VELOVE BRATADIKARA
VS
HARTADI L.
BRATADIKARA
By. Lucifer
(Velove POV)
"Pak, Saya ke sini bukan mau ngajak perang loh sama Bapak, tapi saya ke sini
cuma buat nyari suami, dan sekarang Orang itu udah ada di hadapan Saya. So...
Apa ada peluang buat Saya jadi istri Bapak kan? Toh kita sama-sama masih
sendiri."
Jujur, langsung nembak cowok dan berterus terang kayak gini bukanlah
hal yang gue sukai. Tapi demi calon suami yang gue pilih sendiri gue rela
ngelakuin semua hal yang bertentangan sama prinsip gue yang ngemis-ngemis
sama cowok cuma buat jadi suami gue.
Mata gue sengaja nggak berpaling dari matanya yang meminta penjelasan
lebih memancarkan ketajaman yang seakan menusuk ulu hati. Tapi Gue nggak
gentar cuy... Gue bakalan hadapi amukan dia setelahnya.
Saat Gue diem Gue biarin tatapan dia mengeksplore sepuasnya. Yupz boleh
dibilang saat ini Gue cukup percaya diri dan juga nggak ada yang harus di
sembunyikan dari tampilan Gue. Gue nggak mau basa-basi lagi kalau audah
menempati kursi panas ini, sebab sepasang netra di depan Gue tengah memaku
intens. Duduk tenang menjadi kunci, birpun wajah Gue, pakaian Gue, dan
tentunya tekad Gue seakan-akan ditelanjangi hanya dengan satu tatapan saja.
Hmm... Mendatangi Pria yang udah lama nggak berkomunikasi itu jujur
sangat menantang Gue. Karena kehadiran Gue di sini bukan untuk bermain-main
atau mengajukan damai, mengingat perbuatan Gue di masa lalu membuat Pria di
hadapan Gue itu menyambut kehadiran Gue layaknya musuh.
Ini Bukan perkara usia Gue yang mau menginjak tiga puluh tahun, atau
label 'Perempuan Darurat Menikah' . Gue lagi nyari calon yang sangat pantas
menurut Gue, Pria yang tepat, pria pilihan Gue sendiri, dan optimis kalau Gue
pulang ke jakarta nanti, Gue bakalan bawa berita baik.
(Author POV)
Velo semakin yakin untuk membujuk pria yang sedang mengerutkan dahi
seakan berpikir keras itu, agar setidaknya mempertimbangkan kata-katanya. Dan
tentu saja Velo lakukan secara sadar, tanpa peduli sirat di mata pria itu kini
meremehkannya, atau mungkin pria itu benar-benar akan mendampratnya tak
punya otak. Andai mulutnya sesumbar, ia pasti akan bilang tidak takut menerima
cacian. Kesiapan mental Velo mencapai kata matang, karena itu senjatanya bisa
mendarat di Kalimantan.
"Tepat. Bapak ngewakilin aspek-aspek yang saya incer dalam sosok suami." Velo
menyandarkan punggung, demi mengurangi dentam samar jantungnya
berhadapan dengan pria sekelas Hartadi Lewandowski Bratadikara. Sulit sekali
menyambangi Pria itu siang ini. Berkat peraturan berlapis bagi setiap tamu yang
ingin menemui Pria itu, tetapi Velo tidak ingin waktunya tersia-siakan. Ia hanya
mencetuskan nama Ayahnya, lalu hubungan apa yang mereka miliki. Sehingga
loloslah dia memasuki ranah pria itu.
"Aspek-aspek apa yang kamu maksud? Saya nggak paham. Kalau nge-offer
sesuatu, pastikan dulu dengan jelas supaya kamu nggak ditolak. Apalagi saya
nggak gampang terima offer dari 'Orang Asing'." Mata Pria yang bernama Hartadi
itu memincing sekilas. Masih dikuasai tanda tanya besar atas eksistensi Velo di
pulau yang jauh dari Ibu Kota ini. Apalagi Perempuan itu mengenakan pakaian
yang tak cocok untuk dipamerkan di lingkungannya sekarang, terlebih bibir yang
di poles menggunakan entah apa itu tampak merekah dan mengkilap sehat.
"Hah... Saya nggak mau munafik atau ngebuat-buat alasan. Saya membutuhkan
suami yang punya nilai A seperti Bapak. Aspek-aspeknya dari materi, latar
belakang keluarga, dan karakter. Semua yang ada di Bapak, itu yang Saya cari..."
Sudut bibir Hartadi membuat seringai sangar. "Kamu nilai saya? Apa nggak
salah?"
"Ya, nggak salah. Saya kasih nilai A buat Bapak. Wajar, Saya ini kan perempuan
yang lagi nyari calon suami. Apa nggak berhak minta yang mendekati sempurna
versi saya sendiri? Biar hakikatnya manusia nggak ada yang sempurna, tapi
bukan berarti 'hampir sempurna' itu nihil." Velo menynggingkn sudut bibirnya.
"Laki-laki yang disegani berkat materi dan latar belakang keluarga Pak Har
milikin itu. Kebetulan, saya emang memprioritasin laki-laki lahir dari keluarga old
money. Kalau OKB, potensi macem-macemnya lebih banyak."
"Cih... Kamu lugas banget ya, Vel. Enak banget kamu dateng-dateng ke saya
langsung minta hal yang seserius ini? Tujuan kamu yang sebenernya apa?"
Hartadi mendengus kesal dan mengurut pangkal hidungnya sambil menyepelekan
Velo. Pria itu nyaris kehilangan kecakapannya dalam berkata-kata menyadari
Velove Bratadikara berani melobinya untuk title 'Suami'. Dari Sejarah hubungan
mereka pun, Velo tidak terdeteksi memiliki hati padanya atau mungkin ini cara
perempuan itu mendapatkan hal lainnya.
Ya.. Pria itu berpikir kalau Velo batu loncatan. Mungkin saja ya...
"Ya cari suamilah pak... Kok nanya lagi sih?!" jawab Velo sambil memindahkan
tas di pangkuannya ke kursi kosong di sisinya. Berganti menumpangkan satu
kakinya ke atas kaki yang lain sambil menyamankan posisi duduknya. Dia benar-
benar menolak untuk terintimidasi oleh sosok Hartadi, walaupun hatinya tetap
mendesirkan kerisauan. Bibirnya menipis, bagaimana pun juga dia harus
menggiring Hartadi agar mau menerimanya.
"Hah... Jelasnya pencarian calon suami saya ini ada sebabnya. Ada yang pengen
saya proteksi. Itu alasan saya jauh-jauh ke sini dan masuk ke lingkungan yang
sama sekai asing, cuma untuk ketemu Bapak. Saya ke sini nggak asal pergi loh
Pak, Saya datengin Bapak pakai usaha.” Velo yakin suaranya tidak seperti orang
mereka, karena dirinya datang dengan ketegaran seorang perempuan dewasa
yang sedang mengejar target dalam hidupnya.
"Apa yang kamu proteksi? Kamu aja datang tanpa permisi. Masih untung kamu
saya kasih kesempatan duduk di ruangan ini. Kamu inget udah berapa lama kita
nggak berkomunikasi?" ucap Hartadi dengan intonasi tinggi karena sudah jelas
wanita itu mengacaukan agenda hari seninnya yang sangat padat merayap seperti
jalan jakarta...
"Diam? Silahkan keluar kalau nggak ada lagi yang bisa keluar dari mulutmu.
Jujur, saya nggak ada waktu buat ngurusin kamu. Saya punya prioritas lain."
Velo tersenyum kecut, tidak asing memang menemui Hartadi yang tak
ramah dan terkesan anti terhadapnya. Dia merasa baik-baik saja tanpa
mengukur sakit hati. Andaikan Hartadi mengusirnya pergi, Velo akan tidak tau
malu datang lagi kembali.
Dengan pemikiran tersebut, Velo berdiri dan berjalan untuk lebih dekat
dengan Hartadi yang masih dudyk menatap layar macbook dengan ekspresi
gelapnya. Hadirnya disini memang sudah bertolak, namun Velo sudah
memantapkan hati karena dia menyambangi Hartadi untuk mencari jalan keluar
terbaik dari persoalan peliknya. Velo membutuhkan tangan yang tepat.
"Kamu mau sampai kapan di kantor saya, Vel?" tegur Hartadi datar. Sekali lagi
dia melihat Velo intens, perempuan dengan pakaian modis berdiri penuh tekad
dihadapannya. "Kerjaan saya hari ini nggak cuma dengerin kengawuranmu aja.
Kantor ini punya pergerakan yang cepat setiap harinya dibandingkan dengan
pusat jakarta. Kamu nggak bisa lama-lama menahan saya di ruangan ini."
Pantang Menyerah
(Velove Pov)
Wah... Gila lama nggak ketemu mulutnya bener-bener makin lemes ya...
makin nggak bisa disaring alis masih pedes cuy... untung aja stok kesabaran gue
masih banyak buat dia... Demi calon suami dan demi disetujui proposal lamaran
gue.
Sekarang gue udah matang, Gue jalan ke dekat dia dengan memamerkan
lekuk tubuh gue agar pria itu meirik ke arah gue. Saat jarak gue cuma beberapa
meter lagi dari tubuhnya dia langsung berdiri menegapkan tubuhnya.
"Duduk, Vel!" ucap Hartadi sambil menunjuk dengan dagunya. Gue cuma bisa
senyum kecut melihat Kegigihan Hartadi yang benar-benar nggak mau
berdekatan atau malah mungkin berurusan sama gue. Dia pindai gue tajam, dan
meneliti maksud gue dateng kesini.
"Denger, Vel. Satu hal yang mesti kamu inget atas permintaan kamu tadi, saya ini
adik dari ayah tiri kamu. So, bersikaplah dan bicara sewajarnya, kalaupun kamu
kelewat ingin menikah, cari laki-laki lain dan sebaya dan sekiranya udah kamu
kenali." gue pun cuma bisa nyengir dengan perkataannya.
"Salah. Saya kenal Bapak." ucap gue nyela, walaupun akhirnya gue nerima lirikan
sengit Hartadi. tapi jujur gue sama sekali nggak sakit hati dengerperkataan
juteknya ataupun nge'spil rentang usia gue juga dia yang terlampau jauh.
"Buat saya pribadi, saya cukup mengenal Bapak untuk jadi suami saya.
Walaupun baru hari ini saya ngomong face to face lagi sama Bapak. Dan...
Bukannya Pak Har yang kurang kenal saya? mungkin saya enam tahun lalu
nggak menarik di mata Bapak?"
To the point secara nggak langsung gue goda dia dengan badan yang gue
jaga selama ini. Dan gue percaya diri dengan penampilan gue.
"Pak, bisa kita atur waktu janji di luar? Saya kurang puas ngobrol. Bapak
kayaknya pengen cepet-cepet ngusir saya----"
"Pak Har, mari berangkat! Saya berharap Pak Samsudin bisa diajak kerjasama,
malas banget harus negosiasi terus sama yang udah kolot." suara berat
mengintrupsi bersamaan dengan dua pria yang memasuki ruang kerja Hartadi,
lalu salah seorang tampak terheran-heran melihat gue lagi berada dihadapan
Hartadi. Gue sama Hartadi saling pandang lalu melihat kearah pria yang ada di
pintu ruangan Hartadi.
"Maaf Pak, saya grasak-grusuk." ucap pria itu sambil menggaruk belakang
kepalnya yang tidak gatal. "Abisnya Tari nggak ada di depan ruangan Bapak...
Saya jadi teledor dan nggak pakai permisi dulu... Kita tunggu di luar aja?"
"Wait, Santai Bim..." Dia nggak nyuruh kedua pria itu untuk keluar, dan yupz...
waktunya gue buat undur diri di hadapan Hartadi. Jujur gue agak sedikit kesal
sih tapi sebisa mungkin nggak gue liatin ke mereka apalagi pada Hartadi jadi gue
biasa aja tuh...
Saat gue baru saja mau ngambil tas sebuah suara menggelitik telinga gue
sampai-sampai gue nggak jadi untuk beranjak dari hadapan Hartadi dan malah
duduk kembali di depan Hartadi sambil tersenyum.
"Siapa nih? Cewek ceweknya Pak Har? Muda amat Bim!" Gue langsung melihat ke
arah Hartadi yang berdecak kesal pada kedua rekannya itu.
"Itu contoh nyata yang kamu bakal terus menerus kalau permintaan tadi saya
turutin!" ucapnya sambil mencondongkan tubuhnya kearah gue dengan nada
pelan.
"Saya empat puluh lima tahun dan sedang tidak berpikiran untuk menikah.
Berikan posisi suami yang kamu tawarkan ke saya ke
orang lain, Ok?!"
"Nggak ah, masih serasi kok. Pak Har kan nggak keliatan diatas empat puluh,
ganteng, dan prima juga. Emangnya kita? tampang pas-pasan, perut mulai
buncit." Nggak salah denher gue, karyawan lain malah nimpalin omongan
Hartadi.
"Besok saya ke sini lagi, Nama saya nggak bakal Bapak Blacklist sebagai visitor
kan?"
"Kebijakan saya kalau itu, kamu nggak perlu tau. Buktiin aja kamu niatnya
beneran minta saya jadi suami atau nggak. Pulang sekarang. Nggak usah nunggu
dan berharap saya ke kantor lagi. Saya punya urusan diluar sampai sore." dia
ngangkat tangannya ngusir gue secara langsung, dan gue pun hanya senyum
denger penjelasan Hartadi tadi.
"Jangan kesenengan kamu. Saya belum bilang apa-apa. Penawaran kamu masih
ngambang."
"Tenang aja, Pak. Saya bukan tipikel perempuan yang pantang nyerah. Sekali
maunya mgejar Bapak, ya saya kejar. Bapak yang harus siap-siap, mungkin
sebentar lagi bakal direpotin saya." Gue berdiri dan ngambil sebuah pulpen dan
stickynote diatas meja Hartadi menuliskan nomor baru gue yang dia nggak tau.
"Hm... Nomor kamu" nggak lama saat dia nerima stickynotes dari tangan gue
langaung dia robek menjadi beberapa bagian. Ia angkat kepala ngeliat gue sambil
tersenyum simpul.
"Terima kasih, Vel..."
Sakit? tentu saja siapa yang ga sakit digituin? harga diri gue merasa
diinjek-injek sama dia. tapi gue masih bisa senyum kearahnya.
"Nanti malem jangan lupa mampir ya?"
"Berisik kamu!" desis Hartadi yang kemudian berdiri. Menggandeng lengan gue
dan nyeret gue buat keluar dari ruangannya. Dan saat melewati kedua karyawan
Royal WCS Company, Hartadi tak menanggalkan wibawanya sebagai Direktur.
"Saya antar ke depan sebentar."
Saat di tengah jalan gue sedikit berjinjit. "Setelah ini Bapak pasti mikirin saya
terus."
****
Hai Readerss ketemu lagi nih... kangen banget deh nyapa kalian...
ga lupa juga gue ingetin buat klik like, komen dan tentunya juga klik favorutnya
biar kalian tau update terbarunya, karena tanpa kalian gue ga bisa seaemangat
ini dalam nulis....
So happy reading!!
Status anak sulung perempuan dari keluarga terpandang, sama sekali tak
menyurutkan kemauannya mencari rupiah atas jeri payahnya sendiri.
Velo memulai debut karirnya sampai hari ini sebagai sekretaris direksi. Bisa
dibilang berat, bisa juga tidak. Tergantung bagaimana pribadi serta dibamika
sang atasan dalam bekerja. Dua sahabat yang menghabiskan waktu makan siang
bersamanya pun menjabat sekretaris di satu perusahaan transshipment batu
bara dengannya. Pertemuan mereka pertama kali adalah lima tahun lalu yang
berujung terbentuknya persahabatan solid.
"Gini ya, hidup mana bisa lepas dari cobaan. Tapi, ngejalanin hidup tetep harus
rileks. Supaya lo nggak perlu botox sebelum umur lima puluh. Minimal infuse
whiteninglah ya biar kinclong luar dalam. Atau sering-sering salmon DNA buat
pertahanin wajah glowing lo." jelas Velo selagi mengikat rambutnya tinggi jadi
satu. Matahari memang tidak langsung menyengat, tetapi bagian luar Z Center
cukup terasa panas. Sebab itu dia enggan menggerai rambut.
"Ck... kampret! Dua bulan lalu gue baru botox, Vel!" sengit Livia sambil
menghadiahi jitakan pelan ke kepala Velove. "Tapi gue setuju sama lo sih. Biar
nyokap gue nyap-nyap urusan merit, gue bingung jelasinnya gimana kalau belum
ada kandidat yang siap diajak komitmen. Yah, berusaha santai dulu deh,
nikmatin hasil kerja."
"Makanya sekarang peempuan harus lebih tegas, Run. Bukan masanya yang diem
manut dan nunggu kepastian, ujung-ujungnya ditinggal nikah dengan dalih 'Aku
bukan yang terbaik buat kamu', cih!" Velo membalas enteng. Bibirnya mencibir
kala mengingat pria yang satu ini, ia tidak setuju jika seorang perempuan
ditinggalkan untuk alasan yang tidak bisa divalidasi kebenarannya.
Sementara Livia meletakkan sebotol face mist yang beberapa detik lalu
disemprotkan ke wajahnya, kemudian mepirik ke arah Velo yang tengah
menyelipkan sebatang rokok pada bibirnya. Memang perempuan itu akan
merokok setelah selesai makan, terkadang membunuh waktu senggang di dekat
air mancur The Tower Almeda. Para sahabatnya itu sudah tidak heran jika Velo
sudah memisahkan diri dari mereka barang sebentar.
Velo kerap bergabung dengan koloni 'perokok' yang terdiri dari karyawan
Almeda Group. Yang Livia paling hapal dari perempuan itu, Velo akan selalu
menyemprotkan parfum favoritnya untuk menyamarkan bau asap rokok.
Langkahnya bibir Velo tidak menggelap seperti mayoritas perokok lain. Velo
pernah membagi tips bahwa perempuan rajin mengeksfoliasi kulit bibir, juga
memulas pelembab bibir setiap malam.
"Jelas." Velo menempatkan rokok di pinggiran asbak, sikunya berada di atas meja
dengan tangan menopang dagu. Ia menuturkan kejujuran, tidak berniat hanya di
mulut saja. "Gue nggak mau meninggikan gengsi, tapi dapet apesnya doang. Kalo
laki-laki itu single dan sesuai list suami impian gue, nunggu apa lagi? Gue
langsung 'Gas' pastinya."
"Hah... Vel, Vel.... kadang lo tuh ada manis-manisnya, kadang ada gilanya juga."
Gerutu Aruna tak bisa ditahan-tahan, mengingat perempuan itu yang paling
pemalu dan tidak mencoba dominan seperti Velo.
"Gue senengnya sih taktik klise dulu. Tarik ulur Val, biar target semakin
penasaran. Kalo main maju... Nggak punya nyali." Livia menimpali.
"Konteksnya beda dong, Liv." tepis Velo menggunakan nada lembut yang khusus
dipergunakannya untuk menggoda Aruna. "Belum tentu laki-laki pilihan gue ini
punya rasa yang sama. Gimana mau main tarik ulur? Yang ada tar gue disangka
main-main lagi."
"Iya juga, ya?" Livia dan Aruna berfikir sambil mengusap pelipis bersamaan
secara tidak sadar. "Tapi selama ini kan orang bilang, biarin laki-laki yang
mengejar perempuan. Dipandang dan dibilang apa kalau kita ini kaum
perempuan, tapi ngebet duluan?"
"Ck... Itulah pemikiran kuno dari para orang tua jaman dulu... Lagian apalah
pandangan dan omongan orang dibanding kesuksesan hidup kita sendiri? Sukses
orang macem-macem Run, Liv... Sukses di karir, sukses punya anak atau sukses
cari suami yang potensial." jelas, komentar Velove tidak sepemikiran dengan
Aruna. Dia mengambil rokoknya kembali dan tersenyum kepada kedua
sahabatnya. "Ya... Selagi laki-laki yang kita kejar ini bukan millik wanita lain,
jangan sampai mata dan mulut orang lain buat kita down. Hidup kita untuk kita,
bukan nyenengin orang lain."
Livia sengaja menghembuskan napasnya secara kasar. " Ya... Contoh kecil aja,
profesi kita ini sering banget kan dilabel negatif. Cowok di kantor aja lebih seneng
deketin cewek admin. Gue yakin mereka itu nyangka kita ini maunya sama laki-
laki berduit. Faktanya, yang gue taksir malah anaknya si boss. Bukan si
bossnya."
"Nggak masalah. Asal lo ga naksir bapaknya, gue lasir surport seratus persen."
Velo menghembuskan asap rokok melalui bibirnya yang terlapisi Fenty Beauty
Gloss Bomb. Matanya menyapu ke sekitar, memandang meja-meja yang terisi
tamu sembari berfikir. "Bentar lagi kan kantor ngadain gathering, nggak ada
salahnya lo join. Siapa tau ketemu anaknya di acara itu. Coba ajakin ngobrol,
ya... tipis-tipis aja dulu."
Livia tidak mengiyakan saran Velo, namun perempuan itu berhasil membuat Velo
tertawa pelan sebab ekspresinya menampakan rasa malu dan ragu secara
bersamaan. "Gue masih ragu anaknya boss single atau nggak. Abisnya resek,
Instagram di-private segala. Masa mau liat di Linkedin? Adanya photo mirip buat
KTP."
"Lo dong, Vel. Emangnya udah ada laki-laki kurang beruntung yang mau dikejar
singa betina kayak lo? Sejatinya keluarga kucing-- pertama kali di deketin
pejantan ribet, tapi kalo udah luluh maunya ngdusel terus." Aruna yang semula
hanya menjadi pengamat, sekarang tengah memusatkan perhatiannya pada Velo.
"Lagi gue pertimbangin sih orangnya. Pastinya, laki-laki yang gue kejar ini singa
versi jantannya. Galak." balas Velo kalem tanpa spill the tea di depan Livia dan
Aruna yang mengeluarkan desis ketidakpercayaan. Ia hanya mengedikan bahu,
lalu mengingatkan Aruna mengenai hal yang kurang tepat disebutkan sahabatnya
itu. "Ih, siapa bilang gue maunya ngdusel terus??"
Perempuan Egois
"Ada pesan untuk Pak Hartadi, Bu? Saya bisa sampaikan ke beliau." Sekretaris
Hartadi menawarkan dengan sopan, tanpa gelagat sengak seperti kebanyakan
sekretaris pimpinan. Bagus sesuai SOP.
"Boleh saya minta nomor hp yang biasa Pak Har pakai kerja? Saya sudah
menghubungi nomor pribadinya tapi belum aktip. Kartu namanya juga nggak
saya bawa, Mbak." Velo lumayan pandai merancang kata-kata. Sejujurnya nomor
kerja ataupun nomor pribadinya Hartadi tidak dimilikinya. Ia hanya membuat
alasan.
"Terima kasih, ya?!" ucap Velo sambil menyambut kertas memo bertuliskan
nomor Hartadi dari tangan sekretaris itu. Senyum girangnya hampir terbit,
namun dia menahannya agar sekretaris Hartadi tidak berpikir macam-macam.
"Kapan kira-kira Pak Har balik dari Banjarmasin?"
"Sama-sama, Bu. Biasanya Pak Hartadi hanya satu dua hari kalau ke pabrik
Banjarmasin. Besok pagi mungkin sudah masuk ke kantor lagi, Bu." Sekretaris
utu membalasnya dengan senyuman, dan telihat sangat tulus.
Di dalam mobil yang disewanya beserta sopir, Velo tidak menunggu lagi
untuk menghubungi Hartadi sembari meminum infuse water dari tumbler
miliknya. Berjalan dari gedung utama ke parkiran saja sudah membuat
tenggorokannya kering. Dari satu tempat ke tempat lainnya memiliki jarak
lumayan jauh. Dia kepayahan sendiri menghadapi bentuk kantor yang dibarengi
area penyimpanan minyak ini. Harusnya dia minta dijemput saja di lobi.
"Ck... Sibuk terus sih, Pak?!" ketika Velo mendengar mesin otomatis menjawab
panggilannya pada Hartadi. Di tengah suasana hati yang sedikit muram, dia
tunda sebentar untuk menghubungi pria itu kembali. Lalu dia menyimpan nomer
Hartadi dengan nama lengkapnya. Semua kontak pada handphonenya memang
sengaja tidak berupa nama panggilan, kecuali orang-orang yang dituakannya.
"Bu, kita kembali ke hotel?" tanya Pak sopir setelah menjalankan mobilnya ke
jalan raya.
"Iya Pak, langaung ke hotel aja." jawabnya tanpa melihat ke arah pak sopir karena
sibuk untuk mencoba peruntungannya kembali untyk bisa berkomunikasi
dengan Hartadi.
"Halo." Suara Hartadi yang berat terkesan tanpa riak menyusup ke telinga Velo.
Namun untuknya, dia lebih menyukai pria dengan tipe suara seperti Hartadi,
daripada suara renyah yang terkesan akrab.
"Hah.. Finally. Bapak ceritanya lagi ngehindarin saya?" ucap Velo to the point.
"Ngayal kamu. Memangnya kamu itu siapa yang harus saya hindarin segala?"
balas Hartadi mulai menyebalkan. Tapi pria itu tak lantas mengakhiri sambungan
mereka. "Kamu dapat nomor saa dari Tari ya?"
"Tari?"
"Sekretaris saya!"
"Aaaahh... Yaa... Mau darimana lagi? Saya harus nanya gitu ke Papih atau Eyang
Putri? Setelah kita diem-dieman selama enam tahun?" tanya Velo bertubi-tubi
sembari memandang jalanan yang dilewatinya. "Haaaahh.... Ke Samarinda buat
nemuin Bapak aja saya nggak bilang ke orang lain."
"Oke, sekarang saya bisa telepon Mas Anwar dan kabarin anaknya terdampar
disini. Kamu keaayangan Papih dan Mamihmu kan, Vel?" Hartadi agaknya
menantang Velo yang seperti menyambanginya dengan rahasia, yang artinya
kepala mungil milik Velo sudah menciptakan suatu skenario.
Sekian detik tidak mendapat sahutan dari seberang. "Besok saya tunggu Bapak.
Please, saya harus menikah tahun ini. Bapak yang paling tepat isi posisi sebagai
suami saya."
"Kamu yakin pernikahan jalan satu-satunya jalan keluar dari masalah? Kamu
nggak takut ending dari prolog yang kamu mulai atas perandaian resikonya
besar? Ditambah lagi ini bersangkutan dengan kehidupan saya, Velo." Hartadi
terdengar dingin kali ini, tak lama hanya suara berdenging yang Velo dapatkan
dari sambungan teleponnya.
Velo menghela napas berat sambil menurunkan handphone seraya
memandang pohon-pohon yang dilaluinya. Velo merenungkan ucapan Hartadi.
Dia tau dirinya memang tidak lebih dari perempuan egois.
***
Demi seorang pria yang berkeras diri menentukan meeting point di lobi
Royal WCS Company, Velo dengan sukarela kembali mendatangi kantor yang
terbangun diatas tanah berhektar-hektar ini lalu menunggu pria itu menampakan
diri. Mengintip arloji pada pergelagan tangan sambil menghitung dalam hati
kapan pria itu akan keluar dari ruang kerjanya. Kakinya sudah tidak betah
dipakai berdiri terlalu lama, karena tidak satu pun kursi tunggu disediakan.
Kata Aruna, Velo mempunyai sex appeal yang tinggi. Tak jarang sex appeal
ini pula yang menjadi sumber utama permasalahannya.
"Saya tunggu disini aja boleh, Pak?" ucap Velo memperlambat jalannya, berdiri di
pinggir lobi Royal WCS Company yang tertutup kanopi minimalis. Enggan
mengikuti Hartadi yang sudah berada di bawah sinar matahari.
"Saya bukan sopir. Ikut saya sekarang atau saya batalin aja ajakan kamu hari
ini?" Hartadi berbalik menghadap Velo sembari berkacak pinggang. Kulit
wajahnya agak memerah disebabkan terik matahari khas jam dua belas siang.
Velo tidak tau bagaimana Hartadi memandangnya sekarang. Velo pun tidak
tau siapa Hartadi di sampingnya sekarang. Velo hanya memegang tekad dan rasa
percaya yang dimilikinya untuk pria itu. Seketus apapun Hartadi terhadap Velo,
pria itu telah membagi banyak hal esensial sebagai bekal untuknya maju.
"Pak, ini mobil kepunyaan kantor atau pribadi?" rasa keingintahuan Velo
mendadak muncul, beserta niatnya ingin menutup kebisuan diantara mereka.
Tidak lupa dirinya memasang sabuk pengaman, karena suatu kemustahilan jika
Hartadi memasangkan benda itu untuknya..
"Cih... Kamu nanya sendiri, jawab sendiri. Kalau itu disebutnya apa, Vel? Stupid
atau Bodoh?" Hartadi tau benar tampangnya saat ini cukup sangar. Sesangar
matahari yang sepertinya membuat Velo takut akan terpapar sinarnya.
Sesaat Hartadi melihat ke arah Velo karena tidak terdengar sahutan dari
lawan bicaranya. Dia melihat Velo mengeluarkan satu strip permen karet rasa
blubery mint, lalu perempuan itu mengunyah dua butir permen sekaligus tanpa
membalas ucapan Hartadi lebih dulu. Tengilnya ini yang sejak dulu membuat
Hartadi kesal berhadapan dengan Velo.
"Oh.. Akad aja sekarang!" ketus Hartadi tanpa melihat Velo. Dan tiba-tiba
pergerakan refleks perempuan itu mengagetkannya. "Velo, ngapain kamu pegang-
pegang saya?!"
"Lah... Kan barusan Pak Har ngajakin saya akad, dan saya denger jelas banget
persis intonasi Bapak yang biasanya." Velo tidak mengindahkan protes Hartadi
yang terganggu akibat sentuhannya di lengan pria itu. "Berarti Bapak nggak ragu
lagi atas permintaan saya dong?"
"Ck... Apa sih kamu!" Hartadi menarik lengannya dari Velo. Kembali terulur bebas
untuk memegang setir Jeep yang terlapisi kulit.
Entah Hartadi harus menanggapi Velo secara sengit atau menertawakan
anggapan konyol yang bersarang di otak perempuan itu. "Kamu bilang suka sama
mobil saya, ya saya tawarin kamu buat akad mobil ini. Dan kalau kamu nggak
paham artinya, akad itu kata lain dari 'Sepakat jual-beli'."
"Hah... Hampir aja saya ngerasa diatas angin," sindir Velo atas kosakata yang
digunakn Hartadi. "Hmmp.. Hati-hati pakai kata akad sama saya ya, Pak. Seumur
hidup baru Pak Har yang saya kasih warning."
Hartadi mengusung senyuman penuh ejekan. "Bukan salah saya. Mungkin kamu
kurang gaul."
"Ih, mana ada saya kurang gaul?!" dengan wajah juteknya, Velo menatap Hartadi.
"Gini ya Pak, Bapak tuh harus waspada sama sisi lembutnya perempuan---
temasuk saya."
"Jangan sekali-kali buat perempuan baper kalau beneran nggak ada hati.
Maubdari kata-kata kek, dari perlakuan kek. Just DON'T" ucap Velo sambil
memangkas jarak bahunya dengan Hartadi. Berbisik di samping wajah pria itu
yang tengah mengarah lurus menatap jalanan. "Sidang paripurna aja kalah sama
dramanya perempuan yang sakit hati. Bapak pernah pengalaman kan?!"
Hartadi mengernyit ketika Velo selesai bicara, rasanya kesalahan tadi hanya
berpatokan pada kata akad-- kenapa jadi digurui oleh perempuan yang lima belas
tahun lebih muda? "Saya nggak ada niatan buat bukin kamu baper."
"Makanya saya ulang, siapa tau miaakom kyak tadi lagi. Kalau Bapak masih fifty-
fifty sama saya, jangan sampai saya baper duluan. Lebih baik Bapak judes terus
sama saya biar aman." Velo mencari tissue di dalam tas-nya, lalu membuang sisa
permen karetnya pada tissue dan disimpan untuk dia buang nanti.
"Well... Jujur aja ya Pak, laki-laki macem Pak Har ini yang bisa buat saya
terpesona tanpa harus banyak aksi. Bapak keren loh, sadar nggak?" ucap Velo
yang terbilang santai. Dia jelas-jelas sadar telah menggoda Hartadi. Yang
diakuinya begitu jantan dan tampan pada hari ini.
Ck... Keren?
Batin Hartadi geli saat mengulang ucapan Velo.
"Mau makan dimana, Pak?" ceetuk Velo pada akhirnya, sebab bingung tidak tau
ke mana arah mereka sekarang ini.
Velo melihat Hartadi yang sedang memyetir mobilnya melewati sungai Mahakam.
"Saya nggak vegan sih, defisit kalori aja supaya timbangan stabil. Boleh saya
request makan siang selain nasi padang?"
"Ck... Urusan makan aja ribet kamu, Vel. Di rumah makan padang kan ada ayam
bakar, saya denger itu aman dikonsumsi orang yang lagi diet." ucap Hartadi tidak
heran kalau Velo mengtur setiap makanan yang masuk ke tubuhnya, larena
penampiln Velo selalu tampak ideal.
"Saya nggak diet, Pak...." sergah Velo meralat dengan penuh penekanan. "Cuma
ngatur jumlah kalori yang di konsumsi setiap hari aja kok."
"Hah... Itu sih hanya permainan nama aja, ujubg-ujungnya tetep diet. Udah Vel,
makan nasi padang sekali ini nggak akan ngejebol timbangan kamu." Hartadi
menunju sebuah rumah makan padang yang semakin dekat di depan mereka.
"Tuh, langganan saya makan disini. Simpang Raya."
"Cih... Nggak ada bosennya ya, dari dulu makan nasi padang." gerutu Velo
disertai alis yang menukik kesal.
"Dijaga makannya dong, Pak. Jangan keseringan makan yang bersantan. Mau
semuda apapun penampilan Bapak dibanding umur, Bapak tetep udah tua."
Velove mwnahan senyum ketika mengusili Hartadi. "Pak Har emang harus
secepatnya beristri, biar ada yang ngingetin ini dan itu, saya bener kan?!"
"No comment lah kalau udah bawa-bawa istri." Ketus Hartadi mendengar Velo
yang terus melibatkan topik yang amat sensitif untuk dibicarakan sekarang. Tak
lama, suara kekehan Velo pun memenuhi kesunyian diantara mereka.
Rahasia Velove
(VELOVE POV)
Kedua mata gue membelalak saat rokok yang baru saja gue ambil dari
dusnya berpindah tangan tanpa aba-aba.
"Sejak kapan kamu ngerokok?" tanyanya sambil membawa rokok yang dia rebut
ke dalam bibirnya lalu menyalakannya. "Kamu tau risiko perempuan yang
bersahabat dengan barang ini, kan?"
Gue akuin emang kerap kali perempuan yang merokok dipandang sebelah
mata, diberi cap sebagai perempuan nggak bener, bahkan... Sampai nggak
dihitung sebagai menantu idaman. Tapi, Gue... Nggak peduli. Hidup gue aja udah
rumi, masa iya mau diperumit lagi sama hal-hal receh kayak gini! Dan
seenggaknya gue mampu 'Menempatkn Diri' dan memilah waktu yang tepat
untuk menyesap benda kesayangan gue itu.
"Tanpa rokok, udah pasti saya penggemar berat alkohol. Ada kalanya saya males
ngobrol sama yang berjiwa, Pak. Jadi butuh rokok buat ten menyendiri. Alasan
saya ngerokok klasim aja, bukan ikut-ikutan lingkungan pertemanan saya. Lebih
tepatnya buat ngelepas stress." Gue liat Hartadi udah dengan nyamannya
menyesap rokok punya gue.
"Saya lepas penat pakai rokok sejak kuliah sampai sekarang. Bedanya nggak
sesering kamu yang mungkin bawa rokok kemana-mana. Tiap saya ngerokok, itu
reward buat saya setelah fase berat selesai." pandangan kita beradu saat dia
menuesap lagi rokoknya.
Duuuhhh... anaknya siapa sih? ngerokok aja udah keliatan manly banget.
"Fase berat?" Dia cuma ngangguk sambil nyender di badan mobil dan gue pun
ikut nyender juga. Gue perhatiin gerak gerik Hartadi saat dia memandang sungai
Mahakam yang tersaji di depan mata. Pemandangan yang telah menemaninya
bertahun-tahun.
"Saya juga manusia biasa, Vel. punya masalah di kerjaan, di kehidupan..." Gue
hanya mendengus mendengar alasan pria di samping gue itu.
"Trus kenapa sekarang ngambil rokok saya? Apa saya jadi penyebab stress Bapak
sekarang?" Gue sengaja mancing doi biar doi dongkol, sedongkol gue yang ga jadi
ngerokok gegara dia ambil.
"Jangan terlalu anggap kamu masuk dalam perhitungan saya. Jujur aja, saya
lebih stress memghadapi ormas di sekitar kantor, dibandingkan kamu." ucapnya
sambil menjentikan abu rokok. "Saya cuma nggak suka kamu ngerokok di depan
saya. That's why, i stole your cigarrete."
"Saya nggak akan ngerokok di depan Bapak lagi dan tentu aja belajar lepas dari
rokok, asal Bapak ngejadiin saya istri. Inget tujuan saya ke sini kan?" Gue harus
mengenai inti dari pertemuan hari ini. Kali ini gue udah siap yang artinya gue
nggak akan kalah kalau Hartadi menolak lagi. Masih ada waktu selama gue
berada disini.
"Cari alasan lain supaya kamu berenti ngerokok. Untuk apa dikaitin jadi istri
saya? Ada-ada aja kamu!" gue cuma bisa menghela napas dengan sabar dengan
kata-katanya yang tajam dan terkesan dingin.
"Ck... Jangan dulu berpikir saya terlalu resek buat dijadiin istri. Saya
kesayangannya Eyang Putri, sampai beliau selalu ngejodohin saya ke laki-laki
yang dirasa beliau hebat. Sampai sini Bapak paham artinya kan? Padahal, saya
bukan keturunan Bratadikara yang wajib Eyang Putri arahin." ucap gue
menangkis balasan Hartadi dengan kalem.
Yupz itu sebuah kebenaran yang mungkin orang lain ada yang tau dan ada
juga nggak tau. Gue dan Hartadi tidak mengaliri darah yang sama, tapi gue
mendapatkan ketulusan yang luar biasa dari Eyang Putri yaitu Wening
Bratadikara. Dia adalah Ibu dan perempuan yang paling disanjung dan dihormati
oleh Hartadi Lewandowski Bratadikara. Kalau Eyang menaruh kasih sayang
berikut kepercayaan sama gue, udah jelas dong gue adalah orang yang dinilai
oleh beliau mempunyai tata krama yang bagus juga menyenangkan... mungkin
ya... Soalnya dari sejarahnya juga susah banget memenangkan hati dari Ibu
empat anak itu.
Gue pertama kali ketemu sama Hartadi masih dalam versi cilik. Kala itu
Gue masih pemalu, berseragam sekolah swasta dengan motif serangam kotak-
kotak dan memakai kaos kaki yang hampir mencapai lutut. Gue inget banget
oada saat itu pertemuan kita sangat canggung nggak tau harus bicara apa. Dan
dengan keberanian yang gue miliki gue yang lebih dulu nyapa dan nyalimin pria
yang oada saat itu sudah mengantongi gelar sarjana.
"Hmmh, dari semua cowok yang dikenalin Ibu saya, apa satu dri mereka nggak
ada yang menurutmu pantas jadi suami? Ibu nggak mungkin ngenalin kamu ke
sembarang laki-laki. Atau---" Hartadi menjeda ucapannya sembari menajamkan
pandangannya ke arah gue. "Kamu memang sengaja anggap mereka nggak
pantas, karena mereka bukan 'Saya' kan?"
"Saya siapa sih Pak? Pindah nama keluarga dari El Williams ke Bratadikara aja
saya udah bersyukur banget. Saya nggak akan semena-mena sebut orang lain
pantas atau nggak. Saya nggak sespesial itulah Pak sampai harus pasang rules
tinggi untuk pasangan hidup. Ngeribetin diri sendiri? of course Not." sambil gue
geleng kepala dan nerawangin pandangin gue ke sungai Mahakam menjeda apa
yang akan gue ungkapin selanjutnya. "Bagi saya, ada yang lebih penting dari
sekedar laki-laki baik dari keluarga baik-baik. Dan, hal itu saya liat ada di Bapak.
