BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI
MODUL 1 COFFE GRUNDS COLORED VOMIT
(MUNTAH BERWARNA BUBUK KOPI)
LEMBAR PENGESAHAN
i
KATA PENGANTAR
Kelompok 6
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………...……………………i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………...………………iii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………….………….iv
DAFTAR TABEL……………………………………………………..…………..v
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….1
1.1 SKENARIO……………………………………………………...…….1
1.2 KATA SULIT…………………………………………………….……1
1.3 KATA KUNCI………………………………………………….……..1
1.4 PERTANYAAN……………………………………………………….2
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………..…3
2.1 Jelaskan anatomi dan fisiologi organ terkait……………………….……3
2.2 Jelaskan mengenai hormon hormon percernaan ………………………16
2.3 Sebutkan penyakit penyakit dengan gejala munta kehitaman …………18
2.4 Jelaskan mekanisme kerja obat antasida, PPI, H2-RA, sukralfat,
Braxidin…………………………………………………………….…23
2.5 Jelaskan Patomekanisme setiap gejala ………………………………..34
2.6 Jelaskan Langkah Langkah diagnosis ……………………………...…36
2.7 Jelaskan Langkah langkah diagnosis serta tatalaksana dari Saluran Cerna
Bagian Atas……………………………………………………….…..43
2.8 Jelaskan DD & DS ……………………………………………….…..46
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lambung………………………………………………………9
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Regimen Terapi Yang Dianjurkan Untuk Helicobacter Pylori…………53
Tabel 2. Contoh regimen untuk eradikasi infeksi H. Pylori……………………….60
Tabel 3 Beberapa pilihan terapi supresi asam pada pasien ulkus peptikum…..…66
Tabel 4. DD dan DS………………..………………………………………….…69
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 SKENARIO 2
Seorang perempuan 41 tahun mengeluh sakit perut yang sifatnya hilang
timbul dan penurunan berat badan kurang lebih 5 kg dalam 3 bulan terakhir. Ia
berusaha mengobati penyakitnya dengan meminum obat antasida, awalnya
keluhan membaik, namun saat ini sudah tidak memberikan hasil. 1 bulan yang
lalu ia pernah mengalami muntah warna kehitaman, dirawat selama 2 hari di
Puskesmas, setelah itu ia tidak berobat lagi. Pemeriksaan fisis menunjukkan
adanya anemia dan nyeri perut khususnya pada regio epigastik
1
1.4 PERTANYAAN
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi organ terkait (Saluran Cerna bagian atas)
2. Jelaskan mengenai hormon hormon percernaan
3. Sebutkan penyakit penyakit dengan gejala munta kehitaman
4. Jelaskan mekanisme kerja obat antasida, PPI, H2-RA, sukralfat, Braxidin
5. Jelaskan Patomekanisme:
a. Penurunan BB
b. Muntah warna kehitaman (Hematemesis)
c. Anemia
d. Nyeri perut hilang timbul
6. Jelaskan Langkah Langkah diagnosis
7. Jelaskan Langkah langkah diagnosis serta tatalaksana dari Saluran Cerna
Bagian Atas
8. Jelaskan DD & DS
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi dan fisiologi organ terkait
A. Anatomi
a. Oesophagus
Oesophagus adalah sebuah saluran yang terdiri dari otot yang
menghubungkan pharynx dengan gaster. Terbagi menjadi:
- Pars cervicalis
- Pars thoracica
- Pars abdominalis
3
oesophagus terdapat dataran ventral columna vertebralis,
aa.intercostalis dextra, ductus thoracicus dan vena hemizygos. Di
sebelah latero-cranial kiri (mediastinum superior) terdapat arcus
aortae, a.subclavia sinistra, ductus thoracicus, pleura mediatinalis
sinistra dan di sebelah caudolateral dari oesophagus terdapat aorta
descendens. Di sebelah lateral kanan terdapat pleura mediastinalis
dextra dan vena azygos (Fachzi, 2014).
Di sebelah caudal dari radix pulmonalis nervus vagus dextra
berjalan pada facies dorsalis oesophagus dan nervus vagus sinistra
berjalan pada facies ventralisoesophagus, kedua buah nervi tersebut
membentuk anyaman mengelilingi oesophagus (Fachzi, 2014).
Vaskularisasi
b. Gaster
Pada umumnya berbentuk huruf “L” terbalik, huruf “j” atau
berbentuk silinder.Bagian-bagian dari gaster adalah:
- Cardia
- Fundus
- Corpus
- Pylorus
Antara bagian yang satu dengan yang lainnya tidak ada batas
yang tegas secara makroskopis. Pembagian ini lebih bersifat
mikroskopis, yaitu keadaan mukosa dan kelenjar (Datuk, 2004).
4
Cardia adalah bagian dari gaster di mana oesophagus bermuara.
Fundus ventriculi merupakan bagian sesudah cardia, yang menonjol
dan terletak lebih tinggi dari cardia. Bagian yang terbesar adalah
corpus ventriculi, yang merupakan lanjutan dari fundus ventriculi.
Bagian paling caudal disebut pylorus, yang melanjutkan diri menjadi
duodenus. Batas antara corpus ventriculi dengan pylorus disebut
antrum pyloricum. Ujung distal dari pylorus berbentuk kecil, disebut
canalis pyloricum. Muara pylorus ke dalam duodenum disebut
orificium pyloricum, dilengkapi oleh sphincter pyloricum, yang
dibentuk oleh penebalan stratum circulare pars muscularis. Antara
corpus dan pylorus terbentuk suatu lekukan di bagian kanan, disebut
incisura angularis (Datuk, 2004).
5
Lokalisasi
- Holotopi: Gaster terletak dalam regio hypochondrium sinister dan
regio epigastrium. Lokalisasi ini tergantung dari berbagai faktor,
seperti bentuk gaster, isi gaster, konstitusi tubuh dan sikap tubuh.
Vakularisasi
a. Arteria gastrica sinistra, sebagai cabang dari A.coeliaca, berjalan
ascendens menuju ke foramen oesophageum, lalu membelok ke
ventral masuk danberjalan mengikuti curvatura minor ke caudal
di antara kedua lembaran omentum minus, mengadakan
anastomose dengan a.gastrica dextra.
b. Arteria gasterica dextra, cabang dari A.hepatica, berjalan di
sebelah dorsal pylorus, di sebelah ventral vena portae, mengikuti
curvatura minor ke cranial, berada di antara kedua lembaran
omentum minus.
c. Arteria gastrica brevis, cabang dari A.lienalis, yang berjalan
menuju ke fundus ventriculi melalui ligamentum phrenicolienale
dan ligamentum gastrolinale.
6
d. Arteria gastroepiploica sinistra, cabang dari A.lienalis ketika
arteri ini berada di hilus lienalis, lalu berjalan di dalam
ligamentum gastrolienale ke ventral sampai pada curvatura
major, berada di antara kedua lembaran omentum majus dan
mengikuti curvatura major ke caudal, mengadakan anastomose
dengan a.gastroepiploica dextra.
e. Arteria gastroepiploica dextra, cabang dari a.gastroduodenalis,
berada di sebelah profunda pars superior duodeni, berjalan di
antara kedua lembaran omentum majus, mengikuti curvatura
major ke kiri. Memberi rami epiploici untuk omentum majus
(Datuk, 2004).
Aliran darah venous mengalir melalui:
a. Vena coronaria ventriculi, membawa darah venous dari facies
ventralis dan facies dorsalis ventriculi. Vena ini berjalan dari
kanan ke kiri di sepanjang curvatura minor, berada di antara
kedua lembaran omentum minus, menuju ke foramen
oesophageum. Menerima cabang-cabang vena oesophagei.
Selanjutnya vena cava ventriculi berjalan ke caudal dari kiri ke
kanan, disebelah dorsal bursa omentalis dan bermuara ke dalam
vena portae.
b. Vena gastrica brevis, yang berasal dari fundus ventriculi dan
bagian sinister curvatura major, berjalan di dalam ligamentum
gastrolienale dan bermuara kedalam vena lienalis.
7
superior.
e. Vena pylorica yang berjalan dari kiri ke kanan mengikuti
curvatura minor, berada pada pylorus dan bermuara ke dalam
vena portae (Datuk, 2004).
Lymphatic drainage
Aliran lymphe dari gaster di bagi menjadi empat bagian, yaitu:
a. Yang mengikuti a.gastrica sinistra, menerima aliran lymphe
sebagian besar dari paries ventralis dan paries dorsalis gaster, dan
membawanya menuju ke ll.nn.gastrici superiores.
b. Daerah fundus ventriculi dan corpus ventriculi yang terletak di
sebelah kiri garis vertical yang melalui oesophagus; aliran
lymphe mengikuti a.gastrica brevis dan a.gastro epiploica sinistra
menuju ke ll.nn.pancreatico lienalis.
c. Daerah curvatura major di sebelah kanan garis vertikal tadi
sampai pylorus, aliran lymphe menuju ke ll.nn.gastrici inferiores
dan efferentnya menuju ke ll.nn.subpylorici.
d. Pars pylorica memberikan aliran lymphe menuju ke
ll.nn.hepatici, ll.nn.subpylorici dan ll.nn.gastrici superiores
(Datuk, 2004).
Innervasi
a. Nervus vagus, berjalan mengikuti oesophagus, berada di kiri
kanan oesophagus, menjadi chorda anterior yang mempersarafi
facies ventralis ventriculi, memberikan cabang-cabang
rr.hepatici yang berjalan melalui omentum minus menuju ke
hepar. Chorda posterior memberikan innervasi kepada facies
posterior ventriculi, mengikuti jalan kebalikan dari a.gastrica
sinistra, dan menuju ke ganglion coeliacum; pada ganglion ini
tidak terjadi pergantian neuron. Synapse terjadi pada dinding
organ bersangkutan.
