Anda di halaman 1dari 77

LAPORAN TUTORIAL

BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI
MODUL 1 COFFE GRUNDS COLORED VOMIT
(MUNTAH BERWARNA BUBUK KOPI)

Tutor: dr. Adecitra Ashari


Disusun Oleh:
KELOMPOK 6
1. Muh. Fatih Syafiq Al Hisyam K1A119014
2. Nurah Anto Khairunnisa K1A119020
3. Ahmad Haidar Nurfaizi K1A119034
4. Widyawati K1A119117
5. Novia Wulandari Jusman K1A119100
6. Nur Risky Amalia Annisa K1A119103
7. Nurizqa Azzahra Suyuti K1A119104
8. Violata Advenia Dae K1A119113
9. Lana Dwi Sarana K1A119092
10. Dea Mutiara Melinda K1A119086
11. Elva Triana K1A119088
12. Yustika Al Haddad K1A119070

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
LAPORAN TUTORIAL 2021
UNIVERSITAS HALU OLEO

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Laporan : Modul 1 Coffe Grunds Colored Vomit


Nama Anggota Kelompok :
1. Muh. Fatih Syafiq Al Hisyam K1A119014
2. Nurah Anto Khairunnisa K1A119020
3. Ahmad Haidar Nurfaizi K1A119034
4. Widyawati K1A119117
5. Novia Wulandari Jusman K1A119100
6. Nur Risky Amalia Annisa K1A119103
7. Nurizqa Azzahra Suyuti K1A119104
8. Violata Advenia Dae K1A119113
9. Lana Dwi Sarana K1A119092
10. Dea Mutiara Melinda K1A119086
11. Elva Triana K1A119088
12. Yustika Al Haddad K1A119070

Laporan ini telah disetujui dan disahkan oleh

Kendari, 25 November 2021


Dosen Pembimbing

dr. Adecitra Ashari

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya sebagai laporan ini dapat terselesaikan
tepat waktu.

Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada


Dokter pembimbing Tutorial Modul 1 Coffe Grunds Colored Vomit.
Tidak lupa pula kami sampaikan rasa terimakasih kami kepada teman-
teman yang telah mendukung, memotivasi, serta membantu kami dalam
menyelesaikan laporan hasil tutorial.

Kami berharap laporan ini dapat bermanfaaat bagi semua pihak.


Kami juga menyadari bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran, masukan maupun
kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan laporan yang kami
susun ini.

Kendari, 24 November 2021

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………...……………………i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………...………………iii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………….………….iv
DAFTAR TABEL……………………………………………………..…………..v
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….1
1.1 SKENARIO……………………………………………………...…….1
1.2 KATA SULIT…………………………………………………….……1
1.3 KATA KUNCI………………………………………………….……..1
1.4 PERTANYAAN……………………………………………………….2

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………..…3
2.1 Jelaskan anatomi dan fisiologi organ terkait……………………….……3
2.2 Jelaskan mengenai hormon hormon percernaan ………………………16
2.3 Sebutkan penyakit penyakit dengan gejala munta kehitaman …………18
2.4 Jelaskan mekanisme kerja obat antasida, PPI, H2-RA, sukralfat,
Braxidin…………………………………………………………….…23
2.5 Jelaskan Patomekanisme setiap gejala ………………………………..34
2.6 Jelaskan Langkah Langkah diagnosis ……………………………...…36
2.7 Jelaskan Langkah langkah diagnosis serta tatalaksana dari Saluran Cerna
Bagian Atas……………………………………………………….…..43
2.8 Jelaskan DD & DS ……………………………………………….…..46

BAB III KESIMPULAN…………………………………………………….…..69


DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………70

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lambung………………………………………………………9

Gambar 2. Pembentukan Asam Lambung (HCl)…………………………15

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Regimen Terapi Yang Dianjurkan Untuk Helicobacter Pylori…………53
Tabel 2. Contoh regimen untuk eradikasi infeksi H. Pylori……………………….60
Tabel 3 Beberapa pilihan terapi supresi asam pada pasien ulkus peptikum…..…66
Tabel 4. DD dan DS………………..………………………………………….…69

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 SKENARIO 2
Seorang perempuan 41 tahun mengeluh sakit perut yang sifatnya hilang
timbul dan penurunan berat badan kurang lebih 5 kg dalam 3 bulan terakhir. Ia
berusaha mengobati penyakitnya dengan meminum obat antasida, awalnya
keluhan membaik, namun saat ini sudah tidak memberikan hasil. 1 bulan yang
lalu ia pernah mengalami muntah warna kehitaman, dirawat selama 2 hari di
Puskesmas, setelah itu ia tidak berobat lagi. Pemeriksaan fisis menunjukkan
adanya anemia dan nyeri perut khususnya pada regio epigastik

1.2 KATA SULIT


- Regio epigastrik adalah sebutan untuk regio pada abdomen yang terletak
dibagian tengah atas. (Clinical Anattomi by Regiond ed 9)
- Anemia merupakan keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah
dibawah normal (<12 gr/dl) yang berakibat pada daya tahan tubuh,
kemampuan dan konsentrasi belajar, kebugaran tubuh, menghambat
tumbuh kembang daan akan membahayakan kehamilan nanti. (Kemenkes
RI 2010)

1.3 KATA/KALIMAT KUNCI


- Seorang perempuan 41 tahun
- Mengeluh sakit perut yang sifatnya hilang timbul
- Penurunan berat badan kurang lebih 5 kg dalam 3 bulan terakhir
- Riwayat meminum obat antasida, awalnya keluhan membaik, namun saat
ini sudah tidak memberikan hasil
- Muntah warna kehitaman 1 bulan yang lalu
- Dirawat selama 2 hari di Puskesmas, setelah itu tidak berobat lagi
- Pemeriksaan fisis didapatkan anemia dan nyeri perut khususnya pada regio
epigastik

1
1.4 PERTANYAAN
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi organ terkait (Saluran Cerna bagian atas)
2. Jelaskan mengenai hormon hormon percernaan
3. Sebutkan penyakit penyakit dengan gejala munta kehitaman
4. Jelaskan mekanisme kerja obat antasida, PPI, H2-RA, sukralfat, Braxidin
5. Jelaskan Patomekanisme:
a. Penurunan BB
b. Muntah warna kehitaman (Hematemesis)
c. Anemia
d. Nyeri perut hilang timbul
6. Jelaskan Langkah Langkah diagnosis
7. Jelaskan Langkah langkah diagnosis serta tatalaksana dari Saluran Cerna
Bagian Atas
8. Jelaskan DD & DS

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi dan fisiologi organ terkait
A. Anatomi
a. Oesophagus
Oesophagus adalah sebuah saluran yang terdiri dari otot yang
menghubungkan pharynx dengan gaster. Terbagi menjadi:
- Pars cervicalis
- Pars thoracica
- Pars abdominalis

Ada empat daerah penyempitan, yaitu:


a. Pada pangkal oesophagus, pada tepi caudal cartilago cricoidea
atau setinggivertebra cervicalis VI
b. Setinggi arcus aortae
c. Setinggi bifurcatio trachea
d. Ketika melewati diaphragma thoracis, hiatus oesophagus

Pada pangkalnya oesophagus terletak pada linea mediana,


ketika masuk kedalam cavitas thoracis tergeser sedikit ke sebelah kiri
linea mediana, setinggi vertebra thoracalis 5 berada pada linea
mediana lagi, dan pada saat sebelum melewati hiatus oesophagus
terdorong ke sebelah kiri linea mediana. Setelah melewati sisi dorsal
kanan arcus aortae (di dalam mediastinum superior) maka
oesophagus berjalan ke caudal didalam mediastinum posterior dan
berada di sebelah kanan aorta thoracalis, kemudian berjalan di
sebelah ventral aorta thoracalis, menembusi diaphragma thoracis di
sebelah kiri aorta descendens (Fachzi, 2014).

Di sebelah ventral oesophagus terdapat trachea, broncus


sinistra, pericardium dan diaphragma thoracis. Di sebelah dorsal

3
oesophagus terdapat dataran ventral columna vertebralis,
aa.intercostalis dextra, ductus thoracicus dan vena hemizygos. Di
sebelah latero-cranial kiri (mediastinum superior) terdapat arcus
aortae, a.subclavia sinistra, ductus thoracicus, pleura mediatinalis
sinistra dan di sebelah caudolateral dari oesophagus terdapat aorta
descendens. Di sebelah lateral kanan terdapat pleura mediastinalis
dextra dan vena azygos (Fachzi, 2014).
Di sebelah caudal dari radix pulmonalis nervus vagus dextra
berjalan pada facies dorsalis oesophagus dan nervus vagus sinistra
berjalan pada facies ventralisoesophagus, kedua buah nervi tersebut
membentuk anyaman mengelilingi oesophagus (Fachzi, 2014).
Vaskularisasi

Diperoleh dari percabangan arteri thyroidea inferior, aorta


descendens, arteri bronchialis, arteri gastrica sinistra, arteri pherenica
inferior sinistra (Fachzi, 2014). Innervasi
Diperoleh dari cabang-cabang nervus recurrens, nervus vagus
dan truncussympathicus (Fachzi, 2014).

b. Gaster
Pada umumnya berbentuk huruf “L” terbalik, huruf “j” atau
berbentuk silinder.Bagian-bagian dari gaster adalah:
- Cardia
- Fundus
- Corpus
- Pylorus

Antara bagian yang satu dengan yang lainnya tidak ada batas
yang tegas secara makroskopis. Pembagian ini lebih bersifat
mikroskopis, yaitu keadaan mukosa dan kelenjar (Datuk, 2004).

4
Cardia adalah bagian dari gaster di mana oesophagus bermuara.
Fundus ventriculi merupakan bagian sesudah cardia, yang menonjol
dan terletak lebih tinggi dari cardia. Bagian yang terbesar adalah
corpus ventriculi, yang merupakan lanjutan dari fundus ventriculi.
Bagian paling caudal disebut pylorus, yang melanjutkan diri menjadi
duodenus. Batas antara corpus ventriculi dengan pylorus disebut
antrum pyloricum. Ujung distal dari pylorus berbentuk kecil, disebut
canalis pyloricum. Muara pylorus ke dalam duodenum disebut
orificium pyloricum, dilengkapi oleh sphincter pyloricum, yang
dibentuk oleh penebalan stratum circulare pars muscularis. Antara
corpus dan pylorus terbentuk suatu lekukan di bagian kanan, disebut
incisura angularis (Datuk, 2004).

Facies ventralis ventriculus menghadap ke arah ventro-cranial,


tertutup oleh peritoneum viscerale. Facies dorsalis menghadap ke
arah caudo- dorsal, tertutup oleh peritoneum viscerale, kecuali
sebagian kecil dari cardia yang langsung menempel pada diaphragma
thoracis. Facies ventralis dan facies dorsalis bertemu pada curvatura
minor, di sebelah kanan, berbentuk konkaf; pertemuan kedua
permukaan di sebelah kiri membentuk curvatura major, yang
berbentuk konveks (Datuk, 2004).

Gaster dibungkus oleh peritoneum viscerale, jadi letak


intraperitoneal, dan difiksasi oleh omentum minus dan omentum
majus. Omentum minus pada satu sisi melekat pada curvatura minor
dan pada sisi lain melekat pada hepar dan diaphragma thoracis.
Omentum majus melekat pada curvatura major dan pada sisi lain
melekat pada colon transversum. Selain itu gaster juga difiksasi oleh
ligamentum gastrolienale dan ligamentum gastrophrenicum (Datuk,
2004).

5
Lokalisasi
- Holotopi: Gaster terletak dalam regio hypochondrium sinister dan
regio epigastrium. Lokalisasi ini tergantung dari berbagai faktor,
seperti bentuk gaster, isi gaster, konstitusi tubuh dan sikap tubuh.

- Skeletopi: Tepi cranialis dari cardia terletak setinggi costa 7 dan


vertebra thoracalis 9. Tepi cranialis fundus ventriculi terletak
setinggi costa 5. Letak pylorus dalam keadaan kosong setinggi
vertebra lumbalis 1.
- Syntopi: Facies ventralis langsung berhadapan dengan dinding
ventral abdomen dan diaphragma thoracis, dan berada di sebelah
kiri dari hepar;sebagian dari gaster berada di bagian caudo-
posterior hepar. Facies dorsalis letak berbatasan dengan:
 Corpus pancreaticus, a.lienalis
 Ujung ren sinister, gld.suprarenalis sinister
Disebelah dorso-lateral terdapat lien, di sebelah caudal terdapat
colon transversum (Datuk, 2004).

Vakularisasi
a. Arteria gastrica sinistra, sebagai cabang dari A.coeliaca, berjalan
ascendens menuju ke foramen oesophageum, lalu membelok ke
ventral masuk danberjalan mengikuti curvatura minor ke caudal
di antara kedua lembaran omentum minus, mengadakan
anastomose dengan a.gastrica dextra.
b. Arteria gasterica dextra, cabang dari A.hepatica, berjalan di
sebelah dorsal pylorus, di sebelah ventral vena portae, mengikuti
curvatura minor ke cranial, berada di antara kedua lembaran
omentum minus.
c. Arteria gastrica brevis, cabang dari A.lienalis, yang berjalan
menuju ke fundus ventriculi melalui ligamentum phrenicolienale
dan ligamentum gastrolinale.

6
d. Arteria gastroepiploica sinistra, cabang dari A.lienalis ketika
arteri ini berada di hilus lienalis, lalu berjalan di dalam
ligamentum gastrolienale ke ventral sampai pada curvatura
major, berada di antara kedua lembaran omentum majus dan
mengikuti curvatura major ke caudal, mengadakan anastomose
dengan a.gastroepiploica dextra.
e. Arteria gastroepiploica dextra, cabang dari a.gastroduodenalis,
berada di sebelah profunda pars superior duodeni, berjalan di
antara kedua lembaran omentum majus, mengikuti curvatura
major ke kiri. Memberi rami epiploici untuk omentum majus
(Datuk, 2004).
Aliran darah venous mengalir melalui:
a. Vena coronaria ventriculi, membawa darah venous dari facies
ventralis dan facies dorsalis ventriculi. Vena ini berjalan dari
kanan ke kiri di sepanjang curvatura minor, berada di antara
kedua lembaran omentum minus, menuju ke foramen
oesophageum. Menerima cabang-cabang vena oesophagei.
Selanjutnya vena cava ventriculi berjalan ke caudal dari kiri ke
kanan, disebelah dorsal bursa omentalis dan bermuara ke dalam
vena portae.
b. Vena gastrica brevis, yang berasal dari fundus ventriculi dan
bagian sinister curvatura major, berjalan di dalam ligamentum
gastrolienale dan bermuara kedalam vena lienalis.

c. Vena gastro epiplocia sinistra, yang menerima darah venous dari


kedua permukaan gaster dan omentum majus, berjalan dari kanan
ke kiri sepanjang curvatura major dan bermuara ke dalam vena
lienalis.
d. Vena gastro epiploica dextra, yang berasal dari omentum majus
dan kedua permukaan gaster, berjalan dari kiri ke kanan
mengikuti curvatura major, berada di antara kedua lembaran
omentum majus. Vena ini bermuara ke dalam vena mesenterica

7
superior.
e. Vena pylorica yang berjalan dari kiri ke kanan mengikuti
curvatura minor, berada pada pylorus dan bermuara ke dalam
vena portae (Datuk, 2004).
Lymphatic drainage
Aliran lymphe dari gaster di bagi menjadi empat bagian, yaitu:
a. Yang mengikuti a.gastrica sinistra, menerima aliran lymphe
sebagian besar dari paries ventralis dan paries dorsalis gaster, dan
membawanya menuju ke ll.nn.gastrici superiores.
b. Daerah fundus ventriculi dan corpus ventriculi yang terletak di
sebelah kiri garis vertical yang melalui oesophagus; aliran
lymphe mengikuti a.gastrica brevis dan a.gastro epiploica sinistra
menuju ke ll.nn.pancreatico lienalis.
c. Daerah curvatura major di sebelah kanan garis vertikal tadi
sampai pylorus, aliran lymphe menuju ke ll.nn.gastrici inferiores
dan efferentnya menuju ke ll.nn.subpylorici.
d. Pars pylorica memberikan aliran lymphe menuju ke
ll.nn.hepatici, ll.nn.subpylorici dan ll.nn.gastrici superiores
(Datuk, 2004).

