Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN TUTORIAL BLOK 12 SKENARIO 2

“KENCING BERWARNA SEPERTI CUCIAN DAGING”

OLEH

KELOMPOK 2

Denaya Ayudya Nisa Putri (20201880001)

Hafidz Muhammad Farhan (20201880003)

Hagea Sophia Ramadhan (20201880004)

Ani Yatul Jennah (20201880011)

Muhammad Rafi Zufar P. (20201880020)

Shelly Oktifani Rahmasita (20201880054)

Alfiona Syafira P.A. (20201880055)

M. Chafiz Al’ulya N. (20201880065)

Dina Meilani S. (20201880068)

Selma Karomy K. (20201880069)

PROGRAM STUDI S-1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH


SURABAYA

2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Laporan tutorial ini telah disetujui pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 21 Juni 2022

Dosen Tutor

dr. Syafarinah Nur Hidayah Akil, M.Si

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “kencing berwarna seperti cucian
daging” ini dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, kami sampaikan banyak terimakasih kepada segenap pihak yang
telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah laporan tutorial
ini.

Selain itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini baik dari segi tata bahasa, susunan
kalimat, maupun isi. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kami selaku
penyusun menerima segala kritik dan saran dari pembaca.

Demikian yang bisa kami sampakan, semoga makalah laporan tutorial ini
bermanfaat dan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi teman sejawat
maupun masyarakat luas.

Surabaya, 17 Juni 2022

Penyusun

iii
Daftar Isi
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
Daftar Isi................................................................................................................. iv
Daftar Gambar ......................................................................................................... v
Daftar Tabel ............................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 5
1.1 Judul Skenario : ............................................................................................. 5
1.2 Isi Skenario : .................................................................................................. 5
1.3 Learning objective: ........................................................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 10
2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan histologi dari ginjal ............ 10
2.2 Mahasiswa Mahasiswa mampu menjelaskan fisiologi filtrasi, reabsorbsi,
sekresi, eksresi, pengaturan tekanan darah, homeostasis cairan, keseimbangan
asam basa, terkait produksi eritropoetin ............................................................ 17
2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab-penyebab hematuria, seperti
hematuria dari luar system kemih, di dalam system kemih, dan perbedaan
hematuria yang keluar di awal, akhir, atau dari awal sampai akhir .................. 24
2.4 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, dan factor
risiko GNAPS .................................................................................................... 26
2.5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Manifestasi Klinis dari
GNAPS .............................................................................................................. 30
2.6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Patofisiologi GNAPS ... 31
2.7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Penegakan Diagnosis dan
Diagnosis Banding dari GNAPS ....................................................................... 31
2.8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Tata Laksana dan Edukasi
GNAPS .............................................................................................................. 36
2.9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Komplikasi dan Prognosis
GNAPS .............................................................................................................. 39
2.10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Kedokteran Dasar Islam
Kewajiban Sirkumsisi bagi Laki-Laki ............................................................... 40
BAB III FCM ........................................................................................................ 42
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 43
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 48

iv
Daftar Gambar
Gambar 2. 1 Pembungkus Ginjal .......................................................................... 10
Gambar 2. 2 Struktur Ginjal .................................................................................. 11
Gambar 2. 3 Ren dextra dan fascia anterior .......................................................... 12
Gambar 2. 4 Nefron............................................................................................... 12
Gambar 2. 5 Skema Vaskularisasi Ginjal ............................................................. 13
Gambar 2. 6 Vaskularisasi Ginjal ......................................................................... 14
Gambar 2. 7 Histologi Ginjal ................................................................................ 14
Gambar 2. 8 Histologi Nefron Ginjal ................................................................... 15
Gambar 2. 9 Pembentukan Urin ............................................................................ 17
Gambar 2. 10 Fisiologi Ginjal dalam Mengatur Tekanan Darah .......................... 20
Gambar 2. 11 Proses Eritopoiesis ......................................................................... 23

Daftar Tabel
Tabel 2. 1 Proses Pembentukan Urin .................................................................... 19

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Judul Skenario :


Kencing berwarna seperti cucian daging

1.2 Isi Skenario :


Anak laki-laki 7 tahun diantar ke IGD RS tempat anda bekerja dengan keluhan
BAK merah seperti cucian daging

Anamnesis
1. Anak laki-laki 7 tahun
2. Pekerjaan à tidak ada data
3. Tiba2 kencing merah seperti air cucian daging, 1 hari ini à akut
4. Kencing à makin merah coklat dari awal BAK sampe akhir (sakit
sebelumnya kuning)
5. Nyeri saat BAK (-)
6. Kencing hanya berpasir tidak berbuih (-)
7. frekuensi à sehari 6x pipis, sehari terakhir menurun kuantitias BAK hanya
3x
8. volume à volume pipis berkurang dari sebelumnya (dibandingkan dengan
BAK sebelumnya)
9. Riwayat trauma (-)
10. Pipis biasa aja, tidak tersendat-sendat
11. Riwatat obat à tidak ada
12. Pipis bau à tidak ada data
13. Keluhan lain à demam (-), nyeri kepala (+), mual (+), muntah (+)
14. Bengkak 7 hari yang lalu, awalnya di kelopak mata kemudian sewajah
(terutama waktu bangun tidur) dan ke kaki
15. Sesak nafas (-), nafsu makan normal, BB turun (-)
16. Riwayat rawat inap (-)

5
17. 3 minggu yang lalu sakit demam, batuk pilek, nyeri tenggorokan à
sekarang sembuh
18. Obat à batuk pilek
19. Sirkumsisi belum
20. RPK à tidak ada riwayat sakit seperti anaknya (pipis merah)
21. Psikosial à tidak nahan pipis, personal hygene normal, minum air putih
normal

Pemeriksaan Fisik
1. KU, kesadaran = sakit sedang, compos mentis
2. BB/TB = 29kg/150cm [BMI = 12.8] cukup gizi
3. TTV
a. TD = 150/110 mmHg
b. Nadi = 124 bpm
c. RR = 28x/menit
d. Suhu = 38,7oC
4. Kepala à mata anemis (+), icterus (-), edema palpebra (+)
5. Thorax à N
a. Paru à rhonki (-), wheezing,
b. Jantung à normal,
6. Abdomen à normal, tidak ada bekas opersasi, bising usus normal
hepatomegaly teraba 3 cm dibawah arcus costa, lien teraba di scuffner 3
7. Ektremitas à akral hangat, pucat, kering disemua ektremitas, edeme
ektremitas, pitting edema (+)

Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap
a. Hb 9,5 (turun)
b. Hematokrit 31 (turun)
c. Leukosit 17000 (naik)
d. Trombosit 365000 (normal)
e. Eritrosit 3,8 jt (turun)
f. Diff count (sel darah putih)
i. Neutrofil 85 (naik)

6
ii. Eosinophil 0
iii. Limfosit 13,6 (turun)
iv. Monosit 5,1 (normal)
g. Albumin = 3,5 (turun)
h. Kreatinin 1,1 mg/dl (normal)
i. Urea 25 mg/dl (ada di batas atas)
2. Urinalisis
a. Warna merah keruh
b. Protein +3
c. Eritrosit >25 per lapang pandang
d. Leukosit 10-15 per lapang pandang
3. ASTO (+) dan CRP (+)

Problem List
1. Gross hematuria (makro), total
2. Oligouria (frekuensi dan volume menurun)
3. Infeksi (nyeri kepala, mual, muntah)
4. Edema palpebra, pitting edema di ekstremitas (+)
5. RPD à 3 minggu yang lalu sakit demam, batuk pilek, nyeri tenggorokan à
curiga infeksi streptococcus terus ke organ lain à obat yg diminum bukan
antibiotik
6. Belum disunat
7. KU = sakit sedang
8. HT
9. Takikardi
10. Demam
11. Anemia
12. Hepatomegaly
13. Splenomegaly
14. akral pucat
15. Leukositosis
16. Neutrophil tinggi
17. Hipoalbumin

7
18. Proteinuria
19. Leukosit di urin

Hipotesis
1. Hematuria
a. ISK à pyelonefritis, sistitis, urethritis à infeksi disebabkan oleh
bakteri à hematuria hanya nampak sedikit
b. BSK à batu melukai mukosa saluran kemih
c. Trauma = riwayat trauma tidak ada
d. Keganasan à tumor di ginjal, buli-buli à tumor mengganggu fungsi
ginjal sehingga darah lolos dari membrane filtrasi à dari anamnesis,
pemfis, pem penunjang mengarah ke infeksi
2. Edema
a. Gagal ginjal à gagal menjaga dalam mengatur cairan tubuh, tidak bisa
mengeluarkan urin
b. Gagal jantung kanan à tidak ada riwayat atau keluhan yang mengarah
ke jantung
c. Hipoalbumin (gejala) à bisa karena asupan albumin yang kurang
karena mual muntah atau pengeluaran albumin yang berlebih sehingga
cairan tubuh tidak stabil
3. Glomerulonefritis akut (GNA)à infeksi pada glomerulus menyebabkan anemia
(loss of eritrosit melalui urin)