Bukan laki-laki lain."
"Sekarang buat saya ngerti kenapa harus saya pilihan kamu?" wajah Hartadi
mulai mengeras. dia ingin dibuat mengerti dengan mudah, enggan dipersulit oleh
perkara yang indungnya bersumber dari gue.
Okay... Sekarang saatnya gue mulai buka rahasia kehidupan gue. Gue
merileks'kan badan gue mencari posisi ternyaman gue agar lebih nyaman
berbicara dengan Hartadi yang tampak sengit dan seakan nggak mau lagi
mendengar berbagai alasan yang kurang nyata.
"Ada orang yang punya obsesi besar ke saya, obsesi yang salah tempat, dan
semakin lama hampir ngelecehin saya. Saya nggak bisa anggap perhatiannya
bentuk dari kasih sayang, itu alasannya saya sebut 'Obsesi'." Gue menghela
napas menetralkan emosi gue. "Saya anggap Pak Har kunci kehidupan saya.
Karena, sampai keriput pun saya nggak akan bisa nikah selama orang itu ada---
kecuali Bapak bersedia ngendampingin saya sebagai suami. Orang itu pinter jadi
dalang hancurnya hubungan saya sama pasangan yang lalu-lalu." Gue angkat
kepala gue dengan berat dan ngeliat ekspresi Hartadi berubah tegang.
(AUTHOR POV)
Tak terbesit dalam benak Hartadi, jika perempuan independen dan percaya
diri seperti Velo sebagai korban dari laki-laki berotak kadal dengan nafsu
sampah. Namun, ia merasa sesuatu masih mengganjal.
"Apa pengaruhnya kalau orang itu tau saya calon suami kamu?"
"Orang itu nggak bakal lebih berani macem-macem ke saya lagi. Pastinya, dia
perhitungin Bapak dan semua yang Bapak punya." jelas Velo terdengat tenang,
suaranya tidak bergetar seperti sedang menceritakan kisah orang lain. Bertahun-
tahun Velo memendamnya sendiri, begitu handal dia mengatur emosi agar
tercermin bahwa ia baik-baik saja.
Velo membutuhkan waktu dan menunggu lama untuk momen ini, agar
keresahan dan ketakutannya dapat tersampaikan pada orang yang tepat.
"Kurang jelas, Velo." tandas Hartadi menahan geram akibat merasa tidak puas,
namun kewaspadaannya kian meningkat. "Siapa oramg yang kamu bahas ini?
Saya pasti kenal orang itu kan?"
Tidak ada kesempatan bagi Velo untuk berkelit. Semalam dia sudah
memikirkan lebih masak. Lagipula, Velo memang tak punya rencana menutupi
kebenaran apapun dari Hartadi. Velo akan memberikan kejujuran yang Hartadi
mau, karena mustahil pria itu mempertimbangkan permintaannya tanpa latar
belakang yang jelas.
Cinta akan menjadi bahan olokan Hartadi, jika Velo sampai berani
menyeret kata itu untuk berdalihdari fakta yang dia tutupi. Ia pun sudah
mengatakan tentang obsesi seseorang yang mendasarinya memilih Hartadi untuk
mengikatnya sebagai suami.
"Harus saya ulangi pertanyaan yang belum kamu jawab sebelumnya, Velove
Bratadikara?" Hartadi memberi tekanan pada setiap katanya, matanya pun
menyipit ketika menatap Velo untuk meminta jawaban.
Sebuah Nama
Rupanya Velo berhasil mempengaruhi Hartadi. Lihat saja, Hartadi yang saat
ini tidak sabar menanti rasa penasarannya terpuaskan. Tentang siapa yang
terobsesi dan hampir melecehkan Velo.
"Iya, Bapak dan orang itu saling kenal." Velo mengutarakannya denga ringan,
namun ia dapat melihat pendar cemas dari sepasang iris Hartadi. Rasanya,
Hartadi punya firasat kalau dia akan mendapat lkan Sebuah Nama yang tidak di
sangka-sangka.
"Adiputra Bratadikara, yang tak lain adalah suami dari Mami saya, Kakak laki-
laki kedua dari Pak Har. Orang yang selama ini saya panggil 'Papi'." jelas Velo
sembari berterima kasih pada dirinya yang sudah bertahan selam ini, menyimpan
nama sumber masalahnya tanpa seorang pun tau.
Sekian detik berlalu, tidak ada pertanda balasan dari Hartadi. Tatapan Velo
bermuara pada wajah pria itu seraya bertanya-tanya. Apa Hartadi tak cukup
percaya sehingga sulit untuk pria itu memberikan respons? Bila Hartadi berfikir
terlalu jauh, bisa saja pria itu mengira Velo merancang sebuah kebohongan
untuk menjebaknya dalam pernikahan. Sebaliknya, jika Hartadi sedikit mengenal
Velo, pemikiran tidak berdasar seperti itu harusnya terlewatkan.
Pria menarik dan punya kuasa layaknya Hartadi sudah pasti menggiurkan
bagi perempuan sekelas dan seusia-- ia akui, tapi tidak menjadi alasan Velo
membuang-buang waktu mengemis pada Hartadi untuk menikahinya.
"Saya nggak tau pastinya dari kapan, tapi Papih nunjukin tanda-tandanya dari
saya masuk SMA." Velo menatap lekat Hartadi. Menahan ringisan yang berpusat
pada siku kanannya, Velo berdehem agar suaranya tidak terbata-bata. "Bapak
nggak tanya kenapa saya diem aja selama ini?"
Velo menatap Hartadi, tidak menyangka pria itu mengerti tanpa di jelaskan.
Velo memgukir senyuman penuh arti.
"Eyang Putri bangga, Papih bisa duduk di kursi kementrian. Papih ngerangkul
Mamih dari kesendirian, menghadiahi kami keluarga yang hangat dan tercukupi.
Sedangkan
Bara, Badar, Badil, Bariq, Basha, Binad dan Biyan punya sosok Papah yang
diidamkan, bisa kasih mereka apa aja. Gimana saya bisa maen tega sama
mereka?"
"Menurutmu dengan kita menikah, saya bisa ngelepas kamu dari Mas Adi tanpa
menyakiti mereka?" Hartadi mendapat anggukan dari Velo, dia pun menyingkir
dari hadapan perempuan itu agar mengistirahatkan punggungnya di badan mobil.
***
(HARTADI POV)
Shiiit!!!
Gue bangun dari posisi gue yang tadinya tiduran di kasur. Gue bener-bener
nggak bisa tidur barang sejam pun. Kepala sama tengkuk gue mulai kerasa berat.
Dengan mengalirnya cerita yang nggak mengenakan dari Velo, Gue jadi ngerasa
nasih perempuan itu sudah dibebankan ke pundak gue. Walaupun tadi siang,
Velo hanya menjadikan gue teman bercerita yang sepertinya memang dibutuhkan
Velo sejak lama.
Kok bisa perempuan itu cerita kayak nggak ada beban sama sekali padahal
masalahnya sangat berat. Dia sangat tegar meskipun tadi sempat gue lihat sekilas
sengat kepedihan tercermin dari matanya dandengan bodohnya gyesih aja
keingetan sama dia sampai detik ini.
Gue beranjak dari tempat tidur lalu jalan ke dapur sekedar mengambil minum
untuk membasahi kerongkongan gue yang kering.
Ya... memang seberapa tegar Velo yang tampil di depan gue, tetep aja dia pasti di
gembleng habis-habisan untuk dapat bertahan disekitar Mas Adi. Dan pastinya
dia berakting menjadi anak perempuan sulung yang bahagia, sementara Velo
yang di balik layar harus gigit jari karena dicintai dengam tidak benar oleh suami
Ibunya.
"Mikir, Har, mikir... Pakai otak baik-baik!" gue berusaha menyadarkan diri dan
berfikir cepat apa yang harus gue lakukan selanjutnya.
Ddrrrrttt...
Gue liat Handphone gue yang gue simpen diatas meja makan bergetar. Gue lirik
sekilas layar handphone gue dan melihat sederet nomor yang nggak gue kenal
sebelumnya.
Siapa yang ngehubungin nomor pribadi gue selarut ini?
Gue putuskan buat jawab panggilan itu tanpa menjawabnya. Dan ternyata
diseberangnya pun ikut terdiam selama lima belas menit. Sampai akhirnya
dengusan malas terdengar dari seberang dan dengan jelas gue mengenali suara
itu. Dan sudah jelas telepon ini diluar kebiasaan pria itu.
"Belum tidur jam segini?" ucapnya seolah-olah tau banget jam tidur gue. "Ini aku
loh, Har. Adi. Aku telepon dari nomor yang biasa di pakai untuk urusan kantor."
Ck... alasan!
"Oh ya? Ada gerangan apa kamu telepon aku? Seingatku Mas, kamu telepon
setahun sekali aja sebelum masuk bulan puasa. Apa iya besok puasa lagi?!"
"Cih... Salut nih Har. Nggak ilang-ilang mulut pedas kamu dari dulu." Gue cuma
diem males berbasa basi karena gue memang nggak pernah basa-basi sama orang
maupun keluarga.
"Aku telepon nggak ada apa-apa, mau mengonfimasi info yang ku dapet aja.
Kantor Velo dan kantor kamu ada hubungan apa sampai tiba-tiba dia disana?"
tanya Mas Adi tanpa indikasi curiga kalau gue udah tau kebusukannya.
Gue cuma bisa ketawa dalam hati mengejek strategi Mas Adi untuk mengorek
informasi Velo darinya. Kalo aja Velo nggak membongkar belangnya Adiputra
lebih cepat, Gue pasti akan menganggap panggilan telepon ini adalah sebatas
kekhawatiran Mas Adi sebagai ayah Velo.
"Kenapa nggak konfirmasi langsung ke Velo? Aku nggak bisa asal kasih tau
project kita tanpa persetujuan Velo." ucap gue menutup akses informasi buat Mas
Adi dengan tenang, sebisa mungkin tidak ada jejak kebohongan dari suara gue.
"Ck... Kayak ke siapa aja sih kamu Har--- Dia pergi nggak ngabarin loh, Maminya
telepon nggak diangkat. Biasanya sering chat sama c'kembar, taoi ini ibarat
ngilang. Makanya, aku hubungin kamu. Ya... khawatirlah aku!"
"Mas, terima kabar dari siapa Velo disini? Mbak Asri aja nggak tau, ini kok
langsung dapet lokasinya Velo." ucap gue ketus nggak peduli atas keterangan
bertele-tele Adiputra.
Ck... dia pikir gue bisa dikelabuinya? Pengen banget rasanya ngehajar Kakak gue
yang satu ini...
Ya... sejak remaja memang gue dan Mas Adi nggak pernah akur bahkan
sering bertengkar sampai ngeluarin bakat bela diri masing-masing. Jujur Gue
nggak suka sama pria manipulatif dan mengesalkan macam bedebah satu ini.
Pengalaman hidup serumah dengan Adiputra membuktikan bahwa seorang kakak
tidak berarti memiliki kedewasaan yang lebih matang dari adiknya, trust me.
"Cih... Belum jadi presiden tapi kamu udah siapin antek-antek untuk keluarga,
ya? Hebat benar anaknya Pak Triawan dan Bu Wening ini. Hmm.. Kenapa nggak
sekalian aku diawasin?!" sengaja gue ngomong sarkas sama dia karena ingin
membuat Mas Adi tersinggung.
"Ck... Bikin kesal aja kamu malem-malem!" dia mulai mencibir terdengar dia
sedang menahan emosi, sesuai target gue.
Gue terdiam berfikir tentang semuanya sikap janggal Adiputra pada Velo dan apa
yang akan gue lakuin ke depanya sama Velo.
"Urusanku sama Velo lah mau ngapain di sini. Intinya, she's alright. Nanti aku
kabarin kalo udah di Jakarta, supaya kamu tau kami disini lgi ngurisin project
apa." jawab gue seakan ngasih kesan misterius.
"Ada apa ini?" ucap Dia merendahkan suaranya. Kayaknya dia udah mulai
mencium indikasi antara gue dan Velo. "Velo itu kesayangan keluarga, Har. Awas
kamu macem-macemin dia. Project bodong itu nggak ada kan? Karangan kamu
aja ini pasti!"
"Cih.. Protective banget ke anak perempuanmu, Mas?" Dan sekali lagi Gue
membakar emosi Adiputra. "Pas kamu mau nikahin Mbak Asri, aku sempet ragu
loh kamu bisa sayangin Velo atau nggak. Tapi, keraguanku kayalnya salah."
"Aku protectivecsama Velo, karena dia putriku satu-satunya. Dan gimana aku
nggak sayang sama Velo? Dari kecil udah ikut aku dan selalu jadi anak baik. Ada-
ada aja kamu!" bantahnya.
"Tapi, sayangnya Velo bukan anak-anak lagi. Ada baiknya kamu kasih
kelonggaran pengawasan Velo. Anak kamu ounya orivasinya sendiri, Mas. Apa
seusia Velo dimata kamu masih kecil?" Singkat aja sih bagi gue buat nonjok ulu
ati Mas Adi dengan kalimat gue yang sarkas.
"Hah... Oke deh, Har. Kalo mialnya kamu jadi ke Jakarta pangsung kabarin aku.
Udah dulu teleponnya besok pagi-pagi ada rapat, jadi mesti cepet tidur." ucapya
langsung menutup teleponnya.
Ck... Untung anak kamu sesabar Velo, kalo dia sampe ngadu ke Eyangnya. Habis
kamu disidang sekeluarga.
Setelah itu gue nggak peduli sekarang jam berapa, saat ini gue berusaha
ngehubungin Velo.
"Hmm.. Halo!" suara serak khas bangun tidur terdengar di balik telpon.
"Vel, Saya minta kamu denger baik-baik---"
Ya... Gue udah buat keputusan besar yang artinya akan melahirkan lembaran
baru buat gue. lembar yang seharusnya dijalankan dengan serius.
***
(AUTHOR POV)
“Maaf ini siapa ya? Punya keperluan apa telepon saya tengah malem gini?” Tanya
Velo sedikit jutek, karena paling menyebalkan untuknya ketika bangun tidur
disebabkan oleh rasa terkejut. “Kalau untuk keperluan kantor, saya sedang cuti.”
“Ck… Orang bicara itu baiknya kamu dengerin, dibandingkan kamu suruh diam.
Justru tindakan tadi yang bikin kamu bingung, siapa sih yang telepon tengah
malem?” komentar Hartadi mendapatkan balasan yang tidak biasa.
"Makasih loh pujiannya. Saya paham Bapak biasa denger suara perempuan yang
seksi-seksi. Apalah saya Velo si Marmut." Velo membalasnya dengan candaan
yang membuat Hartadi berdecak malas.
"Pak, saya udah selesai minumnya," lapor Velo semakin siaga mendengarkan
tujuan Hartadi menelepon dan bahlan rela menunggunya untuk minum. Ini pasti
hal yang penting, paling tidak untuknya.
"Kamu hotelnya dimana? Masih sanggup begadang nggak?" ucapnya tegas karena
Hartadi pikir mereka tidak bisa mendiskusikan keputusan besarnya melalui
telepon, karena pasti akan berpotensi menghasilkan salah paham.
What the---
Velo mengusap bibir bawahnya yang kemerahan selagi berupaya
memahami maksud pertanyaan Hartadi.
"Bapak abis minum?" dengan blak-blakan Velo mempertanyakan kondisi terkini
Hartadi yang diragukannya stabil.
"Saya pikir kan ya gitu deh, Pak..." Velo tidak sanggup lagi melanjutkan
kalimatnya, alhasil jadi belepotan sendiri. "Saya shareloc aja ke WA nya Pak Har,
ya? Saya juga sanggup begadang kok, tadi udah sempet tidur soalnya."
"Ya udah, share aja. Saya bentar lagi ke tempat kamu. Jangan lupa telepon
resepsionisnya, supaya kamu nggak harus turun dan saya nggak repot minta
akses lagi. Oke?"
***
Selagi menunggu Hartadi sampai, Velo merenungkan sikap pasifnya yang
tidak membalas satupun pesan dari Ibu dan ketujuh adik-adiknya. Velo tidak
bisa berbohong, jadi lebih baik dirinya tidak mengabari mereka dan secepatnya
kepentingannya di Kalimantan.
Mami
Sayang, kamu lagi nggak di Apartement kan? Kamu dimana, Nak? jangan bikin
Mami migrain
Bara
Kak, Lo dimana sih? Nggak usah sok sok'an kabur deh...
Badar
Kemana sih? Gue takut lo di culik Kak, asli.
Badil
Kak, jangan bikin kita stress gara-gara lo ngilang dong
Bariq
Kak... Marah ya?
Basha
Kak Velo.... Kakak ga sayang sama kita ya? kok Kakak pergi gitu aja tanpa ngasoh
tau kemana?
Binad
Cowok mana yang bawa lo pergi kan? biar gue hajar!
Biyan
Woy... Paling ga kasih kabar napa? pergi diem-diem bae!
"Enggak Vel, Lo nggak cengeng!" gumamnya pada diri sendiri sambil mengipasi
wajahnya agar panas yang menyengat mata tidak terasa lagi. "Iihh.. Pak Har lama
banget deh, padahal kan jalanan sepi di jam-jam segini!"
Dan benar saja, Hartadi pun datang lima belas menit kemudian sembari
menenteng dua gelas kertas yang Velo pikir iti pasti kopi. Tidak sampai disitu,
Hartadi memberikan gelagat aneh ketika enggan masuk, tanpa memperdulikan
pintu yang dibuka lebar oleh Velo.
"Pak, nunggu apa lagi sih? Ayo masuk!" ucao Velo untuk yang kedua kalinya,
agak senewen memang menghadapi Hartadi meskipun malam ini penampilannya
memikat mata.
Terkadang orang sering berkata benar jika seiring bertambahnya usia, pria
akan semakin matang dan berwibawa. Beberapa tahun Velo pernah mencibir
kata-kata itu dan menilainya tidak benar, tetapi sekarang dirinya ditempeleng
oleh kata-katanya.
"Saya serius loh Pak..." ucap Velo sambil bersandar di pintu kamar hotelnya,
bertatapan dengan Hartadi yang menatap ke arahnya dengan dingin. "Mau masuk
nggak? Terus itu kenapa liatin saya nya gitu banget, ya? Menurut saya tatapan
Bapak sangat kurang sopan. Namanya baru bangun tidur, ya maklumin ajalah
kalau saya kusut."
"Lebih sopan mana sama kamu yang nyambut tamu di jam tiga pagi, tapi nggak
pakai bra?" ucap Haryadi sambil melengos dari Velo. Ucapannya tetep ya dalam
mode dingin, tapi ahartadi bermaksud baik mengingatkan Velo yang mungkin
lupa memkai benda keramat itu di tubuhnya.
“Bra?” Alis Velo bertaut ketika mengulang kata terakhir yang terucap dari
Hartadi. Matanya segera turun ke bawah untuk memastikan apakah benar ia
tidak menggunakan pakaian dalam, seingatnya tadi— “Oh, shit!”
“Yeah, shit,” timpal Hartadi diikuti perasaan lega melihat Velo menyadari
kecerobohannya sendiri.
“Tutup pintu. Jangan buat saya nunggu lebih dari lima menit. Oke, Vel?”
“Ck… Dari tadi dong bilangnya, Pak. Enak banget curi star duluan. Inget ya, kita
belum sepakatin apa-apa.” Wajah Velo keruh ketika menutup pintu cukup keras
di depan Hartadi, tak peduli kritik Hartadi mengenai sopan santun terhadap yang
lebih tua.
Sedangkan di lorong hotel, Hartadi memandang pintu bertuliskan tiga digit angka
tersebut dengan dengkusan heran. “Curi star apanya sih anak ini? Suka ngasal
kalau ngomong.”
Mulut Hartadi boleh bicara sesuai skenario yang ia mau. Bersikap enteng
seolah yang dilihatnya tadi tidak memberi efek apa-apa. Namun dirinya lantas
mengulum bibir, ketika benaknya memproyeksikan bayangan samar dari balik
terusan tipis selutut yang dipakai Velo.
Pemandangan yang memang tak diperhitungkan pada saat Velo membuka
pintu kamarnya, sukses menguji sisi tergelap Hartadi. Untung saja kewarasannya
masih sekokoh akar. Terkadang Hartadi lupa jika Velo sudah bertransformasi
menjadi perempuan dewasa yang menawan dan… seksi.
Bunyi kunci yang sedang diputar terdengar dan Hartadi menyabarkan diri
hingga Velo kembali berdiri di ambang pintu. Alis Hartadi terangkat satu, Velo
telah mengganti terusan tipis yang membahayakan tadi dengan kaos putih dan
sweatpants hitam.
“Beli kopi di mana, Pak? Di sini lumayan susah cari Star*** ya, kemaren
ketemunya di Big Mall Samarinda.” Velo melirik gelas kertas di tangan Hartadi
yang ebetulan sedang melangkah masuk ke dalam kamarnya.
“Saya beli di bawah. Mereka melayani dua puluh empat jam.” Hartadi
mengedarkan pandangannya ke seisi kamar hotel yang di tempati Velo. Sesuai
perkiraannya sebelum datang ke sini, perempuan itu memilih kamar yang paling
berkelas.
“Kamu masih terima uang bulanan dari Mas Adi?” Hartadi tiba-tiba dibuat
penasaran dengan pemasukan Velo, apakah murni hasil kerja keras perempuan
itu sebagai sekretaris teladan atau ada campur tangan dari Papa tirinya.
“Papih masih ngirim uang setiap bulan, malah setiap minggu kadang-kadang.
Cuma saya nggak pernah pakai lagi dari mulai magang, merasa udah mandiri aja
secara finansial.” Velo menerima gelas kertas yang diangsurkan Hartadi. “Nggak
enak juga keterusan pakai uang Papih, nanti jadi lampu hijau buat Papih terus
fokus ke saya.”
“Gimana karir kamu sebagai sekretaris? Sejauh ini oke-oke aja atau punya
pencapaian tertentu?” Tanya Hartadi masih menjaga percakapannya dengan Velo
berjalan santai, lalu menyuruput kopi hitamnya yang dia bawa tadi.
“Karir saya begini-begini aja, flat dan nggak mungkin mengalami banyak
peningkatan. Mau sampai kapan juga, profesi sekretaris yang pro dan makmur
tetep ditentukan dari seberapa tinggi profesi orang yang kita dampingin.” Velo
menjawab diplomatis.
Dari gelas kertas yang dipegangnya, Velo dapat mencium aroma khas vanilla latte.
“Kebetulan saya gandeng direktur tertinggi kedua di Almeda Group, orangnya
santun dan nggak pernah mempersulit kerjaan saya. Ukuran gaji, cukup puas
karena setara sama tanggung jawab harian saya.”
“Ada kerjaan sampingan yang kamu punya?” itu pertanyaan lain dari Hartadi,
sengaja ingin mendengarkan lebih banyak cerita kehidupan Velo.
Membalas Hartadi di awali anggukan, Velo tersenyum tipis. “Usaha kecil. Saya
jualin tas, dompet, dan belt dari brand semacam Coach dan Tory Burch. Lumayan
untuk jadi sampingan,” jawabnya ringan.
“Link siapa yang bantu kamu oper barang dari luar?” Tanya Hartadi lagi.
Hartadi berpikir, apa mungkin hal-hal semacam ini juga diketahui
Adiputra? Hartadi tidak bisa menghilangkan prasangka, karena bajingan itu
mengutus seseorang untuk mengintai Velo.
Kenapa Kakaknya itu senang mempersulit diri dengan menyukai anak
tirinya sih? Batin Hartadi kesal.
“Saya punya sahabat di Canada yang jadi personal shopper selama usaha ini
jalan. Jadi, kita tek-tokan aja dan bersyukur nggak pernah berselisih. Sama-sama
jaga kepercayaan,” ucap Velo santai dan mengingat seorang lainnya. “Admin dan
pengiriman dipegang satu orang, kapan-kapan saya kenalin.”
“Berarti kamu financially stable? Serratus persen nggak ada campur tangan Mas
Adi lagi?” selidik Hartadi lebih serius.
Velo tidak kalah serius dari Hartadi, ia mengangkat dagu dan senyum tersungging
apik dari bibirnya yang penuh. “Seratus persen. Saya bisa jamin nggak lagi
bohong ke Bapak. Rekening tempat Papih biasa ngirim uang itu beda sama yang
bener-bener saya pakai. Ibaratnya, itu rekening mati.”
“Bagus. Sya suka langkah kamu ngehindarin Mas Adi sejauh ini. Jangan pernah
sekali-kali pakai uangnya lagi, ngert?” Hartadi mendapat persetujuan Velo dari
simpul tangan membentuk OK.
Hartadi lalu menatap lurus lawan bicaranya yang berwajah oval dengan rambut
panjang membingkai wajah.
“Vel, sekarang saya Tanya dan tolong kamu jawab sesuai hati. Apa artinya
pernikahan untuk kamu?”
(VELOVE POV)
"Apa artinya pernikahan untuk kamu?”
Andai aja gue jadi perempuan biasa yang impiannya punya kisah romansa
yang penuh romantis, dan itu tahapanya katanya memang sangat mudah yaitu
kita hanya harus jatuh cinta, mengupayakan cinta itu di sambut, daaan menikah
sama orang yang gue cintai paalda tahap terakhir.
Tapi sayangnya, kesempatan semua itu sirna di kehidupan gue karena
perilaku nggak bener dari papih tiri gue yang bikin risih bukan main ya Lord. Gue
pengen banget segera nikah sama laki-laki yang gue yakini bisa ngelindungin gue,
nggak masalah buat gue kalo belum saling menyayangi ataupun mencintai.
Kalau calon suami gue bersedia memegang janji pernikahan, gue nggak
keberatan buat belajar menyayangi dan mencintainya. Gue percaya cinta dan
sayang itu bagaikan tunas, yang dapat hidup dan tumbuh kalau setiap hari
disirami, namun bisa mati kering ketika tak mendapatkan perhatian dari sang
pemilik.
"Hah... Arti pernikahan buat saya adalah ikatan komitmen dengan teman hidup.
Ada segelintir orang yang menikah untuk nimbun aib, berkoalisi urusan bisnis,
sampai hasil perjodohan. Apapun bentuk pernikahan yang melandasi saya nanti,
saya nggak mau main-main.
"Hm.. Jawaban kamu barusan biij saya mikir, kalau kamu bisa bener-bener
memposisikan diri sebagai istri dan melayani suami..." Gue tau Hartadi tidak
menggampangkan diri untuk pecaya begitu saja.
Tipe perempuan ibukota masa kini kayak gue, Hartadi pasti tidak tutup
telinga tentang hal itu. teman-temannya juga udah pasti banyak yang sudah
menjalani biduk rumah tangga. Pasti di suatu kesempatan mereka berkumpul,
berlapis-lapis cerita mengenai pasangan dan kehidupan rumah tangga mereka
pasti tidak terelakan.
"Saya mau jadi istri yang baik untuk suami. Termasuk melayani kebutuhannya
dalam bentuk apa aja, selagi bukan menjerumuskan ke hal negatif." mulut gue
tak gentar merayu Hartadi, agar mempertimbangkan masak-masak ikatan yang
gue tawarkan. "Hidup saya pengen damai aja kok Pak, kenapa harus dibuat
susah? Emangnya mau nikah lebih dari sekali?" ucap Gue sambil meletakkan
gelas kopi ke meja lalu ngeliat Hartadi dengan lekat-lekat begitupun juga dengan
Hartadi yang mulai ngeliat gue dengan lekat dan penuh keseriusan. "Pernikahan
itu sakral Pak, saya juga ingin menikah sekali seumur hidup, saya juga nggak
mau gelar janda karena pernikahan dijadiin permainan. Apa yang saya minta ke
Bapak, itu sebuah keseriusan.
Sebisa mungkin gue nggak salah tingkah saat memandang netra Hartadi
yang nggak lepas dari mata gue barang sebentar. Kelerwng hitam yang gue
pandang itu cukup tajam, namun terkesan sensual, yang jujur saja agak
mengganggu ketenangan dalam hati gue. Gue pun mengubah posisi duduk gue
dengan bersandar dengan nyaman ke sandaran sofa.
"Saya sering jadi bahan gosip di kantor. Dibilang pacaran dan simpenan bos ini
bos itu, tapi saya nikmatin aja dengan pede. Aslinya, boro-boro simpenan, mau
ngedate aja halangannya banyak. Ya karena ulahnya Papih." ucap gue sambil
senyum masam mengingat masa-masa itu.
Gue liat rahang Hartadi sedikit mengeras, namun perubahan emosi tidak
tercermin di wajahnya.
"Mereka yang ngegosipin emang tahu kehidupan asli saya? Paling mereka nilai
saya dari ngerokok. Sepele kan? Padahal rokok itu pajangan luar dan langsung
bikin orang ngejudge saya nakal." ague terdiam menjeda omongan yang kan gue
utarakan ke dia. "Emang di mata Bapak, saya semeragukan itu ya, untuk
dijadikan istri?"
"Giliran saya yang ngomong sekarang, bisa?" Ekspresi Hartadi tidak menuntut
Gue untuk diam, namun dari riak suaranya gue tau dimana gue harus berenti
dan mempersilahkan dia untuk bicara.
"Saya paham disini kamu nggak punya niat lucu-lucuan, atau sekedar asal
tembak saya mau jadi suami kamu. Masalah Mas Adi memang hsus dicari jalan
keluarnya, saya setuju kamu nggak stuck." Dia ngeliat gue yang diam merhatiin
penjelasannya dengan tenang.
"Dan sekarang kamu mau nyeret saya diantara kamu dan Mas Adi, gila sih saya
kalau main setuju. Sederhananya, kamu tau kan hidup saya penuh pertimbangan
dan kamu juga tau kalau saya nggak suka salah langkah."
"Apa aja yang saya tanyain ke kamu tadi, itu semua punya andil ke saya biar
keputusan saya matang. Saya nggak bisa bilang keputusan yang terbaik, tapi
saya harus siap tanggung jawab dan konsekuensinya." tegas Hartadi dan gue pun
mengangguk samar menyetujui ucapannya.
"Saya ngerti kalau Bapak butuh waktu dan kesiapan. Maaf, kalau saya bikin
kacau rencana-rencana hidup Bapak." ucap gue tulus, tapi bukan berarti melepas
Hartadi. Sementara gue liat Hartadi menyugar rambutnya dan ikut
menyenderkan badannya ke sandaran sofa sambil menghela napas. "Selain itu
saya ini kasain sama kamu Vel, kalau langkah kita sampai ke pernikahan. Saya
ini nggak kunjung menikah karena terlanjur nikmatin keaendirian dan males
nyocokin chemistry lagi."
"Tapi nggak berarti saya seputih kertas." Hartadi dengan berani melucuti siapa
dirinya seraya mengunci mata gue agar mengarah padanya. "Saya penganut
hubungan bebas. Saya punya temen tidur, nggak hanya satu. Kamu masih sreg
sama saya?"
"Duh Pak, jangan nilai saya lugu banget deh," Gue hampir aja ketawa karena
omongan Hartadi. "Apa Bapak lupa siapa yang di suruh datang ke kantor buat
masang karpet kedap suara di ruangan Bapak?" Dia mendengus saat gue
singgung fakta di masa lalu. Ucapannya yang sok mengumbar dosa tersebut
malah sekarang terdengar norak di telinga gue.
"Cih.... Saya hampir lupa kamu yang nyulap ruangan saya mirip di karaoke.
Efisien banget sih usaha kamu itu, Vel." ucapnya saat mata kita berpandangan
dan setelahnya kita tertawa mentertawakan duet kita enam tahun yang lalu.
"Kamu pegang sendiri kartu hitam saya, kok bisa-bisanya ngotot jadi istri?"
"Nggak heran kalau laki-laki seneng maen, Pak. Laki-laki jobless aja masih berani
celup sana-sini, apalagi laki-laki single yang modelnya kayak Pak Har? Bapak
nggak ngundang juga perempuannya yang nyosor duluan." Gue masih hapal
banget, setiap perempuan yang berlenggak-lenggok masuk ke ruangan Hartadi.
"Serius kamu nggak keberatan sama history kehidupan seksual saya?" dia heran
liat gue yang dengan santainya membahas kegiatan ranjangnya.
"Kenapa saya harus keberatan? Saya tau Bapak nggak pernah asal. Bapak paling
pinter jaga diri untuk selalu safe. Terus ngapain banget saya harus ngehakimin
keaktipan Bapak yang satu ini?" ucap gue sambil melipat kedua tangan gue di
depan dada.
"Saya pernah denger pengalaman temen yang mau settle down. Sekalinya
ketemunyang klik, calonnya itu nggak bisa nerima temen saya itu mantan player.
Malah empet liat muka temen saya."
(AUTHOR POV)
Hartadi tercenung sebentar, memikirkan ulang kalimat yang baru saja
keluar dari mulutnya. Settle Down?
Apa benar Hartadi siap angkat kaki dari kehidupan lamanya yang sering
menghadirkan cemas di hati sang Ibu dan memandang satu perempuan? Sebab
Hartadi tak dibesarkan orangtuanya untuk menjalani pernikahan sekadar status
saja.
Sebelum datang menemui Velove, Hartadi pikir tak mengapa menikahi
perempuan itu untuk menjauhkannya dari Adiputra. Hartadi tak mau sok heroik,
tetapi keluarga besar mereka ikut dipertaruhkan jika Adiputra tidak kunjung
dihentikan.
Di lain sisi, Hartadi terbayangi nasib Velo yang dirugikan berkat kakaknya.
Segala pertimbangan Hartadi tanamkan di kepala, termasuk seberapa cocok
dirinya dan Velo hidup berdampingan.
"Saya nggak pusingin reaksi perempuan lain, Pak. Kalau saya yang ditanya, lebih
penting gimana laki-laki itu keep his body, eyes and focus on me setelah kita
sepakat komitmen." Velo menatap lurus Hartadi, ada kerlingan jahil di matanya.
"Puas dengernya, Pak?"
"Pak..." Velo memanggil Hartadi, berusaha meminta perhatian. "Kenapa diem aja?
Nggak ada tanggapan apa-apa? Saya udah ngomong sambil berbusa nih."
"Mau tanggapan apa?" Hartadi kembali membalas menatap Velo, dan lirikannya
sedikit kejam. "Bilang kamu anti mainstream gitu?"
"Bapak tau tanggapan apa yang saya mau kok. Nggak usah pura-pura ya Pak,
jam segini saya gampang emosi." Velo menggeleng heran, namun tidak
menyudahi kicau mulutnya. "Intinya, saya nggak permasalahin habit nistanya
Bapak."
"Ck... Penggunaan bahasamu itu, Vel..." ucap Hartadi sambil mendelik ketika Velo
menyebutkan kata nista, sedangkan Velo tidak menghiraukan dan kembali duduk
anteng di sofanya. "Memangnya kamu doang yang yang gampang emosi?"
"Pak Har nggak boleh cepet termakan emosi, nanti mancing darah tinggi. Selesai."
Velo berkelit dari kemungkinan mereka beradu mulut. "Pak, udah setuju belum
jadi suami saya? Kalau sekiranya setuju, habis ini putusin semua temen tidur
Bapak dan cut komunikasi kalian. Saya pengen nguasain Bapak sendirian."
"Cut mereka itu persoalan kecil. Saya nggak pernah janji angkat status mereka
lebih dari hiburan. Makanya..." Hartadi menjeda untuk mengamati Velo lebih
dalam. "Ada garansi aaya puas sama kamu?"
Tidak ada yang pernah bertanya empat mata sekurang ajar ini pada Velo.
Tidak ada yang bernyali mempertanyakan keunggulnnya di atas ranjang. Tetapi
lihat pria yang di depannya ini, sangat lugas dan menyimpan trik.
Velo terlahir dan hidup dipayungi dua nama keluarga besar. Bratadikara
dari nama keluarga Papih tirinya yang tersohor di Indonesia dan El Williams dari
almarhum Ayah kandungnya yang tersohor di Inggris yang turun temurun
bergerak di bidang pelayaran. Berkat itu, meskipun deretan kekasihnya pun
sudah sakit kepala menahan hasrat, tapi terlalu memikirkan resiko untuk
bertindak jauh.
Seakan menunggu seribu bulan, datang seorang pria yang bisa berterus
terang dan berani meminta jaminan seberapa ahli Velo agar mampu
memuaskannya. Hidup memang dipenuhi kejutan, karena pria itu adalah Hartadi
Lewandowski Bratadikara.
Melepaskan segala keraguan untuk bertindak nekat, Velo meninggalkan
sofanya yang digarisknnya sebagai comfort zone dan mendekati Hartadi. Mantan
bos pertamanya yang kini berganti mengernyitkan dahi penuh perhitungan ke
arahnya.
Velo sekilas menyentuh bahu bidang Hartadi sembari mengisi ruang kosong
ditengah pria itu dan meja bundar di depannya. Beberapa detik tangan Velo
sempat gemetar, sebab di depannya bukan pria sembarangan, namun Velo
menguasai diri dengan cepat pada detik berikutnya.
Hartadi mengantongi pengalaman yang tidak sedikit bersama perempuan.
Bahkan pria itu melempar trik kepadanya, maka itu Velo mengambil jalan yang
serupa. Diangkat tubuhnya keatas meja, sehingga duduk menghadap Hartadi
tanpa halangan dan jarak yang tak berarti.
"Saya kasih garansi selama satu tahun. Selama itu, selain tugas Bapak jadi suami
dan jagain saya dari Papih, kita bisa sama-sama cari tahu apa saya bisa puasin
Bapak atau nggak?" sepasang mata Velo mulai tampak sayu. "Sebelum
garansinya aktip, gimana kalau kita taster dulu?"
Baik Velo maupun Hartadi, tidak satupun dari mereka mampu menentukan
siapa yang pertama kali mempertemukan bibir dalam kecap penuh dahaga.
Semuanya terasa amat abu-abu. Hanya satu dalam pikiran mereka, ciuman ini
harus berdurasi panjang.
***
Decapan dan suara napas menjadi musik latar bagi mereka. Hartadi dan
Velove, sepasang anak manusia yang sesang menguji keserasian. Disorientasi pun
mulai menyerang karena mereka tidak tahu seberapa banyak waktu yang sudah
terbuang.
Tidak ada yang membenarkan dan tidak ada juga yang merasa keintiman
ini kesalahan. Mereka juga tidak mendeklarasikan hilang akal, hanya bagaimana
mungkin menghentikan ini dengan mudah? Dulu orang-orang menyebut ini
bercumbu kan?
Hartadi merasa naluri telah menyelubungi tanpa pilih kasih. Tak
memandang siapa dirinya dan Velo. Perempuan dan laki-laki memang
menyesatkan ketika beruji dengan nafsu, Hartadi tau benar tentang itu. Lihat
sekarang, sentuhan rasanya tidak cukup hanya di bibir saja.
Sentuhan Hartadi memdarat pada kulit Velo, matanya mengamati sebentar
dan perempuan itu tidak menarik diri. Hartadi menilai itu sebagai sinyal maju,
karena kelembutan dan hangatnya kulit Velo mendorongnya untuk menjangkau
lebih jauh.
Seakan ingin mengenali Velo, Ibu jari Hartadi menuju ke bawah telinga
perempuan itu dan memberi usapan yang provokatif. Apa Hartadi sudah memilih
spot yang tepat?
"Hng..." tidak sengaja Velo melenguh sambil menutup mata akibat rangsangan
Hartadi di titik sensitifnya. Keahlian Hartadi benar-benar pria itu terapkan
padanya, seharusnya dia yang sekarang unjuk kemampuan.
"Kamu yang mulai ya, Vel?" bisik Hartadi sekilas tepat di telinga Velo, memberi
hembusan hangat yang menggelitik sampai ke ujung kaki. "Saya nggak curi
start."
Velo memahami arti dari ucapan Hartadi. "Iya, saya nggak bakalan ngomel ke
Bapak. Saya kn lagi kasih tester."