Innervasi
a. Nervus vagus, berjalan mengikuti oesophagus, berada di kiri
kanan oesophagus, menjadi chorda anterior yang mempersarafi
facies ventralis ventriculi, memberikan cabang-cabang
rr.hepatici yang berjalan melalui omentum minus menuju ke
hepar. Chorda posterior memberikan innervasi kepada facies
posterior ventriculi, mengikuti jalan kebalikan dari a.gastrica
sinistra, dan menuju ke ganglion coeliacum; pada ganglion ini
tidak terjadi pergantian neuron. Synapse terjadi pada dinding
organ bersangkutan.

8
b. Nn.splanchnici = nervus sympathicus, merupakan serabut
postganglioner dari ganglion coeliacum, berjalan mengikuti
percabangan arteria coeliaca (Datuk, 2004).

Gambar 1. Lambung

B. Fisiologi

Saluran cerna atau traktus digestifus merupakan sistem organ yang


berfungsi untuk mengambil berbagai zat dari luar tubuh (air, mineral,
nutrien, vitamin), memecah partikel-partikel besar menjadi partikel kecil,
dan mentransfer partikel- partikel tersebut dari lingkungan luar ke dalam
darah, untuk selanjutnya digunakan atau disimpan dalam sel. Fisiologi
sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai
anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima
makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat
gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak
dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. (Sherwood,
2014)

Makanan harus dicerna agar menjadi molekul-molekul sederhana


yang siap diserap dari saluran pencernaan kedalam sistem sirkulasi untuk
didistribusikan kedalam sel (Sherwood, 2014). Secara umum sistem
pencernaan melakukan empat proses pencernaan dasar, yaitu:

9
1) Motilitas
Motilitas mengacu pada kontraksi otot yang mencampur dan
mendorong isi saluran pencernaan. Otot polos di saluran pencernaan
terus menerus berkontraksi dengan kekuatan rendah yang disebut tonus.
Terhadap aktivitas tonus yang terus menerus terdapat dua jenis dasar
motilitas pencernaan:
 Gerakan propulsif (mendorong) yaitu gerakan memajukan isi
saluran pencernaan kedepan dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Kecepatan propulsive bergantung pada fungsi yang dilaksanakan
oleh setiap organ pencernaan.
 Gerakan mencampur memiliki fungsi ganda. Pertama, mencampur
makanan dengan getah pencernaan. Kedua, mempermudah
penyerapan dengan memajankan semua bagian isi usus
kepermukaan penyerapan.
2) Sekresi
Sejumlah getah pencernaan disekresikan kedalam lumen
saluran pencernaan oleh kelenjar-kelenjar eksokrin. Setiap sekresi
pencernaan terdiri dari air, elektrolit, dan konstituen organic spesifik
yang penting dalam proses pencernaan (misalnya enzim, garam
empedu, dan mukus). Sekresi tersebut dikeluarkan kedalam lumen
saluran pencernaan karena adanya rangsangan saraf dan hormone
sesuai.
3) Pencernaan
Pencernaan merupakan proses penguraian makanan dari
struktur yang kompleks menjadi struktur yang lebih sederhana yang
dapat diserap oleh enzim
4) Penyerapan
Proses penyerapan dilakukan di usus halus. Proses penyerapan
memindahkan molekul- molekul dan vitamin yang dihasilkan setelah
proses pencernaan berhenti dari lumen saluran pencernaan kedalam
darah atau limfe (Sherwood, 2014).

10
a. Esofagus

Esofagus adalah tabung sepanjang 25 cm (10 inci) yang dimulai


dari laringofaring dan turun di belakang trakea melalui mediastinum
(rongga di antara paru-paru). Makanan didorong ke esofagus menuju
lambung secara peristalsis. Dua otot lingkar (sfingter), otot lingkar
esofagus atas di bagian atas esofagus dan otot lingkar kardia (otot lingkar
esofagus bawah) di dasar esofagus, mengendalikan pergerakan makanan
ke dalam dan ke luar esofagus.
Terdapat 3 fase proses menelan yaitu fase oral (bucal), fase
faringeal dan fase esophageal. Pada fase oral, makanan yang masuk
kedalam mulut dikunyah, dilubrikasi oleh saliva dan dirubah menjadi
bolus kemudian didorong masuk ke faring dengan bantuan elevasi lidah
ke palatum. Fase faringeal dimulai bila bolus makanan ini telah
berkontak dengan mukosa faring. Adanya reflek akan mendorong bolus
memasuki orofaring, laringofaring dan terus ke oesophagus. Pada saat ini
hubungan ke nasofaring, rongga mulut dan laring akan tertutup (Fachzi,
2014).
Setelah makanan masuk ke oesophagus, spingter atas oesophagus
akan tertutup dan dengan gerakan peristaltik akan mendorong bolus
makanan ke bawah. Sebelum peristaltik ini sampai di bagian bawah
oesophagus, spingter bawah akan berelaksasi sehingga dapat
menyebabkan lewatnya cairan ke lambung. Gerakan peristaltik pada
bagian bawah oesophagus akan mendorong bolus makanan ke lambung
kemudian menutup spingter bawah oesophagus, fase ini disebut fase
esofageal. Spingter atas oesophagus berfungsi dalam proses menelan
sedangkan spingter bawah berfungsi mencegah terjadinya refluks cairan
lambung ke oesophagus (Fachzi, 2014).

11
b. Gaster

Fungsi utama sistem pencernaan adalah memindahkan nutrient,


air dan elektrolit dari makanan yang kita telan ke dalam lingkungan
internal tubuh. Ketika ada makanan, mukosa lambung berbentuk lipatan
yang besar, disebut rugae, dapat dilihat dengan mata telanjang. Pada saat
terisi makanan, rugae menghilang dengan lancar seperti alat musik
akordon dimainkan.
Gaster bekerja dengan memperkecil partikel makanan menjadi
larutan yang dikenal dengan nama kimus. Kimus tersebut mengandung
fragmen molekul protein dan polisakarida, butiran lemak, garam, air dan
berbagai molekul kecil lain yang masuk bersama makanan. Tidak ada
molekul-molekul tersebut yang dapat melewati epitel gaster kecuali air.
Absorpsi paling banyak terjadi di usus halus (Chalik, 2016).

Regia-regia lambung terdiri dari bagian kardia, fundus, bodi


organ, dan bagian pilorus. Dalam lambung terdapat banyak sel-sel yang
berperan dalam proses pencernaan, diantaranya
 Kelenjar kardia ditemukan di regia mulut kardia. Kelenjar ini hanya
mensekresi mukus.
 Kelenjar fundus (lambung) terdiri atas tiga jenis sel.
− Sel chief (zimogenik) mensekresi pepsinogen, prekursor enzim
pepsin. Kelenjar ini mensekresi lipase dan renin lambung,yang
kurang penting.
− Sel parietal mensekresi asam klorida (HCl) dan faktor intrinsik.
− Sel leher mukosa ditemukan pada bagian leher semua kelenjar
lambung. Sel ini mensekresi barier mukus setebal 1 mm dan
melindungi lapisan lambung terhadap kerusakan HCl atau
autodigesti.

12
 Kelenjar pilorus terletak pada regia antrum pilorus. Kelenjar ini
mensekresi mukus dan gastrin, suatu hormon peptida yang
berpengaruh besar dalam proses sekresi lambung.

Sekresi dari lambung terdiri dari tiga tahap, yang dinamakan


sesuai dengan regia tempat terjadinya stimulus, faktor saraf dan hormone
terlibat.
1) Tahap sefalik terjadi sebelum makanan mencapai lambung.
Masuknya makanan ke dalam mulut atau tampilan, bau, atau pikiran
tentang makanan, dapat merangsang sekresi lambung.
2) Tahap lambung terjadi saat makanan mencapai lambung dan
berlansung selama makanan masih ada.
 Peregangan dinding lambung merangsang reseptor saraf dalam
mukosa lambung dan memicu refleks lambung. Serabut aferen
parasimpatis menjalar dalam vagus menuju kelenjar lambung
untuk menstimulasi produksi HCl, enzim-enzim pencernaan, dan
gastrin.
 Fungsi gastrin, antara lain: merangsang sekresi lambung,
meningkatkan motilitas usus dan lambung, mengkontriksi sfingter
esofagus bawah dan merelaksasi sfingter pylorus. Efek tambahan,
seperti stimulasi sekresi pankreas dan peningkatan motilitas usus,
juga termasuk fungsi gastrin.
 Pengaturan pelepasan gastrin dalam lambung terjadi melalui
penghambatan umpan balik yang didasarkan pada pH isi lambung.
- Jika tidak ada makanan dalam lambung di antara jam makan, pH
lambung rendah dan sekresi lambung terbatas.
- Makanan yang masuk ke lambung memiliki efek pendaparan
(buffering) yang mengakibatkan peningkatan pH dan peningkatan
sekresi lambung.

13
3) Tahap usus. Terjadi setelah kimus meninggalkan lambung dan
memasuki usus halus yang kemudian memicu faktor saraf dan
hormon.
 Sekresi lambung distimulasi oleh sekresi gastrin duodenum
sehingga dapat berlangsung selama beberapa jam. Gastrin ini
dihasilkan oleh bagian atas (duodenum) usus halus dan dibawa
dalam sirkulasi menuju lambung.
 Sekresi lambung dihambat oleh hormon-hormon polipeptida yang
dihasilkan duodenum. Hormon ini, yang dibawa dalam sirkulasi
menuju lambung, disekresi sebagai respons terhadap asiditas
lambung dengan pH di bawah 2 dan jika ada makanan berlemak.
Hormon-hormon ini meliputi gastric inhibitory polipeptide (GIP),
sekretin, kolesistokinin (cholecystokinin [CCK]), dan hormon
pembersih enterogastron (Chalik, 2016).

Cairan lambung juga memicu digesti protein dan lemak.


1) Digesti protein. Pepsinogen (disekresi sel chief) diubah menjadi
pepsin oleh asam klorida (disekresi sel parietal). Pepsin adalah
enzim proteolitik, yang hanya dapat bekerja dengan pH di bawah 5.
Enzim ini menghidrolisis protein menjadi polipeptida. Lambung
janin memproduksi renin, enzim yang mengkoagulasi protein susu,
dan menguraikannya untuk membentuk dadih (curd).
2) Lemak. Lipase lambung (disekresi sel chief) menghidrolisis lemak
susu menjadi asam lemak dan gliserol, tetapi aktivitasnya terbatas
dalam kadar pH yang rendah.
3) Karbohidrat. Amilase dalam saliva yang menghidrolisis zat tepung
bekerja pada pH netral. Enzim ini terbawa bersama bolus dan tetap
bekerja dalam lambung sampai asiditas lambung menembus bolus.
Lambung tidak mensekresi enzim untuk mencerna karbohidrat
(Chalik, 2016).

14
Mekanisme Pembentukan Asam Lambung (HCl) oleh Sel Parietal
H2O di dalam sel parietal akan terurai menjadi H+ dan OH-.
Hidroksida (OH-) akan berikatan dengan CO2 membentuk HCO3- dengan
bantuan enzim karbonik anhidrase (CA). HCO3- akan dikeluarkan ke cairan
intersisial. Ion klorida (Cl-) dan natrium (Na+) disekresi secara aktif dari
sitoplasma sel parietal ke dalam lumen canaliculi. Peristiwa tersebut
membuat potensi negatif -40 mV sampai -70 mV di membran sel parietal
yang menyebabkan ion potassium (K+) dan sejumlah kecil ionnatrium
(Na+) menyebar dari sitoplasma menuju ke dalam sel parietal canaliculi.
HCO3- yang dikeluarkan ke cairan intersisial tadi akan bertukar dengan ion
Cl-. pertukaran antara HCO3- dan Cl- dibantu oleh antiport HCO3-/Cl-. Ion
Cl- akan masuk ke rongga lambung melalui protein kanal Cl-. Sementara
ion H+ yang merupakan hasl disosiasi air juga akan keluar rongga lambung
bertukar dengan ion K+ dengan bantuan H+/K+ ATPase. Pada saat yang
sama, ion natrium secara aktif diserap kembali. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar ion K+ dan Na+ yang tadi disekresikan menjadi kembali ke
sitoplasma. Di rongga lambung, ion H+ dan Cl- akan berinteraksi
membentuk HCl atau asam lambung. PH terendah dari asam yang
disekresikan adalah 0,8 namun asam diencerkan dalam lumen perut sampai
pH antara 1 dan 3. (Sherwood, 2014).

Gambar 2. Pembentukan Asam Lambung (HCl)

15
Produksi asam lambung diatur oleh sistem saraf otoom dan beberapa
hormone. Sistem saraf parasimpatis, melalui saraf vagus, dan hormon
gastrin merangsang sel parietal untuk menghasilkan asam lambung,
keduanya secara langsung bekerja pada sel parietal dan secara tidak
langsung, melalui stimulasi sekresi hormon histamin dari sel
enterochromaffine (ECL). Peptida intestinal vasoaktif, cholecystokinin, dan
secretin merupakan agen yang menghambat produksi asam lambung.
Produksi asam lambung di perut diatur oleh regulator positif dan mekanisme
umpan balik negatif. Empat jenis sel terlibat dalam proses ini yakni sel
parietal, sel G, sel D dan sel ECL (Enterochromaffine like cell). Selain itu,
ujung saraf vagus (CN X) dan pleksus saraf intramural di saluran
pencernaan juga mempengaruhi sekresi secara signifikan.
Saraf akhir di perut mengeluarkan dua neurotransmiter stimulasi
yakni acetylcholine and gastrin-releasing peptide. Fungsi kedua saraf
stimulasi tersebut adalah memediasi sekresi gastrin dari sel G dan histamin
dari sel enterochromaffine. Gastrin bekerja pada sel parietal secara langsung
dan tidak langsung juga, dengan merangsang pelepasan histamin. Pelepasan
histamin adalah mekanisme regulasi positif terpenting dari sekresi asam
lambung di perut. Pelepasannya dirangsang oleh gastrin dan asetilkolin dan
dihambat oleh somatostatin. (Sherwood, 2014).

1.2 Hormon hormon percernaan

Hormon pencernaan didalam mukosa bagian – bagian tertentu saluran


cerna terdapat sel-sel kelenjar endokrin khusus yang mengeluarkan hormone
pencernaan yang dapat menimbulkan pengaruh eksitatorik atau inhibitor pada
otot polos pencernaan dan sel sel kelenjar eksokrin. (Liddle,2007:3).

Hormon gastrointestinal adalah polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel


mukosa endokrin lambung dan usus halus. Hormon ini terutama berperan dalam
pengaturan fungsi pergerakan dan sekresi sistem pencernaan yang meliputi
lambung, usus halus, hati, saluran empedu dan pancreas. (Liddle,2007:3).

16
Hormon-hormon gastrointestinal terdiri atas gastrin, sekretin, gastric
inhibitory polypeptide (GIP), cholecystokinin (CCP), motilin, pancreatic peptide
(PP), enteroglukagon dan peptid-peptida lain. Hormon tersebut bekerja melalui
mekanisme parakrin dan neurokrin. Ada beberapa polipeptida lain yang bekerja
hanya melalui mekanisme neurokrin antara lain vasoactive intestinal peptide
(VIP), somatostatin, substance-P, encephalin, dan neurotensin. (Liddle,2007:3).

