Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PENDAHULUAN

2.1 Makna Islam


Kata “Islam” berasal dari: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama
yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan,
maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
pula bersedih hati”( Q.S. Al-Baqarah:112)
Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang
memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya . Di dalam
al-Qur’an, kata bermakna Islam yang terambil dari akar kata s-l-m disebut sebanyak 73 kali, baik
dalam bentuk fi’il (kata kerja), mashdar (kata dasar/asal), maupun isim fa’il (kata sifat/pelaku
perbuatan.
Secara terminologis (istilah, maknawi) dapat dikatakan Islam adalah agama wahyu
berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad
Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan
pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Wahyu yang diurunkan oleh
Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa
dan setiap persada. Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala
perikehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan: dengan Tuhan, sesama
manusia, dan alam lainnya. Bertujuan: keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan
di dunia dan akhirat. Pada garis besarnya terdiri atas akidah, syariat dan akhlak. Bersumberkan
Kitab Suci Al-Quran yang merupakan kodifikasi wahyu Allah SWT sebagai penyempurna
wahyu-wahyu sebelumnya yang ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah Saw.
Terminologi Islam secara bahasa (secara lafaz) memiliki beberapa makna. Makna-makna
tersebut ada kaitannya dengan sumber kata dari "Islam" itu sendiri. Islam terdiri dari huruf dasar
(dalam bahasa Arab): "Sin", "Lam", dan "Mim". Beberapa kata dalam bahasa Arab yang
memiliki huruf dasar yang sama dengan "Islam", memiliki kaitan makna dengan Islam. Dari
situlah kita bisa mengetahui makna Islam secara bahasa. Jadi, makna-makna Islam secara bahasa
antara lain: Al istislam (berserah diri), As salamah (suci bersih), As Salam (selamat dan
sejahtera), As Silmu (perdamaian), dan Sullam (tangga, bertahap, atau taddaruj).
a. Al- Istislam (berserah diri)
Al istislam juga memiliki huruf dasar yang sama dengan "Islam", yaitu Sin, Lam, dan
Mim. Sehingga Al istislam atau berserah diri merupakan makna lain dari Islam secara
bahasa..
Allah SWT berfirman, "Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama
Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi,
baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan."( Q.S.
Ali Imran: 83.)
"Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" (Q.S.
Al An'am: 162-163.)
b. Saliim (suci bersih)
As-salaamah berarti suci bersih. Di dalam Al Qur'an dijelaskan bahwa penganut dinul
Islam memiliki hati yang bersih (qalbun salim) saat menghadap kepada Allah Yang Maha
Suci.
"...kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih..." (Q.S. Ash
Shu'araa: 89)
Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang suci dan bersih. Islam membawa
ajaran kesucian dan kebersihan. Suci bersih di sini adalah dalam segala hal, baik dari segi
fisik, akhlaq, pikiran, dan sebagainya. Dalam hal fisik misalnya Islam mengajarkan
penganutnya agar bersih pakaian dan tempat. Sebelum shalat, kita pun diwajibkan untuk
bersuci dengan berwudhu. Kalaupun tidak ada air, bersuci tetap diwajibkan, yaitu dengan
tayamum. Dalam surat Ash Shaaffaat: 84:"(lngatlah) ketika ia (Ibrahim) datang kepada
Tuhannya dengan hati yang suci”
c. Salaam (selamat / sejahtera)
"Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka
katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang,
(yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan,
kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."( Q.S. Al An'am : 54)
d. Al-Salm
As-Silmu bermakna perdamaian. Lafaz As-silmu ini tersirat dalam Al Qur’an pada surat
Muhammad (47) ayat 35 yang berbunyi: “Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal
kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi
pahala amal-amalmu.”
e. Sullam
Sullam memiliki huruf dasar yang sama dengan Islam, yaitu Sin Lam dan Mim. Sullam
artinya tangga. Istilah Sullam digunakan di beberapa ayat di Al Qur'an. Contohnya pada surat
At-Tur ayat: 38 berikut ini: "Ataukah mereka mempunyai tangga/sullam (ke langit) untuk
mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang
mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata.”( Q.S. At-Tur:
38)
f. Al-Silmu
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.”( Q.S. Al-Baqarah: 208)
Berkaitan dengan ayat di atas, oleh sekelompok muslim dijadikan rujukan untuk
mengkampanyekan istilah “Islam Kaffah” atau “Islam utuh”. Dalam pandangan mereka, ayat
ini merupakan ajakan wajib bahwa setiap muslim harus menjalankan ajaran Islam secara
utuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki; dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Tidak jelas makna utuh yang dimaksudkan karena keutuhan itu ternyata sangat
bergantung pada pemahaman tertentu tentang Islam. Ketika pemahaman tentang Islam
bercorak fikih, maka keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dalam konteks fikih. Itu pun
masih dipengaruhi hanya oleh mazhab tertentu dalam fikih sambil mengabaikan mazhab-
mazhab yang lain. Puncak idealisasi Islam Kaffah adalah mendirikan sebuah negara yang
berasaskan Islam karena, menurut logika mereka, tanpa negara Islam tidak dapat dijalankan
secara utuh.
Muncullah simbol-simbol parsial yang secara ketat dikenakan dan dianggap sebagai
bagian dari keutuhan Islam. Gaya pakaian, penampilan fisik, ujaran sehari-hari, gerakan
bahkan organisasi dan ideologi menjadi pilihan untuk menegaskan keutuhan Islam. Tidak
terpikirkan lagi oleh mereka soal otoritas dan interpretasi dalam semangat ini. Dan, klaim ini
mengandung problem mendasar mengingat pemahaman tentang Islam sangat beragam, baik
di masa lalu maupun di masa kini.
Sebagian ulama menafsirkan kata as-silmi dalam ayat di atas sebagai Islam. Namun
sebagian yang lain menafsirkannya sebagai kepasrahan, proses perdamaian dan
ketundukan.15 Sufyan ats-Tsauri bahkan menafsirkan kata as-silmi sebagai simbol berbagai
kebajikan16. Intinya, tidak ada konsensus (ijma’ ) ulama bahwa tafsiran kata as-silmi adalah
Islam. Ia memiliki interpretasi yang beragam dan setiap muslim dapat memilih interpretasi
yang lebih sejalan dengan semangat zaman. Akan lebih menarik jika kata as-silmi dalam ayat
di atas dipahami sebagai proses perdamaian serta ketundukan pada nilai-nilai universal yang
ada dalam setiap ajaran mana pun. Setiap orang beriman diajak untuk selalu menempuh
proses perdamaian dan menjalankan nilai-nilai universal dalam rangka menciptakan
kehidupan yang lebih beradab dan sejahtera.

