Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH SALIVA

Pembimbing :

drg. Ana Riolina, MPH

Disusun Oleh :

Bella Puspitasari

J520160016

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Supartinah (2003) menjelaskan bahwa kesehatan rongga mulut


seseorang tidak dapat dipisahkan dari kesehatan umum individu tersebut,
dimana keduanya adalah suatu kesatuan. Masalah dalam rongga mulut dapat
digunakan untuk pertanda kelainan tubuh lainnya. Contohnya pada kasus
penderita asma, dimana ketika pasien tersebut mengonsumsi obat secara
inhalansi maka 80% komponen obatnya akan tertinggal di dalam mulut yang
apabila tidak dibersihkan akan meningkatkan resiko gingivitis, insidensi
karies, kalkulus, dan erosi di gigi serta perubahan pada komposisi maupun
volume saliva. Penjelasan diatas mencerminkan rongga mulut dapat
digunakan sebagai suatu indikasi kesehatan.
Sinaga (2002) menjelaskan saliva dikenal pula dengan istilah salivia
maupun air ludah yang merupakan sekresi cairan dari glandula salivarius
mayor dan glandula salivarius minor yang sangat penting bagi rongga mulut
itu sendiri. Komposisi saliva secara garis besar terbagi menjadi komponen
organik, anorganik, makromolekul dan air. Komponen - komponen saliva
yang berada pada komposisi normal akan mempengaruhi keefektivitasan
masing-masing fungsi saliva yang berbeda berdasar komponen penyusunnya.
Fungsi saliva diantaranya membantu proses pencernaan makanan, membantu
proses bicara, sebagai sistem pertahanan primer tubuh dalam bentuk antiviral,
anti bakteri, dan anti fungal selain itu ia juga berfungsi sebagai mekanisme
self-cleansing rongga mulut.
Saliva berdasar stimulasinya dibagi menjadi saliva yang tidak
terstimulasi dan saliva yang terstimulasi. Saliva yang tidak terstimulasi dapat
selalu ditemukan dalam waktu 24 jam dimana ia lebih akurat dalam
pengecekan terkait kondisi sistemik pasien dibanding pengecekan

1
menggunakan saliva yang terstimulasi. Saliva yang terstimulasi sendiri dapat
ditemukan melalui beberapa proses yaitu mekanis, kimiawi, neuronal, psikis,
dan rasa sakit. Pembagian volume saliva yang tidak terstimulasi dengan
volume saliva yang terstimulasi akan menghasilkan volume saliva yang
dikenal dengan curah saliva yang kemudian digunakan sebagai salah satu
indikator adanya kelainan saliva. Produksi saliva oleh glandula salivarius baik
mayor atau minor selain dipengaruhi ada tidaknya stimulasi, juga dipengaruhi
oleh beberapa hal lain seperti usia dan jenis kelamin, serta keadaan fisik
seseorang yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya (Williamson, 2012).
Williamson, dkk (2012) menambahkan bahwa kini saliva dapat
berfungsi sebagai biomarker. Saliva sebagai biomarker disini sebagai
pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis suatu penyakit.
Penggunaan saliva sebagai biomarker mulai banyak digunakan mengingat
saliva lebih mudah dan lebih aman didapatkan dibanding komponen darah
serta lebih cepat waktu pengambilannya karena dapat dilakukan oleh pasien
sendiri. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan saliva diataranya
organisme spesifik, kadar immunoglobulin, dan komponen saliva lainnya.
Hal yang perlu diingat ketika pemeriksaan saliva ini adalah adanya variasi
yang besar antar individu, selain itu ia bersifat multifaktor. Penjelasan diatas
menjadi alasan mengapa mahasiswa kedokteran gigi perlu mengetahui saliva
sebagai biomarker dan diharapkan dapat diaplikasikan dalam penetapan
diagnosis ketika menjadi dokter gigi (Sinaga, 2002).

1.2. Rumusan masalah


1. Apa itu saliva?
2. Komponen apa saja yang terkandung dalam saliva?
3. Apa saja macam-macam saliva?
4. Bagaimana kondisi normal saliva?
5. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sekresi saliva?
6. Bagaimana mekanisme sekresi saliva?
7. Apa saja penyakit yang terkait dengan saliva?

