LEMBAR PENGESAHAN
Judul Laporan : Modul Patologi Forensik
Nama Anggota Kelompok :
1. Ragilia Ulhaj (K1A1 18 109)
2. Nisha Noviar Aldawiyah (K1A1 19 018)
3. Nurah Anto Khairunnisa (K1A1 19 020)
4. Indyra Rahmayanti Kamase (K1A1 19 045)
5. Jason Gerard Halim (K1A1 19 046)
6. Milati Hamidah (K1A1 19 050)
7. Putu Wisnu Agung Widhiyana (K1A1 19 061)
8. Salsabila Junarlin (K1A1 19 062)
9. Salwa Rafh Wahwa (K1A1 19 063)
10. Widya Wati (K1A1 19 117)
11. Yuniar Dwi Putri Welori (K1A1 19 118)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sebagai laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaaat bagi semua pihak. Kami juga
menyadari bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran, masukan maupun kritikkan dari semua
kalangan demi kesempurnaan laporan yang kami susun ini.
Kelompok 2
MODUL 1
PATOLOGI FORENSIK
A. SKENARIO
SKENARIO 2
B. KATA SULIT
Autopsi
Pemeriksaan pascakematian sesosok'mayat untuk menentukan sebab
kematian atau sifat-sifat perubahan patologis; nekropsi. (Dorland,
2011)
Lebam Mayat
Lebam mayat adalah perubahan warna kulit berupa warna biru
kemerahan akibat terkumpulnya darah di dalam vena kapiler yang
dipengaruhi oleh gaya gravitasi di bagian tubuh yang lebih rendah di
sepanjang penghentian sirkulasi. (Mason JK.1983; idres,AM.1997)
C. KATA KUNCI
1. Seorang perempuan ditemukan meninggal di sebuah rumah kosong.
2. Jenazah kemudian dibawa oleh Penyidik ke kamar jenazah RSUD untuk
dilakukan otopsi.
3. Pada pemeriksaan luar didapatkan jejas melingka ri leher secara penuh
4. Bibir dan jaringan di bawah kuku tampak kebiruan
5. Gigi molar 3 belum lengkap
6. Lebam mayat pada tubuh bagian belakang warna kebiruan yang hilang
dengan penekanan.
7. Pada pemeriksaan dalam didapatkan resapan darah sesuai arah jejas,
edema otak dan paru.
D. PERTANYAAN
1. Sebutkan dan jelaskan tanda-tanda pasti kematian!
2. Jelaskan indikasi pemeriksaan autopsi!
a. Indikasi Autopsi
b. Alur Autopsi
3. Jelaskan Patomekanisme dari temuan-temuan pada pemeriksaan !
a. Bibir dan jaringan bawah kuku kebiruan
b. Lebam mayat pada belakang masih menghilang
c. Jejas melingkar pada leher
d. Edema otak dan paru
4. Apa yang dapat dijelaskan di temuan gigi molar 3 belum lengkap pada
skenario !
5. Jelaskan penyebab, mekanisme, dan cara kematian berdasarkan kasus
pada skenario !
6. Jelaskan perkiraan waktu kematian berdasarkan teruan dari pemeriksaan!
7. Bagaimana visum et repertum dari kasus otopsi pada skenario ?
8. Jelaskan aspek medikolegal yang berkaitan dengan skenario !
E. PEMBAHASAN
1. Sebutkan dan jelaskan tanda-tanda pasti kematian!
a. Algor Mortis
Keadaan dimana terjadinya penurunan suhu tubuh pada mayat
post-mortem mengikuti suhu udara atau mediuim sekitarnya .
Penurunan suhu ini terjadi akibat terhentinya metabolisme dalam
tubuh yang berarti tidak ada proses pembakaran glukosa, lemak dan
protein. Selain itu, penurunan suhu ini terjadi karena induksi, radiasi
dan pancaran panas. Ada 2 faktor yang menyebabkan beberapa jam
pertama terjadi perununan suhu yang lambat pada mayat, yaitu:
1) Masih ada sisa metabolisme yakni glikogenolisis yaitu
pembakaran glikogen yang ada pada hepar dan juga otot
2) Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu yang lama
mencapai suhu tertentu (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
b. Livor Mortis
Livor mortis atau lebam mayat adalah perubahan warna tubuh
mayat postmortem yang diakibatkan oleh endapan darah mengikuti
gaya gravitasi dikarenakan berhentinya sirkulasi darah. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Gagalnya sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan
hidrostatik yang menggerakan darah ke capilarry bed dimana
pembuluh darah kecil afferen dan efferen saling berhubungan
mengakibatkan darah stagnansi. Hal ini membuat darah yang berada
di pembuluh vena besar dan sekitarnya akan turun ke bagian
terbawah tubuh mengikuti gaya gravitasi. Gravitasi disini itu lebih
mempengaruhi eritrosit sehingga endapan-endapan darah tersebut
akan memperlihatkan warna merah kebiruan pada daerah terbawah
tubuh saat meninggal. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian,
2018)
Livor mortis ini muncul sekitar 20 – 30 menit setelah
meninggal. Dimana perubahan warna ini menetap setelah 8 - 12 jam
kematian. Tetapi masih bisa hilang jika tekan sebelum 8 jam
kematian. 8-10 jam setelah kematian lebam mayat menjadi menetap
dikarenakan perembesan darah ke jaringan sekitar akibat rusaknya
pembuluh darah akibat banyaknya tertimbul sel-sel darah, hemolisis
sel darah dan juga akibat kekakuan otot dinding pembuluh darah.