"Terakhir pacaran sebelum ulang tahun ke dua puluh sembilan kemaren. Dan
sekarang nggak punya. Kalau punya ngapain saya sudi dicium Bapak?" Velo
memang kelewat jujur, tapi masa bodoh selagi berada dipangkuan Hartadi dan
hampir sepakat menikahinya.
"Saya nggak minta kamu nahan, Velo." Begitu saja tanggapan Hartadi yang lantas
mengurai tangannya dari Velo. Hartadi membiarkan perempuan itu turun dan
berlari kecil kr kamar mandi yang letaknya berdekatan dengan pintu masuk.
"Iisshhh dingin banget sih aernya..." gumam Velo sambil berjingkat keluar dari
kamar mandi dan langsung memakai sandal hotel yang tipis.
"Hari ini nggak kerja?" Velo putuskan tidak melanjutkan sesi taster mereka dan
duduk di seberang Hartadi. Sementara Hartadi menurunkan kepalan tangannya
dari bibir seraya memalingkan wajah ke arah Velo.
"Kerja."
"Bukannya lebih baik Bapak pulang dan sempetin tidur? Masih ada beberapa jam
untuk istirahat." Velo tidak harus bertanya, dia tau Hartadi belum tidur sama
sekali. "Saya nggak maksa Bapak kasih kepastian secara SKS (Sistem Kebut
semalam)."
"Kalau nanti tetap kasih jawaban 'tidak' dan minta kamu pulang aja ke Jakarta,
what will you do then?" Hartadi mengangkat satu halisnya. "Kamu nggak rugi tadi
udah kasih saya taster?" Velo pun menghela napas melihat Hartadi serius.
"Hah... A kiss is just a kiss. Saya nggak pengen mikir ruginya." Velo mengusap
pelipisnya, agak ketar ketir sih memikirkan kemungkinan Hartadi menolaknya.
"Yang saya lakukan di sini emang bisa dibilang berjudi. Saya nggak tau pulang
dari Kalimantan nanti ngebawa hasil apa. Clueless."
"What will you do then?" Lagi Hartadi bertanya, karena Velo seolah melewatkan
pertanyaannya yang satu itu. "Apa kamu punya opsi selain saya?"
"Misalnya Bapak bersikeras menolak, berarti bukan Bapak yang saya cari. Saya
harus mulai dari awal lagi untuk menemukan yang baru, kalau emang ada laki-
laki lain yang mau perjuangkan saya dan nggak takut resiko diancam," balas Velo
tanpa melihat Hartadi, karena dia lebih sibuk menarik gorden di sampingnya agar
menampilkan vitrase.
"Vel, saya kerja di Kalimantan dan kamu kerja di Jakarta. Ini yang belum kita
bahas sejak awal. Kamu nggak merasa ada masalah kalau konsep pernikahan
kita LDR?" Hartadi memancing Velo agar kembali pada obrolan yang sempat
terputus.
"Kanapa Royal WCS Company Jakarta harus dipegang Pak Maestra? Direktur
Utamanya kan Bapak? Saya nggak bisa ditipu dengan embel-embel Pimpinan
Cabang." Velo masih ingin memandang ke luar. "Bapak rintis bertiga sama
sahabat-sahabat Bapak, tapi mereka berdua stay di Jakarta kok."
"Cabang Samarinda ini anak saya. Dari masih kebun terbengkalai yang
pemiliknya orangbasli sini, saya beli dan bangun kantor-- apa harus orang lain
yang pegang?" sengit Hartadi tidak senang, karena pengetahuan perempuan itu
nol tentang perjuanganya berdiri di Samarinda.
"Kenapa haris Bapak sendiri yang pegang? Bertahun-tahun capeknya Bapak
makan sendiri." Velo menyempatkan diri melirik Hartadi. "Saya salut Bapak
bangun Royal WCS Company Samarinda sampai sesukses sekarang, tapi yakin
mau terus tinggal di tempat yang sejujurnya bukan dunia Bapak?" punggung
Hartadi menegap disertai tatapan tidak bersahabat.
"Keinginan menikah itu asalnya dari kamu. Seharusnya kamu yang banyak
mengalah, bukan saya yang mundur dan move ke Jakarta. Bukan saya, Velove
Bratadikara."
"Pak tahu nggak?" Velo tersenyum tatkala melihat wajahnya Hartadi. "Saya
barusan ngetes, Pak Har."
Baiklah, sepertinya dia harus bertanya jika tidak ingin buntu sendirian. "Kamu
ngetes saya?" ucapnya mengernyitkan dahi.
"Ide pernikahan datengnya dari saya. Ditambah lagi cerita tentang Papih, pasti
nyisain beban buat Bapak. Saya punya feeling Bapak ujung-ujungnya setujubjadi
suami saya. Dan kalau pernikahan kita bener-bener terjadi, saya tau kata-kata
tadi pasti keluar lebih banyak lagi." Velo mengangkat bahu seperti tak ada beban.
"As a wife, saya bisa lebih sakit hati dari sekarang."
Hartadi menahan agar harga dirinya tetap terjaga. Hari ini tidak terhitung
berapa banyak kalimat kotor yang Hartadi keluarkan, karena kekesalannya pada
Adiputra. Sekarang di depan Velo yang nampak santai, Hartadi ingin kembali
memaki, tidak untuk orang lain tapi diperuntukan untuk dirinya sendiri.
Berubah jadi tolol Har? Ejek Hartadi dalam hati.
"Vel.."
"Dengerin dulu ih, saya belum selesai ngomong." ucap Velo merengut pada saat
Hartadi akan mengambil alih pembicaraan, dia kembali bersuara selang Hartadi
menghela napas tanda mengalah. "Saya tau kok Pak, saya ini banyak maunya. Iya
kan?"
Hartadi enggan membalas. lebih baik ia dengarkan sampai habis apa yang
ingin Velo sampaikan padanya. Sementara bagian dirinya yang lain berusaha
mengabaikan rasa tak mengenakan yang terus bercokol, karena Hartadi sadar ia
telah melukai Velo.
Velo menyandarkan dirinya dengan nyaman di sofanya. "Saya nggak mau
Bapak buru-buru ambil keputusan, salah satunya karena kalimat-kalimat tadi.
Suami istri nggak mungkin lepas dari konfik, Pak. Kalau Bapak belum bisa niat
dan ikhlas nikahin saya, kalimat-kalimat tadi bisa terus keulng setiap kali kita
konflik.
"Pernikahan yang baik atas dasar kemauan Bapak dan saya, bukan berat sebelah
meskipun saya yang pertama kali minta. Hati saya nyeri loh Pak, waktu Bapak
nyinggung keinginan nikah asalnya dari saya doang dan emang harusnya saya
yang ngalah." Velo mengambil gelas kopinya dan kecewa saat dirasa vanila latte
nya tidak panas lagi. "Kadang hati saya kayak mochi, lembek banget."
"Kapan rencana balik le Jakarta?" Hartadi hendak berdiri dari kursinya, pura-
pura tudak menyadari wajah terkejut Velo karena pergerakannya yang semula
diam mematung.
"Ke Jakarta?" Velo mengerjap beberap kali sembari beradu pandang dengan
Hartadi yang kini memainkan kunci mobil di tangan pria itu. "Lusa Pak."
"Biar saya yang nyiapin tiket ke Jakarta. Kita pulang bareng-bareng." Hartadi
mengabaikan Velo yang membatu. "Hari ini saya ngerapatin dulu pemegang
tanggung jawab Royal WCS Company Samarinda. Malemnya baru saya beresin
keperluan ke Jakarta, kamu mau bantuin saya?"
"Yang bener?" Velo menyipitkan mata, dia tidak mau melambungkan harapan
namun telinganya masih mendengar jelas setiap kata dari Hartadi. "Saya nggak
mau nikah hanya sekedar status. Emangnya Bapak udah yakin? Tadi aja udah
emosional banget ngebahas harus pindah ke Jakarta."
Hartadi mengingatkan dirinya untuk bersabar, tapi ketegasan tak berarti hilang
dalam suaranya. "Saya nggak pernah nggak serius, Velo. Sepulang dari kantor
tadi sore, saya mikirin kamu dan keputusan saya sendiri sampai sekarang."
"Kamu sempet sebut satu tahun sebagai garansi kan? Saya anggap kamu nggak
pernah mencetuskan itu. Kita jalani pernikahan ini dengan serius, seperti
keinginan kamu dan juga keinginan saya sendiri. Bukan bertugas ngejagain
kamu dari Mas Adi aja," sambung Hartadi menegaskan jika pernikahan mereka
nanti bukan sekedar pertolongannya untuk masalah Velo.
Dengan gerakan lambat, Velo berdiri dari duduknya agar menghadap Hartadi
secara leluasa. Lehernya harus sedikit dijenjangkan tiap kali ingin menatap
Hartadi. "Saya boleh nggak peluk Bapak?" tanya Velo lugas, dia memang memiliki
penyakit bernama nekat.
"Harus ya, ada alasannya?" Velo memamerkan raut wajah jengah ketika ditanyai
begitu. Berbanding seratus persen atas kondisi hatinya yang tidak karuan, akibat
ungkapan keseriusan Hartadi.
"Setiap tindakan pasti ada alasan," ucap Hartadi tenang, mengamati perubahan
wajah Velo yang terkadang cukup ekspresif. "Jadi apa alasan kamu minta peluk-
peluk? Ada yang kamu minta lgi, Vel?"
"Saya bukan anak kecil yang ngerayu Papahnya pakai peluk-peluk." Velo
menyimpan senyum kecut menyadari Hartadi yang dia kenal memang
semenyebalkan ini. Sempat bertukar ciuman sepertinya hampir mengaburkan
pemahaman Velo mengenai Hartadi.
"Main peluk-peluk aja kamu," komentar Hartadi mendapat pelukan dari Velo yang
todak begitu kuat, tetapi dilakukan dengan lembut dan hati-hati. "Mau kamu apa
sih, Vel?"
"Saya cuma mau terima kasih aja kok," Velo menarik napas, tidak ingin terjebak
dalam keharuan yang membuatnya dapat menangis. "Makasih ya, Bapak mau
mgelangkah sejauh ini, kalau Bapak nggak mau, saya harus lebih lama nerima
perhatian Papih. Saya nggak betah dan ngerasa makin bersalah sama Mamih,
Pak."
"Baguslah kamu nggak nikah sama salah satu dari mereka. Baru digertak sama
Mas Adi aja udah ciut. Gimana mau jadi satpam kamu seumur hidup? Nggak ada
prospek masa depannya laki-laki kayak begitu. Kecepetan nyerah dan anti
berusaha," kritis Hartadi serius.
"Oh... jadi bagus kalau saya nggak nikah sama mereka?" ucap Velo sepotong dari
kalimat Hartadi, kali ini bukan mati-matian menahan tangus tetapi senyuman.
"Bapak menanggapi pakai cara apa kalau Papih ngancam? Saya sih udah bisa
ngebayangin kemarahan Papih setelah tau rencana saya dan Bapak mau nikah."
"Nah ini nih..." dengan terburu-buru Velo mengambil langkah mundur, lalu dia
menggelengkan dengan tatapan takjub yang dilebih-lebihkan. "Pak Har emang
paling TOP. Nggak ada takut-takutnya nerobos badai, kapan lagi saya puji kan?
Pacar terakhir saya si Dany , langsung keringet dingin waktu saya wanti-wanti
punya papih proyektif."
"Ck... Pling TOP apanya?" Hartadi menghadiahi Velo jepitan di hidungnya. "Saya
kasih sinyal nolak aja bilangnya 'berarti bukan Bapak yang saya cari'. Giliran
diturutin kemauannya baru bilang TOP. Jago mulut kamu, Vel."
"Punya taktik bernegosiasi itu penting, iya kan? Saya juga nggak ngumbar
kebohongan dari omongan saya, apalagi soal nggak punya cadangan laki-laki lain.
Target saya cuma Bapak..." bisik Velo di akhir kalimat selagi menyentuh ringan
lengan Hartadi.
"Bukan saya aja kok. Bapak juga mulai berani mau makan saya. Apa ketagihan
sama taster?" ucap Velo tak kalah sengit dengan sinisnya. "Oh iya, jangan lupa
pecat semua temen-temen tidur Bapak. Bilang ke mereka sebentar lagi Bapak
punya pawang. Mulai bersih-bersihlah dari sekarang."
“Saya jemput aja sekalian pulang kerja.” Hartadi melirik jam tangannya, teringat
saran Velo untuk menyempatkan diri beristirahat. “Masih ada waktu beberapa
jam buat tidur. Saya balik dulu, Vel. Berkat kamu hari ini tugas saya berlipat-
lipat.”
“Hidup harus ada lika-likunya, Pak. Enam tahun tanpa saya si pembuat onar ini,
kehidupan Bapak pasti semulus aspal baru. Boleh sesekali ada batu
sandungannya, supaya ngerasa ‘hidup’.” Velo mencuri satu kecupan kilat di pipi
kanan Hartadi sambil menumpu kedua tangan pada bahu pria itu.
Velo menyelesaikan aksi kecupan kilatnya dan memindai reaksi Hartadi. “Ngerasa
kan? Lebih hidup nggak?”
Dalam hati Velo menggigil usai menjalankan aksi dadakannya. Jika Aruna
dan Livia menyaksikan tingkahnya sekarang, mereka akan kompak berseru
‘ganjen’ kepadanya disertai cibiran yang khas. Mau bagaimana lagi? Velo tidak
mungkin main gila, kecuali di depan Hartadi yang tahu benar siapa Velo.
Sedangkan Hartadi hanya membalikkan kecupan Velo dengan tatapan
lurus tanpa mau repot berkomentar. Yang lebih menyurutkan keinginannya
mengkonfrontasi kecupan Velo adalah ucapan perempuan itu.
Apa selama ini Hartadi sudah benar-benar merasa hidup? Tapi, biarlah ia
sendiri yang merenungkan kebenarannya tanpa harus Velo saksikan.
“Abis kena cium kamu kok rasanya suram ya, Vel? Saya ngerasa nggak ada
semangat hidup. Mirip hisapan dementor,” sarkas Hartadi enteng tanpa
mengambil pusing delikan Velo yang tidak terima disamakan dengan dementor.
“Saya pulang dulu deh. Lihat kasurmu jadi kangen tidur.”
“Saya nggak seuka lama-lama pegang handphone.” Hartadi membalas singkat dan
jujur. Tidak ada rencana membuka forum debat baru bersama Velo, tapi memang
sial, perempuan itu kembali menyinggungnya dengan telak.
“Iya soalnya Bapak lebih seneng lama-lama pegang perempuan. Saya tahu kok.”
Velo mendahului Hartadi mencapai pintu kamarnya, membuka pintu tersebut
lebar-lebar dan tersenyum seakan tak mengatakan apapun. “Hati-hati di jalan,
Pak.”
Hartadi pamit dari kamar hotel yang Velo tempati seraya menjitak lembut tentu
saja puncak kepala perempuan itu sebagai ganti rugi atas kalimat sindirannya. Di
tengah langkah menuju lift, Hartadi mulai menyusun strategi yang
dipergunakannya usai mendarat di Jakarta.
***
Beberapa jam berlalu sejak diskusi panjangnya dan Velo, Hartadi sudah berada di
ruang kerja Royal WCS Company didukung oleh laptop kantor yang tidak pernah
dibawa pulang. Layar pun sudah menampilkan tiga kolom yang terisi wajah dua
sahabatnya, sekaligus Hartadi sendiri.
“Ada berita apa nih yang musti kita denger? Muka lo nyimpen rahasia besar, Har.
Samarinda nggak ada problem kan?” Haris paling tidak sabar menunggu Hartadi
berbicara lebih dulu pada sesi video call mereka.
“Enggak ada, Ris. Gue sempet ngecek kondisi Samarinda lewat Bimo, waktu nih
bajingan satu minta video call sebelum makan siang.” Ada senyum bermain di
bibir Maestra untuk Hartadi.
“Gue taruhan ini persoalan pribadi. Mau kawin lo, Har?— Eit, bukan kawin tapi
nikah.” Maestra meralat dengan tampang mengejek, sedangkan Hartadi hanya
mendengus tak terpengaruh sama sekali.
“Lagak lo pake nebak-nebak segala. Gue mau liat muka lo berdua aja makanya
video call. Ada yang aneh dengan request gue di group, hah?” Hartadi tak
langsung mencetak tujuan di muka, ia sedang menikmati wajah bingung Haris,
sementara Maestra hanya tertawa tanpa suara.
“Samarinda stabil, terus lo mau apa? Lo nggak mungkin rajin ngumpulin gue
sama Haris buat hal sepele. Gue nggak denger tuh payment ngadat, nggak denger
juga PAO dan CPO lagi seret, dan nggak denger tongkang sandar tapi barang
nggak loading. Semuanya oke.” Maestra mencecar Hartadi dengan segala
ketidakmungkinan. “So, kasih gue profil cewek lo.”
“Bujang paling diincer di Royal WCS Company mau nikah nih? Gue nggak tau
harus respon apa, gue Cuma pengen tau siapa persisnya tuh cewek. Dengan cara
apa dia ngebuat lo berpikiran nikah?” alis Haris naik turun menggoda Hartadi.
“Yang pasti nggak DP duluan, Hartadi nggak pernah teledor.”
“Gue nggak ada bilang subjek hari ini gue dan cewek yang kalian hayalin. Mas-
mas sekalian, gue mau nagih persetujuan aja sebagai formalitas karena lusa gue
mutusin join di Jakarta lagi,” jelas Hartadi sembari mengusap bibir bawahnya
menanti respon kedua sahabatnya.
“Anjir, kalau tau begini gue nyebrang juga ke ruangan lo, Mae! Gue butuh temen
diskusi perihal kegabutan Hartadi kerja lagi di Jakarta.” Haris spontan berdiri
dari duduknya, Nampak tidak sabar menyambangi ruang kerja Maestra yang
berada di depan ruangannya sendiri.
"Cih.. Gue liat-liat lo lebay banget. Lo nggak lagi puber kedua kan? Kasian bini
lo, Har." sambar Hartadi melihat tingkah Haris. Diantara mereka bertiga yang
berstatus tak lajang hanya Haris, sementara dirinya belum pernah menikah dan
Maestra adalah duda beranak satu.
"Amit-amit." sembur Haris akhirnya menempati kursinya kembali. "Nggak ada ya,
istilah gue puber kedua. Kalau pun puber lagi, gue genitnya sama Val seorang. Lo
berdua kali lagi puber kedua, tapi sah-sah aja ye' kan namanya juga single dan
duda."
"Wah, kenapa gue di ikut sertakan?" Maestra menghindar dari topik Haris.
"Sekarang yang paling bener kasih pertanyaan buat Hartadi, kenapa tiba-tiba
ngacir ke Jakarta? Mulai jenuh di Samarinda?"
"Pengen suasana baru aja. Gur nggak maen tinggal Samarinda tanpa
pertimbangan. Dari pagi gue evaluasi, hasilnya Samarinda emang udah siap
mandiri tanpa gue harus standby di sini terus." Hartadi merangkai kata dengan
rapih.
"Gue udah lama nggak bonding sama Mason dan Avery, anggap aja itu jadi salah
satu alasan kepulangan gue." Hartadi menambahkan keterangannya, agar Hris
dan Mestra yang terlanjur sangat mengenalnya ini tak menodongnya untuk jujur.
Velo akan dia perkenalkan di waktu yang tepat.
"Gue nggak yakin hanya kuda-kuda di Cahari yang mendasari kepulangan lo,
jangan nyalahin gue, karena nggak percaya kali ini. Gue keewat mengenal lo,
Bro." Maestra tertawa ngakak. "Abis ini gue tugasin sekretaris gue untuk kirim
email buat penarikan lo ke Royal WCS Company Jakarta. Selamat datang
kembali, Har."
Haris belum selesai dengan rasa penasarannya. "Udah jelas ini urusan
perempuan dan langkah serius, ya? Berarti bukan cewek Kalimantan kalau lo
ajak tinggal di Jakarta. Langkah yangbbagus kok buat laki-laki sematangbdan
semapan lo."
"Gue sama Maestra sama, nggak percaya sama alasan buluk lo tentang bonding
sama kuda. Tapi, selamat mau ngumpul disini lagi." Haris pun mengacungkan
ibu jarinya.
Jalan terbaik untuk pulang dengan tidak sendiri, apa pemahamannya sudah
benar? Pikir Hartadi sebelum membalas ucapan selamat dari para sahabatnya.
Ket:
Hartadi melirik Velo yang duduk disampingnya, lalu berganti pada handphone
yang dia genggam dan menampilkan panggilan FaceTime. "Dibiarin aja sampai
mati sendiri. Saya nggak suka yang melanggar kesepakatan sampai video call
saya di FaceTime. Norak."
"Norak? Siapa sih?" Velo awalnya tidak mengerti siapa yang menjadi pembahasan
Hartadi tersebut, namun ia menemukan jawabannya saat memperhatikan layar
handphone Hartadi. "Waah, apa sekalian saya yang angkat?"
"Angkat aja, paling perang mulut sama kamu. And I bet you win." Hartadi tak
tahan untuk menarik sudut bibirnya. Jelas dirinya terheran-heran karena Velo
nampak antusias di beri kesempatan untuk menerima FaceTime dari 'mantan
teman tidur' yang di putuskannya kemarin.
"Saya semangat karena penasaran. Selera Bapak kira-kira masih sama nggak?
Wajah dan postur cewek yang sering mampir ke kantor dulu itu semuanya
setipe." Velo mengerling secara menyebalkan pada Hartadi. "Saya paling suka
Nilam. Muka polosnya bener-bener menipu. Duh, rawit banget deh cewek satu
itu."
"Semakin lama kamu ngajak berantem saya, semakin lama handphone saya
bunyi. Angkat dan selesaikan pake cara kamu. Saya mau liat pawang saya
beraksi." Hartadi menunjuk handphonenya menggunakan telunjuk. "Ayo,Vel."
"Nantangin saya kayaknya hobi baru Bapak, ya?" Velo menimbang handphone
Hartadi. "Tapi nggak apa-apa, saya seneng dapet tugas pertama jadi pawang
Bapak buat basmi peliharaannya Bapak. Saran saya, jangan lagi pelihara cewek
buat tidur. Bapak kasih hati, yang mereka minta jantung. Bikin rugi."
"Saya nggak pernah kasih mereka harapan dan materi. Semua temen tidur saya
bekerja, karena saya berhati-hati dan picky. Bagian mana yang kamu nilai rugi,
sementara saya ambil keuntungan juga dari mereka?" Serang Hartadi tanpa filter,
tidak memperdulikan sopir keluarga Bratadikara yang menjadi pendengar debat
spontannya bersama Velo.
Velo menggelengkan kepalanya tak habis pikir, pria memang diciptakan dengan
logika yang lebih unggul. "Atas dasar apa mereka mau jadi temen tidur Bapak?
Betsepakat cuma memenuhi nafsu, lepas stress, dan kalian get laid? Buat saya
omong kosong. Perempuan dipupuk pakai sentuhan terlalu sering, ujung-
ujungnya timbul rasa sayang."
"Dan, FaceTime ini saya ibaratkan bukti. Mungkin beberapa temen tidur Bapak
berusaha legowo, karena mereka takut sama Bapak. Tapi, satu dari mereka bisa
luar biasa keras kepala perjuangin status komitmen kalian. Nggak merasa rugi
direcokin?" ucap Velo tidak berapi-api, suaranya terkontrol baik dan tenang.
"Saya nggak merasa rugi karena saya nggak peduli." Hartadi berucap disaat
rahangnya mengetat tak ingin memenangkan emosi, karena ini hari pertama dia
dan Velo mendarat di Jakarta. "Apa harus kita adu mulut lagi, Velo? mendingan
kamu angkat FaceTime yang jadi sumber keributan kita."
Velo sempat melirik punggung sopir yang berada di kursi depan begitu tegang dan
nampak menahan napas. Jujur saja sesungguhnya tidak seru memutus
perdebatan dengan Hartadi, tetapi Velo harus mengalah jika tidak mengharapkan
sopir mereka pingsan saat mengemudi.
"Fine." putus Velo cepat. "Hal yang saya ributin tadi bukan suka-suka saya
nyinyirin Bapak. Circle saya menormalisasi hubungan dengan benefit, jadi saya
paham hubungan begitu kadang susah dilepas sampai tuntas. Pihak laki-laki
cenderung bodo amat, tapi pihak perempuan nggak semuanya bisa."
"Saya bukan dari circle kamu yang sulit melepas hubungan dengan benefit. Saya
menghargai temen tidur saya, tapi keteguhan saya nggak bisa diganggu dan
dipengaruhi. Sekali putus, ya putus. Saya mana ngurusin lagi." Hartadi cukup
perfeksionis dalam bisnis dan pekerjaan, namun komitmen dengan teman tidur
dibentuk mudah dan tegas.
"Iya, iya..." Velo mengulas tipis, menyadari wajah gelap Hartadi. "Saya gregetan
aja liat Bapak dikejar-kejar lewat handphone gini. Kita ngobrol udah berapa menit
coba? Liat deh Pak, dia masih video call Bapak."
"Terserah kamu mau diangkat apa nggak sekarang," ketus Hartadi sembari
mengeluarkan Ipad berlapis leather case hitam dari tasnya, dia ingin mencari
kesibukan saja daripada meladeni Velo.
Hartadi lantas membuka Slack khusus Royal WCS Company, yang terdiri dari
kantor pusat Jakarta, Samarinda, Semarang dan Jambi. Tiba-tiba Muncul satu
pesan yang dikirimkan Maestra, pria itu hanya mengirimi pesan iseng karena
mendapatinya online.
Maestra Suseno
"Cakep, orang Jakarta udah online."
Hartadi Bratadikara
"Anti bolos"
Velo bergeser lebih dekat, karena keseriusan di mata Hartadi hanya bentuk rasa
jengkel yang pria itu sembunyikan. "Kayaknya saya peduli ke Pak Har itu hal
yang nggak perlu. Well, saya mau konsen ke FaceTime ini aja. Kasian daritadi
nunggu dijawab."
Hartadi memandang layar Ipad, namun dia tidak abai pada setiap kalimat yang
dikeluarkan Velo. Apa benar perempuan itu membuat Hartadi pusing atas
pembahasan teman tidur merugikan, karena alasan peduli kepadanya? Tak
tahulah, Hartadi enggan memikirkannya lagi.
"Saya angkat, ya?" Velo tetap meminta izin Hartadi sebelum menerima panggilan
FaceTime tersebut, walaupun tidak mendapat balasan dari Hartadi yang
bungkam tetapi mungkin menyimak.
Layar ponsel Hartadi telah dipenuhi paras yang penampilan paripurna dari
seorang perempuan. Dari garis wajahnya, Velo dapat menerka perempuan itu tak
seusianya dan sepertinya di atas Velo. Perempuan itu tengah membulatkan mata
terkejut menemukan wajah Velo, sedangkan wajah yang dicari dan dirindukannya
tak tampak seinci pun.
Velo tidak membiarkan dirinya berbalas tatap dengan Hartadi. Velo sadar seratus
persen kembali menarik perhatian pria itu, namun tugasnya kali ini memutus
rantai Hartadi dari mantan teman tidur yang gigih menanti kabar. Atau secara
eksplisit, kesempatan bersama lagi dipelukan ranjang Hartadi.
"Hai, cari Mas Har?" Velo mengulas wajahnya seramah mungkin sampai
perempuan itu kelihatan kalut dan bingung dihadapkan dengannya.
"Nggak biasanya Mas Har terima video call dari FaceTime, makanya aku yang
angkat. Mbak siapa ya? Nomornya nggak kesimpen di kotak nih."
Saking tudak percaya ada yang mampu menguasai handphone pria yang
diharapkannya, perempuan itu hanya menatap lekat Velo. Gerak bibir yang ingin
bicara panjang lebar itu penuh keraguan. Dan, pada akhirnya tak ada satu pun
kata yang bisa diucapkan.
All time favorite car. Begitu julukan Hartadi untuk mobil yang dijemput langsung
sang sopir dari garasi rumah pribadinya. Hunian terpisah dengan Bratadikara
senior, karena pria seusianya membutuhkan ruang tersendiri untuk menjalani
kehidupan sehari-hari.
Velo tidak tampak terpaksa mengangkat video call dari teman tidurnya. Hartadi
yakin perempuan itu menikmati. Karena taka da kegugupan samar dari suaranya.
Amat percaya diri mengendalikan percakapan. Hartadi memberi pandangan
mengolok pada Velo, menjadi tokoh antagonis memang menyenangkan.
Ada hal lain yang mengirim teka-teki dalam benak Hartadi. Enam tahun tanpa
komunikasi seakan tidak membuat lubang besar antara dirinya dan Velo. Mereka
terbilang kompak ketika menjadi atasan dan sekretaris, tapi apa yang
sesungguhnya mereka andalkan sehingga tidak ada kecanggungan?
Sadar atau tidak, tangan kiri Velo masih menumpang diatas lututnya dan dia
membiarkan saja berada di sana seolah mereka telah berkali-kali dalam situasi
ini. Hartadi menggali kata yang tepat untuk mewakili, karena cinta belum
menjadi landasan dalam komitmen mereka.
“Mas Hara da di situ kan?! Mas! Mas! Aku mau ngomong dulu sama kamu!
Ngapain cewek unu yang dikasih liat?!” teriak perempuan dari sambungan
FaceTime tersebut, sangat tiba-tiba dan ikut mengagetkan Hartadi.
Velo memincing tidak suka kala perempuan yang semula mati kutu, berganti
meraung-raung ingin diberi kesempatan berbicara langsung dengan Hartadi.
“Mbak, jangan berisik! Aku yang kasih izin kamu boleh ngomong sama Mas Hara
tau nggak sama sekali. Kalian udah selesai kan? Terus kamu mau nuntut apa
sekarang?”
“Kamu siapa sih? Sok tau banget urusan kami! Jangan haling-halangin ya! Kasih
sekarang handphonenya ke Mas Har!” bentak perempuan itu semakin berani dan
terlanjur marah. “Sepinter apa sih service kamu sampai Mas Har kasih privilege
pegang handphonenya?!”
“Ya ampun… Mungut di mana sih Pak? Norak abis!” bisik Velo mencubit lutut
Hartadi dari balik celana jeans yang pria itu pakai, menunjang tampilan santai
dan cool.
“Saya kan udah bilang di norak?” Hartadi mengambil handphone dari genggaman
Velo, tidak mau membiarkan Elina meluapkan ketidak puasan atas hubungan
mereka pada Velo.
Velo terdiam sesaat mengamati perpindahan iPhone dari tangannya ke tangan
Hartadi, lalu dengan kebingungan nyata dia bertanya, “Ngapain, Pak?”
“Biar saya aja, Vel. Saya paling nggak suka lama-lama menghadapi orang yang
langgar garis komitmen. Sekaligus mulai pusing denger dia teriak-teriak.” Hartadi
menunduk menyamai kepala Velo dan membisikkan saran. “Kamu pakai headset
aja. Omongan saya termasuk sadis kalua mutusin perempuan yang bandel.”
“Berat koper kamu kayak bukan pakaian doang. Kamu masukin laptop sekalian
ke sini?” hartadi merasakan bobot koper Lojel tersebut cukup berat, jika hanya
terisi pakaian. “Koper ini maksa saya membayangkan situasi kamu travelling ke
luar negeri. Mau koper segede apa yang akan kamu pakai?”
Hartadi bersedia merepotkan diri mengantar Velo dan kopernya sampai ke pintu
apartemen perempuan itu. Sialnya, boks makanan dalam dekapan Velo menjadi
penyebab keberadaannya sekarang di lantai delapan.
“Isi koper saya standar aja kok. Ada catokan, dua pasang sepatu, satu pasang
sandal, terus ada iPad. Saya ninggalin laptop, karena nggak nyambil kerja. Ambil
cuti sampai hari ini.” Velo hamper bersenandung, namun mulutnya terkunci
ketika melihat ada tujuh sosok yang duduk di depan pintu apartemennya.
“Pak, Pak Har?” Velo tidak menoleh ke belakang di mana Hartadi mengikutinya,
namun ia memanggil nama pria itu dengan cicitan kecil.
“Apa?” Hartadi mengernyit ketika Velo tiba-tiba berhenti, apalagi satu tangan Velo
direntangkan ke samping dan menghalangi tubuhnya bergerak maju. “Ngapain
kamu mendadak diam di sini?”
“Astaga, anak-anak ini…” Velo menghela napas diiringi rasa bersalah yang kurang
ajar merambati hatinya dengan cepat. “Coba Bapak lihat siapa yang nungguin
saya. Mereka ngapain coba duduk di depan pintu sambil makan pop mie segala?”
“Ck, males banget de…” Velo memalingkan wajah sekilas untuk menyeka
sudut matanya yang berair, tidak ingin keharuan dari tindakan adik-adiknya
mengambil alih. “Samperin sekarang ya, Pak? Nanti mereka masuk angina kalo
lama-lama duduk di situ. Untung mereka lagi pada makan Pop Mie, pinter banget
sih mereka.”
“Saya gimana kamu,” singkat Hartadi tak ingin berkomentar banyak.
“Mereka udah siap masuk angin kok. Kamu perhatiin aja Outfit-nya mereka.”
Biarpun posisi Hartadi di belakang Velo, Hartadi menduga perempuan itu
baru saja mengendalikan diri dari tangis. Hartadi tidak menilai reaksi Velo
berlebihan, karena pertimbangan terbesar Velo berlari kepadanya—
menginginkan Hartadi menikahinya, disebabkan para pemuda itu.
Di sisi lain, Hartadi masih belum puas atas pencapaian sebagai satu-
satunya yang mengetahui rahasia Adiputra. Pikirannya serumit kabel-kabel pada
tiang listrik, karena tidak menemukan alasan pasti mengapa Adiputra
menyimpan obsesi untuk Velo. Juga membuat anak tiri Adiputra itu harus
terjebak dalam kasih saying semu seorang Papah.
“Hei Guys!” Velo menyerbu pada ketujuh adik kembarnya seakan pilot yang
bersemangat menjalankan pesawat selanjutnya mendekati mereka dalam langkah
ringan ketika sudah dekat. “Lagi ngapain kalian? Kalian mau piknik di depan
pintu apartemen kakak, Hm?”
“Loh Kak, lo bareng Om Hartadi?” Bara melejit bangun untuk bergegas
menyambut kakak perempuannya yang hilang kabar beberapa hari. Begitu pun
yang lainnya yang langsung menghambur juga ke arah Velo.
“Ck… kayaknya kita percuma khawatirin lo Kak, lo aja kayaknya habis liburan!”
ucap Badar mencebik kesal dengan kelakuan kakaknya yang tidak ada kabar.
“Abis jalan-jalan dari mana sih Kak? Kopernya gede banget!” Badil ikut bertanya
saat melihat koper yang dibawa Hartadi.
“Tau nih.. gue kira dia di culik, atau kabur karena ada masalah.. eh taunya
malah liburan!” Bariq.
“Lain kali kasih kabar napa Kak, jadi kita nggak khawatir kayak gini, Cuma
nungguin lo di koridor gini sambil makam Pop Mie, kayak pengemis” Basha.
“Atau ajakin kita liburan kek, biar kita bisa jagain lo, Kak.” Binad.
“Tau nih.. punya Kakak cewek suka banget bikin Mami naik darah.” Biyan.
Meskipun dicecar oleh ketujuh adik kembarnya Velo hanya bisa tersenyum
melihat perhatian kecil dari ke tujuh adik kembarnya itu. “Dari kapan kalian ada
di sini?”
“Ck… Nggak keitung dari kapan. Kita ke sini bolak balik kadang gentian nyariin lo
Kak sampe kita minta Mbok Lin kerokin.” Bara.
“Duh… Apes bangetlah kalo lo lagib kabur-kaburan gini, mirip anak ABG.” Badar.
“Nanti Kakak ceritain.” Velo tidak rishi dengah ketujuh adiknya yang sangat dekat
dengannya. Saat mereka memeluk Velo secara bersamaan Velo menjadi seperti
kerdil diantara adik-adiknya yang sekarang lebih tinggi dan besar disbanding
Velo. Bertukar kasih saying dengan si kembar seperti ini, Velo mensyukuri
keputusannya untuk mendatangi Hartadi dan menegosiasikan harapan besar
bagi kehidupannya.
Hatinya selalu optimis, karena Velo berharap ketujuh adik kembarnya itu menjadi
adik yang hebat dan menyayangi kedua orang tua mereka. Sebisa mungkin tidak
akan membendung rasa kecewea, yang didasari keegoisan dan sikap tercela
Papah mereka. Velo tidak ingin psikologis si kembar tidak utuh. Mereka
memasuki usia peralihan, amat ringkih dan membutuhkan perhatian.
Velo menyudahi adegan teletubbiesnya dengan ketujuh adik kembarnya itu, dia
sempat melihat ketujuh adik kembarnya yang sedang memindai Velo dan Hartadi
secara bergantian. Senyum Velo terbit ketika melihat kedua tangan Hartadi
menumpang di atas handle koper yang sudah ditarik, sepertinya pria itu bosan
menjadi penonton.
“Kenapa Om Har yang anter Kakak? Kalian ketemu di mana?” Bariq menyela
siapapun yang akan bicara di antara mereka, kepalanya terisi penuh oleh tanda
Tanya dan sebaiknya dia tidak menunda lagi untuk bertanya. Atau mungkin lebih
tepatnya ketujuh kembarnya itu penasaran dengan kehadiran Hartadi disini
bersama dengan Velo.
Mereka bertemu pandang, Velo dan Hartadi, namun Velo mengisyaratkan agar dia
yang menjawab kebingungan ketujuh adiknya itu. “Boleh kan Mas Har anter
Kakak? Kita baru aja sampai dari Samarinda dan selama di sana Kakak visit
kantornya, Kakak tuh nggak kabur seperti yang kalian pikirin ya?!”
“Bagus deh lo bareng Om Har, Kak. Asli Kak, pikiran gue tuh buruk semua
diculik cowok kampretlah, kabur entah kemanalah…” Basha.
“Wah… kalo beneran lo diculik sama cowok kampret gue kejar tuh cowoknya
sampe dapet trus orangnya gue kasih bogem mentah sampe pingsan.” Celetuk
Binad berapi-api tapi tidak seserius ucapannya, tapi siapapun yang
memperhatikan matanya akan tau kalau ucapannya itu sungguh-sungguh.
“Ck.. Om, lama banget nggak ketemu!” ucap Biyan menghampiri Hartadi,
kemudian saling adu kepalan tangan sebagai pengganti salam. “Biar jarang
ketemu Om, tiap weekend gue main ke Cahari sama temen-temen loh. Makin
rame aja nih yang dateng? Padahal, membership fee lagi naik 30%.” Lalu ke enam
adik kembarnya pun mengikuti Biyan menyalami Hartadi tanpa prasangka apa-
apa. Karena bagi mereka sah-sah aja Velo dan Hartadi bersama karena mereka
adalah keluarga.
“Ck… Siapa takut?” Bara mengangkat kedua bahunya tidak peduli, karena
mereka bertujuh terbiasa berkompetisi di Cahari Stables dan Country Club—
pacuan kuda yang dibangun, dimiliki dan dikelola Hartadi.
“Lo yang biasa main aman, masa nggak bisa lepas dari kuda sendiri? Gue sendiri
aja pegang lebih dari satu. Kayanya kalian harus belajar dari ‘Masternya’. He’s
here, Guys.” Ucap Bara untuk mematahkan kesombongan Biyan, namun
mendapat perhatian seuthnya dari Hartadi.
Begitupun Velo yang lantas bertukar pandang dengan Hartadi. Kepalanya
menggeleng pelan tak mengerti sikap dingin terang-terangan Biyan dan Bara di
depan adik papahnya. Gelengan kepala Velo tersebut hanya dilihat Hartadi
sebentar dan pria itu kembali memerhatikan si kembar.
Jangan bilang anak-anak ini seprotektif Papanya, pikir Hartadi mulai mengamati
ke tujuh adik kembar Velo.
“Guys, sekarang ambil bekas Pop Mie kalian dan masuk ke dalem duluan.” Velo
menepuk punggung salah satu adik kembarnya Bara, dia lalu menempelkan sidik
jarinya pada smart door-lock seraya mengawasi ketujuh adiknya memungut
mangkuk Pop Mie tanpa membantah.
