Anda di halaman 1dari 69

Buku Saku

Created by

Mahasiswi Gizi Unisa 2019


i
UNIVERSITAS AISYIYAH
UNIVERSITASYOGYAKARTA
AISYIYAH YOGYAKARTA
2020
2020––2021
2021
Buku Saku Patofisiologi Gizi

Disusun oleh :
AZIZAH PUSPO SARI (1911401060)
ANDI NURUL KHAFIFAH R (1911401061)
NURDESMI MAHMUD (1911401062)
DEWI SEPTIANI SUBEKTI (1911401063)
RIFKA AYU RAHMAWATI (1911401064)
NADIA PUTRI DZAKIYYAH (1911401065)
WINING SEPTIANI SAPUTRI (1911401066)
NOVA HESTI SARWENDAH (1911401067)
ALDIRA PUTRI PANGESTI (1911401068)
ANISA DEA ARIYANTI (1911401069)
VENI ARISTA (1911401070)
ANDINI AULIA SEPTRIANI (1911401071)
SHAFA RAMADHITA (1911401072)
NUR ATMAWAN SEPTIANA (1911401073)

Setting & Layout : Aldira Putri Pangesti


Desain Cover : Aldira Putri Pangesti

Cetakan 1, 29 April 2021

i
Penerbit
Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
Jl. Siliwangi Ring Road Barat No. 63, Mlangi, Nogotirto,
Gamping, Sleman, Yogyakarta
Telp : (0274) 4469199, Fax: (0274) 4469204
Email : info@unisayogya.ac.id
Website: www.unisayogya.ac.id

ISBN 978-602-0739-84-7

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................i


DAFTAR GAMBAR .................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................... iv
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................ v
HIV/AIDS ...................................................................................1
1. GAMBARAN KLINIS .......................................................1

2. ETIOLOGI ......................................................................1

3. PATHOGENESIS ............................................................2

4. PATOFISIOLOGI ............................................................5

5. MANIFESTASI KLINIS ....................................................7

6. TATA LAKSANA GIZI ......................................................7

SLE SYSTEMIC LUPUS ERTHEMATOSUS ...................................8


1. DEFINISI ........................................................................8

2. ETIOLOGI ......................................................................8

3. TANDA DAN GEJALA .................................................. 10

4. PATOFISIOLOGI ......................................................... 13

5. PENANGANAN/TATALAKSANA PENDERITA SLE ........ 15

i
6. MANIFESTASI KLINIS ................................................. 16

DM TIPE 1 & 2 ....................................................................... 21


1. ETIOLOGI DM 1 ......................................................... 22

2. TANDA DAN GEJALA DM 1 ........................................ 23

3. ETILOGI DM 2 ............................................................ 24

4. TANDA DAN GEJALA DM TIPE 2 ................................ 25

5. PATOFISIOLOGI DM TIPE 1 ........................................ 26

6. PATOFISIOLOGI DM 2 ................................................ 28

7. TATALAKSANA GIZI.................................................... 29

8. MANIFESTASI KLINIS ................................................. 31

GASTROESOPHAFEAL REFLUX DISEASE (GERD).................... 33


1. ETIOLOGI ................................................................... 33

2. TANDA DAN GEJALA .................................................. 33

3. PATOFISIOLOGI ......................................................... 34

4. DIAGNOSIS ................................................................ 35

5. TATA LAKSANA .......................................................... 36

6. KOMPLIKASI ATAU MANIFESTASI KLINIS .................. 37

PENYAKIT DIARE .................................................................... 39


1. DEFINISI ..................................................................... 39

ii
2. ETIOLOGI ................................................................... 40

3. TANDA DAN GEJALA .................................................. 42

4. PATHOGENESIS ......................................................... 43

5. TATALAKSANA DIARE AKUT ...................................... 45

6. PATOFISIOLOGI DIARE............................................... 47

7. TERAPI GIZI ................................................................ 48

8. MANIFESTASI KLINIS DIARE ....................................... 49

EPILEPSI ................................................................................. 50
1. DEFINISI ..................................................................... 50

2. ETIOLOGI ................................................................... 51

3.
PATOFISIOLOGI……………………………………………………….5
4

4. MANIFESTASI KLINIS ................................................. 57

5. TATALAKSANA EPILEPSI (TERAPI) .............................. 58

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pathogenesis HIV/AIDS...........................................4


Gambar 2. Patofisiologi HIV/AIDS ............................................6
Gambar 3. Patofisiologi SLE................................................... 14
Gambar 4. Gejala Penyakit DM ............................................. 24
Gambar 5. Mencegah Komplikasi Diabetes .......................... 32
Gambar 6. Cara Menangani Asam Lambung......................... 38
Gambar 7. Patofisiologi Diare ............................................... 48
Gambar 8. Struktur Neuron .................................................. 54
Gambar 9. Pemilihan Obat Antiepilepsi menurut Farmakologi
Terapi .................................................................................... 60
Gambar 10. Algoritma pemilihan antiepilepsi ...................... 61

iii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Esa sehingga kita selalu di
limpahkan rahmat dan nikmatNya. Shalawat serta salam senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta
seluruh kaum muslimin dan muslimat yang senantiasa istiqomah
mengikuti seluruh petunjukNya. Berkat rahmat dan hidayah Allah
SWT, kami dapat menyelesaikan buku saku dengan judul "Buku Saku
Patofisiologi"
Penyusunan buku saku ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak.
Buku saku ini disusun agar dapat digunakan oleh banyak pihak
sehingga dapat membantu menambah wawasan dan informasi
tentang berbagai macam patofisiologi penyakit yang sering kita temui
dan bagaimana cara mengatasinya dengan baik.
Besar harapan kami sebagai penyusun buku saku ini agar dapat
bermanfaat dan digunakan sebaik mungkin, namun kami juga
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku
saku ini, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Wasalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 09 Juni 2021

iv
UCAPAN TERIMAKASIH

Atas tersusunya Buku Saku Patofisiologi, kami selaku Penulis


mengucapkan banyak terimkasih kepada:

1. Warsiti, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat, selaku Rektor Universitas


‘Aisyiyah Yogyakarta.
2. Moh.Ali Imron, S.Sos., M.Fis, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.
3. Agung Nugroho. AMG., MPH, selaku Ketua Program Studi
Gizi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.
4. Faurina Risca Fauzia, S.Gz., MPH, selaku Dosen
Pembimbing Mata Kuliah Patofisiologi Gizi, yang
senantiasa memberikan arahan dan petunjuk sehingga
Buku Saku Patofisiologi dapat disusun dengan baik.
5. Pihak-pihak lain yang belum dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah membantu dalam penyusunan Buku
Saku Patofisiologi ini.
6. Segenap keluarga yang selalu mendukung dan memotivasi
untuk terus belajar.

v
7. Segenap pembaca yang memberikan saran,masukan, dan
kritikan untuk membangun serta mengevalusi diri demi
sempurnanya buku ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat di sebutkan satu persatu
yang terlibat dalam proses pembuatan dan
penyempurnaan buku ini.

Yogyakarta, 09 Juni 2021

vi
HIV/AIDS

1. GAMBARAN KLINIS

 Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang


menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala yang timbul
karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
oleh HIV. Penderita HIV memerlukan pengobatan dengan
Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di
dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS,
sedangkan penderita AIDS membutuhkan pengobatan ARV
untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan
berbagai komplikasinya. (Kemenkes, 2020)

2. ETIOLOGI

 AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV).


