Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN TUTORIAL

BLOK FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


“MODUL 1 PATOLOGI FORENSIK”

Tutor : dr. Laode Kardin, Sp.PD


Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
1. Ragilia Ulhaj (K1A1 18 109)
2. Nisha Noviar Aldawiyah (K1A1 19 018)
3. Nurah Anto Khairunnisa (K1A1 19 020)
4. Indyra Rahmayanti Kamase (K1A1 19 045)
5. Jason Gerard Halim (K1A1 19 046)
6. Milati Hamidah (K1A1 19 050)
7. Putu Wisnu Agung Widhiyana (K1A1 19 061)
8. Salsabila Junarlin (K1A1 19 062)
9. Salwa Rafh Wahwa (K1A1 19 063)
10. Widya Wati (K1A1 19 117)
11. Yuniar Dwi Putri Welori (K1A1 19 118)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
LAPORAN TUTORIAL 2021
UNIVERSITAS HALU OLEO

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Laporan : Modul Patologi Forensik
Nama Anggota Kelompok :
1. Ragilia Ulhaj (K1A1 18 109)
2. Nisha Noviar Aldawiyah (K1A1 19 018)
3. Nurah Anto Khairunnisa (K1A1 19 020)
4. Indyra Rahmayanti Kamase (K1A1 19 045)
5. Jason Gerard Halim (K1A1 19 046)
6. Milati Hamidah (K1A1 19 050)
7. Putu Wisnu Agung Widhiyana (K1A1 19 061)
8. Salsabila Junarlin (K1A1 19 062)
9. Salwa Rafh Wahwa (K1A1 19 063)
10. Widya Wati (K1A1 19 117)
11. Yuniar Dwi Putri Welori (K1A1 19 118)

Laporan ini telah disetujui dan disahkan oleh:

Kendari, 27 Oktober 2021


Dosen Pembimbing

dr. Laode Kardin, Sp.PD


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sebagai laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu.

Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada Dokter


pembimbing Tutorial Modul 1 Patologi Forensik. Tidak lupa pula kami sampaikan
rasa terimakasih kami kepada teman-teman yang telah mendukung, memotivasi,
serta membantu kami dalam menyelesaikan laporan hasil tutorial.

Kami berharap laporan ini dapat bermanfaaat bagi semua pihak. Kami juga
menyadari bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran, masukan maupun kritikkan dari semua
kalangan demi kesempurnaan laporan yang kami susun ini.

Kendari, 27 Oktober 2021

Kelompok 2
MODUL 1

PATOLOGI FORENSIK

A. SKENARIO

SKENARIO 2

Seorang perempuan ditemukan meninggal di sebuah rumah kosong.


Jenazah kemudian dibawa oleh Penyidik ke kamar jenazah RSUD untuk
dilakukan otopsi. Pada pemeriksaan luar didapatkan jejas melingkari leher
secara penuh, bibir dan jaringan di bawah kuku tampak kebiruan, gigi molar
3 belum lengkap, lebam mayat pada tubuh bagian belakang warna kebiruan
yang hilang dengan penekanan. Pada pemeriksaan dalam didapatkan
resapan darah sesuai arah jejas, edema otak dan paru.

B. KATA SULIT
 Autopsi
Pemeriksaan pascakematian sesosok'mayat untuk menentukan sebab
kematian atau sifat-sifat perubahan patologis; nekropsi. (Dorland,
2011)

 Lebam Mayat
Lebam mayat adalah perubahan warna kulit berupa warna biru
kemerahan akibat terkumpulnya darah di dalam vena kapiler yang
dipengaruhi oleh gaya gravitasi di bagian tubuh yang lebih rendah di
sepanjang penghentian sirkulasi. (Mason JK.1983; idres,AM.1997)

C. KATA KUNCI
1. Seorang perempuan ditemukan meninggal di sebuah rumah kosong.
2. Jenazah kemudian dibawa oleh Penyidik ke kamar jenazah RSUD untuk
dilakukan otopsi.
3. Pada pemeriksaan luar didapatkan jejas melingka ri leher secara penuh
4. Bibir dan jaringan di bawah kuku tampak kebiruan
5. Gigi molar 3 belum lengkap
6. Lebam mayat pada tubuh bagian belakang warna kebiruan yang hilang
dengan penekanan.
7. Pada pemeriksaan dalam didapatkan resapan darah sesuai arah jejas,
edema otak dan paru.

D. PERTANYAAN
1. Sebutkan dan jelaskan tanda-tanda pasti kematian!
2. Jelaskan indikasi pemeriksaan autopsi!
a. Indikasi Autopsi
b. Alur Autopsi
3. Jelaskan Patomekanisme dari temuan-temuan pada pemeriksaan !
a. Bibir dan jaringan bawah kuku kebiruan
b. Lebam mayat pada belakang masih menghilang
c. Jejas melingkar pada leher
d. Edema otak dan paru
4. Apa yang dapat dijelaskan di temuan gigi molar 3 belum lengkap pada
skenario !
5. Jelaskan penyebab, mekanisme, dan cara kematian berdasarkan kasus
pada skenario !
6. Jelaskan perkiraan waktu kematian berdasarkan teruan dari pemeriksaan!
7. Bagaimana visum et repertum dari kasus otopsi pada skenario ?
8. Jelaskan aspek medikolegal yang berkaitan dengan skenario !
E. PEMBAHASAN
1. Sebutkan dan jelaskan tanda-tanda pasti kematian!
a. Algor Mortis
Keadaan dimana terjadinya penurunan suhu tubuh pada mayat
post-mortem mengikuti suhu udara atau mediuim sekitarnya .
Penurunan suhu ini terjadi akibat terhentinya metabolisme dalam
tubuh yang berarti tidak ada proses pembakaran glukosa, lemak dan
protein. Selain itu, penurunan suhu ini terjadi karena induksi, radiasi
dan pancaran panas. Ada 2 faktor yang menyebabkan beberapa jam
pertama terjadi perununan suhu yang lambat pada mayat, yaitu:
1) Masih ada sisa metabolisme yakni glikogenolisis yaitu
pembakaran glikogen yang ada pada hepar dan juga otot
2) Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu yang lama
mencapai suhu tertentu (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)

Rata-rata penurunan suhu pada mayat yaitu 0,9-1 derajat


celcius atau 1,5 derajat fahrenheit, dengan pencatatan penurunan
suhu itu dari 37 derajat celcius atau 98,4 derajat fahrenheit sehingga
dapat dirumuskan cara untuk memperkirakan waktu kematian mayat
telah mati yaitu dengan rumus (98,4 derajat fahrenheit – suhu rectal
derajat fahrenheit). Dimana pengukurannya dapat menggunakan
long chemical termometer. Terdapat 2 faktor yang dapat
mempengaruhi cepat-lambatnya penurunan suhu mayat, yaitu:
 Faktor internal
- Suhu tubuh saat mati
Jika pada saat meninggal suhu tubuh mayat tinggi maka
penurunan suhu juga akan cepat. Namun sebaliknya jika
pada hipotermi maka penurunan suhu akan lambat.
- Keadaan tubuh mayat
Pada mayat dengan tubuh kurus maka penurunan suhu
akan lebih cepat dan juga sebaliknya.
 Faktor eksternal
- Suhu medium
Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat
maka semakin cepat terjadinya penurunan suhu. Ini
dikarenakan pelepasan kalor akan lebih cepat ke medium
yang lebih dingin.
- Keadaan udara sekitar
Pada udara yang lembab tingkat penurunan suhu akan
lebih besar. Hal ini dikarenakan udara lembab menjadi
konduktor yang baik dan aliran udara juga makin
mempercepat penurunan suhu
- Jenis medium
Pada medium air tingkat penurunan suhu menjadi lebih
cepat karena air adalah kondktor panas yang baik
sehinggan mampu menyerap panas dari tubuh mayat
- Pakaian mayat
Semakin tipis pakaian yang dipakai maka semakin cepat
juga penurunan suhu. Ini dikarenakan kontak antara tubuh
mayat dengan medium lebih mudah. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)

Akibat adanya perbedaan suhu tubuh dengan suhu


disekelilingnya, penurunannya menurut kurve sigmoid, mula-mula
lambat, cepat lalu melambat kembali. Kecepatan penurunan suhu
pada mayat bergantung kepada suhu lingkungan dan suhu mayat itu
sendiri. Pada iklim yang dingin, maka penurunan suhu mayat
berlangsung lebih cepat. Dalam 12 – 14 jam biasanya suhu mayat
akan sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Penurunan suhu
antara 0,9-1oc per jam.cara pengukuran yang paling baik, adalah
pengukuran suhu rektal (anus) dengan menggunakan termometer
digital khusus. Temperatur dimasukan ke rektal dengan sedalam 3
inchi dan pengukuran dilakukan setiap 3 menit. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Penilaian sederhana algor mortis:
 Dahi dingin setelah 4 jam postmortem
 Badan dingin setelah 12 jam postmortem
 Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam postmortem
 Jika mayat mati dalam air maka perlu diperhatikan suhu, aliran
dan juga keadaan airnya
 Rumus perkiraan waktu kematian adalah 98,4 derajat f – suhu
rectal derajat fahrenheit/1,5 derajat fahrenheit

b. Livor Mortis
Livor mortis atau lebam mayat adalah perubahan warna tubuh
mayat postmortem yang diakibatkan oleh endapan darah mengikuti
gaya gravitasi dikarenakan berhentinya sirkulasi darah. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Gagalnya sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan
hidrostatik yang menggerakan darah ke capilarry bed dimana
pembuluh darah kecil afferen dan efferen saling berhubungan
mengakibatkan darah stagnansi. Hal ini membuat darah yang berada
di pembuluh vena besar dan sekitarnya akan turun ke bagian
terbawah tubuh mengikuti gaya gravitasi. Gravitasi disini itu lebih
mempengaruhi eritrosit sehingga endapan-endapan darah tersebut
akan memperlihatkan warna merah kebiruan pada daerah terbawah
tubuh saat meninggal. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian,
2018)
Livor mortis ini muncul sekitar 20 – 30 menit setelah
meninggal. Dimana perubahan warna ini menetap setelah 8 - 12 jam
kematian. Tetapi masih bisa hilang jika tekan sebelum 8 jam
kematian. 8-10 jam setelah kematian lebam mayat menjadi menetap
dikarenakan perembesan darah ke jaringan sekitar akibat rusaknya
pembuluh darah akibat banyaknya tertimbul sel-sel darah, hemolisis
sel darah dan juga akibat kekakuan otot dinding pembuluh darah.
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Akumulasi darah pada daerah yang tiidak tertekan akan
menyebabkan pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang
dapat menyebabkan petechie dan purupura yang berwarna gelap
serta ukuran beberapa milimeter,yang dimana ini menjadi tanda-
tanda awal pembusukan karena terjadi biasanya 18-24 jam setelah
kematian. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Mekanisme livor mortis diawali orang meninggal lalu jantung
berhenti bekerja sehingga sirkulasi darah terhenti menyebabkan
pengendapan darah dalam kapiler ke bagian tubuh terbawah lalu
darah terkoagulasi dan akhirnya hemolisis. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Ada beberapa hal yang mempengaruhi livor mortis yaitu
volume darah dan juga warna. Untuk warna sendiri ada beberapa
warna yang bisa menjadi indikasi penyebab kematian yaitu:
 Keracunan gas CO2 akan memiliki warna merah bata
diakibatkan terbentuknya hbCO2 dan myoglobine CO
 Keracunan sianida akan memiliki warna merah terang
dikarenakan terbentuknya ikatan cytochrom CN-hbO2 dalam
pembuluh darah
 Keracunan anilin akan menampakan warna coklat kebiruan
 Afiksia akan memperlihatkan warna ungu kebiruan gelap
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Ada beberapa interpretasi livor mortis yaitu :
 Tanda pasti kematian
 Menaksir saat kematian
 Menaksir lama kematian
 Menaksir penyebab kematian
 Posisi mayat

