Anda di halaman 1dari 3

KONSEP DASAR ISLAM

Oleh : Mathlubur Rhisky, M.Pd


Dalam Sekolah Islam Gender II Komisariat PMII Wahid Hasyim Politeknik Jember

MAKNA ISLAM

Secara harfiah, islam berarti ‘damai’, ‘selamat’, ‘aman’, atau ‘tenteram’, (Lihat Ismail
bin Hammad Al-Jauhari, As-Shihhah: Tajul Lughah Washihahul Arabiyyah, [Beirut, Darul
Ilmi: 1990 M], cetakan keempat, halaman 1951) yang semua itu mengacu pada situasi
yang sangat didambakan setiap orang. Situasi ini tidak hanya oleh umat Islam, tetapi juga
oleh semua umat manusia di mana pun, bahkan hewan dan tumbuhan sekalipun.
Kemudian, secara konseptual, Islam merupakan agama yang mengajarkan monoteisme
tauhid yang harus diwujudkan dalam bentuk kepasrahan diri dan ketaatan kepada Allah
dan rasul-Nya sebagai utusan pembawa rahmah guna meraih kebahagiaan dan
keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat (Surat Al-Baqarah ayat 201). Namun,
kebahagiaan itu tidak akan pernah terwujud tanpa kedamaian dan kasih sayang di antara
sesama.Intinya, dengan membawa misi damai dan kasih sayang itulah risalah Islam
diturunkan ke seluruh alam (Surat Al-Anbiya ayat 107).

Secara tekstual, Al-Qur’an juga mengajarkan kepada kita agar senantiasa


mengamalkan nilai-nilai kedamaian secara total. Bahkan, salah satu ayatnya
menyebutkan, “Masuklah kalian ke dalam Islam secara utuh,” (Surat Al-Baqarah ayat 208).
Jika kita mengacu pada Islam yang berarti ‘damai’, maka sesungguhnya ayat itu ingin
mengatakan, “Masuklah kalian ke dalam kedamaian secara total.” Totalitas dalam
pengertian, tidak saja memberikan kedamaian kepada orang yang sekelompok, seormas,
atau seakidah dengan kita, tetapi kepada sesama manusia yang berlainan keyakinan,
hatta kepada sesama ciptaan-Nya. Sementara Islam dalam pengertian ‘selamat’ dapat
kita baca dalam sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Muslim sejati adalah
yang komitmen sepenuh hati menjaga keselamatan saudaranya. (Lihat selengkapnya
hadits tersebut yang menyebutkan, “Muslim sejati adalah Muslim yang orang Muslim
lainnya selamat dari lisan dan tangannya,” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Sebaliknya, orang
yang yang paling buruk adalah yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan justru
ditakuti keburukannya. (Dalam hadits dimaksud, dikatakan, “Orang yang terburuk di
antara kalian adalah yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan justru orang lain tidak
bisa dirasa aman dari keburukannya,” (HR Tirmidzi).

Sungguh sebuah ajaran luhur dan mulia yang telah diajarkan Rasulullah SAW
kepada kita. Ajaran Islam Sarat dengan Damai Selama ini, damai masih dipahami sebagai
hidup rukun berdampingan antara dua pihak atau dua kekuatan besar yang semula
berseteru. Padahal, nyatanya tidaklah demikian. Dalam Islam, jiwa dan individu umat
pun diciptakan sedemikian rupa agar damai dan tenteram, dan keduanya merupakan
situasi mendasar. Ketika beraktivitas atau melaksanakan ritual ibadah, kita kerap
diperintah melakukannya dengan cara tenang dan damai. Bahkan, dalam beberapa hal,
tujuan ritual itu sendiri adalah ketenangan dan kedamaian.

Dalam berinteraksi dengan Sang Pencipta (hablum minallah), misalnyakita


diperintahkan berzikir mengingat Allah, yang salah satu tujuannya adalah menjalin
kedekatan (taqarrub) sekaligus menciptakan jiwa yang damai dan tenteram(Surat Ar-
Ra’du ayat 28). Kemudian, ketika menunaikan shalat, kita diwajibkan melakukannya
dengan tuma’ninah alias tenang dan tidak tergesa-gesa.Di akhir shalat,kita diharuskan
mengucap salam. Setelahnya, kita dianjurkan berdoa, di antara doa yang kita panjatkan
adalah doa selamat dan doa khusus kedamaian, allahumma antassalam waminkassalam,
Dan masih banyak lagi tradisi yang tidak dapat dilepaskan dari semangat perdamaian
dan keselamatan. Bahkan, kelak di akhirat, yang dipanggil oleh Yang Maha Kuasa untuk
bergabung dengan kelompok hamba-hamba-Nya dan masuk ke dalam surga-Nya adalah
jiwa-jiwa yang damai dan tenang (Surat Al-Fajr ayat 27-30).

Selanjutnya, dalam bermuamalah dengan sesama (hablum minannas), dua insan


laki-laki dan perempuan disatukan dalam tali pernikahan yang bertujuan untuk membina
keluarga yang sakinah, mawaddah,wa rahmah, alias keluarga yang penuh ketenangan,
kecintaan, dan kasih sayang (Surat Ar-Rum ayat 21). Lantas, sesama Muslim diwajibkan
membangun persaudaraan agar terbangun kedekatan, kekuatan, dan keharmonisan
(Surat Al-Hujurat ayat 10). Dan dalam lingkup lebih luas, kita juga diajarkan saling
menghormati dan menghargai keyakinan orang lain agar tercipta kerukunan di antara
sesama umat beragama (Surat Al-Kafirun ayat 6).

