Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

PEMBERIAN IMUNISASI DASAR

2.1 Konsep Dasar Imunisasi

a. pengertian imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti diberikan
kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit
tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain. Imunisasi adalah suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga
apabila suatu saat terpajang dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami
sakit ringan.
Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi
dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang
telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang apabila diberikan kepada seseorang akan
menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.
b. Tujuan Diberikan Imunisasi
1. Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I).
2. Tujuan Khusus
a. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi lengkap
minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh desa/
kelurahan pada tahun 2014.
b. Tervalidasinya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di bawah per 1.000
kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2013.
c. Eradikasi polio pada tahun 2015.
d. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015.
e. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan limbah medis (safety
injection practise and waste disposal management).
E. Sasaran Imunisasi
Sebagai seorang bidan, tahukah Anda siapa saja yang merupakan sasaran dalam imunisasi? Jadi,
yang menjadi sasaran dalam pelayanan imunisasi rutin adalah
sebagai berikut:
Pemberian imunisasi pada WUS disesuaikan dengan hasil skrining terhadap

status T

1.2 Program Imunisasi Dasar

Program imunisasi merupakan salah satu upaya untuk memberikan perlindungan kepada
penduduk terhadap penyakit tertentu, khususnya bayi, balita, anak-anak, wanita usia subur,dan
ibu hamil. Program imunisasi diberikan kepada populasi yang dianggap rentan terjangkit
penyakit menular yaitu balita. Imunisasi dasar pada balita melindungi balita tehadap beberapa
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Seseorang balita di imunisasi dengan
vaksin yang disuntikan pada lokasi tertentu atau di teteskan melalui mulut. Sebagai salah satu
kelompok yang menjadi sasaran program imunisasi, setiap balitawajib mendapatkan imunisasi
dasar lengkap yang terdiri dari; 1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB dan atau DPT-HB-Hb, 4 dosis
Polio, 1 dosis Campak (KemenKes RI, 2015 dalam Usman, 2021).
Menurut Rizema, P. (2012) ada 3 manfaat imunisasi bagi anak, keluarga dan negara
adalah sebagai berikut : 1) Manfaat untuk anak adalah untuk mencegah penderitaan yang di
sebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian.; 2) Manfaat untuk keluarga
adalah untuk menghilangkan kecemasan dan biaya pengobatan apabila anak sakit. Mendorong
keluarga kecil apabila orang tua yakin menyalani masa kanak kanak dengan aman.; 3) Manfaat
untuk negara adalah untuk mamperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan
berakal untuk melanjutkan pembangunan negara dan memperbaiki citra bangsa Indonesia
diantara segenap bangsa di dunia (Dompas, 2014).
Sikap Ibu terhadap pemberian imunisasi juga berpengaruh secara signifikan terhadap
cakupan imunisasi dasar lengkap. Ibu yang memiliki sikap negatif tentang imunisasi lebih besar
kemungkinannya tidak memberikan imunisasi lengkap pada bayinya dari pada ibu yang memiliki
sikap positif (Nelly, 2019). Peran ibu dalam program imunisasi sangat penting, sehingga
pemahaman yang tepat tentang imunisasi sangat diperlukan (Handayani, 2016; 2018).
Kurangnya sosialisasi dari petugas kesehatan menyebabkan masalah rendahnya pemahaman dan
kepatuhan ibu dalam menjalankan program imunisasi. Dikarenakan hal tersebut, diperlukan
suatu intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, tingkat pendidikan dan sikap
ibu terhadap pemberian imunisasi dasar lengkap (Kharin dkk, 2021). Berdasarkan hasil
penelitian Selina Heraris (2015), mengatakan bahwa kelengkapan imunisasi dasar tidak
dipengaruhi pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar.