8
b. Nn.splanchnici = nervus sympathicus, merupakan serabut
postganglioner dari ganglion coeliacum, berjalan mengikuti
percabangan arteria coeliaca (Datuk, 2004).
Gambar 1. Lambung
B. Fisiologi
9
1) Motilitas
Motilitas mengacu pada kontraksi otot yang mencampur dan
mendorong isi saluran pencernaan. Otot polos di saluran pencernaan
terus menerus berkontraksi dengan kekuatan rendah yang disebut tonus.
Terhadap aktivitas tonus yang terus menerus terdapat dua jenis dasar
motilitas pencernaan:
Gerakan propulsif (mendorong) yaitu gerakan memajukan isi
saluran pencernaan kedepan dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Kecepatan propulsive bergantung pada fungsi yang dilaksanakan
oleh setiap organ pencernaan.
Gerakan mencampur memiliki fungsi ganda. Pertama, mencampur
makanan dengan getah pencernaan. Kedua, mempermudah
penyerapan dengan memajankan semua bagian isi usus
kepermukaan penyerapan.
2) Sekresi
Sejumlah getah pencernaan disekresikan kedalam lumen
saluran pencernaan oleh kelenjar-kelenjar eksokrin. Setiap sekresi
pencernaan terdiri dari air, elektrolit, dan konstituen organic spesifik
yang penting dalam proses pencernaan (misalnya enzim, garam
empedu, dan mukus). Sekresi tersebut dikeluarkan kedalam lumen
saluran pencernaan karena adanya rangsangan saraf dan hormone
sesuai.
3) Pencernaan
Pencernaan merupakan proses penguraian makanan dari
struktur yang kompleks menjadi struktur yang lebih sederhana yang
dapat diserap oleh enzim
4) Penyerapan
Proses penyerapan dilakukan di usus halus. Proses penyerapan
memindahkan molekul- molekul dan vitamin yang dihasilkan setelah
proses pencernaan berhenti dari lumen saluran pencernaan kedalam
darah atau limfe (Sherwood, 2014).
10
a. Esofagus
11
b. Gaster
12
Kelenjar pilorus terletak pada regia antrum pilorus. Kelenjar ini
mensekresi mukus dan gastrin, suatu hormon peptida yang
berpengaruh besar dalam proses sekresi lambung.
13
3) Tahap usus. Terjadi setelah kimus meninggalkan lambung dan
memasuki usus halus yang kemudian memicu faktor saraf dan
hormon.
Sekresi lambung distimulasi oleh sekresi gastrin duodenum
sehingga dapat berlangsung selama beberapa jam. Gastrin ini
dihasilkan oleh bagian atas (duodenum) usus halus dan dibawa
dalam sirkulasi menuju lambung.
Sekresi lambung dihambat oleh hormon-hormon polipeptida yang
dihasilkan duodenum. Hormon ini, yang dibawa dalam sirkulasi
menuju lambung, disekresi sebagai respons terhadap asiditas
lambung dengan pH di bawah 2 dan jika ada makanan berlemak.
Hormon-hormon ini meliputi gastric inhibitory polipeptide (GIP),
sekretin, kolesistokinin (cholecystokinin [CCK]), dan hormon
pembersih enterogastron (Chalik, 2016).
14
Mekanisme Pembentukan Asam Lambung (HCl) oleh Sel Parietal
H2O di dalam sel parietal akan terurai menjadi H+ dan OH-.
Hidroksida (OH-) akan berikatan dengan CO2 membentuk HCO3- dengan
bantuan enzim karbonik anhidrase (CA). HCO3- akan dikeluarkan ke cairan
intersisial. Ion klorida (Cl-) dan natrium (Na+) disekresi secara aktif dari
sitoplasma sel parietal ke dalam lumen canaliculi. Peristiwa tersebut
membuat potensi negatif -40 mV sampai -70 mV di membran sel parietal
yang menyebabkan ion potassium (K+) dan sejumlah kecil ionnatrium
(Na+) menyebar dari sitoplasma menuju ke dalam sel parietal canaliculi.
HCO3- yang dikeluarkan ke cairan intersisial tadi akan bertukar dengan ion
Cl-. pertukaran antara HCO3- dan Cl- dibantu oleh antiport HCO3-/Cl-. Ion
Cl- akan masuk ke rongga lambung melalui protein kanal Cl-. Sementara
ion H+ yang merupakan hasl disosiasi air juga akan keluar rongga lambung
bertukar dengan ion K+ dengan bantuan H+/K+ ATPase. Pada saat yang
sama, ion natrium secara aktif diserap kembali. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar ion K+ dan Na+ yang tadi disekresikan menjadi kembali ke
sitoplasma. Di rongga lambung, ion H+ dan Cl- akan berinteraksi
membentuk HCl atau asam lambung. PH terendah dari asam yang
disekresikan adalah 0,8 namun asam diencerkan dalam lumen perut sampai
pH antara 1 dan 3. (Sherwood, 2014).
15
Produksi asam lambung diatur oleh sistem saraf otoom dan beberapa
hormone. Sistem saraf parasimpatis, melalui saraf vagus, dan hormon
gastrin merangsang sel parietal untuk menghasilkan asam lambung,
keduanya secara langsung bekerja pada sel parietal dan secara tidak
langsung, melalui stimulasi sekresi hormon histamin dari sel
enterochromaffine (ECL). Peptida intestinal vasoaktif, cholecystokinin, dan
secretin merupakan agen yang menghambat produksi asam lambung.
Produksi asam lambung di perut diatur oleh regulator positif dan mekanisme
umpan balik negatif. Empat jenis sel terlibat dalam proses ini yakni sel
parietal, sel G, sel D dan sel ECL (Enterochromaffine like cell). Selain itu,
ujung saraf vagus (CN X) dan pleksus saraf intramural di saluran
pencernaan juga mempengaruhi sekresi secara signifikan.
Saraf akhir di perut mengeluarkan dua neurotransmiter stimulasi
yakni acetylcholine and gastrin-releasing peptide. Fungsi kedua saraf
stimulasi tersebut adalah memediasi sekresi gastrin dari sel G dan histamin
dari sel enterochromaffine. Gastrin bekerja pada sel parietal secara langsung
dan tidak langsung juga, dengan merangsang pelepasan histamin. Pelepasan
histamin adalah mekanisme regulasi positif terpenting dari sekresi asam
lambung di perut. Pelepasannya dirangsang oleh gastrin dan asetilkolin dan
dihambat oleh somatostatin. (Sherwood, 2014).
16
Hormon-hormon gastrointestinal terdiri atas gastrin, sekretin, gastric
inhibitory polypeptide (GIP), cholecystokinin (CCP), motilin, pancreatic peptide
(PP), enteroglukagon dan peptid-peptida lain. Hormon tersebut bekerja melalui
mekanisme parakrin dan neurokrin. Ada beberapa polipeptida lain yang bekerja
hanya melalui mekanisme neurokrin antara lain vasoactive intestinal peptide
(VIP), somatostatin, substance-P, encephalin, dan neurotensin. (Liddle,2007:3).
17
bikarbonat pankreas, GIP meurunkan sekresi asam lambung, VIP meningkatkan
sekresi bikarbonat pankreas, motilin memulai pergerakan usus, somatostatin
menurunkan sekresi protein bikarbonat pancreas (Liddle,2007:3).
18
- Genetik
- Diet
- Alkohol
- Merokok
- Obat obat tertentu
Penyakit tukak peptik terdiri dari tukak gaster dan tukak duodenum
yang memiliki pathogenesis, etiologi, dan manifestasi klinis yang mirip satu
dengan yang lain, namun terdapat beberapa karakteristik yang dapat
membedakan keduanya. Tukak peptik merupakan penyebab tersering
perdarahan dari saluran cerna bagian atas. Berdasarkan etiologinya, Tukak
peptikum bisa disebabkan karena (1) infeksi Helicobacter pylori, (2) Obat-
obatan anti inflamasi non-steroid (OAINS), (3) Asam lambung dan Pepsin.
Keluhan yang paling sering dirasakan adalah rasa nyeri di
epigastrium. Nyeri pada tukak gaster terjadi segera setelah makan, nyeri
pada tukak duodenum terjadi 2-3 jam sesudah makan atau saat lapar dan
membaik setelah makan atau minum antasida. sedangkan nyeri pada tukak
peptik 1-5 jam setelah makan. Tukak dapat mengalami berbagai macam
komplikasi, yang tersering adalah perdarahan yang ditandai oleh
hematemesis, melena dan fecal blood test positif. Tukak kronik pada
duodenum atau pilorus menyebabkan obstruksi outlet gaster yang
menyebabkan rasa penuh, kembung, disertai mual diikuti muntah yang
terjadi beberapa jam setelah makan.
b. Dispepsia
19
- Kanker lambung
- Gastroparesis
- Infeksi Helicobacter pylori
20
d. Gastritis
21
- Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan
melena, kemudian disusul dengan tanda tanda anemia pasca
perdarahan
b) Gastriris Kronik
e. Karsinoma Esofagus
22
fistula trakeoesofageal yang pada gilirannya juga mengakibatkan
batuk-batuk selagi menelan. Komplikasi pulmonal lainnya yang sering
terjadi adalah pneumonia
Perdarahan pada tumor mengakibatkan anemia defisiensi besi,
atau hematemesis dan melena.
f. Tumor Gaster
Tumor gaster terdiri atas tumor jinak dan tumor ganas. Tumor
jinak lebih jarang daripada tumor ganas. Tumor ganas didapatkan 10
kali lebih banyak daripada tumor jinak. Tumor ganas yang terbanyak
adalah adenokarsinoma dan tumor ini menempati urutan ketiga tumor
saluran cerna di Amaerika Serikat setelah tumor kolon dan pancreas.
