Created by
Disusun oleh :
AZIZAH PUSPO SARI (1911401060)
ANDI NURUL KHAFIFAH R (1911401061)
NURDESMI MAHMUD (1911401062)
DEWI SEPTIANI SUBEKTI (1911401063)
RIFKA AYU RAHMAWATI (1911401064)
NADIA PUTRI DZAKIYYAH (1911401065)
WINING SEPTIANI SAPUTRI (1911401066)
NOVA HESTI SARWENDAH (1911401067)
ALDIRA PUTRI PANGESTI (1911401068)
ANISA DEA ARIYANTI (1911401069)
VENI ARISTA (1911401070)
ANDINI AULIA SEPTRIANI (1911401071)
SHAFA RAMADHITA (1911401072)
NUR ATMAWAN SEPTIANA (1911401073)
i
Penerbit
Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
Jl. Siliwangi Ring Road Barat No. 63, Mlangi, Nogotirto,
Gamping, Sleman, Yogyakarta
Telp : (0274) 4469199, Fax: (0274) 4469204
Email : info@unisayogya.ac.id
Website: www.unisayogya.ac.id
ISBN 978-602-0739-84-7
ii
DAFTAR ISI
2. ETIOLOGI ......................................................................1
3. PATHOGENESIS ............................................................2
4. PATOFISIOLOGI ............................................................5
2. ETIOLOGI ......................................................................8
4. PATOFISIOLOGI ......................................................... 13
i
6. MANIFESTASI KLINIS ................................................. 16
3. ETILOGI DM 2 ............................................................ 24
6. PATOFISIOLOGI DM 2 ................................................ 28
7. TATALAKSANA GIZI.................................................... 29
3. PATOFISIOLOGI ......................................................... 34
4. DIAGNOSIS ................................................................ 35
ii
2. ETIOLOGI ................................................................... 40
4. PATHOGENESIS ......................................................... 43
6. PATOFISIOLOGI DIARE............................................... 47
EPILEPSI ................................................................................. 50
1. DEFINISI ..................................................................... 50
2. ETIOLOGI ................................................................... 51
3.
PATOFISIOLOGI……………………………………………………….5
4
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
KATA PENGANTAR
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
v
7. Segenap pembaca yang memberikan saran,masukan, dan
kritikan untuk membangun serta mengevalusi diri demi
sempurnanya buku ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat di sebutkan satu persatu
yang terlibat dalam proses pembuatan dan
penyempurnaan buku ini.
vi
HIV/AIDS
1. GAMBARAN KLINIS
2. ETIOLOGI
1
Terdapat dua tipe virus HIV yang sudah teridentifikasi
berdasarkan susunan genom dan hubungan filogeniknya,
yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang keduanya memiliki penyebaran
epidemiologis yang berbeda. Virus HIV-1 merupakan tipe
yang paling umum dan virulen menginfeksi manusia dimana
sebanyak 90% kejadian infeksi HIV yang terjadi di dunia
berasal dari HIV-1. Penularannya dapat melalui hubungan
seks bebas, berbagi jarum suntik, transfusi darah.
3. PATHOGENESIS
2
dan selanjutnya di translasi menyebabkan produksi protein
virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus
menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease)
dan protein struktural. Hasil pecahan ini kemudian
digunakan untuk menghasilkan partikel virus infeksius yang
keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran
sel pejamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat
menginfeksi sel yang belum terinfeksi dan mengulang proses
tersebut. Terdapat tiga grup (hampi semua infeksi adalah
grup M) dan subtipe (grup B domina di Eropa) untuk HIV-1
(Mandal, 2008).
3
Gambar 1. Pathogenesis HIV/AIDS
Keterangan :
1. HIV-1 awalnya menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung
atau dibawa ke sel-sel ini oleh sel dendritik.
2. Replikasi virus di kelenjar getah bening regional menyebabkan
viremia dan penyebaran jaringan limfoid yang meluas.