2.2 Dasar-Dasar Ajaran Islam


Mahmud Syaltout (1983) membagi pokok ajaran Islam menjadi dua, yaitu Aqidah
(kepercayaan) dan Syari‟ah (kewajiban beragama sebagai konsekuensi percaya). Namun
demikian, terdapat ulama lain yang membagi pokok ajaran Islam menjadi tiga, yaitu: iman
(aqidah), Islam (syari‟ah), dan ihsan (akhlak).
Pengklasifikasian pokok ajaran Islam ini didasarkan pada sebuah hadist yang
diriwayatkan Abu Hurairah, yaitu: “Pada suatu hari ketika Nabi SAW bersama kaum muslimin,
datang seorang pria menghampiri Nabi SAW dan bertanya, „Wahai Rasulullah, apa yang
dimaksud dengan iman?‟ Nabi menjawab, Kamu percaya pada Allah, para malaikat, kitab-kitab
yang diturunkan Allah, hari K 5 pertemuan dengan Allah, para rasul yang diutus Allah, dan
terjadinya peristiwa kebangkitan manusia dari alam kubur untuk diminta pertanggungjawaban
perbuatan oleh Allah‟. Pria itu bertanya lagi,‟Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan
Islam?‟ Nabi menjawab, „Kamu melakukan ibadah pada Allah dan tidak menyekutukan-Nya,
mendirikan shalat fardhu, mengeluarkan harta zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan‟. Pria
itu kembali bertanya, „Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud ihsan?‟ Nabi menjawab, „ Kamu
beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Apabila kamu tidak mampu melihatnya,
yakinlah bahwa Allah melihat perbuatan ibadahmu‟...”(Al-Bayan, Kitab Iman, No.5)
Ringkasnya, terdapat tiga bagian pokok ajaran Islam, yaitu :
a. Aqidah, berisi kepercayaan pada hal ghaib;
b. Syari‟ah, berisi perbuatan sebagai konsekuensi dari kepercayaan;
c. Akhlak, berisi dorongan hati untuk berbuat sebaik-baiknya meskipun tanpa
pengawasan pihak lain, karena percaya Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
2.3 Hukum Islam
Pengertian hukum Islam sendiri bisa dipahami berdasarkan dua istilah atau kata dasar
yang membangunnya yaitu kata hukum dan Islam. Hukum dapat diartikan dengan peraturan dan
undang-undang.
Hukum dapat dipahami sebagai aturan atau norma yang mengatur tingkah laku manusia
dalam suatu masyarakat, baik peraturan ataupun norma yang berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu
dan ditegakkan oleh penguasa.
Sedangkan kata Islam mengandung arti sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Dengan pengertian sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada umat manusia agar mencapai kesuksesan
hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Hukum-hukum Islam :
1. Wajib.
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika
ditinggalkan akan diberi siksa. Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum wajib adalah
shalat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, dan Zakat.
Pengertian wajib secara bahasa adalah saqith (jatuh, gugur) dan lazim (tetap). Wajib
adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya berdosa.
Hukum wajib dibagi menjadi 4 yakni kewajiban waktu pelaksanaannya, kewajiban bagi
orang melaksanakannya, kewajiban bagi ukuran/kadar pelaksanaannya, dan kandungan
kewajiban perintahnya.
a. Kewajiban dari waktu pelaksanaannya:
 Wajib muthlaq yakni wajib yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya seperti
meng-qadha puasa Ramadhan yang tertinggal atau membayar kafarah sumpah.
 Wajib muaqqad yakni wajib yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu
dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang ditentukan. Wajib muaqqad terbagi lagi
dalam:
- wajib muwassa: wajib yang waktu disediakan untuk melakukannya melebihi
waktu pelaksanaannya.
- wajib mudhayyaq: kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya dengan waktu
yang disediakan seperti puasa Ramadhan.
- Wajib dzu Syabhaini: gabungan antara wajib muwassa dengan wajib mudhayyaq,
misalnya ibadah haji.
b. Kewajiban bagi orang yang melaksanakannya:
 Wajib aini: kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan atau diwakilkan
