Anda di halaman 1dari 28

1. Apa saja varian covid di Indonesia?

2. Apa itu covid varian delta?


3. Seberapa berbahaya covid varian delta daripada varian covid sebelumnya?
4. Apa pembedanya dengan covid varian lama?
5. Bagaimana cara penularan covid varian delta?
6. Efektifkah antigen dan PCR mendeteksi varian delta? Bagaimana sensitivitasnya?
7. Efektifkah vaksin terhadap varian baru?

Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan


mengungkapkan sejauh ini sudah ada 553 kasus mutasi virus SARS-CoV-2 dari enam jenis
varian Covid-19 yang teridentifikasi di Indonesia. Varian B1617 atau Delta tercatat
mendominasi sebaran kali ini. Data itu merupakan perkembangan terkini per 6 Juli 2021.
Ratusan temuan varian itu teridentifikasi di Indonesia berdasarkan hasil Whole Genome
Sequence (WGS) terhadap total 2.590 spesimen.

Adapun bila dilihat lebih rinci, 544 di antaranya merupakan temuan dari varian yang
tergolong 'Variant of Concern (VoC)' atau varian yang diwaspadai Badan Kesehatan Dunia
(WHO). Mereka yakni B117 Alfa, B1351 Beta, dan B1617 Delta.

VoC merupakan varian yang memiliki mutasi yang mempengaruhi sifat penularan, kepekaan
alat tes, keparahan gejala, hingga kemampuan virus menghindari sistem imunitas. Hanya saja
masih sedikit bukti sehingga perlu penelitian lebih lanjut. Sejauh ini Badan Kesehatan Dunia
(WHO) baru menetapkan ada empat varian yang masuk dalam kategori ini yaitu B117,
B1351, B1617, dan P1. Hanya P1 yang belum teridentifikasi di Tanah Air.

Varian B117 Alfa 51 kasus Sumatera Utara: 1 kasus Riau: 1 kasus Kepulauan Riau: 1 kasus

Sumatera Selatan: 1 kasus DKI Jakarta: 33 kasus Jawa Tengah: 1 kasus

Kalimantan Selatan: 1 kasus Jawa Barat: 9 kasus Jawa Timur: 2 kasus Bali: 1 kasus

Varian B1351 Beta 57 kasus Sumatera Utara: 1 kasus Riau: 1 kasus Kepulauan Riau: 1 kasus
DKI Jakarta: 38 kasus Jawa Tengah: 1 kasus Jawa Barat: 9 kasus Jawa Timur: 3 kasus Bali: 2
kasus Kalimantan Selatan: 1 kasus

Varian B1617.2 Delta 436 kasus Sumatera Selatan: 3 kasus DKI Jakarta: 195 kasus Jawa
Tengah: 80 kasus Banten: 4 kasus Jawa Barat: 134 kasus Jawa Timur: 13 kasus Kalimantan
Tengah: 3 kasus Kalimantan Timur: 3 kasus Gorontalo: 1 kasus

Varian B1617.1 Kappa 2 kasus Sumatera Selatan: 1 kasus DKI Jakarta: 1 kasus Varian
B1525 Eta 5 kasus Kepulauan Riau: 1 kasus DKI Jakarta: 4 kasus Varian B1526 Iota 2 kasus
Bali: 2 kasus
1. Varian Inggris B.1.1.7 Varian B.1.1.7 adalah salah satu mutasi virus corona yang kali
pertama muncul di Inggris. Lonjakan kasus Covid-19 di beberapa wilayah di Inggris,
membuat para ilmuwan mencoba mengidentifikasi penyebabnya. Para ilmuwan kemudian
menemukan mutasi virus corona membuat virus SARS-CoV-2 menjadi lebih menular.
Kendati telah melakukan lockdown ketat, namun akhirnya varian virus corona Inggris ini
menyebar ke sejumlah negara di dunia, termasuk di Indonesia. Seperti diberitakan
Kompas.com, Kamis (1/5/2021), varian virus corona B.1.1.7 dari Inggris ini teridentifikasi di
Indonesia untuk kali pertama pada awal Maret 2021

Ditemukan enam kasus yang tersebar di Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Mutasi virus SARS-CoV-2 yang pertama kali
terdeteksi di wilayah Kent, Inggris ini, adalah salah satu varian yang dikhawatirkan, terutama
di kalangan peneliti di Inggris. Sebab, seperti diberitakan Kompas.com, Kamis (4/3/2021),
mutasi virus pada varian ini membuatnya lebih mudah memasuki sel manusia. Artinya, jika
seseorang menghirup udara yang mengandung partikel virus corona di dalamnya, maka
partikel ini akan lebih mungkin masuk menginfeksi beberapa sel di sinus atau hidung, dan
akhirnya masuk ke paru-paru. Varian baru virus corona Inggris ini juga disebut yang paling
bertanggung jawab pada lonjakan kasus Covid-19 di Thailand beberapa waktu lalu.

Gejala Covid-19 Inggris ini, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan infeksi Covid-19 pada
umumnya, antara lain seperti. Batuk dan sakit tenggorokan Demam Kelelahan dan nyeri ototo
Hilang rasa dan indra penciuman Sesak napas Sulit berpikir jernih Pusing, malaise dan mual
2. Varian Afrika Selatan B.1.315 Varian baru virus corona B.1.315 adalah mutasi virus
corona yang muncul di tengah lonjakan kasus di Afrika Selatan. Untuk pertama kalinya,
varian corona Afrika Selatan ini terdeteksi di Teluk Nelson Mandela pada Oktober 2020.

Diberitakan Kompas.com, Kamis (6/5/2021), mutasi virus corona dari Afrika Selatan ini
disebut dapat memengaruhi netralisasi beberapa antibodi. Namun demikian, varian B.1.315
yang belum lama ini terdeteksi di Indonesia, belum diketahui apakah mampu meningkatkan
risiko keparahan Covid-19. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa varian B.1.351 dengan mutasi virus yang
disebut E484K ini diduga dapat memengaruhi penurunan efikasi vaksin Covid-19. Sama
seperti varian B.1.1.7, varian virus corona Afrika Selatan tersebut juga memiliki kemampuan
menular lebih cepat. Gejala Covid-19 dari infeksi varian virus corona Afrika Selatan ini tidak
jauh berbeda dengan infeksi Covid-19 pada umumnya, tetapi mutasi dari varian ini tergolong
cukup berbahaya.

3. Varian India B.1.617 Lonjakan kasus infeksi virus corona di India, membuat negara
mengalami tsunami Covid-19 yang mengerikan. Negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa tersebut
telah mencatatkan rekor kasus Covid-19 tertinggi berturut-turut. Sedikitnya, 3000-4000 kasus
perhari, dilaporkan India. Bahkan, angka kematian akibat Covid-19 di negara ini juga sangat
tinggi. Kasus baru Covid-19 tercatat mencapai lebih dari 400.000 kasus. Desember 2020 lalu,
varian ini pertama kali terdeteksi di India. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mendeskripsikannya sebagai 'variant of interest', seperti diberitakan Kompas.com, Minggu
(2/5/2021).

Mutasi virus corona ini membuatnya lebih menular dan menyebabkan penyakit yang lebih
parah, serta menghindari kekebalan yang dibuat oleh vaksin. Selain itu, varian B.1.617
disebut juga sebagai varian dengan 'mutasi ganda' dengan label L452R di California, dan
berlabel E484Q di Afrika Selatan dan Brasil. Dua mutasi virus India tersebut, pada L452R
dikhawatirkan dapat meningkatkan transmisi virus atau lebih menular, dan mengurangi
kemanjuran antibodi dalam melawan infeksi. Sedangkan mutasi virus berlabel E484Q,
dikhawatirkan dapat membuat virus memiliki pengikatan sel yang lebih baik dibandingkan
sebelumnya yang berpotensi dapat menghindari kekebalan.

Varian virus corona India ini dilaporkan telah masuk ke Indonesia. Seperti diberitakan
Kompas.com, Kamis (20/5/2021), Kepala Seksi Surveilan dan Imunisasi Dinas Kesehatan
Provinsi Jakarta Ngabila Salama mengatakan varian Covid-19 India, B.1.617 terkonfirmasi
ada di satu wilayah di DKI Jakarta. Satu kasus dengan varian mutasi dari India itu, diketahui
terjadi akibat transmisi lokal, bukan kasus impor dari luar negeri. Adapun gejala Covid-19
yang disebabkan infeksi dari varian virus corona India ini antara lain seperti batuk terus
menerus, suhu tubuh tinggi hingga kehilangan indra perasa dan penciuman.

