Anda di halaman 1dari 26

NASKAH PUBLIKASI

AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL DAUN


KRATOM (Mitragyna speciosa Korth) TERHADAP
Microsporum gypseum

AJENG TRINANDA

I1011161041

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2020
LEMBAR PENGESAHAN
NASKAH PUBLIKASI

AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL DAUN KRATOM


{Mitragyiia Speciosa Korth) TERHADAP Microsporum gypseum

Oleh:
Ajeng Trinanda
NIM. 11011161041

Telah dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi


Program Stodi Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura
Tanggal: 30 Januari 2020
Disetuj ui,

Pembimbing I Pembimbing II

a Wi
NIP. 197304012000I21OO1

Penguji II

nn
NIP. 198309032008121002 II P. 1982072200812200tl2

Kedokteran

II
AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL
DAUN KRATOM (Mitragyna speciosa Korth) TERHADAP
Microsporum gypseum

Ajeng Trinanda1; Diana Natalia2; Ari Widiyantoro3; Mahyarudin4


INTISARI
Latar Belakang: Dermatofitosis adalah infeksi pada kulit yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis kulit, rambut dan kuku
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Indonesia merupakan negara
beriklim tropis yang memiliki kelembaban tinggi, kelembaban relatif rata-rata
80%. Indonesia merupakan tempat yang cocok bagi mikroorganisme seperti
jamur untuk berkembang biak dan salah satunya adalah jamur Microsporum
gypseum. Kratom (Mitragyna speciosa) merupakan tumbuhan yang berasal dari
Asia Tenggara dan di Indonesia banyak ditemukan di daerah Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat. Daun kratom banyak dimanfaatkan sebagai obat herbal dan
memiliki senyawa metabolit sekunder yang berpotensi digunakan sebagai
antijamur berdasarkan penelitian. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui aktivitas antijamur ekstrak etanol daun kratom (Mitragyna speciosa)
terhadap pertumbuhan Microsporum gypseum dan mengukur zona hambat yang
dihasilkan oleh ekstrak tersebut. Metode: Skrining fitokimia dilakukan dengan
metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan scanner dan uji semprot
untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder ekstrak yang diuji. Ekstrak uji
dibuat dalam konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% dengan etanol sebagai
pelarut. Cakram itrakonazol 8 ug digunakan sebagai kontrol positif dan DMSO
10% digunakan sebagai kontrol negatif. Pengujian aktivitas antijamur dilakukan
dengan metode difusi cakram dengan mengukur zona hambat pertumbuhan
jamur. Hasil: Ekstrak etanol daun kratom mengandung senyawa metabolit
sekunder yaitu alkaloid, terpenoid, steroid, flavonoid dan tannin dengan golongan
senyawa alkaloid dan tannin paling dominan. Tidak terdapat zona hambat
pertumbuhan M. gypseum pada semua konsentrasi ekstrak yang diuji.
Kesimpulan: Ekstrak etanol daun kratom tidak memiliki aktivitas antijamur
terhadap pertumbuhan M. gypseum.

Kata Kunci: Antijamur, Mitragyna speciosa, Microsporum gypseum

1) Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura,


Kalimantan Barat
2) Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura,
Kalimantan Barat
3) Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat

2
AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL
DAUN KRATOM (Mitragyna speciosa Korth) TERHADAP
Microsporum gypseum

Ajeng Trinanda1; Diana Natalia2; Ari Widiyantoro3; Mahyarudin4


ABSTRACT

Background: Dermatophytosis is a skin infection that contains Keratin, such as


stratum corneum in the skin epidermis, also hairs and nails that caused by
dermatophyte fungi. Indonesia is a tropical country with high humidity, with the
average of relative humidity is 80%. Indonesia is a suitable place for the
microorganism like fungi to breed, and of them is Microsporum gypseum fungi.
The Kratom (Mitragyna speciosa) is a plant that originally grew at Southeast
Asia, and in Indonesia it is mostly found at Kapuas Hulu, West Kalimantan.
Based on the research, the Kratom leafs were widely used as herbal medicine and
also have secondary metabolite compound that potentially used as anti-fungi.
Objective: This research is aimed to determine the activity of anti-fungi from
ethanol extract of kratom (Mitragyna speciosa) to the growth of Microsporum
gypseum and to measure the inhibit zone that produced by the extract. Method:
Phytochemical screening was carried out by the Thin Layer Chromatography
(TLC) method, it was using a scanner and spray test to determine the secondary
metabolite compound. The extracting tests were made in concentrations of 5%,
10%, 15%, 20% and 25% using ethanol as a solvent. There was 8 ug itraconazole
discs that being used as positive controls and 10% DMSO as negative controls.
The test of anti-fungal activity had been completed by the disk diffusion method
by measuring the zone of inhibition of fungal growth. Results: The Ethanol
extract of kratom leaf contained secondary metabolite compounds namely,
alkaloids, terpenoids, steroids, flavonoids and tannins. Hence, the most dominant
group of the compounds were Alkaloids and tannins. There were no inhibitory
zones of M. gypseum growth in all extract concentrations that is being
tested.Conclusion: The Ethanol extract of Kratom leaf did not have antifungal
activity to the growth of
M. gypseum.