orang lain misalnya puasa dan sholat.
 Wajib kafa'i/kifayah: kewajiban bersifat kelompok apabila tidak seorang pun
melakukannya maka berdosa semuanya dan jika beberapa melakukannya maka gugur
kewajibannya seperti sholat jenazah.
c. Kewajiban berdasarkan ukuran atau kadar pelaksanaannya:
 Wajib muhaddad: wajib yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai ketentuan
seperti zakat.
 Wajib ghairu muhaddad: kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya seperti
menafkahi kerabat.
d. Kewajiban berdasarkan kewajiban perintahnya:
 Wajib Mu'ayyan: kewajiban yang telah ditentukan dan tidka ada pilihan lain seperti
membayar zakat dan sholat lima waktu.
 Wajib mukhayyar: kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif.
2. Mandud atau Sunnah.
Mandub secara bahasa artinya mad'u (yang diminta) atau yang dianjurkan. Beberapa
literatur atau pendapat ulama menyebutkan, mandub sama dengan sunnah. Mandud atau
sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk dikerjakan tetapi tuntutannya tidak
sampai ke tingkatan wajib atau sederhananya perbuatan yang jika dikerjakan akan
mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendapatkan siksaan atau hukuman.
Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum mandud atau sunnah ialah shalat yang
dikerjakan sebelum/sesudah shalat fardhu.
Mandub secara bahasa artinya mad'u (yang diminta) atau yang dianjurkan. Beberapa
literatur atau pendapat ulama menyebutkan, mandub sama dengan sunnah.
Hukum Islam sunnah atau mandub dalam fiqh adalah tuntutan untuk melakukan suatu
perbuatan karena perbuatan yang dilakukan dipandang baik dan sangat disarankan untuk
dilakukan. Orang yang melaksanakan berhak mendapat ganjaran tetapi bila tuntutan tidak
dilakukan atau ditinggalkan maka tidak apa-apa.
Hukum sunnah dilihat dari tuntutan melakukannya yakni:
- Sunnah muakkad: perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi di samping ada
keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu
misalnya sholat witir.
- Sunnah ghairu mu'akad yaitu sunnah yang dilakukan oleh nabi tapi nabi tidak
melazimkan dirinya untuk berbuat demikian seperti sunnah 4 rakat sebelum dzuhur
dan sebelum ashar.
- Sedangkan hukum sunnah jika dilihat dari kemungkinan untuk meninggalkannya
terbagi menjadi:
- Sunnah hadyu: perbuatan yang dituntut melakukannya kareba begitu besar faidah
yang didapat dan orang yang meninggalkannya tercela, seperti azan, sholat
berjamaah, sholat hari raya.
- Sunnah zaidah: sunnah yang apabila dilakukan oleh mukalaf dinyatakan baik tapi bila
ditinggalkan tidak diberi sanksi apapun. Misalnya mengikuti yang biasa dilakukan
nabi sehari-hari seperti makan, minum, dan tidur.
- Sunnah nafal: suatu perbuatan yang dituntut tambahan bagi perbuatan wajib seperti
sholat tahajud.
3. Haram.
Haram ialah sesuatu perbuatan yang jika dikejakan pasti akan mendapatkan siksaan dan
jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Contoh perbuatan yang memiliki hukum haram
adalah membunuh, mabuk, judi, dan sebagainya. Perbuatan makruh adalah suatu perbuatan
yang dirasakan jika meninggalkannya itu lebih baik dari pada mengerjakannya. Contoh dari
perbuatan makruh ini adalah memakai sutra atau cincin emas bagi laki-laki.
Muharram secara bahasa artinya mamnu' (yang dilarang). Menurut madzah hanafi,
hukum haram harus didasarkan dalil qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun
sehingga kita tidak mempermudah dalam menetapkan hukum haram, sebagaimana QS An
Nahl ayat 116.
Menurut Jumhur para ulama, hukum haram terbagi:
- Al Muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya
mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia. Contoh makan bangkai, minum
khamr, berzina.
- Al Muharram li ghairihi: sesuatu yang dilarang bukan karena essensinya tetapi karena
kondisi eksternal seperti jual beli barang secara riba.

