Anda di halaman 1dari 63

AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL DAUN

MATOA (Pometia pinnata J. R. & G. Forst TERHADAP


PERTUMBUHAN Trichophyton mentagrophytes

KARYA TULIS ILMIAH

OLEH

MIRNA GUSTARI
1748402036

PROGRAM STUDI DIII ANALIS FARMASI DAN MAKANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Karya TulisI lmiah Dengan Judul

AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL DAUN


MATOA (Pometia pinnata J. R. & G. Forst) TERHADAP
PERTUMBUHAN Trichophyton mentagrophytes

Diseminarkan

Oleh

MIRNA GUSTARI
1748402036

Karya Tulis Ilmiah ini Telah Diseminarkan dan Dinyatakan Lulus


di Hadapan Para Penguji Seminar Program Studi D III Anafarma
Universitas Abdurrab

Disetujui Oleh

DosenPembimbingKaryaTulisIlmiah

Pembimbing I Pembimbing II

(Wahyu Margi Sidoretno, M.Farm, Apt) (Edison, ST, M.Pd.I)


LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : MIRNA GUSTARI


NIM : 1748402036
JUDUL : AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL
DAUN MATOA (Pometia pinnata J. R. & G. Forst)
TERHADAP PERTUMBUHAN Trichophyton
mentagrophytes
PROGRAM STUDI : DIII ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

TIM PEMBIMBING

Pembimbing I Pembimbing II

(Wahyu Margi Sidoretno, M.Farm,Apt) (Edison, ST, M.Pd.I)

TIM PENGUJI

Penguji

(Rini lestari, M.Farm, Apt)

Program Studi D III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Kedokteran Dan Ilmu
Kesehatan Universitas Abdurrab Telah Mengesahkan Karya Tulis Ilmiah Ini
Sebagai Bagian Dari Persyaratan Kelulusan Ahli Madya Kesehatan

(Isna Wardaniati, M.Farm, Apt)


Ketua Program Studi D III Analis Farmasi dan Makanan
SK. Nomor : 120/REK-UNIVRAB/SK/A/XI/2018
KARYA TULIS ILMIAH

PROGRAM STUDI DIII ANALIS FARMASI DAN MAKANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
2020

Nama : Mirna Gustari


NIM : 1748402036
Judul KTI : Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Etanol Daun Matoa (Pometia
pinnata)Terhadap Pertumbuhan JamurTrichophyton
mentagrophytes
Pembimbing : Wahyu Margi Sidoretno, M.Farm, Apt

ABSTRAK

Tanaman matoa merupakan tanaman suku Sapindaceae yang tersebar di daerah


tropis termasuk Indonesia. Secara tradisional tanaman matoa dapat dimanfaatkan
untuk mengobati berbagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan
jamur. Kulit kayu untuk mengobati luka, rebusan daun dan kulit kayu untuk
mengatasi demam, influenza dan nyeri tulang sendi diobati dengan cairan yang
diperas dari kulit kayu bagian dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui aktivitas antijamur ekstrak etanol daun matoa (Pometia pinnata)
terhadap pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes pada konsentrasi 10 %,
20%, dan 30 %. Trichophyton mentagrophytes merupakan jenis jamur yang
termasuk kelompok dermatofita dan penyakit yang disebut dermatofitos (kurap).
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan
menentukan diameter daya hambat antijamur. Metode yang di gunakan untuk uji
aktivitas antijamur pada penelitian ini yaitu menggunakan metode difusi agar,
ketokonazol sebagai kontrol positif dan DMSO sebagai kontrol negatif.. Hasil uji
daya hambat dengan konsentrasi ekstrak 10 %, 20 %, dan 30 % yang dilakukan
tiga kali pengulangan dapat menghambat pertumbuhan Trichophyton
mentagrophytes dengan rata-rata diameter zona hambatnya adalah 23,05 mm,
24,86 mm, 25,05 mm dan kontrol positif ketokonazol adalah 28,56 mm. Dari hasil
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak etanol daun matoa (Pometia
pinnata) memiliki aktivitas antijamur terhadap Trichophyton mentagrophytes.

Kata Kunci: Aktivitas antijamur (Pometia pinnata) terhadap Trichophyton mentagrophytesPDA

iv
SCIENTIFIC PAPERS
DEPARTMENT OF PHARMACEUTICAL AND FOOD ANALYST
DIPLOMA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
UNIVERSITY OF ABDURRAB
2020

Name : Mirna Gustari


Student ID : 174840203
Tittle : Antibacterial Activity Test of Matoa Leaf (Pometiapinnata)
Ethanol Extract Against Trichophyton mentagrophytes
Supervisor : Wahyu Margi Sidoretno, M.Farm, Apt

ABSTRACT

The matoa plant is a Sapindaceae tribal plant spread across the tropics including
Indonesia. Matoa plants grow at an altitude of about 1,400 meters above sea level.
Traditionally matoa plants can also be used to treat various infectious diseases
caused by bacteria and fungi. This research with the title of the antifungal activity
of ethanol extracts of matoa leaves (Pometia Pinnata) on the growth of the fungus
Trichophyton mentagrophytes, aims to determine the antifungal activity of ethanol
extract of matoa leaves (Pometia Pinnata) on the growth of Trichophyton
mentagrophytes at concentrations of 10%, 20%, and 30%. This research is an
experimental laboratory study by determining the diameter of antifungal
inhibition. The method used to test antifungal activity in this study is to use the
agar diffusion method, ketoconazole as a positive control and DMSO as a
negative control. The extraction method is done by maceration method using 96%
ethanol solvent. The samples used were fresh green matoa leaves, the inhibitory
test results with extract concentrations of 10%, 20%, and 30% could inhibit the
growth of Trichophyton mentagrophytes with an average diameter of inhibition
zone was 23.05 mm, 24.86 mm, 25.05 mm and the positive control of
ketoconazole is 28.56 mm. From the above results it can be concluded that the
ethanol extract of matoa leaves (Pometia pinnata) has antifungal activity against
Trichophyton mentagrophytes

Keyword: Antifungal activity test of ethanol extract of matoa leaves (Pometia


pinnata) againstfungal growth of Trichophyton mentagrophytes

v
KATA PENGANTAR

Segala puja puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu

wata’ala atas rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat

menyusun dan menyelesaikankarya tulis ilmiah ini, yang diajukan guna

melengkapi dan memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan

Program Studi D III Anafarma daengan judul “Uji aktivitas antijamur ekstrak

etanol daun matoa (Pometia pinnata) terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton

mentagrophytes”.

Sholawat dan salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad

SWT yang telah memberikan cahaya terang kepada kita semua. Pada kesempatan

ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ketua program studi DIII Analis Farmasi dan Makanan Universitas

Abdurrab, Ibu Isna Wardaniati, M. Farm, Apt.

2. Ibu Wahyu Margi Sidoretno, M.Farm, Apt selaku (pembimbing I), dan

bapak Edison, ST.,M.Pd.I selaku pembimbing II), yang telah membimbing

penulis dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini dan telah banyak

memberikan pengarahan, bimbingan dan bantuan dengan kesabaran untuk

semua kesalahan dalam perbaikan selama menulis proposal

3. Seluruh Dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan mendidik

penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Studi D III Anafarma

Universitas Abdurrab.

vi
4. Ayahanda dan Ibunda tercinta serta seluruh keluarga yang selalu

memberikan dorongan motivasi, semangat serta do’a yang tiada henti-

hentinya kepada penulis dalam mewujudkan cita-cita.

5. Teman-teman, mahasiswa-mahasiswi D III Anafarma Universitas Abdurrab


serta seluruh pihak terkait yang telah turut membantu penulis dalam

menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ilmiah ini masih belum

sempurna karena keterbatasan kemampuan penulis, untuk itu penulis

mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun demi

kesempurnaan proposal karya tulis ilmiah ini. Akhirnya kepada Allah SWT

jualah kita berserah diri semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan

manfaat bagi kita semua, Aamiin.