Keluhan utama tumor ganas gaster adalah berat badan menurun
(82%), nyeri epigastrium (63%), muntah (41%), keluhan pencernaan
(40%), anoreksia (17%), sendawa (10%), hematemesis (7%), regurgitasi
(7%), dan lekas kenyang (5%).
a. Antasida
Antasida adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk
menetralkan asam lambung atau mengikatnya (Depkes RI, 2008).
Semua obat antasida mempunyai fungsi untuk mengurangi gejala yang
berhubungan dengan kelebihan asam lambung, tukak lambung, gastritis,
tukak usus dua belas jari dengan gejala seperti mual, muntah, nyeri
lambung, nyeri ulu hati dan perasaan penuh pada lambung (Depkes RI,
2006).
Kebanyakan kerja antasida bersifat lokal karena hanya sebagian
kecil dari zat aktifnya yang diabsorbsi. Antasida merupakan asam lemah
maka jika berikatan dengan asam yang ada di lambung menyebabkan
keasaman lambung berkurang (Priyanto, 2008). Penggunaan antasida
23
bersama-sama dengan obat lain sebaiknya dihindari karena mungkin
dapat menggangu absorbsi lain. Selain itu antasida mungkin dapat
merusak salut enteric yang dirancang untuk mencegah pelarutan obat
dalam lambung (Depkes RI, 2009).
Antasida yang mengandung magnesium tidak boleh digunakan
pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 30 ml/menit karena
eksresi magnesium dapat menyebabkan toksisitas. Hiperkalemia dapat
terjadi pada pasien dengan fungsi renal normal dengan intake kalsium
karbonat lebih dari 20 gram/hari dan pasien gagal ginjal dengan intake
lebih dari 4 gram/hari (Depkes RI, 2008).
Antasida paling baik diberikan saat muncul atau diperkirakan
akan muncul gejala, lazimnya diantara waktu makan dan sebelum tidur,
4 kali sehari atau lebih (Depkes RI, 2008). Sediaan antasida dapat
digolongkan menjadi:
1) Antasida dengan kandungan Alumunium dan atau Magnesium
Antasida yang mengandung alumunium atau magnesium yang
relatif tidak larut dalam air seperti magnesium karbonat, hidroksida,
dan trisilikat serta alumunium glisinat dan hidroksida, bekerja lama
bila berada dalam lambung sehingga sebagian besar tujuan pemberian
antasida tercapai (Depkes RI, 2008).
Sediaan yang mengandung magnesium mungkin dapat
menyebabkan diare, sedangkan sediaan yang mengandung
alumunium mungkin dapat menyebabkan konstipasi (Depkes RI,
2009). Antasida yang mengandung magnesium dan alumunium daoat
mengurangi efek samping pada usus besar ini (Depkes RI, 2008).
a) Alumunium Hidroksida
Zat koloidal ini sebagian terdiri dari alumunium hidroksida dan
sebagian lagi sebagai alumunium oksida terikat pada molekul air. Zat
ini berkhasiat adstringens yaitu menciutkan selaput lender berdasarkan
sifat ion alumunium yang membentuk kompleks dengan protein. Juga
dapat menutupi tukak lambung dengan suatu lapisan pelindung (Tjay
24
dan Rahardja, 2007). Dosis yang digunakan adalah 1-2 tablet
dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau diperlukan dan
sediaan suspense 1-2 sachet (7-14 mL), 3-4 kali sehari, anak
dibawah 8 tahun ½-1 sachet, 3-4 kali sehari. Contoh obat yang
mengandung alumunium hidroksida antara lain: Tomaag, Magtral,
Corsamaag, Aludonna, Actal, Waisan, Polysilane.
b) Magnesium Hidroksida
Magnesium hidroksida memiliki daya netralisasi kuat, cepat
dan banyak digunakan dalam sediaan terhadap gangguan lambung
bersama alumunium hidroksida, karbonat, dimetikon, dan alginat
(Tjay dan Rahardja, 2007). Dosis yang digunakan 1-2 tablet
dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan dan
sediaan suspensi 5 mL, 3-4 kali sehari. Contoh obatnya: Promag,
Ticomag, Tomaag, Farmacro, Mylacid (Depkes RI, 2011)
25
tahun digunakan sesuai dengan petunjuk dokter. Contoh obatnya:
Neosanmag fast dan Promag double action (Depkes RI, 2008).
e) Magnesium karbonat
Dosis yang digunakan 1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan
sebeluum tidur atau saat diperlukan dengan dosis suspense 5 mL,
3-4 kali sehari. Contoh obat yang beredar antara lain: Alumunium
hidroksida dan Magnesium trisilikat, Antasida DOEN, Decamag,
Hufamag, Magasida, Mylanta, Promag, Stopmag, Waisan (Depkes
RI, 2008).
f) Magnesium trisilikat
Magnesium trisilikat bekerja lebih lambat dan lebih lama
daripada natrium bikarbonat. Daya netralisasinya cukup baik, juga
berkhasiat adsorben (menyerap zat-zat lain pada permukaanya). Obat
ini bereaksi dengan asam lambung dan membentuk selesium
26
hidroksida yang menutupi tukak lambung dengan suatu lapisan
pelindung yang berbentuk gel. Efek samping pada penggunaan jangka
panjang zat ini adalah pembentukan batu ginjal (batu silikat) (Tjay dan
Rahardja, 2007).
27
kembung (flatulen) (Depkes RI, 2009). Pada perawatan paliatif dapat
mengatasi cegukan (Depkes RI, 2008).
b. Antagonis Reseptor H2
Semua antagonis reseptor H2 mengatasi tukak lambung dan
duodenum dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat
penghambatan reseptor histamin-H2. Antagonis H2 sebaiknya digunakan
dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kehamilan dan pada
pasien menyusui (Depkes RI, 2008).
Efek samping antagonis reseptor H2 adalah diare dan gangguan
saluran cerna lainnya, pengaruh terhadap pemeriksaan fungsi hati, sakit
kepala, pusingm ruam, dan rasa letuh (Depkes RI, 2009). Contoh obat-
obatan yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain yaitu
Famotidin, Ranitidin, Ranitidin bismuth nitrat dan simetidin (Depkes RI,
2008).
Reseptor H-2, sebuah subtipe reseptor histamin, ditemukan oleh Sir
James Black pada tahun 1971, sebagai mediator penting dalam asam
lambung. Reseptor histamin berada pada lapisan basolateral dan sel parietal.
Adanya histamin pada reseptor H-2 akan mengaktifasi adenilsiklase dan
terjadi peningkatan konsentrasi cyclic- adenosin monophosphate (c-AMP)
intraselular. Peningkatan konsentrasi c-AMP mengaktifasi pompa proton
(hidroksida kalium ATP-ase) pada sel parietal untuk mensekresi ion
hidrogen (H+) menggantikan posisi ion kalium (K+). ARH-2 secara selektif
dan kompetitif menghambat pengikatan histamin pada reseptor H-2,
selanjutnya menurunkan konsentrasi c-AMP dan menurunkan sekresi ion
28
pertama yang ditemukan, yang mengandung cincin imidazol dari histamin.
Pada penemuan selanjutnya cincin imidazol digantikan dengan senyawa
furan (ranitidin) dan senyawa tiazol (famotidin dan nizatidin).
Sekresi asam lambung basal normal rata-rata 2-4 mEq/ jam dengan
dosis standar ARH-2 dapat menurun- kan sekresi asam lambung hingga 60-
70%. Pada dosis yang sesuai semua jenis ARH-2 mempunyai efikasi yang
hampir sama, tetapi secara farmakodinamik simetidin dan ranitidin memiliki sifat
lebih baik dan merupakan pilihan pertama pada pengobatan UP pada anak.
Farmakokinetik
Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah
pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin diberikan
29
bersama atau segerasetelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang efek pada periode pascamakan. Absorpsi simetidin
terutama terjadi pada menit ke 60-90.
Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal
10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80 % dari dosis IV dan 40% dari
dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa
paruh eliminasinya sekitar 2 jam.Biovailabilitas ranitidin yang
diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit
hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan
memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien
penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun
tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai
dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan
yang terikat protein plasma hanya 15%. Ratinidin mengalami
metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah
pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui
ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang diberikan
IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam
bentuk asal.Meskipun dari penelitian tidak didapatkan efek yang
merugikan pada fetus, namun karena simetidin, ranitidin, dan antagonis
reseptor H2 lainnyadapat melalui plasenta maka penggunaannya hanya
bila sangat diperlukan. Antagonis reseptor H2 juga melalui ASI dan
dapat mempengaruhi fetus.
2) Famotidin
Farmakodinamik.
Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidin, famotidin merupakan
AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan
basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga
kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada
simetidin.
30
Farmakokinetik.
Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira-kira dalam 2 jam
setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan
bioavailabilitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida.
Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam
bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi
dapat melebihi 20 jam
3) Nizatidin
Farmakodinamik.
Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang
lebih sama dengan ranitidin.
Farmakokinetik.
Bioavailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi
oleh makanan atau antikolinergik. Klirens menurun pada pasien uremik
dan usia lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral
dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 1/2 jam dan lama kerja
sampai dengan 10 jam. Nizatidin disekskresi terutama melalui ginjal
90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.
31
R danS. Esomeprazol adalah isomer S omeprazole (S-ome-prazol) yang
mengalami eliminasi lebih lambaat dari R-omeprazol.
Farmakodinamik
Penghambat pompa proton adalah suatu prodrug yang
membutuhkan suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan
masuk ke sirkulasi sistemik obat ini akan berdifusi ke sel parietal lambung,
terkumpul dikanalikuli sekretoar dan mengalami aktivasi disitu menjadi
bentuk sulfonamide tertasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus
sulfhidril enzim H+,K+,ATPase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton)
dan berada dimembran apical sel parietal. Ikatan ini menyebabkan
terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung terhenti
80% s/d 95% seteelah penghambatan pompa proton tersebut.
Penghambatan berlangsung lama sekitar 24-48 jam dan dapat
menurunkan sekresi asam lambung basal atau akibat stimulasi, lepas dari
jenis perangsangannya histamine,asetilkolin,dan gastrin. Hambatan
inisifatnya ireversibel produksi asam baru dapat kembali terjadi setelah 3-4
hari pengobatan dihentikan.
Farmakokinetik
Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut
enteriuntuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam.
Sediaan ini tidak mengalami aktivasi di lambung sehingga
bioavailabilitasnya lebih baik. Tablet yang pecah di lambung mengalami
aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidhi mukus dan makanan.
Bioavailabilitasnya akan me nurun sampai dengan 50% karena pengaruh
makanan. Oleh sebab itu sebaiknya diberikan 30 menit sebelum makan.
Obat ini mempunyai masalah bioavailabilitas,formulasi berbeda
memperlihatkan presentasi jumlah absorpsi yang bervariasi luas.
Bioavailabilitas tablet yang bukan salut enterik meningkat dalam 5-7 hari
ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya produksi asam lambung setelah
32
obat bekerja. Obal ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 (CYP)
terutama CYP2C19 dan CYP3A4.
d. Ctoprotectans (Sucralfate)
e. Braxidin
33
dengan reseptor subtipe GABAA. Berikatan dengan reseptor agonis
menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang menyebabakan
hiperpolarisasi dari membran postsinpatik, dimana dapat membuat neuron
ini resisten terhadap rangsangan. Dengan cara demikian obat ini
memfasilitasi efek inhibitor dari GABA sehingga meningkatkan efek
GABA dan menghasilkan efek sedasi, tidur dan berbagai macam efek
seperti mengurangi kegelisahan dan sebagai muscle relaxant. Reseptor
benzodiazepin dapat ditemukan di otak dan medula spinalis, dengan
densitas tinggi pada korteks serebral, serebelum dan hipokampus dan
densitas rendah pada medula spinalis. Kemudian, Clidinium adalah agen
antikolinergik sintetis yang telah ditunjukkan dalam studi eksperimental dan
klinis memiliki efek antispasmodik dan antisekresi yang nyata pada saluran
pencernaan. Ini menghambat tindakan muskarinik asetilkolin di situs
neuroeffector parasimpatis postganglionik. Ini digunakan untuk pengobatan
penyakit tukak lambung dan juga untuk membantu meredakan kejang atau
kram perut atau perut karena sakit perut kolik, divertikulitis, dan sindrom
iritasi usus besar.
34
b) Hematemesis
Hematemesis merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan
saluran cerna bagian atas (upper gastrointestinal tract). Hematemesis bisa
dalam bentuk darah segar (bekuan/gumpalan/cairan warna merah cerah)
atau berubah karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan
berbentuk seperti butiran kopi. Penyebab dari hematemesis dapat berasal
dari kelainan esofagus, kelainan lambung, dan kelainan duodenum.
c) Anemia
Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat mengakibatkan anemia oleh
karena kehilangan darah dalam jumlah tertentu. Ketika kehilangan darah,
tubuh dengan cepat menarik air dari jaringan di luar aliran darah untuk
menjaga agar pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya, darah menjadi encer,
dan hematokrit (persentase sel darah merah dalam jumlah total darah dalam
tubuh, atau volume darah) berkurang. Akhirnya, peningkatan produksi sel
darah merah oleh sumsum tulang dapat memperbaiki anemia. Namun,
seiring berjalannya waktu, pendarahan mengurangi jumlah zat besi dalam
tubuh, sehingga sumsum tulang tidak mampu meningkatkan produksi sel
darah merah baru untuk menggantikan yang hilang.
35
- Pada saat ada rangsangan (seperti pandangan, bau, atau rasa makanan)
yang bekerja pada reseptor kortikal serebral akan merangsang saraf
vagal untuk mensinyalir sekresi asam lambung, seperti saat lambung
kosong pada malam hari, aktifitas vagal berlebihan itu merupakan iritan
yang signifikan.
- Setelah makanan berada dalam usus halus, menyebabkan pelepasan
hormon (dianggap menjadi gastrin) yang pada waktunya akan
mensekresi asam lambung. Rusaknya mukosa lambung akibat faktor-
faktor iritan akan menimbulkan reaksi radang yang akan menstimulasi
pelepasan hormon peradangan seperti bradikinin, serotonin. Hormon-
hormon ini akan merangsang hipotalamus pada pusat nyeri, sehingga
akan dirasakan nyeri akut pada pasien.
36
2. Pemeriksaan fisik
Pada pasien ulkus peptikum yang belum perforasi, umumnya
pemeriksaan fisik hanya menunjukkan nyeri tekan regio epigastrium
dan distensi abdomen. Jika sudah terjadi perforasi, akan didapatkan
nyeri yang tajam, berat dan tiba-tiba, biasanya dirasakan di seluruh
abdomen. Pasien akan tampak kesakitan dan sulit bergerak, dengan
posisi berbaring dalam posisi fetal. Pada pemeriksaan abdomen akan
didapatkan nyeri tekan seluruh kuadran disertai rigiditas dan defans
muskular.
3. Pemeriksaan Penunjang
Penyakit ulkus peptik dapat didiagnosa menggunakan
endoskopi atau dengan contrast radiographyun barium untuk melihat
lubang ulkus. Apabila pasien dengan usia muda terdiagnosis tukak
peptik dan tidak ditemukan gejala yang mengkhawatirkan, dapat
dipastikan penyebabnya ialah infeksi helicobacter phylori, tetapi untuk
pasien diatas usia 50 tahun endoskopi sangat berguna untuk
menentukan penyebab ulkus peptik. Tanda-tanda yang mengindikasi
keganasan penyakit atau komplikasi usus yakni anemia, penurunan
berat badan, haematesis dan melena. Selain dengan endokopi infeksi
helicobacter Pylori dapat didiagnosis dengan deteksi urease, breath
urease test dan stool test untuk mendeteksi anti gen yang spesifik.
Tes hematokrit, hemaglobin dan feses guaiac dilakukan untuk
mendeteksi ketika terjadi pendarahan. Untuk diagnosis infeksi
helicobacter pylori dapat melakukan tes endoskopi atau non endoskopi
(urea breath test), deteksi antibodi serologis dan antigen tinja. Urea
breath test (UBT) adalah metode non endoskopik yang lebih digunakan
untuk membunuh helicobacter pylori tetapi harus ditunda setidaknya 4
minggu setelah selesai melakukan perawatan untuk menghindari adanya
37
tekanan bakteri setelah dimusnahkan. Pada diagnosis tukak peptik
tergantung pada gambaran kawah ulkus dengan radiografi
gastrointestinal atas atau endoskopi. Endoskopi dipilih untuk
menggantikan radiografi karena hasilnya memberikan hasil yang lebih
akurat dan memungkinkan gambaran langsung dari ulkus
b. Gatritis
1. Anamnesis
Gastritis akut
a) Nyeri epigastrium, hal ini terjadi karena adanya peradangan
pada mukosa labung
b) Mual, kembung, muntah merpaan salah satu keluhan yang
sering muncul. Hal ini dikarenakan adanya regenerasi mukosa
lambung yang mengakibatkan mual dan muntah
c) Adanya pendarahan di saluran cerna yang di tandai dengan
hematemesis dan melena.
Gastritis kronik
Pada pasien gastritis kronik umuntidak memiliki keluhan. Hanya
sebagan kecil mengeluh nyeri ulu hati, anoeksia dan nausea
2. Pemfis
Pada pemeriksaan fisik didapatkan beberapa gambaran yaitu
1) Inspeksi
Didapatkan adanya konjungtiva anemis
2) Auskultasi
Didapatkan adanya peningkatan bising usus
3) Palpasi
Adanya nyeri tekan pada bagian epigastrium
3. Pem. Penunjang
a. Darah lengkap, untuk mengetahui adanya anemia
38
b. Pemeriksaan serum vitamin B12, untuk mengetahui adanya
defisiensi vitamin B12
c. Analisa feses, untuk mengetahui adanya darah dalam feses
d. Analisa gaster, untuk mengetahui kadar HCL pada lambung
e. Tes antibodi serum, untuk mengetahui adanya antibodi sel parietal
dan faktor instrinsik lambung terhadap Helicobacter pylori
f. Endoskopi, bipsy, dan pemeriksaan urin biasanya dilakukan jika
ada kecurigaan berkembangnya menjadi ulkus peptikum
g. Sitologi, untuk mengetahui adanya keganasan sel lambung
39
diperiksa dengan cara yang invasif seperti gastroskopi. Pada
umumnya yang diperiksa adalah antibodi IgG terhadap kuman HP.
