Anda di halaman 1dari 144

IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA

ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000

TESIS

Oleh

KIKI AMELIA
077009012/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA
ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar Magister


Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara

Oleh

KIKI AMELIA
077009012/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Judul Tesis : IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA
ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000
Nama Mahasiswa : Kiki Amelia
Nomor Pokok : 077009012
Program Studi : Linguistik
Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui,

Komisi Pembimbing,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.)


Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)

Tanggal lulus: 30 Juni 2009

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Telah diuji pada
Tanggal 30 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D


Anggota : 1. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
2. Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S.
3. Dra. Pujiati, Ph.D

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
ABSTRAK

Ideologi feminisme merupakan ideologi yang sudah berkembang di berbagai


belahan dunia, temasuk di Indonesia. Ideologi ini juga telah memasuki ruang-ruang
kehidupan, tidak terkecuali dalam karya sastra.
Penelitian tesis ini membicarakan ideologi yang terdapat dalam karya sastra
Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 serta berbagai faktor yang melatarbelakangi
pergeseran ideologi tersebut. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
teori analisis wacana kritis dan kritik sastra feminis. Adapun metode penelitian
digunakan metode kualitatif.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ideologi feminisme dalam karya sastra
tersebut meliputi tindakan tokoh perempuan, konteks, historis, kekuasaan, dan
ideologi. Sedangkan faktor pendidikan, status sosial ekonomi, politik, budaya, serta
agama ditemukan menjadi faktor-faktor yang melatarbelakangi pergeseran ideologi
feminisme tersebut.

Kata Kunci: ideologi feminisme, Angkatan 1970, dan Angkatan 2000.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
ABSTRACT

The feminism ideology was developing in all parts of the world including
Indonesia. This Ideology has penetrated the aspects of life, including the literary
works.
This thesis deals with the ideology contained in literary works of 1970 and
2000 and some factors underlying the ideological shifts. The theory used in this
reseach was critical discourse analysis and feminist literary criticism. This research
method used the qualitative method.
The results of research indicates that feminism ideology in literary works
include the figures of women, context, history, power, and ideology. However the
factors of education, socioeconomic status, political, cultural and religion have been
found to be factors underlying the feminism ideology shifts.

Key words: the feminism ideology, literary works of 1970, and literary works of 2000.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada


Tuhan sekalian alam, Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya
tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan shalawat dan salam kepada
Nabi Muhammad SAW. Tesis ini berjudul Ideologi Feminisme dalam Karya Sastra
Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk
mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik, Konsentrasi
Analisis Wacana Kesusasteraan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Tidak lupa penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D selaku pembimbing I yang selalu memberikan
masukan berharga dan juga kepada Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si yang
telah bersedia menjadi pembimbing II yang selalu sabar dan telaten dalam
membimbing penyusunan tesis ini.
Dalam penulisan tesis ini, penulis menyatakan bertanggung jawab atas isi
yang terdapat di dalamnya serta dengan tangan terbuka menerima kritik, saran, dan
berbagai masukan yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, semoga tesis ini
bermanfaat bagi kita semua.

Penulis,

Kiki Amelia
077009012

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah karena atas karunia-Nya serta bantuan
dari berbagai pihak akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A (K) selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara Medan.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana.
3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing I
yang telah banyak memberikan masukan dan nasihat yang berharga bagi penilis.
4. Bapak Drs. Umar Mono, M. Hum. selaku Sekretaris Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana yang selalu memberikan kemudahan dan masukan-masukan
berharga.
5. Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si selaku pembimbing II yang selalu
menyediakan waktu, meminjamkan bahan-bahan rujukan untuk penyusunan tesis,
serta memberikan kritik dan saran yang berarti selama proses penyusunan tesis
ini.
6. Bapak Rabullah, S.H. selaku staf di Program Studi Linguistik Universitas
Sumatera Utara yang selalu membantu penulis dalam urusan administrasi.
7. Seluruh dosen pada Program Studi Linguistik Konsentrasi Analisis Wacana
Kesusasteraan yang telah memberikan ilmu yang berguna selama masa perkuliah
berlangsung.
8. Ayahanda tersayang, Alm. Ahmad Fuad dan Ibunda tercinta, Hj. Nazad Farida
yang selalu memberikan dukungan serta telah banyak berkorban demi penulis.
Kepada ayah dan ibu pula tesis ini penulis persembahkan.
9. Saudara-saudara yang sangat penulis kasihi, Kakanda Syahril Fuad beserta kak
Eby Suryani Rizki dan Kakanda Harun Al Rasyid beserta kak Maimuni Astuti.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Kepada para keponakan yang lucu-lucu, Nadia Shafira Fuad, Hafidza Yumna Al
Khansa, M. Gibran Al Fathir, dan Syaamil Al Rasyid.
10. Teristimewa untuk suami terkasih, Irsan Bastari, S.T. sang belahan jiwa yang
selalu memberikan cinta dan kasih sayang tulus serta dukungan bagi penulis yang
menjadikan hidup lebih berarti.
11. Sahabat-sahabat mahasiswa Program Studi Linguistik Angkatan 2007, Muharrina,
Kak Rosliani, Kak Zuraidah, Putri Nst., Kak Lela, Kak Kamalia, Halimah, Nur
Chalida, Andi, Muhajir, Yeni, Juli, Bu Roswani, Bu Rosita, Bu Erma, Kak Tina,
Bang Rahmat, Bang Rudi, Bang Ramlan, Bang Elisten, Bang Yunus, Bang Kadir,
Pak Jamorlan, Pak Amhar, dan Pak Gustaf.
12. Seluruh staf di Program Studi Liguistik, Kak Nila, Kak Karyani, Puput yang
selalu membantu para mahasiswa dalam berbagai urusan.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak
disebut namanya namun turut membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Medan, Juli 2009


Penulis,

Kiki Amelia
077009012

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
RIWAYAT HIDUP

Nama : Kiki Amelia


Tempat/Tanggal Lahir : Tanjungbalai/05 Maret 1981
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Hobi : Membaca, mendengarkan musik
Nama Orangtua : Alm. Ahmad Fuad.
Alamat : Jl. Jamin Ginting Gg. Sarmin No. 57, Medan
No. Telepon : 08126309466
Pekerjaan : Staf pengajar SMA Dr. Wahidin Sudirohusodo,
Medan.

RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun 1987-1994 : SD Negeri 14, Tanjungbalai
Tahun 1994-1996 : SMP Negeri 1, Tanjungbalai
Tahun 1996-1999 : SMA Negeri 1, Tanjungbalai
Tahun 1999-2003 : S1 Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, USU,
Medan.
Tahun 2004-2005 : Akta IV, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNIMED,
Medan.
Tahun 2007-2009 : S2 Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana
USU.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
UCAPAN TERIMA KASIH.................................................................................. iv
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 10
1.3 Batasan Masalah ............................................................................... 11
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................. 12
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................. 12
1.5.1 Manfaat Teoretis .................................................................... 12
1.5.2 Manfaat Praktis ..................................................................... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI................ 14


2.1 Kajian Pustaka ................................................................................... 14
2.2 Konsep ............................................................................................... 16
2.2.1 Ideologi Feminisme.................................................................. 16
2.2.2 Angkatan Sastra ...................................................................... 22
2.2.3 Novel ....................................................................................... 27
2.3 Landasan Teori ................................................................................... 28
2.3.1 Teori Analisis Wacana Kritis .................................................... 29
2.3.2 Teori Kritik Sastra Feminis ...................................................... 32

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 35
3.1 Metodologi ........................................................................................ 35
3.2 Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 35
3.3 Teknik Analisis Data .......................................................................... 36
3.4 Teknik Penyajian Analisis Data ......................................................... 37
3.5 Sumber Data ...................................................................................... 38

BAB IV IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN


1970 DAN ANGKATAN 2000 ............................................................. 40
4.1 Tindakan ............................................................................................ 40
4.2 Konteks ............................................................................................... 53
4.3 Historis ................................................................................................ 62
4.4 Kekuasaan ........................................................................................... 73
4.5 Ideologi ............................................................................................... 84

BAB V FAKTOR-FAKTOR PERGESERAN IDEOLOGI FEMINISME


DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN
2000........................................................................................................ 104
5.1 Faktor Pendidikan ............................................................................... 104
5.2 Faktor Status Sosial Ekonomi ............................................................. 109
5.3 Faktor Politik (Kekuasaan) ................................................................. 111
5.4 Faktor Budaya ..................................................................................... 113
5.5 Faktor Agama...................................................................................... 116

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN................................................................... 124


6.1 Simpulan ............................................................................................. 124
6.2 Saran.................................................................................................... 126

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 128

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
DAFTAR TABEL

No Judul Halaman
1. Tindakan Tokoh-Tokoh Perempuan .......................................................... 49
2. Konteks yang Memengaruhi ..................................................................... 59
3. Konteks Historis ........................................................................................ 71
4. Aspek Kekuasaan ...................................................................................... 82
5. Tipologi Ideologi Feminisme .................................................................... 100
6. Faktor-Faktor Pergeseran Ideologi Feminisme ......................................... 119

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu karya sastra pada dasarnya merupakan hasil pemikiran dan perenungan

pengarang terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di dunia nyata. Tentu saja karya

sastra yang dihasilkan tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial budaya yang

melatarbelakanginya. Sebagai anggota masyarakat, pengarang tentu memiliki

pendapat tersendiri mengenai situasi dan masalah yang terjadi di lingkungannya.

Berbagai pendapat dan pengalaman tentang kehidupan kemudian dimaknai lalu

dituangkan dalam bentuk karya sastra yang tentunya sudah dibumbui dengan

peristiwa imajinatif dan kreatif dari sang pengarang.

Pencerapan keadaan sosial melalui karya sastra merupakan hal yang harus

diperhatikan pengarang, sebab ia menulis sebuah tulisan yang diciptakan berdasarkan

peristiwa faktual kemudian digubah ke dalam bentuk yang bersifat imajinasi. Hal ini

sesuai dengan fungsi karya sastra yaitu berguna dan memberikan hiburan bagi

pembaca (utile dan dulce).

Begitupun ketika di berbagai belahan dunia terjadi arus gelombang

perlawanan, khususnya ketika terjadi pemberontakan terhadap sistem patriarki yang

dipelopori kaum feminis ramai dibicarakan. Tidak mengherankan sejak masa

kelahirannya hingga kini, pembicaraan mengenai wacana perempuan seolah tidak

pernah habis digali. Dalam berbagai wilayah kehidupan baik sosial, politik, ekonomi,

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
agama, maupun budaya, posisi perempuan selalu dan masih saja dimarjinalkan

dibawah dominasi superioritas kaum laki-laki. Kondisi yang telah mapan inilah yang

hendak diubah oleh para aktivis perempuan yang merasa peduli dengan nasib kaum

sesamanya yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme.

Feminisme muncul sebagai upaya perlawanan dan pemberontakan atas

berbagai kontrol dan dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang

dilakukan selama berabad-berabad lamanya. Gerakan feminisme ini pada awalnya

berasal dari asumsi yang selama ini dipahami bahwa perempuan bisa ditindas dan

dieksploitasi dan dianggap makluk kelas dua. Maka feminisme diyakini merupakan

langkah untuk mengakhiri penindasan tersebut (Fakih, 2004:99).

Asal pemikiran feminisme ini sebenarnya berasal dari Prancis, yaitu ketika

terjadi revolusi Prancis dan masa pencerahan di Eropa Barat. Berbagai perubahan

sosial besar-besaran tersebut turut pula memunculkan argumen-argumen politik

maupun moral. Hal ini berdampak pada pemutusan ikatan-ikatan dan norma-norma

tradisional (Ollenburger dan Helen, 2002: 21). Meskipun pemikiran feminisme ini

bersumber dari negeri menara Eiffel tersebut, namun gerakannya sangat gencar

dilakukan di Amerika. Feminisme sebenarnya diakibatkan ketidakpuasan kaum

perempuan terhadap sistem patriarki yang dirasakan telah lama menindas hak-hak

perempuan.

Pada tahun 1776 ketika Amerika memproklamasikan kemerdekaannya, telah

menyebut “all men are created equal”. Padahal masyarakat dunia telah menjadikan

Amerika sebagai barometer keadilan dan kebebasan hak asasi manusia. Mereka selalu

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
mendengung-dengungkan persamaan derajat di antara manusia, namun sayangnya hal

tersebut tidak dialami oleh kaum perempuan. Hal yang sama berlaku pula pada

masyarakat yang berkulit hitam. Masyarakat kulit putih sangat memandang rendah

kaum kulit hitam yang kebanyakan imigran dari Afrika.

Deklarasi yang telah diproklamasikan tersebut mengakibatkan kekecewaan

dan kemarahan dari kaum perempuan yang merasa tidak dihargai (Sikana, 2007:

321). Untuk menandingi deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya, maka pada

tahun 1848 kaum feminis menyebut “all men and women are created equal”. Kalimat

tersebut dapat dikatakan versi lain dari deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya

yang dirasakan tidak adil oleh kaum perempuan (Djajanegara, 2000:1). Selain itu ada

juga yang lebih menekankan bahwa gerakan feminisme lebih pada gerakan politik

seperti yang dinyatakan oleh Moi (1991: 204), “Feminism are political labels

indicating support for the aims of the new women’s movement…” (“Feminisme

merupakan gerakan yang bemuatan politis yang menunjukkan dukungan untuk tujuan

pergerakan perempuan yang baru…”).

Menurut Djajanegara (2000: 1-4), ada beberapa aspek yang turut

memengaruhi terjadinya gerakan feminisme, yaitu aspek politik seperti yang telah

disebut sebelumnya, yaitu ketika kaum perempuan merasa tidak dianggap oleh

pemerintah. Begitu pula tatkala kepentingan-kepentingan kaum perempuan yang

berkaitan dengan politik diabaikan. Lalu ada pula aspek agama serta aspek ideologi.

Dari aspek agama disebutkan bahwa kaum feminis menuding pihak gereja

bertanggung jawab atas doktrin-doktrin yang menyebabkan posisi perempuan di

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
bawah hegemoni kaum laki-laki. Ajaran gereja juga berpendapat bahwa kaum

perempuan mewarisi Original Sin atau dikenal dengan Dosa Turunan yang

menyebabkan manusia terusir dari surga hingga terlempar ke bumi. Bahkan kaum

Yahudi kuno secara lugas selalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena

tidak dilahirkan sebagai seorang perempuan (Sikana, 2007: 321).

Aspek ketiga yang memengaruhi gerakan feminisme yaitu aspek ideologi.

Konsep di kalangan sosialisme menunjukkan adanya stratifikasi jender yang juga

menjadi ciri khas masyarakat patriarkis. Perempuan mewakili kaum proletar atau

kaum tertindas, sedangkan laki-laki disamakan dengan kaum borjuis atau kelas

penindas. Selain itu dalam konsep sosialisme ini, perempuan dianggap tidak memiliki

nilai ekonomis karena pekerjaan mereka hanya mengurus urusan domestik rumah

tangga.

Pemikiran tentang gerakan pembebasan perempuan ini turut pula berimbas

pada berbagai ranah kehidupan sosial, politik, budaya, dan termasuk karya sastra

yang notabene merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi

karena sebuah karya sastra bisa dikatakan wadah untuk menanggapi berbagai

peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata yang sekaligus sebagai kritik

sosial dari sang pengarang. Seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin (1989:

109), “… sastra menyajikan kehidupan, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari

kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan subjektif manusia”.

Dalam karya sastra dunia telah diketahui bahwa banyak tokoh yang

menggunakan media sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
yang selama ini dirasa telah mengungkung keberadaan perempuan di berbagai aspek

kehidupan. Sebut saja Virginia Woolf seorang pengkritik sekaligus penulis yang

selalu menuliskan karya-karya yang beraroma feminis. Salah satu karyanya berjudul

A Room of One’s Own yang berbicara tentang perang dan perasaan perempuan

(Arivia, 2006:164). Perempuan lain seperti Alice Walker, penulis feminis kulit hitam

pemenang Pulitzer Prize yaitu penghargaan di bidang jurnalisme untuk bukunya The

Color Purple. Pesan inti kedua karya ini setali tiga uang bahwa perempuan memiliki

hak dan kebebasan atas dirinya. Orang lain, siapa pun itu, tidak berhak untuk

memaksa perempuan melakukan apa yang tidak diinginkannya.

Demikian pula halnya yang terjadi pada karya sastra Indonesia. Sejak masa

kelahirannya di awal tahun 1920-an atau yang dikenal dengan Angkatan Balai

Pustaka, para pengarang yang didominasi oleh laki-laki banyak menciptakan karya-

karya yang umumnya menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh

perempuan ini selalu mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan

ketidakberdayaan mereka terhadap aturan-aturan tradisi yang telah melekat erat pada

sebagian besar masyarakat di Indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang berujung

pada kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yang mulai menunjukkan

emansipasi perempuan seperti karya Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 1930-an

yaitu pada novel Layar Terkembang yang mulai membangkitkan semangat dengan

menyadarkan para perempuan yang selama ini mengalami ketertindasan.

Memasuki dekade 1970-an pengarang perempuan mulai menjejali ranah

sastra. Kebanyakan dari mereka mulai menulis novel. Hal ini ditandai dengan

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
lahirnya novel-novel yang menghadirkan tokoh–tokoh perempuan yang tidak lagi

digambarkan sebagai makluk yang lemah dan pasrah pada keadaan. Para tokoh

perempuan dituliskan menjadi pribadi yang kuat, memiliki pendirian, bahkan berani

menyuarakan sikapnya meskipun masih terdapat juga penggambaran perempuan yang

bersifat lemah dalam menghadapi berbagai permasalahan. Kemunculan para

pengarang perempuan di tahun 1970-an yang mengusung novel-novel populer tentu

dipengaruhi oleh budaya populer yang berkembang pada waktu itu. Di antara karya-

karya pengarang perempuan yang sangat dikenal pada tahun 1970-an, seperti Karmila

yang diusung Marga T, Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini, Kabut Sutra Ungu yang

ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Aryanti. Di samping itu para pengarang

perempuan lain yang cukup dikenal di tahun 1970-an adalah Titi Said, Titis Basino,

Sariamin, S. Rukiah , La Rose, Maria A. Sarjono, Marianne Katoppo, dan masih

banyak yang lain. Ramainya para pengarang perempuan yang mewarnai khazanah

kesusasteraan Indonesia dikarenakan pemikiran bahwa perempuan tentu lebih

memahami kondisi perasaan yang dialami oleh kaumnya selain tentunya alasan

komersil dan desakan dari penerbit untuk menerbitkan karya-karya mereka. Hal

tersebut dapat dimaklumi sebab pada masa itu masyarakat sangat menyukai karya-

karya mereka karena dirasa lebih menyentuh perasaan perempuan, baik remaja

maupun yang dewasa.

Meskipun di satu sisi pada tahun 1970-an perkembangan sastra Indonesia

digemilangkan karya-karya eksperimental dari sastrawan laki-laki seperti karya-karya

Iwan Simatupang, Putu Wijaya maupun Sutardji Calzoum Bachri, namun di sisi lain

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
tidak menyurutkan semangat pengarang perempuan memeriahkan jagat kesusastraan

Indonesia. Terbukti karya-karya pengarang perempuan ini selalu menjadi

pembicaraan di kalangan pembaca, kritikus, dan pengamat sastra terlepas dari

polemik mengenai sastra serius dan sastra populer.

Apabila dibandingkan dengan Angkatan 1970, maka apa yang dilakukan oleh

pengarang perempuan Angkatan 2000 telah mengalami lompatan yang cukup jauh.

Meskipun masih menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan, dalam Angkatan

2000 umumnya pesan ideologi feminisme yang disampaikan tidak sampai

menceramahi dan terkesan memarahi pembaca. Terkadang hanya dengan isyarat

tubuh dan tanpa banyak kata seorang tokoh perempuan dapat dengan mudahnya

mengalahkan laki-laki dalam berbagai bidang, tidak terkecuali dalam hubungan

seksual seperti yang berkembang pada karya sastra sekarang yakni di tahun 2000-an.

Di masa sekarang, khususnya setelah terjadi reformasi pada medio 1998, karya-karya

pengarang perempuan juga lebih berani dan terbuka dalam bersikap.

Perihal seksualitas yang selalu diungkapkan dalam banyak karya sastra

pengarang perempuan Angkatan 2000 menjadi perdebatan hangat di kalangan

sastrawan, kritikus, dan pembaca sastra pada umumnya. Ada yang memaklumi karena

hal tersebut bagian dari kehidupan yang jamak terjadi dalam kehidupan nyata dan

tidak perlu ditutup-tutupi. Sebagian lain kurang menyetujui karena dianggap karya-

karya yang vulgar dengan mengatasnamakan seni. Ayu Utami dan Djenar Maesa

Ayu, misalnya. Mereka contoh para pengarang perempuan dari Angkatan 2000 yang

selalu merepresentasikan kehidupan seksualitas tokoh-tokohnya. Permasalahan yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
berbau seksualitas yang terkadang dilukiskan secara gamblang dan tanpa tedeng

aling-aling sebenarnya hanya salah satu dari sekian banyak masalah yang ingin

disampaikan para penulis feminis.

Permasalahan kehidupan sosial, politik, dan budaya sepertinya juga ingin

dikemukakan oleh mereka, sebut saja Helvy Tiana Rosa, misalnya. Pengarang yang

juga termasuk dalam sastrawan Angkatan 2000 ini sangat menjaga jarak dengan

tema-tema seputar aktivitas seksualitas seperti yang banyak ditulis oleh pengarang-

pengarang perempuan masa kini. Sebaliknya Helvy selalu menampilkan tokoh-tokoh

perempuan dari berbagai belahan dunia yang berjiwa kuat, relijius, dan tegar dalam

menghadapi berbagai cobaan kehidupan. Contohnya seperti yang banyak diutarakan

dalam kumpulan cerpennya Lelaki Kabut dan Boneka. Begitupun dengan pengarang

lain, seperti Abidah El Khalieqy. Pengarang yang juga mantan santriwati pada salah

satu pesantren di Jawa Timur ini banyak menciptakan tokoh-tokoh perempuan yang

berjiwa pemberani dan pemberontak terhadap aturan-aturan yang dirasakan tidak adil

bagi perempuan serta tidak ingin kaum perempuan menjadi makluk yang pasrah

terhadap keadaan yang menimpa yang mengakibatkan mereka menjadi kaum yang

terpinggirkan.

Hal ini tentu agak berbeda jika mengamati karya-karya pengarang perempuan

pada Angkatan 1970. Perbedaan itu dikarenakan telah terjadi pergeseran konsep

ideologi feminisme yang terjadi di antara kedua angkatan tersebut. Kalimat-kalimat

yang digunakan pengarang dalam karya-karya kedua angkatan yang berbeda beberapa

dekade itu menjadi salah satu pergeseran nilai yang terjadi. Pola pemikiran yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
semakin maju dan mengglobal dari para pengarang perempuan turut memengaruhi

mereka dalam memilih dan menggunakan kata demi kata serta kalimat demi kalimat.

Bahasa perempuan yang diutarakan tentu memiliki nuansa yang berbeda dengan apa

yang dibahasakan oleh pengarang laki-laki. Bahkan penulis perempuan Virginia

Woolf melalui Arivia, (2006:113) mengatakan, “Kalimat-kalimat perempuan

berbeda dengan kalimat laki-laki”. Kalimat perempuan lebih mencerminkan

konservatisme, prestise, mobilitas, keterkaitan, sensitivitas, solidaritas, dan sejenisnya

(Sinar, 2004: 3).

Seiring dengan arus globalisasi dunia di samping pendidikan pengarang

perempuan masa kini yang semakin tinggi membuat para pengarang perempuan

tersebut semakin maju pola pikirnya. Tentu saja hal tersebut turut memengaruhi cara

mereka menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Karya-karya mereka menurut

banyak kalangan pemerhati sastra, dirasakan telah berhasil mendobrak

keterkungkungan perempuan dan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya

bahasa yang digunakan. Mengenai penggambaran seksualitas yang demikian terbuka,

mengindikasikan kekuatan yang ingin ditampilkan oleh para pengarang perempuan

tersebut. Hal tersebut juga bisa dilihat dari kehidupan nyata. Sangat banyak kaum

laki-laki takluk dan tidak berdaya menahan godaaan dan bisikan dari kaum

perempuan. Meski banyak mendapatkan kritikan dari pengamat sastra karena banyak

mendeskripsikan aktivitas seksualitas, tidak membuat para pengarang feminis ini risih

karena mereka beranggapan bahwa hal tersebut sebenarnya merupakan simbol

kedigdayaan perempuan.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Hal yang menyebabkan pergeseran ideologi feminisme antara kedua angkatan

tersebut di antaranya karena perjuangan kaum perempuan masa kini yang ingin

benar-benar dihargai sebagai perempuan dan tidak ingin dijadikan makluk kelas dua

yang terpinggirkan. Mereka memiliki kemampuan untuk mandiri meski terkadang

tanpa ada dukungan dari laki-laki. Agak berbeda jika dibandingkan dengan pemikiran

dan perjuangan kaum feminis di tahun 1970-an yang belum seterbuka dan seberani

kaum feminis sekarang.

Mengingat telah terjadi pergeseran ideologi feminisme pada karya sastra

Angkatan 1970 dan Angkatan 2000, maka penulis mencoba untuk mengkaji masalah

yang berkaitan dengan hal yang telah disebutkan di atas. Dalam penelitian ini penulis

akan meneliti ideologi feminisme khususnya karya-karya pengarang perempuan pada

Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

1.2 Rumusan Masalah

Secara garis besar pemasalahan yang ingin dikemukakan dalam penelitian ini

adalah idelogi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan 1970 dan

Angkatan 2000. Adapun masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah ideologi feminisme yang terdapat dalam karya sastra

Angkatan 1970 dan Angkatan 2000?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep

ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000?

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
1.3 Batasan Masalah

Mengingat begitu banyak karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000,

maka permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini dibatasi hanya ideologi

feminisme dalam karya-karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 yang ditulis

oleh pengarang perempuan. Karya-karya sastra tersebut berbentuk karya sastra prosa,

yaitu novel.

Adapun judul-judul novel yang mewakili Angkatan 1970 adalah:

1. Karmila karya Marga T.

2. Bukan Impian Semusim (BIS) karya Marga T.

3. Namaku Hiroko (NH) karya Nh. Dini.

4. Pada Sebuah Kapal (PSK) karya Nh. Dini.

5. Perempuan Kedua (PK) karya Mira W

6. Melati di Musim Kemarau (MdMK) karya Maria A. Sardjono.

Sedangkan judul-judul novel yang dianggap mewakili pengarang perempuan

Angkatan 2000 adalah:

1. Larung karya Ayu Utami

2. Saman karya Ayu Utami

3. Perempuan Berkalung Sorban (PBS) karya Abidah El Khalieqy.

4. Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy.

5. Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) karya Abidah El Khalieqy.

6. Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari

7. Nayla karya Djenar Maesa Ayu.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menguraikan ideologi feminisme yang terdapat dalam karya sastra Angkatan

1970 dan Angkatan 2000.

2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep

ideologi feminisme karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk:

1. Memperkaya kajian yang menerapkan teori analisis wacana kritis dan kritik

sastra feminis dalam karya sastra, khususnya karya sastra pengarang

perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

2. Menjadi model dalam pengungkapan ideologi feminisme dalam karya sastra

serta dapat menjadi referensi bagi penelitian sastra mengenai adanya ideologi

feminisme yang terdapat dalam novel Karmila dan Bukan Impian Semusim

(BIS) karya Marga T, Namaku Hiroko (NH) dan Pada Sebuah Kapal (PSK)

dari Nh. Dini, Perempuan Kedua(PK) karya Mira W serta Melati di Musim

Kemarau (MdMK) dari Maria A. Sardjono yang mewakili Angkatan 1970 dan

novel Larung dan Saman dari Ayu Utami, Perempuan Berkalung Sorban

(PBS) dan Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy, Supernova: Ksatria,

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) dan Supernova: Akar karya Dewi ”Dee”

Lestari, Nayla dari Djenar Maesa Ayu yang mewakili Angkatan 2000.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat pembaca tentang ideologi

feminisme dalam karya sastra pengarang perempuan Angkatan 1970 dan

Angkatan 2000.