Pekanbaru, Agustus 2020

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK.................................................................................................. iv
ABSTRACT................................................................................................ v
KATA PENGANTAR................................................................................ vi
DAFTAR ISI............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL...................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................ 4
1.4.1 Manfaat Ilmiah ......................................................... 4
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 5
2.1 Tumbuhan Matoa............................................................... 5
2.1.1 Morfologi matoa ...................................................... 7
2.1.2 Klasifikasi Matoa ..................................................... 9
2.1.3 Manfaat tanaman matoa............................................ 9
2.1.4 Kandungan Kimia Daun Matoa ............................... 10
2.2 Uji aktivitas antijamur ....................................................... 10
2.3 Trichophyton mentagrophytes............................................ 13
2.3.1 Penyakit Yang DisebabkanTrichophyton
mentagrophytes......................................................... 14
2.3.2 Pencegahan dan PengobatanTrichophyton
mentagrophytes.......................................................... 15
2.5 Ketokonazol ...................................................................... 16

viii
2.6 Simplisia............................................................................. 17
2.7 Meserasi............................................................................. 20
2.8 Sterilisasi ........................................................................... 21
BAB III METODE PENELITIAN........................................................... 23
3.1 Desain Penelitian................................................................ 23
3.2 Sampel Penelitian............................................................... 23
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian............................................ 23
3.4 Alat dan Bahan................................................................... 24
3.4.1 Alat......................................................................... 24
3.4.2 Bahan...................................................................... 24
3.5 Prosedur Kerja.................................................................... 24
3.5.1 Membuat Larutan Ekstrak dengan Konsentrasi
10 %, 20 % dan 30 %............................................. 25
3.5.2 Sterilisasi Alat........................................................ 26
3.5.3 Desinfektan Tempat Kerja..................................... 26
3.5.4 Antiseptik Tangan.................................................. 27
3.5.5 Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)... 27
3.5.6 Pembuatan Larutan Standar Mc.Farland............... 27
3.5.7 Pembuatan Suspensi JamurTrichophyton
mentagrophytes...................................................... 27
3.5.10 Pengujian Daya Hambat Ekstrak daun matoa........ 28
3.6 Analisa Data....................................................................... 28
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN.................................................... 29
4.1 Hasil .................................................................................. 29
4.2 Pembahasan ...................................................................... 30
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN...................................................... 35
5.1 Kesimpulan ....................................................................... 35
5.2 Saran .................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 36
LAMPIRAN................................................................................................ 39

ix
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Hasil pengukuran diameter zona hambat ekstrak etanol daun
matoa (Pometia pinnata J. R. & G. Forst)terhadap
Trichophyton mentagrophytes ...........................................................29

x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tanaman matoa..............................................................................8
Gambar 2. Lempeng silinder...........................................................................11
Gambar 3. Jangka sorong ...............................................................................12
Gambar 4. Trichophyton mentagrophytes.......................................................14
Gambar 5. Rumus struktur ketokonazol..........................................................17
Gambar 6. Alat rotary evoporator....................................................................20
Gambar 7. Surat keterangan hasil identifikasi matoa......................................39
Gambar 8. Skema prosedur kerja penelitian....................................................40
Gambar 9. Sampel dan simplisia daun matoa.................................................47
Gambar 10. Ekstrak kental daun matoa dan konsentrasi 10 %, 20 %, 30 %.....47
Gambar 11. Larutan Mc Farlanddan SuspensiTrichophyton
mentagrophytes..............................................................................48
Gambar 12. Hasil daya hambat pengulangan 1.................................................49
Gambar 13. Hasil daya hambat pengulangan 2.................................................49
Gambar 14. Hasil daya hambat pengulangan 3.................................................50

xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat hasil identifikasi matoa......................................................39
Lampiran 2. Skema prosedur kerja penelitian.................................................40
Lampiran 3. Perhitungan dan cara pembuatan ekstrak daun matoa
dengan konsentrasi 10 %, 20 %, 30 %........................................41
Lampiran 4. Cara pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA)................43
Lampiran 5. Perhitungan pembuatan larutan pembandingan ketokonazol
2 %...............................................................................................44
Lampiran 6. Cara pembuatan larutan standar Mc. Farland.............................45
Lampiran 7. Sampel daun simplisia daun matoa berserta ekstrak kental
dan konsentrasi............................................................................47
Lampiran 8. Larutan Mc Farland dan suspensi jamur.....................................48
Lampiran 9. Hasil uji daya hambat ekstrak etanol daun matoa tethadap
Trichophyton mentagrophytesdengan konsentrasi 10 %,
20 % dan 30 %.............................................................................49

xii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman matoa merupakan tanaman suku Sapindaceae yang

tersebardi daerah tropis termasuk Indonesia. Manfaat dari tanaman matoa

yaitu kulit kayu dapat dipakai masyarakat Priangan untuk mengobati luka,

daun yang besar digunakan sebagai mulsa pada penanaman gembili atau

gadung. Rebusan daun dan kulit kayu dipakai mandi untuk mengatasi

demam, masyarakat Fiji menggunakan ekstrak daun untuk menghitamkan

rambut, rendaman daun diair panas baik untuk mengobati disentri

sedangkan influenza dan nyeri tulang sendi diobati dengan cairan yang

diperas dari kulit kayu bagian dalam (Suharno & Tanjung, 2011: 27).

Beberapa penelitian terkait tanaman matoa yang telah dilakukan

seperti oleh Martiningsihet al., (2016), aktivitas antioksidan ekstrak etanol

daun matoa sebesar 45,78 ppm.Skrining fitokimia ekstrak etanol daun

matoa mengandung senyawa flavonoid dan tanin. Ekstrak daun Pometia

Pinnata J. R. & G. Forst mampu menghambat virus HIV-1 IN (Suedee,

2012). Menurut Rahimahet al., (2013) karakterisasi senyawa pada daun

matoa yang diperoleh adalah senyawa golongan flavonoid.

Senyawa metabolit sekunder tanindapat dimanfaatkan sebagai

antidiare, menghentikan pendarahan,dan mencegah peradangan terutama

pada mukosa mulut dan digunakan sebagai antiseptik karna adanya gugus

1
fenol. Saponin adalah suatu senyawa yang memiliki bobot molekul tinggi

atau besar, tersebar dalam beberapa tumbuhan, merupakan bentuk

glikosida dengan molekul gula yang terikat dengan aglikon triterpen atau

steroid (Hanani, 2016). Flavonoid dalam bidang kesehatan memiliki efek

antihipertensi, dan memiliki efek farmakologi yang cukup tinggi misalnya

sebagai antibakteri, antioksidan dan antijamur (Marfuahet al., 2019).

Salah satu penyakit yang disebabkan oleh jamur yaitu Trichophyton

mentagrophytes. Trichophyton mentagrophytes adalah salah satu spesies

jamur yang termasuk genus Trichophyton yang merupakan jenis jamur

yang termasuk kelompok dermatofita dan penyakit yang disebut

dermatofitos (kurap). Jamur ini menyukai bagian tubuh yang mengandung

zat keratin seperti kulit, rambut/bulu, kuku atau tanduk (Komala, 2019).

Jamur ini sangat mudah menginfeksi kulit orang yang selalu

terkontaminasi dengan air dalam waktu yang lama dan disertai dengan

kurangnya kesadaran akan kebersihan diri dan lingkungan sekitar biasanya

ditandai dengan adanya kelainan kulit yang ditandai dengan perubahan

warna atau disebut makula dikulit, skuama halus, dan disertai rasa gatal

(Siregar, 2004: 11)

Pada penelitian yang sudah dilakukan oleh Surya, (2018) ekstrak

etil asetat daun matoa (Pometia pinnataJ. R. & G. Forst) diperoleh nilai

LC50 183 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun matoa sangat

toksik terhadap uji kematian larva Artemia salina. Kulit batang matoa

memiliki pengaruh yang kuat sebagai antibakteri terhadap bakteri

2
Staphylococcus, Ngajow et al.,(2013). Beradasarkan penelitian Fransiska,

(2016) ekstrak kulit batang matoa menunjukan daya hambat efektif

terhadap jamur Candida albicans pada konsentrasi 50 %, 25 % dan 12,5

%. Dari penelitian diatas kulit matoa dan daun matoa memiliki skrining

fitokimia yang sama yaitu flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid, dan

saponin kemungkinan aktivitasnya sebagai antijamur memiliki

kandungan yang sama.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis melakukan penelitian

dengan judul “Uji aktivitas antijamur ekstrak etanol daun matoa (Pometia

pinnata) terhadap jamur Trichophyton mentagrophytes

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan

masalah apakah ekstrak etanol daun matoa memiliki aktivitas antijamur

pada konsentrasi 10 %, 20 % dan 30 % terhadap pertumbuhan Trichophyton

mentagrophytes.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalahuntuk melihat zona hambat aktivitas

antijamur ekstrak etanol daun matoa pada konsentrasi 10 %, 20 % dan 30 %

terhadap Trichophyton mentagrophytes

3
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

Sebagai bahan untukmemberikan informasi kepada peneliti

selanjutnya dan untuk menambah wawasan penulis tentang uji

aktivitas antijamur ekstrak etanol daun matoa pada Trichophyton

mentagrophytes.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan informasi pada masyarakat

manfaat dan khasiat ekstrak etanol pada daun matoa (Pometia pinnata

J. R. & G. Forst) sebagai antijamur terhadap Trichophyton

mentagrophytes.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Matoa (Pometia pinnata J. R. & G. Forst)

Tanaman matoa merupakan tanaman khas yang berbuah warnanya

hijau menjadi identitas flora bagi daerah Papua. Tanaman ini sangat mudah

dijumpai karena pohon matoa sebenarnya tumbuh secara liar di hutan-hutan

Papua. Penyebaran buah matoa hampir terdapat di seluruh wilayah dataran

rendah hingga ketinggian ± 1.200 meter di atas permukaan laut. Tanaman

matoa tumbuh juga di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa pada

ketinggian hingga sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut. Selain di

Indonesia pohon matoa juga tumbuh di Malaysia, tentunya juga di Papua

Nugini, serta di daerah tropis Australia (Garuda dan Syafruddin,2014).

Tanaman matoa adalah sejenis tumbuhan rambutan, atau dalam ilmu

biologi berasal dari keluarga rambutan-rambutanan (Sapindaceae).