4
3. Viremia dikendalikan oleh respon imun pejamu, dan pasien
kemudian memasuki fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi
virus di sel T dan makrofag terus berlanjut, tetapi ada beberapa
pertahanan kekebalan virus.
4. Terjadi erosi bertahap sel CD4+ oleh infeksi produktif atau
mekanisme lain.
5. Ketika sel CD4+ yang dihancurkan tidak dapat diisi ulang, jumlah
sel CD4+ menurun dan pasien mengembangkan gejala klinis
AIDS yang parah.
6. Makrofag juga diparasit oleh virus lebih awal; mereka tidak
dilisiskan oleh HIV-1, dan mereka dapat mengangkut virus ke
berbagai jaringan, terutama otak.
4. PATOFISIOLOGI
5
system imun akan semakin lemah dengan diikuti berkurangnya
fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong.
(Sumber : https://www.medscape.com/viewarticle/458523_5)
5. MANIFESTASI KLINIS
6
HIV akut merupakan tahap awal terkenanya infeksi HIV. Gejala
HIV dianataranya yaitu demam, lemas, nafsu makan menurun,
sakit tenggorokan, batuk, nyeri persendian, diare,
pembengkakkan kelenjar getah bening, serta munculnya bercak
merah pada kulit. Manifestasi klinis yang ditimbulkan dari HIV
yaitu:
a. Tuberculosis (TBC)
b. Kanker
c. Pneumocystis pneumonia
d. Kandidiasi
e. Meningisitis kriptokokus
f. Sitomegalovirus
7
SLE
( SYSTEMIC LUPUS ERTHEMATOSUS )
1. DEFINISI
2. ETIOLOGI
Penyebab pasti dari penyakit SLE sampai saat ini masih belum
diketahui. Namun terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi
faktor risiko dari penyakit ini, yaitu genetik, lingkungan, regulasi
sistem imun, hormonal, dan epigenetic (Bartels, et al., 2013).
8
sistem imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu, terutama HLA-
DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan
pada fase awal reaksi ikat kompleen (C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah
terbukti.
Gen-gen lain yang mulai terlihat ikut berperan ialah gen yang
mengode reseptor sel T, immunoglobulin dan sitokin.
d. Imunisasi
e. Kehamilan
9
g. Terapi dengan obat tertentu, seperti prokainamid (Pronestyl),
hidralazin (Apresoline), antikonvulsan, dan yang lebih jarang,
penisilin, obat-obat sulfa, serta kontrasepsi oral (pil KB).
a. Gejala umum :
11
• Infeksi saluran kemih yang mungkin disebabkan oleh
peningkatan kerentanan pasien terhadap infeksi
4. PATOFISIOLOGI
12
ini ialah bahwa mereka tidak tissue-specific dan merupakan
komponen integral semua jenis sel.
13
Gambar 3. Patofisiologi SLE
14
• Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti naproxen dan
ibuprofen, untuk mengatasi nyeri dan demam
• Obat antimalaria, seperti hydroxychloroquine, untuk
membantu mencegah kekambuhan serta meredakan gejala
penyakit SLE / lupus
• Kortikosteroid, seperti prednison, untuk mengatasi
peradangan yang terjadi pada lupus dengan mengontrol kerja
sistem imun
15
• Menghindari konsumsi alkohol, karena alkohol bisa
berinteraksi dengan beberapa obat untuk lupus
6. MANIFESTASI KLINIS
• Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah skin rash,
arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa
menyebabkan nefritis, masalah neurologi, anemia, dan
trombositopenia. SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang
ras apapun.
• Manifestasi konstitusional
a. Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
pasien LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi
klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak
kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
adanya anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan,
serta pemakaian obat seperti prednison. Kelelahan ini diukur
menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tess
toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas
16
penyakit LES ini maka diperlukan pemerikasaan penunjang
lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian
steroid atau latihan.
b. Penurunan berat badan, keluhan ini dijumpai pada sebagain
pasien LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat
disebabkan oleh menurnnya nafsu makan atau diakibatkan
gejala gastrointestinal.
c. Demam salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi. Karena, suhu tubuh dapat lebih
dari 40˚C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis.
Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
d. Lain-lain seperti rambut rontok, hilang nafsu makan,
pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala,
mual dan muntah.
• Manifestasi kulit
➔ Ruam kulit merupakan manifestasi LES pada kulit yang telah lama
dikenal. Seperti seborea kongestifa, herpes esthimones dan
sebagainya telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit pada LES.
Lesimuko-kutaneus yang tampak sebagi bagian LES dapat berupa
reaksi fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus
17
erythematosus (SCLE), lupus profundus.paniculitis, alopecia, lesi
vascular berupa eritema periungual, livedo reticularis,
teleangiestasia, fenomena raynaud’s atau vaskulitis atau bercak
yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupa
bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis,
eritema atau depigmentasi pada bibir.
• Manifestasi musculoskeletal
➔ Keluhan berupa nyeri otor (myalgia),nyeri sendi (arthralgia) atau
merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi
sendi. Keluhan ini seringkali dianggap sebagai manifestasi artritis
rheumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris.
Kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya.
• Manifestasi Renal
➔ Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang
sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio
wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10:1, dengan puncak
insidensi antara 20-30 tahun. Pemeriksaan terhadapa protein urin
>500mg/24 jam atau 3+ semi kwantitatif, adanya cetakan
granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau penggabungan serta
pyuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan
kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal
18
pada pasien LES. Akan tetapi melalui bipsi ginjal akan diperoleh
data yang lebih akrat untuk menilai keterlibatan ginjal ini.
• Manifestasi kardiologis
➔ Baik pericardium, miokardium, endocardium ataupun oembuuh
darah oroner data terlibat pada pasien LES, alaupun yang paling
banyak terkena adalah pericardium. Pericarditis harus dicurigai
apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub,
gambaran silhouette sign foto dada, ataupun melalui gambaran
EKG Echokardiografi. Apabila dijumpai adanya aritmia atau
gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang tidak
jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu
dibuktikan lebih lanjut. Penyakit jantung coroner dapat pula
dijumpai pada pasien LES dan bermanifestasi sebagai angina
pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini
semakin banyak dijumpai pada pasien LES usia muda. Valvulitis
gangguan konduksi hipertensi merupakan komplikasi lain yang
juga sering dijumpai pada pasien LES. Vegetasi pada katub
jantung merupakan akumulasi dari komples imun, sel
mononuclear, jaringan nukrosis, jaringan parut, hematoxylin
bodies, fibrin dan thrombus trombosit.
• Manifestasi gastrointestinal
19
➔ Adanya keluhan pada esophagus, mesenteric vasulitis,
inflammatory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
DM TIPE 1 & 2
Diabetes melitus adalah suatu kelompok gangguan metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia atau kadar glukosa darah yang tingi
yang dapat terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah (Priyono & bettiza,
2010; American Diabetes Association (ADA) 2004). Klasifikasi diabetes
ada beberapa jenis, yaitu Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus Tipe
I, Diabetes Mellitus Tipe II, Diabetes Mellitus Tipe Gestasional, dan
Diabetes Mellitus Tipe Lainnya.
20
b. glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM.
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Apabila hasil pemeriksaan tidak
memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang
diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT). Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199
mg/dL. Diagnosis GDPT pula ditegakkan bila setelah pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/Dl (Luwiharto &
Ginanti, 2020).
1. ETIOLOGI DM 1
21
antibody terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). ICCA
merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM
Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di
dalamdarahnya. Di dalamtubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya
0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang
cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau
Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang
terdapat di pulau Langerhans.
22
Gambar 4. Gejala Penyakit DM
3. ETILOGI DM 2
23
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya
terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup
besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obsitas, diet
tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau
kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian
terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara
gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gengen
yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.
5. PATOFISIOLOGI DM TIPE 1
24
yang disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan
antibodi ICA yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta.