Keywords: Antifungal, Mitragyna speciosa, Microsporum gypseum

1) Medical Study Program, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, West


Kalimantan
2) Department of Parasitology, Faculty of Medicine, Tanjungpura University,
West Kalimantan
3) Department of Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Tanjungpura University, West Kalimantan

3
1. Pendahuluan
Dermatofitosis adalah infeksi pada kulit yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis kulit, rambut dan kuku disebabkan
oleh golongan jamur dermatofita. Dermatofita ialah jamur yang menjadi parasit
kulit meliputi Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton.1
Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi berbeda-beda pada
tiap Negara.2 Penelitian World Health Organization (WHO) terhadap insiden
dari infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami
infeksi tinea korporis merupakan tipe yang paling dominan dan diikuti dengan
tinea kruris, pedis, dan onychomycosis.3

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki kelembaban


tinggi, kelembaban relatif rata-rata 80%. Indonesia merupakan tempat yang
cocok bagi mikroorganisme seperti jamur untuk berkembang biak dan satu
diantaranya adalah jamur Microsporum gypseum. Jamur Microsporum gypseum
dapat berkembang pada bagian kulit manusia yang sifatnya tidak
membahayakan namun cukup mengganggu. Jamur Microsporum gypseum
merupakan jamur penyebab penyakit kulit, pengurai keratin, serta perusak kuku
dan rambut. Sifat keratinofilik dimiliki oleh jamur ini sehingga berkemampuan
untuk mencerna lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai stratum
basalis.4 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bagian tanaman seperti
dari kayu, kulit batang, daun, bunga, buah dan biji berpotensi mencegah
pertumbuhan jamur dan serangga perusak kayu.5 Daun merupakan salah satu
bagian tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan yang dapat menghasilkan
senyawa yang dapat berperan sebagai antijamur. Salah satu tumbuhan yang
berpotensi yaitu daun kratom (Mitragyna speciosa Korth) adalah tumbuhan
yang digunakan dalam obat rakyat sebagai stimulan pada dosis rendah, dan
pada dosis tinggi dapat memiliki efek sedatif.6 Senyawa bioaktif yang berperan
sebagai anti jamur meliputi senyawa flavonoid, glikosida, stereoid, alkaloid dan
terpenoid. Senyawa yang berperan sebagai anti jamur berupa flavonoid,
saponin.7 Daun

4
kratom mengandung golongan senyawa utama yang terdapat di dalam daun
kratom. Senyawa alkaloid memiliki bioaktivitas yang cukup besar dalam
menghambat jamur Fusarium, C.cladosporium, S.commune dan
P.funiculosum.9 Oleh karena itu daun kratom (Mitragyna speciosa Korth)
diharapkan mampu menghambat pertumbuhan jamur Microsporum gypseum.
Sejauh ini daun kratom hanya sebatas pada pemanfaatan secara tradisional
sebagai obat rakyat yang belum diketahui aktivitas anti jamurnya.
Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antijamur ekstrak
daun kratom terhadap jamur Microsporum gypseum sehingga dapat dijadikan
sebagai acuan pengobatan herbal untuk pengobatan penyakit yang disebabkan
oleh jamur.
Desain Penelitian
Desain yang digunakan untuk penelitian ini adalah studi eksperimental
murni dengan metode eksperimen Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Pengambilan dan Persiapan Tumbuhan
Tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Daun Kratom
(Mitragyna speciosa Korth) yang diambil di Hutan Kabupaten Kapuas Hulu,
Provinsi Kalimantan Barat.
Pembuatan Simplisia
Pengambilan daun kratom dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-10.00
WIB di Hutan Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.
Banyaknya daun kratom yang terkumpul yaitu sejumlah 4 kg.
Daun dipetik dari batangnya dengan memilah daun yang bagus kemudian
dikering anginkan selama dua minggu kemudian di remas-remas
menggunakan tangan sampai menjadi lebih kecil dan dihaluskan
menggunakan blender hingga didapat serbuk simplisia sebanyak 500 gram.
Pembuatan Ekstrak
Simplisia sebanyak 500 gram dimaserasi menggunakan pelarut etanol
70% sebanyak 5 liter. Maserat kemudian dievaporasi dan didapat ekstrak
sebanyak 100 gram. Ekstrak berwarna hijau kehitaman, berbau khas dengan
konsistensi kental.