Berdasarkan warna kulit buahnya matoa dibedakan menjadi tiga jenis yaitu

Emme Bhanggahe (matoa kulit merah), Emme Anokhong (matoa kulit

hijau) Emme Khabhelaw (matoa kulit kuning). Berdasarkan tekstur

buahnya matoa dibedakan menjadi dua jenis yaitu matoa kelapa dan matoa

papeda. Matoa kelapa dicirikan oleh daging buah yang kenyal, diameter

buah 2,2-2,9 cm dan diameter biji 1,25-1,40 cm. Sedangkan matoa papeda

dicirikan oleh daging buahnya yang agak lembek dan lengket dengan

diamater buah 1,42 cm (Garuda dan Syafruddin2014).

5
Buah matoa mempunyai citarasa yang khas seperti rasa rambutan

bercampur dengan lengkeng dan sedikit rasa durian. Karena rasa dan aroma

yang dikandungnya membuat matoa memiliki nilai ekonomi penting bagi

masyarakat Papua. Meskipun dikenal memiliki citarasa yang khas dan

harganya cukup mahal sejauh ini matoa belum dibudidayakan secara

intensif. Buah yang diperjual belikan di pasar lokal berasal dari pohon yang

tumbuh secara alami di kebun masyarakat atau kawasan hutan sehingga

ketersediaannya terbatas dengan kualitas buah yang beragam. Apalagi

sebagian masyarakat memanen buah matoa dengan menebang pohonnya

sehingga dari waktu ke waktu ketersediaan pohon penghasil buah semakin

berkurang. Kelezatan buah matoa yang khas semakin banyak peminatnya,

bahkan sampai ke luar daerah Papua. Semakin tersedianya sarana

transportasi antar pulau semakin memudahkan distribusi buah matoa ke luar

Papua.

Memperhatikan berbagai hal tersebut buah matoa dinilai cukup

potensial untuk dikembangkan dan dibudidayakan sebagai buah unggulan

lokal Papua. Selain menyediakan alternatif sumber pendapatan bagi

masyarakat, budidaya juga akan menunjang kelestarian pohon matoa dan

didukung oleh Keputusan Menteri Pertanian RI No.

160/Kpts/SR.120/3/2006, matoa Papua telah ditetapkan sebagai buah unggul

yang patut dibudidayakan Pengembangan matoa sebagai buah unggulan

lokal akan berperan positif bagi ekonomi masyarakat bila kegiatan tersebut

melibatkan masyarakat secara aktif, yaitu masyarakat sebagai pelaku utama

6
pembudidayaan matoa di lahan mereka. Pengembangan matoa oleh

masyarakat akan berhasil bila teknik budidaya yang dikembangkan dapat

mereka terapkan. Oleh karena itu teknik budidaya yang dikembangkan

harus sesuai dengan nilai dan kapasitas teknologi masyarakat (Garuda dan

Syafruddin 2014).

2.1.1 Morfologi Matoa

Tanaman matoa memiliki daun majemuk, tersusun berseling 4-12

pasang anak daun. Saat muda daunnya berwarna merah cerah, setelah

dewasa menjadi hijau, bentuk jorong, panjang 30-40 cm, lebar 8-15 cm.

Helaian daun tebal dan kaku, ujung meruncing (acuminatus), pangkal

tumpul (obtusus), tepi rata. Pertulangan daun menyirip (pinnate) dengan

permukaan atas dan bawah halus, berlekuk pada bagian pertulangan.Bunga

berbentuk corong dan terdapat di ujung batang. Tangkai bunga bulat,

pendek berwarna hijau, dengan kelopak berambut hijau. Benang sari

pendek, jumlahnya banyak berwarna putih.

Putik bertangkai dengan pangkal membulat juga berwarna putih

dengan mahkota terdiri 3-4 helai berbentuk pita berwarna kuning. Buah

bulat atau lonjong sepanjang 5-6 cm, kulit buah berwarna hijau, merah atau

kuning (tergantung varietas). Daging buah lembek, berwarna putih

kekuningan. Bentuk biji bulat, berwarna coklat muda sampai kehitam-

hitaman. Batang silindris, tegak, warna kulit batang coklat keputih-putihan,

permukaan kasar. Bercabang banyak sehingga membentuk pohon yang

rindang, arah cabang miring hingga datar.

7
Tanaman matoa memiliki akar tunggang dan batangnya berbentuk

selinder , berdiri tegak dan percabangannya simpodial. Dapat menembus

permukaan tanah apabila umur tanaman sudah mencapai puluhan tahun.

Batang berbentuk pohon dengan tinggi 20-40 m, dan ukuran diameter

batang dapat mencapai 1,8 meter(Garuda dan Syafruddin 2014).

Tanaman matoa sangat direkomendasikan oleh berbagai pihak karena

dapat tumbuh di segala tempat dan memiliki akar serta pangkal batang yang

kuat, selain itu ternayata tanaman ini memiliki daya tahan yang cukup baik

terhadap segala jenis serangan serangga.

Berikut adalah gambar tanaman matoa dapat dilihat pada gambar 1

dibawah ini:

Gambar 1. Tanaman matoa

8
2.1.2 Klasifikasi Tanaman Matoa

Klasifikasi tanaman matoa menurut Suharno, (2014: 11) sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae

Kelas : Magnoliopsida

Anak kelas : Magnoliidae

Bangsa : Sapindales

Suku : Sapindaceae

Marga : Pometia

Jenis : Pometia pinnata J.R. & G.Forst

2.1.2 Manfaat Tanaman Matoa

Manfaat tanaman matoa sebagai berikut: kulit kayu dapat dipakai

masyarakat Priangan untuk mengobati luka.Penduduk Papua menggunakan

daun yang besar sebagai mulsa pada penanaman gembilin atau gadung.

Rebusan daun dan kulit kayu di Malaysia dipakai mandi untuk mengatasi

demam, kayunya cukup kuat untuk tiang bangunan, lantai, kusen, dan

perahu. Masyarakat Fiji mengunakan ekstrak daun untuk menghitamkan

rambut. Rendaman daun diair panas baik untuk mengobati disentri.

Sedangkan influenza dan nyeri tulang sendi di obati dengan cairan yang

diperas dari kulit kayu bagian dalam (Suharno & Tanjung,2011:27).

Beberapa penelitian terkait tanaman matoa yang telah dilakukan

seperti oleh Suedee, (2012) ekstrak daun Pometia pinnata J. R. & G. Forst

mampu menghambat virus HIV-1 IN. Menurut Rumainum dan Veronica

9
(2018), daun matoa memiliki kandungan senyawa antioksidan yang tinggi.

Beberapa senyawa antioksidan tersebut antara lain polifenol, karotenoid dan

tokoferol yang memiliki efek antimikrobial, antibakterial dan antiviral.

Ekstrak etil asetat daun matoa (Pometia pinnataJ. R. & G. Forst) memiliki

nilai LC50 183 ppm (Surya, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak

sangat toksik terhadap uji kematian larva Artemia salina. Menurut

Mataputun et al., (2013) ekstrak etanol kulit batang matoa mampu

menginhibisi α-glukosidase dan dapat dimanfaatkan sebagai agen

antihiperglikemik. Ekstrak daun matoa memiliki kandungan aktivitas

sebagai diuretik (Purwidyaningrum dan Muhammad, 2015).

2.1.3 Kandungan Kimia Daun Matoa

Beberapa penelitian terkait kandungan kimia daun matoa yang telah

dilakukan di antaranya oleh (Martiningsih et al., 2016). Aktivitas

antioksidan ekstrak etanol daun matoa (IC50 sebesar 45.78 ppm) dan

berdasarkan skrining fitokimia, ekstrak etanol daun matoa mengandung

senyawa flavonoid dan tannin (Faustina & Santoso 2014). Menguji

aktivitas antioksidan ekstrak asetondan mengandung senyawa polifenol.

Karakterisasi senyawa pada daun matoa yang diperoleh adalah senyawa

golongan flavonoid (Rahimah et al., 2013)

2.2 Uji Aktivitas Antijamur

Aktivitas atau potensi antijamur dapat ditunjukkan pada kondisi yang

sesuai dengan efek daya hambat terhadap mikroorganisme. Suatu penurunan

aktivitas antimikroba juga dapat menunjukkan perubahan kecil yang tidak

10
dapat ditunjukkan oleh metode kimia sehingga pengujian secara

mikrobiologi biasanya standar untuk mengatasi keraguan tentang

kemungkinan hilangnya aktivitas.Semua peralatan yang digunakan harus

dicuci sebelum dan sesudah digunakan. Peralatan gelas untuk menyimpan

dan memindahkan mikroorganisme uji disterilkan dengan pemanasan kering

atau dengan uap air (Harmita dan Radji, 2008: 12).

Metode umumyang biasa digunakan untuk penentuan uji aktivitas

antijamur yaitu :Penetapan dengan lempeng silinder atau cara

lempeng.Berikut ini adalah gambar lempeng slinder dilihat pada gambar 2

dibawah ini:

Gambar 2. Lempeng slinder

Lempeng silinder merupakam difusi antibiotik dari silinder yang

dipasang tegak lurus pada lapisan agar padat dalam cawan petri atau

lempeng. Jadi, mikroorganisme yang ditambahkan dihambat

pertumbuhannya pada daerah berupa lingkaran atau zona disekeliling

silinder yang berisi larutan antibiotik (Harmita dan Radji, 2008: 12)

11
Dibawah ini merupakan alat jangka sorong yang digunakan untuk

mengukur zona hambat dilihat pada gambar 3 sebagai berikut:

Gambar 3. Jangka sorong

Prinsip kerja dari jangka sorong yaitu, langkah awal yang dilakukan

harus mengendurkan baut yang berguna sebagai pengunci dan menggeser

rahang yang terdapat pada jangka sorong, tetapi harus memastikan ketika

rahang tersebut bekerja dengan baik atau tidak, lalu harus memastikan

ketika rahang tertutup, jangka sorong tersebut harus menunjukkan angka

nol, langkah kedua adalah lakukan pembersihan baik pada benda yang akan

diukur maupun pada permukaan rahang jangka sorong untuk menghindari

kesalahan pengukuran, dan langkah terakhir adalah dengan menutup rahang

jangka sorong hingga mengapit pada bagian suatu benda yang sesuai dengan

apa yang kita ukur, kemudian lihat skala yang ditampilkan pada jangka

sorong.