“Kakak nggak ikutan masuk” Tanya Basha yang dari tadi melihat kelakuan Velo
dan Hartadi agak sedikit curiga.
“Ada yang mau Kakak omongin dulu sama Mas Har. Kamu juga masuk dulua,
ok? Jangan lupa langsung buang bekas Pop Mie di tempat sampah dapur.” Jelas
Velo yang menemui gelagay tidak setuju Basha, tapi Velo dengan cepat
meyakinkan pemuda itu. “Kakak nggak lama kok. Mas Har juga mau pulang.”
“Tenang aja kalau soal buang sampah.” Basha merendahkan suaranya. “Aku
bukan nggak suka kehadiran Om Har. Aku cukup lega malah Kakak pergi sama
orang yang kita kenal, Om Har ‘keluarga’ kita. Tapi, untuk apa disamperin ke
Samarinda?”
“Kakak nggak bisa cerita sekarang.” Velo menipiskan bibir, Basha memang agak
pendiam tapi sangat peka dari pada saudara kembarnya yang lain.”Bukan
maksudnya mau main rahasia sama kamu Sha, tapi waktunya belum pas. Sha,
kamu nggak akan maksa Kakak buat cerita kan?”
“Pasti ketemu lagi di Cahari, atau bisa jadi di rumah Eyangmu?” Hartadi
membalas pemuda itu dengan lambaian tangan serupa, masih tidak berpindah
posisi dan bersandar pada handle koper. “See you, Guys.”
Velo menunggu ketujuh adik kembarnya itu berlalu dari mereka, barulah dia
bergegas mendekati Hartadi dan meringis tak enak hati. “Maaf Pak, sikap Basha
tadi kurang friendly daripada yang lainnya. Dia masih ngambek sama saya,
karena pergi nggak bilang-bilang dan pulang nyantai banget seolah nggak ada
beban.”
“Perang dingin selama enam tahun itu dimulai dari Bapak.” Velo menarik koper
yang Hartadi serahkan ke samping tubuhnya, agar memangkas jarak mereka.
“Dari dulu sampai sekarang, saya nggak nyesel dimusuhin Bapak. Saya
melakukan hal yang bener kok.”
Hartadi menggiring perlahan pinggang Velo mendekat dan beruntungnya
perempuan itu menurut. Saling memandang di momen ini, Hartadi tak akan
menampik lagi. Velo telah menolong masa lalunya yang penuh duri dan
menghadirkan peluang kebebasan baru. Lebih taka da otaknya lagi, Hartadi
malah memusuhi dan bersikeras Velo sudah melakukan kecerobohan yang fatal.
Perpecahan Hartadi dan Velo sebagai bos – sekretaris menjadi legenda do kantor
pusat Royal WCS Company. Di balik berita simpang siur mengenai mereka, tidak
ada yang benar-benar menjadi saksi kebaikan Velo untuk Hartadi. Velo hanya
terkenal melahirkan skandal besar bosnya sendiri dengan seorang perempuan.
Dan, titik hidup Hartadi jungkir balik sejak saat itu.
“Kamu melakukan hal yang benar.” Pendar keterkejutan membayang dari mata
Velo, sedangkan Hartadi masih menjalankan jari-jarinya dan mengusap lembut
bibir bawah Velo. “Jangan kapok sama saya ya, Vel?”
Pria itu mengusap bibir bawah Velo disertai bisikan agar dia tidak pernah kapok
menghadapinya. Velo ingat betul usapan Hartadi yang seringan bulu, jadi
sentuhan seringan bulu yang ditulis-tulis novelis seperti itu?
“Aaaakkhhh Shitt! Vel, sadar-sadar-sadar” gumamnya sambil menepuk-nepuk
pipinya.
Selama hampir tuga puluh tahun ditemani kelap-kelip dunia Jakarta, kenapa
Velo baru sekarang merasakannya.
Boleh tidak Velo memprotes Papih tirinya, karena selalu mengecam pria yang
mengajaknya kencan atau berlibur? Velo kehilangan masa. Tidak sekalipun dia
mencicipi ajang ‘coba-coba’ yang biasa dilakukan remaja di masa pacaran. Dan
sekarang, Hartadi yang memberi kesempatan Velo merasakan hal-hal itu?
“Ck… lancang deh, pake pegang-pegang bibir gue, tapi nggak dikasih salam
tempel,” gumam Velo kembali tanpa menyaring kata-katanya, hanya asal
menyuarakan isi pikirannya. Tak lama dia melebarkan mata dan mengubur
wajahnya malu di atas meja kitchen bar, tidak memahami lagi apa isi pikirannya.
“Gue kok mulai kayak sekretaris Pak Amar yang genit sih? Apa ketularan gara-
gara gue sering gosipin manusia yang satu itu, ya?” Velo menyingkirkan anak-
anak rambut yang menempel di wajahnya ketika mengangkat kepala, lalu
memandang segelas English Breakfast yang baru diseduhnya beberapa menit
yang lalu.
Seorang pria kemayu bergabung dengan Velo di kitchen bar, tangan lentiknya
mengusap bahu Velo amat keibuan. “Pulang bareng sama tuh laki kayaknya
menggonjang-ganjing diri lo ya, Beb? Emang bentukannya kayak apa? Lo resek
deh, nggak mau kasih liat ke gue tuh muka si Bapak.”
“Dia laki-laki kebanyakan pada umumnyalah blasteran Polandia- Jawa dan nggak
nyentrik kayak lo. Cakep iya, tinggi pastinya, tapi yang paling menonjol dari dia
itu ya… uangnya.” Velo bertopang dagu. “Dia bilang ke Biyan kalo Cahari lagi
siapin beberapa kuda Jerman baru. Dan gue semalem iseng nyarj tau berapa
harga per ekor. Hasilnya, otomatis ngebuat gue angkat tangan.”
“Berapa, Bebz? Seratus juta satu ekornya?” Pria itu menunggu jawaban Velo
dengan serius, kurang lebih Velo sudah memberi tahu pekerjaan dan bidang
usaha yang dijalankan Hartadi.
“Bebz, bebz…” kepal pria itu terkulai layu di bahu kiri Velo, lalu menggeleng tidak
percaya jika harga kuda menyaingi harga rumah. “Sesak napas gue dengernya.
Fix nih ya, lo jadi miliader! Gue ngomong begini sebelum inget siapa bokap lo,
Bebz.”
Sejak tadi pagi terbangun akibat dering bel, Velo mengamini semalam merupakan
tidur paling nyenyak yang pernah di milikinya. Apa rasa nyenyak itu disebabkan
dia berhasil membujuk Hartadi, serta memboyong kembali pria itu ke tanah
kelahiran keluarga besarnya dibarengi komitmen mereka.
“Terus dengan nikah sama si Bapak, beneran bisa ngelepas lo dari Bokap kan?
Gue udah khusyuk nih berdoa supaya lo lancar ngebujuk dia jadi suami lo, dan
untungnya sesuai harapan ya neng, lo harus happy ya, Bebz.” Pria itu dengan
telaten merapihkan rambut Velo yang tergerai, kuku-kukunya dimanikur rapih
dan di jari telunjuknya terdapat cingcin bermata biru.
“Gue yakin bisa lepas. Papih nggak akan main gila kalau calon suami gue adiknya
sendiri, Dan.” Velo memamerkan senyumnya untuk menenangkan Daniah—nama
lain dari pria itu, yang tampak cemas. “Gue udah bilang makasih belum sama
lo?”
“Beuh, udah berkali-kali neng, ampe kuping gue udah bosen dengernya! Neng,
manusia itu emang Udah seharusnya saling bantu, pertolongan gue nggak ada
spesialnya. Lo yang lebih banyak bantu gue kali neng.” Ucap daniah sambil
mengambil jarak duduk dari Velo, selagi menghapus ingatan pahit yang
mendasari tali perkenalan keduanya.
“Mulai malem itu, Papih nggak nekat lagi sama gue. Dia lebih hati-hati.
Keberanian dan pertolongan lo yang buat gue bisa di sini sekarang. Gue nggak
kehilangan bagian dari diri gue sendiri. Maksih banyak ya, Dan.” Ujar Velo tulus
sembari menatap Daniah, tak peduli pria itu membuang wajah ke arah lain.
“Bukan lo aja yang mesti makasih. Gue juga mau bilang terima kasih, lo berbaik
hati angkat gue dari rakyat jelata sampai ke tempat rakyat bergaji tetap.” Daniah
membasahi bibirnya yang terpoles lip balm, sejenak terdiam untuk memastikan
sesuatu. “Bebz, lo udah ceritain kronologi tragedi malem itu ke si Bapak?”
“Belum, gue Cuma baru sempet bilang kalo Papih hampir ngelecehin gue, tapi
nggak detail banget. Tiap inget kejadiannya, gue langsung muntah-muntah.” Velo
meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, namun kondisi Mood yang luar biasa
bagus. “Eh, diminum dong teh nya. Tar keburu dingin lagi.”
“Lo nggak kasih gue gula?” Gerutu Daniah malas-malasan menerima gelas teh
nya. Daniah hapal bagaimana Velo menghidangkan teh English Breakfast
kesukaan perempuan itu, tidak akan ada campuran gula satu sendok pun.
“Minumnya sambil ngaca dong, seinget gue lo pernah sombong, kalo muka lo
semanis gula. So… Apa masih perlu gula pasir? Apa manis lo udah berkurang?”
Ucap Velo sambil melemparkan senyum manis mengejek yang dibalas Daniah
dengan lemparan tissue yang dibentuk bola. “Heh, nggak sopan sama bos
sendiri!”
“Lo yang mancing gue buat bertindak bar-bar ya, Bebz. Gue yang pengen kalem,
eh… mulut lo yang biking ngiris hati!” Daniah melempar rambut panjang
imajinernya ke belakang, amat percaya diri memperlihatkan sikap anggun.
Kenyataannya, rambut pria itu terpangkas pendek seperti potongan rambut pria
pada umumnya.
“Sst!!” Velo lantas menempatkan jari telunjuknya ke depan bibir ketika melihat
layar handphonenya menandakan panggilan masuk, meminta Daniah untuk tidak
merecokinya dulu karena panggilan itu adalah dari Hartadi.
“Halo, Pak?” Velo menerima telepon Hartadi di tengah kerja otaknya yang
menebak tujuan pria itu, karena mereka tidak berkomunikasi sejak perpisahan
kemarin.
“Vel, kamu udah mandi dan wangi?” sambar Hartadi mengebaikan etika
menelepon seseorang. Memang Hartadi ini tidak punya keinginan untuk berbasa-
basi.
Velo terbiasa dengan tabiat itu, tapi kadang sebal juga. Suara berat Hartadi pun
tidak ada yang berubah sejak terakhir mendengarnya, namun Velo pikir suara
Hartadi kali ini terdengar segar. Menandakan pria itu telah beristirahat yang
cukup. Artinya Hartadi tidak menganggap komitmen mereka beban lagi kan?
Sepanjang waktu yang mereka habiskan di Samarinda, di dalam pesawat, sampai
Jakarta— Hartadi termasuk partner yang kooperatif. Sering kali mereka terlibat
adu argumen mengenai suatu hal akibat cara berfikir dan cara pandang
berlainan, namun kematangan mereka membuktikan itu tak menjadi sumber
pertengkaran besar. Entah Velo yang pertama mengalah, berikutnya Hartadi yang
menahan ego.
“Kenapa emanganya harus udah mandi dan wangi?” Velo enggan memberi
jawaban secepat kilat, dia tidak menggubris Daniah yang melemparkan protes
tanpa suara.
“Saya di depan pintu kamu. Kalau kamu belum mandi dan wangi, saya tinggal
pulang. Cinderella aja bangun pagi. Apa jam segini cucunya Wening Bratadikara
masih pakai piyama dan masih kusut?” terdengar sinis dan menusuk, khas
Hartadi sekali.
Selagi turun dari kursi Velo tidak dapat menahan gelombang tawanya, sebab
Hartadi melindungi diri agar tidak dituduh mencuri start lagi. “Saya udah mandi
dan wangi, Pak. Mana mungkin weekend masih rebahan di kasur? Saya harus
ngeberesin apartemen, ketujuh anak kurcaci bongsor nginep disini tadi malem.”
“Hm, mereka tadi malem Nggak pulang?” Hartadi sekilas bergumam. “Sebenernya,
calon suami kamu harus putar otak supaya bisa akur sama mereka. Buka pusing
mikirin ancaman Mas Adi.”
Hartadi sydah menduga ketujuh anak kembar itu akn tinggal dan menguasai
kakaknya. Meskipun jarak usia kakak beradik itu cukup jauh, tapi nyatanya
tidak mengurangi kedekatan mereka. Hartadi masih ingat, Adiputra memiliki
anak-anak kembar itu saat Velove berusia sebelas tahun.
Pernah sekali Hartadi berkunjung ke rumah sakit pada saat si kembar tujuh
lahir, dia melihat Velo kerap menunggu di depan ruangan bayi yang berkaca
berukuran besar meskipun tirai masih tertutup. Sekarang ini mereka bertujuh
sangat perhatian dan melindungi kakaknya, tapi Si kembar tujuh itu Tidak tau
siapa yang harus diwaspadai.
Velo sudah sampai di belakang pintu, dia menarik handle dan kedua matanya
terserap pada Hartadi—Ck… kenapa harus sekeren ini sih? Pria empat puluh lima
tahun, namun penampilannya dapat mengalahkan para pria yang lebih muda.
“Kamu berusaha bilang saya ‘calon suami’ kamu ya, Vel?” tembak Hartadi tanpa
keraguan, lalu melangkah maju dan mencapit hidung Velo pesis yang sudah-
sudah.
“Ini si Bapak?”
“Ck… Pelit banget lo, Bebz.” Cebik Daniah menerima kejudesan Velo, namun tak
menggeser atensinya dari Hartadi dan bersikap malu-malu karena menyadari pria
itu terus memperhatikannya. “Neng, laki lo mandangin gue loh… Gue takut si
Bapak terperangkap keindahan ini. Tutupin matanya dong, Bebz.”
“Dan, boleh mulutnya dijaga dulu?” Velo menekan setiap katanya dan memberi
kedipan mata beberapa kali, dengan kata lain menyuruh Daniah tidak
mengeluarkan kalimat-kalimat ajaibnya.
Hartadi melirik ke samping melalui bahu, sementara Velo yang setinggi bahunya
tersebut lantas mendongak dan sebelah alis Hartadi terangkat. “Siapa, Vel?”
“Dia teman saya, tapi merangkap admin untuk usaha yang pernah saya ceritain
ke Bapak, inget?” Velo mengulurkan tangannya ke depan, membuat gestur agar
Hartadi segera masuk dan tak perlu sungkan di tempat pribadinya. “Masuk, Pak.
Si kembar udah pulang dari pagi.”
“Saya inget usaha sampingan kamu, tapi kenapa dia tau saya?” lirikan Hartadi
datar saja, tetapi sindiran Hartadi berikutnya sukses membuat Velo salah
tingkah. “Apa aja sih yang kamu umbar-umbar ke orang lain tentang saya? Nggak
salahkan saya mau Denger juga?”
Hartadi tidak lagi menahan kakinya untuk lebih dalam memasuki apartement
yang entah sejak kapan dihuni oleh Velo. Warna putih mendominasi setiap
sudutnya. Sebelum berangkat ke Jakarta, Hartadi sempat mengira Velo masih
tinggal serumah dengan keluarganya, tetapi keputusan mandiri ternyata sudah di
tempuh oleh peremouan itu.
Di belakang Hartadi, Velo menyusul pria itu usai memastikan pintu terkunci dan
memgambil sekian detik waktunya untuk mengusir rasa malu. Velo mendengar
cekikikan Daniah yang nampaknya cukup menikmati interaksinya, jika Velo tau
pria itu akan datang, adaniah sudah diauruhnya pulang dari tadi.
“Siapa yang ngumbar, Pak? Kayaknya Bapak terlalu percaya diri.” Velo merasa
kedua belah pipinya memanas, Di tengah rasa malu yang masih mendera, sebisa
mungkin Velo tidak salah bersikap. “Daniah tau Bapak, karena dia…”
Daniah yang berada di kursinya pun menghadiahi pelototan ngeri. Tidak yakin
apakah atasannya itu telah siap mengungkapkan kenangan lalu, bagaimana
Daniah bisa menjadi teman Velo dan mengetahui profil Hartadi.
Sedangkan, Daniah yang hina ini hanya seorang pengamen jalanan sebelum
mengenal Velo.
“Vel, saya tau kamu nggak jujur.” Hartadi tidak terdengar mengintimidasi, pria itu
berjalan ringan mendekati sofa kulit yang menghadap layar tv ukuran enam
puluh inchi dan meminta Velo duduk di sampingnya.
Velo dan Daniah saling bertukar pandangan sejenak, namun Velo memutuskan
tidak melempar kode apapun dan bergabung dengan Hartadi di ruang televisinya.
Duduk disamping Hartadi, Velo tak gentar diamati pria itu yang seolah menunggu
dirinya untuk jujur. Pikiran Velo hanya sedang menimbang-nimbang, haruskan
dia menceritakan perihal malam itu?
Hartadi tak sabar mengulik kejanggalan dari penjelasan Velo. “Saya nggak yakin
kamu Semudah itu keceplosan di depan orang lain. Ada alasan yang lebih
mwyakinkan saya?”
Velo menurunkan pandangan pada kedua tangan Hartadi, dia sedang meredam
gejolak yang mulaibuat lidahnya terasa pahit. “Saya bingung harus mulai dari
mana. Gampang untuk diri saya jujur ke Bapak, tapi fisik saya suka nggak
support.”
“Daniah emang tau Bapak bukan karena saya keceplosan. Maaf, tadi saya sempet
bohong. Saya kenal Daniah… karena Daniah pernah nolong saya—"
“Lo yang bener mau maksain ngomong? Gue nggak sanggup liat muka lo, mulai
pucet tuh!” Daniah tidak mengada-ngada, Velo kehilangan rona yang sebelumnya
menghiasi wajahnya. “Atur napas pean-pelan Bebz. Kalau emang pengen muntah,
langsung aja lo muntahin. Nggak bagus ditahan.”
“Masih oke kok, Dan.” Tepis Velo dan mencuri pandang pada Hartadi, tapi tidak
menolak dibimbing Daniah untuk mengatur napasnya.
Kali ini Hartadi memposisikan diri sebagai pengamat tanpa benar-benar mengerti
apa yang terjadi. Jika Hartadi menempatkan praduga awal, Velo sepertinya
mengalami trauma atau kecemasan yang berkaitan dengan Daniah. Terlihat dari
Daniah yang begitu menghawatirkan kondisi Velo.
“Bapak manggil nama aku?!” Daniah terkesiap tak bisa mengatur ekspresi
wajahnya.
Tangan Daniah yang sedang mengusap punggung Velo ikut berhenti dan tanpa
sungkan mencolek dagu perempuan itu. “Bebz, laki lo mamggil nama gue! Harus
gimana dong jawabnya? Boleh pakai suara ngedesah gitu nggak, Bebz?”
“Ck… Males deh gue kalo lo sebut-sebut tuh nama. Jahat lo ya?” Daniah
merengut, tapi akhirnya pria itu memiringkan duduknya menghadap Hartadi.
“Ada apa Pak? Kok saya dipanggil-panggil?”
Hartadi tidak peduli pria itu mau bersikap centil padanya, toh dia tengah
berkonsentrasi untuk hal yang lebih penting. “Kenapa nggak kamu aja yang
menjelaskan ‘apapun’ itu ke saya kalau Velo nggak bisa?”
“A… aku?!” dengan gugup Daniah menunjuk dirinya sendiri, tidak menyangka
malah dia yang diinginkan Hartadi menggantikan Velo. “A-aduh, susah banget sih
tugasnya?!”
“Mmh.. Soalnya…” Daniah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan tiba-tiba
saja ingin kabur dari apartement Velo.
Velo mengepal tangannya dipenuhi tekad untuk mengungkapkan sendiri pada
Hartadi. Tidak mungkin Daniah yang dibebankan karena dia terlalu lemah—
tidak mampu berdamai dengan kenangan yang sudah membusuk.
Hartadi bersedia menceburkan diri dalam masalah Velo. Selapis demi selapis
kebemaran sudah diterima Hartadi, tapi Velo masih menyimpan satu lapis
kebenaran lagi. Mungkin hari ini Velo akan mendengar kembali umpatan-
umpatan kasar Hartadi. Cara pria itu melepaskan kekesalannya untuk sang
kakak.
“Dan,” Velo menyentuh Punggung tangan Daniah. “Lo bisa tinggalin gue sama Pak
Har berdua dulu?”
Daniah menggeleng tak tega. Meakipun Daniah sadar betul mulutnya seakan
membisu untuk menggantikan Velo, menceritakan apa yang perempuan itu alami
pada malam ketika dia sedang berteduh akibat hujan.
“Iya gue serius.” Velo sendiri tidak seratus persen menjamin kondisinya baik-baik
saja jika keras kepala memaksakan diri, tapi melawan kenangan kelamnya telah
menjadi keputusan final.
“Ya udah, gue balik dulu ya Bebz. Pokoknya kalo lo kenapa-kenapa, lo harus
telepon gue, segera! Gue pasti langsung meluncur kesini buat nenangin lo. Oke?!”
Daniah bangkit dari duduknya, memberikan dukungan untuk Velo dari
pandangan matanya yang tak lupa melempar senyum manis pada Hartadi.
***
Dan tidak ada yang tau berapa lama mereka terdiam dalam keheningan, terhitung
sejak Daniah berpamitan dan pergi dari apartement Velo.
Dari sisi Hartadi, pria itu merasa sudah memberikan waktu yang cukup bagi Velo
untuk membuka diri dan siap memberitahu sesuatu yang sialnya membuat dia
penasaran.
Flashback On
“Pih, kita bukan mau dinner sama Mamih kan?” Velo tidak tenang luar biasa dan
batinnya menjerit, dia beringsut menjauh dari Adiputra yang duduk di sisinya
tanpa kata seakan apa yang diperkirakan Velo memang benar.
Mobil sedan dimana Velove dan Adiputra berada di dalamnya sekarang, mobil
yang juga menjemput Velo sepulang kerja tadi, tidak pernah Velo lihat sekalipun
terparkir di garasi rumah mereka. Sopir yang tiba-tiba pergi meninggalkan
mereka dengan sengaja, hanya seraut asing yang tertutupi masker.
Telapak tangan Velo mulai terasa dingin, dia hampir yakin tremor akan
menyerangnya tak lama lagi. Senjata Velo sekarang tidak lebih dari permainan
waktu dan kalau bisa dia harus berbuat sesuatu yang mengundang perhatian
orang lain dari luar mobil.
Adiputra seakan menulikan telinganya, pria itu tidak memberikan respon yang
diharapkan Velo untuk sadar. Pandangan memuja semakin diarahkan Adiputra
untuk Velo, memuaskan matanya dengan kecantikan alami Velo, serta memindai
kemolekan anak tirinya tersebut.
“Papih selalu ngejaga kamu dari laki-laki ingusan yang sangat sombong bisa
menyentuh dan milikin kamu, Velo. Kamu berharga untuk Papih.” Ujar adiputra
diselingi kebencian yang tidak luput dari suaranya saat menyebut ‘laki-laki’.
“Velo berharga di mata Papih, karena Velo anaknya Papih kan? Kita pulang ya?”
Veli tak ingin pesimis, semangatnya belum surut untuk membujuk Adiputra agar
memulangkannya.
Velo lantas melihat ke bagian depan mobil. Bodoh sekali, Velo sampai tidak sadar
kalau mesin mobil sudah dimatikan dan sopir brengsek tadi yang mengunci dari
luar. Menyadari itu, Velo hampir kehilangan tenaga dan semangat yang
membuatnya bersadar lemas. Air matanya sudah hampir ke bibir, membiarkan
Velo merasakan asin dari kesedihannya sendiri.
“Cantik. Menangis pun kamu tetap cantik.” Puji Adiputra kelewat hilang akal. Rok
pensil beige yang membalut pinggang ramping Velo sampai ke betis Velo,
membuat Adiputra menjatuhkan sentuhan pada kaki indah perempuan itu.
“Iya aku berani!” Velo menelan tangisnya sendiri, masih berusaha tegar
menjauhkan papih tirinya. ”Kenapa aku nggak berani melukai Papih? Di saat
yang sama Papih melukai aku?”
“Papih sayang sama kamu Vel, papih nggak akan rela kamu dimiliki laki-laki
lain. Selama Papih ada, kamu hanya milik Papih.” Bisik Adiputra menghadirkan
desir mengerikan ke sekujur tubuh Velo.
Untuk kali ini, Adiputra tidak berbaik hati lagi. Adiputra menarik siku Velo agar
lebih dekat, dia paksa Velo untuk berbaring dibawahnya dengan kesadaran
penuh. Kedua tangan Velo yang memberontak dan mendorongnya sekuat tenaga,
tidak mengurangi niat dan energinya menundukan Velo.
Rasanya Velo tidak pernah sehina ini. Velo meraung dan mencakar Adiputra
seakan dirasuki setan. Dia bahkan takut pita suaranya putus, membuatnya tidak
bisa meneriakan kata ‘tolong’ kepada siapapun. Velo tidak ingin merasakan
sentihan Adioutra yang kurang ajar menjamah paha dan bagian dadanya.
“Pih, lepasin Velo Pih, Lepasin…”
Velo membayangkan wajah Mamih dan ketujuh adik laki-laki kembarnya, itu
sebabnya dia menumpahkan seluruh airmata yang tersisa. Satu tangan Velo
menggapai-gapai keatas, dia melihat celah di kaca jendela mobil, meskipun air
mata memburamkan penglihatannya.
“Papih tergila-gila sama kamu Vel, semakin hari kamu semakin membuakn
Papih.” Bisik Adiputra entah yang keberapa kali, perut Velo tergelitik untuk
memuntahkan sesuatu setiap bisikan tersebut membuai pendengarannya.
Tidak sampai disitu, Velo merasa diambang kematian kerika figur ayah untuknya
menggesekan sesuatu dibalik celana bahannya ke atas paha Velo. Seketika jeritan
Velo memenuhi sedan itu, dia jijik luar biasa dan tidak pernah membayangkan
akan dilecehkan seperti ini.
Dengan perasaan terhina, Velo menampar wajah Adiputra sekeras yang dia
mampu dan membiat pria itu oleng untuk beberapa saat. Velo mengambil
kesempatan instan untuk duduk dan memukul-mukul kaca, lalu dia
menjulurkan tangannya keluar melalui kaca yang sengaja diturunkan—mungkin
agar oksigen tetap masuk, meskipun mesin dimatikan.
Velo ikut mendekatkan wajah ke celah yang tidak seberapa itu, lalu meneriakan
harapan terakhirnya, karena tangannya mulai terkuras. “Tolong saya, Tolong,
Tolong…”
Yang membuat tangisnya menjadi-jadi, ketika ada tangan lain yang menyambut
tangannya dan pemilik tangan tersebut membawa ukulele usang dengan stiker
hello kitty.
Hartadi menekan saklar untuk menghidupkan exhaust yang berada tepat di atas
clost duduk. Satu sisi tubuhnya bersandar pada kusen pintu dengan kedua
tangan bersedekap.
Dia sengaja tidak mendekat karena memberi ruang untuk Velo leluasa menghirup
udara dan memuntahkan isi perutnya. Mengejutkan, Hartadi tak pernah
sekalipun menyaksikan Velo dalam kondisi terlemah.
Ini erat dengan psikologis Velo akibat pelecehan yang di perbuat Adiputra dua
tahun lalu. Selama menjabat sekretarisnya di kantor pusat, jangan harap melihat
Velo berantakan dan tidak fit. Perempuan itu selalu tampil menawan dan enerjik.
Satu tangan Velo sibuk merapihkan rambut yang lengket di kiri dan kanan
wajahnya, karena dia berkeringat menghadapi rasa mual luar biasa. Sementara,
tangan lainnya mencapai flush dan menekan tombol tersebut untuk membilas
sisa-sisa muntahannya. Velo tak ingat lagi menjaga imejnya di depan Hartadi.
Velo meminimalisir mual yang terasa dengan menarik napas berulang kali.
Kondisi ini terjadi, karena Velo belum mampu mengaburkan perasaan jijik dari
alat vital ayah tirinya yang sengaja digesekan ke atas pahanya yang telanjang—
setiap Velo mengingat atau menceritakan kronologi malam di mana dia
dilecehkan.
“Saya nggak mau keluar,” kukuh Hartadi merasa bukan pilihan tepat
membiarkan Velo sendiri, karena dia sangsi Velo memiliki tenaga setelah habis-
habisan mengeluarkan isi perutnya. “Saya mau di sini dan menemani kamu.
Nggak boleh?”
Saat ini Velo tidak harus berkaca untuk tahu bagaiamana rupa wajahnya.
Hidungnya sudah pasti memerah, bulu-bulu matanya pun sepertinya basah
disebabkan air mata yang keluar melawan mual, dan bibir yang sewarna batu
pualam.
Hartadi tetap bertahan. “Nggak ada yang ngelarang. Muntahin kalau memang
merasa mual.”
Merawat perempuan dapat dikatakan bukan hal baru untuk Hartadi. Selain
pernah merawat ibunya, Hartadi sempat memiliki mantan kekasih dalam
hubungan serius.
Sekali dua kali selama bersama, dia tentu pernah membantu mantan kekasihnya
ketika sakit. Sayangnya, kondisi lemah Velo sekarang ini tidak bisa disamakan
dengan sakit fisik biasa.
Velo mendapat trauma dari sentuhan Adiputra, pikir Hartadi praktir.
Betapa sakit jiwanya Adiputra. Hartadi tidak tahu kalau Adiputra sudah berani
memaksakan kehendak nafsunya pada Velo sampai sejauh itu. Itu tidak lagi
disebut ‘hampir dilecehkan’, tapi ‘sudah dilecehkan’. Lalu, bagaimana nasib Velo
tanpa Daniah?
Hartadi berdecak kasar dengan bayangan kriminal di otaknya. Tentu saja
kehormatan Velo dapat direnggut atas dasar pemerkosaan. Juga tamat hubungan
keluarga mereka. Sial, Adiputra lebih berbahaya dari perhitungan Hartadi.
“Bapak mau nontonin saya muntah gitu?” Velo meringis sebal, tidak bisa
menghalangi Hartadi. “Yakin, Pak? Emangnya nggak jijik?”
Hartadi berdecak malas. “Kurang ribet apa kamu, Vel? Nggak usah banyak tanya,
saya tetap di sini. Muntah sepuas kamu nggak akan merubah keinginan saya.”
Belum sempat mengutarakan lebih banyak keberatannya, Velo segera menunduk
ke arah closet dan mengalah pada rasa mual yang ternyata belum selesai. Suara
muntahnya sudah pasti tak nyaman di dengar, namun dari ekor matanya dia
lihat Hartadi tidak pergi.
Memastikan Velo belum pulih dari kondisi traumanya, Hartadi pikir tak ada
gengsi yang harus dijunjung tinggi untuk saat ini. Kemudian, Hartadi menuju
kabinet wastafel di dalam kamar mandi untuk mencari handuk bersih.
Hartadi membuka kabinet kiri, dia mendapati benda-benda yang diperuntukan
bagi kaum feminim. Wajahnya berubah datar, dia memutuskan beralih dengan
cepat ke kabinet kanan dan menemukan apa yang dia cari.
Beberapa tumpuk handuk bersih tersedia di sana. Tanpa pikir panjang, Hartadi
meraih handuk yang tersusun di paling atas. Hartadi bangkit dari duduknya, dia
putar keran wastafel dan membasahi sebagian handuk tersebut.
Memutar tumit, Hartadi bergabung di samping Velo. Perempuan itu terduduk di
atas lantai, masih memegang pinggiran closet dengan kedua tangan dan rambut
sepunggung yang acak. Kondisi perempuan itu jauh dari kata ‘baik’.
“Nanti kalau ketemu Mas Adi, paling enak saya tinju ulu hatinya atau tending
selangkangannya? Saya ikutin maunya kamu.” Hartadi bertukar pandang dengan
sepasang iris Velo. Tak biasanya seredup itu, membuat seluruh dirinya mengutuk
Adiputra.
Velo menyunggingnkan senyum tipis. “Nggak dua-duanya, Pak.”
Jangan anggap Hartadi sekadar memancing Velo bicara saja. Velo tahu benar
sumbu kesabaran Hartadi, tipikal yang cepat panas dan mampu mengunggulkan
arogansi jika pria itu mau.
Bilamana dia menjawab pertanyaan Hartadi tersebut dan memberi persetujuan,
Hartadi tidak akan sungkan meninju atau menendang sang kakak.
Memikirkannya saja Velo tak sudi.
“Nggak bisa selamanya kamu diam dan melindungi Mas Adi. Saya aja yang bukan
korban, rasanya pengen cekik dia sampai mohon-mohon ampun,” kata Hartadi
santai, dia beringsut dari Velo untuk menekan flush dan menutup closet.
Velo mengusap pipinya yang dingin. “Bapak kan udah tau semua alasan saya?
Lihat sendiri kan kemaren sikembar B, mereka peduli dan protektif, kalau mereka
tau kakaknya ini dilecehkan papihnya sendiri… apa nggak kejam?”
“Kejam,” jujur Hartadi mengingat anak laki-laki sering kali menempatkan ayah
mereka sebagai role model.
“Terus kenapa Bapak kesannya minta saya speak up? Saya diam, karena nggak
mau nyakitin hati orang-orang sekitar saya.” Velo memaksakan kedua kakinya
menopang tubuh, dia berdiri semampunya di hadapan Hartadi. “Saya pengen
egois, pengen ngadu. Tapi, apa itu bijak?”
Yang jelas, Hartadi tidak senang diragukan oleh seseorang yang mulai dia
percayai, namun kedua kaki Velo menggiring fokusnya tidak berada pada
percakapan mereka.
Perempuan itu keras kepala untuk berdiri sok tegar, melupakan bagaimana
serangan mual tadi menghabisi setengah tenaganya, hanya untuk menepis setiap
kata-kata Hartadi.
Baiklah kalau begitu, Hartadi akan membuat Velo duduk tanpa harus repot
mentitah. Dia Tarik sudut bibirnya dengan pemikiran tersebut, tak disangka Velo
menyadari senyumnya dan membalas dengan kerutan di kening.
Mungkin perempuan itu bingung kenapa dia tiba-tiba tersenyum, sedangkan
tensi emosi mereka sedang tinggi. Sengaja tidak memberi aba-aba, Hartadi meraih
dua sisi pinggang Velo dan menghadirkan kesiap dari bibir perempuan itu.
Diangkatnya Velo sampai tidak menjejak lantai dan mendudukannya di atas
closet yang sudah tertutup. Velo memandang tak percaya, mulut perempuan itu
membuka dan Hartadi bertingkah seperti tidak melakukan apa-apa.
“Pak, kok saya diangkat? Berat, Pak. Weight goal saya masih kurang dua kilo
lagi…” Velo terserang grogi, diamenggigit bibir sembari menatap ke sudut lain dan
tidak mau memperlihatkan wajahnya pada Hartadi.
“Bilang ke saya nggak diet, tapi barusan sebut-sebut weight goal. Apa kata saya?
Defisit kalori Cuma permainan kata kamu,” tandas Hartadi hampir menyentil
kening Velo, namun dia mengurungkan niatnya itu dan mempergunakan handuk
setengah basah yang diambilnya tadi untuk membasuh wajah Velo.
Velo hendak membela dirinya mengenai diet dan defisit kalori yang disinggung
Hartadi, tetapi sengatan dingin dari handuk yang diusapkan pria itu pelan ke
wajahnya menyurutkan keinginan Velo bicara, bahkan menarik napas pun dia
seakan berat melakukannya.
“Dingin,” gumam Velo hampir tidak terdengar. Dari sekian banyak kata-kata pada
KBBI, mengapa hanya itu yang bisa terucap darinya? Dingin?
Hah… yang benar saja, batin Velo menanggung malu.
Hilang sudah kemahirannya memainkan kalimat. Perhatian Hartadi ini bagaikan
magis yang mampu menyilap Velo. Mulut dan pergerakannya terkunci, hanya
gerakan pelan dari handuk dingin di pipinya yang menyadarkan bahwa ini nyata.
Apa Hartadi sudah bisa bersimpati? Terakhir kali, Hartadi mengusap rambut Velo
persis seperti orang membersihkan beling. Jika benar Hartadi semakin mahir
memberi perhatian, Velo harus bersiap-siap untuk tidak terlalu cepat ‘jatuh’ pada
pria itu.
Menyukai Hartadi yang sinis dan galak tidak sesulit yang terpikirkan. Seantero
Royal WCS Jakarta sudah memberinya bukti sejak hari pertamanya bekerja
dengan pria itu. Mereka mengidolakan sosok Hartadi yang sama sekali tak lembut
itu.
Pria itu lalu memusatkan handuk pada sudut bibir Velo, masih kental dalam
ingatannya seberapa hebat rasa bibir itu, namun lekas diusirnya bayangan serta
rasanya. “Biar kamu seger. Tadi kamu layu banget, mirip sayur nggak laku.”
Velo mengambil kesempatan, dia lirik Hartadi yang jaraknya dekat sekali
dengannya. “Saya nggak laku?”
“Sayur yang nggak laku,” koreksi Hartadi, tidak membiarkan kesalahpahaman
mereka memanjang. “Kalau kamu sendiri bukannya udah laku? Marketingmu
bagus, Vel. Buktinya saya di sini sekarang.”
Velo termenung sebentar tanpa memberi apa yang diminta Hartadi. Wajahnya
masih berpaling dari Hartadi, namun kini dia tolehkan kembali dan memandang
langsung ke dalam hitam dari mata pria itu yang juga memaku ke arahnya.
Sungguh, dia tak memahami jalan pikiran Hartadi. Mengapa pria itu menanyakan
hal sensitive yang sudah jelas akan memberikan efek kurang baik terhadapnya?
Jangan katakana, Hartadi sudah lupa detail malam dimana dia dilecehkan.
Sedangkan, Velo baru saja menceritakan dan belum melewati dua puluh empat
jam.
Ucapan Velo terdengar kering, tidak sadar meremas ujung kaosnya yang
oversized. “Saya udah kasih tau Bapak. Kenapa saya harus tunjuk lagi?”
“Pak, berdiri dong! Ngapain sih?” Velo kesulitan, akhirnya dia menarik sebelah
lengan Hartadi. Meskipun sudah menggunkan kedua tangan, Hartadi tidak
bergeser dan masih bergeming di posisi semula.
“Pak…” Velo was-was bukan main, tetapi jantungnya berdegub kencang seakan
tau apa yang ingin dilakukan Hartadi. “Bapak berniat menggantikan sentuhan
Papih sama sentuhan Bapak sendiri?”
“Tentunya saya lebih gentle. Saya nggak ada maksud buat melukai kamu. And,
I’m gonna use my tongue and hands. Jadi, saya butuh izin kamu.” Ucap Hartadi
membenarkan dengan tegas. Cepat atau lambat dia akan menikahi Velo. Tidak
akan Hartadi biarkan sentyhan Adiputra masih membekas dalam traumanya
Velo.
“Belum yakin nggak menjamin tidak berhasil .” Hartadi menumpangkan satu kaki
Velo ke atas bahu kanannya, lantas dikecupnya betis Velo mendeklarasi
tekadnya.
“Minum terus dari kita berangkat. Apa nggak kembung?” sindir Velo tanpa melirik
Hartadi, sementara dia sendiri sedang serius melihat ke luar jendela.
“Saya haus. Jalan satu-satunya ngurangin haus ya dengan minum kan?” balas
Hartadi sambil menutup botol air mineral yang sudah habis, dia pun mengambil
kesempatan beberapa detik untuk memastikan ekspresi Velo sembari
menempatkan kembali botol kosong itu ke cup holder.
“Oh, haus? Kapan-kapan Bapak main ke apartement lagi, saya usahain nggak
lupa suguhin minum deh.” Balas Velo sekadarnya, bingung harus menanggapi
‘kehausan’ Hartadi seperti apa.