1.3 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar


1.4 Pemberian Imunisasi Dasar

Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2020 ini mempertimbangkan WHO position paper
terbaru untuk berbagai vaksin, Permenkes No. 12 tahun 2017 tentang penyelenggaraan
imunisasi, dan kebijakan Kemenkes terkait program imunisasi global, antara lain, eradikasi Polio
(Erapo), eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN), pengendalian Campak Rubella, pencegahan
Pneumonia, pencegahan Kanker Leher Rahim dan pencegahan Japanese Ensefalitis. Revisi ini
juga memperhatikan vaksin yang tersedia di Indonesia, keamanan dan imunogenitas vaksin,
epidemiologi penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan hasil uji klinik vaksin di
Indonesia.
a. Hepatitis B
Di dalam jadwal imunisasi IDAI tahun 2017 imunisasi Hepatitis B (HB) paling baik diberikan
dalam waktu 12 jam setelah lahir, sedangkan di dalam jadwal imunisasi tahun 2020 sebaiknya
diberikan segera
setelah lahir pada semua bayi sebelum berumur 24 jam.
Dasar pertimbangan
Perubahan ini sesuai dengan rekomendasi WHO position paper on Hepatitis B Vaccines
2017 bahwa imunisasi HB sebaiknya diberikan pada semua bayi sebelum berumur 24 jam. Bayi-
bayi yang tidak
mendapat vaksin HB pada waktu lahir berisiko terinfeksi 3.5 kali lebih besar dibandingkan
dengan bayi yang mendapat imunisasi waktu lahir. Apabila dosis pertama diberikan 7 hari
setelah lahir, bayi yang lahir dari ibu HBsAg (+) risiko infeksi meningkat 8,6 kali dibandingkan
dengan pemberian vaksin HB pada hari 1-3 setelah lahir. Sesuai WHO position paper on
Hepatitis B vaccine 2017 di dalam jadwal 2020 ditambahkan keterangan bayi dengan berat lahir
kurang dari 2000g, imunisasi HB sebaiknya ditunda sampai berumur 1 bulan atau lebih. Hal ini
karena sebagian bayi dengan berat lahir kurang dari 2000g tidak dapat memberikan respons imun
seperti bayi cukup bulan dan berat lahir normal, tetapi mulai usia kronologis 1 bulan dapat
memberikan respons imun adekuat.Di dalam jadwal imunisasi tahun 2020 imunisasi HB selain
diberikan pada umur 2, 3 dan 4 bulan, juga diberikan pada umur 18 bulan bersama DTwP atau
DTaP sesuai dengan jadwal imunisasi HB di Permenkes No. 12 tahun 2017.5 Dengan tambahan
imunisasi HB pada umur 18 bulan diharapkan menghasilan proteksi lebih tinggi pada usia
sekolah dan remaja, karena di beberapa negara anak yang pernah mendapat imunisasi HB
lengkap pada masa bayi seroproteksi rendah pada usia sekolah sampai remaja. Di Alaska6 pada
umur 4 – 13 tahun seroprotektif 12,5 %, di Iran7 pada umur 6 – 18 tahun seroproteksi 44 %, di
Jakarta8 umur 10–12 tahun seroproteksi 38%.
Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV)
Di dalam jadwal imunisasi 2017 IPV paling sedikit harus diberikan 1 kali bersamaan
dengan OPV3. Pada jadwal imunisasi 2020 bOPV atau IPV selanjutnya diberikan bersama
DTwP atau DTaP, IPV minimal diberikan 2 kali sebelum berumur 1 tahun.
Dasar pertimbangan
Perubahan ini memperhatikan hasil studi Fadliana dan kawan-kawan di Bandung pada
tahun 20189 dengan pemberian 1 kali IPV bersama OPV 4 menghasilkan perlindungan yang
lebih rendah terhadap polio serotipe 2, berbeda bermakna dari serotipe 1 dan 3 yang lebih tinggi.
Dengan memberikan IPV lebih dari 1x bersama DTwP atau DTaP diharapkan memberikan
perlindungan lebih tinggi terhadap polio serotipe 2. Mengingat cakupan IPV di Indonesia masih
sangat rendah, sedangkan bOPV tidak mengandung polio serotipe 2 dan cVDPV2 masih
ditemukan di beberapa negara, dianjurkan memberikan IPV minimal 2 kali sebelum berumur 1
tahun.
