Anda di halaman 1dari 5

UTS LINTAS MINAT PD3I

NANDA LAULA LAILATUL FAUZIYAH / 101811133051

ESSAY

1. Hubungan imunisasi dalam peran menurunkan Angka Kematian Bayi terbukti dari berbagai
penelitian atau Survei yaitu adanya proporsi PD3I (Penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi) pada setiap survey kematian bayi mulai 20 tahun yang lalu hingga dalam
beberapa tahun terakhir. Apakah bukti bahwa peran PD3I tersebut dapat dijelaskan secara
logis dalam menurunkan angka kematian bayi. Silakan jelaskan
Jawab:
Penyakit menular pada bayi menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian bayi
antara lain hepatitis B, polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus, dan campak. Sejak tahun 1991,
kasus pertusis muncul sebagai kasus yang sering dilaporkan di Indonesia, sekitar 40% kasus
pertusis menyerang balita. Kemudian insiden tetanus di Indonesia untuk daerah perkotaan
sekitar 6-7 per-1000 kelahiran hidup, sedangkan di pedesaan angkanya lebih tinggi sekitar 2-
3 kalinya yaitu 11-23 per-1000 kelahiran hidup dengan jumlah kematian kira-kira 60.000
bayi setiap tahunnya. Kematian pada bayi dan balita sering kali disebabkan oleh penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti difteri, campak, dan polio. Penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) adalah penyakit yang diharapkan dapat
diberantas atau ditekan dengan imunisasi. Bentuk nyata imunisasi dapat mendorong
penurunan angka kematian bayi adalah eradikasi penyakit polio yakni bebasnya polio sejak
27 maret 2014 di Indonesia. Serta dari berbagai penelitian vaksinasi dapat menurunukan
angka kematian bayi karna pneumonia dan diare.
Tujuan imunisasi adalah untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian bayi dan anak
dari penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian vaksin untuk perlindungan tubuh
terhadap penyakit menular. Imunisasi merupakan salah satu cara dalam penurunan angka
kematian yang paling cost effective karena memiliki harga yang murah tetapi dapat
menyebabkan penyakit hilang. Kementrian Kesehatan menetapkan imunisasi sebagai upaya
nyata pemerintah dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit PD3I yang diukur
dengan Universal Child Immunization (UCI) desa/kelurahan yang menggambrkan ≥80%
dari jumlah bayi (0-11 bulan) yang ada di desa/keluarahan tersebut sudah mendapat
imunisasi dasar lengkap. Jika imunisasi dasar lengkap dapat mencapai target diharapkan
dapat akan menurunkan angka kematian dan kesakitan pada balita dan juga akan
mengurangi tingginya KLB pada penyakit campak, difteri, tetanus, polio, dan hepatitis.
2. Apa bedanya Data Quality Assessment (DQA) dengan Data Quality Self assessment (DQS)?
Jelaskan kegunaannya dan berikan contoh
Jawab:
Data Quality Assessment (DQA) merupakan sebuah proses untuk mengidentifikasi
masalah berdasarkan data yang memungkinkan organisasi untuk merencanakan cara
evaluasi data dengan tepat. DQA berfungsi untuk menjamin kualitas sistem, dan menjamin
standar sistem. Dilakukan 3-5 tahun sekali dalam bentuk program dan evaluasi cakupan
imunisasi di tingkat nasional, personal, dan eksternal. Contoh : DQA di NTD Uganda. 
Data Quality Self Assesment (DQS) merupakan suatu alat penilaian yang diperkenalkan
oleh WHO kepada Indonesia pada tahun 2004 dalam upaya menilai dan menjaga kualitas
pencatatan dan pelaporan data imunisasi. DQS dilakukan secara mandiri oleh instansi
terkait. DQS membandingkan laporan yang disusun dengan catatan sebelumnya (rekap
kohort). DQS berfungsi untuk melihat akurasi data dan sebagai sistem untuk monitoring
data. Tujuan spesifik dari DQS antara lain:
1. Mengidentifikasi alur pencatatan dan pelaporan di Puskesmas
2. Mengetahui tingkat akurasi laporan cakupan imunisasi dengan verifikasi atau
penghitungan ulang data imunisasi
3. Mengetahui persentase kelengkapan dan ketepatan waktu pelaporan dari Puskesmas ke
Kabupaten/kota
4. Mengetahui kualitas sistim pemantauan program imunisasi
5. Mengetahui kekuatan dan kelemahan sistem pencatatan dan pelaporan serta memberikan
rekomendasi berdasarkan hasil temuan penilaian
Contoh penggunaan DQS adalah pemantauan terhadap kualitas system monitoring data
dengan sasaran penilaian kualitatif untuk data yang menggambarkan kualitas komponen
sistem pemantauan Data demografi, Pencatatan, Pelaporan atau pengarsipan, Ketersediaan
data/formular, dan Penggunaan data.
3. Cara menghitung UCI mengapa harus kumulatif dari status imunisasi individu. Jelaskan
Jawab:
Universal Child Imunization (UCI) merupakan suatu indikator tercapainya imunisasi
dasar lengkap pada semua bayi (0-11 tahun) di suatu desa/kelurahan. Pada perhitungan UCI
diperlukan data kumulatif status imunisasi individu bayi agar dapat diketahui proporsi bayi
yang telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap pada desa/kelurahan dari total keseluruhan
bayi lahir hidup yang ada. Data kumuatif menggambarkan penambahan dari seluruh bayi
yang telah mendapat imunisasi dasar lengkap, sehingga data yang digunakan sesuai dengan
definisi UCI itu sendiri.
4. Setiap adanya PD3I berarti ada kemungkinan masalah dalam pencapaian imunisasi. Apakah
benar demikian. Dan mengapa bisa terjadi Vaccine Derived Polio Virus (VDPV)? Jelaskan
hubungannya VDPV dengan cakupan imunisasi Polio.
Jawab:
Iya. Berdasarkan data Riskesdas 2010 bahwa cakupan imunisasi dasar lengkap balita
hanya sebesar 53,8% padahal target yang telah ditetapkan adalah 80% dan cakupan
imunisasi campak sebesar 74,4% dari target yang sebesar 90% serta cakupan imunisasi DPT
hanya sebesar 61,9%. Oleh karena cakupan yang rendah tersebut, terjadilah KLB PD3I
(campak, difteri) dengan periode yang panjang karena sulit dikendalikan. Hasil Riskesdas
2010 menunjukkan penurunan baik cakupan imunisasi campak dan DPT, kondisi tersebut
diikuti peningkatan jumlah kasus campak pada tahun 2010 sampai tahun 2011 serta
peningkatan kasus difteri ada tahun 2010 sampai tahun 2012.
VDVP merupakan virus polio vaksin/sabin yang mengalami mutasi dan dapat
menyebabkan kelumpuhan. Merupakan vaksin polio tetes (vaksin hidup) akan mendekati
liar apabila dilaksanakan dengan cakupan imunisasi polio sangat rendah (kurang dari 0)
yang diberikan secara tetes. Saat dia diteteskan pada bayi lalu akan ditransfer ke anak lain
maka akan membentuk polio liar.
5. Kapankah Imunisasi Hepatitis B pertama kali diberikan pada bayi. Mengapa harus demikian.
Jawab:
Waktu paling baik untuk memberikan vaksin hepatitis B pertama adalah dalam 12 jam
setelah lahir, dengan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit
sebelumnya. Selanjutnya, jadwal pemberian vaksin hepatitis B (HB) monovalen adalah pada
usia 0, 1, dan 6 bulan. Imunisasi hepatitis B harus segera diberikan saat bayi baru lahir
karena mereka berisiko tinggi terkena penyakit ini dari ibu yang terinfeksi virus,
baik terlahir melalui persalinan normal maupun caesar. Vaksin hepatitis B diberikan pada
bayi karena sistem kekebalan tubuh bayi belum memiliki kemampuan sebaik orang dewasa
dalam melawan infeksi hepatitis B. Bahkan, sekitar 9 dari 10 bayi yang terinfeksi virus ini,
akan terinfeksi seumur hidup. Selain itu, anak yang terkena infeksi hepatitis B pada lima
tahun pertama kehidupannya, memiliki risiko 15-25% mengalami kematian di usia dini
akibat penyakit hati, termasuk gagal hati dan kanker hati.