Selain karena autoimun, DM tipe 1 juga bisa disebabkan virus
cocksakie, rubella, citomegalo virus (CMV), herpes dan lain-lain
(Rustama dkk, 2010). Autoantibodi yang berkaitan dengan diabetes
adalah glutamicacid decarboxylase 65 autoantibodies (GAD); tyrosine
phosph ataselike insulinoma antigen 2 (IA2); insulin autoantibodies
(IAA); dan β-cellspecific zinc transporter 8 autoantibodies (ZnT8).
Ditemukannya satu atau lebih dari autoantibodi ini membantu
konfirmasi diagnosis DM tipe-1 (IDAI, 2015).
25
memproduksi glukosa. Selain itu juga akan terjadi proteolisis (proses
pemecahan cadangan protein dalam sel otot menjadi asam amino)
dan lipolisis (proses pemecahan lipid dalam jaringan adipose menjadi
gliserol dan asam lemak bebas). Semua proses tersebut akhirnya akan
menimbulkan kondisi hiperglikemia puasa (Rustama dkk, 2010).
6. PATOFISIOLOGI DM 2
> Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang
berperan :
a. Resistensi insulin
b. Disfungsi sel B pankreas
26
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita
diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik
yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans
secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif
dan tidak absolut. Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2,
sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya
sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik pada perkembangan selanjutnya akan terjadi
kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi
secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi
insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan
kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin
(Bhatt, Saklani and Upadhayay, 2016).
7. TATALAKSANA GIZI
a) Diet DM
27
• Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Dianjurkan makan tiga kali sehari.
28
bermanfaat untuk mencapai keadaan sehat optimal dan
penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih
baik.
8. MANIFESTASI KLINIS
29
Gambar 5. Mencegah Komplikasi Diabetes
30
GASTROESOPHAFEAL REFLUX
DISEASE (GERD)
1. ETIOLOGI
31
menyebar ke area lain juga. Tanda dan gejala GERD ini juga berkaitan
dengan refluks asam lambung dan pepsin dan terjadi selama relaksasi
LES transien. Kejadian tersebut terjadi di luar proses menelan dan dapat
dirangsang oleh adanya makanan di perut setelah makan. Selain itu,
terdapat pula beberapa gejala khas dari GERD yaitu;
3. PATOFISIOLOGI
Gastroesophageal reflux disease terjadi karena ketidakmampuan
atau terganggunya fungsi LES (Lower Esophageal Sphincter). LES
merupakan struktur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan
esofagus dengan lambung, dalam keadaan normal tekanan LES akan
menurun saat menelan sehingga terjadi aliran antregrade dari
esofagus ke lambung. Namun dalam kondisi GERD, fungsi LES
terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari
lambung ke esofagus. Tanda dan gejala yang dialami dengan GERD
dikaitkan dengan refluks asam lambung dan pepsin dan terjadi selama
relaksasi LES sementara. Periode ini terjadi di luar periode menelan
32
dan dapat dirangsang oleh adanya makanan di perut setelah makan.
Penyebab refluks ini multifaktorial dan dapat mencakup faktor fisik
dan gaya hidup.
4. DIAGNOSIS
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American
College of Gastroenterology tahun 1995 dan direvisi pada tahu 2013,
diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan:
a. Empirical Therapy
b. Use of Endoscopy
33
jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang berhubungan
dengan suatu kelainan, misalnya scleroderma.
5. TATA LAKSANA
34
Penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat
terjadi pada GERD. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien GERD
antara lain;
35
Gambar 6. Cara Menangani Asam Lambung
PENYAKIT DIARE
1. DEFINISI
Diare adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali atau lebih
dalam sehari,yang sering disertai dengan muntah, badan lesu atau
lemah,panas,tidak nafsu makan,darah dan lendir dalam kotoran rasa
36
mual dan muntah-muntah dapat mendahului diare yang disebabkan
oleh virus. Diare terjadi dalam kurun waktu kurang atau sama dengan
15 hari disertai dengan demam, nyeri abdomen dan muntah. Jika diare
berat dapat disertai dehidrasi. Muntah-muntah hampir selalu disertai
diare akut, baik yang disebabkan bakteri atau virus V. Cholerae. E. Coli
patogen dan virus biasanya menyebabkan watery diarrhea sedangkan
campylobacter dan amoeba menyebabkan bloody diarrhea (Manson’s
1996). Gambaran klinis diare akut yang disebabkan infeksi dapat disertai
dengan muntah, demam, hematosechia, berak-berak, nyeri perut
sampai kram(Triadmodjo, 1993).