12
2.3 Trichophyton mentagrophytes

Trichophyton mentagrophytes adalah jenis kapang termasuk

kelompok dermatofita dan penyakit yang disebabkannya disebut

dermatofitosis (kurap), kapang ini menyukai tubuh yang mengandung zat

keratin seperti kulit, rambut/bulu, kuku, atau tanduk. Dibidang veteriner,

istilah yang paling dikenal adalah ringrorm/tinea,karena sebelumnya

dianggap penyebabnya adalah cacing, dan menunjukkan gejala penyakit

berbentuk seperti lingkaran, rambut/bulu rontok, dan pada manusia

dikenal dengan nama tinea. Infeksi dengan spesies Trichophyton dapat

timbul di daerah terbuka janggut (tinea barbae); reaksi peradangan hebat

yang ditimbulkannya sangat menyerupai infeksi piogenik pada daerah

tersebut. Kadang-kadang dermatofita tidak hanya membentuk koloni pada

manusia tetapi juga menimbulkan infeksi sistematik, misalnya

endokarditis. Keadaaan ini hanya terjadi pada orang yang sistem imunnya

terganggu ( Jawetz et al., 1996: 614-615).

Pada kulit terjadi kurap, berbentuk bulat, merah, membengkak, rasa

sakit dan gatal. Penularan terjadi lewat kontak langsung seperti

pemeliharaan hewan atau penggunaan alat-alat secara bersama seperti

kain, handuk, sikat atau sisir serta pada tempat umum contohnya dikolam

renang (Gholib., 2009: 60 dan Siregar., 2014: 36)

13
Berikut adalah gambar jamur Trichophyton mentagrophytes yang

dilihat dimikroskop pada gambar 4 sebagai berikut:

Gambar 4. Trichophyton mentagrophytes

Klasifikasi jamur Trichophyton mentagrophytes menurut (Sevaroka,

2018: 9)

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

Class : Euascomycetes

Ordo : Onygenales

Family : Arthrodermataceae

Genus : Trichophyton

Spesies : Trichophyton mentagrophytes

2.3.1 Penyakit yang DisebabkanTrichophyton mentagrophytes

Infeksi dengan spesies Trichophyton dapat timbul di daerah terbuka

janggut (tinea barbae); reaksi peradangan hebat yang ditimbulkannya sangat

menyerupai infeksi piogenik pada daerah tersebut. Kadang-kadang

dermatofita tidak hanya membentuk koloni pada manusia tetapi juga

14
menimbulkan infeksi sistematik, misalnya endokarditis. Keadaaan ini hanya

terjadi pada orang yang sistem imunnya terganggu (Jawetz et al., 1996: 614-

615).

Trichophyton mentagrophytes juga menyebabkan suatu fungemia

oportunistik pada pasien,biasanya oleh golong Trichophyton selalu pada

orang dewasa penyakit ini dapat mengenai bangsa apa saja, tetapi lebih

sering pada kulit putih didaerah tropis dengan kelembapan tinggi. Jamur ini

sangat mudah menginfeksi kulit orang yang selalu terkontaminasi dengan

air dalam waktu yang lama dan disertai dengan kurangnya kesadaran akan

kebersihan diri dan lingkungan sekitar biasanya di tandai dengan adanya

macula dikulit skuama.Hipotesis ini didukung oleh observasi bahwa banyak

kasus diringankan oleh pengobatan ketokonazol (Jawetz et al.,2014:656 dan

Siregar., 2014)

2.3.2 Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Trichophyton

mentagrophytes

Pengobatan terdiri dari pengangkatan semua struktur epitel yang

terinfeksi dan mati serta penggunaan antibiotik atau zat kimia antifungi

secara topical untuk mencegah reinfeksi, area tersebut harus dijaga tetap

kering, dan sumber infeksi, seperti hewan peliharaan yang terinfeksi atau

perlengkapan mandi yang digunakan secara bersama, harus dihindari

(Jawetz, 2007:644). Pengobatannya dengan antibiotik yang biasa digunakan

adalah clotrimozole, ketokonazole, atau miconazole (Zulkoni,2011)

15
2.4 Ketokonazol

Ketokonazol merupakan suatu antijamur turunan imidazol obat yang

aktif secara oral dan bermanfaat untuk terapi pada infeksi jamur setempat

atau sistemik luas. Indikasi untuk penggunaannya masih dievaluasi tetapi

ada kecenderungan bahwa obat ini akan menggantikan amfoterisin pada

banyak infeksi jamur karena obat ini dapat diberikan secara oral dan dengan

sedikit toksisitas imidazol lainnya(mikonazol dan kotrimazol) (Jawet, 1996).

Obat-obat antijamur yang dapat menolong, misalnya salep whitfield,

salep salisil sulfur (salep 2/4) larutan salisil spiritus, larutan thiosulfat

natrikus (35 %), dan lotio kumerfeldi juga dapat menolong. Obat baru

seperti selenium sulfida 2 % dalam shamp, derivat imidazol (ketokonazol,

isokonazol, toksilat dalam bentuk krim) atau larutan dengan konsentrasi 1-2

% sangat berkhasiat baik (Siregar, 2005).

Mekanis kerja ketokonazol adalah semua antijamur azol bekerja

melalui penghambatan biosintesis ergosterol jamur. Penghambatan ini

dicapai melalui pengikatan obat dan pengaruhnya terhadap fungsi kelompok

heme pada sitokrom P450 oksidase,P450 oksidase jamur yang paling

sensitif terhadap penghambatan adalah 14-lanosterol demetilase. Enzim

P450 lainnya (termasuk enzim mamalia yang terlihat dalam steroidogenesis)

dapat menghambat pada konsentrasi tinggi. Penghambat ergosterol

menimbulkan gangguan pada struktur dan fungsi selaput jamur (Jawet et al.,

1996).

16
Indikasi ketokonazol bermanfaat pada pengobatan kandidiasis

mukokutan kronik dan pada bentuk ekstrak meningeal kronik dari

blastomikosis, koksidioidomikosis, parakoksidioidomikosis, dan

histolasmosis (Jawet et al., 1996).

Efek samping tambahan antijamur azol secara primer berkaitan dengan

kemampuannya untuk menghambat enzim P450 sitokrom mamalia.

Ketokonazol merupakan yang paling toksik pada dosis terapeutiknya akan

menghambat sintesis testosteron dan kortisol. Penghambatan ini

mengakibatkan ginekomastia, penurunan libido, impotensia, menstruasi

yang tidak teratur, dan kadang-kadang insufisiensi adrenal.Semua antijamur

azol dapat menyebabkan peningkatan pada uji fungsi hati yang asimtomatik

dan kasus hepatitis yang jarang (Jawet et al.,1996).

Rumus struktur ketokonazol dapat dilihat pada gambar 5 sebagai

berikut:

Gambar 5. Rumus struktur ketokonazol (Jawet, 1996).

2.5 Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan

untuk pengobatan dan belum mengalami suatu pengolahan apapun, kecuali

17
dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60 . Simplisia

segar adalah bahan alam segar yang belum dikeringkan. Simplisia dapat

berupa simplisia nabati yaitu simplisia yang berupa simplisia tanaman utuh,

bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel

yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau dengan cara tertentu

dikeluarkan dari selnya atau zat nabati lain yang dengan cara tertentu

dipisahkan dari tumbuhannya. Serbuk simplisa nabati tidak boleh

mengandung fragmen jaringan dan benda asing yang bukan merupakan

komponen asli dari simplisia yang bersangkutan antara lain telur nematoda,

bagian dari serangga dan hama serta sisa tanah (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2008).

Simplisia merupakan proses awal dalam pembuatan ekstrak. Serbuk

simplisia dibuat dari simplisia utuh atau potongan-potongan halus simplisia

yang sudah dikeringkan melalui proses pembuatan serbuk dengan suatu alat

tanpa mengakibatkan kerusakan atau kehilangan kandungan kimia yang

dibutuhkan dan diayak hingga diperoleh serbuk dengan derajat kehalusan

tertentu. Derajat kehalusan simplisia terdiri dari serbuk sangat kasar, kasar,

agak kasar, halus dan sangat halus. Kecuali dinyatakan lain, derajat

kehalusan serbuk simplisia untuk pembuatan ekstrak merupakan serbuk

halus (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Ekstraksi adalah suatu proses penyarian zat aktif dari bagian tanaman

obat yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam

bagian tanaman obat tersebut dengan menggunakan pelarut tertentu yang

18
sesuai (Marjoni, 2016: 15). Tujuan ekstraksi adalah menarik atau

memisahkan senyawa dari campurannya atau simplisia. Pemilihan metode

ekstraksi dilakukan dengan memperhatikan antara lain sifat senyawa,

pelarut yang digunakan, dan alat tersedia. Struktur untuk setiap senyawa,

suhu dan tekanan merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam

melakukan ekstraksi (Hanani, 2016: 11).