[https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/21/100100323/3-varian-virus-corona-yang-
masuk-ke-indonesia-kenali-gejala-hingga?page=all]

Virus Corona penyebab COVID-19 masih terus bermutasi dan menghasilkan varian
atau virus baru. Salah satu varian yang kini mulai banyak ditemukan di Indonesia
adalah virus Corona varian Delta atau COVID-19 varian Delta. Jenis virus Corona
varian baru ini diketahui lebih cepat menular dibandingkan jenis sebelumnya.

COVID-19 varian Delta atau B.1.617.2 merupakan penyakit COVID-19 yang disebabkan
oleh virus Corona yang telah bermutasi. Munculnya varian virus Corona baru ini pertama kali
dilaporkan di India pada Desember 2020. Varian ini telah ditemukan di lebih dari 74 negara,
termasuk Indonesia.

Tersebarnya COVID-19 varian Delta merupakan masalah kesehatan serius dan turut berperan
dalam terjadinya lonjakan kasus positif COVID-19 di berbagai belahan dunia, termasuk
Indonesia.

Gejala COVID-19 Varian Delta

COVID-19 varian Delta bisa menimbulkan gejala yang berbeda-beda pada setiap orang.
Berbagai gejala COVID-19 akibat infeksi virus Corona varian Delta ini juga bisa bersifat
ringan hingga berat.

Beberapa orang yang positif COVID-19 varian Delta tercatat tidak memiliki gejala, tetapi
sebagian besar lainnya mengalami keluhan yang bertambah parah dalam waktu 3–4 hari.

Berikut adalah beberapa gejala yang dapat muncul bila terkena COVID-19 varian Delta:

 Demam
 Pilek
 Sakit kepala
 Sakit tenggorokan
Di samping gejala tersebut, COVID-19 varian Delta juga mungkin akan menimbulkan gejala
umum COVID-19 lainnya, seperti batuk, sesak napas, kelelahan, anosmia, nyeri otot, serta
gangguan pencernaan. Hingga saat ini, gejala-gejala COVID-19 varian Delta masih terus
dipantau dan diteliti. Selain itu, untuk mendiagnosis COVID-19, tetap diperlukan
pemeriksaan fisik dan penunjang dari dokter, termasuk tes PCR.

Risiko Penularan COVID-19 Varian Delta

Virus SARS-Cov-2 atau virus Corona penyebab COVID-19 varian Delta diketahui lebih
mudah dan cepat menular daripada varian virus Corona lainnya. Riset sejauh ini
menyebutkan bahwa COVID-19 varian Delta memiliki tingkat penularan lebih tinggi hingga
40% dibandingkan virus Corona varian Alpha.

Alasan mengapa varian virus Corona baru ini lebih cepat menular masih belum diketahui.
Oleh karena itu, para peneliti pun masih terus mengkajinya.

Salah satu teori menyebutkan bahwa protein pada permukaan virus Corona varian Delta lebih
mudah menyatu dan berbaur dengan sel manusia, sehingga membuat virus tersebut lebih
mudah mengalahkan sistem kekebalan tubuh dan menginfeksi manusia.

Selain itu, virus Corona varian Delta diketahui memiliki kemampuan untuk bereplikasi atau
berkembang biak lebih cepat dibandingkan virus Corona biasa.

Tingkat Keparahan COVID-19 Varian Delta

Dibandingkan dengan COVID-19 varian Alpha atau yang lainnya, COVID-19 varian Delta
memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi.

Beberapa laporan kasus sejauh ini menyebutkan bahwa ada lebih banyak pasien positif
COVID-19 varian Delta yang membutuhkan perawatan di rumah sakit daripada pasien
COVID-19 varian lain.

Selain itu, virus Corona varian Delta diketahui dapat menimbulkan komplikasi yang lebih
parah pada pasien lansia atau yang memiliki penyakit penyerta sebelumnya, seperti diabetes,
hipertensi, atau asma.

Varian virus Corona baru ini juga lebih mudah menginfeksi anak-anak, remaja, dan orang
dewasa di bawah usia 50 tahun. Orang dengan kelainan sistem imun dan orang-orang yang
belum mendapatkan vaksin COVID-19 juga berisiko tinggi terinfeksi COVID-19 varian
Delta.

Kemampuan Vaksin COVID-19 dalam Melawan COVID-19 Varian Delta

Vaksin COVID-19 yang tersedia saat ini dapat memberikan perlindungan terhadap beragam
varian virus COVID-19, termasuk varian Delta.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang telah mendapatkan 2 dosis vaksin
COVID, seperti vaksin Astrazeneca dan vaksin Pfizer, memiliki antibodi yang cukup untuk
melawan COVID-19 varian Delta.
Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang baru mendapatkan vaksinasi dosis pertama?

Vaksinasi dosis pertama hanya memberikan perlindungan terhadap varian Delta sebanyak
33%. Sementara perlindungan vaksin COVID-19 dosis lengkap terhadap varian Delta
diketahui bisa mencapai 60–80%, tidak berbeda dengan perlindungan vaksin COVID-19
terhadap varian virus Corona lainnya.

Patuhi Protokol Kesehatan untuk Mencegah COVID-19 Varian Delta

Mengingat COVID-19 varian Delta kian banyak terlaporkan di Indonesia, Anda perlu tetap
waspada. Untuk mencegah penyebaran COVID-19 varian Delta atau jenis lainnya,
terapkanlah protokol kesehatan yang berlaku dan menghindari kerumunan.

Selain itu, vaksinasi COVID-19 juga merupakan salah satu langkah penting untuk mencegah
penularan COVID-19 varian Delta. Jadi, jangan ragu untuk menjalani vaksinasi COVID-19
dan jangan menunda jadwal pemberian vaksin dosis kedua untuk meminimalkan risiko
terpapar virus ini.

[https://www.alodokter.com/mengenal-covid-19-varian-delta]

10 Ciri terinfeksi corona varian Delta  

Kepala petugas Kesehatan Queensland, dr Jeannete Young menyebut bahwa varian Delta ini
dapat menulai melalui kontak dengan durasi sekitar 5 hingga 10 detik saja. 

Sementara menurut Profesor Kedokteran Darurat dan Kesehatan Internasional di John


Hopkins University, Dr Bhakti Hansoti, mereka yang terpapar varian Delta ini memiliki
beberapa gejala umum, antara lain: 

1. Sakit perut 

2. Hilangnya selera makan 

3. Mual 

4. Nyeri sendi 

5. Gangguan pendengaran. 

Profesor Epidemologi Genetika di King's College London, Tim Spector, menyebutkan, gejala
yang timbul akibat virus varian Delta itu seperti flu yang parah. 

Ada beberapa gejala Varian Delta yang dilaporkan oleh penderitanya, yakni: 

1. Sakit kepala 

2. Sakit tenggorokan 
3. pilek 

4. Demam 

[https://kesehatan.kontan.co.id/news/10-tanda-tertular-corona-varian-delta-dan-6-tempat-
yang-harus-dihindari?page=all]

Gejala umum Covid-19 Mengutip Kompas.com, (17/4/2020), gejala infeksi virus corona
umumnya muncul pada periode masa inkubasi atau sekitar 2-14 hari setelah terpapar.
1. Batuk kering Batuk merupakan gejala umum dari infeksi virus corona. Namun, batuk yang
muncul bukan batuk biasa. Seseorang yang terinfeksi Covid-19 akan merasakan batuk yang
sangat mengganggu, yang terasa seolah berasal dari sesuatu yang jauh di dalam dada.
2. Napas Pendek Sesak napas umumnya muncul sebagai tanda penyakit mencapai tahap
serius. Bahkan, gejala ini bisa muncul tanpa diiringi dengan batuk. Para ahli mengatakan, jika
seseorang merasakan kondisi dadanya seperti diikat atau mulai merasa kesulitan untuk
bernapas, maka segera hubungi penyedia layanan kesehatan. Baca juga: Yang Diketahui
Sejauh Ini soal Virus Corona Varian Delta
3. Demam Selain itu, demam juga merupakan salah satu gejala umum seseorang terinfeksi
Covid-19. Biasanya seseroang yang terinfeksi Covid-19 dan disertai demam menunjukkan
suhu di atas 37,7 derajat celsius. Salah satu gejala demam yang paling umum adalah suhu
tubuh Anda naik di sore hari dan menjelang petang. Hal itu adalah cara umu virus
menghasilkan demam.
4. Menggigil Orang dengan Covid-19 merasakan tubuhnya menggigil, terasa sakit, dan
demam tinggi saat malam hari. Namun, tidak semua orang dengan Covid-19 mengalami
reaksi parah. Biasanya orang dengan Covid-19 mengalami kedinginan seperti kondisi flu
ringan, serta sendi dan otot pegal-pegal yang terkadang sulit membedakan apakah itu flu atau
Covid-19.
5. Kelelahan Tanda awal seseorang terinfeksi virus corona yakni mengalami kelelahan hingga
tahap yang ekstrem. Rasa lelah ini bahkan dapat berlanjut lama setelah virus hilang. Dalam
laporan sejumlah penelitian menyebutkan, orang-orang yang telah pulih dari Covid-19
mengaku masih merasa kelelahan dan kekurangan energi setelah masa pemulihan beberapa
minggu.
6. Kehilangan bau dan rasa Kemudian, gejala khas seseorang yang terkena Covid-19 yakni
hilangnya kemampuan membau dan mengecap rasa. Sejumlah ahli menyebutkan, anosmia,
artinya kehilangan kemampuan membau. Kondisi ini biasanya muncul dan mengakibatkan
pasien berkurang nafsu makannya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dibuat pusing bukan kepalang. Bagaimana tidak,
perkembangan kasus Covid-19 yang mulai melandai, kembali bergerak secara sporadis dalam
beberapa minggu terakhir.

Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito beberapa waktu lalu bahkan menyebut
Indonesia sedang menjalani gelombang kedua Covid-19, sesuatu yang tidak pernah
terpikirkan sebelumnya.
Skenario optimistis pemerintah adalah masalah Covid-19 bisa diselesaikan pada tahun ini.
Apalagi, pemerintah begitu begitu menggebu-gebu mendatangkan vaksin dalam upaya
menciptakan kekebalan komunal untuk menghentikan laju penularan virus.

Di tengah upaya keras pemerintah, petaka justru datang. Persoalan bermula saat muncul
kabar ratusan orang India kabur ke luar negeri dan mendatangi sejumlah negara, tak
terkecuali Indonesia untuk menghindari tsunami corona di negaranya.

Berdasarkan catatan CNBC Indonesia pada akhir April lalu, tercatat ada 132 warga negara
India yang masuk ke Indonesia dengan pesawat carter melalui Bandara Soekarno Hatta.

Beberapa di antaranya bahkan terkonfirmasi positif Covid-19, menurut Kementerian


Kesehatan. Pada saat itu, India memang dihebohkan dengan munculnya varian baru bernama
Delta.

Klaim yang menyebut varian ini bisa menyebar lebih tinggi benar adanya. Kasus pertama
varian ini ditemukan di Jakarta, dan dalam waktu singkat menyebar ke berbagai wilayah
hingga saat ini.

Berdasarkan catatan otoritas kesehatan, hingga saat ini sudah ada sekitar 436 kasus varian
Delta di Indonesia. Sementara itu, kasus Covid-19 di Indonesia pun semakin merajalela
kendati PPKM Darurat telah diberlakukan.

Masuknya varian Delta mungkin saja tak sepenuhnya berasal dari banyaknya warga india
yang masuk ke wilayah NKRI. Apalagi, sebagian kasus varian Delta tercatat disebabkan
karena transmisi lokal.

Namun, perlu diingat bahwa penularan varian Delta juga berasal dari orang-orang yang
memiliki riwayat perjalanan dari luar negeri. Kedatangan ratusan warga negara India menjadi
alarm keras bagi pemerintah.

Bukan hanya bagaimana pemerintah memperhatikan pintu masuk, namun juga bagaimana
pemerintah mencermati warga negara asing seperti india yang tengah menjadi pusat perhatian
dunia lantaran kasus di negaranya.

Jika saja pemerintah memberlakukan pengetatan pintu keluar masuk Indonesia, kemunculan
varian delta maupun varian lainnya bisa dicegah. Namun, nasi sudah menjadi bubur.

"Kalau melihat saat ini, rasanya sulit varian B1617 dibilang belum ada di indonesia. Karena
pertimbangannya kita bukan negara yang melakukan penutupan pintu masuk dari awal," kata
Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman, seperti dikutip CNN Indonesia,
April lalu.

"Indonesia rawan kebobolan kasus impor, apapun itu. Tidak hanya varian India itu," jelasnya.

Dicky menilai Indonesia masih belum cukup tanggap. Terutama, dalam upaya pencarian
strain virus menggunakan Whole Genome Sequencing (WGS) yang relatif dilakukan secara
acak di indonesia, sehingga belum menyeluruh dan berkelanjutan.
Dicky meminta pemerintah agar fokus menjaga pintu masuk Indonesia. Ia juga mengimbau
pemerintah untuk melakukan surveilans retrospektif dengan cara aktif mencari kontak WNI
yang selama tiga bulan terakhir memiliki riwayat perjalanan luar negeri.

Juga khususnya WGS lebih masih dilakukan saat ini. Pada WNI yang datang dari mana saja,
khususnya India," tegasnya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun mengatakan bahwa varian Delta kini
mendominasi di sejumlah wilayah yang mengalami lonjakan kasus Covid-19. Tiga wilayah
yang jadi perhatian itu adalah DKI Jakarta, Kabupaten Kudus, dan Kabupaten Bangkalan. 

Kasus tersebut sudah dilaporkan Menkes kepada Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas
pada Senin (14/6/2021). Budi mengatakan, kasus penularan dari mutasi-mutasi tersebut
masuk sebagai kategori variant of concern atau mutasi yang memang sangat diperhatikan
oleh WHO. 

Baca Juga: Mengenal Perbedaan Varian Baru Covid-19

Adapun varian Delta dinlai lebih berbahaya daripada varian virus corona lainnya, berikut
bahaya varian Delta yang perlu diwasapdai. 

Lebih mudah menyebar dan bikin lebih sakit 

Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban
mengatakan, varian virus corona B.1.617.2 atau Delta asal India lebih cepat menular daripada
varian virus corona B.1.1.7 atau Alpha. 

Ia mengatakan, hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan kasus Covid-19 di Inggris yang
pada Desember lalu didominasi oleh varian virus corona Alpha. Namun, hingga saat ini,
sekitar 90 persen kasus Covid-19 di Inggris disebabkan oleh varian virus corona B.1.617 atau
Delta. 

Baca Juga: UPDATE corona di Jawa Tengah Minggu 20 Juni positif 2195, sembuh 154
meninggal 86

"Jadi memang benar bahwa varian Delta (B.1.617) memang lebih cepat menyebar, lebih bikin
sakit dibandingkan dengan varian Inggris," kata Zubairi saat dihubungi Kompas.com, Selasa
(15/6/2021).  

Zubairi mengatakan, kasus positif Covid-19 di Inggris terus meningkat dengan adanya varian
baru virus Corona tersebut, meskipun sebagian masyarakat sudah mengikuti vaksinasi. 

Sebab, apapun jenis vaksin Covid-19 tidak dapat memproteksi individu sepenuhnya dari
penularan virus Corona.  

Bahaya bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak 


Ketua Umum PB IDI Daeng Muhammad Faqih pun mengingatkan potensi bahaya varian
delta virus corona terhadap anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui. Pasalnya, saat ini varian
mutasi ganda dari India itu sudah banyak menular kepada warga berusia muda. 

Gejala yang dialami pun lebih cepat mengalami perburukan. "Betul lebih berbahaya. Untuk
ibu hamil akan berpengaruh terhadap janin. Atau kalau ibu menyusui berpengaruh kepada
anaknya. Sebab hubungan yang dekat itu bisa ikut tertular juga," ujar Daeng dalam diskusi
virtual bertajuk "Covid-19 Meradang Pasca Libur Panjang" yang digelar Sabtu (19/6/2021). 

"Varian delta ini selain lebih cepat menular, juga lebih berbahaya. Mulanya gejala-gejala
ringan tapi perburukannya lebih cepat. Jadi misalnya mengalami sesak nafas, lalu lebih cepat
memburuk kondisinya," lanjutnya. 

Baca Juga: 10 Juta bulk vaksin Sinovac tiba hari ini

Banyak serang orang berusia muda 

Daeng pun mengatakan varian mutasi ganda asal India ini justru banyak menular kepada
individu berusia muda. "Varian delta ini justru sekarang banyak menularkan ke yang masih
muda-muda. Lalu langsung datang (ke fasilitas kesehatan) dalam kondisi yang berat,"
lanjutnya. 

Menurut Daeng, kondisi ini bisa jadi disebabkan individu yang berusia muda sering
mengesampingkan gejala-gejala penyakit yang bersifat ringan. Padahal, dengan adanya
mutasi, varian delta memiliki kecenderungan perburukan lebih cepat. 

"Sehingga masyarakat usia muda yang datang banyak yang langsung dengan gejala berat. Ini
yang kita khawatirkan. Jika demikian kondisinya, potensi kesembuhan makin kecil," tegas
Daeng.