2
1.3. Tujuan
1. Mampu memahami dan menjelaskan definisi saliva
2. Mampu menjelaskan komponen yang terkandung dalam saliva
3. Mampu memahami dan menjelaskan macam-macam saliva
4. Mampu mengetahui dan memahami kondisi normal saliva yang kemudian
terkait dengan kelainannya
5. Mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi sekresi saliva
6. Mampu menjelaskan mekanisme sekresi saliva
7. Mampu menjelaskan pengaruh cerebral palsy terhadap sekresi saliva

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Saliva adalah suatu cairan tidak bewarna yang memiliki konsistensi seperti
lendir dan merupakan hasil sekresi kelenjar yang membasahi gigi serta mukosa
rongga mulut. Saliva dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar saliva mayor serta
sejumlah kelenjar saliva minor yang tersebar di seluruh rongga mulut, kecuali
pada ginggiva dan palatum. Berikut adalah fungsi-fungsi saliva.
1. Menjaga kelembaban dan membasahi rongga mulut.
2. Melumasi dan melunakkan makanan sehingga memudahkan proses menelan
dan mengecap rasa makanan.
3. Membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan, sisa sel dan bakteri,
sehingga dapat mengurangi akumulasi plak gigi dan mencegah infeksi.
4. Menghambat proses dekalsifikasi dengan adanya pengaruh buffer yang dapat
menekan naik turunnya derajat keasaman (pH). Dalam 24 jam, kelenjar-kelenjar
saliva dapat mensekresi kira-kira 1 sampai 1,5 liter. Saliva disekresi karena
adanya rangsangan, baik secara langsung oleh ujung-ujung saraf yang ada di
mukosa mulut maupun secara tidak langsung oleh rangsangan mekanis, termis,
kimiawi, psikis atau olfaktori. Rangsang mekanik merupakan rangsang utama
untuk meningkatkan sekresi saliva. Sel-sel plasma dalam kelenjar saliva
menghasilkan antibodi, terutama dari kelas Immunoglobulin A (IgA) yang
ditransportasikan ke dalam saliva. Selain antibodi, saliva juga mengandung
beberapa jenis enzim antimikrobial seperti lisozim, laktoferin dan peroksidase
serta beberapa komponen seperti growth factor, yang berguna untuk menjaga
kesehatan dari jaringan luka mulut dan dapat membantu proses pencernaan,
khususnya karbohidrat.

2.2. Anatomi Kelenjar Saliva


Saliva dihasilkan oleh kelenjar saliva yang terdiri atas sepasang kelenjar
saliva mayor serta beberapa kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor terdiri

4
dari kelenjar parotis, submandibularis, dan sublingualis. Kelenjar parotis
merupakan kelenjar saliva terbesar, terletak bilateral di depan telinga antara ramus
mandibularis dan processus mastoideus dengan bagian yang meluas ke muka di
bawah lengkung zigomatik. Kelenjar submandbularis merupakan kelenjar saliva
terbesar kedua yang terletak pada dasar mulut di bawah korpus mandibula.
Salurannya bermuara melalui lubang yang terdapat di samping frenulum lingualis.
Kelenjar sublingualis adalah kelenjar saliva mayor terkecil dan terletak paling
dalam, pada dasar mulut antara mandibula dan otot genioglossus. Masing-masing
kelenjar sublingualis sebelah kanan dan kiri bersatu untuk membentuk massa
kelenjar di sekitar frenulum lingualis. Kelenjar saliva minor terdiri dari kelenjar
lingualis, bukalis, labialis, palatinal, dan glossopalatinal. Kelenjar-kelenjar ini
berada di bawah mukosa dari bibir, lidah, pipi, serta palatum.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Saliva

2.3. Histologi kelenjar saliva


Kelenjar saliva merupakan kelenjar merokrin yang bentuknya berupa
tubuloasiner atau tubuloaveoler. Bagian dari kelenjar saliva yang menghasilkan
sekret disebut asini. Berikut adalah sel-sel yang menyusun asini kelenjar saliva.
a. Asini serous
Asini serous tersusun dari sel-sel berbentuk piramid yang mengelilingi
lumen kecil dan berinti bulat. Di basal sel terdapat sitoplasma basofilik dan di