Hartadi mempertahankan harga diri, maka dari itu dia tergerak melepaskan
seatbelt dan mengibaskan tangan. “Santai ajalah. Lagian saya ke rumah kamu
bukan nyari minum, ini ulah temen-temen saya rebut terus.”
Velo berani mempertaruhkan logam mulia seberat lima gram miliknya, jika
Hartadi tidak haus dalam artian sebenarnya. Hartadi memegang janji untuk
memperlakukannya secara ‘gentle’, tetapi tidak di sangka-sangka, mereka malah
termakan keintiman yang menguji janji Hartadi sendiri.
Setahu Velo, ada berbagai macam cara yang dilakukan seorang pria untuk
berperang dengan hasrat mereka. Dari gerak-gerik Hartadi, Velo belajar bahwa
minum juga bisa menjadi salah satu jalan keluarnya. Di samping itu, Velo harus
akui calon suaminya tersenut memiliki control diri yang sangat baik.
“Pak Maestra dan Pak Haris kok bisa tau Bapak ke Jakarta bareng perempuan?
Emang mustahil banget ya Bapak kerja di pusat lagi kalau bukan ngebawa
pulang perempuan?” celetuk Velo sambil mendekatkan dirinya kearah Hartadi.
Hartadi mengusap pelipisnya sambil berfikir. “Maestra dan Haris nggak pernah
kepikiran saya ngelepas Royal WCS Samarinda dan pulang ke Jakarta, jadi
mereka ringkas aja ngira saya mau nikah. Mereka tau jiwa saya di Cabang
Samarinda kayak apa, karena hidup saya lagi ancur-ancurnya waktu
membangun cabang itu.”
“Ck… pantesan aja saya dimusuhin satu kantor. Gara-gara saya nyusahin idola
mereka, ya?” cebik Velo senyum masam. “Cabang Samarinda diresmiin lima
tahun lalu, saya juga kebetulan masih kerja di pusat. Pas dapet info Cabang
Samarinda, saya justru mikirnya Bapak cerdas banget nyari pelarian yang
menghasilkan.”
Memang selama ini tidak ada yang menyampaikan perubahan besar karyawan
Royal WCS terhadap Velo. Baik kedua sahabatnya, orang-orang kantor yang
mengenalnya secara pribadi, karena itu dia terkejut mendengar fakta tersebut
dari Velo setelah tahun-tahun yang terlewati.
Tidak melepas tanggung jawab dan memecat Velo, Hartadi meminta perempuan
itu ditempatkan ke salah satu department pada kantor pusat. Sementara dirinya,
mencari jalan keluar dari kerumitan hidupnya dengan melepas kursinya di
Jakarta dan bertandang ke Samarinda membentuk pencapaian baru.
Velo menggigit kuku ibu jarinya, lalu sekilas menertawakan perkataan Hartadi.
“Mana ada yang mau nyinyirin saya ke Bapak? Backround asli kita sebagai
keluarga bukan rahasia umum di kantor. Ya pasti takut di depaklah mereka!”
“Mana ada sih saya terrapin nepotisme? Saya tau kamu kompeten dari IPK dan
hasil studi, makanya saya terima rekomendasi Mas Adi buat angkat kamu.” Ucap
Hartadi menatap lurus Velo. “Berarti orang-orang pusat nggak nilai saya netral
dong?”
“Hm.. Mereka susah mau nilai netral.” Velo mengedikan bahu. “Simple nya gini
Pak, ngapain bos angkat anak kakaknya buat jadi sekrearis kecuali ‘titipan’?
udah biasa kan hal-hal semacem itu ngebentuk kesan Bapak nggak netral?”
“Ck… pangkat tinggi pun memang serba salah di mata karyawan,” sinis Hartadi
seraya mendengus. “Apa ya reaksi mereka nanti kalo tahu kamu naik pangkat
jadi istri saya? Kejang-kejang kali.”
“Hmmmm… seru juga nih kalo saya petantang-petenteng dating ke kantor pakai
gaya sosialita berstatus istri Hartadi Bratadikara. Masalahnya, mereka nggak tau
kalo saya Cuma anak tirinya Papih. Tar jadinya disebut-sebut hubungan
terlarang lagi?” Velo terkekeh sebab menemukan potensi gossip dikalangan Royal
WCS.
Hartadi bersandar pada pintu mobil yang masih tertutup, lalu menyipitkan
matanya ke arah Velo tak percaya. “Tumben kamu mikirin omongan orang Vel? Di
mata saya kamu itu tipe-tipe yang bodo amat sama omongan orang lain.”
“Emang saya bodo amat kok pak.” Velo mengeluarkan Lip balm sambil memoles
bibirnya tanpa peduli diamati Hartadi. “Tadi tuh saya Cuma ingetin Bapak.
Sembilan puluh delapan persen karyawan di pusat nggak tau saya ini keluarga
tirinya Bapak.”
“Bagus, karena nggak ada untungnya juga mikirin orang lain.” Ucap Hartadi
sambil menghidar dari pemandangan di sampingnya. Dengan dongkol, Hartadi
menolehkan kepalanya ke kanan dan sedikit membelakangi Velo, tak ingin
kembali terpengaruh oleh pesona Velo.
Di luar ekspetasi, Hartadi menangkap beberapa sosok yang sangat dikenalinya.
Segera Hartadi memastikan Velo sudah siap atau belum, karena beberapa sosok
yang sedang berjalan bersama-sama itu mungkin akan menghampiri mobilnya.
Dan benar saja, awalnya Haris menunjuk-nunjuk mobil Chevrolet Camaro yang
serupa Bumblebee dalam transformers, namun beberapa detik kemudian tertuju
pada mobilnya seolah mengetahui Hartadi berada di dalamnya.
“Vel, temen-temen saya lagi jalan kesini,” ucap Hartadi sambil membunyikan jari-
jari tangannya hingga terdengar suara berderak dari tulang. “Mereka ribut terus,
ngarep banget ketemu orang yang bikin saya pulkam. Padahal, belum dikasih tau
apa-apa sama saya.”
“Sampai sengaja bikin acara ngumpul-ngumpul gini, Pak?” Tanya Velo santai
sambil mengikuti pandangan Hartadi menemukan wajah-wajah tidak asing
tengah beriringan menuju mobil mereka.
Sepertinya para sahabatnya Hartadi itu dating lebih awal dibandingkan mereka,
karena sangat begitu antusias… mungkin ya?!
“Kamu ngerasa kecepetan nggak ketemu temen-temen saya? Komitmen kita
kayaknya baru dua hari yang lalu deh.” Ucap Hartadi sambil mengambil
ponselnya yang berada di atas dashboard, lalu memasukkannya ke saku celana.
“Kalau saya ngerasa kecepetan atau belum siap, nggak mungkinlah ngabisin
waktu make-up dan ikut Bapak sekarang.” Ucap Velo buru-buru merapihkan
rambutnya yang tergerai, memperjelas helai-helai rambutnya yang diwarnai
dengan warna cokelat kehitaman.
“OK, saya Cuma mastiin aja kamu nggak ngutuk saya diam-diam, karena nggak
pertimbangin kesiapanmu,” ucap Hartadi bersiap-siap menurunkan kaca jendela
yang bersisian dengannya.
“Saya ngutuk Bapak diam-diam sih, tapi di luar konteks pertemuan dadakan ini,”
sahut Velo menghentikan semua gerakan yang ingin Hartadi lakukan, karena pria
itu reflex mengesampingkan wajahnya sehingga kembali beradu tatap dengan
Velo.
“Kamu ngutuk saya apaan?” Tanya Hartadi serius.
‘Supaya Bapak hilang selera sama perempuan lain dan bilang tidak pada teman
tidur.’ Ucap Velo dalam hati sambil memperhatikan wajah Hartadi.
“Rahasia. Masa bilang-bilang?” ucap Velo mengaitka tali tasnya ke atas bahu,
melempar kode agar Hartadi melihat ke belakang. “Pak, itu…”
Hartadi berdecak kesal sebab ucapan Velo membuatnya penasaran, namun wajah
Haris sudah melongok dari balik kaca jendela mobil yang sudah diberi kaca film
gelap. Mau tidak mau, Hartadi harus menahan kesalnya dan menurunkan
perlahan kaca jendelanya.
“Har, lelet banget sih?!” semprot Haris begitu tidak ada lagi kaca yang membatasi
mereka. “Lo kan bintang utama hari ini, tapi ngaretnya kebangetan. Untung aja
Chef Juna sepupu gue, doi masih terima gue undur nyajiin teppanyaki buat kita.”
“Bukan salah gue. Ngasih kabar ngumpul-ngumpul pas hari H!” Hartadi balik
menyemprol Haris, sekaligus menumpahkan kekesalan karena diganggu sebelum
Velo sempat memuaskan rasa penasarannya.
Velo masih menjadi pengamat, karena satupun dari sahabat Hartadi belum ada
yang menyadari kehadirannya. Cukup memberi Velo kesempatan menyaksikan
interaksi Hartadi bersama para sahabatnya.
Rasanya nostalgia melihat mereka mengobrol, dulu scene seperti ini adalah
makanan sehari-harinya, saat Velove berumur dua puluh empat tahun, dan
sedang naif-naifnya memandang cinta.
“Ck… minggir deh Har, di samping lo ada cewek! Ada badan lo jadi nggak
kelihatan!” haris tiba-tiba menjadi pihak yang paling rusuh, dengan cepat pria itu
menarik bahu Maestra mendekat dan meminta Hartadi tidak menutupi
pandangan mereka.
“Ih, berisik lo!” desis Hartadi menurunkan telunjuk Haris yang hampir teracung
ke arahnya, namun dia tahu sebetulnya ditunjukan untuk Velo di belakang
tubuhnya.
Velo heran dengan keramaian di sekelilingnya. Kalau tidak salah, dirinya yang
tengah diributkan Hartadi dan dua sahabatnya kan? Seakan ada kekesalan
tertentu yang coba pria itu lampiaskan pada kedua sahabatnya. Hartadi pun
tidak memperlihatkan tanda-tanda mengalah.
Tidak ingin menjadi ajang tebak-tebak buah manggis , Velo agak memajukkan
tubuhnya dan menyapa mereka dari balik punggung maskulin Hartadi.
“Pak Haris, Pak Maestra, apa kabar?” ucap Velo memamerkan senyumnya.
Sementara Hartadi hanya mendengus membuang napas saat Velo menyapa
mereka.
***
“Gila, gila banget.” Gumaman Haris kembali menyambangi pendengaran seluruh
orang yang duduk bersama di meja makan pada teras belakang kediaman Resha,
salah satu sahabat.
“Lo persis kaset rusak tau nggak?” Hartadi sengaja memperlihatkan rasa
muaknya, sedangkan Haris tidak menanggapinya serius.
Istri Haris, Valeri mengusap bahu suaminya disertai senyuman penuh arti.
“Udah, Yang. Dari tadi kamu nggak berenti ngomong gitu. Nggak enak didengar
yang lain.”
“Beneran gila tapinya, Yang?” Haris tak mau menutupi keheranannya sejak
menemukan Velo di mobil Hartadi, perempuan itu hadir dalam versi yang
‘manglingin’. Nampak lebih dewasa, matang dan cantik.
“Setuju Ris,” sambar Resha sembari menyodorkan tangan kanannya pada Haris,
keduanya kontan saling bersalaman sambil tergelak karena satu pemikiran.
“Hartadi nunggu jodohnya gede dulu baru kerasa in love-nya.”
“Anjir, setuju lagi gue,” tanggap Haris menggeleng-geleng atas topik hangat siang
ini, dia memperhatikan kembali dua manusia yang duduk berdampingan. “Dari
dulu kemana aja gue? Bisa-bisanya nggak nyadar kalian secocok ini.”
***
Hartadi menahan rasa geramnya dengan menyuap sebuah jamur shimeji
Menggunakan sumpit ke dalam mulutnya. Lirikan tajam sudah diarahkannya
pada Haris, berharap ayah satu anak itu tidak bertingkah seperti remaja yang
memergoki sahabatnya dengan sang gebetan.
Sejujurnya bukan masalah besar sih, karena Velo pun tampak menikmati
makanan yang disuguhkan dan sesekali bertukar Senyum dengan istri-istri
sahabatnya. Tidak mengherankan bagi Hartadi Mendapati kemahiran Velo
Menempatkan diri dan berbaur, pertemuan semacam ini hanya hal kecil untuk
Velo.
Dan jangan lupa mobilitas Dan eksekusi Velo sebagai Sekretaris Direksi.
“Velo, kamu yakin mau sama Hartadi?” Maestra yang dari tadi hanya diam tiba-
tiba memilih angkat suara sambil memainkan senyumnya ke arah Hartadi yang
sedang berwajah masam, sangat bersebrangan dengan wajah Velo yang begitu
cerah.
“Galak, cepet emosian, saklek, perfeksionis dan segala sesuatu dipertimbangin
banget sampai dia ngerasa dia udah oke. Nah, gimana itu?”
Hartadi gerah sekali atas humor Haris dan Resha yang serasi menggoda
kesabarannya, sekarang orang yang dipikirnya paling waras sudah oleng
rupanya. “Mae, lo ikut-ikutan mereka? Seriously?”
“Ck, giliran lo ada waktunya. Gue lagi nunggu Velo ngejawab dulu. Kata Maestra
yang tergolong kalem, tapi menusuk.
“Oh, silahkan,” balas Hartadi tajam seraya mengambil gelas air mineralnya.
Pertemuan kali ini tentu akan terasa amat panjang, Hartadi seharusnya kembali
ke Jakarta saja tanpa mementingkan formalitas mengabari Maestra dan Haris,
jika ujung-ujungnya di jebak dalam situasi seperti ini.
“Saya nggak ada masalah sama pribadinya Pak Har.” Akhirnya Velo
menempatkan sumpit di samping piring, mengelap sudut bibirnya dengan tissu.
“Hartadi yang saya kenal emang gitu kan? Saya seneng kok, dari dulu Pak Har
konsisten sama kepribadiannya.
Hartadi melihat ke arah Velo dibarengi pujian untuk perempuan itu di dalam
hatinya. Bukan sekedar memuji Velo karena perempuan itu sangat menjaga
‘pride’ Hartadi di hadapan sahabat-sahabatnya.
“Mana panggilan sayangnya? Panggilan antar pasangan ngapain seformal itu sih?
Saya gregetan sama kesopanan kamu Vel. Kita nggak lagi di kantor loh.” Tegur
Haris mendengar Velo terus memanggil Hartadi dengan sebutan ‘Pak’, seakan
mereka berdua masih berduet di Royal WCS.
“Oh, saya menyamaratakan Bapak-Bapak yang ada di sini aja kok,” jawab Velo
yang seratus persen tidak benar. “Biasanya Mas Har, tapi nggak saya pakai kalau
lagi ngumpul-ngumpul gini. Apalagi di depan Pak Haris sama pak Maestra yang
dulu sekantor.
Entah apa yang mengendap di dalam benak misterius Hartadi. Velo menyadari
pandangan Hartadi tidak lepas dari arahnya, mengawasinya yang duduk
bersebelahan dengan pria itu, selagi dirinya menyambut setiap pertanyaan yang
ditujukan oleh para sahabat Hartadi.
Mengenai panggilan Velo pada Hartadi yang begitu formal dan tidak
memperlihatkan hubungan dekat mereka, sebenarnya tak ada masalah apapun.
Hanya saja Velo sudah terbiasa dengan caranya memanggil Hartadi ketika masih
jadi sekretaris di Royal WCS Jakarta.
Panggilan asli dari Velo untuk Hartadi tetaplah ‘Mas’, bukan Pak, apalagi Om.
Hartadi yang meminta Velo memanggilnya seperti itu, sejak mereka dipertemukan
untuk pertama kalinya dan Velo tidak pernah melupakan moment tersebut.
‘panggil Mas aja, belum pantes dipanggil Om. Kamu dipanggil apa, Velo, Love?’
“Iya, Velo.” Valerie menimpali Ucapan suaminya. Saat ini rambut Valerie tergelung
rapih di atas tengkuk dan mengenakan Pleated top cream yang memperlihatkan
kedua lengannya. “Aku dan mbak Kelly exited banget waktu di kasih tau ada
kemungkinan geng kita bakalan nambah satu orang lagi.”
Velo menatap dua perempuan yang duduk dipisahkan oleh suami-suami mereka,
kemudian merasa bersyukur di sambut hangat oleh mereka. “Makasih ya, Mbak
Valerie, Mbak Kelly. Aku pikir kalian bakalan jetekin aku...” Ucap Velo bercanda
membuat suasana lebih akrab.
“Bener Vel, dulu memang saya jarang ketemu sama kamu, tapi saya tau
sekretaris legendaris Hartadi yang mana. Sama sayabdan istri pun santai ajalah,”
timpal Resha yang meneruskan bisnis keluarga dan tidak bergabung dengan
Royal WCS dengan ketiga sahabatnya.
Kelly Mengalihkan pandangannya pada Velo usai memperhatikan suaminya
berbicara. Perempuan yang anggun dan tak banyak bicara tersebut menyematkan
senyumannya. “Kamu Velove L Williams kan?”
“Loh, mbak tau nama panjangku?” Velo tidak tau ada yang tau nama panjang
dari ayah kandungnya, selain orang-orang terdekat.
Biasanya kebanyakan orang tau Velove Bratadikara atau lebih patennya adalah
Velo atau lebih akrab lagi Vel.
“Aku pernah liat namamu di linkedin.” Kelly otomatis jadi pusat perhatian semua
orang yang ada di meja makan, khususnya Hartadi. Sementara Kelly hanya
memperlihatkan senyum ramah kearah Velo.
“Ayahku dari Almeda Group dan nama sekretarisnya Livia. Cuma yah aku sering
absen di acara-acara dari Almeda Group, jadi kamu mungkin nggak familiar sama
aku.” Lanjut Kelly dengan santai. “Kamu sekretarisnya Om Damar atau Om
Ammar?”
“Oh, aku sekretarusnya Pak Damar. Mbak Kelly ini putrinya Pak Tama, ya?”
melihat anggukan kecil Kelly, Velo kembali melanjutkan. “Iya Mbak, setauku yang
sering dateng ke kantor dari pihak Pak Tama ya Pak Andre.”
“Bang Andre emang mau gantiin Ayah. Makanya, sibuk diminta kemana-mana.
Kebetulan belum berkeluarga juga, jadi masih bebas Ayah ribetin. And gratefully,
I’m merried.” Kali ini Kelly dan sang suami saling lirik, lalu saling tertawa.
Mereka menikah karena cinta, batin Velo hampir menyentuh kata iri. Tidak
semua yang menikah dilandasi cinta bergaransi bahagia, tapi setidaknya orang-
orang tersebut tau mereka dicintai.
Velo tak sengaja terpaku pada tangan sampai lengan Hartadi. Pikirannya
melayang bebas. Selintas hatinya mengungkap tanya, bagaimana Hartadi
memperlakukan seorang istri? Adakah kehangatan yang dapat pria itu bagi,
selain keromantisan fisk semata.
Lamunan Velo terpecah saat Maestra bertanya pada Kelly. “Andre belum
menikah?”
“Belum Mas,” jawab Kelly dan sedikit menggoda Maestra yang sudah menduda.
“Ada niat cari pendamping bareng-bareng?”
“Ck.. berat ya pertanyaannya…” balas Maestra menghindar.
“Hmm, Pak Andre masih single…” Velo tak sadar sudah menyuarakan isi
pikirannya, membuat kepala-kepala yang ada disana refleks menoleh ke arah
Velo.
Kedua mata Velo memandang sup Miso tapi tidak benar-benar memandangnya,
dia malah sedang menahan diri agar tak kegirangan. Suatu kebetulan, Velo
mengantongi informasi untuk Livia sang sahabat, yang memang menyimpan
ketertarikan pada Andre Almeda.
Hartadi mengerutkan kening masih menilai respons Velo. Bukan sekedar ilusi,
Hartadi merasa Velo hampir cool berdiri dari kursinya ketika mendengar Andre
belum memiliki istri. Tidak cemburu, hanya penasaran.
“terus kenapa kalo Andre masih single, Vel? Kok saya cium bau-bau…” Resha
menatap Velo dan Hartadi secara bergantian, berlagak menjadi inspektur karena
pria itu ikut menyadari perubahan ekspresi Velo.
“Nggak ada apa-apa Pak, saya taunya kalo Pak Andre udah ounya istri. Kayaknya
salah denger dari orang kantor,” elak Velo menyimpan soal Livia dan Andre untuk
dirinya sendiri.”
“Bau apa Res? Jangan cari perkara deh…” ucap Hartadi menantang Resha sambil
bersidekap.
“Mas Har ini kan seusia kamu, Yang. Sedangkan Velo sendiri bilang kan dia
kelahiran 1992. Perempuan berusia dua puluh sembilan pantes-pantes aja kok
sama yang umurnya empat puluh lima tahun.” Ucap Valerie yang beropini
berlawanan.
“Mau cari usia berapa coba? Aku aja tiga puluh empat pilih kamu!” lanjut Valerie
sambil menghadiahi cubitan kecil di perut.
“Duh repot deh gue kalo udah diserang bini!” Ucap Haris menggaduh kesakitan
karena cubitan pedas Valerie.
“Vel—”
“Pak—”
Ucap keduanya berbarengan saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Keduanya saling bersitatap canggung menjauhkan diri masing-masing. Sekarang
mereka tengah berada di basement menjauhkan diri masing-masing sampai
duduk mereka pun mentok ke jendela.
Acara di kediaman Resha berjalan baik, ya… setidaknya untuk Velo, karena
Hartadi menganggap undangan teman-temannya hari ini sangat menguras
kesabarannya. Hm… jugling show dari Chef Juna dengan alat masak
Teppayakinnya hanya segelintir hiburan, sisanya jebakan.
“Kamu duluan, Vel.” Ucap Hartadi memberikan kesempatan, ya.. alasannya klise
saja ‘ladies first’
“Emh… makasih hari ini udah ajak saya masuk ke lingkungan Bapak. Saya
seneng mereka bisa nyambut baik, dibalik keisengan temen-temen Bapak, saya
bisa ngeliat perhatian dan kepedulian mereka.” Ucap Velo sambil meremas tali
tasnya secara tidak sadar. Sementara Hartadi hanya menghela napas panjang.
“Saya juga mau ngucapin makasih sama kamu. Tiba-tiba dateng kerumah ngajak
kamu, dan kamu juga langsung okein, diserang pula sama pertanyaan-
pertanyaan rese dari temen-temen saya dan semua kamu hajar, semua pasti
nggak gampang kan? But, at the end of the day kamu tetep ngejaga harga diri
saya di depan mereka.” Hartadi lalu mengusap tengkuknya tanpa sadar.
“Saya Cuma belajar nempatin posisi aja. Di mata temen-temen Bapak, saya
judulnya pasangan Bapak. Masa saya ikut mojokin? Nanti yang ada Bapak bete
sama saya,” tutur Velo yang tersenyum geli.
“Mereka itu bener-bener ngeselin. Tapi saya yakin Vel, kalau perempuan yang
saya bawa tadi bukan kamu, mereka nggak bakal selebay tadi.” Hartadi tidak
meragukan statement nya yang satu ini.
Semua sahabat Hartadi berpikir yang akan mereka temui adalah seseorang yang
benar-benar baru. Tidak mereka kenali sebelumnya dan mungkin jauh dari
kenalan bisnis, atau hubungan pertemanan.
Nyatanya, wajah mereka pias begitu menemukan Velo yang memperlihatkan diri
dari balik punggung Hartadi lalu menyapa mereka dengan ramah. Dan tak ayal,
mereka membutuhkan beberapa menit untuk menyadari penglihatan mereka
tidak salah.
Hartadi melihat Velo mengangguk kecil tanpa melihat kearahnya, Hartadi akan
mengambil kesempatan yang mengganggu pikirannya semenjak meeka keluar
dari kediaman Resha.
Hartadi sudah menunggu instruksi Velo untuk menentukan bagaimana langkah
mereka ke depannya, namun seakan tidak ingin lagi menuntut dan menunggu
Hartadi sendiri yang membuka jalan bagi komitmen mereka.
Apa Velo tidak membahas komitmen pernikahan mereka usai mereka sampai di
Jakarta, karena tidak ingin memaksa memburu-buru Hartadi? Seakan seaudah
melempar kartu, Velo memberi peluang Hartadi meminkan kartunya.
Hartadi cukup tau orang seruwet dan sedetail apa Velove Bratadikara, karena itu
dia keheranan sendiri melihat Velo tidak membahas apapun lagi.
“Vel, kamu mau langkah saya selanjutnya seperti apa? Ngenalin kamu ke orang
tua saya? Saya dateng ke rumah kamu? Selanjutnya, kita bertunangan? Atau,
apa yang kamu harapkan?” cecar Hartadi pada Velo. “Saya pengen kamu ngasih
lampu hijau buat tau saya harus melakukan yang mana dulu?”
“Oh, langkah selanjutnya?” gumam Velo sambil menaruh lengannya pada tasnya.
“Mungkin dengan Bapak pulang ke rumah Eyang dulu? Saya tau mereka belum
dapet kabar Bapak pindah ke sini. Bahkan udah ada di Jakarta selama dua hari.”
Hartadi menautkan pandangannya pada Velo. “Kenapa kamu malah minta saya
pulang?”
“Terus Bapak mau ujuk-ujuk dateng dan bilang mau menikah sama saya? Duh,
saya yang bisa disidang Eyang Putri kalo Bapak nggak Smooth,” keluh Velo tak
ingin membuka lembar perkara baru.
“Vel, saya nggak mungkin tanpa strategi,” ucap Hartadi menangkis pemikiran
Velo. “Tapi kayak yang saya bilang tadi, saya pengen tau kamu maunya gimana?
Kalau saya ambil keputusan saya sendiri, ya bisa aja, tapi kamu oke nggak?”
Beberapa detik yang terasa panjang, Velo menatap Hartadi dengan mulut
terkunci. Keningnya mengerut dalam, mencerna dibalik ucapan Hartadi.
Jika Velo menyimpulkan gari besarnya, Hartadi tak ingin dirinya saja yang
mengambil tugas untuk menentukan rencananya ke depan, pria itu ingin
bersama-sama. Itu sebabnya dia meminta ‘lampu hijau’ dari Velo untuk
melakukan apa.
Lantas Velo mengembangkan senyumnya. Sepertinya perasaan iri dan sensitifnya
hasil dari pemandangan di kediaman Resha tadi, telah berhasil mengelabui
maksud baik Hartadi.
Hartadi bukan tidak berinisiatif dalam hubungan mereka, terapi pria itu urung
dengan pertimbangan jika Velo mungkin tak seratus persen setuju dengan
langkahnya. Kenapa Velo jadi kekanak-kanakan begini?
Ya… Mau apapun latar belakang pernikahan yang terkesan ‘kilat’ antea dirinya
dan Hartadi, Velo tetap ingin calon suaminya menemui ibu kandungnya untuk
meminta restu.
“Setelah ketemu Mamih, Bapak mau atur pertemuan saya sama Eyang?” Tanya
Velo penasaran. Sementara Hartadi terdiam berfikir sejenak.
“Duduk bareng orang tua saya terjadi kalau pertemuan sama Mamih kamu
lancar. Pokoknya tergantung situasi aja. Hopefully, semuanya lancar.”
Velo mengamini dalam hati, lalu langsung mengucapkan apa yang terlintas dalam
kepalnya. “Eyang Putri masih sering minta Bapak buat ketemuan sama
perempuan yang—”
“Enggak. Udah nggak pernah.” potong Hartadi sudah tau inti dari pertanyaan
Velo.
“Soalnya, saya tau banget selera Eyang Putri setiap pilihin perempuan buat
Bapak. Saya nggak insecure atau overthinking, tapi saya masih sedikit khawatir
Eyang Putri nggak terima hubungan kita. Pantas nggak saya buat Bapak, pantas
nggak Bapak buat saya.” Ucap Velo sambil mengulum bibir seraya memikirkan
perempuan yang paling menerima kehadirannya dalam keluarga Bratadikara,
sebab tak semua orang dapat menyukai cucu yang dibawa mantu dari
pernikahan sebelumnya.
“Kamu mau bikin saya ketawa ya, Vel?” Hartadi menyipitkan mata setengah geli.
“Saya lagi serius Pak, nggak ada niat ngelucu. Kenapa sih?” ucao Velo terdengar
sengit.
“Lagian kamu kurang kerjaan,” tandas Hartadi semakin membingungkan Velo.
“Ck… Apaan sih! Apanya coba yang bikin ketawa? Darimana juga yang kurang
kerjaan?! Nggak ngerti deh lama-lama.”
Hartadi meraih botol air mineral yang semoat dia beli saat dalam perjalanan
menuju apartement, kemudian menyodirkannya ke arah Velo yang melihat botol
itu dengan kerutan kedua halisnya.
“Iih, saya nggak minta minum!” tolak Velo sambil mendorong pelan air mineral di
tangan Hartadi.
“Minum, kamu kayaknya kurang konsen,” paksa Hartadi yang kembali
menyodorkan kembali air mineralnya ke arah Velo.
“Saya minum ini, tapi Bapak jelasin yang tadi,” ucap Velo ketus sambil menerima
botol air yang segelnya sudah di buka, karena Hartadi sudah menghabiskan
setengahnya.
Hartadi menuruti Velo dengan menjelaskan apa yang diinginkan perempuan satu
itu selagi mengawasinya minum.
“Kamu mau bikin saya ketawa, karena kurang kerjaan mengkhawatirkan hal yang
nggak perlu ya?”
“Rasa khawatir saya wajar kok,” sanggah Velo membela diri.
“Bukan kamu yang harus khawatir. Tapi saya, ibu pasti serang saya habis-
habisan nanti. Apalagi ibu tau liarnya saya dan kamu kesayangan ibu.” Hartadi
refleks mengambil botol air mineral beserta tutupnya dari tangan Velo setelah
perempuan itu selesai minum, lalu menutup botol tersebut tanpa diminta.
“Kesayangan bukan artinya mantu idaman. Tapi, saya udah siap kok ngelewatin
apapun kondisi dan konsekuensinya.” ucap Velo menatap Hartadi dengan
keteguhan niat.
***
“Cieeeehhh… tambah glowing aja nih, yang abis cuti!” ucap Livia sarkas.
Sementara Velo hanya menyandarkan sebelah sisi tubuhnya ke dinding lift sambil
melambaikan tangannya dengan gerakan sensual. Berusaha menggoda Livia yang
masuk lift basement B1.
Kali ini penampilan keseluruhan Velo yang di pindai oleh Livia, dibalas Velo
dengan memutar tubuhnya seakan model yang memperagakan pakaian desainer.
Id Card sebagai karyawan Almeda group yang terkalung dalam lehernya pun
sedikit bergoyang.
“Cih… geli banget! Ngapain sih lo?” Livia bersungut-sungut, tetapi akhirnya
mentertawakan tingkah konyol Velo.
“Ya lagian lo, baru dateng udah inspeksi style gue.” Velo menggerutu seraya
menenteng tas dan menggenggam tumbler minumnya. “Gimana kabar lo sama
Aruna tanpa gue, Liv?”
“Sangat baik, Vel. Hidup kita lebih mudah selama lo cuti. Nggak ada yang ribut
nyari makan siang rendah kalori, nggak ada yang takut kena sinar matahari,
nggak ada yang rempong pengen—”
Velo menyenggol Livia dengan sikutnya Ketika pintu lift kembali terbuka.
Spontanitas yang berhasil membungkam Mulut perempuan itu. Kalau mereka
sudah bersama, sindir-menyindir yang manis sudah biasa terjadi dan tidak ada
yang sakit hati.
Beberapa karyawan masuk ke dalam lift, Bergabung dengan Velo dan Livia yang
dikenal oleh para karyawan tersebut meskioun tak satu departement. Level
sekretaris direksi dipandang paling bergengsi, meskioun menjadi sasaran gosip
yang paling panas.
Wangi parfume bercampur aduk di dalam lift, memberi efek pusing bagi Velo yang
sering tidak cocok dengan wewangian. Lantas Velo menempatkan punggung
tangannya di bawah hidung, berusaha mengurangi wangi yang tercium.
“Ck… Pusing deh gue.” Bisik Velo memberitahu Livia yang nampak tenang
menghadapi keramaian di dalam kotak besi tersebut.
“Pusing karena efek Parfume yang nano-nano sekarang atau lo lagi ‘isi’?” Livia
membalasnya tanpa melirik Velo, perempuan itu tengah memandangi angka-
angka yang berubah di layar LED lift.
“Iya, gue ‘isi’…” Velo mendapat pelototan tak percaya dari Livia. Kalau mereka
hanya berdua di dalam lift, sudah dipastikan perempuan itu akan mengguncang-
guncang bahunya meminta penjelasan.
Melihat tidak ada sela berarti dan desakan dari orang-orang yang ada du
depannya, membuat Velo membelah orang-orang itu agar mendapatkan jalan
sambil mengucapkan kata permisi, kemudian menarik Livia bersamanya kekuar
dari lift.
“Daripada lo penasaran something apa yang gue punya pas cuti, gue mau kasih
tau lo fakta penting tentang anaknya Pak. Tama,” ucap Velo menutup kalimatnya
dengan senyuman kecil, lalu menarik Livia untuk duduk di salah satu sofa yang
diperuntukan untuk tamu.
“Duh, fakta penting apa nih?” hati Livia sekarang berdegup-degup akan menerima
informasi terkait seseorang yang dia taksir. “Vel, Pak Andre udah punya istri?”
“Ck… bibir gue nggak bakal senyum kalo ngasih fakta yang nyakitin kali. Nggak
kok Liv, Pak Andre masih single dan kayaknya nggak punya pacar atau tunangan.
Gue kemaren dikasih tau sama adik perempuannya,” papar Velo tanpa sadar
memegangi kedua tangan Livia.
“Beneran Pak Andre single? Duh gue harus bersyukur atau langsung nyusun
rencana buat pendekatan, Vel?” suara Livia seolah tercekat. “Terus gimana
ceritanya lo ketemu dan nanya-nanya soal Pak Andre ke adiknya? Sepanjang gue
kerja disini, ketemu Bu Kelly Cuma dua kali.”
“Kenalan gue temen suaminya Mbak Kelly, obrolan kemaren nggak sengaja aja sih
nyerempet ke Pak Andre. Dan ternyata, emang bener belum berkeluarga. Lo
nggak pernah kepo ke Pak Tama apa?” Velo mengernyitkan kening.
“Tengsin gue kalo ketauan nyari tau anaknya. Pak Andre harapan besar Ayahnya.
Lagi di pupuk habis-habisan buat gantiin Pak Tama di sini. Boss gue ada ancang-
ancang pensiun.” Livia memberitahu dengan nada getir.
“Loh, baguslah tar kan yang hadi boss lo Pak Andre? Anggap aja waktu yang tepat
buat pendekatan setelah ayahnya lengser, Liv. Setuju nggak?” ucap Velo sambil
menatap wajah Livia saat berbicara, namun lift yang berdenting membuat Velo
menggeser tatapannya ke arah lift.
Velo membayangkan Aruna yang keluar sambil menenteng camilan karena tak
sempat sarapan pagi, namun pada saat pintu lift terbuka hadirlah sosok yang
tidak disangka-sangka menginjakan kaki di kantornya. Pria berpakaian necis
dengan rambut tertata rapih menggunakan gel.
Telinga Velo tidak menangkap apa yang dikatakan Livia sebagai balasan
sarannya. Karena sosok yang keluar dari lift tersebut, sedang berjalan pasti ke
tempat dimana Velo duduk bersama Livia. Seakan memang benar bahwa Velo
yang ingin ditemui pria itu.
“Vel, pasti lo nggak nyimak omongan gue? Ngeliatin apa sih?” Livia ingin
mencebik, namun ikut penasaran kemana mata Velo tertuju. Maka dari itu Livia
menolehkan kepalanya ke belakang dan terbelalak mendapati Caesar Medika.
Livia kemvali menatap Velo, lalu berbicara dengan satu tarikan napas. “Pas lo cuti
dia dateng mulu!”
“Ck… Rajin banget!” ucap Velo sambil mendengus tanpa mengalihkan
pandangannya pada Caesar yang tidak mempercepat langkahnya ataupun
melambat, walaupun sudah bertemu muka dengan Velo. “Gue udah nggak ada
urusan lagi sama ini orang.”
“Lo ngeblock nomornya kan?” tanya Livia sembari mendekatkan wajahnya ke
telinga Velo. “Kemaren Caesar bilang nyariin lo buat minta maaf, Vel. Gue Cuma
bilang lo cuti. Siap-siap aja Vel kayaknya dia mau minta balikan.” Velo pun hanya
mengangguk pelan.
“Makasih ya Liv, atas warningnya.”
“Gue tinggal masuk ya? Kalo butuh pertolongan keluar dari jerat buaya SCBD,
telepon gue aja?” Livia menepuk bahu Velo lembut, tak lupa kembali memanasi
Velo sebelum melenggang pergi. “Makin seger nih…” Velo kontan mendelik ke
arah Velo.
“Cih… Lo pikir buah-buahan di All-Fresh.”
“Mantan terindah lo Vel,” koreksi Livia mengoreksi, lalu memberi cengiran
menyebalkan.
Tanpa menunggu respon dari Velo , Livia bergegas memberi ruang untuk Velo
ketika menyadari Caesar sudah menunggu. Perempuan itu berjalan menuju
lorong yang diperuntukan bagi atasannya, menciptakan keheningan antara Velo
dan Caesar.
Sofa di samping Velo selidiki melesak, menandakan seseorang sudah duduk di
sana menggantikan Livia. Velo memutar bola mata malas mendengar dehaman
sengaja pria yang datang behitu percaya diri sekali pagi ini, seperti yakin akan
disambut dengan hati terbuka.
“Ada apa dateng? Gue denger udah beberapa hari ini lo ke sini. Nyari sekretaris
direksi Almeda Group yang mana?” Velo melirik sinis, detik berikutnya dia hanya
menatap sederet pigura berisi photo tongkang batu bara yang ditarik dengan tug
boat bertuliskan Almeda Group.
“Apa kabar Vel? Minggu lalu kamu ambil cuti full seminggu?” ucap Caesar
memulai percakapannya. Pria itu terbilang tenang untuk meluluhkan sikap sinis
Velo.
“Perhatian banget nanya kabar.” Velo mengukir senyuman datar, kali ini tidak
menghindar dari Caesar dan bersitatap dengan pria itu. “Mau ngapain, jam
sembilan teng gue masuk ke dalem.”
Caesar mengusap kedua telapak tangannya, lalu satu tangan terulur ingin
meraih tangan Velo namun kalah cepat dari perempuan itu yang sigap menarik
tangannya.
“Vel, aku beneran nyesel nggak mau berjuang buat kamu. Aku emang pengecut,
karena masa lalu yang udah ngebuat aku stuck di tempat. Ngebiarin hati kita
sama-sama terluka, terutama kamu…” Caesar memandang Velo kosong, sadar
diri diperlakukan Velo di sebabkan ketidak mampuannya.
“Terutama gue? Pede banget lo? Lo pikir gue yang paling sakit di sini?” Velo
menggilas kalimat Caesar dengan dingin. “Dan, Ya… Lo emang pengecut. Masa
lalu nggak bakal hilang, tapi lo terlau takut masa lalu ngerusak semua yang lo
punya sekarang.”
“Vel, tapi Papih kamu…”
“Iya, Papih gue ngancem bakal ngebocorin masa lalu lo ke media bisnis kan?
Bikin sulit tender NAT Contruksion kan? Ya udah, fine… kenapa lo datengin
lagi?” ucap Velo tidak suka berbasa-basi lagi.
“Aku masih cinta sama kamu Vel…” Caesar mengucapkan pelan sembari
menundukan kepala. “Kamu terima apa adanya Audrey di hidup aku tanpa
pernikahan, kamu sayangi dia, kamu nerima aku dengan kekuranganku.”
“Rasa cinta lo dan penerimaan gue, nggak cukup mampu menjadi alasan lo
perjuangin hubungan kita. Dulu lo kemana aja? Semua ancaman Papih ngebuat
lo takut kan? Lo nggak bakal maju buat gue.” Velo menggeleng miris.
“Aku mau mengusahakan hubungan kita berhasil, Vel. Aku janji bakal nemuin
cara untuk Papih kamu yang nggak setuju sama aku…” tutur Caesar tulus. Aku
mau dihidupku ada kamu. Kamu mau nerima aku lagi?”
Velo memandang pria yang dulu pernah dicintainya, “Sekarang yang gue butuhin
bukan Cuma sebatas kata cinta dan janji berusaha. Does love need prood? Iya.
Should love require effort? Iya. Karena, yang gue mau pernikahan. Tapi waktu
dan kesemptan lo udah abis, Sar.”
“Nggak mungkin Velo terpengaruh bujuk rayu buaya SCBD”
“Kalo Velo balikan lagi sama buaya SCBD, tar buy one get one dong. Tapi nggak
apa-apa deng soalnya anaknya cakep. Gue pernah liat Foto si Audrey, imut
banget ya Lord…” Livia tampak gemas sendiri mengingat wajah Audrey Medika,
gadis kecil yang berumur tujuh tahun memiliki warna rambut coklat ikal.
“Vel, Velo…” tiba-tiba Aruna berbalik ke belakang agar menghadap ke arah Velo,
namun terkejut bukan main melihat Velo hampir menabraknya. “Ya ampun Velo!
Lo bengong kenapa lagi? Apa ada yang kelupaan?”
“Duh, sorry… sorry… gue tiba-tuba kepikiran sesuatu jadi aja ngelamun.”
“Ahaa… ngelamun?” Livia memincing jahil.
Kemudian dirangkulnya bahu Velo dan menjawil hidung peremluan itu yang tidak
bertulang tinggi namun bisa dikategorikan mancung.
“Pasti lagi ngelamunin Caesar yang mohon-mohon baikan sama lo pakai suara
lembutnya itu. Udah kebayang deh gue. Eh tadi jyga gue denger-denger dari NAT
Contruction, Caesar gosipnya lagi nggak punya gandengan.”
“Ah, Lo mah emang setan Liv, dari pagi ngebisikin gue yang nggak-nggak mulu.”
Ucap Velo berdecak.
Perempuan itu melepaskan diri dari rangkulan Livia dan berganti mnggandeng
kedua sahabatnya itu. “Jujur gue sih nggak terpengaruh sama Caesar. Tapi yang
gue heran kenapa baru sekarang dia minta kesempatan?”
“Iya, dulu aja enak banget langsung maen cewek setelah bokap lo nggak
ngerestuin. Nggak ada artinya tuh ya lima tahun? Padahal lo udah terlanjur
sayang sama si Audrey.” Gerutu aruna yang ikut tak terima dengan sejarah
‘buaya SCBD’, julukan mereka untuk Caesar yang membangun kantor di daerah
tersebut.
“Ck, makanya gue bilang sama dia, dulu kemana aja? Kenapa baru sekarang
munculin batang hidungnya? Manusia kalo nyadar suka belakangan sih, nggak
heran gue.” Decak Velo mencebik memgingat saat-saat dirinya baru diputuskan
oleh pria itu.
“Tapi sejujurnya nih ya… lo maaih cinta nggak sih sama dia?” ucap Livia yang
kali ini berhati-hati.
“Menurut lo keliatannya gue msih cinta nggak?” Velo membalik pertanyaan Livia.
Baik Aruna dan Liva menyaksikan sendiri kepala Velo mengangguk ringan, “Lo
bener, Run. Liat Caesar tadi gue gue sadar ada sisa-sisa rasa dari hubungan
dulu. Biar mantan terakhir gue Dandy, tapi step gue dan Caesar lebih jauh dari
sewaktu bareng sama Dandy.”
“Kalau dia seriusannya mau bener-bener nikahin lo?” tanya Livia menatap sendu
kearah Velo. Lalu Velo menggeleng dengan tegar.
“Hmm… Sekarang, modelan laki-laki begitu yang gue hindarin ke pernikahan.
Bukan soal masa lalunya, tapi caranya menyikapi masalah dan tantangan. Gue
sering kecewa, karena pasangan gue nggak punya kemauan yang setara untuk
perjuangin hububgan kita. Haaahh… Gue udah berdamai dengan masa lalu
Caesar. Dengan waras, gue anggap masa lalu Caesar adalah bukti kenakalan dia
di masa mudanya aja. Sampai Caesar punya Audrey sewaktu kuliah di US. Atas
nama cinta, gue senaif itu dulu ya…” ucaonya sambil melepas tangannya di
kedua lengan sahabatnya lalu maju selangkah berbalik menghadap kedua
sahabatnya.
“Sekarang gue lebih rasional. Cinta bukan pondasi dari sebuah komitmen. Gue
mau dicintai dan mencintai, tapi kebanyakan cinta selintas hanya di mulut aja.
Gue butuh sesuatu yang lebih nyata.”
Tidak tau apa yang mempengaruhi benak Velo, namun wajah Hartadi terbayang-
bayang usai dia mencetus kata ’nyata’. Benar, Hartadi menjadi satu-satunya pria
yang tak mengingkari komitmen meskipun sudah mengetahui tantangan di balik
kesendirian Velo.
Hartadi memberikan sesuatu yang nyata sebagai pembuktian. Melepaskan kursi
nyaman pria itu di Samarinda untuk bertolak ke Jakarta, tempat yang sudah di
jauhi bertahun-tahun demi memulihkan kesehatan hati dan mental. Tanpa
merasa telah berkorban terlalu banyak.
Dan, Hartadi tidak membubuhkan cinta untuk pengotbanannya tersebut.
“Aduh, mata gue kok perih ya?” Aruna menutupi wajahnya dengan satu tangan,
tanpa kata-kata lagi segera memunggungi kedua sahabatnya.
Mudah tersentuh, Ya… Mata Aruna sudah basah mendengar penuturan Velo yang
membekas dan dalam. Perempuan itu tersenyum untuk mengontrol keinginannya
menangis tersedu-sedu sembari mengurut dada.
Livia saling bertatapan dengan Velo, mengarahkan dagunya ke arah Aruna dan
meminta Velo meredakan sahabatnya dari tangis. Velo tersenyum heran, Aruna
terlalu hanyut dengan kisahnya lebih dari dia yang menceritakannya.
Velo pun memeluk Aruna lalu mengusap punggung Aruna yang masih
menyembunyikan wajah merahnya.
“Payah banget anaknya Bunda, sampe nangis begini Cuma karena dengerin gue
ngedongeng. Udah yuk nangisnya.”
“Ya Allah, jangan sampai Runa juga jatuh ke pelukan laki-laki buaya. Mau buaya
PIK, buaya Senopati, buaya blok M, jangan Ya Allah.” Canda Velo yang kemudian
cekikikan tanpa suara dengan Livia. “Runa harus dapet laki-laki baik, kebapakan
dan ganteng.”
“Siapa tuh kira-kira?” Livia menyambung dengan jeli.
“Nanti deh gue cari-cari. Siapa tau kenalan gue ada yang cocok sama Aruna. Oke
Run?” Velo mengurai pelukannya dari Aruna, lalu meminta kedua sahabatnya
untuk melanjutkan tujuan mereka ke lift lantai direksi.
Pandangan Velo mengarah pada langit Jakarta yang telah menggelap dari balik
jendela besar Almeda Group. Jam pun sudah menunjukkan pukul enam dan
suasana di lantai khusus petinggi Almeda Group semakin sepi.
Tidak lama pintu lift terbuka dan mereka mengisi ruang kosong di antara
beberapa karyawan yang ada di dalam. Handphone Velo terasa bergetar di dalam
tas miliknya. Velo yang gesit langsung mengeluarkan handphonenya untuk
mengecek notifikasi.
Hartadi Bratadikara :
Masih di kantor?
Velove Bratadikara :
Masih, Pak.
Hartadi Bratadikara :
Nyetir sendiri?
Velove Bratadikara :
Iya, Pak.
Hartadi Bratadikara :
Hati-hati ya…
Velove Bratadikara :
Kenapa Pak?
Hartadi Bratadikara :
Mas Adi mulai ganggu privasi saya, terus inget kamu.
Seketika handphone dalam genggaman Velo hampir terlepas darinya. Namun Velo
semakin menguatkan genggamannya seakan menguatkan hatinya juga. Memang
memerlukan waktu bagi Velo untuk mengembalika diri dari keterkejutan.
Sejak lama Velo menyadari Adiputra memiliki orang yang mengikuti kegiatannya.
Kalau tidak menggunakan jasa orang lain, mana mungkin papih tirinya tersebut
mengetahui apa yang Veli lakukan sehari-hari. Sementara mobilitas pria itu
cukup padat.
Artinya, Adiputra tau intensitas Velo bertemu dengan Hartadi. Jari-jari Velo pun
mengetik cepat pesan Whatsup untuk Hartadi. Dia memikirkan keselamatan
Hartadi, meskioun tidak tau sejauh mana keberanian Adiputra terhadap adik
bungsunya.
Velove Bratadikara :
Bapak nggak dilukain kan?
Hartadi Bratadikara :
Saya baik-baik aja.
Velo menghembuskan nafas agar pikirannya tidak kalut lagi sembari menunggu
pintu lift terbuka. Di lantai B1, Livia berpisah dengan dirinya dan Aruna karena
memarkirkan mobilnya disana.
Berikutnya, lift mebuka di lantai B2 yang masih dipenuhi kendaraan. Hawa panas
khas parkiran langit-langit rendah langsung menyengat setelah Velo keluar lift
diikuti Aruna.
Velo masih menggenggam ponsel saat Aruna merogoh tasnya untuk mencari
kunci mobil. Karena, mobil Aruna belum dilengkapi sistrm start stop engine.
“Itu mobil gue.” Aruna mengarahkan telunjuk pada mobilnya yang berada di baris
pertama basement. “Lo parkir di mana?”
“Gue dapet di baris D,” jawab Velo dan mempersilahkan Aruna menuju mobilnya.
“Lo langsung aja ke mobil, nggak usah bareng keluar. Gue tadi emang kurang
oagi datengnya, jadi nggak dapet barisan lo.”
“Oke, gue duluan ya. Oh iya, besok pagi nyokap gue dapet pesenan lontong sayur
padang. Lo mau gue bawain ga? Tadi Livia mau-mau aja.” Tawar Aruna sebelum
berjalan ke mobilnya.
“Boleh, tapi setengah porsi aja ya?” ucap Velo mengukir senyuman tipis.
“Siap, sampai ketemu besok,” kata Aruna sembari menyebrangi jalan di depan
mereka untuk mencapi baris A pada Basement B2.
Velo mengamati Aruna sampai perempuan itu membuka pintu mobil, barulah dia
melajukan langkah kakinya menuju mobil kesayangannya yang sudah terparkir
sejak jam setengah sembilan pagi.
Sorot lampu mobil dari belakang membuat Velo merapatkan diri pada pinggiran
jalan agar mobil tersebut dapat melewatinya. Namun mobil yang Velo pikir akan
segera bergerak lebih cepat itu, justru mengikuti langkah Velo dengan anehnya.
Sisi lutut kiri Velo bersentuhan dengan bamper depan mobil yang tiba-tiba
berhenti, sehingga menutup jalan Velo dan membuatnya tak bisa bergerak.
Firasat Velo mulai berkembang ke hal yang tidak-tidak, tetapi benar saja, Velo
menemui wajah Adiputra ketika dia menoleh ke samping dan kaca jendela turun
perlahan.
“Masuk Velo, Papih mau ngomong sesuatu.” Titah adiputra dengan tenang
dibarengi senyuman hangat yang menipu.
“Mau ngomong apa, Pih?” sebisa mungkin Velo menampilkan ketenangan seperti
yang diperlihatkan Adiputra.
“Masuk dulu, sayang. Nanti Papih kasih tau di jalan. Jangan nolak ya? Papih
nggak mau ribut.” Adiputra berhasil membangun ketakutan Velo ketika
mendengar panggilan sayang yang tak diinginkannya itu.
“Oke, Pih.” Velo mengangguk pelan, tidak ingin menjadi pusat perhatian di
parkiran Almeda Group. Apalagi mobil Adiputra menghalangi dua mobil yang
akan lewat di belakang mereka.
Velove Bratadikara :
Pak saya shareloc ya?!
Velove Bratadikara :
Maaf ganggu, Papih tiba-tiba jemput dan katanya mau ngomongin sesuatu.
***
Velo tetap berlaku sopan kepada Adiputra, dengan menyalimi tangan Pria itu
takzim. Setelah melepas tangan Adiputra, Velo bergerak menepi untuk
mengusahakan jarak di antara mereka berdua. Tak ada yang bersuara
setelahnya, selain deru kendaraan yang mulai terdengar.
“Capek Vel?” tanya Adiputra usai kebisuan yang panjang selagi memperhatikan
wajah Velo. Walaupun masih begitu cantik dan tanpa cela, tergambar jejak
kelelahan di wajah anak tirinya tersebut.
“Capek biasa aja, Pih. Namanya juga pulang kerja,” jawab Velo tidak ingin
Adiputra memandangnya lemah, karena akan memicu prilaku yang tak
diinginkannya.
“Kamu udah lama nggak pulang ke rumah kan? Kapan-kapan tinggal lama lah di
rumah. Jangan menyendiri di apartment. Papih berharap ada kamu yang
ngeramein rumah kita.” Ucap Adiputra sembari memandangi hiruk pikuk
Jakarta, saat mobil yang dikendarai mereka keluar dari gedung Almeda Group.
“Iya, Pih. Nanti Velo cari waktu yang tepat buat tinggal lama di rumah. Sekarang
lagi sibuk-sibuknya, karena Almeda dapet suntikan dari Korea untuk mendanai
project terbaru Almeda.” Velo memberi alasan yang masuk akal. “Jadi Pak Amar
banyak meeting dan dokumen.”
Velo memijit keningnya secara tidak sadar. Sedih rasanya mendengar Adiputra
menginginkan keluarga lengkap di satu rumah. Tinggal di apartment seorang diri
dengan dalih mandiri dan memangkas jarak ke kantor, hanya segelintir alasan
Velo menghindari Adiputra.
Sebelum malam Adiputra melecehkan Velo, kehidupan di rumah besar dengan
keluarganya sangat menyenangkan. Velo dapat besama dengan sang Ibu yang
tipikal ibu rumah tangga sekali, melihat senyuman ibunya sesering mungkin dan
mencuri kecupan pada pipi perempuan itu.
Selain Ibunya, Velo sering kali menemani ke tujuh adik kembarnya yang gemar
tidur larut malam. Ada yang seneng main game konsol, baca novel, fokus ke
media sosialnya dan lain-lain. Namun mereka akan merecoki Velo ketika sedang
berkonsentrasi menjalankan pilates.
Ya… hidup Velo saat itu sangat damai.
“Papih dapet informasi kalau minggu lalu kamu ngambil cuti?” tanya Adiputra
melihat ke arah Velo yang masih memandang ke luar jendela, menunggu reaksi
Velo karena dirinya tau keabsenan Velo di kantor. Sementara Velo berhasil
menyembunyikan kegugupannya, dia memberi anggukan yang terkesan santai
sembari menatap papih tirinya.
“Sayang aja kalau cuti nggak diambil. Mumpung Pak Amar juga ngasih izin, ya
udah aku ambil keaempatan.”
“Cuti kamu dipakai ke mana aja? Mamih dan adik-adikmu kok nggak di kabarin?
Mereka panik dan takut kamu di apa-apakan orang, Velo.” Ucap Adiputra sambil
memberi tepukan diatas pahanaya sendiri sembari bertanya dengan tajam.
“Nyamperin Mas mu ya?”
“Pih, aku udah lama berantem sama Mas Har. Papih masih inget kan? Persoalan
dulu di Royal WCS. Pas dapet cuti, aku kepikiran aja Mas Har. Gitu aja sih aku
niatnya ke Kalimantan.” Jawab Velo di luar kepala.
Alasan panjang tersebut sengaja dibuat Velo atas persetujuan Hartadi. Cepat atau
lambat, Adiputra akan menanyakan kepergian Velo menemui Hartadi yang tidak
diberitahukannya kepada orang lain.
Untung saja, Velo tidak membuat-buat alasan ketika ibu dan ke tujuh adiknya
bertanya.
“Cuma karena kamu mau baikan sama Hartadi? Sesepele itukah alasanmu?”
Adiputra menaikan sebelah halisnya tidak percaya, apalagi informannya memberi
bukti photo Hartadi mendatangi kamar hotel Velo pada malam setelah pria itu
menelepon.
“Emangnya ada alasan lain?” Velo melontarkan pertanyaan seakan dirinya benar-
benar tidak memiliki maksud terselubung dengan Hartadi.
Kesempatan untuk mengintip layar handphone pun belum Veli dapatkan, karena
Adiputra sudah duduk menyamping dan mengarah ke arahnya tanpa jeda. Dari
tatapan Adiputra, Velo sadar dia benar-benar sudah kegilangan figure seorang
Ayah.
‘Kenapa kita jadi seperti ini sih, Pih?’ Velo membatin pedih.
Pada usia sebelas tahun, Velo melihat wajah ibunya berseri-seri ketika seorang
pria mendatangi mereka lalu mengenalkan diri sebagai calon suami sang ibu. Velo
ikut berbahagia, ibunya tidak akan sendiri lagi sementara ada seseorang yang
dapat dipanggilnya ‘Papih’.
Adiputra tidak pernah membedakannya, meskipun pria itu hanyalah Ayah tirinya.
Kasih sayang, pelukan bangga dan fasilitas terbaik, semua di limpahkan pada
Velo yang tumbuh menjadi anak pertama kesayangan. Tapi, apa fisiknya di usia
dewasa ini yang menyebabkan malapetaka?
“Mungkin aja kalian ada hubungan. Hartadi itu lajang dan menarik. Nggak nutup
kemungkinan kamu naruh hati sama Hartadi!” bentak Adiputra.
“Velo kangen Papih,” gumam Velo di luar topik yang digiring Adiputra, bibirnya
sedikit bergetar saat mengungkapkan rasa paling dalam dari hatinya. “Velo
kangen banget sama Papih. Kapan Papih mau sayang Velo kayak anak lagi?”
Velo tidak membalas dan mendengar, sebab dia sedang memikirkan pikirannya
melanglah bebas.
Anak suluh perempuan seharusnya memiliki sejuta kenangan indah dan
membekas bersama Ayahnya. Memandang ayahnya bagaikan sosok pria idaman
sekaligus cinta pertama yang tak akan lekang oleh waktu.
Sayangnya takdir tidak berbaik hati pada Velo. Manis hubungan ayah dan
putrinya tidak pernah terjafi dalam hidup Velo. Karena, tak banyak berinteraksi
yang dilakukan oleh Velo dengan Ayah kandungnya selama pria itu hidup, sanak
saudara ayahnya pun tidak pernah menampakan batang hidungnya entahlah
keluarga ayah kandungnya tidak pernah melihat Velo maupun sang ibu. Mungkij
karena hubungan yang tidak direstui oleh keluarga ayah, mungkin. Karena
ibunya sangat tertutup soal keluarga ayah kandungnya.
Meskipun usinya masih kecil, Velo mengingat tahun-tahun yang dihabiskannya
menyaksikan sang ayah terbaring tidak berdaya melawan stroke. Ayahnya hanya
akan bergerak dan berpindah posisi hanya dengan bantuan ibunya yang begitu
telaten mendampinginya.
“Benar, kita ke tempat ini Pak?” suara sopir mengisi keheningan, mengirimkan
denting siaga ke dalam kepala Velo. Sedangkang Adiputra hanya memberi
anggukkan singkat.
“Hmmm, pagar putih.”
Velo memindai rumah-rumah besar yang mereka lewati dengan cermat. Arah
jalan mobil yang sejak tadi dia perhatikan dan lingkungan yang tidak asing ini
membuat Velo yakin bahwa mereka ada di kemang.
Di tambah lagi tadi mereka sempat melewati McDonals pada perempatan lampu
merah yang sangat dihapal Velo. Namun kegelisahan Velo semakin menjadi-jadi,
karena Adiputra dan sang sopir saling memberikan kode tanpa menyebutkan
secara jelas tempat yang dituju.
Dengan tegas, ditegurnya Adiputra sembari menaikan tali tasnya keatas bahu.
“Aku yakin Papih udah selesai ngomong. Sekarang bisa minggir dan turunin aku?
Velo baru aja pulang kerja Pih, jangan diajak muter-muter kelamaan.”
“Nggak mungkin Papih turunin kamu di pinggir jalan. Lagian paoihbmasih ada
perlu sama kamu.” Elak Adiputra yang lagsung menepuk bahu sopirnya meminta
sopir itu mengemudikan mobilnya dengan cepat, karena Velo sudah
menunjukkan gelagat akn melawannya.
Velo tidak peduli jika Adiputra memergokinya meminta bantuan pada Hartadi.
Maka dari itu, Velo dengan cepat membuka handphonenya dan menemukan
pesan whats’up dari Hartadi, dikirim dengan waktu yang berbeda. Beberapa baris
pesan yang dikirim pria itu membuat Velo nyatanya mampu bernapas lega.
Hartadi Bratadikara :
Oke Vel, kamu shareloc aja, kebetulan saya masih di kantor.
Hartadi Bratadikara :
Jangan panik, saya langsung nyusul.
Hartadi Bratadikara :
Saya nggak tau mobil Mas Adi yang mana, tapi saya ngikutin location kamu aja.
Hartadi Bratadikara :
Kalau bisa, kamu sebutin jenis mobil Mas Adi dan warnanya apa?
“Kamu chat siaa Vel?”
Dua tahun lalu Adiputra sudah membuktikan bahwa ayah tirinya itu mampu
melompati batas kewajaran. Jadi Velo nggak mau mengalah dari Adiputra, karena
dia harus melindungi dirinya sendiri dengan membalas pesan Hartadi yang
menjadi satu-satunya cara.
Velove Bratadikara :
Mercedes Benz sejenis SUV, warna hitam, seinget saya plat nomornya cantik,
bukan yang biasa.
Balasan Hartadi datang begitu cepat mungkin pria itu menggunakan supir
pribadinya agar lebih leluasa mengikuti dan membalas pesan darinya.
Hartadi Bratadikara :
Satu mobil di depan saya sesuai yang kamu sebutin, Vel. Saya harap itu benar
mobil Mas Adi.
“Velo, Papih tanya, kamu chat siapa sekarang? Kamu nggak mau Papih berbuat
kasar kan?” Adiputra geram melihat Velo berbalas pesan tanpa memperdulikan
pertanyaannya, dirinya yakin Velo sedang mengabari seseorang. “Kasih
handphone kau ke Papih!”
Velove Bratadikara :
Kalau Bapa liat ada yang buang tiasue dari dalam mobil itu, berarti benar itu mobil
Papih,
Velove Bratadikara :
Tolong jawab ‘Halo’ untuk benar dan ‘Hai’ untuk tidak. Papih minta Hp saya dan
isi chat kita mau saya hapus, Pak.
Tepat sebelum Adiputra mengambil hp Velo dengan kasar, Velo sudah menghapus
keseluruhan chat whatsup tersebut. Nama Hartadi tidak ada lagi dalam daftar
pesan whats’up, membuat Velo yang duduk di sebelahnya menjadi lebih tenang.
Velo juga termasuk beruntung, karena dia sempat membuka group whats’up yang
sedang aktip. Seolah-olah mengikuti anggota group yang berbalas pesan, bukan
mengetik pesan pribadi kepada seseorang yang menjadi sumber kecurigaan
Adiputra.
“Papih bukan nggak suka kamu main handphone di depan Papih, tapi kamu
nggak jawab setiap Papih Tanya lagi chat siapa. Apa susahnya sih ngejawab?”
Adiputra meluapkan kekesalannya.
“Maaf, Velo takut lupa mau ngetik apa kalau jawab Papih duluan.” Velo membalas
kekesalan Adiputra dengan kalimat sederhana yang terdengar tidak di buat-buat.
Pria itu mulai memeriksa whatsup Velo, tetapi pertanda baik untuk rencananya.
Dalam diam Velo bergerak membuka tasnya untuk mengambil selembar tissue,
lalu membuat tissue tersebut menjadi bola kecil. Velo masih mengawasi Adiputra
yang masih terfokus pada layar handphonenya. Di saat ‘timing’ yang tepat, Velo
segera menurunkan jendela dan membuang bola tissue tersebut untuk
menandakan keberadaannya pada Hartadi. Velo sadar dia sempat menahan
napas ketika melakukan trik itu.
“Apa ini?” desis Adiputra menemukan notifikasi what’sup dari Hartadi, amarah
mulai merambatinya. “Masmu kirim chat loh, Vel. Dia bilang ‘Halo’, singkat dan
padat banget caranya ngechat kamu ya?”
“Menurut kamu harus Papih hapus atau kamu nggak usah balas sama sekali?
Jawab Papih.” Adiputra bertanya dengan tajam, tentunya tidak ada satupun
pilihan terbaik. Karena, pria itu tidak akan mengijinkan Hartadi berhubungan
dengan Velo.
Sedangkan Velo jauh lebih tenang dan mempersilahkan Adiputra sesuka hatinya
menghapus p[esan Hartadi, jika dengan itu Adiputra tidak terus menekannya,
karena dia tahu Hartadi bersamanya meskipun dibatasi oleh kendaraan mereka.
***
HARTADI POV
Tepat ketika gue melangkah keluar dan menutup pintu ruangan gue, Maestra
berjalan dari lorong di sebelah kanan dan mendatanginya. Gue liat
penampilannya yang belum siap-siap, sepertinya dia masih ingin menetap di
kantor. Di tangan Maestra, tergenggam reusable bag dari merk kopi ternama dan
gue sudah yakini dia akan lembur.
“Iya, ada hal urgent yang musti dikejar,” ucap gue sesingkat mungkin, karena
jujur gue lebih fokus pada pesan Velo beberapa menit lalu dan
mengenyampingkan dokumen yang sebenernya masih menumpuk di atas meja
kerja gue.
“Urgent?” ucap Maestra Nampak kelihatan bingung, lalu terselip senyum
tersungging di bibirnya. “Ah… Mau jemput Velo pulang ngantor ya?”
Gue Cuma menghela napas sambil memutar mata kesal mendengar nada
jahilnya. Pasalnya, gue tau kehadiran Velo dengan status yang nggak main-main
sangat dimanfaatkan sekali oleh mereka untuk menggoda gue di setiap
kesempatan.
“Hm… anggap aja gitu. Seneng kan lo denger ada yang gue jemput-jemput?”
sekalian aja gue ladeni godaan Maestra, dibandingkan diam bak mati kutu, yang
bukan gaya gue banget.
“Sorry Har, tapi gue emang seneng dengernya. Ngelajang enak sih, tapi punya
pasangan lebih seru-seru greget kan? Percaya deh sama gue.” Maestra
menyatukan telapak tangan di depan dada, mengikuti salah satu emoji hits dan
gue paling benci.
Entah kenapa gue heran sama orang-orang yang suka banget ngasih emoji itu
sama gue. Mungkin menurut mereka ngasih emoji itu sama gue seakan minta
pengertian dan pemakluman, dan memuluskan mereka dari kesalahan? Salah
besar, yang ada gue jadi semakin murka dan mencecar orang-orang itu, termasuk
sahabat-sahabat gue sendiri.
“Ck… kalo punya pasangan ada seru-seru gregetnya seperti yang lo bilang, gue
boleh dong nunggu undangan versi kedua lo?” ucap gue sambil gue kasih senyum
jahil gue.
“Setelah gue nonton lo di pelaminan, baru gue nge-hunter lagi. Gue sekarang
pengen kosong dulu, takutnya lo mengidap ‘husband blues’ dan nyungsep
sendirian. Gue kan sohib lo banget, nggak mungkinlah gue biarin,” ucap Maestra
manis.
“Coba sini maju dikit. Gue pengen sekali-kali ngasih lo tester rasanya digampar
pakai kekuatan kaki. Lo nyadar nggak mulai ketularan Haris dan Resha? Mulut lo
pecicilan?” gue maju sedikit sambil mengetatkan rahang kesel denger komentar
Maestra.
“Weisss santai Har… santai…” ucap Maestra mundur selangkah menghindari
peringatan gue.
Gue agak tersinggung dengan kata-kata ‘husband blues’ oleh Maestra setelah
menyandang jabatan suami.
husband blues adalah cara gue dan para sahabat gue nyebut gejala mantan
player yang merasa terpenjara dan kehilangan arah pasca menikah, kemudian
melarikan diri pada minum-minuman serta hal negative lainnya sebab tidak
mampu menguasai mentalnya sendiri.
Dan… mental gue nggak setempe itu! Nggak aka nada post wedding blues,
husband blues, atau apapun. Kalau merasa kurang siap berjibaku dengan
kompleksnya hubungan legal berjudul pernikahan, saat ini gue pasti nggak akan
pulang kampong dan tetap berada di Samarinda.
“Ck, pikir sekarang, mana bisa gue lempeng pas tau lo mau nikahin Velo? Jangan
berharap deh Har…”
“Di rumah Resha, gue nggak dapet kesempatan buat nanya ini. Jadi, lo serius
sama Velo? Komitmen kalian nggak sekedar kepentingan pribadi? I mean, alasan
kalian memutuskan nikah bukan karena dikejar usia kan?” pendar jenaka dari
Maestra pun berganti datar.
“Hah, selama lo kenal gue, hitung jumlah perempuan yang gue biarin satu meja
bareng kita semua. Kalau lo udah berhasil hitung, gue yakin lo nggak bego
menilai keseriusan gue sama Velo,” ucap gue nggak ngasih penjelasan spesifik,
tapi cukup mengenai intinya.
Gue lalu berjalan mendekati Maestra untuk memberi tepukan ringan di bahunya
sambil ngeluarin senyum devil gue. “Gue cabut duluan, ya? Mentang-mentang
jomblo betah banget lo di kantor. Kelonin anak lo tuh!”
“Dih, belagu amat yang mau jadi manten. Hati-hati, Har. Godaan di saat niat baik
udah digenggam tuh berat. Setan dimana-mana, bagusnya lo nempel terus ke
Velo biar waras,” ucap maestra memberikan saran. “sana gih jemput Dek Velo.
Kasihan kalau kelamaan nunggu Masnya datetng.”
“Cih, Kampret!” belum sempat gue balas Maestra sudah ngacir ke ruangannya.
Gue pun buru-buru berjalan ke arah lift untuk turun. Sebelumnya gue emang
udah minta supir buat siap-siap di lobi utama.
Selama gue nunggu lift ke lantai bawah gue meriksa pesan whats’up dari Velo,
dan tak ada satupun balasan dari Velo. Sepertinya Velo tidak menemukan
kesempatan membalas pesannya, mungkin sedang berhati-hati di depan
Adiputra. Untung saja dalam situasi tak terduga ini, Velo langsung berpikir
menggunakan fitur live location.
Terkejar atau tidak, Velo harus gue susul dan mastiin kondisi perempuan itu
aman, sebelum Mas Adi yang gue rasa gila itu melangkahi batas lagi untuk kedua
kalinya antara seorang ayah dan anak.
“Cari jalan tikus dan salip-salip aja, Mar. saya pengen kamu ngegas malam ini.”
Ucap gue saat gue berada di dalam mobil. “Kamu pasti hapal jalan tikus Jaksel
kan?”
“Hapal dong, Pak,” jawabnya bersemangat menekan pedal gas mobil dan melaju
kencang. Dan gue hanya terus fokus merhatiin titik dimana Velo sedang berada.
“Tapi Pak, tujuan kita kemana kalau boleh tau? Misalnya Bapak sebut tempat,
mungkin saya bisa lebih ngegas dari ini,” ucapnya sambil ngelirik gue dari rear-
view mirror. Gue hanya menggeleng pelan melihat Mardi dari rear-view mirror.
“Belum tau. Diliat dari jalannya, saya pikir ke arah Kemang.”
“Kita mau berenti dimana, Pak? Atau, mau berenti langsung di belakang mobil
itu?” Mardi menunjuk mobil hitam yang berada di depan kita.
“Berhenti tepat di belakangnya Mar. Atau nggak, sekalian deh kamu senggol dikit
bampernya, gores oke, pemyok lebih oke lagi.”
“Penyokin boleh Pak?” Mardi melotot kaget.
“Boleh, tapi jangan bikin sampai celaka. Senggol halus aja, yang penting penyok
dan bisa kasih peringatan yang di dalem kalo ada saya,” jelas gue agar Mardi
dapat mengira berapa kecepatan yang diperlukan untuk membuat mobil Adiputra
tak mulus lagi.
“saya mulai ya Pak, Bismillah saya nggak keenakan gas.” Ucap Mardi sambil
menarik napas karena mungkin jantungnya hampir copot ketika gue suruh hal
yang gila.
“Bisa nggak, Mar? Kalo nggak bisa kita tukeran posisi sekarang biar saya yang
penyokin sendiri. Tapi, besok-besok kamu nggak usah kerja sama saya lagi!” ucap
gue udah nggak sabar.
“Ampun Pak, iya saya penyokin sekarang.” Ucap Mardi tegas.
AUTHOR POV
Biarpun Mardi tidak sering berjumpa dengan anak bungsu Triawan Bratadikara
tersebut, tapi selentingan kabar bagaimana karakter dan pencapaian Hartadi
sudah sering dia dengar, jadi otomatis Mardi mengikuti keinginan Hartadi saja.
Lagipula tidak mungkin Hartadi menjebloskan mereka ke dalam masalah jika
tidak percaya diri memgatasi konsekuensinya.
Duk…
Hartadi bertepuk tangan atas keberanian Mardi mewakilinya. Bibirnya menipis
penuh kepuasan dan adrenalin. Mercedez Benz kepunyaan Kakaknya pun sedikit
maju dari yang seharusnya, itu berkat hantaman kecil dari bamper belakang.
Namun tidak cukup melukai orang-orang yang ada di dalam mobil tersebut. Ada
Velo dan Adiputra, mengurangi permainan Hartadi yang sesungguhnya ingin lebih
kasar. Kalau saja hanya Adiputra, mungkin memgukir luka di bagian pelipis pria
itu tidak masalah.
“Pak Har… gawat!” ucap Mardi semakin mendekatkan tubuhnya ke jok saat
seorang pria dari kursi depan mobil tersebut keluar dan kelihatan ingin
mendamprat mereka.
“Kalem aja, ini udah bagian saya, bukan kamu lagi. Kamu cukup jadi saksi sopir
sialan ini mati gaya ngeliat saya. Ekspresi sengaknya bener-bener minta dipecat.”
Ucap Hartadi melihat tajam ke arah sopir Adiputra yang berdiri di sisi pengemudi,
memgetuk kaca mobil sambil berkacak pinggang.
“Keluar!!” teriak sopir itu sambil masih menggedor kaca jendela berang.
Hartadi menurunkan kaca jendelanya pelan dan memanggil nama sooir itu
dengan santai.
“Anto, kamu harusnya ngelus-ngelus mobil saya bukan menggedor-gedor
kacanya! Berani kamu?”
“Mas Hartadi?!”
Anto mantan supir pribadi sang Ibu. Rupanya mengundurkan diri, karena
mendapat gaji yang menggiurkan sebagai sopir pribadi Adiputra. Hartadi
sudahbpaham kenapa pria itu ada di dalam mobil kakaknya.
“Ck… Hebat kamu ya, jadi antek-antek Mas Adi!” Hartadi melakukan pandangan
penuh cemooh pada sopir itu. “Hah, mukamu tadi itu udah kayak paling
berkuasa. Saya sampai nggak ada apa-apanya dibanding kamu!”
“maaf, Mas. Saya nggak tau kalau ini mobilnya Mas Har. Sekali saya bener-bener
minta maaf. Saya bener-bener nggak tau. Mas Adi minta saya buat datengin mobil
ini untuk meminta pertanggung jawabannya karena sudah nabrak!” jelas Anto
menunduk takut, apalagi kalimat Hartadi sangat jelas mengibarkan bendera
perang.
“Mas Adi lagi sama anak perempuannya kan? Velo?” Hartadi melemparkan
pertanyaan yang mengubah wajah Anto menjadi seputih pualam, lalu menyuruh
pria itu melakukan hal yang ‘ “Jemput Velo dan antarkan dia ke sini!”
Anto tergagap bingung dan ketakutan. “S- saya… nggak…”
“Nggak bisa? Ck, dikasih tugas kecil begini kamu nggak mampu? Makanya lain
kali kamu nggak usah sok, Anto!” Hartadi tersenyum sinis atas respon klasik
Anto. Pria itu jelas kesulitan menentukan posisi harus menurutinya atau
Adiputra.
***
Semilir angin malam membuat suasana kian menegangkan. Untuk sesaat,
lembutnya tangan Velo yang memaksa digenggam menjadi pengalihan terbaik dari
panasnya hati Hartadi, menemukan sosok sang kakak yang duduk tercengang di
kursi tengah.
Wajah Adiputra pucat pasi, namun keterkejutannya mendominasi pancaran
matanya. Adiputra tentu tidak memprediksi kedatangan Hartadi. Dan, bajingan
berkedok ayah tiri yang baik hati itu sukses membuat Hartadi ingin
menghajarnya hingga memohon ampun.
“Mas, kamu kayak yang kaget banget ngeliat aku. Bukannya kamu udah terima
info kepulanganku ke Jakarta?” Hartadi membuka lebar pintu Mercedez Benz
yang sudah dicium oleh mobilnya dari belakang.
“Orang-orangmu yang ngikutin aku itu loh, Mas. Mereka bikin sepet mata terlalu
mencolok!”
“Kamu pikir aku sebodoh apa sih, Mas? Jelas kamu ganggu privasiku dengan
nempatin orang-orang itu. Masih bagus orang-orang itu nggak aku samperin.”
Ucap Hartadi dengan nada tinggi melebihi Adiputra yang sangat mendominasi,
apalagi adik bungsu Adiputra tersebut sedang memainkan dasi pria itu diiringi
ekspresi tidak tertebak. Tetapi tanpa terpikirkan oleh siapapun yang ada di sana
termasuk Velo, Hartadi menarik kencang dasi yang dikenakan oleh Adiputra.
“Har! Seenak jidatmu aja kamu bawa-bawa Velo! Aku dan Velo beum selesai.”
Kesal Adiputra setelah menemukan keseimbangannya kembali, walaupun dasi
dan kerah kemejanya sudah tidak serapih awal kedatangan Hartadi.
Reaksi tubuh Velo yang dihantarkan melalui tangan perempuan itu, Hartadi tau
Velo cukup ragu untuk mengikutinya sebab tak ingin Adiputra mengetahui
rencana mereka terlalu cepat. Kalau pun Velo kembali ke samping Adiputra,
waktu Hartadi yang termakan untuk sampai di tempat ini akan sia-sia.
Hartadi memberi tekanan pada jalinan tangannya dan Velo. Mengirimkan
kesungguhan bahwa semuanya akan sesuai dengan rencana mereka. Tidak
semua orang satu kamus kehidupan, mengantar pulang seorang perempuan pun
tak selalu mengartikan hubungan tersebut spesial.
“Anto, tahan Velo dan bawa anak saya ke sini! Jangan jadi patung aja kamu!”
masih tak mau mengalah, Adiputra memberi perintah absolute kepada sang sopir
di saat Hartadi hendak membukakan pintu mobil untuk Velo.
Hartadi melirik mantan sopir Ibunya sekian tahun lalu itu dengan tajam.
Meminta Anto untuk tidak ikut campur hanya melewati mata saja. Dan sudah
pasti pria itu mengkeret ketakutan, kepalanya seperti berat diangkat dan menjadi
tidak berguna di mata Adiputra.
“Kenapa nggak kamu aja yang ke sini dan ambil Velo? Ck, gayamu nyuruh orang
aja. Aneh juga sih Mas, kamu dulu nggak seprotektif ini sama Velo.” Hartadi
menantang Adiputra yang kelihatan enggan berdekatan dengannya lagi, mungkin
takut dasinya tidak hanya ditarik, namun senjatanya untuk dipakai mencekik.
“Semakin Velo dewasa, aku harus semakin protektif lah sama anak perempuan.
Kamu nggak usah repot-repot kasih komentar, Har. Inget, kamu belum berumah
tangga sama sekali dan nggak punya anak. Kamu nggak paham tentang
parenting!” damprat Adiputra penuh kemarahan.