WDK
1. ISK apakah bisa menyebabkan hematuri?
2. Apakah protein boleh keluar dari pipis? Seperti tidak karena termasuk
makromolekul
3. Perbedaan glomerulonephritis dan pyelonephritis
4. Berapa lama minimal antibiotic diberikan?
5. Interpretasi TTV anak
6. Nama medis edema seluruh tubuh
7. Gold standard à GNA
8. Sindroma nefrotik dan Sindroma nefritik

8
1.3 Learning objective:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan histologi dari ginjal
2. Mahasiswa mampu menjelaskan fisiologi filtrasi, reabsorbsi, sekresi, eksresi,
pengaturan tekanan darah, homeostasis cairan, keseimbangan asam basa, terkait
produksi eritropoetin
3. Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab-penyebab hematuria, seperti
hematuria dari luar system kemih, di dalam system kemih, dan perbedaan
hematuria yang keluar di awal, akhir, atau dari awal sampai akhir
4. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, dan factor
risiko GNAPS
5. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis GNAPS
6. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi GNAPS
7. Mahasiswa mampu menjelaskan penegekan diagnosis dan diagnosis banding
GNAPS
8. Mahasiswa mampu menjelaskan tata laksana GNAPS
9. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan prognosis GNAPS
10. Mahasiswa mampu menjelaskan KDI mengenai kewajiban sikrumsisi

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan histologi dari ginjal

A. Anatomi Ginjal (Ren, Kidney)

Ginjal terletak pada spatium retroperineal, di dinding posterior abdomen,


setinggi Th 12 – L3. Ginjal kanan letaknya lebih rendah dari ginjal kiri, karena ada
hepar. Ukuran: panjang 10 cm, lebar 5 cm dan tebal 2,5 cm. Bagian lateral dari
ginjal berbentuk convex dan bagian medialnya konkaf. Ginjal terdiri dari subunit
yang disebut uriniferous tubule. Uriniferous tubule dibagi dua yaitu nephron dan
collecting tubule. (Boldini et al., 2015)

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut
kapsula fibrosa (true capsule) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak
perirenal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula
adrenal/suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama – sama ginjal
dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh fasia gerota. Fasia ini berfungsi
sebagai barier yang menghambat ginjal serta mencegah ekstrvasasi urin pada saat
terjadi trauma ginjal. Selain itu fascia Gerota dapat pula berfungsi sebagai barier
dalam menghambat penyebaran infeksi atau menghambat metastasis tumor ginjal
ke organ disekitarnya. Di luar fascia Gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal
atau disebut jaringan lemak pararenal. (Boldini et al., 2015)

Gambar 2. 1 Pembungkus Ginjal

Masing-masing ginjal memiliki 2 surface (permukaan), yaitu anterior dan


posterior, 2 margin yaitu medial and lateral, serta 2 poles yaitu superior and inferior
poles. Lateral margin konveks, sedangkan medial margin konkaf (cekung) tempat

10
renal sinus dan renal pelvis, sehingga ginjal berbentuk seperti kacang polong
(Boldini et al., 2015)

Struktur ginjal :

Masing-masing ren mempunyai cortex renalis di bagian 1uar, yang


berwarna coklat gelap , dan medula renalis di bagian dalam yang lebih terang.
Medula renalis terdiri atas kira-kira selusin pyramis medullae renalis, yang masing-
masing mempunyai basis menghadap ke cortex renalis dan apex, papilla renalis
yang menonjol ke medial. Bagian cortex yang menonjol ke medula di antara
pyramis medullae yang berdekatan disebut columna renalis. Bagian bergaris-garis
yang membentang dari basis pyramidis renalis menuju ke cortex disebut radii
medullares. Sinus renalis merupakan ruangan di dalam hilus renalis, berisi
pelebaran ke atas dari ureter, disebut pelvis renalis. Pelvis renalis terbagi menjadi
dua atau tiga calices renales majores, yang masing-masing akan bercabang menjadi
dua atau tiga calices renales minores. Setiap calyx minor diinvaginasi oleh apex
pyramidis renalis yang disebut papilla renalis. (Boldini et al., 2015)

Gambar 2. 2 Struktur Ginjal

Batas – Batas ginjal :

Di sebelah superior, ginjal berbatasan dengan diaphragm, yang


memisahkannnya dari pleural cavities dan 12 pasang costae. Bagian posterior ginjal
berbatasan dengan quadratus lumborum muscle, subcostal nerve, iliohypogastric
nerves dan ilioinguinal nerves turun secara diagonal melalui permukaan posterior

11
ginjal. Hepar, duodenum, dan ascending colon ada di sebelah anterior ginjal kanan.
Ginjal kiri berbatasan dengan stomach, spleen, pancreas, jejunum, and descending
colon. (Yuliana, 2017)

Gambar 2. 3 Ren dextra dan fascia anterior

Darah yang membawa sisa – sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi


(disaring) di dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih
diperlukan tubuh mengalami reabsobsi dan zat – zat hasil sisa metabolisme
mengalami sekresi bersama air membentuk urin. Setiap hari tidak kurang 180 liter
cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghasilkan urin 1- 2 liter. Urin yang
terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal
untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter. Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas
kaliks minor, infundibulum, kaliks major, dan pielum / pelvis renalis. Mukosa
sistem pelvikalises terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot
polos yang mampu berkontraksi untuk mengalirkan urin sampai ke ureter. (Boldini
et al., 2015).

Gambar 2. 4 Nefron

12
Vaskularisasi ginjal

Arteri
Arteria renalis berasal dari aorta setinggi vertebra lumbalis II. Masing-
masing arteria renalis biasanya bercabang menjadi lima. Arteria segmentalis yang
masuk ke dalam hilus renalis, empat di depan dan satu di belakang pelvis renalis.
Arteri-arteri ini mendarahi segmen-segmen atau area yang berbeda. Arteriae
lobares berasal dari masing-masing arteria segmentalis, masing - masing satu buah
untuk satu pyramis medullae renalis. Sebelum masuk substansia renalis setiap
arteria lobaris mencabangkan dua atau tiga arteria interlobaris. Arteriae interlobares
berjalan menuju cortex di antara pyramis medullae renalis. Pada perbatasan cortex
dan medulla renalis, arteriae interlobares mencabangkan arteriae arcuatae yang
melengkung di atas basis pyramidis medullae. Arteriae arcuatae mencabangkan
sejumlah arteriae interlobulares yang berjalan ke atas di dalam cortex. Arteriolae
aferen glomerulus merupakan cabang-cabang arteriae interlobulares. (Boldini et al.,
2015)
Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai
anastomosis dengan cabang – cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat
kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemi/nekrosis
pada daerah yang dilayaninya. (Nugroho, 2013)

Vena
Vena renalis keluar dari hilus di depan arteria renalis dan bermuara ke
vena cava inferior.

Gambar 2. 5 Skema Vaskularisasi Ginjal

13
Gambar 2. 6 Vaskularisasi Ginjal

Aliran Limfe
Nodi aortici laterales di sekitar pangkal arteria renalis. (Boldini et al., 2015)

Persarafan
Plexus sympathicus renalis. Serabut-serabut aferen yang berjalan melalui
plexus renalis masuk medula spinalis melalui nervus thoracicus X, XI, dan XII.
(Boldini et al., 2015)

B. Histologi Ginjal

Gambar 2. 7 Histologi Ginjal

14
Unit fungsional setiap ginjal adalah tubulus uriniferus mikroskopik. Tubulus ini
terdiri atas nefron (nephronum) dan duktus koligens (ductus coligens) yang
menampung curahan dari nefron. Jutaan nefron terdapat di setiap korteks ginjal.
Nefron, selanjutnya terbagi lagi menjadi dua komponen yaitu korpuskulum ginjal
(corpusculum renale) dan tubulus ginjal (renal tubules) (Ariputri et al., 2016).
Terdapat dua jenis nefron yaitu nefron kortikal (nephronum corticale) yang
terletak di korteks ginjal, sedangkan nefron jukstamedularis (nephronum
juxtamedullare) terdapat di dekat perbatasan korteks dan medulla ginjal. Meskipun
semua nefron berperan dalam pembentukan urin, nefron jukstamedularis membuat
kondisi hipertonik di interstisium medulla ginjal yang menyebabkan produksi urin
yang pekat (Ariputri et al., 2016).

Gambar 2. 8 Histologi Nefron Ginjal

Korpuskulum ginjal merupakan segmen awal setiap nefron yang terdiri atas
kumpulan kapiler yang disebut glomerulus serta dikelilingi oleh dua lapis sel epitel
yang disebut kapsul glomerulus (capsula glomerularis Bowman). Stratum viseral
atau lapisan dalam (pars internus) kapsul terdiri atas sel epitel khusus bercabang,
yaitu podosit (podocytus) yang berbatasan dan membungkus kapiler glomerulus.
Stratum parietal atau lapisan luar (pars externus) kapsul glomerulus terdiri atas
epitel selapis gepeng. Setiap korpuskulum ginjal mempunyai polus vaskularis,
tempat masuknya arteriol aferen dan keluarnya arteriol eferen. Filtrat dihasilkan
oleh glomerulus yang merupakan utrafiltrat mirip dengan plasma tetapi tidak
mengandung protein lalu masuk ke spatium kapsular meninggalkan korpuskulum
ginjal di polus urinarius, tempat tubulus kontortus proksimal berasal (Ariputri et
al., 2016).