2. Sebagai perbandingan dan acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan

dengan ideologi feminisme dalam karya sastra Indonesia, khususnya pada

karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970

dan Angkatan 2000 sepanjang penulis ketahui belum ada. Namun penelitian-

penelitian mengenai feminisme dalam karya sastra cukup sering ditemukan. Di

antaranya adalah (1) Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan pada tahun 2007 secara

bersama-sama pernah mengulas yang mempraktikkan kritik sastra feminis dalam

penelitian mereka terhadap novel Nyai Dasima. Dalam penelitian mereka tersebut

yang ditekankan adalah pemasalahan jender dan perempuan yang menjadi kaum

inferioritas. Adapun judul penelitian tersebut adalah Gender dan Inferioritas

Perempuan: Praktik Kritik Sastra Feminis. (2) Penelitian lain juga pernah dilakukan

oleh Suyono Suratno pada tahun 2000. Beliau mengkaji novel Nh. Dini yang berjudul

La Barka. Judul penelitian yang dipilih Suyono yaitu Ideologi Gender dan Refleksi

Semangat Feminis: Catatan Novel La Barka yang terefleksi di dalam novel tersebut.

Penelitian ini juga melakukan pendekatan kritik sastra feminis. (3) Selain itu

penelitian tentang analisis kritik sastra feminis juga dilakukan oleh Nurelide di tahun

2005. Novel Perempuan di Titik Nol menjadi bahan kajian Nurelide yang bertajuk

Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan dalam Perempuan di Titik Nol (Woman At

Point Zero) Karya Nawal El Saadawi. (4) Penelitian kritik sastra feminis tentang

Citra Dominasi Laki-Laki atas Perempuan dalam Saman pernah pula dilakukan oleh

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Sugihastuti pada tahun 2000. Penelitian ini memfokuskan pada citra atau gambaran

dominasi yang dilakukan laki-laki atas perempuan. Dominasi yang digambarkan

tersebut diimbangi dengan tema penolakan atas dominasi laki-laki tersebut. (5) Jurnal

mengenai kritik sastra feminis lainnya pernah pula dilakukan oleh Muhammad Nur

Latif pada tahun 2006. Pada penelitiannya yang berjudul Analisis Kritik Sastra Arab

Karya Nawal El Sadaawi, dosen jurusan Sastra Asia Barat Universitas Hasanuddin

ini menekankan bahwa fenomena yang terjadi dalam masyarakat, tidak terkecuali

masyarakat Arab yang selalu dituding sering memperlakukan perempuan dengan

tidak adil dan sewenang-wenang dengan dalih ajaran agama. Hal ini sebenarnya

bukanlah bagian dari tuntunan syariat Islam. Islam justru membela dan mengakui

hak-hak perempuan serta memperbaiki kedudukan mereka. (6) Adapun Rahimah Haji

A. Hamid, seorang guru besar sastra di Universitas Sains Malaysia pernah membahas

masalah feminisme dalam karya sastra pada tahun 2007. Jurnal ilmiah tersebut

berjudul Bahasa Wanita dalam Karya Sastra: Tentangan Terhadap Hegemoni Lelaki.

Fokus perhatian dalam jurnal tersebut membandingkan ragam bahasa yang

dipergunakan pengarang perempuan Indonesia yaitu Ayu Utami dalam kedua

novelnya Saman dan Larung dibandingkan dengan ragam bahasa yang dipergunakan

pengarang puisi perempuan Malaysia, Zurinah Hassan.

Berdasarkan beberapa keterangan di atas dapat diketahui bahwa pembicaraan

mengenai feminisme cukup banyak, terlebih pada masa sekarang ketika perempuan-

perempuan dan juga laki-laki sudah banyak yang peduli tentang kondisi kaum

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
perempuan yang masih saja mengalami ketertindasan dan dijadikan objek

ketidakadilan.

2.2 Konsep

2.2.1 Ideologi Feminisme

Secara etimologi ideologi berasal dari bahasa yunani yaitu idea yang diartikan

sebagai cita-cita; gagasan. Sedangkan logos merupakan ilmu. Jadi dapat disimpulkan

bahwa ideologi ilmu tentang gagasan, cita-cita, sistem kepercayaan yang telah

ditentukan secara sosial (Ratna, 2008: 370).

Ideologi sangat berkaitan dengan cara pandang hidup seseorang. Menurut

Sargent dalam Suryadi (2007:63), ideologi didefinisikan sebagai, ”Sistem nilai atau

sistem kepercayaan yang diterima secara nyata atau kebenarannya oleh suatu

kelompok”. Demikian pula Santoso (2003: 39) mengungkapkan bahwa, “Ideologi

dianggap sebagai nilai-nilai/ norma-norma kultural, pengalaman serta kepercayaan

yang dimiliki seseorang dalam melihat fenomena-fenomena sosial di dalam

masyarakatnya”. Masih menurut Santoso (2003:40), untuk melihat berbagai

fenomena sosial, ideologi dapat menumbuhkan bermacam pikiran mengenai

kekuasaan dan dominasi. Apabila suatu kekuasaan ditentang maka ideologi-ideologi

dapat berkembang dalam suatu masyarakat.

Sebuah ideologi sebenarnya bukan hanya menunjuk pada hal-hal yang

dianggap besar dan mapan seperti ideologi Pancasila, ideologi Liberal, ideologi

Sosialis, ideologi Komunis, dan lain-lain, tetapi juga yang terkait dengan

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
permasalahan feminisme, keagamaan, paham filosofis tertentu serta termasuk paham

tertentu yang hanya diyakini oleh individu tersebut.

Pakar sastra yang berdomisili di Bali, Ratna (2008: 448) mendefinisikan

ideologi secara berbeda-beda sesuai dengan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar

ideologi merupakan seperangkat kepercayaan, prinsip tertentu yang mengatur suatu

masyarakat di dalamnya. Pendapat ini menurut Ratna diungkapkan oleh Antoine

Destutt de Tracy pada akhir abad ke 18 kemudian dikembangkan dalam karya-karya

Louiss Althusser. Althusser melalui Ratna (2008: 373) juga menghubungkan ideologi

dengan bahasa, yaitu sebagai representasi. Ideologi kemudian muncul sebagai

representasi suatu masyarakat tertentu. Ideologi tidak hanya sekadar konsep dan

gagasan semata, melainkan meluas pada simbol, misalnya: mitos, gaya hidup, selera,

mode, media massa serta keseluruhan cara-cara hidup dalam masyarakat (Ratna,

2008: 373). Dengan demikian ideologi berfungsi ibarat semen untuk membuat

bangunan yang berfungsi untuk merekatkan dan menyatukan hubungan antarmanusia.

Menurut Fairclough (dalam Jorgensen dan Louise, 2007: 139), ideologi

ditafsirkan sebagai konstruksi makna telah memberikan kontribusi bagi produksi,

reproduksi dan transformasi, dan hubungan-hubungan dominasi. Maksud pernyataan

ini bahwa sebuah ideologi bisa memberikan kontribusi dan upaya untuk

mempertahankan serta mentranformasikan hubungan-hubungan kekuasaan.

Ideologi terbesar dari dahulu hingga masa kini dapat dikatakan terjadinya

dikotomi antara Barat dan Timur serta orientalisme pada umumnya. Implikasinya,

kebudayaan Barat selalu dianggap lebih kuat, tinggi dan bermutu dibandingkan

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dengan hasil cipta dan karsa manusia Timur. Sepertinya masyarakat Timur sudah

mengerti bahwa kebudayaan Barat seperti pergaulan dan seks bebas, kapitalisme,

perlombaan senjata, hegemoni terhadap negara yang lemah dianggap wajar bagi

negara yang sudah maju (Ratna, 2008: 373).

Hubungan ideologi dengan karya sastra tentu tidak bisa dipisahkan satu sama

lain. Di samping bertujuan sebagai hiburan, suatu karya sastra diciptakan karena ada

sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarangnya. Meskipun perlu dicatat bahwa

karya sastra bukanlah media yang resmi untuk mengemukakan ideologi, doktrin, atau

norma-norma. Hal ini tentu disebabkan sifat karya sastra yang imajinatif meski

berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya diambil dari beberapa peristiwa nyata.

Salah satu ideologi yang berkembang di masa sekarang ini adalah feminisme.

Feminisme pada dasarnya merupakan gerakan untuk memartabatkan kaum

perempuan dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Tuntutan dasar

kaum ini sebenarnya adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan

diberbagai sektor kehidupan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ratna (2004:184),

feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang

dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan dikendalikan oleh kebudayaan dominan,

baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial pada umumnya. Hal

yang senada juga dikatakan oleh Arivia (2006: 18) “… feminisme mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang konkret serta mempersoalkan perdebatan jender yang

menyebabkan ketidakadilan sosial”. Hampir senada dengan berbagai pengertian

feminisme di atas, dalam Alwi, dkk (2005: 315), dikatakan bahwa yang dimaksud

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara

kaum wanita dan pria.

Di antara para ahli yang mengategorikan tipologi feminisme, penulis tentu

harus memilih yang paling sesuai dengan penelitian ini. Untuk itu pilihan dijatuhkan

pada pendapat Agger (2003: 215-230). Beliau membagi feminisme dalam empat

jenis, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal atau kultural, feminisme sosialis, dan

feminisme Africana.

Feminisme liberal merupakan jenis gerakan feminisme yang mencoba

memperkuat kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Asumsi dasar

feminisme liberal berdasarkan pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan

kesamaan (equality). Tujuan feminis liberal memperjuangkan persoalan masyarakat,

yaitu menuntut kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu,

termasuk di dalamnya kaum perempuan. Tidak boleh ada perbedaan antara laki-laki

dan perempuan. Menurut pandangan kaum feminisme liberal, keterbelakangan kaum

perempuan dikarenakan kaum ini tidak turut berpartisipasi dalam pembangunan

selain sikap yang juga masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional.

Perlu diperhatikan bahwa penganut feminisme liberal memandang bahwa

pernikahan dan membentuk keluarga merupakan hal yang alami dan wajar. Mereka

tidak membenci keluarga sebagaimana kaum feminis radikal. Homoseksualitas juga

diyakini sebagi bentuk perilaku yang menyimpang dan tidak alami.

Adapun jenis yang kedua adalah feminisme radikal. Feminisme ini

berpandangan bahwa segala penindasan yang terjadi dikarenakan diskriminasi yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dilakukan oleh sistem patriarki. Masa feminisme ini mucul sekitar akhir 1960-an dan

awal 1970-an. Bagi penganut feminisme radikal ideologi patriarki adalah dasar dari

ideologi penindasan. Oleh sebab itu mereka mengkritik keluarga heteroseksis

(perempuan berpasangan dengan laki-laki) yang dituding telah menyumbangkan

penindasan bagi perempuan. Mereka menganggap bahwa perempuan akan terjebak

dengan tanggung jawab dan kewajiban perempuan jika turut dalam heteroseksis

tersebut. Hal ini sekaligus mengupayakan wacana homoseksual sehingga pada masa

ini dikenal adanya orientasi seksual dengan yang sejenis (lesbian).

Jenis feminisme yang selanjutnya disebut dengan feminisme sosialis.

Feminisme jenis ini berpendapat bahwa perempuan tidak akan dapat meraih keadilan

sosial tanpa membubarkan patriarki dan kapitalisme. Feminisme sosialis menekankan

aspek jender dan ekonomis dalam penindasan atas kaum perempuan. Menurut

mereka, selama ini kaum perempuan dianggap menampilkan pelayanan berharga bagi

kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas biaya

pekerjaan domestik mereka.

Feminisme sosialis menggugat sistem kapitalisme yang mengambil

keuntungan dengan menyuruh istri mereka untuk mengasuh anak serta melakukan

berbagai pekerjaan rumah. Selain itu, dunia pekerjaan dalam masyarakat telah

menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dan tentunya dengan

upah yang rendah pula.

Jenis feminisme yang keempat disebut dengan feminisme Africana atau Black

Feminism. Aliran ini muncul dikarenakan ketidakpercayaan pada aliran-aliran

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
feminisme lain. Para feminis kulit hitam keturunan Afrika di Amerika Serikat

berpendapat bahwa masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan kulit hitam jauh

lebih sulit jika dibandingkan persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan kulit

putih. Oleh karena itu mereka mengharapkan adanya perbaikan keadaan diri dari

konsep baru dalam feminisme yang menyentuh kehidupan kelam para perempuan

kulit hitam.

Dalam mengkaji permasalahan feminisme, ada baiknya memahami terlebih

dahulu tentang konsep seks dan konsep jender (Fakih, 2004:7-9). Pengertian seks

atau jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia

yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Jenis

kelamin ini bentuknya permanen dan tidak bisa berubah karena hal tersebut

merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat dari Yang Mahakuasa.

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep jender, yakni sifat yang melekat

pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat secara sosial

dan kultural. Contohnya selama ini perempuan dikenal dengan sifat lemah lembut,

emosional serta keibuan. Di sisi lain laki-laki dianggap kuat, rasional atau perkasa.

Konsep jender ini dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan sifat laki-laki serta

dapat berubah dari waktu ke waktu.

Setelah jelas perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dan jender maka

akan muncul pertanyaan mengapa perbedaan jenis kelamin juga menimbulkan

perbedaan jender? Hal ini tentu akan mengakibatkan ketidakadilan yang ditimbulkan

perbedaan jender dalam masyarakat. Berbagai bentuk ketidakadilan jender yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
bersumber dari sistem patriarki inilah yang menjadi faktor pendorong lahirnya

gerakan feminisme (Fakih, 2004:11-12).

Ketidakadilan yang selalu diterima perempuan dan sering disaksikan dalam

kehidupan nyata, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun

psikologis. Orang yang melakukannya pun selalu orang yang seharusnya menjadi

pelindung dan bertanggung jawab pada perempuan tersebut. Orang-orang dekat

tersebut bisa saja suami, ayah, atau majikan jika ia seorang pekerja rumah tangga.

Contoh lain yang dianggap ketidakadilan untuk perempuan adalah ruang publik yang

masih saja didominasi oleh kaum adam karena pencarian ekonomi dilakukan oleh

mereka dan kalaupun pada masa sekarang ini sudah banyak perempuan yang

beraktivitas di wilayah publik, tetapi selalu saja mendapat perlakuan yang kurang

menyenangkan terutama dari rekan-rekan laki-laki mereka.

2.2.2 Angkatan Sastra

Oleh karena penelitian ini mengkaji masalah ideologi femisme yang dikaitkan

dengan angkatan sastra, maka hal yang perlu pula diperhatikan adalah adanya

berbagai penafsiran beberapa pihak mengenai angkatan sastra. Terlebih dahulu harus

ditinjau kembali pengertian angkatan sastra dari beberapa sastrawan dan pemerhati

sastra. Adapun yang dimaksud dengan angkatan sastra menurut Yudiono (2007: 47)

ialah sekumpulan sastrawan yang hidup pada satu kurun atau masa yang menempati

periode tertentu karena kesamaan atau sekurang-kurangnya memiliki kemiripan ide,

gagasan, atau semangat sebagai akibat logis dari interaksi mereka yang hidup

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
sezaman. Sedangkan menurut Toer, dkk. melalui Yudiono (2007: 170), “Angkatan

adalah suatu golongan yang diikat oleh kesatuan semangat dalam rangkuman tempat,

masa, dan lingkungan yang sama”.

Adapun dari pihak Pradopo, dkk. yang pendapat mereka masih dikutip oleh

Yudiono (2007:170) memandang bahwa angkatan sastra merupakan bagian waktu

yang dibatasi oleh sistem norma kehidupan yang berkaitan dalam proses sejarah.

Sementara Lampan (2000: xxxvii) mengatakan bahwa angkatan sastra sebenarnya

estafet atau penerus pembaruan yang dilahirkan oleh zaman tentang dinamika suatu

zaman.

Menurut Laelasari dan Nurlaila (2006: 34-35), ”Angkatan sastra merupakan

generasi; sekelompok orang sezaman (sepaham dan sebagainya); yang diangkat

(jabatan, pangkat); kelompok sastrawan yang bertindak sebagai suatu kesatuan yang

berpengaruh pada masa tertentu dan secara umum menganut prinsip yang sama untuk

mendasari karya sastra”.

Satu angkatan tidak muncul begitu saja karena hitungan tahun atau dasawarsa.

Suatu angkatan muncul disebabkan ada yang ingin diungkapkan oleh para seniman

dan angkatan yang baru dalam kesenian dengan sendirinya memiliki ciri-ciri khas

yang membedakannya dari angkatan-angkatan sebelumnya (Saini:1993: 240).

Masalah angkatan ini sering juga disamakan dengan periodisasi sastra, namun

periodisasi lebih menekankan pada pembabakan atau periode yang dikuasai oleh

sistem dan norma sastra, standar, serta konvensi sastra yang kemunculannya,

keberagamannya, dan kelenyapannya dapat dirunut. Para pakar sastra mencoba untuk

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
melakukan pembabakan angkatan yang dimulai dengan lahirnya kesusasteraan

Indonesia baru. Di antara yang melakukan hal tersebut sebut saja seperti Pradopo

(dalam Yudiono 2007: 48) yaitu Balai Pustaka (1920-1940), Pujangga Baru (1930-

1945), Angkatan 45 (1940-1955), Angkatan 50 (1950-1970), dan Angkatan 70 (1965-

1984).

Sedangkan secara garis besar Rosidi (1969:13) membagi sejarah

kesusasteraan sebagai berikut.

I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945

dan terbagi lagi atas beberapa periode, yaitu

1. Periode awal hingga 1933

2. Periode 1933-1942

3. Periode 1942-1945

II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa

periode, yaitu

1. Periode 1945-1953

2. Periode 1953-1961

3. Periode 1961-1968.

Pendapat Rachmad Djoko Pradopo dalam Yudiono (2007: 48) mengenai

periodisasi sejarah sastra Indonesia dapat pula dijelaskan sebagai berikut:

1. Periode Balai Pustaka : 1920-1940,

2. Periode Pujangga Baru: 1930-1945,

3. Periode Angkatan ‘45: 1940-1955,

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
4. Periode Angkatan ‘50: 1950-1970, dan

5. Periode Angkatan ‘70: 1965-1984.

Masih menurut Pradopo yang dikutip Yudiono (2007: 49), memasuki

Angkatan 1970 (1965-1984) warna perpolitikan di Indonesia agak bergeser dengan

munculnya sastra-sastra yang lebih “ringan” dibaca atau dikenal dengan istilah sastra

populer dari angkatan-angkatan yang sebelumnya banyak menceritakan masalah

kemasyarakatan ditambah pengaruh-pengaruh dari suasana perpolitikan di Indonesia.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, selain dikenal dengan

bermunculannnya sastra populer, pada Angkatan 1970 ini juga ditandai dengan

lahirnya karya-karya sastra yang eksperimental dan tidak mudah dicerna oleh semua

pembaca. Diperlukan pemahaman serta pemikiran yang mendalam jika ingin

menafsirkan makna yang terkandung di dalam karya-karya sastra tersebut. Para

sastrawan yang terkenal di era 1970-an ini seperti Putu Wijaya, Danarto, Sutardji

Calzoum Bachri, Iwan Simatupang.

Perlu diingat kembali bahwa pada masa itu pihak penguasa sangat mengawasi

kebebasan para seniman Indonesia, tidak terkecuali pada sastrawan. Karya-karya

sastra yang dianggap mengkritik dan berseberangan dengan pemerintah tentu tidak

dibiarkan beredar begitu saja. Jika telanjur beredar, pembredelan dan pemberangusan

tidak akan terelakkan lagi. Oleh sebab itulah dengan caranya sendiri para sastrawan

tersebut ingin mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya tentang kondisi

sosial budaya dan politik pada waktu itu dan tentunya menggunakan kata-kata yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
agak kacau dan penuh simbol supaya selamat dari kecaman penguasa yang tidak

bersedia dikritik.

Jika pada karya-karya sastra eksperimental ala Putu Wijaya, dkk. penuh

dengan simbol dan jungkir balik, maka hal tersebut tidak terjadi dengan karya-karya

pengarang perempuan di masa yang sama. Sebaliknya karya-karya mereka cenderung

mudah dipahami dan tidak sampai mengernyitkan dahi ketika membacanya karena

dalam karya-karya mereka, ceritanya hanya berkisar tentang ragam permasalahan

perempuan dan hal tersebut ternyata disukai pembaca yang umumnya didominasi

kaum perempuan sehingga model-model cerita seperti itu laris manis di pasaran.

Berbanding terbalik dengan karya sastra yang beredar di tahun 1970-an, karya

sastra yang berkembang di masa reformasi, yang ditandai dengan tumbangnya

pemerintahan orde baru, sudah sedemikian bebas dalam bertutur dan dengan beraneka

tema. Sastrawan yang lahir dan tumbuh di masa reformasi ini akhirnya tergabung

dalam Angkatan 2000. Para pengarang tidak perlu khawatir lagi dengan adanya

pencekalan dari pihak penguasa karena semua masyarakat berhak untuk

mengutarakan apa yang dirasakan dan dipikirkannya, termasuk sastrawan yang juga

sebagai anggota masyarakat.

Pada tahun 2000, Lampan meyusun pembabakan baru yang dimasukkan ke

dalam Angkatan 2000. Dalam buku tersebut Rampan menunjukkan kepada

masyarakat bahwa telah hadir suatu angkatan yang berbeda dengan angkatan-

angkatan sebelumnya. Hal tersebut diketahui ketika di penghujug tahun 1990-an,

tepatnya di tahun 1998 terbit dua novel yakini Saman karya Ayu Utami dan

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Hempasan Gelombang karya Taufik Ikram Jamil. Kedua sastrawan ini mencoba

melakukan ekperimen dalam penulisan serta beruaha menampilkan tema-tema yang

tidak lazim.

Seiring dengan itu bermunculan karya-karya dari pengarang muda dan dapat

dikatakan sangat inovatif, termasuk di antaranya pengarang-pengarang perempuan

seperti yang telah disinggung pada bab pendahuluan. Pembaruan terjadi dalam karya

sastra pada masa ini bukan hanya dalam kata-kata yang sudah bebas dan lugas, tetapi

juga pada unsur-unsur intrinsik yang dibangun dengan cara yang tidak biasa sehingga

menghasilkan karya sastra yang lebih estetis dan dinamis.

2.2.3 Novel

Secara garis besar karya sastra dibagi atas tiga bentuk, yaitu puisi, prosa, dan

drama. Salah satu bentuk karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat

signifikan adalah novel. Dalam penelitian ini yang akan dianalisis adalah karya sastra

yang berbentuk prosa, khususnya novel. Novel di Indonesia muncul sejak terbitnya

buku Si Jamin dan Si Johan karya Merari Siregar pada tahun 1919 (Semi,1988: 32).

Dalam Laelasari dan Nurlaila (2006:166), novel diartikan sebagai, “Prosa

yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-

orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku”.

Konsep novel yang lain dikemukakan oleh Semi (1988: 32). Menurutnya

novel dapat diartikan sebagai bentuk karya sastra yang memberikan konsentrasi

kehidupan yang lebih tegas. Panjang cerita novel tentunya berbeda dibanding cerpen.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Jika cerpen memusatkan perhatian pada perwatakan dan satu masalah, maka novel

lebih luas dari itu. Kedudukan perwatakan dan jalan cerita yang ditampilkan

pengarang berada dalam satu keseimbangan. Hampir senada dengan Semi,

Nurgiantoro (1998: 11) mengatakan bahwa novel mengemukakan sesuatu secara

bebas, menyajikan sesuatu secara lebih rinci, lebih detil, dan lebih kompleks.

Menurut Umar Kayam dalam Nasution (2000: 22), novel mempermasalahkan

kehidupan sehari-hari. Karya sastra (termasuk novel) merupakan media untuk

menyampaikan ide, gagasan, protes, persetujuan, dan sebagainya.

Para pakar sastra lain, seperti Wellek dan Austin (1989: 281) mengatakan

bahwa novel-novel modern melukiskan manusia lahir, tumbuh, dan mati. Tokoh-

tokohnya mengalami perkembangan dan perubahan. Di samping itu, siklus kemajuan

sebuah keluarga diuraikan sejelas mungkin.

Novel dapat dikatakan sebagai salah satu wujud kontemplasi dan reaksi

pengarang terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan nyata. Meskipun bersifat

fiksi, namun sebuah novel yang baik tentu berisikan perenungan secara intens, penuh

kesadaran, serta tanggung jawab pengarang mengenai hakikat kehidupan.

2.3 Landasan Teori

Seperti halnya ilmu-ilmu humaniora lainnya, sastra sebenarnya esensi dari

kebudayaan. Penelitian suatu karya sastra memiliki manfaat agar manusia lebih

memahami nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan bahkan ideologi yang diyakini

pengarang. Untuk mengetahui hal-hal tersebut maka dalam membedah sebuah karya

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
sastra peneliti harus memiliki pisau yang tepat dan tajam agar isi karya tersebut dapat

dilihat dan diteliti.

Dalam penelitian ini tentu dibutuhkan landasan teori yang berguna untuk

mengupas permasalahan yang akan dikaji. Landasan teori dalam penelitian

merupakan kerangka dasar dalam penelitian. Teori yang akan dipakai dalam

penelitian ini adalah teori analisis wacana kritis dan teori kritik sastra feminis.

2.3.1 Teori Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris

tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk

menganalisis ideologi feminisme, yang salah satunya bisa dilihat dalam arena

linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel)

bisa menggunakan teori analisis wacana kritis.

Menurut Eriyanto (2001: 7), analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana

bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam

masyarakat. Dalam analisis wacana kritis, wacana atau teks tidak hanya menganalisis

bahasa dalam arti studi linguistik atau aspek kebahasaan semata, melainkan bahasa

tersebut dianalisis dengan menghubungkannya dengan konteks. Konteks di sini

bermaksud bahwa bahasa tersebut dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu.

Dalam Eriyanto (2001: 8) hal-hal di bawah ini merupakan karakteristik

analisis wacana kritis, yaitu:

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
1. Tindakan

Dalam pemahaman tindakan sebagai salah satu karakteristik analisis wacana

kritis, wacana dipandang untuk tujuan memengaruhi, mendebat, membujuk,

bereaksi, dan sebagainya. Seseorang berbicara atau menulis pasti memiliki

maksud tertentu. Selain itu wacana dipahami sebagai sesuatu yang

diekspresikan secara sadar dan terkontrol yang dilakukan manusia.

2. Konteks

Pada tahap ini, analisis wacana kritis mempertimbangkan, memproduksi, dan

menganalisis konteks dari latar, situasi, peristiwa, serta kondisi. Kepada siapa

dan mengapa komunikasi tersebut dilakukan. Ada tiga hal yang penting yang

menyangkut konteks dalam pembahasan analisis wacana kritis ini, yaitu teks,

konteks, dan wacana.Teks merupakan semua bentuk bahasa, tidak hanya kata-

kata yang tertulis melainkan untuk semua jenis ekspresi komunikasi yang

dilakukan manusia. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada

di luar yang memengaruhi pemakaian bahasa dan situasi teks di mana

teks tersebut dihasilkan. Adapun wacana dimaknai sebagai teks dan konteks

sekaligus. Fokus perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan

konteks sekaligus dalam suatu proses komunikasi.

3. Historis

Analisis wacana kritis juga menempatkan konteks historis tertentu untuk

dapat memahami teks. Pemahaman tentang wacana teks hanya dapat

diperoleh jika diketahui bagaimana situasi sosial, budaya, dan politik pada

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
waktu teks tersebut tercipta. Oleh sebab itu ketika menganalisis teks perlu

ditinjau supaya pembaca dan masyarakat mengetahui dan mengerti mengapa

suatu wacana tersebut dapat berkembang sedemikian rupa serta mengapa

bahasa yang dipergunakan seperti itu.

4. Kekuasaaan

Kekuasaan juga menjadi elemen penting dalam analisis wacana kritis. Setiap

wacana yang muncul dalam berbagai bentuk, tidak dianggap sebagai sesuatu

yang alamiah melainkan sebagai bentuk kekuasaan. Konsep kekuasaan di

sini artinya terdapat hubungan antara wacana dengan masyarakat. Misalnya

kekuasaan dan dominasi laki-laki dalam wacana seksisme, kekuasaan kulit

putih terhadap kulit hitam dalam wacana rasisme. Hal ini mengindikasikan

analisis wacana kritis tidak membatasi pada detil teks atau struktur wacana

saja, tetapi juga mengaitkannya dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan

budaya di mana teks tersebut tercipta.

5. Ideologi

Ideologi termasuk konsep sentral dalam analisis wacana kritis. Hal ini karena

wacana adalah pencerminan ideologi tertentu. Ideologi dibangun oleh

kelompok yang dominan dengan tujuan untuk melegitimasi dominasi mereka.

Ideologi dari kelompok yang dominan hanya efektif apabila masyarakat

tersebut memandang ideologi yang disampaikan adalah sebagai suatu

kebenaran dan kewajaran. Ideologi membuat anggota suatu kelompok akan

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka

serta memberikan kontribusi dalam membentuk solidaritas dalam kelompok.

Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus permasalahan tentu saja ideologi

feminisme, khususnya ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970

dan Angkatan 2000.

Adapun teori analisis wacana kritis ini akan digunakan untuk membedah

rumusan masalah yang pertama, yaitu menguraikan ideologi feminisme yang terdapat

dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

2.3.2 Teori Kritik Sastra Feminis

Teori kritik sastra feminis ini merupakan salah satu teori yang berkembang

beberapa tahun belakangan ini termasuk di negara-negara Timur. Sebagaimana yang

telah diungkapkan bahwa feminisme merupakan perjuangan kaum perempuan untuk

mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki.

Kritik sastra feminis lahir dan berkembang sejalan dengan perkembangan

gerakan feminisme. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai

terbuka dengan kata seksisme (Sugihastuti, 2000: 82). Istilah ini pula membuka

lembaran baru dalam kehidupan perempuan, baik yang berkaitan dengan keluarga,

seks, pekerjaan, maupun yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan

(Djajanegara, 2000:15).

Kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan

pendirian bahwa perempuan menyadari membaca karya sastra sebagai seorang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
perempuan, pengarang menulis novel sebagai perempuan, dan mengungkapkan citra

perempuan dalam novel (Sugihastuti, 2000: 85).

Pada umumnya, karya sastra menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi

feministik. Baik dari cerita rekaan, lakon, maupun sajak bisa diteliti asal terdapat

tokoh perempuan di sana. Penelitian dengan menggunakan kritik sastra ini tentu akan

lebih mudah untuk dikaji apabila dikaitkan dengan tokoh laki-laki yang terdapat pada

karya sastra tersebut.

Menurut Djajanegara (2000: 51-54) penerapan kritik feminis ada beberapa

tahapan, yakni,

I. 1) Kedudukan tokoh-tokoh perempuan dalam masyarakat.

2) Tujuan hidup tokoh-tokoh perempuan.

3) Perilaku serta watak tokoh-tokoh perempuan.

4) Pendirian serta ucapan tokoh perempuan yang bersangkutan.

II. 1) Tokoh lain (laki-laki) yang memiliki keterkaitan dengan tokoh wanita

III. 1) Sikap penulis karya sastra

2) Nada dan suasana yang dihadirkan

3) Latar belakang cerita.

Sugihastuti dalam Nurelide (2005: 15) menyebutkan bahwa kritik sastra

feminis cenderung penelitian dari berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian, kajian

sastra yang objeknya khas berupa karya sastra tetap dikaitkan dengan disiplin ilmu

lain, misalnya dengan ilmu sosial, budaya, ekonomi, psikologi, hukum, antropologi,

dan sejarah.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Endraswara (2003:147) berpendapat bahwa melakukan kajian analisis

feminis, peneliti sedapat mungkin harus bisa mengungkapkan secara jelas aspek-

aspek tekanan dan penindasan yang dialami perempuan. Peneliti juga harus

menggunakan kesadaran khusus yaitu kesadaran bahwa perbedaan jenis kelamin

memiliki keterkaitan dengan masalah keyakinan, ideologi dan wawasan hidup dan

pada akhirnya memengaruhi pemaknaan cipta sastra.

Untuk mengkaji rumusan masalah yang kedua, yaitu menganalisis latar

belakang yang menyebabkan terjadinya pergeseran konsep ideologi feminisme dalam

karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 digunakan teori kritik sastra feminis.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam

metode kualitatif memfokuskan perhatian pada data yang alamiah, data dalam

hubungannya dengan konteks keberadaannya (Ratna, 2000:47). Penelitian kualitatif

mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep. Metode

kualitatif ini dapat pula diartikan sebagai prosedur untuk memecahkan masalah yang

sedang diteliti dengan menggambarkan subjek dan objek penelitian pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya

(Nawawi,1998: 63).

Menurut Bogdan dan Taylor dalam Kaelan (2005: 5) metode kualitatif

merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata,

catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian. Hal senada

juga diungkapkan oleh Whitney dalam Nazir (1988:63) metode penelitian kualitatif

hampir sama dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode dengan pencarian fakta

dengan interpretasi yang tepat.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian untuk membongkar ideologi feminisme yang terdapat dalam

Angkatan tahun 1970 dan Angkatan tahun 2000 menggunakan teknik kepustakaan.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Teknik ini dilakukan untuk memperoleh data-data dan informasi-informasi mengenai

objek penelitian (Semi, 1993: 8). Teknik ini digunakan karena pada penelitian ini,

sumber data yang tertulis lebih mendominasi.

Adapun langkah-langkah yang diterapkan dalam mengumpulkan data ini

sebagai berikut.

1) Peneliti memulai dengan membaca secara cermat dan kritis untuk

mengumpulkan data-data yang berkaitan. Pembacaan ini dimaksudkan untuk

memahami makna sumber-sumber data.

2) Semaksimal mungkin membaca kembali secara berulang-ulang semua sumber

informasi yang berkaitan dengan data.

3) Mengumpulkan bagian-bagian penting yang berkaitan dengan masalah.

4) Setelah melakukan ketiga langkah di atas maka peneliti memberi tanda

sebagai bagian yang akan dianalisis lebih lanjut.

3.3 Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data pada penelitian ini digunakan hermeneutika.

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang artinya

menafsirkan. Oleh sebab itu menurut Palmer dalam Sumaryono (2000: 24)

hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan

menjadi mengerti.

Hermeneutika adalah metode yang selalu digunakan untuk penelitian karya

sastra (Ratna, 2004: 44). Hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
gejala, peristiwa, simbol, dan nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau

kebudayaan yang terdapat pada kehidupan manusia. Dalam menganalisis data,

hermeneutika memfokuskan pada objek yang behubungan dengan simbol-simbol,

bahasa, atau pada teks-teks serta karya budaya lainnya (Kaelan, 2005: 80-81). Jadi,

yang harus dilakukan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah pembacaan

yang berulang-ulang (retroaktif) sehingga didapat data-data yang berkaitan dengan

ideologi-ideologi feminisme di dalam karya tersebut. Namun, sebelum sampai ke

tahap hermeneutika, analisis dengan menggunakan teknik heuristik adalah langkah

awal yang perlu dilakukan. Heuristik merupakan pembacaan dari awal sampai akhir

secara berurutan. Jadi, metode hermeneutika digunakan sesudah pembacaan heuristik

(Pradopo, 2001: 84). Dalam penelitian ini data-data dianalisis berdasarkan setiap

masalah bukan menganalis per data.

Sebagai seorang peneliti tidak boleh bersikap pasif, maksudnya peneliti

tersebut harus merekonstruksikan berbagai makna yang terdapat dalam karya sastra

yang diteliti tersebut. Dalam penelitian menggunakan metode hermeneutika, seorang

peneliti harus dapat menginterpretasikan maksud pengarang, dalam hal ini khususnya

yang menyangkut ideologi feminisme dalam karya sastra pengarang perempuan

Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

3.4 Teknik Penyajian Analisis Data

Teknik penyajian analisis data tesis ini menggunakan metode formal dan

informal, sesuai dengan pandangan Sudaryanto melalui Nasution (2007: 66) yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
menguraikan bahwa secara formal dijelaskan dalam bentuk bagan, grafik, lambang,

gambar, matrik, dan tabel. Sedangkan secara informal digunakan bentuk deskripsi

atau narasi.

Dalam penyajian hasil analisis yang ada di tesis ini diutamakan dengan cara

yang informal daripada yang formal agar uraian dapat dijelaskan dengan lebih

terperinci.

3.5 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini berjumlah tiga belas novel dari pengarang

perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

Adapun judul-judul novel yang mewakili Angkatan 1970 adalah:

1. Karmila karya Marga T.

2. Bukan Impian Semusim (BIS) karya Marga T.

3. Namaku Hiroko (NH) karya Nh. Dini.

4. Pada Sebuah Kapal (PSK) karya Nh. Dini.

5. Perempuan Kedua (PK) karya Mira W

6. Melati di Musim Kemarau (MdMK) karya Maria A. Sardjono.

Sedangkan judul-judul novel yang mewakili pengarang perempuan Angkatan

2000 adalah:

1. Larung karya Ayu Utami

2. Saman karya Ayu Utami

3. Perempuan Berkalung Sorban (PBS) karya Abidah El Khalieqy.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
4. Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy.

5. Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) karya Abidah El Khalieqy.

6. Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari

7. Nayla karya Djenar Maesa Ayu.

Ketigabelas novel ini akan menjadi sumber data primer sedangkan sumber

data pendukung dipeoleh dari buku-buku, majalah, surat kabar, internet serta makalah

dari berbagai diskusi dan seminar. Semua ini dijadikan sebagai data sekunder dalam

penelitian.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB IV

IDEOLOGI FEMINISME DALAM KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN


ANGKATAN 2000

4.1 Tindakan

Hal pertama yang harus diperhatikan ketika menganalisis karya sastra bahwa

karya sastra tersebut harus dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Karya sastra

dapat dikatakan sebagai bentuk interaksi antara pengarang dan pembaca (masyarakat)

serta tidak bisa ditafsirkan secara denotatif. Dengan pemahaman seperti ini maka

sebuah karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan. Seseorang,

dalam hal ini pengarang, dalam berbicara atau menulis pasti memiliki maksud dan

tujuan tertentu. Tujuan tersebut boleh jadi merupakan kata-kata yang berupa

memengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan sebagainya. Selain

itu kata-kata yang diekspresikan tersebut harus dilakukan secara sadar dan terkendali,

bukan di luar kesadaran.

Untuk merepresentasikan ideologi feminisme dalam novel-novel Angkatan

1970 dan Angkatan 2000, maka karakteristik pertama analisis wacana kritis ini dapat

dipergunakan dalam penganalisisan. Tindakan mendebat dan menyanggah dapat

disaksikan dalam beberapa kutipan novel seperti yang terdapat dalam novel

Perempuan Kedua dari Mira W berikut.

”Cerai? Rani tertegun bingung. Memang sudah hampir sebulan dia


mencurigai suaminya. Jengkel terhadap suaminya. Menjauhi
suaminya. Tetapi cerai? Astaga. Belum pernah terpikir sekalipun!
”Masa sampai bercerai sih”

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Nah, itulah kelemahan perempuan bangsa kita! Tiba-tiba saja Dora
bersemangat seperti orator di atas podium. ”Takut bercerai! Malu,
kasihan anak, resah memikirkan masa depan, macam-macamlah.
Akhirnya? Laki-laki pun jadi merajalela! Toh dikhianati bagaimana
pun istrinya tetap tidak berani minta cerai. Rela saja dihina! Yah,
daripada anak-anak kehilangan bapak. Daripada malu sama tetangga.
Daripada mesti kesepian kalau malam...Bah! Nih, contoh aku! Begitu
aku tahu dia menyeleweng, cerai! Habis perkara. Tanpa dia pun aku
masih dapat mencari makan. Usahaku malah bertambah maju pesat
setelah aku menjadi janda!” (PK: 115-116).

Dalam kutipan di atas telah terjadi perdebatan antara tokoh Rani dan

temannya, Dora. Kedua perempuan ini berdebat karena tindakan Rani yang ragu-ragu

memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan suaminya yang dicurigainya

telah berselingkuh setelah belasan tahun hidup berumah tangga. Sedangkan Dora

bersikap sebaliknya. Begitu mengetahui suaminya telah mengkhianati ikrar

pernikahan, maka Dora langsung memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka.

Tindakan Dora yang cepat mengambil keputusan boleh jadi disebabkan seringnya ia

menghadiri seminar pernikahan yang menjamur serta pergaulannya yang luas,

ditambah Dora seorang pengusaha yang notabene bisa mencari nafkah. Jadi,

meskipun tanpa ada dukungan dari suami, Dora merasa bisa berdiri sendiri. Tidak

heran Dora bisa mengambil keputusan untuk bercerai dengan sang suami.

Contoh kutipan lain yang memperlihatkan tindakan atau reaksi, khususnya

yang dilakukan Sri yaitu tindakan tegas kepada suaminya, dapat dilihat pada cuplikan

novel Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini berikut.

”Ya, memang itu yang kumaksudkan. Mulai hari ini aku tidur sendiri.
Empat bulan lagi anak kita lahir. Aku telah terlampau lelah dengan
kepadatan perasaanku. Kalau kau mau, aku segera menyetujuinya.”

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Kau gila,” serunya cepat.
”Memang harus ada salah satu yang gila di antara kita berdua, sebab
itu kita kawin. Kalau kita berdua berpikiran waras, kita tidak akan
kawin.”
”Aku mencintaimu, Sri, katanya.
Dia berdiri hendak mendekatiku. Aku mundur selangkah.
”Kau lelah. Pikiranmu kacau,” suaranya perlahan.
Ah, betapa aku tidak akan lelah. Betapa pikiranku tidak akan kacau.
”Keluar,” aku membuang pandang dan menguatkan suaraku (PSK:
122).

Tindakan yang dilakukan tokoh Sri pada tokoh Charles Vincent adalah

puncak kemarahannya setelah berkali-kali Sri disakiti secara psikologis dengan selalu

dimarahi, dibentak, dan tidak dihargai sebagai seorang istri. Sri merasa sudah tidak

tahan hidup dengan suami yang sedari awal tidak dicintainya itu. Untuk itu Sri mulai

berani mengambil sikap yang tegas pada suaminya. Sebagai perempuan, ia tidak ingin

direndahkan. Dia tidak ingin terus menerus diperlakukan sebagai objek kekerasan

yang dilakukan suaminya, dia harus berani mengekspresikan dirinya tidak hanya

berdiam diri saja.

”Bagiku laki-laki seperti Charles tidak perlu mengetahui hal yang


sebenarnya. Dia terlalu yakin bahwa perempuan yang telah diambilnya
sebagai istrinya adalah seseorang yang tidak berpengalaman, yang
akan menganut dan mengikuti langkahnya setapak demi setapak. Dan
sejak malam itu dia kuharap mengerti bahwa aku akan sanggup, benar-
benar sanggup meninggalkannya...” (PSK: 213).

Pada novel Nh. Dini yang lain, Namaku Hiroko, tindakan yang dilakukan

tokoh Hiroko terhadap laki-laki yang mendekatinya adalah mencoba melepaskan diri

karena Hiroko tidak ingin terikat padanya.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Aku harus berani melepaskan diri dari laki-laki itu. Lebih-lebih dari
cengkeraman pengaruh materi yang dimilikinya. Sebagai laki-laki
berpengalaman,dia mengetahui kelemahanku.Dengan
kedermawanannya suatu kali dia berkata akan membuka nomor
tabungan di bank kota atas namaku. Ini merupakan tantangan yang
berat bagiku. Di samping itu pula merupakan keinginannya agar aku
tetap melayaninya kemauannya, yang berarti aku harus menjadi
miliknya. Hanya didorong oleh kemauan yang luar biasa kuatnyalah
aku berhasil menolaknya. Kujelaskan terus terang, aku tidak ingin
menjadi perempuan kedua yang selalu siap sedia di mana diperlukan.
Aku lebih suka bebas...”(NH: 141).

Hiroko merupakan tokoh utama perempuan yang pada awalnya diceritakan

sangat lugu dan pemalu, namun lama kelamaan sikapnya berubah tatkala ia lama

tinggal dikota. Berbagai pekerjaan ia lakoni, mulai menjadi pembantu rumah tangga,

pengasuh anak, penjaga toko hingga menjadi penari telanjang (striptease) yang

memberinya limpahan materi. Orientasi hidup dan keinginannya juga tidak terlepas

dari kekayaan materi yang akhirnya membuat Hiroko memilih jalan yang tidak baik

menurut ukuran kebanyakan orang. Setelah lama hidup di kota Kobe pun Hiroko

tidak pernah berpikir untuk menikah.

Aku puas dengan hidupku, dengan apa yang kumiliki waktu itu.
Dengan umurku yang muda, aku seakan-akan telah mencapai apa yang
kuidamkan.
”Dalam arti kebendaankah yang Anda maksudkan?”tanyanya
kemudian.
”Ya. Karena memang kebendaanlah yang saya cari. Saya tidak ingin
hidup dalam kekurangan.”
”Tidak ada orang yang ingin hidup kekurangan,” sahut Suprapto.
”Tetapi, adakah Anda memiliki ambisi, mempunyai keinginan buat
mencapai yang lebih tinggi lagi?”
”Tentu saja saya mempunyai ambisi, yaitu mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya.”
”Lalu untuk apa?”
”Untuk hidup tentu saja.”

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Suprapto terdiam, meneruskan makan.
”Lalu menurut pikiran Anda, ambisi apa yang baik bagi saya.”
”Seperti kebanyakan wanita: kawin.”
Mengapa hal itu tak pernah terpikirkan olehku. Atau barangkali
pernah. Tetapi demikian selintas, demikian ringan dan kabur
secepatnya sehingga terlupa atau tak kuanggap sesuatu yang
menguasai diriku, lalu lepas entah kemana tanpa kusesali. Barangkali
pula oleh kuatnya cengkraman pikiran, kehendak hidup semaunya
dengan bebas.
(NH: 156).

Kutipan dari novel lain, Karmila, juga memperlihatkan tindakan Karmila

yang pada awalnya diceritakan sangat membenci Feisal yang telah memerkosanya

dan menolak untuk menyusui anak hasil perkosaan Feisal. Betapa pun kasarnya

perlakuan Karmila terhadap Feisal, namun Feisal tetap bersabar untuk menebus rasa

bersalahnya kepada gadis yang masih duduk di bangku kuliah fakultas kedokteran

tersebut.

”Tidak peduli. Pokoknya tertulis di situ bahwa aku menikah


denganmu, cuma supaya anak ini punya ayah titik. Aku tidak terikat
hubungan apa-apa dengan engkau. Aku tidak akan tinggal menikah
denganmu. Aku tidak akan tinggal bersamamu. Aku tidak akan
menikah dengan engkau di gereja. Aku tidak akan menjadi istrimu.
Dan segera setelah anak ini lahir, kita akan bercerai kembali dan anak
ini kau ambil.”
”Sebaiknya anak itu kau pelihara. Dia lebih membutuhkan ibu
daripada ayah.”
”Tidak! Bila engkau mau menikah denganku, anak ini harus kau
ambil. Bila engkau tidak mau, engkau boleh pergi dan tinggalkan aku
sendiri!!” (Karmila: 74).

Adapun pada novel-novel yang mewakili Angkatan 2000 dapat dilihat

ideologi feminismenya melalui tindakan dari tokoh-tokohnya seperti yang terdapat

dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy berikut.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dari atas kursinya, nenekku mulai berceramah. Bahwa perempuan
harus selalu mau mengalah. Jika perempuan tidak mau mengalah,
dunia ini akan jungkir balik berantakan seperti pecahan kaca. Sebab
tidak ada laki-laki yang mau mengalah. Laki-laki selalu ingin menang
dan mengusai kemenangan. Sebab itu perempuan harus siap me-nga-
lah (pakai awalan me-).
”Jadi selama ini Nenek selalu mengalah?”
”Itulah yang harus dilakukan, Cucu.”
”Pantas Nenek tidak pernah diperhitungkan.”
”Diperhitungkan?”Nenek terlonjak.
”Benar. Nenek tidak pernah diperhitungkan. Nenek tahu apa
sebabnya?
”Apa sebabnya, Cucu?”
”Sebab Nenek telah mematok harga mati, dan harga mati Nenek
adalah kekalahan. Siapakah yang mau memperhitungkan pihak yang
kalah?”
(GJ: 61).

Sesuai dengan judul novelnya, pengarang ingin menampilkan sosok

perempuan yang berani menantang siapa saja yang mencoba untuk menindas hak-

haknya sebagai seorang perempuan, tidak terkecuali pemikiran sang nenek pun

dibantahnya. Bagi Jora, perempuan dan laki-laki adalah mitra sejajar. Perempuan

tidak berhak untuk disakiti dan dinomorduakan. Sikap memberontak ini juga banyak

dideskripsikan dalam dialog yang merupakan refleksi dari pemikiran yang sangat

berani apabila dikaitkan dengan lingkungan kebudayaan (Jawa) yang sangat

mengakar dan sangat kuat unsur patriarkinya.

Hampir senada dengan novel Abidah yang lain, Perempuan Berkalung

Sorban juga sangat kental nuansa feminismenya yang dilukiskan dalam bentuk

tindakan, seperti yang dapat disaksikan dalam kutipan berikut.

“Lagi pula, tak ada satu pun di antara orang-orang bertaqwa, baik
laki-laki atau perempuan, yang diperintahkan untuk menjauhi atau

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
berjauhan dengan ayat-ayat Allah. Alangkah sialnya jadi perempuan.
Bukan hanya itu. Perempuan yang sedang menstruasi juga dilarang
masuk masjid. Padahal wak Tompel yang setiap malam minum tuak
dan berjudi di kedai Yu Sri, tidak dilarang tidur menggelosor di dalam
masjid dan tak seorang pun berani mengatakan bahwa itu haram.
Kepada Mbak May aku bertanya, benarkah semua yang kudengar dari
kitab itu? Ia tersenyum ragu-ragu dan mengangguk. Maka aku pun
ragu-ragu dan tak pernah mau mengangguk dan menjadi keledai…”
(PBS: 73-74).

Dari dua cuplikan di atas, pengarang tampak sangat jelas mengusung warna

feminisme. Berusaha untuk menyuarakan hak-hak perempuan serta menggugat

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang hingga kini dirasakan masih sangat

diskrimatif. Kedua cerita yang berlatar pesantren ini dapat dimaklumi karena sang

pengarang juga pernah mengenyam pendidikan di salah satu pesantren modern puteri

di Jawa Timur sehingga tidak mengherankan apabila pengarang sangat fasih

berbicara seluk-beluk di pesantren. Benarlah apa yang dikatakan A. Teeuw yang

dikutip oleh Pradopo (1995: 80), “Suatu karya sastra tidak lahir dalam kekosongan

kebudayaan”. Artinya, pengarang tidak serta merta menciptakan suatu karya sastra

tanpa ada konteks sosial budaya yang melatarbelakanginya.

Sedikit berbeda dengan Abidah yang bernuansa relijius dalam

mengungkapkan ide-ide feminismenya, Ayu Utami justru terlihat blak-blakan dan

sensasional ketika berbicara mengenai perilaku seks tokoh-tokohnya. Novel Saman

dan larung mengisahkan tentang tokoh-tokoh perempuan yang mandiri, wanita

karier, cerdas, serta berani menyatakan diri sebagai perempuan yang membutuhkan

seks lebih dari apa yang bisa diberikan para lelaki dalam kehidupan mereka. Tokoh-

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
tokoh tersebut merasa harus mengambil tindakan terhadap budaya patriarkal yang

selalu mendominasi selama ini, termasuk menyangkut masalah seks. Beragam

tindakan yang mereka lakukan untuk menunjukkan ketidaksukaan atas budaya

patriarki ini. Mulai menyatakan sikap dan jati diri, berupaya memegang kendali

hingga memilih pasangan sejenis (lesbian).

Saman mempunyai tokoh-tokoh utama perempuan yang sudah bersahabat

sejak masih remaja. Selain tentunya memiliki tokoh laki-laki, di antaranya Romo

Wis (Saman), Sihar, dan Anson. Keempat tokoh perempuan yang ada di novel ini

adalah Cokorda Gita Magaresa, Laila Gagarina, Shakuntala, dan Yasmin Moningka.

Sedangkan novel Larung merupakan lanjutan dari novel Saman. Kutipan berikut

menunjukkan tindakan dilihat pada novel Saman seperti berikut. Di sini sangat nyata

terlihat kebencian tokoh Shakuntala terhadap ayah yang menurutnya telah

menyakitinya.

Terutama juga agar aku bisa pergi amat jauh dari ayah dan kakakku
yang tidak kuhormati. Yang tidak menghormati aku, tak pernah
menyukai aku. Aku tidak menyukai mereka. Tapi ketika pertama kali
mengurus visa di kedutaan Besar Nederland, yang mereka tanyakan
adalah nama keluarga.
“Nama saya Shakuntala. Orang Jawa tak punya nama keluarga.”
“Anda memiliki ayah, bukan?”
“Alangkah indahnya kalau tak punya.”
“Dan mengapa saya harus memakainya?”
Formulir ini harus diisi.”
Aku pun marah. “Nyonya, Anda beragama Kristen, bukan? Saya
tidak, tapi saya belajar dari sekolah Katolik: Yesus tidak mempunyai
ayah. Kenapa orang harus memakai nama ayah?”
(Saman: 137).
Adapun novel Larung senada dengan novel Saman dalam hal keterbukaan.

Larung terbagi dalam tiga bagian. Secara ringkas, pada bagian pertama mengisahkan

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
tokoh Larung yang sedang mencari cara untuk membunuh neneknya yang berusia

lebih dari dari 100 tahun namun belum meninggal juga. Diceritakan juga bahwa

Larung turut merasakan luka sejarah yang dimilikinya karena ayahnya terlibat dalam

G30S/PKI.

Bagian kedua bercerita tentang empat sahabat, yaitu Laila, Yasmin,

Shakuntala, dan Cok yang datang ke New York untuk menonton Shakuntala menari.

Selain itu mereka juga mempunyai tujuan lain, seperti Yasmin yang membantu

Saman untuk mencari dukungan bagi gerakan demokrasi di Indonesia. Laila ingin

bertemu dengan kekasih gelapnya, Sihar, yang ternyata datang membawa serta

istrinya.

Bagian ketiga mengisahkan upaya Larung dan Saman menyelamatkan para

aktivis yang dituduh sebagai dalang kerusuhan 27 Juli dan menjadi buronan polisi.

Adapun contoh kutipan yang menunjukkan tindakan dalam melakukan aktivitas

seksual dapat dilihat sebagai berikut.

Aku bosan juga. Lalu kami mencoba melakukan anal seks, untuk
menjaga keperawananku. Tapi aku jadi ambeien. Lalu kupikir-pikir,
kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara
pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue.
Akhirnya kupikir bodo amat, ah udah tanggung. Aku pun
melakukannya, sanggama. Aku bertukar cerita ini dengan Shakuntala.
Aku tidak tahu apakah dia membocorkannya kepada Yasmin dan
Laila…(Larung: 83).

Perempuan Eksperimen. Bayangkan! Tak ada yang percaya bahwa


perempuan eksperimen berarti perempuan yang bereksperimen.
Semua akan mengartikannya perempuan untuk eksperimen… Kadang
aku jengkel, apapun yang kita lakukan, yang juga dilakukan lelaki,
kok kita mendapat cap jelek. Laki-laki tidur bergantian dengan banyak

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
cewek akan dicap jagoan. Tapi perempuan yang tidur bergantian
dengan banyak lelaki dibilang piala bergilir. Pelacur. Apapun yang
kita lakukan, kita selalu dianggap obyek. Bahkan oleh sesama
perempuan. Misalnya, oleh si Yasmin brengsek itu (Larung: 84).

Kutipan di atas secara gamblang merepresentasikan aktivitas seksualitas yang

dapat dikatakan menyimpang dari norma masyarakat (Indonesia), dalam arti bukan

hubungan yang disahkan oleh surat nikah dan diakui oleh agama dan norma sosial.

Selain itu pada kutipan yang selanjutnya terdapat uraian kekesalan hati Cok atas

tanggapan masyarakat mengenai perempuan eksperimen seperti yang dilakukannya.

Cok seolah-olah memprotes penilaian masyarakat bahwa ketika laki-laki melakukan

tindakan yang bejat mereka tidak disalahkan. Berbeda halnya ketika perempuan yang

melakukan kesalahan tersebut, mereka akan dicap negatif oleh masyarakat. Cok

digambarkan pengarang sebagai sosok yang jujur, terbuka, bebas serta liar. Sejak

masih SMA Cok telah kehilangan keperawanannya maka tidak heran kemudian

teman-temannya menjulukinya ‘Si Perek’ atau ‘muka orang yang sedang sanggama’.