Mekanisme kerja hormon gastrointestinal pada umumnya melalui


pengaktifan cAMP yang bertujuan dalam meningkatkan sintesis DNA dan RNA
di nukleus, serta produk akhirnya adalah protein yang terlibat dalam aktivitas
gastrointestinal termasuk enzim-enzim pencernaan (amilase, pepsin dan lipase).
Selain fungsi tersebut hormone gastrointestinal dapat juga berfungsi dalam
memobilisasi Ca dan pembentukan fosfotidil inositol yang berperan dalam
kontraksi lumen pada sistem gastrointestinal. (Liddle,2007:3).

Hormon gastrointestinal yang disekresi dari duodenum dan yeyenum


adalah sekretin, glukagon, GIP, VIP yang berfungsi menghambat motilitas dan
sekresi getah lambung. VIP terdapat dalam plexus sub-mukosa dan plexus
mesentrik pembuluh darah, memiliki peran dalam motilitas usus, relaksasi
sfingter dan aliran darah. Demikian pula gastrin disintesis juga di mukosa
lambung, guna mensekresi asam lambung melalui regulasi kontrol feedback
dalam menstimulasi sekresi pepsin. CCK dibuat dimukosa duodenum dan
yeyenum, berfungsi menstimulasi kontraksi kandung empedu, dan selanjutnya
menstimulasi sekresi getah pankreas. Substance-P disintesis di usus dan otak,
berfungsi dalam mekanisme kontraksi otot polos usus halus. Motilin
menstimulasi getah lambung dan mensekresi pepsin. Somatostatin berfungsi
menurunkan sekresi gastrin, sekretin, CCK, motilin, dan GIP. (Liddle,2007:3).

Hormon-hormon gastrointestinal melakukan fungsinya secara paralel


multihormon dalam mekanisme pencernaan makanan. Gastrin berperan dalam
meningkatkan sekresi asam lambung dan pepsin, CCK (cholecystokinin)
meningkatkan sekresi amilase, sekrestin bertujuan meningkatan sekresi terutama

17
bikarbonat pankreas, GIP meurunkan sekresi asam lambung, VIP meningkatkan
sekresi bikarbonat pankreas, motilin memulai pergerakan usus, somatostatin
menurunkan sekresi protein bikarbonat pancreas (Liddle,2007:3).

Regulasi kerja hormon gastrointestinal dapat di uraikan melalui contoh


sekresi CCK oleh intraluminal releasing factor yang distimulasi oleh trypsin-
sensitive releasing factor (CCK-RF) yang ada pada lumen usus halus. Releasing
factor yang berasal dari intestine melakukan regulasi negative feedback pada
sekresi pankreas. Pada kondisi basal tripsin tidak mengaktif CCK-RF, bila
terjadi proses pencernaan makanan sebagai substrat tripsin, CCK- RF aktif untuk
menstimulasi sekresi CCK. Dalam hal ini pankreas yang memonitor keberadaan
tripsin guna melepaskan CCK (Liddle,2007:3).

Hormon-hormon gastrointesinal meliputi golongan sekretin yaitu: (1)


sekretin, disekresi oleh duodenum dan jejenum, berfungsi meningkatkan sekresi
bikarbonat dan air dari pankreas (2) Gastric inhibitory polipeptide (GIP)
disekresi duddenum dan jejenum, berfungsi menurunkan sekresi dan motilitas
lambung serta meningkatkan sekresi insulin pada saat hiperglikemia. (3)
Vasoactive intestine polypeptide (VIP) disekresi dalam mukosa usus halus,
berfungsi sebagai relaxasi spincter. Golongan gaster (1) Gastrin disekresi oleh
gaster dan berfungsi meningkatkan sekresi lambung (2) CCK disekresi oleh
duodenum dan jejenum, yang berfungsi meningkatkan kontraksi kantong
empedu serta meningkatkan sekresi enzim pankreas (3) peptida lain (substance
P, bourbesin motilin, neurotensin). (Liddle,2007:3).

1.3 Penyakit penyakit dengan gejala munta kehitaman


a. Tukak peptik

Tukak peptik adalah kerusakan jaringan mulai dari mukosa,


submukosa, sampai dengan muskularis mukosa dari saluran makan bagian
atas, dengan batas yang jelas, akibat pengaruh asam lambung atau pepsin.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya tukak peptik yaitu:

18
- Genetik
- Diet
- Alkohol
- Merokok
- Obat obat tertentu

Penyakit tukak peptik terdiri dari tukak gaster dan tukak duodenum
yang memiliki pathogenesis, etiologi, dan manifestasi klinis yang mirip satu
dengan yang lain, namun terdapat beberapa karakteristik yang dapat
membedakan keduanya. Tukak peptik merupakan penyebab tersering
perdarahan dari saluran cerna bagian atas. Berdasarkan etiologinya, Tukak
peptikum bisa disebabkan karena (1) infeksi Helicobacter pylori, (2) Obat-
obatan anti inflamasi non-steroid (OAINS), (3) Asam lambung dan Pepsin.
Keluhan yang paling sering dirasakan adalah rasa nyeri di
epigastrium. Nyeri pada tukak gaster terjadi segera setelah makan, nyeri
pada tukak duodenum terjadi 2-3 jam sesudah makan atau saat lapar dan
membaik setelah makan atau minum antasida. sedangkan nyeri pada tukak
peptik 1-5 jam setelah makan. Tukak dapat mengalami berbagai macam
komplikasi, yang tersering adalah perdarahan yang ditandai oleh
hematemesis, melena dan fecal blood test positif. Tukak kronik pada
duodenum atau pilorus menyebabkan obstruksi outlet gaster yang
menyebabkan rasa penuh, kembung, disertai mual diikuti muntah yang
terjadi beberapa jam setelah makan.

b. Dispepsia

Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah


abdomen bagian atas.
Etiologi dispepsia antara lain adalah:
- Idiopatik/dispepsia fungsional
- Ulkus peptikum
- Gastroesophageal reflux disease (GERD)

19
- Kanker lambung
- Gastroparesis
- Infeksi Helicobacter pylori

Gejala klinis dari dyspepsia yaitu nyeri epigastrium, rasa terbakar


diepigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung
pada saluran cerna atas, mual, muntah dan sendawa.
Alarm symptoms pada penderita dyspepsia, antara lain:
- Penurunan BB
- Disfagia progresif
- Muntah rekurent dan persisten
- Perdarahan saluran cerna (melena dan hematemesis)
- Anemia
- Demam
- Massa daerah abdomen bagian atas
- Riwayat keluarga kanker lambung

c. Perdarahan Saluran Cerna bagian atas

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan


saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Penyebab perdarahan
SCBA yang sering dilaporkan adalah pecahnya varises esofagus, gastritis
erosive, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma Mallory-weiss, dan
keganasan. Manifestasi klinik perdaraan saluran cerna bagian atas (SCBA)
bisa beragam tergantung lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang
hilang, dan apakah perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak.
Kemungkinan pasien datang dengan (1) anemia defisiensi besi akibat
perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama, (2) hematemesis dan atau
melena disertau atau tanpa anemia, dengan atau tanpa gangguan
hemodinamik; derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan pasien.

20
d. Gastritis

Secara sederhana definisi gastritis adalah proses inflamasi pada


mukosa dan submucosa lambung. Gastritis merupakan gangguan Kesehatan
yang paling sering dijumpai di klinik, karena diagnosisnya sering hanya
berdasarkan gejala klinis bukan pemeriksaan histopatologi.
Menurut jenisnya gastritis dibagi menjadi 2, yaitu:
- Gastritis akut adalah inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian
besar merupakan penyakit ringan dan sembuh sempurna.
- Gastritis kronik adalah suatu peradangan mukosa lambung yang
bersifat menahun

Penyebab terjadinya gastritis serign berkaitan dengan


- Pemakaian obat anti inflamasi
- Konsumsi alcohol
- Terlalu banyak merokok
- Uremia
- Pemberian obat kemoterapi
- Infeksi sistemik
- Iskemik dan syok
- Konsumsi kimia secara oral yang bersifat asam/basa
- Trauma makanik
- Infeksi mikroorganisme
- Stress berat
Manifestasi klinis dari gastritis
a) Gastritis akut
- Nyeri epigastrum, hal ini terjadi karena adanya peradangan pada
mukosa lambung
- Mual, kembung, muntah merupakan salah satu keluhan yang sering
muncul. Hal ini dikarenakan adanya generasi mukosa lambung
yang mengakibatkna mual hingga muntah

21
- Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan
melena, kemudian disusul dengan tanda tanda anemia pasca
perdarahan
b) Gastriris Kronik

Pada pasien gastritis kronik emumnya tidak mempunyai


keluhan. Hanya Sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati, enoreksia,
nausea dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan.
Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai
keluhan biasanya berupa keluhan yang tidak khas. Keluhan yang sering
dihubung-hubungkan dengan gastritis adalah nyeri panas dan pedih di
ulu hari disertai mual kadang-kadang sampai muntah. Keluhan-keluhan
tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberhasilan
pengobatan.

e. Karsinoma Esofagus

Karsinoa esofagus merupakan pembunuh terselubung karena


pada stadium awal tidak menimbulkan keluhan sedangkan pada saat ada
keluhan umumnya sudah terjadi metastasis. Oleh karena keluhan-
keluhan pasa stadium awal seringkali masih dapat ditoleransi dan
mudah diatasi, biasanya pasien akan menangguhkan beberapa bulan
sebelum datang berobat.
Disfagia merupakan gejala paling sering ditemukan, terjadi
lebih dari 90% kasus. Esofagus mudah berdistensi sehingga pasien baru
akan menyadari adanya kelainan jika hampir separuh diameter lumen
esofagus sudah terkena.
Odinofagia (nyeri saat menelan) ditemukan lebih jarang
dibandingkan dengan disfagia. Nyeri terasa terus-menerus, tidak
bersifat tajam/seperti ditusuk. Nyeri menyebar ke punggung.
Adanya suara serak menandakan invasi ke n. larynges rekurens
atau aspirasi kronik. Batuk dapat terjadi karena aspirasi kronik atau

22
fistula trakeoesofageal yang pada gilirannya juga mengakibatkan
batuk-batuk selagi menelan. Komplikasi pulmonal lainnya yang sering
terjadi adalah pneumonia
Perdarahan pada tumor mengakibatkan anemia defisiensi besi,
atau hematemesis dan melena.

f. Tumor Gaster

Tumor gaster terdiri atas tumor jinak dan tumor ganas. Tumor
jinak lebih jarang daripada tumor ganas. Tumor ganas didapatkan 10
kali lebih banyak daripada tumor jinak. Tumor ganas yang terbanyak
adalah adenokarsinoma dan tumor ini menempati urutan ketiga tumor
saluran cerna di Amaerika Serikat setelah tumor kolon dan pancreas.
Keluhan utama tumor ganas gaster adalah berat badan menurun
(82%), nyeri epigastrium (63%), muntah (41%), keluhan pencernaan
(40%), anoreksia (17%), sendawa (10%), hematemesis (7%), regurgitasi
(7%), dan lekas kenyang (5%).

1.4 Mekanisme kerja obat antasida, PPI, H2-RA, sukralfat, Braxidin

a. Antasida
Antasida adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk
menetralkan asam lambung atau mengikatnya (Depkes RI, 2008).
Semua obat antasida mempunyai fungsi untuk mengurangi gejala yang
berhubungan dengan kelebihan asam lambung, tukak lambung, gastritis,
tukak usus dua belas jari dengan gejala seperti mual, muntah, nyeri
lambung, nyeri ulu hati dan perasaan penuh pada lambung (Depkes RI,
2006).
Kebanyakan kerja antasida bersifat lokal karena hanya sebagian
kecil dari zat aktifnya yang diabsorbsi. Antasida merupakan asam lemah
maka jika berikatan dengan asam yang ada di lambung menyebabkan
keasaman lambung berkurang (Priyanto, 2008). Penggunaan antasida

23
bersama-sama dengan obat lain sebaiknya dihindari karena mungkin
dapat menggangu absorbsi lain. Selain itu antasida mungkin dapat
merusak salut enteric yang dirancang untuk mencegah pelarutan obat
dalam lambung (Depkes RI, 2009).
Antasida yang mengandung magnesium tidak boleh digunakan
pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 30 ml/menit karena
eksresi magnesium dapat menyebabkan toksisitas. Hiperkalemia dapat
terjadi pada pasien dengan fungsi renal normal dengan intake kalsium
karbonat lebih dari 20 gram/hari dan pasien gagal ginjal dengan intake
lebih dari 4 gram/hari (Depkes RI, 2008).
Antasida paling baik diberikan saat muncul atau diperkirakan
akan muncul gejala, lazimnya diantara waktu makan dan sebelum tidur,
4 kali sehari atau lebih (Depkes RI, 2008). Sediaan antasida dapat
digolongkan menjadi:
1) Antasida dengan kandungan Alumunium dan atau Magnesium
Antasida yang mengandung alumunium atau magnesium yang
relatif tidak larut dalam air seperti magnesium karbonat, hidroksida,
dan trisilikat serta alumunium glisinat dan hidroksida, bekerja lama
bila berada dalam lambung sehingga sebagian besar tujuan pemberian
antasida tercapai (Depkes RI, 2008).
Sediaan yang mengandung magnesium mungkin dapat
menyebabkan diare, sedangkan sediaan yang mengandung
alumunium mungkin dapat menyebabkan konstipasi (Depkes RI,
2009). Antasida yang mengandung magnesium dan alumunium daoat
mengurangi efek samping pada usus besar ini (Depkes RI, 2008).
a) Alumunium Hidroksida
Zat koloidal ini sebagian terdiri dari alumunium hidroksida dan
sebagian lagi sebagai alumunium oksida terikat pada molekul air. Zat
ini berkhasiat adstringens yaitu menciutkan selaput lender berdasarkan
sifat ion alumunium yang membentuk kompleks dengan protein. Juga
dapat menutupi tukak lambung dengan suatu lapisan pelindung (Tjay

24
dan Rahardja, 2007). Dosis yang digunakan adalah 1-2 tablet
dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau diperlukan dan
sediaan suspense 1-2 sachet (7-14 mL), 3-4 kali sehari, anak
dibawah 8 tahun ½-1 sachet, 3-4 kali sehari. Contoh obat yang
mengandung alumunium hidroksida antara lain: Tomaag, Magtral,
Corsamaag, Aludonna, Actal, Waisan, Polysilane.

b) Magnesium Hidroksida
Magnesium hidroksida memiliki daya netralisasi kuat, cepat
dan banyak digunakan dalam sediaan terhadap gangguan lambung
bersama alumunium hidroksida, karbonat, dimetikon, dan alginat
(Tjay dan Rahardja, 2007). Dosis yang digunakan 1-2 tablet
dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan dan
sediaan suspensi 5 mL, 3-4 kali sehari. Contoh obatnya: Promag,
Ticomag, Tomaag, Farmacro, Mylacid (Depkes RI, 2011)

c) Kombinasi Mg (OH)2, CaCO2, Famotidin

Dalam dosis yang sama (1 g), MgO lebih efektif untuk


mengikat asam daripada natrium bokarbonat, tetapi memiliki sifat
pencahar sebagai efek sampingnya (lenih ringan dari Mg sulfat).
Untuk mengatasi hal ini, maka zat ini diberikan dalam kombinasi
dengan alumunium hidroksida atau kalsium karbonat
(perbandingan Mg (OH)2: CaCO3 = 1:5) yang memiliki sifat
sembelit. Magnesium oksida tidak diserap usus sehingga tidak
menyebabkan alkalosis (Tjay dan Rahardja, 2007). Dosis dewasa
dan anak diatas 12 tahun yaitu sehari 2 x 1 tablet kunyah, diminum
jika timbul gejala atau 1 jam sebelum makan. Maksimum 2
tablet/hari (2 tablet 24 jam). Sebaiknya tidak diminum bersamaan
makanan. Tablet dikunyah sebelum ditelan. Untuk anak dibawah 12

