Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN TUTORIAL

BLOK FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


“MODUL 2 FORENSIK KLINIK”

Tutor : dr. Laode Kardin, Sp.PD


Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
1. Ragilia Ulhaj (K1A1 18109)
2. Nisha Noviar Aldawiyah (K1A1 19 018)
3. Nurah Anto Khairunnisa (K1A1 19 020)
4. Indyra Rahmayanti Kamase (K1A1 19 045)
5. Jason Gerard Halim (K1A1 19 046)
6. Milati Hamidah (K1A1 19 050)
7. Putu Wisnu Agung Widhiyana (K1A1 19 061)
8. Salsabila Junarlin (K1A1 19 062)
9. Salwa Rafh Wahwa (K1A1 19 063)
10. Widya Wati (K1A1 19 117)
11. Yuniar Dwi Putri Welori (K1A1 19 118)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
LAPORAN TUTORIAL 2021
UNIVERSITAS HALU OLEO

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Laporan : Modul Forensik Klinik
Nama Anggota Kelompok :
1. Ragilia Ulhaj (K1A1 18109)
2. Nisha Noviar Aldawiyah (K1A1 19 018)
3. Nurah Anto Khairunnisa (K1A1 19 020)
4. Indyra Rahmayanti Kamase (K1A1 19 045)
5. Jason Gerard Halim (K1A1 19 046)
6. Milati Hamidah (K1A1 19 050)
7. Putu Wisnu Agung Widhiyana (K1A1 19 061)
8. Salsabila Junarlin (K1A1 19 062)
9. Salwa Rafh Wahwa (K1A1 19 063)
10. Widya Wati (K1A1 19 117)
11. Yuniar Dwi Putri Welori (K1A1 19 118)

Laporan ini telah disetujui dan disahkan oleh:

Kendari, 30 Oktober 2021


Dosen Pembimbing

dr. Laode Kardin, Sp.PD

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sebagai laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu.

Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada Dokter


pembimbing Tutorial Modul 2 Forensik Klinik. Tidak lupa pula kami sampaikan
rasa terimakasih kami kepada teman-teman yang telah mendukung, memotivasi,
serta membantu kami dalam menyelesaikan laporan hasil tutorial.

Kami berharap laporan ini dapat bermanfaaat bagi semua pihak. Kami juga
menyadari bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran, masukan maupun kritikkan dari semua
kalangan demi kesempurnaan laporan yang kami susun ini.

Kendari, 30 Oktober 2021

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................iv
DAFTAR TABEL..............................................................................................................v
MODUL 2 FORENSIK KLINIK.......................................................................................1
A. SKENARIO...........................................................................................................1
B. KATA SULIT........................................................................................................1
C. KATA KUNCI.......................................................................................................1
D. PERTANYAAN.....................................................................................................1
E. PEMBAHASAN....................................................................................................2
1. Sebutkan dan jelaskan bentuk-bentuk kekerasan pada anak!..............................2
2. Jelaskan kualifikasi luka pada skenario!.............................................................4
3. Jelaskan interpretasi warna luka pada skenario!.................................................5
4. Jelaskan mekanisme nyeri dan VAS!.................................................................6
5. Jelaskan langkah-langkah pemeriksaan dari kasus skenario!..............................9
6. Bagaimana visum et repertum dari kasus pada skenario?.................................11
7. Jelaskan aspek medikolegal yang berkaitan dengan skenario!..........................16
8. Jelaskan alur tatalaksana kekerasan pada anak!................................................18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................23

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Visual Analog Scale.........................................................................................8
Gambar 2. Alur penanganan di Puskesmas......................................................................19
Gambar 3. Alur penanganan di rumah sakit yang memiliki PKT/PPT.............................20
Gambar 4. Alur penanganan di rumah sakit yang belum memiliki PKT/PPT..................21
Gambar 5. Alur penanganan di Rumah Sakit Bhayangkara.............................................22

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Usia memar..........................................................................................................6
Tabel 2. VAS.......................................................................................................................9

v
MODUL 2 FORENSIK KLINIK
A. SKENARIO
SKENARIO 1
Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun dibawa ibunya bersama penyidik ke
rumah sakit untuk divisum. Korban mengaku sering diberi hukuman oleh
gurunya karena sering terlambat masuk sekolah. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran komposmentis, tanda vital dalam batas normal, VAS
4, didapatkan luka pada lengan atas dan bokong kanan warna hijau
kekuningan, lengan atas dan paha kiri warna biru kehijauan, serta luka
pada kedua telapak tangan dan lutut warna merah kecoklatan.