HIV yang masuk ke dalam tubuh akan menghancurkan sel
CD4. Sel CD4 adalah bagian dari sel darah putih yang
melawan infeksi. Semakin sedikit sel CD4 dalam tubuh, maka
semakin lemah pula sistem kekebalan tubuh seseorang.

1
Terdapat dua tipe virus HIV yang sudah teridentifikasi
berdasarkan susunan genom dan hubungan filogeniknya,
yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang keduanya memiliki penyebaran
epidemiologis yang berbeda. Virus HIV-1 merupakan tipe
yang paling umum dan virulen menginfeksi manusia dimana
sebanyak 90% kejadian infeksi HIV yang terjadi di dunia
berasal dari HIV-1. Penularannya dapat melalui hubungan
seks bebas, berbagi jarum suntik, transfusi darah.

3. PATHOGENESIS

 Awalnya terjadi perlekatan antara gpl120 dan reseptor sel


CD4 yang memicu perubahan konformasi pada gp20
sehingga memungkinkan pengikatan dengan koreseptor
kemokin. Setelah itu terjadi penyatuan pori yang dimediasi
gp41. Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA
ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim reverse
transcriptase (RT) yang dibawa oleh virus. Ini merupakan
proses yang sangar berpotensi mengalami kesalahan.
Selanjutnya DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan
terintegrasi secara acak di dalam genom sel pejamu. Virus
yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada
aktivasi sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini

2
dan selanjutnya di translasi menyebabkan produksi protein
virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus
menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease)
dan protein struktural. Hasil pecahan ini kemudian
digunakan untuk menghasilkan partikel virus infeksius yang
keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran
sel pejamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat
menginfeksi sel yang belum terinfeksi dan mengulang proses
tersebut. Terdapat tiga grup (hampi semua infeksi adalah
grup M) dan subtipe (grup B domina di Eropa) untuk HIV-1
(Mandal, 2008).

3
Gambar 1. Pathogenesis HIV/AIDS

(Sumber: WHO New Recommendation for HIV/AIDS @Medchrome)

Keterangan :
1. HIV-1 awalnya menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung
atau dibawa ke sel-sel ini oleh sel dendritik.
2. Replikasi virus di kelenjar getah bening regional menyebabkan
viremia dan penyebaran jaringan limfoid yang meluas.

4
3. Viremia dikendalikan oleh respon imun pejamu, dan pasien
kemudian memasuki fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi
virus di sel T dan makrofag terus berlanjut, tetapi ada beberapa
pertahanan kekebalan virus.
4. Terjadi erosi bertahap sel CD4+ oleh infeksi produktif atau
mekanisme lain.
5. Ketika sel CD4+ yang dihancurkan tidak dapat diisi ulang, jumlah
sel CD4+ menurun dan pasien mengembangkan gejala klinis
AIDS yang parah.
6. Makrofag juga diparasit oleh virus lebih awal; mereka tidak
dilisiskan oleh HIV-1, dan mereka dapat mengangkut virus ke
berbagai jaringan, terutama otak.

4. PATOFISIOLOGI

 Infeksi HIV dapat memicu terjadinya gejala infeksi akut seperti


demam nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi
HIV asimptomatik (tanpa gejala), namun pada masa ini terjadi
penurunan jumlah sel limfosit CD4+ selama bertahun-tahun
sehingga terjadi penurunan manifestasi klinis AIDS yang
berakibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik). Berbagai
manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun,
reaksi hipersensitivitas, dan potensi. Sel T dan makrofag serta
sel dendritic atau Langerhans (sel imun) adalah sel-sel yang
terinfeksi HIV dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan
sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka

5
system imun akan semakin lemah dengan diikuti berkurangnya
fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong.

Gambar 2. Patofisiologi HIV/AIDS

(Sumber : https://www.medscape.com/viewarticle/458523_5)
5. MANIFESTASI KLINIS

6
 HIV akut merupakan tahap awal terkenanya infeksi HIV. Gejala
HIV dianataranya yaitu demam, lemas, nafsu makan menurun,
sakit tenggorokan, batuk, nyeri persendian, diare,
pembengkakkan kelenjar getah bening, serta munculnya bercak
merah pada kulit. Manifestasi klinis yang ditimbulkan dari HIV
yaitu:

a. Tuberculosis (TBC)
b. Kanker
c. Pneumocystis pneumonia
d. Kandidiasi
e. Meningisitis kriptokokus
f. Sitomegalovirus

6. TATA LAKSANA GIZI

 Sesorang yang terkena HIV dianjurkan untuk mengurangi


konsumsi makanan/ minuman yang mengandung kafein, tidak
menggunakan obat-obatan terlarang dan jarum suntik bekas,
mengurangi makanan yang mengandung zat besi,
mengkonsumsi makanan yang protein tanpa lemak,
mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak vitamin dan
mineral.

7
SLE
( SYSTEMIC LUPUS ERTHEMATOSUS )

1. DEFINISI

Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit


yang ditandai dengan produksi antibodi yang berlebihan terhadap
komponen inti sel, dan menimbulkan berbagai macam manifestasi
klinis pada organ (Cleanthous, Tyagi, Isenberg, & Newman, 2012).
SLE ditandai oleh remisi dan eksaserbasi yang rekuren dan sering
menyerang wanita muda dengan insidens puncak pada usia 15-40
tahun selama masa reproduktif.

2. ETIOLOGI

Penyebab pasti dari penyakit SLE sampai saat ini masih belum
diketahui. Namun terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi
faktor risiko dari penyakit ini, yaitu genetik, lingkungan, regulasi
sistem imun, hormonal, dan epigenetic (Bartels, et al., 2013).

a. Faktor genetik → memegang peran penting dalam kerentenan serta


ekspresi penyakit. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak
gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur

8
sistem imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu, terutama HLA-
DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan
pada fase awal reaksi ikat kompleen (C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah
terbukti.

Gen-gen lain yang mulai terlihat ikut berperan ialah gen yang
mengode reseptor sel T, immunoglobulin dan sitokin.

b. Sistem neuroendokrin → berperan melalui pengaruhnya terhadap


sistem imun. Penelitian telah menunjukkan bahwa sistem
neuroendokrin dengan sistem imun
saling mempengaruhi secara timbal balik.

Berikut faktor-faktor penyebab SLE lainnya :

a. Stres fisik atau mental

b. Infeksi streptokokus atau virus

c. Pajanan cahaya matahari atau ultraviolet

d. Imunisasi

e. Kehamilan

f. Metabolisme estrogen yang abnormal

9
g. Terapi dengan obat tertentu, seperti prokainamid (Pronestyl),
hidralazin (Apresoline), antikonvulsan, dan yang lebih jarang,
penisilin, obat-obat sulfa, serta kontrasepsi oral (pil KB).