4. Mubah.
Mubah adalah titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara
mengerjakan atau meninggalkan. Bila mengerjakan tidak diberi ganjaran. Ada yang
mengartikan bahwa mubah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama antara
mengerjakannya atau meninggalkannya. Contoh dari mubah adalah makan, minum, bermain
yang sehat dan sebagainya.
5. Makruh
Makruh secara bahasa artinya mubghadh (yang dibenci). Jumhur ulama mendefinisikan
makruh adalah larangan terhadap suatu perbuatan tetapi larangan tidak bersifat pasti, lantaran
tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Makruh dibagi 2 yakni:
- Makruh tahrim yakni sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti contohnya
larangan memakai perhiasan emas bagi laki-laki.
- Makruh tanzih yakni sesuatu yang diajurkan oleh syariat untuk meninggalkannya,
tetapi larangan tidak bersifat pasti contohnya memakan daging kuda saat sangat
butuh waktu perang.

2.4 Sasaran Hukum Islam


Hukum Islam memiliki tiga sasaran yaitu:
1. Penyucian jiwa, dimaksudkan agar manusia mampu berperan sebagai sumberkebaikan,
bukan sumber keburukan bagi masyarakan dan lingkungannya. Hal inidapat tercapai
apabila manusia dapat beribadah dengan benar yaitu hanya mengabdikepada sang
Pencipta, Pemilik, Pemeliharaan, dan penguasa Alam Semesta.
2. Menegakkan Keadilan Dalam Masyarakat, keadilan disini meliputi segala
bidangkehidupan manusia termasuk keadilan dari sisi hukum,sisi ekonomi, dan sisi
persaksian. Semua manusia akan dinilai dan diperlakukan Allah secara sama,
tanpamalihat kepada latar belakang strata sosial, agama, kekayaan, keturunan, dan
warnakulit.
3. Mewujudkan Kemaslahatan Manusia, semua ketentuan Al-Quran dan As-
Sunnahmempunyai mamfaat yang hakiki yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia,
dankarena Al-Quran berasal dari Allah yang sangat mengetahui tabiat dan
keinginanmanusia, dan As-Sunnah dari Rasul yang mendapat bimbingan rasul dari Allah
SWT.

2.5 Tujuan Syariah


Secara umum, maksud dan tujuan diturunkan syariat Islam adalah untuk mendatangkan
kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia. Konsep ini
dikenal dengan sebutan maqashid syar’iah. Maqashid Syaria’h berarti tujuan Allah dan Rasul-
Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-
Quran dan Sunnah Rasulullah saw sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yaang
berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Dalam kitabnya al-Mustashfa, Imam al-Ghazali menjelaskan konsep maqashid syariah.
Menurutnya, tujuan syara’ yang berhubungan dengan makhluk ada lima, yaitu menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Maka, setiap hal yang mengandung upaya menjaga lima
perkara pokok tersebut itu adalah maslahat. Sebaliknya, setiap hal yang tidak mengandung lima
perkara pokok tersebut adalah mafsadah, dan menolaknya termasuk maslahat.
Maslahat Islamiah yang diwujudkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan
berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu kepada
pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Ini
disebabkan dunia, tempat manusia hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar kehidupan yang lima
itu.Tanpa terpeliharanya hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara
sempurna.
Oleh karena itu, kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan terhadap
lima hal tadi. Agama, misalnya, merupakan keharusan bagi manusia. Dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia menjadi lebih tinggi derajatnya dari
derajat hewan. Sebab beragama adalah salah satu ciri khas manusia. Dalam memeluk suatu
agama, manusia harus memperoleh rasa aman dan damai, tanpa ada intimidasi. Islam dengan
peraturan-peraturan hukumnya melindungi kebebasan beragama.
Maka jelaslah bahwa dalam konsep maqashid syariah ada lima kebutuhan kehidupan
primer manusia yang mesti ada (ad-dharuriyyat al-khams) atau kini populer dengan sebutan
HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilindungi oleh syariat yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta.
Syariat diturunkan untuk memelihara kelima HAM tersebut. Pelanggaran terhadap salah satu
daripadanya dianggap sebagai suatu kriminal (jarimah).
Untuk menjaga kemaslahatan adh-dharuriyat al-khams atau HAM, Islam mensyariatkan
sanksi (uqubat) yang cukup tegas, yaitu hukuman hudud, qishash dan ta’zi,r demi menciptakan
kemaslahatan publik dan menolak kemudharatan. Hukuman murtad (had ar-riddah) yaitu
dibunuh, bertujuan untuk menjaga kemaslahatan agama, agar orang tidak mempermainkan agama
dengan seenaknya. Hukuman minum minuman keras (had al-khamr) yaitu cambuk delapan puluh
kali atau empat puluh kali bertujuan untuk menjaga akal agar tetap baik dan sehat.
Hukuman zina (had az-zina) yaitu seratus kali cambuk bagi yang belum kawin (ghair
muhshan) dan rajam bagi yang sudah kawin (muhshan) bertujuan untuk menjaga nasab dan
menghindari dari penyakit yang berbahaya. Hukuman tuduhan berzina (had al-qazf) yaitu
dicambuk delapan puluh kali bertujuan untuk menjaga kehormatan. Hukuman pencurian (had as-
sariqah) yaitu potong tangan bertujuan untuk menjaga harta. Dan hukuman pembunuhan dan
penganiayaan yaitu qishah (dibunuh atau dianiaya pula) bertujuan untuk menjaga jiwa manusia.
Oleh karena itu, dalam Islam dikenal beberapa jenis hukuman seperti potong tangan,
cambuk, rajam, qishah dan bunuh. Hukuman ini diberikan sesuai dengan jenis dan tingkatan
kriminalnya. Tujuan semua jenis hukuman ini adalah untuk menjaga kehormatan seseorang,
menjaga masyarakat dari kekacauaan dan prilaku buruk atau hina, mensucikan jiwa yang telah
ternoda dengan dosa, dan memelihara kemaslahatan asasi manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab,
dan harta.
Di samping itu tujuan utamanya yaitu untuk memberi efek jera dan pembelajaran
sehingga dapat mencegah perbuatan kriminal atau maksiat. Dengan demikian, maka jelaslah
bahwa hukuman dalam Islam bertujuan untuk menjaga dan melindungi HAM. Meskipun secara
kasat mata hukuman Islam terkesan kejam dan keras, namun sebenarnya syariat Islam dalam
menentukan hukuman lebih banyak bertujuan sebagai sarana untuk mencapai kemaslahatan
publik dan menjaganya. Hukuman yang ditetapkan untuk kriminal itu lebih bersifat preventif,
sehingga orang akan menahan diri dari melakukan hal itu. Hukuman tidak akan efektif bila hanya
sebatas melarang, tanpa ada sanksi yang tegas. Dengan kata lain, tanpa sanksi yang tegas dan
menjerakan, suatu aturan/hukum tidak punya konsekuensi apa-apa. Sebaliknya, bila disertai
dengan hukuman yang tegas dan keras , maka segala aturan baik bersifat perintah atau larangan
itu akan diperhitungkan dan memiliki arti. Inilah tabiat suatu hukuman.
Islam merupakan satu-satunya agama yang diakui dan dirihai Allah Swt kepada umat
manusia dan berlaku sepanjang zaman. Syariat Islam datang sebagai penyempurna sekaligus
penghapus syariat Nabi-Nabi sebelumnya yang hanya bersifat temporer dan teritorial. Sebagai
agama yang terakhir dan sempurna, Islam membawa misi perdamaian dan rahmatan
lil’alamin sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Anbiya’ ayat107: “Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Dan dalam surat Yunus ayat 57 Allah SWT juga berfirman: “Hai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-
penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Islam dan Syariat adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan sekaligus menolak
kemudharatan dalam kehidupan umat manusia. Konsep ini dikenal dengan maqashid syariah.
Maqashid Syariah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam.
Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw sebagai alasan
logis bagi rumusan suatu hukum yaang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Dengan
tujuan utama sebagai umat muslim agar mencapai Fallah.