Tabel 1 : Tindakan Tokoh-Tokoh Perempuan

Angkatan Tindakan Tokoh Perempuan


No 1970 Menyanggah Memengaruhi Menggugat Aktivitas
Seksual
1 Perempuan Kedua
√ √ √ √
2 Karmila
√ √ √ ─
3 Bukan Impian Semusim
─ √ ─ ─
4 Namaku Hiroko
√ √ √ √

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Lanjutan tabel 1

5 Pada Sebuah Kapal


√ √ √ √
6 Melati di Musim
─ √ ─ ─
Kemarau

2000

1 Larung
√ √ √ √
2 Saman
√ √ √ √
3 PerempuanBerkalung
Sorban √ √ √ √
4 Geni Jora
√ √ √ √
5 Supernova: Ksatria,
Puteri, dan Bintang √ √ √ √
Jatuh
6 Supernova: Akar
√ √ √ √
7 Nayla
√ √ √ √

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa tindakan-tindakan ekspresif yang

dilakukan oleh para tokoh perempuan, seperti menyanggah, memengaruhi,

menggugat, serta tindakan yang berkaitan dengan aktivitas seksual didominasi oleh

tokoh-tokoh perempuan pada novel-novel yang mewakili Angkatan 2000.

Berbagai tindakan yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh perempuan, misalnya

dalam novel Perempuan Kedua, dilakukan tokoh Dora yang sudah mendapat

pengaruh pemikiran feminisme. Perkataannya tersebut dibuktikan dengan

ketegasannya untuk mengakhiri pernikahan dengan suami yang diketahuinya telah

berselingkuh. Begitu pula halnya dengan tokoh Sri dalam Pada Sebuah Kapal. Selain

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
itu, tokoh Hiroko pada novel Namaku Hiroko juga mencoba memberontak dan ingin

melepaskan diri terhadap laki-laki yang ingin memilikinya. Sedangkan tokoh Karmila

pada novel Karmila mencoba untuk bersikap tegas dengan tidak ingin menikah secara

hukum agama dengan laki-laki yang telah memerkosanya.

Beragam tindakan yang terlihat pada ucapan-ucapan serta perilaku yang

berujung pada ketegasan tokoh-tokoh perempuan memberikan kesimpulan bahwa

tokoh-tokoh perempuan pada Angkatan ini mulai berani untuk mengekspresikan diri

dan seolah tidak ingin harga dirinya diinjak-injak oleh laki-laki. Meski demikian, para

perempuan di Angkatan 1970 ini boleh dikatakan lebih lunak apabila dibandingkan

dengan tokoh perempuan di Angkatan 2000. Kelunakan sikap ini misalnya dapat

dilihat pada tokoh Karmila yang pada akhirnya dikisahkan menikah dan hidup

bahagia dengan Feisal yang pada awalnya tidak dicintai Karmila. Selain itu

diceritakan pula bahwa tokoh-tokoh perempuan di Angkatan 1970 ini sudah menikah

kecuali tokoh Hiroko pada novel Namaku Hiroko. Tokoh ini menjalin hubungan

dengan beberapa laki-laki, namun hingga di akhir cerita, Hiroko tidak pernah

menikah meski sudah memiliki anak dari hubungan dengan kekasihnya.

Pada tokoh-tokoh perempuan di Angkatan 1970, memang ditemukan

tindakan menyanggah, memengaruhi, menggugat, dan aktivitas seksual seperti yang

disebutkan pada tabel di atas, namun hal tersebut dapat dikatakan tidak terlalu

menonjol. Jika ada tokoh-tokoh perempuan yang mencoba menggugat dan

memengaruhi, biasanya dilakukan oleh tokoh yang dekat dengan sang tokoh utama.

Misalnya teman tokoh perempuan yang tidak tega melihat ketidakadilan yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dialami oleh tokoh perempuan tersebut. Contoh konkretnya dapat dilihat pada salah

seorang tokoh perempuan dari novel Perempuan Kedua yang bernama Dora. Dora

merupakan teman sang tokoh utama, Rani, yang telah dikhianati suaminya. Dora

begitu marah dan tidak bisa menerima temannya diperlakukan demikian. Berbagai

tindakan pun dilakukannya agar Rani memilih jalan hidup sesuai dengan apa yang

disarankan Dora. Begitu pula dengan tokoh Sri atau Hiroko dalam novel Pada

Sebuah Kapal dan Namaku Hiroko. Meski pada awal-awal cerita para tokoh

perempuan ini dikisahkan cenderung pasrah dan menurut, namun di tengah hingga

akhir cerita, tindakan tokoh-tokoh tersebut begitu ekspresif pada tokoh laki-laki yang

telah menindas hak-hak mereka.

Berdasarkan tabel yang tertera di atas, pada Angkatan 1970, tindakan

menyanggah ditemukan ada empat novel. Tindakan memengaruhi lebih banyak lagi

yaitu terdapat dalam 6 novel. Sedangkan tindakan menggugat dan aktivitas seksual

masing-masing empat dan tiga novel. Adapun pada Angkatan 2000 kesemua

tindakan yang ada pada tabel dapat ditemukan pada setiap novel yang mewakili

angkatan tersebut.

Berkaitan dengan tindakan yang dilakukan tokoh perempuan Angkatan 2000

ternyata bisa dikatakan lebih berani dibandingkan apa yang telah dilakukan tokoh-

tokoh perempuan di Angkatan 1970, terlebih ketika menggambarkan aktivitas

seksual yang dilakukan oleh tokohnya. Pada Angkatan 1970, pelukisan tentang

aktivitas seksual tidak seterbuka pada Angkatan 2000. Dari enam novel yang menjadi

data pada Angkatan 1970, hanya ada tiga novel yang memasukkan unsur seksualitas

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dalam cerita, yaitu dalam Perempuan Kedua, Namaku Hiroko, dan Pada Sebuah

Kapal. Adapun pada Angkatan 2000, kesemua novel melakukan tindakan seperti

yang tersebut dalam tabel di atas tidak terkecuali juga memasukkan unsur seksualitas

dalam cerita.

Pada Angkatan 2000, tokoh-tokoh perempuan dari ketujuh novel yang

mewakili, ditemukan telah melakukan tindakan-tindakan seperti yang dijelaskan

dalam tabel di atas. Dalam Angkatan Reformasi ini semua data yang mewakili

memasukkan adegan seksualitas dengan versinya masing-masing.

4.2 Konteks

Menurut Eriyanto (2001: 8) dalam mengkaji sebuah wacana, dalam hal ini

karya sastra, analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana seperti latar,

situasi, peristiwa dan kondisi. Analisis wacana juga mengkaji konteks komunikasi

yaitu siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa dia melakukan hal

tersebut, dalam jenis masyarakat dan situasi seperti apa, melalui media apa seseorang

berbicara, bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi dan hubungan

bagi setiap pihak.

Ada dua konteks penting yang mempengaruhi produksi wacana yaitu,

1. Partisipan wacana

Yang termasuk partisipan wacana adalah apa latar belakang seseorang yang

menghasilkan wacana tersebut. Apa jenis kelaminnya, berapa umurnya, status

sosial serta apa etnis dan agama yang dianutnya.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
2. Latar sosial tertentu

Konteks latar sosial melingkupi tempat, waktu, posisi pembicara dan

pendengar atau lingkungan fisik merupakan konteks yang berguna untuk

memahami sebuah wacana.

Apabila konteks di atas dikaitkan dengan novel yang dianalisis, sangat banyak

kalimat-kalimat atau dialog-dialog yang menggambarkan berbagai konteks seperti

yang terlihat dalam cuplikan novel Bukan Impian Semusim berikut.

Nina memandangi mata biru itu. Aneh. Keduanya kini tampak lebih
ramah. Kelopak yang menaungi mereka tampak berkedip-kedip.
”So,” kata Mere dengan nada sedikit lunak, ”saya sangat menghargai
keberanianmu. Saya sungguh-sungguh sangat menghargainya. Berbuat
kesalahan adalah bias. Tapi berani mengakuinya adalah sesuatu yang
luar biasa. Itu sungguh-sungguh membutuhkan kurnia dan rahmat
Tuhan.”
Mere kini tersenyum. Nina ikut-ikutan tersenyum. Aneh. Dia tidak
akan dimarahi?
”Tapi selain itu, saya ingin tahu mengapa engkau melakukannya?
Setahu saya, engkau adalah anak yang sopan.”
”Saya...saya...tidak sengaja, Mere. Waktu melempar kertas itu, saya
tidak menengok ke bawah.”
Mere mengangguk-angguk sambil memandangnya dengan tajam.
Muka Nina memerah dan dia menunduk.
”Oke. Kembalilah ke kelasmu. Persoalan ini saya akhiri sampai di sini.
Lain kali berhati-hatilah.” (BIS: 21).

Konteks dalam dialog antara Nina dan Mere Rosa, seorang biarawati

sekaligus berstatus sebagai kepala sekolah tempat Nina mengenyam pendidikan.

Diceritakan pula di novel ini bahwa siswa yang kesemuanya perempuan begitu

menghormati dan menyegani mere-mere yang ada di lingkungan sekolahnya,

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
terutama Mere Rosa. Hal ini tentu tidak terlepas dari status Mere Rosa sebagai kepala

sekolah.

Pada kutipan dari novel yang lain,masih Angkatan 1970, kalimat yang

berkaitan dengan konteks dapat dilihat pada novel Perempuan Kedua berikut.

”Barangkali Anda punya problem?”


”Adakah manusia yang tidak punya problem, Dok?”
Sial, mengapa aku yang ditanya? Gerutu Yanuar dalam hati. Untung
saja pasien ini cantik. Kalau tidak...
”Problem yang tidak dapat dipecahkan barangkali? Yang sangat
mengganggu pikiran Anda?”
Sesaat perempuan yang telah sampai di dekat meja tulisnya itu
menatapnya. Dan Yanuar harus menurunkan pelupuk matanya, pura-
pura menulis sesuatu di kartu statusnya, jika tidak mau berkeringat
lagi. Tatapan itu... ya, Tuhan! Mengapa demikian memikat? (PK: 58).

Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa tokoh Yanuar yang berprofesi

sebagai dokter mengharuskannya bersikap formal, serius, dan menjaga jarak ketika

menghadapi para pasien, meskipun lawan bicaranya seorang perempuan yang cantik

dan memikat hatinya. Hal ini dilakukannya untuk menjaga citra sebagai seorang

dokter. Sebenarnya pofesi dokter tidak terlalu penting dalam pengisahan cerita

tersebut. Bisa saja latar dunia kedokteran tersebut diganti menjadi latar antara

mahasiswa dan dosen atau pengacara dengan kliennya, misalnya. Seandainya Yanuar

seorang dosen yang berhadapan dengan mahasiswanya yang berparas cantik tentu ia

juga harus menjaga citra dan berperan sebagai dosen.

Contoh kutipan lain yang menggambarkan konteks dapat pula disimak seperti

dalam novel Namaku Hiroko sebagai berikut.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Sekali lagi hari itu Suprapto menunjukkan betapa dia berbeda dari
laki-laki lain yang selama itu kugauli. Di samping sikapnya yang tanpa
cemburu ketika mengetahui pekerjaan sampinganku di malam hari,
diam-diam dengan caranya yang patut dia selama ini telah
mencintaiku. Sabar dan tekun, dia mencoba mengajariku hidup
sebagaimana orang berkebudayaan, mengerti serta tahu menilai mutu
hasil ciptaan yang baik.
”Anda dapat berterus terang kepada saya kalau memang ada pemuda
lain. Tetapi selama kita bergaul, saya perhatikan Anda selalu bebas,”
Suprapto mengakhiri pembicaraan tunggalnya (NH: 157).

Apabila kutipan di atas diperhatikan secara saksama maka dapat dilihat

konteks yang terjadi dalam wacana tersebut, yaitu seorang tokoh laki-laki bernama

Suprapto yang berasal dari Indonesia dan sedang menimba ilmu di Jepang, ternyata

mencintai Hiroko meskipun Suprapto mengetahui Hiroko bekerja sebagai penari

telanjang (striptease) di sebuah kelab malam. Suprapto sebenarnya tidak menyukai

pekerjaan malam Hiroko tersebut, namun Suprapto tidak menyatakannya secara

lugas, dia hanya meminta Hiroko untuk menikah dengan dirinya. Pola pikir yang

maju dan terbuka ditambah pendidikan yang tinggi serta perilaku yang baik membuat

Hiroko jatuh hati kepada Suprapto. Namun sayang, pada akhir cerita Hiroko ternyata

tidak jadi menikah dengan Suprapto yang telah pulang ke Indonesia dan hal ini tidak

lantas membuat Hiroko terlalu sedih. Kekhawatiran akan berbagai hal ketika sudah

menikah dan egoismenya sebagai perempuan mengakibatkan dia bertahan pada

pendiriannya yang tidak ingin menikah.

Sebulan lagi Suprapto akan meninggalkan Jepang. Dia semakin tidak


sabar karena aku belum juga hendak kawin. Menurut pendapat
Nakajima-san, lebih baik aku meninjau dahulu negeri pemuda
tersebut. Suprapto yang mengetahui betapa cintaku kepada pekerjaan
dan cara hidupku, berusaha agar aku pada akhirnya dapat memilih

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
tugas wanita yang sebenarnya: kawin dan memiliki keluarga. Tapi
alasan yang mencegahku bermacam-macam, di antaranya khawatir
tidak akan kerasan di negerinya
(NH: 168).

Tetapi bukan disebabkan oleh pendapat tersebut jika aku ”menolak”


lamaran Suprapto. Kami telah hidup bersama. Menurut adat pergaulan
”sopan”, kami mendapat sebutan bertunangan. Perkawinan yang selalu
kutangguhkan beberapa kali memang pernah kuinginkan. Sebagai
hasil dari pengaruh di luar diriku. Tetapi keragu-raguan menghadapi
kesukaran hari depan lebih besar daripada keinginan itu
(NH: 169).

Pada kedua kutipan di atas dapat dilihat bahwa tokoh Hiroko telah mengalami

perubahan perilaku yang sangat signifikan. Dari seorang perempuan desa yang

merantau ke kota, namun pada akhirnya menjadi perempuan yang kurang

memperhatikan norma-norma kesusilaan, baik pola pikir maupun tingkah lakunya.

Kutipan yang memiliki karakteristik konteks pada novel yang mewakili

Angkatan 2000 di antaranya dapat dilihat dialog dalam novel Supernova: Ksatria,

Puteri, dan Bintang Jatuh karya Dee sebagai berikut.

”Ikatan saya banyak. Bukan hanya pernikahan dua orang, tapi saya
juga menikah dengan keluarganya. Dengan seluruh lapisan sosialnya.
Saya tidak seperti kamu yang punya banyak kebebasan. Kamu tidak
bisa membandingkan...”
Re memutar tubuh tubuh Rana, menatapnya lurus-lurus. ”Saya tidak
membandingkan karena saya tahu persis pembandingan tidak akan
membawa kita kemana-mana. Tapi saya bisa melihat kamu
memilikinya. Kekuatan untuk mendobrak. Membebaskan diri kamu
sendiri.”
”Mendobrak apa? Moralitas? Norma sosial? Kita hidup di dalamnya,
Re. Saya cuma ingin mencoba realistis...”
”Tidakkah kamu menyakiti dirimu sendiri dengan menempatkannya
demikian? Apa yang jahat di sini, Rana? Jahatkah saya mencintai
kamu mati-matian? Begitu amoralkah semua perasaan ini?”
(KPBJ: 78).

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Konteks yang ingin dikemukakan pada kutipan di atas mengenai tokoh Rana

yang menyadari posisinya sebagai istri dari seorang laki-laki. Dalam episode

perjalanan hidupnya, ia berselingkuh dengan Ferre (Re), seorang eksekutif muda dari

sebuah perusahaan multinasional. Namun kisah kasih mereka akhirnya terpisahkan

oleh sebuah kenyataan. Pengarang mengembalikan Rana kepada suaminya, Arwin,

dan Rana pun menyadari bahwa perselingkuhan yang telah dilakukannya tersebut

bisa menimbulkan pertentangan nilai moral, nilai sosial, terlebih nilai agama yang

dianut masyarakat.

Adapun cuplikan dari novel Geni Jora dapat dilihat konteksnya, yaitu ketika

Kejora, sang tokoh sentral di novel ini, mengusung ide-ide feminisme yang sebagian

besar mewarnai karya-karya pengarangnya meski terkadang disampaikan dengan

nada sinis. Dalam hal ini konteks meliputi semua situasi dan hal yang berada di luar

teks dan memengaruhi pemakaian bahasa. Pada cuplikan berikut yang menjadi

konteks adalah partisipan yang memproduksi wacana tersebut. Dalam novel ini,

Kejora digambarkan sebagai seorang perempuan intelelek yang telah mengecap

pendidikan tinggi. Tentu saja wacana yang dihasilkannya pun menggambarkan

pemikirannya. Berikut merupakan contoh dari wacana yang ditinjau dari sisi konteks.

”Benar jika dilihat dari sudut pandangmu,” kataku. ”Tetapi salah


dalam sudut pandangku. Aku merasa, diriku mengalir sebagaimana
takdir yang diperuntukkan bagiku. Sebagai perempuan, demikianlah
kehadiranku. Merdeka. Mencoba beradaptasi dengan makhluk lain
bergerak. Jika laki-laki pandai menipu, perempuan tak kalah lihainya
dalam hal menipu. Jika laki-laki senang berburu, tak ada salahnya
perempuan menyenangi hal yang sama.”
Apakah aku sedang mendengar terompet feminisme mendesing di
antara debur ombak Agadir?”

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Tidak. Tetapi Zakky sedang gelisah bilamana moncong senapan
berbalik menghadap ke arahnya, ditodongkan oleh mangsa yang
berabad-abad menjadi sasaran buruannya.”
Agaknya bagimu, tak boleh satu hari pun berlalu tanpa menyindirku
(GJ: 9).

Dari kutipan dialog di atas terlihat nyata sikap yang ditunjukkan Kejora

bahwa ia membenci ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak laki-laki. Sebagai

seorang perempuan yang cerdas dan berpendidikan tinggi, Kejora selalu digambarkan

lugas ketika berbicara mengenai perempuan. Hal ini sesuai dengan karakteristik

konteks dalam sebuah wacana, yang menyatakan bahwa pendidikan menjadi salah

satu unsur yang berpengaruh terhadap produksi wacana (Eriyanto, 2001: 10).

Tabel 2 : Konteks yang Memengaruhi

Konteks yang Memengaruhi


Angkatan Partisipan Wacana Latar Sosial
No Tertentu
1970 Pendidikan Status Agama Posisi
Sosial Pembicara/
Pendengar
1 Perempuan Kedua √ √ ─ √

2 Karmila √ √ ─ √

3 Bukan Impian ─ √ √ √
Semusim
4 Namaku Hiroko ─ √ ─ √

5 Pada Sebuah ─ √ ─ √
Kapal
6 Melati di Musim √ √ ─ ─
Kemarau

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Lanjutan tabel 2

2000
1 Larung √ √ √ √

2 Saman √ √ √ √

3 Perempuan √ √ √ √
Berkalung
Sorban
4 Geni Jora √ √ √ √

5 Supernova: Ksatria, √ √ √ √
Puteri,dan Bintang
Jatuh
6 Supernova: Akar √ √ √ √

7 Nayla ─ √ ─ √

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa konteks yang berkaitan dengan

status sosial selalu ditemukan dalam setiap novel, baik pada Angkatan 1970 maupun

pada Angkatan 2000. Hal ini dapat dimaklumi karena konteks selalu ada dalam setiap

kisah. Jika suatu cerita tidak memiliki konteks, maka dapat dipastikan cerita tersebut

pasti terasa hambar. Adapun maksud konteks yang berkaitan dengan status sosial

merupakan peranan tokoh-tokoh cerita dalam kehidupan kemasyarakatannya.

Misalnya saja tokoh Yanuar dalam novel Perempuan Kedua memiliki status sosial

yang berprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit selain sebagai ayah dan suami,

tentunya. Sedangkan pendidikan seorang tokoh, serta apa agama dan bagaimana

budaya yang dianut sang tokoh juga turut memengaruhi jalan cerita. Budaya setempat

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
yang dianut oleh para tokohnya ternyata memberikan andil pada perilaku serta

pemikiran para tokoh.

Dari tabel Angkatan 1970 di atas dapat dilihat bahwa konteks yang

memengaruhi yang berkaitan dengan pendidikan terdapat dalam tiga novel. Status

sosial tokoh terdapat pada semua data, yaitu enam novel. Adapun konteks yang

berkaitan dengan agama hanya terdapat dalam satu novel. Sedangkan posisi

pembicara dan pendengar terdapat dalam lima novel. Pada Angkatan 2000 faktor

pendidikan lebih banyak ditemukan dalam novel, yaitu berjumlah enam novel.

Konteks yang berkaitan dengan status sosial ditemukan pada semua novel, yaitu tujuh

novel. Adapun konteks yang berkaitan dengan faktor agama ditemukan hampir

seluruh data, yaitu berjumlah enam novel. Sedangkan posisi pembicara dan

pendengar juga terdapat dalam semua data Angkatan 2000, yaitu tujuh novel.

Di beberapa novel baik dari Angkatan 1970 maupun dari Angkatan 2000

memang terdapat konteks yang berkaitan dengan agama. Konteks agama ternyata

menjadi bagian penting serta turut memengaruhi jalannya cerita. Kepercayaan lama

yang selama ini banyak diyakini masyarakat, perlahan mengalami pergeseran tidak

terkecuali yang terjadi pada tokoh-tokoh dalam Angkatan 2000. Dalam Geni Jora,

misalnya. Tokoh Kejora digambarkan seorang perempuan yang berjiwa pemberontak,

termasuk dalam urusan agama terutama yang berkaitan tafsiran mengenai perempuan.

Perempuan ini juga selalu mempertanyakan kembali kitab-kitab fikih yang seakan

menyerukan perlunya reinterpretasi atas kitab-kitab fikih tersebut.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
4.3 Historis

Dalam memahami karakteristik yang ketiga analisis wacana kritis ini perlu

diperhatikan konteks historis teks atau wacana tersebut. Sebenarnya masih berkaitan

dengan konteks, hanya saja karakteristik yang ketiga ini lebih ditekankan pada unsur

historis atau sejarah yang melatarbelakangi penciptaan wacana tersebut. Apabila

dikaitkan dengan teks-teks dalam novel-novel yang dikaji dapat digambarkan sebagai

berikut.

”Ning...maafkanlah aku,” katanya dengan suara gemetar,” Aku tahu


bahwa dosaku kepadamu bukan main besarnya. Tetapi ijinkanlah aku
membela diriku. Ikutilah cara berpikirku. Aku tumbuh dari keluarga
yang kuat menjunjung susila sopan santun dan etika moral. Dan
perkawinan tunggal merupakan tujuan utama sehingga memilih istri
bagiku merupakan sesuatu yang harus kuperhitungkan matang-
matang. Selama ini aku telah berperang melawan prinsip, egoisme dan
perasaan cintaku padamu. Ketika kita terpaksa harus menikah,
kuanggap semacam petunjuk bahwa aku memang harus berkorban.
Kalau seorang wanita yang telah bertobat dari jalannya yang sesat,
maka aku tak hendak menerimanya bukan?...(MdMK: 192).

Jika dilihat dari konteks historisnya, khususnya yang berkaitan dengan

budaya, novel Melati di Musim Kemarau karya Maria A. Sardjono yang mewakili

Angkatan 1970 ini menggunakan tokoh Rudi yang ternyata telah keliru menilai

Tuning, istrinya. Rudi pada awalnya menganggap profesi Tuning sama seperti kakak

Tuning, yang mantan pelacur. Sampai suatu ketika Rudi mengetahui sendiri setelah

Rudi menikahinya, bahwa Tuning belum pernah disentuh oleh lelaki manapun.

Meskipun kecewa dengan semua prasangka yang ditujukan padanya, tetapi Tuning

yang berhati tulus akhirnya mau memaafkan Rudi. Tuning yang dikiranya mantan

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
pelacur, dengan sendirinya mengetahui bahwa Tuning tidaklah sehina yang

dipikirnya. Selain itu Tuning juga seorang sarjana, meskipun Tuning juga tidak

pernah mengatakannya kepada Rudi. Semua pembayaran kuliah Tuning dibiayai

kakaknya sebagai seorang perempuan pekerja seks.

Dari contoh kutipan di atas dapat dimengerti sikap yang ditunjukkan tokoh

Rudi. Budaya Timur yang masih terasa kuat melekat dalam keluarganya yang

menyebabkan ia sangat berhati-hati dalam memilih istri. Tuning yang notabene adik

seorang mantan pelacur tentu dikira memiliki kesamaan dengan profesi kakaknya

tersebut dan ternyata sudah terbukti bahwa Tuning memang tidak pernah dikecap

oleh laki-laki manapun.

Karya Angkatan 1970 yang lain dapat pula dilihat, misalnya pada novel Pada

Sebuah Kapal berikut.

Anggapannya bahwa orang lain bekerja kurang giat daripada dirinya


itulah yang menyakitkan hatiku. Dan satu lagi.”Karena kau komunis,”
kataku kemudian.
Dia tidak menjawab.
”Aku tidak menganut aliran yang manapun juga. Tapi aku tidak suka
komunis.”
”Aku bukan komunis,” sahutnya perlahan. ”Aku ke Peking karena
pemerintah dari sanalah yang membiayai pameran-pameran,
mengundang kami dan memperhatikan kami. Pihak kanan tidak
pernah mengeluarkan biaya besar-besaran seperti itu”
”Mungkin apa yang dikatakannya adalah kenyataan. Kalau ada
pameran-pameran lukisan kebanyakan adalah atas biaya golongan kiri
(PSK: 53).

Pada cuplikan novel di atas dapat diketahui dengan sangat jelas bahwa, Sri

tidak menyukai Yus yang mencoba melamarnya dikarenakan Sri berpikir Yus

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
seorang komunis. Tidak mengherankan, pengarang melalui tokoh Sri begitu lugas

menyatakan ketidaksukaannya terhadap aliran komunis yang pada waktu

diciptakannya novel ini, gerakan komunis di Indonesia baru saja berhasil diberantas

oleh pemerintahan Orde Baru yang baru berkuasa. Masih dalam novel Pada Sebuah

Kapal, contoh kutipan lain dapat dilihat sebagai berikut.

”Kau mengerti aku kini bukan lagi orang Indonesia menurut tata
kenegaraan. Kalau aku turut giat dan kelihatan bergerombol dengan
orang-orang Indonesia akan ada orang Prancis yang panjang lidah.
Tidak semuanya baik hati.”
Aku sudah memikirkannya. Aku akan menilpon kepada isteri konsul
Prancis mengenai hal ini. Aku ingin menanyakan pendapatnya. Kalau
dia tidak keberatan, tentu saja kami tidak akan memintamu muncul di
panggung. (PSK: 133).

Contoh kutipan di atas memperlihatkan adanya persamaan antara tokoh Sri

dan Nh. Dini sebagai pengarangnya. Tokoh Sri adalah istri Charles Vincent, seorang

Konsul Prancis di Kobe, Jepang. Sedangkan Nh. Dini dalam kehidupan nyata juga

pernah bermukim di Kobe, Jepang karena mengikuti suaminya yang bertugas sebagai

Konsul Prancis. Jadi tidak mengherankan apabila pengarang begitu fasih dalam

menggambarkan pengalaman istri seorang diplomat karena pengarang juga

mengalami hal yang serupa seperti yang dialami tokoh Sri.

Dari kutipan novel Perempuan Kedua, dapat juga dilihat konteks historisnya

sebagai berikut.

Hati Yanuar bertambah menggelegak mendengar suara laki-laki itu.


Besar. Dalam. Berwibawa. Suara seorang penguasa. Seorang
penakluk. Seorang pemilik...Laki-laki itu bertubuh tinggi besar. Tegap
dan gagah seperti seorang perwira tinggi. Rahangnya juga besar dan
kokoh menambah ketampanan wajahnya. Bahunya lebar. Dadanya

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
bidang. Sama sekali tidak melukiskan seorang laki-laki tua berumur
enam puluh tahun...
(PK: 159).

Primodarso tahu, upacara inilah yang paling penting untuk


popularitasnya. Karena itu takkan diserahkannya kepada orang lain.
Pada saat dia memukul gong, puluhan kamera wartawan dari dalam
dan luar negeri, termasuk kamera TVRI, akan merekamnya (PK: 259).

Dari contoh kutipan di atas pengarang menggunakan Primodarso sebagai

tokoh antagonis yang menjadi streotip tokoh-tokoh nyata di masa pemerintahan Orde

Baru. Tokoh tersebut dilukiskan dari golongan elit di Indonesia, berasal dari TNI, dan

tentunya memiliki kekuasaan. Pengarang seakan mengkritik perilaku orang-orang

berkuasa pada masa lalu yang di depan publik seakan-akan menjadi malaikat

penolong bagi masyarakat yang tidak mampu. Dikisahkan di novel ini bahwa

Primodarso sebagai pelindung, ketua, atau sebagai anggota kehormatan berbagai

yayasan di Indonesia. Sebenarnya Primodarso melakukan hal itu supaya masyarakat

mengetahui dia seorang dermawan. Sayangnya semua itu hanya topeng belaka. Pada

kenyataannya Primodarso memiliki banyak istri dan juga simpanan. Selain itu ia

berhati jahat. Ia bisa mencelakakan orang-orang yang dianggap berseberangan

dengannya.