Bacillus Calmette Guerine (BCG)
Di dalam jadwal imunisasi tahun 2017; BCG optimal diberikan usia 2 bulan, sedangkan
di jadwal imunisasi 2020 sebaiknya diberikan segera setelah lahir atau sesegera mungkin
sebelum bayi berumur 1 bulan.
Dasar pertimbangan
Perubahan ini berdasarkan rekomendasi WHO position paper BCG vaccine 2018 untuk
negara dengan kejadian tuberkulosis tinggi BCG diberikan pada bayi segera setelah lahir. 10
Imunisasi BCG pada neonatus memberikan perlindungan 82 % terhadap tuberkulosis paru (RR
0,18, IK 95%: 0,15-0,21)11
dan menurunkan tuberkulosis berat sebanyak 90 %. Bila imunisasi BCG tidak dapat diberikan
pada waktu lahir sebaiknya diberikan segera tidak ditunda sebelum terpapar infeksi.10
Difteri, Tetanus, Pertusis (DTP)
Di dalam jadwal imunisasi 2017 booster DTP diberikan pada umur 5 tahun, sedangkan di
jadwal imunisasi 2020 pada umur 5 - 7 tahun, atau pada program BIAS kelas 1 sesuai dengan
Permenkes No. 12 tahun 2017.
Dasar pertimbangan
Perubahan ini mempertimbangkan WHO position paper on diphteria vaccine (2017)13
dan tetanus vaccine (2017)14 yang merekomendasikan booster imunisasi difteri dan tetanus
toksoid pada umur 4-7 tahun. Jadwal imunisasi 2020 juga mempertimbangkan WHO position
paper on pertusis (2015)15 yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap pertusis dengan
vaksin aseluler akan menurun sebelum berumur 6 tahun maka diperlukan booster sebelum
berumur 6 tahun, maka booster DTP diberikan pada umur 5 – 7 tahun. pada umur 18 bulan dan
10 -18 tahun tidak berubah.
Haemophilus Influenzae B (Hib)
Di dalam jadwal imunisasi tahun 2017 booster Hib diberikan pada umur 15 – 18 bulan,
sedangkan di dalam jadwal 2020 diberikan pada umur 18 bulan bersama DTwP atau DTaP.
Dasar pertimbangan
Jadwal ini sesuai dengan WHO position paper mengenai Hib tahun 2013 bahwa setelah
imunisasi dasar Hib diberikan booster 1 kali sekurangnya-kurangnya 6 bulan setelah imunisasi
dasar.16 Jadwal ini sesuai pula dengan Permenkes No. 12 tahun 2017 booster Hib diberikan pada
usia 18 bulan di dalam vaksin pentavalen.
Pneumokokus
Di dalam jadwal imunisasi 2017: vaksin PCV apabila diberikan pada usia 7-12 bulan,
PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali.
Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis
terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali. Di dalam jadwal
imunisasi 2020 jika belum pernah diberikan pada umur 7- 12 bulan, berikan PCV 2 kali dengan
jarak minimal 1 bulan dan booster setelah umur 12 bulan dengan jarak sedikitnya 2 bulan dari
dosis sebelumnya. Jika belum pernah diberikan pada umur 1- 2 tahun berikan PCV 2 kali dengan
jarak 2 bulan. Jika belum pernah diberikan pada umur 2 - 5 tahun PCV10 diberikan 2 kali dengan
jarak minimal 2 bulan, PCV13 diberikan 1 kali. Pada Program Demonstrasi Imunisasi
Pneumokokus Konjugasi Kementerian Kesehatan PCV diberikan pada umur 2 bulan, 3 bulan,
dan 12 bulan.