5
apeks terdapat butir-butir pro-enzim eosinofilik, yang akan disekresikan ke lumen
asini menjadi enzim. Hasil sekresi aini serous berisi enzim ptialin dan bersifat
jernih dan encer seperti air.
b. Asini mukous
Asini mukous tersusun dari sel-sel berbentuk kuboid sampai kolumner
yang mengelilingi lumen kecil dan memiliki inti pipih atau oval yang terletak di
basal. Sitoplasma asini mukous yang berada di basal sel bersifat basofilik
sedangkan daerah inti dan apeks berisi musin yang bewarna pucat. Hasil sekresi
asini mukous berupa musin yang sangat kental.
c. Asini campuran
Asini campuran mempunyai struktur asini serous serta mukous. Bagian
serous yang menempel pada bagian mukous tampak sebagai bangunan berbentuk
bulan sabit.
Pada kelenjar saliva juga ditemukan struktur lain yaitu mioepitel.
Mioepitel terdapat di antara membran basalis dan sel asinus. Sel ini berbentuk
gepeng, berinti gepeng, memiliki sitoplasma panjang yang mencapai sel-sel
sekretoris, dan memiliki miofibril yang kontraktil di dalam sitoplama sehingga
membantu memeras sel sekretoris mengeluarkan hasil sekresi. Hasil sekresi
kelenjar saliva akan dialirkan ke duktus interkalatus yang tersusun dari sel-sel
berbentuk kuboid dan mengelilingi lumen yang sangat kecil. Beberapa duktus
interkalatus akan bergabung dan melanjut sebagai duktus striatus atau duktus
intralobularis yang tersusun dari sel-sel kuboid tinggi dan mempunyai garis-garis
di basal dan tegak lurus dengan membrana basalis yang berfungsi sebagai
transport ion. Duktus striatus dari masingmasing lobulus akan bermuara pada
saluran yang lebih besar yang disebut duktus ekskretorius atau duktus
interlobularis.

6
Gambar 2. Histologi Kelenjar Saliva

2.4. Mekanisme sekresi saliva


Saliva disekresi sekitar 0,5 sampai 1,5 liter per hari. Tingkat perangsangan
saliva tergantung pada kecepatan aliran saliva yang bervariasi antara 0,1 sampai 4
ml/menit. Pada kecepatan 0,5 ml/menit sekitar 95% saliva disekresi oleh kelenjar
parotis (saliva encer) dan kelenjar submandibularis (saliva kaya akan musin),
sisanya disekresi oleh kelenjar sublingual dan kelenjar-kelenjar di lapisan mukosa
mulut. Sekresi saliva yang bersifat spontan dan kontinu, tanpa adanya rangsangan
yang jelas, disebabkan oleh stimulasi konstan tingkat rendah ujung ujung saraf
parasimpatis yang berakhir di kelenjar saliva berfungsi untuk menjaga mulut dan
tenggorokan tetap basah setiap waktu.
Sekresi saliva dapat ditingkatkan melalui reflek saliva terstimulasi dan
refleks saliva tidak terstimulasi. Refleks saliva terstimulasi terjadi sewaktu
kemoreseptor atau reseptor tekanan di dalam rongga mulut berespon terhadap
adanya makanan. Reseptor-reseptor tersebut memulai impuls di serat saraf aferen
yang membawa informasi ke pusat saliva di medula batang otak. Pusat saliva
kemudian mengirim impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva
untuk meningkatkan sekresi saliva. Gerakan mengunyah merangsang sekresi
saliva walaupun tidak terdapat makanan karena adanya manipulasi terhadap
reseptor tekanan yang terdapat di mulut. Pada refleks saliva tidak terstimulasi,

7
pengeluaran saliva terjadi tanpa rangsangan oral. Hanya berpikir, melihat,
membaui, atau mendengar suatu makanan yang lezat dapat memicu pengeluaran
saliva melalui refleks ini.

Pusat saliva mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui saraf otonom


yang mensarafi kelenjar saliva. Stimulasi simpatis dan parasimpatis meningkatkan
sekresi saliva tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda.
Rangsangan parasimpatis berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan
pengeluaran saliva encer dalam jumlah besar dan kaya enzim. Stimulasi simpatis
menghasilkan volume saliva yang jauh lebih sedikit dengan konsistensi kental dan
kaya mukus. Karena rangsangan simpatis menyebabkan sekresi saliva dalam
jumlah sedikit, mulut terasa lebih kering daripada biasanya saat sistem simpatis
dominan, misalnya pada keadaan stres.

2.5. Laju aliran saliva


Laju aliran saliva sangat mempengaruhi kuantitas saliva yang dihasilkan.
Laju aliran saliva tidak terstimulasi dan kualitas saliva sangat dipengaruhi oleh
waktu dan berubah sepanjang hari. Terdapat peningkatan laju aliran saliva saat
bangun tidur hingga mencapai tingkat maksimal pada siang hari, serta menurun
drastis ketika tidur. Refleks saliva terstimulasi melalui pengunyahan atau adanya
makanan, asam dapat meningkatkan laju aliran saliva hingga 10 kali lipat atau
lebih.