3. TANDA DAN GEJALA

a. Gejala umum :

• Penurunan berat badan

• Lemas, lesu, dan tidak bertenaga


• Nyeri sendi dan bengkak atau kekakuan, biasanya di tangan,
pergelangan tangan dan lutut

• Memiliki bintil merah pada bagian tubuh yang sering terkena


matahari, seperti wajah (pipi dan hidung)

• Fenomena Raynaud membuat jari berubah warna dan


menjadi terasa sakit ketika terkena dingin

• Sakit kepala serta rambut rontok


• Pleurisy (radang selaput paru-paru), yang dapat membuat
bernapas terasa menyakitkan, disertai sesak napas

• Bila ginjal terkena dapat menyebabkan tekanan darah tinggi


dan gagal ginjal
b. Tanda dan gejala tambahan dapat meliputi :

• Lesi pada sendi yang serupa dengan artritis rematoid


(meskipun artritis lupus biasanya tidak erosif)
10
• Lesi kulit yang sering berupa ruam eritematus di daerah yang
terpajan cahaya (ruam bentuk kupu-kupu yang klasik di
daerah hidung dan pipi terdapat pada kurang dari 50%
pasien) atau ruam berbentuk papula dan skuama (yang
menyerupai psoriasis), khususnya di bagian tubuh yang
terkena cahaya matahari

• Vaskulis(khususnya pada jari-jari) yang mungkin terjadi


karena lesi yang bersifat infark, ulkus tungkai yang nekrotik
atau gangren pada jari-jari

• Fenomena Raynaud (sekitar 20% pasien)

• Patchy alopecia dan ulkus yang tidak terasa nyeri pada


membran mukosa

• Abnormalitas paru, seperti pleuritis, efusi pleura,


pneumonitis, hipertensi pulmoner, dan yang lebih jarang
terjadi, pendarahan pulmoner

• Kelainan jantung, seperti perikarditis, miokarditis,


endokarditis, dan aterosklerosis koroner yang dini

• Hematuria mikroskopik, piuria, dan sedimen urine dengan


silinder seluler (cellular cast) akibat glomerulonefritis yang
mungkin berlanjut menjadi gagal ginjal (khususnya bila tidak
ditangani dengan baik)

11
• Infeksi saluran kemih yang mungkin disebabkan oleh
peningkatan kerentanan pasien terhadap infeksi

• Gangguan serangan kejang (seizures) dan disfungsi mental

• Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), seperti ketidak stabilan


emosi, psikosis, dan sindrom otak organik

• Sakit kepala, iritabilitas, dan depresi (sering terjadi)

4. PATOFISIOLOGI

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada


individu yang mempunyai predisposisis genetik akan menghasilkan
tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4 , mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibatnya
munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang
berupa sel memori.

Pada SLE autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen


yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini
meliputi DNA, protein histon dan non histon. Ciri khas autoantigen

12
ini ialah bahwa mereka tidak tissue-specific dan merupakan
komponen integral semua jenis sel.

Antibody ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear anti-


body). Dengan antigennya yang specific, ANA membentuk kompleks
imun yang beredar dalam sirkulasi, yang menunjukkan bahwa
penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Hal tersebut dapat
berupa gangguan klirens kompleks umun berat yang larut, gangguan
pemoresan kompleks imun di luar sistem fagosit mononuclear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut.
peristiwa ini menyebakan aktivasi komplemen yang menghasilkan
subtansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang ini lah
yang menyebakan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau
tempat yang bersangktan sepeti ginjal, sendi, pleura, pleksus,
koroideus, kulit dan sebagainya.

13
Gambar 3. Patofisiologi SLE

(Pathogenesis SLE, Sumber : https://jasn.asnjournals.org)

5. PENANGANAN/TATA LAKSANA BAGI PENDERITA SLE


➢ Pemberian Obat-obatan
Beberapa obat yang dapat diberikan pada penderita lupus
adalah:

14
• Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti naproxen dan
ibuprofen, untuk mengatasi nyeri dan demam
• Obat antimalaria, seperti hydroxychloroquine, untuk
membantu mencegah kekambuhan serta meredakan gejala
penyakit SLE / lupus
• Kortikosteroid, seperti prednison, untuk mengatasi
peradangan yang terjadi pada lupus dengan mengontrol kerja
sistem imun

• Obat imunosupresan, seperti methotrexate dan azathioprine,


untuk menekan kerja sistem imun

• Agen biologis, seperti belimumab dan rituximab, untuk


mengurangi jumlah protein tertentu yang memicu lupus
➢ Perubahan Pola Hidup
• Melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung,
misalnya dengan menggunakan pakaian tertutup dan
mengoleskan tabir surya
• Rajin berolahraga, untuk menjaga kekuatan otot, tulang, serta
memperbaiki suasana hati

• Beristirahat dan tidur dengan cukup

• Menerapkan pola makan sehat, seperti memperbanyak


konsumsi buah, sayur, dan biji-bijian utuh

• Mengonsumsi vitamin dan suplemen, seperti vitamin D atau


suplemen kalsium. (jika disarankan dokter)

15
• Menghindari konsumsi alkohol, karena alkohol bisa
berinteraksi dengan beberapa obat untuk lupus

• Berhenti merokok, karena kebiasaan ini berdampak buruk


pada kesehatan tubuh, termasuk kesehatan paru-paru dan
jantung

• Melakukan pemeriksaan ke dokter jika mengalami penyakit


infeksi.

6. MANIFESTASI KLINIS
• Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah skin rash,
arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa
menyebabkan nefritis, masalah neurologi, anemia, dan
trombositopenia. SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang
ras apapun.
• Manifestasi konstitusional
a. Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
pasien LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi
klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak
kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
adanya anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan,
serta pemakaian obat seperti prednison. Kelelahan ini diukur
menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tess
toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas

16
penyakit LES ini maka diperlukan pemerikasaan penunjang
lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian
steroid atau latihan.
b. Penurunan berat badan, keluhan ini dijumpai pada sebagain
pasien LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat
disebabkan oleh menurnnya nafsu makan atau diakibatkan
gejala gastrointestinal.
c. Demam salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi. Karena, suhu tubuh dapat lebih
dari 40˚C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis.
Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
d. Lain-lain seperti rambut rontok, hilang nafsu makan,
pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala,
mual dan muntah.
• Manifestasi kulit
➔ Ruam kulit merupakan manifestasi LES pada kulit yang telah lama
dikenal. Seperti seborea kongestifa, herpes esthimones dan
sebagainya telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit pada LES.
Lesimuko-kutaneus yang tampak sebagi bagian LES dapat berupa
reaksi fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus

17
erythematosus (SCLE), lupus profundus.paniculitis, alopecia, lesi
vascular berupa eritema periungual, livedo reticularis,
teleangiestasia, fenomena raynaud’s atau vaskulitis atau bercak
yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupa
bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis,
eritema atau depigmentasi pada bibir.
• Manifestasi musculoskeletal
➔ Keluhan berupa nyeri otor (myalgia),nyeri sendi (arthralgia) atau
merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi
sendi. Keluhan ini seringkali dianggap sebagai manifestasi artritis
rheumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris.
Kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya.
• Manifestasi Renal
➔ Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang
sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio
wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10:1, dengan puncak
insidensi antara 20-30 tahun. Pemeriksaan terhadapa protein urin
>500mg/24 jam atau 3+ semi kwantitatif, adanya cetakan
granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau penggabungan serta
pyuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan
kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal

18
pada pasien LES. Akan tetapi melalui bipsi ginjal akan diperoleh
data yang lebih akrat untuk menilai keterlibatan ginjal ini.
• Manifestasi kardiologis
➔ Baik pericardium, miokardium, endocardium ataupun oembuuh
darah oroner data terlibat pada pasien LES, alaupun yang paling
banyak terkena adalah pericardium. Pericarditis harus dicurigai
apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub,
gambaran silhouette sign foto dada, ataupun melalui gambaran
EKG Echokardiografi. Apabila dijumpai adanya aritmia atau
gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang tidak
jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu
dibuktikan lebih lanjut. Penyakit jantung coroner dapat pula
dijumpai pada pasien LES dan bermanifestasi sebagai angina
pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini
semakin banyak dijumpai pada pasien LES usia muda. Valvulitis
gangguan konduksi hipertensi merupakan komplikasi lain yang
juga sering dijumpai pada pasien LES. Vegetasi pada katub
jantung merupakan akumulasi dari komples imun, sel
mononuclear, jaringan nukrosis, jaringan parut, hematoxylin
bodies, fibrin dan thrombus trombosit.
• Manifestasi gastrointestinal

19
➔ Adanya keluhan pada esophagus, mesenteric vasulitis,
inflammatory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.