Teknik yang dipakai adalah dengan menggunakan ELISA,
Westernblot, fiksasi komplemen, dan imunofluoresen. ELISA
paling luas penggunaannya.
- Urea Breath Test
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk deteksi infeksi
HP secara non invasif yang pertama kali dikemukakan pada tahun
1987 oleh Graham dan Bell. Cara kerjanya adalah dengan menyuruh
pasien menelan urea yang mengandung isotop Carbon, baik 13C
ataupun 14C. Bila ada aktivitas urease dari kuman HP akan
dihasilkan isotop karbon dioksida yang diserap dan dikeluarkan
melalui pernapasan. Hasilnya dinilai dengan membandingkan
kenaikan ekskresi isotop dibandingkan dengan nilai dasar. Bila
hasilnya positif berarti terdapat infeksi kuman Hp. 13C merupakan
isotop nonradioaktif, ditemukan pada 1,11% karbon dioksida yang
keluar melalui udara pernapasan normal. Dianggap positif bila
terjadi kenaikan minimal 0,01% kadar isotop, sehingga dibutuhkan
alat mass spectrometer yang sangat sensitif tetapi harganya sangat
mahal. Mula-mula diambil sampel udara pernapasan untuk
menentukan nilai dasar. Kemudian diberikan tes meal berupa cairan
dengan kalori tinggi atau larutan 0,1 N asam sitrat untuk
memperlambat pengosongan lambung sehingga kontak antara isotop
dengan mukosa lambung lebih baik.
Dosis 13C yang diberikan adalah dalam bentuk urea
sebanyak 75-100 mg yang memberikan akurasi lebih dari 95%.
Terdapat berbagai modifikasi protokol sehingga setiap perubahan
memerlukan validasi untuk mempertahankan akurasi pemeriksaan.
Isotop 14 C memancarkan radiasi yang dapat dianalisis dengan
scintillation counter. Pengambilan sampel dilakukan sesudah 10 dan
20 menit baik dengan atau tanpa tes meal. Cara ini relatif murah,
40
tetapi harus diperhatikan standar keamanan yang baik, walaupun
sebenamya dosis radiasi sangat kecil. Cara ini tidak dianjurkan pada
perempuan hamil ataupun anak-anak.
Dalam hal akurasi, kedua cara ini setara, dengan sensitifitas
dan spesifisitas lebih dari 90%. Hasil positif palsu harus
dipertimbangkan bila diduga ada mikroorganisme lain yang juga
menghasilkan urease pada keadaan aklorhidria. Hasil' negatif palsu
dapat terjadi bila pasien mendapat antibiotik, antasid, bismuth, atau
anti sekresi asam. Karena itu dianjurkan untuk menghentikan obat
tersebut dua minggu sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan
UBT mempunyai kelebihan dibandingkan dengan tes yang
menggunakan spesimen biopsi karena mewakili seluruh permukaan
mukosa lambung. Aplikasi klinis digunakan untuk deteksi infeksi
pada studi epidemiologi dan individu pasien dan konfirmasi
keberhasilan terapi eradikasi yang dilakukan sesudah 4 minggu
kemudian.
- Biopsy Urease Test (BUT)
Dasarnya adalah adanya enzim urease dari kuman HP yang
mengubah urea menjadi amonia yang bersifat basa sehingga terjadi
perubahan warna media menjadi merah. Hasilnya dapat dibaca
dalam beberapa menit sampai 24 jam, dan pengambilan lebih dari
satu spesimen akan meningkatkan akurasi pemeriksaan ini.
Sensitivitas pemeriksaan ini sekitar 89-98% sedangkan
spesifisitasnya mencapai 100%. Tersedia berbagai pilihan mulai
yang dibuat sendiri dalam bentuk cairan ataupun padat seperti tes
CLO. Penggunaan antibiotik atau penghambat pompa proton akan
menghambat pertumbuhan kuman sehingga harus dihentikan satu
minggu sebelumnya. Cara ini tidak dapat digunakan untuk menilai
hasil pengobatan terapi eradikasi.
41
- Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi HP serta menilai derajat inflamasi gastritis.
Pemeriksaan standar dengan pewarnaan H & E untuk deteksi kuman
mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 87% dengan akurasi
92%. Pewarnaan khusus secara Giemsa, Genta atau Warthin-Starry
memberikan gambaran HP yang lebih jelas, sedangkan dengan
pewarnaan Genta gambaran metaplasia gastrik akan tampak lebih
jelas.
- Kultur Mikrobiologi
Dalam penatalaksanaan penyakit akibat infeksi HP. kultur
tidak dilakukan secara rutin karena dua alasan. Cara diagnostik lain
baik yang non invasif maupun yang invasif memberikan hasil yang
memuaskan dengan akurasi yang tinggi. Selain itu pemeriksaan
kultur sendiri tidak mudah dilakukan, dengan sensitivitas yang
relatif rendah, berkisar antara 66-98 %. Teknik yang dianjurkan
adalah dengan tes difusi agar atau dengan E test di mana sekaligus
dapat ditentukan konsentrasi inhibisi minimal dari antibiotik yang
diuji. Pemeriksaan kultur akan sangat membantu untuk pengobatan
kegagalan terapi eradikasi, sehingga dapat dipilih antibiotik yang
sesuai.
- PCR
Polymerase Chain Reaction merupakan pilihan yang
menarik karena sensitifitas yang tinggi (94-100%) serta spesifisitas
yang tinggi pula (100%). Bahan yang digunakan adalah spesimen
biopsi baik yang sudah diparafin maupun bekas tes urease seperti
CLO. Keuntungannya adalah kemampuannya untuk mendeteksi
infeksi dengan densitas yang rendah, bahkan juga ekspresi dari
berbagai gen bakteri seperti Cag.A. Selain biopsi mukosa lambung,
PCR dapat pula mendeteksi infeksi HP dengan memeriksa cairan
lambung, yang perlu dijaga jangan sampai terjadi kontaminasi baik
42
dari skop endoskopi maupun dari rongga mulut atau plak gigi karena
dapat memberikan hasil positif palsu. PCR dapat juga dipergunakan
untuk menilai hasil terapi eradikasi. Cara ini termasuk pemeriksaan
yang canggih dengan biaya yang cukup mahal.
2.7 Langkah langkah diagnosis serta tatalaksana dari Saluran Cerna Bagian
Atas
1. Anamnesis
Anamnesis yang teliti dapat membantu menentukan lokasi dan
penyebab perdarahan di waktu-waktu awal kontak dengan pasien.
Hematemesis mencerminkan perdarahan SCBA yang berasal dari atas
pilorus. Melena menandakan perdarahan telah berada di saluran cerna
setidaknya 8 jam. Melena yang terjadi tanpa hematemesis lebih sering
berasal dari pilorus atau lebih kaudal. Perdarahan pada usus halus dapat
bermanifestasi sebagai melena maupun hematokezia
2. Pemeriksaan fisik
Tanda klinis yang mendukung perdarahan SCBA adalah
peningkatan bising usus. Bising usus meningkat karena proses lewatnya
43
darah. Nyeri abdomen dengan ketegangan periumbilikal disertai distensi
abdomen biasanya merupakan tanda terjadinya perdarahan masif. Spasme
otot rektus abdominalis dan nyeri tekan epigastrik dapat berhubungan
dengan ulkus peptik. Pada keganasan gaster, dapat diraba massa dan
perbesaran kelenjar getah bening supraklavikular kiri. Splenomegali dapat
ditemukan pada pasien dengan hipertensi portal atau kelainan hemopoietik.
Pasien dengan gangguan hati dapat menunjukkan tanda ikterus,
spider nevi, konsistensi hati yang keras, asites, eritema palmar,
ginekomastia, kontraktur Dupuytren, venous hum pada umbilikus, atau
bruit arteri hepatika. Pelebaran vena superfisial di atas umbilikusyang
disertai splenomegali merupakan tanda terjadinya hipertensi portal.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan jika terdapat syok
hipovolemik tanpa perdarahan yang nyata. Pemeriksaan ini sekaligus dapat
menunjukkan lesi lokal pada rektum, nodul, indurasi, dan rigiditas kavum
Douglas yang menunjukkan adanya metastasis atau endometriosis.
Aspirasi dari pipa nasogastrik juga dapat menjadi penentu diagnosis.
Darah yang terhisap dari pipa nasograstrik di esophagogastric junction
menandakan sumber perdarahan mungkin berasal dari esofagus atau gaster.
Darah yang baru terhisap saat pipa nasogastrik berada di dalam gaster
menandakan perdarahan terjadi dalam gaster. Bila tidak terdapat darah,
perdarahan mungkin terjadi dari organ d bawah gaster.
Penurunan kadar Hb 1 g/dL dapat diasosiasikan dengan kehilangan
darah 250 mL. Penilaian Hb hendaknya dilakukan setiap 2-8 jam sekali.
BUN meningkat pada perdarahan SCBA dan bawah. Rasio BUN dan
kreatinin yang lebih dari 30:1 lebih sering terjadi pada perdarahan SCBA.
Endoskopi merupakan pemeriksaan diagnosis pilihan terhadap
perdarahan SCBA endoskopi sebaiknya segera dilakukan pada pasien
dengan instabilitas hemodinamik. Pada pasien dengan perdarahan minor,
endoskopi bermanfaat untuk pengambilan keputusan tatalaksana lanjutan.
44
4. Tatalaksana
Resusitasi cairan menggunakan larutan salin normal harus segera
diberikan pada pasien dengan perdarahan masif. Cairan salin normal dipilih
karena dapat segera menggantikan volume intravaskular yang hilang.