Ekstrak adalah sedian cair, kental atau kering yang merupakan hasil

proses ekstraksi atau penyarian suatu matriks atau simplisia menurut cara

yang sesuai. Ekstrak cair diperoleh dari ekstraksi yang masih mengandung

sebagian besar cairan penyari. Ekstrak kental akan didapat apabila sebagian

besar cairan penyari sudah diuapkan, sedangkan ekstrak kering akan

diperoleh jika sudah tidak mengandung cairan penyari (Hanani, 2016: 13).

Ekstraksi merupakan suatu proses penyaringan zat aktif dari bagian

tanaman obat yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat

dalam bagian tanaman obat tersebut. Proses ekstraksi pada dasarnya adalah

proses perpindahan massa dari komponen zat padat yang terdapat pada

simplisia ke dalam pelarut organik yang digunakan. Pelarut organik akan

menembus dinding sel dan selanjutnya akan masuk kedalam rongga sel

tumbuhan yang mengandung zat aktif (Marjoni, 2016:15-16).

19
Dibawah ini merupakan alat rotary evaporator yang digunakan untuk

mengentalkan ekstrak/hasil maserasi dilhat pada gambar 6 sebagai berikut:

Gambar: 6 Alat rotary evaporator

Prinsip kerja dari rotary evaporator adalah untuk menguapkan pelarut

ekstraksi dan hanya meninggalkan senyawa hasil diekstraksi disebut

ekstrak. Selanjutnya sampel tersebut dimasukkan dalam wadah gelas dan

ditambahkan etanol untuk ekstraksi selanjutnya (Reo., et al., 2014).

2.6 Maserasi

Maserasi merupakan salah satu metoda ekstraksi yang dilakukan

dengan cara merendam simplisia menggunakan pelarut tertentu selama

waktu tertentu dengan sesekali dilakukan pengadukan atau pengojokan.

Maserasi merupakan metode sederhana dan paling banyak digunakan karena

metode ini sesuai dan baik untuk skala kecil maupun skala industri. Prinsip

kerja dari maserasi adalah proses melarutnya zat aktif berdasarkan sifat

20
kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like) (Marjoni, 2016: 40-

41).

Ekstraksi zat aktif dilakukan dengan cara merendam simplisia dalam

pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada suhu kamar dan terlindung

dari cahaya. Pelarut yang digunakan, akan menembus dinding sel dan

kemudian masuk ke dalam sel tanaman yang penuh dengan zat aktif.

Pertemuan antara zat aktif dan pelarut akan mengakibatkan terjadinya

proses pelarutan dimana zat aktif akan terlarut dalam pelarut. Pelarut yang

berada di dalam sel mengandung zat aktif sementara pelarut yang berada di

luar sel belum terisi zat aktif, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara

konsentrasi zat aktif di dalam dengan konsentrasi zat aktif yang ada di luar

sel.

Perbedaan konsentrasi ini akan mengakibatkan terjadinya proses difusi,

dimana larutan dengan konsentrasi tinggi akan terdesak ke luar sel dan

digantikan oleh pelarut dengan kosentrasi rendah. Peristiwa ini terjadi

berulang-ulang sampai didapat suatu keseimbangan konsentrasi larutan

antara di dalam sel dengan konsentrasi larutan di luar sel (Marjoni, 2016:

40-41)

2.7 Sterilisasi

Sterilisasi dalam mikrobiologi merupakan proses penghilangan semua

jenis organisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protoza, fungi,

bakteri mycoplasma, virus) yang terdapat pada suatu benda. Sterilisasi

21
didesain untuk membunuh atau menghilangkan mikroorganisme. Target

suatu metode inaktivasi tergantung dari metode dan tipe

mikroorganismenya, yaitu tergantung dari asam nukleat, protein, atau

membran mikroorganisme tersebut. Metode sterilisasi dibagi menjadi dua,

yaitu metode fisika dan metode kimia (Pratiwi, 2008).

Metode sterilisasi kimia dilakukan untuk bahan-bahan yang rusak bila

disterilisasikan pada suhu tinggi (misalnya bahan-bahan dari plastik) dengan

menggunakan bahan-bahan kimia. Sedangkan metode sterilisasi fisika dapat

dilakukan dengan cara panas baik panas kering maupun panas basah,

radiasi, dan filtrasi. Metode sterilisasi panas digunakan untuk bahan yang

tahan panas. Metode sterilisasi panas dengan penggunaan uap air disebut

metode sterilisasi panas lembab atau sterilisasi basah. Metode sterilisasi

panas tanpa kelembaban (tanpa penggunaan uap air) disebut metode

sterilisasi panas kering atau sterilisasi kering. Metode sterilisasi dengan

penyaringan digunakan untuk bahan yang sensitif terhadap panas, misalnya

enzim. Pada proses ini digunakan membran filter yang terbuat dari selulosa

asetat. Metode sterilisasi dengan menggunakan radiasi dilakukan dengan

menggunakan sinar UV ataupun dengan metode ionisasi. Penggunaan

sterilisasi meja kerja dan alat praktek yang digunakan (Pratiwi, 2008)

22
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental uji kualitatif untuk

menentukan daya hambat ekstrak etanol daun matoa (Pometia pinnata J. R.

& G. Forst) terhadap jamur Trichophyton mentagrophytes dengan

konsentrasi 10 % 20 % dan 30 %, kontrol positif yang digunakan adalah

ketokonazol.

3.2 Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun matoa

(Pometia pinnata J. R. & G. Forst) segar yang berwarna hijau cara

pengambilan daun dipetik secara manual yang diambil di Kecamatan

Tapung, Kelurahan Pantai Cermin, sampel dibuat menjadi simplisia dan

diekstrak dengan etanol 96 %.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan

Parasitologi FKIK Universitas Abdurrab pada bulan Februari tahun 2020.

23
24
3.4 Alat dan Bahan

3.4.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah beker glass (Iwaki ®),

oven (Memmert®), autoklaf (Memmert®), inkubator (Memmert®), rotary

evoparator (EYELA), timbangan analitik, labu ukur (Iwaki®), tabung reaksi

(Iwaki®), jangka sorong, cawan petri (Iwaki®), erlenmeyer (Iwaki®),corong

(Iwaki®), saptula, kawat ose, pipet tetes, lampu bunsen, kaki tiga, jangka

sorong (Kenmaster), pipet volume (Iwaki®) dan gelas ukur (Iwaki®)

3.4.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak kental daun

matoa, DMSO (Dimethysulfoxide), NaCl fisiologis, spiritus, etanol 96 %,

etanol 70 %, disk kosong, salepketokonazol, strain Trichophyton

mentagrophytes, media PDA (Potato Dextrose Agar).

3.5 Prosedur Kerja

a. Pembuatan Sampel

Daun matoa dilakukan sortasi basah yaitu pembersihan dari kotoran

yang menempel pada daun yang diambil misalnya daun kering, atau

pengotor lainnya. Kemudian dibersihkan atau dicuci kemudian

dikeringakan pada suhu kamar. Sampel dilakukan sortasi kering yakni

memisahkan kotoran, bahan organik asing, dan sebagian simplisia rusak

akibat proses sebelumnya kemudian dipotong kecil, diblender hingga halus

25
setelah itu ditimbang serbuk simplisia yang telah dihaluskan. Kemudiaan

disimpan dalam wadah tertutup dan terhindar dari cahaya matahari.

b. Pembuatan Ekstrak Etanol

Simplisia yang sudah halus ditimbang sebanyak 219,54 gram,

kemudian diekstraksi secara maserasi dengan menggunakan pelarut etanol

96% sampai sampel terendam, maserasi dilakukan selama 3 hari

pengulangan sebanyak 3 kali dan sesekali dilakukan pengocokan.

Selanjutnya meserat dimasukan kedalam botol gelap dan maserasi dilakukan

sampai meserat yang digunakan tidak ada warna lagi dengan pelarut yang

sama. Hasil meserat sebanyak 800 ml selanjutnya dikentalkan menggunakan

Rotary evaporator pada suhu 60 0C sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak

kental yang diperoleh kemudian ditimbang.

3.5.1 Pembuatan Larutan Ekstrak Etanol Daun Matoa Dengan

Pengenceran Bertingkat Pada Konsentrasi 10 %, 20 % dan 30 %

(Fransiska, 2016)

1. Konsentrasi 30 %

Ekstrak kental daun matoa ditimbang sebanyak 3gram kemudian

dimasukkan dalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan DMSO sampai

tanda batas kemudian dihomogenkan.

2. Konsentrasi 20 %

Ekstrak daun matoa pada konsentrasi 30 % dipipet sebanyak 6,6 ml

menggunakan pipet ukur kemudian dimasukkan dalam labu ukur 10

26
ml dan ditambahkan DMSO sampai tanda batas kemudian

dihomogenkan.

3. Konsentrasi 10 %

Larutan ekstrak daun matoa pada konsentrasi 20 % dipipet

menggunakan pipet ukur sebanyak 5 ml kemudian dimasukkan ke

dalam labu ukur 10 ml, lalu ditambahkan DMSO sampai tanda batas

kemudian dihomogenkan.