Dasar pertimbangan
Perubahan tersebut di atas berdasarkan WHO position paper pneumokokus (2019)17 dan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.01.07/ Menkes/199/2017
Pelaksanaan Demonstrasi Pemberian Imunisasi Pneumokokus Konyugasi di Kabupaten Lombok
Barat dan Kabupaten Lombok Timur.18 Program Kemenkes tersebut memberikan PCV pada
umur 2 bulan, 3 bulan dan 12 bulan sesuai dengan WHO position paper mengenai pneumokokus
(2019) yang melaporkan meta analisis dan kajian sistematik 5 uji klinik dengan randomisasi
bahwa pemberian PCV dengan dosis primer 2 atau 3 kali menghasilkan tingkat seropositif tinggi
(konsentrasi antibodi >0,35 g/ml) pada sebagian besar serotipe.1Dengan dosis 3p+1 tingkat
seropositive lebih tinggi untuk serotipe 6B dan 23F.19 Uji klinik dengan randomisasi pada 400
bayi cukup bulan di Belanda 2010-2011 yang memberikan PCV13 dengan jadwal 255 berbeda,
yaitu 2-4-6 bulan, 3-5 bulan, 2-3-4 bulan atau 2-4 bulan, kemudian diberikan booster pada umur
11,5 bulan, titer antibodi 1 bulan setelah booster tidak berbeda bermakna secara statistik pada
keempat jadwal tersebut. Namun jadwal 2-4-6 bulan ditambah 1 booster (3p+1) cenderung
menghasilkan respons imun lebih baik untuk serotipe 18C, 23 F, 6B, 3, 9, dan 1.Serotipe tersebut
banyak ditemukan di Indonesia.
Rotavirus
Di dalam jadwal imunisasi 2020 vaksin rotavirus monovalen (RV1) diberikan 2 dosis,
dosis pertama diberikan mulai usia 6-12 minggu, dosis kedua diberikan dengan interval minimal
4 minggu dan dosis kedua diberikan paling lambat 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen
(RV5) diberikan dalam 3 dosis. Dosis pertama diberikan pada umur 6-12 minggu. Dosis kedua
dan ketiga diberikan dengan interval 4 -10 minggu. Dosis ketiga paling lambat diberikan pada
umur 32 minggu.
Dasar pertimbangan
Kajian sistematik dan meta analisis untuk menilai hubungan antara vaksin rotavirus
dengan risiko kejadian intususepsi di neonatus dan bayi oleh Lu(2019) di 33 negara dari 4 benua
dengan melibatkan 25 uji klinis dengan 200.594 subjek (104.647 menerima RV dan 95.947
plasebo) menyimpulkan tidak ada hubungan antara intususepsi dengan pemberian vaksin
rotavirus. Risiko relatif intususepsi 1 bulan setelah pemberian vaksin sebesar 1,14 (95% IK 0,49-
2,64), sesudah 1 tahun sebesar 0,84 (95% IK 0,53-1,32), dan dalam 2 tahun setelah vaksinasi
sebesar 0,91 (95% IK 0,55-1,52). Meskipun demikian, kajian sistematik dan meta analisis yang
dilakukan oleh Koch dkk22 mendapatkan hasil risiko relatif terjadinya intususepsi lebih besar
bila rotavirus dosis pertama diberikan setelah usia 3 bulan; RR terjadinya intususepsi sebesar 1,7
(95% IK 1,1-2,7) bila dosis pertama diberikan <3 bulan dan 5,6 (95% IK 4,3-7,2) bila diberikan
>3 bulan.
Beberapa penelitian tentang insiden intususepsi sebelum dan sesudah pemberian vaksin
rotavirus menunjukkan prevalensi intususepsi meningkat dengan bertambahnya usia. Penelitian
di UK, menunjukan setelah implementasi vaksin rotavirus dalam program nasional dengan
jadwal pemberian 8 dan 12 minggu, annual hospital admission kasus intususepsi pada usia 8-12
minggu sebesar 46/100.000 meningkat menjadi 70/100.000 pd usia 13-16 minggu dan
152/100.000 pada usia 17-24 minggu.23 Sementara penelitian di Korea mendapatkan insiden
intususepsi setelah period vaksinasi (2009-2015) sebesar 42/100.000 pada usia 6-14 minggu,
157/100.00 pada usia 15-24 minggu dan 243/100.00 pada usia 25 -34 minggu.24 Oleh karena itu,
sebaiknya pemberian vaksin rotavirus diberikan sebelum 12-14 minggu untuk mengurangi risiko
terjadinya intususepsi. Vaksin rotavirus monovalen (RV1) diberikan secara oral dalam 2 dosis.
