi intraductal atau langsung pada daerah
striktur juga dapat mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendokopi.15,16,20
4. Decision Tree
Pada tindakan minimally invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik
maupun terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis adanya obstruksi
pada saluran kelenjar saliva. pada kasus dengan gejala pembengkakan berulang pada
kelenjar saliva yang berhubungan dengan selera makan, dapat menggunakan
sialendoskopi atau MR sialografi sebagai pilihan modalitas diagnostik. Sialendoskopi
merupakan pilihan utama pada pembengkakan kelenjar unilateral, sedangkan pada
kasus kelenjar bilateral direkomendasikan untuk menggunakan MR silaografi untuk
melihat tekstur kelenjar, jaringan sekitar, dan sistem duktus beberapa kelenjar.
Decision Tree untuk Evaluasi dan Managemen Sislolithiasis

18

Bila didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mm


parotis) maka dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada batu dengan
ukuran > 4 mm submandibula atau > 3 mm parotis, batu harus dipecah menjadi
bagian yang lebih kecil menggunakan Laser Lithotripsy kemudian dikeluarkan
dengan Wire Basket Extraxion. Sedangkan stenosis pada sistem duktus cukup
dilakukan dilatasi menggunakan metalic dilator (main duct) atau dengan balloon
catheter bila stenosis terjadi pada cabang duktus.
Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun
minimally invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain:
1)
2)
3)
4)
5)

kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus


perdarahan post operative,
striktur sistem duktal,
pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,
cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal

therapy, dan
6) residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.

19

Teknik

minimal

invasive

yang

benar

dengan

Sialendoskopi,

lebih

memungkinkan untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.8,15,16,20

2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi meliputi obstruksi terus-menerus dari saluran, yang mengarah ke
invasi bakteri, pertumbuhan berlebih dan infeksi yang menyebabkan sialoadenitis.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab pembengkakan pada kelenjar
submandibula dan parotis. Diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi dengan
perbandingan laki - perempuan 1,04 : 1.

20

2. Sialolithiasis menyebabkan obstruksi mekanik duktus kelenjar saliva dimana


pembentukan sialolithnya diduga karena penumpukan bahan degeneratif,
migrasi substansi dan bakteri ke dalam duktus kelenjar saliva yang kemudian
menjadi nidus kalsifikasi.
3. Gejala yang ditimbulkan sering asimptomatis, nyeri dan pembengkakan
kelenjar yang intermitten berhubungan dengan selera makan (mealtime
syndrome). Stagnasi yang lama akan menimbulkan infeksi dan atropi,
hiposalivasi, fibrosis.
4. Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik sialolithiasis dengan teknik imaging,
mulai dari Plain-film Radiography, CT-Scan,Ultrasonography, Sialography,
dan MR Sialography, Sialoendoskopi.
5. Terapi untuk penanganan sialolithiasis, antara lain medikamentosa dengan
antibiotik dan antiinflamasi, pembedahan, serta tindakan minimal invasif
(lithotripsi dan sialoendoskopi)
DAFTAR PUSTAKA

1. Mimura M, Tanaka N, Ichinose S, Kimijima Y, Amagasa T. Possible Etiology of


Calculi Formation in Salivary Glands: Biophysical Analisys of Calculus. Med
Mol Morphol 2005; 38: 189-95
2. Graney DO, Jacobs JR, Kern RC. Salivary Glands. In: Cumming CJ, editor.
Otolangology Head and Neck Surgery. 3rd ed. Mosby; 1999. p.1220.
3. Escudier MP, McGurk M. Symptomatic Sialoadenitis and Sialolithiasis in the
English Population, an Estimate of the Cost of Hospital Traetment. Br Dent J
1999 Mei; 186 (9): 463-6
21

4. Siddiqui SJ. Sialolithiasis : An Unusually Submandibular Salivary Stone. Br Dent


J 2002 July; 193: 89-91
5. Andretta M, Tregnaghi A, Prosenikliev V, Staffieri A. Current Opinion in
Sialolithiasis Diagnosis and Treatment. Acta Otorhinolaryngol Ital2005; 25:145-9
6. Rosen FS, Byron BJ. Anatomy and Physiology of Salivary Glands Source.
Otolaryngol 2001 Jan 24
7. Ching ASC, Ahuja AT. High-Resolution Sonography of the Submandibular Space:
Anatomy and Abnormalities. AJR 2002;179:703-8
8. Marchal F, Dulguerov P. Sialolithiasis Management. Arch Otolaryngol-Head and
Neck Surg 2003 Sep; 129: 951-6
9. Becker TS. Salivary Glands Imaging. In: Byron J, Bailey Md, editors. Head and
Neck Surgery - Otolangology. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers;
2001
10. Dalkiz M, Dogan N, Beydemir B. Sialolithiasis (Salivary Stone). Turk J Med Sci
2001;31: 177-9
11. Bar T, Zagury A, London D, Shacham R, Nahlieli O. Calcifications Simulating
Sialolithiasis of Major Salivary Glands. Dentomaxillofacial Radiology 2007; 36:
59-62
12. Jager L, Menauer F, Holzknecht N, Scholz V, Grevers G, Reiser M. Sialolithiasis:
MR Sialography of the Submandibular Duct An Alternative to Conventional
Sialography and US. RSNA Radiology 2000;216: 665-71
13. Becker M, Marchal F, Becker CD, Dulguerov P, Georgakopoulos G, Lehmann W,
Terrier F. Sialolithiasis and Salivary Ductal Stenosis: Diagnostic Acuracy of MR
Sialography with a Three Dimensional Extended Phase Conjugate Symmetry
Rapid Spin-Echo Sequence. RSNA Radiology 2000; 17: 347-58
14. Tanaka T, Ono K, Habu M, Inoue H, Tominaga K, Okabe S, Yokota M, Fukuda J,
Inenaga K, Morimoto Y. Functional Evaluation of the Parotid and Submandibular
22

Glands Using Dynamic Magnetic Resonance Sialography. Dentomaxillofacial


Radiology 2007; 36: 218-23
15. Nahlieli O, Nakar LH, Nazarian Y, Turner MD. Sialendoskopi: A New Approach
to Salivary Gland Obstructive Pathology. JADA 2006;137: 1394400
16. Chu DW, Chow TL, Lim BH, Kwok SPY. Endoscopic Management of
Submandibular Sialolithiasis. Springer-Verlag New York Inc. Surg Endosc 2003;
17: 876-9
17. Katz D, Banville RT. Two Non Surgical Therapies of Salivary Lithiasis. IEFGS
Paris-France 2004; 7: 5017
18. Batori M, Mariotta G, Chatelou H, Casella G, Casella MC. Diagnostic and
Surgical Management of Submandibular Gland Sialolithiasis: Report of a Stone
of Unusual Size.Euro Med and Phar Sci 2005; 9: 67-8
19. Pasquale C, Francesco O, Raffaele M, Antonio S, Bruno C. Extracorporeal
Lithotripsy for Salivary Calculi: A Long Term Clinical Experience. Laryngoscope
2004 June; 114(6): 1069-73
20. Serbecti E, Sengor GA. Diagnostic and Interventional Siloendoscopy in Recurrent
Salivary Gland Swelling. Turk Arch Otolaryngol. 45 (2): 84-90

23

Anda mungkin juga menyukai