8
Pada orang normal, laju aliran saliva dalam keadaan tidak terstimulasi
sekitar 0,3-0,4 ml/menit. Jumlah sekresi saliva per hari tanpa distimulasi adalah
300 ml. Sedangkan ketika tidur selama 8 jam, laju aliran saliva hanya sekitar 15
ml. Dalam kurun waktu 24 jam, saliva rata-rata akan terstimulasi pada saat makan
selama 2 jam. Lalu saliva berada dalam kondisi istirahat selama 14 jam, dengan
total produksi saliva 700-1500 ml. Sisanya merupakan saliva dalam kondisi
istirahat.17 Ketika saliva distimulasi, laju aliran saliva meningkat hingga
mencapai 1,5-2,5 ml/menit. Pasien disebut xerostomia jika saat terstimulasi laju
aliran saliva kurang dari 0,7 ml/menit.21 Aliran saliva distimulasi oleh rasa dan
pengunyahan, termasuk rasa permen karet yang mengandung xylitol dan
pengunyahannya. Peningkatan laju 11 aliran saliva akan meningkatkan pH karena
adanya ion bikarbonat sehingga kemampuan mempertahankan pH saliva
(kapasitas dapar) juga akan meningkat. Ion kalsium dan fosfat juga meningkat
sehingga akan terjadi keseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi.

9
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Definisi Saliva


Saliva merupakan salah satu dari cairan di rongga mulut yang diproduksi
dan diekskresikan oleh kelenjar saliva dan dialirkan ke dalam rongga mulut
melalui suatu saluran. Saliva terdiri dari 98% air dan selebihnya adalah elektrolit,
mukus dan enzim-enzim. Saliva diekskresi hingga 0.5 1.5 liter oleh tiga kelenjar
saliva mayor dan minor yang berada di sekitar mulut dan tenggorokan untuk
memastikan kestabilan di sekitar rongga mulut.
a. Kelenjar Saliva
Kelenjar-kelenjar saliva mayor terletak agak jauh dari rongga mulut dan
sekretnya disalurkan melalui duktusnya kedalam rongga mulut. Kelenjar saliva
mayor terdiri dari kelenjar parotis yang terletak dibagian bawah telinga
dibelakang ramus mandibula, kelenjar submandibularis yang terletak dibagian
bawah korpus mandibula dan kelenjar sublingualis yang terletak dibawah lidah.
Selain itu terdapat juga kelenjar saliva minor yang terdiri dari kelenjar labial,
kelenjar bukal, kelenjar Bladin-Nuhn, kelenjar Von Ebner dan kelenjar Weber.
Kelenjar Saliva Mayor
Kelenjar parotis merupakan kelenjar ludah terbesar yang terletak di
anterior dari aurikel telinga dimana posisinya antara kulit dan otot masseter.
Duktus kelenjar ini bermuara pada vestibulus oris pada lipatan antara mukosa pipi
dan gusi dihadapan molar 2 atas. Kelenjar ini dibungkus oleh jaringan ikat padat
dan mengandung sejumlah besar enzim antara lain amilase lisozim, fosfatase
asam, aldolase, dan kolinesterase. Saluran keluar utama disebut duktus stenon
(stenson) terdiri dari epitel berlapis semu. Kelenjar submandibularis merupakan

10
kelenjar yang memproduksi air liur terbanyak dan mempunyai saluran keluar
(duktus ekskretoris) yaitu duktus Whartoni yang bermuara pada dasar rongga
mulut pada frenulum lidah, dibelakang gigi seri bawah. Seperti juga kelenjar
parotis, kelenjar ini terdiri dari jaringan ikat yang padat. Kelenjar sublingualis
mempunyai banyak duktus yang menyalurkan ke dalam rongga mulut. Duktus
kelenjar ini disebut duktus Rivinus. Duktus ini terletak berdekatan dengan papilla
dari duktus kelenjar submandibular.
Kelenjar Saliva Minor
Kebanyakan kelenjar saliva minor merupakan kelenjar kecil-kecil yang
terletak di dalam mukosa atau submukosa. Kelenjar minor hanya
menyumbangkan 5% dari pengeluaran ludah dalam 24 jam. Kelenjar-kelenjar ini
diberi nama berdasarkan lokasinya atau nama pakar yang menemukannya.
Kelenjar labial (glandula labialis) terdapat pada bibir atas dan bibir bawah
dengan asinus-asinus seromukus. Kelenjar bukal (glandula bukalis) terdapat pada
mukosa pipi, dengan asinus-asinus seromukus. Kelenjar Bladin-Nuhn (Glandula
lingualis anterior) terletak pada bagian bawah ujung lidah. Kelenjar Von Ebner
(Gustatory Gland = albuminous gland) dan Kelenjar Weber terletak pada pangkal
lidah. Kelenjar Von Ebner dan Weber disebut juga glandula lingualis posterior.