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Akumulasi darah pada daerah yang tiidak tertekan akan
menyebabkan pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang
dapat menyebabkan petechie dan purupura yang berwarna gelap
serta ukuran beberapa milimeter,yang dimana ini menjadi tanda-
tanda awal pembusukan karena terjadi biasanya 18-24 jam setelah
kematian. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Mekanisme livor mortis diawali orang meninggal lalu jantung
berhenti bekerja sehingga sirkulasi darah terhenti menyebabkan
pengendapan darah dalam kapiler ke bagian tubuh terbawah lalu
darah terkoagulasi dan akhirnya hemolisis. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Ada beberapa hal yang mempengaruhi livor mortis yaitu
volume darah dan juga warna. Untuk warna sendiri ada beberapa
warna yang bisa menjadi indikasi penyebab kematian yaitu:
Keracunan gas CO2 akan memiliki warna merah bata
diakibatkan terbentuknya hbCO2 dan myoglobine CO
Keracunan sianida akan memiliki warna merah terang
dikarenakan terbentuknya ikatan cytochrom CN-hbO2 dalam
pembuluh darah
Keracunan anilin akan menampakan warna coklat kebiruan
Afiksia akan memperlihatkan warna ungu kebiruan gelap
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Ada beberapa interpretasi livor mortis yaitu :
Tanda pasti kematian
Menaksir saat kematian
Menaksir lama kematian
Menaksir penyebab kematian
Posisi mayat
c. Rigor Mortis
Rigor mortis adalah keadaan dimana terjadi kekakuan pada
tubuh setelah postmortem yang diakibatkan oleh habisnya atp dalam
tubuh. Pada saat awal kematian tubuh menjadi flaccid, namun
setalah 1-3 jam setelah itu akan terjadi kekakuan otot dan terjadi
immobilisasi pada sendi. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Kelenturan otot pada awal kematian terjadi karena masih ada
metabolisme tingkat seluler yaitu glikoneolisis yang menghasilkan
energi. Energi ini nantinya akan mengubah adp menjadi atp yang
akan membuat serabut aktin dan myiosin menjadi lentur. Namun,
setelah atp habis maka aktin dan myiosin akan menggumpal dan otot
menjadi kaku. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Kaku mayat ini akan terjadi pada seluruh otot tubuh dan bila
mengenai otot ekstremitas maka akan mengakibatkan kaku seperti
papan. Namun, perbedaan kadar atp pada otot akan membuat otot
dengan jumlah serabut sedikit akan lebih cepat mengalami kaku.
Dimana kaku akan pertama kali terjadi pada rahang lalu siku dan
setelah itu pada lutut. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian,
2018)
Dikatakan rigor mortis sempurna apabila rahang,siku dan lutut
tidak dapat digerakkan sama sekali. Hal ini terjadi biasanya 10-12
jam setelah kematian pada suhu 70-75 derajat fahrenheit, dimana
akan menetap setelah 24-32 jam setelah kematian dan seteah itu kaku
mayat akan menghilang.
d. Dekomposisi
Dekomposisi atau pembusukan adalah proses perkembangan
postmortem. Merupakan hasil dari autolisis dan juga aktivitas
mikroorganisme. Autolisis adalah penghancuran atau perlunakan
yang terjadi pada jaringan dalam keadaan steril dengan proses kimia
yang dipengaruhi oleh enzim-enzim intraseluler. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Pembusukan merupakan proses penghancuran jaringan yang
utamanya oleh mikroorganisme yang berasal dari traktus
gastrointestinal. Dimana basil califormis dan Clostridium welchii
merupakan penyebab utama selain Streptococcus, Staphylococcus,
proteus jamur dan enzim-enzim seluler. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan
tubuh akan hilang, bakteri yang secara normal dihambat oleh
jaringan tubuh akan segera masuk ke jaringan tubuh melalui
pembuluh darah, dimana darah merupakan media yang terbaik bagi
bakteri untuk berkembang biak. Bakteri ini menyebabkan hemolisa,
pencairan bekuan darah yang terjadi sebelum dan sesudah mati,
pencairan trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan dan
pembentukan gas pembusukan. Bakteri yang sering menyebabkan
destruktif ini sebagian besar berasal dari usus dan yang paling utama
adalah Clostridium welchii. Bakteri ini berkembang biak dengan
cepat sekali menuju ke jaringan ikat dinding perut yang
menyebabkan perubahan warna. Perubahan warna ini terjadi oleh
karena reaksi antara H2S (gas pembusukan yang terjadi dalam usus
besar) dengan hb menjadi sulf-meth-hb. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira – kira 24
sampai 48 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada dinding
abdomen bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka kanan dimana
isinya lebih cair, mengandung lebih banyak bakteri dan letaknya
yang lebih superfisial. Perubahan warna ini secara bertahap akan
meluas keseluruh dinding abdomen sampai ke dada dan bau
busukpun mulai tercium. Perubahan warna ini juga dapat dilihat
pada permukaan organ dalam seperti hepar, dimana hepar
merupakan organ yang langsung kontak dengan kolon transversum.
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Bakteri yang masuk kedalam pembuluh darah akan
berkembang biak didalamnya yang menyebabkan hemolisa yang
kemudian mewarnai dinding pembuluh darah dan jaringan
sekitarnya. Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang
mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran pembuluh
darah superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya
sehingga pembuluh darah beserta cabang-cabangnya tampak lebih
jelas seperti pohon gundul (arborescent pattern atau arborescent
mark) yang sering disebut marbling. Selain bakteri pembusukan ini
banyak terdapat dalam intestinal dan paru bakteri-bakteri ini
cenderung berkumpul dalam sistem vena, maka gambaran marbling
ini jelas terlihat pada bahu, dada bagian atas, abdomen bagian bawah
dan paha. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Kemudian permukaan lapisan atas epidermis dapat dengan
mudah dilepaskan dengan jaringan yang ada dibawahnya dan ini
disebut skin slippage. Skin slippage ini menyebabkan identifikasi
melalui sidik jari sulit dilakukan. Pembentukan gas yang terjadi
antara epidermis dan dermis mengakibatkan timbulnya bula-bula
yang bening, fragil, yang dapat berisi cairan coklat kemerahan yang
berbau busuk. Cairan ini kadang-kadang tidak mengisi secara penuh
di dalam bula. Bula dapat menjadi sedemikian besarnya menyerupai
pendulum yang berukuran 5 - 7.5cm dan bila pecah meninggalkan
daerah yang berminyak, berkilat dan berwarna kemerahan, ini
disebabkan oleh karena pecahnya sel-sel lemak subkutan sehingga
cairan lemak keluar ke lapisan dermis oleh karena tekanan gas
pembusukan dari dalam. Selain itu epitel kulit, kuku, rambut kepala,
aksila dan pubis mudah dicabut dan dilepaskan oleh karena adanya
desintegrasi pada akar rambut. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan,
gelembung-gelembung udara mengisi hampir seluruh jaringan
subkutan. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan
menyebabkan terabanya krepitasi udara. Gas ini menyebabkan
pembengkakan tubuh yang menyeluruh, dan tubuh berada dalam
sikap pugilistic attitude. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Scrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher
dan muka dapat menggembung, bibir menonjol seperti frog – like –
fashion, kedua bola mata keluar, lidah terjulur diantara dua gigi, ini
menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh keluarganya.
Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat
badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114
kg sesudah mati. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Tekanan yang meningkat didalam rongga dada oleh karena gas
pembusukan yang terjadi didalam rongga perut menyebabkan
pengeluaran udara dan cairan pembusukan yang berasal dari trachea
dan bronchus terdorong keluar, bersama-sama dengan cairan darah
yang keluar melalui mulut dan hidung. Cairan pembusukan dapat
ditemukan di dalam rongga dada, ini harus dibedakan dengan
hematotorak dan biasanya cairan pembusukan ini tidak lebih dari
200cc. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Pengeluaran urine dan feses dapat terjadi oleh karena tekanan
didalam perut yang meningkat. Pada wanita rahim/uterus dapat
menjadi prolaps dan fetus/bakal bayi dapat lahir dari uterus/rahim
yang dibuahi/pregnan. Pada anak-anak adanya gas pembusukan
dalam tengkorak dan otak menyebabkan sutura-sutura kepala
menjadi mudah terlepas. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Organ-organ dalam mempunyai kecepatan pembusukan yang
berbeda-beda. Jaringan intestinal, medula adrenal dan pancreas akan
mengalami autolisis dalam beberapa jam setelah kematian. Organ-
organ dalam lain seperti hati, ginjal dan limpa merupakan organ
yang cepat mengalami pembusukan. Organ dalam seperti paru, otot
polos, otot lurik dan jantung mempunyai kecendrungan untuk lambat
mengalami pembusukan. Sedangkan uterus non gravid/tidak
dibuahi, dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap
pembusukan. Ini sangat membantu dalam penentuan identifikasi
jenis kelamin. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Disamping bakteri pembusukan insekta juga memegang
peranan penting dalam proses pembusukan sesudah mati. Beberapa
jam setelah kematian lalat akan hinggap di badan dan meletakkan
telur-telurnya pada lubang-lubang mata, hidung, mulut dan telinga.
Biasanya jarang pada daerah genitoanal. Bila ada luka ditubuh mayat
lalat lebih sering meletakkan telur-telurnya pada luka tersebut,
sehingga bila ada telur atau larva lalat didaerah genitoanal ini maka
dapat dicurigai adanya kekerasan seksual sebelum kematian.
Telurtelur lalat ini akan berubah menjadi larva dalam waktu 24 jam.
Larva ini mengeluarkan enzim proteolitik yang dapat mempercepat
penghancuran jaringan pada tubuh. Insekta tidak hanya penting
dalam proses pembusukan tetapi meraka juga memberi informasi
penting yang berhubungan dengan kematian. Insekta dapat
dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian, memberi
petunjuk bahwa tubuh mayat telah dipindahkan dari satu lokasi ke
lokasi lainnya, memberi tanda pada badan bagian mana yang
mengalami trauma, dan dapat dipergunakan dalam pemeriksaan
toksikologi bila jaringan untuk specimen standart juga sudah
mengalami pembusukan. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Hasil akhir dari proses pembusukan ini adalah destruksi
jaringan pada tubuh mayat. Dimana proses ini dipengaruhi oleh
banyak faktor. Aktifitas pembusukan sangat optimal pada
temperatur berkisar antara 70°-100°f (21,1-37,8°c) aktifitas ini
dihambat bila suhu berada dibawah 50°f(10°c) atau pada suhu diatas
100°f (lebih dari 37,8°c). Bila mayat diletakkan pada suhu hangat
dan lembab maka proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat.
Sebaliknya bila mayat diletakkan pada suhu dingin maka proses
pembusukan akan berlangsung lebih lambat. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Pada bayi yang baru lahir hilangnya panas tubuh yang cepat
menghambat pertumbuhan bakteri disamping pada tubuh bayi yang
baru lahir memang terdapat sedikit bakteri sehingga proses
pembusukan berlangsung lebih lambat. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Proses pembusukan juga dapat dipercepat dengan adanya
septikemia yang terjadi sebelum kematian seperti peritonitis fekalis,
aborsi septik, dan infeksi paru. Disini gas pembusukan dapat terjadi
walaupun kulit masih terasa hangat. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Media di mana mayat berada juga memegang peranan penting
dalam kecepatan pembusukan mayat. Kecepatan pembusukan ini di
gambarkan dalam rumus klasik casper dengan perbandingan tanah :
air : udara = 1 : 2 : 8 artinya mayat yang dikubur ditanah umumnya
membusuk 8 x lebih lama dari pada mayat yang terdapat di udara
terbuka. Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih
rendah terutama bila dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari
predators seperti binatang dan insekta, dan rendahnya oksigen
menghambat berkembang biaknya organisme aerobik. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Bila mayat dikubur didalam pasir dengan kelembaban yang
kurang dan iklim yang panas maka jaringan tubuh mayat akan
menjadi kering sebelum terjadi pembusukan. Penyimpangan dari
proses pembusukan ini di sebut mumifikasi. Pada mayat yang
tenggelam di dalam air pengaruh gravitasi tidaklah lebih besar
dibandingkan dengan daya tahan air akibatnya walaupun mayat
tenggelam diperlukan daya apung untuk mengapungkan tubuh di
dalam air, sehingga mayat berada dalam posisi karakteristik yaitu
kepala dan kedua anggota gerak berada di bawah sedangkan badab
cenderung berada di atas akibatnya lebam mayat lebih banyak
terdapat di daerah kepala sehingga kepala menjadi lebih busuk
dibandingkan dengan anggota badan yang lain. Pada mayat yang
tenggelam di dalam air proses pembusukan umumnya berlangsung
lebih lambat dari pada yang di udara terbuka. Pembusukan di dalam
air terutama dipengaruhi oleh temperatur air, kandungan bakteri di
dalam air. Kadar garam di dalamnya dan binatang air sebagai
predator. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Degradasi dari sisa-sisa tulang yang dikubur juga cukup
bervariasi. Penghancuran tulang terjadi oleh karena demineralisasi
perusakan oleh akar tumbuhan. Derajat keasaman yang terdapat
pada tanah juga berpengaruh terhadap kecepatan penghancuran
tulang. Sisa-sisa tulang yang dikubur pada tanah yang mempunyai
derajat keasaman yang tinggi lebih cepat terjadi penghancuran
daripada tulang yang di kubur di tanah yang bersifat basa.