15
Dua jenis tubulus mengelilingi korpuskulum ginjal. Kedua tubulus ini adalah
tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal. Bagian tubulus ginjal
yang berawal dari korpuskulum ginjal sangat berkelok atau melengkung sehingga
disebut tubulus kontortus proksimal (tubulus proximalis pars convolute). Tubulus
kontortus proksimal terbentuk dari satu lapisan sel kuboid dengan sitoplasma
bergranula eosinofilik, mitokondria memanjang , dan memperihatkan lumen kecil
tidak rata dengan brush border serta banyak lipatan membrane sel basal yang dalam.
Adanya mikrovili (limbus microvillus) di sel tubulus kontortus proksimal
meningkatkan luas permukaan dan mempermudah absorpsi bahan yang terfiltrasi.
Batas sel tubulus kontortus proksimal juga tidak jelas karena interdigitasi membran
lateral dan basal yang luas dengan sel-sel di sekitarnya (Ariputri et al., 2016).
Tubulus kontortus proksimal yang terletak di korteks, selanjutnya turun ke
dalam medulla untuk menjadi ansa henle. Ansa henle (ansa nephroni) terdiri dari
beberapa bagian yaitu bagian descendens tebal yang merupakan kelanjutan dari
tubulus kontortus proksimal, segmen descendens dan ascendens yang tipis, sert
bagian ascendens tebal yang merupakan awal dari tubulus kontortus distal (tubulus
distal pars convolute). Bagian ascendens dari loop terletak di samping bagian
descendens dan meluas ke dalam medula ginjal. Nefron dengan gIomerulus yang
terletak dekat corticornedular (nefronjuxtamedullary) memiliki loop Henle yang
relatif panjang dan memanjang jauh ke medula. Sebaliknya, sebagian besar
lengkung Henle dari nefron superfisial umumnya terletak di medula ray. Segmen
tipis loop mempunyai lumen yang sempit dan dindingnya tersusun atas sel epitel
skuamus (Ariputri et al., 2016).
Pars tebal ascendens loop henle berlanjut menjadi tubulus kontortus distal di
korteks ginjal. Berbeda dengan tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus
distal tidak memperlihatkan limbus microvilosus (brush border), selnya lebih kecil,
dan lebih banyak nukleus ditemukan per tubulus. Membran basolateral sel tubulus
kontortus distal menunjukkan banyaknya interdigitasi dan keberadaan mitokondria
memanjang di dalam lipatan ini. Fungsi utama tubulus distal adalah secara aktif
mereabsorpsi ion natrium dan filtrat tubuli menuju kapiler peritubuler ke sirkulasi
sitemik untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa cairan tubuh dan darah
(Ariputri et al., 2016).

16
Filtrat glomerulus yang berasal dari kontortus distal mengalir menuju ke tubulus
koligens. Tubulus koligens bukan merupakan bagian nefron. Sejumlah tubulus
koligens pendek bergabung membentuk beberapa duktus koligens yang lebih besar.
Sewaktu duktus koligens turun ke arah papilla medulla, duktus ini disebut duktus
papilaris. Duktus koligens yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid turpulas
pucat. Jauh di dalam medulla, epitel di duktus ini berubah menjadi silindris. Di
ujung setiap papilla, duktus papilaris mengalirkan isinya ke dalam kaliks minor.
Daerah papilla yang memperlihatkan lubang di duktus papilaris yaitu area kribrosa.
Korteks ginjal juga memperlihatkan banyak radius medularis terpulas pucat yang
berjalan vertikal dari basis piramid menuju korteks. Radius medularis terutama
terdiri dari duktus koligens, pembuluh darah, dan bagian lurus dari sejumlah nefron
yang menembus korteks dari basis piramid (Ariputri et al., 2016).

2.2 Mahasiswa Mahasiswa mampu menjelaskan fisiologi filtrasi, reabsorbsi,


sekresi, eksresi, pengaturan tekanan darah, homeostasis cairan,
keseimbangan asam basa, terkait produksi eritropoetin

Fisiologi Pembentukan Urine


Tiga proses dasar terlibat dalam pembentukan urine: filtrasi glomerulus,
reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus.

Gambar 2. 9 Pembentukan Urin

A. Filtrasi Glomerulus
Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas-protein tersaring
melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman. Dalam keadaan normal,

17
20% plasma yang masuk ke glomerulus tersaring. Proses ini, dikenal sebagai filtrasi
glomerulus, adalah langkah pertama dalam pembentukan urine. Secara rerata, 125
mL filtrat glomerulus (cairan yang difiltrasi) terbentuk secara kolektif melalui
seluruh glomerulus setiap menit. Jumlah ini sama dengan 180 liter (sekitar 47,5
galon) setiap hari. Dengan mempertimbangkan bahwa volume rerata plasma pada
orang dewasa adalah 2,75 liter, hal ini berarti bahwa ginjal menyaring keseluruhan
volume plasma sekitar 65 kali sehari. Jika semua yang difiltrasi keluar sebagai
urine, semua plasma akan menjadi urine dalam waktu kurang dari setengah jam.
Namun, hal ini tidak terjadi karena tubulus ginjal dan kapiler peritubulus
berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehingga bahan-bahan dapat
dipertukarkan antara cairan di dalam tubulus dan darah di dalam kapiler peritubulus.

B. Reabsorbsi Tubulus
Sewaktu filtrat mengalir melalui tubulus, bahan-bahan yang bermanfaat
bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Perpindahan selektif
bahan-bahan
dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam darah ini disebut reabsorpsi
tubulus. Bahan-bahan yang direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urine tetapi
dibawa oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk
diresirkulasi. Dari 180 liter plasma yang disaring per hari, 178,5 liter, secara rerata,
direabsorpsi. Sisa 1,5 liter di tubulus mengalir ke dalam pelvis ginjal untuk
dikeluarkan sebagai urine. Secara umum, bahan-bahan yang perlu dikonservasi oleh
tubuh secara selektif direabsorpsi, sementara bahan-bahan yang tidak dibutuhkan
yang harus dikeluarkan tetap berada di urine. Karenanya dipertahankan di dalam
tubuh dan tidak diekskresikan di urine, meskipun mengalir melewati ginjal.

C. Sekresi Tubulus
Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus, adalah pemindahan selektif bahan-
bahan dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini adalah rute kedua
bagi bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari darah, dengan yang pertama
adalah melalui filtrasi glomerulus. Hanya sekitar 20% plasma yang mengalir
melalui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul Bowman; sisa 80% mengalir

18
melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus merupakan
mekanisme untuk mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan
mengekstraksi sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di
kapiler peritubulus dan memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus
sebagai hasil filtrasi.

D. Ekskresi Urine
Ekskresi urine adalah pengeluaran bahan-bahan dari tubuh dalam urine. Ini
bukan merupakan proses terpisah, melainkan merupakan hasil dari tiga proses
pertama di atas. Semua konstituen plasma yang terfiltrasi atau disekresikan, tetapi
tidak direabsorpsi akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk
diekskresikan sebagai urine dan dikeluarkan dari tubuh

Tabel 2. 1 Proses Pembentukan Urin

Mengatur Tekanan Darah


Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem renin-angiotensin aldosteron (RAAS)
merupakan sistem endokrin penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin
disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus
underperfusion, penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf
simpatik. Mekanisme terjadi peningkatan darah melebihi normal atau hipertensi
melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin converting

19
enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam pengaturan
tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati,
kemudian oleh hormone renin yang diproduksi ginjal akan diubah menjadi
angiotensin I. Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh ACE yang terdapat
di paru-paru. Angiotensin II merupakan suatu vasokonstriktor kuat yang utama
menyebabkan vasokontriksi arteri menyebabkan peningkatan resistensi pada aliran
darah dan peningkatan tekanan darah.
Angiotensin II bersikulasi menuju kelenjar adrenal dan menyebabkan sel
korteks adrenal membentuk hormone lain yaitu aldosteron. Aldosteron merupakan
hormone steroid yang berperan penting pada ginjal untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler. Aldosteron mengurangi ekskresi NaCl dengan cara reabsorpsi dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada akhirnya meningkatkan
volume dan tekanan darah.