25
tahun digunakan sesuai dengan petunjuk dokter. Contoh obatnya:
Neosanmag fast dan Promag double action (Depkes RI, 2008).

d) Kompleks magnesium hidrotalsit


Hidrotalsit adalah magnesium alumunium hidroksikarbonat
dengan daya netralisasi tetapi agak lemah. pH tidak meningkat
diatas lima. Zat ini juga bekerja sebagai antipepsin yang dapat
mengikat dan menginaktivasi empedu yang mengalir naik ke
dalam lambung akibat refluks. Setelah kembali di suasana basa dari
usus, garam-garam empedu dibebaskan lagi. Dosis untuk dewasa 3-
4 kali sehari, 1-2 tablet. Dosis untuk anak-anak 6-12 tahun yaitu 3-
4 kali sehari, ½-1 tablet. Dianjurkan untuk minum obat ini segera
pada saat timbul gejala dan dilanjutkan 1-2 jam sebelum makan
atau sesudah makan dan sebelum tidur malam. Dapat diminum
dengan air atau dikunyah langsung (Depkes RI, 2008). Contoh
obatnya: Promag, Talcit, Ultacit (Tjay dan Rahardja, 2007).

e) Magnesium karbonat
Dosis yang digunakan 1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan
sebeluum tidur atau saat diperlukan dengan dosis suspense 5 mL,
3-4 kali sehari. Contoh obat yang beredar antara lain: Alumunium
hidroksida dan Magnesium trisilikat, Antasida DOEN, Decamag,
Hufamag, Magasida, Mylanta, Promag, Stopmag, Waisan (Depkes
RI, 2008).

f) Magnesium trisilikat
Magnesium trisilikat bekerja lebih lambat dan lebih lama
daripada natrium bikarbonat. Daya netralisasinya cukup baik, juga
berkhasiat adsorben (menyerap zat-zat lain pada permukaanya). Obat
ini bereaksi dengan asam lambung dan membentuk selesium

26
hidroksida yang menutupi tukak lambung dengan suatu lapisan
pelindung yang berbentuk gel. Efek samping pada penggunaan jangka
panjang zat ini adalah pembentukan batu ginjal (batu silikat) (Tjay dan
Rahardja, 2007).

2) Antasida dengan kandungan Asam Karbonat


Natrium bikarbonat merupakan antasida yang larut dalam air
dan bekerja cepat. Namun dalam dosis berlebih dapat menyebabkan
alkolisis. Seperti antasida lainnya yang mengandung karbonat,
terlepasnya karbon dioksida dapat menyebabkan bersendawa
(Depkes RI, 2008). Natrium bikarbonat merupakan antasida sistemik
yang sekarang sudah sangata jarang digunakan. Penggunaan obat ini
sebaiknya dihindari pada pasien yang menjalani diet garam (Depkes
RI, 2009). Kelebihan natrium menyebabkan retensi cairan yang
berakibat udem dan tekanan darah naik (Priyanto, 2008).

3) Antasida dengan kandungan Bismuth dan Kalsium


Antasida yang mengandung bismuth (kecuali kelat) sebaiknya
dihindari karena bismuth yang terabsorbsi bersifat neurotoksik dan
cenderung menyebabkan konstipasi. Antasida yang mengandung
kalsium dapat menginduksi sekresi asam lambung. Pada dosis rendah
manfaat klinisnya diragukan, sedangkan penggunaan dosis berat
jangka panjang dapat menyebabkan hiperkalsemia, dan alkalosis
(Depkes RI, 2008)

4) Antasida dengan kandungan Simetokin


Senyawa antasida lain seringkali ditemukan dalam sediaan
tunggal maupun kombinasi. Simetikon diberikan sendiri atau
ditambahkan pada antasida sebagai antibuih untuk meringankan

27
kembung (flatulen) (Depkes RI, 2009). Pada perawatan paliatif dapat
mengatasi cegukan (Depkes RI, 2008).

b. Antagonis Reseptor H2
Semua antagonis reseptor H2 mengatasi tukak lambung dan
duodenum dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat
penghambatan reseptor histamin-H2. Antagonis H2 sebaiknya digunakan
dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kehamilan dan pada
pasien menyusui (Depkes RI, 2008).
Efek samping antagonis reseptor H2 adalah diare dan gangguan
saluran cerna lainnya, pengaruh terhadap pemeriksaan fungsi hati, sakit
kepala, pusingm ruam, dan rasa letuh (Depkes RI, 2009). Contoh obat-
obatan yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain yaitu
Famotidin, Ranitidin, Ranitidin bismuth nitrat dan simetidin (Depkes RI,
2008).
Reseptor H-2, sebuah subtipe reseptor histamin, ditemukan oleh Sir
James Black pada tahun 1971, sebagai mediator penting dalam asam
lambung. Reseptor histamin berada pada lapisan basolateral dan sel parietal.
Adanya histamin pada reseptor H-2 akan mengaktifasi adenilsiklase dan
terjadi peningkatan konsentrasi cyclic- adenosin monophosphate (c-AMP)
intraselular. Peningkatan konsentrasi c-AMP mengaktifasi pompa proton
(hidroksida kalium ATP-ase) pada sel parietal untuk mensekresi ion
hidrogen (H+) menggantikan posisi ion kalium (K+). ARH-2 secara selektif
dan kompetitif menghambat pengikatan histamin pada reseptor H-2,
selanjutnya menurunkan konsentrasi c-AMP dan menurunkan sekresi ion

hidrogen pada sel parietal.12 Secara struktural ARH-2 tidak menyerupai


antagonis reseptor H-1, sehingga relatif tidak mempengaruhi efek peng-
hambatan pada reseptor H-1 ataupun reseptor autonomik.
Ada 4 jenis ARH-2 yang dikenal, yaitu: simetidin, ranitidin,
famotidin dan nizatidin. Simetidin merupakan senyawa antagonis reseptor

28
pertama yang ditemukan, yang mengandung cincin imidazol dari histamin.
Pada penemuan selanjutnya cincin imidazol digantikan dengan senyawa
furan (ranitidin) dan senyawa tiazol (famotidin dan nizatidin).
Sekresi asam lambung basal normal rata-rata 2-4 mEq/ jam dengan
dosis standar ARH-2 dapat menurun- kan sekresi asam lambung hingga 60-
70%. Pada dosis yang sesuai semua jenis ARH-2 mempunyai efikasi yang
hampir sama, tetapi secara farmakodinamik simetidin dan ranitidin memiliki sifat
lebih baik dan merupakan pilihan pertama pada pengobatan UP pada anak.

ARH-2 menurunkan volume cairan lambung dan konsentrasi H+. Penurunan


sekresi oleh sel kelenjar lambung berlangsung simultan dengan
penurunan volume cairan lambung. ARH-2 dapat menurunkan sekresi
asam lambung basal (puasa), nokturnal, dan post-prandial atau yang
distimulasi oleh insulin

1) Simetidin dan Ranitidin


Farmakodinamik
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif
dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi
asam lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin
sekresi asam lambung dihambat. Pengaruh fisiologik simetidin dan
ranitidine terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walaupun
tidak sebaik penekanan sekresi asam lambung pada keadaan basal,
simetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi asam lambung akibat
perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Simetidin
dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan
lambung.

Farmakokinetik
Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah
pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin diberikan

29
bersama atau segerasetelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang efek pada periode pascamakan. Absorpsi simetidin
terutama terjadi pada menit ke 60-90.
Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal
10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80 % dari dosis IV dan 40% dari
dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa
paruh eliminasinya sekitar 2 jam.Biovailabilitas ranitidin yang
diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit
hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan
memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien
penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun
tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai
dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan
yang terikat protein plasma hanya 15%. Ratinidin mengalami
metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah
pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui
ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang diberikan
IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam
bentuk asal.Meskipun dari penelitian tidak didapatkan efek yang
merugikan pada fetus, namun karena simetidin, ranitidin, dan antagonis
reseptor H2 lainnyadapat melalui plasenta maka penggunaannya hanya
bila sangat diperlukan. Antagonis reseptor H2 juga melalui ASI dan
dapat mempengaruhi fetus.

2) Famotidin
Farmakodinamik.
Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidin, famotidin merupakan
AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan
basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga
kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada
simetidin.

30
Farmakokinetik.
Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira-kira dalam 2 jam
setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan
bioavailabilitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida.
Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam
bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi
dapat melebihi 20 jam

3) Nizatidin
Farmakodinamik.
Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang
lebih sama dengan ranitidin.

Farmakokinetik.
Bioavailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi
oleh makanan atau antikolinergik. Klirens menurun pada pasien uremik
dan usia lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral
dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 1/2 jam dan lama kerja
sampai dengan 10 jam. Nizatidin disekskresi terutama melalui ginjal
90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.

c. PPI (Proton Pump Inhibitor)

Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam


lambung lebih kuat dri AH2. Obat ini bekerja diakhir produksi asam
lambung, lebih distal dari AMP. Saat ini yang digunakan di klinik adalah
omeprazole, esomeprazole, lansoprazol, rabeprazol, dan pantoprazole.
Perbedaan antara kelima sediaan tersebut adalah pada substitusi di cincin
priding dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah campuran rasemik isomer

31
R danS. Esomeprazol adalah isomer S omeprazole (S-ome-prazol) yang
mengalami eliminasi lebih lambaat dari R-omeprazol.

Farmakodinamik
Penghambat pompa proton adalah suatu prodrug yang
membutuhkan suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan
masuk ke sirkulasi sistemik obat ini akan berdifusi ke sel parietal lambung,
terkumpul dikanalikuli sekretoar dan mengalami aktivasi disitu menjadi
bentuk sulfonamide tertasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus
sulfhidril enzim H+,K+,ATPase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton)
dan berada dimembran apical sel parietal. Ikatan ini menyebabkan
terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung terhenti
80% s/d 95% seteelah penghambatan pompa proton tersebut.
Penghambatan berlangsung lama sekitar 24-48 jam dan dapat
menurunkan sekresi asam lambung basal atau akibat stimulasi, lepas dari
jenis perangsangannya histamine,asetilkolin,dan gastrin. Hambatan
inisifatnya ireversibel produksi asam baru dapat kembali terjadi setelah 3-4
hari pengobatan dihentikan.

Farmakokinetik
Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut
enteriuntuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam.
Sediaan ini tidak mengalami aktivasi di lambung sehingga
bioavailabilitasnya lebih baik. Tablet yang pecah di lambung mengalami
aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidhi mukus dan makanan.
Bioavailabilitasnya akan me nurun sampai dengan 50% karena pengaruh
makanan. Oleh sebab itu sebaiknya diberikan 30 menit sebelum makan.
Obat ini mempunyai masalah bioavailabilitas,formulasi berbeda
memperlihatkan presentasi jumlah absorpsi yang bervariasi luas.
Bioavailabilitas tablet yang bukan salut enterik meningkat dalam 5-7 hari
ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya produksi asam lambung setelah

32
obat bekerja. Obal ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 (CYP)
terutama CYP2C19 dan CYP3A4.

d. Ctoprotectans (Sucralfate)

Konsep awal modus kerja sucralfate mencakup pengikatan langsung


pada permukaan luka maupun stimulasi produksi endogen prostaglandin di
dalam mukosa lambung, sehingga menghasilkan perbaikan perlindungan
local. Senyawa aluminium sukrosa sulfat ini membentuk polimer mirip lem
dalam suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik tukak secra selektif.
Sukralfat hampir tidak diabsorbsi secara sistemik. Obat yang bekerja
sebagai sawar terhadap HCL dan Pepsin ini terutama efektif terhadap tukak
duodenum. Suasana asam diperlukan untuk mengaktifkan obat ini, sehingga
pemberian bersama AH-2 atau antacid akan menurunkan biovailabilitasnya.
Sucralfate adalah suatu obat protektif lambung yang poten yang
menstimulasi proliferasi sel-sel epitel sampai batas tertentu, dan beberapa
komponen seluler jaringan granulasi. Sucralfate berikatan baik dengan
bFGF karena aktivitas pengikatannya serupaheparin yang mencolok. bFGF
mempunyai sifat-sifat menyembuhkan ulkus yang sangat poten yang terkait
dengan stimulasinya pada produksi jaringan granulasi, angiogenesis dan
proliferasi sel-sel otot polos

e. Braxidin

Obat Braxidin merupakan kombinasi dua jenis obat yaitu


Chlordiazepoxide yang merupakan obat anti ansietas dan Clinidium
Bromida memrupakan obat antikolinergik atau spasmolitik.
Chlordiazepoxide merupakan turnan dari benzodiazepine. Mekanisme kerja
benzodiazepin merupakan potensiasi inhibisi neuron yang menggunakan
GABA sebagai mediatornya. GABA (gamma-aminobutyric acid)
merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan saraf pusat (SSP),
melalui neuron-neuron modulasi GABA nergik. Reseptornya berikatan

33
dengan reseptor subtipe GABAA. Berikatan dengan reseptor agonis
menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang menyebabakan
hiperpolarisasi dari membran postsinpatik, dimana dapat membuat neuron
ini resisten terhadap rangsangan. Dengan cara demikian obat ini
memfasilitasi efek inhibitor dari GABA sehingga meningkatkan efek
GABA dan menghasilkan efek sedasi, tidur dan berbagai macam efek
seperti mengurangi kegelisahan dan sebagai muscle relaxant. Reseptor
benzodiazepin dapat ditemukan di otak dan medula spinalis, dengan
densitas tinggi pada korteks serebral, serebelum dan hipokampus dan
densitas rendah pada medula spinalis. Kemudian, Clidinium adalah agen
antikolinergik sintetis yang telah ditunjukkan dalam studi eksperimental dan
klinis memiliki efek antispasmodik dan antisekresi yang nyata pada saluran
pencernaan. Ini menghambat tindakan muskarinik asetilkolin di situs
neuroeffector parasimpatis postganglionik. Ini digunakan untuk pengobatan
penyakit tukak lambung dan juga untuk membantu meredakan kejang atau
kram perut atau perut karena sakit perut kolik, divertikulitis, dan sindrom
iritasi usus besar.

1.5 Patomekanisme setiap gejala pada skenario


a) Berat badan menurun
Pada orang normal, berat badan biasanya stabil dalam jangka waktu
yang lama karena asupan makanan sesuai dengan energi yang dibutuhkan
oleh tubuh sehari-hari. Penyesuaian ini dilakukan oleh aktivitas saraf di
hipotalamus yang mengirimkan sinyal-sinyal untuk makan atau untuk
berhenti makan. Seseorang dengan penyakit lambung bisa terjadi penurunan
berat badan karena mengonsumsi lebih sedikit makanan akibat gejala seperti
pada scenario yaitu sakit perut yang hilang timbul sehingga dapat
memengaruhi pola makan. Selain itu, produksi asam lambung yang
berlebihan juga dapat mempengaruhi berat badan karena akan terjadi
gesekan pada dinding lambung dan usus halus sehingga timbul rasa nyeri
yang menyebabkan pasien makan tidak teratur.