DM TIPE 1 & 2
Diabetes melitus adalah suatu kelompok gangguan metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia atau kadar glukosa darah yang tingi
yang dapat terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah (Priyono & bettiza,
2010; American Diabetes Association (ADA) 2004). Klasifikasi diabetes
ada beberapa jenis, yaitu Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus Tipe
I, Diabetes Mellitus Tipe II, Diabetes Mellitus Tipe Gestasional, dan
Diabetes Mellitus Tipe Lainnya.

→ Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma


sewaktu >200 mg/dL atau

20
b. glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM.
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Apabila hasil pemeriksaan tidak
memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang
diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT). Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199
mg/dL. Diagnosis GDPT pula ditegakkan bila setelah pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/Dl (Luwiharto &
Ginanti, 2020).
1. ETIOLOGI DM 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit


populasinya, diperkirakan kurangdari 5-10% dari keseluruhan populasi
penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1
umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang
disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang disebabkan
oleh bermacam- macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella,
CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi
yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell
Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan

21
antibody terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). ICCA
merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM
Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di
dalamdarahnya. Di dalamtubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya
0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang
cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau
Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang
terdapat di pulau Langerhans.

2. TANDA DAN GEJALA DM 1


Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah
poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa
lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).

22
Gambar 4. Gejala Penyakit DM

(Tanda & Gejala DM, Sumber : www.p2ptm.kemkes.go.id)

3. ETILOGI DM 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih


banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM
Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes,
umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM
Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat.

23
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya
terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup
besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obsitas, diet
tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau
kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian
terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara
gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gengen
yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.

4. TANDA DAN GEJALA DM TIPE 2

Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada.


DM Tipe 2 sering kali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru
dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang
dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih
mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin
buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas,
dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

5. PATOFISIOLOGI DM TIPE 1

DM tipe 1 yakni adanya reaksi autoimun akibat peradangan pada


sel beta. Hal ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta

24
yang disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan
antibodi ICA yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta.
Selain karena autoimun, DM tipe 1 juga bisa disebabkan virus
cocksakie, rubella, citomegalo virus (CMV), herpes dan lain-lain
(Rustama dkk, 2010). Autoantibodi yang berkaitan dengan diabetes
adalah glutamicacid decarboxylase 65 autoantibodies (GAD); tyrosine
phosph ataselike insulinoma antigen 2 (IA2); insulin autoantibodies
(IAA); dan β-cellspecific zinc transporter 8 autoantibodies (ZnT8).
Ditemukannya satu atau lebih dari autoantibodi ini membantu
konfirmasi diagnosis DM tipe-1 (IDAI, 2015).

Orang yang menderita DM tipe 1 akan mengalami penurunan


insulin post prandial, menurunnya insulin post prandial pada DM tipe
1 akan mempercepat proses katabolisme. Akibat glukosa yang tidak
dapat memasuki hepar ataupun sel otot, maka akan dikirimkan sinyal
bahwa tubuh kekurangan cadangan glukosa. Hal tersebut akan
mengakibatkan tubuh memproduksi glukosa dengan berbagai cara,
yaitu glikogenolisis (pemecahan glikogen dalam hepar untuk diubah
menjadi glukosa) dan glukoneogenesis (proses pembentukan glukosa
dari bahan selain karbohidrat). Kedua proses tersebut memperparah
kondisi hiperglikemia yang sebelumnya telah terjadi. Akan tetapi
karena glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel hepar
ataupun sel otot, maka hepar akan berusaha lebih keras lagi untuk

25
memproduksi glukosa. Selain itu juga akan terjadi proteolisis (proses
pemecahan cadangan protein dalam sel otot menjadi asam amino)
dan lipolisis (proses pemecahan lipid dalam jaringan adipose menjadi
gliserol dan asam lemak bebas). Semua proses tersebut akhirnya akan
menimbulkan kondisi hiperglikemia puasa (Rustama dkk, 2010).

Ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring


keluar jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi (>180
mg/dL),. Hal ini mengakibatkan lolosnya glukosa tersebut dari proses
rearbsorpsi ginjal dan glukosa akan muncul dalam urin (glukosuria).
Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan pula.
Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik yang menyebabkan pasien
mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria). Sebagai akibat dari
kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami dehidrasi
dan rasa haus (polidipsia) (Homenta, 2012).

6. PATOFISIOLOGI DM 2
> Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang
berperan :
a. Resistensi insulin
b. Disfungsi sel B pankreas

26
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita
diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik
yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans
secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif
dan tidak absolut. Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2,
sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya
sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik pada perkembangan selanjutnya akan terjadi
kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi
secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi
insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan
kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin
(Bhatt, Saklani and Upadhayay, 2016).

7. TATALAKSANA GIZI

a) Diet DM

27
• Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Dianjurkan makan tiga kali sehari.

• Lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak


diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Batasi
bahan makanan yang mengandung lemak jenuh dan lemak
trans (daging berlemak, susu fullcream, Konsumsi kolesterol
dianjurkan, 200 g/hari)

• Protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber protein


yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan, tahu
dan tempe.

• Serat dianjurkan konsumsi sebesar 20-35 gram/hari yang


berasal dari berbagai kacang-kacangan, buah, dan sayur.

b) Diet 3J dengan mengatur Jumlah, Jenis makanan, & Jadwal makan


yang tepat sesuai dengan kebutuhan.

c) Latihan Jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama + 30


menit, yang sesuai prinsip CRIPE (continuous, rhythmical, interval,
progressive, endurance training).

d) Edukasi yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk


meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang

28
bermanfaat untuk mencapai keadaan sehat optimal dan
penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih
baik.

e) Rutin dan tepat waktu konsumsi obat / suntik insulin.

8. MANIFESTASI KLINIS

a. Diabetes Mellitus Tipe 1

Poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan berat


badan yang cepat dalam 2-6 minggu sebelum diagnosis ditegakkan,
kadang-kadang disertai polifagia dan gangguan penglihatan.
Manifestasi klinis pada diabetes mellitus tipe 1 bergantung pada
tingkat kekurangan insulin dan gejala yang ditimbulkan bisa ringan
hingga berat. Orang dengan DM Tipe 1 membutuhkan sumber
insulineksogen (eksternal) untuk mempertahankan hidup.

b. Diabetes Mellitus Tipe 2

Manifestasi yang biasa muncul yaitu poliuria dan polidipsia,


polifagia namun jarang dijumpai pada DM Tipe 2 dan penurunan
berat badan tidak terjadi. Manifestasi lain juga akibat
hiperglikemia: penglihatan buram, keletihan, parastesia, dan
infeksi kulit.