5
Skrining Fitokimia
Analisis metabolit sekunder senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, steroid
dan triterpenoid dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan
metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Pembuatan Media
Media SDA
Prosedur pembuatan media agar sabouraud dekstrosa (Sabouraud
Dextrose Agar/SDA) adalah dengan mensuspensikan 65 gram bubuk SDA
dalam 1 liter akuades yang dicampur dengan baik sampai didapat suspense
yang homogen.17
Penyiapan Jamur Uji
Peremajaan jamur M.gypseum
Jamur uji dari persediaan stok diambil sebanyak satu ose kemudian
diinokulaskan dengan cara digores ke dalam tabung reaksi yang berisi medium
agar saboraud dekstrosa miring secara aseptis dan diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 18-24 jam hingga didapatkan koloni jamur M. gypseum.
Pembuatan Suspensi Jamur
Pembuatan suspensi jamur dilakukan secara aseptis. Koloni jamur uji
pada media pemeliharaan yang telah diinkubasi selama lima hari diambil
dengan menggunakan jarum ose dan disuspensikan ke dalam tabung berisi 5
mL larutan 0,9% NaCl steril. Kekeruhan yang timbul kemudian disetarakan
dengan Standar McFarland 0,5 yang steril dengan jumlah pertumbuhan 1-5 x
106 CFU/mL, setelah setara maka suspensi ini yang akan digunakan sebagai
jamur uji.10
Karakteristik Jamur Uji
Pemeriksaan makroskopis jamur dapat dilakukan dengan melihat
penampakkan koloni jamur pada SDA. Koloni pada SDA berbentuk datar,
menyebar, berwarna putih hingga krem dengan permukaan seperti kapas padat
yang dapat menunjukkan beberapa alur radial. Koloni biasanya memiliki
strain emas kuning kecoklatan dan pigmen kuning, tetapi koloni yang tidak
memiliki pigmen juga dapat terjadi.11

6
Pemeriksaan mikroskopis jamur dilakukan dengan pembuatan preparat.
Gelas objek dibersihkan dengan menggunakan kapas alkohol 70%. Jamur
diinokulasi dan ditetesi dengan pewarna lactophenol cotton blue lalu tutup
preparat dengan gelas penutup. Keringkan beberapa saat pada suhu ruang atau
dengan cara melewatkan sediaan di atas Bunsen dua kali. Sediaan diperiksa di
bawah mikroskop dengan pembesaran 40x.12
Kontrol Positif dan Kontrol Negatif
Pada penelitian ini digunakan itrakonazol 8 µg/disc sebagai kontrol
positif dan DSMO 10% sebagai kontrol negatif.
Uji Sensitivitas Antijamur Ketokonazol dan Itrakonazol
Kapas ulas steril dicelupkan ke dalam suspensi jamur uji, kemudian
diputar beberapa kali dan ditekan ke dinding tabung di atas cairan untuk
menghilangkan inokulum yang berlebihan di kapas. Permukaan media agar
SDA diinokulasikan jamur uji dengan mengulaskan kapas berisi suspense
jamur di seluruh permukaan media. Pengulasan kapas dilakukan sebanyak 3
kali.12 Cakram kertas yang berukuran 5 mm ditempatkan diatas permukaan
media sesuai dengan posisi yang ditentukan, kemudian diteteskan larutan
ekstrak etanol daun kratom dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%
b/v (g/100 mL). Konsentrasi tersebut dibuat dengan cara menimbang ekstrak
masing-masing masing 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg dan 25 mg, kemudian
dilarutkan masing-masing dengan pelarut Tween 80 10% hingga volumenya
1mL. Kontrol positif yang digunakan adalah itrakonazol 8 μg/disk, kemudian
kontrol negatif yang digunakan adalah akuades. Cawan petri diinkubasi pada
suhu 37°C selama 2x24 jam. Hasil inkubasi berupa daerah bening disekitar
cakram yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan jamur
diinterpretasikan sebagai zona hambat.13,14
Analisis Data
Data hasil penelitian yang normal dan homogen (setelah diuji dengan
uji Shapiro wilk dan uji Leuveune’s) dilanjutkan dengan analisis varian satu
arah (One Way ANOVA) untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang
signifikan pemberian ekstrak etanol daun kratom (Mitragyna speciosa)

7
terhadap pertumbuhan Microsporum gypseum. Jika terdapat perbedaan
secara bermakna, maka dilanjutkan dengan analisis Post-Hoc untuk
mengetahui perbedaan secara signifikan dari data satu kelompok perlakuan
ekstrak etanol daun kratom (Mitragyna speciosa) dengan kelompok lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kaji Etik
Penelitian ini telah mendapat surat keterangan lulus kaji etik dari
Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura dengan
nomor 6637/UN22.9/TA.00.03/2019.
Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman uji pada penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam Universitas
Tanjungpura. Bagian tanaman yang digunakan untuk determinasi adalah daun
dan batang dari tanaman uji tersebut. Berdasarkan uji determinasi diketahui
bahwa tanaman kratom berasal dari famili Rubiaceae, genus Mitragyna, dan
spesies Mitragyna spesiosa Korth.
Pembuatan Simplisia
Simplisia sebanyak 500 gram dimaserasi menggunakan pelarut etanol
70% sebanyak 5 liter. Maserat kemudian dievaporasi dan didapat ekstrak
sebanyak 100 gram. Ekstrak berwarna hijau kehitaman, berbau khas dengan
konsistensi kental.
Skrining Fitokimia
Skrinning fitokimia dilakukan menggunakan metode Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) yang disemprot dengan reagent penampak noda metabolit
sekunder yaitu DCM:EA dengan perbandingan 6,5:3,5. Hasil KLT
menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kratom mengandung senyawa
metabolit sekunder yaitu alkaloid, terpenoid, steroid, flavonoid, dan tannin.
Berdasarkan pendar noda pada KLT ekstrak daun kratom dibawah sinar UV
366 nm terlihat adanya pendar alkaloid,terpenoid, steroid, flavonoid, dan
tanin.