3.2. Komponen yang Terkandung Dalam saliva


Komponen-komponen saliva, yang dalam keadaan larut disekresi oleh
kelenjar saliva, dapat dibedakan atas komponen organik dan anorganik. Namun
demikian, kadar tersebut masih terhitung rendah dibandingkan dengan serum
karena pada saliva bahan utamanya adalah air yaitu sekitar 99.5%. Komponen
anorganik saliva antara lain : Sodium, Kalsium, Kalium, Magnesium, Bikarbonat,
Khlorida, Rodanida dan Thiocynate (CNS), Fosfat, Potassium dan Nitrat.
Sedangkan komponen organik pada saliva meliputi protein yang berupa enzim
amilase, maltase, serum albumin, asam urat, kretinin, musin, vitamin C, beberapa
asam amino, lisosim, laktat, dan beberapa hormon seperti testosteron dan kortisol.
a. Komponen Anorganik
1. Klorida

11
Ion klorida merupakan salah satu kandungan anorganik saliva
yang memiliki fungsi untuk mengaktivasi enzimatik -amilase.

2. Kalsium dan fosfat


Fungsi dari kalsium dan fosfat pada saliva adalah untuk
melakukan remineralisasi email, sehingga ketika terjadi demineralisasi
email dari perlekatan bakteri tersebut dapat digagalkan. Hal ini dapat
dikatakan bahwa kalsium dan fosfat memiliki salah satu fungsi saliva
sebagai self cleansing.
3. Rodanida dan Thiosinat
Rodanida dan thiosinat berperan sebagai agen antibakterial yang
sistem kerjanya bekerja sama dengan sistem laktoperosidase.
4. Bikarbonat
Bikarbonat memiliki fungsi dan peranan sebagai buffer
terpenting. Peran buffer tersebut ialah dapat mengembalikan pH saliva
kembali mendekati normal saat keadaan terlalu asam maupun terlalu basa
(Hashim, 2010).
b. Komponen Organik
Komponen organik penyusun saliva ini secara umum terdiri dari protein, lipid,
glukosa, asam lemak, asam amino, amoniak, dan vitamin. Komponen organik
utamanya ialah protein yang memiliki kuantitaf pentingnya yaitu enzim -amilase.
Protein yang terkandung tersebut merupakan protein yang kaya prolin, musin, dan
imunoglobulin. Protein juga mampu untuk meningkatkan ketebalan acquired
pellicle, sehingga mampu untuk menghambat pengeluaran ion fosfat dan kalsium
dari enamel. Produksi dari protein ini berasal dari lapisan luar epitel glandula
salivarius (Hashim, 2010).
Macam-macam komponen organik pada saliva terkait fungsi, antara lain :
1) -amilase
Enzim -amilase ini merupakan penggerak awal mula terjadinya
pencernaan karbohidrat di dalam mulut. Enzim tersebut merupakan

12
kesatuan karbohidrat kecil yang dapat memecahkan polisakarida menjadi
monosakarida, sehingga lebih mudah dicerna (Hashim, 2010).
2) Lisozim
Lisozim memiliki peranan penting sebagai agen antibakterial yang
dapat melisiskan bakteri dengan cara merusak dinding selnya dan
membilas bahan makanan yang berperan sebagai pertumbuhan bakteri
(Hashim, 2010).
3) Kalikren
Kalikren merupakan protein tertentu didalam saliva yang
merupakan faktor pembekuan darah XII, VII, IX, dan platelet (Hashim,
2010).
4) Laktoperosidase
Latoperosidase berfungsi untuk mengkatalis oksidasi CNS
(thiosinat) menjadi OSCN (hypothiosinat), sehingga dapat menghambat
pertukaran dan pertumbuhan zat bakteri (Hashim, 2010).
5) Mucin
Kandungan mucin didalam rongga mulut memiliki peranan dan
fungsi penting dalam mencegah terjadinya kekeringan didalam rongga
mulut, membentuk makanan menjadi bolus, dan sebagai agen antibakteri
serta antivirus. Terlibatnya mucin sebagai agen antibakteri dan antivirus
tersebut disebabkan oleh kandungan IgA di dalam saliva (Hashim, 2010).
6) Gustin
Komponen gustin dalam saliva memiliki pernanan dalam proses
pengecapan, karena gustin tersebut mampu untuk memaksimalkan fungsi
dari kuncup kecap (Hashim, 2010).
7) Immunoglobulin
Immunoglobulin terlibat pada sistem penolakan fisik dan agen
antibakteri. Immunoglobulin terdiri dari sebagian besar IgA sekretorik
(SIgA) dan sebagian kecil IgM dan IgG. Aktivitas antibakteri SIgA yang
terdapat dalam mukosa mulut bersifat mukus dan bersifat melekat dengan
kuat, sehingga antigen dalam bentuk bakteri dan virus akan melekat erat

13
dalam mukosa mulut yang kemudian dilumpuhkan oleh SIgA. Bakteri
mulut yang diselubungi oleh SIgA lebih mudah difagositosis oleh leukosit
(Amerongen, 1991 dan Rensburg, 1995).