29
Gambar 5. Mencegah Komplikasi Diabetes

(Komplikasi DM, Sumber : www.p2ptm.kemkes.go.id)

30
GASTROESOPHAFEAL REFLUX
DISEASE (GERD)

1. ETIOLOGI

Munculnya penyakit GERD ini muktifaktorial dan dapat mencakup


faktor fisik dan gaya hidup dan dapat menurunkan tekanan LES, oleh
karena itu berkontribusi pada inkompetensi LES termasuk
meningkatnya sekresi hormon gastrin, estrogen, dan progesteron. Lalu
adanya kondisi medis lain seperti obesitas atau sklerod, hernia hiatus,
skleroderma. Penyebab munculnya GERD lainnya adalah merokok baik
itu perokok pasif atau perokok aktif, penggunaan obat-obatan termasuk
dopamin, morfin, dan teofilin, serta makanan yang mengandung tinggi
lemak, coklat, spearmint, peppermint, alkohol, dan kafein yang tentu itu
semua dapat menurunkan tekanan LES.

2. TANDA DAN GEJALA

Munculnya penyakit GERD mungkin termasuk disfagia atau


kesulitan menelan, mulas atau mual, peningkatan produksi air liur, dan
sering bersendawa dalam situasi tertentu, nyeri sangat parah dan dapat
menjalar ke punggung, leher, atau rahang. Didalam kondisi tersebut,
nyeri dari GERD dapat disalah artikan dengan nyeri yang berasal dari
jantung atau cardiac karena penyebaran nyeri penyakit GERD ini

31
menyebar ke area lain juga. Tanda dan gejala GERD ini juga berkaitan
dengan refluks asam lambung dan pepsin dan terjadi selama relaksasi
LES transien. Kejadian tersebut terjadi di luar proses menelan dan dapat
dirangsang oleh adanya makanan di perut setelah makan. Selain itu,
terdapat pula beberapa gejala khas dari GERD yaitu;

1. Heart Burn → sensasi rasa nyeri esofagus yang sifatnya panas


membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah
ujung sternum akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa.
2. Regurgitasi → sensasi asam atau pahit didalam mulut akibat refluks
yang kuat berupa bahan yang terkandung dari esofagus yang sampai
ke-rongga mulut.

3. PATOFISIOLOGI
Gastroesophageal reflux disease terjadi karena ketidakmampuan
atau terganggunya fungsi LES (Lower Esophageal Sphincter). LES
merupakan struktur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan
esofagus dengan lambung, dalam keadaan normal tekanan LES akan
menurun saat menelan sehingga terjadi aliran antregrade dari
esofagus ke lambung. Namun dalam kondisi GERD, fungsi LES
terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari
lambung ke esofagus. Tanda dan gejala yang dialami dengan GERD
dikaitkan dengan refluks asam lambung dan pepsin dan terjadi selama
relaksasi LES sementara. Periode ini terjadi di luar periode menelan

32
dan dapat dirangsang oleh adanya makanan di perut setelah makan.
Penyebab refluks ini multifaktorial dan dapat mencakup faktor fisik
dan gaya hidup.

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3


mekanisme :

a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat,


b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan,
c. Meningkatnya tekanan intra abdomen. (Amran, 2019)

4. DIAGNOSIS
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American
College of Gastroenterology tahun 1995 dan direvisi pada tahu 2013,
diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan:

a. Empirical Therapy

b. Use of Endoscopy

c. Ambulatory Reflux Monitoring

d. Esophageal Manometry → lebih direkomendasikan untuk


evaluasi pre-operasi untuk ekslusi kelainan motilitas yang

33
jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang berhubungan
dengan suatu kelainan, misalnya scleroderma.

5. TATA LAKSANA

GERD dapat menimbulkan beberapa komplikasi jangka Panjang,


oleh karena itu penanganan pada penyakit ini mendapat
penatalaksanaan yang adekuar. Pada prinsipnya penatalaksanaan
GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup atau pola makan, terapi
medikamentosa, terapi bedah, dan terapi endoskopik. Penanganan
terkait masalah gizi yang diberikan kepada penderita GERD adalah
pemilihan dan pemberian makan yang tepat seperti menghindari
makanan yang mengandung tinggi lemak atau yang digoreng, alkohol,
peppermint atau spearmint, makanan yang mengandung banyak
minyak, kopi baik itu yang berkafein atau tidak berkafein, minuman
berkarbonasi, coklat, yogurt berlemak tinggi, dan lada. Edukasi
masalah nutrisi untuk penderita GERD dapat berfokus pada cara-cara
untuk meningkatkan kesadaran pada kondisi kerongkongan yaitu
menerapkan ketika makan selalu dalam keadaan duduk tegak dan
tidak langsung berbaring setelah makan.

6. KOMPLIKASI ATAU MANIFESTASI KLINIS

34
Penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat
terjadi pada GERD. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien GERD
antara lain;

• Esophagitis → peradangan mukosa esophagus hingga


menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan lambung dan
esophagus,

• Striktura Esophagus → terjadinya penyempitan lumen karena


inflamasi akibat refluks. Hal ini ditimbulkan karena terbentuk
jaringan parut pada gastroesophageal junction.
Striktur timbul pada 10-15% pasien esophagitis yang
bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan padat.
Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilatasi bougie.

• Barett’s Esophagus → terjadi perubahan dimana epitel skuamosa


berganti menjadi epitel kolumnar metaplastic meluas ke proksimal
melampaui gastroesophageal junction dan tampak kontras
dengan epitel skuamosa yang pucat serta mengkilat dari
esophagus. Pada 1/3 kasus, gejala tersebut tidak tampak atau
minimal karena sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang
menurun. Penyakit ini dapat diatasi dengan penatalaksanaan
medikamentosa.

35
Gambar 6. Cara Menangani Asam Lambung

(Sumber foto: https://www.99.co/blog/indonesia/cara-mengatasi-asam-


lambung/)

PENYAKIT DIARE

1. DEFINISI

Diare adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali atau lebih
dalam sehari,yang sering disertai dengan muntah, badan lesu atau
lemah,panas,tidak nafsu makan,darah dan lendir dalam kotoran rasa

36
mual dan muntah-muntah dapat mendahului diare yang disebabkan
oleh virus. Diare terjadi dalam kurun waktu kurang atau sama dengan
15 hari disertai dengan demam, nyeri abdomen dan muntah. Jika diare
berat dapat disertai dehidrasi. Muntah-muntah hampir selalu disertai
diare akut, baik yang disebabkan bakteri atau virus V. Cholerae. E. Coli
patogen dan virus biasanya menyebabkan watery diarrhea sedangkan
campylobacter dan amoeba menyebabkan bloody diarrhea (Manson’s
1996). Gambaran klinis diare akut yang disebabkan infeksi dapat disertai
dengan muntah, demam, hematosechia, berak-berak, nyeri perut
sampai kram(Triadmodjo, 1993).