3.2 Saran
Mohon maaf jika dalam makalah saya masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka
saya sarankan kepada para pembaca untuk membaca referensi lainnya agar para pembaca dapat
memahami lebih jauh dan memberikan wawasan yang lebih luas tentang Islam dan Syariah Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Jamal, Misbahuddin. 2011. “Konsep Al-Sislam Dalam Al-Qur’an”. Manado:STAIN.

Anonim. https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/islam/item248?. Diakses pada tanggal


22 Februari 2021

Anonim, http://staffnew.uny.ac.id/upload/132302946/pendidikan/Kerangka+Dasar+Ajaran+Islam.pdf.
diakses pada tanggal 22 Februari 2021

Anonim, https://news.detik.com/berita/d-5182191/arti-wajib-sunnah-makruh-mubah-dan-haram-dalam-
islam. dakses pada tanggal 22 Februari 2021

Anonim, https://www.kompas.com/skola/read/2020/06/09/140000069/sumber-hukum-pokok-ajaran-
islam?page=all. Diakss pada tanggal 22 Februari 2021

Anonim, https://id.scribd.com/document/362380779/Sasaran-Hukum-Islam-Syariah. Diakses pada


tanggal 22 Februari 2021

Anonim, https://juraganberdesa.blogspot.com/2019/10/tujuan-pelaksanaan-syariat-
islam.html#:~:text=(%20Yunus%20%3A%2057)-,Secara%20umum%2C%20maksud%20dan
%20tujuan%20diturunkan%20syariat%20Islam%20adalah%20untuk,dalam%20merumuskan
%20hukum%2Dhukum%20Islam.. Diakses pada tanggal 22 Februari 2021

Anda mungkin juga menyukai