3.5.2 Sterilisasi Alat

Peralatan yang digunakan seperti beker glass, kawat ose, pipet tetes,

dan pipet ukur yang akan digunakan dicuci bersih dan disemprot dengan

etanol 70 %. Cawan petri, tabung reaksi dibungkus dengan kertas disterilkan

menggunakan oven pada suhu 170 0C selama 1 jam sedangkan erlenmeyer

bisa disterilkan mengunakan autoclave bersamaan dengan media yang

digunakan pada suhu 120 0C (Pratiwi, 2008; 138).

3.5.3 Desinfektan Tempat Kerja

Meja dibersihkan dari debu, kemudian disterilkan dengan etanol 70 %,

lingkungan kerja harus tenang dan bebas angin, nafas sedapat mungkin

dihembuskan menjauhi biakan yang dipindahkan

3.5.4 Antiseptik Tangan

Antiseptik tangan dilakukan dengan cara tangan dicuci bersih dengan

menggunakan sabun. Selanjutnya tangan disemprot dengan etanol 70 %.

Kemudian menggunakan glove steril untuk melakukan penelitian.

27
3.5.5 Pembuatan MediaPotato Dextrose Agar (PDA)

Sebanyak 3,9 gram PDAditimbang kemudian dimasukan kedalam

erlenmeyer 250 ml,lalu ditambahkan dengan 100 ml Akuades. Kemudian

dipanaskan sampai mendidih diatas hot plat,diangkat dan ditutup dengan

sumbatan kapas. Kemudian media PDA disterilisasi menggunakan

autoclave dengan cara ditutup dengan klep pipa hingga rapat,maka suhu

terus menerus akan naik sampai suhu 121 0C tekanan 2 atm selama 15

menit, setelah cukup waktu medium potato dextrose agar (PDA)

dikeluarkan dari autoklaf, tambahkan larutan kloramfenikol dengan

konsentrasi 50 mg/ml sebanyak 1 ml diaduk hingga homogen dituangkan

kedalam masing-masing cawan petri sebanyak 60 ml yang sudah disterilkan

dan dibiarkan membeku (Tairas, 2018).

3.5.6 Pembuatan Larutan Standart Mc.Farland

Pembuatan larutan standar Mc. Farlandterdiri dari larutan H2SO4 1 %

dan BaCl21 %. Pembuatan dengan cara dipipet larutan H2SO4 1 % dipipet

sebanyak 9 ml dicampurkan dengan larutan BaCl2 1 % sebanyak 1 ml dalam

tabung reaksi. Kemudian dikocok sampai terbentuk larutan yang keruh.

Kekeruhan ini dipakai sebagai standar kekeruhan suspensi jamur uji.

(Munira et al., 2018:11).

3.5.7 Pembuatan Suspensi Trichophyton mentagrophytes

Pembuatan suspensi jamur Trichophyton mentagrophytes dilakukan

dengan cara disiapkan kawat ose yang steril, kemudian jamur Trichophyton

mentagrophytes yang telah diinokulasi diambil dengan ujung kawat ose,

28
setelah itu disuspensikan kedalam tabung yang berisi 10 ml larutan NaCl

fisiologis 0,9 % hingga diperoleh kekeruhan yang sama dengan standar

kekeruhan larutan Mc.Farland (Silvia et al., 2015).

3.5.8 Pengujian Daya Hambat Ekstrak Etanol daun Matoa

Suspensi Trichophyton mentagrophytes dioleskan pada permukaan

media secara zigzag menggunakan kapas lidi steril, sampai semua bagian

media rata terolesi. Kemudian kertas disk kosong diletakkan pada

permukaan media dan diteteskan 10 µL ekstrak etanoldaun matoa

konsentrasi 10 %, 20 % dan 30 % dengan diberi tekanan. Kertas disk

kosong diletakkan ditengah cawan petri pada permukaan media dan

diteteskan dengan DMSO steril sebagai kontrol negatif (-). Kertas disk

ketokonazol diletakkan dibagian pinggir kanan cawan petri pada permukaan

media sebagai kontrol positif (+). Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali

kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 25 0C dan diukur zona

bening yang terbentuk disekitar disk (Torar et al., 2017 : 17-18)

3.6 Analisa data

Data yang diperoleh pada penelitian ini yaitu dari diameter zona

hambat. Pengukuran zona hambat dilakukan dengan menggunakan jangka

sorong, dan data yang diperoleh dari hasil penelitian di laboratorium akan

disajikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan secara deskriptif.

29
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada ekstrak daun

matoa (Pometia pinnata J. R. & G. Forst) terhadap pertumbuhan

Trichophyton mentagrophytes maka didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel I. Hasil pengukuran diameter zona hambat ekstrak etanol daun

matoaterhadap Trichophyton mentagrophytes.

Diameter Zona Hambat (mm)


Rata – Rata
No Konsentrasi P1 (mm) P2 (mm) P3 (mm)
(mm)
1 10% 22,025 25,05 22,075 23,05
2 20% 21,05 26,52 27,025 24,86
3 30% 27,05 27,06 21.05 25,05
4 Kontrol (+) 28,6025 27,025 30,075 28,56
5 Kontrol (-) 6 6 6 6
Keterangan :
P1 : Pengulangan 1
P2 : Pengulangan 2
P3 : Pengulangan 3
Kontrol (+) : Ketokonazol
Kontrol (-) : DMSO

30
4.2 Pembahasan

Penelitian ini telah dilakukan uji aktivitas antijamur ekstrak etanol

daunmatoa (Pometia pinnata J. R. & G. Forst) terhadap pertumbuhan

Trichophyton mentagrophytes dengan pembandingan ketokonazol, dengan

konsentrasi 30 %, 20 %, 10 %. Pada penelitian ini menggunakan sampel

daun matoa (Pometia pinnata J. R. & G. Forst) segar yang berwarna hijau

cara pengambilan daun dipetik secara manual yang diambil di Kecamatan

Tapung, Kelurahan Pantai Cermin.

Penelitian ini menggunakan ekstrak etanol daun matoa yang tujuannya

adalah untuk mengetahui aktivitas antijamur ekstrak etanol daun matoa

terhadap pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes. Pembuatan ekstrak

diawali dengan pembuatan simplisia dengan tujuan untuk mempermudah

mendapatkan ekstrak kental pada daun tersebut.

Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah meserasi,

hal ini dikarenakan metode meserasi dapat dilakukan dengan peralatan yang

sederhana selain itu pengerjaannya juga tidak memerlukan pemanasan yang

dapat merusak zat aktif pada sampel. Pelarut yang digunakan adalah etanol

96 % karena pelarut etanol memiliki beberapa keunggulan sebagai pelarut

diantaranya memiliki daya absorbsi yang baik sehingga dapat menarik

senyawa dengan baik (Marjoni, 2016: 42), digunakannya pelarut etanol 96

% dimaksudkan agar pada proses penguapan dapat terlaksana dengan cepat

karena lebih sedikit mengandung air. Kemudian pemisahan ekstrak

31
dilakukan menggunakan proses penyaringan sehingga didapatkan maserat

yang telah terpisah dari ampasnya.

Meserat yang didapatkan kemudian dimasukan kedalam labu rotary

evaporator yang tujuannya untuk mendapatkan ekstrak kental. Selanjutnya

pembuatan konsentrasi ekstrak 10 %, 20 %, dan 30 % menggunakan DMSO

(Dimetil sulfoksida), konsentrasi 30 % ekstrak kental daun matoa ditimbang

3 gram kemudian dilarutkan dengan DMSO dimasukan kedalam labu 10

ml,kemudian dipipet konsentrasi 30 % sebanyak 6,6 ml dimasukan kedalam

labu 10 ml ditambahkan DMSO sampai tanda batas dapatlah konsentrasi 20

% dan untuk konsentrasi 10 % dipipet 5 ml dari konsentrasi 20 % kemudian

dimasukan kedalam labu ukur 10 ml ditambahkan DMSO sampai tanda

batas. Pemilihan DMSO sebagai pelarut, karena pelarut ini dapat melarutkan

ekstrak daun matoa. Selanjutnya melakukan pengujian ekstrak daun matoa

terhadap jamur Trichophyton mentagrophytes apakah menghambat atau

tidaknya ekstrak daun matoa tersebut.

Pada penelitian ini, media yang digunakan adalah media PDA, selain

PDA pengujian ini bisa juga digunakan media SDA. karena media ini

merupakan media padat (agar) dan yang paling umum digunakan untuk

media jamur dengan kandungan nutrisi karbohidrat (dektrosa) yang baik

untuk pertumbuhan kapang dan khamir. Pada pembuatan media PDA diberi

larutan kloramfenikol 10 ml yang bertujuan agar bakteri tidak dapat tumbuh

pada media tersebut. (Rizki, 2019)

32
Pengujian yang telah dilakukan menggunakan jamur Trichophyton

mentagrophytes karena jamur ini yang paling umum ditemukan dan mudah

menyerang tertular tubuh manusia yang menginfeksi bagian kuku dan kulit.

jamur uji disuspensikan dalam larutan NaCl steril, penggunaan laurtan NaCl

dikarenakan menyerupai carian didalam tubuh serta untuk menjaga

keseimbangan ion dari mikroba (Tivani, 2018: 45), sampai kekeruhannya

sama dengan larutan standard Mc. Farland yang terdiri dari H2SO41 % dan

BaCl2. Kegunaan Mc. Farland sebagai larutan pembanding untuk suspensi

jamur. Larutan Mc.Farland merupakan salah satu yang dapat diaplikasikan

untuk menyiapkan jamur yang akan digunakan untuk uji kemampuan

mikroba. Penyetaraan dengan larutan Mc.Farland dimaksudkan untuk

mempermudah perhitungan bakteri dan untuk memperkirakan kepadatan sel

yang digunakan pada proses pengujian antimikroba (Sutton, 2011: 47).