B. KATA SULIT
 Compos Mentis
Sadar sepenuhnya (sehat mental)
 VAS 4
Skala analog visual (VAS) adalah cara yang banyak digunakan untuk
menilai nyeri.

C. KATA KUNCI
1. Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun
2. Korban mengaku sering diberi hukuman oleh gurunya
3. Kesadaran komposmentis
4. VAS 4
5. Luka pada lengan atas dan bokong kanan warna hijau kekuningan
6. Lengan atas dan paha kiri warna biru kehijauan
7. Luka pada kedua telapak tangan dan lutut warna merah kecoklatan.

D. PERTANYAAN
1. Sebutkan dan jelaskan bentuk-bentuk kekerasan pada anak!
2. Jelaskan kualifikasi luka pada skenario!
3. Jelaskan interpretasi warna luka pada skenario!
4. Jelaskan mekanisme nyeri dan VAS!

1
5. Jelaskan langkah-langkah pemeriksaan dari kasus skenario!
6. Bagaimana visum et repertum dari kasus pada skenario?
7. Jelaskan aspek medikolegal yang berkaitan dengan skenario!
8. Jelaskan alur tatalaksana kekerasan pada anak!

E. PEMBAHASAN
1. Sebutkan dan jelaskan bentuk-bentuk kekerasan pada anak!
Bentuk Kekerasan pada Anak Bentuk-bentuk kekerasan pada anak dapat
diklasifikasikan dalam 5 macam, yaitu:
1. Kekerasan fisik
2. Kekerasan psikis/emosi
3. Kekerasan seksual
4. Penelantaran anak
5. Eksploitasi anak (Putri, 2018)

Lima macam bentuk kekerasan tersebut sangat terkait. Kekerasan fisik


yang dialami anak, akan mempengaruhi jiwanya. Demikian juga kekerasan psikis
anak, akan mempengaruhi perkembangan tubuhnya. Apalagi kekerasan seksual,
akan mengakibatkan kekerasan fisik sekaligus kekerasan psikis. (Putri, 2018)

1) Kekerasan Fisik pada Anak


Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda
tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. (Putri,
2018)

Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau
kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau
rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas /atau berpola akibat
sundutan rokok atau setrika. (Putri, 2018)

Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut,


pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan

2
terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak
disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta
jajan, buang air atau muntah disembarang tempat, memecahkan barang
berharga. (Putri, 2018)

2) Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah situasi perasaan tidak aman dan nyaman yang
dialami anak. Kekerasan psikis dapat berupa menurunkan harga diri serta
martabat korban; penggunaan kata-kata kasar; penyalahgunaan kepercayaan,
mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan
ancaman dengan kata-kata dan sebagainya. (Putri, 2018)

Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-


kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada
anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala
perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati,
takut ke luar rumah dan takutbertemu dengan orang lain. (Putri, 2018)

3) Kekerasan seksual
Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual
antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar
visual). Maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak
dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). (Putri, 2018)
4) Penelantaran anak
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak
memberikan perhatian terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak
dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan
perawatan kesehatan. (Putri, 2018)

5) Eksploitasi anak
Eksploitasi anak menunjuk pada perlakuan sewenang-wenang
terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh,
memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial,
3
atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak. Misalnya, anak dipaksa
untuk bekerja dipabrik yang membahayakan (pertambangan, sektoralas kaki)
dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, atau dipaksa
melakukan pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya. (Putri,
2018)

2. Jelaskan kualifikasi luka pada skenario!


Derajat luka berhubungan dengan ketentuan tentang perlukaan yang
disebabkan dari tindak pidana penganiayaan. Penganiayaan merupakan istilah
yuridis yang digunakan dalam konteks hukum, khususnya hukum pidana;
sedangkan dalam ilmu kedokteran forensik untuk melukiskan kondisi luka
seseorang dikualifikasikan sebagai berikut:
a. Luka derajat pertama (luka golongan C)
Luka derajat pertama (luka golongan C), yaitu luka yang tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut terhadap korban. Dalam hal luka derajat
pertama, korban tindak pidana hanya memerlukan pemeriksaan atas
kondisinya dan dari hasil pemeriksaan kedokteran forensik tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah sakit. Kesimpulan atas luka
derajat pertama adalah tidak terhalangnya korban dalam melakukan
jabatan/pekerjaan/aktivitas. Kesimpulan atas luka derajat pertama di dalam
visum et repertum, dalam konteks hukum pidana berhubungan dengan tindak
pidana penganiayaan ringan sebagaimana ditentukan di dalam KUHP Pasal
352;
b. Luka derajat kedua (golongan B)
Luka derajat kedua (golongan B), yaitu luka yang memerlukan
perawatan terhadap korban tindak pidana untuk sementara waktu. Dalam hal
ini korban setelah diobservasi memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah
sakit. Kesimpulan yang diberikan atas luka derajat kedua adalah luka yang
menyebabkan terhalangnya melakukan jabatan/pekerjaan/ aktivitas untuk
sementara waktu. Kesimpulan luka derajat kedua di dalam visum et
repertum di dalam konteks hukum pidana dikategorikan sebagai tindak