Gambar 2. 10 Fisiologi Ginjal dalam Mengatur Tekanan Darah


Mengatur Keseimbangan Cairan, Elektrolit, Asam dan Basa
• Keseimbangan cairan dan elektrolit
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 (dua) parameter
penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal
mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam
dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan

20
keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur
keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan
dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.
1. Pengaturan volume cairan ekstrasel
Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah
arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume
cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan
memperbanyak volume plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting
untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.
Pengaturan volume cairan ekstrasel dapat dilakukan dengan cara:
a. Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake & output) air
Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka
harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam
tubuh. Hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen
dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya.
b. Memperhatikan keseimbangan garam
Ginjal mengontrol jumlah garam yang diekskresi dengan cara:
• Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR)
• Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal Jumlah Na yang
direabsorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol
tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur
reabsorbsi Na dan retensi Na di tubulus distal dan collecting. Retensi
Na meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma
dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri .
Selain sistem renin-angiotensin-aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide
(ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air.
Hormon ini disekresi oleh sel atrium jantung jika mengalami distensi akibat
peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di
tubulus ginjal meningkatkan eksresi urin sehingga mengembalikan volume
darah kembali normal.

21
2. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel
Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan melalui
- Perubahan osmolaritas di nefron
Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan
osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urin yang sesuai dengan
keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di duktus koligen. Glomerulus
menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (± 300 mOsm).
Dinding tubulus ansa Henle pars desending sangat permeable terhadap air,
sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau
vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi
hiperosmotik.
Dinding tubulus ansa henle pars asenden tidak permeable terhadap air
dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan
reabsorbsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus
distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding
tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya
vasopresin (ADH). Sehingga urin yang dibentuk di duktus koligen dan
akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada
tidaknya vasopresin/ ADH.
• Keseimbangan Asam-Basa
Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-
basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urin
sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-
basa adalah paru-paru dengan mengekskresi ion hidrogen dan CO2, dan sistem
dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.

22
Menghasilkan Hormon Eritropoietin

Gambar 2. 11 Proses Eritopoiesis


Erythropoietin (EPO) adalah hormon glyco-protein yang merupakan
stimulan bagi eritropoiesis, lintasan metabolisme yang menghasilkan eritrosit (sel
darah merah). Hormon EPO dihasilkan oleh ginjal yang memajukan pembentukan
dari sel-sel darah merah oleh sumsum tulang (bone marrow).
Untuk dapat memulai proses eritropoiesis, maka sumsum tulang
memerlukan signal berupa hormon dan sitokin. hormone eritropoietin yang
dihasilkan dari organ ginjal, glukokortikoid dihasilkan oleh kelenjar adrenal,
sedangkan sitokin berupa IL-3, IL-6 dihasilkan sel T, sel monosit, yang semuanya
akan bersama-sama menuju sumsum tulang dan selanjutnya terikat pada reseptor
sel progenitor eritroid di sumsum tulang.
Setelah hormon dan sitokin sebagai faktor pertumbuhan melekat pada
reseptor sel progenitor, yaitu sel yang merupakan cikal bakal eritrosit, maka
berikutnya akan mengaktivasi sinyal-sinyal untuk proliferasi sel progenitor.
Tahapan pembelahan sel dimulai. Ada proses proliferasi dengan tahapan fase G1,
sintesis, G2 dan mitosis. Sel selanjutnya membelah menjadi 2 anak sel yang sama,
satu di antaranya melanjutkan tahapan maturasi sebelum menjadi eritrosit matur,
dimulai dari pronormoblast, basofilik normoblast, ortokromik normoblast,
polikromatofilik normoblast, retikulosit dan akhirnya eritrosit. Dari sel progenitor
hingga tahapan retikulosit ini terjadi di sumdum tulang. Retikulosit selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi dan matang menjadi eritrosit dalam waktu 24 jam di
sirkulasi.

23
2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab-penyebab hematuria, seperti
hematuria dari luar system kemih, di dalam system kemih, dan perbedaan
hematuria yang keluar di awal, akhir, atau dari awal sampai akhir
Penyebab Hematuria
Perdarahan dari saluran kemih dapat digolongkan menjadi 2 kelompok.
Kelompok pertama adalah hematuria glomerular atau hematuria nefrologik, yaitu
perdarahan akibat gangguan pada nefron. Kelompok kedua adalah hematuria
urologik, yaitu perdarahan yang berasal dari sistem pengepul (collecting) urine,
yaitu buli-buli atau uretra.
Hematuria makroskopik yang berlangsung secara tiba-tiba dan disertai
bekuan darah, hampir dipastikan berasal dari ekstra-glomerulus, biasanya
disebabkan karena infeksi, inflamasi, batu saluran kemih, atau keganasan.
Kerusakan pada membran basal glomerulus akan menyebabkan terlepasnya
sel darah merah dari kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman. Biasanya
disebabkan karena inflamasi (glomerulonefritis, terutama nefropati IgA dan
glomerulonefritis kresentik), yang biasanya disertai infiltrasi leukosit, kompleks
imun, atau kerusakan membran basal glomerulus. Tetapi dapat juga disebabkan
oleh penyebab non-inflamasi, seperti sindrom Alport, thin basement membrane
disease, atau nefropati diabetik. Protein plasma yang biasanya mampu ditahan oleh
membran basal glomerulus, juga sering terlepas dalam urine (proteinuria).
Demikian juga inflamasi tubulus akan melepaskan sel darah merah dari kapiler
peritubulus ke dalam lumen tubulus (yang biasanya juga disertai proteinuria
ringan), misalnya pada nefritis tubulointerstisial, atau nekrosis tubular akut.
Hematuria makroskopik berasal dari glomerulus pada nefropati IgA,
vaskulitis renal, dan sebagai komplikasi antikoagulasi. Selain itu juga dapat berasal
dari kerusakan tubulus renal sekunder dan Acute Kidney Injury (AKI).
Hematuria mikroskopik asimtomatik persisten (persistent isolated
microscopic hematuria) berasal dari glomerulus, mempunyai prognosis bermakna
dalam studi epidemiologi, yang meningkatkan risiko gagal ginjal tahap akhir. Hal
tersebut biasanya disebabkan oleh 4 kausa utama sebagai berikut.

24
1. Nefropati IgA, yang biasanya berasosiasi dengan hematuria
makroskopik dan adanya riwayat keluarga.
2. Sindrom Alport, biasanya disertai tuli, kelainan kornea, dan adanya
riwayat keluarga.
3. Glomerulonefritis tipe mesangio proliferatif non deposit IgA.
4. Thin basement membrane disease, disertai adanya riwayat keluarga dan
pola inheritan autosomal dominan.(Eka, 2018)

Hematuria dapat disebabkan oleh kelainan-kelainan yang berada di dalam


sistem urogenitalia atau kelainan yang berada di luar sistem urogenitalia. Kelainan
yang berasal dari sistem urogenitalia antara lain adalah:
• Infeksi/inflamasi antara lain pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis,
sistitis, dan uretritis
• Tumor jinak atau tumor ganas yaitu: tumor Wilm, tumor Grawitz, tumor
pielum, tumor ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan hiperplasia
prostat jinak.
• Kelainan bawaan sistem urogenitalia, antara lain : kista ginjal dan ren
mobilis
• Trauma yang mencederai sistem urogenitalia.
• Batu saluran kemih.

Selain disebabkan oleh kelainan yang berasal didalam urogenital, hematuria


juga dapat disebabkan oleh kelainan yang berasal di luar system urogenital.
Kelainan-kelainan tersebut antara lain: kelainan pembekuan darah, SLE, dan
kelainan system hematologic yang lain. (Boldini et al., 2015)

25
Perbedaan hematuria yg keluar di awal saja, akhir saja, atau dari awal sampai
akhir
1. Warna merah urine terlihat selama berkemih, sejak dari awal sampai
akhir (hematuria total). Hal ini kemungkinan akibat darah berkumpul
dari salah satu organ seperti ureter atau ginjal. Biasanya darah berasal
dari ginjal atau buli-buli.
2. Urine berwarna merah hanya pada awal miksi kemudian menjadi jernih
(hematuria initial), lokasi lesi biasanya terdapat pada uretra distal dari
sfingter urine eksternal.
3. Urine berwarna merah hanya pada akhir miksi (hematuria terminal), di
mana tetes darah terlihat pada akhir waktu berkemih, lesi biasanya
berada pada uretra daerah bulbus atau daerah prostat. Pasien sering
mengeluh adanya noda pada celana dalamnya, atau adanya tetesan
darah pada akhir berkemih. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
adanya tekanan pada akhir kencing yang membuat pembuluh darah
kecil melebar. (Ariyadi, 2016)

2.4 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, dan


factor risiko GNAPS
DEFINISI
Glomerulonefritis akut (GNA): suatu istilah yang lebih bersifat umum dan
lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa proliferasi & inflamasi sel
glomeruli akibat proses imunologik. Istilah akut menunjukkan karakteristk
gambaran klinis dan kelainan histopastologis yang cepat. Glomerulonefritis akut
yang tersering adalah Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptokokus
(GNAPS). (Rauf, Husein and Aras, 2012)
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara
histopatologi menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului oleh
infeksi group A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala
nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.
(Rauf, Husein and Aras, 2012)