Karena kehilngan cairan maka penderita merasa haus, berat


badan berkurang, mata cekung, lidah/ mulut kering, tulang pipi
menonjol, turgor berkurang, suara serak. Akibat asidosis metabolik akan
menyebabkan frekuensi pernafasan cepat, gangguan kardiovaskuler
berupa nadi yang cepat tekanan darah menurun, pucat, akral dingin
kadang-kadang sianosis, aritmia jantung karena gangguan elektrolit,
anura sampai gagal ginjal akut(Sudigbya, 1992; Triadmodjo, 1993).

2. ETIOLOGI

37
Etiologi Diare akut karena infeksi disebabkan oleh masuknya
mikroorganisme atau toksin melalui mulut. Kuman tersebut dapat
melalui air, makanan atau minuman yang terkontaminasi kotoran
manusia atau hewan, kontaminasi tersebut dapat melalui jari/tangan
penderita yang telah terkontaminasi (Suzanna, 1993). Etiologi diare akut
pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui, akan tetapi
sekarang lebih dari 80% penyebabnya telah diketahui. Terdapat 25 jenis
mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare. Penyebab utama oleh
virus adalah rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya ialah virus
norwalk, astrovirus, calcivirus, coronavirs, minirotavirus, dan virus
bulat kecil (Depkes RI, 2005).

Penyebab diare juga dapat bermacam macam tidak selalu


karena infeksi dapat dikarenakan faktor malabsorbsi seperti
malabsorbsi karbohidrat, disakarida (inteloransi laktosa, maltosa, dan
sukrosa) monosakarida (inteloransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa),
Karena faktor makanan basi, beracun, alergi karena makanan, dan diare
karena faktor psikologis, rasa takut dan cemas (Vila J et al., 2000).
Bakteri penyebab diare dapat dibagi dalam dua golongan besar, ialah
bakteri non invasif dan bakteri invasif. Termasuk dalam golongan bakteri
noninfasif adalah: Vibrio cholerae, E.colli patogen (EPEC, ETEC, EIEC),
sedangkan golongan bakteri invasif adalah Salmonella sp (Vila J et al.,
2000). Diare karena bakteri invasif dan noninvasif terjadi melalui salah

38
satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transport ion
dalam sel-sel usus berikut ini: cAMP (cyclic Adenosin Monophosphate),
cGMP (cyclic Guanosin Monophosphate), Ca-dependet dan pengaturan
ulang sitoskeleton (Mandal et al,., 2004).

Diare juga dapat diklasifikasikan sebagai diare osmotik dan


sekretori. Diare osmotik disebabkan oleh gangguan pencernaan nutrisi,
asupan sorbitol atau fruktosa yang berlebihan, pemberian makanan dan
infeksi lainnya dapat menyebabkan diare sekretorik enteral, dan
beberapa obat pelancar. Diare sekretorik terjadi akibat cairan yang
berlebihan dan sekresi elektrolit kedalam usus. Protozoa, virus dan
infeksi lainnya dapat menyebabkan diare sekretorik, serta faktor lainnya
yang berpotensi dapat menyebabkan diare sekretorik termasuk obat-
obatan, tummor penghasil hormon, dins prostaglan, dan asam empedu
dalam jumlah berlebihan atau asam lemak yang tidak terserap di usus
besar.

3. TANDA DAN GEJALA

• Sakit perut, mual, tinja encer atau bahkan berdarah, mengalami


dehidrasi, pusing, lemas dan kulit kering. Etiologi diare dapat
digambarkan dengan diare akut dan diare kronis. Dikatakan diare
akut jika terjadi bersifat dalam jangka pendek (kurang dari dua
minggu) dan diare kronis apabila terjadi selama lebih dari empat

39
minggu. Diare akut pada orang dewasa biasanya sering ditemui
dan secara umum dapat diobati sendiri. Diare akut atau mencret
dapat didefinisikan sebagai buang air besar dengan fases tidak
berbentuk (unformed stools) atau cairang dengan frekuensi lebih
dari 3 kali dalam 24 jam. Etiologi diare akut adalah virus, protozoa,
Bakteri, dan helminths.

4. PATHOGENESIS

• Infeksi masih merupakan faktor penyebab diare yang terpenting


baik akibat virus maupun bakteri (Rani AA, 2002). Menurut
Setiawan (2006) dan Joan et al., (1998) terjadinya diare akut
karena infeksi pada umumnya dipengaruhi oleh :

a. Faktor pejamu (host)


Faktor pejamu adalah kemampuan tubuh untuk
mempertahankan diri terhadap organisme yang menimbulkan
diare. Faktor-faktor tersebut adalah lingkungan, internal traktus
gastrointestinal seperti keasaman lambung, motilitas
usus,imunitas dan mikrofilaria normal di usus (Setiawan, 2006).
Penurunan keasaman lambung pada infeksi shigella sp terbukti
dapat menyebabkan serangan infeksi lebih berat dan
menyebabkan peningkatan kepekaan terhadap infeksi V.
cholerae. Keasaman lambung diperlukan sebagai

40
barier terhadap kuman enteropatogen.

b. Faktor kausal (agent)


Faktor kausal yang mempengaruhi patogenesis antara lain
daya penetrasi yang dapat merusak sel mukosa, kemampuan
memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan diusus
halus serta daya lekat kuman. Kuman-kuman tersebut dapat
membentuk koloni yang menginduksi koloni yang menginduksi
diare (Setiawan, 2006). Mikroorganisme yang menyebabkan diare
biasanya melalui jalur fekal oral, terutama karena menelan
makanan/minuman yang terkontaminasi dan Kontak dengan
tangan yang terkontaminasi.

➢ Beberapa faktor yang berhubungan dengan bertambahnya


penularan kuman enteropatogen usus adalah :

• Tidak tersedianya fasilitas penyediaan air bersih secara


memeadai/

• Sumber air tercemar feces.

• Pembuangan feces yang tidak higienis.

• Kebersihan perorangan dan lingkungan yang buruk.

• Penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak semestinya.

41
5. TATALAKSANA DIARE AKUT

a. Rehidrasi.

→ Bila pasien umum dalam keadaan baik tidak dehidrasi, asupan


cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah,
sup dan keripik asin. Bila pasien kehilangan cairan yang banyak dan
dehidrasi, penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau
rehidrasi oral dengan cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula
atau strach harus diberikan. Terapi rehidrasi oral murah, efektif, dan
lebih praktis daripada cairan intravena. Cairan oral antara lain; pedialit,
oralit dll cairan infus a.l ringer laktat dll. Cairan diberikan 50 – 200
ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan status hidrasi (Setiawan,
2006).
b. Diet
Pasien diare tidak dianjurkan puasa, kecuali bila muntah-
muntah hebat. Pasien dianjurkan justru minuman sari buah, teh,
minuman tidak bergas, makanan mudah dicerna seperti pisang, nasi,
keripik dan sup. Susu sapi harus dihindarkan karena adanya defisiensi
laktase transien yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri.
Minuman berkafein dan alkohol harus dihindari karena dapat
meningkatkan motilitas dan sekresi usus. (Setiawan, 2006)

c. Obat antidiare.