c. Rigor Mortis
Rigor mortis adalah keadaan dimana terjadi kekakuan pada
tubuh setelah postmortem yang diakibatkan oleh habisnya atp dalam
tubuh. Pada saat awal kematian tubuh menjadi flaccid, namun
setalah 1-3 jam setelah itu akan terjadi kekakuan otot dan terjadi
immobilisasi pada sendi. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Kelenturan otot pada awal kematian terjadi karena masih ada
metabolisme tingkat seluler yaitu glikoneolisis yang menghasilkan
energi. Energi ini nantinya akan mengubah adp menjadi atp yang
akan membuat serabut aktin dan myiosin menjadi lentur. Namun,
setelah atp habis maka aktin dan myiosin akan menggumpal dan otot
menjadi kaku. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Kaku mayat ini akan terjadi pada seluruh otot tubuh dan bila
mengenai otot ekstremitas maka akan mengakibatkan kaku seperti
papan. Namun, perbedaan kadar atp pada otot akan membuat otot
dengan jumlah serabut sedikit akan lebih cepat mengalami kaku.
Dimana kaku akan pertama kali terjadi pada rahang lalu siku dan
setelah itu pada lutut. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian,
2018)
Dikatakan rigor mortis sempurna apabila rahang,siku dan lutut
tidak dapat digerakkan sama sekali. Hal ini terjadi biasanya 10-12
jam setelah kematian pada suhu 70-75 derajat fahrenheit, dimana
akan menetap setelah 24-32 jam setelah kematian dan seteah itu kaku
mayat akan menghilang.

Rigor mortis terjadi pada otot involunter dan volunter


 Rigor mortis pada otot involunter
Kontraksi musculus erektor vili itu bermanifestasi
menjadi goose bumps yang menunjukan mayat terpapar suhu
dingin setelah mati
- Kontraksi vesikel seminalis setelah kematian dapat
menyebabkan keluarnya cairan seminalis yang dimana itu
berarti terjadi aktivitas seksual setelah postmortem
- Muskulus cilliaris pada iris mengubah ukuran pupil.
Diameter pupil berkisar antara 0,2-0,9 cm. Sisi luar pupil
tidak selamanya berbentuk sirkuler. Kedua pupil dapat
berubah secara tersendiri dan memiliki ukuran yang tidak
sama. Namun demikian, ukuran pupil tidak dapat
digunakan untuk menentukan sebab kematian. Ukuran
kedua pupil yang tidak sama tidak menunjukkan
terjadinya trauma kepala.

 Rigor mortis pada otot volunter


Rigor mortis pada otot skelet akan menyebabkan
kekauan pada sendi
- Terdapat sejumlah atp diawal kematian sehingga 0,5- 7
jam awal terjadi fase otot mengalami relaksasi dan sendi
menjadi lemas
- Rigor mortis terjadi di semua otot namun terjadi lebih
cepat pada otot yang lebih kecil. Dimana dimulai dari
rahang lalu ke ektremitas superior dan inferior lalu ke
seluruh sendi di tubuh dengan waktu 2-20 jam . Seseorang
yang mati dalam keadaan supine akan menunjukan sedikit
flexi pada siku dan lutut. Rigor ini akan berlangssung 24-
96 jam.
- Rigor mulai berkurang ketika terjadi dekomposisi yang
ditandai dengan denaturasi aktin dan myiosin. Dimana
waktu yang dibutuhkan adalah 24 – 192 jam. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)

Rigor mortis dipercepat dengan adanya atau pada kondisi


 Orang kurus
 Sebelum mati mengalami panas tinggi
 Pada suhu sekitar yang tinggi
 Melakukan aktifitas fisik yang berat sebelum kematian
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kaku mayat


 Kondisi otot
- Persediaan glikogen, cepat lambat kaku mayat tergantung
persediaan glikogen pada tubuh, pada tubuh sehat
sebelum meninggal maka rigor juga kaan terjadi. Begitu
juga yang terjadi sebelum mati banyak makan karbohidrat
- Gizi,pada mayat dengan kondisi jelek maka rigor juga
akan cepat terjadi
- Kegiatan otot, orang yang melakukan kegiatan otot yang
besar sesaat sebelum kematian maka akan mempercepat
terjadinya rigor
 Usia
- Pada orang tua dan anak-anak rigor lebih cepat dan tidak
berlangsung lama
- Pada bayi prematur tidak terjadi kaku mayat kecuali pada
bayi cukup bulan
 Keaadaan lingkungan
- Keadaan kering lebih lambat dari pada panas dan lembab
- Pada mayat dalam air dingin, kaku mayat akan cepat
terjadi danberlangsung lama.
- Pada udara suhu tinggi, kaku mayat terjadi lebih cepat dan
singkat,tetapi pada suhu rendah kaku mayat lebih lambat
dan lama.
- Kaku mayat tidak terjadi pada suhu dibawah 10oC,
kekakuan yang terjadi pembekuan atau cold stiffening.
 Cara kematian
- Pada mayat dengan penyakit kronis dan kurus,kaku mayat
lebih terjadi dan tidak berlangsung lama
- Pada mati mendadak rigor berlangsung dan terjadi lambat
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)

Kekakuan yang menyerupai rigor mortis


1) Cadaveric spasme
Cadaveric spasme adalah bentuk kekakuan otot yang
terjadi pada saat kematian yang timbul dengan intensitas yang
kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer dikarenakan
aktivitas otot yang hebat sesaat sebelum kematian.
2) Heat stiffening
Kekakuan otot akibat koagulasi protein otot akibat dari
panas yang biasanya dijumpai pada korban kebakaran. Pada
saat stiffening serabut otot akan memendek sehingga membuat
otot leher,siku paha dan lutut flexi sehingga membentuk sikap
petinju atau pugilistik attitude.
3) Cool stiffening
Kekakuan tubuh yang diakibatkan karenan suhu
dibawah 3,5 derajat celcius yang dimana membuat cairan
tubuh termasuk cairan sendi menjadi beku dan pemadatan
subkutan otot sehingga tidak dapat digerakkan. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)

d. Dekomposisi
Dekomposisi atau pembusukan adalah proses perkembangan
postmortem. Merupakan hasil dari autolisis dan juga aktivitas
mikroorganisme. Autolisis adalah penghancuran atau perlunakan
yang terjadi pada jaringan dalam keadaan steril dengan proses kimia
yang dipengaruhi oleh enzim-enzim intraseluler. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Pembusukan merupakan proses penghancuran jaringan yang
utamanya oleh mikroorganisme yang berasal dari traktus
gastrointestinal. Dimana basil califormis dan Clostridium welchii
merupakan penyebab utama selain Streptococcus, Staphylococcus,
proteus jamur dan enzim-enzim seluler. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan
tubuh akan hilang, bakteri yang secara normal dihambat oleh
jaringan tubuh akan segera masuk ke jaringan tubuh melalui
pembuluh darah, dimana darah merupakan media yang terbaik bagi
bakteri untuk berkembang biak. Bakteri ini menyebabkan hemolisa,
pencairan bekuan darah yang terjadi sebelum dan sesudah mati,
pencairan trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan dan
pembentukan gas pembusukan. Bakteri yang sering menyebabkan
destruktif ini sebagian besar berasal dari usus dan yang paling utama
adalah Clostridium welchii. Bakteri ini berkembang biak dengan
cepat sekali menuju ke jaringan ikat dinding perut yang
menyebabkan perubahan warna. Perubahan warna ini terjadi oleh
karena reaksi antara H2S (gas pembusukan yang terjadi dalam usus
besar) dengan hb menjadi sulf-meth-hb. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira – kira 24
sampai 48 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada dinding
abdomen bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka kanan dimana
isinya lebih cair, mengandung lebih banyak bakteri dan letaknya
yang lebih superfisial. Perubahan warna ini secara bertahap akan
meluas keseluruh dinding abdomen sampai ke dada dan bau
busukpun mulai tercium. Perubahan warna ini juga dapat dilihat
pada permukaan organ dalam seperti hepar, dimana hepar
merupakan organ yang langsung kontak dengan kolon transversum.
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Bakteri yang masuk kedalam pembuluh darah akan
berkembang biak didalamnya yang menyebabkan hemolisa yang
kemudian mewarnai dinding pembuluh darah dan jaringan
sekitarnya. Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang
mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran pembuluh
darah superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya
sehingga pembuluh darah beserta cabang-cabangnya tampak lebih
jelas seperti pohon gundul (arborescent pattern atau arborescent
mark) yang sering disebut marbling. Selain bakteri pembusukan ini
banyak terdapat dalam intestinal dan paru bakteri-bakteri ini
cenderung berkumpul dalam sistem vena, maka gambaran marbling
ini jelas terlihat pada bahu, dada bagian atas, abdomen bagian bawah
dan paha. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Kemudian permukaan lapisan atas epidermis dapat dengan
mudah dilepaskan dengan jaringan yang ada dibawahnya dan ini
disebut skin slippage. Skin slippage ini menyebabkan identifikasi
melalui sidik jari sulit dilakukan. Pembentukan gas yang terjadi
antara epidermis dan dermis mengakibatkan timbulnya bula-bula
yang bening, fragil, yang dapat berisi cairan coklat kemerahan yang
berbau busuk. Cairan ini kadang-kadang tidak mengisi secara penuh
di dalam bula. Bula dapat menjadi sedemikian besarnya menyerupai
pendulum yang berukuran 5 - 7.5cm dan bila pecah meninggalkan
daerah yang berminyak, berkilat dan berwarna kemerahan, ini
disebabkan oleh karena pecahnya sel-sel lemak subkutan sehingga
cairan lemak keluar ke lapisan dermis oleh karena tekanan gas
pembusukan dari dalam. Selain itu epitel kulit, kuku, rambut kepala,
aksila dan pubis mudah dicabut dan dilepaskan oleh karena adanya
desintegrasi pada akar rambut. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan,
gelembung-gelembung udara mengisi hampir seluruh jaringan
subkutan. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan
menyebabkan terabanya krepitasi udara. Gas ini menyebabkan
pembengkakan tubuh yang menyeluruh, dan tubuh berada dalam
sikap pugilistic attitude. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Scrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher
dan muka dapat menggembung, bibir menonjol seperti frog – like –
fashion, kedua bola mata keluar, lidah terjulur diantara dua gigi, ini
menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh keluarganya.
Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat
badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114
kg sesudah mati. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas
pembusukan yang terjadi didalam rongga perut menyebabkan
pengeluaran udara dan cairan pembusukan yang berasal dari trachea
dan bronchus terdorong keluar, bersama-sama dengan cairan darah
yang keluar melalui mulut dan hidung. Cairan pembusukan dapat
ditemukan di dalam rongga dada, ini harus dibedakan dengan
hematotorak dan biasanya cairan pembusukan ini tidak lebih dari
200cc. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Pengeluaran urine dan feses dapat terjadi oleh karena tekanan
didalam perut yang meningkat. Pada wanita rahim/uterus dapat
menjadi prolaps dan fetus/bakal bayi dapat lahir dari uterus/rahim
yang dibuahi/pregnan. Pada anak-anak adanya gas pembusukan
dalam tengkorak dan otak menyebabkan sutura-sutura kepala
menjadi mudah terlepas. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Organ-organ dalam mempunyai kecepatan pembusukan yang
berbeda-beda. Jaringan intestinal, medula adrenal dan pancreas akan
mengalami autolisis dalam beberapa jam setelah kematian. Organ-
organ dalam lain seperti hati, ginjal dan limpa merupakan organ
yang cepat mengalami pembusukan. Organ dalam seperti paru, otot
polos, otot lurik dan jantung mempunyai kecendrungan untuk lambat
mengalami pembusukan. Sedangkan uterus non gravid/tidak
dibuahi, dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap
pembusukan. Ini sangat membantu dalam penentuan identifikasi
jenis kelamin. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Disamping bakteri pembusukan insekta juga memegang
peranan penting dalam proses pembusukan sesudah mati. Beberapa
jam setelah kematian lalat akan hinggap di badan dan meletakkan
telur-telurnya pada lubang-lubang mata, hidung, mulut dan telinga.
Biasanya jarang pada daerah genitoanal. Bila ada luka ditubuh mayat
lalat lebih sering meletakkan telur-telurnya pada luka tersebut,
sehingga bila ada telur atau larva lalat didaerah genitoanal ini maka
dapat dicurigai adanya kekerasan seksual sebelum kematian.
Telurtelur lalat ini akan berubah menjadi larva dalam waktu 24 jam.
Larva ini mengeluarkan enzim proteolitik yang dapat mempercepat
penghancuran jaringan pada tubuh. Insekta tidak hanya penting
dalam proses pembusukan tetapi meraka juga memberi informasi
penting yang berhubungan dengan kematian. Insekta dapat
dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian, memberi
petunjuk bahwa tubuh mayat telah dipindahkan dari satu lokasi ke
lokasi lainnya, memberi tanda pada badan bagian mana yang
mengalami trauma, dan dapat dipergunakan dalam pemeriksaan
toksikologi bila jaringan untuk specimen standart juga sudah
mengalami pembusukan. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Hasil akhir dari proses pembusukan ini adalah destruksi
jaringan pada tubuh mayat. Dimana proses ini dipengaruhi oleh
banyak faktor. Aktifitas pembusukan sangat optimal pada
temperatur berkisar antara 70°-100°f (21,1-37,8°c) aktifitas ini
dihambat bila suhu berada dibawah 50°f(10°c) atau pada suhu diatas
100°f (lebih dari 37,8°c). Bila mayat diletakkan pada suhu hangat
dan lembab maka proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat.
Sebaliknya bila mayat diletakkan pada suhu dingin maka proses
pembusukan akan berlangsung lebih lambat. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat
menghambat pertumbuhan bakteri disamping pada tubuh bayi yang
baru lahir memang terdapat sedikit bakteri sehingga proses
pembusukan berlangsung lebih lambat. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Proses pembusukan juga dapat dipercepat dengan adanya
septikemia yang terjadi sebelum kematian seperti peritonitis fekalis,
aborsi septik, dan infeksi paru. Disini gas pembusukan dapat terjadi
walaupun kulit masih terasa hangat. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Media di mana mayat berada juga memegang peranan penting
dalam kecepatan pembusukan mayat. Kecepatan pembusukan ini di
gambarkan dalam rumus klasik casper dengan perbandingan tanah :
air : udara = 1 : 2 : 8 artinya mayat yang dikubur ditanah umumnya
membusuk 8 x lebih lama dari pada mayat yang terdapat di udara
terbuka. Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih
rendah terutama bila dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari
predators seperti binatang dan insekta, dan rendahnya oksigen
menghambat berkembang biaknya organisme aerobik. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Bila mayat dikubur didalam pasir dengan kelembaban yang
kurang dan iklim yang panas maka jaringan tubuh mayat akan
menjadi kering sebelum terjadi pembusukan. Penyimpangan dari
proses pembusukan ini di sebut mumifikasi. Pada mayat yang
tenggelam di dalam air pengaruh gravitasi tidaklah lebih besar
dibandingkan dengan daya tahan air akibatnya walaupun mayat
tenggelam diperlukan daya apung untuk mengapungkan tubuh di
dalam air, sehingga mayat berada dalam posisi karakteristik yaitu
kepala dan kedua anggota gerak berada di bawah sedangkan badab
cenderung berada di atas akibatnya lebam mayat lebih banyak
terdapat di daerah kepala sehingga kepala menjadi lebih busuk
dibandingkan dengan anggota badan yang lain. Pada mayat yang
tenggelam di dalam air proses pembusukan umumnya berlangsung
lebih lambat dari pada yang di udara terbuka. Pembusukan di dalam
air terutama dipengaruhi oleh temperatur air, kandungan bakteri di
dalam air. Kadar garam di dalamnya dan binatang air sebagai
predator. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Degradasi dari sisa-sisa tulang yang dikubur juga cukup
bervariasi. Penghancuran tulang terjadi oleh karena demineralisasi
perusakan oleh akar tumbuhan. Derajat keasaman yang terdapat
pada tanah juga berpengaruh terhadap kecepatan penghancuran
tulang. Sisa-sisa tulang yang dikubur pada tanah yang mempunyai
derajat keasaman yang tinggi lebih cepat terjadi penghancuran
daripada tulang yang di kubur di tanah yang bersifat basa.
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Faktor yang mempengaruhi pembusukan :
 Mikroorganisme
 Suhu optimal (21 – 370c)
 Kelembaban tinggi mempercepat
 sifat mediumnya udara : air : tanah ( 1 : 2 : 8 )
 Umur bayi, anak, ortu lebih lambat
 Kostitusi tubuh, gemuk lebih cepat
 Keadaan waktu mati kematian : edema lebih cepat, dehidrasi
lebih lambat
 sebab kematian : radang lebih cepat i) sex : wanita baru
melahirkan (cepat)