26
Sindroma Nefritik Akut (SNA) adalah kumpulan gejala klinis yang terdiri
atas hematuria, proteinuria, edema, hipertensi, dan insufisiensi ginjal akut. (Rauf,
Husein and Aras, 2012)
Dalam kepustakaan istilah GNA dan SNA sering digunakan secara
bergantian. GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik, sedangkan SNA
lebih bersifat klinik. (Rauf, Husein and Aras, 2012)
KLASIFIKASI
A. Kongenital (Herediter)
- Sindroma nefrotik kongenital
Sindrom nefrotik yang terlihat sejak atau bahkan sebelum lahir, dengan
gejala seperti proteinuria massif, sembab dan hipoalbunemia.
- Sindrom Alport
Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulopati progresif
familial yang sering disertai tuli syaraf dan kelainan mata
B. Acquired (didapat)
• Primer (idiopatik)
- Sindroma nefritik primer
- Nefropati ig A (Berger disease)
Ditandai dengn kenaikan kadar IgA serum dan terdapat kompleks imun
yang mengandung circulating IgA
• Sekunder
- Infeksi : GNAPI, Nefritis pirau
- Peny. multisistem: LES, PHS (Purpura Henoch-Schonlein), SHU
(Sindroma Hemolitik Uremik)
- Obat: penisilinamin, heroin, garam emas, litium, merkuri
- Neoplasi: leukemia, limfoma, karsinoma
- Lain-lain: rejeksi transplantasi ginjal

27
ETIOLOGI
GNAPS disebabkan oleh mikroba yang bervarisi, meliputi virus, bakteri,
jamur hingga parasite. Bakteri – bakteri yang menjadi etiologi antara lain
Staphylococcus, Pneumococcus, Chlamydia, Mycoplasma, dan bakteri gram
negative lainnya. Dari golongan virus ada Herpes Simplex Virus (HSV),
Cytomegalovirus, Epsterin – Barr Virus, dan Hepatitis B yang merupakan etiologi
tersering. Toxoplasma dan Plasmodium malariae merupakan parasite yang dapat
menyebabkan glomerulonephritis. (Khasananah, 2013)

FAKTOR RISIKO
Umumnya GNAPS terjadi pada daerah beriklim tropis dan biasanya
berdampak pada anak-anak dengan tingkat ekonomi yang rendah. Penyakit ini
biasanya terjadi secara sporadik tetapi peningkatan insidensi kasus terjadi secara
epidemik pada tempat dengan komunitas yang memiliki populasi tempat tinggal di
lingkungan yang padat penduduk, higiene kurang baik, kondisi dengan insidens
malnutrisi yang tinggi. Indonesia merupakan negara beriklim tropis. Sebanyak
68,9% penderita GNAPS berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah
dan 82% pada keluarga berpendidikan rendah. (Tatipang, Umboh and Salendu,
2017)
Selain faktor kuman Streptokokus β-hemoliticus grup A strain
nephritogenic, terjadinya GNAPS dipengaruhi juga oleh beberapa faktor pejamu
seperti usia, jenis kelamin, keadaan sosial ekonomi,genetik, status gizi. dan musim.
(Tatipang, Umboh and Salendu, 2017)
Musim merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya GNAPS.
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang hanya memilki 2 musim yaitu
musim hujan dan musim panas. Terjadinya GNAPS didahului dengan infeksi
saluran perna-pasan atas (ISPA) 1-2 minggu dan infeksi kulit (pioderma) 3-6
minggu. ISPA umunya terjadi pada musim hujan sedangkan pioderma pada musim
panas. (Tatipang, Umboh and Salendu, 2017)
Pasien yang berjenis kelamin laki-laki memiliki perbandingan yang lebih
tinggi di bandingkan perempuan.7 Hal ini mungkin disebabkan karena anak laki-

28
laki lebih sering berada di luar rumah sehingga rentan terpapar dengan kuman
penyebab infeksi. (Tatipang, Umboh and Salendu, 2017)
Kelompok usia yang paling sering terpapar dengan kuman penyebab
GNAPS berada pada usia sekolah yaitu 5-12 tahun dan jarang pada usia di bawah
3 tahun. Hal ini karena pada usia sekolah anak sudah mulai sering berada di luar
rumah dan lebih aktif sehingga mudah terpapar dengan kuman penyebab GNAPS.
(Tatipang, Umboh and Salendu, 2017)

EPIDEMIOLOGI
Penyakit GNAPS lebih sering mengenai lelaki daripada perempuan, dengan
perbandingan 2:1. Data di RSCM pada tahun 2005 menunjukkan bahwa terdapat 45
pasien GNAPS antara tahun 1998-2002, terdiri dari 26 laki-laki dan 19 perempuan,
dengan usia antara 4-14 tahun, dan umur yang paling sering yaitu 6-11 tahun. Usia
anak saat terkena GNAPS bervariasi antara 2,5 sampai 15 tahun, dengan median usia
8,5 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia melaporkan sekitar 68,9% pasien
GNAPS berasal dari sosioekonomi rendah dan 82% berasal dari keluarga dengan
tingkat pendidikan yang rendah. Selain itu, sering terjadi pada kondisi kebersihan
yang buruk dan memiliki tempat tinggal yang jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan.
(Pardede and Suryani, 2016)

29
2.5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Manifestasi Klinis dari
GNAPS
Menurut Jordan dan Lamire, lebih dari 50% kasus GNA adalah asimtomatik.
Kasus klasik atau tipikal diawali dengan infeksi saluran napas atas dan nyeri
tenggorokan dua minggu sebelumnya sebelum sembab. Periode laten rata-rata 10-
21 hari setelah infeksi tenggorokan atau kulit. Beberapa manifestasi klinis GNA,
diantaranya :
1. Hematuria (urin berwarna merah kecoklat-coklatan)
2. proteinuria (protein dalam urin)
3. Oliguria (keluaran urin berkurang)
4. Nyeri panggul
5. Edema
6. Suhu badan dapat naik
7. Hipertensi
8. gejala gastrointestinal
9. Fatigue (Khasananah, 2013)

Kriteria diagnosis GNA menurut Kosensus UKK Nefrologi IDAI antara lain, yaitu:
1. bila dijumpai gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan
gejala-gejala khas GNA
2. bila pada pemeriksaan laboratorik untuk menunjang diagnosis klinik
ditemukan ASTO yang meningkat dan C3 menurun serta adanya torak
eritrosit, hematuria atau proteinuria
3. diagnosis pasti ditegakkan bila hasil biakan ditemukan kuman streptokokus
beta hemolitikus grup A. Menurut Papanagnou dan Kwon bila didapatkan
gejala nefritis seperti proteinuria, hematuria, edema, hipertensi dan oliguria
pada seorang anak maka diagnosis GNA dapat ditegakkan (Umboh &
Umboh, 2018).

Manifestasi klinis GNA lainnya ialah edema dan hipertensi. Edema ditemukan
pada 85% kasus, terutama pada daerah periorbital (76,3%), wajah, ekstremitas,
bahkan seluruh tubuh. Biasanya edema terjadi secara mendadak dan terlihat
pertama kali pada daerah orbital terutama saat bangun di pagi hari dan menghilang
di sore hari setelah penderita melakukan aktivitas. Edema ini disebabkan oleh

30
retensi natrium dan air akibat kerusakan glomerulus yang mengakibatkan kelebihan
cairan (Umboh & Umboh, 2018).

2.6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Patofisiologi GNAPS

2.7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Penegakan Diagnosis


dan Diagnosis Banding dari GNAPS
Penegakan diagnosis
1. Anamnesis:

Full blown case (gejala sindrom nefritik) à hematuria, keluhan edema,


oligouria (BAK berkurang). Disertai mual, muntah, lemah badan, nyeri kepala,
Sakit tenggorokan
Dikatakan akut karena pada Anamnesis pasien didapatkan gross hematuria
(gambaran urin merah seperti air cucian daging) sejak 1 hari yang lalu, serta
riwayat sakit demam, batuk pilek, nyeri tenggorokan 3 minggu yang lalu. Pada
glomerulonefritis akut didapatkan hematuria yang didahului oleh infeksi
saluran napas akut atau pioderma 2-3minggu sebelumnya. Demam yang disertai
batuk dan pilek lebih mengarahkan pada suatu Infeksi Saluran Pernapasan Akut