Kemudian suspensi jamur dioleskan secara merata pada permukaan

media PDA (Potato Dextrose Agar) dan diletakkan kertas cakram yang

telah ditetesi dengan masing-masing larutan ekstrak daun matoa konsentrasi

10 %, 20 %, dan 30 %. Kemudian juga diletakkan kertas cakram berisi

pelarut DMSO sebagai kontrol negati (-) dan kertas cakram antibiotik

ketokonazol sebagai kontrol positif (+) pemelihan ketokonazol merupakan

suatu antijamur turunan imidazol obat yang aktif secara oral dan sering

digunakan untuk mengobati penyakit infeksi jamur, bermanfaat terapi pada

infeksi jamur setempat atau sistemik luas (Jawet, 1996) dan pemilihan

DMSO sebagai kontrol negatif (-) karena pelarut ini dapat melarutkan

33
hampir semua senyawa polar maupun non polar dan tidak memberikan daya

hambat pertumbuhan jamur sehingga tidak menggangu hasil pengamatan uji

aktivitas antijamur. Jika tidak rata maka hasil yang didapatkan tidak

sempurna serta zona hambatnya tidak terlihat jelas.

Setelah dioleskan kemudian media diinkubasi selama 5 hari pada suhu

25 0C, tujuan inkubasi adalah untuk memeramkan bakteri dan jamur.

kemudian hasil penelitian dari tiga kali pengulangan pada pengulangan yang

terakhir saja yang ditumbuhi jamur terlihat jelas pada permukaan media dan

terdapat zona bening. Zona bening merupakan petunjuk kepekaan jamur

terhadap bahan antijamur yang digunakan sebagai bahan uji dan dinyatakan

dengan diamater zona hambat kemudian zona hambat diukur diameternya

menggunakan jangka sorong dengan satuan milimeter (mm). Zona hambat

yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan memilki diameter yang

berbeda-beda dan bentuk yang tidak beraturan. Oleh karna itu, pengamatan

dilakukan dengan cara mengukur diameter horizontal dan diameter partikal

dari zona hambat yang terbentuk (Warbung, 2013:6). Setelah dilakukan

pengukuran dan perhitungan didapatkan hasil rata-rata diameter zona

hambat dimana pada konsentrasi 30 % sebesar 25,05 mm, konsentrasi 20 %

didapatkan 24,86mm, dan konsentrasi 10 % sebesar 23,05 mm.

34
Ekstrak tumbuh-tumbuhan dapat dikelompokkan berdasarkan diameter

penghambatan yang dihasilkan menjadi tiga kategori yaitu tinggi (>11 mm),

sedang (>6 - <11 mm) dan rendah (<6 mm) (Isnawati dan Agustina,

2018).Berdasarkan hasil rata-rata diameter zona hambat yang didapat

tersebut dapat dikategorikan dalam kategori tinggi.Zona hambat yang

terbentuk di sekitar kertas disk yang diberi ekstrak etanol daun matoa

mampu menghambat pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes. lebar

diameter zona hambat yang terbentuk dapat dijadikan sebagai parameter

untuk melihat kekuatan senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak

daun matoa. Semakin lebar zona hambat yang terbentuk mengindikasikan

semakin kuat senyawa bioaktif menghambat pertumbuhan jamur.

Pada penelitian ini yang memberikan zona hambat yang paling besar

adalah konsentrasi 30 % dan konsentrasi yang memberikan zona hambat

paling kecil adalah konsentrasi 10 %.

35
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun matoa (Pometia pinnata J. R. & G.

Forst) memiliki aktivitas antijamur terhadap Trichophyton mentagrophytes

dengan uji daya hambat rata-rata zona hambat yang tinggi dari hasil

pengukuran yaitu pada konsentrasi 30 % (25,05 mm), konsentrasi 20 %

yang sedang yaitu (24,86 mm) dan yang paling rendah konsentrasi 10 %

(23,05 mm).

5.3 Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis menyarankan agar :

1. Penelitian selanjutnya dapat melakukan uji daya hambat selain jamur

Trichophyton mentagrophytes seperti jamur candida albicans

2. Dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai ekstrak daun matoa

yaitu membuat aktivitas antifungi krim daun matoa terhadap

pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes.

4. Melakukan pengujian terhadap jamur penyebab infeksi kulit

lainnyaseperti malassezia furfur.

36
DAFTARPUSTAKA

Depertemen Kesehatan Republik Indonesia.Farmakope Herbal, Edisi I. 2008:


Jakarta

Fransisca, C., Faustina dan Filiana S. 2014, Extraction of Fruit Peels of Pometia
pinnata and its Antioxidant and Antimicrobial Activities. Journal Penelitian
Pascapanen Pertanian. 11(2), 80-88

Fransiska, N. 2016. Uji aktivitas antijamur fraksi n-heksan, fraksi kloroform dan
fraksi air dari ekstrak etanolik kulit batang matoa (pometia pinnata forst)
terhadap candida albicans atcc 10231 secara in vitro. Surakarta: Fakultas
Farmasi Universitas Setia Budi

Garuda, S.R. dan Syafruddin K. 2014. Matoa. Balai Pengkajian Teknologi


Pertanian Papua: Papua

Hanani, E. 2016. Analisis Fitokimia. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Harti, A.S. 2015. Mikrobiologi Kesehatan. Penerbit: Buku Kedokteran EGC

Isnawati, A. P., dan Agustina. R. 2018. Perbandingan Teknik Ekstraksi Maserasi


dengan Infusa pada pengujian Aktivitas Daya Hambat Daun Sirih Hijau
(Piper betle L.) terhadap Escherichia coli. Jurnal Farmasi Malahayati.
Volume 1 (1). Lampung: Universitas Malahayat

Jawet, Melnick dan Adelberg’s. 2017. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit:


Salemba Medika.

Jawetz, Melinick dan Adelberg. 1996. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta. Penerbit:


buku kedokteran EGC.

Juariah, S. Mega, P.I. dan Eva, C. D. 2018. Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol Kulit
Nanas (Ananas Comosus L. Merr) Terhadap Malassezia Furfur.Seminar
Nasional: Universitas pasir pengaraian.

Komala, Siwi, R. F. Dan Yulianita. 2019. Aktivitas Antijamur Ekstrak Etanol


50% dan Etanol 96% Daun Pacar Kuku Lawsonia Inermis L terhadap
Trichophyton mentagrophytes. Jurnal Ilmiah Ilmu Dasar dan Lingkungan
Hidup. Vol: (19). Halaman 12-19

Marjoni, M. R. 2016. Dasar-Dasar Fitokimia Untuk Diploma III Farmasi.


Jakarta. CV: Trans Info Media.

37
Martiningsih, N. W.Gede, A. B. W. dan Putu, L. P. K. 2016. Skrining Fitokimia
dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Matoa (Pometia
pinnata) dengan Metode DPPH. Prosiding Seminar Nasional MIPA.
Halaman 332 – 338

Mataputun, S. P. Johnly, A. R. dan Julius, P. 2013. Aktivitas Inhibitor ɑ-


Glukosidase Ekstrak Kulit Batang Matoa (Pometia pinnata. Spp.) Sebagai
Agen Antihiperglikemik. Jurnal MIPA Unsrat Online, 2(2), 119-123

Marfu’ah Nurul, Chelsea, A. R. dan Aural, M. H. 2019. Uji Efektivitas Ekstrak


Etanol Daun Bidara (Ziziphus Spina- Christi L.) Terhadap Pertumbuhan
Propionibacterium Acne. Pharmasipha, Vol.(3), No.(1)

Munira, Rasidah,et al.2018. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun


Ketapang (Terminalia catappa L.) Warna Hijau dan Warna Merah serta
Kombinasinya. Indonesian Journal of Pharmacy andNatural Product,
Volume 01, Nomor 02.

Ngajow, M. Jemmy, A. dan Vanda, S.K. 2013. Pengaruh Antibakteri Ekstrak


Kulit Batang Matoa (Pometia pinnata) terhadap Bakteri Staphylococcus
aureus secara In vitro. Jurnal MIPA UNSRAT, Volume 2(2): 128–132

Pratiwi, S. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga


Purwidyaningrum, I dan Muhammad, D. 2015. Uji Aktivitas Diuretik Daun Matoa
(Pometia pinnata) pada Tikus Jantan Galur Wistar. Jurnal Farmasi
Indonesia.Volume 12 (1): Halaman 79 – 84

Rahimah,Endang, S. Dan Afghani, J. 2013. Karakterisasi Senyawa Flavonoid


Hasil Isolat dari Fraksi Etil Asetat Daun Matoa (Pometia pinnata J.R.Forst
& G. Forst). Jurnal Kimia Khatulistiwa (JKK), 2(2), 84-89

Rizki, R. 2019. Uji Daya Hambat Fraksi Etanol Rimpang Lengkuas Merah
Alpinia Purpurata (Viell) K. Schum Terhadap Malassezia Furfur. Karya
Tulis Ilmiah. Universitas abdurrab

Rumainum, I. M. dan Veronica, T. 2018. Potensi Antioksidan pada Buah Lokal


Papua. Jurnal teknologi hasil pertanian.Vol. IX, No. 2

Reo, A. R. S, Berhimpon dan Roike, M. 2017. Metabolit Sekunder Georgonia


(Paramuricea clavata). Jurnal Ilmiah Platax. Vol. 5:(1), Januari 2017

Suharno, dan Rosye, H. R. Tanjung. 2011. Matoa (Pometia Sp) Potensi


Domestifikasi dan Pembudidayaannnya. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar.