Adapun contoh konteks historis dari Angkatan 2000 dapat dilihat pada novel

Saman sebagai berikut.

Sekarang, bagaimana keadaan di tanah air, terutama Medan? Aku baru


mulai memeriksa laporan dan file tentang unjuk rasa yang rusuh dua
pekan lalu itu, yang akhirnya membikin aku terdampar di sini.
Nampaknya banyak orang tidak begitu paham apa yang terjadi dan

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
menjadi canggung untuk bersikap. Demonstrasi buruh yang diikuti
enam ribu orang sebetulnya adalah hal yang simpatik, dan luar biasa
untuk ukuran Indonesia di mana aparat selalu terserang
okhlosofobia—cemas setiap kali melihat kerumunan manusia. Namun,
simpati orang segera berbalik setelah unjuk rasa itu menampilkan
wajah rasis dan memakan korban. Aku amat sedih dan menyesali
kematian pengusaha Cina itu. Alangkah mudahnya kemarahan yang
terpendam (betapapun didahului ketidakadilan yang panjang)
dialihkan menjadi kebencian yang rasial. Kukira, kita seharusnya
sudah mesti belajar dari kelemahan aksi massa. Ribuan orang
berkerumun akan dengan segera berubah menjadi kawanan dengan
mentalitasnya yang khas: satu intel (atau bukan intel) bersuara lantang
menyusup lalu berteriak dengan yakin, dan manusia-manusia itu akan
menurut, seperti kawanan kambing patuh pada anjing, tak bisa lagi
membedakan mana herder mana serigala. Bukankah sudah sering kita
mengatakan bahwa itu yang terjadi dalam peristiwa Malari?
(Saman: 168-169).

Dari contoh kutipan di atas dapat dilihat bahwa Ayu Utami sebagai

pengarang mencoba sedikit menguraikan situasi dan kondisi pada waktu terjadinya

peristiwa demonstrasi buruh besar-besaran pada April 1994. Hal ini dikarenakan

tuntutan para buruh mengenai kenaikan upah yang layak dan hal tersebut tidak bisa

dipenuhi oleh pihak pengusaha. Pada akhirnya demonstrasi yang diikuti oleh ribuan

buruh tersebut berlangsung anarkis. Para pendemo melakukan perusakan dan

pembakaran toko-toko, terutama di Kawasan Industri Medan (KIM). Peristiwa yang

kacau balau ini pun memakan korban dari kalangan pengusaha Tionghoa bernama

Yuly Kristanto yang dikeroyok dan jiwanya pun tidak terselamatkan (Nasution, 2007:

260).

Di kedua novelnya —Saman dan Larung— Ayu selalu menggabungkan

peristiwa nyata yang pernah terjadi di republik ini dengan tokoh-tokoh fiksi yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
diciptakannya. Peristiwa yang memiliki kemiripan dengan peristiwa demonstrasi

buruh pada tahun 1994 tersebut adalah peristiwa menuju reformasi di tahun 1998.

Sebelum akhirnya Soeharto lengser dari kekuasaannya, berbagai peristiwa kerusuhan

telah terjadi di berbagai daerah. Selain demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dari

berbagai penjuru tanah air, dari kalangan masyarakat juga bertindak anarkis dan main

hakim sendiri.

Kerusuhan massa yang terjadi medio Mei 1998 tersebut memakan banyak

korban khususnya dari kalangan Tionghoa. Peristiwa tragis yang dialami mereka

adalah terjadinya penjarahan dan pembakaran terhadap toko-toko yang dilakukan

oleh orang-orang yang sudah dikuasai kemarahan. Peristiwa yang tidak menentu

ketika itu dapat dikatakan sebagai salah satu dampak krisis ekonomi yang berlarut-

larut yang semakin membuat miskin masyarakat. Selain itu gelombang desakan dari

para mahasiswa yang menginginkan pergantian kekuasaan serta reformasi karena

mahasiswa atas nama rakyat sudah tidak tahan lagi dengan kediktatoran pemerintah

Orde Baru setelah berkuasa hingga 32 tahun lamanya. Selain peristiwa demo besar-

besaran, peristiwa lain yang juga diungkapkan Ayu adalah peristiwa yang berkaitan

dengan komunisme yang ada di Indonesia. Cuplikan kejadian tersebut dapat

disaksikan dalam cuplikan Larung berikut.

Kulihat mereka menanggalkan seragamnya dan menggantung anakku


di tangannya pada pohon asam, sehari semalam, setelah
mencambuknya dengan rotan dan popor, menindih tungkainya dengan
kaki meja. Mereka mengubah wajahnya, meregangkan persendiannya.
Apa kesalahannya, tak ada lagi orang bertanya. Sebab ia dikenal
semua tentara di kompleks kita, sebab ia biasa datang dari rumah ke
rumah mengurusi perdagangan beras subsidi. Maka ketika para

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
perwira harus menyebut orang-orang dalam pasukan yang terlibat
dalam kudeta 30 September, mereka menyebut namanya. (Larung:
67-68).

... ia menemukan Kaum Tani Menggajang Setan2 Desa dari D.N.


Aidit, 1964. Ia menyentuhnya dengan berdebar. Sebab nama itu, nama
itu sepadan dengan iblis. Ujung arit dan wajah petani di sampulnya
menyampaikan keberingasan. Dan judul itu menyebut ”setan”,
”ganyang”. Di bawah potret besar Sukarno yang dipasang orangtuanya
pada dinding ia membaca seperti membaca sebuah sihir kuno dari
makam terlarang. Inilah Kitab yang disembunyikan Orde Baru.
Sebuah dari Kitab-Kitab Kebenaran. Mantra yang mengajak dia
menyelami kaum tani, tinggal bersama mereka... (Larung: 212).

Dari penggalan di atas, pengarang begitu lugas bertutur mengenai peristiwa

PKI ini dan seakan begitu menaruh simpati kepada para korban yang tidak bersalah

namun dianggap terlibat dalam partai yang beraliran komunis ini. Terjadinya

pemberontakan komunis dan puncaknya ketika terjadi peristiwa penculikan dan

pembunuhan beberapa jenderal di tahun 1965 membuat pemerintahan yang baru

benar-benar ingin menumpas aliran ini sampai ke akar-akarnya meski dalam

praktiknya banyak orang-orang yang tidak berdosa dan tidak tahu menahu, turut pula

menjadi korban. Pengarang juga tampaknya ingin menyelipkan berbagai peristiwa

yang selama masa Orde Baru ditutup rapat. Pengarang beruntung sudah menikmati

masa reformasi yang semua pendapat dan pemikiran dihargai. Hal yang diungkapkan

pengarang dalam bagian novel ini tentu tidak bisa disampaikan seterbuka ini jika

rezim Orde Baru masih berkuasa.

Umumnya bahasa pada karya-karya sastra yang dilahirkan pada masa

reformasi cenderung lebih lugas dan terbuka. Begitu pula dalam hal ide cerita yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
juga lebih variatif bahkan terkesan berani. Hal ini jelas terlihat pada novel-novel masa

kini yang berani mengangkat tema-tema yang masih terlalu minor bagi masyarakat

Timur. Misalnya tema cinta pasangan sejenis (lesbian dan gay). Tokoh-tokoh yang

memiliki orientasi seksual yang menyimpang ini umumnya menceritakan tokoh-

tokoh dari kalangan usia muda, metropolis, mandiri serta hidup dalam latar kota-kota

besar. Di samping itu, tema seks dan perselingkuhan juga masih menjadi santapan

lezat bagi para pengarang perempuan Angkatan 2000.

Hal ini cukup dimaklumi karena setelah sekian lama pengarang seolah hidup

dalam keterkungkungan yang mengakibatkan mereka tidak bisa berkreasi dengan

leluasa. Apabila ada kritik dan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan pihak

penguasa ketika itu, maka karya tersebut dipastikan tidak akan muncul di pasaran

lagi.

Kisah yang mengungkapkan tema percintaan yang kontroversial dari

Angkatan 2000 dapat dilihat dari dua cuplikan novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan

Bintang Jatuh di bawah ini.

”Aku kok jadi ingin jujur tentang sesuatu,” terdengar suara menelan
ludah,”aku sebenarnya...”
”Gay?”
Dhimas terlongo, ”Lho, gimana kamu bisa...?”
Ruben tertawa keras. ”It was so obvious!... ”
(KPBJ: 8).

Uniknya, sekalipun sudah sekian lama mereka resmi menjadi


pasangan, Ruben dan Dhimas tidak pernah tinggal seatap sebagaimana
biasanya pasangan gay lain. Kalau ditanya, jawabannya supaya bisa
tetap kangen. Tetap dibutuhkan usaha bila ingin bertemu satu sama
lain
(KPBJ: 10).

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Pada contoh lain, dapat pula disaksikan konteks historis dalam novel

Perempuan Berkalung Sorban sebagai berikut.

”Baiklah anak-anak,” pak guru mencoba menguasai suasana, ”Dalam


adat istiadat kita, seorang laki-laki memiliki kewajiban dan laki-laki,
yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, mendatangkan rezeki
yang halal. Sedangkan seorang perempuan, mereka juga memiliki
kewajiban, yang terutama adalah mengurus rumah-tangga dan
mendidik anak. Jadi memasak, mencuci, mengepel, menyetrika,
menyapu dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban seorang
perempuan. Demikian juga memandikan anak, menyuapi,
menggantikan popok dan menyusui, itu juga kewajiban perempuan.
Sudah paham anak-anak.” (PBS: 12).

Dalam penggalan novel di atas diketahui bahwa pengarang mencoba

menggugat sistem patriarki yang begitu melekat erat dalam adat istidat Indonesia dan

di negara-negara lain yang masih mempertahankan sistem patriarki. Penggalan novel

di atas tampak sangat jelas mempertanyakan kewajiban laki-laki dan perempuan yang

dipertanyakan tokoh Annisa, namun sang guru yang juga merupakan bagian dari

sistem tersebut mengganggap hal tersebut wajar dan memang seperti itulah yang

biasa terjadi dalam masyarakat. Pengarang, via tokoh Annisa, begitu menggebu

dalam mengungkapkan ketidakadian yang dialami perempuan.

Latar cerita ini dikisahkan di sebuah pesantren yang masih begitu kukuh

mempertahankan sistem patriarki dengan dalih ajaran agama. Menurut pengakuan

pengarang sendiri di sebuah media televisi, ketika ditanyai seputar film Perempuan

Berkalung Sorban, sewaktu tinggal di pesantren, dia memang mengetahui dan

mengalami sendiri masih banyaknya orang-orang yang selama ini dianggap kiyai dan

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
ulama namun masih berpikiran picik ketika berhadapan dengan permasalahan

perempuan. Kitab-kitab yang menjadi landasan mereka pun kebanyakan tidak berasal

dari Quran dan Hadist, melainkan kitab yang terkadang diragukan kesahihannya. Jika

ada hal yang dinukil dari Quran dan Hadist, namun isinya ditafsirkan sendiri menurut

keinginan mereka. Padahal tidak pernah ada dinyatakan secara lugas di dalam Quran

dan Hadist bahwa kewajiban perempuan (istri) itu memasak, mencuci, menyetrika,

dan aktivitas domestik lainnya. Sayangnya dalam kultur masyarakat hal itu seolah-

olah merupakan kewajiban yang mesti dipatuhi seorang perempuan (istri).

Tabel 3 : Konteks Historis

Angkatan Konteks Historis


1970 Sosial Budaya Politik
No Primordial Kontemporer
1 Perempuan Kedua √ √ ─ √

2 Karmila √ √ ─ ─

3 Bukan Impian ─ √ ─ ─
Semusim
4 Namaku Hiroko √ √ ─ ─

5 Pada Sebuah Kapal √ √ ─ √

6 Melati di Musim √ √ ─ ─
Kemarau
2000

1 Larung √ ─ √ √

2 Saman √ ─ √ √

3 Perempuan √ ─ √ ─
Berkalung Sorban

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Lanjutan tabel 3

4 Geni Jora √ ─ √ √

5 Supernova: Ksatria, √ ─ √ √
Puteri, dan Bintang
Jatuh
6 Supernova: Akar √ ─ √ ─

7 Nayla √ ─ √ ─

Berdasarkan tabel di atas dapat disaksikan bahwa konteks historis yang paling

mendominasi adalah konteks yang berkaitan dengan sosial, baik dari Angkatan 1970

maupun Angkatan 2000. Begitu pun dengan konteks budaya. Novel-novel pada

Angkatan 1970 pada umumnya memiliki konteks budaya yang cenderung primordial

dan ingin mempertahankan nilai-nilai tradisi yang sudah dianut masyarakat. Adapun

budaya yang ditampilkan dalam novel Angkatan 2000 lebih pada budaya

kontemporer. Para tokoh, terutama tokoh perempuan, yang ada di dalam Angkatan

2000 ini umumnya mempertanyakan kembali nilai-nilai budaya yang selama ini

masih diyakini dan dijunjung tinggi dalam masyarakat di novel tersebut. Tidak jarang

dalam tarik menarik antara budaya primordial dan budaya kontemporer menjadikan

konflik semakin meruncing di antara tokoh-tokohnya.

Dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa konteks historis yang berkaitan

dengan konteks sosial pada Angkatan 1970 terdapat dalam lima novel. Sedangkan

pada konteks budaya masih cenderung budaya primordial, yaitu berjumlah enam

novel. Adapun pada konteks politik hanya terdapat dalam dua novel saja. Pada

Angkatan 2000 terdapat tujuh atau semua novel yang termasuk dalam konteks sosial.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Adapun konteks budaya sudah cenderung kontemporer yaitu terdapat di semua novel

yang mewakili. Sedangkan konteks yang berkaitan dengan peristiwa politik terdapat

dalam empat novel.

Dalam hal politik ini ditemukan ternyata pada Angkatan 2000 persoalan ini

lebih banyak dikemukakan. Berbagai ragam peristiwa politik yang pernah terjadi di

tanah air tentunya begitu menarik perhatian para pengarang perempuan yang seakan

mengingatkan kembali atas peristiwa yang disebutkan serta tentunya diharapkan

pembaca dapat mengambil hikmahnya. Representasi berbagai peristiwa politik yang

pernah terjadi di Indonesia disinggung dan yang paling menonjol adalah Larung dan

Saman. Berikutnya yang juga menyinggung arena politik adalah Geni Jora,

Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh yang mewakili Angkatan 2000.

Sedangkan dalam novel Perempuan Kedua dan Pada Sebuah Kapal mewakili

Angkatan 1970.

4.4 Kekuasaan

Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam

analisisnya. Sebuah wacana sebenarnya merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.

Dalam menganalisis ideologi feminisme Angkatan 1970 dan Angkatan 2000,

kekuasaan tentu hal yang penting untuk dibicarakan karena ideologi feminisme

sangat erat kaitannya dengan adanya kekuasaan. Kekuasaan yang muncul di sini tentu

saja kekuasaan yang bersumber dari budaya patriarki yang telah mengakar kuat dalam

masyarakat. Dominasi dan hegemoni superior yang dilakukan kaum laki-laki telah

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
menjadikan kaum perempuan menjadi kaum inferior selama berabad lamanya.

Namun seiring dengan berkembangnya pemikiran feminisme, terkadang kekuasaan

itu justru terletak di tangan perempuan seperti yang terdapat pada penggalan novel

Karmila berikut.

Feisal tetap menunduk mempermainkan kuncinya.


”Jadi kapan kita buat perjanjian itu?
”Perjanjian? tanya Feisal seraya mengangkat kepalanya.
”Tentu,” sahut gadis itu sambil memandang ke jalan. ”Kau pikir, aku
mau menikah tanpa kertas yang menguatkan perjanjian kita?”
”Engkau tidak percaya kepada saya?”
”Kalau kau tidak sudi menulis perjanjian itu, tidak mengapa. Aku akan
kembali pada rencana semula. Anak ini akan kuberikan pada orang
tuaku. Dan engkau takkan berhak lagi datang-datang kemari,
menggangguku!” (Karmila: 73).

Dalam cuplikan novel di atas terlihat tokoh perempuannya, Karmila,

memiliki hak dan kekuasaan untuk menekan tokoh laki-laki, Feisal. Karmila

dilukiskan begitu membenci Feisal yang telah memerkosanya dan menghamilinya.

Pihak keluarga menginginkan Karmila menikah dengan Feisal supaya anak yang

dilahirkan Karmila nantinya memiliki ayah. Meskipun hatinya berat dan tidak

mencintai orang yang memerkosanya tersebut, akhirnya Karmila bersedia juga

menikah. Banyaknya persyaratan yang diajukan Karmila mengisyaratkan adanya

kekuasaan yang dimilikinya dan Feisal sendiri menerima saja asalkan Karmila tetap

mau melahirkan dan mengasuh anaknya. Selain itu, diam-diam Feisal juga telah

mencintai Karmila.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Meskipun terkesan memiliki kekuasaan, namun pada hakikatnya Karmila

tunduk dan mengalah pada keinginan keluarga. Pernikahan yang sebenarnya tidak

diinginkannya terpaksa ia lakukan demi menjaga kehormatan keluarga.

Contoh lain pada Angkatan 1970 dapat dilihat pada novel Perempuan Kedua

sebagai berikut.

Aku belum membuangmu, pelacur! Tapi kau telah main gila dengan
lelaki lain. Tidak seorang pun kubiarkan mengkhianati diriku. Tidak
juga kau! Akan kubuat kau dan doktermu itu menyesal!”
”Mas, saya bukan budak. Mas tidak dapat memenjarakan saya terus-
menerus di bawah kekuasaanmu. Mas tidak mau mengawini saya.
Berarti tidak ada ikatan apa-apa di antara kita. Saya bukan istrimu.
Mas tidak berhak melarang saya memilih laki-laki lain!”
”Oh, sekarang kau bicara soal hak?” Primodarso tertawa
menyeramkan. Matanya bersinar buas... (PK: 166-167).

Dialog antara tokoh Patricia dan Primodarso di atas terasa sangat jelas

kekuasaan yang dimiliki Primodarso. Sebagai orang yang terpandang di masyarakat,

kedudukan Primodarso tentu lebih tinggi daripada Patricia yang statusnya hanya

sebagai perempuan simpanan. Kemampuannya untuk mengontrol bahkan menghabisi

nyawa seseorang yang tidak disukainya bisa ia lakukan. Hal ini terlihat pada

Primodarso yang ditempatkan pengarang sebagai tokoh antagonis. Dia merasa berhak

memiliki apa saja yang dikehendakinya dan tidak bersedia melepaskan sesuatu.

Semua ini lebih dikarenakan pada sifat egois yang dipunyainya.

Apabila seseorang tidak memiliki landasan iman yang kuat, uang dan

kekuasaan yang dimiliki bisa menjadikan seseorang menjadi orang yang sombong

dan tidak memiliki hati nurani.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dalam novel Pada Sebuah Kapal, aspek kekuasaan juga dapat disaksikan

dalam cuplikan berikut.

Setiap kata suamiku kusetujui meskipun dalam hati aku


menyangkalnya. Setiap tindakan keras hanya kupandangi dengan mata
sedihku. Dan setiap kata-katanya yang kasar kutanam dan kupendam
dalam-dalam tanpa kujawab...
(PSK: 130).

Begitu pula yang terdapat dalam cuplikan novel Namaku Hiroko di bawah ini.

Dengan sikap kelaki-lakiannya yang memerintah ia menyuruh aku


mengerjakan segala khayal yang dikehendakinya. Ditunjukkannya
kepadaku sebuah buku, kertasnya kuning ketuaan, di mana dilukiskan
gambar serta keterangan-keterangan letak badan dalam hubungan
intim maupun percintaan. Dengan sikap pasip yang mendendam
bercampur rasa ingin tahu, aku menurutinya. Kemudian, jika
perbuatan itu telah berlalu, aku berkata keras-keras dalam hati
memberanikan diri, esok aku akan menolaknya... (NH: 75).

Dari kedua cuplikan di atas dapat dilihat dominasi dan kekuasaan yang

dimiliki pihak laki-laki sehingga tokoh-tokoh perempuan dalam kedua novel tersebut

menjadi tidak berdaya. Dalam Pada Sebuah Kapal terlihat tokoh Sri selama hidup

berumah tangga dengan Charles Vincent, seorang diplomat asal Prancis, merasa

selalu diperlakukan tidak semestinya. Sikap Charles yang keras menjadikan Sri tidak

bahagia dan tersiksa meskipun pada akhirnya Sri membalas kelakuan suaminya

dengan sikap yang berani melawan dan juga perselingkuhanya dengan Michel

Dubanton.

Pada Namaku Hiroko, unsur kekuasaan tampak jelas pada sikap majikan laki-

laki tempat Hiroko bekerja. Ia setengah memaksa Hiroko untuk berhubungan jasmani

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
meski Hiroko juga tidak sepenuhnya menolak karena ia juga terbakar nafsu yang

membuat ia pasrah pada tindakan sang majikan.

Pada berbagai contoh penggalan novel di atas, dapat dikatakan perempuan

dipandang tidak lebih hanya sebagai alat pemuas bagi laki-laki saja. Sikap yang

mereka tunjukkan seakan ingin menegaskan bahwa mereka adalah pihak yang

berkuasa atas perempuan. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan Faruk (2000:

94), ”...wanita menjadi tidak lebih dari sekedar alat bagi peragaan kekuasaan laki-

laki. Sebagai alat, wanita tidak mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri selain takluk

pada laki-laki yang memiliki dan menggunakannya”.

Sikap yang ditunjukkan para tokohnya, terutama tokoh perempuan pada

cuplikan yang mewakili Angkatan 1970 di atas seakan terasa sangat berbeda dengan

apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel yang mewakili

Angkatan 2000 meskipun orang-orang di sekitar tokoh-tokoh perempuan ini masih

terbawa dan mendukung sistem patriarki yang telah mengakar kuat. Di antaranya

dapat dilihat pada penggalan novel Saman sebagai berikut.

Kenapa ayahku harus tetap menjadi bagian dari diriku? Tapi hari-hari
ini semakin banyak orang Jawa tiru-tiru Belanda. Suami istri memberi
nama si bapak pada bayi mereka sambil menduga anaknya bahagia
atau atau beruntung karena dilahirkan. Alangkah melesetnya.
Alangkah naif [...] Lalu aku melobi mereka agar tidak memaksaku
mengenakan nama ayahku dalam dokumen-dokumen, sebab kami tak
punya konsep itu. Dan kukira tidak perlu. ”Tapi tak mungkin orang
cuma mempunyai satu kata,” kata mereka. Atau, barangkali aku ini
bukan orang? Lalu aku terpaksa kompromi, sebab jangan-jangan aku
memang bukan orang padahal aku betul-betul ingin melihat negeri
mereka. First name: Shakun. Family name: Tala (Saman: 137-138).

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dari cuplikan novel di atas dapat dilihat adanya kebencian tokoh Shakuntala

pada ayah dan kakaknya serta cibirannya pada sistem patriarki yang masih dianut

oleh masyarakat pada umumnya yang menyebabkan para perempuan harus memakai

nama ayah mereka di belakang nama asli. Diceritakan juga bahwa Shakuntala tetap

bersikukuh tidak ingin menggunakan nama ayahnya ketika ingin mengurus visa

meski petugas Kedutaan Besar Nederland tetap memaksa menggunakan nama

ayahnya.

Masih pada novel dan tokoh yang sama, adanya nuansa kekuasaan juga

ditunjukkan dari kisah Shakuntala yang merasa telah dibuang olah sang ayah ke

sekolah yang tidak disukainya. Sang ayah yang merasa berkuasa atas kehidupan

anaknya tidak merasa bersalah meski terjadi penolakan dari Shakuntala. Atas

peristiwa traumatis tersebut mengakibatkan Shakuntala pada akhirnya begitu

membenci sang ayah. Dari sini juga terlihat Shakuntala seolah mencemooh segala

petuah yang didengarnya sejak remaja seperti yang terdapat pada penggalan berikut.

Inilah wewejangnya: Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghampiri


perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal.
Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang
pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu
dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya
sebagai persundalan yang hipokrit
(Saman: 120-121).

Aku sendiri masih memendam dendam pada ayahku. Sedang Laila,


aku tak tahu apakah ia masih menganggap lelaki sebagai penjahat
utama. Dia telah jatuh cinta beberapa kali, dan tak pernah menyakiti
lelaki seperti Cok memanfaatkan dan membohongi pacar-pacarnya
(Saman: 154).

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Demikian halnya yang terdapat dalam Nayla. Novel karya Djenar Maesa Ayu

ini juga begitu terbuka dalam bertutur. Nayla berkisah tentang seorang perempuan

bernama Nayla yang mengalami pengalaman masa kecil yang tidak bahagia karena

ditinggal pergi sang ayah sejak lama dan seorang ibu yang begitu keras dalam

mendidiknya. Kekuasaan yang terdapat di novel ini di antaranya adalah pelukisan

tokoh ibu Nayla yang cukup kejam kepadanya hingga tega menusuk vagina Nayla

yang masih kecil dengan peniti yang telah dipanaskan. Sikap sang ibu yang demikian

membuat Nayla membenci ibu yang telah melahirkannya tersebut.

Ia juga masih heran, kenapa Ibu tega menghukumnya dengan cara


seperti itu. Kenapa Ibu tak bisa berpikir bahwa tak akan ada satu orang
anak pun yang memilih ditusuki vaginanya dengan peniti hanya
karena ingin mempertahankan rasa malas. Rasa sakit di hatinya pun
masih kerap menusuk setiap kali melihat sosok ibu tak ubahnya
monster. Padahal ia ingin melihat Ibu seperti ibu-ibu lain yang biasa
dilihatnya di sekolah ataupun di ruang tunggu dokter
(Nayla: 2).

Selain mendapat didikan yang sangat keras dan kasar dari sang ibu, Nayla juga

diceritakan pernah mengalami pelecehan seksual dari pacar ibunya. Perlu diketahui

pekerjaan sang ibu digambarkan sebagai perempuan yang melacurkan diri demi bisa

mendapatkan uang yang banyak.

Apakah saya sudah melakukan kesalahan besar? Apakah sebaiknya


saya berteriak ketika ia sedang menggesekkan penisnya ke tengkuk
saya. Apakah seharusnya saya melawan ketika penisnya menghunus
lubang vagina saya? Apa yang harus saya lakukan? Mengatakan
semuanya kepada ibu? Apa reaksi Ibu? Apakah ia akan menusuki
vagina saya tidak hanya dengan peniti namun dengan linggis. Apakah
ia akan tidak sekadar menempel tahi ke mulut saya dengan plester, tapi
malah memaksa saya menelannya
(Nayla: 114).

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dalam cuplikan di atas terlihat nyata Nayla telah mengalami tindakan

kekerasan. Ia telah mengalami kekerasan yang dari orang-orang terdekatnya. Segala

perlakuan yang diterimanya tersebut dikarenakan orang-orang yang melakukan

kekerasan tersebut, termasuk ibu Nayla, merasa memiliki hak dan kekuasaan atas diri

Nayla. Nayla yang masih berusia belia dan polos tentu tidak bisa berbuat banyak

ketika ia diperlakukan tidak sepantasnya.

Menurut Fakih (2004: 17), tindakan kekerasan terhadap perempuan yang

paling sering terjadi dalam masyarakat adalah pelecehan seksual (sexual and

emotional harrasment). Di antara bentuk yang dapat dikategorikan pelecehan seksual

adalah bentuk pemerkosaan terhadap perempuan. Adapun bentuk perkosaan itu

apabila seseorang melakukan paksaan untuk mendapat pelayanan seksual tanpa

kerelaan yang dari yang bersangkutan. Selain perkosaan, yang termasuk kekerasan

terhadap perempuan adalah penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse) dan

penyiksaan yang mengarah pada organ kelamin (genital mutilation). Apa yang

dikatakan Fakih di atas ternyata dapat dilihat dalam novel Nayla ini.

Pengalaman seksual yang tidak mengenakkan di masa kecilnya dan perjalanan

hidup yang berliku membuat tokoh Nayla saat remaja diceritakan pernah memiliki

kekasih sesama perempuan bernama Juli. Ketika berusia dewasa dan setelah lepas

dari Juli, Nayla juga sempat memiliki pacar laki-laki yang bernama Ben. Ketika

bersama Ben, Nayla terlihat sangat mendominasi hubungan mereka. Terlihat juga

betapa Nayla terbiasa memaki-maki Ben jika ada sesuatu yang tidak sesuai kehendak

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Nayla dan ia pun bisa berbuat brutal ketika sedang bertengkar. Perhatikan cuplikan

berikut.