8) Protein Kaya Prolin


Protein kaya prolin membentuk suatu kelas protein dengan
berbagai fungsi penting yaitu mempertahankan konsentrasi kalsium di
dalam saliva agar tetap konstan yang menghambat demineralisasi dan
meningkatkan remineralisasi (Amerongen, 1991).
9) Sistem Peroksidase
Peroksida berperan sebagai sistem antibakteri yang banyak hadir
pada kelenjar parotis, terdiri dari hidrogen peroksida, tiosanat dan
laktoproksidase (Rensburg, 1995). Sistem ini menghambat produksi asam
dan pertumbuhan bakteri streptokokus dan laktobasilus yang ikut menjaga
pH rongga mulut sekaligus mengurangi terjadinya karies akibat asam yang
dihasilkan oleh bakteri (Grant, 1988).
10) Laktoferin
Laktoferin merupakan hasil produksi sel epitel kelenjar dan
leukosit PMN yang mempunyai efek bakterisid yang merupakan salah satu
fungsi proteksi terhadap infeksi mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
(Roth, 1981). Laktoferin juga mengikat ion ion Fe+, yang diperlukan bagi
pertumbuhann bakteri (Amerongen, 1991).

3.3. Ciri-Ciri Saliva Normal dan Tidak Normal


a. Ciri saliva normal
1) Rata-rata laju sekresi : Unstimulated 0,3-0,4 ml/menit
Stimulated 1-3 ml/menit
(Tenevuo, 1994)
2) Tidak berwarna, tidak berbuih, dan jernih (Amerogen, 1991).

14
1) pH berkisar 6,0 7,4, dengan rata-rata 6,8 pada semua kondisi,
tanpa stimulasi (Hofman, 2001).
2) Terdiri dari air (90%), komponen organik (0,2%), dan komponen
anorganik (0,3%) ( Talwar, 2006).
3) Komposisi dari komponen anorganik:
a) Bikarbonat: 5,7 2,7 mmol/L
b) Sodium: 8,5 24 mmol/L
c) Potasium: 12,5 16 mmol/L
d) Kalsium: 2,3 2,5 mmol/L
e) Clorida: 2,5 17,5 mmol/L
f) Fosfor: 7,5 21 mmol/L
(Talwar, 2006)
4) Rata-rata laju sekresi pada keadaan tertentu:
a) Tidur: 0,1 ml/menit
b) Terjaga: 0,3 ml/menit
a. Mengunyah: 4 ml/menit
(Hofman, 2001)
b. Ciri saliva tidak normal
1) Hiposalivasi atau xerostomia adalah suatu keadaan dimana rata-rata
laju sekresi saliva dibawah dari kadar normal. Terkadang
menimbulkan gejala mulut terbakar (Hashim, 2010 dan Bradley,
2010).
2) Hipersalivasi atau disebut juga dengan sialorrhea merupakan suatu
keadaan dimana rata-rata laju sekresi salisi melibihi dari kadar
normal. Hipersalivasi minor akan menyebabkan iritasi lokal.
Sedangkan hipersalivasi mayor akan mengakibatkan angular
cheilitis (Neil, 2004).
3) Rata-rata laju sekresi:
a) Unstimulated dibawah 0,1 ml/menit termasuk hiposalivasi dan
dikatakan rendah bila berkisar 0,1-0,25 ml/menit.

15
b) Stimulated dibawah 0,7 ml/menit termasuk hiposalivasi dan
dikatakan rendah bila berkisar 0,7-1 ml/menit.
(Tenovuo, 1994)

3.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sekresi Saliva


Kelenjar saliva memproduksi saliva hampir setengah liter setiap hari.
Beberapa faktor mempengaruhi sekresi saliva dengan merangsang kelenjar
saliva melalui cara-cara berikut:
1) Faktor mekanis yaitu dengan mengunyah makan yang keras atau permen
karet.
2) Faktor kimiawi yaitu melalui rangsangan seperti asam, manis, asin, pahit
dan pedas.
3) Faktor neuronal yaitu melalui sistem syaraf autonom baik simpatis
maupun parasimpatis.
4) Faktor Psikis yaitu stress yang menghambat sekresi saliva.
5) Rangsangan rasa sakit, misalnya oleh radang, gingivitis, dan pemakaian
protesa yang dapat menstimulasi sekresi saliva.