[https://newssetup.kontan.co.id/news/ini-peringatan-idi-tentang-bahaya-covid-19-varian-
delta?page=all]

KOMPAS.com – Varian Delta merupakan salah satu varian baru virus corona yang tengah
mewabah di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Memiliki kemampuan transmisi atau
penularan yang sangat tinggi, varian ini lebih mudah menular dibandingkan varian lainnya.
Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc SpP(K), dokter spesialis paru dari Divisi Infeksi Departemen
Pulmonologi dari Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
mengatakan bahwa Delta juga bisa mengelabui sistem imun tubuh. “Jadi, kalau ada virus
masuk, biasanya otomatis sistem imun kita akan bereaksi melakukan perlawanan. Nah, virus
(varian Delta) ini mengelabui sistem imun kita dan seseorang itu akan menjadi sakit,” jelas
Erlina dalam webinar bertajuk “Isolasi Mandiri Pasien Covid”, Jumat, (2/7/2021). Baca juga:
Varian Kappa Ditemukan di Jakarta, Ini Bedanya dengan Varian Delta Delta telah dikaitkan
dengan penularan di rumah tangga yang diperkirakan 60 persen lebih tinggi dibandingkan
penularan varian lain. “Karena saking banyaknya yang terjangkit, akhirnya banyak juga yang
memerlukan perawatan di rumah sakit,” katanya. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di
email kamu. Daftarkan email Erlina menjelaskan, infeksi varian Delta menimbulkan gejala
yang sedikit berbeda dari varian yang lama. Adapun gejala yang muncul cenderung flu yang
berat, seperti sakit kepala, demam, batuk, pilek, dan bersin-bersin. Menurut Erlina, orang
yang memakai masker akan mudah jatuh sakit jika menghirup udara yang mengandung virus.
Baca juga: Kabar Baik, Vaksin Johnson & Johnson Beri Perlindungan dari Varian Delta
“Kalau bersin-bersin ini kan sebagian dari droplet itu yang keluar ukurannya sangat kecil
(aerosol) seperti uap. Dia (droplet) melayang-layang di udara. Kalau ada yang lewat di lokasi
tersebut tanpa pakai masker, maka akan menghirup udara tersebut. Akhirnya, dengan
mudahnya menjadi sakit, apalagi virus itu sangat pintar mengelabui sistem imun,” paparnya.
Lebih lanjut, Erlina mengatakan bahwa varian Delta dapat berpengaruh terhadap efektivitas
vaksin sehingga harus diwaspadai. Mengenai varian baru virus corona, Erlina memaparkan
tiga kriteria yang harus diwaspadai, yakni: 1. Bersifat lebih mudah menular atau
transimisinya sangat tinggi. 2. Lebih berbahaya. 3. Memiliki sifat yang dapat menurunkan
efektivitas vaksin. Jika varian baru virus corona memiliki salah satu kriteria tersebut, ia akan
dimasukkan dalam kelompok variant of concern atau varian yang perlu perhatian khusus.
Baca juga: Siapa yang Paling Berisiko Terinfeksi Virus Corona Varian Delta? Penting
diketahui bahwa kemungkinan terjadinya mutasi virus akan semakin tinggi jika penularannya
semakin banyak. “Jadi, kalau enggak mau ada mutasi, cegahlah penularan. Kalau enggak mau
ada penularan, jalankan prokes (protokol kesehatan), lakukan vaksinasi, dan tingkatkan
sistem imun,” ujar Erlina.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ahli Ungkap Cara Varian Delta
Menular dengan Cepat", Klik untuk baca:
https://www.kompas.com/sains/read/2021/07/03/130200123/ahli-ungkap-cara-varian-delta-
menular-dengan-cepat?page=all.
Penulis : Lulu Lukyani
Editor : Lulu Lukyani

What's this?

 Genetic variants of SARS-CoV-2 have been emerging and circulating around the world
throughout the COVID-19 pandemic.
 Viral mutations and variants in the United States are routinely monitored through sequence-
based surveillance, laboratory studies, and epidemiological investigations.
 A US government SARS-CoV-2 Interagency Group (SIG) interagency group developed a
Variant Classification scheme that defines three classes of SARS-CoV-2 variants:
o Variant of Interest
o Variant of Concern
o Variant of High Consequence
 The B.1.1.7 (Alpha), B.1.351 (Beta), B.1.617.2 (Delta), and P.1 (Gamma), variants circulating
in the United States are classified as variants of concern.
 To date, no variants of high consequence have been identified in the United States.
 Laboratory studies suggest specific monoclonal antibody treatments may be less effective
for treating cases of COVID-19 caused by variants with certain substitutions or combinations
of substitutions in the spike protein.
o L452R is present in B.1.526 (Iota), B.1.427 (Epsilon), and B.1.429 (Epsilon) lineages,
as well as the B.1.617 (Kappa, Delta) lineages and sub-lineages.
o E484K is present in B.1.525 (Eta), P.2 (Zeta), P.1 (Gamma), and B.1.351 (Beta), but
only some strains of B.1.526 (Iota) and B.1.1.7 (Alpha).
o The combination of K417N, E484K, and N501Y substitutions is present in B.1.351
(Beta).
o The combination of K417T, E484K, and N501Y substitutions is present in P.1
(Gamma).
Viruses constantly change through mutation. A variant has one or more mutations that
differentiate it from other variants in circulation. As expected, multiple variants of SARS-
CoV-2 have been documented in the United States and globally throughout this pandemic. To
inform local outbreak investigations and understand national trends, scientists compare
genetic differences between viruses to identify variants and how they are related to each
other.

Variant classifications

The US Department of Health and Human Services (HHS) established a SARS-CoV-2


Interagency Group (SIG) to improve coordination among the Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), National Institutes of Health (NIH), Food and Drug Administration
(FDA), Biomedical Advanced Research and Development Authority (BARDA), and
Department of Defense (DoD). This interagency group is focused on the rapid
characterization of emerging variants and actively monitors their potential impact on critical
SARS-CoV-2 countermeasures, including vaccines, therapeutics, and diagnostics.

 Variant of Interest (VOI)–  View current VOI in the United States that are being monitored
and characterized

 Variant of Concern (VOC)– View current VOC in the United States that are being closely
monitored and characterized by federal agencies

 Variant of High Consequence (VOHC) – Currently there are no SARS-CoV-2 variants that rise
to the level of high consequence

Notes: Each classification of variant includes the possible attributes of lower classes (i.e.,
VOC includes the possible attributes of VOI); variant status might escalate or deescalate
based on emerging scientific evidence. This page will be updated as needed to show the
variants that belong to each class. The World Health Organizationexternal icon (WHO) also
classifies variant viruses as Variants of Concern and Variants of Interest; US classifications
may differ from those of WHO because the importance of variants may differ by location. To
assist with public discussions of variants, WHO proposed using labels consisting of the Greek
Alphabet, i.e., Alpha, Beta, Gamma, as a practical way to discuss variants by non-scientific
audiences. The labels assigned to each variant are provided in the tables below.

See Variant Proportions in the U.S.

Variant of Interest

A variant with specific genetic markers that have been associated with changes to
receptor binding, reduced neutralization by antibodies generated against previous
infection or vaccination, reduced efficacy of treatments, potential diagnostic impact, or
predicted increase in transmissibility or disease severity.

Possible attributes of a variant of interest:

 Specific genetic markers that are predicted to affect transmission, diagnostics, therapeutics,
or immune escape.
 Evidence that it is the cause of an increased proportion of cases or unique outbreak clusters.
 Limited prevalence or expansion in the US or in other countries.

A variant of interest might require one or more appropriate public health actions, including
enhanced sequence surveillance, enhanced laboratory characterization, or epidemiological
investigations to assess how easily the virus spreads to others, the severity of disease, the
efficacy of therapeutics and whether currently authorized vaccines offer protection.

Current variants of interest in the United States that are being monitored and characterized
are listed below. This will be updated when a new variant of interest is identified.

Selected Characteristics of SARS-CoV-2 Variants of Interest

B.1.427 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: L452R, D614G

Name (Nextstrainexternal icon)b: 20C/S:452R

WHO Label: Epsilon

First Identified: United States-(California)

Attributes:

 ~20% increased transmission21


 Modest decrease in susceptibility to the combination of bamlanivimab and etesevimab;
however, the clinical implications of this decrease are not known. 7 Alternative monoclonal
antibody treatments are available.14
 Reduced neutralization by convalescent and post-vaccination sera 21
 Deescalated from a VOC on June 29, 2021, due to the significant decrease in the proportion
of B.1.427 lineage viruses circulating nationally and available data indicating that vaccines
and treatments are effective against this variant.

B.1.429 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: S13I, W152C, L452R, D614G

Name (Nextstrainexternal icon)b: 20C/S:452R

WHO Label: Epsilon

First Identified: United States-(California)

Attributes:

 ~20% increased transmission21


 Reduced susceptibility to the combination of bamlanivimab and etesevimab; however, the
clinical implications of this decrease are not known. 7 Alternative monoclonal antibody
treatments are available.14
 Reduced neutralization by convalescent and post-vaccination sera 21.
 Deescalated from a VOC on June 29, 2021, due to the significant decrease in the proportion
of B.1.429 lineage viruses circulating nationally and available data indicating that vaccines
and treatments are effective against this variant.