Dosis pertama pada umur >6 minggu, dosis kedua diberikan dengan interval minimal 4 minggu
dan diselesaikan paling lambat 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen (RV5) diberikan secara
oral dalam 3 dosis, dosis pertama pada umur 6-12 minggu, interval antar dosis 4-10 minggu, dan
dosis ketiga diselesaikan maksimal pada umur 32 minggu.
Influenza
Di dalam jadwal imunisasi tahun 2017 imunisasi influenza diberikan pada usia lebih dari
6 bulan, sedangkan di dalam jadwal tahun 2020 diberikan mulai umur 6 bulan.
Dasar pertimbangan
Jadwal ini sesuai dengan WHO position paper vaccine against influenza (2012)25 bahwa
imunisasi influenza diberikan mulai umur 6 bulan karena tingginya kejadian influenza berat pada
umur 6-23 bulan kemudian 2-5 tahun.
Campak dan Rubella
Di dalam jadwal imunisasi tahun 2017 pada umur 9 bulan diberikan imunisasi campak,
sedangkan di dalam jadwal 2020 diberikan campak rubella (MR).
Dasar pertimbangan
Perubahan ini sesuai dengan WHO position paper 256 Rubella vaccine (2011)26 dan
Keputusan Menteri Kesehatan No. HK 01.07/Menkes/45/2017 tanggal 31 Januari 2017, tentang
introduksi imunisasi campak rubella di Indonesia pada umur 9 bulan.27 Bila sampai umur 12
bulan belum mendapat vaksin MR, dapat diberikan MMR. Karena dapat terjadi kegagalan
imunisasi primer campak pada 10%-15% anak, maka harus diberikan vaksin campak ke 2
(bersama rubella) pada umur 15 – 18 bulan., Selanjutnya, imunisasi MR (atau MMR) diberikan
pada umur 5 – 7 tahun 28 atau pada kelas 1 SD dalam program BIAS Jadwal ini juga sesuai
dengan WHO position paper mengenai vaksin mumps 200729 yang menganjurkan pemberian
vaksin mumps 2 dosis (bersama campak dan rubella) mulai umur 12 – 18 bulan. Dosis kedua
diberikan pada usia masuk sekolah (school entry) sekitar umur 6 tahun. untuk memberikan
perlindungan jangka panjang
Japanese Ensefalitis (JE)
Di dalam jadwal imunisasi tahun 2017 imunisasi JE diberikan mulai umur 12 bulan,
sedangkan di dalam jadwal 2020 mulai umur 9 bulan.
Dasar pertimbangan
Perubahan ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
01.07/Menkes/117/2017 tentang pelaksanaan kampanye dan introduksi imunisasi JE di Bali30
dan WHO position paper mengenai JE (2015) bahwa imunisasi JE diberikan mulai umur 9
bulan. Imunisasi JE direkomendasikan untuk di daerah endemis atau yang akan bepergian ke
daerah endemis. Surveilans JE di Indonesia tahun 2016 ada 9 provinsi melaporkan kasus JE:
Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta,
Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau, dengan kasus JE terbanyak di provinsi
Bali.
Varisela
Di dalam jadwal imunisasi tahun 2017 imunisasi varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik
pada usia sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun perlu 2
dosis dengan interval minimum 4 minggu. Di dalam jadwal imunisasi tahun 2020 imunisai
varisela diberikan mulai umur 12 – 18 bulan. Pada umur 1 – 12 tahun diberikan 2 dosis dengan
interval 6 minggu sampai 3 bulan. Pada umur 13 tahun atau lebih diberikan 2 dosis dengan
interval 4 sampai 6 minggu.