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Faktor yang mempengaruhi pembusukan :
Mikroorganisme
Suhu optimal (21 – 370c)
Kelembaban tinggi mempercepat
sifat mediumnya udara : air : tanah ( 1 : 2 : 8 )
Umur bayi, anak, ortu lebih lambat
Kostitusi tubuh, gemuk lebih cepat
Keadaan waktu mati kematian : edema lebih cepat, dehidrasi
lebih lambat
sebab kematian : radang lebih cepat i) sex : wanita baru
melahirkan (cepat)
Tanda pembusukan :
Wajah / bibir bengkak, bola mata menonjol
Lidah terjulur, lubang hidung / mulut keluar darah
dari lubang tubuh keluar isinya
badan gembung, bulla / kulit ari terkelupas
arborescent pattern / marbling
Dinding perut pecah
Scrotum / vulva bengkak
kuku / rambut terlepas
Organ dalam membusuk
Interpretasi :
Tanda pasti kematian
Taksir saat/lamakematian
Bedakan dengan bulla intravital
Bulla intravital : warna kulit ari kecoklatan, kadar albumin/
chlor tinggi, dasar bulla hiperemis, jaringan yang terangkat
intraepidermal, ada rx jaringan/ resapan darah
pembusukan : kuning, rendah/ tak ada, merah pembusukan
diantara dermis dgn epidermis, tidak ada reaksi
jaringan/resapan darah (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
e. Modifikasi pembusukan
Maserasi
Maserasi adalah perubahan yang terjadi pada mayat yang mati
dalam kandungan yang mengandung dekomposisi protein steril
akibat proses autolysis. Syarat-syarat terjadinya maserasi
intrauterin adalah :
- fetus telah mati dan sisanya masih tersimpan dalam uterus
dalam waktu lebih dari 24 jam (jika fetus mati dalam uterus
dan dikeluarkan dalam 24 jam, maka sulit untuk
mengetahui apakah fetus mati sebelum atau selama
kelahiran dan tidak ada bukti terjadinya maserasi ataupun
mummifikasi).
- fetus dikelilingi dengan banyak cairan amnion (jika jumlah
cairan amnionnya sedikit, kekurangan darah, dan tidak ada
sirkulasi udara dalam uterus, maka fetus akan mengering
yang disebut mummifikasi).
- membran luar masih tersisa (sehingga tidak ada sirkulasi
udara yang terjadi).
- Ibu dari janin masih hidup. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Mumifikasi
Mumifikasi adalah proses yang menginhibisi proses
pembusukan alami yang memiliki karakteristik dimana jaringan
yang mengalami dehidrasi menjadi kering, berwarna gelap dan
mengerut. Dilihat dari sudut forensik, mummifikasi
memberikan keuntungan dalam hal bertahannya bentuk tubuh,
terutama kulit dan beberapa organ dalam, bentuk wajah secara
kasar masih dapat diidentifikasi secara visual. Mumifikasi juga
dapat mempertahankan bukti terjadinya jejas yang
menunjukkan kemungkinan sebab kematian. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Mumifikasi adalah modifikasi dari proses dekomposisi
tubuh manusia dengan karakteristik penampakan tubuh yang
kering, berwarna coklat, kadang disertai bercak warna putih,
hijau atau hitam yang dibentuk oleh koloni jamur. Pengeringan
menyebabkan kulit tampak tertarik terutama pada tonjolan
tulang, seperti pada pipi, dagu, tepi iga dan panggul. Proses ini
bisa terjadi secara alamiah pada kondisi yang khusus dan dapat
dibuat oleh manusia sebagai salah satu cara preservasi jenazah.
Mumifikasi pada orang dewasa umumnya tidak terjadi pada
seluruh bagian tubuh. Pada umumnya mumifikasi terjadi pada
sebagian tubuh, dan pada bagian tubuh lain proses pembusukan
terus berjalan. Menurut knight, mumifikasi dan adipocere
kadang terjadi bersamaan karena hidrolisa lemak membantu
proses pengeringan mayat. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Mumifikasi umumnya terjadi pada daerah dengan
kelembaban yang rendah, sirkulasi udara yang baik dan suhu
yang hangat, namun dapat pula terjadi di daerah dingin dengan
kelembaban rendah. Di tempat yang bersuhu panas, mumifikasi
lebih mudah terjadi, bahkan hanya dengan mengubur dangkal
mayat dalam tanah berpasir. Di indonesia sangat kecil
kemungkinan terjadinya mummifikasi karena udara yang
lembab. Faktor dalam tubuh mayat yang mendukung terjadinya
mumifikasi antara lain adalah keadaan dehidrasi premortal,
tubuh yang kurus dan umur yang muda, terutama neonatus.
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Mumifikasi sering terjadi pada bayi yang meninggal ketika
baru lahir. Permukaan tubuh yang lebih kecil dibanding orang
dewasa, sedikitnya bakteri dalam tubuh dibanding orang dewasa
membantu penundaan pembusukan sampai terjadinya
pengeringan jaringan tubuh. Pada orang dewasa, mumifikasi
secara lengkap jarang terjadi, kecuali sengaja dibuat oleh
manusia. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Karena sifat jaringan dari tubuh yang termumifikasi
cenderung keras dan rapuh, maka untuk dapat memeriksanya
potongan kecil jaringan direndam dalam sodium karbonat atau
campuran alkohol, formalin dan sodium carbonate. Pada proses
mummifikasi tubuh yang lebih lengkap, maka untuk dapat
melakukan pemeriksaan dalam, mayat harus direndam dalam
glycerin 15% selama beberapa hari. (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Kepentingan forensik yang tak kalah penting pada
mumifikasi adalah identifikasi. Walau terjadi pengerutan namun
struktur wajah, rambut dan beberapa kekhususan pada tubuh
seperti tato dapat bertahan sampai bertahun-tahun. (Kedokteran
Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Terpeliharanya sebagian dari anatomi dan topografi jenasah
pada proses mumifikasi memungkinkan pemeriksaan radiologi
yang lebih teliti. Dengan pemeriksaan radiologi, jejas-jejas yang
mungkin terlewatkan dalam pemeriksaan mayat dan bedah
mayat dapat ditunjukkan dengan jelas dan dieksplorasi kembali
lewat pemeriksaan bedah jenasah. Pemeriksaan ct-scan pada
mumi juga dapat mengungkapkan jejas pada lokasi yang sulit
dijangkau, bahkan dengan pemeriksaan bedah mayat.
(Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya
pemeriksaan dna, bahkan pada jenasah yang berusia ratusan
atau ribuan tahun. Lapisan kulit luar yang sedikit inti sel
mungkin tidak cukup baik diambil sebagai sampel, namun
tulang, akar rambut, organ dalam dan sisa cairan tubuh yang
mengering pada mumi dapat digunakan untuk pemeriksaan
DNA. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
Yang harus diingat dalam pemanfaatan mumi untuk
kepentingan forensik bahwa pada mummifikasi terjadi
pengerutan kulit yang dapat menimbulkan artefak pada kulit
yang menyerupai luka/jejas terutama pada daerah pubis, daerah
sekitar leher, dan axilla. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Proses dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi
pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan
pembusukan. Jaringan menjadi keras dan kering, warna gelap,
keriput dan tidak membusuk. Syarat terjadinya mumifikasi :
- Suhu tinggi,
- Kelembaban rendah,
Tanda : tubuh kurus kering & mengeriput, kulit
kecoklatan & melekat pada jaringan dibawahnya, anatomi
organ dalam baik, tidak membusuk.
Perkiraan saat kematian : saat kematian diperkirakan
berdasarkan tiga perubahan post mortem yang pokok,
yaitu: penurunan suhu, lebam mayat dan kaku mayat:
yang dipertegas lagi dengan keadaan lambung dan
pembusukan.
Saponifikasi / adipocere
Adipocere (berasal dari bahasa latin, adipo = lemak dan
cera = wax/lilin) merupakan proses terbentuknya bahan yang
berwarna keputihan, lunak, dan berminyak yang terjadi di dalam
jaringan lunak tubuh postmortem. Proses ini terjadi karena
adanya hidrolisis dan hidrogenasi dari asam lemak tubuh yang
tidak jenuh menjadi asam lemak jenuh oleh kerja lipase endogen
dan enzim bakteri intestinal. Asam lemak jenuh kemudian
bereaksi dengan alkali membentuk sabun yang tak larut. Selama
proses pembentukan ini, asam lemak bereaksi dengan sodium
yang berasal dari cairan intestinal membentuk “sapodurus” atau
sabun yang keras. Membran sel akan bereaksi dengan potassium
membentuk “sapo domesticus” atau sabun lunak. Sabun keras
bersifat mudah rapuh sedangkan sabun lunak tadi akan
berbentuk seperti pasta. Jika air atau lingkungan di sekitar tubuh
mengandung banyak mineral, kedua sodium dan potassium bisa
digantikan, memberikan hasil yang lebih keras dan konsistensi
yang lebih rapuh. Asam lemak yang rendah dalam tubuh (sekitar
0,5%), pada saat kematian akan meningkat menjadi 70%
sehingga pembentukan adipocere dapat terlihat jelas. Tetapi
perlu diketahui bahwa, lemak dan air sendiri tidak bisa
menghasilkan adipocere. Organisme pembusuk seperti
clostridium welchii yang paling aktif, sangat penting dalam
pembentukan adipocere. Hal ini difasilitasi oleh invasi bakteri
endogen pada jaringan postmortem. Adanya konversi asam
lemak tubuh yang tidak jenuh menjadi asam lemak jenuh
menyebababkan penurunan ph, dan menghambat pertumbuhan
bakteri. Dengan terbentuknya zat semacam lilin tersebut, maka
proses pembusukan akan tertahan, oleh karena kuman-kuman
tidak dapat masuk. Sehingga, jaringan lunak tubuh dapat
bertahan untuk beberapa tahun. Adipocere mempunyai bau
asam yang khas (rancid odour). (Kedokteran Forensik
Akademik Kepolisian, 2018)
Meskipun dekomposisi jaringan lemak hampir terjadi
beberapa saat setelah kematian, tapi pembentukan adipocere
umumnya terjadi beberapa minggu sampai beberapa tahun
setelah kematian. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor
antara lain: tipe tanah, ph, kelembaban, temperatur,
pembalseman, kondisi terbakar, dan material-material yang ada
di sekitar mayat. Suhu panas, kondisi yang lembab, dan
lingkungan anaerob dapat memicu pembentukan adipocere.
Sebab pada dasarnya pembentukan adipocere membutuhkan
kondisi yang lembab atau dengan lembaga pendidikan polri 33
kedokteran forensik kepolisian akademi kepolisian dicelupkan
ke dalam air. Tetapi, air yang terdapat dalam tubuh pada jasad
yang disimpan dalam peti sudah cukup untuk menginduksi
terbentuknya adipocere. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
Adipocere pada awalnya terbentuk pada jaringan subkutan,
umumnya pada pipi, payudara, dan pantat. Organ viscera seperti
liver jarang dilibatkan. Pembentukan adipocere bercampur
dengan sisa-sisa mummifikasi otot, jaringan fibrosa, dan nervus.
Pada suhu yang ideal, kondisi yang lembab, adipocere dapat
terlihat dengan mata telanjang setelah 3 – 4 minggu. Umumnya,
pembentukan adipocere membutuhkan waktu beberapa bulan
dan perluasan adipocere umumnya tidak terlihat lagi sebelum 5
atau 6 bulan setelah kematian. Beberapa penulis menyebutkan
bahwa, perubahan yang ekstensif membutuhkan waktu tidak
kurang dari 1 tahun setelah perendaman atau lebih dari 3 tahun
setelah pembakaran. (Kedokteran Forensik Akademik
Kepolisian, 2018)
2. Jelaskan indikasi pemeriksaan autopsi!
a. Indikasi Autopsi
Otopsi Anatomik adalah otopsi yang dilakukan untuk
kepentingan pendidikan, yaitu dengan mempelajari susunan
tubuh manusia yang normal. (Aflanie, 2016)
Otopsi Klinik adalah otopsi yang dilakukan terhadap jenazah
dari penderita penyakit yang dirawat dan kemudian meninggal
dunia di rumah sakit. (Aflanie, 2016)
Otopsi Forensik ialah yang dilakukan untuk kepentingan
peradilan, yaitu membantu penegak hukum dalam rangka
menemukan kebenaran materil. (Aflanie, 2016)
Indikasi Lain
Kematian diduga terkait keracunan
Mati mendadak, jika sebelumnya orang tersebut diketahui
dalam kondisi sehat (medically unexplained death)
Kematian akibat sebab yang dapat mengancam kesehatan
masyarakat
Kematian disebabkan penyakit, cedera, atau racun yang
terkait pekerjaan
Kematian terkait dengan prosedur diagnostik atau terapi
Kematian terkait aborsi ilegal
Kematian pada narapidana, individu yang tengah
diinterogasi/ditahan oleh aparat negara
Jenazah yang akan dikremasi atau dikubur di laut
Jenazah tidak dikenal atau tidak diklaim oleh keluarga
Kematian operator transportasi publik (pilot/ko-pilot,
masinis, supir bus, dll) yang meninggal saat bertugas
Kematian bayi atau anak yang tidak dapat dijelaskan dan
tidak terduga
Kematian tidak diduga pada pejabat negara
Jenazah yang diketahui tengah dipindahkan antar wilayah
hukum tanpa surat kematian
Kematian diduga akibat penelantaran oleh diri sendiri atau
orang lain
Kematian terjadi ketika dilakukan operasi atau sebelum
bangun dari efek anestesi (Sukriani, 2017)
b. Alur Autopsi
Sebelum penatalaksanaan otopsi forensik (yang dilakukan
untuk kepentingan peradilan, yaitu membantu penegak hukum
dalam rangka menemukan kebenaran materil), prosedur
permintaan visum et repertum korban mati telah diatur dalam pasal
133 dan 134 KUHAP yaitu dimintakan secara tertulis, mayatnya
harus diperlakukan dengan baik, disebutkan dengan jelas
pemeriksaan yang diminta, dan mayat diberi label yang memuat
identitas yang diberi cap jabatan dan dilekatkan ke bagian tubuh
mayat tersebut. Pemeriksaan terhadap mayat harus dilakukan
selengkap mungkin dan hasil pemeriksaan tersebut dituangkan
dalam bentuk visum et repertum yang harus dapat dianggap sebagai
salinan dari mayat tersebut. (Budiyanto, 1997)
Permintaan Keterangan Ahli oleh penyidik harus dilakukan
secara tertulis, dan hal ini secara tegas telah diatur dalam KUHAP
pasal 133 ayat (2), terutama untuk korban mati. Pada prinsipnya
otopsi forensik (otopsi yang dilakukan untuk kepentingan
peradilan yaitu guna membantu penegak hukum menemukan
kebenaran materil) baru boleh dilakukan jika ada surat permintaan
tertulis dari penyidik. (Budiyanto, 1997)
Pengertian Keterangan Ahli adalah sesuai dengan pasal 1
butir 28 KUHAP: "Keterangan ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan." Keterangan ahli ini dapat diberikan
secara lisan di depan sidang pengadilan (pasal 186 KUHAP), dapat
pula diberikan pada masa penyidikan dalam bentuk laporan
penyidik (Penjelasan pasal 186 KUHAP), atau dapat diberikan
dalam bentuk keterangan tertulis di dalam suatu surat (pasal 187
KUHAP). (Budiyanto, 1997)
Pasal 134 KUHAP ayat 1 dijelaskan dalam hal sangat
diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, Penyidik wajib memberitahukan terlebih
dahulu kepada keluarga korban. Bila keluarga korban keberatan,
penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang
maksud dan tujuan perlunya dilakukan pembedahan tersebut (ayat
2). Waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133
ayat (3) KUHAP (Budiyanto, 1997)
Otopsi forensik ijin keluarga tidak lah begitu diperlukan
bahkan kalau ada pihak pihak yang merintangi pelaksanaan otopsi,
dapat dipidana. Mereka yang menghalangi pemeriksaan 'jenasah
untuk kepentingan peradilan diancam hukuman sesuai dengan
pasal 222 KUHP. (Budiyanto, 1997)
Jenasah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus
diberi label yang memuat identitas mayat yang diberi cap jabatan,
yang diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya.
Pemeriksaan terhadap mayat harus dilakukan selengkap mungkin
dan hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam bentuk visum et
repertum yang harus dapat dianggap sebagai salinan dari mayat
tersebut (Budiyanto, 1997)
Sebelum Autopsi dimulai, beberapa hal perlu mendapat
perhatian. (Teknik Autopsi Forensik, 2000)
a. Apakah surat unrt yang berkaitan dengan Autopsi yang
akan dilakukan telah Iengkap?
Dalam hal Autopsi klinik, perhatikan apakah surat izin
Autopsi klinik telah ditandatangani oleh keluarga terdekat
dari yang bersangkutan. Perhatikan pula jenis Autopsi yang
diizinkan oleh pihak keluarga tersebut.
Dalam hal Autopsi forensik, perhatikan apakah Surat
Permintaan Pemeriksaan/Pembuatan Visum et Repertum
telah ditandatangani oleh pihak penyidik yang beiwenang.
Untuk Autopsi forensik, mutlak dilakukan pemeriksaan
lengkap yang meliputi pembukaan seluruh rongga tubuh dan
pemeriksaan seluruh organ.
Gradasi warna
dengan kulit Gradual Mencolok
sekitar
Bila
diiris/disiram Memudar/menghilang Menetap
dengan air
Jejas Reversibel
Jejas reversibel menunjukkan perubahan sel yang dapat
kembali menjadi normal jika rangsangaan dihilangkan atau
penyebab jejasnya ringan. Manifestasi jejas reversibel yang sering
terjadi awal adalah pembengkakan sel akut yang terjadi ketika sel
tidak mampu mempertahankan homeostatsis ionik dan cairan. Ini
disebabkan (Robbins, 2012)
a. Kegagalan transpor membran sel aktif Na K ATPase,
menyebabkan natrium masuk ke dalam sel, kalium
berdifusi ke luar sel dan terjadi pengumpulan air isosmotik.
b. Pengikatan muatan osmotik intraseluler kerena akumulasi
fosfat inorganik, laktat dan purin nukleosida. Bila semua sel
pada orang tersebut terkena, terdapat warna kepucatan,
peningkatan turgor dan penambajan berat organ. Secara
mikroskopik, tampak pembengkakan sel disertai vakuola
kecil dan jernih di dalam sitoplasma yang menggambarkan
segmen retikulum endoplasma yang berdistensi (Robbins,
2012). Perubahan ini umumnya merupakan akibat adanya
gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan
bahan kimia dan bersifat reversibel, walaupun dapat pula
berubah menjadi irreversibel apabila penyebab menetap.
Jejas Irreversibel
Jejas irreversibel terjadi jika stresornya melampaui
kemampuan sel untuk beradaptasi dan menunjukkan perubahan
patologik permanen yang menyebabkan kematian sel. Jejas
irreversibel ditandai oleh vakuolisasi berat pada mitokondria,
kerusakan membran plasma yang luas, pembengkakan lisosom dan
tampak kepadatan yang besar, amorf dalam mitokondria. Jejas
pada membran lisosom menyebabkan kebocoran enzim ke dalam
sitoplasma. Selanjutnya enzim tersebut diaktifkan dan
menyebabkan digesti enzimatik sel dan komponen ini yang
mengakibatkan perubahan ini karakteristik untuk kematian sel.
Ada beberapa mekanisme biokimia yang berperan penting dalam
jejas atau kematian sel yaitu (Robbins, 2012)
a. Deplesi ATP Penurunan sintesis ATP dan deplesi ATP
merupakan konsekuensi yang umum terjadi karenan jejas
iskemia maupun toksik. Hipoksia akan meningkatkan
glikolisis anaerob dengan deplesi glikogen, meningkatkan
produksi asam laktat atau asidosis intrasel. Berkurangnya
sintesis ATP akan berdampak besar terhadap transpor
membran, pemeliharaan gradien ionik (khusus Na+, K+ dan
Ca2+) dan sintesis protein (Robbins, 2012)
b. Akumulasi radikal bebas yang berasal dari oksigen Iskemia
yang terjadi dapat menyebabkan jejas sel dengan
mengurangi suplai oksigen seluler. Jejas sel tersebut juga
dapat mengakibatkan rekruitmen sel radang yang terjadi
lokal dan selanjutnya sel radang tersebut akan melepaskan
jenis oksigen reaktif berkadar tinggi yang akan
mencetuskan kerusakan membran dan transisi
permeabilitas mitokondria. Disamping itu, sel yang
mengalami jejas juga memiliki pertahanan antioksidan
yang terganggu (Robbins, 2012)
c. Influks kalsium intrasel dan gangguan homeostasis kalsium
Kalsium bebas sitosol dipertahankan pada kadar yang
sangat rendah oleh transportasi kalsium yang terganggu
ATP. Iskemia atau toksin dapat menyebabkan masuknya
kalisum ekstrasel melintasi membran plamsa dan diikuti
dengan pelepasan kalsium dari deposit intraseluler di
mitokondria serta retikulum endoplasma. Penginkatan
kalsium sitosol dapat mengaktifkan enzim fosfolpase
(mencetuskan kerusakan membran), protease
(mengkatabolis protein membran serta sitoskeleton),
ATPase (mempercepat depleso ATP) dan endonuklease
(menyebabkan fragmentasi kromatin) (Robbins, 2012)
d. Defek pada permeabilitas membran plasma Membran
plasma dapat berlangsung dirusak oleh toksin bakteri
tertentu seperti protein virus, komponen komplemen,
limfosit sitolitik atau sejumlah agen fisik dan kimiawi.