Oksigen dapat diberikan untuk memaksimalkan kapasitas darah
mendistribusikan O2. Pemberian transfusi darah dapat dilakukan dengan
tetap mempertimbangkan kondisi masing-masing pasien. Pertimbangan
permberian jenis dan jumlah transfusi darah harus memperhatikan usia,
penyakit penyerta, dan derajat perdarahan.
Kadar hematokrit dipertahankan sekitar 30% pada pasien tua dan
20% pada pasien muda tanpa mengesampingkan aspek yang lain. Hingga
saat ini belum ada batasan pasti waktu untuk memulai transfusi.
Pemasangan pipa nasogastrik (NGT) dan lavase lambung bertujuan
untuk mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemodinamik.
Pemasangan NGT bukan bertujuan untuk menghentikan perdarahan.
Pemasangan NGT diindikasikan pada pasien dengan perdarahan yang
diduga masih berlangsung.
Prosedur ini juga bermanfaat untuk mempersiapkan endoskopi,
memperkirakan derajat perdarahan, dan evakuasi darah yang masih berada
di lambung. Pasien dengan perdarahan SCBA sementara dipuasakan sampai
aspirat NGT jernih. American College of Gastroenterology (ACG) tidak
merekomendasikan pemasangan NGT dan lavage sebagai terapi rutin.
Saat ini, terapi standar perdaranan SCBA adalah pemberian PPI dan
endoskopi. PPI bermanfaat untuk perdarahan akibat tukak lambung.
Pemberian omeprazole dimulai dengan dosis 80 mg, dilanjutkan 80 mg
melalui infus selama 72 jam, dan peroral 20 mg/hari selama 8 minggu.
Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 dapat diberikan untuk
penyembuhan mukosa lambung. Pemberian vit K pada penyakit hati kronis
diperbolehkan. Pasien dengan perdarahan aktif dan hemodinamik tidak
stabil perlu perawatan di ruang intensif.
45
Pemberian antifibrinolitik seperti asam traneksamat belum menjadi
rekomendasi terapi perdarahan SCBA. Walaupun penggunaan asam
traneksamat disebut mampu mengurangi angka kematian, terapi ini tidak
mengurangi risiko perdarahan berulang.
Pada perdarahan varises esofagus, penggunaan vasopresin,
somatostatin, dan ocreotide bermanfaat menurunkan aliran darah splanknik.
Vasopresin diberikan degan dosis 10 unit/jam bersama dengan nitrogliserin
untuk mencegah insufisiensi koroner. Somatostatin dan ocreotide
mempunyai efek terapi lebih baik daripada vasopresin. Somatostatin
diberikan dengan dosis awal bolus 250 mcg dilanjutkan 250 mcg selama 12-
24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
2.8 DD & DS
A. Infeksi Helicobacter pylori
a) Definisi
46
b) Epidemiologi
c) Patogenesis
47
kompleks dari faktor inang dan bakterial (patogen, yaitu H.pylori). Para
peneliti telah mengidentifikasi beberapa protein bakteri yang
dibutuhkan untuk kolonisasi H.pylori pada mukosa lambung. Termasuk
beberapa protein aktif yang dibutuhkan H.pylori untuk masuk ke dalam
permukaan mukosa (contohnya flagellin, yang telah dikodekan menjadi
gen flaA dan flaB). Ketika bakteri sudah berada dalam mukosa
lambung, terjadi perangsangan hipoklorhidria dengan mekanisme yang
belum diketahui. Enzim urease yang diproduksi oleh bakteri
menciptakan lingkungan mikro yang baik untuk terjadinya kolonisasi.
Terdapat pula peranan enzim cecropins yang dihasilkan oleh bakteri
H.pylori dan menginhibisi pertumbuhan dari organisme kompetitor.
Juga terdapat enzim adenosinetriphosphatase tipe P, yang mencegah
terjadinya alkalinisasi yang berlebihan akibat aktivitas urease (Setiati
Set all, 2014).
Begitu menempel pada mukosa lambung, H.pylori
menyebabkan cedera jaringan melalui rangkaian kejadian yang
kompleks yang tergantung pada faktor inang dan pathogen. H.pylori,
seperti bakteri gram negatif lainnya memiliki dinding sel
lipopolisakarida yang dapat merusak integritas mukosa. Kemudian,
H.pylori melepaskan beberapa protein pathogen yang dapat
menginduksi cedera jaringan. Contohnya, protein CagA, yang
diproduksi oleh cytotoxic associated gene A (cagA), adalah protein
immunogenik yang kuat yang dapat dihubungkan dengan keadaan
klinis yang berat, seperti tukak peptik dan adenokasinoma lambung
(walaupun hal ini masih banyak dipertanyakan). Terdapat bukti-bukti
yang semakin bertambah bahwa CagA dihubungkan dengan
adenokarsinoma distal, dan bukan yang proksimal. Sebagai tambahan,
protein yang dihasilkan oleh gen vacuolating cytotoxin A (vacA) dan
gen A yang diinduksi oleh kontak dengan epithelium (iceA), telah
diketahui juga berhubungan dengan cedera mukosa. Saat kolonisasi
pada mukosa berlangsung, protein immunogenik H.pylori menginduksi
48
reaksi inflamasi yaitu dengan gastritis neutropilik, yang menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis dari infeksi. Proses ini diperantarai oleh
faktor inang, termasuk interleukin 1, 2, 6, 8, dan 12; interferon gamma;
TNF-α; limfosit T dan B; dan sel-sel fagosit. Faktor-faktor ini
menyebabkan cedera jaringan dengan melepaskan berbagai oksigen
reaktif dan sitokin-sitokin peradangan.H.pylori juga dapat
mempercepat apoptosis dari mukosa (Setiati Set all, 2014).
d) Faktor Risiko
e) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala,
dispepsia fungsional, tukak peptik dan kanker lambung. Pernah pula
dilaporkan dalam studi kasus kelola peran infeksi HP pada penyakit
jantung koroner (Setiati Set all, 2014).
f) Diagnosis
49
diagnostik cukup sulit karena harus melakukan tindakan yang invasif
yaitu dengan melakukan gastroskopi untuk mendapatkan spesimen
yang diperlukan untuk pemeriksaan langsung. Histopatologi ataupun
kultur mikrobiologi. Selain itu terdapat pemeriksaan non invasif seperti
tes serologi dan urea breath test (UBT) (Setiati Set all, 2014).
Tujuan pemeriksaan diagnostik infeksi HP adalah untuk
menetapkan adanya infeksi sebelum memberikan pengobatan atau
untuk penelitian epidemiologi. Selain itu untuk mengamati apakah telah
tercapai eradikasi sesudah pemberian obat antibiotik. Dalam
perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi HP adalah sebagai
berikut:
• Non invasif: Serologi: serologi, uji napas urea, dan uji antigen tinja.
- Uji napas urea: Pada tes sederhana ini, pasien minum suatu
larutan urea berlabel lalu meniup ke dalam suatu tabung. Urea
dilabel dengan isotop non-radioaktif 13C atau isotop radioaktif
dosis rendah 14C. Jika terdapat urease H. pylori, urea
terhidrolisis dan karbon dioksida berlabel akan terdeteksi dalam
sampel napas.
- Tes antigen tinja: pemeriksaan sederhana lainnya, lebih mudah
dan mungkin lebih murah daripada tes napas urea, tetapi pada
beberapa penelitian perbandingan sedikit kurang akurat.
- Serologi: Tes paling sederhana untuk memastikan status H.
pylori adalah pemeriksaan serologik yang mengukur kadar IgG
spesifik dalam serum dengan enzyme-linked immunosorbent
assay atau immunoblot.
50
karena tes-tes ini bergantung pada sedikit banyaknya jumlah H.
pylori, penggunaan tes-tes ini <4 minggu Setelah pengobatan dapat
memberi hasil negatif-palsu. Selain itu, tes ini kurang dapat
diandalkan jika dilakukan dalam 4 minggu setelah terapi dengan
antibiotik atau senyawa dau dalam 2 minggu setelah penghentian
pemberian pompa proton (PPI) (Longo D.L, 2014).
- Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi HP serta menilai derajat inflamasi gastritis.
Pemeriksaan standar dengan pewarnaan HE untuk deteksi
kuman mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 87%
dengan akurasi 92%. Pewarnaan khusus secara Giemsa, Genta
51
atau Warthin-Starry memberikan gambaran HP yang lebih jelas,
sedangkan dengan pewarnaan Genta gambaran metaplasia akan
tampak jelas. Densitas kuman akan merun bila sebelumnya
diberikan obat antibiotik atau inhibitor pompa proton, sehingga
akan menurunkan sensitivitas pemeriksaan (Setiati S et all,
2014).
- Biakan Mikrobiologi
Dalam penatalaksanaan penyakit akibat infeksi HP.
Kultur tidak dilakukan secara rutin karena dua alasan. Cara
diagnostik lain baik yang non invasif maupun yang invasif
memberikan hasil yang memuaskan dengan akurasi yang tinggi.
Selain itu pemeriksaan kultur sendiri tidak mudah dilakukan,
dengan sensitivitas yang relatif rendah, berkisar antara 66-98 %.
Teknik yang dianjurkan adalah dengan tes difusi agar atau
dengan E test di mana sekaligus dapat ditentukan konsentrasi
inhibisi minimal dari antibiotik untuk pengobatan kegagalan
terapi eradikasi, sehingga yang diuji. Pemeriksaan kultur akan
sangat membantu dapat dipilih antibiotik yang sesuai.