2. ETIOLOGI
37
Etiologi Diare akut karena infeksi disebabkan oleh masuknya
mikroorganisme atau toksin melalui mulut. Kuman tersebut dapat
melalui air, makanan atau minuman yang terkontaminasi kotoran
manusia atau hewan, kontaminasi tersebut dapat melalui jari/tangan
penderita yang telah terkontaminasi (Suzanna, 1993). Etiologi diare akut
pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui, akan tetapi
sekarang lebih dari 80% penyebabnya telah diketahui. Terdapat 25 jenis
mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare. Penyebab utama oleh
virus adalah rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya ialah virus
norwalk, astrovirus, calcivirus, coronavirs, minirotavirus, dan virus
bulat kecil (Depkes RI, 2005).
38
satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transport ion
dalam sel-sel usus berikut ini: cAMP (cyclic Adenosin Monophosphate),
cGMP (cyclic Guanosin Monophosphate), Ca-dependet dan pengaturan
ulang sitoskeleton (Mandal et al,., 2004).
39
minggu. Diare akut pada orang dewasa biasanya sering ditemui
dan secara umum dapat diobati sendiri. Diare akut atau mencret
dapat didefinisikan sebagai buang air besar dengan fases tidak
berbentuk (unformed stools) atau cairang dengan frekuensi lebih
dari 3 kali dalam 24 jam. Etiologi diare akut adalah virus, protozoa,
Bakteri, dan helminths.
4. PATHOGENESIS
40
barier terhadap kuman enteropatogen.
41
5. TATALAKSANA DIARE AKUT
a. Rehidrasi.
c. Obat antidiare.
42
• Obat yang paling efektif yaitu derivat opioid misal loperamide,
difenoksilatatropin dan tinkur opium. Loperamide paling disukai
karena tidak adiktif dan memiliki efek samping paling kecil, Bismuth
subsalisilat merupakan obat lain yang dapat digunakan tetapi
kontraindikasi pada pasien HIV karena dapat menimbulkan
enselofati bismuth. Obat antimotilitas penggunaannya harus hati-
hati pada pasien disentri yang panas (termasuk infeksi Shigella) bila
tanpa disertai mikroba, karena dapat memperlama penyembuhan
penyakit
6. PATOFISIOLOGI DIARE
43
Patosiologi penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik
makan yang tidak dapat diserap oleh pencernaan sehingga
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggkat
sehingga terjadi pergeseran air elektrolit kedalam rongga usus , isi
rongga usus yang berlebihan tersebut yang menyebabkan diare.
7. TERAPI GIZI
44
(laktosa, sukrosa dan fruktosa), alkohol gula (sorbitol, xylitol, dan
mannitol), kafein, minuman yang mengandung aklkohol, serta
makanan penghasil gas harus dihindari. Selain itu, penambahan
sumber serat larut dan pati resisten merupakan cara paling ampung
untuk mengentalkan konsistensi fases.
Manifestasi klinis yang bisa terjadi pada diare adalah sakit perut
dan kram. Saat buang air besar mengurangi kram, diare umumnya
berasal dari ususbesar bagian distal. Jika nyeri perut berlanjut setelah
buang air besar, umumnya berasal dari usus halus. Adapaun gejala lain
yang seperti dehidrasi, penurunan berat badan, dan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa bergantung pada volume
fases yang hilang dan merupakan salah satu konsekuensi yang paling
serius dari diare.
45
cairan menyebabkan haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah
kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun, serta suara serak.