Tanda pembusukan :
 Wajah / bibir bengkak, bola mata menonjol
 Lidah terjulur, lubang hidung / mulut keluar darah
 dari lubang tubuh keluar isinya
 badan gembung, bulla / kulit ari terkelupas
 arborescent pattern / marbling
 Dinding perut pecah
 Scrotum / vulva bengkak
 kuku / rambut terlepas
 Organ dalam membusuk
Interpretasi :
 Tanda pasti kematian
 Taksir saat/lamakematian
 Bedakan dengan bulla intravital
 Bulla intravital : warna kulit ari kecoklatan, kadar albumin/
chlor tinggi, dasar bulla hiperemis, jaringan yang terangkat
intraepidermal, ada rx jaringan/ resapan darah
 pembusukan : kuning, rendah/ tak ada, merah pembusukan
diantara dermis dgn epidermis, tidak ada reaksi
jaringan/resapan darah (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)

e. Modifikasi pembusukan
 Maserasi
Maserasi adalah perubahan yang terjadi pada mayat yang mati
dalam kandungan yang mengandung dekomposisi protein steril
akibat proses autolysis. Syarat-syarat terjadinya maserasi
intrauterin adalah :
- fetus telah mati dan sisanya masih tersimpan dalam uterus
dalam waktu lebih dari 24 jam (jika fetus mati dalam uterus
dan dikeluarkan dalam 24 jam, maka sulit untuk
mengetahui apakah fetus mati sebelum atau selama
kelahiran dan tidak ada bukti terjadinya maserasi ataupun
mummifikasi).
- fetus dikelilingi dengan banyak cairan amnion (jika jumlah
cairan amnionnya sedikit, kekurangan darah, dan tidak ada
sirkulasi udara dalam uterus, maka fetus akan mengering
yang disebut mummifikasi).
- membran luar masih tersisa (sehingga tidak ada sirkulasi
udara yang terjadi).
- Ibu dari janin masih hidup. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)

Ciri-ciri dari maserasi intrauterine :


- Tubuh yang sudah mati akan halus, odematous, faksid, dan
mendatar. Jika diletakkan pada permukaan yang datar, fetus
yang sudah mati akan terlihat lurus dan datar tanpa
menunjukkan kurvaktur yang normal
- berwarna merah-tembaga atau seprti merah-daging.
- kavitas serous terisi cairan merah keruh
- Tubuh berbau asam yang khas (racid odour) tapi tidak ada
gas yang terbentuk.
- adanya “spalding sign” yaitu tanda radiologis terjadinya
overlapping dari tulang-tulang tengkorak. Overlapping dari
tulang-tulang tengkorak terjadi karena penyusutan
serebrum dan kematian fetus dalam uterus menyebabkan
fetus yang sudah mati tersebut dianggap sebagai benda
asing dan uterus akan berusaha untuk mengeluarkannya
dengan kontraksi yang kuat. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)

 Mumifikasi
Mumifikasi adalah proses yang menginhibisi proses
pembusukan alami yang memiliki karakteristik dimana jaringan
yang mengalami dehidrasi menjadi kering, berwarna gelap dan
mengerut. Dilihat dari sudut forensik, mummifikasi
memberikan keuntungan dalam hal bertahannya bentuk tubuh,
terutama kulit dan beberapa organ dalam, bentuk wajah secara
kasar masih dapat diidentifikasi secara visual. Mumifikasi juga
dapat mempertahankan bukti terjadinya jejas yang
menunjukkan kemungkinan sebab kematian. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Mumifikasi adalah modifikasi dari proses dekomposisi
tubuh manusia dengan karakteristik penampakan tubuh yang
kering, berwarna coklat, kadang disertai bercak warna putih,
hijau atau hitam yang dibentuk oleh koloni jamur. Pengeringan
menyebabkan kulit tampak tertarik terutama pada tonjolan
tulang, seperti pada pipi, dagu, tepi iga dan panggul. Proses ini
bisa terjadi secara alamiah pada kondisi yang khusus dan dapat
dibuat oleh manusia sebagai salah satu cara preservasi jenazah.
Mumifikasi pada orang dewasa umumnya tidak terjadi pada
seluruh bagian tubuh. Pada umumnya mumifikasi terjadi pada
sebagian tubuh, dan pada bagian tubuh lain proses pembusukan
terus berjalan. Menurut knight, mumifikasi dan adipocere
kadang terjadi bersamaan karena hidrolisa lemak membantu
proses pengeringan mayat. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Mumifikasi umumnya terjadi pada daerah dengan
kelembaban yang rendah, sirkulasi udara yang baik dan suhu
yang hangat, namun dapat pula terjadi di daerah dingin dengan
kelembaban rendah. Di tempat yang bersuhu panas, mumifikasi
lebih mudah terjadi, bahkan hanya dengan mengubur dangkal
mayat dalam tanah berpasir. Di indonesia sangat kecil
kemungkinan terjadinya mummifikasi karena udara yang
lembab. Faktor dalam tubuh mayat yang mendukung terjadinya
mumifikasi antara lain adalah keadaan dehidrasi premortal,
tubuh yang kurus dan umur yang muda, terutama neonatus.
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Mumifikasi sering terjadi pada bayi yang meninggal ketika
baru lahir. Permukaan tubuh yang lebih kecil dibanding orang
dewasa, sedikitnya bakteri dalam tubuh dibanding orang dewasa
membantu penundaan pembusukan sampai terjadinya
pengeringan jaringan tubuh. Pada orang dewasa, mumifikasi
secara lengkap jarang terjadi, kecuali sengaja dibuat oleh
manusia. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Karena sifat jaringan dari tubuh yang termumifikasi
cenderung keras dan rapuh, maka untuk dapat memeriksanya
potongan kecil jaringan direndam dalam sodium karbonat atau
campuran alkohol, formalin dan sodium carbonate. Pada proses
mummifikasi tubuh yang lebih lengkap, maka untuk dapat
melakukan pemeriksaan dalam, mayat harus direndam dalam
glycerin 15% selama beberapa hari. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Kepentingan forensik yang tak kalah penting pada
mumifikasi adalah identifikasi. Walau terjadi pengerutan namun
struktur wajah, rambut dan beberapa kekhususan pada tubuh
seperti tato dapat bertahan sampai bertahun-tahun. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Terpeliharanya sebagian dari anatomi dan topografi jenasah
pada proses mumifikasi memungkinkan pemeriksaan radiologi
yang lebih teliti. Dengan pemeriksaan radiologi, jejas-jejas yang
mungkin terlewatkan dalam pemeriksaan mayat dan bedah
mayat dapat ditunjukkan dengan jelas dan dieksplorasi kembali
lewat pemeriksaan bedah jenasah. Pemeriksaan ct-scan pada
mumi juga dapat mengungkapkan jejas pada lokasi yang sulit
dijangkau, bahkan dengan pemeriksaan bedah mayat.
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya
pemeriksaan dna, bahkan pada jenasah yang berusia ratusan
atau ribuan tahun. Lapisan kulit luar yang sedikit inti sel
mungkin tidak cukup baik diambil sebagai sampel, namun
tulang, akar rambut, organ dalam dan sisa cairan tubuh yang
mengering pada mumi dapat digunakan untuk pemeriksaan
DNA. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Yang harus diingat dalam pemanfaatan mumi untuk
kepentingan forensik bahwa pada mummifikasi terjadi
pengerutan kulit yang dapat menimbulkan artefak pada kulit
yang menyerupai luka/jejas terutama pada daerah pubis, daerah
sekitar leher, dan axilla. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Proses dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi
pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan
pembusukan. Jaringan menjadi keras dan kering, warna gelap,
keriput dan tidak membusuk. Syarat terjadinya mumifikasi :
- Suhu tinggi,
- Kelembaban rendah,
Tanda : tubuh kurus kering & mengeriput, kulit
kecoklatan & melekat pada jaringan dibawahnya, anatomi
organ dalam baik, tidak membusuk.
Perkiraan saat kematian : saat kematian diperkirakan
berdasarkan tiga perubahan post mortem yang pokok,
yaitu: penurunan suhu, lebam mayat dan kaku mayat:
yang dipertegas lagi dengan keadaan lambung dan
pembusukan.