3.5. Mekanisme Sekresi Saliva


Saliva disekresi sekitar 1 sampai 1,5 liter setiap hari tergantung pada
tingkat perangsangan. Kecepatan aliran saliva bervariasi dari 0,1-4,0 ml/menit.
Pada kecepatan 0,5 ml/menit sekitar 95% saliva disekresi oleh kelenjar parotis dan
kelenjar submandibularis; sisanya disekresi oleh kelenjar sublingual dan kelenjar
saliva minor. Sekresi saliva dipengaruhi oleh kinerja dari saraf otonom
parasimpatis dan simpatis. Saraf otonom ini di atur oleh medulla oblongata. Saraf
ini bekerja saat ada stimulasi atau tidak ada stimulasi. stimulasi dapat berupa
tekanan atau rasa dari makanan dan reseptor sensorik. Stimulus pada saraf
parasimpatis akan menyebabkan pelepasan ion-ion dan air. Sedangkan stimulus

16
pada saraf simpatis akan menyebabkan pelepasan protein-protein yang terdapat di
dalam sel-sel asinar. Stimulus dari otot-otot mastikasi dan ligamen periodontal
akan merangsang nuklei saliva inferior dan superior pada otak yang juga
dipengaruhi oleh korteks serebri. Kerteks serebri merupakan pusat pengaturan dr
medula oblongata sedangkan motoriknya diatur oleh cerebral, khususnya
cerebrum.

Ketika ada rangsangan, reseptor sensorik akan mengirimkan signal yang


akan ditangkap oleh korteks serebri. Lalu korteks akan menstimulasi medulla
oblongata yang kemudian medulla oblongata merangsang saraf simpatik dan
parasimpatik. Kedua saraf ini termasuk saraf otonom semua tetapi kerjanya
mempengaruhi kelenjar saliva yang berbeda. Ketika ada rangsang, parasimpatik
yang lebih dominan bekerja sehingga saliva yang keproduksi cenderung banyak
dan encer karena diproduksi oleh kelenjar parotis dan submandibula yang
mayoritas sekretnya berupa serous. Sedangkan ketika tidak ada rangsang yang
dominan bekerja adalah saraf simpatik yang akan menstimulasi kelenjar
sublingual memproduksi sekret berupa mukous dan volumenya sedikit.

Selain stimulasi sekresi yang bersifat konstan, sekresi saliva dapat


ditingkatkan melalui dua jenis refleks saliva yang berbeda, yaitu:
1) Refleks saliva sederhana, atau tidak terkondisi
Refleks saliva sederhana terjadi saat baroreseptor di dalam rongga mulut
merespons adanya makanan. Saat diaktifkan, reseptor-reseptor tersebut memulai
impuls di serabut saraf afferen yang membawa informasi ke pusat saliva di
medula spinalis. Pusat saliva kemudian mengirim impuls melalui saraf otonom
ekstrinsik ke kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi saliva. Gerakan gigi juga
mendorong sekresi saliva walaupun tidak terdapat makanan karena adanya
manipulasi terhadap baroreseptor yang terdapat di mulut.
2) Refleks saliva didapat, atau terkondisi.
Pada refleks saliva didapat, sekresi saliva dihasilkan tanpa rangsangan
oral. Hanya dengan berpikir, melihat, membaui, atau mendengar suatu makanan
yang lezat dapat memicu pengeluaran saliva melalui refleks ini.

17
Pusat saliva di medula mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui
saraf-saraf otonom. Baik stimulasi simpatis maupun parasimpatis berfungsi
meningkatkan sekresi saliva, tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang
berperan berbeda. Stimulasi parasimpatis berperan dominan dalam sekresi saliva,
menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah besar dan kaya enzim,
sedangkan stimulasi simpatis menghasilkan volume saliva yang jauh lebih sedikit
dengan konsistensi kental dan kaya mukous.

3.6. Penyakit-Penyakit Sistemik yang Berkaitan dengan Saliva


a. Lupus Eritematosus Sistemik (LES). LES ini dapat menyebabkan
berkurangnya produksi saliva atau xerostomia (Sultana dan Sham,
2011).
b. Rheumatoid arthritis. Penyakit ini dapat menyebabkan mulut kering
(Sllm dan Thomas, 2012).
c. Autoimmune Pancreatitis. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan
fungsi saliva dikarenakan pemakaian obat golongan steroid (Witt,
2005).
d. Parkinsons disease. Penyakit tersebut dapat menyebabkan hipofungsi
dari glandula salivarius (Bradley, 2010).
e. Kanker. Kemoterapi dan Radioterapi yang digunakan dalam
pengobatan kanker dapat mengakibatkan xerostomia dan disfungsi
kelenjar saliva (Sllm dan Thomas, 2012).
f. HIV/AIDS. Xerostomia dapat muncul pada HIV/AIDS, Selain itu
HIV/AIDS juga sering menyebabkan pembengkakan pada glandula
salivarius major (Sllm dan Thomas, 2012).
g. Hepatitis A, B, C. Hepatitis dapat menyebabkan xerostomia (Janjua,
dkk., 2012).
h. Diabetes Mellitus (DM). DM dapat mengakibatkan pembesaran
glandula salivarius dan mulut kering (Witt, 2005).