B.1.525 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: A67V, 69del, 70del, 144del, E484K, D614G, Q677H, F888L

Name (Nextstrainexternal icon)b: 20A/S:484K

WHO Label: Eta

First Identified: United Kingdom/Nigeria – December 2020

Attributes:

 Potential reduction in neutralization by some Emergency Use Authorization (EUA)


monoclonal antibody treatments 7, 14
 Potential reduction in neutralization by convalescent and post-vaccination sera 22

B.1.526 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: L5F, (D80G*), T95I, (Y144-*), (F157S*), D253G, (L452R*),
(S477N*), E484K, D614G, A701V, (T859N*), (D950H*), (Q957R*)

Name (Nextstrainexternal icon)b: 20C/S:484K

WHO Label: Iota

First Identified: United States (New York) – November 2020

BEI Reference Isolatec: NR-55359external icon

Attributes:

 Reduced susceptibility to the combination of bamlanivimab and etesevimab monoclonal


antibody treatment; however, the clinical implications of this are not known. 7 Alternative
monoclonal antibody treatments are available. 14
 Reduced neutralization by convalescent and post-vaccination sera 22, 24
 B.1.526.1 sublineage has been consolidated with this parent lineage

B.1.617.1 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: (T95I), G142D, E154K, L452R, E484Q, D614G, P681R,
Q1071H

Name (Nextstrainexternal icon)b: 20A/S:154K

WHO Label: Kappa


First Identified: India – December 2020

Attributes:

 Potential reduction in neutralization by some EUA monoclonal antibody treatments 7, 14


 Potential reduction in neutralization by post-vaccination sera 26

B.1.617.3 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: T19R, G142D, L452R, E484Q, D614G, P681R, D950N

Name (Nextstrainexternal icon)b: 20A

First Identified: India – October 2020

Attributes:

 Potential reduction in neutralization by some EUA monoclonal antibody treatments 7, 14


 Potential reduction in neutralization by post-vaccination sera 26

P.2 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: E484K, (F565L*), D614G, V1176F

Name (Nextstrainexternal icon)b: 20J

WHO Label: Zeta

First Identified: Brazil – April 2020

Attributes:

 Potential reduction in neutralization by some EUA monoclonal antibody treatments 7, 14


 Reduced neutralization by post-vaccination sera 22, 23

Variant of Concern

A variant for which there is evidence of an increase in transmissibility, more severe


disease (e.g., increased hospitalizations or deaths), significant reduction in
neutralization by antibodies generated during previous infection or vaccination,
reduced effectiveness of treatments or vaccines, or diagnostic detection failures.

Possible attributes of a variant of concern:

In addition to the possible attributes of a variant of interest

 Evidence of impact on diagnostics, treatments, or vaccines


o Widespread interference with diagnostic test targets
o Evidence of substantially decreased susceptibility to one or more class of therapies
o Evidence of significant decreased neutralization by antibodies generated during
previous infection or vaccination
o Evidence of reduced vaccine-induced protection from severe disease
 Evidence of increased transmissibility
 Evidence of increased disease severity

Variants of concern might require one or more appropriate public health actions, such as
notification to WHO under the International Health Regulations, reporting to CDC, local or
regional efforts to control spread, increased testing, or research to determine the effectiveness
of vaccines and treatments against the variant. Based on the characteristics of the variant,
additional considerations may include the development of new diagnostics or the
modification of vaccines or treatments.

Current variants of concern in the United States that are being closely monitored and
characterized by federal agencies are included in the below. This table will be updated when
a new variant of concern is identified.

Selected Characteristics of SARS-CoV-2 Variants of Concern

B.1.1.7 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: 69del, 70del, 144del, (E484K*), (S494P*), N501Y, A570D,
D614G, P681H, T716I, S982A, D1118H (K1191N*)

Name (Nextstrainexternal icon)b: 20I/501Y.V1

WHO Label: Alpha

First Identified: United Kingdom

BEI Reference Isolatec: NR-54000external icon

Attributes:

 ~50% increased transmission5


 Potential increased severity based on hospitalizations and case fatality rates 6
 No impact on susceptibility to EUA monoclonal antibody treatments 7,14
 Minimal impact on neutralization by convalescent and post-vaccination sera 8-13,19

B.1.351 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: D80A, D215G, 241del, 242del, 243del, K417N, E484K,
N501Y, D614G, A701V

Name (Nextstrainexternal icon)b: 20H/501.V2

WHO Label: Beta

First Identified: South Africa


BEI Reference Isolatec: NR-55282external icon

Attributes:

 ~50% increased transmission16


 Significantly reduced susceptibility to the combination of bamlanivimab and etesevimab
monoclonal antibody treatment,7 but other EUA monoclonal antibody treatments are
available 14
 Reduced neutralization by convalescent and post-vaccination sera 8,12,18,19,20

B.1.617.2 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: T19R, (V70F*), T95I, G142D, E156-, F157-, R158G,
(A222V*), (W258L*), (K417N*), L452R, T478K, D614G, P681R, D950N

Name (Nextstrainexternal icon)b: 21A/S:478K

WHO Label: Delta

First Identified: India

Attributes:

 Increased transmissibility 29
 Potential reduction in neutralization by some EUA monoclonal antibody treatments 7, 14
 Potential reduction in neutralization by post-vaccination sera 21
 AY.1 and AY.2 are currently aggregated with B.1.617.2. As data are available, CDC will
continue to evaluate the independent classification of AY.1 and AY.2.

P.1 (Pango lineageexternal icon)a

Spike Protein Substitutions: L18F, T20N, P26S, D138Y, R190S, K417T, E484K, N501Y,
D614G, H655Y, T1027I

Name (Nextstrainexternal icon)b: 20J/501Y.V3

WHO Label: Gamma

First Identified: Japan/Brazil

BEI Reference Isolatec: NR-54982external icon

Attributes:

 Significantly reduced susceptibility to the combination of bamlanivimab and etesevimab


monoclonal antibody treatment,7 but other EUA monoclonal antibody treatments are
available 14
 Reduced neutralization by convalescent and post-vaccination sera 15
Variant of High Consequence

A variant of high consequence has clear evidence that prevention measures or medical
countermeasures (MCMs) have significantly reduced effectiveness relative to previously
circulating variants.

Possible attributes of a variant of high consequence:

In addition to the possible attributes of a variant of concern

 Impact on Medical Countermeasures (MCM)


o Demonstrated failure of diagnostics
o Evidence to suggest a significantly reduction in vaccine effectiveness, a
disproportionately high number of vaccine breakthrough cases, or very low vaccine-
induced protection against severe disease
o Significantly reduced susceptibility to multiple Emergency Use Authorization (EUA)
or approved therapeutics
o More severe clinical disease and increased hospitalizations

A variant of high consequence would require notification to WHO under the International
Health Regulations, reporting to CDC, an announcement of strategies to prevent or contain
transmission, and recommendations to update treatments and vaccines.

Currently, there are no SARS-CoV-2 variants that rise to the level of high consequence.

[https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/variants/variant-info.html]

Jakarta, CNBC Indonesia - Virus Corona varian Delta diyakini lebih menular. Bahkan riset
menyebutkan hanya dengan berpapasan, virus bisa berpindah dan menjangkiti orang lain.

Penularan yang cepat covid-19 varian delta ini harus diantisipasi ganda. Jangan pernah lengah
sehingga masyarakat bisa lebih aware.Berikut titik lengah yang menyebabkan masyarakat tanpa
disadari terpapar covid-19.

Pertama, makan bersama. Di mana saat makan bersama masker harus dilepas dan terjadi
perbincangan. Hal ini berbahaya.

Kedua, pemakaman. Pemakaman yang dihadiri sanak keluarga yang larut dalam kesedihan bisa
berbahaya jika tidak jaga jarak dan tidak memakai masker atau melepas maskernya.

Ketiga, rapat di sebuah ruangan. Rapat yang dilakukan bersama-sama secara langsung
mengakibatkan virus bisa berpindah.

Keempat, olah raga bersama-sama. Olah raga terkadang abai jika dilakukan bersama. Hal ini bisa
memicu adanya penyebaran.

Kelima berfoto bersama. Berfoto bersama tanpa disadari bisa menyebabkan penularan jika
dilakukan tanpa memakai masker dan menjaga jarak.
Sebenarnya penularan virus corona bisa diantisipasi termasuk varian delta.

Dokter spesialis penyakit dalam asal Indonesia, dr Andi Khomeini Takdir, SpPD mengungkapkan
apapun varian yang dihadapi, cara paling efektif untuk melindungi diri adalah menggunakan masker.

"Varian apa pun yang kemudian nanti dirilis, kuncinya sebenarnya sederhana, masker. PR-nya kita
sudah tahu, itu masker 2 lapis punya proteksi 90 persen which is lebih bagus, lebih tinggi daripada
hanya 1," katanya.