34
b) Hematemesis
Hematemesis merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan
saluran cerna bagian atas (upper gastrointestinal tract). Hematemesis bisa
dalam bentuk darah segar (bekuan/gumpalan/cairan warna merah cerah)
atau berubah karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan
berbentuk seperti butiran kopi. Penyebab dari hematemesis dapat berasal
dari kelainan esofagus, kelainan lambung, dan kelainan duodenum.

Hematemesis juga dapat terjadi bila meminum obat-obatan yang


mengiritasi mukosa lambung atau obat yang merangsang timbulnya tukak
(ulcerogenic drugs). Misalnya obat-obat golongan salisilat seperti aspirin,
ibuprofen, dan lainnya. Obat-obatan lain yang juga dapat menimbulkan
hematemesis yaitu golongan kortikosteroid, butazolidin, reserpin,
spironolakton dan lain-lain. Golongan obat-obat tersebut menimbulkan
hiperasiditas.

c) Anemia
Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat mengakibatkan anemia oleh
karena kehilangan darah dalam jumlah tertentu. Ketika kehilangan darah,
tubuh dengan cepat menarik air dari jaringan di luar aliran darah untuk
menjaga agar pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya, darah menjadi encer,
dan hematokrit (persentase sel darah merah dalam jumlah total darah dalam
tubuh, atau volume darah) berkurang. Akhirnya, peningkatan produksi sel
darah merah oleh sumsum tulang dapat memperbaiki anemia. Namun,
seiring berjalannya waktu, pendarahan mengurangi jumlah zat besi dalam
tubuh, sehingga sumsum tulang tidak mampu meningkatkan produksi sel
darah merah baru untuk menggantikan yang hilang.

d) Nyeri perut hilang timbul


Keluhan sakit perut datang secara intermitten atau hilang timbul, biasanya
pada malam hari, saat perut kosong, atau 2-3 jam setelah makan.

35
- Pada saat ada rangsangan (seperti pandangan, bau, atau rasa makanan)
yang bekerja pada reseptor kortikal serebral akan merangsang saraf
vagal untuk mensinyalir sekresi asam lambung, seperti saat lambung
kosong pada malam hari, aktifitas vagal berlebihan itu merupakan iritan
yang signifikan.
- Setelah makanan berada dalam usus halus, menyebabkan pelepasan
hormon (dianggap menjadi gastrin) yang pada waktunya akan
mensekresi asam lambung. Rusaknya mukosa lambung akibat faktor-
faktor iritan akan menimbulkan reaksi radang yang akan menstimulasi
pelepasan hormon peradangan seperti bradikinin, serotonin. Hormon-
hormon ini akan merangsang hipotalamus pada pusat nyeri, sehingga
akan dirasakan nyeri akut pada pasien.

1.6 Jelaskan Langkah Langkah diagnosis


a. Ulkus peptikum
1. Anamnesis
Pasien dengan ulkus peptikum umumnya datang dengan keluhan
nyeri abdomen bagian epigastrium, seperti terbakar atau rasa perih yang
tidak nyaman. Nyeri dapat muncul segera setelah makan atau beberapa
jam setelahnya. Gejala lain yang dapat muncul adalah kembung,
distensi abdomen, mual-muntah, dan penurunan berat badan. Pada
pasien dengan ulkus duodenum, nyeri abdomen umumnya timbul saat
pasien sedang tidak makan atau ketika malam hari. Nyeri umumnya
akan membaik dengan konsumsi makanan atau pemberian agen
penetral asam lambung. Pada keadaan yang lebih berat, dapat terjadi
perdarahan yang ditandai dengan hematemesis dan melena.
Gejala peritonitis berupa nyeri tajam yang berat dan tiba-tiba juga dapat
muncul jika sudah terjadi perforasi. Pada anamnesis juga perlu
ditanyakan mengenai faktor risiko, seperti konsumsi NSAID dan atau
kortikosteroid dan aspirin jangka waktu lama.

36
2. Pemeriksaan fisik
Pada pasien ulkus peptikum yang belum perforasi, umumnya
pemeriksaan fisik hanya menunjukkan nyeri tekan regio epigastrium
dan distensi abdomen. Jika sudah terjadi perforasi, akan didapatkan
nyeri yang tajam, berat dan tiba-tiba, biasanya dirasakan di seluruh
abdomen. Pasien akan tampak kesakitan dan sulit bergerak, dengan
posisi berbaring dalam posisi fetal. Pada pemeriksaan abdomen akan
didapatkan nyeri tekan seluruh kuadran disertai rigiditas dan defans
muskular.

3. Pemeriksaan Penunjang
Penyakit ulkus peptik dapat didiagnosa menggunakan
endoskopi atau dengan contrast radiographyun barium untuk melihat
lubang ulkus. Apabila pasien dengan usia muda terdiagnosis tukak
peptik dan tidak ditemukan gejala yang mengkhawatirkan, dapat
dipastikan penyebabnya ialah infeksi helicobacter phylori, tetapi untuk
pasien diatas usia 50 tahun endoskopi sangat berguna untuk
menentukan penyebab ulkus peptik. Tanda-tanda yang mengindikasi
keganasan penyakit atau komplikasi usus yakni anemia, penurunan
berat badan, haematesis dan melena. Selain dengan endokopi infeksi
helicobacter Pylori dapat didiagnosis dengan deteksi urease, breath
urease test dan stool test untuk mendeteksi anti gen yang spesifik.
Tes hematokrit, hemaglobin dan feses guaiac dilakukan untuk
mendeteksi ketika terjadi pendarahan. Untuk diagnosis infeksi
helicobacter pylori dapat melakukan tes endoskopi atau non endoskopi
(urea breath test), deteksi antibodi serologis dan antigen tinja. Urea
breath test (UBT) adalah metode non endoskopik yang lebih digunakan
untuk membunuh helicobacter pylori tetapi harus ditunda setidaknya 4
minggu setelah selesai melakukan perawatan untuk menghindari adanya

37
tekanan bakteri setelah dimusnahkan. Pada diagnosis tukak peptik
tergantung pada gambaran kawah ulkus dengan radiografi
gastrointestinal atas atau endoskopi. Endoskopi dipilih untuk
menggantikan radiografi karena hasilnya memberikan hasil yang lebih
akurat dan memungkinkan gambaran langsung dari ulkus

b. Gatritis
1. Anamnesis
 Gastritis akut
a) Nyeri epigastrium, hal ini terjadi karena adanya peradangan
pada mukosa labung
b) Mual, kembung, muntah merpaan salah satu keluhan yang
sering muncul. Hal ini dikarenakan adanya regenerasi mukosa
lambung yang mengakibatkan mual dan muntah
c) Adanya pendarahan di saluran cerna yang di tandai dengan
hematemesis dan melena.
 Gastritis kronik
Pada pasien gastritis kronik umuntidak memiliki keluhan. Hanya
sebagan kecil mengeluh nyeri ulu hati, anoeksia dan nausea

2. Pemfis
Pada pemeriksaan fisik didapatkan beberapa gambaran yaitu
1) Inspeksi
Didapatkan adanya konjungtiva anemis
2) Auskultasi
Didapatkan adanya peningkatan bising usus
3) Palpasi
Adanya nyeri tekan pada bagian epigastrium
3. Pem. Penunjang
a. Darah lengkap, untuk mengetahui adanya anemia

38
b. Pemeriksaan serum vitamin B12, untuk mengetahui adanya
defisiensi vitamin B12
c. Analisa feses, untuk mengetahui adanya darah dalam feses
d. Analisa gaster, untuk mengetahui kadar HCL pada lambung
e. Tes antibodi serum, untuk mengetahui adanya antibodi sel parietal
dan faktor instrinsik lambung terhadap Helicobacter pylori
f. Endoskopi, bipsy, dan pemeriksaan urin biasanya dilakukan jika
ada kecurigaan berkembangnya menjadi ulkus peptikum
g. Sitologi, untuk mengetahui adanya keganasan sel lambung

c. Infeksi Helicobacter Pylori


1. Anamnesis
Pasien dapat datang dengan keluhan gastrointestinal yang tidak
spesifik. Pada anamnesis, pasien dapat mengeluhkan keluhan
gastrointestinal yang beragam mulai dari mual muntah, nyeri ulu hati,
rasa terbakar di ulu hati atau diare. Nyeri perut terutama nyeri ulu hati
merupakan keluhan yang paling sering ditemukan, namun tidak
spesifik. Pada anak, keluhan nyeri biasanya lebih signifikan. Pada anak
dengan keluhan nyeri perut yang berlangsung berminggu-minggu,
infeksi H. pylori harus dipikirkan. Namun, terbanyak 35% infeksi H.
pylori pada anak dan dewasa yang tidak bergejala.
2. Pem. Penunjang
Dalam perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi HP dibagi
menjadi pemeriksaan non invasif meliputi serologi (IgG, IgA anti HP),
urea breath test (13C, 14C) serta pemeriksaa invasif endoskopis
meliputi tes urease biopsi (CLO.MIU), histopatologi, kultur
mikrobiologi, polymerase chain reaction (PCR).
- Serologi
Pemeriksaan serologi banyak digunakan dalam penelitian
epidemiologi karena relatif murah dan dapat diterima oleh
kelompok pasien asimtomatik atau anak-anak yang tidak mau

39
diperiksa dengan cara yang invasif seperti gastroskopi. Pada
umumnya yang diperiksa adalah antibodi IgG terhadap kuman HP.
Teknik yang dipakai adalah dengan menggunakan ELISA,
Westernblot, fiksasi komplemen, dan imunofluoresen. ELISA
paling luas penggunaannya.
- Urea Breath Test
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk deteksi infeksi
HP secara non invasif yang pertama kali dikemukakan pada tahun
1987 oleh Graham dan Bell. Cara kerjanya adalah dengan menyuruh
pasien menelan urea yang mengandung isotop Carbon, baik 13C
ataupun 14C. Bila ada aktivitas urease dari kuman HP akan
dihasilkan isotop karbon dioksida yang diserap dan dikeluarkan
melalui pernapasan. Hasilnya dinilai dengan membandingkan
kenaikan ekskresi isotop dibandingkan dengan nilai dasar. Bila
hasilnya positif berarti terdapat infeksi kuman Hp. 13C merupakan
isotop nonradioaktif, ditemukan pada 1,11% karbon dioksida yang
keluar melalui udara pernapasan normal. Dianggap positif bila
terjadi kenaikan minimal 0,01% kadar isotop, sehingga dibutuhkan
alat mass spectrometer yang sangat sensitif tetapi harganya sangat
mahal. Mula-mula diambil sampel udara pernapasan untuk
menentukan nilai dasar. Kemudian diberikan tes meal berupa cairan
dengan kalori tinggi atau larutan 0,1 N asam sitrat untuk
memperlambat pengosongan lambung sehingga kontak antara isotop
dengan mukosa lambung lebih baik.
Dosis 13C yang diberikan adalah dalam bentuk urea
sebanyak 75-100 mg yang memberikan akurasi lebih dari 95%.
Terdapat berbagai modifikasi protokol sehingga setiap perubahan
memerlukan validasi untuk mempertahankan akurasi pemeriksaan.
Isotop 14 C memancarkan radiasi yang dapat dianalisis dengan
scintillation counter. Pengambilan sampel dilakukan sesudah 10 dan
20 menit baik dengan atau tanpa tes meal. Cara ini relatif murah,

40
tetapi harus diperhatikan standar keamanan yang baik, walaupun
sebenamya dosis radiasi sangat kecil. Cara ini tidak dianjurkan pada
perempuan hamil ataupun anak-anak.
Dalam hal akurasi, kedua cara ini setara, dengan sensitifitas
dan spesifisitas lebih dari 90%. Hasil positif palsu harus
dipertimbangkan bila diduga ada mikroorganisme lain yang juga
menghasilkan urease pada keadaan aklorhidria. Hasil' negatif palsu
dapat terjadi bila pasien mendapat antibiotik, antasid, bismuth, atau
anti sekresi asam. Karena itu dianjurkan untuk menghentikan obat
tersebut dua minggu sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan
UBT mempunyai kelebihan dibandingkan dengan tes yang
menggunakan spesimen biopsi karena mewakili seluruh permukaan
mukosa lambung. Aplikasi klinis digunakan untuk deteksi infeksi
pada studi epidemiologi dan individu pasien dan konfirmasi
keberhasilan terapi eradikasi yang dilakukan sesudah 4 minggu
kemudian.
- Biopsy Urease Test (BUT)
Dasarnya adalah adanya enzim urease dari kuman HP yang
mengubah urea menjadi amonia yang bersifat basa sehingga terjadi
perubahan warna media menjadi merah. Hasilnya dapat dibaca
dalam beberapa menit sampai 24 jam, dan pengambilan lebih dari
satu spesimen akan meningkatkan akurasi pemeriksaan ini.
Sensitivitas pemeriksaan ini sekitar 89-98% sedangkan
spesifisitasnya mencapai 100%. Tersedia berbagai pilihan mulai
yang dibuat sendiri dalam bentuk cairan ataupun padat seperti tes
CLO. Penggunaan antibiotik atau penghambat pompa proton akan
menghambat pertumbuhan kuman sehingga harus dihentikan satu
minggu sebelumnya. Cara ini tidak dapat digunakan untuk menilai
hasil pengobatan terapi eradikasi.

41
- Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi HP serta menilai derajat inflamasi gastritis.
Pemeriksaan standar dengan pewarnaan H & E untuk deteksi kuman
mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 87% dengan akurasi
92%. Pewarnaan khusus secara Giemsa, Genta atau Warthin-Starry
memberikan gambaran HP yang lebih jelas, sedangkan dengan
pewarnaan Genta gambaran metaplasia gastrik akan tampak lebih
jelas.
- Kultur Mikrobiologi
Dalam penatalaksanaan penyakit akibat infeksi HP. kultur
tidak dilakukan secara rutin karena dua alasan. Cara diagnostik lain
baik yang non invasif maupun yang invasif memberikan hasil yang
memuaskan dengan akurasi yang tinggi. Selain itu pemeriksaan
kultur sendiri tidak mudah dilakukan, dengan sensitivitas yang
relatif rendah, berkisar antara 66-98 %. Teknik yang dianjurkan
adalah dengan tes difusi agar atau dengan E test di mana sekaligus
dapat ditentukan konsentrasi inhibisi minimal dari antibiotik yang
diuji. Pemeriksaan kultur akan sangat membantu untuk pengobatan
kegagalan terapi eradikasi, sehingga dapat dipilih antibiotik yang
sesuai.
- PCR
Polymerase Chain Reaction merupakan pilihan yang
menarik karena sensitifitas yang tinggi (94-100%) serta spesifisitas
yang tinggi pula (100%). Bahan yang digunakan adalah spesimen
biopsi baik yang sudah diparafin maupun bekas tes urease seperti
CLO. Keuntungannya adalah kemampuannya untuk mendeteksi
infeksi dengan densitas yang rendah, bahkan juga ekspresi dari
berbagai gen bakteri seperti Cag.A. Selain biopsi mukosa lambung,
PCR dapat pula mendeteksi infeksi HP dengan memeriksa cairan
lambung, yang perlu dijaga jangan sampai terjadi kontaminasi baik

42
dari skop endoskopi maupun dari rongga mulut atau plak gigi karena
dapat memberikan hasil positif palsu. PCR dapat juga dipergunakan
untuk menilai hasil terapi eradikasi. Cara ini termasuk pemeriksaan
yang canggih dengan biaya yang cukup mahal.