8
Gambar 4.1 Pendar Noda Ekstrak Kratom pada KLT di bawah sinar
UV 366 nm
Selanjutnya KLT tersebut dilakukan pemeriksaan secara TLC scanner
untuk mengetahui persentase masing-masing noda. Persentase masing-
masing noda dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Persentase Noda KLT Ekstrak Etanol Kratom pada TLC scanner
No. Noda ke- Persentase (%) Golongan
1. 1 2,11 Terpenoid/Steroid
2. 2 1,65 Terpenoid/Steroid
3. 3 1,21 Flavonoid
4. 4 3,76 Terpenoid/Steroid
5. 5 4,54 Terpenoid/Steroid
6. 6 4,31 Flavonoid
7. 7 5,76 Terpenoid gula
8. 8 9,89 Flavonoid gula
9. 9 15,54 Flavonoid gula
10. 10 51,23 Alkaloid dan Tannin

Sumber : Data Primer 2019

9
Karakterisasi Jamur Uji
Hasil pemeriksaan koloni secara makroskopis yaitu pada media
saboraud dekstrosa agar (SDA) setelah diinkubasi yaitu koloni pada SDA
berbentuk datar, menyebar, berwarna putih hingga krem dengan permukaan
seperti kapas padat yang dapat menunjukkan beberapa alur radial. Hasil
pemeriksaan secara mikroskopis yaitu dengan pewarnaan Lactophenol
Cotton Blue (LPCB) didapatkan mikrokonidia Microsporum gypseum
berbentuk kesimetrisan, elips, berdinding tipis dengan ketebalan 8-16 X 20
μ, dan multiseluler terdiri dari 4 -6 sel.

A B

Gambar 4.2 Hasil karakterisasi jamur uji (A) Hasil 0morfologi


makroskopis Microsporum gypseum pada media agar saboraud dekstrosa,
(B) Hasil mikroskopis Microsporum gypseum dengan pewarnaan LPCB.

1
Uji Aktivitas Antijamur
Hasil inkuasi menunjukkan zona hambat sebesar 0 mm pada
setiap konsentrasi dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2 Hasil Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Etanol Daun (Mitragyna
speciosa Korth) Terhadap Microsporum gypseum

Diameter Zona Rata-


Hambat (mm) rata Keterangan
NO Konsentrasi
Pengulangan ke- (mm)
I II III IV
1. 5% 0 0 0 0 0 Tidak ada zona hambat
2. 10% 0 0 0 0 0 Tidak ada zona hambat
3. 15% 0 0 0 0 0 Tidak ada zona hambat
4. 20% 0 0 0 0 0 Tidak ada zona hambat
5. 25% 0 0 0 0 0 Tidak ada zona hambat
6. Kontrol (-) 0 0 0 0 0 Tidak ada zona hambat
7. Kontrol (+) 29 30 31 30 30 Sangat kuat
Sumber : Data Primer 2019

1
Gambaran hasil uji aktivitas antijamur pada setiap konsentrasi
tidak menunjukkan adanya zona hambat yang bening, sesuai dengan
Gambar 4.3 C

A B

D E

Sumber : data Primer 2019


Gambar 4.3 Hasil Uji Aktivitas Antijamur Dengan Variasi Konsentrasi
(A)5%, (B) 10%, (C) 15%, (D) 20%; (E) 25% (F) Kontrol negatif (G)
Kontrol positif
Ekstrak Daun Kratom
Pengambilan daun kratom dilakukan pada pagi hari pukul
08.00-10.00 WIB di Hutan Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi

1
Kalimantan Barat. Pengambilan pada pagi hari dikarenakan tanaman
sedang mengalami fotosintesis sehingga kandungan senyawa metabolit
sekunder yang didapatkan lebih banyak. Bagian tanaman yang diambil
adalah daun dalam kondisi segar dan tidak terdapat kerusakan lainnya.

1
Hal ini bertujuan untuk engoptimalkan sampel daun uji. Daun
diambil dengan cara memetik langsung dari batangnya dengan
menggunakan bantuan alat gunting. Banyaknya daun kratom yang
terkumpul yaitu sejumlah 4 kg.
Daun yang telah dipetik kemudian dipilih kembali daun yang
bagus kemudian dikering anginkan selama dua minggu kemudian di
remas-remas menggunakan tangan sampai menjadi lebih kecil
dilanjutkan dengan dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi
serbuk simplisia dan didapatkan serbuk simplisia halus sebanyak 500
gram.
Simplisia sebanyak 500 gram dimaserasi menggunakan
pelarut etanol 70% sebanyak 5 liter dengan perbandingan 1:10 untuk
mengoptimalkan penarikan kandungan senyawa metabolit sekunder,
kemudian diamkan selama 24 jam dan diaduk setiap 6 jam. Maserat
kemudian dievaporasi menggunakan rotary evaporator pada suhu 60oC
untuk menguapkan etanol dan didapat ekstrak daun kratom sebanyak
100 gram. Ekstrak berwarna hijau kehitaman, berbau khas dengan
konsistensi kental.
Skrining Fitokimia
Skrinning fitokimia dilakukan di Laboratorium Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan ala Universitas
Tanjungpura. Skrinning fitokimia daun krtaom dilakukan dengan
metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang disemprot dengan reagent
penampak noda metabolit sekunder sebagai eluen terbaik yaitu
DCM:EA dengan perbandingan 6,5:3,5 yang menunjukkan spot yang
tidak menumpuk antara senyawa satu dan lainnya. Selanjutnya hasil
KLT tersebut diinterpretasi di BPOM Provinsi Kalimantan Barat yang
menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kratom mengandung alkaloid,
terpenoid, steroid, flavonoid dan tannin.

1
Berdasarkan hasil interpretasi terlihat bahwa golongan
senyawa alkaloid dan tannin paling dominan, sehingga diprediksi
aktivitas biologik ekstrak etanol daun kratom lebih dominan karena
pengaruh golongan senyawa alkaloid dan tannin. Alkaloid merupakan
metabolit sekunder yang mengandung nitrogen dan bersifat basa. Tannin
merupakan polifenol yang mengandung banyak gugus hidroksil. Namun
jika dilihat dari pola KLT, alkaloid bersifat polar yang mengandung
gugus hidroksil sedangkan tannin juga bersifat sangat polar karena noda
tannin berada di bagian paling bawah KLT silika gel F254. Tannin ini
sangat polar sehingga diprediksi banyak mengikat gula yang
mengakibatkan aktivitas biologiknya berkurang.
Karakterisasi Jamur Uji
Hasil pemeriksaan koloni secara makroskopis yaitu pada media
saboraud dekstrosa agar (SDA) setelah diinkubasi yaitu koloni pada SDA
berbentuk datar, menyebar, berwarna putih hingga krem dengan
permukaan seperti kapas padat yang dapat menunjukkan beberapa alur
radial. Koloni biasanya memiliki strain emas kuning kecoklatan dan
pigmen kuning, tetapi koloni yang tidak memiliki pigmen juga dapat
terjadi.11 Hasil pemeriksaan secara mikroskopis yaitu dengan pewarnaan
Lactophenol Cotton Blue (LPCB) di dapatkan mikrokonidia Microsporum
gypseum berbentuk kesimetrisan, elips, berdinding tipis dengan ketebalan
8-16 X 20 μ, dan multiseluler terdiri dari 4 -6 sel. Mikrokonidia dapat
diamati, meskipun jarang dihasilkan dan berukuran 2,5-3,0 X 4-6 μ. 14
Makrokonidia berdinding kasar dan tipis, dan pada ujung-ujung hifa
terbentuk kumparan.15 Pada ujung distal dari sebagian makrokonidia
berbentuk agak bulat sedangkan ujung proksimal berbentuk agak
memotong.16

1
Uji Aktivitas Antijamur
Uji aktivitas antijamur pada penelitian ini dilakukan dengan metode
difusi cara Kirby-bauer. Metode difusi dilakukan untuk menentukan
aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba
diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan
berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya
hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada
permukaan media agar.17 Keunggulan uji difusi cakram agar mencakup
fleksibilitas yang lebih besar dalam memilih obat yang akan diperiksa. 18
Terdapat lima kelompok perlakuan dengan variasi konsentrasi ekstrak
etanol daun kratom yaitu 5%, 10%, 15%, 20%, 25% serta dua kelompok
kontrol yaitu kontrol positif menggunakan itrakonazol 8ug/disk dan kontrol
negatif menggunakan DMSO 10%.
Hasil uji aktivitas itrakonazol 8ug/disk yang digunakan sebagai
kontrol positif menunjukkan adanya zona hambat dengan diameter rata-rata
30 mm dengan interpretasi sangat kuat. Interpretasi hasil sensitivitas
itrakonazol yakni; 1) diameter <9 mm adalah resisten, 2) diameter 10-15
mm adalah sensitif apabila dosis ditingkatkan, 3) diameter ≥16 mm adalah
sensitif. Berdasarkan interpretasi tersebut maka kontrol positif itrakonazol
8 μg/disk tergolong sensitif apabila dosis ditingkatkan. 19 Itrakonzaol
digunakan sebagai kontrol positif karena termasuk antijamur yang sensitif
terhadap jamur golongan dermatofita.20
Itrakonazol merupakan antifungal triazol yang memiliki sifat
keratofilik dan lipofilik yang kuat. Mekanisme kerja tersebut yaitu dengan
menghambat 14α-demethylase, sehingga mengganggu sintesis sterol pada
membran sel jamur. Secara in vitro, itrakonazol aktif melawan dermatofit
maupun non-dermatofit (Malassezia spp. dan Candida).21,22,23
Sedangkan pada kontrol negatif menggunakan DMSO 10% tidak
menunjukkan adanya zona hambat yang terbentuk disekitar kertas cakram.

1
DMSO 10% adalah zat yang digunakan untuk melarutkan ekstrak saat
pembuatan berbagai konsentrasi larutan uji, maka dari itu DMSO 10%
harus bersifat negatif dan tidak memberikan aktivitas antijamur.24
Hasil uji aktivitas antijamur menggunakan ekstrak etanol daun
kratom (Mitragyna speciosa Korth) dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%,
20%, 25% dengan empat kali pengulangan setelah diinkubasi selama 2x24
jam menunjukkan tidak terbentuknya zona hambat di sekitar kertas cakram,
yang menandakan bahwa tidak adanya penghambatan pertumbuhan jamur
Microsporum gypseum.
Hasil uji aktivitas antijamur ekstrak etanol daun kratom pada
penelitian ini tidak menunjukkan adanya zona hambat terhadap
Micropsorum gypseum yang berarti ekstrak etanol daun kratom tidak
efektif dalam menghambat pertumbuhan Microsporum gypseum. Terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas antimikroba yakni;
konsentrasi antimikroba, intensitas zat antimikroba, jumlah mikroba, pH
media, suhu inkubasi, potensi suatu antimikroba dalam larutan yang diuji,
dan kepekaan suatu mikroba terhadap konsentrasi antimikroba.25
Pada penelitian sebelumnya uji aktivitas antijamur terhadap
Microsporum gypseum dengan menggunakan ekstrak etanol paku pohon
menunjukkan adanya aktivitas antijamur. Pelarut yang digunakan adalah
pelarut yang sama yaitu etanol dan terhadap jamur uji yang juga sama yaitu
Microsporum gypseum.26 Pelarut merupakan faktor penting saat proses
ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus bisa menyaring sebagian besar
senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia.27 Hal ini berarti
faktor mengenai pelarut yang digunakan tidak berpengaruh terhadap
ketidakpuasan hasil uji pada penelitian ini.
Hasil skrining fitokimia pada daun kratom menunjukkan bahwa
daun kratom mengandung senyawa metabolit sekunder alkaloid, terpenoid,
steroid, flavonoid, tannin dan saponin. Meskipun mengandung

1
senyawa-senyawa tersebut, namun ekstrak daun kratom tidak membentuk
zona hambat pada pertumbuhan Microsporum gypseum.26 Hal ini mungkin
terjadi karena jumlah dari kandungan senyawa metabolit sekunder terdapat
persentase dari setiap senyawa metabolit sekunder yang telah disebutkan
tidak adekuat untuk menghambat pertumbuhan Microsporum gypseum.
Pada penelitian Rabani tahun 2017 yang juga menggunakan
ekstrak daun kratom (Mitragyna speciosa Korth) bahwa pada penelitiannya
didapatkan hasil konsentrasi ekstrak daun kratom sebesar 10% dapat
menghambat pertumbuhan jamur Schizophyllum commune Fries dengan
sangat kuat namun tidak bersifat mematikan jamur.28 Namun untuk
perbedaan hasil ini dapat terjadi dikarenakan spesies jamur yang berbeda.
Schizophyllum commune Fries merupakan jamur pelapuk kayu pada
tanaman, sedangkan Microsporum gypseum merupakan jamur dermatofita
pada manusia yang diduga lebih kuat dibanding jamur pada tanaman. Hal
ini bisa dipengaruhi oleh dinding sel dan spesies yang dimiliki oleh kedua
jamur ini berbeda.
Berdasarkan hasil skrining fitokimia didapatkan bahwa senyawa
metabolit sekunder yang dominan yaitu alkaloid dan tannin yaitu sebesar
51,23%. Pada penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa senyawa alkaloid
dalam tanaman kratom merupakan alkaloid indol yaitu mitraginin.
Mitraginin memiliki kemiripan struktur dengan yohimbin dan voakagin.29
Daun kratom dilaporkan mengandung 25 jenis senyawa alkaloid. Alkaloid
mitraginin dan 7-hidroksimitraginin merupakan senyawa aktif dalam
tanaman ini.29 Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin
“hydrolysable” (HT) yang berarti tanin yang dapat dihidrolisis dan tanin
“condensaded” (CT) yang berarti tanin yang terkondensasi. 30 HT dan CT
merupakan polifenol dengan berat molekul sedang hingga berat yang
menempel dan mempresipitasi protein terlarut. HT memiliki berat molekul
yang lebih ringan dibanding CT. Kemampuan biologik/aktivitas
antijamurnya bergantung dari kemampuan untuk menangkal radikal bebas.

1
Efisiensi kerjanya bergantung dari berat molekul, jumlah cincin
aromatisnya, dan lebih dominan dipengaruhi oleh subtitusi gugus
hidroksilnya dibanding dengan gugus fungsional spesifiknya. 30,31Namun
belum ada penelitian yang menyebutkan untuk klasifikasi senyawa
metabolit sekunder alkaloid dan tanin yang mana yang dapat berpengaruh
sebagai antijamur serta pada penelitian ini juga tidak dilakukan uji untuk
mengklasifikasikan setiap senyawa metabolit sekunder dari ekstrak etanol
daun kratom.
Senyawa metabolit sekunder yang diharapkan mendominasi pada
ekstrak yaitu flavonoid, dengan adanya kandungan flavonoid yang tinggi
dapat memberikan kemampuan ekstrak untuk menghambat pertumbuhan
jamur.29 Flavonoid merupakan kelompok polifenol dan diklasifikasikan
berdasarkan struktur kimia serta biosintesisnya.32 Struktur dasar flavonoid
terdiri dari dua gugus aromatik yang digabungkan oleh jembatan karbon
(C6-C3-C6).33 Flavonoid diklasifikasikan sebagai flavon, flavanone,
flavonol, katekin, flavanol, kalkon dan antosianin.33 Pembagian kelompok
flavonoid didasarkan pada perbedaan struktur terutama pada substitusi
karbon pada gugus aromatik sentral dengan beragamnya aktivitas
farmakologi yang ditimbulkan.34 Mekanisme kerja flavonoid dalam
menghambat pertumbuhan jamur yakni dengan menyebabkan gangguan
permeabilitas membran sel jamur. Gugus hidroksil yang terdapat pada
senyawa flavonoid menyebabkan perubahan komponen organik dan
transport nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan timbulnya efek toksik
terhadap jamur.35
Penelitian yang dilakukan oleh Sitorus pada tahun 2009, ekstrak
metanol belimbing manggis tidak dapat menghambat jamur M. gypseum.
Hal ini disebabkan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam buah
belimbing manis yaitu senyawa fenol yang berkhasiat sebagai antibakteri
saja tetapi tidak berkhasiat sebagai antijamur. Selain itu juga bakteri
memiliki spora yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh, sedangkan jamur