Dasar pertimbangan
Perubahan ini sesuai dengan rekomendasi WHO position paper tentang varisela (2014)
untuk menurunkan kasus varisela dan mencegah terjadinya kejadian luar biasa. Meta analisis
tentang efikasi vaksin varisela menyimpulkan dosis tunggal cukup efektif dalam mencegah
varisela dengan efikasi 81%, sedangkan 2 dosis meningkatkan efikasi menjadi 92%. Beberapa
penelitian lainjuga menganjurkan pemberian 2 dosis.
Hepatitis A
Di dalam keterangan jadwal imunisasi tahun 2017 imunisasi Hepatitis A diberikan mulai
umur 2 tahun, 2x dengan interval 6 – 12 bulan, sedangkan di dalam jadwal 2020 diberikan mulai
umur 1 tahun, dosis ke-2 diberikan setelah 6 bulan sampai 18 bulan kemudian.
Dasar pertimbangan
Jadwal ini sesuai dengan WHO position paper tentang hepatitis A (2012)36 dan beberapa
penelitian lain.37
Dengue
Di dalam keterangan jadwal imunisasi 2017 tertulis imunisasi dengue diberikan pada usia
9-16 tahun dengan jadwal 0,6,12 bulan. Di dalam jadwal 2020 ditambahkan prasyarat : diberikan
pada anak umur 9 – 16 tahun yang pernah dirawat dengan diagnosis dengue dan dikonfirmasi
dengan deteksi antigen (rapid dengue test NS-1 atau PCR ELISA), atau Dari berbagai alasan
tersebut diatas maka kami tertarik melakukan penelitian singkat dengan judul Penyuluhan
Pentingnya Imunisasi Di Dusun Borongkaramasa, Desa Toddotoa, Kecamatan Pallangga,
Kabupaten Gowa.

2.5 Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Pemberian Imunisasi Dasar


Upaya memberdayakan masyarakat pada prinsipnya dapat dilakukan dengan 4
pendekatan utama, yaitu komunikasi, informasi, edukasi (KIE). Komunikasi adalah upaya
membangun hubungan relasional dua arah yang setara dengan masyarakat yang akan
diberdayakan sehingga masyarakat yang diberdayakan menjadi lebih terbuka dan mampu
mengekspresikan apa yang dirasakannya, mampu mengungkapkan pendapatnya, mampu
berkreasi dan berinovasi. Informasi adalah penyediaan berbagai berita dan keterangan serta
informasi penting yang dibutuhkan masyarakat untuk membangun kapasitas diri mereka.
Edukasi adalah berbagai bentuk upaya pendidikan baik formasi dan non formal yang
diperlukan oleh masyarakat yang diberdayakan sehingga mereka memiliki kapasitas yang
memadai unntuk membangun dirinya dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
KIE dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya melalui penyuluhan,
penerangan, pelayanan, media massa dan berbagai teknologi informasi dapat berperan secara
efektif sebagai sarana KIE. 1. Penyuluhan Sebelum dan Sesudah Pelayanan Imunisasi
Penyuluhan menjadi sangat penting untuk menurunkan, bahkan memberantas kematian,
khususnya pada bayi akibat tetanus, campak, TBC, dipteri, dan hepatitis. Kesadaran orang
dewasa, khususnya orangtua bayi terlebih lagi ibu dari bayi, untuk membawa bayinya ke
sarana pelayanan kesehatan terdekat, misalnya posyandu, untuk memperoleh imunisasi yang
lengkap. Penyuluhan yang diberikan berupa manfaat imunisasi, efek samping dan cara
penanggulangannya, serta kapan dan di mana pelayanan imunisasi berikutnya dapat
diperoleh. Berbagai macam alat peraga untuk mendukung penyuluhan yang akan Anda
berikan terhadap sasaran, yaitu ibu yang memiliki bayi, salah satunya poster. Poster
bertujuan untuk memengaruhi seseorang atau kelompok agar tertarik pada objek atau materi
yang diinformasikan atau juga untuk memengaruhi seseorang atau kelompok untuk
mengambil suatu tindakan yang diharapkan.
Poster dapat diletakkan di ruang tunggu Puskesmas, digunakan sebagai alat bantu
peragaan saat melakukan ceramah atau penyuluhan, bahan diskusi kelompok, dan lainnya.
1) Pemberian Imunisasi kepada Bayi/Anak
a. Mengucapkan salam dan terima kasih kepada orangtua atas kedatangannya dan
kesabarannya menunggu.
b. Menjelaskan jenis-jenis penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi.
c. Menjelaskan manfaat pemberian imunisasi.
d. Menjelaskan efek samping setelah pemberian imunisasi dan apa yang harus dilakukan jika
terjadi efek samping.
e. Menjelaskan kapan ibu perlu membawa bayinya ke pusat kesehatan atau RS jika terjadi
efek samping yang hebat.
f. Menjelaskan secara lengkap jika bayi harus mendapatkan imunisasi lengkap secara
berurutan.
g. Menuliskan tanggal untuk pemberian imunisasi berikutnya pada buku KIA dan
memberitahukan kepada orangtua kapan harus kembali untuk mendapatkan imunisasi
berikutnya.
h. Menjelaskan kepada orangtua tentang alternatif tanggal dan waktu jika tidak bisa datang
pada tanggal yang sudah dituliskan.
2) Konseling Konseling
adalah proses pemberian bantuan seseorang kepada orang lain dalam membuat suatu
keputusan atau memecahkan masalah melalui pemahaman terhadap fakta-fakta, kebutuhan
dan perasaan klien. Klien mempunyai hak untuk menerima dan menolak pelayanan
imunisasi. Petugas klinik berkewajiban untuk membantu klien dalam membuat keputusan
secara arif dan benar. Semua informasi harus diberikan dengan menggunakan bahasa dan
istilah yang mudah dimengerti oleh klien.

2.6 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setelah
menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi.3 Untuk mengetahui hubungan
antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan pelaporan dan pencatatan semua reaksi
yang tidak diinginkan yang timbul setelah pemberian imunisasi. Surveilans KIPI sangat
membantu program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan
pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif. Gejala dan
tatalaksana serta pelaporan KIPI akan dibahas dalam makalah ini.
Maturasi Program Imunisasi
Telah terbukti bahwa pemberian imunisasi akan menurunkan insidens penyakit. Musnahnya
penyakit cacar (variola) dari muka bumi sejak tahun 1980 merupakan contoh keberhasilan
imunisasi terhadap kejadian penyakit cacar. Keberhasilan vaksinasi tersebut kemudian diikuti
oleh pemakaian vaksin lain dalam dosis besar. Namun, di dalam perjalanan pemberian vaksin
terdapat maturasi persepsi masyarakat sehubungan dengan reaksi yang tidak diinginkan akibat
vaksinasi sehingga menyebabkan munculnya kembali penyakit dalam bentuk kejadian luar biasa
(KLB). Chen4 membuat perkiraan perjalanan program imunisasi dihubungkan dengan maturasi
kepercayaan masyarakat dan dampaknya pada insidens penyakit (Gambar 1).

1. Prevaksinasi. Pada saat ini insidens penyakit masih tinggi, imunisasi belum dilakukan
sehingga KIPI belum menjadi masalah.
2. Cakupan meningkat. Pada fase ini, imunisasi telah menjadi program di suatu negara,
maka makin lama cakupan makin meningkat yang berakibat penurunan insidens penyakit.
Seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi, terjadi peningkatan kasus KIPI di
masyarakat.
3. Kepercayaan masyarakat (terhadap imunisasi) menurun.
Peningkatan kasus KIPI mengancam kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi.

Klasifikasi KIPI
Tidak semua kejadian KIPI yang diduga itu benar. Sebagian besar ternyata tidak ada
hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan
mengenai berapa besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu; bagaimana sifat
kelainan tersebut, lokal atau sistemik; bagaimana derajat kesakitan resipien, apakah memer lukan
perawatan, apakah menyebabkan cacat, atau menyebabkan kematian; apakah penyebab
dapatdipastikan, diduga, atau tidak terbukti; dan akhirnya apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI
berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan pemberian. Berdasarkan data
yang diperoleh, maka KIPI dapat diklasifikasikan dalam:
Induksi vaksin (vaccine induced). Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena faktor
intrinsik vaksin terhadap individual resipien. Misalnya, seorang anak menderita poliomielitis
setelah mendapat vaksin polio oral.