“Bener, Mas. Aku memang belum menikah, belum punya anak, dan pengetahuan
patentingku nol. Tapi, aku punya mata yang masih awas. Dari gerak-gerikmu itu,
jelas kamu terlalu protektif ke Velo,” tandas Hartadi serius, dia pikir harus ada
yang mengingatkan kakaknya.
“Nggak ada yang terlalu. Sewajarnya seorang Ayah khawatir pada putrinya,
begitulah aku bertindak. Tanya Velo kalau kamu berfikir yang enggak-enggak,”
tekan Adiputra percaya diri, jika ‘Velo-nya’ yang lugu tidak akan mengadu pada
siapapun. Perihal rasa menyimpang yang menghuni sisi lain di dalam hatinya.
Hartadi merasa bicara dengan orang yang tidak berakal. Pasalnya, Adiputra tak
menunjukkan tanda-tanda bersalah atau merenungkan sesuatu yang sudah di
perbuat.
“Harus aku atur konsultasi sama ahlinya? Supaya kamu bener-bener teredukasi.
Kita juga sama-sama cari tahu bentuk protektif kamu ini ngelindungin atau
ngerusak kemerdekaan anakmu sendiri, Mas,” sinis Hatadi menahan muak.
“Kurang merdeka apalagi hidup Velo?” tanya Adiputra singkat, tapi terdengar
janggal. Adiputra tersenyum saat melihat Velo yang sedang melihat ke arah
Hartadi.
Perempuan di usia hampir tiga puluh tahun, berdiri disamping pintu mobil yang
terbuka dengan blazer hijau mint serasi dengan rok selututnya. Yang terbingkai
dari pandangan Adiputra hanya kecantikan dan kesensualan Velo, walaupun
penerangan membuat matanya terbatas.
Sialannya untuk Hartadi, tatapan memuja itulah yang tidak disadari oleh
Adiputra sudah terbaca olehnya. Rasanya ingin meludah jijik saja. Benar,
Adiputra terlanjur memandang Velo di luar hubungan kekeluargaan mereka.
Menghela napas atas kebenaran yang menari-nari di depan mata, Hartadi tidak
mengulur-ngulur waktu dan memberi Adiputra mengagumi anak tirinya lagi.
Lantas, dimintanya Velo masuk ke dalam mobil.
“Masuk! Masalah Papihmu biar Mas yang urus.” Hartadi merendahkan suaranya
hanya untuk didengar Velo.
Banyak yang sedang bercokol di dalam benaknya, membuat Hartadi sampai tak
sadar mengucapkan namanya sendiri dengan pangilan asli Velo. Formalitas pada
Royal WCS lebih akrab di lidah mereka, namun tidak melunturkan alam bawah
sadarnya yang menyimpan memori dengan panggilan tersebut.
Velo menahan pintu mobil yang hampir tertutup, kemudian mendongak dan
membuatnya bertatapan langsung dengan Hartadi. “Jangan pakai kekerasan,
nanti ujung-ujung jadi kantor polisi. Papih pernah gitu ke mantan pacar saya.”
“Iya, nggak bakal di luar batas.”
Kalimat singkat tersebut diakhiri dengan bantingan pintu yang cukup keras.
Hartadi menuangkan sedikit emosinya. Setengah tidak suka Velo diberi
pandangan kotor oleh Adiputra, setengah ngeri memikirkan betapa kacaunya
keluarga mereka jika suatu hari penyimpangan Adiputra terkuak.
“Aku mau anter Velo pulang aja kok. Sekalian offer kerjaan di kantor jadi
sekretarisku lagi. Posisi sekretaris di pusat masih kosong, karena sekretaris
lamaku tetap di Samarinda.” Papar Hartadi dengan alasan palsu.
“Velo harus tetap kerja di Almeda Group. Posisinya disana udah bagus, untuk apa
kamu tawar-tawari lagi kembali ke Royal WCS? Dulu kamu sendiri yang bikin
kariernya jeblok!” Adiputra mulai menyipitkan kedua matanya penuh curiga.
“Atau, sekarang kamu berubah begini karena kamu suka Velo?”
“Dulu aku yang buat dia dibawah, jadi tugasku juga kan yang angkat dia ke atas?
Kamu tinggal duduk tenang dan terima pilihan Velo, mas. Dia yang paling tau
harus mengambil keputusan apa,” tutur Hartadi mengesampingkan sudut
hatinya yang tercubit mendengar fakta yang di lemparkan di depan wajahnya.
VELOVE POV
Hari ini terhitung hari yang paling melelahkan buat gue lalui. Kegelapan malam
rasanya sangat pekat malam ini, pandangan gue kosong melihat ke arah luar
jendela. Bahkan gue rasa pulang larut malam nuntasin kerjaan gue mendampingi
sang atasan dalam pertemuan bisnis, gue sama sekali nggak ngerasa kegilangan
energi kayak sekarang.
Biasanya gue sangat menikmati tiap kali kedua tangan gue yang memgendalikan
kemudi diiringin lagu-lagu yang meningkatkan suasana hati. Lampu-lampu
jalanan yang membiaskan cahaya temaram, kadang buat gue terperosok ke
renungan cinta. Namun malam ini, gue seakan nggak bisa berpikir apa-apa.
“Sariawan? Tumben mulut ga dipakai.” Tegurnya saat gue ngelamun liat jalan
disamping. Mungkin dia baru nyadar kali ya, gue bisa sediam ini, biasanya kan
mulut gue nggak bisa diem, paling banter ya biasa ngajak dia duel soal yang
dilihat dalam perjalanan.
Dan saat denger pertanyaannya yang menurut gue sih itu sebuah sindiran, Cuma
bisa maksain senyum ke arah dia. “Habis saya bingung mau ngomong apa? Maaf
ya Pak, ngerepotin banget udah disusulin dan dianterin. Nggak tau saya harus
bales pertolongan Bapak gimana.”
“Saya sih minta kamu nggak usah pusing mikirin harus bales saya gimana atau
pakai apa. Tolong menolong atas dasarnya kemauan sendiri kan?” Jelasnya
sambil mengamati gue penuh perhitungan, mana gue lagi nggak pede lagi udah
pasti muka gue kayak yang anemia lagi.
Gue cuma ngela napas nyandarin badan gue sambil tangan gue menopang rahang
dengan siku di atas doortrim berlapis kulit. “Kalau kejadian tadi terulang lagi
saya nggak mau ngerepotin Bapak terus. Nanti saya cari cara lain untuk
ngehindarin Papih setiap ngejemput mendadak di kantor.”
“Mungkin saya harus nge’hire sopir pribadi yang punya skill beladiri dan nggak
gaptek. Menurut Bapak, itu bisa jadi solusi nggak?” gue sengaja tanya karena gue
pengen denger pendapatnya Hartadi, karena nggak mungkin juga gue setiap
waktu meminta pertolongan Hartadi, keberuntungan nggak datang secara dua
kali cuy…
Hartadi pun sengaja menjauhkan netranya dari gue berganti menatap jalan-jalan
yang dilewati menuju Apartmen gue, kendati gue minta diantar ke Almeda Group
karena mobil gue msih berada disana Hartadi enggan menuruti kemauan gue.
“Nanti saya bantu cariin sopir yang cocok buat kamu, Vel.”
“Iya Pak, infoin ke aku kalo udah nemu ya…” ucap gue sambil nutup mulut
karena nguap.
Mata gue mulai berair karena entah kenapa malam ini rasanya sangat
mengantuk. Hangat dari tubuh di sebelah gue jadi salah satu alasan supaya gue
nggak langsung memejamkan mata. Meski sayup-sayup kelopak mata gue tengah
berjuang buat terjaga.
AUTHOR POV
“Saya setuju kok, sopirmu harus punya skill bela diri, karena keuntungannya
bisa ngebantu kamu kalau-kalau Mas Adi error lagi dan saya nggak bisa spontan
nyusul. Hartadi mengangguk-ngangguk sendiri, selagi berniat menghubungi
rekannya esok hari yang mempunyai link jasa-jasa khusus agar diberikan
rekomendasi sopir.
“Hmm… soal nggak gaptek itu untuk hanya melengkapi aja Vel, semisal lacak live
location kamu kayak saya tadi. Kalau sopir nggak bisa pake map, namanya
ngeribetin atasan.” Jelas Hartadi menjabarkan secara terperinci sambil menyentil
sopir pribadinya yang asik menyetir lewat kata-kata. “Saya benar nggak, Mardi?”
“Benar, Pak. Malu nanti sama atasan kalau selalu di arahin lokasi,” balas Mardi
sambil nyengir salah tingkah. Sejak melihat langsung adegan dramatis atasannya
yang menjemput paksa seorang perempuan dari tangan pria lain, Mardi jadi
mengagumi Hartadi. Kapan lagi dia punya seorang atasan bak di film drama.
Sementara Hartadi mengepalkan jemarinya di depan bibir dengan pandangan
mengarah ke jalanan. Tanpa menyadari lawan bicaranya terlena oleh kantuk.
Bahkan kepala Velo mulai terantuk-antuk kaca jendela mengikuti ritme mobil
yang melaju.
Lama kelamaan kening Hartadi mengernyit, meyakini ada yang salah dari Velo
karena tidak kunjung bersuara. Ingin tau apa yang dilakukan Velo, Hartadi
tolehkan kepalanya ke samping, agak tertegun mendapati perempuan itu
terpejam dengan napas pelan yang teratur.
“Pas Bapak ngebahas sopir, Ibunya mulai ketiduran.” Celetuk Mardi yang
mencuri lihat pemandangan pada kursi dari Rear view mirror.
“Kamu capek nggak, Mar?” tanya Hartadi teruntuk sang sopir, tetapi tubuhnya
bergerak mendekati Velo dan memiringkan kepala perempuan itu ke arah kiri
menjauhkan kepala perempuan dari kaca jendela.
“Aduh Pak, kok saya ditanya capek apa nggak?” Mardi mengusap belakang
kepalany tak enak hati. “memangnya kenapa ya, Pak?”
“Kalau udah masuk kompleks Apartmentnya, minggir dulu deh. Cari warteg yang
menurutmu bersih dan enak. Saya traktir disitu, sekalian kamu lenyeh-lenyeh
ngilangin pegel setelah penyokin mobil kakak saya.” Ucap Hartadi sail melihat jam
di pergelangan tangannya, kemudian menyimpulkan kedua tangannya di depan
dada dan menghel napas. Sudah jelas, dia tidur malam ini.
“Pak, saya nggak akan di tuntut karena udah ngerusakin mobil mahal tadi, kan?”
Mardi meringis takut, karena jumlah gajinya tiga bulan tidak akan cukup
menutupi penggantian bamper sekelas Mercedez Benz.
Hartadi tidak heran Mardi menanyakan masalah ini, karena itu di jawabnya
santai dan terdengar ketus. “Nggak lah, misalnya kakak saya berkoar penggantian
biasa bengkel, saya yang bayar. Tugas kamu tetap supirin saya setiap hari kerja.
Selesai.”
“Pak…”
Mardi memutus kebimbangan Hartadi dengan sebuah panggilan singkat. Pria itu
meminggirkan mobil di sebuah warteg bercat hijau. Dari luar nampak bersih,
makanan-makanan pun tersysun rapih di atas nampan baki stainleess steel.
“Mau istirahat di sini, Mar?” Hartadi hampir lupa bahunya dipinjam seorang
perempuan yang tertidur nyenyak. Dia memundurkan kembali tubuhnya yang
sudah siaga melihat suasana warteg dari balik jendela kaca.
“Disini aja, Pak. Kayaknya pas buat ngopi dan isi perut, tapi tempatnya nggak
bikin Bapak risih.” Mardi menempatkan perseneling ke N, kemudian ke P. “Boleh,
Pak?”
“Boleh. Kamu keluar aja, tapi matiin mesin mobilnya. Dan tolong, sekalian buka
pintu mobil bagian saya.” Hartadi mengeluarkan dompet di dalam saku celananya
dengan hati-hati agar pergerakannya tidak mengganggu Velo.
Dikeluarkannya tiga lembar seratus ribuan dan mengulurkannya pada Mardi.
Sebab, sopirnya sudah menunjukkan performa yang bagus. “Bonus buat kamu,
karena udah cekatan nyari jalan tikus.”
“Makasih banyak, Pak.” Mardi menerima uang tersebut dengan wajah senang.
Akan digunakannya sepenuh hati. Akan digunakannya sepenuh hati.
Sang sopir berpamitan masuk ke dalam warteg usai membuka pintu mobil
sebelah Hartadi sesuai dengan keinginan atasannya itu. Angin perlahan-lahan
mulai masuk ke dalam mobil, menggantukan fungsi AC yang sudah dimatikan
dan membuat udara tetap sejuk.
“Velo, lo kesambet?”
Kepalang greget, Livia mengajukan tanya pada seorang perempuan yang siang ini
menghabiskan sepiring sambal ekstra untuk ayam penyet. Membuatnya dan
Aruna tercengang, sebab seporsi ayam penyet saja sudah terlumuri sambal yang
sangat pedas untuk lidah mereka.
Perwmpuan yang sedang menjadi sumber pusat perhatian kedua sahabatnya
hanya mengangkat tangan dimana bumbu ayam penyet dan sambal membekas di
jari-jari tangan tangannya, meminta mereka diam sebentar, lalu menyeruput es
jeruk yang tinggal setengah suara heboh.
“Gue laper lagi kalo ngeliat Velo makan kayak gini. Aduh, gue pesen sate
kukutnya aja gitu kalo gini? Biar gue nggak ileran doang.” Aruna tersenyum kecil
memandang Velo. Jujur, di sana senang setiap kali perempuan makan dengan
lahap tanpa memikirkan diet mereka.
“Gue malah ngiler es jeruknya. Kenapa tadi gue pesen ea the manis sih?” ucap
Livia mencebik sambil bertopang dagu.
“Gosh, enak banget makan siang gue kali ini, pedesnya puoollll.”
“Gue pikir tadi lo kesambet, Vel. Makan pake sambel sepedes ini kok nggak kira-
kira? Lo kayak orang yang lagi nyoba ngilangin stress.” Livia menggeleng takjub.
“Sambelnya aja Cuma gue colek seuprit.”
“Liv, hati sama pikiran gue lagi korslet. Jadi butuh yang pedes-pedes buat
ngewarasin otak gue!” ucap Velo sambil mengaduk minumannya agar rasanya
merata. “By the way, heran deh gue, sambel Mak Ida kok nggak pernah biasa-
biasa aja ya? Bukanya harga cengek sekarang lagi mahal ya?”
“Ck… Si somplak Ga ounya akhlak kayak gini nih! Kenapa juga otak korslet lo
dihubung-hubungin ama harga cengek?” Livia berdecak sambil membenahi
blousenya, tak lama dia terbelalak melihat da noda kecap di Bagian atas letaknya
di depan dadanya. “ Ah, sial! Kecap gue kemana-mana lagi. Ada yang bawa baju
ganti nggak? Duh, gimana dong? Mana ntar ada ShareHolder meeting lagi…”
“Lagian makan udah kayak bocah! Gue ada tuh, di mobil tapi, nanti mampir ke
parkiran dulu, kebetulan juga warna blouse gue serasi sama rok lo.” Velo
menyahut Sambil memakai Lip Cream mentereng.
Warna merah Segar dan tidak norak, khas untuk meeting agar nampak lebih
profesional dan menonjol. Velo tidak bermaksud untuk menarik mata kaum pria
dengan warna-warna menggoda pada bibirnya, hanya sekedar penunjang
penampilan.
Mau bibirnya sewarna dengan kelopak bunga yang ranum, jika kerja dan
tugasnya tidak memuaskan, habislah dia sebagai sekretaris.
“Makasih sayangku…” Livia meniupkan ciuman genitnya dari seberang meja Velo.
Tubuh peremouan itu semakin rileks, karena tidak perlu khawatir harus
menghadiri ShareHolder meeting dengan blouse yang dinilai minum.
“Iuuhhh… sok manis Cuma ada maunya doang lo! Biasanya pling jago ngajak
berantem gue.” Sementara yang dicecar Velo hanya nyengir sambil senyum-
senyum.
“Hati dan pikiran lo kenapa korslet, Vel?” di luar pembahasan yang sedang
berjalan, Aruna membuat Velo dan Livia sama-sama tidak bersuara dan menatap
perempuan itu sejenak dengan ekspresi kurang yakin.
Velo menurunkan aplikator lip cream, lalu memasukannya ke dalam kemasannya
dan memberikan atensi utuh pada Aruna. “Peka banget ya, Run?”
Aruna pun mengangguk, dia sudah mencium ada yang tidaj beres pada Velo.
Perwmpuan itu selalu menghabiskan tiga sendok makan nasi putih . Tapi, hari ini
satu porsi penuh dilibasnya tanpa keluhan.
“Punya hal yang bisa lo konsulin sama gue dan Livia? Siapa tau bisa bantu
ngebetulin yang korslet.” Aruna tersenyum geli dengan penggunaan kata ‘korslet’.
Velo ini kadang ada saja caranya untuk menyampaikan sesuatu.
“Punya sih…” ucap Velo menggigit bibirnya mulai resah. Menimbang beberapa
saat, tapi Velo akhirnya buka suara mengenai seseorang. “Belakangan ini gue lagi
deket sama laki-laki…”
“Pasti ada hubungannya sama cuti misterius lo itu.” Tembak Livia tak mau
menunggu Velo menghabiskan kalimat yang sudah terangkai dalam kepala.
Dan alhasil, Velo mendemgus kesal kearah Livia. Ya, semalam Velo hanya
berguling-guling diatas ranjangnya. Dia sesekali harus menggelengkan kepala,
mengubur ingatan singkat tentang seberapa nyaman berada di sisi pria itu
dengan wangi khas yang maskulin. Dalam keremangan di dalam mobil khas
malam, di pinggir warteg yang menghidupkan lagu romantis berbahasa jawa.
Situasi sederhana, tapi mengacaukan jam tidurnya ketika sampai di Apartment.
Seumur-umur mengenal Hartadi, dia sudah pernah sekali berciuman dengan pria
itu. Sekian titik pada tubuhnya sempat disentuh, bahkan sempat naik ke atas
pangkuan Hartadi. Namun, Hartadi versi kemarin sungguh mengancam
ketenangan Velo.
Hubungan mereka belum terekspose di depan keluarga, belum mencapai ‘trial’
pernikahan, tetapi kegelisahan tiba-tiba menyergap tanpa diundang. Bagaimana
kalau dia yang lebih dulu jatuh cinta pada pria yang jelas sulit jatuh cinta seperti
Hartadi? Gumam Velo menyuarakan resah dalm batin.
Sedari awal Velo tau dengan benar konsekuensi dari mengejar pria yang tidak
mencintai, dan dia pun sudah berjanji akan menghadapinya, namun siapa
sangka pikiran dan perasaan tidak dapat dikendalikan. Sekarang saja mereka
belum jadi apa-apa, tapi Velo mulai dapat menakar porsi Hartadi untuknya nanti
sebesar apa. Sesungguhnya dia jadi takut.
“Ck… asli lo nyebelin!” Komentar Velo pada akhirnya pada Livia karena terlanjur
kesal. “Gue lagi pengen ngaku lagi penjajakan. Tapi emang dasar Livia, omongan
gue malah dipotong-potong. Jadi nggak nafsu ah, gue males ngelanjutinnya.”
“Uuuuhhh cup cup cup… jangan cepet ngambek dong Velove L Williams, eh salah
Velove Bratadikara, ntar cepet tua loh…” Bujuk Livia sambil cengengesan lalu
melirik Aruna yang masih duduk kalem seakan minta tolong sahabatnya itu.
“Lanjutin ya, Vel? Gue mau tau siapa laki-laki yang lagi deket sama lo. Di usia
sekarang… Gue malah lebihbtua dari lo. Gue seneng deh denger berita-berita baik
dari lo, nggak melulu soal diskusi kalau kejombloan kita ini ‘biasa aja’.” Kata
Aruna melobi.
“Nggak bisa dibilang berita baik juga, Run...” Velo menuruti Aruna, maka dari itu
dia lepaskan lebih dulu cepolan rambutnya yang sudah longgar dan sekilas
merapihkan helaiannya.
Barulah, Velo mendesahkan kegalauannya sambil menutup wajah. “Duh… Asli,
Bingung… bingung banget.”
“Bingung apanya?” Livia ikut menyahut sambil mengerutkan kening.
Velo terdiam, kali ini mencari kata-kata yang tepat untuk mewakili berbagai
pertanyaan yang ada dalam kepalanya. “Sebelumnya, gue minta maaf karena
kesannyabsembunyi-sembunyi dari kalian. Gue nggak mau berekspetasi
ketinggian sama laki-laki ini, makanya gue lebih nutup diri untuk cerita.”
“Gue lagi dalam posisi ngejar laki-laki yang nggak naruh sayang ke gue. Di luar
sifat aslinya, dia baik dan peduli sama gue tanpa seujung kuku pun minta
sesuatu. Emang, gue dan dia sekarang punya komitmen yang serius. Tapi, lama-
lama gue bingung mengartikan sikap baiknya dia.”
“Setiap orang punya privasinya sendiri, sekalipun sahabat. Pasti akan ada
waktunya orang itu cari orang lain untuk sekedar ngebagi kegundahannya. Ya…
persis kayak lo sekarang.” Aruna meringkas penuturan Velo. “Berarti, lo lagi di
tahap bertanya-tanya, apa laki-laki ini mulai tertarik atau suka sama lo kan?”
Menangkap anggukan Velo, Aruna kembali dengan opininya. “Kalau pendapat
gue, komitmen kalian yang ngebuat dia ngerasa harus di posisi menghargai lo
dengan bersikap baik. Sorry to say ya Vel, walaupun nggak ada sayang-
sayangnya.”
“Oh gini deh,” Livia ikut bersuara. “contoh ngawurnya kayak di zaman sekolah,
nggak tega ngejutekin orang yang sekelompok sama kita. Mana isi kelompoknya
Cuma dua orang lagi. Syarat tugas selesai, ya harus mau kerjasama dan
ngebangun hubungan baik.”
Velo menahan agar wajahnya tidak terlihat ekspresi apa-apa, dan dia memang
termasuk ahlinya dalam bidang ini. Sedangkan, hati dan otaknya sedang
mencerna setiap pandangan para sahabatnya mengenai sikap Hartadi.
Seringnya, Velo hanya seorang diri ketika mengupas kebumbangannya atas
masalah percintaan… Wait Cinta? Velo langsung meringis, namun kali ini entah
kenapa dia membutuhkan sudut pandang orang lain.
“Satu lagi,” Aruna menyipitkan mata. Di ambilnya waktu untuk menekuni wajah
dan keseluruhan perempuan di sampingnya, yaitu Velo. “Soal tertarik atau nggak,
gue skio kasih opini. Lo tuh nggak biasa, Vel. Jalan di pinggiran trotoar aja pasti
banyak yang ngelirik. Gue nggak yakin su laki-laki ini imun beneran sama lo.”
“Ketertarikan fisik mungkin-mungkin aja. Tapi, lebih dari itu, gue rasa masih
jauh perjalanannya.” Menyadari waktu maian siang belum habis, Velo
mengeluarkan sebatang rokok sebagai jimatnya selesai makan. “Gue sendiri juga
nggak bisa bilang udah suka atau sayang sama dia.”
“Gue ngerasa terbiasa aja sama dia. Saking dulunya kita selalu barengan. Gue
juga tau karakter dia kayak gimana, sampe kotornya dia kayak apa? Pokoknya
gue tau tektek bengeknya dia kayak gimana.” Ucap Velo sambil memainkan rokok
di tangannya.
“Cuma kalo konteks hubungan udah geser ke yang lebih intens, pelan tapi pasti
gue kayak dikasih real-nya dia begitu aja. Lo berdua ngerti nggak sih maksud
gue? Singkatnya, apa yang perempuan lihat dari dulu dan yang gue nggak liat.
And Now?” Velo menunjuk dirinya sendiri. “Gue mulai ngeliat semuanya.”
“Jangan ngerasa sendirian dulu, Vel. Lo uring-uringan di sini siapa tau di sana
dia diem-diem gelisah.” Ucap Livia sambil mengulas senyum penuh arti. “Mungkin
dia juga di sana ngerasain hal yang beda kayak perubahan magic diantara kalian
gitu. Lagian lo nggak bisa ngukur-ngukur dari luar aja. Pancing dong?”
“Nggak kebayang banget!”
Kesialan di siang bolong, dia tetap menjaga wajahnya tetap tenang, walaupun
pertanyaan Livia jelas mengundang kesalahpahaman dan ayara bisik-bisik. Tanpa
menyadari satu pesan dari Ibu Hartadi sudah masuk ke ponselnya.
Eyang putri
Velove, kamu lagi sibuk, Nak? Besok selepas kerja bisa maen ke rumah Eyang?
Biasa kita akan makan-makan…
***
HARTADI POV
Jika ada yang penasaran bagaimana sensasi seluruh tubuh terbakar, maka gue
akan dengan sukarela menjawabnya secara gamblang.
Panas seolah merayap di permukaan kulit, menyambar cepat ke bagian tubuh
yang belum terlalui. Napas gue pun nyaris terputus-putus di tengah mata yang
memejam kuat. Terbakar yang sekarang gue rasakan ini tidak biasa.
Nikmatnya melejit sampai gue tidak bisa menahan diri. Gue sangat bersedia
merasakannya lagi untuk beberapa malam. Dan seseorang yang sedang ditindih
dibawah gue ikut terbakar juga, saat gue lihat dia sedang berusaha menggapai
kain yang melapisi ranjang.
Ya… Gue perhatikan di kedua pipinya semakin memerah saat kepalanya
menengadah ke atas. Mungkin dia sedang menahan sentuhan panas bak lidah
api yang berlalu di sekitar tubunhnya.
“Pak, permainan malam ini membakar dengan sangat hebat.” Ucap perempuan
yang tengah meraih kepala Gue agar lebih merunduk dan bibir seksi perempuan
itu dengan aktip langsung mengecup bibir gue dengan posisi gue masih dalam
permainan panas ini, dan sudah dipastikan gue akan mengakhirinya sekarang.
Saat gue merunduk lagi dan menciumi leher jenjang perempuan itu gye mencium
wangi jasmine yang berbaur dengan aroma khas pacuan nafsu.
“Aaahhh… Pak!” perempuan itu merintih saat gue pacu dengan cepat, dan kedua
kaki perempuan itu mengait kuat di setiap sisi pinggang gue.
Karena apitan perempuan itu yang membuat kita tidak ada jarak lagi akhirnya
gue menggertakan gigi karena gue melihat segaris senyuman jahil yang berusaha
dia sembunyikan.
Dan sebagai hukuman atas kenakalan perempuan itu, gue hadiahi gigitan gemas
pada salah satu puncak dadanya. Tentu saja perempuan itu tersentak,
mencondongkan tubuhnya ke arah gue.
“Sssshh…” tangan perempuan itu refleks terulur keatas rambut Gue dan
meremas lembut seiring gigitan yang ada di puncak dadanya berganti menjadi
hisapan kuat. “Ah… udah—”
Gue bungkam mulut perempuan itu dengan ciuman yang liar, terlanjur gemas
melihat perempuan di hadapan gue ini tiba-tiba merengek manja. Sejujurnya,
bibir perempuan itu sering membuat gue jengkel. Memancing adu mulut segingga
kita terlibat emosi.
Tapi… lihatlah sekarang? Perempuan itu sedang memohon untuk disudahi.
Tapi gue tidak mengizinkannya untuk bernafas lega. Gue belum selesai untuk
mengerjainya, gue ingin melihat kedua lutut perempuan itu kehilangan energi.
Lalu, seutuhnya bergantung sama gue, gue terdengar jadi seperti sadomasokis
sekarang.
Malam ini gue ingin memenangkan malam ini, so gue hujam kembali. Dengan
kesadaran penuh untuk memimpin gue melihat wajah sendu perempuan itu saat
menikmati hujaman gue, dan dengan waktu yang tepat akhirnya gue mencapai
klimaks diikuti erangan puas.
Lenguhan perempuan itu mengisi kebisuan diantara kita, sementara tubuh tidak
semakin menjauh dan jemari pun masih saling mengait. Namun, otot-otot yag
sebelumnya menegang berangsur-angsur melemas.
Selimut telah menutupi tubuh kita berdua. Tak lama gue merasakan tangan
menelusup untuk memeluk gue dari samping. Tubuh polos kami sekarang
berbagi kehangatan usai berjam-jam terbakar oleh wujud nyata dari sebuah
gairah.
“Hari ini kerja?” rasanya tidak asing, seperti sudah lebih dari sekali gue menerima
pertanyaan tersebut. Gue langsung melirik ke arah jam di kamar sudah jam dua
pagi.
“Kerja, Vel.”
***
AUTHOR POV
Holy shit!!
Bener-bener sialan!
Hartadi hampir melarikan kedua tangannya ke atas kepalanya, dengan niat
mengusir bayangan kurang ajar yang terus membuatnya haus. Tenggorokan
Hartadi tercekat, kering bukan main.
Dengan desah gusar, dia rampas gelas di mejanya dan meneguk air di dalamnya
sampai habis.
Mimpi semalam bagai menghantui Hartadi. Tidak peduli waktu, tempat dan
situasi. Efisiensi kerjanya terganggu, karena setiap matanya menghadap layar
iMac yang berada di atas mejanya, bukan halaman yang menjadi fokus utama.
Benaknya justru memproyeksikan siluet terlarang dari mimpi yang menguasainya
tadi malam.
Percaya diri, namun Hartadi merasa baik-baik saja tidak aktip melakukan
hubungan seksual lagi, dia tidak ‘se-desperate’ itu sampai terbit hayalan melalui
mimpi.
Lantas, kenapa dia mimpi tidak senonoh dengan Velo? Apa menjadi guling Velo
kemarin menyebabkan dirinya korslet?
“Har, lo lagi gagal tender atau trading saham?” tebakan itu datang dari Haris.
Menduduki kursi di seberang meja kerja Hartadi, Haris mengamati betapa
kelamnya ekspresi empat puluh lima tahun tersebut.
“Nggak usah nanya.” Hartadi mengingatkan Haris sembari mempersiapkan file
yang sudah dikirimkan orang lapangan dari iMacnya.
Pria itu bingung harus mulai dari mana, tapi dengan payah tetap dia usahakan
agar menjadi penengah. Atas niat tersebut, Haris mempersilahkan sekretaris
Hartadi yang berdiri di sudut ruangan untuk mendekat.
Sekretaris itu belum menjadi karyawan tetap. Masa percobaan dan evaluasinya
masih panjang, karena di terima semenjak kedatangan kembali Hartadi di Royal
WCS Jakarta.
Sayang sekali, sekretaris itu di pecat oleh Hartadi sebelum mencapai satu
minggu.
Melengos dari Karin Hartadi kembali mengajak Haris bicara. “Saya persingkat aja,
intinya tidak ada pertimbangan ulang. Karin secara resmi saya pecat. Tingga HRD
yang keluarkan surat bercap untuk dia. Tolong Pak Haris bantu sampaikan.”
Hartadi sedang kusut akibat mimpinya dengan Velo, tetapi sekretaris baru yang
diberikan HRD semakin membuatnya berang. Di pecat sajalah, dari pada
dikemudian hari mencari peluang memprovokasinya.
Kembali memikirkan mimpi sialnya, Hartadi masih tidak tau penyebab bunga
tidur itu hadir. Amat nyata, hingga Hartadi harus menyerahkan diri di bawah
pancuran airnya pada jam tiga pagi.
Kasarnya, Hartadi belum pernah melihat Velo dalam keadaan polos. Lalu
mengapa dia memimpikannya?
Entah yang semalam dapat di sebut mimpi buruk atau mimpi manis.
***
“Pokoknya, HRD harus carikan saya sekretaris pengganti Karin. Tidak harus
terburu-buru, nanti saya repot kalau zonk lagi.” Hartadi memberi ‘request’
langsung pada petinggi Royal WCS.
“Baik. Saya nanti bantu follow-up ke HRD.” Haris mengikuti keinginan Hartadi
untuk memecat Karin.
Jika di posisi Hartadi, pria itu akan melakukan hal yang sama dengan
memberhentikan sekretaris penggoda.
Ketukan pelan pada daun pintu menghias ketegangan di ruangan kerja Hartadi.
Peia itu langsung mempersilahkan seseorang di luar sana untyk masuk, merasa
pembahasannya dengan Haris dan Karin bukanlah hal yang penting.
Tak lama kepala Maestra menyembul dari sela pintu yang terbuka beberapa
jengkal, diikuti keseluruhan badan pria itu yang menapaki ruang kerja Hartadi
dengan senyum yang tersungging di bibir. Segelas kopi Sturbucks melengkapi
penampilan Maestra.
“Oh, anda di sini juga, Pak Haris?” ucap Maestra menegur Haris, tapi tidak
beranjak dari ambang pintu karena mendapati dua wajah tertekan di ruangan
tersebut. “Mmhh… Atmosfernya lagi kurang bagus, ya?”
“Ada keperluan apa?” sambar Hartadi dingin kearah Maestra.
“Wo... Hohoho… Rileks, Pak Har…” ucap Maestra masih formal, karena kehadiran
sekretaris Hartadi masih berada di antara mereka.
“Ya, terus?” todong Hartadi, mulai jengkel karena terlalu banyak orang di ruang
kerjanya.
“Huft… Di jam tiga sore begini memang hawa-hawanya suntuk dan bikin malas.
Makanya, saya bawa tamu spesial. Siapa tau bisa mengurangi kejenuhan kita
semua, apalagi Pak Har.” Ucap Maestra begitu apik dan juga diselingi senyuman
jail untuk Hartadi.
“Ck… Awas aja kalau ternyata tamu ini semakin merusak mood saya. Semua
yang ada diruangan ini harus angkat kaki!” ucap Hartadi dingin sambil berdecak.
“Tenang aja, saya pilih-pilih kok orang yang mau dijadikan tamu untuk Pak Har.
Sebentar, saya ajak orangnya ke sini dulu karena masih di ruangan saya.” ucap
Maestra masih begitu tenang menebar senyum, walaupun sedang diawasi
Hartadi.
“Kalau nanti sudah tau orangnya, tolong dimaklumi kenapa ada di ruangan saya
ya? Soalnya tadi sempat jadi pusat perhatian orang-orang di bawah,” lanjut
Maestra sambil berlalu dari ruangan Hartadi dan jadi semakin membuat teka-
teki, membuat semua orang yang ada di ruangan itu penasaran.
“Nah, sekarang boleh dilihat tamu spesial kita,” Maestra muncul di ambang pintu.
“Lah, Velo? Main juga akhirnya ke kampung lama. Masuk sini?!” ucap Haris
bercanda luwes, seakan dia lupa beberapa menit yang lalu menyaring semua kata
yang keluar demi memghindari konflik dengan Hartadi.
Ya… tamu yang dimaksud Maestra adalah perempuan yang menjadi tokoh utama
dalam mimpi Hartadi tadi malam.
“Nunggu dikasih izin sama yang punya ruangan dulu, Pak.” Jawab Velo manis.
Namun saat Hartadi perhatikan, perempuan itu tidak melihat ke arah Hartadi
meskipun kalimat barusan menyinggung namanya. Velo malah terlihat sedang
sibuk bertukar senyum dengan rekan-rekan Hartadi, yang sekarang nampak
antusias mengajaknya bicara.
Biarkan dirinya memaki dalam hati, di waktu yang salah ini, Maestra melempar
peremouan itu ke ruangannya. Beraninya Maestra ketika Hartadi sedang
berusaha melawan kilasan yang membuat seluruh tubuh dan pikirannya
terbakar.
“Saya ketemu Velo di Sturbuck Coffee,” ucap Maestra saat Haris sudah berdiri,
bergabung dengan pria itu dan Velo, membentuk group kecil di depan Hartadi.
Memang tanpa sengaja Maestra berpapasan dengan Velo di Sturbuck Coffee, saat
itu Velo sedang Coffee pesanan atasannya yang baru saja selesai Shareholders
Meeting di luar kantor, sedangkan atasan perempuan itu menunggu di dalam
mobil.
Maestra mencegat Velo hanya untuk sekedar ngobrol sebentar. Disitulah Maestra
tau kalau Velo mendapat jatah pulang lebih awal. Suatu kebetulan yang rasanya
sayang untuk di sia-siakan, Maestra langsung menawari Perempuan itu untuk
mampir ke Royal WCS.
“Iya. Saya nggak sengaja ketemu Pak Maestra, terus diajak ke sini. Saya pikir
boleh juga sekali-kali, mumpung dibolehin pulang cepet sama atasan.” Ucap Velo
memperjelas kehadirannya sekarang yang terkesan spontan.
“Sepertinya atasan kamu sekarang baik ya, Vel?!” Haris langsung mendapat
pincingan dari Maestra.
Pria itu pun tau kalau sekarang sedang menjadi sasaran empuk tatapn Hartadi.
“Kalau atasan kamu dulu kan setiap ngomong pedasnya mengalahkan cabe rawit.
Setiap kerjaan harus perfect. Padahal kan, di dunia nggak ada yang sempurna,
ya?!”
Velo membalas sahabat Hartadi dengan kekehan santai, tapi sejujurnya dia tidak
sesantai yang terlihat. “Bersyukur aja, Pak Haris. Saya dulu masih anak bawang,
memang harus dikasih atasan yang otoriter. Sebagai bekal menuju kesuksesan.”
“Contoh sekretaris yang jempolan yang kayak gini nih…” sahut Maestra
memanas-manasi. “Oia, saya minta maaf ya, Vel. Sudah memindahkan kamu ke
bagian HRD yang isinya haters kamu semua. Saya beneran nggak tau, baru
denger info juga setelah Hartadi marahin saya.”
Velo meninggikan sebelah halisnya, jujur saja tidak terbesit dalam benak Velo
bahwa Hartadi memberi teguran pada Maestra. Perihal sikap anti dari karyawan
saat kepindahannya dulu ke divisi lain tidak dia sampaikan pada pria itu.
Velo tidak dapat menemukan jawaban apakah sikap tersebut bukti perhatian dari
Hartadi karena mengkhawatirkannya, atau sebatas pertanggung jawaban lima
tahun lalu yang berusaha pria itu selesaikan sekarang.
Velo meringis saat melihat Maestra membiaskan rasa bersalah.
“Bukan masalah yang harus diungkit lagi kok, Pak. Tapi, terima kasih atas
permintaan maafnya.”
“Saya emang nggak jodoh sama Royal WCS. Udah hampir dua tahun kerja, tapi
nyusahin pimpinannya terus. Makanya, dijulukin sekretaris legendarisnya Pak
Har,” jelas Velo tidak ingin menghidupkan suasana serius.
Perlahan, mata Velo terkunci pada mata Hartadi yang senad menatapnya juga
dengan posisi masih duduk di kursi kebesarannya. Mereka sama sekali tidak
mencerminkan sepasang manusia yang melabeli mereka ‘Pasangan’.
Mereka saling menatap dalam diam dan bibir yang merapt seolah pelit memberi
senyuman. Baru kemarin mereka terjebak dalam situasi menegangkan dengan
ayah tirinya, kemudian Vo terbangun dalam kenyamanan yang luar biasa.
Anehnya kenyamanan itu hanya bisa diberikan oleh bahu pria itu. Memang sih,
selama bersama mantan-mantan kekasihnya, Velo dirundung cemas setiap kali
mereka keluar menghabiskan waktu berdua sampai malam.
Faktornya semua mantan-mantan kekasih Velo tidak bisa mengatasi teguran
ayah tirinya Keesokan hari.
Sementara Haris melihat ke arah Hartadi, namun tak mampu menahan, pria itu
merapat ke arah Velo dan Maestra untuk berbisik, “Vel, cewek yang di samping
Hartadi itu sekretaris yang direkrut pas dia balik ke Jakarta. Barusan di pecat,
laguan cari masalah aja pakai ngegodain si Har!”
“Masih baru, tapi langsung tancap gas ya,” respin Velo seraya memindai
perempuan semampai yang menjadi patung di sisi meja Hartadi, tampaknya ingin
lari dari ruangan itu tapi tak cukup berani untuk bergerak.