18
i. Kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi. Pemakaian obat
antihipertensi mengakibatkan mulut kering (Scully, 2003).
j. Malnutrisi. Kekurangan kalori dan protein menyebabkan
berkurangnya volume saliva, pH rendah dan waktu alir saliva yang
rendah (Suparlinah, 2003).
k. Hypotiroidism. Penyakit ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran
saliva (Witt, 2005).

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Saliva merupakan cairan oral yang merupakan hasil sekresi dari kelanjar
saliva. Komponen terbesar saliva adalah air (hampir 99%) dan sisanya
merupakan bahan organik dan bahan anorganik. Baik bahan organik maupun
anorganik tersebut ada yang berbentuk mikromolekul maupun makromolekul.
Bahan organik saliva antara lain protein, asam lemak dan lipid, serta glukosa.
Sedangkan bahan anorganik antara lain bikarbonat, kalium kalsium, natrium,
klorida, fosfat dan thiosianat.
Saliva normal memiliki rata-rata laju sekresi 0,3 0,4 ml/menit tanpa
stimulasi, sedangkan apabila distimulasi dapat mencapai 1-3 ml/menit. Nilai
pH normal saliva adalah 6,0 7,4 dengan rata-rata 6,8 pada semua kondisi
tanpa stimulasi. Kemudian saliva juga memiliki nilai-nilai ambang normal
tertentu untuk setiap komponennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi curah
saliva sangat beragam, seperti posisi, aktivitas, jenis rangsangan yang
diterima. konsumsi obat-obatan serta beberapa siklus seperti siklus sirkadian
dan sirkanual.

19
Sekresi saliva dipengaruhi oleh kinerja dari saraf otonom parasimpatis dan
simpatis. Berbagai penyakit sistemik maupun penyakit lokal dapat menyerang
saliva. Beberapa penyakit sistemik yang erat kaitannya dengan saliva adalah
Diabetes Melitus, HIV, serta Hepatitis .
4.2. Saran
Kebanyakan orang beranggapan bahwa air liur atau saliva tidak
mempunyai arti apa-apa dan ia sering dilihat sebagai suatu benda yang
menjijikkan. Sebaliknya tanpa kita sadari, cairan di dalam rongga mulut ini
bukan saja penting untuk pencernaan makanan tetapi juga dapat memberi
informasi tentang kondisi tubuh dan digunakan secara meluas untuk
mendiagnosa penyakit lokal dan sistemik. Untuk itu diharapkan mahasiswa
dapat memahami lebih dalam mengenai saliva baik kondisi normalnya maupun
fungsinya.
DAFTAR PUSTAKA

Amerogen, A. V. N., 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah, Edisi 1, UGM, Yogyakarta

Bradley, P., J., 2010, Otorhinolaryngology, Head & Neck Surgery, Springer-
Verlag, Heidelberg

Grant, D. A. ; B. S. Irving. ; G. E. Frank. 1988. Orbans Periodontics a Concept


Theory and Pratice. 4th ed. St. Louis : The C. V. Mosby Co. 99 101

Hashim, A. B., 2010, Saliva Sebagai Media Diagnosa, Tesis, Fakultas Kedokteran
Gigi, Universitas Sumatera Utara, Medan

Hofman, L. F., 2001, Innovative non-or Minimally-Invasive Technologies for


Monitoring Health and Nutrition Status in Mothers and Young Children,
Journal Nutrition

Janjua, O., S., Manzoor, A., Syed, M., Jamil, R., Abbas, T., dan Amjad, A., 2012,
Frequency of Xerostomia in Patients Suffering From Hepatitis B and C,
Pakistan Oral & Dental Journal, 32(1): 42-45

20
Kidd, E. A. M., Joyston, S., 1991, Dasar-dasar Karies: Penyakit dan
Penanggulangannya, (diterjemahkan oleh: Narwan Sumawinata dan Safrida
Faruk), EGC, Jakarta

Rensburg, B. G. J. V. 1995. Oral Biology. Chicago: Quintessenc Publishing Co.


Inc

Roth, G. I. ; R. Calmes. 1981. Oral Biology. St. Louis : The C. V. Mosby Co. 8 :
196-232

Scully, C., 2003, Drug Effects on Salivary Glands: Dry Mouth, Oral Diseases, 9:
165-176

Sherwood, L., 2011, Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem, (diterjemahkan oleh:
Bhram U. Pendit), Ed. 6, EGC, Jakarta

21

Anda mungkin juga menyukai