Provokasi vaksin
(vaccine potentiated). Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini terjadi oleh
karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam pasca imunisasi yang terjadi pada anak yang
mempunyai predisposisi kejang.
Kesalahan
(pelaksanaan) program (programmatic errors). Gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan
pada teknik pembuatan dan pengadaan vaksin atau teknik cara pemberian. Contoh: terjadi
indurasi pada bekas suntikan disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan secara intramuskular
diberikan secara subkutan.
Koinsidensi
(coincidental). KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang sedang diderita.
Contoh: Bayi yang menderita penyakit jantung bawaan mendadak sianosis setelah diimunisasi.
WHO pada tahun 1991, melalui Expanded Programme of Immunisation (EPI) telah
menganjurkan pelaporan KIPI oleh tiap negara. Untuk negara berkembang yang paling penting
adalah bagaimana mengkontrol vaksin dan mengurangi programmatic errors, termasuk cara
penggunaan alat suntik dengan baik, alat sekali pakai atau alat suntik auto-distruct, dan cara
penyuntikan yang benar sehingga transmisi patogen melalui darah dapat dihindarkan.
Ditekankan pula bahwa untuk memperkecil terjadinya KIPI, harus senantiasa diupayakan
peningkatan ketelitian, pada pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.
Epidemiologi KIPI
Kejadian ikutan pasca imunisasi akan tampak setelah pemberian vaksin dalam dosis
besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu
fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan, sedangkan fase
selanjutnya dilakukan pada manusia. Fase 2 dan 3 untuk mengetahui seberapa jauh
imunogenisitas dan keamanan (reactogenicity and safety) vaksin yang dilakukan pada jumlah
yang terbatas. Pada jumlah dosis yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untuk
menilai jumlah KIPI diperlukan penelitian uji klinis dalam jumlah sampel (orang, dosis vaksin)
yang besar yang dikenal sebagai post marketing surveilance (PMS).Tujuan PMS ialah
memonitor dan mengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian yang cukup luas di masyarakat.
Data PMS dapat memberikan keuntungan bagi program apabila semua KIPI (terutama KIPI
berat) dilaporkan dan masalahnya.
Gejala Klinis KIPI
Gejala klinis KIPI dapat dibagi menjadi gejala lokal dan sistemik serta reaksi lainnya,
dapat timbul secara cepat maupun lambat. Pada umumnya, makin cepat KIPI terjadi makin berat
gejalanya. Gejala klinis KIPI tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2. Standar keamanan suatu vaksin
dituntut lebih tinggi daripada obat-obatan. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya produk
farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi.Akibatnya,
toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat-obatan untuk orang sakit.
Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang
anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak
terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi perlu dilakukan sebenarnya sulit ditentukan,
tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi paling
sedikit selama 15 menit. 6 Pada anak, KIPI yang paling serius adalah reaksi anafilaksis.
Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 1 dalam 50.000 dosis DPT (whole cell
pertussis), tetapi yang benar-benar anafilaksis hanya 1-3 kasus di antara 1 juta dosis. Anak besar
dan dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episod hipotonikhiporesponsif
juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.
Tatalaksana KIPI
Tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan kasus lebih lanjut,
analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi, seperti tertera pada Gambar 2. Dalam waktu
24 jam setelah penemuan kasus KIPI yang dilaporkan oleh orang tua (masyarakat) ataupun
petugas kesehatan, maka pelacakan kasus harus segera dikerjakan. Pelacakan perlu dilakukan
untuk konfirmasi apakah informasi yang disampaikan tersebut benar. Apabila memang kasus
yang dilaporkan diduga KIPI, maka dicatat identitas kasus, data vaksin (jenis, pabrik, nomor
(batchlot), petugas yang melakukan, dan bagaimana sikap masyarakat saat menghadapi masalah
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai