EVI NURSARI
T P ER
U
T
T
AN
STI
IA N
IN
B
O G O R
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Evi Nursari
NIM A155150061
iv
RINGKASAN
EVI NURSARI. Alternatif Penerapan Tekhnik Konservasi Tanah dan Air dalam
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cilemer, Banten. Dibimbing oleh LATIEF
MAHIR RACHMAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Kata kunci : aliran permukaan, das, debit air, konservasi tanah dan air,
pengelolaan
v
SUMMARY
The watershed have an important role as a buffer for life the living things.
However, many watersheds have been degraded in quality. The phenomenon that
often occurs when the quality of watershed degraded is the occurrence of floods in
the rainy season and drought in the dry season. Flood is a routine problem that
happens every year in some districts in Banten Province, especially in the rainfall
event occur. One of them is the area passed by the Cilemer River. The Cilemer
basin is predominantly a lowland area prone to flooding. Cilemer Watershed is
one of the watersheds in Banten Province that has function as a source of
agricultural irrigation which should be maintained by its function and condition.
Application of Soil and Water Conservation (SWC) is one effective solution in
improving the quality of Cilemer watershed. The aims of the research are to
identify the hydrological conditions of Cilemer Watershed, to simulate several of
integrated watershed management techniques in improving the quality of the
watershed and providing the best watershed management direction or scenario.
The study used SWAT model as a tool to simulate SWC techniques in
Cilemer Watershed. There are 6 scenarios simulated in the study: strip cropping
(scenario 1), agroforestry (scenario 2), mini traditional reservoir (scenario 3), strip
cropping + agroforestry (scenario 4), strip cropping + mini traditional reservoir
(scenario 5), and agroforestry + mini traditional reservoir (scenario 6). The result
of SWC techniques simulation with SWAT model shows that scenario 6 is the
best watershed management scenario. Scenario 6 can reduce Qmax/Qmin ratio
much greater than the other scenarios i.e 34.57% from 119.70 (existing condition)
to 78.31. Scenario 6 is also able decreases the surface flow by 33.64%, where the
coefficient of runoff value decreases from 0.25 (existing condition) to 0.16. In
addition, scenario 6 can also increases base flow by 52.16% (from 357.55 mm to
544.07 mm) and water yield by 4.16%. Water yield increases from 904.55 mm
(existing condition) to 943.68 mm.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
EVI NURSARI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc
x
PRAKATA
Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis dengan judul “Alternatif Penerapan Tekhnik Konservasi
Tanah dan Air dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cilemer, Banten”.
Penelitian ini dilaksanakan sejak Bulan Januari hingga Agustus 2017 di DAS
Cilemer.
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr Ir Latief M. Rachman, MSc MBA sebagai dosen pembimbing pertama dan
Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc sebagai dosen pembimbing kedua yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
2. Dr Ir Suria Darma Tarigan selaku dosen penguji yang telah memberikan saran
dan masukannya kepada penulis dalam penulisan tesis ini.
3. Bapak dan Ibu serta seluruh keluarga Penulis yang telah mendoakan dan
memberikan dukungan serta kasih sayangnya kepada penulis.
4. Dosen-Dosen Pengajar yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Bapak Isvan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),
Bapak Hardi dari Balai PSDA WS Ciliman-Cisawarna, Badan Klimatologi
dan Meteorologi Kelas 1 Serang, Badan Planologi Kementerian Kehutanan
dan Lingkungan Hidup, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian yang telah memberikan data penelitian.
6. Teman – teman dari Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS dan program studi
lain di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah
memberikan motivasi kepada penulis.
7. Teman-teman kosan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan tesis ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis dengan tulus mengharapkan saran dan
kritik dari pembaca sehingga dapat digunakan untuk pengembangan lebih lanjut.
Akhir kata semoga tesis ini dapat berguna bagi pembacanya. Khususnya
para mahasiswa mendatang yang melakukan penelitian pada kajian yang sama.
Terimakasih.
Evi Nursari
xi
DAFTAR ISI
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Siklus Hidrologi 5
Daerah Aliran Sungai 6
Pengelolaan DAS Terpadu 6
Konservasi Tanah dan Air 7
Kinerja DAS 9
Soil and Water Assessment Tool (SWAT) 10
3 METODE PENELITIAN 11
Waktu dan Lokasi Penelitian 11
Alat dan Bahan 12
Prosedur Penelitian 13
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
adalah upaya untuk mengawetkan air di dalam tanah, dimana pada saat hujan, air
diusahakan masuk ke dalam tanah dan ditahan di dalam tanah sehingga bisa
dimanfaatkan pada saat musim kemarau (Arsyad 2006).