42
• Obat yang paling efektif yaitu derivat opioid misal loperamide,
difenoksilatatropin dan tinkur opium. Loperamide paling disukai
karena tidak adiktif dan memiliki efek samping paling kecil, Bismuth
subsalisilat merupakan obat lain yang dapat digunakan tetapi
kontraindikasi pada pasien HIV karena dapat menimbulkan
enselofati bismuth. Obat antimotilitas penggunaannya harus hati-
hati pada pasien disentri yang panas (termasuk infeksi Shigella) bila
tanpa disertai mikroba, karena dapat memperlama penyembuhan
penyakit

• Obat yang mengeraskan tinja; atapulgite 4 x 2 tab perhari, smectite


3 x 1 saset diberikan tiap diare/BAB encer sampai diare berhenti c)
obat anti sekretorik atau anti enkephalinase: Hidrase 3 x 1 tab
perhari (Setiawan, 2006).
d. Obat antimikroba.
Pengobatan empirik tidak dianjurkan pada semua pasien.
Pengobatan empirik diindikasikan pada pasien-pasien yang diduga
mengalami infeksi bakteri invasif, diare turis traveler’s diarrhea atau
imunosupresif (Setiwan, 2006).

6. PATOFISIOLOGI DIARE

43
Patosiologi penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik
makan yang tidak dapat diserap oleh pencernaan sehingga
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggkat
sehingga terjadi pergeseran air elektrolit kedalam rongga usus , isi
rongga usus yang berlebihan tersebut yang menyebabkan diare.

Gambar 7. Patofisiologi Diare

(Mekanisme penyebaran penyakit diare, Sumber :


http://megarevanggaputra.blogspot.com/)

7. TERAPI GIZI

Merupakan salah satu penanganan untuk penderita diare. Terapi


gizi dilakukan untuk menurunkan motilitas pasien harus fokus pada
menghindarin minuman tinggi gula dan makanan tinggi karbohidrat

44
(laktosa, sukrosa dan fruktosa), alkohol gula (sorbitol, xylitol, dan
mannitol), kafein, minuman yang mengandung aklkohol, serta
makanan penghasil gas harus dihindari. Selain itu, penambahan
sumber serat larut dan pati resisten merupakan cara paling ampung
untuk mengentalkan konsistensi fases.

8. MANIFESTASI KLINIS DIARE

Manifestasi klinis yang bisa terjadi pada diare adalah sakit perut
dan kram. Saat buang air besar mengurangi kram, diare umumnya
berasal dari ususbesar bagian distal. Jika nyeri perut berlanjut setelah
buang air besar, umumnya berasal dari usus halus. Adapaun gejala lain
yang seperti dehidrasi, penurunan berat badan, dan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa bergantung pada volume
fases yang hilang dan merupakan salah satu konsekuensi yang paling
serius dari diare.

Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah dan/atau


demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang
perut.Diare yang berlangsung beberapa saat tanpa penanggulangan
medis adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan
cairan tubuh yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena
gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik lanjut.Kehilangan

45
cairan menyebabkan haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah
kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun, serta suara serak.

Kehilangan bikarbonat akan menurunkan pH darah. Penurunan ini


akan merangsang pusat pernapasan, sehingga frekuensi napas lebih
cepat dan lebih dalam (Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk
mengeluarkan asam karbonat agar pH dapat naik kembali normal.
Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat
standar juga rendah, pCO2 normal, dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskuler pada hipovolemia berat dapat berupa
renjatan dengan tandatanda denyut nadi cepat, tekanan darah
menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, wajah pucat,
ujung-ujung ekstremitas dingin, dan kadang sianosis. Kehilangan
kalium juga dapat menimbulkan aritmia jantung.

EPILEPSI

1. DEFINISI

Epilepsi merupakan “koleksi gangguan fungsi otak yang beraneka


ragam” atau “badai listrik di otak”. Bangkitan epilepsi adalah suatu
tanda atau gejala yang disebabkan oleh aktivitas neuronal di otak yang
bersifat sinkron dan berlebihan atau abnormal. Epilepsi adalah suatu

46
gangguan fungsi otak yang dicirikan oleh kecenderungan predisposisi
untuk meimbulkan bangkitan epileptik beserta konsekuensinya yang
bersifat neurobiologik, kognitif, psikologik, dan sosial.

2. ETIOLOGI
➢ Dibagi menjadi enam macam yaitu :

• Struktural
• Genetik

• Infeksi
• Metabolik
• Imunitas

• Etiologi yang tidak diketahui Setiap penderita epilepsi dapat memiliki


salah satu beberapa etiologi sekaligus penyebab terjadinya epilepsi.
Ada berbagai macam faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya epilepsi, seperti :

a. Faktor Internal

• Neoplasma

• Riwayat genetik keluarga

b. Faktor Eksternal

47
• Stress

• Kurang tidur

c. Struktural

→ Etiologi struktural adalah abnormalitas struktur di otak yang


diketahui melalui pencitraan dan merupakan penyebab utama
terjadinya epilepsi pada pasien. Kelainan struktural ini terbagi
menjadi dua yaitu :

• Kelainan struktural (stroke, trauma dan infeksi)

• Kelainan struktural genetik (terjadinya malformasi korteks)

d. Genetik

• Etiologi genetik sebagai faktor predisposisi terjadinya epilepsi


masih terus berkembang. Etiologi genetik dapat diamati lebih
jelas pada kasus dengan riwayat keluarga memiliki kelainan
autosomal dominan, seperti syndrome of benign familia neonatal
epilepsi yang diketahui terjadinya mutasi pada salah satu gen
kanal. Mutasi genetik dapat menyebabkan terjadinya epilepsi
dengan gejala ringan hingga berat.

e. Infeksi

48
• Infeksi merupakan etiologi yang diketahui menjadi penyebab
epilepsi. Pada kejang seperti ini merupakan salah satu gejala
utama infeksi penyakit tersebut pada diagnosis epilepsi.

f. Metabolik

→ Etiologi metabolik pada kejang epilepsi merupakan salah satu


gejala suatu penyakit metabolik yang terjadi pada seseorang.
Epilepsi metabolik dapat terjadi sebagai manifestasi dari
abnormalitas biokimia atau defek metabolik didalam tubuh.

g. Imunitas

→ Epilepsi yang terjadi akibat gangguan sistem imun terjadi akibat


reaksi inflamasi yang dimediasi oleh imunitas tubuh yang
menyebabkan terjadinya inflamasi sistem saraf pusat.

h. Etiologi yang tidak diketahui

→ Penyebab epilepsi yang tidak diketahui etiologinya saat ini


terutama berhubungan pada kasus diagnosis epilepsi dinegara
berkembang dengan akses teknologi yang terbatas, sehingga
diagnosis hanya dapat ditegakkan sampai titik tertentu saja tanpa
mengetahui etiologi penyebabnya.

3. PATOFISIOLOGI

49
Gambar 8. Struktur Neuron

(Sumber : http://teamrisni.blogspot.com/2012/07/human-nervous-system-
sistem)

Terdapat sel saraf pada otak yang terdiri dari berbagai bentuk dan
ukuran, semua sel saraf mengandung tiga komponen utama penting.

• Komponen pertama adalah somayang mengandung nukleus untuk


mengatur metabolisme sel,

• Komponen kedua adalah akson yang bercabang-cabang dimana


pada bagian ujung akson akan membentuk,

• Komponen ketiga yaitu, terdapat terminal sinaptik.