31
(ISPA). Sakit Tenggorokan menandakan bahwa adanya tanda radang (infeksi
Streptokokus) (Zaid n.d.).
Urin keruh berwarna merah menggambarkan terjadinya kerusakan pada
glomerulus yang tidak mampu menyaring eritrosit sehingga nanti eritrosit akan
keluar bersama urin nantinya akan memberikan gambaran merah keruh.
2. Pemeriksaan fisik
• Melihat pasien tampak sakit ringan atau berat. Disertai tanda-tanda
penurunan berat badan, demam, lesu, sakit kepala, anemia(Zaid n.d.).
• Periksa tekanan darah (TD) dan periksa tanda-tanda hipertensi(Zaid n.d.).
Pada pasien didapatkan pemeriksaan tekanan darah yaitu 150/110 mmHg
menunjukan bahwa px mengalami hipertensi stage II
• Edema regio facialis, ektremitas inferior
Pada skenario didapatkan edema (palpebra, pitting edema di ekstremitas
kaki (+))
Pitting edema yaitu pembengkakan dengan meninggalkan indentasi à
kelainan fungsi ginjal. GNA à ekskresi cairan tubuh berkurang à
ditambah adanya hipoalbuminemia à cairan tertumpuk di interstisiel à
oedema
• pemeriksaan didapatkan konjungtiva anemis

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GNAPS


adalah
Laboratorium
- Pemeriksaan urinarilis

Didapatkan (proteinuria, hematuria, leukosituria, anemia, penurunan LFG


nah penurunan LFG ini (karena pasien mengalami oligouria sehingga
glomerulopati menyebabkan laju filtrasi glomerulus (LFG) menurun, sehingga
menyebabkan sekresi aldosteron meningkat), dan juga didapatkan leukositosis,
hipoalbuminemia serta adanya silinder eritrosit yang (melihat hematuria yang
secara tidak kasat mata atau tidak dapat dilihat dalam urine warna merahnya

32
karena itu adanya eritrosit dalam urine untuk menunjukkan adanya perdarahan
glomerulus). lalu untuk Kreatinin dan ureum darah umumnya juga ikut
meningkat(Zaid n.d.).Pada pemeriksaan urine pada pasien didapatkan warna
urin merah, keruh.
- Darah lengkap
Tes darah lengkap juga dilakukan untuk melihat adanya anemia ringan
(anemia normositik normokrom) dan leukositosis.Pada pasien didapatkan
konsentrasi Hb yang menurun à dimana yang dapat menyebabkan anemia,
anak menjadi tampak lemas.
- Lalu pada Tes fungsi renal
Didapatkan adanya peningkatan blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin
serum dan peningkatannya biasanya transien. Karena dipengaruhi oleh masalah
lain, tingkat BUN yang tinggi secara sendiri tidak tentu menandai masalah
ginjal, tetapi memberi kesan adanya masalah. Sebaliknya, tingkat kreatinin
yang tinggi dalam darah sangat spesifik menandai penurunan pada fungsi ginjal.
Bila peningkatan ini menetap beberapa minggu atau bulan menunjukkan pasien
bukan GNAPS sebenarnya(Zaid n.d.).
- Lalu pada pemeriksaan serologis ditemukan

Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap


produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang
titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASTO), antihialuronidase (AH
ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASO merupakan reaksi
serologis yang paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. hasil imunologi
dan serologi berupa ASTO positif yang menandakan bahwa penyebab dari
keluhan yang diderita pasien disebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus.
Nilai ASTO dikatakan positif jika >200 ul/ml(Rauf, Husein, and Aras 2012).
Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß hemolitikus
grup A
- C Reactive Protein (CRP)
Adalah suatu protein yang dikeluarkan oleh hati serta dihasilkan dalam
jumlah besar saat terjadi infeksi. Sebaliknya, pada peradangan yang terjadi
dalam proses perkembangan aterosklerosis, peningkatan konsentrasi CRP jauh

33
lebih kecil. Meskipun demikian, peningkatannya cukup bermakna bila
dibandingkan dengan kondisi normal. Tes CRP mengukur jumlah CRP dalam
darah untuk mendeteksi peradangan karena kondisi akut atau untuk memantau
tingkat keparahan penyakit dalam kondisi kronis. Pemeriksaan high sensitivity
CRP (hs-CRP) dapat mendeteksi konsentrasi CRP yang sangat kecil.

- Pemeriksaan komplomen C3

Aktivitas komplemen umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut


atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal
sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu
kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses
kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau
nefritis lupus(Rauf, Husein, and Aras 2012).
- Laju endap darah:

LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik
menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter
kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi
walaupun gejala klinik sudah menghilang(Rauf, Husein, and Aras 2012).
Diagnosis banding GNAPS
1. Penyakit ginjal:

Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut.


Kelainan ini perlu dibedakan dari gnaps karena prognosisnya sangat
berbeda, pada anamnesis jika terdapat penyakit ginjal sebelumnya dan periode
laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3hari. Selain itu adanya gangguan
pertumbuhan, anemia dan ureum yang tinggi waktu timbulnya gejala nefritis
tersebut dapat membantu diagnosis nya(Rauf, Husein, and Aras 2012).
Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis
herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan benign
recurrent haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau
hipertensi. Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan timbul

34
bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun kalau ada
berlangsung sangat singkat(Rauf, Husein, and Aras 2012).
IgA Nefropati
Nefropati IgA merupakan suatu bentuk glomerulopati primer yang
terbanyak dibandingkan glomerulopati primer lain. Antigen yang merangsang
terjadinya terjadinya kompleks imun IgA ini dapat berupa bakteri atau virus
seperti herpes simpleks, epstein Barr, cytomegalovirus, adenovirus, dan
hemophilus influenza(Zaid n.d.).
Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)
RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada
anak. Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase
akut dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase AD Nase B
meninggi pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen
C3 yang menurun pada GNAPS.
2. Penyakit-penyakit sistemik.

Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura Henoch-


Schöenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga penyakit
ini dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria,
proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok
negatif dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen
dan artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada SLE
terdapat kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah, yang tidak
ada pada GNAPS, sedangkan pada SBE tidak terdapat edema, hipertensi atau
oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang
kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut
umumnya bersifat fokal(Rauf, Husein, and Aras 2012)
Sindrom Nefrotik Idiopatik
Sindroma nefrotik merupakan suatu penyakit kronik yang sering dijumpai
pada masa kanak-kanak. Kelainan histopatologik yang terbanyak pada sindrom
nefrotik idiopatik pada anak adalah kelainan minimal. Sindrom nefropati dapat
menyerang semua umur, tetapi terutama menyerang anak-anak berusia antara

35
2-6 tahun, anak laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan dengan
rasio 2:3(Rauf, Husein, and Aras 2012).
3. Penyakit-penyakit infeksi:

GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh
Group A β-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala
GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus
ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit
dasarnya(Rauf, Husein, and Aras 2012).

2.8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Tata Laksana dan


Edukasi GNAPS
Tidak ada terapi spesifik untuk GNAPS. Pasien hanya butuh istirahat, serta
diberi terapi suportif dan simptomatik. Perawatan inap dibutuhkan bila dijumpai
penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat ( klirens kreatinin < 60 ml/1
menit/1,73 m2), BUN > 50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah,
letargi, hipertensi ensefalopati, anuria atau oliguria menetap. Glomerulonefritis
akut pada fase awal berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu. Setelah itu anak
akan merasa lebih baik, diuresis lancar, edem dan hipertensi hilang, LFG kembali
normal. Penyakit ini dapat sembuh sendiri, jarang berkembang menjadi kronik.
Kronisitas penyakit berhubungan dengan berat penyakit dan kelainan morfologis,
berupa hiperselularitas lobulus.
Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut,
tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti
sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu
dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan
hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan
sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Bila masih
dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan lanjut pada
waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan anak

36
tidak dapat bermain dan jauh dari teman temannya, sehingga dapat memberikan
beban psikologi.(Rauf et al., 2012)
Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat,
diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam
dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu
sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik,
terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus
seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible
water loss (20-25 ml/kgbb/ hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan
suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).
Pembatasan bahan makanan tergantung beratnya edem, gagal ginjal, dan
hipertensi. Protein tidak perlu dibatasi bila kadar urea N kurang dari 75 mg/dL atau
100 mg/dL. Bila terjadi azotemia asupan protein dibatasi 0,5 g/kgBB/hari. Pada
edem berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikan NaCl 300 mg/hari sedangkan
bila edem minimal dan hipertensi ringan diberikan 1-2 g/m2/ hari. Bila disertai
oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi. Anuria dan oliguria yang menetap,
terjadi pada 5-10 % anak. Penanganannya sama dengan GGA dengan berbagai
penyebab dan jarang menimbulkan kematian.(Made Suadnyani Pasek, 2013)
Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan
tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain
memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat
menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah
mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang
terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan
untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama
10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin
dosis 30 mg/kgbb/hari.
Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi

37
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan,
dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema
berat atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya
furosemid. Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.
b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan
dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa
kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat
tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau
furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatas, pada
keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara
sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap
30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan
gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006
mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/ kgbb/hari
secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan
furosemid (1 – 3 mg/kgbb)
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian
kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus
diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas
atau Kayexalate untuk mengikat kalium
Biopsi ginjal
Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila
• Gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas
(berkembang menjadi gagal ginjal atau sindrom nefrotik).
• Tidak ada bukti infeksi streptokokus
• Tidak terdapat penurunan kadar komplemen
• Perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross
hematuria setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu,
proteinuria yang menetap setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap
setelah 12 bulan. (Made Suadnyani Pasek, 2013).