Nayla menerkam Ben. Menghajar mukanya. Menjambak rambutnya.


Ben mempertahankan diri dengan memegangi tangan Nayla. Nayla
semakin brutal. Digigitnya tangan Ben, berusaha melepaskan
tangannya. Pegangan tangan Ben terlepas. Nayla meraih botol bir dan
memecahkannya, lalu mengacungkannya ke depan muka Ben.
”Heh, Setan! Lu tau ya gue belajar dari jalanan! Jangan sampe gue
gorok leher lu sekarang!” (Nayla: 89)

Contoh pada cuplikan novel lain yang masih mengenai aspek kekuasaan yang

mewakili Angkatan 2000 dapat disaksikan dalam novel Geni Jora berikut.

”E... anu, Bi. Jora menginginkan kalung ini,” kata paman sambil
memperlihatkan kalungnya di depan mata nenek, ”tetapi ia tidak sabar
untuk memilikinya. Ia terus merebutnya dari tanganku.”
”Bukankah kau bisa minta ayahmu untuk membelikannya, Cucu?
Mengapa pakai rebut-rebutan dengan pamanmu?
Secara bergantian, kulihat wajah nenek lalu wajah pamanku. Dari
kedua wajah itu, ternyata aku hanya menemukan wajah-wajah maling
yang suka mencuri hak-hakku. Menyadari itu, tak ada gunanya
berbicara dengan mereka, baik tentang kebenaran ataupun penipuan
(GJ: 87).

Laki-laki yang kebetulan masih berkerabat dengan ayah Kejora itu, seperti

yang dilihat pada cuplikan di atas telah berbohong dan mengambinghitamkan Kejora

yang dikatakannya hendak mengambil kalung. Nyatanya lelaki tersebut telah

memperlakukan Kejora dengan tidak semestinya. Sang paman mencoba memperkosa

Kejora kala di rumah tidak ada siapapun kecuali mereka berdua. Ketidakberdayaan

Kejora menghadapi pamannya yang akan berbuat asusila tersebut merupakan bukti

kekuasaan patriarki yang masih begitu kuat dalam keluarga khususnya dan

masyarakat pada umumnya. Hal ini tampak dari kutipan tokoh Nenek yang seolah

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
menjadi bagian dari sistem patriarki karena begitu kukuh membela anggota

keluarganya yang berjenis kelamin laki-laki serta hampir tidak pernah memedulikan

anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan, termasuk cucu-cucunya yang

perempuan.

Tabel 4 : Aspek Kekuasaan

No Angkatan Kekuasaan
Hegemoni Hegemoni Ekonomi Politik Kekerasan
1970 Laki-laki Perempuan
1 Perempuan Kedua √ ─ √ √ √

2 Karmila √ √ ─ ─ √

3 Bukan Impian ─ √ ─ ─ ─
Semusim
4 Namaku Hiroko √ √ ─ ─ √

5 Pada Sebuah Kapal √ ─ ─ ─ √

6 Melati di Musim √ ─ √ ─ ─
Kemarau

2000
1 Larung ─ √ √ √ √

2 Saman ─ √ √ √ √

3 Perempuan √ ─ √ ─ √
Berkalung Sorban
4 Geni Jora ─ √ √ √ √

5 Supernova:Ksatria, √ √ √ √ ─
Puteri, dan Bintang
Jatuh
6 Supernova: Akar ─ √ ─ ─ √

7 Nayla ─ √ √ ─ √

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat pula aspek kekuasaan

yang meliputi adanya hegemoni laki-laki, hegemoni perempuan, kekuasaan yang

berkaitan dengan kuat dan lemahnya ekonomi, kekuasaan yang berkaitan dengan

politik serta kekuasaan yang berkaitan dengan tinggi rendahnya posisi seseorang

sehingga bisa melakukan kekerasan terhadap orang lain.

Pada Angkatan 1970, umumnya hegemoni dilakukan oleh pihak laki-laki. Hal

ini ditandai dengan dialog, monolog serta berbagai perilaku dalam berbagai novel di

angkatan tersebut. Tokoh-tokoh perempuan seolah tidak berdaya menghadapi

keadaan yang selalu menjadikan mereka pihak yang tertindas. Bahkan tokoh-tokoh

perempuan di Angkatan 1970-an ini umumnya tidak merasa ditindas meskipun

mereka harus melakukan berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan wilayah

domestik. Adapun di Angkatan 2000, keadaan menjadi sebaliknya. Para tokoh

perempuan sudah lebih berani dalam bersikap. Mereka umumnya digambarkan

sebagai perempuan-perempuan yang lebih mandiri, berpendidikan, dan kerap

memiliki jiwa yang pemberontak. Hal ini terbukti dalam beberpa novel Angkatan

2000 ternyata kekuasaan umumnya sudah didominasi oleh kaum hawa.

Sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan ekonomi juga banyak terdapat

dalam Angkatan 2000. Adapun kekuasaan dalam bidang politik yang dimiliki oleh

para pelakunya, ditemukan satu novel pada Angkatan 1970 serta empat novel dalam

Angkatan 2000. Aspek kekerasan juga terdapat dalam Angkatan 1970 dan Angkatan

2000. Kekerasan juga hampir ditemukan dalam setiap novel yang mewakili Angkatan

2000. Hal ini dapat diketahui melalui uraian dalam jalinan cerita.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pada Angkatan 1970 terdapat lima

novel yang terdapat di dalamnya hegemoni laki-laki. Sedangkan yang di dalamnya

terdapat hegemoni perempuan berjumlah tiga novel. Kekuasaan yang berkaitan

dengan faktor ekonomi berjumlah dua novel. Adapun kekuasaan yang berkaitan

dengan politik hanya terdapat satu novel saja. Adanya faktor kekuasaan yang di

dalamnya terdapat kekerasan berjumlah empat novel. Pada Angkatan 2000 ditemukan

ternyata hanya dua novel saja yang di dalamnya terdapat hegemoni laki-laki. Adapun

hegemoni perempuan jumlahnya melonjak hingga hampir keseluruhan data Angkatan

2000, yaitu enam novel. Faktor ekonomi ditemukan dalam enam novel. Kekuasaan

yang berkaitan dengan politik berjumlah empat novel. Faktor kekerasan juga lebih

meningkat dibandingkan pada Angkatan 1970, yaitu berjumlah enam novel.

4.5 Ideologi

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ideologi pada dasarnya merupakan

kumpulan dari berbagai kepercayaan, prinsip tertentu untuk mengatur suatu

masyarakat (Ratna, 2008:448). Sebuah wacana tentu tidak akan terlepas dari unsur

ideologi yang tergambar dari tulisan yang dihasilkan penulis wacana.

Keterbukaan dalam mengungkapkan ideologi feminisme pada karya sastra

Angkatan 1970 ternyata tidak sevulgar apa yang terdapat pada Angkatan 2000. Tema-

tema feminisme yang diusung pengarang perempuan pada Angkatan 1970 biasanya

berkisar keinginan perempuan untuk setara dengan kaum laki-laki dalam berbagai

hal. Masalah percintaan homoseksual (gay dan lesbian), yang menjadi ciri khas

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
feminisme radikal hampir tidak ditemukan dalam karya-karya perempuan pada masa

itu. Sebaliknya tema-tema feminisme yang diungkapkan para pengarang perempuan

Angkatan 2000 ternyata sudah lebih berani sekalipun memasuki wilayah yang masih

dianggap tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Para pengarang perempuan ini

dengan ringan menceritakan kisah pengalaman seksual yang sedemikian bebas dari

tokoh-tokohnya meski tanpa ada ikatan pernikahan, kehidupan cinta pasangan sejenis,

perselingkuhan yang semakin ramai terjadi, dan kebencian terhadap budaya patriarki

yang telah mengakar kuat.

Selain telah terjadi pergeseran konsep ideologi feminisme dalam hal

keterbukaan, yang juga perlu diperhatikan adalah keinginan untuk menegaskan jati

diri dan otoritas sebagai pengarang. Artinya, sikap yang ditunjukkan oleh para

pengarang feminis ini mulai bergeser dari masa ke masa. Pada Angkatan 1970 para

pengarang perempuan umumnya masih menggunakan pakem lama yang dibentuk

oleh wacana masyarakat dan campur tangannya pemerintahan pada waktu itu.

Wacana yang berkembang pada masa itu yakni perempuan (istri) harus mendukung

aktivitas suami sebagai kepala rumah tangga.

Begitu pula halnya dalam karya sastra. Banyak novel yang memiliki

perempuan stereotip dengan wacana di atas. Kebanyakan perempuan-perempuan

tersebut ketika sudah menikah hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dalam

novel Perempuan Kedua, misalnya, dapat dilihat contoh bagaimana kekecewaan yang

dialami seorang istri dan ibu yang telah mengabdikan diri hanya untuk mengurus

keluarga semata, tetapi tetap saja sang suami berselingkuh pada perempuan lain.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Aku sudah menyerahkan seluruh hidupku untuk keluarga. Aku hampir tidak punya

waktu untuk diriku sendiri! Tapi apa yang kini kuperoleh?” (hlm. 114).

Meskipun ada usaha untuk mencoba untuk menggugat dan memberontak

sistem patriarki yang tercermin dari sikap para pelakunya, namun terkadang

pengarang mengambil sikap yang hati-hati dalam menyuarakan ideologinya tersebut

agar jangan sampai terlalu vulgar dan tidak sampai menyinggung ke sistem

pemerintahan yang mendukung wacana patriarki karena tindakan itu tentu saja bisa

berakibat dibredelnya karya sastra tersebut.

Dibandingkan dengan karya-karya sastra Angkatan 1970, karya-karya sastra

pengarang perempuan yang berkembang di era reformasi ini sudah lebih tegas dalam

bersikap. Segala pemikiran dan pergulatan batinnya dituangkan nyaris tanpa ada

intervensi dari pihak pemerintah sehingga tidak heran para pengarang ini memiliki

argumen logis tentang pilihan sikap mereka yang tercemin di dalam karya sastra.

Meskipun masih terdapat pro dan kontra di antara masyarakat dan pembaca atas sikap

yang mereka tunjukkan, namun pengarang tetap saja memiliki hak untuk menyatakan

apa yang dianggapnya benar selama hal tesebut tidak melecehkan dan merugikan

pihak-pihak lain.

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian konsep ideologi feminisme,

bahwa ideologi feminisme secara umum dapat dibagi ke dalam empat bagian, yaitu

feminisme liberal, feminisme radikal atau kultural, feminisme sosialis, dan feminisme

Africana atau Black Feminism.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Adapun contoh cuplikan novel yang memasukkan ideologi feminisme di

antaranya terdapat dalam novel Pada Sebuah Kapal berikut.

Aku tidak lagi menaruh perhatian sedikit jua akan apa pun yang dia
katakan. Aku telah jauh darinya. Berapa kali pun dia mengatakan
bahwa dia mencintaiku, aku tidak akan mempercayainya. Antara dia
dan aku, bagiku tidak ada lagi perasaan yang lebih dari keharusan-
keharusan yang membosankan. Undang-undang perkawinan
mengharuskanku untuk tidur bersamanya, menemaninya pada waktu-
waktu susah dan gembira
(PSK: 137).

Pada novel Angkatan 1970 lainnya dapat disaksikan dalam Namaku Hiroko berikut.

Menurut pendapat Nakajima-san, aku harus berhati-hati. Perkawinan


antara suku bangsa sukar, apalagi jika suami istri terdiri dari bangsa
yang berlainan. Aku harus berpikir panjang sebelum terlanjur.
Lingkungan yang mengenal kami berdua kebanyakan tidak dapat
mengerti maupun memahami sikapku. Rekan-rekan sekerja semua
menyalahkan aku. Begitu banyak perempuan yang ingin kawin!
Kebanyakan tanpa melihat lebih jauh, hanya karena takut kesepian
hidup bersendiri, atau hanya mengharapkan jaminan kesejahteraan
hidup secukupnya, atau asal menjadi seorang istri sebelum mencapai
umur tertentu. Perkawinan demikian biasanya terdampar,
mengakibatkan kehidupan-kehidupan seperti apa yang dialami
Emiko... (NH: 168).

Pada kedua novel karya Nh. Dini tersebut bisa tercium aroma feminisme yang

diungkapkan secara lugas dan dengan nada kemarahan. Sejak lama Nh. Dini selalu

menulis mengenai perempuan dan pemikirannya pun dinilai cenderung kebarat-

baratan, maka dapat dimaklumi jika perempuan kelahiran Semarang ini dikenal juga

sebagai pengarang feminis.

Pada kedua cuplikan cerita di atas ideologi yang disampaikan dapat terbaca

melalui kalimat-kalimat yang seolah-olah mencibir institusi perkawinan. Pada

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
penggalan Pada Sebuah Kapal dipaparkan meskipun Sri masih tinggal bersama

suaminya, Sri menjalani semua itu hanya sebagai kewajiban di mata hukum semata

bukan dengan rasa cinta. Meski beberapa waktu Sri mencoba tetap setia akan

komitmen perkawinannya dengan Charles, namun di kemudian hari ia berani

mengambil langkah untuk berselingkuh dengan laki-laki lain yang dikenalnya di

kapal dalam perjalanan menuju Merseille, Prancis.

Tidak berbeda jauh dengan Pada Sebuah Kapal, dalam Namaku Hiroko

terlihat bahwa tokoh Hiroko tidak terlalu memikirkan kehidupan perkawinan.

Meskipun telah mengecap kehidupan yang bebas, bahkan pernah hidup bersama

dengan laki-laki tanpa ikatan yang resmi, Hiroko tidak pernah menyesalinya dan ia

merasa nyaman-nyaman saja dengan keadaan tersebut.

Dalam novel Melati di Musim Kemarau, ideologi feminisme dapat pula

disaksikan dalam cuplikan berikut.

”Karena sekarang ini saya yang menjadi kepala keluarga di sini, maka
seluruh tanggung jawab berada di pundak saya. Dengan demikian,
sayalah yang mencari makan. Saya pula yang mengusahakan agar
kesejahteraan keluarga ini tetap dapat dipertahankan. Sekali lagi, saya
rasa Anda tak perlu mengkhawatirkan keadaannya!”
”Lalu apa mata pencaharian Anda untuk memenuhi kebutuhan dalam
kehidupan yang serba sulit ini?” tanyanya. Ada nada ejekan dalam
suaranya.
”Saya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang
ekspor dan impor, dan barangkali Anda perlu juga mengetahui di
mana letak kantornya dan apa yang saya kerjakan di sana dan berapa
pula besarnya jumlah gaji saya?” (MdMK: 75).

Masih dalam Angkatan 1970, contoh cuplikan lain dapat pula disaksikan dalam novel

Perempuan Kedua sebagai berikut.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Laki-laki mana ada sih yang tidak menyeleweng, Ran?” Sekarang
seringai Dora mengambang. Matanya memancarkan sorot berbahaya.
Sinar yang lahir dari lubuk dendam yang masih membara. Meskipun
sudah empat tahun terkubur di bawah puing-puing perceraiannya.
”Mereka memang sudah rusak dari sananya kok! Diberi makan di
rumah sampai kenyang pun tetap juga jajan di luar!”
”Habis aku mesti bagaimana?”
”Gampang. Cuma ada dua pilihan. Cerai atau cuek.” (PK: 115).

Dalam novel Karmila juga dapat dilihat ideologi feminisme yang terungkap dari

tokoh Karmila seperti berikut ini.

”Aku memang tidak sudi menyusui dia. Aku tidak menghendakinya.


Mau apa? Aku tidak merasa itu anakku. Engkau boleh bawa dia pergi
sekarang juga. Bila engkau kurang senang...
”Baik,” kata Feisal dengan amat gusar. ”Baik!”
Dia duduk di atas tempat tidur Karmila lalu merenung sebentar.
”Aku akan bawa dia ke rumahku. Aku akan sewa orang untuk
menyusuinya!”
”Mila,” bujuknya beberapa saat kemudian, ”bila engkau sudi
menyusuinya, kami—ayah dan anak— akan sangat berterima kasih
seumur hidup kami. Pikirkanlah, Mila. Daripada kau buang-buang air
susu itu. Bukankah kau tahu, air susu ibu yang paling baik? Dan
mengenai kanker pada wanita yang tidak menyusui... atau apalagi
engkau pasti lebih tahu.
”Jangan takut-takuti aku!” bentak Karmila dengan geram.
(Karmila: 95).

Dari cuplikan ketiga novel di atas, pengarang juga ingin memaparkan ideologi

feminisme yang disampaikan melalui tokoh-tokoh perempuannya. Dalam Melati di

Musim Kemarau diceritakan bahwa tokoh Tuning menjadi kepala keluarga karena

kedua orang tua dan kakaknya telah meninggal dunia, mau tidak mau semua beban

hidup harus ditanggungnya untuk membiayai adiknya yang masih kuliah dan juga

keponakannya. Dalam novel ini, pengarang menggambarkan Tuning sebagai sosok

yang tegar meski mengalami berbagai cobaan.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Pada cuplikan novel Perempuan Kedua tampak adanya usaha pengarang

untuk lebih berani dalam mengungkapkan ideologi feminisme, yaitu melalui tokoh

Dora, sahabat Rani. Perempuan yang telah bercerai ini diceritakan berusaha

memprovokasi Rani untuk segera berpisah dari suaminya, dokter Yanuar yang

diketahui telah berselingkuh dengan pasiennya, Patricia. Dalam kamus Dora, tidak

ada kata kompromi jika suami telah mendua cinta. Menurut Dora, perempuan jangan

mau dibodohi kaum laki-laki hanya karena tidak tega melihat anak-anak yang tidak

menginginkan perceraian orangtuanya.

Hal ini senada dengan nilai-nilai feminis yang dikemukakan Sagala dan Ellin

(2007: 43), bahwa perempuan memiliki kekuasaan personal. Artinya perempuan

memiliki kekuasaan sebagai pribadi utuh atas dirinya, pikiran, perasaan, dan

tubuhnya. Perempuan berhak merumuskan arti tentang dirinya sendiri dan

memutuskan pilihan hidupnya, dalam bekerja, berorganisasi, berbusana, menikah,

tidak menikah, bercerai, menjadi ibu, dan sebagainya.

Pada Angkatan 2000 novel yang dianggap mewakili dapat disaksikan dalam

Perempuan Berkalung Sorban cuplikan berikut.

”... Alquran saja menegaskan untuk mu’asyarah bil ma’ruf dalam


pergaulan suami istri . Itu artinya, pergaulan suami istri harus
dilakukan dengan cara yang baik bagi kedua pihak, yaitu suami istri
yang menurut Alquran adalah setara. Jadi tidak berlaku hukum, satu
majikan satunya budak. Jika Alquran telah mengatakan seperti itu,
bagaimana bisa kiai Ali menegas-negaskan pernyataan yang
bertentangan dengan Alquran sebagai hadist Nabi? Kupikir beliau
terlalu berani mengatakannya.”
”Tetapi pernyataan itu ada dalam kitab, Lek.”
”Dan kitab itu dikarang oleh seseorang kan?”
”Benar.”

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Dan bukan oleh Yang Maha Tahu dan Mengerti tentang ciptaannya.”
”Iya.” (PBS: 169).

Pada contoh selanjutnya dapat pula dilihat pada cuplikan novel Abidah yang lain,

Geni Jora sebagai berikut.

Saat para perempuan berkumpul dalam satu majelis, dengan makalah


di tangan, dengan bermacam pergolakan yang dibawa dari negara
masing-masing, mengenai kondisi kaum yang disayangi yang ternyata
lemah dan terpinggirkan, yang menghuni pojok-pojok sejarah,
menempati baris-baris di luar pagina, yang kelaparan dan buta aksara,
ditempeleng para suami dan diperkosa para laki-laki. Saat para
perempuan gelisah dan menjadi cemas oleh kesenjangan membabi
buta...
(GJ: 20)

Seperti yang dapat disaksikan dalam kedua cuplikan novel di atas, terlihat

cukup jelas ideologi feminisme yang hendak diusung oleh pengarang asal Jombang

ini. Latar belakang kehidupan pesantren yang tampak pada kedua karyanya tersebut

seakan ingin menegaskan kefasihannya berbicara mengenai perempuan dan

kedudukannya dalam Islam serta tentunya kehidupan dunia pesantren yang pernah

didiaminya tersebut.

Pengarang mencoba mengambil perspektif yang berbeda dari para pengarang

feminis yang seangkatan dengannya. Sebagai perempuan yang telah lama

mengenyam pendidikan agama di pesantren, pengarang seolah menegaskan bahwa

Islam tidak pernah menjadikan perempuan sebagai makluk marjinal atau makluk

kelas dua. Keduanya merupakan mitra yang sejajar

Dalam kehidupan beragama juga tidak luput dikritik oleh Abidah melalui

tokoh utama perempuannya. Selama pendidikan di pesantren, Kejora dan Annisa —

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
nama tokoh dalam Geni Jora dan Perempuan Berkalung Sorban— berkesimpulan

bahwa kitab-kitab fiqih turut ambil bagian untuk menyubordinasi keberadaan

perempuan dan seolah menyatakan perlunya merekonstruksi fiqih yang selama ini

dirasakan telah menjadikan perempuan menjadi warga kelas dua. Menurutnya kitab-

kitab fiqih yang ditafsirkan para ulama selama ini tidak lebih tinggi nilainya daripada

isi kandungan Alquran dan Al Hadist. Jadi tindakan untuk menggugat interpretasi

kitab-kitab fiqih dari para ulama dirasa sebagai sikap yang wajar karena selama ini

pemahaman masyarakat tentang kedudukan perempuan cukup memprihatinkan.

Dalam hubungan seksual misalnya. Dikatakan istri wajib memenuhi hajat

suami meski sang istri sedang tidak ingin melakukannya. Jika istri tidak

memenuhinya, maka malaikat akan melaknat dan mengutuk perempuan tersebut.

Namun terkadang istri bisa saja sedang sakit atau kehilangan moodnya, apakah hal

itu termasuk dosa? Seharusnya hubungan tersebut dilakukan apabila keduanya sama-

sama dalam keadaan siap. Masih banyak hal-hal yang dipertanyakan tokoh-tokoh

utama perempuan kreasi Abidah tentang perempuan dan Islam.

Sebenarnya dalam ajaran Islam terdapat beberapa ayat yang mengungkapkan

adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan jika mereka beriman kepada Allah

SWT. Begitu pula dalam pergaulan suami istri. Suami disuruh untuk menggauli

istrinya secara patut. Seperti yang diutarakan dalam Quran berikut.

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan


perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-
laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar.”
(QS. Al-Ahzab: 35).

Apa yang disampaikan Abidah tentu agak berbeda dibandingkan dengan

ideologi feminisme yang disampaikan oleh Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu dalam

karya-karya mereka. Meskipun secara lugas menggugat nilai-nilai patriarki yang

pernah dilihatnya, Bahasa yang digunakan Abidah tidak sevulgar kalimat-kalimat

yang diutarakan Ayu maupun Djenar. Ideologi feminisme yang selama ini selalu

digaungkan tidak membuat tokoh-tokoh perempuan Abidah sampai membenci dan

mengumpat tokoh laki-laki. Bahkan para tokoh perempuan tersebut dikisahkan

memiliki kekasih dan juga mengalami pernikahan.

Hal ini sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Ayu dan Djenar,

misalnya. Pada Saman dapat disaksikan aroma ideologi feminisme sebagai berikut.

Dia mengambil analogi yang menarik antara sikap Orde Baru


terhadap perempuan dengan struktur organisasi dalam ABRI.
Menempatkan perempuan dalam kementrian sosial dan urusan wanita
sebetulnya pararalel dengan kegiatan Dharma Wanita atau Persit
Kartika Chandra. Itu merupakan perpanjangan dari rumah tangga
yang patriarki. Perempuan diseklusi dalam perkara domestik, urusan
rawat-merawat. Keputusan strategis tetap di tangan laki-laki. Lebih
dari itu, menurut dia, mengadakan kementrian urusan wanita
sebetulnya justru merupakan penolakan bahwa persoalan wanita
adalah persoalan politik bersama. Masalah perempuan dianggap
masalah yang khas kaumnya, yang laki-laki tak perlu bertanggung
jawab, padahal seluruh penindasan terhadap perempuan bersumber
dari patriarki... (Saman: 180).

Ideologi feminisme pada novel Larung dapat pula disimak seperti berikut.

Brigjend Rusdyan Wardhana, nama aslinya. Karena tentara, tentunya


dia bersepatu lars. Kami bertemu di sebuah pesta pariwisata di Medan
tak lama setelah aku membuka hotelku di jalan Sisingamangaraja.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Waktu itu dia masih colonel, baru dipindahkan dari Jakarta ke Kodam
Bukit Barisan, gagah sekali, dan aku membayangkan seorang pria
yang garang dan jalang, serdadu yang liar sepulang tempur, yang
merobek-robek bajuku dengan buas. Kami pun berkencan. Tetapi di
tempat tidur ternyata dia anak manis, yang menunggu aku melucuti
pakaiannya. Dan baru dua menit putus kayak telepon koin. Aku baru
mencari posisi yang enak ketika tiba-tiba, lho kok loyo?. Dia bukan
macan. Dia apalagi kalau bukan kucing bersepatu lars. Aku rada
kecewa. Tapi tak apa. Setiap pria memiliki daya tariknya sendiri, juga
daya tahan. Hahaha…
(Larung: 88).

Dalam cuplikan Saman di atas, Ayu menyinggung berbagai gerakan

perempuan di Indonesia. Ide-ide emansipatif sebenarnya telah lama muncul di negeri

ini. Persit Kartika Chandra Kirana, misalnya, merupakan salah satu perkumpulan istri

abdi negara (Tentara Angkatan Darat). Begitu pula dengan Bhayangkari untuk

organisasi istri polisi, Dharma Wanita untuk perkumpulan istri pegawai

pemerintahan, serta segudang organisasi-organisasi perempuan lainnya.

Di balik berkembangnya aktivitas organisasi perempuan di masa Orde Baru

ternyata ada sekelumit kekhawatiran dan pengalaman traumatis atas pengkhianatan

yang dilakukan PKI yang berimbas pada kebebasan organisasi perempuan (Nugroho,

2008: 98). Fenomena itu seakan dijadikan pembenaran untuk selalu mengawasi

dengan ketat untuk menjaga terjadinya penyimpangan pandangan dengan segala

doktrin Orde Baru.

Cuplikan Saman di atas dapat dikatakan sebagai protes dari kaum feminis

yang tidak menyukai sistem patriarki. Seperti yang diketahui, meskipun telah ada

usaha dari pihak pemerintah untuk membuat perempuan lebih produktif, ternyata hal

tersebut malah menegaskan kekuasaan laki-laki (suami) dalam kehidupan rumah

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
tangga. Kegiatan yang selalu dilakukan kaum ibu itu didominasi oleh urusan

domestik, seperti arisan, PKK, masak memasak, jahit-menjahit, dan tidak jarang

kegiatan ini dijadikan ajang bergosip di antara ibu-ibu tersebut.

Adapun cuplikan dalam novel Larung seakan menegaskan kedigdayaan

perempuan atas laki-laki. Hal ini digambarkan secara blak-blakan oleh Ayu melalui

ketidakmampuan seorang laki-laki di atas ranjang. Meskipun dari luar terlihat gagah

dan perkasa, namun dalam hal bercinta ternyata oknum abdi negara ini masih kalah

dengan tokoh perempuannya (Cok).

Sedangkan pada novel Nayla, penggalan berikut juga menegaskan pesan-

pesan ideologi feminisme yang disampaikan Djenar. Dalam salah satu adegan ketika

tokoh Nayla yang dikisahkan seorang penulis cerita fiksi, diwawancarai mengenai

tulisan-tulisannya yang banyak bercerita tentang perempuan dan seksualitas.

Perhatikan cuplikan berikut.

“Jadi bukan karena pertimbangan pasar?”


“Sama sekali tidak. Saya memang mengakrabi masalah seksualitas
karena saya merasa berada di dalam pusaran masalah itu. Saya yakin
semua perempuan terlibat di dalamnya, juga Anda.”
“Masalah seksualitas seperti apa yang Mbak maksud?”
“Masalah perempuan yang menekan perempuan.”
“Contohnya?”
“Tubuh perempuan direpresi dan hanya difungsikan sebagai alat
reproduksi. Tubuh perempuan tidak diberi hak bersenang-senang atau
disenangkan. Perempuan harus perawan. Perempuan harus bisa hamil
dan melahirkan. Perempuan harus menyusui. Perempuan harus pintar
memuaskan laki-laki di ranjang. Perempuan hanya masyarakat nomor
dua setelah laki-laki… (Nayla: 117).

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Dari beberapa contoh cuplikan di atas dapat dilihat adanya keinginan untuk

mengemukakan ideologi feminisme yang hendak disampaikan para pengarang

perempuan ini melalui sejumlah metafora, terutama dapat dilihat pada karya sastra

Angkatan 2000. Para pengarang perempuan yang dapat dikatakan sebagai bagian dari

kaum feminis ini berkeinginan untuk mendekonstruksi oposisi biner antara laki-laki

dan perempuan yang selama ini bersifat patriarki karena pada kondisi seperti itu

perempuan dipaksa menjadi kaum yang termajinalkan.

Ayu Utami dalam Saman dan Larung mencoba mempresentasikan gagasan

ideologi feminisme melalui tokoh-tokoh perempuan yang digambarkan lebih

berkuasa dan bisa menaklukkan laki-laki, sedangkan para tokoh laki-lakinya sering

dibuat tidak berdaya dalam menghadapi segala sesuatu. Tokoh Yasmin, misalnya,

bisa menundukkan tokoh Saman baik dari segi seksualitas maupun aktivitasnya

(Nasution, 2007: 327). Begitu pula halnya ketika diceritakan Yasmin dan Cok

menyelamatkan Saman sampai keluar negeri, sedangkan Saman dan Larung tidak

berhasil menyelamatkan Wayan Togog, Bilung, dan Koba (aktivis Solidaritas Wong

Alit) yang menjadi buronan polisi.

Begitupun yang terjadi pada Cok. Perempuan ini diceritakan memiliki

kehidupan yang bebas, terutama petualangannya terhadap beberapa lelaki di atas

ranjang termasuk menaklukkan oknum tentara. Adapun tokoh laki-laki yang

dikisahkan Ayu, Larung, misalnya dianggap sebagai laki-laki yang tidak pernah

berhubungan seks.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Begitu pula halnya dengan dominasi yang diberikan pengarang kepada tokoh

Yasmin. Diceritakan Saman hanya menjadi objek dalam berhubungan jasmani

dengan Yasmin, sedangkan yang lebih berperan adalah Yasmin.

Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci


percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu
seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan
aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata
yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan lain selain membiarkan aku
menunda orgasmemu, atau membiarkan kamu tak memperolehnya,
membuatmu menderita oleh coitus interuptus harafiah (Larung: 160).

Hampir senada dengan kedua karya Ayu Utami di atas, pada karya Dewi

Lestari untuk novelnya Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dan Djenar

Maesa Ayu dalam novelnya Nayla juga mengemukakan ideologi feminisme secara

lugas. Dalam Supernova, pengarang menempatkan tokoh perempuan —Diva—

sebagai tokoh yang memiliki pengetahuan yang luas serta amat membenci

kemunafikan. Tokoh yang menggunakan nama Supernova ketika bermain di dunia

cyber ini dikisahkan pula memiliki kedudukan khusus dalam cerita. Diva menjadi

tokoh yang diciptakan oleh tokoh Ruben dan Dhimas. Kedua lelaki yang menjadi

sepasang kekasih ini menciptakan tokoh Cyber Avatar, yaitu Diva. Diva merupakan

tokoh yang tidak terlalu ramah pada orang lain, merdeka dari segala keinginan dan

perintah orang lain. Meski berprofesi sebagai pelacur, namun sang Supernova ini

bisa “menasihati” orang lain melalui chatting di internet (hlm. 128-129). Hal ini

dibuktikan dengan beberapa tokoh di novel ini yang berkonsultasi dengan sang

Cyber Avatar ini seperti yang terdapat pada cuplikan berikut.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Mendadak segala penat dan perih lukanya hilang, tergantikan oleh
secercah semangat. Secepat kilat, ia langsung mengirim pesan.
Berkali-kali, sampai akhirnya Supernova merespon tulisannya…
(KPBJ: 149).
Jemari jentiknya kembali mengetik secepat kilat. Terlalu banyak e-
mail yang harus dibalas, ia hampir tidak merespon para penanya di
jalur chat room ICQ. Tiba-tiba muncul sebuah nomor asing… ia pun
tersenyum. Sapaan pertama mereka telah bercerita segalanya.
<guest> Cyber Avatar. Ternyata kamu ada
<TNT> Senang berkenalan dengan kalian (KPBJ: 203).

Adapun Djenar dalam berkisah pada Nayla bisa dikatakan sangat lancar

bertutur tentang seksualitas dan juga secara gamblang menunjukkan perlawanannya

pada sistem patriarki, meskipun terkadang terasa pengarang menurutkan emosi

pribadinya sebagai seorang Djenar yang selalu menulis kisah seputar seks. Ideologi

feminisme dalam Nayla juga tergambar ketika tokoh Nayla begitu sangar terhadap

laki-laki, meski laki-laki tersebut merupakan pacarnya. Sama halnya dengan Ayu

Utami, Djenar juga memberikan kekuatan pada tokoh Nayla, bahkan ketika

melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, ia menjadi pihak yang aktif

sedangkan pacarnya (Ben) menjadi pihak yang pasif.

Maka dituntunnya laki-laki itu menuju kamar mandi. Dicumbunya di


depan pintu. Ditariknya masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi
yang tak berlampu. Dibukanya ritsleting celana laki-laki itu.
Dilakukannya semua yang ingin ia lakukan saat itu, di kamar mandi
yang tak berlampu, dengan laki-laki itu…(Nayla: 144).

Adapun Abidah El Khalieqy dalam mempresentasikan ideologi feminisme

dapat dilihat pada novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Di kedua

novel ini memperlihatkan adanya konflik antara ideologi patriarki dan ideologi

feminisme. Hal ini tergambar dalam cuplikan-cuplikan yang memperlihatkan

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
pertentangan di antara kedua ideologi tersebut, terutama pertentangan mengenai

penafsiran kitab-kitab fiqih dalam Islam. Pengarang tampak begitu jelas

menunjukkan sikap pemberontakannya dalam memaknai dan menafsirkan beberapa

kitab dari para ulama. Pengarang merasa pendapat dari kitab-kitan tersebut

ditafsirkan untuk membuat kaum perempuan menjadi tersubordinasi dalam

kehidupan sosialnya padahal kitab suci Quran sendiri tidak pernah menyudutkan

kaum keturunan Hawa ini. Perhatikan cuplikan di bawah ini.

“Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, cukup


jika telah mengaji beberapa kitab…Kami juga tidak terlalu keburu,
ya…mungkin menunggu sampai si udin wisuda kelak. Yang
penting…kita sepakat untuk saling menjaga. Mengenai kapan
dilangsungkannya pernikahan, nanti bisa dirembug lagi…
Mendengar kata-kata itu, darahku serasa beku. Aku tertahan dan
berdiam seperti patung. Rupanya mereka tengah merundingkan
sesuatu untuk masa depanku. Alangkah jauhnya mereka melewati
nasibku. Pastilah mereka mengira, alangkah bodoh dan naifnya aku
ini, sehingga untuk menentukan nasib masa depanku sendiri, tak perlu
lagi mereka melibatkanku” (PBS: 90-91).

“Ini kan raport sekolahan, Cucu. Berapa pun nilai Prahara di


sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap ranking pertama di dunia
kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rankingmu, kau adalah
perempuan dan tetap sebagai perempuan.” (GJ: 62).

“… namun aku tak mampu mengikuti kemurah-hatian yang diajarkan.


Sekalipun aku tahu jawaban kitab fiqih, tetapi lidahku enggan
menyatakan, sebab pikiran dan hatiku kurang berkenan dengan
jawaban-jawaban yang tertera…” (GJ: 33).

Dalam beberapa novel Angkatan 1970, ideologi feminisme yang ditampilkan

pada umumnya takluk pada sistem patriarki. Namun tetap saja tokoh perempuan yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
ada dalamnya sudah cukup merasa nyaman dengan kondisi yang demikian. Misalnya

saja dapat dilihat pada novel Namaku Hiroko berikut.

Belum selesai aku mengatakan apa yang hendak kukatakan, tangannya


yang berat menampar mukaku. Satu kali. Dua kali. Keduanya
kurasakan seperti irisan pisau yang menyambarku. Aku terlempar ke
kaki kursi di sudut ruangan. Aku tidak terkejut menerimanya. Telah
kuduga. Telah menjadi hakku. Yoshida memang patut menghajarku,
perempuan yang tidak mengerti arti kesabaran menunggu. Perempuan
yang memalingkan muka di saat kesempatan tersedia. Ah, kusadari
betapa rendahnya sifatku yang terkutuk. Dan aku menangis. Tidak
karena kesakitan. Melainkan karena kehilangan daya. Aku tidak
mengerti mengapa aku begitu.
(NH: 238).

Bandingkan dengan apa yang diuraikan dalam novel Angkatan 2000 berikut.

Zakky terkesima. Tak percaya oleh keberanianku melawan mata dan


kuasa laki-lakinya. Ayo bertanding Zakky! Satu lawan satu. Kejar
daku, kau akan kutembak. Atau tinggalkan aku! Kau boleh pergi
dengan yang lain. (GJ: 171).

Dari kedua cuplikan di atas dapat dilihat bahwa pada Angkatan 2000, tokoh

perempuan umumnya digambarkan lebih mandiri dan bisa menantang siapa saja yang

merasa menyakiti mereka. Pergeseran begitu kental terasa ketika membaca novel

yang berbeda generasi ini.

Tabel 5 : Tipologi Ideologi Feminisme

Angkatan Ideologi Feminisme


No 1970 Feminisme Feminisme Feminisme Feminisme
Liberal Radikal Sosialis Africana
1 Perempuan Kedua √ ─ √ ─

2 Karmila √ ─ ─ ─

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Lanjutan Tabel 5

3 Bukan Impian √ ─ ─ ─
Semusim
4 Namaku Hiroko √ ─ √ ─

5 Pada Sebuah Kapal √ ─ √ ─

6 Melati di Musim √ ─ ─ ─
Kemarau

2000
1 Larung ─ √ √ ─

2 Saman ─ √ √ ─

3 Perempuan √ ─ √ ─
Berkalung Sorban
4 Geni Jora √ ─ √ ─

5 Supernova: ─ √ ─ ─
Ksatria, Puteri, dan
Bintang Jatuh
6 Supernova: Akar ─ √ ─ ─

7 Nayla ─ √ ─ ─

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat berbagai jenis ideologi

feminisme, yaitu Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, dan

Feminisme Africana. Pada Angkatan 1970 yang mendominasi adalah feminisme yang

liberal, yaitu gerakan feminisme yang mencoba memperkuat kedudukan kaum

perempuan dalam masyarakat. Feminisme liberal ini menurut Nugroho (2008: 63),

mulai berkembang di Barat pada abad ke-18, bersamaan dengan semakin populernya

gerakan pemikiran baru (enlightment atau age of reason).

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Berdasarkan tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pada Angkatan 1970

kesemua data yang berjumlah enam novel termasuk dalam katagori feminisme liberal.

Adapun tipe feminisme sosialis berjumlah tiga novel. Sedangkan masa Angkatan

2000-an, yang lebih mendominasi adalah feminisme yang sudah radikal yang

berjumlah lima novel. Adapun feminisme ini merupakan gerakan yang lebih melihat

bahwa segala akar permasalahan lebih pada sistem seks dan jender serta

pemberontakannya pada setiap diskriminasi yang dilakukan sistem patriarki dan

tentunya selalu berujung pada penindasan terhadap kaum perempuan. Di setiap kisah

yang ditampilkan, tampak begitu jelas ideologi feminisme yang terungkap dari setiap

dialog-dialognya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ciri feminisme radikal

yang terdapat pada Angkatan 2000 ini termasuk di dalamnya adalah kisah cinta

sejenis. Para pengarang perempuan di angkatan ini tidak ragu dalam mengisahkan

cerita yang berkaitan dengan cinta sejenis (homoseksual). Dari tujuh novel yang

mewakili Angkatan 2000, tercatat ada lima novel yang menyinggung terjadinya

hubungan asmara sejenis yang tidak lazim dilakukan ini. Kelima judul novel tersebut

adalah Larung, Saman, Geni Jora, Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh,

dan Nayla.

Selain beraliran feminisme liberal dan feminisme radikal, terdapat pula

beberapa novel yang memiliki kecendrungan feminisme sosialis. Feminisme sosialis

merupakan gerakan untuk membebaskan perempuan melalui struktur patriarki.

Perubahan struktur patriarki ini bertujuan supaya kesetaraan jender dapat terwujud

serta menjadi syarat demi terciptanya suatu masyarakat tanpa kelas dan tanpa hierarki

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
horizontal (Nugroho, 2008: 75). Kaum feminisme sosialis ini selalu menuding bahwa

pekerjaan perempuan yang selalu berkisar pada sektor domestik dan pekerjaan laki-

laki yang berada di wilayah publik sebagai cikal bakal timbulnya struktur patriarki

dalam keluarga.

Dalam novel-novel yang mewakili Angkatan 1970 dan Angkatan 2000

terdapat delapan judul yang di dalamnya juga disinggung tentang feminisme sosialis,

yaitu Perempuan Kedua, Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, Larung, Saman,

Perempuan Berkalung Sorban, dan Geni Jora. Adapun dengan ideologi feminisme

Africana setelah diamati tidak terdapat di dalam ketigabelas novel yang menjadi data,

baik dari angkatan 1970 maupun dari Angkatan 2000.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB V

FAKTOR-FAKTOR PERGESERAN IDEOLOGI FEMINISME DALAM


KARYA SASTRA ANGKATAN 1970 DAN ANGKATAN 2000

Terjadinya pergeseran ideologi feminisme dari masa ke masa tentu saja

dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Begitu pula ideologi yang terjadi dalam karya

sastra tentu sudah mengalami berbagai pergeseran konsep. Ternyata telah terjadi

pergeseran ideologi feminisme dalam Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 khususnya

dalam novel karya-karya perempuan di kedua Angkatan tersebut. Faktor-faktor

tersebut adalah sebagai berikut.

5.1 Faktor Pendidikan

Latar pendidikan telah nyata turut memengaruhi serta membuka cakrawala

pemikiran para pengarang perempuan. Faktor terdidiknya para pengarang perempuan

ini membuat pola pikir mereka pun menjadi lebih terbuka dan semakin membuat

mereka mengetahui akan banyak hal, termasuk ideologi feminisme. Menurut Alwi,

dkk (2007: 263) pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata tingkah

laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan juga dianggap memberdayakan

seseorang sehingga pada akhirnya bisa terbebas dari belenggu kebodohan dan rendah

diri. Semakin tinggi pendidikan akademis seorang perempuan, boleh dikatakan

semakin intelek pemikiran sesorang tersebut. Dia tidak hanya melakukan seputar

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
aktivitas domestik di rumah, namun biasanya perempuan model ini menjadi sosok

perempuan mandiri dan memiliki karier yang tidak hanya sebagai ibu rumah tangga

semata.

Dalam cuplikan novel Karmila berikut dapat disaksikan bagaimana

pendidikan turut memengaruhi pemikiran perempuan.

”Bukan soal uang. Aku ingin kuliah lagi. Titik. Fani mesti kauambil.”
”Oke, engkau kuliah lagi. Tapi anak ini toh boleh tetap di sini? Ibumu
pasti tidak keberatan mengurusnya, sebab kalau aku tidak salah,
selama ini pun Ibu yang merawatnya... (Karmila, hlm. 100).

Adapun pada Angkatan 2000, dalam novel Geni Jora dapat pula disaksikan

tokoh Kejora berikut yang memiliki kecerdasan serta memiliki pendidikan tinggi.

Kubuka seratus halaman, seribu, sejuta, bahkan semilyar halaman dari


buku-buku dunia, kitab-kitab abadi dan pidato-pidato, kuliah para
guru, para ustadz dan para dosen. Sebagai murid, sebagai santriwati,
sebagai mahasiswi, aku duduk menghadapi mereka satu per satu.
Kupasang pendengaran dan kupusatkan penglihatan. Kuserap
pengetahuan dengan otak dan fuadku (GJ: 32).

Pada novel Saman dapat pula disaksikan pendidikan dari salah seorang tokoh

perempuan yang bernama Yasmin Moningka seperti berikut.

Yasmin adalah yang paling berprestasi dan paling kaya di antara


teman terdekat saya. Kami menjulukinya the girl who has everything.
Ia kini menjadi pengacara di kantor ayahnya sendiri, Joshua Moningka
& Partners. Namun ia kerap bergabung dalam tim lembaga hukum
untuk orang-orang yang miskin atau tertindas. Ia juga sudah mendapat
izin advokat yang tak semua lawyer punya (Saman: 24).

Pada kedua cuplikan novel di atas terlihat faktor pendidikan yang tinggi

membuat Karmila, Kejora, dan Yasmin memiliki citra sebagai perempuan modern

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
yang berpikiran luas meski dalam Karmila dikisahkan tokoh Karmila merasa

terganggu jika ia harus kuliah sekaligus mengurus anak akibat perkosaan Feisal. Ia

tidak ingin ketika sedang belajar sang anak meminta perhatiannya.

Sang pengarang, Marga Tjoa, seperti yang sudah menjadi pengetahuan umum

merupakan seorang dokter selain tentunya seorang novelis yang produktif.

Pendidikan yang diterimanya semasa di bangku kuliah serta pengalaman dan

pergaulannya dalam masyarakat tentu membuat ia mengetahui berbagai persoalan

yang melanda di masanya, termasuk pula permasalahan yang dialami perempuan.

Adapun pengarang lain seangkatan Marga adalah Maria A. Sardjono, seorang

lulusan Magister Ilmu Filsafat yang juga seorang pengarang produktif. Seperti yang

diketahui, Maria juga selalu menuliskan kisah cinta yang tidak terlalu ”berat” dibaca

sehingga karya-karya ciptaannya bisa dikatakan hampir senada dengan Mira W atau

Marga T.

Pengarang perempuan Angkatan 1970 yang juga aktif menulis karya-karyanya

yang bermutu dan bernilai sastra tentu saja Nh. Dini. Dalam perjalanan

pendidikannya, boleh dikatakan pengarang kelahiran Semarang ini tidak

mendapatkan pendidikan yang terlalu tinggi seperti halnya dengan Maria, Marga T,

atau Mira W. Nh. Dini tidak sempat mengenyam pendidikan sampai sarjana. Meski

demikian, kecerdasan, bakat, serta pengalamannya berkeliling dari satu negara ke

negara lain semasa menjadi istri diplomat membuat Dini berhasil mencdiptakan

karya-karya yang baik, terutama jika berbicara tentang perempuan.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Sedangkan pada cuplikan Geni Jora, dapat dilihat gadis yang bernama Kejora

merupakan gadis dengan sosok yang cerdas dan memiliki bakat pemberontak sejak

masih kecil. Ketika sudah mengecap ilmu sampai di perkuliahan, terang saja

pemikirannya bertambah maju dengan segudang ide-ide feminisme yang membuncah

di dada. Sifat pemberontak Kejora mencerminkan kecerdasan dan keberanian

menentang segala yang tidak disukainya. Hal ini belum tergambar pada Karmila.

Meski pada awalnya ia tidak ingin mengasuh puteranya, namun dengan bahasa cinta

yang dimainkan Feisal membuat Karmila bukan hanya mau mengasuh anaknya

melainkan juga berhasil membuat Karmila mencintai Feisal.

Namun sedikit disayangkan, Abidah sebagai pengarang Geni Jora

menciptakan tokoh Kejora seakan tanpa cela dan nyaris sempurna. Berparas cantik,

berasal dari keluarga berkecukupan, berpikiran cerdas, dan bisa menaklukkan laki-

laki, seperti itulah gambaran umum Kejora. Pada contoh kutipan di atas, dapat

disimpulkan begitu cerdasnya Kejora sehingga ia selalu meraih prestasi yang baik dan

juga menjadi santriwati kesayangan salah satu ustadz di pesantren tersebut.

Abidah sebagai mantan santriwati dan juga lulusan IAIN Sunan Kalijaga

dirasa sangat mumpuni untuk mengisahkan cerita-cerita dengan tema yang populer di

masyarakat. Faktor pendidikan tentu sangat berpengaruh dalam perkembangan

pikiran Abidah sebagai seorang pengarang yang konsisten menceritakan pergulatan

perempuan yang hendak melepaskan diri dari belenggu sistem patriarki yang pada

kenyataannya pernah dilihat dan dialami sendiri oleh pengarang.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Begitu pula dengan pengarang lain, seperti Ayu Utami yang menciptakan

tokoh Yasmin. Tokoh ini merupakan salah satu tokoh perempuan yang memiliki

pendidikan tinggi dan status sosial yang baik di masyarakat. Sebagai seorang

perempuan yang pintar dan memiliki kekayaan membuat karier Yasmin selalu

cemerlang. Tokoh perempuan ini juga diceritakan mampu menaklukkan tokoh Saman

dalam hal seksualitas sedangkan tokoh Saman yang notabene seorang laki-laki tidak

mampu berbuat banyak ketika berhadapan dengan Yasmin.

Yasmin, mungkin persetubuhan kita memang harus hanya dalam


khayalan. Parsanggamaan maya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana
memuaskan kamu.
Saman, tahukah kamu, malam itu, malam itu aku yang aku inginkan
adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi.
Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.
Yasmin, Ajarilah aku. Perkosalah aku..
(Saman: 195).

Jika dikaitkan dengan pendidikan dari sang pengarang, Ayu Utami

merupakan lulusan Sarjana Sastra Rusia, Universitas Indonesia yang tentunya tidak

diragukan kualitas keilmuannya. Fakultas Sastra juga dikenal dengan banyaknya

kritikus sastra.

Adapun pengarang perempuan lain yang mewakili Angkatan 2000 adalah

Dewi Lestari. Beliau seorang alumnus Universitas Parahyangan, Bandung, Jurusan

Ilmu Politik yang juga termasuk perempuan cerdas dan multitalenta karena selain

penulis, Dewi juga dikenal sebagai penyanyi dan pencipta lagu.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
5.2 Faktor Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi terjadinya

pergeseran ideologi feminisme dalam novel Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

Keterbukaan yang berkembang dalam wacana sastra di era reformasi ini salah satunya

dikarenakan status sosial ekonomi pada tokoh-tokoh yang bermain di dalam novel

bisa dikatakan sudah lebih baik. Selain pendidikan, para tokoh kreasi pengarang

perempuan yang mewakili Angkatan 1970 dan Angkatan 2000 ini juga telah

mengalami pergeseran dalam hal status sosial ekonomi.

Meskipun secara status sosial ekonomi para tokoh perempuan di Angkatan

1970 mulai menampakkan kemandiriannya, namun tetap saja masih terasa

ketergantungannya kepada tokoh laki-laki. Berikut dapat disaksikan pada novel

Namaku Hiroko berikut.

Uang dari kabaret tidak pernah kupakai sejak dia tinggal bersamaku.
Jumlah yang terkumpul kusimpan di tabungan bank, merupakan
jaminan kesejahteraan diriku sendiri. Seandainya aku meninggalkan
kerja malamku, kuinginkan agar Suprapto mengganti jumlah
kerugiannku. Aku tidak pernah dapat menduga atau mengetahui
apakah dia cemburu. Apakah dia betul-betul menghendaki agar aku
meninggalkan pekerjaan di malam hari... (NH: 166).

Perlu diketahu bahwa pertumbuhan pengarang, khususnya pada tahun 1970-

an, mengindikasikan semakin membaiknya perekonomian di Indonesia. Salah satu

dampaknya adalah munculnya kelas-kelas menengah terutama di kota-kota. Kaum

kelas menengah ini mampu membeli karya-karya dari para pengarang, tidak

terkecuali pengarang perempuan.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Seorang Marga T atau Mira W yang juga berprofesi sebagi dokter

mengisyaratkan bahwa mereka mengarang banyak novel bukan semata ingin mencari

uang dan kekayaan, namun lebih karena karya-karya mereka sangat digemari oleh

masyarakat meskipun pada kenyataannya tidak bisa dimungkiri bahwa penjualan

novel yang laris berdampak pada pundi-pundi harta kekayaan mereka.

Dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh yang mewakili

Angkatan 2000 dapat juga terlihat bagaimana status sosial ekonomi yang tinggi di

mata masyarakat telah menjadikan Diva, salah satu tokoh perempuan dalam novel itu

sangat mandiri dan merasa tidak memerlukan laki-laki.

Diva bukan jenis orang yang hangat yang tak pernah lupa
mengajaknya ngobrol atau melemparkan guyonan, tapi ia tahu
majikannya amat peduli. Diva tak pernah memberikannya baju lebaran
atau menyumbangkan hewan kurban, tapi Diva menanggung biaya
sekolah ketiga anaknya, bahkan membayari mereka ikut berbagai
macam kursus. Belum lagi suplai buku-buku yang selalu datang
membanjir...Tentu saja, semua modal ditanggung Diva (KPBJ: 116).

Dari kedua contoh cuplikan di atas secara tersirat dapat dibandingkan bahwa

di antara kedua tokoh perempuan berbeda Angkatan itu, pergeseran ideologi

feminisme yang cukup menonjol adalah pengaruh status dan kondisi sosial ekonomi.

Di era 1970-an, para perempuannya sebagian sudah ada yang mandiri karena

perempuan tersebut bisa menghidupi dirinya, namun ia masih juga merasa

memerlukan laki-laki sebagai pendamping hidupnya.

Jika dibandingkan dengan Angkatan 1970, pada Angkatan 2000 tokoh

perempuannya terlihat seakan tidak membutuhkan kehadiran laki-laki sebagai suami

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
yang sah. Sebagian besar tokoh-tokoh perempuan itu memang memiliki kehidupan

yang bebas dan selalu berganti-ganti pasangan, bahkan tidak jarang dengan pasangan

yang sejenis. Dari segi kemampuan ekonomi, para perempuan dari Angkatan 2000 ini

boleh dikatakan cukup mapan karena memiliki pekerjaan yang bonafid. Rata-rata

usianya juga masih di usia produktif.

5.3 Faktor Politik (Kekuasaan)

Faktor selanjutnya yang menyebabkan bergesernya ideologi feminisme adalah

faktor kekuasaan atau politik. Politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan dalam suatu

sistem atau negara yang menyangkut proses untuk menentukan tujuan bersama dan

melaksanakan tujuan itu (Hermawan, 2001: 7). Jika berbicara tentang politik tentu

pembicaraan tersebut tidak bisa terlepas dari kekuasaan. Perkembangan situasi politik

yang terjadi di negeri ini disimpulkan menjadi salah satu penyebab terjadinya

berbagai pergeseran ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan

Angkatan 2000.

Di masa Orde Baru kebijakan-kebijakan dari pemerintah ternyata justru

melemahkan kaum perempuan. Hal ini dikarenakan berbagai kebijakan tersebut

didasarkan oleh sistem patriarki. Dalam sistem patriarki, secara tegas disebutkan

bagaimana bentuk kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, yang pada akhirnya

memasuki ruang negara (Baso, 2000: 8).

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Berikut dapat dilihat faktor politik (kekuasaan) yang menyebabkan pergeseran

ideologi feminisme di antara kedua angkatan yang dikaji. Pada Angkatan 1970 dapat

disaksikan dalam novel Namaku Hiroko.

Di negeriku, waktu itu kedudukan wanita jauh di bawah laki-laki. Baik


dalam tata cara adat maupun undang-undang. Sejauh ingatanku,
selama di desa aku tidak memandang hal itu sebagai sesuatu yang
aneh atau menyimpang dari kebiasaan. Aku menerimanya seperti juga
aku menerima kebanyakan hal lainnya (NH: 168)

Adapun dalam novel yang mewakili Angkatan 2000 dapat dilihat pada novel Saman.

Dia mengambil analogi yang menarik antara sikap Orde Baru


terhadap perempuan dengan struktur organisasi dalam ABRI.
Menempatkan perempuan dalam kementrian sosial dan urusan wanita
sebetulnya pararalel dengan kegiatan Dharma Wanita atau Persit
Kartika Chandra. Itu merupakan perpanjangan dari rumah tangga yang
patriarki. Perempuan diseklusi dalam perkara domestik, urusan rawat-
merawat. Keputusan strategis tetap di tangan laki-laki. Lebih dari itu,
menurut dia, mengadakan kementrian urusan wanita sebetulnya justru
merupakan penolakan bahwa persoalan wanita adalah persoalan politik
bersama. Masalah perempuan dianggap masalah yang khas kaumnya,
yang laki-laki tak perlu bertanggung jawab, padahal seluruh
penindasan terhadap perempuan bersumber dari patriarki... (Saman:
180).