Perubahan permeabilitas membran bisa juga sekunder yang
disebabkan oleh hilangnya sintesis fosfolipid yang
berkaitan dengan deplesi ATP atau disebabkan oleh
aktivasi fosfolipase yang dimediasi kalsium yang
mengakibatkan degradasi fosfolipid. Hilangnya barier
membran menimbulkan kerusakan gradien konsentrasi
metabolit yang diperlukan untuk mempertahankan aktivitas
metabolik sel (Robbins, 2012)
Kerusakan Mitokondria
Sel-sel tubuh sangat bergantung pada metabolisme
oksidatif, maka keutuhan mitokondria sangat penting bagi
pertahanan hidup sel. Kerusakan mitokondria dapat terjadi
langsung karenan hipoksia atau toksin atau sebagai akbiat
meningkatnya Ca2+ sitosol, stress oksidatif intrasel atau
pemecahan fosfolipid dapat menyebabkan akumulasi pada saluran
membran mitokondria interna yang nantinya akan mencegah
pembentukan dari ATP (Robbins, 2012)
Incisivus I 7 Tahun
Incisivus II 8 Tahun
Caninus 11 Tahun
Premolar 1 9 Tahun
Premolar II 10 Tahun
Molar I 8 Tahun
Molar II 12 – 13 Tahun
b. Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian adalah gangguan fisiologik dan atau
kimiawi yang ditimbulkan oleh penyebab kematian sedemikian rupa
sehingga seseorang tidak dapat terus hidup. Mekanisme kematian
menunjukan bagaimana korban itu mati setelah umpamanya
tertembak atau tenggelam. Mekanisrne kematian misalnya : karena
perdarahan, asfiksia, hipotermi, syok hemoragik, refleks vagal, dan
lain sebagainya. (Idries, 2013)
Sebab kematian pada korban adalah penjeratan yang
mekanisme kematiannya terjadi karena asfiksia ditandai dengan
adanya bibir dan jaringan di bawah kuku tampak kebiruan, edema
otak dan edema paru yang ditemukan pada korban.
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
terjadinya gangguan pertukaran udara pemapasan, mengakibatkan
oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbondioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh
mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian (Budiyanto, 1997).
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut
(Knight dalam Novita, 2014):
1) Alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran
pemapasan seperti laryngitis difteri, atau menimbulkan
gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2) Mekanik. Kejadian ini sering dijumpai pada keadaan hanging,
drawing, strangulation dan suffocation. Obstruksi mekanik
pada saluran pernapasan oleh:
• Tekanan dari luar tubuh misalnya pencekikan atau
penjeratan.
• Benda asing
• Tekanan dari bagian dalam tubuh pada saluran
penapasan, misalnya karena tumor paru yang menekan
saluran bronkus utama
• Edema pada glotis.
Dari skenario didapatkan tanda lebam mayat yang bisa hilang jika
ditekan, seperti diketahui lebam mayat muncul 20-30 menit setelah
kematian dan akan menetap jika lebih dari 8-10 jam setelah kematian.
Tetapi, lebam mayat ini akan hilang jika ditekan pada waktu kurang dari
8 jam setelah kematian dikarenakan lebam mayat belum terfiksasi secara
sempurna. Dari informasi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
perkiraan meninggalnya mayat adalah kurang dari 8 jam setelah
pemeriksaan. (Kedokteran Forensik Akademik Kepolisian, 2018)
HASIL PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Luar : -----------------------------------------------------------------------
1. Jenazah Perempuan berusia x, panjang badan x, berat badan x, warna kulit
x, gizi x ------------------------------------------------------------------------------
2. Penutup jenazah : x ----------------------------------------------------------------
3. Properti jenazah : x ----------------------------------------------------------------
4. Jenazah berlabel dan tidak bersegel ---------------------------------------------
5. Ditemukan jejas melingkari leher secara penuh, bibir dan jaringan di
bawah kuku tampak kebiruan, gigi molar 3 belum lengkap, lebam mayat
pada tubuh bagian belakang warna kebiruan yang hilang dengan
penekanan. -----------------------------
6. Kepala: tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. --------------
a. Bentuk : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. --------
b. Rambut : x ---------------------------------------------------------------------
c. Dahi : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ----------
d. Mata : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ----------
e. Hidung : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. -------
f. Pipi : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ------------
g. Telinga : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. -------
h. Mulut : ditemukan bibir berwarna tampak kebiruan. --------------------
i. Gigi : gigi molar 3 belum lengkap. -----------------------------------------
j. Dagu : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ----------
7. Leher : ditemukan jejas melingkari leher secara penuh. ----------------------
8. Dada : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. ---------------
9. Perut : tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. -------------------------------
10. Punggung : ditemukan lebam mayat warna kebiruan. ------------------------
11. Anggota gerak atas : jaringan dibawah kuku tampak kebiruan. -------------
12. Anggota gerak bawah : jaringan dibawah kuku tampak kebiruan. ----------
13. Alat Kelamin : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
14. Dubur : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan. -------
KESIMPULAN
Jenazah Perempuan, usia x, panjang badan x cm, berat badan x kg, warna kulit
x, -------------------------------------------------------------------------------------------
Pada pemeriksaan luar ditemukan: jejas melingkari leher secara penuh, bibir
dan jaringan di bawah kuku tampak kebiruan, gigi molar 3 belum lengkap,
lebam mayat pada tubuh bagian belakang warna kebiruan yang hilang dengan
penekanan. -------------------------------------------------------------------------------
Pemeriksaan dalam ditemukan: resapan darah sesuai arah jejas, pembengkakan
otak dan paru. ----------------------------------------------------------------------------
Sebab kematian karena kekerasan berupa luka jerat. -------------------------------
Mekanisme kematian karena mati lemas. -------------------------------------------
Cara kematian tergolong tidak wajar. ------------------------------------------------
Demikian Visum et Repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu
menerima jabatan.
Dokter Pemeriksa,
dr. X
Aflanie, dan Iwan. (2017). Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Ardani, R. (2018). Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Anak Di Yogyakarta.
Idries, A. M., dan Tjiptomartono, A.L. (2013). Penerapan ilmu kedokteran forensik
dalam proses penyidikan. Edisi revisi. Sagung Seto.
Bagian Kedokteran Forenasik. (2000). Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Budiyanto, A., Widiatmika, W. dkk. (1997). Ilmu kedokteran Forensik. Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya. Edisi Ketiga. 2007.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000, Teknik Autopsi Forensik, Edisi
1, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 45.
Halawa, M., Munawir, Z., & Hidayani, S. (2020). Penerapan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Sengaja Merampas Nyawa Orang Lain
(Studi Kasus Nomor Putusan 616/Pid. B/2015/PN. Lbp). JUNCTO: Jurnal
Ilmiah Hukum , 2 (1), 9-15.