52
dari rongga mulut atau plak gigi karena dapat memberikan hasil
positif Palsu. PCR dapat juga dipergunakan untuk menilai hasil
terapi eradikasi. Cara ini termasuk pemeriksaan yang dengan
biaya yang cukup mahal (Setiati S et all, 2014).
g) Tatalaksana
Terapi Eradikasi
Laporan uji klinik terapi infeksi HP di Indonesia pada mulanya
menggunakan monoterapi menggunakan preparat bismuth dengan
tujuan supresi dan bukan eradikasi. Pada masa kini rejimen terapi yang
digunakan adalah terapi kombinasi antara penghambat pompa proton
dengan dua atau tiga macam antibiotik (Setiati Set all, 2014).
53
Lini kedua:Golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen yang
mengandung Klaritomisin
PPI 2x1 7 – 14 Hari
Bismut subsalisilat 2 x 2 tablet
Metronidazole 3 x 500 mg
Terasiklin 4 x 250 mg
Regimen lain lini kedua
PPI 2x1 7 – 14 Hari
Amoksisilin 2 x 1000 mg
Levofloksasin 2 x 500 mg
Lini ketiga: jika gagal denga rejimen lini kedua. Bila memungkinkan,
pilihan ditentukan berdesarkan uji resistensi dan atauperubahan klinis
PPI 2x1 7 – 14 Hari
Amoksisilin 2 x 1000 mg
Levofloksasin 2 x 500 mg
Rifabutin 0,15 g
Tabel 1: Regimen Terapi Yang Dianjurkan Untuk Helicobacter Pylori.
54
B. Gastritis
a) Definisi
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung. Gastritis merupakan gangguan kesehatan yang paling sering
dijumpai di klinik, karena diagnosisnya sering hanya berdasarkan gejala
klinis bukan pemeriksaan histopatologi (Djojodiningrat, 2014).
b) Epidemiologi
Angka kejadian gastritis berdasarkan data WHO South-East region
menyatakan bahwa India tertinggi mencapai 43% dan Indonesia
menjadi negara dengan gastritis terbesar ke-2 di asia mencapai 40,8%.
Data ini tervalidasi jika dilihat dari keadaan kondisi Indonesia.
Mayoritas di Asia 50% kondisi dispepsia dan gastritis belum terindikasi
penyebab organik dan tanpa ada alarm sign. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI) menyatakan bahwa angka kejadian
gastritis di beberapa kota di Indonesia yang tertinggi mencapai 91,6%
yaitu di kota Medan, lalu di beberapa kota lainnya seperti Surabaya
31,2%, Denpasar 46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5%, Palembang
35,3%, Aceh 31,7% dan Pontianak 31,2%. Hal tersebut disebabkan oleh
pola makan yang kurang sehat. Hasil endoskopi di beberapa center
rumah sakit didapatkan 44,7 % kasus kelainan pada gastritis dan
duodenitis, 6,5% kasus dengan ulkus gaster, dan normal pada 8,2%
kasus. Prevalensi pelayanan kesehatan primer dengan keluhan
dyspepsia pada geriatric mencapai 30% dan 50% ditemukan pada
praktek dokter spesialis penyakit dalam. Berdasarkan data dinas
kesehatan provinsi lampung menyatakan bahwa Gastritis dan dispepsia
merupakan 10 penyakit terbanyak yang dikeluhkan masyarakat
Lampung pada rentang usia geriatri dan remaja. (Ahmad Farishal, dkk.
2018).
55
c) Etiologi
Penyebab utama gastritis adalah bakteri Helicobacter pylori, virus,
atau parasit lainnya juga dapat menyebakan gastritis. Kontributor
gastritis akut adalah meminum alkohol secara berlebihan, infeksi dari
kontaminasi makanan yang dimakan, dan penggunaan kokain.
Kortikosteroid juga dapat menyebabkan gastritis seperti NSAID aspirin
dan ibuprofen.
Selain itu beberapa penyebab gastritis diantaranya yaitu konsumsi
alkohol berlebihan, stress dan juga autoimun (Gomez, 2012).
d) Klasifikasi
Menurut Suratun (2010), jenis-jenis gastritis adalah sebagai berikut :
1) Gastritis akut, merupakan peradangan pada mukosa lambung
yang menyebabkan erosi dan perdarahan mukosa lambung dan
setelah terpapar pada zat iritan. Erosi tidak mengenai lapisan
otot.
2) Gastritis kronik, merupakan gastritis yang terkait dengan atropi
mukosa gastrik sehingga produksi HCI menurun dan
menimbulkan kondisi achlorhydria dan ulserasi peptic gastritis
kronis dapat diklasifikasikan pada tipe A dan tipe B.
a) Tipe A merupakan gastritis autoimun. Adanya antibody
terhadap sel parietal menimbulkan reaksi peradanagan yang
pada akhirnya dapat menimbulkan atropi mukosa lambung.
Pada 95% pasien dengan anemia persiosa dan 60 % pasien
dengan gastritis atropi kronik memiliki antibody terhadap sel
parietal. Biasanya kondisi ini menjadi tendensi terjadinya Ca
Lambung pada fundus atau korpus.
b) Tipe B merupakan gastritis yang terjadi akibat infeksi oleh
helicobacter pylori. Terdapat inflamasi yang difuse pada
lapisan mukosa sampai muskularis, sehingga sering
56
menyebabkan perdarahan dan erosi sering mengenai antrum
(Setiati, 2017).
e) Patofisiologi
Proses terjadinya gastritisa atau mag yaitu awalnya karena obat-
obatan, alkohol, empedu atau enzim-enzim pankreas yang dapat
merusak mukosa lambung menggangu pertahanan mukosa lambung dan
memungkinkan difusi kembali asam dan pepsin ke dalam jaringan
lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respon mukosa lambung
terhadap kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi
mukosa, karena itu gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang
dengan sendirinya. Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi
meradang dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat seperti asam
dan basa kuat yang bersifat korosif dapat mengakibatkan peradangan
pada dinding lambung (Mansjoer, 2001).
f) Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari gastritis akut dapat bervariasi dari keluhan
abdomen yang tidak jelas, seperti anoreksia atau mual, sampai gejala
lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah, perdarahan dan
hematemesis. Pada pemeriksaan fisis biasanya tidak ditemukan
kelainan, kecuali mereka yang mengalami perdarahan yang hebat
sehingga menimbulkan tanda dan gejala gangguan hemodinamik yang
nyata seperti hipotensi, pucat, keringat dingin, takikardia sampai
gangguan kesadaran. Klien juga mengeluh kembung, rasa asam di
mulut. Sedangkan manifestasi klinis dari gastritis kronik; gejala
defisiensi B12, sakit ulu hati setelah makan, bersendawa rasa pahit
dalam mulut, mual dan muntah.
Walaupun banyak kondisi yang dapat menyebabkan gastritis, gejala
dan tanda penyakit ini sama antara satu dengan yang lainnya. Gejala-
gejala tersebut antara lain perih atau sakit seperti terbakar pada perut
57
bagian atas yang dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk ketika
makan, mual, muntah, kehilangan selera makan, kembung, terasa penuh
pada perut bagian atas setelah makan dan kehilangan berat badan
(Malyca DR. 2021).
g) Diagnosis
Kebanyakan penyakit gastritis tanpa gejala. Mereka yang
mempunyai keluhan biasanya berupa keluhan yang tidak khas. Keluhan
yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis adalah nyeri panas
dan pedih di ulu hati disertai mual, kadang-kadang sampai muntah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan
histopatologi. Sebaiknya biopsy dilakukan dengan sistematis sesuai
dengan update Sydney system yang mengharuskan mencantumkan
topografi. Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema,
eksudatif, flat-erotion, raised erotion, perdarahan, edematous rugae.
Perubahan-perubahan histopatologi selain menggambarkan proses yang
mendasari, misalnya autoimun atau respon adaptif mukosa lambung.
Perubahan-perubahan yang terjadi berupa degradasi epitel, hyperplasia
foveolar, infiltrasi neutrophil, inflamasi sel mononuclear, folikel
lymphoid, atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin,
kerusakan sel parietal. Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga
menyertakan pemeriksaan kuman HP. (Djojodiningrat, 2014).
h) Tatalaksana
a) Terapi Farmakologi
Antikoagulan: diberikan bila ada perdarahan pada lambung.
Antasida: diberikan untuk menetralkan asam lambung
Ranitidine: diberikan untuk menghambat pembentukan asam
lambung dan kemudian menurunkan iritasi lambung
58
Sucralfate: diberikan untuk melindungi mukosa lambung
dengan cara menyeliputinya, untuk mencegah difusi kembali
asam dan pepsin yang menyebabkan iritasi
Proton pump inhibitor (PPI): diberikan untuk menghentikan
produksi asam lambung dan menghambat infeksi bakteri
Helicobacter pylori.
Pengobatan gastritis akibat infeksi kuman Helicobacter
pylori bertujuan untuk melalukan eradikasi kuman tersebut.
Pada saat ini indikasi yang telah disetujui secara universal
untuk melakukan eradikasi adalah infeksi kuman
Helicobacter pylori yang ada hubungannya dengan tukak
peptik dan yang berhubungan dengan low grade B cell
lymphoma. Sedangkan pasien yang menderita dispepsia non
tukak, walaupun berhubungan dengan infeksi kuman
Helicobacter pylori eradikasi terhadap kuman tersebut masih
menjadi perdebatan. Mereka yang setuju berpendapat bahwa
eradikasi kuman tersebut ditinjau dari epidemiologi
diharapkan dapat menekan kejadian atropi dan metaplasia
pada pasien-pasien yang sudah terinfeksi. Selanjutnya dapat
mencegah tukak peptik, kanker lambung dan limfoma.