4
pidana penganiayaan (biasa) sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 351
ayat (1) KUHP; (Catatan: kategori luka yang memerlukan perawatan untuk
sementara waktu di dalam kualifikasi luka derajat kedua tidak ditentukan
berapa lama masa atau waktu sementara tersebut. Seyogianya masa
sementara waktu terhalangnya menjalankan jabatan/pekerjaan/aktivitas
ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundangan yang diperlukan untuk
pembuktian unsur-unsur tindak pidana di dalam kasus penganiayaan).
c. Luka derajat ketiga (golongan A)
Luka derajat ketiga (golongan A), yaitu luka yang mengakibatkan
luka berat sehingga terhalang dalam menjalankan jabatan/
pekerjaan/aktivitas. Berhubungan dengan luka berat, KUHP Pasal 90
menentukan, luka berat pada tubuh adalah: penyakit atau luka yang tak
dapat diharapkan akan sembuh lagi secara sempurna, atau luka yang dapat
mendatangkan bahaya maut; terus menerus tidak cakap lagi melakukan
jabatan atau pekerjaan; tidak lagi memiliki salah satu pancaindera; kudung
(rompong), lumpuh, berubah pikiran (akal) lebih dari empat minggu
lamanya; membunuh anak dari kandungan ibu. Kualifikasi luka derajat
ketiga dari hasil pemeriksaan kedokteran forensik, di dalam konteks hukum
pidana menurut KUHP dikualifikasikan sebagai penganiayaan berat yang
diatur di dalam Pasal 351 ayat (2) dan/atau Pasal 354 ayat (1).
3. Jelaskan interpretasi warna luka pada skenario!
Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini
adalah benda yang memiliki permukaan tumpul. Luka yang terjadi dapat berupa
memar (kontusio, hematom), luka lecet (ekskoriasi, abrasi) dan luka terbuka/robek
(vulnus laseratum). (Budiyanto, 1997)

Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit/kutis akibat


pecahnya kapiler dan vena, yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Umur
luka memar secara kasar dapat diperkirakan melalui perubahan warnanya. Pada
saat timbul, memar berwarna merah, kemudian berubah menjadi ungu atau hitam,
setelah 4 sampai 5 hari akan berwarna hijau yang kemudian akan berubah menjadi

5
kuning dalam 7 sampai 10 hari, dan akhirnya menghilang dalam 14 sampai 15
hari. Perubahan warna tersebut berlangsung mulai dari tepi dan waktunya dapat
bervariasi tergantung derajat dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
(Budiyanto, 1997)

Eritrosit yang ekstravasasi difagosit dan didegradasi oleh makrofag;


perubahan warna memar yang karakteristik disebabkan oleh konversi enzimatik
hemoglobin (berwarna merah-biru) menjadi bilirubin (berwarna hijau-biru) dan
akhirnya menjadi hemosiderin (coklat keemasan). (Abbas, 2015)

Tabel 1. Usia memar


Luka pada lengan atas dan bokong warna hijau kekuningan berarti luka
tersebut berumur 7-10 hari yg diakibatkan oleh perubahan hemoglobin menjadi
bilirubin. Lengan atas dan paha kiri warna biru kehijauan berarti luka tersebut
berumur 1-3 hari akibat deoksihemoglobin. Luka pada telapak tangan dan lutut
warna merah kecoklatan menandakan bahwa luka tersebut berumur 1-2 hari.
(Abbas, 2015)

4. Jelaskan mekanisme nyeri dan VAS!


Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang
digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Fenomena ini dapat berbeda
dalam intensitas (ringan, sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam),
durasi (transien, intermiten, persisten), dan penyebaran (superfisial atau dalam,
terlokalisir atau difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki
komponen kognitif dan emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk
6
penderitaan. Nyeri juga berkaitan dengan reflex menghindar dan perubahan output
otonom. (Anas, 2006)

Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,


sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri: tranduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi. (Anas, 2006)

 Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen


menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls
nosiseptif. Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu
serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal
terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar
nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor,
juga terlibat dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang
tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator
inflamasi. (Anas, 2006)
 Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu
dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju
otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari
sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula
spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal. (Anas,
2006)
 Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula
spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor
opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis.
Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks
frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan
medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses

7
inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok)
sinyal nosiseptif di kornu dorsalis. (Anas, 2006)
 Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi
merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi,
aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah
organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis,
reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak
bermiyelin dari syaraf aferen. (Anas, 2006)

Visual Analogue Scale (VAS) merupakan alat pengukuran intensitas nyeri


yang dianggap paling efisien yang telah digunakan dalam penelitian dan uji
sensitivitas suatu obat analgetik. VAS umumnya disajikan dalam bentuk garis
horisontal dan diberi angka 0-10. (Anas, 2006)

Visual analog scale (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan
untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat
nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis
sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter (Gambar 1). Tanda
pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif. (Anas,
2006)

Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain
mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal
atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa
nyeri. (Anas, 2006)

Gambar 1. Visual Analog Scale


8
Tabel 2. VAS

Penilaian nyeri merupakan hal yang penting untuk mengetahui intensitas


nyeri yang dialami pasien, mengetahui intensitas nyeri juga dapat menentukan
terapi yang efektif. Penilaian nyeri sebaiknya dilakukan sedini mungkin, untuk
menilai tingkat atau intensitas nyeri dapat dilakukan dengan alat ukur atau
instrumen salah satunya dengan Visual Aid Scale (VAS). (Anas, 2006)
Keterangan:
 Skor 0 = relaks dan nyaman
 Skor 1-3 = sedikit tidak nyaman
 Skor 4-6 = nyeri sedang
 Skor 7-10 = sangat tidak nyaman atau nyeri hebat
VAS banyak dipilih karena mudah dan sederhana untuk digunakan. Skor
dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS dapat digunakan pada pasien dewasa.
(Anas, 2006)

5. Jelaskan langkah-langkah pemeriksaan dari kasus skenario!


Langkah-langkah pemeriksaan korban pemeriksaan fisik antara lain:

9
1. Periksa apakah terdapat Surat Permintaan Visum (SPV) dari
kepolisian. Bila ada, periksa keabsahan SPV dan pemeriksaan yang
diminta.

2. Jelaskan dan mintakan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan


(informed consent) kepada korban (direct consent) atau orang tua /
wali yang mengantar (proxy consent).

3. Lakukan penggalian informasi (anamnesis) secara menyeluruh. Pada


korban anak dilakukan kepada orang tua. Bila anak di atas 3 tahun
dilakukan privacy setting dengan melakukan penggalian informasi lagi
secara langsung ke korban anak tanpa didampingi orang tua / wali
yang mengantar.

4. Lakukan pemeriksaan fisik umum dan khusus pada lokasi tubuh yang
mengalami kekerasan. Pada pemeriksaan lokal, luka-luka difoto dan
dicatat. Secara naratif, luka dilukiskan sesuai dengan sistematika
penulisan luka (lokasi luka, koordinat luka, jenis luka, gambaran luka,
ukuran luka, dan sekitar luka). Khusus untuk korban kekerasan fisik
pada anak dilakukan serangkaian tindakan-tindakan medis yang
mengacu kepada standar penanganan korban kekerasan fisik pada anak
dari WHO, yakni:
1. Penggalian riwayat, terutama ketidaksesuaian antara luka pada
korban dengan riwayat yang disampaikan oleh pengantar.

2. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh sampai ke bagian tubuh yang


tersembunyi.

3. Pemeriksaan faal hemostasis untuk menyingkirkan gangguan


pembekuan darah yang mempengaruhi gambaran luka-luka pada
korban.

4. Pemeriksaan radiologi berupa Bone Survey.

5. Pemeriksaan serum amilase bila dicurigai terjadi kekerasan pada


perut.

10
6. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi.

7. Dokumentasi dan fotografi forensik.

8. Pemeriksaan saudara kandung (sibling examination).

9. Skrining tumbuh kembang.

10. Skrining tingkah laku.

5. Foto dan catat seluruh pemeriksaan penunjang yang dilakukan.


(Henky, 2017)
6. Bagaimana visum et repertum dari kasus pada skenario?