 Saponifikasi / adipocere
Adipocere (berasal dari bahasa latin, adipo = lemak dan
cera = wax/lilin) merupakan proses terbentuknya bahan yang
berwarna keputihan, lunak, dan berminyak yang terjadi di dalam
jaringan lunak tubuh postmortem. Proses ini terjadi karena
adanya hidrolisis dan hidrogenasi dari asam lemak tubuh yang
tidak jenuh menjadi asam lemak jenuh oleh kerja lipase endogen
dan enzim bakteri intestinal. Asam lemak jenuh kemudian
bereaksi dengan alkali membentuk sabun yang tak larut. Selama
proses pembentukan ini, asam lemak bereaksi dengan sodium
yang berasal dari cairan intestinal membentuk “sapodurus” atau
sabun yang keras. Membran sel akan bereaksi dengan potassium
membentuk “sapo domesticus” atau sabun lunak. Sabun keras
bersifat mudah rapuh sedangkan sabun lunak tadi akan
berbentuk seperti pasta. Jika air atau lingkungan di sekitar tubuh
mengandung banyak mineral, kedua sodium dan potassium bisa
digantikan, memberikan hasil yang lebih keras dan konsistensi
yang lebih rapuh. Asam lemak yang rendah dalam tubuh (sekitar
0,5%), pada saat kematian akan meningkat menjadi 70%
sehingga pembentukan adipocere dapat terlihat jelas. Tetapi
perlu diketahui bahwa, lemak dan air sendiri tidak bisa
menghasilkan adipocere. Organisme pembusuk seperti
clostridium welchii yang paling aktif, sangat penting dalam
pembentukan adipocere. Hal ini difasilitasi oleh invasi bakteri
endogen pada jaringan postmortem. Adanya konversi asam
lemak tubuh yang tidak jenuh menjadi asam lemak jenuh
menyebababkan penurunan ph, dan menghambat pertumbuhan
bakteri. Dengan terbentuknya zat semacam lilin tersebut, maka
proses pembusukan akan tertahan, oleh karena kuman-kuman
tidak dapat masuk. Sehingga, jaringan lunak tubuh dapat
bertahan untuk beberapa tahun. Adipocere mempunyai bau
asam yang khas (rancid odour). (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Meskipun dekomposisi jaringan lemak hampir terjadi
beberapa saat setelah kematian, tapi pembentukan adipocere
umumnya terjadi beberapa minggu sampai beberapa tahun
setelah kematian. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor
antara lain: tipe tanah, ph, kelembaban, temperatur,
pembalseman, kondisi terbakar, dan material-material yang ada
di sekitar mayat. Suhu panas, kondisi yang lembab, dan
lingkungan anaerob dapat memicu pembentukan adipocere.
Sebab pada dasarnya pembentukan adipocere membutuhkan
kondisi yang lembab atau dengan lembaga pendidikan polri 33
kedokteran forensik kepolisian akademi kepolisian dicelupkan
ke dalam air. Tetapi, air yang terdapat dalam tubuh pada jasad
yang disimpan dalam peti sudah cukup untuk menginduksi
terbentuknya adipocere. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Adipocere pada awalnya terbentuk pada jaringan subkutan,
umumnya pada pipi, payudara, dan pantat. Organ viscera seperti
liver jarang dilibatkan. Pembentukan adipocere bercampur
dengan sisa-sisa mummifikasi otot, jaringan fibrosa, dan nervus.
Pada suhu yang ideal, kondisi yang lembab, adipocere dapat
terlihat dengan mata telanjang setelah 3 – 4 minggu. Umumnya,
pembentukan adipocere membutuhkan waktu beberapa bulan
dan perluasan adipocere umumnya tidak terlihat lagi sebelum 5
atau 6 bulan setelah kematian. Beberapa penulis menyebutkan
bahwa, perubahan yang ekstensif membutuhkan waktu tidak
kurang dari 1 tahun setelah perendaman atau lebih dari 3 tahun
setelah pembakaran. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
2. Jelaskan indikasi pemeriksaan autopsi!
a. Indikasi Autopsi
 Otopsi Anatomik adalah otopsi yang dilakukan untuk
kepentingan pendidikan, yaitu dengan mempelajari susunan
tubuh manusia yang normal. (Aflanie, 2016)
 Otopsi Klinik adalah otopsi yang dilakukan terhadap jenazah
dari penderita penyakit yang dirawat dan kemudian meninggal
dunia di rumah sakit. (Aflanie, 2016)
 Otopsi Forensik ialah yang dilakukan untuk kepentingan
peradilan, yaitu membantu penegak hukum dalam rangka
menemukan kebenaran materil. (Aflanie, 2016)

Indikasi otopsi forensik pada hakekatnya adalah membantu


penegak hukum untuk menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapinya, yakni:
1. Membantu menentukan cara kematian (manner of death =
mode of dying ) (Aflanie, 2016)
 Pembunuhan
 Bunuh diri
 Kecelakaan
2. Membantu mengungkapkan proses terjadinya tindak pidana
yang menyebabkan kematian, yaitu: (Aflanie, 2016)
 Kapan dilakukan
 Di mana dilakukan
 Senjata, benda atau zat kimia apa yang digunakan
 Cara melakukan
 Sebab kematian
3. Membantu mengungkapkan identitas jenazah (Aflanie, 2016)
4. Membantu mengungkapkan pelaku kejahatan. (Aflanie, 2016)
Indikasi Umum
 Kematian diduga karena sebab tidak wajar
 Pembunuhan
 Bunuh diri
 Kecelakaan
 Belum diketahui (undetermined) (Sukriani,2017)

Indikasi Lain
 Kematian diduga terkait keracunan
 Mati mendadak, jika sebelumnya orang tersebut diketahui
dalam kondisi sehat (medically unexplained death)
 Kematian akibat sebab yang dapat mengancam kesehatan
masyarakat
 Kematian disebabkan penyakit, cedera, atau racun yang
terkait pekerjaan
 Kematian terkait dengan prosedur diagnostik atau terapi
 Kematian terkait aborsi ilegal
 Kematian pada narapidana, individu yang tengah
diinterogasi/ditahan oleh aparat negara
 Jenazah yang akan dikremasi atau dikubur di laut
 Jenazah tidak dikenal atau tidak diklaim oleh keluarga
 Kematian operator transportasi publik (pilot/ko-pilot,
masinis, supir bus, dll) yang meninggal saat bertugas
 Kematian bayi atau anak yang tidak dapat dijelaskan dan
tidak terduga
 Kematian tidak diduga pada pejabat negara
 Jenazah yang diketahui tengah dipindahkan antar wilayah
hukum tanpa surat kematian
 Kematian diduga akibat penelantaran oleh diri sendiri atau
orang lain
 Kematian terjadi ketika dilakukan operasi atau sebelum
bangun dari efek anestesi (Sukriani, 2017)

b. Alur Autopsi
Sebelum penatalaksanaan otopsi forensik (yang dilakukan
untuk kepentingan peradilan, yaitu membantu penegak hukum
dalam rangka menemukan kebenaran materil), prosedur
permintaan visum et repertum korban mati telah diatur dalam pasal
133 dan 134 KUHAP yaitu dimintakan secara tertulis, mayatnya
harus diperlakukan dengan baik, disebutkan dengan jelas
pemeriksaan yang diminta, dan mayat diberi label yang memuat
identitas yang diberi cap jabatan dan dilekatkan ke bagian tubuh
mayat tersebut. Pemeriksaan terhadap mayat harus dilakukan
selengkap mungkin dan hasil pemeriksaan tersebut dituangkan
dalam bentuk visum et repertum yang harus dapat dianggap sebagai
salinan dari mayat tersebut. (Budiyanto, 1997)
Permintaan Keterangan Ahli oleh penyidik harus dilakukan
secara tertulis, dan hal ini secara tegas telah diatur dalam KUHAP
pasal 133 ayat (2), terutama untuk korban mati. Pada prinsipnya
otopsi forensik (otopsi yang dilakukan untuk kepentingan
peradilan yaitu guna membantu penegak hukum menemukan
kebenaran materil) baru boleh dilakukan jika ada surat permintaan
tertulis dari penyidik. (Budiyanto, 1997)
Pengertian Keterangan Ahli adalah sesuai dengan pasal 1
butir 28 KUHAP: "Keterangan ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan." Keterangan ahli ini dapat diberikan
secara lisan di depan sidang pengadilan (pasal 186 KUHAP), dapat
pula diberikan pada masa penyidikan dalam bentuk laporan
penyidik (Penjelasan pasal 186 KUHAP), atau dapat diberikan
dalam bentuk keterangan tertulis di dalam suatu surat (pasal 187
KUHAP). (Budiyanto, 1997)
Pasal 134 KUHAP ayat 1 dijelaskan dalam hal sangat
diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, Penyidik wajib memberitahukan terlebih
dahulu kepada keluarga korban. Bila keluarga korban keberatan,
penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang
maksud dan tujuan perlunya dilakukan pembedahan tersebut (ayat
2). Waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133
ayat (3) KUHAP (Budiyanto, 1997)
Otopsi forensik ijin keluarga tidak lah begitu diperlukan
bahkan kalau ada pihak pihak yang merintangi pelaksanaan otopsi,
dapat dipidana. Mereka yang menghalangi pemeriksaan 'jenasah
untuk kepentingan peradilan diancam hukuman sesuai dengan
pasal 222 KUHP. (Budiyanto, 1997)
Jenasah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus
diberi label yang memuat identitas mayat yang diberi cap jabatan,
yang diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya.
Pemeriksaan terhadap mayat harus dilakukan selengkap mungkin
dan hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam bentuk visum et
repertum yang harus dapat dianggap sebagai salinan dari mayat
tersebut (Budiyanto, 1997)
Sebelum Autopsi dimulai, beberapa hal perlu mendapat
perhatian. (Teknik Autopsi Forensik, 2000)
a. Apakah surat unrt yang berkaitan dengan Autopsi yang
akan dilakukan telah Iengkap?
Dalam hal Autopsi klinik, perhatikan apakah surat izin
Autopsi klinik telah ditandatangani oleh keluarga terdekat
dari yang bersangkutan. Perhatikan pula jenis Autopsi yang
diizinkan oleh pihak keluarga tersebut.
Dalam hal Autopsi forensik, perhatikan apakah Surat
Permintaan Pemeriksaan/Pembuatan Visum et Repertum
telah ditandatangani oleh pihak penyidik yang beiwenang.
Untuk Autopsi forensik, mutlak dilakukan pemeriksaan
lengkap yang meliputi pembukaan seluruh rongga tubuh dan
pemeriksaan seluruh organ.