[https://www.cnbcindonesia.com/news/20210705095703-4-258220/titik-lengah-ini-penyebab-bisa-
tertular-corona-varian-delta]

Cara mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta

Akademisi dan Praktisi Klinis Fakultas Kedokteran UI Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam
menjelaskan cara mencegah Covid-19 akibat virus corona varian Delta adalah dengan
melakukan vaksinasi dan melakukan 5 M. “Saat ini beberapa virus mutan yang
penyebarannya sangat cepat sudah di sekitar kita. Pencegahannya adalah dengan tetap
melakukan vaksinasi dan pelaksanaan 5M,” ujar Ari dalam pesan singkat saat dihubungi
Kompas.com, Senin (21/6/2021).

Adapun gerakan 5M untuk mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta yang
bisa dilakukan yakni meliputi:

 Memakai masker
 Mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir
 Menjaga jarak
 Menjauhi kerumunan
 Membatasi mobilitas dan interaksi

Baca juga: Cara lengkap meningkatkan imun tubuh saat kasus Covid-19 meledak

Sementara itu, mengutip dari laman Healthline, berikut ini sejumlah hal yang bisa dilakukan
untuk mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta:

1. Memakai masker

Cara pertama mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta adalah memakai
masker. Jason Tetro, seorang ahli mikrobiologi dan pembawa acara “Super Awesome
Science Show” mengatakan langkah terbaik guna mencegah varian baru adalah mengikuti
upaya ABC pencegahan. ABC yang ia maksud yakni:

 Airway: Lindungi diri dengan menggunakan pelindung seperti masker


 Buble (gelembung): memastikan berhubungan hanya dengan orang-orang yang
dikenal dan dipercaya. Berinteraksi dengan orang dalam gelembung jika ada yang
terinfeksi akan mudah melakukan pelacakan.
 Contact: Sebaiknya menggunakan aplikasi pelacakan kontak.
Simak cara mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta di halaman
selanjutnya

2. Membatasi interaksi

Cara kedua mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta adalah membatasi
interaksi. Mengurangi jumlah orang-orang dalam lingkaran sosial juga bisa dilakukan untuk
mencegah penularan.

Hal ini karena jika gelembung sosial semakin besar akan semakin menyulitkan pelacakan jika
terjadi kondisi salah satu positif. “Kita adalah makhluk sosial, jadi isolasi bukanlah hal yang
baik. Tetapi jika Anda dapat mengidentifikasi gelembung aman dari beberapa orang yang
sangat tepercaya, maka Anda harus dapat melewati pandemi ini, ”kata Tetro.

3. Batasi belanja secara langsung

Cara ketiga mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta adalah membatasi
belanja secara langsung. Di tengah situasi pandemi, sebaiknya seseorang mempersingkat
waktu yang ia habiskan untuk berbelanja. “Setiap menit yang dihabiskan untuk berbelanja di
dalam ruangan meningkatkan risiko Anda,” ujar Dr. Scott Braunstein, Direktur Medis dari
Sollis Health Los Angeles.

4. Lakukan pertemuan di luar ruangan

Cara keempat mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta adalah melakukan
pertemuan di luar ruangan. Ketika tak memungkinkan melakukan pertemuan online dan
memerlukan pertemuan offline, maka hal yang bisa dilakukan adalah memindahkan
pertemuan kerja di luar ruangan.

“Banyak infeksi didapat melalui kontak di tempat kerja, jadi pastikan untuk terus menjaga
jarak sosial di tempat kerja, memindahkan rapat atau pertemuan lain di luar, jika
memungkinkan, atau virtual,” kata Braunstein.

Cara kedua mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta

5. Perhatikan penggunaan masker yang benar

Cara kelima mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta adalah
menggunakan masker secara benar. Berdasarkan data yang dimiliki CDC masker kain
mungkin menawarkan perlindungan. Akan tetapi hal ini bergantung dari apa jenis kain,
jumlah lapisan kain dan seberapa cocok masker tersebut.

Sebisa mungkin gunakan masker yang pas. Dan lebih baik lagi jika memakai masker bedah
atau masker N95. Memakai masker kain bisa dilapis namun untuk masker medis tak perlu
menggunakan dua lapisan.

6. Cuci tangan dan hand sanitizer

Cara keenam mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta adalah mencuci
tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer. CDC memberikan rekomendasi agar
mempraktikan kebersihan yang baik dengan sering mencuci tangan dengan sabun setidaknya
20 detik.

Serta bisa pula gunakan handsanitizer dengan kandungan alkohol setidaknya 60 persen.
“Mengingat dosis infeksi yang lebih kecil yang diperlukan untuk menularkan strain baru,
aktivitas seperti menyentuh bantalan kartu kredit atau pegangan pompa bensin menjadi lebih
berisiko. Simpanlah sebotol kecil pembersih agar Anda dapat segera membersihkannya
setelah kegiatan ini,” ujar Braunstein.

7. Vaksinasi

Cara ketujuh mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta adalah mengikuti
suntik vaksin. Braunstein mengatakan vaksin Covid-19 mengkodekan sejumlah protein
lonjakan, sehingga adanya mutasi seharusnya tidak membatasi efektivitas vaksin. “Namun,
bisa dibayangkan bahwa salah satu varian lain, atau varian masa depan, mungkin
memerlukan vaksin baru atau yang diubah,” katanya.

Namun inilah salah satu alasan mengapa sangat penting untuk memperlambat penyebaran
dan memvaksinasi orang yang berisiko secepat mungkin agar hal itu tak terjadi.

itulah sejumlah cara mencegah Covid-19 akibat infeksi virus corona varian Delta. Jalankan
semua cara di atas dengan penuh kedisiplinan agar tidak tertular Covid-19.

[https://kesehatan.kontan.co.id/news/darurat-covid-19-ini-cara-lengkap-mencegah-infeksi-virus-
corona-varian-delta?page=all]