ISLAM ANTARA PRINSIP DAN TEKNIS

Dalam kehidupan nyata, kepiawaian dalam membedakan antara prinsip-prinsip


dasar dan masalah-masalah teknis sangat dibutuhkan. Karena kerancuan dalam
memahami dan membedakan kedua hal ini akan berakibat kerancauan beragama.
<>Hal-hal yang merupakan prinsip dianggap sebagai teknis sehingga membuat kita
dengan leluasa mengubahnya. Demikian juga hal-hal yang merupakan permasalah teknis
sepele bisa dianggap prinsip sehingga mencoba memaksakan sesuatu yang tidak perlu.
Prinsip dasar tersebut dalam Islam disebut dengan syariah, sedangkan masalah teknis
operasionalnya adalah diatur dalam fiqih. Masalah penegakan hukum Islam itu adalah
prinsip yang ada dalam ajaran Islam. Bahwasanya umat Islam harus menegakkan
agamanya dan keadilan, itu memang kewajiban dan itu prinsipnya.

Namun, bagaimana cara kita menegakkannya, itu masalah teknis yang boleh saja
berbeda. Demikian pula dalam masalah penegakan keadilan. Bagaimana seorang Islam
yang menjadi rakyat harus menegakkan Islam dan keadilan, seorang pemimpin harus
menegakkan Islam dan keadilan itu bisa saja berbeda. Sementara kalangan umat Islam
berpendapat bahwa kita wajib menegakkan hukum-hukum Allah dalam kehidupan. Dan
jalannya adalah ‘harus khilafah’. Hal ini adalah mengikat kepada seluruh umat Islam.
Semua umat Islam wajib menegakkan syariah dan khilafah. Dalam pandangan penulis,
pendapat seperti itu menunjukkan pendapat yang tidak bisa membedakan antara
syariah dan fiqih. Karena pendapat tersebut harus dibedakan menjadi dua. Yakni hal-hal
yang prinsip tersebut di satu sisi dan hal-hal yang berbau teknis di sisi lain. Bahwasanya
hukum Allah harus ditegakkan maka itu memanglah sebuah kewajiban. Namun, apakah
khilafah adalah sebuah kewajiban juga dengan alasan bahwas ia sebagai alat untuk
menegakkan hukum Allah? Jawabannya tidak. Karena Khilafah itu hanyalah teknis saja.
Khilafah tidak menjadi wajib karena ia bukan satu-satunya jalan atau alat menegakkan
ajaran Islam. Cara yang lain dalam wujud dakwah moral, dakwah sosial juga banyak.
Bahkan hal inilah yang dilakukan para pendakwah Islam di Indonesia sejak zaman
dahulu.

Dalam kenyataan sejarahnya, Khilafah Islamiyah juga tidak menunjukkan


keunggulannya sebagai sebuah pemerintahan dibandingkan model lainnya. Banyak di
antara khalifah Islam yang dalam tindakannya sebagai pemimpin melenceng dari ajaran
Islam. Hal ini bukan tidak mendapatkan kritikan dari para ulama pada waktu itu. Para
pemimpin Bani Umayyah, contohnya, yang mendapatkan kritikan dan tanggapan negatif
dari para ulama di masa itu karena pola hidup elite kerajaan yang cenderung flamboyan
dan keluar dari prinsip-prinsip syariat. Bahkan terjadi persaingan tidak sehat di
lingkungan kerajaaan sendiri. Praktis khalifah yang dianggap baik dan berada dalam
koridor syariat dalam generasi ini hanya Umar bin Abdul Aziz saja. Kekhalifahan bani
Abbasyiyah yang datang pada masa berikutnya juga sama. Selama berabad-abad dinasti
ini dipimpin 37 orang khalifah, praktis yang paling baik hanyalah 3, salah satunya Khalifah
Harun Al-Rasyid. Yang lain kurang lebih seperti, atau bahkan lebih buruk, dari Pak Harto.
Demikian pula pada masa selanjutnya. Demikianlah, akibatnya jika kita terlalu
menyucikan apa yang dinamakan khilafah. Kenyataannya tidak. Karena hal itu adalah
institusi politik, bukan institusi agama. Dan mengagamakan politik serta mempolitisasi
agama inilah yang keliru. Karena tidak sesuai dengan prinsip agama dalam Al-Qur’an:
“wala talbisul haqqa bil bathil.” Kiai Hasyim Asy’ari dalam buku Fajar Kebangunan Ulama
(karya Lathiful Khuluq) tercatat bahwa ia juga pernah belajar kepada pengajur Pan-
Islamisme Mesir yakni Muhammad Abduh. Dalam buku itu juga dikatakan bahwa salah
satu ajaran Islam Muhammad Abduh yang paling mendasar di mata KH Hasyim Asy’ari
adalah persatuan Islam (pan-Islamisme). KH Hasyim menerima ide persatuan Islam
tersebut. Tapi, ia menolak ide tidak wajibnya bermadzhab bagi kaum muslimin. Namun
kemudian, ketika Muktamar di Banjarmasin tahun 1936 yang kemudian menjadi
keputusan alim ulama, Kiai Hasyim mengatakan bahwa menjalankan syariat Islam di
Indonesia adalah wajib tapi menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam tidaklah
wajib.

Anda mungkin juga menyukai