1
memiliki spora yang berfungsi untuk reproduksi aseksual dan seksual
sehingga memperbanyak pertumbuhan jamur. Hal tersebut menyebabkan
senyawa flavonoid tersebut tidak mampu menghambat pertumbuhan jamur.
Senyawa metabolit sekunder yang didapat pada penelitian ini
juga diduga bukan golongan senyawa yang memiliki potensi sebagai
antijamur yang baik. Flavonoid yang memiliki aktivitas antijamur terhadap
Microsporum gypseum adalah flavonoid golongan flavanon dan flavan.
Kemungkinan besar pada penelitian ini flavonoid yang tersaring bukan dari
dua golongan tersebut.36 Tanin yang didapat mungkin merupakan tanin
terkondensasi yang tidak memiliki aktivitas antimikroba yang baik jika
dibandingkan dengan golongan tanin hidrolisis.37
Jamur Microsporum gypseum merupakan sel eukariotik, tidak
memiliki klorofil, bersifat multiseluller, memiliki dinding sel yang
mengandung kitin dan glukan. Tubuhnya terdiri dari benang-benang yang
disebut hifa, anyaman hifa yang bercabang disebut miselium. Hifa yang
berinti banyak (multinukleat) atau berinti tunggal (uninukleat). Jamur
sendiri tidak mempunyai plasmid dan memperoleh nutrien dengan cara
absorpsi.38 Kitin memiliki peran penting dalam menjaga intergritas dinding
sel Microsporum gypseum sehingga zat antijamur tidak dapat masuk ke
sitoplasma maupun nukleus sel.38
Ekstrak etanol daun kratom tidak memiliki aktivitas antijamur
terhadap pertumbuhan Microsporum gypseum seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Hal ini diduga karena pelarut etanol tidak dapat menyari
senyawa metabolit sekunder spesifik yang dapat berperan sebagai antifungi
sehingga senyawa metabolit sekunder yang didapat tidak adekuat dalam
menghambat pertumbuhan Microsporum gypseum.

2
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak etanol daun
kratom adalah alkaloid, terpenoid, steroid, flavonoid dan tanin.
2. Tidak ada zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etanol daun
kratom terhadap jamur Microspourm gypseum.
Saran
Peneliti menyarankan untuk menggunakan ekstrak dari tumbuhan
lain yang bekerja sebagai antijamur terhadap jamur Microsporum gypse

2
Daftar Pustaka

1. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ke-6. Jakarta: Badan Penerbit FK UI;
2011.
2. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2012, Cellular and Molecular
Immunology, Seventh Edition, 1-3, 16-19, 67-68, 75-78, 225-226,
Elsevier Saunders, Philadelphia.
3. Lakshmipathy KK. Review On Dermatomycosis: Pathogenesis and
treatment. Natural Science. 2010; 2(7): 726-31.
4. Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010.
5. Arief, S., 2012. Hepatitis Virus. In: Juffrie, M., et al., ed. Buku Ajar
Gastroenterologi-Hepatologi. 3rd ed.Jakarta: IDAI, 285-305.
6. Drug Enforcement Administration, 2013, KRATOM (Mitragyna speciosa
korth.) (Street Names: Thang, Kakuam, Thom, Ketum, Biak), Office of
Diversion Control, Drug & Chemical Evaluation Section.
7. Kharde, M. N., Wabale, A. S., Adhav, R. M., Jadhav, B. D., Wabale, A.
M., dan Pandey, M. 2010. Effect of Plant Extracts on the Fungal
Pathogen Causing Leaf Blight of Tomato in in.
8. Kapp, F. G., Hans, H. M., Volker, A., Martin, W., Maren, H. C., 2011,
Intrahepattic Cholestatis Following Abuse of Powdered Kratom
(Mitragyna spesiosa), J. Med.Toxicol,DOI 10.1007/s13181 011-0155-5.
9. Chaturvedi D. 2011. Sesquiterpene : Structural Diversity and Their
Biological Activities. Research Signpost. India.
10. Surendran K, Bhat RM, Boloor R, Nadakishore B, SukumaeD. A clinical
and mycological study of dermatophytic infections. Indian J Dermatol.
2014;59(2):262-7
11. Karuniawati A, Yasmon A, Adriansjah, Budianti A, Kusumaningrum A,
Kiranasari A, et al. Penuntun praktikum mikrobiologi kedokteran. Jakarta;
Badan penerbit Fakuktas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.