2.7 Langkah langkah diagnosis serta tatalaksana dari Saluran Cerna Bagian
Atas
1. Anamnesis
Anamnesis yang teliti dapat membantu menentukan lokasi dan
penyebab perdarahan di waktu-waktu awal kontak dengan pasien.
Hematemesis mencerminkan perdarahan SCBA yang berasal dari atas
pilorus. Melena menandakan perdarahan telah berada di saluran cerna
setidaknya 8 jam. Melena yang terjadi tanpa hematemesis lebih sering
berasal dari pilorus atau lebih kaudal. Perdarahan pada usus halus dapat
bermanifestasi sebagai melena maupun hematokezia

Riwayat penyakit dahulu penting ditanyakan untuk mencari penyebab


perdarahan. Misalnya, gejala nyeri epigastrium yang kronis, penyakit
jantung, penyakit paru, penyakit ginjal, penyakit hati, dan keganasan.
Riwayat konsumsi obat juga membantu penegakan diagnosis. Misalnya
konsumsi aspirin yang berhubungan dengan gastropati erosif dan konsumsi
alkohol dapat berhubungan dengan gastritis erosif atau sirosis hepatik.

Riwayat usaha muntah yang kuat berhubungan dengan sindrom


Mallory Weiss. Varises esofagus bisa menimbulkan sensasi pendarahan di
lambung yang naik ke kerongkongan sebelum terjadi hematemesis. Riwayat
perdarahan di tempat lain bisa berhubungan dengan sirosis hepatik atau
kelainan darah

2. Pemeriksaan fisik
Tanda klinis yang mendukung perdarahan SCBA adalah
peningkatan bising usus. Bising usus meningkat karena proses lewatnya

43
darah. Nyeri abdomen dengan ketegangan periumbilikal disertai distensi
abdomen biasanya merupakan tanda terjadinya perdarahan masif. Spasme
otot rektus abdominalis dan nyeri tekan epigastrik dapat berhubungan
dengan ulkus peptik. Pada keganasan gaster, dapat diraba massa dan
perbesaran kelenjar getah bening supraklavikular kiri. Splenomegali dapat
ditemukan pada pasien dengan hipertensi portal atau kelainan hemopoietik.
Pasien dengan gangguan hati dapat menunjukkan tanda ikterus,
spider nevi, konsistensi hati yang keras, asites, eritema palmar,
ginekomastia, kontraktur Dupuytren, venous hum pada umbilikus, atau
bruit arteri hepatika. Pelebaran vena superfisial di atas umbilikusyang
disertai splenomegali merupakan tanda terjadinya hipertensi portal.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan jika terdapat syok
hipovolemik tanpa perdarahan yang nyata. Pemeriksaan ini sekaligus dapat
menunjukkan lesi lokal pada rektum, nodul, indurasi, dan rigiditas kavum
Douglas yang menunjukkan adanya metastasis atau endometriosis.
Aspirasi dari pipa nasogastrik juga dapat menjadi penentu diagnosis.
Darah yang terhisap dari pipa nasograstrik di esophagogastric junction
menandakan sumber perdarahan mungkin berasal dari esofagus atau gaster.
Darah yang baru terhisap saat pipa nasogastrik berada di dalam gaster
menandakan perdarahan terjadi dalam gaster. Bila tidak terdapat darah,
perdarahan mungkin terjadi dari organ d bawah gaster.
Penurunan kadar Hb 1 g/dL dapat diasosiasikan dengan kehilangan
darah 250 mL. Penilaian Hb hendaknya dilakukan setiap 2-8 jam sekali.
BUN meningkat pada perdarahan SCBA dan bawah. Rasio BUN dan
kreatinin yang lebih dari 30:1 lebih sering terjadi pada perdarahan SCBA.
Endoskopi merupakan pemeriksaan diagnosis pilihan terhadap
perdarahan SCBA endoskopi sebaiknya segera dilakukan pada pasien
dengan instabilitas hemodinamik. Pada pasien dengan perdarahan minor,
endoskopi bermanfaat untuk pengambilan keputusan tatalaksana lanjutan.

44
4. Tatalaksana
Resusitasi cairan menggunakan larutan salin normal harus segera
diberikan pada pasien dengan perdarahan masif. Cairan salin normal dipilih
karena dapat segera menggantikan volume intravaskular yang hilang.
Oksigen dapat diberikan untuk memaksimalkan kapasitas darah
mendistribusikan O2. Pemberian transfusi darah dapat dilakukan dengan
tetap mempertimbangkan kondisi masing-masing pasien. Pertimbangan
permberian jenis dan jumlah transfusi darah harus memperhatikan usia,
penyakit penyerta, dan derajat perdarahan.
Kadar hematokrit dipertahankan sekitar 30% pada pasien tua dan
20% pada pasien muda tanpa mengesampingkan aspek yang lain. Hingga
saat ini belum ada batasan pasti waktu untuk memulai transfusi.
Pemasangan pipa nasogastrik (NGT) dan lavase lambung bertujuan
untuk mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemodinamik.
Pemasangan NGT bukan bertujuan untuk menghentikan perdarahan.
Pemasangan NGT diindikasikan pada pasien dengan perdarahan yang
diduga masih berlangsung.
Prosedur ini juga bermanfaat untuk mempersiapkan endoskopi,
memperkirakan derajat perdarahan, dan evakuasi darah yang masih berada
di lambung. Pasien dengan perdarahan SCBA sementara dipuasakan sampai
aspirat NGT jernih. American College of Gastroenterology (ACG) tidak
merekomendasikan pemasangan NGT dan lavage sebagai terapi rutin.
Saat ini, terapi standar perdaranan SCBA adalah pemberian PPI dan
endoskopi. PPI bermanfaat untuk perdarahan akibat tukak lambung.
Pemberian omeprazole dimulai dengan dosis 80 mg, dilanjutkan 80 mg
melalui infus selama 72 jam, dan peroral 20 mg/hari selama 8 minggu.
Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 dapat diberikan untuk
penyembuhan mukosa lambung. Pemberian vit K pada penyakit hati kronis
diperbolehkan. Pasien dengan perdarahan aktif dan hemodinamik tidak
stabil perlu perawatan di ruang intensif.

45
Pemberian antifibrinolitik seperti asam traneksamat belum menjadi
rekomendasi terapi perdarahan SCBA. Walaupun penggunaan asam
traneksamat disebut mampu mengurangi angka kematian, terapi ini tidak
mengurangi risiko perdarahan berulang.
Pada perdarahan varises esofagus, penggunaan vasopresin,
somatostatin, dan ocreotide bermanfaat menurunkan aliran darah splanknik.
Vasopresin diberikan degan dosis 10 unit/jam bersama dengan nitrogliserin
untuk mencegah insufisiensi koroner. Somatostatin dan ocreotide
mempunyai efek terapi lebih baik daripada vasopresin. Somatostatin
diberikan dengan dosis awal bolus 250 mcg dilanjutkan 250 mcg selama 12-
24 jam atau sampai perdarahan berhenti.

2.8 DD & DS
A. Infeksi Helicobacter pylori
a) Definisi

Helicobacter pylori adalah bakteri Gram negatif yang ditemukan


di dunia pada hampir separuh dari semua orang sehat, terutama pada
lansia dan anak kecil. Bakteri ini membentuk koloni di dalam lambung
dan bergabung dengan luka lambung atau duodenum. H. pylori dapat
bertahan hidup dalam suasana asam karena memiliki enzim urease yang
dapat menguraikan urea menjadi amoniak. (Imas L, 2019)
Sejak penemuan kuman Helicobacter pylori (HP) oleh Marshall
dan Warren pada tahun 1983, kemudian terbukti bahwa infeksi HP
merupakan masalah global, termasuk di Indonesia, sampai saat ini
belum jelas betul proses penularan serta patomekanisme infeksi kuman
ini pada berbagai keadaan patologis saluran cerna bagian atas (SCBA).
Pada tukak peptik infeksi HP merupakan faktor etiologi yang utama
sedangkan untuk kanker lambung termasuk karsinogen tipe I yang
definitif. Pada keadaan lain seperti dispepsia non ulkus dengan infeksi
HP, para ahli belum bersepakat tentang perannya sebagai faktor etiologi
(Setiati S et all, 2014).

46
b) Epidemiologi

Prevelensi infeksi HP di negara berkembang lebih tinggi


dibandingkan dengan negara maju. Prevelensi pada populasi di negara
maju sekitar 30-40%, sedangkan dinegara berkembang mencapai 80-
90%. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 10-20% yang akan menjadi
tersebut hanya sekitar 10-20% yang akan menjadi penyakit
gastroduodenal (Setiati S et all, 2014).
Studi seroepidemiologi di Indonesia menunjukan prevalensi 36-
46,19% dengan usia termuda 5 bulan. Pada kelompok usia muda di
bawah 5 tahun. 5,3-15.4% telah terinfeksi, dan diduga infeksi pada usia
dini berperan sebagai faktor risiko timbulnya degenerasi maligna pada
usia yang lebih lanjut. Asumsi ini perlu diamati lebih lanjut, karena
kenyataannya prevalensi kanker lambung di Indonesia relatif rendah,
demikian pula prevalensi tukak peptik. selain faktor bakteri, faktor
pejamu dan faktor lingkungan yang berbeda akan menentukan
terjadinya kelainan patologis akibat infeksi. Secara umum telahi
diketahui bahwa infeksi HP merupakan masalah global, tetapi
mekanisme transmisi apakah oral-oral atau fekal-oral belum diketahui
dengan pasti. Studi di Indonesia menunjukkan adanya hubungan antara
tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi infeksi HP, sedangkan
data di luar negeri menunjukkan hubungan antara infeksi dengan
penyediaan atau sumber air minum (Setiati Set all, 2014).

c) Patogenesis

Pada awalnya, H.pylori hanya dideskripsikan sebagai


organisme yang predominan ekstra seluler, gram negatif, berflagel, dan
motil. Dengan berkembangnya teknik biokimia, informasi baru tentang
patogenisitas dan faktor virulensi H.pylori telah muncul,
mengindikasikan bahwa infeksi H.pylori memerlukan interaksi yang

47
kompleks dari faktor inang dan bakterial (patogen, yaitu H.pylori). Para
peneliti telah mengidentifikasi beberapa protein bakteri yang
dibutuhkan untuk kolonisasi H.pylori pada mukosa lambung. Termasuk
beberapa protein aktif yang dibutuhkan H.pylori untuk masuk ke dalam
permukaan mukosa (contohnya flagellin, yang telah dikodekan menjadi
gen flaA dan flaB). Ketika bakteri sudah berada dalam mukosa
lambung, terjadi perangsangan hipoklorhidria dengan mekanisme yang
belum diketahui. Enzim urease yang diproduksi oleh bakteri
menciptakan lingkungan mikro yang baik untuk terjadinya kolonisasi.
Terdapat pula peranan enzim cecropins yang dihasilkan oleh bakteri
H.pylori dan menginhibisi pertumbuhan dari organisme kompetitor.
Juga terdapat enzim adenosinetriphosphatase tipe P, yang mencegah
terjadinya alkalinisasi yang berlebihan akibat aktivitas urease (Setiati
Set all, 2014).
Begitu menempel pada mukosa lambung, H.pylori
menyebabkan cedera jaringan melalui rangkaian kejadian yang
kompleks yang tergantung pada faktor inang dan pathogen. H.pylori,
seperti bakteri gram negatif lainnya memiliki dinding sel
lipopolisakarida yang dapat merusak integritas mukosa. Kemudian,
H.pylori melepaskan beberapa protein pathogen yang dapat
menginduksi cedera jaringan. Contohnya, protein CagA, yang
diproduksi oleh cytotoxic associated gene A (cagA), adalah protein
immunogenik yang kuat yang dapat dihubungkan dengan keadaan
klinis yang berat, seperti tukak peptik dan adenokasinoma lambung
(walaupun hal ini masih banyak dipertanyakan). Terdapat bukti-bukti
yang semakin bertambah bahwa CagA dihubungkan dengan
adenokarsinoma distal, dan bukan yang proksimal. Sebagai tambahan,
protein yang dihasilkan oleh gen vacuolating cytotoxin A (vacA) dan
gen A yang diinduksi oleh kontak dengan epithelium (iceA), telah
diketahui juga berhubungan dengan cedera mukosa. Saat kolonisasi
pada mukosa berlangsung, protein immunogenik H.pylori menginduksi

48
reaksi inflamasi yaitu dengan gastritis neutropilik, yang menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis dari infeksi. Proses ini diperantarai oleh
faktor inang, termasuk interleukin 1, 2, 6, 8, dan 12; interferon gamma;
TNF-α; limfosit T dan B; dan sel-sel fagosit. Faktor-faktor ini
menyebabkan cedera jaringan dengan melepaskan berbagai oksigen
reaktif dan sitokin-sitokin peradangan.H.pylori juga dapat
mempercepat apoptosis dari mukosa (Setiati Set all, 2014).

d) Faktor Risiko

Menurut Hamzah Pratama (2019) Infeksi Helicobacter pylori


dapat terjadi pada siapa saja. Akan tetapi, seseorang akan lebih mudah
terinfeksi Helicobacter pylori jika:

 Tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang tidak baik


 Tinggal di pemukiman padat penduduk
 Mengonsumsi air minum yang tidak dimasak hingga matang
 Berbagi tempat tinggal dengan penderita infeksi Helicobacter
pylori

e) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala,
dispepsia fungsional, tukak peptik dan kanker lambung. Pernah pula
dilaporkan dalam studi kasus kelola peran infeksi HP pada penyakit
jantung koroner (Setiati Set all, 2014).

f) Diagnosis

Kuman HP bersifat mikroaerofilik dan hidup di lingkungan


yang unik, di bawah mukus dinding lambung yang bersuasana asam.
Kuman ini mempunyai enzim urease yang dapat memecah ureum
menjadi amonia yang bersifat basa, sehingga tercipta lingkungan mikro
yang memungkinkan kuman ini bertahan hidup. Karena itu prosedur

49
diagnostik cukup sulit karena harus melakukan tindakan yang invasif
yaitu dengan melakukan gastroskopi untuk mendapatkan spesimen
yang diperlukan untuk pemeriksaan langsung. Histopatologi ataupun
kultur mikrobiologi. Selain itu terdapat pemeriksaan non invasif seperti
tes serologi dan urea breath test (UBT) (Setiati Set all, 2014).
Tujuan pemeriksaan diagnostik infeksi HP adalah untuk
menetapkan adanya infeksi sebelum memberikan pengobatan atau
untuk penelitian epidemiologi. Selain itu untuk mengamati apakah telah
tercapai eradikasi sesudah pemberian obat antibiotik. Dalam
perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi HP adalah sebagai
berikut:
• Non invasif: Serologi: serologi, uji napas urea, dan uji antigen tinja.
- Uji napas urea: Pada tes sederhana ini, pasien minum suatu
larutan urea berlabel lalu meniup ke dalam suatu tabung. Urea
dilabel dengan isotop non-radioaktif 13C atau isotop radioaktif
dosis rendah 14C. Jika terdapat urease H. pylori, urea
terhidrolisis dan karbon dioksida berlabel akan terdeteksi dalam
sampel napas.
- Tes antigen tinja: pemeriksaan sederhana lainnya, lebih mudah
dan mungkin lebih murah daripada tes napas urea, tetapi pada
beberapa penelitian perbandingan sedikit kurang akurat.
- Serologi: Tes paling sederhana untuk memastikan status H.
pylori adalah pemeriksaan serologik yang mengukur kadar IgG
spesifik dalam serum dengan enzyme-linked immunosorbent
assay atau immunoblot.

Yang terbaik dari tes-tes ini adalah seakurat seperti metode


diagnostik lain, tetapi banyak tes komersial khususnya tes yang
dapat dilakukan dengan cepat di tempat praktik tidak terlalu baik
kinerjanya. Tes napas urea, tes antigen tinja, dan tes berbasis biopsı
dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pengobatan. Namun,

50
karena tes-tes ini bergantung pada sedikit banyaknya jumlah H.
pylori, penggunaan tes-tes ini <4 minggu Setelah pengobatan dapat
memberi hasil negatif-palsu. Selain itu, tes ini kurang dapat
diandalkan jika dilakukan dalam 4 minggu setelah terapi dengan
antibiotik atau senyawa dau dalam 2 minggu setelah penghentian
pemberian pompa proton (PPI) (Longo D.L, 2014).