EPILEPSI
1. DEFINISI
46
gangguan fungsi otak yang dicirikan oleh kecenderungan predisposisi
untuk meimbulkan bangkitan epileptik beserta konsekuensinya yang
bersifat neurobiologik, kognitif, psikologik, dan sosial.
2. ETIOLOGI
➢ Dibagi menjadi enam macam yaitu :
• Struktural
• Genetik
• Infeksi
• Metabolik
• Imunitas
a. Faktor Internal
• Neoplasma
b. Faktor Eksternal
47
• Stress
• Kurang tidur
c. Struktural
d. Genetik
e. Infeksi
48
• Infeksi merupakan etiologi yang diketahui menjadi penyebab
epilepsi. Pada kejang seperti ini merupakan salah satu gejala
utama infeksi penyakit tersebut pada diagnosis epilepsi.
f. Metabolik
g. Imunitas
3. PATOFISIOLOGI
49
Gambar 8. Struktur Neuron
(Sumber : http://teamrisni.blogspot.com/2012/07/human-nervous-system-
sistem)
Terdapat sel saraf pada otak yang terdiri dari berbagai bentuk dan
ukuran, semua sel saraf mengandung tiga komponen utama penting.
50
reseptor, lalu terjadi perubahan lokal pada sistem elektrik neuron.
Perubahan tersebut berupa eksitasi maupun inhibisi pada implus saraf,
sehingga terjadi aksi potensial yang dapat menimbulkan serangan
epilepsi.
51
inteligensi. Karena itu upaya terbaik mengatasi kejang sedini dan
seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan
penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah
atau dikontrol dengan obat obatan dan mencapai dua tahun bebas
serangan.
• Dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping
• Apabila tidak tidak dapat dihentikan dengan OAE lini pertama dosis
maksimal, monoterapi lini kedua dimulai, dan apabila berhasil OAE lini
pertama diturunkan bertahap. Bila saat penurunan OAE lini pertama
terjadi bangkitan, kedua OAE tetap diberikan.
4. MANIFESTASI KLINIS
52
yang bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat
menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa
fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif, negatif atau
gabungan keduanya. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi
dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya penyebaran.
Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar
dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian
besar berlangsung singkat.
• Tujuan Umum
→ Tujuan utama terapi epilepsi adaiah tercapainya kualitas hidup
pasien yang
optimal.
• Tujuan Khusus
a. Tidak terjadi bangkitan
53
Tim medis menetapkan desain terapi berdasarkan tipe
bangkitan, risiko Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD), faktor
ekonomi, jenis kelamin, penggunaan obat iain atau riwayat
pengobatan yang digunakan, umur, dan gaya hidup. Pasien dan tim
medis bekerjasama dalam membuat rencana pengobatan untuk
tercapainya hasil terapi yang optimal. Tim medis memotivasi pasien
sehingga pasien mampu memonitor frekuensi bangkitan dan ROTD.
54
Gambar 9. Pemilihan Obat Antiepilepsi menurut Farmakologi Terapi
(Sumber : http://perpustakaan.farmalkes.kemkes.go.id/)
55
Gambar 10. algoritma pemilihan antiepilepsi
(Sumber : http://perpustakaan.farmalkes.kemkes.go.id/)
56
Daftar Pustaka
Mandal, B.K & Wilkins, E.G.L. 2008. Lecture Notes: Penyakit Infeksi
(Edisi Keenam) Jakarta: Penerbit Erlangga.
PP, Elizabeth Fajar, and Muclis A. Udji Sofro. "Hubungan Antara
Stadium Klinis, Viral Load Dan
Jumlah Cd4 Pada Pasien Human Immunodeficiency Virus
(Hiv)/acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) Di Rsup
Dr. Kariadi Semarang." Jurnal Kedokteran Diponegoro 2.1:
108226.
Fatmawati, Atikah. 2018. Regulasi Diri Pada Penyakit Kronis-Systemic
Lupus Erythematosus:
kajian literatur. Jawa Timur. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit
Mojokerto
57
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/d
ownload/83/65.
58
59