b. Apakah mayat yang akan di-autopsi benar-benar adalah


mayat yang dimaksudkan dalam surat yang
bersangkutan?
Dalam hal Autopsi klinik, pengenalan dapat dilakukan
oleh pihak keluarga, bila perlu dapat dibuatkan berita acara
untuk itu.
Dalam hal Autopsi forensik, maka perhatikanlah apakah
terhadap mayat yang akan diperiksa telah djlakukan
identifikasi oleh pihak yang beiwenang, berupa penyegelan
dengan label Polisi yang diikatkan pada ibujari kaki mayat.
Hal ini untuk memenuhi ketentuan mengenai penyegelan
barang bukti. Label dari Polisi ini memuat antara lain nama,
alamat, tanggal kematian, tempat kematian dan sebagainya
yang harus diteliti apakah sesuai dengan data-data yang
tertera dalam Surat Permintaan Pemeriksaan.

c. Kumpulkan keterangan yang berhubungan dengan


terjadinya kematian selengkap mungkin
Pada kasus-kasus Autopsi klinik, status riwayat penyakit
dan pengobatan dapat memberi petunjuk arah pemeriksaan
yang akan dilakukan.
Pada kasus-kasus Autopsi forensik, infornasi mengenai
kejadian yang mendahului kematian, keadaan pada Tempat
Kejadian Perkara (TKP) dapat memberi petunjuk bagi
pemeriksaan, serta dapat membantu menentukan jenis
pemeriksaan khusus yang mungkin diperlukan Kurang atau
tidak terdapatnya keterangan-keterangan tersebut di atas
dapat mengakibatkan terlewat atau hilangnya bukti-bukti
yang penting, misalnya saja tidak diambilnya, cairan
empedu, padahal korban kemudian temyata adalah seseorang
pecandu narkotika.
d. Periksa apakash alat-alat yang diperlukan telah tersedia
Untuk melakukan autopsi yang baik, tidaklah diperlukan
alat alat yang "mewah", namun tersedianya beberapa alat
tambahan kiranya perlu mendapat perhatian yang cukup.
Adakah telah tersedia botol-botol terisi larutan fonnalin yang
diperlukan untuk pengawetan jaringan bagi pemeriksaan
histopatologik? Adakah botol-botol atau tabung-tabung
reaksi untuk pengambilan darah, isi lambung atau jaringan
untuk pemeriksaan toksikologik?

Penyidik wajib Lakukan setelah 2 hari


Permintaan Keterangan
memberitahukan terlebih tidak ada tanggapan
Ahli oleh Penyidik harus
dahulu kepada keluarga apapun dari keliarga atau
dilakukan scr tertulis
korban (KUHAP Pasal 134 keluarga tidak ditemukan
(KUHAP Pasal 133 ayat 2)
ayat 1) (KUHAP Pasal 134 ayat 3)

Memastikan mayat yang


Kumpulkan keterangan
Kelengkapan surat dimaksudkan dalam surat Kelengkapan alat
dgn kejadian kematian
dan yang akan di otopsi
3. Jelaskan Patomekanisme dari temuan-temuan pada pemeriksaan !
a. Bibir dan jaringan bawah kuku kebiruan
Warna kebiruan pada warna darah tergantung pada jumlah
absolut oksihemoglobin dan hemoglobin tereduksi yang ada dalam
eritrosit. Warna merah muda normal dari kulit yang teroksigenasi
dengan baik dapat berubah menjadi ungu atau biru ketika memang
kekurangan oksigen, kata sianosis berasal dari bahasa yunani, yang
berarti biru tua. Sianosis kutaneus, bagaimanapun, tergantung pada
jumlah absolut hemoglobin tereduksi menjadi oksihemoglobin.
Tidak tampak pada anemia berat, bahkan jika rasio oksihemoglobin
terhadap hemoglobin tereduksi rendah. Harus ada setidaknya 5 g
hemoglobin tereduksi per 100 ml darah sebelum sianosis menjadi
jelas, terlepas dari jumlah total hemoglobin. (Sauko, 2004)
Dalam kejadian forensik umum penyempitan leher, sianosis
hampir selalu mengikuti kongesti wajah, karena darah vena yang
mengandung banyak hemoglobin tereduksi setelah perfusi kepala
dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru saat darah
terakumulasi. Jika dan ketika jalan napas tersumbat, maka
gangguan oksigenasi di paru-paru menyebabkan berkurangnya
kandungan oksigen dalam darah arteri. Ini akan menyebabkan
penggelapan semua organ dan jaringan, dan akan menonjolkan
sianosis pada wajah. Ini tidak terjadi pada fase pertama pencekikan,
bagaimanapun, dan tergantung pada oklusi total atau substansial
dari jalan napas, atau pembatasan ekskusi pernapasan pada dada.
(Sauko, 2004)
Sianosis yang dihasilkan selama hidup mungkin sebagian
atau seluruhnya dibayangi oleh hipostatis, yang mungkin berwarna
ungu tua atau biru, dan mungkin disalahartikan sebagai sianosis
sejati. Tidak dapat mencerminkan situasi ante mortem. (Sauko,
2004)
b. Lebam mayat pada belakang masih menghilang
Lebam mayat adalah perubahan warna kulit berupa warna
biru kemerahan akibat terkumpulnya darah di dalam vena kapiler
yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi di bagian tubuh yang lebih
rendah di sepanjang penghentian sirkulasi. Terdapat lima warna
lebam mayat yang dapat memperkirakan penyebab kematian yaitu:
warna merah kebiruan/merah keunguan merupakan warna normal
lebam; warna merah terang menandakan keracunan CO, keracunan
CN atau suhu dingin; warna merah gelap menunjukkan asfiksia,
warna biru menunjukkan keracunan nitrit, warna coklat
menunjukkan keracunan aniline. (Mason JK.1983; idres,AM.1997)
Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi
dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang menyebabkan
darah mencapai capillary bed dimana pembuluh-pembuluh darah
kecil mengalir sangat lambat. Maka secara bertahap darah yang
terhenti di dalam pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan
dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ketempat-tempat
terendah yang dapat dicapai. Mula-mula darah mengumpul di
vena-vena besar dan kemudian pada cabang-cabangnya sehingga
mengakibatkan perubahan warna kulit menjadi merah kebiruan.
Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh tertimbunnya sel-sel
darah dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga sulit
berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot-otot dinding pembuluh
darah ikut mempersulit perpindahan tersebut. (Budiyanto
A,dkk.1997)
Lebam mayat berkembang secara bertahap dan dimulai
dengan timbulnya bercak-bercak warna keunguan dalam waktu
kurang dari setengah jam sesudah kematian dimana bercak-bercak
ini intensitasnya menjadi meningkat dan kemudian bergabung
menjadi satu dalam beberapa jam kemudian yang pada akhirnya
akan membuat warna kulit menjadi gelap. Kadang-kadang cabang
darah vena pecah sehingga terlihat bintik-bintik perdarahan yang
disebut tardieu’s spot. (Budiyanto A,dkk.1997)
Lebam mayat mulai terbentuk 20 sampai 30 menit setelah
kematian somatis dan intensitas maksimal setelah 8-12 jam
postmortem. Dengan demikian penekanan pada daerah lebam
mayat atau perubahan posisi mayat yang dilakukan sebelum 8-12
jam tersebut akan menghilang lalu dapat kembali. Sedangkan jika
dilakukan penekanan diatas 8-12 jam postmortem maka lebam
mayat tidak hilang (menetap). Tidak menghilangnya lebam mayat
pada saat itu dikarenakan telah terjadi perembesan darah akibat
rusaknya pembuluh darah ke dalam jaringan sekitar pembuluh
darah. Secara medikolegal yang terpenting dari lebam mayat ini
adalah letak dari warna lebam itu sendiri dan distribusinya.
Perkembangan dari lebam mayat ini terlalu besar variasinya untuk
digunakan sebagai indikator penentu saat kematian. sehingga lebih
banyak digunakan untuk menentukan apakah sudah terjadi
manipulasi pada posisi mayat. (Sherwood L,2009)
Perbedaan memar dengan lebam mayat : (idres,AM.1997)

Lebam Mayat Memar

Bagian terendah Tidak tentu


Distribusi
tubuh

Orientasi Horizontal Diseluruh tubuh

Gradasi warna
dengan kulit Gradual Mencolok

sekitar

Bentuk Regular Iregular

Batas Tidak tegas Tegas


Lokasi darah Intravaskular Ekstravaskular

Bila
diiris/disiram Memudar/menghilang Menetap

dengan air

Tabel 1. Perbedaan Lebam Mayat dan Memar

c. Jejas melingkar pada leher


Sel adalah unit terkecil yang menunjukkan semua sifat dari
kehidupan. Aktifitasnya memerlukan energi dari luar untuk proses
pertumbuhan, perbaikan dan reproduksi (Robbins, 2012). Sel
merupakan partisipan aktif di lingkungannya yang secara tetap
menyesuaikan struktur dan fungsinya untuk mengakomodasi
tuntutan perubahan dan stress ekstrasel. Ketika mengalami stress
fisiologis atau rangsangan patologis, sel bisa beradaptasi, mencapai
kondisi baru dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Respons adaptasi utama adalah atrofi, hipertrofi dan metaplasia.
Jika kemampuan adaptatif berlebihan, sel mengalami jejas. Dalam
waktu tertentu, cedera bersifat reversible dan sel kemudian ke
kondisi stabil semula. Namun, dengan stress berat atau menetap
dapat terjadi cedera irreversibel dan sel yang terkena mati.
Sebagian besar penyebab dapat digolongkan menjadi kategori
berikut ini (Robbins, 2012)
1. Hipoksia (penurunan oksigen) timbul sebagai hasil dari : (1)
iskemia (kehilangan suplai darah); (2) oksigenasi inadekuat
(misalnya kegagalan kardiorespiratorik); (3) hilangnya
kemampuan darah untuk mengangkut oksigen (misalnya
anemia, keracunan karbon monoksida)
2. Fisika termasuk trauma, panas, dingin, radiasi dan syok
elektrik.
3. Kimia dan obat-obatan seperti : (1) obat-obat terapeutik
(misalnya acetaminophen); (2) agen non-terapeutik (misalnya
timah, alkohol)
4. Infeksi yaitu virus, rickettsia, bakteri, jamur dan parasit.
5. Reaksi imunologik
6. Kelainan genetik.