38
Suedee A. 2012. Phytocemichal Studies of Mimusops elengi and Pometia pinnata
Leaf Extract with Anti-HIV-1 Integrase Activity. Songkla (TH): Prince of
Songkla University

Surya, A. 2018. Toksisitas Ekstrak Daun Matoa (Pometia Pinnata) Terhadap


Larva (Artemia Salina L) Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test.
Jurnal Analis Kesehatan Klinikal Sains 6 (1).Pekanbaru

Silvia, S.A. dan Muhammad, A. W. 2015. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun


Soma (Ploiarium Alternifolium Melch) terhadap Jamur Malassezia Furfur
dan Bakteri Staphylococcus Aureus. Progam Studi Kimia, Fakultas
MIPA.Vol 4(3), halaman 84-93

Siregar. 2004. Penyakitjamur kulit. Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta

Siregar. 2014. Penyakit Kulit. Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta

Sevaroka, E. 2018. Identifikasi Jamur Penyebab TineaPedis Pada Petani Di


Dataran Tinggi Desa Conto Kabupaten Wongiri Dataran Rendah Desa
Mojoroto Kabupaten Karanganyar. Skripsi., Surakarta: Universitas Setia
Budi.

Sutton. 2011. Measurement Of microbial Cells By Optical Density, Microbiology,


Journal Of Validation Technology. Halaman 1-4

Torar, G.M.J. Widya, A. L. dan Gayatri, C. 2017. Uji Aktivitas Antibakteri


Ekstrak Etanol Biji Pepaya (Carica papaya L.) terhadap Bakteri
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah
Farmasi, Vol. 6 No. 2

Tivani, Inur. 2018. Uji Angka Lempeng Total (ALT) Pada Jamu Gendong Temu
Ireng Di Desa Tanjung Kabupaten Brebes. Jurnal Para Pemikir. Vol. 7 No. 1

Warbung, Y. Y., Vonny N. S. W., dan Jimmy Posangi. 2013. Daya Hambat
Ekstrak Spons Laut Callyspongia sp Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcusayreus.jurnal ilmiah keseahatan.

Zulkoni, A. 2011. Parasitologi. Penerbit Nuka Medika: Yogyakarta

39
Lampiran 1. Surat hasil identifikasi tumbuhan

Gambar 7. Surat keterangan hasil identifikasi tumbuhan

40
Lampiran 2. Skema prosedur kerja penelitian

Simplisia Daun Matoa

Ekstrak etanol 96
%

Uji aktivitas

antijamur

Kontrol positif Kontrol negatif Konsentrasi 10 %


ketokonazol DMSO Konsentrasi 20 %
Konsentrasi 30 %

Pengukuran zona hambat

Analisa data

Gambar 8. Skema prosedur kerja penelitian

41
Lampiran 3.Perhitungan dan cara pembuatan konsentrasi ekstrak daun Matoa

dengan kosentrasi 30 %, 20 % dan 10 %

1.Konsentrasi 30 % sebanyak 10 ml

Bobot ekstrak yang ditimbang (B) = CxV

30 %
B= x 10 ml= 3 gram.
100 ml

Cara kerja:

Ekstrak daun Matoa ditimbang sebanyak 3gram kemudian dimasukkan

dalam labu ukur 10 ml, lalu ditambahkan DMSO sampai tanda batas dan

dihomogenkan.

Keterangan : B = bobot

C = konsentrasi

V = volume

2.Konsentrasi 20 % sebanyak 10 ml

Dibuat dengan pengenceran dari konsentrasi 30 %

V 1 x C1 = V 2 x C2

V1 x 30 % = 10 ml x 20 %

10 ml X 20 %
V1 =
30 %

V1 = 6,6 ml

Cara kerja:

42
Ekstrak daun Matoa 30 % dipipet sebanyak 6,6 ml, kemudian dimasukkan

dalam labu ukur 10 ml, lalu ditambahkan DMSO sampai tanda batas dan

dihomogenkan.

Lampiran 3 ( lanjutan)

3. Konsentrasi 10 % sebanyak 10 ml
Dibuat dengan pengenceran dari konsentrasi 20 %

V1xC1 = V 2 x C2

V1x 20 % = 10 ml x 10 %

10 mlx 10 %
V1 =
20 %

V1 = 5ml

Cara kerja:

Larutan ekstrak daun Matoa 20 % dipipet sebanyak 5ml, kemudian

dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, lalu ditambahkan DMSO sampai tanda

batas dan dihomogenkan.

43
Lampiran 4. Cara Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)

Bobot media yang ditimbang (B) = CxV

3,9 g
x 100 ml
1000 ml

= 3,9 gram

Keterangan: B = bobot

C = konsentrasi

V = volume

Cara kerja:

Sebanyak 3,9 gram potato dextrose agar ditimbang kemudian dimasukan

kedalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml Akuades.

Kemudian dipanaskan sampai mendidih diatas hot plat, diangkat dan ditutup

dengan kapas. Kemudian masukan kedalam autoklaf ditutup dengan klep pipa

hingga rapat, maka suhu terus menerus akan naik sampai suhu 121 0C tekanan 2

atm selama 15 menit, setelah cukup waktu medium potato dextrose agar (PDA)

dikeluarkan dari autoklaf, tambahkan larutan kloramfenikol dengan konsentrasi

50 mg/ml sebanyak 1 ml diaduk hingga homogen dituangkan kedalam masing-

masing cawan petri yang sudah disterilkan dan dibiarkan membeku.

44
Lampiran 5. Perhitungan pembuatan larutan pembandingan ketokonazol 2 %

Diketahui : Salep ketokonazol berat isi 10 gram

C= 2 %

2 gram
=
100ml

2000 mg
=
100 ml

Ditanya = B?

B
Jawab = C =
V

B=CxV

2000 mg
B= x 10 ml
100 ml

B = 200 mg

Keterangan: B = bobot
C = konsentrasi
V = volume

45
Lampiran 6. Cara pembuatan larutan standar Mc. Farland yang terdiri dari

H2SO41 % dan BaCl2

1. Pembuatan larutan H2SO4 1 %

H2SO4 1 % dari H2SO4 97 %

C1 x V 1 = C2 x V 2

97 % x V1 = 1 % x 10 ml

1% x 10 ml
V1 =
97 %

= 0,1 ml

Cara kerja :

H2SO4 97 % dipipet sebanyak 0,1 ml dalam labu ukur 10 ml, ditambahkan

dengan akuades sampai tanda batas dan dihomogenkan.

1. Pembuatan Larutan BaCl2.2H2O 1 %

1 gram
B= x 10 ml = 0,1 gram
100 ml

Cara kerja :

BaCl2.2H2O ditimbang sebanyak 0,1 gram dalam beaker glass dan dilarutkan

dengan akuades, kemudian dipindahkan dalam labu ukur 10 mL ditambahkan

dengan akuades sampai tanda batas dan dihomogenkan.

46
Lampiran 6.( lanjutan)

1. Pembuatan larutan standar Mc. Farland

Larutan H2SO41 % dipipet sebanyak 9 ml, kemudian dicampurkan dengan

larutan BaCl2.2H2O 1 % sebanyak 1 ml dalam tabung reaksi, kemudian dikocok

hingga terbentuk larutan yang keruh, kemudian digunakan sebagai standar

kekeruhan suspensi bakteri uji.

47
Lampiran 7. Sampel daun matoa

Gambar 9. Sampel daun matoa dan Simplisia daun matoa

Ekstrak kental dan variasi larutan ekstrak etanol daun matoa

Gambar 10.Ekstrak kental daun matoa dan daun matoa konsentrasi


10 %, 20 % , dan 30 %

48
Lampiran 8. Larutan Mc Farland dan suspensi jamur

Gambar 11.Larutan Mc Farlanddan Suspensi Trichophyton mentagrophytes

49
Lampiran 9. Hasil uji daya hambat ekstrak etanol daun matoa terhadap

Trichophyton mentagrophytes dengan konsentrasi 10 %, 20 % dan 30 %

B C

A
+

Gambar 12. Hasil daya hambat pengulangan 1

B
A

C
+ A

Gambar 13. Hasil daya hambat pengulangan 2

50
Lampiran 9. (Lanjutan)

A -

Gambar 14. Hasil daya hambat pengulangan 3

Keterangan : A = Konsentrasi 10 %
B = Konsentrasi 20 %
C = Konsentrasi 30 %
K - = DMSO
K + = Ketokonazol

51

Anda mungkin juga menyukai