 Invasif/endoskopi: Tes Urease, histopatologi, kultur mikrobiologi,


Polymerase Chain Reaction (PCR).
- Biopsy Urease Test (BUT)
Tersedia berbagai pilihan mulai yang dibuat sendiri
dalam bentuk cairan ataupun padat seperti tes CLO. Dasarnya
adalah adanya enzim urease dari kuman HP yang mengubah
urea menjadi amonia yang bersifat basa sehingga terjadi
perubahan warna media menjadi merah. Hasilnya dapat dibaca
dalam beberapa menit sampai 24jam, dan pengambilan lebih
dari satu spesimen akan meningkatkan akurasi pemeriksaan ini.
Sensitivitas pemeriksaan ini sekitar 89-98% sedangkan
spesifisitasnya mencapai 100% (Setiati S et all, 2014)..
Penggunaan antibiotik atau penghambat pompa proton
akan menghambat pertumbuhan kuman sehingga harus
dihentikan satu minggu sebelumnya. Cara ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan terapi eradikasi
(Setiati S et all, 2014).

- Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi HP serta menilai derajat inflamasi gastritis.
Pemeriksaan standar dengan pewarnaan HE untuk deteksi
kuman mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 87%
dengan akurasi 92%. Pewarnaan khusus secara Giemsa, Genta

51
atau Warthin-Starry memberikan gambaran HP yang lebih jelas,
sedangkan dengan pewarnaan Genta gambaran metaplasia akan
tampak jelas. Densitas kuman akan merun bila sebelumnya
diberikan obat antibiotik atau inhibitor pompa proton, sehingga
akan menurunkan sensitivitas pemeriksaan (Setiati S et all,
2014).

- Biakan Mikrobiologi
Dalam penatalaksanaan penyakit akibat infeksi HP.
Kultur tidak dilakukan secara rutin karena dua alasan. Cara
diagnostik lain baik yang non invasif maupun yang invasif
memberikan hasil yang memuaskan dengan akurasi yang tinggi.
Selain itu pemeriksaan kultur sendiri tidak mudah dilakukan,
dengan sensitivitas yang relatif rendah, berkisar antara 66-98 %.
Teknik yang dianjurkan adalah dengan tes difusi agar atau
dengan E test di mana sekaligus dapat ditentukan konsentrasi
inhibisi minimal dari antibiotik untuk pengobatan kegagalan
terapi eradikasi, sehingga yang diuji. Pemeriksaan kultur akan
sangat membantu dapat dipilih antibiotik yang sesuai.

- Polymerase Chain Reaction (PCR)


Polymerase Chain Reaction merupakan pilihan yang
menarik karena sensitifitas yang tinggi (94-100%) serta
spesifisitas yang tinggi pula (100%). Bahan yang digunakan
adalah spesimen biopsi baik yang sudah diparafin maupun bekas
tes urease seperti CLO. Keuntungannya adalah kemampuannya
untuk mendeteksi infeksi dengan densitas yang rendah, bahkan
juga ekspresi dari berbagai gen bakteri seperti Cag.A. Selain
biopsi mukosa lambung, PCR dapat pula mendeteksi infeksi HP
dengan memeriksa cairan lambung, yang perlu dijaga jangan
sampai terjadi Kontaminasi baik dari skop endoskopi maupun

52
dari rongga mulut atau plak gigi karena dapat memberikan hasil
positif Palsu. PCR dapat juga dipergunakan untuk menilai hasil
terapi eradikasi. Cara ini termasuk pemeriksaan yang dengan
biaya yang cukup mahal (Setiati S et all, 2014).

g) Tatalaksana

Terapi Eradikasi
Laporan uji klinik terapi infeksi HP di Indonesia pada mulanya
menggunakan monoterapi menggunakan preparat bismuth dengan
tujuan supresi dan bukan eradikasi. Pada masa kini rejimen terapi yang
digunakan adalah terapi kombinasi antara penghambat pompa proton
dengan dua atau tiga macam antibiotik (Setiati Set all, 2014).

Obat Dosis Durasi


Lini Pertama
PPI 2x1 7 – 14 Hari
Amoksisilin 2 x 1000 mg
Klaritomisin 2 x 500 mg
Di dearah yang diketahui resisten Klaritomisin > 20%
PPI 2x1 7 – 14 Hari
Bismut subsalisilat 2 x 2 tablet
Metronidazole 3 x 500 mg
Terasiklin 4 x 250 mg
Jika bismut tidak ada
PPI 2x1 7 – 14 Hari
Amoksisilin 2 x 1000 mg
Klariromisin 2 x 500 mg
Metronidazole 3 x 500 mg

53
Lini kedua:Golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen yang
mengandung Klaritomisin
PPI 2x1 7 – 14 Hari
Bismut subsalisilat 2 x 2 tablet
Metronidazole 3 x 500 mg
Terasiklin 4 x 250 mg
Regimen lain lini kedua
PPI 2x1 7 – 14 Hari
Amoksisilin 2 x 1000 mg
Levofloksasin 2 x 500 mg
Lini ketiga: jika gagal denga rejimen lini kedua. Bila memungkinkan,
pilihan ditentukan berdesarkan uji resistensi dan atauperubahan klinis
PPI 2x1 7 – 14 Hari
Amoksisilin 2 x 1000 mg
Levofloksasin 2 x 500 mg
Rifabutin 0,15 g
Tabel 1: Regimen Terapi Yang Dianjurkan Untuk Helicobacter Pylori.

h) Pencegahan Infeksi Helicobacter pylori

Menurut Hamzah Pratama (2019) Infeksi Helicobacter pylori


dapat dihindari dengan menerapkan upaya-upaya pencegahan berikut
ini:

 Menghindari konsumsi makanan atau minuman yang tidak higienis


 Menghindari konsumsi makanan atau air minum yang tidak
dimasak hingga matang
 Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah menggunakan toilet.

54
B. Gastritis
a) Definisi
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung. Gastritis merupakan gangguan kesehatan yang paling sering
dijumpai di klinik, karena diagnosisnya sering hanya berdasarkan gejala
klinis bukan pemeriksaan histopatologi (Djojodiningrat, 2014).

b) Epidemiologi
Angka kejadian gastritis berdasarkan data WHO South-East region
menyatakan bahwa India tertinggi mencapai 43% dan Indonesia
menjadi negara dengan gastritis terbesar ke-2 di asia mencapai 40,8%.
Data ini tervalidasi jika dilihat dari keadaan kondisi Indonesia.
Mayoritas di Asia 50% kondisi dispepsia dan gastritis belum terindikasi
penyebab organik dan tanpa ada alarm sign. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI) menyatakan bahwa angka kejadian
gastritis di beberapa kota di Indonesia yang tertinggi mencapai 91,6%
yaitu di kota Medan, lalu di beberapa kota lainnya seperti Surabaya
31,2%, Denpasar 46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5%, Palembang
35,3%, Aceh 31,7% dan Pontianak 31,2%. Hal tersebut disebabkan oleh
pola makan yang kurang sehat. Hasil endoskopi di beberapa center
rumah sakit didapatkan 44,7 % kasus kelainan pada gastritis dan
duodenitis, 6,5% kasus dengan ulkus gaster, dan normal pada 8,2%
kasus. Prevalensi pelayanan kesehatan primer dengan keluhan
dyspepsia pada geriatric mencapai 30% dan 50% ditemukan pada
praktek dokter spesialis penyakit dalam. Berdasarkan data dinas
kesehatan provinsi lampung menyatakan bahwa Gastritis dan dispepsia
merupakan 10 penyakit terbanyak yang dikeluhkan masyarakat
Lampung pada rentang usia geriatri dan remaja. (Ahmad Farishal, dkk.
2018).

55
c) Etiologi
Penyebab utama gastritis adalah bakteri Helicobacter pylori, virus,
atau parasit lainnya juga dapat menyebakan gastritis. Kontributor
gastritis akut adalah meminum alkohol secara berlebihan, infeksi dari
kontaminasi makanan yang dimakan, dan penggunaan kokain.
Kortikosteroid juga dapat menyebabkan gastritis seperti NSAID aspirin
dan ibuprofen.
Selain itu beberapa penyebab gastritis diantaranya yaitu konsumsi
alkohol berlebihan, stress dan juga autoimun (Gomez, 2012).

d) Klasifikasi
Menurut Suratun (2010), jenis-jenis gastritis adalah sebagai berikut :
1) Gastritis akut, merupakan peradangan pada mukosa lambung
yang menyebabkan erosi dan perdarahan mukosa lambung dan
setelah terpapar pada zat iritan. Erosi tidak mengenai lapisan
otot.
2) Gastritis kronik, merupakan gastritis yang terkait dengan atropi
mukosa gastrik sehingga produksi HCI menurun dan
menimbulkan kondisi achlorhydria dan ulserasi peptic gastritis
kronis dapat diklasifikasikan pada tipe A dan tipe B.
a) Tipe A merupakan gastritis autoimun. Adanya antibody
terhadap sel parietal menimbulkan reaksi peradanagan yang
pada akhirnya dapat menimbulkan atropi mukosa lambung.
Pada 95% pasien dengan anemia persiosa dan 60 % pasien
dengan gastritis atropi kronik memiliki antibody terhadap sel
parietal. Biasanya kondisi ini menjadi tendensi terjadinya Ca
Lambung pada fundus atau korpus.
b) Tipe B merupakan gastritis yang terjadi akibat infeksi oleh
helicobacter pylori. Terdapat inflamasi yang difuse pada
lapisan mukosa sampai muskularis, sehingga sering

56
menyebabkan perdarahan dan erosi sering mengenai antrum
(Setiati, 2017).

e) Patofisiologi
Proses terjadinya gastritisa atau mag yaitu awalnya karena obat-
obatan, alkohol, empedu atau enzim-enzim pankreas yang dapat
merusak mukosa lambung menggangu pertahanan mukosa lambung dan
memungkinkan difusi kembali asam dan pepsin ke dalam jaringan
lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respon mukosa lambung
terhadap kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi
mukosa, karena itu gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang
dengan sendirinya. Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi
meradang dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat seperti asam
dan basa kuat yang bersifat korosif dapat mengakibatkan peradangan
pada dinding lambung (Mansjoer, 2001).

f) Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari gastritis akut dapat bervariasi dari keluhan
abdomen yang tidak jelas, seperti anoreksia atau mual, sampai gejala
lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah, perdarahan dan
hematemesis. Pada pemeriksaan fisis biasanya tidak ditemukan
kelainan, kecuali mereka yang mengalami perdarahan yang hebat
sehingga menimbulkan tanda dan gejala gangguan hemodinamik yang
nyata seperti hipotensi, pucat, keringat dingin, takikardia sampai
gangguan kesadaran. Klien juga mengeluh kembung, rasa asam di
mulut. Sedangkan manifestasi klinis dari gastritis kronik; gejala
defisiensi B12, sakit ulu hati setelah makan, bersendawa rasa pahit
dalam mulut, mual dan muntah.
Walaupun banyak kondisi yang dapat menyebabkan gastritis, gejala
dan tanda penyakit ini sama antara satu dengan yang lainnya. Gejala-
gejala tersebut antara lain perih atau sakit seperti terbakar pada perut

57
bagian atas yang dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk ketika
makan, mual, muntah, kehilangan selera makan, kembung, terasa penuh
pada perut bagian atas setelah makan dan kehilangan berat badan
(Malyca DR. 2021).

g) Diagnosis
Kebanyakan penyakit gastritis tanpa gejala. Mereka yang
mempunyai keluhan biasanya berupa keluhan yang tidak khas. Keluhan
yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis adalah nyeri panas
dan pedih di ulu hati disertai mual, kadang-kadang sampai muntah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan
histopatologi. Sebaiknya biopsy dilakukan dengan sistematis sesuai
dengan update Sydney system yang mengharuskan mencantumkan
topografi. Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema,
eksudatif, flat-erotion, raised erotion, perdarahan, edematous rugae.
Perubahan-perubahan histopatologi selain menggambarkan proses yang
mendasari, misalnya autoimun atau respon adaptif mukosa lambung.
Perubahan-perubahan yang terjadi berupa degradasi epitel, hyperplasia
foveolar, infiltrasi neutrophil, inflamasi sel mononuclear, folikel
lymphoid, atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin,
kerusakan sel parietal. Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga
menyertakan pemeriksaan kuman HP. (Djojodiningrat, 2014).

h) Tatalaksana
a) Terapi Farmakologi
 Antikoagulan: diberikan bila ada perdarahan pada lambung.
 Antasida: diberikan untuk menetralkan asam lambung
 Ranitidine: diberikan untuk menghambat pembentukan asam
lambung dan kemudian menurunkan iritasi lambung

58
 Sucralfate: diberikan untuk melindungi mukosa lambung
dengan cara menyeliputinya, untuk mencegah difusi kembali
asam dan pepsin yang menyebabkan iritasi
 Proton pump inhibitor (PPI): diberikan untuk menghentikan
produksi asam lambung dan menghambat infeksi bakteri
Helicobacter pylori.
 Pengobatan gastritis akibat infeksi kuman Helicobacter
pylori bertujuan untuk melalukan eradikasi kuman tersebut.
Pada saat ini indikasi yang telah disetujui secara universal
untuk melakukan eradikasi adalah infeksi kuman
Helicobacter pylori yang ada hubungannya dengan tukak
peptik dan yang berhubungan dengan low grade B cell
lymphoma. Sedangkan pasien yang menderita dispepsia non
tukak, walaupun berhubungan dengan infeksi kuman
Helicobacter pylori eradikasi terhadap kuman tersebut masih
menjadi perdebatan. Mereka yang setuju berpendapat bahwa
eradikasi kuman tersebut ditinjau dari epidemiologi
diharapkan dapat menekan kejadian atropi dan metaplasia
pada pasien-pasien yang sudah terinfeksi. Selanjutnya dapat
mencegah tukak peptik, kanker lambung dan limfoma.
Mereka yang tidak setuju menganggap bahwa belum cukup
bukti eradikasi dapat berimplikasi sedemikian luas.
Eradikasi dilakukan dengan kombinasi antara berbagai
antibiotik dan proton pump inhibitor (PPI). Antibiotika yang
dianjurkan adalah klaritomisin. amoksisilin, metronidazol
dan tetrasiklin. Bila PPI dan kombinasi 2 antibiotika gagal
dianjurkan menambahkan bismuth subsalisilat/subsitral
(Setiati, 2017)

59
Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4

PPI Dosis Klarithomisin Amoksisilin


Ganda (2 x 500 mg) (2 x 1000 mg)
PPI Dosis Klarithomisin Metronidazol
Ganda (2 x 500 mg) (2 x 500 mg)
PPI Dosis Tetrasiklin Metronidazol
Subsalisilat/Subsitral
Ganda (4 x 500 mg) (2 x 500 mg)
Tabel 2. Contoh regimen untuk eradikasi infeksi H. Pylori

b) Terapi non Farmakologi


Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan yaitu
mengurangi atau menghilangkan stress psikologis, menghentikan
kebiasaan merokok, tidak menggunakan oains. Selain itu penderita
gastritis harus menghindari makanan-makanan yang dapat
menyebabkan terjadinya ulcer (tukak) seperti makanan dan
minuman yang mengandung kafein, pedas dan alkohol.

i) Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada gastritis, yaitu :
1. Perdarahan saluran cerna bagian atas, yang merupakan kedarurat
akut medis terkadang perdarahan yang terjadi cukup dapat
menyebabkan kematian.
2. Ulkus, jika prosesnya hebat.
3. Gangguan cairan dan elektrolit pada kondisi muntah hebat
(Mansjoer, 2001).