6. Apa manfaat dilaksanakan RCA (RAPID CONVINIENCE ASSESSMENT). Bagaimana


hubungannya dengan DQS atau DQA?
Jawab:
RCA merupakan salah satu metode “penilaian cepat” untuk memantau tingkat keberhasilan
kampanye di suatu lokasi. Fungsi RCA saat kampanye adalah :
- untuk mengetahui apakah seluruh sasaran pada daerah tersebut sudah diimunisasi.
- untuk mengetahui alasan tidak terimunisasinya sasaran dan kisaran cakupan di daerah
tsb

Hubungan RCA dengan DQS atau DQA adalah pada modifikasi yang dapat:

- dipergunakan untuk mengevaluasi pendataan sasaran kampanye (persiapan)


- dipergunakan untuk mengevaluasi validitas imunisasi bayi baik kuantitas dan kualitas.
a. kohort bayi vs buku kia
b. yang dilihat :
1. tanggal lahir
2. kelengkapan imunisasi
3. tanggal imunisasi dan interval imunisasi terkait valid dose

7. Mengapa suatu introduksi vaksin MR ( Measles Rubella) harus didahului dengan kampanye
sasaran 9 bulan sd <15 tahun dengan cakupan minimal 95%. Apakah risiko jika kampanye
tersebut gagal atau tidak dilaksanakan sesuai standar cakupan minimal 95 %.
Jawab:
Pemberian imunisasi MR pada usia 9 bulan sampai dengan <15 tahun dengan cakupan
tinggi (minimal 95%) dan merata diharapkan akan membentuk imunitas kelompok (herd
immunity), sehingga dapat mengurangi transmisi virus ke usia yang lebih dewasa dan
melindungi kelompok tersebut ketika memasuki usia reproduksi. Jika cakupan imunisasi
rubella baik pada saat kampanye maupun rutin tidak mencapai target minimal 95% maka
dapat menyebabkan peningkatan kerentanan wanita usia subur, yang dapat meningkatkan
risiko CRS (efek paradoks). Dengan cakupan yang tinggi dan merata dapat menurunkan
atau memutuskan transmisi rubella sehingga menurunkan risiko paparan rubella pada
wanita hamil

Anda mungkin juga menyukai