Jejas Reversibel
Jejas reversibel menunjukkan perubahan sel yang dapat
kembali menjadi normal jika rangsangaan dihilangkan atau
penyebab jejasnya ringan. Manifestasi jejas reversibel yang sering
terjadi awal adalah pembengkakan sel akut yang terjadi ketika sel
tidak mampu mempertahankan homeostatsis ionik dan cairan. Ini
disebabkan (Robbins, 2012)
a. Kegagalan transpor membran sel aktif Na K ATPase,
menyebabkan natrium masuk ke dalam sel, kalium
berdifusi ke luar sel dan terjadi pengumpulan air isosmotik.
b. Pengikatan muatan osmotik intraseluler kerena akumulasi
fosfat inorganik, laktat dan purin nukleosida. Bila semua sel
pada orang tersebut terkena, terdapat warna kepucatan,
peningkatan turgor dan penambajan berat organ. Secara
mikroskopik, tampak pembengkakan sel disertai vakuola
kecil dan jernih di dalam sitoplasma yang menggambarkan
segmen retikulum endoplasma yang berdistensi (Robbins,
2012). Perubahan ini umumnya merupakan akibat adanya
gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan
bahan kimia dan bersifat reversibel, walaupun dapat pula
berubah menjadi irreversibel apabila penyebab menetap.
Jejas Irreversibel
Jejas irreversibel terjadi jika stresornya melampaui
kemampuan sel untuk beradaptasi dan menunjukkan perubahan
patologik permanen yang menyebabkan kematian sel. Jejas
irreversibel ditandai oleh vakuolisasi berat pada mitokondria,
kerusakan membran plasma yang luas, pembengkakan lisosom dan
tampak kepadatan yang besar, amorf dalam mitokondria. Jejas
pada membran lisosom menyebabkan kebocoran enzim ke dalam
sitoplasma. Selanjutnya enzim tersebut diaktifkan dan
menyebabkan digesti enzimatik sel dan komponen ini yang
mengakibatkan perubahan ini karakteristik untuk kematian sel.
Ada beberapa mekanisme biokimia yang berperan penting dalam
jejas atau kematian sel yaitu (Robbins, 2012)
a. Deplesi ATP Penurunan sintesis ATP dan deplesi ATP
merupakan konsekuensi yang umum terjadi karenan jejas
iskemia maupun toksik. Hipoksia akan meningkatkan
glikolisis anaerob dengan deplesi glikogen, meningkatkan
produksi asam laktat atau asidosis intrasel. Berkurangnya
sintesis ATP akan berdampak besar terhadap transpor
membran, pemeliharaan gradien ionik (khusus Na+, K+ dan
Ca2+) dan sintesis protein (Robbins, 2012)
b. Akumulasi radikal bebas yang berasal dari oksigen Iskemia
yang terjadi dapat menyebabkan jejas sel dengan
mengurangi suplai oksigen seluler. Jejas sel tersebut juga
dapat mengakibatkan rekruitmen sel radang yang terjadi
lokal dan selanjutnya sel radang tersebut akan melepaskan
jenis oksigen reaktif berkadar tinggi yang akan
mencetuskan kerusakan membran dan transisi
permeabilitas mitokondria. Disamping itu, sel yang
mengalami jejas juga memiliki pertahanan antioksidan
yang terganggu (Robbins, 2012)
c. Influks kalsium intrasel dan gangguan homeostasis kalsium
Kalsium bebas sitosol dipertahankan pada kadar yang
sangat rendah oleh transportasi kalsium yang terganggu
ATP. Iskemia atau toksin dapat menyebabkan masuknya
kalisum ekstrasel melintasi membran plamsa dan diikuti
dengan pelepasan kalsium dari deposit intraseluler di
mitokondria serta retikulum endoplasma. Penginkatan
kalsium sitosol dapat mengaktifkan enzim fosfolpase
(mencetuskan kerusakan membran), protease
(mengkatabolis protein membran serta sitoskeleton),
ATPase (mempercepat depleso ATP) dan endonuklease
(menyebabkan fragmentasi kromatin) (Robbins, 2012)
d. Defek pada permeabilitas membran plasma Membran
plasma dapat berlangsung dirusak oleh toksin bakteri
tertentu seperti protein virus, komponen komplemen,
limfosit sitolitik atau sejumlah agen fisik dan kimiawi.
Perubahan permeabilitas membran bisa juga sekunder yang
disebabkan oleh hilangnya sintesis fosfolipid yang
berkaitan dengan deplesi ATP atau disebabkan oleh
aktivasi fosfolipase yang dimediasi kalsium yang
mengakibatkan degradasi fosfolipid. Hilangnya barier
membran menimbulkan kerusakan gradien konsentrasi
metabolit yang diperlukan untuk mempertahankan aktivitas
metabolik sel (Robbins, 2012)

Kerusakan Mitokondria
Sel-sel tubuh sangat bergantung pada metabolisme
oksidatif, maka keutuhan mitokondria sangat penting bagi
pertahanan hidup sel. Kerusakan mitokondria dapat terjadi
langsung karenan hipoksia atau toksin atau sebagai akbiat
meningkatnya Ca2+ sitosol, stress oksidatif intrasel atau
pemecahan fosfolipid dapat menyebabkan akumulasi pada saluran
membran mitokondria interna yang nantinya akan mencegah
pembentukan dari ATP (Robbins, 2012)

Gambar 1. Mekanisme Jejas Sel

d. Edema otak dan paru


Terdapat tiga bentuk tekanan pada leher yang utama yaitu
manual strangulation (penjeratan dengan tangan), ligature
strangulation (penjeratan dengan alat) dan hanging
(penggantungan). Pada peristiwa jeratan dalam bentuk penjeratan
dengan tali/alat yang dipakai sering disilangkan dan sering juga
dijumpai adanya simpul. Pada peristiwa ini maka kematian yang
terjadi dapat disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas sehingga
terjadi asfiksia, terbendungnya pembuluh darah dan vagal reflek.
Terbendungnya pembuluh darah akan mengakibatkan gangguan
sirkulasi sistemik. (James, 2011)
Ketika tekanan diberikan pada leher akan menyebabkan
vena jugularis interna terbendung, terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir
di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang intersitium yang dapat
menimbulkan edema otak. Efek lainnya yang akan terjadi yaitu
tertutupnya a. carotis communis yang jika parah maka jaringan
otak akan kekurangan darah sehingga menyebabkan hipoksia
serebral dan terjadi edema pada otak. (James, 2011)
POPE (Post Obstructive Pulmonary Edema) adalah
komplikasi yang mengancam jiwa menjadi setelah penyempitan
saluran napas bagian atas. Hal ini terutama terlihat pada gantung
diri dan penjeratan. Salah satu teori edema paru yang terjadi setelah
penyempitan dan pelepasan saluran napas atas; adalah tekanan
negatif intratoraks yang sangat meningkat selama upaya
pernapasan terhadap tertutupnya saluran napas atas, menyebabkan
kembalinya jumlah darah yang berlebihan ke rongga dada dan
jantung. Hipoksia menyebabkan vasokonstriksi dan permeabilitas
pembuluh darah paru meningkat, baik hipoksia dan asidosis
respiratorik melemahkan kapasitas kontraksi jantung. Semua
kondisi ini menyebabkan peningkatan darah intratoraks yang
menyebabkan edema paru. (Yardimci, 2018)

4. Apa yang dapat dijelaskan di temuan gigi molar 3 belum lengkap


pada skenario !
Tulang dan gigi Tulang dan gigi dapat memberi informasi penting
dalam perkiraan umur manusia. Namun signifikasi dari pemeriksaan
tulang tergantung pada besarnya penyebaran kelompok umur sehingga
perlu dikelompokkan secara terpisah menjadi beberapa kelompok. Untuk
memudahkan penentuan umur maka pemeriksaan kerangka dibagi
beberapa bagian sebagai berikut. (Aflanie, 2017)
Gigi Atas dan Bawah

Incisivus I 7 Tahun

Incisivus II 8 Tahun

Caninus 11 Tahun

Premolar 1 9 Tahun

Premolar II 10 Tahun

Molar I 8 Tahun

Molar II 12 – 13 Tahun

Molar III 17 – 25 Tahun

Tabel 2. Umur Perumbuhan Gigi

Penentuan umur dapat diperkirakan dengan ketepatan yang cukup


dengan melihat erupsi gigi seperti skema di atas dan dengan memeriksa
fusion dari center ossifikasi. Dengan ketentuan pada wanita kira-kira satu
tahun lebih dahulu maturitasnya. Pada pemeriksaan ini untuk identifikasi
perlu pula memerhatikan ciri-ciri gigi (sesuai dental record jika ada)
yaitu:
 Jumlah/susunan gigi yang ada,
 Alur/potongan gigi yang terlihat atau tertinggal,
 Tambahan gigi, mahkota gigi, gigi palsu,
 Gigi yang rusak,
 Irregularitas,
 Tanda-tanda kebiasaan.
Gigi molar 3 mulai tumbuh di usia 17 – 25 tahun dan tumbuh
lengkap di usia 23 – 25 tahun. Berdasarkan temuan gigi molar 3 yang
belum lengkap berarti sudah ada gigi molar yang tumbuh namun belum
lengkap. Maka perkiraan usia korban adalah antara 17 – 25 tahun.
(Aflanie, 2017)

5. Jelaskan penyebab, mekanisme, dan cara kematian berdasarkan


kasus pada skenario !
a. Sebab Kematian
Sebab kematian adalah setiap luka, cedera atau penyakit yang
mengakibatkan rangkaian gangguan fisiologis tubuh yang berakhir
dengan kematian pada seseorang. Misalnya luka tembak pada
kepala, luka tusuk pada dada, pencekikan, keracunan morfin,
intoksikasi sianida, tenggelam, terbakar, kekerasan benda tumpul,
tuberkulosis paru, aterosklerosis koronaria, dan lain sebagainya.
(Idries, 2013)
Untuk dapat menentukan sebab kematian secara pasti harus
dilakukan pembedahan mayat (otopsi), dengan atau tanpa
pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan mikroskopis,
pemeriksaan toksikologis, pemeriksaan bakteriologis dan lain
sebagainya tergantung kasus yang dihadapi. Perkiraan sebab
kematian dapat dimungkinkan dari pengamatan yang teliti
berdasarkan kelainan-kelainan yang dilihat dan ditemukan pada
pemeriksaan luar. Jadi tanpa pembedahan mayat perkiraan sebab
kematian dapat diketahui dengan menilai sifat luka, lokasi serta
derajat berat ringannya kerusakan korban. (Idries, 2013)
Berdsarkan skenario pada korban didapatkan jejas
melingkari leher secara penuh dan resapan darah sesuai arah jejas
yang merupakan salah satu tanda dari jejas akibat penjeratan
(strangulation by ligature). Penjeratan adalah penekanan benda asing
berupa tali, ikat pinggang, rantai, kwat, kabel, dan sebagainya
melingkari atau mengikat leher yang semakin lama semakin kuat
sehingga saluran pernapasan tertutup. Kekuatan pada penjeratan
berasal dari tarikan kedua ujung alat penjerat. Pada kasus penjeratan,
jerat biasanya berjalan horisontal atau mendatar dan letaknya rendah
melingkari leher. Jerat ini meninggalkan jejas jerat berupa Iuka lecet.
(Bagian Kedokteran Forenasik, 2000)

b. Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian adalah gangguan fisiologik dan atau
kimiawi yang ditimbulkan oleh penyebab kematian sedemikian rupa
sehingga seseorang tidak dapat terus hidup. Mekanisme kematian
menunjukan bagaimana korban itu mati setelah umpamanya
tertembak atau tenggelam. Mekanisrne kematian misalnya : karena
perdarahan, asfiksia, hipotermi, syok hemoragik, refleks vagal, dan
lain sebagainya. (Idries, 2013)
Sebab kematian pada korban adalah penjeratan yang
mekanisme kematiannya terjadi karena asfiksia ditandai dengan
adanya bibir dan jaringan di bawah kuku tampak kebiruan, edema
otak dan edema paru yang ditemukan pada korban.
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
terjadinya gangguan pertukaran udara pemapasan, mengakibatkan
oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbondioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh
mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian (Budiyanto, 1997).
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut
(Knight dalam Novita, 2014):
1) Alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran
pemapasan seperti laryngitis difteri, atau menimbulkan
gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2) Mekanik. Kejadian ini sering dijumpai pada keadaan hanging,
drawing, strangulation dan suffocation. Obstruksi mekanik
pada saluran pernapasan oleh:
• Tekanan dari luar tubuh misalnya pencekikan atau
penjeratan.
• Benda asing
• Tekanan dari bagian dalam tubuh pada saluran
penapasan, misalnya karena tumor paru yang menekan
saluran bronkus utama
• Edema pada glotis.