Varian baru virus corona mulai bermunculan. Varian baru tersebut antara lain, yakni: Varian
Alpha atau B.117 yang pertama kali ditemukan di London dan beberapa bagian Inggris
Varian Beta atau B.1.351 yang pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan pada awal Oktober
2020 Varian Delta atau B.1.617.2 yang pertama kali terdeteksi pada Oktober 2020 di India
Baca juga: Tips Terhindar dari Penularan Virus Corona Varian Baru Menurut data Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, ada bukti bahwa ketiga varian baru virus
corona ini lebih menular daripada virus asli. Temuan virus corona varian baru ini
diperkirakan akan menyebabkan lonjakan besar dalam kasus baru Covid-19 di berbagai
negara. Peningkatan kasus dikhawatirkan dapat membanjiri layanan kesehatan dan
menyebabkan kematian yang tak terhitung karena kurangnya sumber daya, seperti tempat
tidur ICU, ventilator, dan staf perawat. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email
kamu. Daftarkan email Untuk mencegah kondisi tersebut terjadi, siapa saja harus saling
bekerja sama mengupayakan langkah-langkah penularan virus. Cara mencegah penularan
virus corona varian baru Jason Tetro, ahli mikrobiologi dan pembawa acara "Super Awesome
Science Show," menyatakan bahwa peningkatan kemampuan menular virus corona varian
baru sebenarnya sudah diprediksi sebelumnya. “Ini seharusnya tidak mengejutkan karena
virus cenderung bermutasi secara teratur,” katanya dilansir dari Health Line. Baca juga:
Mutasi Virus Corona Lebih Mudah Menular, Ini yang Harus Dilakukan Menurut Scott
Braunstein, Direktur Medis dari Sollis Health di Los Angeles, AS, terus mengurangi peluang
terpapar adalah cara pertahanan terbaik untuk melawan virus corona apa pun variannya.
“Strain baru diperkirakan memiliki protein lonjakan (spike protein) yang ‘terbuka’ lebih lama
dari aslinya, memungkinkannya dapat memasuki sel manusia lebih efisien, sehingga lebih
mudah menular,” jelas dia. Braunstein mengatakan, munculnya virus corona varian baru ini
bisa menjadi alasan orang-orang untuk lebih waspada terhadap infeksi Covid-19. Berikut ini
adalah beberapa cara mencegah penularan virus corona varian baru yang baik diperhatikan: 1.
Ikuti langkah pencegahan Di masa pandemi Covid-19 sekarang ini, siapa saja, termasuk
orang yang sudah mendapatkan dua suntikkan vaksin sebaiknya terus mengikuti langkah-
langkah pencegahan penularan virus corona dengan baik. Baca juga: Alasan Orang yang
Sudah Divaksinasi Covid-19 Masih Bisa Terinfeksi dan Menularkan Virus Corona Jason
Tetro mengatakan langkah terbaik guna mencegah varian baru adalah mengikuti upaya ABC
pencegahan. ABC adalah singkatan dari: Airway: Lindungi diri dengan menggunakan
pelindung seperti masker, face shiled, disenfektan, dan lain sebagainya Buble (gelembung):
memastikan berhubungan hanya dengan orang-orang yang dikenal dan dipercaya Contact:
Sebaiknya menggunakan aplikasi pelacakan kontak. Berinteraksi dengan orang dalam
gelembung jika ada yang terinfeksi akan mudah melakukan pelacakan 2. Membatasi
lingkaran sosial Mengurangi jumlah orang-orang dalam lingkaran sosial juga baik dilakukan
untuk mencegah risiko penularan virus corona apa pun variannya. Hal ini karena jika
gelembung sosial semakin besar, akan semakin menyulitkan pelacakan jika terjadi kondisi
salah satu positif. “Kita adalah makhluk sosial, jadi melakukan isolasi mungkin bukanlah hal
yang menyenangkan. Jika Anda memutuskan untuk keluar, Anda harus bersama beberapa
orang yang sangat tepercaya,” kata Tetro. Baca juga: Jangan Keliru, Hasil Rapid Test Non-
Reaktif Belum Tentu Negatif Covid-19 3. Batasi belanja secara langsung Di tengah situasi
pandemi ini, sebaiknya seseorang mempersingkat waktu yang dia habiskan untuk berbelanja.
“Setiap menit yang dihabiskan untuk berbelanja di dalam ruangan meningkatkan risiko
Anda,” ujar Dr. Scott Braunstein. 4. Pikirkan kembali pengaturan kerja dan sekolah Ketika
tak memungkinkan melakukan pertemuan secara online dan memerlukan pertemuan secara
offline, maka hal yang bisa dilakukan adalah memindahkan pertemuan kerja di luar ruangan.
“Banyak infeksi didapat melalui kontak di tempat kerja (di dalam ruangan), jadi pastikan
untuk terus menjaga jarak sosial di tempat kerja, memindahkan rapat atau pertemuan lain di
luar, jika memungkinkan, atau virtual,” kata Braunstein. Baca juga: 6 Jenis Tanaman Herbal
untuk Cegah Infeksi Virus Corona 5. Perhatikan penggunaan masker yang benar Berdasarkan
CDC, masker kain mungkin dapat menawarkan perlindungan terhadap virus corona. Tapi, hal
ini sangat bergantung dari jenis kain, jumlah lapisan kain, dan seberapa cocok masker
tersebut oleh masing-masing orang. Sebisa mungkin gunakan masker yang pas dan lebih baik
lagi jika Anda memakai masker bedah atau masker N95. 6. Sering-sering mencuci tangan
CDC terus merekomendasi agar mempraktikan kebersihan yang baik dengan sering mencuci
tangan dengan sabun setidaknya 20 detik. Jika tidak, Anda bisa pula memakai hand sanitizer
dengan kandungan alkohol setidaknya 60 persen. “Menginat virus corona varian baru
mungkin lebih menular, aktivitas seperti menyentuh kartu kredit atau pegangan pompa bensin
menjadi lebih berisiko. Simpanlah sebotol kecil pembersih agar Anda dapat segera
membersihkannya setelah kegiatan ini,” saran Braunstein. Baca juga: Cuci Tangan Pakai Air
Dingin atau Air Hangat, Mana yang Lebih Baik? 7. Vaksinasi Braunstein mengatakan vaksin
mengkodekan sejumlah protein lonjakan, sehingga adanya mutasi seharusnya tidak
membatasi efektivitas vaksin. “Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa salah satu varian
lain atau varian baru di masa depan, mungkin memerlukan vaksin baru atau yang diubah,”
ungkapnya. Vaksinasi yang pasti sangat penting untuk memperlambat penyebaran virus dan
mengurangi keparahan penyakit.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "7 Cara Mencegah Penularan Virus
Corona Varian Baru Menurut Ahli", Klik untuk baca:
https://health.kompas.com/read/2021/06/24/060500268/7-cara-mencegah-penularan-virus-
corona-varian-baru-menurut-ahli?page=all.
Penulis : Irawan Sapto Adhi
Editor : Irawan Sapto Adhi

Infectious diseases experts say a greater focus on airborne transmission is needed to manage
the spread of Covid but they have warned against the use of alarming language when
describing the Delta variant.

The New South Wales premier, Gladys Berijiklian, has described “scarily fleeting”
encounters resulting in Delta spread in Sydney after CCTV revealed two people walking past
each other at Bondi Junction Westfield transmitted the virus.

The state’s health minister, Brad Hazzard, described the variant as “a gold medallist when it
comes to jumping from one person to another”.

Queensland’s chief health officer, Dr Jeannette Young, echoed these statements on


Wednesday when she announced the state would shut its borders to people from Sydney
hotspots.

“With the Delta variant, we’re seeing very fleeting contact leading to transmission,” Young
said.

“At the start of this pandemic, I spoke about 15 minutes of close contact being a concern.
Now it looks like it’s five to 10 seconds that’s a concern. The risk is so much higher now than
it was only a year ago.”

Sars-CoV-2 virus particles which cause Covid-19 under a microscope. In April, the World Health
Organization formally acknowledged that Covid is predominantly spread via the air. Photograph: AP

Not enough emphasis on airborne transmission

“Fleeting contact” is an accurate descriptor that underlines the airborne nature of the virus,
says Prof Nancy Baxter, head of the University of Melbourne’s school of population and
global health.

“The spread is more likely if you’re close to the person [but] there’s still a potential for virus
particles to be in the air, and breathed in by someone passing by,” she said. This is true of
both the original Covid-19 virus and the Delta variant.

After months of growing scientific evidence, the World Health Organization formally
acknowledged the airborne spread of Covid in April. It can occur when viral particles remain
“suspended in the air or travel farther than one metre”.

Laboratory studies have found particles of the virus can linger in the air in aerosolised form
for up to 16 hours.

Respiratory aerosols accumulate in the same way that cigarette smoke accumulates

Prof Raina Macintyre


“Because there was this resistance to actually acknowledge it, we haven’t made the
recommendations that we should,” Baxter said.

Prof Raina Macintyre, head of the biosecurity research program at the University of New
South Wales’s Kirby Institute, said airborne transmission in indoor settings can occur even in
the absence of fleeting contact.

“Respiratory aerosols accumulate in the same way that cigarette smoke accumulates,” she
said.

“In an indoor space where the ventilation isn’t adequate, somebody with the infection could
have come and gone, but the virus is still lingering in the air. So if you walk through that area
and you breathe that air, you could get infected.”

Both Macintyre and Baxter point to the need for more focus on airborne transmission –
particularly in the winter months.

“People are still kind of stuck in that mindset of hand sanitiser and washing your hands, when
actually the message we need to be getting out there is it’s the air you breathe,” Macintyre
said.

“Ventilation makes a difference. If you’re having people over, open the window. If you’re
driving in a car with people, open the window, even a little bit. Wear masks. It’s the shared
air that matters the most.”

More transmissible Delta variant cause for concern, but not alarm

Hassan Vally, an associate professor at La Trobe University, said although the Delta variant
(formerly known as B1.617.2) was more infectious, transmission of Covid-19 from fleeting
contact was possible even with the original strain of the virus.

“Fifteen minutes [spent] within 1.5 metres is what we were worried about. That was just
because of probabilities – the longer time you spend in close contact, the more likely it is that
you transmit that virus,” he said.

“The general principle is: if a virus is more infectious, then those probabilities increase.”

According to UK data, the Delta variant is 60% more transmissible among household
contacts compared with the Alpha variant, which was previously the dominant strain in the
UK and at least 20 other countries. Estimates put the Alpha variant as being between 43%
and 90% more infectious than the original Covid-19 virus.

Delta is a bit more transmissible, but it behaves in the same way the original virus behaves

Delta is now outcompeting other variants of the virus. In the UK, it accounts for an estimated
99% of new infections. The WHO chief scientist, Soumya Swaminathan, said last week: “The
Delta variant is well on its way to becoming the dominant variant globally because of its
increased transmissibility.”

Vally said: “We do have to be careful with our language and keep reminding ourselves this is
essentially the same virus.”

Advertisement

“It’s a bit more transmissible, but it behaves in the same way the original virus behaves,” he
said. “All of the same behavioural interventions should work against this variant of the virus
if they’ve worked against the original ancestral strain.”

The Delta variant appears to have a similar incubation period to the Alpha variant – the
average time between an exposure and a household member becoming symptomatic is four
days.

However, it may be somewhat more resistant to vaccines than the Alpha strain and could be
linked to a higher risk of hospitalisation.

Dr Meru Sheel, a senior research fellow at the Australian National University, said public
health measures remain unchanged in response to new strains.

“There’s no need to make it a scary narrative,” she said.