Mereka yang tidak setuju menganggap bahwa belum cukup
bukti eradikasi dapat berimplikasi sedemikian luas.
Eradikasi dilakukan dengan kombinasi antara berbagai
antibiotik dan proton pump inhibitor (PPI). Antibiotika yang
dianjurkan adalah klaritomisin. amoksisilin, metronidazol
dan tetrasiklin. Bila PPI dan kombinasi 2 antibiotika gagal
dianjurkan menambahkan bismuth subsalisilat/subsitral
(Setiati, 2017)
59
Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4
i) Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada gastritis, yaitu :
1. Perdarahan saluran cerna bagian atas, yang merupakan kedarurat
akut medis terkadang perdarahan yang terjadi cukup dapat
menyebabkan kematian.
2. Ulkus, jika prosesnya hebat.
3. Gangguan cairan dan elektrolit pada kondisi muntah hebat
(Mansjoer, 2001).
60
C. Ulkus Peptikum
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
61
toksik, sedangkan fosfolipase akan menekan sekresi mukus,
menurunkan pertahanan mukosa, serta merusak lapisan epitel.
Oleh karena kerusakan mukosa, asam lambung akan berdifusi
balik menyebabkan nekrosis dan ulkus peptikum.
OAINS, menghambat enzim siklooksigenase/COX (termasuk
COX 1 pada saluran cerna) pada asam arakidonat sehingga
produksi prostaglandin dan prosrasiklin terganggu. Prostaglandin
berfungsi memelihara keutuhan mukosa, sehingga penghambatan
produksi prostaglandin dapat menimbulkan kerusakan mukosa.
d. Faktor Resiko
H. pylori (3,7 kali lebih berisiko)
Terapi OAINS (3,3 kali lebih berisiko)
Penyakit paru obstruksi kronis/PPOK (2,34 kali lebih berisiko)
Gagal ginjal kronis (2,29 kali lebih berisiko)
Merokok (1,99 kali lebih berisiko)
Usia lanjut (1,67 kali lebih berisiko)
62
dominan pada ulkus gaster Sekitar 70% kasus ulkus peptikum
asimtomatis. Pasien-pasien tersebut biasanya datang ke dokter dengan
gejala terkait komplikasi, seperti nyeri seluruh kuadran abdomen secara
mendadak, muntah berisi makanan yang belum tercerna, serta
hematemesis dan/atau melena.
f. Pemeriksaan Fisis
g. Pemeriksaan Pununjang
63
Pada fasilitas tanpa EGD, pemeriksaan barium kontras ganda dapat
dilakukan guna mendeteksi ulkus (sensitivitas 90%). Namun,
sensitivitas akan menurun apabila diameter ulkus <5 mm atau terdapat
skar. Ulkus akan tampak sebagai cekungan yang berbatas tegas
h. Diagnosis
Diagnosis penunjang:
Dyspepsia fungsional: Tidak ditemukan kelainan pada EGD
Keganasan gastrointestinal: Riwayat keganasan gastrointestinal
pada keluarga, teraba,massa abdomen, terdapat limfadenopati
GERD: heartburn dan atau regurgitasi serta dapat ditemukan erosi
pada esophagus
Gastroparesis: gejala cepat kenyang lebih dominan dan terdapat
riwayat DM tipe 2
Celiac disease: Terdapat diare dan gejala malabsorpsi
64
i. Tatalaksana Ulkus Peptikum
1. Tatalaksana Farmakologi
b. Ulkus Peptikum akibat infeksi H.Pylori
Pengobatan bertujuan untuk mengeradikasi H.Pylori
dengan kombinasi PPI dengan kombinasi antibiotic sebagai
berikut:
Triple therapy klaritromisin: PPI 2 X 1 DAN klaritromisin
2 x 500 mg DAN amoxicillin 2 x 1 g (regimen terbaik)
ATAU metronidazole 2 x 500 mg
Bismuth quadruple: PPI 2 X 1 DAN bismuth subsalisilat 4
x 300 mg DAN tetrasiklin 4 x 250 mg DAN metronidazole 3
x 500 mg
Bila gagal lini kedua: PPI 2 x 1 DAN amoxicillin 2x 1 g
DAN levofloksasin 1 x 500 mg DAN rifabutin 1 x 300 mg
65
d. Ulkus bukan akibat infeksi H.Pylori dan OAINS
Diberikan obat untuk menekan produksi atau
menetralisir asam, meliputi :
PPI, sebagai lini pertama dengan tingkat penyembuhan
>90%
Antagonis reseptor H2
Antasida, sebagai penetralisir asam lambung dapat diberikan
100-140 meq/L, 1 dan 3 jam setelah makan dan sebelum tidur
Obat lain seperti sucraflate dengan dosis 2 x 2 g atau 4 x 1 g
dapat diberikan untuk melapisi ulkus agar terhindar dari
iritasi oleh asam lambung ataupun cairan empedu.
e. Ulkus Peptikum refrakter
Terjadi apabila belum terdapat perbaikan gejala pasien
setelah terapi eradikasi diikuti terapi supresi asam. Pasien
selanjutnya diberikan terapi PPI dosis ganda,namun apabila
tidak terdapat perbaikan pasien harus dirujuk untuk menjalani
terapi bedah.
PPI Omeprazole 1 x 20 mg
Ulkus duodenum: 4
Lansoprazole 1 x 30 mg
minggu
Esomeprazole 1 x 20 mg
66
1 x 40 mg
1 x 40 mg
sebelum
tidur
Tabel 3 Beberapa pilihan terapi supresi asam pada pasien ulkus peptikum
2. Tatalaksana Nonfarmakologi
j. Komplikasi
Perdarahan: merupakan komplikasi tersering ulkus peptikum
yang ditandai dengan hematemesis dan/atau melena. Perdarahan
terjadi pada sekitar 15% pasien dan mayoritas berasal dari
kelompok usia > 60 tahun
Penetrasi dan perforasi: terjadi 6-7% penderita ulkus peptikum
dengan insidensi yang meningkat pada usia lanjut terkait
penggunaan OAINS. Perforasi yang terjadi akan menyebabkan
pancreatitis,hepatitis hingga peritonitis umum
67
Obstruksi outlet gaster: dapat terjadi pada 1-2% pasien akibat
inflamasi dan edema pada region peropilorus. Umunya ditandai
dengan sensasi kenyang lebih awal, muntah, peningkatan nyeri
abdomen post prandial, dan penurunan berat badan.
Kriteria Rujukan:
Pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam apabila :
Akan dilakukan penegakan diagnosis pasti
Ulkus peptikum refrakter
Terdapat gejala dan tanda adanya komplikasi
k. Prognosis
68
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan skenario dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka kesimpulan yang dapat diambil dalam laporan ini, ditentukan DD
dan DS dari skenario yang kami dapatkan yaitu:
a. Infeksi Helicobacter pylori
b. Gastritis
c. Ulkus Peptikum
Dengan penjabaran dari kata/kalimat kunci dapat dilihat pada table berikut
Kata/Kalimat kunci Infeksi Hp Gastritis Ulkus Peptik
BB menurun + + +
Muntah kehitaman + + +
Anemia + + +
Tabel 4. DD dan DS
Berdasakan tabel berikut maka diagnosis sementara adalah Ulkus
Peptikum
69
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Farishal., dkk. 2018. Diagnosis dan Penatalaksanaan Kasus Gastritis Erosif
Kronik pada Geriatri dengan Riwayat Konsumsi NSAID
Basri, Muh. Iqbal, dkk. 2018. Buku Ajar Biomedik 2. Makassar : Departemen
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Buku farmakologi UI, edisi 6 (2016)
Chalik, Raimundus. 2016. Anatomi Fisiologi Manusia. Jakarta : Pusdik SDM
Kesehatan.
Datuk, Razak. Diktat Abdomen. Makassar: Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 2004. Hal: 8-9
Djojoningrat D, 2014, Gastritis, In : Sudoyo A W et al., Buku Ajar: Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi Ke-4, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Fitri, Fachzi, Novialdi Novialdi, and Wahyu Triana. "Diagnosis dan
Penatalaksanaan Striktur Esofagus." Jurnal Kesehatan Andalas 3.2 (2014)
Gomez, Kathy. 2012. A Nutritional Approach to Healing Acid Reflux & Gastritis.
Philadelphia: Elsevier.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Jakarta:EG
Hamzah, P. (2016). Eradikasi Helicobacter pulori. CDK-243/VO. 43 NO.8
Imas, L., & Melinda, R. T. (2019). PREVELENSI SUSPECT HELICOBACTER
PYLORI DI KLINIK BIOMEDIKA . Jurnal Ilmiah Analis Kesehatan Vol.5
No.1.
Korman, M. G., Bolin, T. D., Szabo, S., Hunt, R. H., Marks, I. N., & Glise, H.
(1994). Sucralfate: the Bangkok review. Journal of gastroenterology and
hepatology, 9(4), 412-415.
Liwang, ferry. dkk . 2020. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 5 Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius
Longo, D. L., & Fauci, A. S. (2014). Harrison Gastroenterologi & Hepatologi.
Jakarta: EGC.
Malyca Rachmaniar D.R. 2021. Efek Protektif Ekstrak Daun Alpukat (Persea
Americana Mill.) Terhadap Gastritis yang Diinduksi oleh Aspirin. Jurnal
70
Medika Hutama, Vol 03 no 1. Program Studi Pendidikan Dokter, FK UNILA
Mansjoer Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.
71