Patologi Asfiksia, dari pandangan patologi, kematian akibat


asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1) Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan diseluruh tubuh, tidak
tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif
terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu
membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian
tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan
yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum,
dan basal ganglia. Disini sel-sel otak yang mati akan
digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh
yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang
lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau
primer tidak jelas.
2) Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha
kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan
oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya,
akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen
dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja
jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat. (Aflanie, 2017)
Adapun fase-fase saat terjadi asfiksia
1) Fase Dispnea
Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan
penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat
pernapasan di medulla oblongata, sehingga amplitude dan
frekuensi pernapasan akan meningkat, nadicepat, tekanan
darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis
terutama pada muka dan tangan.
2) Fase Konvulsi
Akibat kadar CO 2 yang naik maka akan timbul
rangsangan terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi
konvulsi (kejang), yang mula-mula berupa kejang klinik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme
opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung
menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berikatan
dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat
kekurangan O2 .
3) Fase Apnea
Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat,
pernapasan melemah dan dapat berhenti. Kesadaran menurun
dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan
sperma, urin dan tinja.
4) Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap.
Pemapasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot
pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernapasan berhenti. (Budiyanto, 1997)
c. Cara Kematian
Cara kematian adalah macam kejadian yang menimbulkan
penyebab kematian. Dalam ilmu kedokteran forensik dikenal tiga
cara kematian yaitu :
 Wajar (natural death), Dalam pengertian kematian korban oleh
karena penyakit; misalnya kematian karena penyakit jantung,
karena perdarahan otak dan karena tuberkulosa.
 Tidak wajar (unnatural death), yang dapat dibagi menjadi
kecelakaan, bunuh diri, pembunuhan
 Tidak dapat ditentukan (undetermined), hal ini disebabkan
keadaan mayat telah sedemikian rusak atau busuk sekali
sehingga baik luka ataupun penyakit tidak dapat dilihat dan
ditemukan lagi. (Aflanie, 2017)
Pada skenario di atas seorang perempuan ditemukan
meninggal di sebuah rumah kosong, pada pemeriksaan luar
didapatkan jejas melingkari leher secara penuh, bibir dan jaringan di
bawah kuku tampak kebiruan, dan pada pemeriksaan dalam
didapatkan resapan darah sesuai arah jejas, edema otak dan paru,
maka dapat dikatakan bahwa kematian korban merupakan kematian
yang tidak wajar.

6. Jelaskan perkiraan waktu kematian berdasarkan teruan dari


pemeriksaan!
Ada beberapa hal yang dapat diperhatikan untuk memperkiran
serta menentukan waktu terjadinya kematian seperti lebam mayat, kaku
mayat, penurunan suhu dan juga dekomposisi. Namun, waktunya sangat
bervariatif dan kisarannya juga sangat panjang dan juga sering
overlaping. Perubahan yang digunakan untuk memeperkirakan kematian:
a. Perubahan pada mata. Bila mata terbuka pada atmosfer yang
kering, sclera kiri dan kanan akan berwarna kecoklatan dalam
beberapa jam bentuk segitiga dengan dasar tepi kornea. Terjadi
kekeringan pada kornea, bila kornea terpapar kekeringan terjadi
(+/-) 6 jam pasca mati. Terjadi juga perbuahan-perubahan pada
mata, yaitu :
 Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis. Kekeruhan
terjadi pada lapisan terluar dapat dihilangkan dengan
meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai
lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan
air. Kekeruhan menetap terjadi sejak 6 jam pasca kematian.
 Kornea menjadi keruh, baik dalam keadaan mata tertutup
maupun terbuka kira – kira 10 – 12 jam pasca kematian dan
beberapa jam funduk tidak tampak jelas.
 Tekanan bola mata akan menurun, kemungkinan distorsi
pupil pada penekanan bola mata.
 Retina akan berubah setelah 15 jam pasca kematian. Hingga
30 menit macula akan keruh dan diskus optikus memucat.
1 jam kemudian, macula akan lebih pucat dan tepinya tidak
tajam lagi.
b. Perubahan pada lambung. Kecepatan pengosongan lambung
bervariasi, sehingga tidak dapat digunakan untuk memeberikan
petunjuk pasti waktu antara makan terakhir atau saat mati.
Lambung kosong setelah makan 3-4 jam, dalam waktu ½ - 1 jam
masih berupa bolus/makanan setengah tercerna. Tetapi keadaan ini
dipengaruhi oleh jenis makanan, keadaan motilitas lambung dan
enzim2 pencernakan, kondisi mental seseorang, dll.
c. Pertumbuhan rambut. Dengan mengingat bahwa kecepatan rambut
rata – rata 0,4 mm/hari, panjang rambut kumis dan jenggot dapat
digunakan untuk memperkirakan saat kematian.pertumbuhan
rambut, jengot/ kumis, dapat membantu bila diketahui saat terakhir
bercukur. Pertumbuhan rambut 0,4 mm/hari (diperiksa 24 jam
pertama pasca mati).
d. Pertumbuhan kuku. Sejalan dengan pertumbuhan kuku yang
diperkirakan sekitar 0,1 mm perhari dapat digunakan untuk
memeperkirakan saat kematian.
e. Perubahan dalam cairan serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino
kurang dari 14mg% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam,
kadar nitrogen non- protein kurang dari 80 mg% menunjukkan
kematian belum lewat 24 jam, kadar keratin kurang dari 5 mg%
dan 10 mg% masing – masing menunjukkan kematian belum
mencapai 10 jam sampai 30 jam.
f. Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup
akurat untuk memperkirakan saat kematian anatara 24 hingga 100
jam pasca kematian.
g. Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga
analisis darah pasca mati tidak memeberikan gambaran konsentrasi
zat – zat tersebut semasa hidupnya. H. Reaksi supravital, yaitu
reaksi jaringan tubuh sesaat setelah mati klinis yang masih sama
seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup.
h. Metode entomologik. Banyak variasi/jenis serangga sehingga sulit
digunakan, pada umumnya bila larva ada umur kematian sudah (3-
4 hari). Untuk eropa sikitar (8-14 hari).
i. Secara laboratoris – pemeriksaan zat-zat tertentu, seperti :
 Peningkatan kadar k+, laktat, p, urea, glukosa dalam serum.
 Peningkatan as, laktat, npn, kosentrasi asam amino dalam lcs
pada 15 jam pertama pasca mati 3) pemeriksaan kadar K+
dalam vitrous humour, cukup akurat untuk 24 jam-100 jam
pasca mati.

Dari skenario didapatkan tanda lebam mayat yang bisa hilang jika
ditekan, seperti diketahui lebam mayat muncul 20-30 menit setelah
kematian dan akan menetap jika lebih dari 8-10 jam setelah kematian.
Tetapi, lebam mayat ini akan hilang jika ditekan pada waktu kurang dari
8 jam setelah kematian dikarenakan lebam mayat belum terfiksasi secara
sempurna. Dari informasi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
perkiraan meninggalnya mayat adalah kurang dari 8 jam setelah
pemeriksaan. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)

7. Bagaimana visum et repertum dari kasus otopsi pada skenario ?


Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas
permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan
medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau
diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di
bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin
ketik, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan
yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat
singkatan, dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa
digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia. Apabila penulisan
sesuatu kalimat dalam visum et repertum berakhir tidak pada tepi kanan
format, maka sesudah tanda titik harus diberi garis hingga ke tepi kanan
format.
Apabila diperlukan gambar atau foto untuk lebih memperjelas
uraian tertulis dalam visum et repertum, maka gambar atau foto ter sebut
diberi kan dalam bentuk lampiran.
Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap, yaitu:
a. Kata Pro justitia yang diletakkan di bagian atas. Kata ini
menjelaskan bahwa visum et repertum khusus dibuat untuk tujuan
peradilan. Visum et repertum tidak membutuhkan meterai untuk
dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum.
b. Bagian Pendahuluan. Kata "Pendahuluan" sendiri tidak ditulis di
dalam visum et repertum, melainkan langsung dituliskan berupa
kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan nama
dokter pembuat visum et repertum dan institusi kesehatannya,
instansi penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal surat
permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas
korban yang diperiksa.
c. Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, maka uraian
identitas korban adalah sesuai dengan uraian iden titas yang ditulis
dalam surat permintaan visum et repertum. Bila terdapat ketidak-
sesuaian identitas korban antara surat permintaan dengan catatan
medik atau pasien yang diperik sa, dokter dapat meminta
kejelasannya dari penyidik. Bagian ini berjudul "Hasil pemerik
d. Bagian Pemberitaan. Bagian ini berjudul “Hasil Pemeriksaan” dan
berisi hasil pemeriksaan medik tentang keadaan kesehatan atau sakit
atau luka korban yang berkaitan dengan perkaranya, tindakan medik
yang dilakukan serta keadaannya selesai pengobatan/perawatan.
Bila korban meninggal dan dilakukan autopsi, maka diuraikan
keadaan seluruh alat-dalam yang berkaitan dengan perkara dan
matinya orang tersebut.
e. Yang diuraikan dalam bagian ini merupakan pengganti barang bukti,
berupa perlukaan/keadaan kesehatan/sebab kematian yang berkaitan
dengan perkaranya. Temuan hasil pemeriksaan medik yang bersifat
rahasia dan tidak ber hubungan dengan perkaranya tidak dituangkan
ke dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia.
kedokteran.
f. Bagian Kesimpulan. Bagian ini berjudul "Kesimpulan" dan berisi
pendapat dokter berdasarkan keilmuannya, mengenai jenis
perlukaan/cedera yang ditemukan dan jenis kekerasan atau zat
penyebabnya, serta derajat perlukaan atau sebab kematiannya. Pada
kejahatan susila, diterangkan juga apakah telah terjadi persetubuhan
dan kapan perkiraan kejadiannya, serta usia korban atau kepantasan
korban untuk dikawin.
g. Bagian Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat
baku "Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan
sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat
sumpah sesuai dengan Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana."
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK
RUMAH SAKIT FAKULTAS KEDOKTERAN UHO
Jln.HEA MOKODOMPIT – KENDARI Telp. 375582 psw. 451-452
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
Nomor : 235/236/237/ OKTOBER 2021
Sehubungan dengan surat Saudara: ----------------------------------------------------
Nama: Faisal, Pangkat: Inspektur Polisi Satu, NRP: 73489231, Jabatan:
Kapolres Kendari, KA SPKT II Resor Kendari, Alamat: BTN Napabale 2
Anduonohu, Kecamatan Poasia, Kendari, No.Pol VER/B/43/VII/2021/SPK,
tanggal: 11 Oktober 2021, Perihal: Permintaan Visum Et Repertum/Jenazah,
yang kami terima pada tanggal 11 Oktober 2021 pukul 13.35 WITA. Maka
kami:
-------------------------------------dr. X---------------------------------------------------
Sebagai Dokter Spesialis Forensik pada Instalasi Kedokteran Forensik dan
Medikolegal RSUD Fakultas Kedokteran UHO Kendari, telah melakukan
pemeriksaan luar pada hari Senin tanggal 11 Oktober 2021 pukul 14.30 WITA
dan pemeriksaan dalam pada hari Rabu tanggal 14 Oktober 2021 pukul 09.30
WITA di Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD fakultas
kedokteran UHO kendari, atas jenazah yang menurut Saudara: -------------------
Nama : Ms.Z ---------------------------------------------------------------
Tmp/tgl lahir : (-) ------------------------------------------------------------------
Jenis Kelamin : Perempuan -------------------------------------------------------
Bangsa : (-) ------------------------------------------------------------------
Umur : ---------------------------------------------------------------------
Agama : ---------------------------------------------------------------------
Alamat : (-) -------------------------------------------------------------------
Jenazah perempuan ditemukan meninggal dunia di dalam sebuah Rumah
Kosong pada hari Senin tanggal 11 Oktober 2021 pukul 10.30 WITA. Jenazah
tiba di Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Fakultas
Kedokteran UHO Kendari pada hari Senin tanggal 11 Oktober 2021 pada pukul
13.35 WITA. ----------------------