60
C. Ulkus Peptikum
a. Definisi

Hilangnya lapisan mukosa hingga submukosa gaster dan/atau


duodenum, Ulkus peptikum berbatas tegas dan berdiameter 5 mm untuk
membedakannya dengan erosi.

b. Epidemiologi

Angka morbiditas dan mortalitas ulkus duodenum sudah


berkurang >50% sejak ditemukan dan dieradikasinya H. pylori.
Prevelensi ulkus peptikum di negara berkembang sebesar 0,12-1,5%
bedasarkan diagnosis klinis dokter dan 0,1-0,19% berdasarkan data
rumah sakit per tahun. Insidensinya meningkat seiring bertambahnya
usia, dengan puncak insidensi ulkus duodenum pada usia 30-40 tahun
dan ulkus gaster pada usia 60-70 tahun. Berdasarkan data endoskopi
pasien dyspepsia kronis di Makassar, diketahui 14% merupakan ulkus
duodenum dan 5% ulkus gaster, dengan proporsi laki-laki dibandingkan
perempuan sebesar 2:1.

c. Etiologi

Etiologi terpenting dalam terjadinya ulkus peptikum meliputi


infeksi Helicobacter pylori dan konsumsi obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS)
 Infeksi H. pylori, ditularkan melalui fekal-oral atau oral-oral dan
akan membentuk koloni khusunya di antrum gaster. Bakteri gram
negative ini melekat pada permukaan epitel dengan bantuan
adhesion dan akan mengeluarkan berbagai sitotoksin yang dapat
merusak epitel mukosa gastroduodenum. H. pylori juga
menghasilkan enzim urease, lipase, protease dan fosfolipase.
Urease berperan memecah urea gaster menjadi ammonia yang

61
toksik, sedangkan fosfolipase akan menekan sekresi mukus,
menurunkan pertahanan mukosa, serta merusak lapisan epitel.
Oleh karena kerusakan mukosa, asam lambung akan berdifusi
balik menyebabkan nekrosis dan ulkus peptikum.
 OAINS, menghambat enzim siklooksigenase/COX (termasuk
COX 1 pada saluran cerna) pada asam arakidonat sehingga
produksi prostaglandin dan prosrasiklin terganggu. Prostaglandin
berfungsi memelihara keutuhan mukosa, sehingga penghambatan
produksi prostaglandin dapat menimbulkan kerusakan mukosa.

d. Faktor Resiko
 H. pylori (3,7 kali lebih berisiko)
 Terapi OAINS (3,3 kali lebih berisiko)
 Penyakit paru obstruksi kronis/PPOK (2,34 kali lebih berisiko)
 Gagal ginjal kronis (2,29 kali lebih berisiko)
 Merokok (1,99 kali lebih berisiko)
 Usia lanjut (1,67 kali lebih berisiko)

e. Gejala dan Tanda


Nyeri epigastrium yang dideskripsikan dengan rasa terbakar
ataupun sensasi sangat perih. Nyeri juga dapat terlokalisasi pada
kuadran kanan/kiri atau abdomen serta tembus ke punggung
Pada ulkus duodenum, nyeri epigastrium terjadi 2-5 jam setelah
makan (saat sekresi asam lambung dengan ketiadaan makanan) dan
umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi antasida atau
makanan. Dua pertiga pasien juga mengeluh sering terbangun tengah
malam akibat nyeri (ketika sekresi asam lambung secara maksimal
distimulasi oleh sirkadian) Sebaliknya pasien dengan ulkus gaster akan
mengeluh nyeri epigastrium yang berperberat dengan makanan. Mual,
rasa penuh setelah makan, dan penurunan berat badan juga lebih

62
dominan pada ulkus gaster Sekitar 70% kasus ulkus peptikum
asimtomatis. Pasien-pasien tersebut biasanya datang ke dokter dengan
gejala terkait komplikasi, seperti nyeri seluruh kuadran abdomen secara
mendadak, muntah berisi makanan yang belum tercerna, serta
hematemesis dan/atau melena.

f. Pemeriksaan Fisis

Nyeri tekan epigastrium adalah temuan paling umum. Hasil


pemeriksaan fisis juga dapat mengindikasikan adanya komplikasi,
meliputi takikardi dan ortostasis serta nyeri tekan berat hingga abdomen
seperti papan.

g. Pemeriksaan Pununjang

Esofagogastroduodenoskopi (EGD) menjadi baku emas karena


memiliki sensitivitas (90%) dan spesifitas paling tinggi. EGD akan
memberikan visualisasi terkait defek mukosa sekaligus dapat
dilanjutkan dengan biopsy jaringan guna menyingkirkan keganasan dan
mendeteksi H. pylori.
EGD umumnya dianjurkan pada pasien sugestif ulkus peptikum
dengan onset gejala pada usia kurang lebih 60 tahun dan gejala alarm
meliputi:
 Penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas
 Disfagia progresif
 Odinofagia
 Anemia difisiensi besi tanpa penyebab yang jelas
 Muntah persisten
 Teraba massa atau limfadenopati
 Riwayat keluarga dengan keganasan GI

63
Pada fasilitas tanpa EGD, pemeriksaan barium kontras ganda dapat
dilakukan guna mendeteksi ulkus (sensitivitas 90%). Namun,
sensitivitas akan menurun apabila diameter ulkus <5 mm atau terdapat
skar. Ulkus akan tampak sebagai cekungan yang berbatas tegas

Tes infeksi H.pylori sebaiknya dilakukan pada seluruh pasien


dengan kecurigaan ulkus peptikum. Terdapat beberapa macam
modalitas pemeriksaan, mulai dari invasive (rapid urease,histology,dan
kultur) hingga noninvasif (serologi, urea breath test, dan antigen feses).
Uera breath test (sensitivitas >90%; spesifitas >90%) menjadi
pemeriksaan yang paling sering dilakukan karena sederhana dan cepat.

h. Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisis sangat penting dalam


menegakkan diagnosis ulkus pada pasien dyspepsia. Diagnosis pasti
ulkus peptikum dilakukan melalui pemeriksaan EGD.

Diagnosis penunjang:
 Dyspepsia fungsional: Tidak ditemukan kelainan pada EGD
 Keganasan gastrointestinal: Riwayat keganasan gastrointestinal
pada keluarga, teraba,massa abdomen, terdapat limfadenopati
 GERD: heartburn dan atau regurgitasi serta dapat ditemukan erosi
pada esophagus
 Gastroparesis: gejala cepat kenyang lebih dominan dan terdapat
riwayat DM tipe 2
 Celiac disease: Terdapat diare dan gejala malabsorpsi

64
i. Tatalaksana Ulkus Peptikum
1. Tatalaksana Farmakologi
b. Ulkus Peptikum akibat infeksi H.Pylori
Pengobatan bertujuan untuk mengeradikasi H.Pylori
dengan kombinasi PPI dengan kombinasi antibiotic sebagai
berikut:
 Triple therapy klaritromisin: PPI 2 X 1 DAN klaritromisin
2 x 500 mg DAN amoxicillin 2 x 1 g (regimen terbaik)
ATAU metronidazole 2 x 500 mg
 Bismuth quadruple: PPI 2 X 1 DAN bismuth subsalisilat 4
x 300 mg DAN tetrasiklin 4 x 250 mg DAN metronidazole 3
x 500 mg
 Bila gagal lini kedua: PPI 2 x 1 DAN amoxicillin 2x 1 g
DAN levofloksasin 1 x 500 mg DAN rifabutin 1 x 300 mg

Terapi kombinasi tersebut akan dilaukan selama 7-14


hari, kemudian dilanjutkan dengan terapi supresi asam
menggunakan PPI selama 4-8 minggu

c. Ulkus Peptikum akibat penggunaan OAINS


Penggunaan OAINS harus dihentikan pada pasien ulkus
peptikum. Apabila penghentian OAINS tidak dimungkinkan
(pada pasien osteoarthritis dan artitis rheumatoid), dapat diganti
dengan OAINS spesifik COX-2 (Colecoxib) dengan efek
samping lebih sedikit dari gastroduodenal. Namun, penggunaan
OAINS spesifik dikontraindikasikan pada pasien dengan
masalah kardiovaskular. Selain itu, pasien juga perlu
mendapatkan terapi supresi asam (PPI) atau menggunakan obat
prostaglandin sistemik (misoprostol 200 mcg/hari).

65
d. Ulkus bukan akibat infeksi H.Pylori dan OAINS
Diberikan obat untuk menekan produksi atau
menetralisir asam, meliputi :
 PPI, sebagai lini pertama dengan tingkat penyembuhan
>90%
 Antagonis reseptor H2
 Antasida, sebagai penetralisir asam lambung dapat diberikan
100-140 meq/L, 1 dan 3 jam setelah makan dan sebelum tidur
 Obat lain seperti sucraflate dengan dosis 2 x 2 g atau 4 x 1 g
dapat diberikan untuk melapisi ulkus agar terhindar dari
iritasi oleh asam lambung ataupun cairan empedu.
e. Ulkus Peptikum refrakter
Terjadi apabila belum terdapat perbaikan gejala pasien
setelah terapi eradikasi diikuti terapi supresi asam. Pasien
selanjutnya diberikan terapi PPI dosis ganda,namun apabila
tidak terdapat perbaikan pasien harus dirujuk untuk menjalani
terapi bedah.

Golongan Regimen Dosis Durasi

PPI Omeprazole 1 x 20 mg

Ulkus duodenum: 4
Lansoprazole 1 x 30 mg
minggu

Pantoprazole Ulkus Gaster: 8


minggu
Rabeprazole 1 x 40 mg

Esomeprazole 1 x 20 mg

66
1 x 40 mg

Antagonis Cimetidine 2 x 400 mg


reseptor H2
8-12 minggu
Ranitidine 1 x 300 mg
sebelum
Famotidine tidur

1 x 40 mg
sebelum
tidur

Tabel 3 Beberapa pilihan terapi supresi asam pada pasien ulkus peptikum

2. Tatalaksana Nonfarmakologi

Meskipun diet makanan tertentu tidak terbukti sebagai


faktor risiko ulkus duodenum, namun pemberian makanan lunak,
mudah dicerna, dan jumlah sedikit namun sering (small, frequent
meals) perlu dilakukan. Pasien juga perlu diedukasi untuk
mengurangi konsumsi makanan yang dapat memicu pengeluaran
asam lambung.

j. Komplikasi
 Perdarahan: merupakan komplikasi tersering ulkus peptikum
yang ditandai dengan hematemesis dan/atau melena. Perdarahan
terjadi pada sekitar 15% pasien dan mayoritas berasal dari
kelompok usia > 60 tahun
 Penetrasi dan perforasi: terjadi 6-7% penderita ulkus peptikum
dengan insidensi yang meningkat pada usia lanjut terkait
penggunaan OAINS. Perforasi yang terjadi akan menyebabkan
pancreatitis,hepatitis hingga peritonitis umum

67
 Obstruksi outlet gaster: dapat terjadi pada 1-2% pasien akibat
inflamasi dan edema pada region peropilorus. Umunya ditandai
dengan sensasi kenyang lebih awal, muntah, peningkatan nyeri
abdomen post prandial, dan penurunan berat badan.

Kriteria Rujukan:
Pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam apabila :
 Akan dilakukan penegakan diagnosis pasti
 Ulkus peptikum refrakter
 Terdapat gejala dan tanda adanya komplikasi

k. Prognosis

Mortalitas pasien ulkus duodenum berkaitan dengan komplikasi


yang terjadi. Angka mortalitas 30 hari pada pasien dengan perdarahan
gastrointestinal sebesar 5-10%, sedangkan pada pasien dengan
perforasi sebesar > 20%.

68
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan skenario dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka kesimpulan yang dapat diambil dalam laporan ini, ditentukan DD
dan DS dari skenario yang kami dapatkan yaitu:
a. Infeksi Helicobacter pylori
b. Gastritis
c. Ulkus Peptikum

Dengan penjabaran dari kata/kalimat kunci dapat dilihat pada table berikut
Kata/Kalimat kunci Infeksi Hp Gastritis Ulkus Peptik

Perempuan 41 tahun + +/- +

Sakit perut yang hilang timbul + + +


di regio epigastrik

BB menurun + + +

Riwayat penggunaan obat +/- + +


antasida, awalnya membaik
tapi lama-kelamaan tidak
memberikan hasil

Muntah kehitaman + + +

Anemia + + +

Tabel 4. DD dan DS
Berdasakan tabel berikut maka diagnosis sementara adalah Ulkus
Peptikum

69
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Farishal., dkk. 2018. Diagnosis dan Penatalaksanaan Kasus Gastritis Erosif
Kronik pada Geriatri dengan Riwayat Konsumsi NSAID
Basri, Muh. Iqbal, dkk. 2018. Buku Ajar Biomedik 2. Makassar : Departemen
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Buku farmakologi UI, edisi 6 (2016)
Chalik, Raimundus. 2016. Anatomi Fisiologi Manusia. Jakarta : Pusdik SDM
Kesehatan.
Datuk, Razak. Diktat Abdomen. Makassar: Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 2004. Hal: 8-9
Djojoningrat D, 2014, Gastritis, In : Sudoyo A W et al., Buku Ajar: Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi Ke-4, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Fitri, Fachzi, Novialdi Novialdi, and Wahyu Triana. "Diagnosis dan
Penatalaksanaan Striktur Esofagus." Jurnal Kesehatan Andalas 3.2 (2014)
Gomez, Kathy. 2012. A Nutritional Approach to Healing Acid Reflux & Gastritis.
Philadelphia: Elsevier.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Jakarta:EG
Hamzah, P. (2016). Eradikasi Helicobacter pulori. CDK-243/VO. 43 NO.8
Imas, L., & Melinda, R. T. (2019). PREVELENSI SUSPECT HELICOBACTER
PYLORI DI KLINIK BIOMEDIKA . Jurnal Ilmiah Analis Kesehatan Vol.5
No.1.
Korman, M. G., Bolin, T. D., Szabo, S., Hunt, R. H., Marks, I. N., & Glise, H.
(1994). Sucralfate: the Bangkok review. Journal of gastroenterology and
hepatology, 9(4), 412-415.
Liwang, ferry. dkk . 2020. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 5 Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius
Longo, D. L., & Fauci, A. S. (2014). Harrison Gastroenterologi & Hepatologi.
Jakarta: EGC.
Malyca Rachmaniar D.R. 2021. Efek Protektif Ekstrak Daun Alpukat (Persea
Americana Mill.) Terhadap Gastritis yang Diinduksi oleh Aspirin. Jurnal

70
Medika Hutama, Vol 03 no 1. Program Studi Pendidikan Dokter, FK UNILA
Mansjoer Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.

RAHMAH, A. R. (2016). Uji Efek Sedatif Ekstrak Daun Gynura procumbens


(Lour.) Merr Dengan Ekstraksi Bertingkat Terhadap Mencit Jantan Galur
Balb/C (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).
Hematemesis Melena Et Causa Gastritis Erosif dengan Riwayat Penggunaan
Obat NSAID pada Pasien Laki-laki Lanjut Usia. Jurnal Medula, 1(01), 72-
78.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53
Setiati, Siti. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid II. Jakarta :
Interna Publishing
Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8.
Jakarta: EGC
Sudoyo A.W., Setiyohadi, B.,Alwi, I., Simadibrata., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit dalam jilid I. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing
Sudoyo, A. W. Setiyohadi, B. Alqi, I.Simadibrata, M. Setiati, S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi V. Jakarta: Internal Publishing, 2009.

71

Anda mungkin juga menyukai