PEMBAHASAN
A. KONSTITUSI DAN TATA PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
1. Pengertian Konstitusi
Terdapat dua istilah terkait dengan Norma atau ketentuan dasar
dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Kedua istilah ini
adalah konstitusi dan Undang-Undang Dasar. Konstitusi berasal dari
bahasa Perancis, constituer, yang berarti membentuk. Maksud dari
istilah ini ialah pembentukan, penyusunan, atau pernyataan akan
suatu Negara. Dalam bahasa Latin, kata Konstitusi merupakan
gabungan dua kata, yakni cume, berarti “ bersama dengan”, dan
statuere, berarti “ membuat sesuatu agar berdiri “ atau “
Mendirikan, menetapkan sesuatu “. Adapun undang-undang dasar
merupakan terjemahan dari istilah Belanda, Grondwet. Kata Grond
berarti tanah atau dasar, dan Wet berarti undang-undang.
Istilah konstitusi (constitution) dalam bahasa inggris memiliki
makna yang lebih luas dari UUD, yakni keseluruhan dari peraturan-
peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Konstitusi menurut
Miriam Budiardjo, adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita
bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa.1
Sedangkan menurut Sir Jhon Laws, konstitusi adalah sebuah bagian
dari aturan hukum yang mengatur mengenai hubungan dalam
sebuah Negara antara yang mengatur dan yang diatur. Sedangkan
menurut Bogdanor V. Finer dan B. Rudder, Konstitusi adalah aturan
norma-norma yang mengatur Alokasi kekuasaan, fungsi, dan tugas
dari berbagai lembaga dan petugas pemerintahan serta mengatur
mengenai hubungan antara lembaga dan petugas tersebut dengan
masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa Undang-udang dasar suatu Negara
ialah hanya sebagian dari hukum dasar Negara itu, undang-undang
dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disampingnya
UUD itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-
aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis.2
1
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi, HAM,
dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), hlm. 94
2
Feri Amsari, Perubahan UUD 1945, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.14-15
B. LAHIRNYA UUD 1945
Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum, tentu saja
Indonesia memiliki suatu konstitusi. Konstitusi yang dikenal di
Indonesia dikenal dengan UUD 1945. Eksistensi UUD 1945 sebagai
konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangat panjang hingga
akhirnya diterima oleh seluruh rakyat sebagai landasan Hukum bagi
pelaksanaan kenegaraan di Indonesia.3
Undang-undang Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai
16 Juli 1945 oleh badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang dikenal
dengan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang beranggotakan 62 orang,
diketahui Mr. Radjiman Widyodiningrat. Tugas pokok badan ini ialah
menyusun rancangan UUD. Namun dalam praktik persidangan nya
berjalan berkepanjangan, khususnya pada saat membhas masalah
dasar Negara.
Di akhir siding I, BPUPKI berhasil membentuk panitia kecil yang
disebut dengan panitia Sembilan. Panitia ini pada 22 Juni 1945 berhasil
mencapai kompromi untuk menyetujui sebuah naskah mukadimah
UUD. Hasil panitia 9 ini kemudian diterima dalam sidang II BPUPKI
tanggal 11 Juli 1945. Setelah itu Soekarno membentuk panitia kecil
pada tanggal 16 Juli 1945 yang diketuai Oleh Soepomo dengan tugas
meyusun rancangan UUD dan membentuk panitia untuk
mempersiapkan Kemerdekaan, yaitu panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).
Keanggotaan PPKI berjumlah 21 orang dengan ketua Ir. Soekarno
dan Moh. Hatta sebagai Wakilnya. Para anggota PPKI antara lain Mr.
Radjiman Wedyodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Otto
Iskandardinata, Pangeran Purbowo, Pangeran Soerjohamidjojo,
Soetarjo Kartohamidjojo, Prof. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap
Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir ( Sumatera), Mr. AbdulAbbas
(Sumatera), Dr. Ratu Langi, Andi Pangerang ( keduanya dari Sulawesi),
Mr. Latuharhari, Mr. Pudja (Bali), AH. Hamidan ( Kalimantan), R. P.
Soeroso, Abdul Wachid Hasyim, dan Mr. Mohammad Hassan
(sumatera).
UUD 1945 sering disebut dengan “UUD Proklamasi”. Dikatakan
demikiankarena kemunculannya bersamaan dengan lahirnya Negara
Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan RI, 17Agustus 1945. Fakta
sejarah menunjukkan bahwa pergulatan pemikiran, khususnya
3
pengaturan HAM dalam konstitusi begitu intens terjadi dalam
persidangan BPUPKI dan PPKI.
Satu hal menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalah hokum
dasar tertulis yang didalamnya memuat hak-hak dasar manusia
Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar pula, namun
istilah perkataan HAM itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD
1945, baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya.
Yang ditemukan bukanlah HAM tetapi hanyalah hak dan kewajiban
warga Negara(HAW).
5
Maulana Arafat Lubis, Pembelajaran PPKn di SD/MI Kelas Rendah, (Bandung,2019),hlm.73-75
Penulis sendiri berpendapat sama dengan ketiga petinggi negara
dalam bidang hukum itu bahwa perubahan UUD 1945 sudah sah baik
dilihat dari sudut historis dan filsofis maupun dari sudut yuridisnya.
1. Fakta Historis
UUD 1945 disahkan oleh PPKI pada hari yang sama dengan
pengangkatan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil
Presiden, yakni 18 Agustus 1945, tetapi UUD tersebut tak pernah
dimasukkan di dalam LN. UUD 1945 baru dimasukkan di dalam
BERITA Negara (BN) pada 15 Februari 1946, yakni dengan
menempatkannya di dalam BN No. 7 Tahun II, 1946.
Konstitusi Negara Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949 yang
tetap mempertahankan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan
Wapres juga berlaku tanpa pernah dimasukkan di dalam LN tetapi
toh keabsahan mereka secara konstitusional tak pernah
dipersoalkan.
2. Ketentuan Yuridis
Secara yuridis tak ada satu pun peraturan perundang-undangan
yang mengharuskan dimasukkannya UUD di dalam LN. Peraturan
No. 1 Tahun 1945 yang dikeluarkan 16 Oktober 1945 hanya
menyebut UU dan Perpres yang dimasukkan di dalam Berita
Negara (BN). Dengan demikian, penempatan UUD 1945 di dalam
BN itu pun bukan kewajiban hukum, bukan pemberlakuan
(promulgation), melainkan kreasi pemerintah untuk sekadar
publikasi (publication).
3. Landasan Filsofis
Dari sudut filosofis pun tak ada logika untuk mengharuskan UUD
ditempatkan di dalam LN. Perintah penempatan di dalam LN ini
adalah tradisi hukum Eropa Kontinental yang berpatokan pada
legisme. Di dalam pandangan ini peraturan perundang-undangan
yang bersifat “normatif”, yakni yang memuat perintah dan
larangan yang disertai ancaman “sanksi hukum” harus
ditempatkan di dalam LN sesuai dengan asas “fictie”. Asas ini
mengasumsikan, setiap orang dianggap tahu hukum dan diancam
sanksi hukum jika sebuah peraturan sudah ditempatkan di dalam
LN.
Karena masih merupakan hukum dasar dan himpunan asas-
asas maka UUD tak perlu dimasukkan di dalam LN sebab ia
belum diturunkan dalam bentuk norma yang disertai ancaman
sanksi hukum. Pelanggaran atas konstitusi hanya dapat dihukum
dengan sanksi politik, sedangkan pelanggaran atas isi konstitusi
hanya dapat dihukum jika isi konstitusi itu sudah diturunkan ke
dalam bentuk norma yang disertai ancaman sanksi hukum.
4. Belum Sempurna
Perbandingan UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen
diatas menegaskan pandangan atau penilaian penulis bahwa UUD
1945 hasil amandemen sudah jauh lebih baik dibandingkan
dengan UUD 1945 yang asli, baik dalam konsep dasarnya
maupun dalam kenyataan praktisnya. Krisis-krisis yang sekarang
muncul, apalagi berbagai bencana yang muncul secara beruntun,
tidaklah ada kaitannya dengan perubahan konstitusi. Ini perlu
ditegaskan karena masih sering kita mendengar pernyataan-
pernyataan yang manipulatif bahwa bangsa ini dilanda krisis dan
berbagai bencana karana kita mengkhianati para pendiri negara
dengan mengamandemen UUD 1945.