A. Pengertian Visum Et Repertum

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter


(dalam kapasitasnya sebagai ahli) atas permintaan resmi dari penegak
hukum yang berwenang tentang apa yang dilihat dan apa yang ditemukan
pada objek yang diperiksanya yaitu seorang manusia baik hidup maupun
mati atau bagian tubuh dari seseorang mengingat sumpah atau janji ketika
menerima jabatan dan untuk kepentingan peradilan. (Budiyanto et al,
1997)

B. Peranan Visum Et Repertum Dalam Proses Peradilan.

Sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP, Visum et Repertum adalah


salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan. Dalam fungsinya
sebagai pengganti benda bukti, Visum et Repertum berperan dalam proses
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia
dengan menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medis yang
tertuang di dalam bagian pemberitaan. (Budiyanto et al, 1997)

Dengan demikian, Visum et Repertum telah menjembatani ilmu


kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dapat diketahui dengan jelas apa
yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat

11
menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut
tubuh atau jiwa manusia. (Budiyanto et al, 1997)

C. Perbedaan Visum Et Repertum Dengan Cacatan Medik dan surat


keterangan medik.

Perbedaan Visum et Repertum dengan catatan medik dan surat keterangan


medik lain. Catatan medik adalah catatan tentang seluruh hasil
pemeriksaan medis beserta tindakan pengobatan atau perawatannya yang
merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh dokter /institusi
kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 tentang rahasia
kedokteran dengan sanksi hukum seperti pasal 322 Kitab Undang-undang.
Dokter boleh membuka isi catatan mediskepada pihak ketiga, misalnya
dalam bentuk keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari
pasien, baik langsung maupun berupa perjanjian yang dibuat sebelumnya
antara pasien dengan pihak ketiga tertentu, misalnya pada klaim asuransi.
Karena visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal
120, 179, dan 133 ayat 1 KUHAP, maka dokter tidak dapat dituntut karena
membuka rahasia pekerjaan sebagimana diatur dalam pasal 322 KUHP,
meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50 KUHP
mengatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum
et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang
memintanya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses pengadilan.
(Budiyanto et al, 1997)

D. Jenis dan Bentuk Visum Et Repertum


Jenis Visum et Repertum
1. Untuk orang hidup
1) VeR Perlukaan
2) VeR Keracunan
12
3) VeR Kekerasan Seksual
4) VeR Psikiatrik
2. Untuk jenazah
1) Pemeriksaan luar
2) Pemeriksaan dalam (Tim Pokja Lemdiklat Polri T.A.)

E. Bentuk Visum Et Repetum.

Lima bagian tetap dalam laporan Visum et Repertum :

1. Pembukaan yaitu ‘PRO JUSTITIA’

Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa Visum


et Repertum (VeR) dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak
memerlukan materai untuk dijadikan sebagai alat bukti di depan
sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.

2. Pendahuluan
Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR melainkan
langsung dituliskan dalam bentuk kalimat – kalimat di bawah
judul.Pada bagian ini ditulis identitas peminta, identitas dokter
yang diminta melakukan pemeriksaan, identitas objek yang
diperiksa, alasan dimintakannya VeR, kapan dan dimana dilakukan
pemeriksaan.
3. Pemberitaan (hasil pemeriksaan)

Bagian ini berjudul ‘hasil pemeriksaan’. Berisi semua keterangan


pemeriksaan. Diisi dengan fakta – fakta yang ditemukan sendiri
oleh dokter pemeriksa atau fakta – fakta dari hasil pemeriksaan
bersama dokter lain atau ahli lain dapat dianggap sebagai fakta
yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR dan dapat
dimasukkan ke dalam bagian ini, tetapi fakta hasil pemeriksaan

13
dokter atau ahli lain yang tidak dilakukan bersama dokter pembuat
VeR tidak dapat dimasukkan ke dalam bagian ini.

4. Kesimpulan
Bagian ini berjudul ‘kesimpulan’ dan berisi tentang interpretasi
dokter yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta
yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan
dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR. Fakta yang
ditemukan oleh dokter atau ahli lain tidak boleh diikutsertakan
sebagai landasan bagi pembentukan interpretasi, kecuali dokter
pembuat VeR ikut bersama – sama melakukan pemeriksaan.
5. Penutup
Bagian ini diisi pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter
tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika
menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau
janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan. Berbunyi
“Demikian visum et Repertum ini saya buat dengan sesungguhnya
berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai
dengan kitab undang-undang hukum acara pidana/ KUHAP.
(Budiyanto et al, 1997)

DEPARTEMEN KESEHATAN RI
INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK
RUMAH SAKIT FAKULTAS KEDOKTERAN UHO
Jln.HEA MOKODOMPIT – KENDARI Telp. 587333 psw. 351-352
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
Nomor : 132/133/134/ OKTOBER 2021

Sehubungan dengan surat Saudara: ---------------------------------------------------


Nama: Budi, Pangkat: Inspektur Polisi Satu, KIRP: 73489231, Jabatan:
Kapolres Kendari, KA SPKT II Resor Kendari, No.Pol:
VER/B123/VII/2015/SPK, tanggal: 23 Oktober 2021, Perihal: Permintaan

14
Visum Et Repertum, yang kami terima pada tanggal 23 Oktober 2021 pukul
15.30 WITA Maka kami:
-------------------------------------dr. Hasni,
Sp.FM-------------------------------------
Sebagai Dokter Spesialis Forensik pada Instalasi Kedokteran Forensik dan
Medikolegal RSUD Fakultas Kedokteran UHO Kendari, telah melakukan
pemeriksaan pada hari Rabu tanggal 23 Oktober 2021 pukul 16.00 WITA di
Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD fakultas kedokteran
UHO kendari, atas korban yang menurut Saudara: ---------------------------------

Nama :x
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 7 Tahun
Pekerjaan :x
Alamat :x
Kesan Gizi : Cukup

Seorang anak laki-laki datang dalam keadaan sadar dan keadaan umum baik.
Korban mengaku dipukul oleh gurunya pada hari Senin, 16 Oktober 2021.
Pasien datang ke Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD
Fakultas Kedokteran UHO pada hari Kamis 23 Oktober 2021.

HASIL / TEMUAN PEMERIKSAAN :


Pada pemeriksaan korban didapatkan :
1. Laki-laki berusia 7 tahun, tinggi badan x, berat badan x, warna kulit x,
gizi cukup
2. Korban datang dengan kesadaran umum baik
3. Pemeriksaan tanda vital dalam batas normal
4. Kepala: tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
a. Bentuk : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
b. Rambut :
c. Dahi : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
d. Mata : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
e. Hidung : idak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
f. Pipi : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
g. Telinga : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
h. Mulut : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
i. Gigi : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
j. Dagu : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
5. Leher : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
6. Dada : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
15
7. Perut : tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.
8. Punggung : ditemukan lebam mayat warna kebiruan.
9. Anggota gerak atas : Ditemukan luka memar pada lengan kanan atas
berwarna hijau kekuningan, luka memar pada lengan kiri atas
berwarna biru kehijauan dan luka memar pada kedua telapak tangan
berwarna merah kecoklatan.
10. Anggota gerak bawah : Ditemukan luka memar pada bokong kanan
berwarna hijau kekuningan, luka memar pada paha kiri berwarna biru
kehijauan dan luka memar pada kedua lutut berwarna merah
kecoklatan.
11. Alat Kelamin : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.
12. Dubur : tidak ditemukan kelainan dan tanda-tanda kekerasan.

KESIMPULAN :

Telah diperiksa seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun, kesan gizi
cukup, didapatkan luka akibat kekerasan tumpul berupa luka memar pada
anggota gerak atas dan anggota gerak bawah. Hal tersebut tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk sementara waktu.

Demikian visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya


berdasarkan keilmuaan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan
Kitab Undang-udang Hukum Acara Pidana.

Kendari, 24 Oktober 2021


Dokter Spesialis Forensik

dr. Hasni, Sp.FM

7. Jelaskan aspek medikolegal yang berkaitan dengan skenario!


Kekerasan pada anak adalah setiap perbuatan pada anak yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, danatau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. (UU 35 Tahun 2014, Tentang
Perlindungan Anak).
16
Terdapat beberapa norma umum yang mengatur hak anak seperti dalam
UU dasar Negara RI hingga peraturan khusus yang memang mengatur tentang
perlindungan anak dalam hal pencegahan kekerasan pada anak.

Dalam UUD RI pasal 28B ayat 2 dinyatakan bahwa “setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. UU tertentu yang mengatur dalam perlindungan
anak antara lain: UU 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak (seseorang yang
belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih didalam kandungan), dan UU
khusus yang mengatur tentang Protokol opsional konvensi hak-hak anak
mengenai penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak dalam UU RI no 10
tahun 2012.

Dalam hal item perlindungan pada anak, dicantumkan bahwa anak berhak
memperoleh perlindungan dari 6 hal tercantum dalam pasal 15 dan 16 UU RI 35
tahun 2014 tentang perlindungan anak yang termasuk perlindungan dari pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. Terdapat Bab khusus yang
mengatur larangan yaitu Bab XI A tentang Larangan. Dalam hal kekerasan pada
anak, diatur tersendiri dalam pasal 76C-F. Dengan ketentuan sanksi pidana diatur
dalam pasal 80-83.

Adapun kekerasan atau trauma yang timbul dapat menyebabkan luka dan
sampai kematian. Dalam hubungan dengan aspek hukum, akibat luka juga
tercantum dalam:

1. KUHP pasal 352 yaitu : penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit


atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian (sebagai penganiayaan ringan).
2. KUHP pasal 351:1 yaitu penganiayaan yang menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian.
3. KUHP pasal 351:2 yaitu penganiayaan yang menimbulkan luka berat.
4. KUHP pasal 90 terkait kriteria luka berat
5. KUHP pasal 338,340,355,359 (mati)
17
Secara istilah bahasa “luka” dianalogkan dengan akibat dari suatu
penganiayaan atau trauma. Istilah penganiayaan hanya merupakan istilah hukum
dan tidak dikenal dalam istilah kedokteran, oleh karena penganiayaan dapat
menimbulkan luka maka dalam penulisan visum et repertum digunakan istilah
luka sebagai pengganti kata penganiayaan. Dengan kriteria kualifikasi luka terdiri
dari:

1. Luka ringan: yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
2. Luka sedang: yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankanpekerjaan atau pencaharian.
3. Luka berat, menurut KUHP pasal 90, maka “luka berat” berarti :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan
atau pekerjaan pencaharian.
c. Kehilangan salah satu panca indera.
d. Mendapat cacat berat.
e. Menderita sakit lumpuh.
f. Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih.
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

8. Jelaskan alur tatalaksana kekerasan pada anak!


A. Alur penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Puskesmas
1. Korban datang sendiri ke Puskesmas atau diantar oleh Polisi/LSM/ keluarga
2. kemudian dilakukan registrasi
3. selanjutnya penanganan kegawatdaruratan
4. Apabila kondisi korban tidak memungkinkan untuk ditangani di puskesmas
maka segera dirujuk ke Rumah Sakit.
5. Jika kondisi korban bisa ditangani di puskesmas, maka langkah-Iangkah yang
dilakukan adalah: anamnesa, pemeriksaan fisik dan psikososial, pemeriksaan

18
penunjang yang diperlukan, sehingga dapat ditegakkan diagnosa, serta
dilakukan tindakan medis dan konseling.
6. Jika kondisi korban telah membaik dapat dipulangkan dan dilakukan
kunjungan rumah bila diperlukan. Namun jika kondisi korban memerlukan
penanganan spesialistik atau penanganan lebih lanjut maka korban dirujuk ke
Rumah Sakit. Bagi korban yang memerlukan dukungan sosial seperti
perlindungan keamanan dapat dirujuk ke rumah perlindungan (Shelter).
(Kemenkes RI, 2007)
7. Petugas kesehatan di Puskesmas perlu melakukan pencatatan secara rinci dan
lengkap sebagai rekam medis untuk pelaporan dan pembuatan visum et
repertum jika diminta oleh Polisi.

19
Gambar 2. Alur penanganan di Puskesmas
B. Alur penanganan kasus kekerasan terhadap anak dirumah sakit yang
memiliki PKT/PPT
1. Korban datang sendiri ke Rumah Sakit atau diantar oleh Polisi/LSM/ keluarga,
langsung ke Instalasi Gawat Darurat (IGD).
2. Dilakukan registrasi dan triage untuk menentukan status korban.

20
3. Apabila kondisi korban non kritis langsung dirujuk ke PKT/PPT untuk
mendapatkan pelayanan medis/mediko-Iegal, psikososial, konseling,
konsultasi spesialis, serta visum et repertum bila diminta oleh Polisi.
Selanjutnya pasien dapat dipulangkan/rawat jalan.
4. Apabila kondisi korban semi kritis atau kritis maka korban dikirim ke ruang
ICU/HCU atau rawat inap untuk mendapat perawatan yang diperlukan,
selanjutnya kalau kondisi korban telah membaik dapat dikirim ke PKT/PPT.
5. Apabila kondisi korban tidak dapat ditangani di Rumah Sakit tersebut maka
dirujuk ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas lebih lengkap.
6. Apabila pasien meninggal, dibawa ke ruang otopsi untuk pembuatan visum et
repertum bila diperlukan. (Kemenkes RI, 2007)

Gambar 3. Alur penanganan di rumah sakit yang memiliki PKT/PPT


C. Alur penanganan di rumah sakit yang belum memiliki PKT/PPT
1. Korban datang sendiri ke Rumah Sakit atau diantar oleh Polisi/LSM/ keluarga,
langsung ke IGD
2. Selanjutnya dilakukan registrasi dan triage untuk menentukan status korban.

21
3. Apabila kondisi korban non kritis langsung ditangani di IGD untuk
mendapatkan pelayanan medis, konsultasi spesialis, dan visum et repertum
bila diminta oleh Polisi. Selanjutnya pasien dapat dipulangkan/rawat
jalanlrujukan non medis.
4. Apabila kondisi korban semi kritis atau kritis maka korban dikirim ke ruang
ICU/HCU atau rawat inap untuk mendapat perawatan yang diperlukan,
selanjutnya jika kondisi korban telah membaik dapat dipulangkan/rawat
jalan/rujukan non medis.
5. Apabila kondisi korban tidak dapat ditangani di Rumah Sakit tersebut maka
dirujuk ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas lebih lengkap.
6. Apabila pasien meninggal, dibawa ke ruang otopsi untuk pembuatan visum et
repertum bila diperlukan. (Kemenkes RI, 2007)

Gambar 4. Alur penanganan di rumah sakit yang belum memiliki PKT/PPT


D. Alur penanganan kasus di Rumah Sakit Bhayangkara
1. Korban datang sendiri ke Rumah Sakit Bhayangkara atau diantar oleh
Polisi/LSM/keluarga,

22
2. Langsung ke IGD untuk dilakukan penanganan luka dan tindakan kedaruratan.
3. Selanjutnya berdasarkan kondisi korban, dapat dikirim ke laboratorium
forensik, PPT atau ke ICU/ rawat inap.
4. Tatalaksana kasus di PPT meliputi pemeriksaan medikoIegal, konsultasi
spesialis, pelayanan hukum dan laboratorium forensik.
5. Selanjutnya korban dapat dipulangkan atau dikirim ke rumah perlindungan
(shelter) jika diperlukan.
6. Apabila korban meninggal maka dikirim ke ruang autopsi untuk pembuatan
visum et repertum.(Kemenkes RI, 2007)

Gambar 5. Alur penanganan di Rumah Sakit Bhayangkara

23
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi
9. Singapura: Elsevier Saunders.
Anas Tamsuri, (2006). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta : EGC
Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., dkk., 1997, Ilmu Kedokteran
Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Henky, 2017, Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, Bali.
Instalasi Rehabilitasi Medik, RSUP Dr. Sardjito. 2019. Yogyakarta
Kementerian Hukum dan HAM. (2013). Kitab Hukum Pidana Indonesia. Hukum
Pidana, 5(2), 1689–1699.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, (2007). Pedoman Rujukan Kasus
Kekerasan Pada Anak Bagi Petugas Kesehatan. 35.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Keputusan Menteri kesehatan
republik Indonesia Nomor 1226/Menks/SK/XII/2009 Tentang Pedoman
Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban kekerasan Terhadap
Perempuan dan Anak di Rumah Sakit.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 68 tentang Kewajiban Pemberi Layanan
Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan
Terhadap Anak.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Keputusan Menteri kesehatan
republik Indonesia Nomor H.K.02.02/MENKES/251/2015/ Tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Anastesiologi dan Terapi
Intensif.
Putri, Della, and Nurhamlin Nurhamlin. Profil Korban Kekerasan Terhadap Anak
di Kota Pekanbaru. Diss. Riau University, 2018.
24
Tilaar, N.A., Mallo, J.F., Tomuka, D. (2020). Gambaran perubahan luka memar
pada suku Minahasa. E-ClinicC. 8 (1) : 177-180
Tim Pokja Lemdiklat Polri T.A. 2020, 2020, Bahan Ajar Kedokteran Kepolisian,
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, Bagian Kurikulum Bahan Ajar
Pendidikan Pembentukan.

25

Anda mungkin juga menyukai