Dari kedua Angkatan yang berbeda di atas dapat disimpulkan bahwa setelah

reformasi yang bergulir sejak pertengahan 1998 silam masyarakat di negeri ini mulai

berani bersuara dengan lantang, tidak terkecuali pengarang perempuan. Para

pengarang perempuan tersebut dengan tegas menyatakan bahwa selama kekuasaan

Orde Baru, perempuan tetap saja menjadi kaum yang tersubordinasi sekalipun di

masa itu bermunculan berbagai organisasi perempuan dan semua itu dianggap

pengarang hanya sebagai kamuflase belaka.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Jika pada Angkatan 1970, persoalan politik hanya disampaikan melalui

sindiran-sindiran halus maka di masa Angkatan 2000 atau pascareformasi,

permasalahan politik dan berbagai peristiwa yang terkait disampaikan lebih lugas

sehingga pembaca terkadang seperti menemukan suatu fakta dalam setiap karangan.

5.4 Faktor Budaya

Faktor budaya menjadi salah satu penyebab bergesernya ideologi feminisme

di antara kedua Angkatan yang dikaji. Karya sastra dapat dikatakan sebagai produk

budaya yang dapat memberikan hikmah terhadap manusia sebagai penikmat karya

sastra karena dalam karya sastra terkandung isi, pesan serta berbagai konsep

kehidupan yang amat beragam. Kondisi budaya tentu tidak stagnan melainkan

bersifat progresif sesuai dengan perkembangan zaman. Budaya itu sendiri dapat

dimaknai sebagai “Keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,

seni, moral, adat istirahat, dan kemampuan-kemampuan atau kebiasaan-kebiasaan

lain yang diperoleh anggota-anggota suatu masyarakat” (Taylor melalui Harris dan

Robert, 2005: 56).

Apabila dikaitkan dengan karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000,

maka dapat dikatakan bahwa faktor budaya telah mengakibatkan pergeseran ideologi

feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

Pada Angkatan 1970 budaya patriarki masih begitu melekat erat pada

kehidupan para tokoh perempuan dan para perempuan yang diceritakan tersebut

umumnya tidak berdaya dan terlihat cukup nyaman dalam menghadapi sistem yang

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
diterapkan oleh budaya patriarki tersebut. Pada angkatan ini juga terlihat adanya

unsur primordial, yaitu kecenderungan kembali pada masa lampau (Ratna,

2008:457). Sedangkan pada Angkatan 2000, budaya yang diyakini sudah mengalami

pergeseran yang cukup signifikan seolah ingin melepaskan diri dari nilai-nilai budaya

yang dianggap sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman. Nilai

budaya tersebut boleh dikatakan bernuansa kontemporer, yaitu nilai-nilai yang dianut

pada masa kini (Alwi, 2007: 591).

Pendidikan yang cukup tinggi, pengaruh arus informasi dari multimedia

menjadikan pemikiran pengarang perempuan semakin terbuka sehingga budaya yang

tercipta juga mengalami pergeseran. Pergeseran dari aspek budaya ini dapat

dibandingkan pada cuplikan novel Perempuan Kedua dan Geni Jora berikut.

Aku harus berjuang keras memoles tubuh yang mulai menua ini
supaya masih tetap terpakai dan tidak membosankan suami! Supaya
suami tidak menoleh kepada perempuan lain dan mencari yang lebih
muda! Oh, alangkah menyakitkan menjadi seorang istri! Inikah
bentuk pengabdian yang dituntut suami dari istrinya? Benar-benar
harus menjadi abdi luar dan dalam?
(PK: 113).

Zakky terkesima. Tak percaya oleh keberanianku melawan mata dan


kuasa laki-lakinya. Ayo bertanding, Zakky! Satu lawan satu. Kejar
daku, kau akan kutembak. Atau tinggalkan aku! Kau boleh pergi
dengan yang lain, memang lebih menarik dan bikin penasaran…(GJ:
171-172).

Sebagai seorang perempuan yang berasal dari keluarga Jawa yang sangat

mengakar kuat unsur patriarkinya tentu apa yang dilakukan Kejora merupakan hal

yang tidak lazim karena dalam kebudayaan Jawa yang mengharuskan seorang wanita

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dituntut untuk setia dan berbakti kepada suami. Istri dituntut selalu mengikuti suami

ke surga maupun ke neraka (suwargo nunut neroko katut). Perempuan tidak banyak

bertindak ke luar, lebih statis dan pasif serta harus tunduk dan taat pada keluarga.

(Tjitrosubono, 1998: 194).

Dari kedua contoh cuplikan di atas dapat diketahui ideologi feminisme yang

mengalami pergeseran yang disebakan oleh faktor budaya pada konteks masyarakat

yang berbeda masa ini. Gambaran sikap yang ditunjukkan oleh para tokohnya bisa

dikatakan sangat bertolak belakang. Dalam Perempuan Kedua, tokoh Rani

dilukiskan sangat kecewa dengan tingkah suaminya yang telah mengkhianatinya,

namun ia tidak bisa berbuat banyak selain hanya bertanya pada diri sendiri dengan

pertanyaan-pertanyaan retoris.

Berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Kejora dalam novel

Geni Jora. Tokoh yang mewakili Angkatan 2000 ini begitu berani menantang siapa

saja yang mencoba untuk menindas hak-haknya sebagai seorang perempuan. Bagi

Kejora keduanya adalah mitra sejajar. Perempuan tidak berhak untuk disakiti dan

dinomorduakan.

Akan halnya dengan Ayu Utami, pengarang yang juga bersuku Jawa ini

menyatakan bahwa selama ini pembicaraan mengenai seksualitas sangat tabu untuk

dibicarakan secara terbuka, terlebih dalam budaya yang menjunjung tinggi adab

ketimuran. Namun, Ayu berpendapat bahwa pemikiran tersebut harus diruntuhkan

karena perempuan mempunyai hak untuk menikmati seks dan hidup bahagia seperti

halnya laki-laki (Hamid, 2008: 3).

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
5.5 Faktor Agama

Adapun yang dikatakan dengan agama menurut Mangunwijaya (2002: 23)

adalah ” Suatu perangkat hukum, ritus, adat/ tradisi, peninggalan historis, hasil

budaya serta organisasi dengan peraturan-peraturannya, impian/ pendamping dan

harta miliknya”.

Dalam novel Angkatan 1970 dapat dilihat pada cuplikan novel Bukan Impian

Semusim. Disini terdapat tokoh seorang biarawati yang menjadi kepala sekolah dari

sekolah khusus perempuan. Dalam beberapa ceramah kepada murid-muridnya, Mere

Rosa berkata sebagai berikut.

Nah, Marilah kita lihat apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang
biarawati. Banyak orang berprasangka, terutama para orang tua di sini,
bahwa masuk biara adalah sama dengan dikubur hidup-hidup.
Biarawati-biarawati itu pasti takkan mungkin bahagia. Itu sama sekali
tidak benar. Juga banyak orang menyangka, biarawan atau biarawati
itu adalah oarang-oarang yang patah hati. Itu juga salah. Masyarakat
tidak tahu, bahwa biara mempunyai ketentuan-ketentuan yang cukup
keras dalam menerima anggota-anggota baru... (BIS: 25).

Sekarang, bisa dibandingkan dengan cuplikan novel Saman dan Perempuan

Berkalung Sorban yang mewakili Angkatan 2000 seperti berikut.

Ia telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada.
Kristus tidak menebusnya sebab ia kini berada dalam jurang maut,
sebuah lorong gelap yang sunyi mencekam, dan ia dalam proses jatuh
dalam sumur tak berdasar...(Saman: 102).

”Itulah yang terjadi. Bahkan di kalangan para suami yang mengerti


hukum agama pun, berlaku tabiat seperti itu. Ini sangat menyedihkan.
Anehnya, jika ada perempuan yang mandiri dan penuh inisiatif malah
ditakuti laki-laki dan dianggap maskulin. Ini kan cara berpikir yang
bias jender dan tidak sebagaimana apa yang dikehendaki oleh Sang
Pencipta sendiri.” (PBS: 231)

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Persoalan agama (teologi) yang direpresentasikan Marga T, yang mewakili

Angkatan 1970 dan Ayu Utami yang mewakili Angkatan 2000 dapat dikatakan

mengalami pergeseran. Pada Bukan Impian Semusim, pengarang melalui tokoh Mere

Rosa, begitu menjunjug tinggi nilai-nilai agama dan berusaha memengaruhi lawan

bicaranya agar berbudi luhur dan mengabdikan hidup pada Tuhan. Kentalnya nuansa

keagamaan yang diusung dalam novel Bukan Impian Semusim dapat dimaklumi

mengingat pengarang yang juga seorang dokter ini penganut Katolik yang taat.

Sedangkan pada Saman nilai-nilai itu mulai berubah. Tokoh Saman yang pada

mulanya seorang frater atau pastor yang relijius, tetapi pada akhirnya menjadi ragu

akan keberadaan Tuhan. Terlebih ketika Saman ditangkap dan disekap oleh aparat

keamanan. Sedangkan Abidah mencoba mengkritik dan seolah meluruskan bahwa

penafsiran agama yang salah telah mengakibatkan kaum perempuan selalu terkekang

di bawah dominasi laki-laki.

Apa yang diungkapkan Ayu yang diwakili tokoh Saman di atas seolah

mengesankan kegelisahnnya tentang keberadaan agama bagi kehidupan seseorang.

Seperti yang diketahui bahwa salah satu sebab terjadinya gerakan feminis

dikarenakan faktor agama. Pihak gereja melalui doktrin-doktrinnya dituding telah

membuat kaum perempuan menjadi kaum kelas dua.

Persoalan agama atau relijiusitas dalam karya sastra, khususnya yang ditulis

oleh pengarang perempuan, pada Angkatan 2000 mulai diangkat bahkan tidak jarang

dijadikan tema sentral. Seperti yang diketahui bersama bahwa konflik yang terjadi

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
pada bangsa Indonesia tidak jarang berasal dari persoalan yang sangat sensitif ini

karena masyarakat di negara ini mempunyai keanekaragaman agama dan keyakinan.

Dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh dan Supernova: Akar,

Dewi Lestari sebagai pengarang mencoba mengungkapkan permasalahan seks yang

masih dianggap tabu untuk dikaitkan dengan masalah keagamaan. Namun, pengarang

sebagai penulis yang feminis mencoba perspektif baru dalam berkeyakinan. Tersirat

pengarang hendak meninggikan derajat sang tokoh perempuan yang bernama Diva

atau Supernova menjadi tokoh banyak mengetahui segala sesuatu dan terkesan

bersifat otoriter. Tokoh ini berniat mengajarkan cara mencapai kesadaran hidup yang

lebih tinggi dan lebih intensif hingga dapat mengenali diri secara utuh. Lihatlah

cuplikan di bawah ini.

Kita berusaha memuat apa yang hanya bisa dijangkau abstraksi


bernama ”iman” ke dalam sel-sel otak kita yang sudah usang [...] Saya
bukan Guru. Anda bukan murid. Saya hanya pembeber fakta [...]
Hanya ada satu paradigma di sisni: KEUTUHAN. Bergerak untuk
SATU tujuan: menciptakan hidup yang lebih baik. Bagi kita. Bagi
dunia. Supernova bukan okultisme. Bukan institusi religi. Bukan
kursus filsafat.
(KPBJ: 1).

Sedangkan dalam Supernova: Akar menekankan pada konsep tugas atau

takdir. Konsep tugas di novel ini merupakan keyakinan bahwa manusia mempunyai

tugas yang mesti diselesaikan dalam kehidupannya di muka bumi. Dalam Supernova:

Akar ini juga menyinggung ajaran agama Budha. Meski pada novel ini pengarang

tidak begitu ekstrem menyatakan ideologi feminismenya, namun di beberapa bagian

cerita masih tampak juga sikap feminis dari tokoh perempuannya.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
”Kamu tahu apa yang paling menarik sekaligus paling menyebalkan
dari diri kamu?” Semburnya tak tertahankan. ”Ketidaktahuanmu!
Akan...akan...segalanya!”
Maksud kamu apa? Aku berdiri. Ia ikut berdiri. Berjalan mendekat.
”You have such a beautiful face, Bodhi”, Ia berbisik. ”So beautiful, it
scares the shit outta me” (Akar: 79).

Tokoh perempuan di sini (Star) digambarkan begitu aktif dan agresif merayu

Bodhi, tokoh laki-laki utama di novel ini. Dengan berdalih menato bagian buah dada

Star akhirnya kesempatan itu tidak disia-siakan Star dan Bodhi. Setelah selesai

menato, mereka pun sama-sama memuaskan gelora rasa dan gairah yang membakar.

Begitu pula pengarang memosisikan tokoh perempuan (Star) menjadi penakluk laki-

laki. Salah satunya Star mengajarkan pada Bodhi bagaimana cara berciuman yang

mengasyikkan. Sikap yang ditunjukkan Star pada Bodhi ini mengindikasikan masih

terasanya aroma feminisme pada karya Dewi Lestari ini.

Tabel 6 : Faktor-Faktor Pergeseran Ideologi Feminisme

Angkatan Faktor-Faktor Pergeseran Ideologi Feminisme


No Pendidikan Status Politik/ Budaya Agama
1970 Sosial Kekuasaan
Ekonomi Primordial Kontemporer

1 Perempuan Kedua √ √ ─ √ ─ ─

2 Karmila √ √ ─ ─ √ ─

3 Bukan Impian √ ─ ─ √ ─ ─
Semusim
4 Namaku Hiroko ─ √ √ √ √ ─

5 Pada Sebuah Kapal ─ √ √ √ √ ─

6 Melati di Musim √ √ ─ √ ─ ─
Kemarau

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Lanjutan tabel 6

2000
1 Larung √ √ √ ─ √ √

2 Saman √ √ √ ─ √ √

3 Perempuan √ √ ─ ─ √ √
Berkalung Sorban
4 Geni Jora √ √ √ ─ √ √

5 Supernova: √ √ √ ─ √ √
Ksatria,Puteri, dan
Bintang Jatuh
6 Supernova: Akar √ √ ─ ─ √ √

7 Nayla √ √ √ ─ √ ─

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai faktor yang

memengaruhi pergeseran ideologi feminisme adalah faktor pendidikan, status sosial

ekonomi, politik/ kekuasaan, budaya, serta agama. Hal ini dapat dilihat berdasarkan

dialog-dialog, perilaku yang bernuansa feminisme dari para tokoh-tokohnya, terutama

tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam ketigabelas novel yang mewakili Angkatan

1970 dan Angkatan 2000 ini.

Faktor pertama yang melatarbelakangi terjadinya pergeseran ideologi

feminisme di antara kedua angkatan tersebut adalah pendidikan. Dalam Angkatan

2000, ketujuh novel yang menjadi data diketahui bahwa semua tokoh utama

perempuan di sana ternyata mendapat pendidikan formal yang baik. Setelah mereka

tamat, biasanya para tokoh perempuan tersebut memiliki pekerjaan dan karier yang

baik sehingga terkesan lebih mandiri dan secara materi juga cukup. Sedangkan faktor

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
pendidikan yang memengaruhi pada Angkatan 1970 terdapat empat novel. Di sini

dapat dilihat meski para tokoh perempuan juga mengeyam pendidikan yang lumayan

tinggi—bahkan tidak jarang berpendidikan sarjana— namun pemikiran mereka masih

didominasi sistem patriarki yang masih melekat kuat. Di samping itu dalam

menyelesaikan berbagai persoalan masih mengikutsertakan orangtua dan keluarga, di

samping teman-teman dekat sehingga sangat terasa unsur kekeluargaannya.

Adapun faktor pergeseran ideologi feminisme yang selanjutnya adalah status

sosial ekonomi. Faktor ini juga menjadi salah satu penyebab pergeseran ideologi

feminisme yang dapat dilihat dari para tokoh yang ada di dalam cerita maupun dari

status sosial ekonomi dari sang pengarang sendiri. Dalam hal status sosial ekonomi

ini dapat dilihat berdasarkan tabel 6 karena hampir semua data novel, masing-masing

lima novel pada Angkatan 1970 dan tujuh novel pada Angkatan 2000, menunjukkan

bahwa kehidupan sosial ekonomi yang dianggap mapan dapat mengubah cara

berpikir seseorang dalam memandang sesuatu termasuk dalam tuntutan perempuan

dan feminisme ini. Dalam kaitannya dengan faktor sosial ekonomi, ternyata berkaitan

dengan tingkat pendidikan yang baik sehingga status sosial ekonomi juga lebih tinggi

di mata masyarakat.

Faktor berikutnya adalah kekuasaan dan politik yang juga memiliki pengaruh

dalam pergeseran ideologi feminisme. Kekuasaan dan politik yang berkaitan dengan

pemerintahan juga bisa menyebabkan pergeseran tersebut karena sistem

pemerintahan yang berbeda pada tahun 1970-an dan tahun 2000-an di Indonesia. Jika

pada masa 1970-an identik dengan kekuasaan orde baru yang dianggap sebagian

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
pengarang perempuan telah mengungkung kehidupan perempuan dalam sistem

patriarki maka hal itu berubah pada Angkatan 2000, tatkala kebebasan berpendapat

begitu dihargai. Tidak heran jika karya-karya sastra masa kini memiliki tema yang

sangat beragam, termasuk tema feminisme. Faktor politik dan kekuasaan yang

bergeser pada Angkatan 1970 hanya terdapat dua novel saja. Sedangkan pergeseran

politik dan kekuasaan pada Angkatan 2000 terdapat dalam lima novel.

Adapun faktor budaya yang bersifat primordial juga terdapat dalam lima

novel. Sedangkan yang cenderung kontemporer berjumlah tiga novel. Perlu diketahui

bahwa ada dua novel yang berjudul Namaku Hiroko dan Pada Sebuah Kapal

memiliki kecenderungan budaya primordial dan budaya kontemporer. Hal ini

disebabkan kisah pada kedua novel tersebut mulanya cenderung primordial, namun di

pertengahan hingga akhir cerita pemikiran dan perilaku tokoh perempuan sudah

berubah menjadi budaya yabng lebih kontemporer. Adapun pada Angkatan 2000,

ketujuh data menunjukkan sudah tidak ada lagi novel yang bersifat primordial,

semuanya sudah cenderung kontemporer.

Faktor agama juga dianggap sebagai salah satu penyebab pergeseran ideologi

feminisme karena tokoh-tokoh pada Angkatan 1970 umumnya begitu patuh dan

menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Sebaliknya pada Angkatan 2000 pada umumnya

nilai-nilai tersebut mulai dipertanyakan kembali bahkan terkadang diselipi keragu-

raguan. Berdasarkan tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa pada Angkatan 2000,

pergeseran ideologi feminisme yang dilihat dari aspek agama berjumlah enam novel,

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dengan kata lain hampir keseluruhan data novel yang di dalamnya terdapat

pergeseran ideologi feminisme tersebut.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan analisis data dengan menggunakan teori analisis wacana kritis

dan teori kritik sastra feminis dapat disimpulkan bahwa terdapat ideologi feminisme

dalam novel-novel karya pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000.

Selain itu, ditemukan pergeseran ideologi feminisme di antara kedua angkatan

tersebut. Adapun yang menjadi latar belakang penyebab terjadinya pergeseran

ideologi feminisme tersebut adalah faktor pendidikan, faktor status sosial ekonomi,

faktor politik (kekuasaan), faktor budaya serta faktor agama.

Penulis menggunakan teori analisis wacana kritis untuk menganalisis

permasalahan yang pertama, yaitu menguraikan ideologi feminisme yang terdapat

dalam novel pengarang perempuan Angkatan 1970 dan Angkatan 2000. Adapun teori

kritik sastra feminis menjadi landasan teori untuk memecahkan permasalahan yang

kedua, yaitu bagaimana pergeseran ideologi femisme tersebut serta apa latar belakang

yang mengakibatkan terjadinya pergeseran tersebut.

Permasalahan yang dikaji dibatasi hanya pada karya-karya sastra Angkatan

1970 dan Angkatan 2000 yang ditulis oleh pengarang perempuan. Karya-karya sastra

tersebut berbentuk karya sastra prosa, yaitu novel.

Adapun judul-judul novel yang dimaksud adalah Karmila dan Bukan Impian

Semusim (BIS) karya Marga T, Namaku Hiroko (NH) dan Pada Sebuah Kapal (PSK)

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
dari Nh. Dini, Perempuan Kedua (PK) buah tangan Mira W, serta Melati di Musim

Kemarau (MdMK) karya Maria A. Sardjono. Berbagai judul tersebut mewakili karya

Angkatan 1970.

Sedangkan judul-judul novel yang dianggap mewakili pengarang perempuan

Angkatan 2000 adalah Larung dan Saman dari Ayu Utami, Perempuan Berkalung

Sorban (PBS) dan Geni Jora (GJ) karya Abidah El Khalieqy, Supernova: Ksatria,

Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) dan Supernova: Akar karya Dewi ”Dee” Lestari,

Nayla karya Djenar Maesa Ayu.

Berkaitan dengan ideologi feminisme dalam karya sastra Angkatan 1970 dan

Angkatan 2000 yang menjadi permasalahan utama pada penelitian ini, ternyata

memiliki pengaruh positif dan pengaruh negatif dalam perkembangan karya sastra

pada khususnya serta pola pikir dan perilaku masyarakat pada umumnya.

Pengaruh positif yang bisa didapatkan dari adanya ideologi feminisme ini

tentu saja berdampak pada semakin maraknya tema-tema yang bernuansa feminis.

Cerita tidak lagi didominasi oleh kaum laki-laki dan kisah perempuan sering

dijadikan objek penderita atau hanya sebagai pemanis cerita saja. Karya-karya sastra

feminis menempatkan tokoh-tokoh perempuan sebagai pihak yang memiliki kuasa

serta berjiwa pemberontak, khususnya dalam hal-hal yang bersifat patriarki.

Perempuan bisa bebas berbicara mengenai hal-hal yang dirasakan perempuan serta

segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan perempuan.

Sedangkan pengaruh negatifnya, terkadang kebebasan berbicara serta

mengungkapkan pendapat dirasakan bagi sebagian orang dianggap telah di luar batas.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Seperti yang diketahui, keberadaan sastra yang bernuansa feminisme serta orang-

orang yang mendukung gerakan itu tentu tidak selalu disambut dengan baik dan

tangan terbuka. Feminisme masih saja digambarkan kurang baik oleh kelompok-

kelompok yang tidak menyetujui dengan beragam alasan, terlebih dengan aliran

feminisme yang mengarah radikal.

6.2 Saran

Saran ini boleh dikatakan sebagai rekomendasi karena disampaikan kepada

pengamat dan kritikus sastra, kaum intelektual, para sastrawan, dan pihak pemerintah.

Saran dan rekomendasi tersebut yaitu.

1. Masih banyaknya permasalahan yang berkaitan dengan perempuan dalam

karya sastra dan juga yang menyangkut pengarang perempuan

2. Khusus pada Angkatan 2000, permasalahan pornografi dan kehidupan seksual

yang demikian bebas begitu lugas dinyatakan. Oleh sebab itu kiranya undang-

undang antipornografi dan pornoaksi bisa lebih memfilter kalimat-kalimat

yang ingin diungkapkan para pengarang perempuan tersebut. Boleh saja

pengarang mengemukakan pemikirannya, namun perlu juga memperhatikan

estetika bahasa agar ketika unsur-unsur pelukisan masalah seks yang masuk,

cerita tidak terjebak menjadi vulgar

3. Masih ditujukan pada Angkatan 2000, sebaiknya jangan terlalu

mengeksploitasi permasalahan cinta sejenis (lesbian dan gay) dalam tulisan

karena hal tersebut bisa saja ditiru dan dijadikan model bagi kehidupan cinta

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
remaja yang sedang mencari jati diri serta orang-orang yang berjiwa labil,

terlebih masih kurang ketatnya pengawasan terhadap buku-buku yang beredar

di pasaran. Seperti yang diketahui, kehidupan cinta yang sejenis ini masih

dianggap terlalu minor dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat

ketimuran. Selain itu, agama juga sangat melarang perbuatan tersebut.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Mazhab Frankfurt, Karl Marx, Cultures
Studies, Teori Feminisme, Derrida Posmodernitas. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.

Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Baso, Zohra Andi. 2000. Langkah Perempuan Menuju Tegaknya Hak-Hak


Konsumen. Makassar: YLK Sulsel-The Ford Foundation.

Djajnegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,


Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks dan Media. Yogyakarta:
LkiS.

Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Faruk. 2000. Women Womeni Lupus. Magelang: IndonesiaTera.

Hamid. A. Rahimah Haji. 2007. ”Bahasa Wanita dalam Karya Sastra: Tentangan
Terhadap Hegemoni Lelaki”. Dalam Kajian Linguistik: Jurnal Ilmiah Ilmu
Bahasa.Tahun Ke 4, No. 1. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Harris, Phillip R dan Robert T. Moran. 2005. ”Memahami Perbedaan-Perbedaan


Budaya”. Dalam Mulyana dan Rakhmat (Penyunting). Komunikasi
Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hermawan, Eman. 2001. Politik Membela yang Benar. Yogyakarta: KLIK.

Jorgensen, Marianne W dan Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana: Teori dan
Metode. Diindonesiakan Imam Suyitno, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:Paradigma.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Laelasari dan Nurlaila. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.

Lampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.

Mangunwijaya, Y.B. 2002. “Agama, Politik, dan Negara”. Dalam Sumartana


(penyunting). Agama dan Negara. Yogyakarta: Institut DIAN/ Interfidei.

Moi, Toril. 1991. “Feminist Literary Criticism”. Dalam Jefferson dan David Robey
(penyunting). Modern Literary Theory. London: B.T. Batsford Ltd.

Nasution, Ikhwanuddin. 2000. “Estetika Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya


Ahmad Tohari” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana Denpasar.

Nawawi, Hadari. 1998. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia.

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi: Pengarus Utamaannya di Indonesia.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurelide. 2005. Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Dalam Perempuan di Titik


Nol (Woman At Point Zero) Karya Nawal El Saadawi. Medan: Balai Bahasa
Sumut.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Nurlatif, Muhammad. 2006. Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal El Saadawi.
http://www.unhas.ac.id/sastra-arab/jurnal/2006/feb/indo-Nurlatif. Diakses, 24
Februari 2009.

Ollenburger, Jane C dan Helen A. Moore. 2002. Sosiologi Wanita. Diindonesiakan


oleh Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana. Jakarta: Rineka Cipta.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra: Metode Kritik dan
Penerapannya. Yogyakarta Pustaka Pelajar.

-------------------------- . 2001. Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik” Dalam


Jabrohim dan Ari Wulandari (penyunting). Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: Dari
Strukturalisme Hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---------------------------. 2008. Post Kolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra.


Yogyakarta Pustaka Pelajar.

Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Sagala, R. Valentina dan Ellin Rozana. 2007. Pergulatan Feminisme dan HAM.
Bandung: Institut Perempuan.

Saini KM. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya.

---------- . 1993. Puisi dan Beberapa Masalahnya. Bandung: ITB.

Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial. Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya:


Pustaka Eureka.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Raya.

Shihab, Quraisy, dkk. 2005. Al Quran dan Terjemahannya. Bandung: Jumanatul Ali-
Art.

Sikana, Mana. 2007. Teras Sastera Melayu Tradisional. Selangor: Pustaka Karya.

Sinar, T. Silvana. 2004. Isu-Isu Jender Kebahasaan. Dalam Pidato Ilmiah Peringatan
Dies Natalis Ke-52 USU. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sugihastuti. 2000. “Citra Dominasi Laki-Laki Atas Perempuan dalam Saman”. Dalam
Sodiro Satoto dan Zainuddin (penyunting). Sastra: Ideologi, Politik, dan
Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumaryono. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Suryadi, Budi. 2007. Sosiologi Politik: Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep.
Yogyakarta: IRCiSoD.

Suyatno, Suyono. 2000. “Ideologi gender dan Refleksi Semangat Feminis: Catatan
Novel La Barka Nh. Dini”. Dalam Soediro Satoto dan Zainuddin

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009
(penyunting). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.

Tjitrosubono, Siti Sundari Maharto. 1998. ”Kedudukan Wanita dalam Kebudayaan


Jawa Dulu, Kini, dan Esok”. Dalam Bainar (penyunting). Wacana Perempuan
dan Kemodernan. Yogyakarta: Pustaka Cidesindo.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Diindonesiakan oleh
Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Kiki Amelia : Ideologi Feminisme Dalam Karya Sastra Angkatan 1970 Dan Angkatan 2000, 2009

Anda mungkin juga menyukai