“Of course new variants are going to emerge, and some are going to be more infectious and
some are going to be less. The public needs to play their part as the public health measures
scale up and down based on those variants. Wash your hands, stay at home if you’re unwell,
only go to get tested. Wear your mask, get your vaccine if you’re eligible.”

Baxter concluded: “Vaccination is a race. If there’s just less Covid circulating, there’s less
opportunity for these changes to happen that make it more efficient [at spreading].”

[https://www.theguardian.com/australia-news/2021/jun/24/its-in-the-air-you-breathe-what-you-
need-to-know-about-sydneys-delta-covid-variant]

Ahli patologi klinis UNS Tonang Dwi Ardyanto menegaskan bahwa test PCR maupun swab
test antigen masih relevan untuk digunakan termasuk untuk mendeteksi varian delta. “Saya
tegaskan, dengan adanya variaan ini sampai dengan hari ini, masih dapat dideteksi dengan
PCR,” ujar Tonang saat dihubungi Kompas.com, Kamis (24/6/2021). Pihaknya juga
menambahkan, saat ini Kementerian Kesehatan di India juga telah menyampaikan bahwa
varian delta masih bisa dideteksi dengan PCR. Baca juga: Benarkah Swab Test Bisa Merusak
Otak? Simak Penjelasan Dokter Mendeteksi virus Pihaknya menerangkan saat melakukan
PCR, maka yang dilakukan adalah mendeteksi berbagai target bagian virus. Ibaratnya seperti
memeriksa burung, maka yang diperiksa tidak hanya paruhnya, namun juga kepala, sayap
ekor, dan sebagainya. Adapun dalam pendeteksian virus SAR-CoV-2, maka yang digunakan
adalah memeriksa dua bagian target. Baca juga: Pemerintah Gratiskan Vaksin Covid-19,
Mengapa Diberikan Lewat Suntikan? Saat terjadi mutasi, maka umumnya bagian yang
bermutasi adalah target S. Namun meski demikian, alat masih tetap relevan karena masih ada
bagian lain seperti M, N, E, RDRT dan beberapa lainnya yang masih bisa diperiksa sehingga
virus yang bermutasi masih bisa terdeteksi. “Nah itulah kenapa kita memeriksa memilih
menghindari S dan memilih minimal 2 bagian. Dengan cara inilah kita tetap bisa
menggunakan PCR untuk mendeteksi adanya varian virus ini,” katanya lagi. Baca juga:
Terbaru, Daftar 29 Daerah Berstatus Zona Merah Covid-19 di Indonesia Bagaimana dengan
test antigen? Terkait hal itu Tonang juga menjelaskan Swab antigen juga tetap masih relevan.
“Pemeriksaan mengggunakan PCR atau antigen masih dapat mendeteksi virus yang
bermutasi sampai hari ini,” katanya lagi. Pasalnya pada test antigen biasanya yang paling
banyak bekerja untuk mendeteksi target M, sehingga masih bisa digunakan untuk mendeteksi
karena bagian yang paling banyak bermutasi adalah S. “Dengan pemeriksaan yang benar
menggunakan standar yang benar maka tes PCR dan antigen kita masih mampu mendeteksi
virus yang bermutasi,” ungkapnya. Baca juga: Gejala Virus Corona Varian Delta yang
Mendominasi Lonjakan Kasus Covid-19 di Indonesia... Senada dengan Tonang, epidemilog
dari Griffith University Australia Dicky Budiman juga menegaskan penggunaan Swab test
antigen maupun PCR test masih relevan. Pihaknya juga mengatakan, dua-duanya semakin
penting untuk kondisi saat ini. Terlebih, saat ini pemerintah telah menerapkan PPKM Mikro.
“Karena apa, karena kita jadi bisa lebih banyak menemukan kasus infeksi. Itu yang penting,”
katanya saat dihubungi terpisah. “Ini salah satu yang harus diperkuat (swab test antigen dan
PCR) agar menemukan kasus terinfeksi sebanyak mungkin, sehingga kita bisa menerapkan
mereka dalam karantina yang efektif,” imbuhnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Muncul Varian Baru, Masih
Relevankah Swab Test Antigen dan PCR Digunakan?", Klik untuk baca:
https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/25/130400465/muncul-varian-baru-masih-
relevankah-swab-test-antigen-dan-pcr-digunakan?page=all.
Penulis : Nur Rohmi Aida
Editor : Sari Hardiyanto

Virus corona varian Delta, atau dikenal juga sebagai varian B.1.617.2, baru-baru ini sudah
masuk ke Indonesia sehingga kita harus lebih berhati-hati, Kawan Puan.

Walau awalnya dikabarkan bahwa varian tersebut tidak bisa dideteksi oleh swab test antigen
maupun tes Polymerase Chain Reaction (PCR), namun pakar menampik kabar itu.

Kompas.com pada Jumat (25/6/2021) memberitakan bahwa ahli patologi klinis Universitas
Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, Tonang Dwi Ardyanto, menegaskan kedua tes
dapat mendeteksi varian Delta.

“Saya tegaskan, dengan adanya varian ini (Delta) sampai dengan hari ini, (varian tersebut)
masih dapat dideteksi dengan PCR,” ucap Tonang, seperti dikutip dari Kompas.com.

Ringkasnya, ini karena tes PCR dapat mendeteksi virus corona varian Delta maupun varian-
varian lainnya secara mendetail, meski virus tersebut telah bermutasi.

Itulah sebabnya tes PCR dinilai masih tetap ampuh dalam mendeteksi virus corona.
Tak hanya tes PCR, dia pun mengungkapkan bahwa swab test antigen masih dapat
mendeteksi berbagai macam varian virus corona lainnya.

“Pemeriksaan mengggunakan (tes) PCR atau (swab test) antigen masih dapat mendeteksi
virus (corona) yang bermutasi sampai hari ini,” tegas Tonang, seperti dikutip
dari Kompas.com.

Pendapat Tonang yang meyakini bahwa kedua tes masih tetap dapat digunakan untuk
mendeteksi berbagai varian virus corona termasuk varian Delta ini didukung pula oleh Dicky
Budiman.

Dicky merupakan seorang epidemiolog dari Griffith University, Australia.

Epidemiolog ini bahkan menilai bahwa swab test antigen dan tes PCR rasanya semakin


penting untuk dilakukan demi mendeteksi kasus-kasus baru.

"Karena kita jadi bisa lebih banyak menemukan kasus infeksi (dengan menggunakan kedua
tes). Itu yang penting," kata Dicky, seperti dikutip dari Kompas.com.

[https://www.parapuan.co/read/532761311/update-covid-19-indonesia-pakar-tegaskan-swab-test-
antigen-dan-tes-pcr-bisa-deteksi-varian-delta]

Jakarta -

Studi terbaru membuktikan seseorang yang telah menerima dua dosis vaksin COVID-19
dapat lebih terlindungi dari virus Corona varian Delta. Sementara bagi yang baru menerima
satu dosis, mereka akan lebih rentan terkena virus ini, karena kekebalan belum sepenuhnya
terbentuk.

"Pada individu yang sebelumnya belum pernah terpapar SARS-CoV-2, dan baru hanya
menerima satu dosis vaksin Pfizer atau AstraZeneca, mereka hampir tidak menginduksi
antibodi penetral terhadap varian Delta," tulis para peneliti Prancis dalam jurnal Nature,
dikutip dari Fox News.

"Namun, vaksinasi dosis kedua menghasilkan tingkat netralisasi yang tinggi terhadap varian
Alpha, Beta, dan Delta," lanjutnya.

Sampel darah dari 10 persen individu yang menggunakan satu dosis vaksin Pfizer-BioNTech
atau AstraZeneca disebut dapat menetralkan varian Delta, namun jumlah tersebut akan
meningkat menjadi 95 persen setelah dosis kedua.

Meski demikian, para peneliti mencatat bahwa studi mereka mungkin masih terbatas, karena
rendahnya jumlah penerima vaksin COVID-19 yang dianalisis, yakni hanya terdiri dari 59
orang.

Mereka juga mengamati 103 orang yang telah pulih dari virus Corona dan menemukan
bahwa kemampuan antibodi alami untuk menetralisir virus akan menurun secara signifikan
hingga 4-6 kali lipat untuk varian Delta, dibandingkan dengan strain lainnya. Namun,
sensitivitas ini akan meningkat setelah menerima satu dosis vaksin COVID-19.

Sementara studi lain yang dilakukan oleh para peneliti Inggris menemukan bahwa dua dosis
vaksin Pfizer dapat memberikan perlindungan hingga 88 persen terhadap varian Delta.
Penelitian di Israel juga menunjukkan vaksin Pfizer 64 persen efektif melawan infeksi varian
Delta.

[https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5637163/kabar-baik-vaksinasi-corona-dua-dosis-
efektif-lawan-varian-alpha-delta]

Anda mungkin juga menyukai