Terminal sinaptik ini akan mengeluarkan neurotransmiter ke dalam


celah sinaptik, dan terdapat membran postsinaptik yang mengandung
reseptor pengikat neurotransmiter yang dilepaskan berikatan dengan

50
reseptor, lalu terjadi perubahan lokal pada sistem elektrik neuron.
Perubahan tersebut berupa eksitasi maupun inhibisi pada implus saraf,
sehingga terjadi aksi potensial yang dapat menimbulkan serangan
epilepsi.

Selama kejang, seseorang melakukan perilaku, merasakan gejala


dan sensi abnormal, dan sering terjadi kehilangan kesadaran.
Manifestasi klinis epilepsi bervariasi tergantung neuron yang
melepaskan muatan listrik, dapat berupa gerak motorik,
somatosensorik, psikis, perubahan perilaku, perubahan
kesadaran,perasaan panca indra dan lain nya.

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang, sehingga


diperlukan kerjasama yang baik antara dokter, pasien dan keluarga
pasien untuk menjamin kelancaran berlangsungnya pengobatan dan
pemberian obat anti-epilepsi (OAE) harus mempertimbangkan risiko
dan manfaat. Faktor akseptabilitas OAE sangat menentukan kepatuhan
berobat, dan ketersediaan obat secara konsisten untuk menjamin
keberhasilan terapi. Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah terbebas
dari serangan epilepsi. Serangan yang berlangsung lama mengakibatkan
kerusakan sampai kematian sel-sel otak, apabila kejang terjadi terus
menerus, kerusakan otak akan meluas dan dapat menurunkan

51
inteligensi. Karena itu upaya terbaik mengatasi kejang sedini dan
seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan
penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah
atau dikontrol dengan obat obatan dan mencapai dua tahun bebas
serangan.

Adapun prinsip pengobatan epilepsi yaitu :

• Dimulai dengan monoterapi lini pertama menggunakan OAE sesuai


jenis bangkitan

• Dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping

• Apabila tidak tidak dapat dihentikan dengan OAE lini pertama dosis
maksimal, monoterapi lini kedua dimulai, dan apabila berhasil OAE lini
pertama diturunkan bertahap. Bila saat penurunan OAE lini pertama
terjadi bangkitan, kedua OAE tetap diberikan.

4. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan kesadaran,


motorik, sensoris, autonom atau psikis. Kejang atau bangkitan
epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak

52
yang bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat
menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa
fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif, negatif atau
gabungan keduanya. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi
dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya penyebaran.
Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar
dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian
besar berlangsung singkat.

5. TATALAKSANA EPILEPSI (TERAPI)

• Tujuan Umum
→ Tujuan utama terapi epilepsi adaiah tercapainya kualitas hidup
pasien yang
optimal.

• Tujuan Khusus
a. Tidak terjadi bangkitan

b. Penurunan frekuensi bangkitan

c. Tidak terjadi efek samping atau kejadian efek

d. Samping yang minimal

e. Penurunan angka kesakitan dan

f. Penurunan angka kematian.

53
Tim medis menetapkan desain terapi berdasarkan tipe
bangkitan, risiko Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD), faktor
ekonomi, jenis kelamin, penggunaan obat iain atau riwayat
pengobatan yang digunakan, umur, dan gaya hidup. Pasien dan tim
medis bekerjasama dalam membuat rencana pengobatan untuk
tercapainya hasil terapi yang optimal. Tim medis memotivasi pasien
sehingga pasien mampu memonitor frekuensi bangkitan dan ROTD.

• Prinsip terapi umum


a. Menetapkan tujuan terapi, menilai tipe dan frekuensi
bangkitan
b. Menetapkan tipe bangkitan dan sindroma epilepsi

c. Menetapkan faktor risiko dari bangkitan yang berikutnya

d. Menetapkan penggunaan Obat Anti Epilepsi (OAE), harus


dimulai dengan monoterapi bila tidak berhasil dengan
monoterapi pikirkan terapi kombinasi merencanakan waktu
penghentian obat.

54
Gambar 9. Pemilihan Obat Antiepilepsi menurut Farmakologi Terapi

(Sumber : http://perpustakaan.farmalkes.kemkes.go.id/)

55
Gambar 10. algoritma pemilihan antiepilepsi

(Sumber : http://perpustakaan.farmalkes.kemkes.go.id/)

56
Daftar Pustaka

Mandal, B.K & Wilkins, E.G.L. 2008. Lecture Notes: Penyakit Infeksi
(Edisi Keenam) Jakarta: Penerbit Erlangga.
PP, Elizabeth Fajar, and Muclis A. Udji Sofro. "Hubungan Antara
Stadium Klinis, Viral Load Dan
Jumlah Cd4 Pada Pasien Human Immunodeficiency Virus
(Hiv)/acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) Di Rsup
Dr. Kariadi Semarang." Jurnal Kedokteran Diponegoro 2.1:
108226.
Fatmawati, Atikah. 2018. Regulasi Diri Pada Penyakit Kronis-Systemic
Lupus Erythematosus:
kajian literatur. Jawa Timur. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit
Mojokerto

Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi IV

Inayati, I., & Qoriani, H. F. (2016). Sistem Pakar Deteksi Penyakit


Diabetes Melitus (DM) Dini Berbasis Android. Jurnal Link,
25(2), 10-15.
Bhatt, H., Saklani, S. and Upadhayay, K. (2016) ‘Anti-oxidant and anti-
diabetic activities of ethanolic extract of Primula Denticulata
Flowers’, Indonesian Journal of Pharmacy, 27(2), pp. 74–79.
doi: 10.14499/indonesianjpharm27iss2pp74.
Sitepu, Y. R. B. and Simanungkalit, J. N. (2019) ‘Jurnal Penelitian
Perawat Profesional’, Y
sitepu, 1(November), pp. 89–94.
Available at:

57
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/d
ownload/83/65.

Amran, A. (2019). Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian


gastroesophageal reflux disease pada karyawan X. 4–30.
Saputera, M. D., dan Budianto, W. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana
Gastroesophageal Reflux
Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. Continuing
Medical Education
IDI . Vol 44 (05): 329-332

Bagian P2M Dinkes Jateng : Laporan hasil kegiatan penanggulangan


penyakit diare, 2004.
Depkes RI, Direktorat Jendral PPM & PL th 2005, Keputusan Menkes RI
no 1216/MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman
Pemberantasan Penyakit Diare, edisi 4.
Santoso B. Patogenesis dan Patofisiologi Diare Akut pada Anak. Balai
Penerbit UNDIP
Semarang. 1992
WIJAYA, Jovita Silvia; SAING, Johannes H.; DESTARIANI, Cynthea Prima.
Politerapi Anti Epilepsi pada Penderita Epilepsi Anak. Cermin
Dunia Kedokteran, 2020, 47.3: 191-194.
Risa Vera , Mas Ayu Rita Dewi , Nursiah. Sindrom Epilepsi Pada Anak.
MKS, 2014, No 1.

LUKAS, Andre; HARSONO, Harsono; ASTUTI, Astuti. Gangguan kognitif


pada epilepsi. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana,
2016, 1.2: 144-152.
Buku ajar patofisiologi : Professional Guide to Pathophysiologi

58
59

Anda mungkin juga menyukai