38
Edukasi
Penderita Penderita dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai perjalanan
dan prognosis penyakitnya. Keluarga perlu memahami bahwa meskipun
kesembuhan yang sempurna diharapkan (95%), masih ada kemungkinan kecil
terjadinya kelainan yang menetap dan bahkan memburuk (5%). Perlu dielaskan
rencana pemantauan selanjutnya, pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan urine
untuk protein dan hematuria dilakukan dengan interval 4-6 minggu untuk 6 bulan
pertama, kemudian tiap 3-6 bulan sampai hematuria dan proteinuria menghilang
dan tekanan darah normal untuk selama 1 tahun. Kadar C3 yang telah kembali
normal setelah 8-10 minggu menggambarkan prognosis yang baik.

2.9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Komplikasi dan


Prognosis GNAPS
Komplikasi
Secara umum, komplikasi yang sering dijumpai pada GNA ialah Hipertensi,
Ensefalopati, Edema paru, Gagal jantung, dan Gangguan ginjal akut. Krisis
hipertensi dibedakan menjadi dua golongan yaitu hipertensi emergensi (darurat)
dan hipertensi urgensi (mendesak). Membedakan kedua golongan krisis hipertensi
bukan berdasarkan dari tingginya tekanan darah, tetapi dari kerusakan organ
sasaran. Komplikasi yang terjadi ialah 15 kasus gangguan ginjal akut (20,8%), 14
kasus hipertensi emergensi (19,4%), 8 kasus gagal jantung (11,1% kasus
ensefalopati (4,2%), dan 1 kasus retinopati. Hipertensi berat didapatkan pada 71,3%
kasus. (Umboh and Umboh, 2018)

Prognosis
Glomerulonefritis Akut memiliki prognosis yang sangat baik terutama pada
anak-anak dengan pemulihan lengkap biasanya terjadi dalam waktu 6 sampai 8
minggu. Pada orang dewasa, sekitar 50% pasien terus mengalami penurunan fungsi
ginjal, hipertensi, atau proteinuria persisten.
Kematian pada orang dewasa seringkali sekunder akibat gagal jantung dan
disfungsi ginjal. Studi menunjukkan bahwa dalam jangka panjang beberapa pasien
mungkin terus memiliki kelainan pada urin, proteinuria, dan hipertensi.

39
Kematian selama fase akut glomerulonefritis telah diperkirakan sekitar 2 dan 12
persen. Diasumsikan bahwa perubahan ginjal yang ditemukan pada sebagian besar
pasien yang selamat dari serangan akut awal akan secara kualitatif serupa dengan
yang dicatat pada kasus fatal, meskipun sedikit bukti langsung yang mendukung
pandangan ini.

2.10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Kedokteran Dasar


Islam Kewajiban Sirkumsisi bagi Laki-Laki
Khitan adalah proses pengangkatan kulit yang menutupi ujung penis. Dalam
Islam, hukum khitan bagi anak laki-laki adalah wajib. Tujuannya bukan hanya
sekadar mematuhi perintah agama, tapi juga untuk menjaga agar tidak terkumpul
kotoran di penis, memudahkan untuk kencing, dan agar tidak mengurangi
kenikmatan saat bersenggama. Rasulullah SAW memerintahkan seorang laki-laki
untuk berkhitan dalam hadistnya,

‫ﺷْﻌَﺮ اْﻟُﻜْﻔِﺮ َواْﺧﺘ َﺘِْﻦ‬


َ ‫ﻋْﻨَﻚ‬ ِ ‫أ َْﻟ‬
َ ‫ﻖ‬
"Hilangkanlah rambut kekafiran yang ada padamu dan berkhitanlah." (HR. Abu
Daud).
Allah SWT berfirman dalam salah satu ayatnya,

‫ِﻛﻴَﻦ‬0ِْ/‫ﻤ‬
ُ ‫ﻣﺎ ﻛَﺎَن ِﻣَﻦ اْﻟ‬
َ ‫ﻢ َﺣﻨِﻴًﻔﺎ َو‬ ِ ‫ﻚ أَِن اﱠﺗِﺒْﻊ ِﻣﱠﻠَﺔ إِﺑَْﺮا‬
َ ‫ﻫﻴ‬ َ ْ‫ﻢ أَْوَﺣﻴَْﻨﺎ إَِﻟﻴ‬
‫ُﺛ ﱠ‬
"Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan." (QS. An Nahl : 123).
Ternyata, berkhitan sudah dilakukan bahkan sebelum zaman Rasulullah SAW. Hal
ini diterangkan dalam hadist Abu Hurairah r.a, di mana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ﺳﻨَﺔً َواْﺧﺘ َﺘ ََﻦ ﺑِﺎْﻟﻘَﺪُوِم‬


َ ‫اْﺧﺘ َﺘ ََﻦ إِْﺑَﺮاِھﯿُﻢ ﺑَْﻌﺪَ ﺛ ََﻤﺎﻧِﯿَﻦ‬
"Ibrahim berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan
Al Qodum." (HR. Bukhari).
Syaikh Sayid Sabiq mengatakan bahwa Al Qodum yang dimaksud dalam hadist
adalah alat untuk memotong kayu (kampak) atau suatu nama daerah di Syam.

40
Selain mematuhi perintah agama, khitan juga menyimpan banyak manfaat
kesehatan pada organ reproduksi kita. Beberapa manfaatnya antara lain
• Kebersihan. Khitan membuat seseorang lebih mudah untuk mencuci
penis.
• Penurunan risiko infeksi saluran kemih. Pria mungkin memiliki risiko
infeksi saluran kemih yang rendah, tetapi infeksi ini lebih sering terjadi
pada pria yang tidak disunat.
• Penurunan risiko infeksi seksual menular. Pria yang disunat dinilai
memiliki risiko lebih rendah terkena infeksi menular seksual tertentu.
• Mencegah masalah penis. Terkadang, kulup pada penis yang tidak
disunat bisa sulit atau tidak bisa ditarik kembali (phimosis). Hal ini
dapat menyebabkan peradangan pada kulup atau kepala penis.
• Penurunan risiko kanker penis. Meskipun kanker penis jarang terjadi,
laki-laki yang telah disunat lebih jarang mengalaminya. Selain itu,
kanker serviks lebih jarang terjadi pada pasangan seksual wanita dari
laki-laki yang disunat.

41
BAB III
FCM

42
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang anak laki laki 7 tahun diantar ke IGD RS dengan keluhan BAK
merah seperti cucian daging. Volume dan frekuensi BAK pasien menurun . Selain
itu terdapat edema palpebra, pitting edema di ekstremitas. Terdapat gejala nyeri
kepala, mual, muntah. Sebelumnya belum pernah mengalami keluhan seperti ini,
pasien belum disunat. 3 minggu yang lalu sakit demam, batuk pilek, nyeri
tenggorokan dan ada riwayat HT. Berdasarkan anamnesis, kami membuat hipotesis
infeksi saluran kemih, batu saluran kemih, keganasan, dan gromeluronefritis akut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertensi stage 2, demam, anemia,
hepatomegali, splenomegali dan akral pucat. Pada pemriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis, neutrophil tinggi, hipoalbumin, proteinuria serta leukosit
di dalam urin. Pemeriksaan ASTO dan CRP yang positif menandakan bahwa
penyebab dari keluhan yang di derita pasien disebabkan oleh infeksi bakteri
streptoccocus. Hematuria yang di akibatkan ISK dan BSK dapat disingkirkan
karena tidak terdapat hematuria yang banyak dan tidak terdapat tanda inflamsi yang
di sebabkan bakteri streptococcous. Di dukung keluhan pasien sebelumnya
merasakan sakit demam, batuk pilek nyeri tenggorokan yang merupakan gambaran
klinis dari adanya infeksi oleh bakteri streptococcus.
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, kami dapat
mengeliminasi hipotesis infeksi saluran kemih karena infeksi disebabkan oleh
bakteri dan hematurianya hanya sedikit, batu saluran kemih karena tidak terdapat
nyeri ketok dan massa pada uretra, dan keganasan karena dari hasil anamnesis,
pemeriksaan penunjang, dan pemeriksaan laboratorium mengarah pada infeksi.
Sehingga diagnosis akhir pada skenario ini adalah GNAPS.
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu istilah yang lebih bersifat umum
dan lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa proliferasi & inflamasi
sel glomeruli akibat proses imunologik. Istilah akut menunjukkan karakteristk
gambaran klinis dan kelainan histopastologis yang cepat. Glomerulonefritis akut
yang tersering adalah Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptokokus

43
(GNAPS). Ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi,
oliguria yang terjadi secara akut. (Rauf, Husein and Aras, 2012)
Berdasarkan FCM diperoleh informasi bahwa etiologi dari GNAPS adalah
disebabkan oleh mikroba yang bervarisi, meliputi virus, bakteri, jamur hingga
parasite. Bakteri – bakteri yang menjadi etiologi antara lain Staphylococcus,
Pneumococcus, Chlamydia, Mycoplasma, dan bakteri gram negative lainnya.
Faktor resiko yang mungkin terjadi pada GNAPS adalah pasien yang berjenis
kelamin laki-laki yang memiliki perbandingan lebih tinggi di bandingkan
perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karena anak laki-laki lebih sering berada
di luar rumah sehingga rentan terpapar dengan kuman penyebab infeksi. Serta
kelompok usia yang paling sering terpapar dengan kuman penyebab GNAPS berada
pada usia sekolah yaitu 5-12 tahun dan jarang pada usia di bawah 3 tahun. Hal ini
karena pada usia sekolah anak sudah mulai sering berada di luar rumah dan lebih
aktif sehingga mudah terpapar dengan kuman penyebab GNAPS.
Penegakan diagnosis yang dapat dilakukan untuk menegakan diagnosis
GNAPS dapat dilakukan anamnesis , pemeriksaan fisik, dan penunjang . Anamnesis
dapat menunjukan gross hematuria (gambaran urin merah seperti air cucian daging)
sejak 1 hari yang lalu, serta riwayat sakit demam, batuk pilek, nyeri tenggorokan 3
minggu yang lalu. Pada glomerulonefritis akut didapatkan hematuria yang
didahului oleh infeksi saluran napas akut atau pioderma 2-3 minggu sebelumnya.
Demam yang disertai batuk dan pilek lebih mengarahkan pada suatu Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA). Sakit Tenggorokan menandakan bahwa adanya tanda
radang (infeksi Streptokokus). Diagnosis juga diperkuat dengan informasi tanda
yang di temukan pada pemeriksaan fisik pemeriksaan menunjukan bahwa pasien
mengalami hipertensi stage II, didapatkan edema (palpebra, pitting edema di
ekstremitas kaki ). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan ASTO dan CRP untuk menyingkirikan diagnosis lainnya. Infeksi
streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk
ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur,
seperti antistreptolisin O (ASTO). Titer ASO merupakan reaksi serologis yang
paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. hasil imunologi dan serologi berupa
ASTO positif yang menandakan bahwa penyebab dari keluhan yang diderita pasien

44
disebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus. Nilai ASTO dikatakan positif jika
>200 ul/ml . CRP adalah suatu protein yang dikeluarkan oleh hati serta dihasilkan
dalam jumlah besar saat terjadi infeksi.
Different diagnosis yang paling dekat dengan pasien adalah infeksi saluran
kemih .ISK sendiri adalah Masuknya mikroorganisme kedalam saluran kencing.
Dapat melalui penyebaran endogen, hematogen, limfogen, dan eksogen. Pada isk
terdapat kuman gram negatif yang berasal dari saluran cerna (E.Coli). Gejala yang
timbul berupa asimptomatis, disuria, polaksiuria, urgensi, panas sampai menggigil,
mual muntah, nyeri kosto-vertebra. DD yang lain adalah tumor atau keganasan .
tanda dan gejala tumor adalah hematuria yang sering ditemukan adalah tumor Wilm
dan tumor pada kandung kemih. Tumor Wilm merupakan salah satu tumor yang
sering ditemukan pada anak. Tumor Wilm pada awalnya tanpa gejala. Pada fase
selanjutnya, perut anak tambah membesar, teraba massa, demam dan disertai
dengan gejala hematuria. Hematuria gros tanpa disertai proteinuria atau torak
eritrosit perlu pemeriksaan ultrasonografi untuk menyingkirkan keganasan.
Penatalaksanaan untuk GNAPS ini yang pertama adalah Istirahat total di
tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam minggu
pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, biasanya sampai 2 minggu
tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti
sebelum sakit. Lalu diet rendah garam, Bila edema berat, diberikan makanan tanpa
garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1
g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1
g/kgbb/hari. Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi. Terapi
medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu
Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi
terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari. Dan
pasien diberikan obat untuk mengendalikan tekanan darahnya dengan obat
antihipertensi dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid atau
kombinasi keduanya.
Komplikasi yang mungkin dialami pasien adalah Hipertensi, Ensefalopati,
Edema paru, Gagal jantung, dan Gangguan ginjal akut. Krisis hipertensi dibedakan
menjadi dua golongan yaitu hipertensi emergensi (darurat) dan hipertensi urgensi

45
(mendesak). Membedakan kedua golongan krisis hipertensi bukan berdasarkan dari
tingginya tekanan darah, tetapi dari kerusakan organ sasaran.
Pada skenario ini didapatkan bahwa islam mewajibkan Khitan.Khitan adalah
proses pengangkatan kulit yang menutupi ujung penis. Dalam Islam, hukum khitan
bagi anak laki-laki adalah wajib. Tujuannya bukan hanya sekadar mematuhi
perintah agama, tapi juga untuk menjaga agar tidak terkumpul kotoran di penis,
memudahkan untuk kencing, dan agar tidak mengurangi kenikmatan saat
bersenggama. Selain mematuhi perintah agama, khitan juga menyimpan banyak
manfaat kesehatan pada organ reproduksi kita. Beberapa manfaatnya antara lain
Kebersihan. Khitan membuat seseorang lebih mudah untuk mencuci penis.
Penurunan risiko infeksi saluran kemih. Pria mungkin memiliki risiko infeksi
saluran kemih yang rendah, tetapi infeksi ini lebih sering terjadi pada pria yang
tidak disunat.

46
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1 . Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang disimpulkan
hematuria total yang diakibatkan oleh Glomerulonefritis Akut Pasca-
Streptococus (GNAPS)
2 . Etiologi keluhan pasien adalah riwayat penyakit 3 minggu lalu pasien
mengalami demam, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan diduga pasien
terinfeksi bakteri streptococcus
3 . Manifestasi klinis berupa hematuria, oligouria, edema, hipertensi, anemia,
disertai mual, muntah, dan nyeri kepala
4 . Gold standard GNAPS adalah ASTO (meningkat)
5 . Diagnosa banding GNAPS adalah glomerulonephritis kronik ekserbasi akut,
glomerulonephritis fokal, sindrom Alport, IgA-IgG nefropati, RPGN, dan
GN pascainfeksi non-streptococcus
6 . Terapi yang tepat pada pasien adalah istirahat, diit rendah garam, antibiotik
golongan penisilin (bila alergi diberikan eritromisin), dan obat-obat
simtomatik
7 . Komplikasi ensefalopati hipertensi, gagak ginjal akut, edema paru, gagal
jantung
8 . Prognosis GNAPS sangat baik. Penyakit dapat sembuh sempurna dalam 1-
2 minggu bila tidak ada komplikasi (self-limiting disease), sehingga cukup
rawat inap selama 7-10 hari

47
DAFTAR PUSTAKA

Ariputri, F. A., Pendidikan, P., Kedokteran, S., Kedokteran, F., & Diponegoro, U.
(2016). niruri L . ) DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GAMBARAN Studi
pada Mencit Balb / C yang Diinduksi Metanil Yellow.
Ariyadi, R. (2016). Pengaruh Penundaan Jumlah Sel Eritrosit Pada Sedimen Urine
Hematuria. Skripsi, 31–38.
Boldini, M., Cerantola, Y., Valerio, M., & Jichlinski, P. (2015). Urologie. In Revue
Medicale Suisse (Vol. 11, Issues 456–457).
https://doi.org/10.53738/revmed.2019.15.634.0167
Eka, A. (2018). Hematuria pada Anak. Buletin Farmatera, 3(1), 17–23.
Khasananah, U. (2013). Glomerulonefritis Akut. 20–40.
Made Suadnyani Pasek. (2013). Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada
Anak. Sari Pediatri, 5(2), 58–63. http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-2-
4.pdf
Nugroho. (2013). Fisiologi Sistem Muskular. Politeknik Kesehatan RS Dr
Soepraoen Malang.
Pardede, S.O. and Suryani, D.K. (2016) ‘Diagnosis dan Tata Laksana
Glomerulonefritis Streptokokus Akut pada Anak’, Majalah Kedokteran
UKI, XXXII(3), pp. 137–145.
Rawla P, Padala SA, Ludhwani D. Poststreptococcal Glomerulonephritis. [Updated
2021 Dec 12]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538255/
Rauf, S., Husein, A., & Aras, J. (2012). Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 13–14
Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: EGC; 2016: 182-
3Umboh, V., & Umboh, A. (2018). Gambaran Klinis Glomerulonefritis
Akut pada Anak di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Biomedik
(Jbm), 10(3), 185. https://doi.org/10.35790/jbm.10.3.2018.21985
Tatipang, P.C., Umboh, A. and Salendu, P.M. (2017) ‘Analisis Faktor Risiko
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada’, Jurnal e-Clinic, 5(2), pp.

48
221–227.
Yuliana. (2017). Diktat Urinary Tract. 41.
Zaid, Mohd. n.d. “Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptococcus
Pembahasan.” (6):1–16

49

Anda mungkin juga menyukai