Derak roda kursi terdengar ketika Hartadi bangkit dari kursinya. Langkah
Hartadi hendak melewati Karin tapi tertahan di depan perempuan itu untuk
memberi perintah terakhir sebelum surat pemecatan terbit.
“Karin, tugas terakhir kamu sebagai sekretaris saya simple aja. Ambil tiga botol
Equil dan taruh di sini.” Ucap Hartadi sambil menunjuk ke arah mejanya yang
rapih, tanpa adanya dokumen berserakan. “Setelah itu kamu boleh pulang.”
“Baik, Pak.” Ucap karin mengangguk patuh. Perempuan itu melesat keluar dari
ruangan Hartadi tanpa mengatakan permisi pada grup kecil yang berada di depan
pintu.
Velo yang mendengar kontan saja mengerutkan keningnya. Hartadi gemar sekali
meminum air mineral. Terlihat dari beberapa botol hijau bertuliskan Equil di atas
meja yang segelnya sudah terbuka.
Setahunya, Hartadi akan menghabiskan banyak air mineral jika tengah diliputi
gairah. Pria itu akan haus, meakipun sudah membasahi tenggorokannya
berulang kali. Velo bukannya sok tau, tapi itu karena dia pernah langsung
menyaksikannya.
Apa mungkin Hartadi sedang bergairah? Pada siapa? Sekretaris tadi? Batin Velo
ribut.
“Gimana, Vel? Berminat jadi sekretarisnya Hartadi lagi?” Maestra kembali lagi
mempertanyakan hal yang sama, kesempatan untuk mengisengi Hartadi yang
kini bergabung.
“Saya udah terlanjur makmur di Almeda Group. Tapi, kalau Royal WCS punya
tawaran menarik… mungkin bisa saya pertimbangin.” Velo menutup percakapan
dengan diselingi senyuman.
Velo seketika mendelik ke arah Hartadi meskipun harus mendongak lebih tinggi.
Apa maksud dari kata-kata tersebut? Apa dia akan mengusik Hartadi jika kembali
lagi menjadi sekretarisnya? Karena mungkin saja pria itu mungkin tergoda
padanya?
Tidak mungkin.
Mata Velo menyipit penuh selidik kala Haris mulai terbahak-bahak, ditambah lagi
tawa tertahan dari Maestra yang tidak sanggup dibendung pria itu beberapa detik
kemudian.
“Bangke lo, Har! Bilang aja lo takut terus-terusan turn on kalo Velo jadi sekretaris
lo. Etika kerja? Alibi yang bagus!” Haris menumpukan satu tangannya pada
kusen pintu, menggeleng geli.”
“Gue serius. Lo yang anggap omongan gue becandaan. Seolah yang paling tahan
kalo Valerie jadi sekretaris lo.” Hartadi menangkis pendapat Haris.
“Untung gue lagi ga punya pasangan. Lo lagi, pake sok-sok ‘trust me’ ke gue.”
Cengir Maestra yang maju mendekati Hartadi lalu menepuk bahunya, serupa
yang dilakukan pria itu kepadanya tempo hari.
“Apa sih?” sergah Hartadi untuk tepukan Maestra berikutnya.
Velo bergeser ke kanan. Menonton tiga pria yang menduduki kursi teratas Royal
WCS. Saling melempar candaan, menanggalkan siapa mereka di gedung tinggi ini.
Pemandangan yang sudah pasti jarang di dapatkan karyawan lain.
Maestra mengangkat kedua tangannya, lalu disenggolnya rusuk Haris untuk
meminta perhatian.
“Waktunya kita undur diri, Ris. Masih ada dua jam sebelum pulang ngantor, lo
sebaiknya ikut ke ruangan gue aja. Kita obrolin hasil meeting gue sama orang
konstruksi.”
“Ide bagus. dua jam kita pakai untuk hal yang bermanfaat.” Haris mengiyakan
dengan semangat. “Nanti gue minta sekretaris gue pesenin kopi dulu deh. Pusing
kepala gue habis ngurusin ‘bos besar’ yang bad mood.”
“Sekarang nggak lagi lah pastinya. Tamu spesial kita ini kunci meredakan bad
mood si ‘bos besar’,” kata Maestra mempertahankan mantan bos dan sekretaris
yang ada di depannya dengan kentara.
“Hasil meeting konstruksi kabarin sekalian hasilnya ke gue,” potong Hartadi tidak
ingin buta mengenai informasi dari rencana mereka membangun cabang baru.
Sekaligus, menghalangi para sahabatnya membuat lelucon tentang mood nya
lebih jauh.
Melihat Haris yang memijit pelipisnya seakan terserang migrain, Hartadi
menimpali keinginan pria itu dengan berkata, “Jangan lupa bill kopinya lo kirimin
ke gue. Kali ini gue bayarin, Ris.”
“Ck, baik di depan Velo doang.,” cibir Haris yang segera diseret Maestra menjauhi
Hartadi dan Velo. “Eh, Mae! Maen tarik aja. Itu Velo ga dianter pulang nanti?
Yang ngajak Velo ke sini kan lo sendiri.”
“Saya bisa pulang sendiri, pak. Transportasi online dimana-mana.”
Hari ini Velo memang meninggalkan mobilnya lagi di basement Almeda Group,
karena agenda di luar kantor mengharuskannya satu mobil dengan atasannya.
Maestra mnghentikan laju kakinya tanpa melepas rangkulannya pada bahu
Haris. Pria itu menolehkan kepala, mengirim senyuman simpul yang penuh arti
kepada Haris.
“Gue nggak mau cari mati nantangin Hartadi dengan anter pulang ceweknya.”
“Ck, minggat lo berdua!” usir Hartadi panas.
Kedua sahabat Hartadi yang memeriahkan suasana telah memasuki ruang kerja
Maestra. Sekarang hanya tersisa dirinya dan Velo. Bentuk kesialan yang tentunya
akan dia hadapi, sekalipun kilas erotis dari mimpinya terasa lebih nyata.
Lambat laun tatapan Hartadi menuruni wajah Velo. Perempuan itu bahkan
menatapnya dengan kerutan di tengah alis. Hartadi jadi bertanya-tanya, apa
kedua matanya memancarkan rasa ‘haus’ yang ditahannya sejak terbangun dari
mimpi?
“Sekiranya Bapak sibuk, saya pulang aja,” ucap Velo yang merasa suasana di
ruangan itu jadi sedikit canggung.
Hartadi mengedikan dagu mengarah ke mejanya, “Duduklah. Saya nggak sibuk!”
“Ruangan nggak pernah di renovasi, Pak?” Velo mulai mengitari ruang kerja
Hartadi, dia sama sekali tidak menyangka pria itu mempertahankan interior
lamanya sejak enam tahun yang lalu.
“Memangnya harus di revoasi? Biarpun saya di Samarinda, tapi ruangan ini
selalu dirawat dan dibersihin selayaknya saya masih kerja Monday to Friday.”
Ucap Hartadi mengambil tempat di sisi Velo, ikut memandangi hasil sentuhan
perempuan itu desain interiornya.
“Pantes kondisinya masih sebagus dulu. Enam tahun rasanya kayak baru
kemarin ya, Pak?” Velo menarik napas, dia tidak percaya kembali ke kantor
Hartadi dengan komitmen pernikahan di antara mereka.
Hartadi tidak lagi mengikuti arah pandangan Velo, karena sosok perempuan itu
yang saat ini menyita atensinya. “Tapi, di enam tahun itu nyatanya kita melewati
banyak hal. Setiap tahun ada tantangan hidup.
“Nggak semua manusia punya ambisi dan tujuan yang pasti dalam hidup. Kalau
nggak digembleng tantangan, kemungkinan besar nggak akan naik level.” Velo
memalingkan wajahnya pada Hartadi diselingi senyuman tipis.
“Saya suka pemikiran kamu,” Hartadi mengesampingkan tubuhnya, lalu
mengisyaratkan three-seater sofa di belakang Velo. “Kamu nggak mau duduk?
Ruangan saya kelihatannya punya magnet besar buat kamu, Ve.?”
“Royal WCS kantor pertama saya Pak, paling membekas sih. Satu tahun lebih
kerja untuk Bapak di sini, bolek balik ke ruangan ini, dan ikut ngedesain ruang
kerja ala karaoke ini…” Velo menggeleng gemas. “Jujur, ada kangen-kangennya.”
“Apa kita harus ngebahas perselisihan dulu lagi yang membuat kamu lepas dari
kantor saya?” Hartadi bersidekap sambil mengamati Velo penuh perhitungan.
“Saya nggak mau ngerusak mood siapa pun kok, apalagi Bapak keliatan ‘haus’
terus. Nggak minat musuhan lagi ah. Kita skip aja, Pak.” Velo menghindar dengan
lihai.
Tanpa dipersilahkan ulang oleh Hartadi, Velo beranjak duduk pada sofa yang
tersedia dan melepas tasnya. Telapak tangan Veli tanoa sadar menyapu
permukaan sofa yang masih selembut ketika pertama kali dia mendudukinya.
Dengan rok pensil di atas lutut yang membelit pinggangnya dengan ketat, Velo
memposisikan kedua kakinya mengarah ke kiri agar tidaknada celah yang
terlihat. Terap mengusahakan sikap duduk yang sopan, meskioun pria di
depannya adalah calon suaminya.
“Kamu tau saya sedang haus?” suara Hartadi yang memiliki karakteristik itu
bertanya dengan datar.
Sementara Velo yang langsung menelan ludahnya tidak tau harus menjawab apa?
“Saya denger Bapak minta sekretaris tadi ngebawain tiga botol Equil. Artinya
haus kan? Emangnya ada yang lain?” Velo berusaha rileks dengan mengedikan
bahu, karena merasa Hartadi sedang menyimpan sesuatu darinya.
“Saya nggak mau sok tau tentang Bapak. jadi, menurut saya Bapak lagi haus
secara harfiah aja.” Ucap Velo tidak suka jika nanti mendengar spekulasinya
mengenai Hartadi dan sekretaris itu ternyata benar.
Hartadi hampir yakin akan menertawai Velo yang terang-terangan mengelak,
namun dia alihkan dengan dengusan. “Sekarang lagi bermulut manis ya, Vel?
Saya terkesan, karena kamu nggak berani ceplas-ceplos seperti biasa.”
“Ceplas-ceplos juga harus tau kapan waktunya dong, Pak.” Timpal Velo atas
kalimat Hartadi yang meremehkannya.
Di satu sisi, Hartadi tidak mengistirahatkan diri. Bunga tidur yang semalam
menghabisi tubuhnya dengan sensasi panas, masih tidak berhenti memenuhi
setiap benaknya. Sebab setiap matanya melihat ke arah Velo, proyeksi siluet polos
perempuan itu mengotori kewarasannya.
“Kenapa, Pak?” Velo menyerah untuk tidak bertanya mengapa sekarang dia
ditatap sedemikian rupa, tatapn yang tidak ramah sama sekali. “Penampilan saya
nggak kucel kan? Meeting tadi emang alot sih, kepala saya sampai ikutan
berasap.”
Okay, Hartadi harus membersihkan tenggorokannya dengan dehaman sebelum
menjawab. Tidak mungkin dia tergagap seperti anak ingusan. “Penampilan kamu
masih Oke. Saya Cuma perhatiin cara dudukmu itu, ngalahin pesinden.”
Pipi Velo memanas, namun dia mengangkat dagu bersiap membela diri. Sekalian
saja dia usili Hartadi dengan kata-kata yang menohok. “Saya pakai rok, masa
mau duduk asal? Rugu banget kalo ada yang jelalatan.”
“Jadi mata saya yang jelalatan, gitu?” ucao Hartadi sambil memicingkan mata,
sebetulnya dia setengah geli terhadap Velo yang mulai mencair. “Saya kalau
pengen ngeliat ‘punya kamu’, nggak pakai acara ngintip-ngintip segala. Yang ada
nanti saya bintitan.”
“Oh, nggak pakai cara ngintip ya? Berarti ada cara lainnya kan? Bisa Bapak
jelasin nggak?” Velo menegapkan punggung, posenya persis saat seseorang
memandang saingannya. Kekanak-kanakkan memang, tapi Hartadi tidak ada
bedanya.
Hartadi menarik sudut bibir, pancaran matanya semakin gelap dan mengartikan
sesuatu yang lain. “Caranya gampang, saya langsung tanya kesediaan kamu.
Karena saya nggak pernah setengah-setengah dalam menginginkan sesuatu.”
“Jadi…” Velo merapatkan kaki-kakinya, hilang sudah sikap kekanak-kanakan
tadi. “… tergantung saya?”
Dengan berat, Hartadi mengusahakan suaranya keluar meskipun hasilnya
terdengar parau. “Iya, tergantung kamu bersedia atau tidak.”
Tok…Tokk…
Tiba-tiba, ketukan pintu yang Hartadi tebak dilakukan oleh Karin memutus
kontak matanya dengan Velo. Hartadi menurunkan kedua tangan yang terlipat di
depan dada dan mempersilahkan orang itu masuk.
Dan benar saja, Karin yang memasuki ruangan kerja Hartadi, terdapat tiga botol
Equil sesuai pesanan pria itu di atas nampan. Langkah Karin berubah kikuk
ketika melihat kehadiran Velo.
“Permisi,” ucap Karin sambil melempar anggukkan singkat pada Velo yang tengah
duduk di atas sofa Oscar milik atasannya.
Jari jemari lentik Velo yang dihiasi kuteks nude meraih sebotol Equil dan
membuka segelnya tanpa susah payah, lalu menuangkan air mineral tersebut ke
dalam gelas goblet milik Hartadi.
“Sekretaris tadi harusnya lebih eksplor apa yang di sukai dan apa yang nggak di
sukai atasannya, dibanding sibuk tebar pesona. I think I’m right?” ucapnya
setelah memenuhi gelas Hartadi, Velo menaruh tutupan gelas ke atasnya. “Saya
tau kebiasaan Bapak ini dua hari setelah hari pertama kerja.
Tanpa kata, Hartadi menatap mejanya yang rapih dan gelas sudah terisi penuh,
kemudian mengangkat kepalanya untyk mengunci tatapan Velo. “Selama
beberapa tahun ini, saya melakukannya sendiri.”
“Sekretaris yang di Samarinda juga nggak terapin ini? Serius, Pak?!” Velo
tersentak dan mundur selangkah ke belakang. Dia terheran-heran sendiri kenapa
sekretaris Hartadi berikutnya tidak melakukan hal yang sama.
“Kamu mungkin ‘berbeda’” Hartadi mengepalkan satu tangannya yang berada di
dalam saku, tidak ingin terpengaruh dengan hasutan yang ada di dalam
kepalanya.
Velo bergumam sebentar, lalu memberikan gelengan kepala. “Saya nggak da
bedanya dan belum tentu lebih baik. Kayaknya saya amatin Bapak aja, karena
saya inget kata-kata Eyang Putri sebelum jadi sekretaris Bapak.”
“Kata-kata Ibu yang mana?” Hartadi tidak pernah tau hal ini.
“Sebagai anak bungsu laki-laki, Eyang Putri pernah jujur ke saya, kalau beliau
memperlakukan Bapak nggak sama dengan anak laki-laki lainnya.” Velo
mengingat penuturan Ibu Hartadi beberapa tahun yang lalu.
“Ibu saya pernah ngomong begitu sama kamu?” Hartadi hampir membulatkan
kedua bola mata, karena bisa-bisanya sang ibu mengumbar dirinya yang
‘dimanjakan’ pada sang cucu.
“Salah ya?” Velo mendapati muka masam Hartadi. “Eyang Putri nggak bilang
macem-macem kok. Beliau Cuma bilang memperlakukan Bapak dengan cara
lebih dilayani aja kok. Contohnya minum dan makan disiapin sampe sendok
garpunya.”
“Lagian saya yang buka percakapan itu, karena Eyang Putri sibuk ngurusin
Bapak di meja makan,” sambung Velo lalu memberi usapan pelan di lengan
Hartadi. “Jangan ngambek ya, Pak?!”
Hartadi menghela napas, enggan memenangkan emosi yang tidak penting. Lalu
saat Velo hampir menjuhkan tangannya Hartadi dengan sigap menangkap tangan
Velo, dan menatapnya dengan intens. “Saya pikir itu sebabnya kamu layanin
saya lebih detail dari sekretaris saya yang lain. Kamu memperhatikan saya, Velo.”
“Mungkin…” jawab Velo dengan suara mengecil, tidak yakin perihal dirinya yang
sadar atau tidak telah memperhatikan Hartadi.
Pegangan tangan pria itu di lengannya terasa kuat dan lembut menjadi satu.
Seketika dia ketar-ketir. Dari mata pria itu pun, jelas ada seauatu yang langka.
Tubuh Velo mulai tersudutkan. Hartadi menggiringnya masuk ke dalam belenggu
pria itu. Caranya sangat halus, sehingga Velo kurang menyadari perubahan posisi
mereka. Saat tersadar, Velo sudah diapit oleh meja dan tubuh gagah Hartadi
sudah berada di depannya.
“Dulu kamu mungil dan pemalu. Pakai seragam dan rok kotak-kotak. Lucu.”
Hartadi membisik ke telinga Velo dengan napas liarnya yang berhembus ke
telinga kiri Velo. “Tapi, setelah dewasa, berani-beraninya ngerusak sistem kerja
saya?”
“Kapan saya ngerusak sistem kerja Bapak?” Velo mengulang kalimat Hartadi
dengan lancar.
Walaupun hati sedang bergemuruh atas kedekatan mereka, otak Velo masih bisa
mencerna dengan baik semu yang tercetus dari bibir Hartadi.
Namun mulutnya kontan terkatup saat wajah tampan pria itu merunduk,
sehingga kedua hidung mereka bersentuhan.
“Kamu nggak perlu tau kapannya, Velo. Yang jelas, saya harus cium kamu
sekarang.” Hartadi membelai rahang Velo, merasakan kulit perempuan yang dia
dambakan dalam mimpi. “Boleh saya yang kasih tester kali ini?”
Velo menahan napas ketika merasakan satu lutut Hartadi mendesak kakinya,
hatinya berkata tidak ingin mundur. Velo akan melupakan sejenak
kegelisahannya mengenai sikap Hartadi yang dilampiaskannya pada sepiring
sambal. Maka, dia suguhkan persetujuan yang langsung disambut oleh pria itu
dengan ciuman membara.
Tidak mengapa jika nantinya Velo gelisah untuk yang kedua kalinya.
***
Nyatanya kegelisahan yang Velo pikir akan menguasainya, tergantikan oleh
sesuatu yang lain. Walupun Velo menghabiskan sisa jam kerja Hartadi dengan
saling menyatukan bibir, kembali menguji keserasian mereka dan melahirkan
desas-desus terkini di Royal WCS.
Velo menarik napas untuk menyelaraskan sebentuk perasaan jengkel yang
bersemayam sejak dia sampai di rumah makan kawasan menteng ini. Terlebih
lagi, Velo tidak ingin merusak situasi damai yang menemaninya dan Hartadi
karena memasang wajah kecut.
Velo membelah dua sebutir telur asin untuk mendampingi semangkuk rawon
yang akan di santap Hartadi. Bukan belajar menjadi istri yang penuh perhatian
bagi pria itu kelak, tapi dia hanya ingin dilihat sibuk.
Khususnya oleh keluarga kecil yang mendiami meja tak jauh darinya dan Hartadi.
Atensi yang dijatuhkan Caesar dan keluarga pria itu kepadanya benar-benar
membuat risih. Velo tidak menghindari Caesar, dia hanya cukup puas telah
menghadapi dan membeberkan alasannya menolak tawaran pria itu untuk
kembali. Bagi Velo, mereka sudah selesai.
Sesalnya, kenapa harus dipertemukan takdir di tempat ini?
“Mantan yang masih usaha ngejar kamu kan?” duga Hartadi. Pria yang Velo
katakan mantan kekasih itu menyimpan kecemburuan pada kedua matanya.
Hartadi seolah diposisikan menjadi pesaing.
Velo yang sudah membelah dua telur asin itu pun menempatkannya di sisi piring
Hartadi, lalu memberi sendok dan garpu yang telah dibersihkannya dengan tissue
ke tangan pria itu. “Kalau ngejar waktunya telat, saya anggap omong kosong.”
“Segampang itu kamu menyimpulkan usahanya omong kosong?” Hartadi
menunda keinginannya untuk menyentuh makanan, rasanya lebih seru
membuka debat dengan perempuan yang telah dilibasnya dalam ciuman panas
itu.
“Ya, segampang dia nggak jadiin saya prioritas.” Jawab Velo sinis samvil
menanggalkan blazer, menyusakan inner satin berlengan pendek yang
memperlihatkan kedua lengan putihnya.
Hartadi sudah menaksir mengapa hubungan Velo dan pria itu berakhir, namun
tidak ada salahnya mendengarkan kilas percintaan lawas dari ‘calon istrinya’.
Jika membandingkan, Velo akan lebih menguasai nama mantan kekasih Hartadi
dan sepak terjangnya dari para perempuan.
“Kasih dong saya kisi-kisi hubungan kamu sama dia. Anak perempuan yang di
sebelahnya itu bukan anak kamu kan, Vel?” tanya Hartadi sekaligus meminta
diiringi kalimat usil untuk Velo.
“Ck… sembarangan deh.” Tepis Velo cepat, semakin merenggut di saat Hartadi
menyematkan senyum mengesalkan. “Selama jadi pacarnya, saya nggak pernah
banyak minta. Sekalinya saya minta yang paling diharap dari hubungan kita, dia
nggak bisa kasih. Klise.”
“Kenapa mantan kamu lembek semua ya? Itu yang bercokol dalam pikiran saya
dan membuat saya heran. Harusnya Ibu ngejodohin kamu sama Arrow, saya
jamin Mas Adi nggak bisa berkutik.” Hartadi mulai menuangkan kuah kehitaman
rawon keatas nasi putihnya dengan sendok, lalu mengangkat kepala mendengar
Velo menghela napas.
“Saya dan Arrow?” Velo berjengit memikirkan dia dan sang sepupu dalam ikatan
pernikahan, karena Arrow merupakan anak sulung dari kakak laki-laki pertama
Hartadi. “Kalau misalnya ada pilihan Arrow sama Bapak, saya tetap lari ke
Bapak.”
Hartadi mencapit hidung Velo gemas sebagai hadiah dari jawaban jujur Velo.
Dan, perempuan itu hanya memekik pelan tapi tidak memprotes kebiasaannya.
“Kamu ini pintar bikin laki-laki geer,” ledek Hartadi sambil menarik tangannya
dari Velo. “Jadi dari list mantan kamu, nggak ada yang punya jiwa pejuang?”
“Saya nggak bisa salahin seratus persen kemampuan mereka, atau mereka yang
kelewat lembek kayak yang Bapak bilang tadi. Sekali papih kasih ultimatum,
masa lalu mereka dirunut sampai habis.” Ucap velo sambil tersenyum kecut.
“Iya, saya tau kamu pernah bilang. Tapi, apa nggak ada pacar kamu yang
berusaha duduk bareng Mas Adi? Istilahnya untuk mengambil restu? Setau saya
Mba Asri ada di rumah terus.” Hartadi menyipit, karena sudut pandang Velo
membuat imej Adiputra seolah ‘bisa segalanya’.
“Sebelum sempat ke tahap mengambil restu, biasanya Papih datengin pacar saya
di tempat kerja. Di ajak ngomong empat mata secara spontan. Di situ Papih selalu
tekan pacar saya, peringatin mereka nggak pantas buat saya.” Velo menegaskan.
“Dan, janji mau mempersulit kerjaan atau ngancam dari kejelekan mereka.”
Enggan menyudahi, Hartadi masih ingin memenuhi beragam tanya dalam
kepalnya. “Mas Adi datengin mereka tiba-tiba, di tempat kerja pula, dan mereka
mengiyakan aja?”
Velo melipat kedua tangannya di atas meja, memandang Hartadi dengan sinar geli
yang tidak di tutupi. “Sadar kan nama keluarga Bapak terpandang? Pacar saya
nggak mungkin nolak kedatangan orang yang mau nemuin mereka atas nama
‘Bratadikara’.”
Hartadi meirik mantan kekasih Velo sejenak. “Memang bukan bergantung
ekonomi dan status sosial, tapi saya liat mantan kamu orang mampu. Dia nggak
nyoba gebrakan apa-apa?”
“Namanya Caesar, Pak. Keluarganya punya bisnis konstruksi. Orang mampu, tapi
nggak punya keberanian.” Velo mencuri lihat anak perempuan di samping Caesar,
kedua matanya pun melembut. “Berani lapang dada menerima masa lalu mantan
saya, nggak menjamin dia mau mempertaruhkan segalanya untuk saya.”
Hartadi tidak lantas memberikan responnya, dia amati perempuan yang duduk di
depannya itu untuk beberapa waktu yang lama.
Entah apa yang memikat pikirannya kali ini, Hartadi ingin sekali memamerkan
hubungan mereka di depan mata mantan kekasih Velo. Memantik kecemburuan
pria itu lebih dari sekarang.
Jika Hartadi menjadi pria itu, dia akan mengusahakan Just macam jalan keluar
seutuhnya Velo berhasil dimiliki. Walau ancaman Adiputra membayang-bayang.
Pasalnya, sepenggal ucapan Velo yang begitu tulus menerima calon
pendampingnya, mejadikan perempuan itu berhak diperjuangkan.
Tak harus memastikan pada Velo, Hartadi tau pria yang dibicarakan mereka itu
adalah bukti dari mantan yang paling membekas. Harapan besar Velo yang
pernah tersia-siakan.
Hartadi sedikit menunduk ke arah Velo ditengah meja yang membatasi. “Jangan
pernah menaruh harapan besar terhadap seseorang, Velo. Mau itu siapa pun,
apalagi saya. Kamu nggak akan tau kapan dikecewakan dan disakiti, karena
harapanmu nggak sesuai dengan ekspetasi yang diwujudkan orang itu.” Velo pun
hanya mengangguk.
“Dulu saya memang naif, Pak. Sekarang harapan saya Cuma saya sendiri, dan
Tuhan. Tapi, Bapak termasuk orang yang saya semogakan.” Hartadi hanya
terdiam tanpa berkata-kata, dia harus memutar otak cerdasnya untuk menjawab
Velo.
“Saya pasti berusaha juga untuk komitmen kita.”
“Ah, masa sih?” ucap Velo sengaja menggoda Hartadi untuk mengurangi
ketegangan yang muncul dari kebisuan pria itu sebelum mampu menguasai
dirinya sendiri.
“Kamu maunya gimana?” Hartadi membalik situasi dengan cepat. “Dari raut
muka kamu kayaknya kamu puas denger saya bilang gitu deh. Saya masih inget
juga sama omongan kamu Vel, yang katanya kamu mau nguasain saya sendirian.
Udah berhasil belum?”
“Lah, kok nanya saya?”
“Evaluasinya tetap di tangan kamu,” ucap Hartadi sambil mendorong ponselnya
yang berada di atas meja ke arah Velo. “Handphone saya juga mau di cek sekalian
nggak? Siapa tau aja kamu kecolongan.”
Velo tidak melirik handphone Hartadi sedikit pun, dia hanya menatap pria itu
sangsi. Karena pasti Hartadi hanya sekedar iseng, jika suaranya terdengar ringan.
Memang tidak begitu berbeda dengan Hartadi dengan mode serius, Velo hanya
cepat menyadarinya saja.
“Emangnya Bapak masih ngeladenin mantan temen tidur Bapak?” Velo bertopang
dagu, lalu teringat perempuan yang memghubungi Hartadi berkali-kali ketika
sampai di Jakarta. “Mm… perempuan norak yang nge face time Bapak waktu itu
masih sering nyoba peruntungan nggak?”
“Dilihat aja handphonenya kalo penasaran,” tantang Hartadi.
Velo menjauhkan handphone Hartadi. “Nggak mau kalau di suruh liat, tapi nggak
dikasih passcode nya. Apaan Cuma kebagian lockscreen.”
Kontan saja Hartadi menghalangi tawa yang hampir menyembur dengan kepalan
tangan. Ada saja yang bisa dijadikan bahan untuk membalasnya telak. Velo
memang termasuk unik dan tidak membosankan.
Tipikal perempuan yang sudah pasti meningkatkan darah tinggi Hartadi, karena
dia akan sesering mungkin dibuat keki.
“Kamu pasti tau. passcode saya terdiri dari tanggal, bulan dan tahun kelahiran
Ibu.” Ucap Hartadi sambil melihat Velo yang tersenyum tulus ke arahnya saat tau
kode sandi untuk Handphonenya.
“Iya, saya tau. Tapi, beneran Bapak kasih izin saya buat cek cek handphone saya
kayak istri pecemburu gini?” Velo mendapati anggukan yakin dari Hartadi, maka
dari itu dia tidak lagi sungkan untuk meraih handphone Hartadi.
“Cek sepuas kamu, Vel.” Hartadi tidak menahan diri untuk tersenyum, walaupun
Velo tidak mengetahuinya karena perempuan itu tengah sibuk menggulirkan jari
telunjuk di atas layar handphone.
Selama statusnya keluarga maupun atasan, Hartadi tidak pernah mencari tau
sejarah hubungan Velo dengan pria-pria lain. Namun Hartadi mengerti
perempuan itu tak pernah menilai sebuah hubungan berbekal keindahan luar
semata.
Hartadi berani mengatakan jika saja Velo tidak di persulit oleh Adiputra,
perempuan itu pasti sudah menikah dan mengisi hari-harinya dengan interaksi
hangat dengan sang suami. Tidak harus menyelami komitmen tanpa cinta
dengannya, kehidupan yang akan abu-abu karena dia telah lama tidak mencintai.
“Dimakan rawonnya, Pak! Nanti keburu dingin kan jadi nggak enak.” Ucap Velo
sambil menyimpan handphone Hartadi setelah inspeksi singkatnya.
“Ini mau makan,” Hartadi mengangkat sendoknya. Tidak sepanik Velo, Pria itu
dengan santai memotong kuning telur asin dan menyuapkannya ke dalam mulut.
“Gimana Vel?” tanya Hartadi Selang menelan makanan, merujuk handphonenya.
“Aman,” jawab Velo mengabaikan senyum di sudut bibir Hartadi. “Ck… Jadi lupa
kan tujuan ke sini mau makan” Velo tidak memperdulikan sekitarnya lagi yaitu
keluarga kecil Caesar yang dia maksudkan. Dia lalu menahan ringisan, karena
mengabaikan makan lebih dari yang seharusnya.
Namun mata Velo menangkap wadah kecil berisi sambal. Melihat Hartadi belum
mengambil sambal tersebut, dia lalu mengangkat wadah kecil itu dan membaui
aroma yang menguar. Samvil menghela napas dia menaruh lagi wadah itu ke atas
meja.
“Kirain saya sambal terasi. Kalau iya, bisa mules-mules tuh perut Bapak. Dulu
kan meeting sempet batal, gara-gara Bapak nggak sengaja makan sambal terasi.”
“Iya, saya inget. Padahal saya meeting sama rekanan Singapore yang udah di
jadwalin dari jauh-jauh hari. Tapi untung sih, kamu langsung beliin obat
sembelit.”
“Inisiatip saya itu, soalnya Bapak nggak keluar-keluar dari kamar mandi,”
“Saya benci sambal terasi,” ucap Hartadi sambil mendecakkan lidah.
“Audrey??”
“Dree??”
Hartadi memandang sekitar, dia melihat sumber dari banyak teriakan refleks di
rumah makan beratap kayu ulin tersebut. Yang paling mengundang perhatian
Hartadi berasal dari Velo, serta mantan kekasih perempuan itu.
Velo tidak sadar sudah meninggalkan kursinya juga Hartadi. Dia bergegas
menghampiri anak perempuan yang tertelungkup di atas paving block. Lutut
anak perempuan itu menghantam permukaan kasar di bawahnya dengan keras.
Masih duduk di kursinya, Hartadi mengamati betapa telatennya Velo membantu
anak perempuan yang dipanggil Audrey itu. Velo memgupayakan tangisan Audrey
surut dengan membangunkan anak perempuan itu berdiri, lalu meniup-niup
lukanya dan menenangkannya tanoa kikuk.
Tak lama, Caesar menghampiri dua perempuan dalam pandangan Hartadi. Saat
ini mereka terlukis seperti keluarga. Mereka mungkin hampir menjadi keluarga
kecil dan manis, namun masanya telah berganti.
Kini, Velo memilihnya untuk menjadi keluarga perempuan itu. Membuat Hartadi
mendapatkan gelar baru nantinya yaitu suami dari Velove L Williams.
***
Anak perempuan pemilik mata hijau itu mulanya tak sadar siapa yang
membantunya berdiri dan meniup luka di lututnya. Namun ketika memandang
lama wajah Velo, tangisan anak itu mengencang. Seketika memeluk Velo yang
setengah berlutut agar roknya tidak mengeni paving block.
Alih-alih tidak mengingatnya lagi, anak perempuan itu masih menyimpan
wajahnya dalam memori.
Ada kerinduan yang berdesir di hati Velo melihat Audrey Medika. Anak
perempuan Caesar yang terlahir ketika usia ayahnya cukup muda dan
mengemban tanggung jawab pendidikan. Anak yang Velo sayangi setiap harinya,
karena dulu dia ingin menjadi ibu sambung yang baik.
“Sakit ya, Dree? Liat lukanya lagi sini, bisa infeksi kalau kelamaan nggak
dibersihin. Ucap Velo sambil mengusap rambut Audrey.
“Sakit banget!” rengek Audrey.
“Iya, nanti diobatin biar nggaknsakit lagi. Terus pakai plaster kesukaan Audrey
yang ada gambar-gambar Disney.” Velo mengingat jika Audrey adalah penggemar
nomor satu kartun Disney. “Masih koleksi nggak?”
“Masih, di kamar banyak.” Jawab Audrey sambil masih terisak. Lalu wajah
Audrey menjauh dari leher Velo. “Tante Velo udah nonton Luca belum? Aku
streaming di Disneyplus. Rambut Luca lucu loh Tan, keriting mirip keong.”
Velo mengerjap atas pertanyaan yang tidak di duga-duga tersebut. Sejujurnya dia
mengira Audrey akan menuntut ketidakhadirannya usai memutuskan hubungan
dengan Caesar. Entah alasan apa yang dipakai Caesar, Audrey mengajaknya
bicara seakan mereka masih sedekat dulu.
Otaknya kini sedang memikirkan siapa Luca dari Disney. Ditambah lagi Audrey
menatapnya dengan serius, mengharap Velo memgetahui siapa Luca yang
dimaksud. Meakipun hidung Audrey masih merah akibat tangisannya tadi.
“Eu… Luca ya, hmm Tante belum sempet nonton, karena harus kerja sampe sore
trus udah pulang langsung tidur. Kalau tugas sekolah Audrey tetep ngerjain
kan?!”
“Audrey!”
“Daddy!”
Tangan anak perempuan yang memeluk Velo terlepas dari lehernya ketika
mendengar suara ayahnya.
Bahkan belum sempat membalas dengan anggukan sekalipun, karena Audrey
sudah berganti memeluk ayahnya dan melapor betapa sakitnya luka di lutut anak
perempuan itu.
“Daddy aku jatoh!” ucap Audrey sambil merengek pada Caesar manja ketika dia
masuk ke dalam pelukan Caesar. Air matanya kembali jatuh saat Audrey
menunjukan luka di lututnya.
Caesar menghempas debu dan kotoran yang ada di rok anak perempuannya itu
sambil mencuri lihat ke arah Velo. “Iya, jatuh karena tali sepatu Dree lepas dan
keinjek. Lain kali hati-hati ya, Dree… Daddy punya betadine kok di dalaM mobil,
habis ini Daddy obatin.”
Dengan berkaca-kaca, Audrey menatap ayahnya meminta perhatian. “Aku mau
langsung pulang aja. Bilangin Oma kalo aku mau cepet pulang. Luka aku makin
perih, Daddyyy!!!”
Dalam kesempatan tersebut, Velo bersitatap dengan Hartadi yang masih duduk di
kursinya dan memperhatikan tanpa mencela. Jujur saja, sesungguhnya Velo
tidak bisa menebak dan mengartikan sorot mata pria itu.
Velo jadi dirundung tidak enak hati, saat dia mengingat begitu spontan
menghampiri audrey yang terjatuh. Apa yang terbesit dalam benak pria itu saat
melihatnya khawatir pada Audrey, anak dari mantan kekasihnya?
“Vel, makasih udah nolongin Audrey. Dia tadi mau cuci tangan sendiri, tapi
kesandung tali sepatunya yang aku lupa iket ulang.” Ucap Caesar sambil
mengangkat Audrey ke dalam gendongannya, walaupun anak perempuan itu
sudah cukup besar.
“Awasi Audrey dengan baik,” ucap Velo tidak memberi senyuman pada Caesar.
“Tante Velo udah selesai kerja di luar negeri? Kok ada di sini?” ucap Audrey
membuat wajah Caesar menjadi pucat pasi. “Main ke rumah lagi dong, Tan. Aku
kangen di temenin nonton dan di buatin spaghetti yang ada udangnya.”
“Sayang, Tante Velo sibuk kerja…” ucap Caesar yang berusaha mencegah sang
outri melucuti kebohongannya di depan Velo.
“Tante Velo udah di sini Daddy, udah pulang. Iya kan Tante?” ucap Audrey
besikeras tanpa melihat perubaan pada wajah ayahnya. “Aku mau Tante Velo
main ke rumah. Aku bosen sama Mbak Nina terus, apalagi mbak nggak ngerti
bahasa ingris.”
“Daddy paham Dree, Cuma kamu nggak bisa maksa Tante Velo. Nanti Daddy ajak
sepupu-sepupumu nginep di rumah.” Caesar terdengar tegar, tapi matanya
terlihat sendu setiap kali melihat Velo.
“Tante nggak bisa sering-sering maen ke rumah Audrey. Tapi, kapan-kapan Tante
bakalan mampir ke sana, ya?” ucap Velo tanpa penuh kepastian.
“Kenapa nggak bisa langsung, Tante? Audrey punya sopir kok yang bisa anter
jemput Tante. Iya kan Dad?” Audrey mengerling pada Caesar meminta dukungan
dari sang ayah.
Sementara Caesar mengangguk sambil menunduk, mengalah demgan keinginan
Audrey, “Iya, ada sopirnya Audrey.”
“Bukan masalah sopir, Dree. Sekarang Tante lagi makan sama temen. Kasian
dong kalo ditinggal sendirian. Padahal kan kesininya bareng sama Tante.” Jelas
Velo menghindari ajakan Audrey yang bisa meninggikan harapan Caesar.
“Temen?” Audrey mengerutkan keningnya lalu matanya menyapu ke sekitar
rumah makan tersebut. “Yang mana temen Tante? Nggak ada teman perempuan-
perempuan kayak Tante yang semeja barengan. Aku sama temen-temen sekolah
kalo makan di kantin selalu barengan loh.”
Harusnya Velo mempertegas dengan siapa dia makan. Karena mungkin itu
penting untuk diketahui oleh Caesar.
Seolah tidak menyadari raut wajah Caesar yang serius menyimak pembahasan
kali ini, Velo mengarahkan Audrey ke satu titik dimana Hartadi sedang duduk
mengawasinya sambil menyesap wedang jahe.
“Laki-laki yang pakai kemeja Navy itu, temennya Tante.” Ucap Velo sengaja
diperbesar agar Caesar juga mendengarnya.
“Ih, jutek amat muka omnya!” seketika Velo pun tertawa karena tidak menyangka
akan tanggapan Audrey saat melihat Hartadi.
Beberapa menit berlalu dihabiskan Velo untuk meladeni Audrey. Saat dirasa
waktu sudah dihabiskannya terlalu lama, Velo memilih undur diri biarpun ank
perempuan itu masih tetap memintanya untuk main ke rumahnya.
Velo merapihkan anak rambutnya yang disentuh angin malam sambil
melangkahkan kaki ke tempat Hartadi. Tanpa sadar Velo mengusap lengannya,
mulai terasa dingin.
Hartadi menyambutnya terlalu tenang. Tidak ada kata yang di cetuskan selain
duduk dengan mangkok rawon yang sudah kosong. Dan, Velo mengirim senyum
tipis pada Hartadi saat menempati kursi di depan pria itu.
***