HASIL PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Luar : -----------------------------------------------------------------------
1. Jenazah Perempuan berusia x, panjang badan x, berat badan x, warna kulit
x, gizi x ------------------------------------------------------------------------------
2. Penutup jenazah : x ----------------------------------------------------------------
3. Properti jenazah : x ----------------------------------------------------------------
4. Jenazah berlabel dan tidak bersegel ---------------------------------------------
5. Ditemukan jejas melingkari leher secara penuh, bibir dan jaringan di
bawah kuku tampak kebiruan, gigi molar 3 belum lengkap, lebam mayat
pada tubuh bagian belakang warna kebiruan yang hilang dengan
penekanan. -----------------------------
6. Kepala: tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. --------------
a. Bentuk : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. --------
b. Rambut : x ---------------------------------------------------------------------
c. Dahi : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ----------
d. Mata : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ----------
e. Hidung : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. -------
f. Pipi : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ------------
g. Telinga : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. -------
h. Mulut : ditemukan bibir berwarna tampak kebiruan. --------------------
i. Gigi : gigi molar 3 belum lengkap. -----------------------------------------
j. Dagu : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ----------
7. Leher : ditemukan jejas melingkari leher secara penuh. ----------------------
8. Dada : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ---------------
9. Perut : tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. -------------------------------
10. Punggung : ditemukan lebam mayat warna kebiruan. ------------------------
11. Anggota gerak atas : jaringan dibawah kuku tampak kebiruan. -------------
12. Anggota gerak bawah : jaringan dibawah kuku tampak kebiruan. ----------
13. Alat Kelamin : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
14. Dubur : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. -------

Pemeriksaan Dalam :--------------------------------------------------------------------


1. Rongga kepala : ditemukan pembengkakan otak. -----------------------------
2. Leher : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ---------------
a. Jaringan bawah kulit leher : didapatkan resapan darah sesuai arah
jejas.
b. Pembuluh darah besar leher : tidak ditemukan kelainan dan tanda-
tanda kekerasan.
c. Lidah : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. --------
d. Tenggorokan : cincin tulang rawan tidak ditemukan kelainan dan
tanda-tanda kekerasan. -----------------------------------------------------
3. Rongga dada : ---------------------------------------------------------------
a. Jaringan bawah kulit : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda
kekerasan. --
b. Tulang dada dan tulang iga : tidak ditemukan kelainan dan tanda–
tanda kekerasan. -------------------------------------------------------------
c. Jantung : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. -----
d. Paru : ditemukan pembengkakan paru. ----------------------------------
e. Pembuluh nadi besar : tidak ditemukan kelainan. ----------------------
4. Rongga perut : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. -----
Pemeriksaan Tambahan : tidak dilakukan. ----------------------------------------

KESIMPULAN
Jenazah Perempuan, usia x, panjang badan x cm, berat badan x kg, warna kulit
x, -------------------------------------------------------------------------------------------
Pada pemeriksaan luar ditemukan: jejas melingkari leher secara penuh, bibir
dan jaringan di bawah kuku tampak kebiruan, gigi molar 3 belum lengkap,
lebam mayat pada tubuh bagian belakang warna kebiruan yang hilang dengan
penekanan. -------------------------------------------------------------------------------
Pemeriksaan dalam ditemukan: resapan darah sesuai arah jejas, pembengkakan
otak dan paru. ----------------------------------------------------------------------------
Sebab kematian karena kekerasan berupa luka jerat. -------------------------------
Mekanisme kematian karena mati lemas. -------------------------------------------
Cara kematian tergolong tidak wajar. ------------------------------------------------

Demikian Visum et Repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu
menerima jabatan.

Dokter Pemeriksa,

dr. X

8. Jelaskan aspek medikolegal yang berkaitan dengan skenario !


Beberapa ketentuan hukum terkait scenario, sebagai berikut:
a. KUHP Pasal 338
“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”

b. KUHP Pasal 339


“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu
perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiap
atau mempermudah pelaksanaannya, atau melepaskan diri sendiri
maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,
ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya
secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”

c. KUHP Pasal 340


“Barangsiapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”

d. KUHP Pasal 359


"Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati,
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun penjara"

Ada berbagai macam tindak pidana yang dilakukan oleh


masyarakat salah satunya yaitu tindak pidana pembunuhan. Pembunuhan
adalah perbuatan yang dilakukan untuk menghilangkan/merampas
nyawa seseorang. Tindak pidana pembunuhan adalah suatu bentuk
kejahatan dalam jiwa seseorang dimana perbuatan tersebut sangat
bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat yaitu
norma agama dan adat-istiadat, dan bertentangan juga dengan norma
ketentuan hukum pidana dan melanggar hak asasi manusia yaitu hak
untuk hidup. Ketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang
ditujukan terhadap nyawa seseorang juga dapat dilihat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Buku ke II Bab XIX KUHP yang terdiri
dari tiga belas pasal yaitu dimulai pasal 338 sampai pasal 350. (Ardani,
2018)
Bentuk kesalahan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain
ini dapat berupa sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa). Berdasarkan
unsur kesalahan, tindak pidana pembunuhan dapat dibedakan menjadi :
a. Pembunuhan Biasa
Pada pembunuhan biasa ini, diatur dalam Pasal 338 KUHP
yang merumuskan bahwa : “barangsiapa sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.” Pada pembunuhan biasa
ini, pelaksanaannya haruslah tidak lama setelah timbulnya
kehendak (niat) dari pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.
Sebab apabila terdapat tenggang waktu yang cukup lama dari
timbulnya kehendak untuk membunuh dengan pelaksanaannya,
maka pembunuhan tersebut termasuk dalam pembunuhan
berencana. Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP
menyatakan bahwa pemberian sanksi atau hukuman pidananya
adalah pidana penjara paling lama lima belas tahun. Disini
disebutkan bahwa “paling lama”, jadi tidak menutup
kemungkinan hakim akan memberikan sanksi pidana pidana
kurang dari lima belas tahun penjara. (Mentari, 2020)

b. Pembunuhan yang Diikuti, Disertai atau Didahului dengan


Tindak Pidana Lain
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut : “Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh
kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk
memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk
melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau
supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap
ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah: Adanya
unsur diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain
artinya tindak pidana lain ini harus sudah terjadi, tidak boleh baru
percobaan, sebab apabila pembunuhannya sudah terjadi namun
tindak pidana lainnya belum terjadi maka delik tersebut belum
termasuk dalam Pasal 339 KUHP ini. Oleh karena terdapat 2(dua)
tindak pidana, yaitu pembunuhan dan tindak pidana selain
pembunuhan (Mentari, 2020)
c. Pembunuhan Berencana (Moord)
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, unsur-
unsur pembunuhan berencana adalah; unsur subyektif, yaitu
dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu,
unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain. Jika
unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan
sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan
niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP. Ancaman pidana
pada pembunuhan berencana ini lebih berat dari pada
pembunuhan yang ada pada Pasal 338 KUHP bahkan merupakan
pembunuhan dengan ancaman pidana paling berat, yaitu pidana
mati, di mana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan
terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman
ini adalah adanya perencanaan terlebih dahulu. Selain diancam
dengan pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana
juga dapat dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun. (Halawa dkk. 2020)

d. Pembunuhan atas Permintaan Korban Sendiri


Pembunuhan ini diatur dalam Pasal 344 KUHP yang
rumusannya adalah sebagai berikut : “Barangsiapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun” Pembunuhan yang diatur
dalam Pasal 344 KUHP ini berbeda dengan pembunuhan biasa
yang diatur dalam Pasal 338 KUHP. (Mentari, 2020)
Perbedaannya ialah pada pembunuhan ini :
1) Dilakukan atas permintaan korban sendiri
2) Secara jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati.
Apabila kedua unsur diatas tidak terbukti atau tidak ada,
maka pembunuhan tersebut akan masuk dalam pembunuhan
biasa. Semua syarat diatas bersifat kumulatif, artinya bahwa
semua syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana pembunuhan yang melanggar Pasal 344
KUHP. Menurut Pasal 344 KUHP, ancaman pidana pada
pembunuhan atas permintaan korban sendiri adalah pidana
penjara paling lama dua belas tahun. Hukuman ini relatif lebih
ringan daripada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP),
mengingat bahwa inisiatif dari pembunuhan ini dari permintaan
korban itu sendiri, bukan dari pelaku. Sehingga pelaku sedikit
mendapatkan keringanan ancaman pidananya. (Mentari, 2020)

Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP


bab XIX buku II adalah sebagai berikut:
a) Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selama-
lamanya lima belas tahun;
b) Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun;
c) embunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun;
d) Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara
selama-lamanya tujuh tahun;
e) Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun;
f) Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun;
g) Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh
diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun. (Halawa dkk. 2020)
DAFTAR PUSTAKA

Aflanie, dan Iwan. (2017). Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Ardani, R. (2018). Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Anak Di Yogyakarta.
Idries, A. M., dan Tjiptomartono, A.L. (2013). Penerapan ilmu kedokteran forensik
dalam proses penyidikan. Edisi revisi. Sagung Seto.
Bagian Kedokteran Forenasik. (2000). Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Budiyanto, A., Widiatmika, W. dkk. (1997). Ilmu kedokteran Forensik. Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya. Edisi Ketiga. 2007.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000, Teknik Autopsi Forensik, Edisi
1, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 45.
Halawa, M., Munawir, Z., & Hidayani, S. (2020). Penerapan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Sengaja Merampas Nyawa Orang Lain
(Studi Kasus Nomor Putusan 616/Pid. B/2015/PN. Lbp). JUNCTO: Jurnal
Ilmiah Hukum , 2 (1), 9-15.

Iriyanto, E. (2021). Unsur Rencana Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana.


Jurnal Yudisial, 14(1), 19-35
James, J, dkk. 2011. Simpson’s Forensic Medicine Twelfth Edition. London :
Hodder & Stoughton Ltd.
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali
Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto,
Nurwany Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.
Mentari, B. M. R. (2020). Saksi Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Dengan Hukum Islam. Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah
Hukum, 23(1), 1-38.
Novita, G. (2014). Tanda kardinal asfiksia yang ditemukan pada visum et repertum
kasus gantung diri di departemen forensik RSUP dr. Muhammad Hoesin
Pelembang pada 2011-2012. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.
Rampengan H, S. 2014. Edema Paru Kardiogenik Akut. Jurnal Biomedik (JBM).
Volume 6. Nomor 3. Halaman 149 – 156
Syukriani, Y. 2017. Pelayanan Kedokteran Forensik di Tingkat Primer.
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia
Yardimci, C. 2018. Pulmonary Edema Because Of Incomplete Hanging Attempt.
Eastern Journal Of Medicine. Vol. 23. No. 1. Halaman 45 – 47.

Anda mungkin juga menyukai