2
12. Tabassum N dan Vidyasagar GM. Antimicrobial activity of medical oil
plants againts human pathogens from hyderabad karnataka region. Int J
Pharm Sci. 2014; 32: 182-8.
13. National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS), Method
for Antifungal Disk Diffusion Susceptibility Testing of Yeasts:Proposed
Guideline M44-A, 24(15),Pennsylvaneia: National Committee for Clinical
Laboratory Standards,2003
14. Rippon, Jhon W. Medical Mycology The Pathogenic Fungi and The
Pathogenic Actinomycetes. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1974
15. Brooks, G. F., Butel, J. S., Morse S., A.,2001, Jawetz, Melnick and
Adelberg, Medical Microbiology, 22nd Ed., 195-196, Appleton Lange,
USA
16. Rippon JW. Cutaneous infections. Dermatophytosis and
Dermatomycosis. In:Medical Mycology.3thed.Philadelphia: WB
Saunders,1988. p.169-275.
17. Pratiwi. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta
18. Ronald, A. Sacher. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
19. Aisyah, Diana N, Sari R. Uji aktivitas antijamur ekstrak etanol eleutherine
Americana. merr. terhadap Malassezia furfur secara in vitro, 2018.
20. Niewerth, M. Korting, H. C. 2000. The use of systemic antimycotics
indermatotherapyEuropean Journal Of Dermatology. Vol. 10, Number 2.
p:1028-1223.
21. Janik MP, Heffernan MP. Yeast infection: candidiasis, pityriasis (tinea)
versicolor. Dalam: IM Freedberg, AZ Eizen, K Wollf, KF Austen, LK
Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, penyunting.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke -7. New York:
McGraw Hill Medical; 2008. h.1822-30.
22. Crespo-Erchiga V, Florencio VD. Malassezia yeast and Pityriasis
versicolor. Curr Opin Infect Dis. 2006; 19:139-47.

2
23. Gupta AK, Bluhm R, Summerbel R, Pityriasis versicolor. J Eur Acad
Dermatol. 2002; 16: 19-33.
24. Rojas FD, de los Ángeles Sosa M, Fernández MS, Cattana ME, Alegre
LR, Giusiano GE, et al. Antifungal susceptibility testing of Malassezia
yeast: comparison of two different methodologies. Mycoses.
2017;60(2):104–11.
25. Pelczar MJ dan Chan ECS. Dasar-dasar Mikrobiologi. Hadioetomo RS
(alih bahasa). Jakarta:UI Press;2005
26. Citra D. UJI DAYA HAMBAT EKSTRAK PAKU POHON (Cyathea
contaminans (Hook.) Copel. ) TERHADAP JAMUR Microsporum
gypseum SECARA In Vitro [Skripsi] : Universitas Sumatera Utara 2013
27. Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi 1. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 8-9, 11-12.
28. Rabani, Farah D, Mulfihati. Penghambatan pertumbuhan jamur
Schizophyllum commune Fries oleh ekstrak etanol daun kratom
(Mitragyna speciosa Korth). Jurnal Hutan Lestari. 2017;5(3):831-9.
29. Warner, M. L., Kaufman, N. C., & Grundmann, O. (2015). Review: The
pharmacology and toxicology of kratom : from traditional herb to drug of
abuse. International Journal of Legal Medicine, 130(1), 127–138.
30. Singh M, Jha A, Kumar A. Influence of the solvents on the extraction of
major phenolic compounds ( punicalagin , ellagic acid and gallic acid )
and their antioxidant activities in pomegranate aril.
2014;51(September):2070– 7.
31. Naumann HD, Tedeschi LO, Zeller WE, Huntley NF. The role of
condensed tannins in ruminant animal production : advances , limitations
and future directions. R Bras. 2017;46(12):929–49.
32. Seleem, D., Pardi, V., Murata, R.M., 2017. Review of flavonoids: A
diverse group of natural compounds with anti-Candida albicans activity in
vitro. Arch. Oral Biol. 76, 76–83.

2
33. Uzel, A., Sorkun, K., Onçağ, O., Cogŭlu, D., Gençay, O., Salih, B., 2005.
Chemical compositions and antimicrobial activities of four different
Anatolian propolis samples.Microbiol. Res. 160, 189–195.
34. Panche, A.N., Diwan, A.D., Chandra, S.R., 2016. Flavonoids: an overview.
J. Nutr. Sci. 5, e47
35. Wang, T., Li, Q., Bi, K., 2018. Bioactive flavonoids in medicinal plants:
Structure, activity and biological fate. Asian J. Pharm. Sci. 13, 12–23.
36. Cushnie TP dan LambAJ. Antimicrobial activity of flavonoids.
International Journal of Antimicrobial Agents.2005;26(5): 343-56.
37. Lim SH, Darah I, JainK. Antimicrobial activities of tannins extracted
from Rhizophora apiculata Barks. Journal of Tropical Forest Science.
2006;18(1): 59-65
38. Gandjar, Indrawati & Wellyzar Sjamsuridzal. 2006. Mikologi Dasar dan
Terapan.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai