Anda di halaman 1dari 89

LAPORAN TUTORIAL

SISTEM GASTROENTEROHEPATOLOGI
COFFEE GROUNDS COLORED VOMIT
(MUNTAH BERWARNA BUBUK KOPI)

Tutor : dr. Raja Al Fath W.I, Sp.FM, MH.Kes


Kelompok 2 :

Ainun Uluwiyah Fitra Noor (K1A1 15 002)


Nurul Alwaritsy Gadis Buana (K1A1 15 140)
Dian Rahmasari (K1A1 17 062)
Nurul Amalia Pratiwi (K1A1 17 081)
Nanda Putri Armytha (K1A1 18 005)
Nur Fitrasari Lairu (K1A1 18 020)
Nurdiana Sintia Balaka (K1A1 18 023)
Maghfirah Rahmadhani Zaid (K1A1 18 027)
Ragilia Ulhaj (K1A1 18 109)
Tias Prihaty Aulia Ramdhani (K1A1 19 026)
Muhammad Matin Adhiddia (K1A1 19 053)
Ma'rifatunnisa Fiy Nafsih (K1A1 19 094)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Laporan : Coffee Grounds Colored Vomit
Nama Anggota Kelompok :
1. Ainun Uluwiyah Fitra Noor (K1A1 15 002)
2. Nurul Alwaritsy Gadis Buana (K1A1 15 140)
3. Dian Rahmasari (K1A1 17 062)
4. Nurul Amalia Pratiwi (K1A1 17 081)
5. Nanda Putri Armytha (K1A1 18 005)
6. Nur Fitrasari Lairu (K1A1 18 020)
7. Nurdiana Sintia Balaka (K1A1 18 023)
8. Maghfirah Rahmadhani Zaid (K1A1 18 027)
9. Ragilia Ulhaj (K1A1 18 109)
10. Tias Prihaty Aulia Ramdhani (K1A1 19 026)
11. Muhammad Matin Adhiddia (K1A1 19 053)
12. Ma'rifatunnisa Fiy Nafsih (K1A1 19 094)

Laporan ini telah disetujui dan disahkan oleh:

Kendari, 28 November 2021


Dosen Pembimbing

dr. Raja Al Fath W.I, Sp.FM, MH.Kes

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
1.1 Skenario ....................................................................................................................... 1
1.2 Kalimat Kunci ............................................................................................................. 1
1.3 Daftar Istilah ............................................................................................................... 2
1.4 Pertanyaan ................................................................................................................... 2
BAB II Pembahasan ........................................................................................................ 3
Pembahasan Pertanyaan ................................................................................................. 3
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi organ terkait......................................................... 3
2. Bagaimana patomekanisme dari setiap gejala pada skenario ............................... 17
3. Jelaskan definisi serta tanda dan gejala dari hematemesis dan melena ................ 23
4. Bagaimana mekanisme dari perdarahan saluran cerna bagian atas ...................... 25
5. Jelaskan penyakit apa saja yang dapat menyebabkan muntah kehitaman dan
melena/feses kehitaman ........................................................................................ 26
6. Sebutkan penyakit apa saja yang menyebabkan nyeri epigastrium ...................... 27
7. Apa hubungan usia dan jenis kelamin berdasarkan skenario ............................... 27
8. Jelaskan hubungan mengkonsumsi obat herbal dan obat pereda nyeri selama 1 tahun
terakhir terhadap keluhan pada skenario .............................................................. 28
9. Jelaskan penyebab anemia pada skenario ............................................................. 28
10. Jelaskan interpretasi dari hasil pemeriksaan colok dubur, feses kehitaman ......... 28
11. Mengapa pada saat aspirasi cairan lambung didapatkan cairan lambung seperti ampas
kopi ....................................................................................................................... 29
12. Jelaskan mekanisme kerja obat antasida dalam mengurangi keluhan terkait skenario
.............................................................................................................................. 30
13. Jelaskan langkah langkah diagnosis terkait skenario ............................................ 30
14. Jelaskan DD dan DS berdasarkan skenario .......................................................... 32

iii
BAB III KESIMPULAN .................................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 58

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Esofagus ........................................................................................... 3


Gambar 2. Anatomi Lambung ........................................................................................... 4
Gambar 3. Histologi Organ Pencernaan ............................................................................ 9

Gambar 4. Fisiologi Organ Pencernaan ............................................................................ 11


Gambar 5. Patofisiologi Mual dan Muntah ....................................................................... 18
Gambar 6. Mekanisme Hematemesis Melena ................................................................... 22
Gambar 7. Radiologi Barium pada Ulkus Peptikum ......................................................... 32

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. DD dan DS berdasarkan skenario ........................................................................ 58

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario 1
Seorang wanita 60 tahun datang dengan keluhan muntah kehitaman di pagi hari sekitar
setengah gelas penuh. Dia merasa mulas, mual dan muntah sejak 6 bulan yang lalu dan
biasanya merasa lebih baik setelah minum antasida atau makan secara teratur. Namun pada
2 minggu terakhir ini perutnya terasa nyeri, terutama pada saat perut kosong pada malam
hari. Dia mengalami nyeri sendi lutut sejak 1 tahun terakhir dan rutin mengkonsumsi obat
herbal dan obat pereda nyeri. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: anemia, tekanan darah
90/60 mmHg, nyeri tekan epigastrium. Dari pemeriksaan colok dubur didapatkan feses
kehitaman, aspirasi cairan lambung menggunakan selang nasogastrik didapatkan cairan
kehitaman seperti ampas kopi dengan volume sekitar 250 cc.

1.2 Kalimat Kunci


1. Wanita 60 tahun
2. Keluhan muntah kehitaman di pagi hari sekitar setengah gelas penuh
3. Merasa mulas, mual dan muntah sejak 6 bulan yang lalu
4. Biasanya merasa lebih baik setelah minum antasida atau makan secara teratur
5. 2 minggu terakhir ini perutnya terasa nyeri, terutama pada saat perut kosong pada
malam hari
6. Mengalami nyeri sendi lutut sejak 1 tahun terakhir dan rutin mengkonsumsi obat
herbal dan obat pereda nyeri
7. Pemeriksaan fisik didapatkan: anemia, tekanan darah 90/60 mmHg, nyeri tekan
epigastrium
8. Pemeriksaan colok dubur didapatkan feses kehitaman
9. Aspirasi cairan lambung menggunakan selang nasogastrik didapatkan cairan
kehitaman seperti ampas kopi dengan volume sekitar 250 cc.

1
1.3 Daftar Istilah
1. Anemia : Suatu keadaan kadar hb dalam darah kurang dari normal
2. Epigastrium : Bagian abdomen tengah atas, nyeri epigastrium adalah nyeri yang
berhubungan dengan rasa tajam dan terlokalisasi yang dirasakan pada daerah tengah
atas perut yang disebabkan oleh kelainan organ dalam, rongga abdomen maupun
organ dalam rongga toraks.
3. Antasida : Adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menetralkan asam
lambung atau mengikatnya
4. Selang Nasogastrik : Selang panjang yang terbuat dari poliureten atau silicon melalui
hidung, esofagus, sampai kedalam lambung dengan indikasi tertentu

1.4 Daftar Pertanyaan


1. Jelaskan anatomi,histologi, dan fisiologi organ terkait
2. Bagaimana patomekanisme dari setiap gejala pada skenario
3. Jelaskan definisi serta tanda dan gejala dari hematemesis dan melena
4. Bagaimana mekanisme dari perdarahan saluran cerna bagian atas
5. Jelaskan penyakit apa saja yang dapat menyebabkan muntah kehitaman dan
melena/feses kehitaman
6. Sebutkan penyakit apa saja yang menyebabkan nyeri epigastrium
7. Apa hubungan usia dan jenis kelamin berdasarkan skenario
8. Jelaskan hubungan mengkonsumsi obat herbal dan obat pereda nyeri selama 1 tahun
terakhir terhadap keluhan pada skenario
9. Jelaskan penyebab anemia pada skenario
10. Jelaskan interpretasi dari hasil pemeriksaan colok dubur, feses kehitaman
11. Mengapa pada saat aspirasi cairan lambung didapatkan cairan lambung seperti ampas
kopi
12. Jelaskan mekanisme kerja obat antasida dalam mengurangi keluhan terkait skenario
13. Jelaskan langkah langkah diagnosis terkait skenario
14. Jelaskan DD dan DS berdasarkan skenario

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Jelaskan anatomi, histologi, fisiologi organ terkait


a. Anatomi
1. Anatomi Esofagus

Gambar 1. Anatomi Esofagus


(Sumber: Buku ajar biomedik 2. 2015)

Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak lambung, panjangnya


25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah lambung. Lapisan
dari dalam ke luar: lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan submukosa, lapisan otot
melingkar sirkuler, dan lapisan otot memanjang longitudinal. Esofagus terletak di
belakang trakea dan didepan tilang punggung, setelah melalui toraks menembus
diafragma masuk ke dalam abdomen menyambung dengan lambung, serta bermuara
pada cardia ventriculi setinggi cartilago costalis VII di sebelah kiri dan T10.
Esofagus memiliki 2 bagian yaitu: pars thoracica dan pars abdominalis (Buku ajar
biomedik 2. 2015)

3
2. Anatomi Lambung

Gambar 2. Anatomi Lambung


(Sumber: Buku ajar biomedik 2. 2015)

Lambung adalah organ pencernaan yang paling melebar, dan terletak di antara
bagian akhir dari esofagus dan awal dari usus halus. Lambung merupakan ruang
berbentuk kantung mirip huruf J, berada di bawah diafragma, terletak pada regio
epigastrik, umbilikal, dan hipokondria kiri pada regio abdomen. (Buku ajar
biomedik 2. 2015)
Secara anatomik, lambung memiliki lima bagian utama, yaitu kardiak, fundus,
badan (body), antrum, dan pilori . Kardia adalah daerah kecil yang berada pada
hubungan gastroesofageal (gastroesophageal junction) dan terletak sebagai pintu
masuk ke lambung Fundus adalah daerah berbentuk kubah yang menonjol ke
bagian kiri di atas kardia. Badan (body) adalah suatu rongga longitudinal yang
berdampingan dengan fundus dan merupakan bagian terbesar dari lambung.
Antrum adalah bagian lambung yang menghubungkan badan (body) ke pilorik
dan terdiri dari otot yang kuat. Pilorik adalah suatu struktur tubular yang
menghubungkan lambung dengan duodenum dan mengandung spinkter pilorik.
(Buku ajar biomedik 2. 2015)
Vaskularisasi gaster dibagi berdasarkan strukturnya . Curvatura minor
divaskularisasi oleh arteri gastrica sinistra yang berasal dari truncus coeliacus,
arteri gastric dekstra yang merupakan cabang dari arteri hepatica. Curvatura
major divaskularisasi oleh arteri gastroomentalis dextra cabang dari arteri
4
gastricaduodenalis, arteri gastroomentalis sinistra cabang dari arteri
gastroduodenalis. Bagian fundus divaskularisasi oleh arteri gastrica breves
cabang dari arteri splenica. Sisi posterior gaster divaskularisasi oleh arteri gastrica
posterior (Paulsen dan Waschke, 2010). Vena-vena gaster mengikuti arteri-arteri
yang sesuai dengan letak dan lintasan. Vena gastrica dextra dan vena-vena
gastrica sinistra membawa darah kembali ke dalam vena porta hepatis. Vena
gastrica breves dan vena gastroomentalis membawa isinya ke vena splenica yang
bersatu dengan vena mesentrika superior untuk membentuk vena porta hepatis.
Vena gastromentalis dekstra bermuara dalam vena mesentrica superior. (Buku
ajar biomedik 2. 2015)
Pembuluh limfe gaster mengikuti arteri sepanjang curvatura mayor dan
curvatura minor. Persarafan gaster parasimpatis berasal dari truncus vagales
anterior dari cabang kiri nervus vagus dan truncus vagales posterior dari cabang
kanan nervus vagus, yang keduanya turun sepanjang oesophagus dan berjalan
sepanjang curvatura minor. Persarafan parasimpatis merangsang produksi asam
gaster dan meningkatkan gerak peristaltik gaster. Persarafan simpatis
preganglionik gaster melintasi diafragma di kedua sisi sebagai nervi splanchnici
major dan minor, bersinaps ke neuron simpatis 9 postganglionik pada pangkal
truncus coeliacus. Inervasi simpatis mengimbangi efek parasimpatis dengan
mengurangi produksi asam gaster, gerak peristaltik, serta perfusi . (Buku ajar
biomedik 2. 2015)
3. Anatomi Usus Halus (Intestinum Tenue)
Dimulai dari ujung distal pylorus sampai di caecum. Terdiri dari duodenum,
jejenum dan ileum. Panjang seluruh intestinum tenue adalah kira-kira 7 meter.
a. Duodenum
Disebut usus 12 jari oleh karena panjangnya adalah selebar 12 jari atau
kurang lebih 25 cm. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
a) Morfologi
Berbentuk huruf C dengan bagian konkaf menghadap ke kiri. Dimulai
dari ujung distal pylorus sampai flexura duodeno-jejenalis.
Terdiri dari :
1. pars superior
5
2. pars descendens
3. pars horizontalis
4. pars ascendens. (Buku ajar biomedik 2. 2015)

Pars Superior Duodeni


Letaknya ke kanan mengarah ke dorsal, mulai dari sebelah ventral
columna vertebralis dan vena cava inferior. Pangkal pars superior duodeni
mudah mengikuti gerakan dari pylorus. Di sebelah ventralnya terletak hepar dan
vesica fellea, di sebelah dorsal terletak ductus cysticus, vena portae dan
pancreas. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
Pars Descendens Duodeni
Bagian ini berbatasan:
• Sebelah dorsal dengan renalis dexter dan sinister
• Sebelah ventral dengan hepar, vesica fellea, colon transversum, intestinum
tenue. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
Pars Horizontalis Duodeni
Bagian ini terletak mengarah ke kiri menyilang m.psoas major, vena
cava inferior, aorta abdominalis dan m.psoas minor. Di sebelah dorsal terdapat
ureter dexter, vasa testicularis dextra dan vena mesenterica inferior. Di sebelah
ventral terdapat vena mesentrica superior dan radix mesenterii. Bagian ini lebih
panjang bila dibandingkan dengan ketiga bagian lainnya. (Buku ajar biomedik
2. 2015)
Pars Ascendens Duodeni
Berada di sebelah kiri aorta abdominalis, membelok ke ventral menjadi
flexura duodeno-jejenalis. Letak flexura ini kurang lebih setinggi pars superior
duodeni. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
a) Lokalisasi
Pangkal duodenum dimulai setinggi vertebra lumbalis I, kurang lebih
2,5 cm di sebelah kanan linea mediana dan berakhir di sebelah kiri linea
mediana setinggi vertebra lumbalis II. Pars descendens turun sampai setinggi
vertebra lumbalis III. Bagian konkaf dari duodenum ditempati oleh caput
pancreatic. Batas antara pars superior duodeni dan pars descendens duodeni
6
disebut flexura duodeni superior, batas antara pars descendens duodeni dan pars
horizontalis duodeni disebut flexura duodeni inferior. (Buku ajar biomedik 2.
2015)
Antara pars superior duodeni dan hepar terdapat ligamentum
hepatoduodenale yang merupakan penebalan dari tepi bebas omentum minus.
Jadi bagian ini terletak intraperitoneal, sedangkan bagian duodenum lainnya
terletak retroperitoneal. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
Ductus choledochus bermuara ke dalam pars descendens duodeni
melalui papilla duodeni major, yang terletak kurang lebih 7 cm dari pylorus di
bagian konkaf dari duodenum. Kadang-kadang terdapat papilla duodeni minor
di sebelah cranial papilla duodeni major. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
Flexura duodeno-jejenalis di fixir oleh ligamentum Treitz
[lig.suspensorium duodeni ] pada diaphragma. Ligamentum ini terdiri dari
jaringan ikat dan otot. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
b) Vascularisasi
• Arteria supra duodenalis, memberi suplai darah kepada pars superior duodeni;
arteri ini adalah suatu end arteri sehingga bagian dari duodenum ini sering
mengalami ulcus [ = ulcus duodeni ].
• Arteria retroduodenalis memberikan aliran darah kepada dinding posterior
duodenum.
• Arteria pancreatico duodenalis superior, yang berada di sebelah posterior pars
superior duodeni, berjalan di antara pancreas dan pars descendens duodeni,
memberi suplai darah kepada duodenum dan pancreas.
• Arteria pancreatico duodenalis inferior, dipercabangkan oleh m.mesenterica
superior, berjalan ke cranialis di antara pancreas dan duodenum, mengadakan
anastomose dengan a.pancreatico duodenalis superior. Memberi suplai darah
kepada duodenum dan pancreas.
• Arteria gastrica dextra, juga memberikan cabang-cabang kepada duodenum.
• Arteria gastro epiploica dextra, memberikan cabang-cabang kepada
duodenum. (Buku ajar biomedik 2. 2015)

7
c) Innervasi
Menerima serabut-serabut saraf dari plexus coeliacus dan plexus
mesentericus superior, berjalan sesuai dengan pembuluh darah yang
dipercabangkan oleh arteria coeliaca dan arteria mesenterica superior. (Buku
ajar biomedik 2. 2015)
d) Lymphonodus
Pembuluh lymphe dari duodenum membawa lymphe menuju ke
lymphonodus pancreatico duodenalis yang terletak di antara caput pancreatis
dan duodenum, kemudian mengalir menuju ke lymphonodus hepaticus dan
l.n.preaorticus. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
4. Anatomi Jejenum – Ileum
a) Morfologi
Organ ini berkelok-kelok dan difiksasi pada dinding dorsal cavum
abdominis oleh mesenterium. Panjang seluruh jejenum – ileum adalah 6 – 7
meter; jejenum berada di bagian proximal dengan panjang kurang lebih 2/5
bagian dari keseluruhnya, sedangkan ileum berada di bagian distal (anal) dengan
panjang kira-kira 3/5 bagian yang sisa. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
Pada umumnya jejenum berada dalam keadaan kosong, warnanya lebih
merah (lebih banyak mengandung pembuluh darah), dindingnya lebih tebal,
diameter lumen lebih besar, plica circularis Kerkringi lebih besar dan jumlahnya
lebih banyak, vili intestinales lebih besar dan lebih banyak jumlahnya,
percabangan pembuluh-pembuluh darah kurang kompleks. Hal yang tersebut
tadi jelas terlihat perbedaannya bila dibandingkan jejenum bagian proximal
dengan ileum bagian distal, di bagian tengah perbedaan-perbedaan tersebut
kurang jelas. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
Mesenterium pada jejenum kelihatan lebih terang oleh karena jaringan
lemak extraperitoneal hanya terbatas pada pangkal pembuluh darah, sedangkan
pada ileum jaringan lemak tersebut mengikuti seluruh panjang pembuluh darah
sampai pada dinding ileum. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
Kurang lebih 1 meter di sebelah proximal dari ujung terminal ileum
terdapat diverticulum ilei [ = diverticulum Meckeli ], sebagai sisa dari ductus

8
omphalomesentericus. Ukuran diverticulum ini sebesar 5 cm. (Buku ajar
biomedik 2. 2015)
b) Lokalisasi
Jejenum dan ileum menempati sebagian besar cavum abdominis bahkan
sampai ke dalam cavum pelvicum. Mesenterium berbentuk kipas dengan bagian
yang terlebar di bagian tengah sebesar 20 cm, melekat pada dinding dorsal
abdomen dan tempat melekatnya disebut radix mesenterii. Panjang radix
mesenterii kira-kira 15 cm, terletak miring dari kiri atas ke kanan bawah,
dimulai dari flexura duodeno-jejenalis (setinggi corpus vertebrae lumbalis II)
sampai setinggi articulatio sacroiliaca dextra. Oleh karena jejenum – ileum
bentuknya lebih panjang daripada radix mesenterii maka jejenum – ileum
terletak berkelok-kelok, sangat mobil atau mudah bergerak. (Buku ajar
biomedik 2. 2015)
Di dalam mesenterium terdapat cabang-cabang dari a.mesenterium superior,
nervus, lymphonodus, pembuluh lymphe dan jaringan lemak. (Buku ajar
biomedik 2. 2015)
Radix mesenterii menyilang di sebelah ventral pars horizontal duodeni,
corpus vertebrae lumbalis III dan ureter dexter. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
c) Vascularisasi
Aliran darah bersumber pada a.mesentrica superior melalui cabang
aa.jejenales dan aa.ileae. Pembuluh-pembuluh darah berjalan di dalam
mesenterium. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
d) Innervasi
Jejenum – ileum mendapatkan innervasi dari plexus mesentericus
superior, dan percabangan serabut saraf berjalan mengikuti cabang-cabang
arteri. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
e) Lymphonodus
Di dalam mesenterium terdapat banyak lymphonodus dari berbagai
ukuran dan dibagi menjadi 3 kelompok, sebagai berikut :
• Dekat jejenum dan ileum
• Mengikuti pembuluh-pembuluh darah
• Pada radix mesenterii. (Buku ajar biomedik 2. 2015)
9
b. Histologi
1. Lambung

Gambar 3. Histologi Lambung


(Sumber: Iin. 2017)

Lambung memiliki empat lapisan utama: serosa, muskular, submukosa dan


mukosa. Mukosa lambung terdiri atas tiga lapisan yaitu epitel, lamina propria, dan
mukosa muskularis. Mukosa lambung terdiri atas epitel selapis silindris dan
membentuk sumur-sumur lambung (foveola gastrika). Foveola gastrika memiliki
kedalaman yang bervariasi yang khas untuk bagian-bagian lambung. Terdapat
lapisan jaringan ikat longgar di bawah epitel yaitu lamina propria yang mengisi
celah di antara kelenjar gastrika. (Iin,2017)

Lapisan luar mukosa dibatasi oleh otot selapis tipis yaitu mukosa mukularis
yang terdiri atas lapisan sirkuler di dalam dan longitudinal di luar. Mukosa gaster
kosong membentuk banyak lipatan yang dinamakan rugae. Liparan ini bersifat
sementara yang timbul akibat kontraksi lapisan otot polos yaitu mukosa
muskularis. Lipatan ini menghilang apabila lambung dalam kondisi penuh.
(Iin,2017)

Lapisan submukosa terletak di bawah mukosa muskularis. Lapisan ini


mengandung banyak pembuluh life, kapiler, arteriol besar dan venula. Submukosa
mengandung jaringan ikat yang lebih padat dan mengandung lebih banyak serat
kolagen dibandingkan lamina propria. Lapisan otot dari lambung terdiri dari tiga
lapis otot polos yaitu otot oblik, otot sirkuler dan otot longitudinal. Lapisan yang
10
paling luar dari gaster yaitu lapisan serosa. Lapisan serosa merupakan lapisan yang
menutupi otot gaster. Lapisan ini ditutupi oleh epitel selapis gepeng peritoneum
visceral. (Iin,2017)

Kardia gaster memiliki kelenjar kardia tubular simpleks atau bercabang yang
berfungsi menghasilkan mukus dan lisozim untuk membunuh bakteri. Pada bagian
fundus dan korpus terdapat banyak kelenjar gastrik tubular bercabang yang
memiliki tiga sampai tujuh kelenjar. Adapun sel-sel kelenjar lambung memiliki
fungsi utama dalam lambung, seperti: sel mukosa leher yang berfungsi untuk
menyekresikan mukus, sel parietal yang berfungsi menyekresikan asam
hidroklorida (HCl) dan faktor intrinsic, sel zimogen yang berfungsi untuk
menghasilkan enzim pepsinogen, sel enteroendokrin yang berfungsi untuk
menyekresikan serotonin, serta sel-sel punca yang berfungsi untuk berdiferensiasi
menjadi sel-sel lainnya (Mescher, 2014).

c. Biokimia

1. Sekresi HCL

Gerakan mengunyah berfungsi memecah makanan dengan meningkatkan


kelarutannya dan memperluas bidang permukaan untuk aktivitas enzim. Dalam
saliva terdapat amilase dan lipase. Amilase salivarius menghidrolisis pati dan
glikogen menjadi maltose. pH optimm amilase 6,6, tidak aktif (terhenti) pada pH
< 4. Lipase disekresi permukaan dorsal lidah (kel Ebner), pada manusia tidak
berperan, kecuali tikus/mencit. Proses hidrolisis pati, melalui tahapan proses
starch/amilum/pati, soluble starch, amylodextrin, erythrodextrin, achrodextrin,
maltose. Komposisi Saliva terdiri atas 99,3% air, 0,7% zat padat (solid) yaitu 0,5%
zat organik (0,4% mucin, albumin, globulin dan 0,1% tdd urea, asam urat,
kolesterol dan vitamin); 0,2% zat anorganik (Ca+ , Cl- , HCO3- ,K-SCN); zat- zat
mikroskopik (sel epitel, leukosit, bakteri), saliva normal tidak mengandung glukosa
dan pH 6- 7,9. Stimulasi sekresi saliva melalui stimulasi saraf simpatis (mencium
bau dan melihat makanan), adanya makanan/zat dalam mulut; rasa asam/pahit
(makanan yang ditolak) dan mucin (Wulandari, 2010).
11
Pencernaan dalam lambung melalui perangsangan sekresi getah lambung,
psychic phase/cephalic phase yaitu rangsangan susunan saraf bila melihat,
merasakan, mencium makanan, Gastric phase bila adanya makanan dalam
lambung oleh hormon gastrin (gastric secretin). Zat-zat luar tubuh yang
merangsang getah lambung (gastric secretagogue). Pada sel kelenjar dalam
lambung pada chief cells (satu baris sel) pleh pepsin dan parietal cells (sel berlapis)
oleh HCl. Komposisi getah lambung, pada kondisi normal berwarna jernih,
kekuningan, asam (0.2- 0,5% HCl), Bj +1,007, pH +1; mengandung 99% air, 1%
zat padat, anorganik (HCl, NaCl, KCl, Ca/mg Fosfat), organic yaitu mucin, pepsin,
lipase, rennin. Pembentukan HCl, HCl dikeluarkan oleh sel parietal dalam
lambung, di dalam lambung kerja enzim amilase sudah dihentikan dengan adanya
HCL, dengan pH 1 amilase liur tidak bekerja lagi (Wulandari, 2010).

Tugas HCl mengaktifkan pepsinogen oleh pepsin, denaturasi protein dalam hal
ini protein mudah dihidrolisis dan di cerna. HCl membunuh mikroorganisme yang
masuk bersama makanan karena bersifat asam. Mucin bergabung dan konyugated
dengan protein, sifat tidak dicerna oleh pepsin. Hasil hidrolisis menghasilkan asam
sulfat, asam asetat, glukosamin, glukoronat. HCL berfungsi melindungi sel mukosa
lambung dari keaktifan pepsin, pepsin dapat menyebabkan kerusakan sel-sel
mukosa lambung. HCl mengurangi kelarutan dari asam kuat HCl. Enzim
pencernaan dalam lambung antara lain pepsin, rennin/chymosin dan lipase. Pepsin
dikeluarkan oleh sel-sel mukosa lambung (Chief cells) dalam bentuk pepsinogen
(tidak aktif). Pengaktifan pepsinogen melalui HCl dan pepsin sendiri
(autokatalisis). Pepsin memecah protein proteosa dan pepton (molekul besar).
Protein yang sukar dicerna oleh pepsin: keratin (rantai peptida molekul tertutup)
dan Protamin (sedikit tirosin & fenilalanin). pH pepsin berkisar 1-2,5 (rantai asam).
Rennin atau chymosin penting pada pencernaan bayi dalam proses koagulasi susu,
dapat lebih lama dalam lambung karena pencernaan usus halus

bayi belum bekerja dengan sempurna. Dewasa tidak terdapat rennin berfungsi
memecah kasein menjadi parakasein serta penambahan Ca2+ membentuk

12
Caparacaseinat (gumpalan yang tidak larut). pH optimum 6-6,5 dan suhu optimum
45°C. (Wulandari, 2010)

Lipase terdapat dalam lidah, getah lambung (non-aktif) dan pankreas, pH


optimum +8 (alkalis), pada suasana asam (5,8-6,4) aktivitas menjadi lambat. Lipase
lambung tidak bekerja pada lemak rantai panjang kecuali tributirat. Getah lambung
berfungsi membantu diagnosa penyakit lambung, pengukuran keasaman lambung,
Free Acidity (HCl bebas), total acidity (HCl bebas dan asam-asam organik lainnya)
dan combine acidity (total acidity – free acidity) (Wulandari, 2010).

d. Fisiologi

Gambar 4. Fisiologi Organ Pencernaan

(Sumber Gambar: Sherwood, 2014)

1. Faring dan Esofagus


Motilitas yang berkaitan dengan faring dan esofagus adalah menelan atau
deglutition. Menelan dimulai ketika bolus didorong oleh lidah ke bagian
belakang mulut menuju faring. Tekanan bolus di faring merangsang reseptor
tekanan di faring yang kemudian mengirim impuls aferen ke pusat menelan di
medula. Pusat menelan kemudian secara refleks mengaktifkan serangkaian otot

13
yang terlibat dalam proses menelan. Menelan dimulai secara volunter, tetapi
setelah dimulai proses tersebut tidak dapat dihentikan. (Sherwood, 2014)
Menelan dibagi menjadi dua tahap yaitu :
a. Tahap Orofaring
Tahap orofaring berlangsung sekitar satu detik dan berupa perpindahan
bolus dari mulut melalui faring dan masuk ke esofagus, saat menelan ini bolus
harus diarahkan ke dalam esofagus dan dicegah untuk masuk ke saluran lain
seperti kembali ke mulut, masuk ke saluran hidung, atau masuk ke trakea,
dengan cara :
• Selama menelan posisi lidah menekan palatum durum untuk mencegah
makanan kembali ke mulut.
• Uvula elevasi atau terangkat di bagian belakang tenggorokan, sehingga
saluran hidung tertutup dari faring dan makanan tidak masuk hidung.
• Makanan dicegah masuk trakea terutama oleh elevasi laring dan penutupan
pita suara melintasi laring atau glotis. Selama menelan pita suara
melaksanakan fungsi yang tidak berkaitan dengan berbicara. Kontraksi
otot-otot laring menyebabkan pita suara merapat erat satu sama lain,
sehingga pintu masuk glotis tertutup. Selain itu bolus menyebabkan
epiglotis tertekan ke belakang menutupi glotis yang mencegah makanan
masuk ke saluran pernapasan.
• Dengan laring dan trakea tertutup, otot-otot faring berkontraksi untuk
mendorong bolus ke dalam esofagus. Sherwood, 2014)
b. Tahap Esofagus
Pusat menelan memulai gelombang peristaltik primer yang mengalir dari
pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus didepannya melewati esopagus
ke lambung. Peristaltik mengacu pada kontraksi berbentuk cincin otot polos
sirkuler yang bergerak secara progresif ke depan dengan gerakan
mengosongkan, mendorong bolus di depan kontraksi. Dengan demikian
pendorongan makanan melalui esopagus adalah proses aktif yang tidak
mengandalkan gravitasi. Makanan dapat didorong ke lambung bahkan dalam
posisi kepala di bawah. Gelombang peristaltik berlangsung sekitar 5 – 9 detik

14
untuk mencapai ujung bawah esopagus. Kemajuan gelombang tersebut
dikontrol oleh pusat menelan melalui persyarafan vagus. (Sherwood, 2004)
Sekresi esofagus seluruhnya bersifat protektif dan berupa mukus, mukus
disekresikan di sepanjang saluran pencernaan. Dengan menghasilkan
lubrikasi untuk lewatnya makanan, mukus esofagus memperkecil
kemungkinan rusaknya esofagus oleh bagian-bagian makanan yang tajam,
mukus juga melindungi dinding esofagus dari asam dan enzim getah lambung
apabila terjadi refluks lambung. (Sherwood, 2014)
2. Lambung
Lambung terbagi menjadi beberapa bagian yaitu fundus adalah bagian
lambung yang terletak di atas lubang esofagus, korpus yaitu bagian tengah
atau utama lambung, lambung bagian bawah yaitu antrum, bagian akhir
lambung adalah sfingter pilorus, yang berfungsi sebagai sawar antara lambung
dan bagian atas usus halus, duodenum. (Sherwood, 2014)
Motilitas Lambung
Motilitas lambung bersifat kompleks dan dikontrol oleh beberapa faktor,
terdapat empat asfek motilitas lambung, yaitu:
a. Pengisian Lambung
Volume lambung jika kosong sekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat
mengembang hingga kapasitasnya mencapai sekitar 1 liter ketika makan.
Akomodasi perubahan volume ini akan menyebabkan ketegangan pada
dinding lambung dan meningkatkan tekanan intralambung, tapi hal ini
tidak akan terjadi karena adanya faktor plastisitas otot polos lambung dan
relaksasi resesif lambung pada saat terisi. Plastisitas adalah kemampuan
otot polos mempertahankan ketegangan konstan dalam rentang panjang
yang lebar, dengan demikian pada saat serat-serat otot polos lambung
teregang pada pengisian lambung, serat-serat tersebut melemas.
Peregangan dalam tingkat tertentu menyebabkan depolarisasi sel-sel
pemacu, sehingga mendekati potensial istirahat yang membuat potensial
gelombang lambat mampu mencapai ambang dan mencetuskan aktivitas
kontraktil. (Sherwood, 2014)

15
Sifat dasar otot polos tersebut diperkuat oleh relaksasi refleks
lambung pada saat terisi. Interior lambung membentuk lipatan-lipatan
yang disebut rugae, selama makan rugae mengecil dan mendatar pada saat
lambung sedikit demi sedikit melemas karena terisi. Relaksasi refleks
lambung sewaktu menerima makanan ini disebut relaksasi resesif.
(Sherwood, 2014)
b. Penyimpanan Lambung
Selama makanan masuk ke lambung, makanan membentuk lingkaran
konsentris makanan di bagian oral lambung, makanan yang paling baru
terletak paling dekat dengan pembukaan esofagus dan makanan yang
yang paling akhir terletak paling dekat dengan dinding luar lambung.
Normalnya bila makanan meregangkan lambung refleks vasovagal dari
lambung ke batang otak dan kemudian kembali ke lambung akan
mengurangi tonus di dalam dinding otot korpus lambung sehingga
dinding menonjol keluar secara progresif, menampung jumlah makanan
yang makin lama makin banyak sampai suatu batas saat lambung
berelaksasi sempurna, yaitu 0,8 sampai 1,5 liter. Tekanan dalam lambung
tetap rendah sampai batas ini tercapai. (Sherwood, 2014)
c. Pencampuran Lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab
makanan bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus.
Setiap gelombang peristaltik antrum mendorong kimus ke depan ke arah
sfingter pilorus. Apabila kimus terdorong oleh kontraksi peristaltik yang
kuat akan melewati sfingter pilorus dan terdorong ke duodenum tetapi
hanya sebagian kecil saja. Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas
keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sfingter pilorus
menyebabkan sfingter berkontraksi lebih kuat, menutup dan menghambat
aliran kimus ke dalam duodenum. (Sherwood, 2014)
Sebagian besar kimus antrum yang terdorong ke depan tapi tidak
masuk ke duodenum berhenti secara tiba- tiba pada sfingter yang tertutup
dan bertolak kembali ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke depan
dan bertolak kembali pada saat gelombang peristaltik yang baru datang.
16
Gerakan maju mundur tersebut disebut retropulsi, menyebabkan kimus
bercampur secara merata di antrum. (Sherwood, 2014)
d. Pengosongan Lambung
Kontraksi peristaltik antrum, selain menyebabkan pencampuran
lambung juga menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan
lambung. Jumlah kimus yang masuk ke duodenum pada setiap
gelombang peristaltik sebelum sfingter pilorus tertutup tergantung pada
kekuatan peristaltik. Intensitas peristaltik antrum sangat bervariasi
tergantung dari pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum.
(Guytoon,2008)
Lambung memiliki dua fungsi utama yaitu, fungsi pencernaan dan
fungsi motorik. Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan
pencernaan protein, sintesis dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain
mengandung sel-sel yang mensekresi mukus, mukosa lambung juga
mengandung dua tipe kelenjar tubular yang penting yaitu kelenjar
oksintik (gastrik) dan kelenjar pilorik. Kelenjar oksintik terletak pada
bagian fundus dan korpus lambung, meliputi 80% bagian proksimal
lambung. Kelenjar pilorik terletak pada bagian antral lambung. Kelenjar
oksintik bertanggung jawab membentuk asam dengan mensekresikan
mukus, asam hidroklorida (HCl), faktor intrinsik dan pepsinogen.
Kelenjar pilorik berfungsi mensekresikan mukus untuk melindungi
mukosa pilorus, juga beberapa pepsinogen, renin, lipase lambung dan
hormon gastrin. (Guytoon,2008)
Fungsi motorik lambung, yaitu menyimpan makanan dalam jumlah
besar sampai makanan tersebut dapat ditampung pada bagian bawah
saluran pencernaan, mencampur makanan tersebut dengan sekret
lambung sampai membentuk suatu campuran setengah padat yang
dinamakan kimus, dan mengeluarkan makanan perlahan-lahan dari
lambung masuk ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai untuk
pencernaan dan absorpsi oleh usus halus. (Guytoon,2008)
Sebagai fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu pencernaan protein oleh
pepsin dan HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh
17
protein yang dimakan, sekresi mukus yang membentuk selubung dan
melindungi lambung serta sebagai pelumas sehingga makanan lebih
mudah diangkut, sekresi bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus
yang berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsinMerupakan
organ otot berongga yang besar, yang terdiri dari tiga bagian yaitu kardia,
fundus dan antrium. (Sherwood 2014)
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi
secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel
yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting:
a) Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung.
Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang
mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
b) Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan
oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga
berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh
berbagai bakteri.
c) Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein).
(Guytoon,2008)
3. Usus halus (Intestinum Tenue)
Merupakan tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan
penyerapan di tubuh. Terdapat beberapa proses yang terjadi di usus halus,
yakni :
a. Motilitas
Motilitas merupakan kontraksi otot dinding saluran cerna yang
mencampur dan mendorong. Pada usus halus, motilitas yang utama adalah
proses segmentasi dan kompleks motilitasi bermigrasi. Segmentasi
berfungsi mencampur kimus dan getah pencernaan yang akan disekresikan
ke dalam lumen dan memajankan semua kimus ke permukaan mukosa usus
halus. Saat kontraksi segmentasi usus berhenti akan diganti oleh kompleks
motilitas bermigrasi (migrating motility complex, MMC) yang terdiri 3
18
fase yang berulang dalam pola setiap 1,5 jam saat sesorang berpuasa.
Tujuan dari proses ini untuk membersihkan sisa-sisa makanan serta bakteri
dan debris mukosa yang menuju kolon. (Sherwood, Lauralee., 2011)
b. Sekresi
Setiap hari sekitar 1,5 liter sukus enterikus disekresikan ke lumen usus
halus oleh sel-sel kelenjar eksokrin di mukosa usus halus. Sukus enterikus
merupakan campuran mukus dan larutan garam, serta H2O yang berperan
dalam pencernaan enzimatik makanan. Mukus berfungsi sebagai pelindung
dan pelumas. Enzim-enzim yang disintesis usus halus tidak diskresikan
langsung ke dalam lumen melainkan berfungsi di dalam membran brush
border sel epitel yang melapisi bagian dalam lumen. (Sherwood, Lauralee.,
2011)
c. Digesti
Merupakan proses penguraian struktur kompleks makanan secara
kimiawi menjadi lebih sederhana yang kemudian akan diabsorpsi. Proses
ini terjadi di lumen dan dipengaruhi enzim pankreas dan empedu.
(Sherwood, Lauralee., 2011)
d. Absorpsi
Merupakan proses penyerapan zat-zat makanan seperti monosakarida,
asam amino dan asam lemak bersama dengan air, elektrolit dan vitamin
yang akan disalurkan ke aliran darah atau saluran limfatik. (Sherwood,
Lauralee, 2011)
2. Bagaimana patomekanisme dari setiap gejala pada skenario
A. Patomekanisme Muntah dan Haematemesis (Muntah seperti kopi)
Muntah yaitu ekspulsi paksa isi lambung keluar dari mulut. Penyebab ekspulsi
berasal dari kontraksi otot-otot pernafasan yaitu diaphragma dan otot abdomen.
(Sherwood, 2014)

Muntah dikoordinasikan oleh pusat muntah di medulla batang otak, Muntah


dimulai dengan inspirasi dalam dan penutupan glotis, diaphragma berkontraksi dan
menekan kebawah, secara bersamaan otot-otot perut berkontraksi menekan rongga
perut dan memaksa visera abdomen ke atas. Pada waktu lambung melemas dan

19
rongga abdomen yang mengecildibawah, lalu isi lambung terdorong ke atas
melalui sfingter-sfingter dan esofagus melemas serta keluar melalui mulut.
(Sherwood, 2014)

Muntah kehitaman diakibatkan oleh adanya perdarahan pada saluran cerna atas
yang bercampur dengan asam lambung. Warna hematemesis tergantung pada
lamanya hubungan atau kontak antara darah dengan asam lambung dan besar
kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerah-merahan
atau bergumpal-gumpal. (Nentina, 2001)

Dalam metode Sahli, hemoglobin dihidrolisis dengan HCl 0,1 N menjadi asam
hematin yang berwarna coklat. Warna yang terbentuk dibandingkan dengan warna
standard dan perubahan warna asam hematin dibuat dengan cara pengenceran
sehingga warna sama dengan warna standard. Pada pemeriksaan ini faktor
kesalahan atau penyimpangan mencapai 15-30%. Asam hematin adalah ferroheme
dimana oleh oksigen yang ada di udara akan dioksidasi menjadi ferri heme yang
selanjutnya segera bereaksi dengan ion CI membentuk ferrihemechlorid atau
disebut hematin atau hemin yang berwarna coklat (Gandasoebrata, 2016).

Gambar 5. Patofisiologi Mual dan Muntah


(Sumber Gambar: Sherwood, 2004)

20
B. Patomekanisme Mual Muntah
Muntah merupakan suatu refleks kompleks yang diperantarai oleh pusat
muntah di medula oblongata otak. Muntah dapat disebabkan oleh banyak faktor,
antara lain karena distensi berlebihan atau iritasi, atau kadang-kadang sebagai
respons terhadap rangsangan kimiawi oleh emetik (bahan yang menyebabkan
muntah), misalnya pekak, hipoksia dan nyeri. Muntah merupakan respon somatik
refleks yang terkoordinir secara sempurna oleh karena bermacam-macam
rangsangan, melibatkan aktifitas otot pernafasan, otot abdomen dan diafragma.
(Santosa,2011)
Proses muntah terdiri dari 3 fase, yaitu nausea, retching, dan ekspulsi.
a. Nausea
Merupakan sensasi psikis akibat rangsangan pada organ viseral,
labirinth dan emosi, tidak selalu berlanjut dengan retching dan ekspulsi.
Keadaan ini ditandai dengan keinginan untuk muntah yang dirasakan di
tenggorokan atau perut, seringkali disertai gejala hipersalivasi, pucat.
berkeringat, takikardi dan anoreksia. Selama periode nausea, terjadi
penurunan tonus kurvatura mayor, korpus dan fundus. Antrum dan
duodenum berkontraksi berulang-ulang. sedangkan bulbus duodeni relaksasi
sehingga terjadi refluks cairan duodenum ke dalam lambung. Pada fase nausea
ini belum terjadi peristaltik aktif.. Muntah yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan inrrakranial dan obstruksi saluran gastrointestinal tidak didahului
oleh fase nausea. (Santosa,2011)
b. Retching
Dapat terjadi tanpa diikuti muntah. Pada fase retching terjadi kekejangan
dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang,sementara glotis tertutup.
Otot pemafasan dan diafragma berkontraksi menyebabkan tekanan
intratorakal menjadi negatif. Pada waktu yang bersamaan terjadi kontraksi
otot abdomen dan lambung, fundus dilatasi sedangkan antrum dan pilorus
berkontraksi. Sfingter esofagus bawah membuka, tetapi sfingter esofagus atas
masih menutup menyebabkan chyme masuk ke dalam esofagus. Pada akhir
fase retching, terjadi relaksasi otot dinding perut dan lambung sehingga chyme
yang tadinya sudah masuk ke dalam esofagus kembali ke lambung.Fase ini
21
dapat berlangsung beberapa siklus. Apabila retching mencapai puncaknya
dan didukung oleh kontraksi otot abdomen dan diafragma, akan berlanjut
menjadi muntah jika tekanan tersebut dapat mengatasi mekanisme anti refluks
dari Lower Esophagus sphingter (LES). (Santosa,2011)
c. Ekspulsi
Pada fase ekspulsi ini pilorus dan antrum berkontraksi sedangkan
fundus dan esofagus relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini juga
terjadi perubahan tekanan intratorakal dan intraabdoininal serta kontraksi
dari diafragma. Pada episode ekspulsi tunggal terjadi tekanan negatif
intratorakal dan tekanan positif intraabdominal, dan dalam waktu bersamaan
terjadi kontraksi yang cepat dari diafragma yang menekan fundus sehingga
terjadi refluks isi lambung ke dalam esofagus. Bila ekspulsi sudah terjadi,
tekanan intratorakal kembali positif dan diafragma kembali ke posisi
normal. (Santosa,2011)

Didapatkan dua region anatomi di medulla yang mengontrol


muntah: Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) dan Central Vomiting Centre
(CVC). CTZ terletak diarea postrema pada dasar ujung kaudal Ventrikel IV
diluar sawar otak (blood brain barrier). Reseptor di daerah ini diaktivasi oleh
bahan-bahan proemetik yang terdapat disirkulasi darah atau dalam cairan
serebrospinal. Efferent dari CTZ akan menuju ke CVC, dari tempat ini
serentetan kegiatan motorik muntah dimulai melalui vagal dan splanchnic
sympathetic efferent. Mual dan muntah merupakan gejala yang paling sering
menyertai gangguan gastrointestinal. Keluhan mual dan muntah pada kasus
batu empedu dirangsang oleh adanya kolik biliaris melalui serabut aferen
nervus Vagus dari lapisan gastrointestinal. Kolik biliaris yang terasa
menekan dan perih ini merupakan nyeri yang stabil dan dapat menjalar ke
punggung, daerah interskapula, dan bahu kanan. Nyeri dapat berhubungan
dengan mual dan muntah dan biasanya dipicu oleh makanan berlemak atau
timbul secara spontan. Nyeri kolik timbul perlahan atau pun tiba-tiba dengan
intensitas waktu 15-30 menit hingga 24 jam dan bertambah berat secara

22
bertahap atau berlangsung cepat.Nyeri kolik yang berlangsung lebih dari 24
jam dapat dicurigai kolesistitis akut. (Hendrik,2013)

C. Patomekanisme Nyeri Tekan Epigastrium


Rasa sakit perut, baik mendadak maupun berulang, biasanya selalu bersumber
pada:
1. Visera perut
2. Organ lain di luar perut
3. Lesi pada susunan saraf spinal
4. Gangguan metabolic
5. Psikosomatik. (Mikhail dkk. 2020)
Traktus gastrointestinal memiliki sistem persarafan sendiri yang disebut sistem
saraf enterik. Sistem ini seluruhnya terletak di dinding usus, mulai dari esophagus
sampai ke anus. Sistem saraf enterik terdiri atas dua pleksus (1) pleksus bagian luar
yang terletak di antara lapisan otot longitudinal dan sirkular, disebut pleksus
mienterikus atau pleksus auerbach, dan (2) satu pleksus bagian dalam, disebut
pleksus submukosa atau pleksus meissner, yang terdapat didalam submukosa.
Terdapat serabut-serabut simpatis dan parasimpatis ektrinsik yang berhubungan ke
kedua pleksus mienterikus dan submukosa. Ujung-ujung saraf simpatis yang berasal
dari epitelium gastrointestinal atau dinding usus dan mengirimkan serabut-serabut
aferen ke kedua pleksus sistem enterik, dan (1) ke ganglia prevertebra dan sistem
saraf simpatis, (2) ke medulla spinalis, (3) ke dalam saraf vagus menuju batang otak.
(Mikhail dkk. 2020)
Reseptor rasa sakit di dalam traktus digestivus terletak pada saraf yang tidak
bermielin yang berasal dari sistim saraf otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini
disebut sebagai serabut saraf C yang dapat meneruskan rasa sakit lebih menyebar
dan lebih lama dari rasa sakit yang dihantarkan dari kulit oleh serabut saraf A.
(Mikhail dkk. 2020)
Reseptor nyeri pada perut terbatas di submukosa, lapisan muskularis dan
serosa dari organ di abdomen. Serabut C ini akan bersamaan dengan saraf simpatis
menuju ke ganglia pre dan paravertebra dan memasuki akar dorsa ganglia. Impuls

23
aferen akan melewati medula spinalis pada traktus spinotalamikus lateralis menuju
ke talamus, kemudian ke konteks serebri. (Mikhail dkk. 2020)
Impuls aferen dari visera biasanya dimulai oleh regangan atau akibat
penurunan ambang batas nyeri pada jaringan yang meradang. Nyeri ini khas bersifat
tumpul, pegal, dan berbatas tak jelas serta sulit dilokalisasi. Impuls nyeri dan visera
abdomen atas (lambung, duodenum, pankreas, hati, dan sistem empedu) mencapai
medula spinalis pada segmen thorakalis 6, 7, 8 serta dirasakan didaerah epigastrium.
(Mikhail DziadzkoMD, PhD., dkk. 2020)
Impuls nyeri yang timbul dari segmen usus yang meluas dari ligamentum
Treitz sampai fleksura hepatika memasuki segmen Th 9 dan 10, dirasakan di sekitar
umbilikus. Dari kolon distalis, ureter, kandung kemih, dan traktus genitalia
perempuan, impuls nyeri mencapai segmen Th 11 dan 12 serta segmen lumbalis
pertama. Nyeri dirasakan pada daerah supra publik dan kadang-kadang menjalar ke
labium atau skrotum. Jika proses penyakit meluas ke peritorium maka impuls nyeri
dihantarkan oleh serabut aferen stomatis ke radiks spinals segmentalis. (Mikhail
DziadzkoMD, PhD., dkk. 2020)
Mekanisme timbulnya sakit perut, ialah :

1. Gangguan vaskuler. Emboli atau trombosis, ruptur, oklusi akibat torsi atau
penekanan seperti pada kista ovarium terpuntir dan jepitan usus pada invaginasi.
2. Peradangan. Peradangan organ di dalam rongga peritonium menimbulkan rasa
sakit bila proses peradangan telah mengenal peritoneum parietalis. Mekanisme
perjalaran nyeri sama seperti peradangan pada umumnya yang disalurkan
melalui persyarafan somatik.
3. Gangguan pasase. Nyeri bisa ditimbulkan oleh adanya gangguan pasase atau
obtruksi organ yang berbentuk pembuluh, baik yang terdapat di dalam rongga
peritoneal atau pun retroperitoneal. Bila pasase dalam saluran- saluran tersebut
terganggu akan timbul rasa sakit akibat tekanan intra lumen yang meninggi di
bagian proksimal sumbatan. Sakit dirasakan hilang timbul atau terus menerus
dengan puncak nyeri yang hebat (kolik).

24
4. Penarikan dan peregangan peritoneum viseralis. Penarikan dan peregangan pada
peritoneum viseral dapat merangsang terjadinya nyeri yang bersifat tumpul (dull
pain). (Mikhail dkk. 2020)

Dalam prakteknya, keempat mekanisme timbulnya sakit perut jarang ditemukan


sendiri-sendiri, tapi umumnya merupakan proses campuran. (Mikhail dkk. 2020)

D. Patomekanisme Melena

Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal, dan lengket
yang menunjukkan perdarahan saluran pencernaan bagian atas serta dicernanya darah
pada usus halus. Warna merah gelap atau hitam berasal dari konversi Hb menjadi
hematin oleh bakteri setelah 14 jam. Sumber perdarahannya biasanya juga berasal
dari saluran cerna atas. (Price & Wilson, 2006)
Perubahan warna darah menjadi merah gelap bahkan kehitaman disebabkan
oleh HCL lambung, pepsin, dan warna hitam ini diduga karena adanya pigmen
porfirin. (Price & Wilson, 2006)

Gambar 6. Mekanisme Hematemesis Melena


(Sumber Gambar: Mubin, 2006).

25
3. Jelaskan definisi serta tanda dan gejala dari hematemesis dan melena
A. Definisi
Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah pengeluaran tinja yang
berwarna hitam seperti teh yang mengandung darah dari pencernaan. Warna
hematemesis tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antar darah dengan
asam lambung dan besar kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi
atau kemerah-merahan dan bergumpal gumpa (Nurarif, 2013).
a. Hematemesis adalah muntah darah. Darah bisa dalam bentuk segar
(bekuan/gumpalan atau cairan berwarna merah cerah) atau berubah karena enzim
dan asam lambung, menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi.
Memuntahkan sedikit darah dengan warna yang telah berubah adalah gambaran
nonspesifik dari muntah berulang dan tidak selalu menandakan perdarahan
saluran pencernaan atas yang signifikan (Mubin, 2014)
b. Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal, dan lengket
yang menunjukkan perdarahan saluran pencernaan bagian atas serta dicernanya
darah pada usus halus. Warna merah gelap atau hitam berasal dari konversi Hb
menjadi hematin oleh bakteri setelah 14 jam. Sumber perdarahannya biasanya
juga berasal dari saluran cerna atas. (Nurarif. 2013).
Hematesis melena merupakan suatu perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA) yang termasuk dalam keadaan gawat darurat yang dapat terjadi karena
pecahnya varises esofagus, gastritis erosif, atau ulkus peptikum. (Nurarif. 2013)
B. Etiologi
a) Kelainan di esophagus
1) Varises esophagus
Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan pecahnya
varises esophagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di
epigastrium. Pada umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan masif.
Darah yang dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku
karena sudah bercampur dengan asam lambung. (Mubin, 2014)
2) Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus sering memberikan keluhan melena daripada
hematemesis. Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis,
26
hanya sesekali penderita muntah darah dan itupun tidak masif. (Mubin,
2014)
3) Sindroma Mallory – Weiss
Sebelum timbul hematemesis didahului muntah-muntah hebat yang
pada akhirnya baru timbul perdarahan. misalnya pada peminum alkohol
atau pada hamil muda. Biasanya disebabkan oleh karena terlalu sering
muntah - muntah hebat dan terus - menerus. (Mubin, 2014)
4) Esofagitis dan tukak esophagus
Esophagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering
intermiten atau kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul
melena daripada hematemesis. Tukak di esophagus jarang sekali
mengakibatkan perdarahan jika dibandingka dengan tukak lambung dan
duodenum. (Mubin, 2014)
b) Kelainan di lambung
a. Gastritis erisova hemoragika
Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul setelah penderita minum
obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung. Sebelum muntah penderita
mengeluh nyeri ulu hati. (Mubin, 2014)
b. Tukak lambung
Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah , nyeri ulu hati dan
sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrium yang
berhubungan dengan makanan. Sifat hematemesis tidak begitu masif dan
melena lebih dominan dari hematemesis. (Mubin, 2014)
Kelainan darah: polisetimia vera, limfoma, leukemia, anemia,
hemofili, trombositopenia purpura. (Mubin, 2014)
C. Manifestasi klinik
Tanda dan gejala yang dapat di temukan pada pasien hematemesis melena
adalah muntah darah (hematemesis), mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena),
mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia), syok (frekuensi denyut jantung
meningkat, tekanan darah rendah), akral teraba dingin dan basah, penyakit hati kronis
(sirosis hepatis), dan koagulopati purpura serta memar, demam ringan antara 38 -39°
C, nyeri pada lambung / perut, nafsu makan menurun, hiperperistaltik, jika terjadi
27
perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya penurunan Hb dan Ht
(anemia) dengan gejala mudah lelah, pucat nyeri dada, dan pusing yang tampak setelah
beberapa jam, leukositosis dan trombositosis pada 2-5 jam setelah perdarahan, dan
peningkatan kadar ureum darah setelah 24-48 jam akibat pemecahan protein darah oleh
bakteri usus (Mubin, 2014)
Gejala yang ada yaitu:
1. Muntah darah (hematemesis)
2. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)
3. Mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia)
4. Denyut nadi yang cepat, TD rendah
5. Akral teraba dingin dan basah
6. Nyeri perut
7. Nafsu makan menurun. (Mubin, 2014)
Jika terjadi perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya
anemia, seperti mudah lelah, pucat, nyeri dada dan pusing. (Mubin, 2014)
4. Bagaimana mekanisme dari perdarahan saluran cerna bagian atas
Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat berasal dari esofagus, lambung, dan
duodenum. Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat dikategorikan berdasarkan
faktor anatomi dan patofisiologi: ulseratif, vaskular, traumatis, iatrogenik, tumor,
hipertensi portal. Penyebab paling umum dari perdarahan saluran cerna bagian atas
adalah penyakit ulkus peptikum termasuk dari penggunaan aspirin dan obat anti
inflamasi non-steroid (NSAID), perdarahan varises, robekan Mallory-Weiss dan
neoplasma termasuk kanker lambung. Penyebab lain yang relatif umum termasuk
esofagitis, gastritis erosif/duodenitis, ektasia vaskular dan lesi Dieulafoy. (Kim,2014)
Penyebab dari hematemesis meliputi:
1. Varises esofagus
Varises yang membesar, pembengkakan pembuluh darah di lapisan
kerongkongan atau perut. Mereka salah satu kemungkinan komplikasi sirosis
hati. Pada sirosis, bekas luka jaringan hati menghalangi aliran darah melalui
hati. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan pada vena yang membawa
darah dari usus ke hati (vena portal). Tekanan yang meningkat mendorong
kembali ke usus dan menyebabkan pembuluh darah membengkak di
28
kerongkongan. Pembengkakannya cukup rapuh dan mungkin berdarah berat ke
tenggorokan. (Kim,2014)
2. Peradangan Oesophagus (esofagitis)
Sering disebabkan oleh refluks asam dari lambung (penyakit refluks gastro-
esofagus (GORD).Kerongkongan yang meradang terkadang berdarah.
(Kim,2014)
3. Sindrom Mallory-Weiss
Adalah perdarahan yang disebabkan oleh robekan pada lapisan
kerongkongan atau perut. Robekan dapat disebabkan oleh apa pun yang
menyebabkan peningkatan tekanan secara tiba-tiba dilambung atau
kerongkongan. Misalnya, muntah atau muntah berulang, mengejan berlebihan,
batuk keras atau cegukan. (Kim,2014)

5. Jelaskan penyakit apa saja yang dapat menyebabkan muntah kehitaman dan
melena/feses kehitaman
1. Varises esophagus
Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran abnormal
pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah. Esofagus adalah saluran yang
menghubungkan antara kerongkongan dan lambung (Robins, 2007).
Adapun tanda dan gejala dari perdarahan varises esophagus yaitu :
syok,pusing,sangat haus,muntah arah,tinja berwarna hitam,kencin menjadi sedikit.
(Robins.2007)
2. Karsinoma esofagus
Karsinoma esofagus adalah salah satu kanker yang menyerang kerongkongan
atau esofagus. Kondisi ini terjadi akibat adanya pertumbuhan abnormal jaringan
epitel
Gejala-gejala yang sering timbul adalah kesulitan menelan (disfagia),
penurunan berat badan, nyeri telan (odinophagia), muntah, serak (hoarseness),
batuk, regurtitasi, muntah darah dan berak hitam (hematemesis dan melena), anemia
akibat kekurangan zat besi, nyeri, rasa tidak nyaman pada faring(pharyngeal
discomfort), hiccups (akibat paralisis diafragma), horner’s syndrome (penekanan
pada saraf simpatik daerah dada yang mengakibatkan ptosis, miosis, dan tidak
29
berkeringat), sindroma vena cavas uperior, efusi pleura, ascites keganasan, nyeri
tulang. (Camilleri,2005)
3. Ulkus peptikum
Ulkus peptikum disebabkan oleh sekresi asam dan pepsin yang berlebih oleh
mukosa lambung atau berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalis
untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks asam-pepsin (Guyton dan
Hall, 2007).
Salah satu gejala yang ditimbulkan berupa feses berwarna hitam, sesak napas,
hilangnya nafsu makan, berat badan berkurang, serta mual dan muntah. (Guyton
dan Hall, 2007).
4. Gastritis
Gastritis adalah peradangan mukosa lambung yang dapat bertifat
akut,kronik,difus atau lokal.Menurut penelitian sebagian besar gastritis disebabkan
oleh infeksi bacteri H.Pylori.Selain itu,beberapa bahan yang sering dimakan dapat
menyebabkan rusaknya sawar mukosa pelindung lambung. (Wijaya ,2013).
Adapun tanda dan gejala gastritis adalah nyeri epigastrium, mual, muntah,
hemateis, melena, anoreksia, dan nyeri ulu hati. (Suratun, 2010)
6. Sebutkan penyakit apa saja yang menyebabkan nyeri epigastrium
1. Ulkus peptikum (IPD,2011)
2. Gastritis (Wijaya,2013)
3. Kanker lambung ( Guyton,2007)

7. Apa hubungan usia dan jenis kelamin berdasarkan skenario


Pada skenario, pasien terkena ulkus peptikum, Ulkus peptikum dapat mengenai
semua usia dengan rentan usia diatas 40 tahun, sering terjadi pada laki-laki tetapi bisa
juga terjadi pada perempuan, tergantung dari penggunaan obat anti inflamasi. Penyebab
meningkatnya risiko ulkus peptikum pada usia lanjut karena menurunnya faktor dari
pertahanan lambung dan peningkatan penggunaan obat anti inflamasi.
(Choundhary,2014)
Dimana konsumsi obat anti inflamasi dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan terhambatnya produksi/sintesis dari prostaglandin. Prostaglandin sendiri
berfungsi dalam mengatur aktivitas molekuler pada sel lambung, antara lain

30
mengurangi aktifitas sel mast dan menghambat adhesi leukosit, serta mengatur
kecukupan peredaran darah untuk mukosa lambung. Obat anti inflamasi juga berperan
langsung dalam kerusakan mukosa dengan mengerahkan neutrofil dan memproduksi
reactive oxygen species (ROS) yang menumbulkan stress oksidatif. (Choundhary,2014)
8. Jelaskan hubungan mengkonsumsi obat herbal dan obat pereda nyeri selama 1
tahun terakhir terhadap keluhan pada skenario
Terdapat hubungan konsumsi obat pereda nyeri selama 1 tahun terakhir dengan
gejala yang timbul yaitu hematemesis dan melena. Pada scenario pasien ini
mengkonsumsi obat pereda nyeri yang paling sering digunakan yaitu golongan NSAID
(Antiinflamasi Non-Steroid). NSAID ini dapat menghambat sintesis prostaglandin yang
jika terjadi hambatan sintesis prostaglandin akan mengurangi ketahanan mukosa,
dengan efek berupa lesi akut mukosa gaster bentuk ringan sampai berat. NSAID
merusak lambung melalui 2 mekanisme yaitu topical dan sistemik. Kerusakan mukosa
secara topical terjadi karena NSAID bersifat asam sehingga trapping ion hydrogen
masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID yaitu kerusakan
mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun secara bermakna. Seperti
diketahui prostaglandin menurun merupakan substansi sitoprotektif yang sangat
penting bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga
aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan
meningkatkan epitel mukosa lambung. (Vaanipriya, 2016)
9. Jelaskan penyebab anemia pada skenario
Berdasarkan skenario pasien datang dengan keluhan muntah kehitaman di pagi
hari, sehingga dapat disimpulkan penyebab anemia pada skenario yaitu karena
perdarahan yang merupakan salah satu faktor penyebab anemia defisiensi besi dimana
kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1
ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2
mg) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi. (Fitriany.2015)
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy,
ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin,
obat anti inflamasi non steroid). (Fitriany.2015)

31
Pada skenario pasien juga memiliki riwayat minum obat antasida dimana obat
golongan tersebut dapat menghambat penyerapan zat besi sehingga bisa menjadi salah
satu faktor terjadinya anemia. (Snook.2021)

10. Jelaskan interpretasi dari hasil pemeriksaan colok dubur, feses kehitaman
Feses hitam atau melena adalah kondisi keluarnya tinja berwarna kehitaman
ketika seseorang buang air besar. Kondisi ini terjadi karena adanya pendarahan pada
saluran pencernaan atas.Saluran cerna atas meliputi kerongkongan (esofagus),
lambung, hingga usus halus. Feses dapat berwarna kehitaman karena telah melewati
proses pencernaan sebelum dikeluarkan.Melena bukanlah penyakit, melainkan sebuah
gejala. (Heetun, 2018)
Penyebab utama feses kehitaman adalah pendaraha saluran cerna atas.
Beberapa factor resiko yang berkaitan dengan pendaran saluran cerna atas yaitu:

1. Usia
Perdarahan SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat pada
usia >60 tahun.
2. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Peningkatan risiko komplikasi ulkus (rawat inap, operasi, kematian) terjadi pada
orang tua yang mengkonsumsi OAINS. Jenis-jenis OAINS yang sering
dikonsumsi adalah ibuprofen, naproxen, indomethacin, piroxicam, asam
mefenamat, diklofenak. (Heetun, 2018)
Digital rectal examination pada perdarahan gastrointestinal dapat membantu
mendeteksi adanya gross blood, darah yang bercampur tinja, atau melena. Darah pada
sarung tangan berwarna kehitaman berasal dari saluran gastrointestinal atas. Bila pada
pemeriksaan ditemukan melena di pasien dengan perdarahan gastrointestinal atas
(nonvariseal) maka risiko perdarahan ulang dan mortalitas lebih tinggi. (Heetun, 2018)

11. Mengapa pada saat aspirasi cairan lambung didapatkan cairan lambung seperti
ampas kopi
A. Cairan Lambung
a) Definisi yang banyak digunakan untuk menyatakan intoleransi asupan adalah
adanya

32
b) Volume residu lambung ≥ 2 ml formula tak tercerna (undigested formula),
c) Volume residu gaster ≥ 2 ml berwarna hijau-empedu (billious residual)
ataupun
d) Volume residu gaster ≥ 3 ml berwarna hijau. Karakteristik dari jenis dan
volume aspirasi lambung dapat memberikan petunjuk klinis sebagai gejala
yang penting mengenai adanya penyebab masalah pada neonatus (Gomella,
2004). (Walter, 2002; Fletcher, 1994).
Residu lambung warna cokelat-darah (bloody in colour) Sering didapatkan
pada berbagai penyakit seperti :

1) Trauma oleh karena intubasi selang nasogastrik


2) Manifestasi darah ibu
3) Gangguan perdarahan, antara lain defisiensi vitamin K, DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation), dan penyakit koagulasi
congenital yang lain:
a) Ulkus lambung
b) Asfiksia fetal berat
c) Necrotizing Enterocolitis (NEC)
d) Medikasi. (Walter, 2002; Fletcher, 1994).
Beberapa obat diketahui dapat mengakibatkan perdarahan lambung, antara lain
tolazoline, indometacin dan kortikosteroid.Penilaian volume aspirasi lambung lebih
dari 20% total formula yang diberikan sebelumnya menurut jenis dan karakteristik
residu lambung dapat disebabkan oleh berbagai hal. Diperlukan pemeriksaan yang teliti
baik secara klinis maupun dengan pemeriksaan penunjang (Walter, 2002; Fletcher,
1994).

12. Jelaskan mekanisme kerja obat antasida dalam mengurangi keluhan terkait
skenario
Antasida mengurangi gejala ulkus gastrik dengan meningkatkan pH intragastrik
dengan mengubah asam lambung menjadi garam dan air. Kapasitas antasid dalam
menetralkan asam lambung bervariasi, bergantung pada mula kerja, yang dipengaruhi
oleh kelarutan dan kecepatan netralisasi asam, dan masa kerjanya dipengaruhi oleh
pengosongan lambung. (AHFS. 2011)
33
13. Jelaskan langkah langkah diagnosis terkait skenario
Ulkus peptikum dapat didiagnosa melalui anamnesis,pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
- Identitas pasien
- Keluhan utama
- Onset
- Gejala lain yang berhubungan
- Menggali riwayat penyakit dahulu dan sekarang yang berkaitan diantaranya
riwayat kebiasaan dan riwayat keluarga (FK UNHAS, 2018).
Pada anamnesis pasien akan mengeluh nyeri pada perut sebelah kiri, mual,
muntah kembung dan bersendawa.
B. Pemeriksaan Fisik
• Inspeksi
- Periksa rambut, konjungtiva, sklera dan kulit
- Kulit thoraks, kontur abdomen, kontur usus, skar, kongesti vena, peristaltik
usus yang tampak atau adanya massa (FK UNHAS, 2018).
• Auskultasi
- Dengan menggunakan membran stetoskop di atas mid abdomen untuk
mendengarkan bising usus.
- Bruit dari karsinoma pankreas dikiri regio epigastrium
- Pemeriksaan khusus asites: pudle sign, shifting dullness, dan fluid wave (FK
UNHAS, 2018).
• Palpasi
- Palpasi abdomen dengan ringan denga jari-jari adduksi kedalaman 1 cm, dan
palpasi dalam dengan kedalaman 4-5 cm tujuan untuk menemukan struktur
dibawahnya.
- Menilai ekspresi wajah pasien
- Palpasi abdomen biasa ditemukan nyeri tekan yang berat hingga abdomen
seperti papan. (FK UNHAS, 2018).
• Perkusi

34
- Perkusi pada ke empat kuadran abdomen.
- Perkusi batas paru hepar digaris midklavikula kanan dimulai dari ICS II
kebawah.
- Untuk menentukan lokasi dan ukuran hepar (FK UNHAS, 2018).
C. Pemeriksaan Penunjang
• Radiologi
Pemeriksaan Radiologi dengan barium meal kontras ganda dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis ulkus gaster. Radiografi dengan barium paling
umum digunakan untuk menegakkan ulkus peptikum. Tingkat sensitivitas
mencapai 90%. Sensitivitas ini menurun jika terdapat ulkus dengan ukuran <
0,5 cm, adanya jaringan parut, atau pada pasien pasca operasi. (Harrison, 2008)

Gambaran 7. Radiologi Barium pada Ulkus Peptikum


(Sumber: Horrison. 2015)
• Endoskopi
Diagnosis pasti ulkus peptikum dapat ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan endoskopi yang merupakan pemeriksaan gold standard dari ulkus
peptikum. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kamera kecil ke
dalam lambung dan didapatkan hasil berupa berupa luka terbuka dengan
pinggiran teratur, mukosa licin, dan normal disertai lipatan yang teratur dari
pinggiran ulkus. (Harrison, 2008)
• Oesofagus Maag Duodenum (OMD)

35
adalah teknik pemeriksaan secara radiologi saluran pencernaan atas dari organ
oesofagus maag duodenum menggunakan media kontras barium swallow dan
barium meal, kemudian diamati dengan fluoroscopy. (Bontrager, 2001)
Tujuan pemeriksaannya untuk melihat kelainan-kelainan oesofagus, maag,
dan duodenum. Kontra indikasi pada penyakit obstruksi usus besar dan
persangkaan perforasi tidak boleh menggunakan BaSO4 tetapi menggunakan
water soluble kontras (urografin, iopamiro)
Pemeriksaan OMD dengan menggunakan media kontras dibagi menjadi 3
macam yaitu :
• Barium swallow adalah pemeriksaan radiologis oesofagus dengan cara
menelan media kontras
• Barium meal adalah pemeriksaan radiologis lambung dan duodenum,
colon dengan cara meminum media kontras
• Barium follow through adalah pemeriksaan radiologis usus halus dengan
meminum media kontras yang merupakan kelanjutan dari pemeriksaan
barium meal yang memerlukan waktu beberapa jam untuk dapat sampai
ke proses pencernaan makanan. (Ballinger, 2004)
• Teknik pemeriksaan OMD
Teknik pemeriksaan OMD yang pertama kali dilakukan adalah
pasien datang ke radiologi kemudian pasien diminta untuk ganti baju, setelah
itu kita mempersiapkan media kontras yang akan dipakai yaitu membuat
campuran antara barium dan air. Pemeriksaan oesofagus dapat menggunakan
2 perbandingan yaitu dengan perbandingan 1 : 1 posisi pasien dalam keadaan
berdiri atau perbandingan 1 : 4 posisi pasien dalam keadaan tiduran. Pada
pemeriksaan maag duodenum perbandingan campuran yang digunakan adalah
1 : 4 (Bontrager, 2001)
• Pemeriksaan Laboratorium
- Sekresi asam lambung,
- Konsentrasi serum gastrin pada saat puasa yang digunakan pada pasien yang
tidak ada perbaikan terapi atau diduga hipersekresi
- Hematokrit dan hemoglobin yang rendah (terkait pendarahan)

36
- danstoolhemoccult test menunjukan positif
- Test terhadap H. pylori. (Harrison, 2008)

14. Jelaskan DD dan DS berdasarkan skenario


A. Ulkus peptikum
Definisi
Tukak gaster jinak adalah suatu gambaran bulat atau semi bulat/oval, ukuran >
5 mm kedalaman sub mukosal pada mukosa lambung akibat terputusnya
kontinuitas/integritas mukosa lambung. Tukak gaster merupakan luka terbuka
dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar tukak ditutupi debris.
(Stiegmann V. 2006)
Epidemiologi
Tukak gaster tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi berbeda tergantung
pada sosial ekonomi, demografi, dijumpai lebih banyak pada pria meningkat pada
usia lanjut dan kelompok sosial ekonomi rendah dengan puncak pada dekade
keenam. Insidensi dan kekambuhan/rekurensi saat ini menurun sejak ditemukan
kuman Helicobacter pylori (H. pylori) sebagai penyebab dan dilakukan terapi
eradikasi. Di Britania Raya sekitar 6 - 20% penduduk menderita tukak pada usia
55 tahun, sedang prevalensinya 2 -4%. Di USA ada 4 juta pasien gangguan asam-
pepsin, prevalensi 12% pada pria dan 10% perempuan dengan angka kematian
pasien 15.000 pertahun dan menghabiskan dana $10 Milyar/tahun. (Stiegmann V.
2006)
Secara klinis tukak duodeni lebih sering dijumpai dari pada tukak gaster. Pada
beberapa negara seperti Jepang dijumpai lebih banyak tukak gaster daripada tukak
duodeni. Pada autopsi tukak gaster dan duodeni dijumpai hampir sama banyak, hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor. (Stiegmann V. 2006)
Autopsi biasanya dilakukan pada usia lanjut, dimana pemakaian obat OAINS
meningkat, sehingga kejadian tukak gaster juga meningkat. Tukak gaster ukuran
lebih besar dan lebih menonjol, sehingga pada pemeriksaan autopsi lebih sering
/mudah dijumpai dibandingkan tukak duodeni. (Stiegmann V. 2006)

37
Etiologi
Ulkus peptikum paling sering disebabkan infeksi H. pylori dan penggunaan
OAINS. Etiologi lain adalah infeksi herpes simpleks, cytomegalovirus atau
tuberku- losis; obat-obatan seperti kortikosteroid, bifosfonat. klopidogrel, kokain
dan KCI; penyakit seperti serosis hepatis, penyakit Crohn, gagal ginjal kronis, sar-
koidosis atau kelainan mioproliferatif; trauma/stres akibat bedah, syok
hipovolemia, Sindrom Zollinger-El- lison atau penyakit kritis lain. Stres psikologis
juga diperkirakan dapat memicu timbulnya ulkus peptikum. Merokok
menyebabkan defek proses penyembuhan mukosa lambung dan menciptakan
suasana yang nya man untuk infeksi H.pylori. Pasien dengan ulkus gaster memiliki
kadar sekresi asam normal atau rendah sehingga dihipotesiskan bahwa gangguan
terletak pada mekanisme defensir mukosa lambung atau karena refluks empedu
dan enzim pankreas dari duodenum yang merusak mukosa gaster. (Stiegmann V.
2006)
Pathogenesis
Faktor Asam Lambung "No Acid No Ulcer" Schwarst 1910; Pengaturan Sekresi
Asam Lambung pada Sel Parietal. (Stiegmann V. 2006)
Sel pariteal/oxyntic mengeluarkan asam lambung HCI, sel peptik / zimogen
mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCI dirubah jadi pepsin dimana HCI dan
pepsin adalah faktor agresif terutama pepsin dengan mileu pH < 4 (sangat agresif
terhadap mukosa lambung). Bahan iritan akan menimbulkan defek barier mukosa
dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin terangsang untuk lebih banyak
mengeluarkan asam lambung. timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis akut/kronik dan tukak
gaster. (Stiegmann V. 2006)
Membran plasma sel epitel lambung terdiri dari lapisan - lapisan lipid bersifat
pendukung barier mukosa. Sel parietal dipengaruhi faktor genetik, yaitu seseorang
dapat mempunyai massa sel parietal yang besar/ sekresi lebih banyak. Tukak gaster
yang letaknya dekat pilorus atau dijumpai bersamaan dengan tukak duodeni/antral
gastritis biasanya disertai hipersekresi asam, sedangkan bila lokasinya pada tempat
lain dilambung/ pangastritis biasanya disertai hiposekresi asam. (Stiegmann V.
2006)
38
Tukak terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif/ asam &
pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah, PG), bisa faktor agresif
meningkat atau faktor defensif menurun. (Stiegmann V. 2006)
Helycobacter pylori (Hp), " NO HP No Ulcer " Warren and Marshall 1983 HP
adalah kuman patogen gram negatif berbentuk batang /spiral, microaerofilik
berflagela hidup pada permukaan epitel, mengandung urease (Vac A, cag A, PAI
dapat mentrans lokasi cag A kedalam sel host) hidup diantrum, migrasi ke
proksimal lambung dapat berubah menjadi kokoid suatu bentuk dorman bakteri.
Infeksi kuman HP akut dapat menimbulkan pan gastritis kronik diikuti atrofi sel
mukosa korpus dan kelenjar, metaplasia intestinal dan hipoasiditas. Proses ini
dipengaruhi oleh faktor host, lamanya infeksi (lokasi, respon inflamasi, genetik),
bakteri (virulensi, struktur, adhesin, porins, enzim (urease vac A, cag A. dll) dan
lingkungan (asam lambung, OAINS, empedu dan faktor iritan lainnya) dan
terbentuklah gastritis kronik tukak gaster, Mucosal Associated Lymphoid Tissue
(MALT) limfoma dan Kanker Lambung. HP dapat menyebabkan gastritis kronis
aktif tipe B dan tukak peptikum. Bakteri Hp ini merupakan keluarga dari
Campylobacter yang digambarkan pertama kali oleh Marshall pada tahun 1983. HP
merupakan penyebab terbanyak dari tukak pada antrum gaster dan tukak duodeni,
dan selanjutnya kuman ini berperan terbentuknya MALT. (Stiegmann V. 2006)
Tukak gaster kebanyakan disebabkan infeksi HP (30-60%) dan OAINS
sedangkan tukak duodenum hampir 90% disebabkan oleh HP, penyebab lain
adalah Sindroma Zollinger Elison. (Stiegmann V. 2006)
Kebanyakan kuman patogen memasuki barrier dari mukosa gaster, tetapi HP
sendiri jarang sekali memasuki epitel mukosa gaster ataupun bagian yang lebih
dalam dari mukosa tersebut. Biasanya infeksi HP yang terjadi bersifat asimtomatik
dimana diperkirakan terdapat dua milliar penduduk menderita infeksi Hp.
Terjadinya penyakit ataupun asimtomatik tergantung kepada dua hal, yaitu faktor
host dan adanya perbedaan genetik dari strain HP yang ada. (Stiegmann V. 2006)
Faktor risiko
a. Eksogen: obat-obatan, alkohol, infeksi bakteri (terutama H.pylori), rokok
b. Endogen: asam lambung, pepsin, enzim pankreas, empedu. (Stiegmann V.
2006)
39
• Infeksi Helicobacter pylori
Angka prevalensi infeksi H.pylori di negara-negara berkembang
mencapai 80%, sementara di negara-ne- gara maju berkisar antara 20-50%.
Sekitar 10-15% populasi yang terinfeksi mengidap penyakit ulkus peptikum.
Ulkus duodenum lebih sering diasosiasikan dengan infeksi H. pylori
dibandingkan ulkus gaster. Faktor risiko infeksi H.pylori adalah status sosioe-
konomi dan pendidikan yang rendah, lahir di negara berkembang, lingkungan
tempat tinggal padat dan tidak higienis, makanan dan minuman tidak bersih,
serta pajanan terhadap cairan lambung dari individu yang telah terinfeksi. H.
pylori adalah bakteri gram negatif berbentuk S-shaped yang ditularkan secara
fekal oral dan memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam suasana asam
lambung, lalu melakukan penetrasi dan berkoloni. H. pylori menghasilkan
urease yang memecah urea menjadi ammonia membuat lingkungan sekitarnya
menjadi basa. Amonia bersama dengan protein proinflamasi, sitotoksin serta
enzim protease dan lipase yang dihasilkan oleh bakteri bersifat destruktif
terhadap mukosa. H.pylori juga memiliki kemampuan menye babkan disfungsi
sel-sel imun, meningkatkan produksi Gastroenterologi gastrin serta menurunkan
produksi mukus dan bikar- bonat, yang berkontribusi terhadap terjadinya ulkus
di lambung. Juga diperkirakan terdapat pengaruh genetik terhadap kerentanan
terinfeksi H.pylori. (Stiegmann V. 2006)
• Obat-obatan Antiinflamasi Non-Steroid (OAINS)
Mekanisme OAINS menyebabkan penyakit ulkus peptikum terdiri dari
efek langsung terhadap mukosa dan efek sistemik. OAINS bersifat asam
sehingga pada kontak langsung dengan mukosa dapat menyebabkan kerusakan
epitel. Efek sistemik OAINS adalah melalui inhibisi sintesis prostaglandin.
Prostaglandin meme- gang peranan penting dalam pertahanan dan rege- nerasi
sel epitel mukosa karena berfungsi menstim- ulasi produksi mukus dan
bikarbonat, menghambat produksi asam lambung oleh sel parietal dan memper-
tahankan sirkulasi dan regenerasi. OAINS bekerja menghambat enzim
cyclooxygenase (COX) secara non-selektif sehingga menghilangkan efek
protektif COX-1 di jaringan lambung, ginjal, sel-sel endotel dan trombosit.
Belakangan telah banyak dikem- bangkan golongan penghambat selektif
40
terhadap COX- 2 yang menurunkan risiko kerusakan mukosa saluran cerna,
namun golongan ini ternyata menimbulkan efek samping kardiovaskular dan
serebrovaskular. Penggunaan anti agregasi trombosit seperti klopi- dogrel
meskipun tidak menyebabkan kerusakan secara langsung, namun dapat
memperlambat proses angio- genesis dan penyembuhan luka erosi atau ulseratif
sehingga berefek buruk bila bersamaan dengan infeksi H.pylori, penggunaan
OAINS dan asam yang lambung tinggi. (Stiegmann V. 2006)
• Asam Lambung dan Pepsin
Beberapa individu memiliki sel-sel parietal yang lebih besar dan
mensekresi HCI dalam jumlah lebih banyak. HCl akan mengaktifkan
pepsinogen menjadi pepsin dan keduanya secara bersama-sama bersifat sangat
erosif terhadap pertahanan mukosa lambung. Bila pertahanan mukosa lambung
rusak, ion H dan pepsin dapat berdifusi masuk kedalam parenkim menyebabkan
inflamasi dan kerusakan jaringan. (Stiegmann V. 2006)
Manifestasi klinis
Secara umum pasien tukak gaster biasanya mengeluh dispepsia. Dispepsia
adalah suatu sindroma kllinik / kumpulan keluhan beberapa penyakit saluran
cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa / terapan, rasa
terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang. (Stiegmann V. 2006)
Dispepsia secara klinis dibagi atas :
1). Dispepsia akibat gangguan motilitas, Pada dispepsia akibat gangguan
motilitas keluhan yang paling menonjol adalah perasaan kembung,
rasa penuh ulu hati setelah makan, cepat merasa kenyang disertai
sendawa
2). Dispepsia akibat tukak;
3). Dispepsia akibat refluks;
4). Dispepsia tidak spesifik. (Stiegmann V. 2006)
Pasien tukak peptik memberikan ciri ciri keluhan seperti nyeri ulu hati,
rasa tidak nyaman/discomfort disertai muntah. Pada tukak duodeni rasa sakit
timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa membangunkan pasien tengah
malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum obat antasida (Hunger Pain
Food Relief = HPFR). Rasa sakit tukak gaster timbul setelah makan, berbeda
41
dengan tukak duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa sakit tukak gaster
sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodeni sebelah kanan garis tengah perut. Rasa
sakit bermula pada satu titik (pointing sign) akhirnya difus bisa menjalar
kepunggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau
mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak keorgan pankres. (Stiegmann V.
2006)
Walaupun demikian rasa sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis
tukak gaster karena dispepsia nontukak juga bisa menimbulkan rasa sakit yang
sama, juga tidak dapat digunakan lokasi sakit sebelah kiri atau kanan tengah
perut. Adapun tukak akibat obat OAINS dan tukak pada usia lanjut/manula
biasanya tidak menimbulkan keluhan, hanya diketahui melalui komplikasinya
berupa perdarahan dan perforasi. Muntah kadang timbul pada tukak peptik
disebabkan edema dan spasme seperti tukak kanal pilorik (obstruksi gastric
outlet). Tukak prepilorik dan dudodeni bisa menimbulkan gastric outlet
obstruction melalui terbentuknya fibrosis/oedem dan spasme. (Stiegmann V.
2006)
Diagnosis
Baku emas diagnosis ulkus peptikum adalah esofagogastroduodenoskopi
(EGD) karena dapat langsung memvisualisasi mukosa gastroduodenum dan
melakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi dan identifikasi infeksi
H.pylori. EGD diindikasikan bila pasien dengan gejala sugestif ulkus peptikum
disertai:
1. Tanda bahaya, yaitu: Perdarahan, Anemia, Berat badan turun tanpa sebab
yang jelas, Disfagia yang progresif, Odinofagia, Muntah rekuren dan
persisten, Riwayat keganasan gastrointestinal dalam keluarga.
2. Awitan gejala pertama kali pada usia > 55 tahun.
3. Radiografi dengan barium kontras ganda meskipun kurang sensitif untuk
ulkus duodenum dan gaster berukuran >0,5 cm atau disertai fibrosis.
4. Pasien berusia < 55 tahun dan tanpa tanda bahaya. (Stiegmann V. 2006)
Penatalaksanaan
a. Non Medikamentosa

42
Istirahat. Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat
jalan. bila kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap di
rumah sakit. Di Inggris 25% pasien tukak peptik dengan keluhan tanpa
pengobatan bisa bekerja normal, 50% pasien tukak dengan keluhan, disertai
pengobatan bisa bekerja normal, sedang 25% dengan komplikasi harus rawat
inap/rumah sakit. Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap
walaupun mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam
istirahat berkurangnya refluks empedu, stres dan penggunaan analgetik. Stres
dan kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam lambung dan
penyakit tukak. Walaupun masih ada silang pendapat mengenai hubungan
stres dengan asam lambung, sebaiknya pasien hidup tenang dan menerima
stres dengan wajar. (Stiegmann V. 2006)
Diet. Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung
susu tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus dapat
merangsang pengeluaran asam lambung. Cabai, makanan merangsang,
makanan mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa
pasien tukak dan dispepsia non tukak, walaupun belum didapat bukti
keterkaitannya. Pasien kemungkinan mengalami intoleransi terhadap
beberapa jenis makanan tertentu atau makanan tersebut mempengaruhi
motilitas gaster. Dalam hal ini dianjurkan pemberian makanan dalam jumlah
yang moderat atau menghindari makanan tersebut. Pandangan masa kini
makanan tidak mempengaruhi kesembuhan tukak. Beberapa peneliti
menganjurkan makanan biasa, lunak, tidak merangsang dan diet seimbang.
(Stiegmann V. 2006)
Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster kronik,
menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus
duodeni. menambah refluks duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus
sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak. Merokok sebenarnya tidak
mempengaruhi sekresi asam lambung tetapi dapat memperlambat
kesembuhan luka tukak serta meningkatkan angka kematian karena efek
peningkatan kekambuhan penyakit saluran pernafasan, penyakit paru

43
obstruksi menahun (PPOM) dan penyakit jantung koroner. (Stiegmann V.
2006)
Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan. Air jeruk
yang asam, coca cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik pada
mukosa lambung tetapi dapat menambah sekresi asam lambung dan belum
jelas dapat menghalangi penyembuhan tukak dan sebaiknya diminum jangan
sewaktu perut kosong. Perubahan gaya hidup dan pekerjaan kadang-kadang
menimbulkan kekambuhan penyakit tukak. Obat-obatan. OAINS sebaiknya
dihindari. Pemberian secara parenteral (supositorio dan injeksi) tidak terbukti
lebih aman. Bila diperlukan dosis. (Stiegmann V. 2006)
OAINS diturunkan atau dikombinasi dengan ARH2/ PPI/misoprostrol.
Pada saat ini sudah tersedia COX 2 inhibitor yang selektif untuk penyakit
OA/RA yang kurang menimbulkan keluhan perut. Pemakaian aspirin dosis
kecil untuk pasien kardiovaskular belum menjamin tidak terjadi kerusakan
mukosa lambung. Penggunaan parasetamol atau kodein sebagai analgetik
dapat dipertimbangkan. (Stiegmann V. 2006)
b. Medikamentosa
Antasida. Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida
sering digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Pada
masa lalu sebelum kita kenal adanya ARH2 yg dapat memblokir pengeluaran
asam. antasida adalah obat satu satunya untuk tukak peptik. Preparat yang
mengandung magnesium dapat menyebabkan BAB/tidak berbentuk/ loose,
tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan hipermagnesemia
dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium menyebabkan konstipasi dan
neurotoksik tapi bila kombinasi kedua komponen saling menghilangkan efek
samping schingga tidak terjadi diare, ataupun konstipasi. (Stiegmann V.
2006)
Dosis: 3 xI tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari dan sebelum tidur 3 jam
setelah makan). Efek samping berinteraksi dengan obat digitalis, INH.
barbiturat, salisilat dan kinidin. Antasida yang mengandung calcium carbonat
menimbulkan MAS /Milk Alkaline syndrome (hiperkalsemia.

44
hipefosfatemia, renal calcinosis) dan progresi kearah gagal ginjal.
(Stiegmann V. 2006)
• Obat penangkal kerusakan mukus
Koloid bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth
SubSalisilat/BSS). Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan membentuk
lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya
terhadap pengaruh asam dan pepsin, berikatan dengan pepsin sendiri.
merangsang sekresi PG, bikarbonat, mukus. Efek samping jangka panjang
dosis tinggi khusus CBS neuro toksik. (Stiegmann V. 2006)
Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2
serta adanya efck bakterisidal terhadap Helicobacter pylori schingga
kemungkinan relaps berkurang. (Stiegmann V. 2006)
Dosis: 2 x 2 tablet sehari.Efek samping tinja berwarna kehitaman
sehingga menimbulkan keraguan dengan perdarahan. Sukralfat. Suatu
komplek garam sukrosa dimana grup hidroksil diganti dengan aluminium
hidroksida dan sulfat. Mekanisme kerja kemungkinan melalui pelepasan
kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul
protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar tukak, yang melindungi
tukak dari pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek lain membantu sintesa
prostaglandin, kerjasama dengan EGF, menambah sekresi bikarbonat dan
mukus, meningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosal. Efek
samping konstipasi, tidak dianjurkan pada gagal ginjal kronik. Dosis: 4 x I
gram sehari. (Stiegmann V. 2006)
Prostaglandin. Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung
menambah sekresi mukus, bikarbonat dan meningkatkan aliran darah
mukosa serta pertahanan dan perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi
asam lambung kurang kuat dibandingkan dengan ARH2. Biasanya
digunakan sebagai penangkal terjadinya tukak gaster pada pasien yang
menggunakan OAINS. PGE/misoprostol yang telah diakui oleh FDA.
(Stiegmann V. 2006)
Dosis 4 x 200 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual,
muntah dan menimbulkan kontraksi otot uterus/ perdarahan schingga tidak
45
dianjurkan pada perempuan yang bakal hamil dan yang menginginkan
kehamilan. (Stiegmann V. 2006)
Antagonis reseptor H2/ARH2 (simetidin, ranitidine, famotidine,
Nizatidine), struktur homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya
memblokir efek histamin pada sel parietal sehingga sel parietal tidak dapat
dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat
reversibel. Pengurangan sekresi asam post prandial dan nokturnal, yaitu
sekresi nokturnal lebih dominan dalam rangka penyembuhan dan
kekambuhan tukak/sikardian. (Stiegmann V. 2006)
Proton pump inhibitor/PPI (Omeprazol, Lansoprazol, Pantoprazol
Rabeprazol, Esomesoprazol). Omeprazol dan Lansoprazol obat terlama
digunakan, keasaman labil dalam bentuk enterik coated granules, dipecah
dalam usus dengan pH 6. Rabeprazole dan Pantoprazole enterik coated tablet,
lipofilik terperangkap kedalam sistem tubolovesikular dan kanalikuli.
(Stiegmann V. 2006)
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K'H. ATPase
yang akan memecah K.H. ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam HCI dari kanalikuli sel parietal kedalam lumen lambung.
(Stiegmann V. 2006)
c. operatif
Tindakan Operasi saat ini frekuensinya menurun akibat keberhasilan
terapi medikamentosa dan endoskopi terapi. Tukak refrakter saat ini
jarang dijumpai. Prosedur operasi yang dilakukan pada penyakit tukak
gaster ditentukan adanya penyertaan tukak duodenum:
1). Tukak antrum dilakukan anterektomi (termasuk tukaknya) dan Bilroth
I anastomosis/ gastroduodenostomi, bila disertai TD dilakukan vagotomi.
Tingginya kejadian rekurensi tukak paska operasi maka prosedur ini
kurang diminati.
2). Tukak gaster dekat EG junction tindakan operasi dilakukan lebih
radikal/subtotal gastrektomi dengan Roux-en- Y/esofagogastro
jejunostomi (prosedur Csendo). Bila keadaan pasien kurang baik lokasi
tukak proksimal dilakukan prosedur Kelling Madlener termasuk
46
anterektomi, biopsi tukak intra operatif dan vagotomi, rekurensi tukak
30%. (Stiegmann V. 2006)
Komplikasi
Perdarahan. Insiden 15 - 25%, meningkat pada usia lanjut (>60 tahun)
akibat adanya penyakit degeneratif dan meningkatnya pemakaian OAINS (20%
tanpa simtom dan tanda penyakit sebelumnya). Sebagian besar perdarahan
berhenti spontan, sebagian memerlukan tindakan endoskopi terapi, bila gagal
dilanjutkan dengan tindakan operasi (5% dari pasien yang memerlukan tranfusi
darah). Pantozol/PPI 2 amp/100 cc NACI 0. 9 drips selama 10 jam secara
parenteral dan diteruskan beberapa hari dapat menurunkan kejadian ulang
perdarahan, pemberian transfusi dengan memperhatikan tanda-tanda
hemodinamik : 1). Tekanan darah sistol < 100 mmHg: 2). HB < 10 gr %; 3).
Nadi > 100/ menit; 4). HT <30/ jam dianjurkan pemberian transfusi dengan
darah segar sampai HT 2 30 Perforasi, rasa sakit tiba tiba, sakit berat, sakit difus
pada perut. Insidensi 6-7%, hanya 2-3% mengalami perforasi terbuka ke
peritoneum, 10% tanpa keluhan / tanda perforasi dan 10% disertai perdarahan
tukak dengan mortalitas yang meningkat. Insiden perforasi meningkat pada usia
lanjut karena proses aterosklerosis dan meningkatnya penggunaan OAINS.
Perforasi tukak gaster biasanya ke lobus kiri hati. dapat menimbulkan fistula
gastro kolik. Penetrasi adalah suatu bentuk perforasi yang tidak terbuka/tanpa
pengeluaran isi lambung karena tertutup oleh omentum/organ perut di sekitar.
Terapi perforasi: dekompresi, pemasangan nasogastrik tube, aspirasi cairan
lambung terus menerus, pasien dipuasakan, diberi nutrisi parenteral total dan
pemberian antibiotika diikuti tindakan operasi. (Stiegmann V. 2006)
Stenosis pilorik/Gastric Outlet Obstruction: Insidensi 1-2 % dari pasien
tukak. Keluhan pasien akibat obstruksi mekanik berupa cepat kenyang. muntah
berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah makan/ post prandial, berat
badan turun. (Stiegmann V. 2006)
Kejadian obstruksi bisa temporer akibat peradangan daerah peri pilorik
timbul odema, spasme. Ini akan membaik bila keradangan sembuh. Penghambat
pompa proton (PPI) amp dalam 100 cc NaCI 0.9 diberi selama 10 jam dan dapat

47
diteruskan selama beberapa hari (7-10 hari) hingga obstruksi hilang. (Stiegmann
V. 2006)
Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis dari suatu tukak sehingga
mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu. (Stiegmann V. 2006)
Terapi: dekompresi, pasang nasogastrik tube, dan aspirasi isi lambung.
puasa/TPN, dilanjutkan dengan pemasangan balon dilatasi dengan endoskopi
dan bila gagal dilakukan tindakan operasi piloroplasti. (Stiegmann V. 2006)
Pencegahan
Karena infeksi H.pylori adalah penyebab tersering dari ulkus peptikum,
maka pencegahan infeksi menjadi unsur yang penting. Nutrisi merupakan aspek
yang juga harus diperhatikan untuk menciptakan suasana yang baik bagi
lambung. (Stiegmann V. 2006)
• Pencegahan Infeksi
Upaya pencegahan infeksi H. pylori dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan tubuh, mencegah penularan dengan penggunaan alat makan
bersamaan, dan cuci tangan yang bersih. Kebersihan merupakan faktor
penting dalam transmisi H. pylori. (Stiegmann V. 2006)
• Pola Makan
Jenis makanan yang harus dihindari adalah makanan yang pedas, asam,
tinggi kafein, minuman berkarbonasi, dan makanan tinggi lemak. Jenis
makanan ini dapat menstimulasi produksi asam lambung. Penting untuk
diingatkan kepada pasien untuk makan tepat waktu minimal 3 kali sehari.
Pola makan yang teratur membentuk pola produksi asam lambung yang lebih
teratur. Hal ini dapat mencegah terjadinya gastritis dan ulkus peptikum.
(Stiegmann V. 2006)
Pada pasien yang sudah mengalami ulkus peptikum, frekuensi makan
dapat ditingkatkan dengan jumlah yang kecil-kecil setiap kali makan.
(Stiegmann V. 2006)
• Omega 3 Polyunsaturated Fatty Acid
Omega 3 polyunsaturated fatty acid (n3-PUFA) merupakan komponen
yang terkandung dalam minyak yang didapat dari berbagai jenis ikan,
sayuran, dan sumber tanaman lain. Penelitian mengindikasikan bahwa n-3
48
PUFA memiliki efek antiradang, antioksidan, dan antimikrobial terhadap H.
pylori. (Stiegmann V. 2006)
• Gaya Hidup
Pasien dengan ulkus peptikum disarankan untuk melakukan perubahan
gaya hidup, seperti menghindari stres, dan tidak berbaring setelah makan.
Gaya hidup sehat juga dapat mencegah pasien dari berbagai penyakit, seperti
arthritis dan gangguan kardiovaskular, yang dapat memaparkan pasien pada
konsumsi obat yang meningkatkan risiko ulkus peptikum (misalnya aspirin
dan NSAID). (Stiegmann V. 2006)
Prognosis
Pasien dengan ulkus peptikum memiliki risiko sebesar 5% dalam
hidupnya untuk mengalami perforasi. Risiko perforasi pada ulkus peptikum
yang disebabkan konsumsi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID)
berkisar 0,3% per pasien tahun, dan insidensi obstruksi adalah 0,1% per pasien
tahun. (Stiegmann V. 2006)
Sebuah studi menunjukkan bahwa pasien perforasi ulkus peptikum
memiliki mortalitas 8,9% pada pasien usia < 65 tahun. Tingkat mortalitas ini
meningkat seiring usia dan dapat mencapai 44,6% pada pasien usia di atas 80
tahun (Stiegmann V. 2006)
B. Varises esophagus
Definisi
Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran
abnormal pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah. Varises esofagus
terjadi jika aliran darah menuju hati terhalang. Aliran tersebut akan mencari
jalan lain, yaitu ke pembuluh darah di esofagus, lambung, atau rektum yang
lebih kecil dan lebih mudah pecah. Tidak imbangnya antara tekanan aliran darah
dengan kemampuan pembuluh darah mengakibatkan pembesaran pembuluh
darah (varises). Varises esofagus biasanya merupakan komplikasi sirosis.
Sirosis adalah penyakit yang ditandai dengan pembentukan jaringan parut di
hati. Penyebabnya antara lain hepatitis B dan C, atau konsumsi alkohol dalam
julah besar. Penyakit lain yang dapat menyebabkan sirosis adalah tersumbatnya
saluran empedu. (Matsumoto. 2006)
49
Epidemiologi
Frekuensi varises esofagus bervariasi dari 30% sampai 70% pada pasien
dengan sirosis, dan 9-36% pasien yang memiliki risiko tinggi varises. Varises
esofagus berkembang pada pasien dengan sirosis per tahun sebesar 5-8% tetapi
varises yang cukup besar untuk menimbulkan risiko perdarahan hanya 1-2%
kasus. Sekitar 4-30% pasien dengan varises kecil akan berkembang menjadi
varises yang besar setiap tahun sehingga akan berisiko terjadinya perdarahan.
(Matsumoto. 2006)

Etiologi
Penyakit dan kondisi yang dapat menyebabkan varises esophagus adalah
sebagai berikut:
• Sirosis Sejumlah penyakit hati dapat menyebabkan sirosis, seperti infeksi
hepatitis, penyakit hati alkoholik dan gangguan saluran empedu yang disebut
sirosis bilier primer.
• Bekuan Darah (Trombosis) Trombosis adalah terbentuknya massa bekuan
darah intravaskuler pada orang yang masih hidup. Dalam hal ini terjadi
trombosis dalam vena portal atau vena yang berhubungan dengan vena portal
yang disebut vena lienalis. Pembesaran bentuk vena pada varises esophagus
terbentuk ketika aliran darah ke hati diperlambat. Seringkali aliran darah
tersebut 5 diperlambat oleh jaringan parut pada hati yang disebabkan oleh
penyakit tertentu pada hati. Aliran darah yang diperlambat menyebabkan
peningkatan tekanan dalam vena besar (vena portal) yang membawa darah
ke hati. Tekanan ini memaksa darah ke dalam vena yang lebih kecil di
dekatnya, seperti vena pada esofagus. Ini menyebabkan vena-vena di sekitar
esofagus menjadi mengembung seperti balon-balon dengan adanya
tambahan darah. Karena venanya berdinding tipis, kadang-kadang vena bisa
pecah dan menyebabkan perdarahan.
• Infeksi parasit. Schistosomiasis adalah infeksi parasit yang ditemukan di
bagian Afrika, Amerika Selatan, Karibia, Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Ini adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit (Genus Schistosoma) yang
masuk ke dalam tubuh manusia dengan menembus kulit, kemudian
50
bermigrasi melalui sistem vena ke vena portal, disana parasit bereproduksi
sehingga dapat menimbulkan gejala penyakit akut maupun kronis. Parasit ini
dapat merusak hati, serta paru-paru, usus dan kandung kemih.
• Budd-Chiari Syndrome Budd-Chiari Syndrome adalah kondisi yang jarang
yang menyebabkan penggumpalan darah yang bisa menyumbat pembuluh
darah yang membawa darah keluar dari hati. (Matsumoto. 2006)
Pathogenesis
Salah satu tempat potensial untuk komunikasi antara sirkulasi splanknik
intraabdomen dan sirkulasi vena sistemik adalah melalui esofagus. Apabila
aliran darah vena porta ke hati terhambat oleh sirosis atau penyebab
lain,hipertensi porta yang terjadi memicu terbentuknya saluran pintas kolateral
di tempat 6 bertemunya sistem porta dan sistemik. Oleh karena itu, aliran darah
porta dialihkan melalui vena koroner lambung ke dalam pleksus vena subepitel
dan submukosa esofagus kemudian ke dalam vena azigos dan vena kava
superior. Peningkatan tekanan di pleksus esofagus menyebabkan pembuluh
melebar dan berkelok kelok yang dikenal sebagai varises. Pasien dengan sirosis
mengalamai varises dengan laju 5%-15% per tahun, sehingga varises terdapat
pada sekitar dua pertiga dari semua pasien sirosis. Varises paling sering
berkaitan dengan sirosis alkoholik. 8 Ruptur varises menimbulkan pendarahan
masif ke dalam lumen, serta merembesnya darah ke dalam dinding esofagus.
Varises tidak menimbulkan gejala sampai mengalami ruptur. Pada pasien
dengan sirosis hati tahap lanjut separuh kematian disebabkan oleh ruptur
varises, baik sebagai konsekuensi langsung perdarahan atau karena koma
hepatikum yang dipicu oleh perdarahan. Meskipun terbentuk, varises
merupakan penyebab pada kurang dari separuh episode hematemesis. Sisanya
sebagian besar disebabkan oleh pendarahan akibat gastritis, ulkus peptik, atau
laserasi esofagus. 8 Faktor yang memicu ruptur varises belum jelas: erosi
mukosa di atasnya yang sudah menipis, meningkatnya tekanan pada vena yang
secara progresif mengalami dilatasi, dan muntah disertai peningkatan tekanan
intraabdomen mungkin berperan. Separuh pasien juga ditemukan mengidap
karsinoma haepato selular, yang mengisyaratkan bahwa penurunan progresif
cadangan fungsional hati akibat pertumbuhan tumor meningkatkan
51
kemungkinan ruptur varises. Setelah terjadi, perdarahan varises mereda secara
spontan hanya pada 50% kasus. (Matsumoto. 2006)

Faktor Risiko
Faktor risiko varises esophagus lebih berkaitan dengan tingginya
tekanan vena portal yang terjadi,). Faktor risiko yang berkaitan dengan
perdarahan non variseal adalah infeksi Helicobacter pylori, obat-obatan anti
inflamasi nonsteroid, obat anti agregasi platelet, dan usia lanjut (PGI, 2007).
Stratifikasi risiko tergantung pada penilaian klinis. Tidak ada pedoman praktik
stratifikasi risiko pra-endoskopi yang diterima secara universal. Namun,
literatur tampaknya setuju pada orang-orang itu memenuhi syarat sebagai risiko
4 sangat rendah seperti usia kurang dari 60 tahun, tidak ada penyakit penyerta
utama dan tidak ada riwayat hematemesis merah. Prediktor dari risiko yang
lebih tinggi termasuk usia lanjut, komorbiditas, hematemesis merah,
hematochezia, darah merah pada aspirasi negatif nasogastrik, ketidakstabilan
hemodinamik, dan studi laboratorium abnormal. Faktor risiko tinggi lainnya
termasuk sebelumnya pita varises, penjepitan atau kauterisasi tempat tidur
ulkus, atau prosedur pintasan portosystemic transjugular intrahepatic
(Matsumoto. 2006)
Manifestasi Klinis
Perdarahan dari varises biasanya parah/berat dan bila tanpa perawatan
segera, dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan varices termasuk
muntah darah (muntahan dapat berupa darah merah bercampur dengan
gumpalan-gumpalan atau "coffee grounds" dalam penampilannya, yang
disebabkan oleh efek dari asam pada darah), mengeluarkan tinja/feces yang
hitam dan bersifat ter disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam darah ketika
ia melewati usus (melena), dan kepeningan orthostatic (orthostatic dizziness)
disebabkan oleh suatu kemerosotan dalam tekanan darah terutama ketika berdiri
dari suatu posisi berbaring. Gejala lain yang termasuk adalah gejala penyakit
hati kronis, yaitu :
a. Keluhan sekarang : Kelemahan, kelelahan, dan malaise, Anoreksia,Mual
dan muntah, Penurunan berat badan, biasa terjadi pada penyakit hati akut
52
dan kronis, terutama karena anoreksia dan berkurangnya asupan makanan,
dan juga hilangnya massa otot dan jaringan adiposa merupakan fitur
mencolok pada stadium akhir penyakit hati, Rasa tidak nyaman dan nyeri
pada abdomen - Biasanya dirasakan di hipokondrium kanan atau di bawah
tulang rusuk kanan bawah (depan, samping, atau belakang) dan di
epigastrium atau hipokondrium kiri, Ikterus atau urin berwarna gelap,
Edema dan pembengkakan perut, Pruritus, biasanya terkait dengan kondisi
kolestatik, seperti obstruksi bilier ekstrahepatik, sirosis bilier primer,
sclerosing cholangitis, kolestasis kehamilan, dan cholestasis berulang jinak,
Perdarahan spontan dan mudah memar, Gejala Encephalopathic, yaitu
gangguan siklus tidur-bangun, penurunan fungsi intelektual, kehilangan
memori dan, akhirnya, ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara
efektif di tingkat manapun, perubahan kepribadian, dan, mungkin,
menampilkan perilaku yang tidak pantas atau aneh, Impotensi dan disfungsi
seksual, Kram otot umumnya pada pasien dengan sirosis
b. Riwayat medis masa lalu : Riwayat ikterus menunjukkan kemungkinan
hepatitis akut, gangguan hepatobiliary, atau penyakit hati yang diinduksi
obat, Kekambuhan ikterus menunjukkan kemungkinan reaktivasi, infeksi
dengan virus lain, atau timbulnya dekompensasi hati, Pasien mungkin
memiliki riwayat transfusi darah atau administrasi berbagai produk darah,
Sejarah schistosomiasis di masa kanak-kanak dapat diperoleh dari pasien
yang mengalami infeksi endemic, Penyalahgunaan obat intravena, Riwayat
keluarga yang menderita penyakit hati turun-temurun seperti penyakit
Wilson, Gaya hidup dan riwayat penyakit, seperti steatohepatitis alcohol
(NASH), diabetes militus, dan hiperlipidemia. (Matsumoto. 2006)
Diagnosis
Esophagogastroduodenoscopy (EGD) adalah gold standard untuk
diagnosis varises esofagus. Jika gold standard tidak tersedia, tahap diagnostik
selanjutnya yang memungkinkan adalah Doppler ultrasonography sirkulasi
darah (bukan endoscopic ultrasonography). Meskipun ini merupakan pilihan
kedua yang kurang baik, tapi dapat menunjukkan temuan varises. Alternatif lain
termasuk radiografi / barium swallow pada esofagus dan lambung, angiografi
53
vena portal dan manometri. Sangatlah penting untuk menilai lokasi (esofagus
dan lambung) dan ukuran varises, tanda yang mendekati, tanda akut yang
pertama, atau perdarahan yang berulang, dan (jika memungkinkan)
mempertimbangkan penyebab dan tingkat keparahan penyakit hati. Panduan
Diagnosis Varises Esofagus adalah sebagai berikut:
• Screening esophagogastroduodenoscopy (EGD) untuk diagnosis varises
esofagus dan lambung direkomendasikan ketika diagnosis sirosis sudah
ditegakkan.
• Pengamatan endoskopi direkomendasikan berdasarkan level sirosis,
penampakan, dan ukuran varises. Pasien dengan compensated sirosis tanpa
varises sebaiknya melakukan pengulangan EGD setiap 2-3 tahun, pasien
dengan compensated sirosis disertai varises kecil sebaiknya melakukan
pengulangan EGD setiap 1-2 tahun, sedangkan pasien dengan
decompensated sirosis sebaiknya melakukan pengulangan EGD setiap
tahun.
• Perkembangan varises gastrointestinal dapat ditentukan pada dasar
klasifikasi ukuran pada saat dilakukan EGD. Pada praktek, rekomendasi
untuk varises ukuran medium pada klasifikasi tiga ukuran sama dengan
varises ukuran besar pada kalasifikasi dua ukuran :
Ukuran varix
Klasifikasi dua ukuran
Klasifikasi tiga ukuran
Kecil
< 5 mm
Elevasi vena diatas permukaan mukosa esophagus
minimal Medium. (Matsumoto. 2006)
Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana varises esofagus adalah mencegah pendarahan, oleh
karena pendarahan pada varises esofagus dapat mengancam jiwa. Pengobatan
varises esofagus dapat menggunakan terapi medis, terapi endoskopi dan terapi
bedah. Terapi medis dapat menggunakan obat golongan vasokonstriktif
splanik, venodilator, dan kombinasi vasokontriktif dan vasodilator.
54
Vasokontriktif splanik dapat berupa vasopressin, somatostatin, dan non
selektif ßbloker. Somatostatin efektif dalam menghentikan pendarahan. Non
selektif ß bloker dapat diberikan sebagai pencegahan pendarahan pada varises
esofagus. Sekitar 30 % pasien tidak berespon terhadap non selektif ß bloker
walaupun dengan dosis yang cukup. non selektif ß bloker juga dapat
menimbulkan efek samping seperti kelelahan dan impotensi. Pengunaan nitrit
sendiri tidak direkomendasikan, isosorbide dapat mengurangi tekanan portal
namun penggunaannya dibatasi oleh efek vasodilatasi sitemik yang berisiko
mengganggu fungsi ginjal (prerenal). Kombinasi isosorbide dan ß bloker
menunjukkan efek adiktif dalam menurunkan tekanan portal, namun
keuntungan itu ditutupi oleh efeknya terhadap fungsi ginjal dan mortalitas
yang meningkat. Ada dua teknik endoskopi yang digunakan untuk
menatalaksana varises esofagus, yaitu endoskopi injeksi skleroterapi dan
endoskopi ligasi varises. Kedua teknik endoskopi ini efektif dalam
menghentikan perdarahan pada 90% dari pasien. Endoskopi ligasi Universitas
Sumatera Utara varises lebih efektif dibandingkan skleroterapi dalam
mengontrol pendarahan. Jika terapi medikamentosa dan endoskopi gagal,
maka teknik bedah transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) dapat
menjadi pilihan. (Matsumoto. 2006)
Komplikasi
Adapaun komplikasi pada varises menurut Price & Wilson (2006)
dapat berupa tromboflebitis superfisialis atau perdarahan dengan ekimosis
dapat terjadi. Sedangkan varises sekunder dapat menyebabkan terjadinya
edema, dermatitis statis, atau ulserasi. Kompikasi utama varises esofaghus
adalah perdarahan. Varises esofaghus biasanya rentan tejadi perdarahan ulang,
terutama dalam 48 jam pertama. Kemungkinan terjadi perdarahan ulang juga
meningkat pada penderita usia tua, gagal hati atau ginjal dan pada peminum
alkohol. Komplikas yang dapat terjadi pada varises esofaghus menurut
(Robins, 2007) adalah sebagai berikut:
a. Syok hipovolemik, Karena adanya varises esophagus mengakibatkan
terjadinya pendarahan, sehingga pasien akan mengalami syok hipovolemik

55
yang mengakibatkan pasien kehilangan darah secara akut atau kehilangan
cairan.
b. Ensefalopati, Ensefalopati berarti penyakit pada otak. Contohnya
ensefalopati anoksik umumnya merujuk pada kerusakan otak permanen.
c. Infeksi, misalnya pneumonia aspirasi. (Matsumoto. 2006)
Pencegahan
Perdarahan dari varises esofagus merupakan suatu komplikasi yang
bersifat letal pada pasien sirosis hati dengan hipertensi aliran darah portal.
Diperkirakan sebanyak 5-10% pasien yang mengalami sirosis akan mengalami
varises esophagus setiap tahunnya, dan sekitar 20-30% pasien sirosis dengan
varises esophagus mengalami perdarahan dari varises yang pecah/robek.1
Varises esophagus dapat terbentuk saat gradien tekanan vena hepatica
(Hepatic Venous Pressure Gradient/HVPG) meningkat di atas 10 mmHg.
Resiko terjadinya perdarahan pada pasien dengan sirosis dan varises
esophagus adalah bervariasi, dan sebagian besar bergantung pada ukuran dari
varises dan sebagaimana keparahan sirosis hati yang terjadi.1,2 Hingga saat
ini, metode skrining yang paling direkomendasikan untuk mendeteksi adanya
varises esophagus adalah endoskopi saluran gastrointestinal bagian atas. Pada
endoskopi terlihat pembengkakan vena esophagus kea rah lumen yang sangat
rentan mengalami perdarahan. Pada pasien sirosis yang tidak memiliki varises
esophagus saat pemeriksaan endoskopi pertama, perlu dilakukan evaluasi
berjangka selama 2-3 tahun dengan endoskopi untuk mendeteksi adanya
perkembangan varises sebelum varises tersebut 14 mengalami perdarahan.
Interval evaluasi berjangka tersebut akan semakin pendek apabila pada
pemeriksaan endoskopi pertama pasien telah memiliki HVPG > 10mmHg.
Sekali terbentuk, varises akan terus mengalami peningkatan ukuran, dengan
median 12% per tahun. Maka dari itu, pada pasien dengan varises berukuran
kecil, pemeriksaan endoskopi harus diulang dalam jangka waktu 1-2 tahun
dengan diikuti oleh primary prophylaxis.1,3,4 Strategi untuk primary
prophylaxis akan dilakukan sesuai dengan perjalanan penyakit dari varises,
yaitu: terjadinya sirosis hati, hipertensi portal, pembentukan varises berukuran
kecil, varises berukuran sedang hingga besar, dan perdarahan variseal. Hal ini
56
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1) transjugular intrahepatic
portosystemic shunt; 2) nonselective -blocker; 3) ligasi variseal endoskopi;
4) mononitrat.1,3,4 Metode pertama adalah transjugular intrahepatic
potosystemic shunt (TIPS), yaitu sebuah metode yang akan membuat akses
dengan vena hepatic melalui vena jugularis dan menempatkan sebuah stent
pada vena portal sehingga membentuk saluran resistansi rendah dan
memungkinkan darah untuk kembali ke sirkulasi sistemik. Namun metode ini
dapat meningkatkan resiko hepatic encephalopathy, liver failure dan
komplikasi prosedural lainnya.1 Saat ini, pemberian nonselective -blocker
merupakan terapi utama yang direkomendasikan sebagai primary prophylaxis
perdarahan variseal pada pasien sirosis dengan varises yang memiliki resiko
perdarahan tinggi. Pada pasien dengan sirosis dan varises esophagus dengan
berbagai ukuran, nonselective -blocker dapat menurunkan resiko dari episode
perdarahan pertama sebesar 25% dalam 2 tahun. Sekali dimulai, terapi dengan
-adrenergic blocker harus terus dilakukan, karena 15 resiko perdarahan akan
kembali apabilan terapi tidak dilanjutkan. Propanolol dimulai pada dosis 20mg
sehari, sedangkan nadolol dimulai pada dosis 40mg sehari. Penurunan pada
HVPG hingga < 12mmHg akan menghilangkan resiko terjadinya perdarahan
dan peningkatan angka harapan hidup. Namun, reduksi > 20% dari baseline
secara signifikan akan menurunkan resiko perdarahan variseal. Selain dengan
menggunakan HVPG, alternatif lain untuk mengukur tingkat efektivitas terapi
beta-blocker adalah dengan mengukur denyut nadi. Penurunan sebanyak 25%
dari baseline atau denyut nadi sebesar 55 hingga 60 denyut nadi per menit
merupakan tujuan standar terapi beta-blocker. 1,3 Ligasi variseal endoskopis
merupakan prosedur yang dapat dilakukan apabila pasien mengalami
intoleransi terhadap penggunaan beta-blocker. Prosedur ini melibatkan
penggunaan rubber band yang ditempatkan pada sekeliling varix yang
diaspirasikan pada sebuah silinder pada ujung endoskopi. Penurunan resiko
perdarahan dikarenakan adanya penurunan ukuran dari variseal, dimana 60%
dari pasien mengalami eradikasi total varises dan 38% mengalami penurunan
ukuran varises.3 Metode profilaksis lain yang dapat dilakukan untuk

57
menurunkan tekanan portal adalah menggunakan vasodilator. Vasodilator
menurunkan tekanan hepatica dengan cara menurunkan resistensi pembuluh
darah intrahepatika dan portokolateral. Karena penemuan itulah diketahui
bahwa nitrat (isosorbide mononitrate) dapat menurunkan tekanan portal
namun tetap mempertahankan perfusi liver. Namun karena agen tersebut tidak
spesifik, maka dapat juga menginduksi hipotensi arterial dan menimbulkan
refleks splanchnic vasoconstriction. Agen mononitrat dapat digunakan sebagai
alternatif pada pasien dengan intoleransi -blocker. (Matsumoto. 2006)
Prognosis
Rata-rata angka kematian setelah pendarahan pertama pada sebagian
besar penelitian menunjukkan sekitar 50%. Angka kematian ini berhubungan
erat dengan beratnya penyakit hati. Masih belum jelas, apakah pendarah aktif
pada saat pemeriksaan endoskopi dapat dipakai sebagaipredikator terjadinya
pendarahan ulangyang lebih awal. Resiko kematian menurun jika cepat
mendapatkan penanganan di rumah sakit, demikian pula resiko kematian ini
menjadi konstan sekitar 6 minggu setelah pendarahan. Indeks hati juga dapat
dipakai sebagai petunjuk untuk menilai prognosis pasien hematemesis melena
yang mendapat pengobatan secara medik. (Matsumoto. 2006)
C. Syndrome Mallaroy Weis
Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas yang terjadi sekunder akibat
laserasi mukosa di perbatasan gaster-esofagus atau pada bagian cardia gaster.
(Buencamino. 2006)
Epidemiologi
Sindrom Mallory-Weiss (MWS) adalah salah satu penyebab umum
perdarahan saluran cerna bagian atas (GI) akut, ditandai dengan adanya
laserasi mukosa superfisial longitudinal (air mata Mallory-Weiss). Robekan
ini terjadi terutama di persimpangan gastroesofageal; Mereka dapat meluas ke
proksimal untuk melibatkan esofagus bagian bawah atau bahkan pertengahan
dan kadang-kadang meluas ke distal untuk melibatkan bagian proksimal
lambung. (Buencamino. 2006)
Etiologi
58
Konsumsi alkohol berat dianggap sebagai salah satu faktor predisposisi
yang paling penting karena sekitar 50% hingga 70% pasien yang didiagnosis
dengan sindrom Mallory-Weiss memiliki riwayat yang sama.[2] Tingkat
keparahan perdarahan GI atas dengan sindrom Mallory-Weiss juga dilaporkan
lebih tinggi dengan adanya hipertensi portal serta varises esofagus.
(Buencamino. 2006)
Hubungan antara hernia hiatus (penonjolan organ, biasanya bagian atas
perut ke dalam rongga dada melalui pembukaan esofagus diafragma) dan
sindrom Mallory-Weiss masih menjadi bahan perdebatan. Hernia hiatus
ditemukan dalam banyak kasus dengan sindrom Mallory-Weiss, sementara
studi kasus-kontrol yang dilakukan di Mayo Clinic di Florida tidak
menemukan perbedaan dalam kejadian hernia hiatus antara pasien dengan
sindrom Mallory-Weiss dan kontrol. kelompok. (Buencamino. 2006)
Faktor risiko lain termasuk bulimia nervosa, hiperemesis gravidarum,
dan penyakit refluks gastroesofageal (GERD). Semua kondisi ini melibatkan
regurgitasi isi lambung ke kerongkongan. Namun, pada sejumlah besar pasien
(sekitar 25% kasus), tidak satu pun dari faktor risiko yang disebutkan di atas
diidentifikasi. (Buencamino. 2006)
Kondisi ini dipicu oleh tindakan berulang dari peningkatan tekanan
intraabdominal secara tiba-tiba seperti muntah, mengejan, batuk, resusitasi
jantung paru (RJP), atau trauma tumpul abdomen. (Buencamino. 2006)
Sindrom Mallory-Weiss iatrogenik umumnya jarang terjadi. Namun,
ini dapat terjadi sebagai komplikasi dari prosedur invasif seperti endoskopi
saluran cerna bagian atas atau ekokardiografi trans-esofagus (TEE).[4]
Prosedur endoskopi saluran cerna bagian atas hanya memiliki tingkat
komplikasi 0,07% hingga 0,49% untuk mengembangkan sindrom Mallory-
Weiss, dan karenanya risikonya rendah. (Buencamino. 2006)
Pathogenesis
Kondisi ini mungkin asimtomatik pada kasus ringan. Pada 85% kasus,
gejala yang muncul adalah hematemesis. Jumlah darah bervariasi; mulai dari
lendir berlumuran darah hingga pendarahan merah terang yang masif.
(Buencamino. 2006)
59
Dalam kasus perdarahan parah, gejala lain seperti melena, pusing, atau
sinkop dapat dimanifestasikan. Nyeri epigastrium biasanya hadir dan
menunjukkan adanya faktor predisposisi seperti penyakit refluks
gastroesofageal (GERD). (Buencamino. 2006)
Tidak ada tanda-tanda fisik yang spesifik untuk sindrom Mallory-
Weiss, dan tanda-tandanya mirip dengan kondisi hemoragik atau syok lainnya.
Selama pemeriksaan fisik, klinisi harus memeriksa tanda-tanda perdarahan
hebat dan syok, termasuk namun tidak terbatas pada, takikardia, denyut nadi
tipis, hipotensi, dehidrasi, penurunan turgor kulit, dan waktu pengisian kapiler
dan segera melakukan intervensi jika ada. Pemeriksaan rektal dapat
menunjukkan tanda-tanda melena. (Buencamino. 2006)
Manifestasi Klinis
Sindrom Mallory-Weiss (MWS) adalah salah satu penyebab umum
perdarahan saluran cerna bagian atas (GI) akut, ditandai dengan adanya
laserasi mukosa superfisial longitudinal (air mata Mallory-Weiss). Robekan
ini terjadi terutama di persimpangan gastroesofageal; Mereka dapat meluas ke
proksimal untuk melibatkan esofagus bagian bawah atau bahkan pertengahan
dan kadang-kadang meluas ke distal untuk melibatkan bagian proksimal
lambung. (Buencamino. 2006)
Perdarahan dari varices biasanya parah atau berat dan bila tanpa
perawatan segera, dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan varices
termasuk muntah darah (muntahan dapat berupa darah merah bercampur
dengan gumpalangumpalan atau "coffee grounds" dalam penampilannya, yang
disebabkan oleh efek dari asam pada darah), mengeluarkan tinja atau feces
yang hitam disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam darah ketika ia
melewati usus. (Buencamino. 2006)
Diagnosis
Kondisi ini mungkin asimtomatik pada kasus ringan. Pada 85% kasus,
gejala yang muncul adalah hematemesis. Jumlah darah bervariasi; mulai dari
lendir berlumuran darah hingga pendarahan merah terang yang masif.Dalam
kasus perdarahan parah, gejala lain seperti melena, pusing, atau sinkop dapat
dimanifestasikan. Nyeri epigastrium biasanya hadir dan menunjukkan adanya
60
faktor predisposisi seperti penyakit refluks gastroesofageal (GERD).
(Buencamino. 2006)
Tidak ada tanda-tanda fisik yang spesifik untuk sindrom Mallory-
Weiss, dan tanda-tandanya mirip dengan kondisi hemoragik atau syok lainnya.
Selama pemeriksaan fisik, klinisi harus memeriksa tanda-tanda perdarahan
hebat dan syok, termasuk namun tidak terbatas pada, takikardia, denyut nadi
tipis, hipotensi, dehidrasi. (Buencamino. 2006)
Penatalaksanaan
Karena sindrom Mallory-Weiss sebagian besar sembuh sendiri dan
jarang terjadi kekambuhan, manajemen awal bertujuan untuk menstabilkan
kondisi umum pasien, dan pendekatan konservatif akan sesuai pada sebagian
besar pasien. (Buencamino. 2006)
• Resusitasi segera pasien dengan perdarahan aktif harus dimulai pada saat
masuk. Kami menilai stabilitas hemodinamik dengan memeriksa jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi (protokol ABC). Pemasangan akses
intravena (IV) sentral atau perifer yang baik (biasanya 2 jalur) bersama
dengan penggantian cairan dapat menyelamatkan jiwa pada pasien dengan
perdarahan berat. Infus sel darah merah yang dikemas diindikasikan jika
kadar hemoglobin kurang dari 8 gm/dl atau jika pasien datang dengan
tanda-tanda syok atau perdarahan hebat. (Buencamino. 2006)
• Dekompresi nasogastrik menggunakan selang nasogastrik dapat dilakukan,
terutama pada pasien yang diduga memiliki varises esofagus bersamaan,
sebelum lavage lambung. Ketidakseimbangan elektrolit, jika ada, harus
dikoreksi dengan tepat. Faktor koagulasi perlu dioptimalkan sebelum
melanjutkan dengan endoskopi. Kebanyakan pasien yang dikelola secara
konservatif biasanya dirawat di rumah sakit sampai hemostasis tercapai dan
gejala teratasi. (Buencamino. 2006)
• Terapi farmakologis
Inhibitor pompa proton (PPI) dan penghambat H2 diberikan untuk
menurunkan keasaman lambung karena peningkatan keasaman
menghambat pemulihan mukosa lambung dan esofagus. PPI intravena
diberikan pada awalnya kepada pasien yang diharapkan untuk
61
menjalani pemeriksaan endoskopi. Antiemetik seperti prometazin dan
ondansetron diberikan untuk mengontrol mual dan muntah.
Endoskopi, Esofagogastroskopi adalah pemeriksaan pilihan pada
semua kasus perdarahan saluran cerna bagian atas. Jika perdarahan
sudah berhenti pada saat endoskopi, biasanya tidak diperlukan
intervensi lebih lanjut. Dalam situasi dengan perdarahan aktif atau
berulang yang sedang berlangsung, ada modalitas pengobatan
endoskopi yang berbeda. Injeksi lokal epinefrin (1:10.000 hingga
1:20.000 pengenceran) menghentikan pendarahan melalui
vasokonstriksi.[8][9] Elektrokoagulasi multipolar (MPEC), injeksi
agen sklerosan, koagulasi plasma Argon (APC), atau ligasi pita
endoskopi adalah pilihan lain dalam situasi seperti itu.
Angioterapi, Angiografi dengan injeksi agen vasokonstriksi seperti
vasopresin atau embolisasi transkateter dengan busa gel untuk
melenyapkan lambung kiri atau arteri mesenterika superior
dipertimbangkan ketika endoskopi tidak tersedia atau gagal.
• Operatif, Pembedahan jarang diperlukan dan dianggap perlu setelah
kegagalan prosedur endoskopi atau angioterapi untuk menghentikan
pendarahan. Jahitan berlebih laparoskopi pada robekan di bawah bimbingan
endoskopi telah dilakukan dengan hasil yang sangat baik.
• Kompresi tabung Sengstaken-Blakemore adalah pilihan terakhir dalam
pengobatan robekan Mallory-Weiss yang berdarah pada pasien yang lemah.
Ini adalah pilihan yang paling tidak disukai karena sebagian besar
perdarahan adalah arteri dan tekanan dalam balon tidak cukup untuk
mengatasi tekanan dalam arteri yang berdarah. (Buencamino. 2006)
Komplikasi
Komplikasi berhubungan dengan derajat kehilangan darah, seperti
syok hipovolemik, gangguan metabolisme, dan infark miokard. Kematian
terjadi jika perdarahan tidak terkontrol. Perforasi esofagus dan kekambuhan
pada sindrom Mallory Weiss adalah komplikasi yang jarang terjadi.
(Buencamino. 2006)
Pencegahan
62
menghindari kondisi pemicu muntah parah dengan durasi yang
panjang.Konsumsi alkohol berlebihan dan sirosis dapat memicu episode
berulang sindrom Mallory–Weiss. Seseorang yang memiliki sindrom
Mallory–Weiss perlu menghindari alkohol dan membicarakan kepada dokter
tentang cara mengelola kondisi untuk mencegah pengulangan di kemudian
hari. (Buencamino. 2006)

Prognosis
Bagi kebanyakan pasien, hasilnya baik. Pendarahan biasanya berhenti
secara spontan pada kebanyakan pasien dan robekan biasanya sembuh dalam
waktu 72 jam. Tingkat kehilangan darah memang bervariasi tetapi transfusi
darah tidak umum. (Buencamino. 2006)

D. Ulkus Duodenum

1) Definisi

Ulkus duodenum terjadi bila ada gangguan pada permukaan mukosa


duodenum. Ulkus ini adalah bagian dari penyakit tukak lambung, yang
melibatkan lambung dan bagian pertama dari duodenum. Ulkus duodenum
adalah bagian dari keadaan penyakit yang lebih luas yang dikategorikan
sebagai penyakit ulkus peptikum. Penyakit ulkus peptikum mengacu pada
presentasi klinis dan keadaan penyakit yang terjadi ketika ada gangguan pada
permukaan mukosa di tingkat lambung atau bagian pertama dari usus kecil,
duodenum.

Secara anatomis, permukaan lambung dan duodenum mengandung


sistem pertahanan yang mencakup elemen pra-epitel, epitel, dan subepitel.
Ulserasi terjadi dari kerusakan pada permukaan mukosa yang melampaui
lapisan superfisial. Sementara sebagian besar ulkus duodenum hadir dengan
dispepsia sebagai gejala utama yang terkait, presentasi dapat berkisar pada
tingkat keparahan, termasuk perdarahan gastrointestinal, obstruksi saluran
lambung, perforasi, atau perkembangan fistula. Oleh karena itu, manajemen
63
sangat tergantung pada pasien.s presentasi pada saat diagnosis atau
perkembangan penyakit. Diagnosis tukak duodenum dengan tukak lambung
perlu dipertimbangkan pada pasien dengan gejala dispepsia/nyeri perut bagian
atas yang juga melaporkan riwayat penggunaan NSAID atau riwayat
penggunaan sebelumnya. Diagnosa Helicobacter pylori. Setiap pasien yang
didiagnosis dengan penyakit ulkus peptikum dan, paling khusus, ulkus
duodenum harus menjalani pengujian untuk H. pylori karena ini adalah
penyebab umum. (Quinones, 2021)

2) Epidemiologi

Menurut beberapa penelitian yang telah mengevaluasi prevalensi ulkus


duodenum, diperkirakan terjadi pada sekitar 5 sampai 15% dari populasi Barat.
Sebelumnya, tingkat kekambuhan dan prevalensi sangat tinggi karena
kurangnya identifikasi dan pengobatan yang efektif dari H. pylori . Baru-baru
ini, tinjauan sistematis dari tujuh studi menemukan bahwa angka tersebut
secara signifikan lebih rendah. Namun, variabilitas dianggap karena prevalensi
H. pylori pada populasi yang diteliti dan pedoman diagnosis yang digunakan,
termasuk pedoman endoskopi. Namun, di daerah dengan insiden H. pylori
yang lebih tinggi, angka tersebut tercatat sebagai yang tertinggi, yang
mendukung gagasan yang telah ditetapkan sebelumnya bahwaInfeksi H. pylori
menyajikan komorbiditas yang signifikan untuk pengembangan ulkus
duodenum. Penurunan keseluruhan dalam tingkat diagnosis ulkus duodenum
juga disebabkan oleh berkembangnya kesadaran dokter dan pasien mengenai
penggunaan NSAID dan komplikasi potensial yang dapat dikaitkan dengan
penyalahgunaan serta tingkat merokok yang menurun secara perlahan di antara
individu yang lebih muda sebagai penelitian juga telah ditemukan ini menjadi
komorbiditas pengganggu lainnya. (Quinones, 2021)

3) Etiologi

Dua penyebab utama tukak duodenum adalah riwayat penggunaan


NSAID berulang atau berat dan diagnosis H. Pylori. Mayoritas pasien
64
membawa diagnosis sekunder H. pylori ; namun, karena tingkat infeksi telah
menurun, etiologi lain yang sebelumnya tidak umum menjadi lebih umum.
Penyebab lain dari ulkus duodenum termasuk etiologi yang, dengan cara yang
mirip dengan NSAID dan H. pylori , mengganggu lapisan duodenum.
Beberapa di antaranya termasuk sindrom Zollinger-Ellison, keganasan,
insufisiensi vaskular, dan riwayat kemoterapi. (Quinones, 2021)

4) Patofisiologi Faktor-Faktor Agresif

Helicobacter pylori, asam lambung/pepsin pada kerusakan mukosa.


Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat hidup dalam
suasana asam dalam lambung/ duodenum (antrum, korpus dan bulbus),
berbentuk kurva/S-shaped dengan ukuran panjang sekitar 3 um dan diameter
0,5 μm, mempunyai satu atau lebih flagel pada salah satu ujungnya. Bakteri
ini ditularkan secara feko-oral atau oral-oral. Di dalam lambung terutama
terkonsentrasi dalam antrum, bakteri ini berada pada lapisan mukus pada
permukaan epitel yang sewaktu-waktu dapat. menembus sel-sel epitel/antar
epitel. (Akil, 2007)

Bila terjadi infeksi H. pylori, maka bakteri ini akan melekat pada
permukaan epitel dengan bantuan adhesin sehingga dapat lebih efektif
merusak mukosa dengan melepaskan sejumlah zat sehingga terjadi gastritis
akut yang dapat berlanjut menjadi gastritis kronik aktif atau duodenitis
kronik aktif. Untuk terjadi kelainan selanjutnya yang lebih berat seperti tukak
atau kanker lambung ditentukan oleh virulensi H.pylori dan faktor-faktor
lain, baik dari host sendiri, maupun adanya gangguan fisiologis
lambung/duodenum. (Akil, 2007)

Apabila terjadi infeksi H.pylori, host akan memberi respons untuk


mengeliminasi/memusnahkan bakteri ini melalui mobilisasi sel-sel PMN/
limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara intensif dengan mengeluarkan
bermacam-macam mediator inflamasi atau sitokinin, seperti interleukin 8,
gamma interferon alfa, tumor nekrosis factor dan lain-lain, yang bersama
65
sama dengan reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan kerusakan
sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil
mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi kronik. (Akil, 2007)

Seperti diketahui bahwa setelah H. pylori berkoloni secara stabil


terutama dalam antrum, maka bakteri ini akan mengeluarkan bermacam
macam sitotoksin yang secara langsung dapat merusak epitel mukosa
gastroduodenal, seperti vacuolating cytotoxin (Vac A gen) yang
menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel, cytotoxin associated gen A (CagA).
Di samping itu, H.pylori juga melepaskan bermacam-macam enzim yang
dapat merusak sel-sel epitel, seperti urease, protease, lipase dan fosfolipase.
Sitotoksin dan enzim-enzim ini paling bertanggung-jawab terhadap
kerusakan sel-sel epitel. CagA gen merupakan petanda virulensi H.pylori dan
hampir selalu ditemukan pada tukak duodenum. (Akil, 2007)

Urease memecahkan urea dalam lambung menjadi amonia yang toksik


terhadap sel-sel epitel, sedangkan protease dan fosfolipase A2 menekan
sekresi mukus menyebabkan daya tahan mukosa menurun, merusak lapisan
yang kaya lipid pada apikal sel epitel dan melalui kerusakan sel sel ini, asam
lambung berdifusi balik menyebabkan nekrosis yang lebih luas sehingga
terbentuk tukak peptik. (Akil, 2007)

H. pylori yang terkonsentrasi terutama dalam antrum menyebabkan


antrum predominant gastritis sehingga terjadi kerusakan pada D sel yang
mengeluarkan somatostatin, yang fungsinya mengerem produksi gastrin.
Akibat kerusakan sel-sel D, produksi somatostatin menurun sehingga
produksi gastrin akan meningkat yang merangsang sel-sel parietal
mengeluarkan asam lambung yang berlebihan. Asam lambung masuk ke
dalam duodenum sehingga keasaman meningkat menyebabkan duodenitis
(kronik aktif) yang dapat berlanjut menjadi tukak duodenum. (Akil, 2007)

Asam lambung yang tinggi dalam duodenum menimbulkan gastrik


metaplasia yang dapat merupakan tempat hidup H.pylori dan sekaligus dapat
66
memproduksi asam sehingga lebih menambah keasaman dalam duodenum.
Keasaman yang tinggi akan menekan produksi mukus dan bikarbonat,
menyebabkan daya tahan mukosa lebih menurun dan mempermudah
terbentuknya tukak duodenum. (Akil, 2007)

Defek/inflamasi pada mukosa yang terjadi pada infeksi H.pylori atau


akibat OAINS akan memudahkan difusi balik asam/pepsin ke dalam
mukosa/jaringan sehingga memperberat kerusakan jaringan. Pada
patogenesis TD, maka asam lambung yang berlebihan merupakan faktor
utama terjadinya tukak sedangkan faktor lainnya merupakan faktor pencetus.
(Akil, 2007)

Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS)

Obat antiinflamasi non steroid (OAINS) dan asam asetil salisilat (acethyl
salcylic acid= ASA) merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan
dalam berbagai keperluan, seperti anti piretik, anti inflamasi, analgetik,
antitrombotik dan kemoprevensi kanker kolorektal. Pemakaian OAINS/ASA
secara kronik dan reguler dapat menyebabkan terjadinya risiko perdarahan
gastrointestinal 3 kali lipat dibanding yang bukan pemakai. Pada usia lanjut,
penggunaan OAINS/ASA dapat meningkatkan angka kematian akibat
terjadinya komplikasi berupa perdarahan atau perforasi dari tukak. Pemakaian
OAINS/ASA bukan hanya dapat menyebabkan kerusakan struktural pada
gastroduodenal, tetapi juga pada usus halus dan usus besar berupa inflamasi,
ulserasi atau perforasi. (Akil, 2007)

Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama gastroduodenal


penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek toksik/iritasi langsung pada
mukosa yang memerangkap OAINS/ASA yang bersifat asam sehingga terjadi
kerusakan epitel dalam berbagai tingkat, namun yang paling utama adalah efek
OAINS/ASA yang menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada
asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin/prostasiklin.
Seperti diketahui, prostaglandin endogen sangat dalam memelihara keutuhan
67
mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa, proliferasi sel-sel epitel,
sekresi mukus dan bikorbanat, mengatur fungsi immunosit mukosa serta
sekresi basal asam lambung. Sampai saat ini dikenal 2 jenis isoenzim
siklooksigenase (COX) yaitu COX-1 dan COX-2. (Akil, 2007)

COX-1 ditemukan terutama dalam gastrointestinal, juga dalam ginjal,


endotelin, otak dan trombosit; dan berperan penting dalam pembentukan
prostaglandin dari asam arakidonat. COX-1 merupakan house-keeping dalam
saluran cerna gastrointestinal COX-2 ditemukan dalam otak dan ginjal, yang
juga bertanggung jawab dalam respons inflamasi/injuri. Kerusakan mukosa
akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan OAINS/ASA
melalui 4 tahap, yaitu menurunnya sekresi mukus dan bikarbonat,
terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa, berkurangnya aliran
darah mukosa dan kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh kerja sama
platelet dan mekanisme koagulasi. Endotel vaskular secara terus-menerus
menghasilkan vasodilator prostaglandin E dan I, yang apabila terjadi gangguan
atau hambatan (COX-1) akan timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah
menurun yang menyebabkan nekrose epitel. Hambatan COX-2 menyebabkan
peningkatan perlekatan leukosit PMN pada endotel vaskular gastroduodenal
dan mesenterik, dimulai dengan pelepasan protease, radikal bebas oksigen
sehingga memperberat kerusakan epitel dan endotel. Perlekatan leukosit PMN
menimbulkan statis aliran mikrovaskular, iskemia dan berakhir dengan
kerusakan mukosa/tukak peptik. (Akil, 2007)

Titik sentral kerusakan mukosa gastroduodenal pada penggunaan


OAINS/ASA berada pada kerusakan mikrovaskular yang merupakan kerja
sama antara COX-1 dan COX-2. Beberapa faktor risiko yang memudahkan
terjadinya TD/ tukak peptik pada penggunaan OAINS adalah: umur tua (> 60
tahun) riwayat tentang adanya tukak peptik sebelumnya. dispepsia kronik
intoleransi terhadap penggunaan OAINS sebelumnya jenis, dosis dan lamanya
penggunaan OAINS penggunaan secara bersamaan dengan kortikosteroid,
antikoagulandan penggunaan 2 jenis OAINS bersamaan penyakit penyerta

68
lainnya yang diderita oleh pemakai OAINS Penting untuk diketahui bahwa
tukak peptik yang terjadi pada penggunaan OAINS, sering tidak bergejala dan
baru dapat diketahui setelah terjadi komplikasi seperti perdarahan atau
perforasi saluran cerna. (Akil, 2007)

Beberapa faktor lingkungan atau penyakit lain yang dapat merupakan


faktor risiko terjadinya tukak duodenum, yaitu:

a) Merokok (tembakau, sigaret) meningkatkan kerentanan terhadap


infeksi H.pylori dengan menurunkan faktor pertahanan dan
menciptakan miliu yang sesuai untuk H.pylori.

b) Faktor stres, malnutrisi, makanan tinggi garam, defisiensi vitamin.

c) Beberapa penyakit tertentu di mana prevalensi tukak duodenum


meninsgkat seperti sindrom Zollinger Elison, mastositosis sistemik,
penyakit Chron dan hiperparatiroidisme.

d) Faktor genetik. (Akil, 2007)

Faktor-Faktor Defensif

Apabila terjadi gangguan satu atau beberapa dari faktor pertahanan


mukosa, maka daya tahan mukosa akan menurun sehingga mudah dirusak
oleh faktor agresif yang menyebabkan terjadinya TD/TP. Tahan Ada 3 faktor
pertahanan yang berfungsi memelihara daya tahan mukosa gastroduodenal,
yaitu :

a) Faktor preepitel terdiri dari :

• Mukus dan bikarbonat yang berguna untuk menahan pengaruh asam


lambung / pepsin.
• Mucoid cap, yaitu suatu struktur yang terdiri dari mukus dan fibrin,
yang terbentuk sebagai respons terhadap rangsangan inflamasi.

69
• Active surface phospholipid yang berperan untuk meningkatkan
hidrofobisitas membran sel dan meningkatkan viskositas mukus.
(Akil, 2007)

b) Faktor epitel

• Kecepatan perbaikan mukosa yang rusak, di mana terjadi migrasi


sel-sel yang sehat ke daerah yang rusak untuk perbaikan
• Pertahanan seluler, yaitu kemampuan untuk memelihara electri cal
gradient dan mencegah pengasaman sel.
• Kemampuan transporter asam-basa untuk mengangkut bikarbonat
ke dalam lapisan mukus dan jaringan subepitel dan untuk
mendorong asam keluar jaringan. faktor pertumbuhan, prostaglandin
dan nitrit oksida. (Akil, 2007)

c) Faktor subepitel

• Aliran darah (mikrosirkulasi) yang berperan mengangkut nutrisi,


oksigen dan bikarbonat ke epitel sel.
• Prostaglandin endogen menekan perlekatan dan ekstravasasi
leukosit yang merangsang reaksi inflamasi jaringan. (Akil, 2007)

5) Gejala Klinis

Gambaran klinik tukak duodenum sebagai salah satu bentuk dispepsia


organik adalah sindrom dispepsia, berupa nyeri dan atau rasa tidak nyaman
(discom fort) pada epigastrium. Anamnesis. Gejala-gejala tukak duodenum
memiliki periode remisi dan eksaserbasi, menjadi tenang berminggu-
minggu- berbulan-bulan dan kemudian terjadi eksaserbasi beberapa minggu
merupakan gejala khas. Nyeri epigastrium merupakan gejala yang paling
dominan, walaupun sensitifitas dan spesifitasnya sebagai marker adanya
ulserasi mukosa rendah. (Akil, 2007)

70
Nyeri seperti rasa terbakar, nyeri rasa lapar, rasa sakit/tidak nyaman
yang mengganggu dan tidak terlokalisasi; biasanya terjadi setelah 90 menit
-3 jam post prandial dan nyeri dapat berkurang sementara sesudah makan,
minum susu atau minum antasida. Hal ini menunjukkan adanya peranan
asam lambung/pepsin dalam tukak duodenum. Nyeri yang spesifik pada
75% pasien tukak duodenum adalah nyeri yang timbul dini hari, antara
tengah malam dan jam 3 dini hari yang dapat membangunkan pasien. Pada
tukak duodenum, nyeri yang muncul tiba-tiba dan menjalar ke punggung
perlu diwaspadai adanya penetrasi tukak ke pankreas, sedangkan nyeri yang
muncul dan menetap mengenai seluruh perut perlu dicurigai suatu perforasi.
(Akil, 2007)

Tinja berwarna seperti teer (melena) harus diwaspadai sebagai suatu


perdarahan tukak. Pada dispepsia kronik, sebagai pedoman untuk
membedakan antara dispepsia fungsional dan dispepsia organik seperti TD,
yaitu pada TD dapat ditemukan gejala peringatan (alarm symptom) antara
lain berupa:

• Umur > 45-50 tahun keluhan muncul pertama kali adanya


perdarahan hematemesis/ melena
• BB menurun > 10%
• Anoreksia/ rasa cepat kenyang
• Riwayat tukak peptik sebelumnya
• Muntah yang persisten
• Anemia yang tidak diketahui sebabnya

Pemeriksaan fisis. Tidak banyak tanda fisik yang dapat ditemukan selain
kemungkinan adanya nyeri palpasi epigastrium, kecuali bila sudah terjadi
komplikasi. (Akil, 2007)

6) Diagnosis

71
Kebanyakan pasien dengan penyakit ulkus peptikum, hingga 70%,
tidak menunjukkan gejala. Secara keseluruhan, dispepsia merupakan gejala
yang paling umum bagi pasien yang memang mengalami gejala. Seperti
disebutkan di atas, tingkat perkembangan penyakit sebelum diagnosis awal
dapat mempengaruhi gejala yang mungkin dialami pasien. Lokasi penyakit
juga dapat dibedakan berdasarkan gejalanya.Rasa sakit yang terkait dengan
tukak duodenum membaik setelah makan, sedangkan rasa sakit yang terkait
dengan tukak lambung umumnya meningkat setelah makan. Tanda dan
gejala umum lainnya termasuk nyeri perut epigastrium, kembung, mual dan
muntah, dan penambahan berat badan karena gejala yang membaik setelah
makan. (Quinones, 2021)

Pasien yang awalnya datang dengan komplikasi terkait ulkus dapat


muncul dengan gejala sugestif perdarahan GI atas, termasuk melena,
hematemesis, peningkatan BUN, dan anemia dengan berbagai tingkat
keparahan dengan kelelahan terkait. Pasien yang datang dengan gejala yang
lebih mengkhawatirkan seperti anemia, melena, atau hematemesis, yang
mungkin menunjukkan perforasi atau perdarahan, kemungkinan akan
memerlukan bentuk evaluasi yang lebih invasif. Riwayat dan usia pasien juga
harus dipertimbangkan ketika mempertimbangkan tukak duodenum sebagai
bagian dari diagnosis banding, terutama ketika pasien datang dengan gejala
yang lebih tidak spesifik seperti nyeri perut epigastrium. (Quinones, 2021)

Ulkus duodenum dapat terjadi pada semua kelompok umur. Namun,


mereka paling sering didiagnosis pada pasien berusia 20 hingga 45 tahun dan
lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Sebagian besar pasien akan
memiliki riwayat gejala yang konsisten dengan penyakit ulkus peptikum
(PUD) yang terkait dengan diagnosis sebelumnya H. pylori dan/atau
penggunaan NSAID berat.Elemen lain dari riwayat yang perlu
dipertimbangkan termasuk riwayat merokok, penggunaan aspirin setiap hari,
dan riwayat keganasan GI.Pada pemeriksaan fisik, pasien mungkin memiliki
nyeri tekan perut epigastrium, dan jika datang dengan komplikasi, mereka

72
mungkin menunjukkan tanda-tanda anemia seperti kulit pucat dan tes darah
okultisme tinja positif. (Quinones, 2021)

Setelah diagnosis H. pylori berdasarkan riwayat penyakit dantemuan


pemeriksaan fisik memungkinkan, penelitian diperlukan untuk menegakkan
diagnosis pasti dan etiologi yang mendasari lebih lanjut. Secara sederhana,
diagnosis penyakit ulkus peptikum secara umum dan, lebih khusus lagi, ulkus
duodenum dapat dilakukan secara langsung dengan visualisasi ulkus pada
endoskopi bagian atas. Proses evaluasi akan tergantung pada studi apa yang
mungkin telah diselesaikan pasien untuk penilaian gejala mereka sebelumnya
Pasien yang mungkin telah menyelesaikan pencitraan radiografi, yang
menunjukkan bukti ulserasi, tetapi tidak memiliki gejala alarm yang
mencurigakan untuk ulserasi/perforasi atau pola obstruktif, dapat diobati
tanpa memerlukan endoskopi untuk visualisasi ulserasi. (Quinones, 2021)

Setelah diagnosis H. pylori berdasarkan riwayat penyakit dan temuan


pemeriksaan fisik memungkinkan, penelitian diperlukan untuk menegakkan
diagnosis pasti dan etiologi yang mendasari lebih lanjut. Secara sederhana,
diagnosis penyakit ulkus peptikum secara umum dan, lebih khusus lagi, ulkus
duodenum dapat dilakukan secara langsung dengan visualisasi ulkus pada
endoskopi bagian atas. Proses evaluasi akan tergantung pada studi apa yang
mungkin telah diselesaikan pasien untuk penilaian gejala mereka
sebelumnya.

Pasien yang mungkin telah menyelesaikan pencitraan radiografi, yang


menunjukkan bukti ulserasi, tetapi tidak memiliki gejala alarm yang
mencurigakan untuk ulserasi/perforasi atau pola obstruktif, dapat diobati
tanpa memerlukan endoskopi untuk visualisasi ulserasi. (Quinones, 2021)

Computed tomography dilakukan untuk evaluasi nyeri perut dapat


mengidentifikasi ulkus peptikum non-perforasi. Namun, sebagian besar
pasien akan memerlukan rujukan untuk esophagogastroduodenoscopy
(EGD) untuk evaluasi lebih lanjut. Ulkus duodenum paling sering terjadi di
73
bagian pertama duodenum (lebih dari 95%), dengan sekitar 90% terletak
dalam 3 cm dari pilorus dan biasanya berdiameter kurang dari atau sama
dengan 1 cm. Endoskopi barium adalah pilihan untuk pasien dengan
kontraindikasi EGD. Setelah diagnosis penyakit ulkus peptikum telah dibuat,
sangat penting untuk menetapkan etiologi penyakit karena ini akan
membantu mengembangkan rencana perawatan untuk pasien, tidak hanya
akut tetapi juga rencana jangka panjang untuk membantu mencegah
kekambuhan. (Quinones, 2021)

Mengingat tingginya korelasi koinfeksi H. pylori dalam keadaan ulkus


duodenum, individu yang dievaluasi untuk H. pylori akan memerlukan
pengujian lebih lanjut untuk diagnosis formal. Biopsi jaringan selama EGD
dapat membantu diagnosis. Namun, tes non- invasif lainnya dapat
diselesaikan untuk menyingkirkan H. pylorisebagai bagian dari
penyebabnya. Jika pasien telah menjalani EGD, biopsi dapat diperoleh dan
diuji lebih lanjut dengan tes urease dan histologi. Pilihan yang kurang invasif
termasuk tes napas urea, tes antigen tinja, dan tes serologis. Serologi kurang
umum, karena ini dapat tetap positif jika pasien telah terinfeksi sebelumnya
dan tidak selalu menunjukkan infeksi aktif.Tes napas urea memiliki
spesifisitas yang tinggi. Namun, hasil negatif palsu dapat terjadi pada
pengaturan penggunaan penghambat pompa proton (PPI). Tes antigen tinja
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dan membuktikan
pemberantasan, karena menunjukkan infeksi yang sedang berlangsung.
(Quinones, 2021)

7) Diagnosis Banding

• Dispepsia non ulcer


• Tukak lambung
• Penyakit pankreatobilier
• Penyakit Chron's pada gastroduodenal
• Tumor saluran cerna bagian atas

74
8) Penatalaksanaan

Pada umumnya penatalaksanaan tukak peptik/tukak duodenum


dilakukan secara medikamentosa, sedangkan cara pembedahan dilakukan
apabila terjadi komplikasi seperti perforasi, obstruksi dan perdarahan yang
tidak dapat diatasi.Tujuan dari pengobatan adalah menghilangkan gejala-
gejala terutama nyeri epigastrium, mempercepat penyembuhan tukak secara
sempurna, mencegah terjadinya komplikasi, mencegah terjadinya
kekambuhan. (Akil, 2007)

Penggunaan Obat-obatan

Tukak duodenum kausa H. pylori. Untuk mencapai tujuan terapi,


maka eradikasi H. pylori merupakan tujuan utama. Walaupun antibiotik
mungkin cukup untuk terapi tukak duodenum dengan H. pylori, namun
kombinasi dengan Penghambat pompa proton (PPI) dengan 2 jenis
antibiotik (Triple therapy) merupakan cara terapi terbaik. Kombinasi
tersebut adalah :

a. PPI 2 x 1 (tergantung mg preparat yang dipakai)

Amoksisilin 2 x 1 g/hari

Klaritromisin 2 x 500 mg

b. PPI 2x1

Amoksisilin 2 x 1 g/hari

Metronidazol 2 x 500 mg

c. PPI 2x1

Klaritromisin 2 x 500 mg

Metronidazol 2 x 500 mg
75
Masing-masing diberikan selama 7 hari.

Jenis-jenis preparat dan kemasan PPI yang ada: Omeprazol 20mg,


rabeprazol 10mg, pantoprazol 40mg, lanzoprazol 30mg dan esomeprazol
magnesium 20/40mg. (Akil, 2007)

H. pylori disertai penggunaan OAINS.

Eradikasi H. pylori sebagai tindakan utama tetap dilakukan dan bila


mungkin OAINS dihentikan, atau diganti dengan OAINS spesifik COX-2
inhibitor yang mempunyai efek merugikan lebih kecil pada gastroduodenal.
Penyembuhan akan tetap sama pada TP kausa H.pylori sendiri atau
bersama-sama dengan OAINS yaitu dengan menggunakan PPI untuk
meningkatkan pH lambung di atas 4. Penggunaan OAINS terus-menerus
setelah eradikasi H.pylori perlu diberikan PPI sebagai upaya pencegahan
terjadinya komplikasi. (Akil, 2007)

Tukak duodenum kausa OAINS

Penggunaan OAINS terutama yang memblokir kerja COX- 1 akan


meningkatkan kelainan struktural gastroduodenal. Oleh karena itu
penggunaan OAINS pada pasien-pasien dengan kelainan muskuloskeletal
yang lama harus disertai dengan obat-obat yang dapat menekan produksi
asam lambung seperti reseptor antagonis H2 (H2RA) atau PPI dan
diupayakan pH lambung di atas 4 atau dengan menggunakan obat sintetik
prostaglandin (misoprostol 200 μg/hari) sebagai sitoprotektif apabila
penggunaan OAINS tidak dapat dihentikan. Pencegahan/meminimalkan efek
samping OAINS, yaitu:

• Jika mungkin menghentikan pemakaian OAINS, walaupun biasanya


tidak memungkinkan pada penyakit artritis seperti osteoartritis (OA),

76
• Rematoid artritis (RA). penggunaan preparat OAINS (prodrug. OAINS
terikat pada bahan lain seperti Nitrit Oxide (NO])
• Pemberian obat spesifik COX-2 inhibitor walaupun hal ini tidak 100%
mencegah efek samping pada gastroduodenal
• Pemberian obat secara bersamaan dengan pemberian OAINS seperti
H,RA, PPI atau prostaglandin (Akil, 2007)

Tukak duodenum non-H.pylori non-OAINS.

Pada tukak duodenum yang hanya disebabkan oleh peningkatan asam


lambung, maka terapi dilakukan dengan memberikan obat yang dapat
menetralisir asam lambung dalam lumen atau obat yang menekan produksi
asam lambung dan yang terbaik adalah PPI. (Akil, 2007)

• Antasida. Obat ini dapat menyembuhakan tukak namun dosis biasanya


lebih tinggi dan digunakan dalam jangka waktu lebih lama dan lebih
sering (tujuh kali sehari dengan dosis total 1008 mEq/hari) dengan
komplikasi diare yang mungkin terjadi. Dari penelitian lain dimana
antasida sebagai obat untuk menetralisir asam, cukup diberikan 120-240
mEq/hari dalam dosis terbagi.
• H2 Receptor Antagonist (H2RA). Obat ini berperan menghambat
pengaruh histamin sebagai mediator untuk sekresi asam melalui reseptor
histamin-2 pada sel parietal, tetapi kurang berpengaruh terhadap sekresi
asam melalui pengaruh kolinergik atau gastrin postprandial. Beberapa
jenis preparat yang dapat digunakan seperti:
− Cimetidin 2x400mg/hari atau 1x800mg pada malam hari
− Ranitidin diberikan 300mg sebelum tidur malam atau 2x150mg/ hari
− Famotidin diberikan 40mg sebelum tidur malam atau 2x20mg/hari.

Masing-masing diberikan selama 8-12 minggu dengan penyembuhan sekitar


90%.

77
• Proton Pump Inhibitor (PPI). Merupakan obat pilihan untuk PTP, diberikan
sekali sehari sebelum sarapan pagi atau jika perlu 2 kali sehari sebelum
makan pagi dan makan malam, selama 4 minggu dengan tingkat
penyembuhan di atas 90%. Obat lain seperti sukralfat 2x2 gr sehari, atau
4x1gr sehari berfungsi menutup permukaan tukak sehingga menghindari
iritasi/pengaruh asam-pepsin dan garam empedu; dan di samping itu
mempunyai efek tropik. (Akil, 2007)

Diet

Walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai bentuk diet
yang dipakai pada masa lalu, namun pemberian diet yang mudah cerna
khususnya pada tukak yang aktif perlu dilakukan. Makan dalam jumlah
sedikit dan lebih sering, lebih baik daripada makan yang sekaligus kenyang.
Mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung/ pepsin,
makanan yang merangsang timbulnya nyeri dan zat-zat lain yang dapat
mengganggu pertahanan mukosa gastroduodenal. (Akil, 2007)

9) Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya adalah:

• Perdarahan: hematemesis/melena dengan tanda syok apabila perdarahan


masif dan perdarahan tersembunyi yang kronik
• menyebabkan anemia defisiensi Fe.
• Perforasi: nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis Penetrasi tukak
yang mengenai pankreas: timbul nyeri tiba-tiba tembus kebelakang.
• Obstruksi outlet bila ditemukan gejala mual + muntah, perut kembung dan
adanya suara deburan (succusion spalsh) sebagai tanda retensi cairan dan
udara, dan berat badan menurun. Keganasan dalam duodenum (walaupun
jarang). (Akil, 2007)

10) Prognosis

78
Prognosis ulkus duodenum bervariasi tergantung pada tingkat
keparahan presentasi awal. Ulkus duodenum terutama disebabkan oleh
penggunaan NSAID dapat diatasi melalui penghentian obat dan terapi untuk
gejala dengan tingkat resolusi yang tinggi. Individu yang telah
mengembangkan bisul karena infeksi H. pylori akan memerlukan
pengobatan infeksi, dan tingkat resolusi akan bervariasi berdasarkan
pemberantasan infeksi. Pasien yang datang dengan ulserasi atau perforasi
parah akan memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dan akan berisiko
mengalami komplikasi yang terkait dengan intervensi bedah. (Quinones,
2021)

79
BAB III

KESIMPULAN

Tabel 1. DD dan DS berdasarkan skenario

SINDROM
ULKUS VARISES ULKUS
MALLOROY-
PEPTIKUM ESOFAGUS DUODENUM
WEIS
Wanita + + + +/-
60 tahun + + + +/-

Muntah kehitaman
+ + + +
seperti ampas kopi

Mulas + - + +

Mual + + + +

Muntah + + + +/-

Nyeri sendi lutut 1 tahun


+ +/- +/- +
terakhir

Konsumsi obat herbal &


obat pereda nyeri + +/- +/- +

Nyeri perut + + + +

Anemia + + + +

Feses kehitaman
+ + + +

80
DAFTAR PUSTAKA

Buku ajar biomedik 2. 2015. Departemen anatomi fakultas kedokteran universita


hasanuddin.
Basri, Muh Iqbal. dkk. 2018. Buku Ajar Biomedik 2. Makassar : Departemen Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta:
EGC
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta:EGC
Nurari. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA
NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action Publishing.
Mubin (2014).Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis Dan Terapi(2ndEd.).
Jakarta: EGC.
Kim, Bong Sik Matthew.2014. Diagnosis of gastrointestinal bleeding: A practical guide
for clinicians. World Journal of Gastrointestinal Pathophysiology.Vol 5 No 4.Hal 467
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Suratun, Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.
Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC.
Nugraha D.2017.Diagnosis dan Tata Laksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Non-Variseal. CDK-252/ vol. 44 no. 5
Jurnal Penyakit Dalam, Volume 11 Nomor 1 Januari 2010
Camilleri P. 2005. Oesophaeal carcinoma :a review of current practice in the United
Kingdom. Malta Medical Journal
Robins. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 2. Jakarta :EGC.
Jurnal Penyakit Dalam, Volume 11 Nomor 1 Januari 2010

81
Camilleri P. 2005. Oesophaeal carcinoma :a review of current practice in the United
Kingdom. Malta Medical Journal
Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC.

A. Choundhary, A. Singh, Peptic Ulcer: A Review on Epidemiology, Molecular


Mechanism of Pathogenesis and Management, 2014, 2(4) : 788-796
Vaanipriya, G, R. Tanda dan Gejala Gastropati NSAID. Program Studi Pendidikan
Dokter. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. ISM, Vol. 5 No.1, Januari-April, Hal
64-69
Fitriany, Julia Saputri, Amelia Intan.2018. Anemia Defisiensi Besi. Kesehatan
Masyarakat.Vol 4 No 12.Hal 1-30
Snook, Jonathon Bhala, Neeraj Beales, Ian L P Cannings, David Kightley, Chris Logan,
Robert PH Pritchard, D Mark Sidhu, Reena Surgenor, Sue Thomas, Wayne Verma, Ajay M
Goddard, Andrew F.2021. British Society of Gastroenterology guidelines for the
management of iron deficiency anaemia in adults. Gut.Vol 7 No 11. Hal 2030-2051.
Vaanipriya, G, R. Tanda dan Gejala Gastropati NSAID. Program Studi Pendidikan
Dokter. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. ISM, Vol. 5 No.1, Januari-April, Hal
64-69
Fitriany, Julia Saputri, Amelia Intan.2018. Anemia Defisiensi Besi. Kesehatan
Masyarakat.Vol 4 No 12.Hal 1-30
Heetun MA, Allin M, Wijeyekoon S, Stanton M. Performing a digital rectal
examination: indications and examination. British Journal of Hospital Medicine.
2018;79(2):C18-C21. doi:10.12968/hmed.2018.79.2.c18
Galuh Kemenyangan Sarim.Sepsis Hubungan Residu Lambung Dengan Gangguan
Fungsi Jantung Pada Neonatus Beresiko Sepsis. 2012.Tesis

AHFS. 2011. Drug Information Essentials: Point of Care Drug Indormation for Health
Care.
Kurniawaty E, Mustofa S. Manajemen Gangguan Saluran Cerna. Edisi ke-1.
Bandarlampung: Aura Printing & Publishing; 2013:115-30.

82
Liwang, ferry. dkk . 2020. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 5 Jilid xxxxx. Jakarta:
Media Aesculapius, jilid 1
Tarigan P. Ilmu Penyakit Dalam. VI. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AaW, K MS, Setiyohadi
B, Syam AF, editors. Jakarta: Interna Publishing; 2014:1781-91.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM.Pharmacotherapy:a
patophysiologic approach. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008
Allez M, Lémann M. Role of endoscopy in predicting the disease course in
inflammatory bowel disease. NCBI. 2010; 16(21):2626-32.
Stiegmann V, Greg ; Endoscopic Approaches to Upper Gastrointestinal Bleeding,
From Gastrointestinal,Tumor & Endocrine Surgery, University ofColorado Denver and
Health Science Center, Denver Colorado
Buencamino,Cenon MD ; Esophageal Varices ; eMEDICINE
Matsumoto, Akio; Takimoto, Kengo; Inokuchi, Hideto; Prevention of Systemic
Embolization Associated with Treatment of Gastric Fundal Varices
/www.mayoclinicproceedings.

Iin Fadhilah Utami Tammasse. 2016. Analisis Gambaran Histopatologi Mukosa


Lambung Dan Bakteri Helicobacter Pylori Pada Pasien Gastritis Di Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo.

Wulandari, E., & Hendarmin, L. A. 2010. Integrasi biokimia dalam modul kedokteran.

83

Anda mungkin juga menyukai