Berbagai metode KTA baik berupa metode vegetatif, kimia, maupun mekanik
dalam upaya pengelolaan DAS sudah banyak dikembangkan. Namun, menurut
Kustamar (2013) perpaduan antara ketiga metode tersebut pada umumnya sangat
efektif dalam mengendalikan banjir. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan
simulasi teknik KTA sebagai upaya pengelolaan DAS guna mencari pengelolaan DAS
terbaik yang dapat diterapkan di DAS Cilemer.
Perumusan Masalah
Kerangka Pemikiran
Penurunan kualitas DAS terjadi karena adanya perubahan tata guna lahan
dan fungsi kawasan serta praktek pertanian tanpa mengindahkan kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air di hulu DAS. Disamping itu, adanya perubahan iklim
global yang menyebabkan curah hujan yang ekstrim menambah memperburuk
kondisi DAS. Penurunan kualitas DAS ditandai dengan tingginya rasio debit
maksimum dan minimum, dimana debit maksimum semakin tinggi sementara
debit minimum semakin rendah.
Tingginya debit maksimum menunjukkan bahwa banyaknya hujan yang
jatuh menjadi aliran permukaan yang nantinya mengalir ke sungai, dan apabila
daya tampung air sungai semakin berkurang akibat adanya sedimentasi, air sungai
akan meluap dan terjadi banjir. Sementara rendahnya debit minimum
menunjukkan bahwa cadangan air bawah tanah dalam suatu DAS rendah akibat
banyaknya air hujan yang jatuh tidak teresapkan ke dalam tanah secara optimal
sehingga pada musim kemarau terjadi kelangkaan air sungai. Hal tersebut
menyebabkan pasokan air sungai untuk beberapa keperluan salah satunya untuk
irigasi pertanian menjadi berkurang.
Perlu adanya upaya pengelolaan DAS dalam pengendalian banjir serta
untuk peningkatan pasokan air irigasi pertanian, salah satunya dengan penerapan
tekhnik Konservasi Tanah dan Air (KTA). KTA memiliki beberapa metode yang
memiliki keunggulan yang berbeda-beda yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan kualitas DAS sehingga banjir dapat dikendalikan dan pasokan air
untuk irigasi pertanian meningkat (Gambar 1).
Tujuan
Manfaat
Penerapan Konservasi
Tanah dan Air
Simulasi skenario
pengelolaan DAS dalam
peningkatan kualitas DAS
2 TINJAUAN PUSTAKA
Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi merupakan peristiwa yang berulang dimana air yang jatuh
ke bumi dalam bentuk hujan, salju dan embun akan mengalami berbagai
peristiwa, kemudian akan menguap ke udara menjadi awan dan dalam bentuk
hujan, salju dan embun jatuh kembali kebumi (Arsyad 2006). Peristiwa yang
terjadi pada saat hujan turun adalah
1. Intersepsi (interception), merupakan bagian hujan yang jatuh dan ditahan pada
permukaan vegetasi. Air hujan yang tertahan dipermukaan vegetasi sebagian
akan menguap ke udara dan sebagian lagi akan jatuh langsung ke permukaan
tanah melalui ruang antar tajuk disebut lolosan tajuk (through fall), dan juga
mengalir melalui batang sampai permukaan tanah disebut aliran batang (strem
flow).
2. Surface detention, merupakan penambatan aliran permukaan tanah dimana air
dalam proses ini tidak akan terserap kedalam tanah.
3. Depression storage, simpanan permukaan tanah yang mengisi cekungan
tanah.
4. Aliran permukaan (surface runoff/over land flow), merupakan air yang
mengalir di permukaan tanah
5. Infiltrasi (infiltration), merupakan peristiwa masuknya air ke dalam tanah
6. Perkolasi, merupakan pergerakan air di dalam tanah secara vertikal
7. Aliran lateral (inter flow) merupakan air yang mengalir di bawah permukaan
tanah
8. Aliran dasar (base flow/ground water flow) merupakan aliran bawah tanah
yang masuk ke dalam sungai, waduk, danau atau laut.
9. Evapotranspirasi (evapotranspiration) terdiri dari evaporasi dan transpirasi,
evaporasi merupakan peristiwa menguapnya air hujan dari permukaan tanah
atau air, sementara transpirasi peristiwa menguapnya air dari permukaan
vegetasi.
Menurut PP No. 37 Tahun 2012, daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Fungsi DAS didefinisikan sebagai suatu keadaan bagaimana kondisi suatu
lanskap mempengaruhi kualitas, kuantitas dan periode waktu suatu aliran sungai
(atau air tanah), yang secara rinci dapat dijabarkan bagaimana suatu lanskap
mempengaruhi: (1) transmisi/proses aliran sungai, (2) kemampuan menyangga
dan (3) pelepasan secara perlahan-lahan curah hujan yang disimpan di tanah, (4)
kualitas air dan (5) menjaga keutuhan tanah pada DAS. Kelima kriteria tersebut
terangkum dalam indikator-indikator kuantitatif berikut, yang dapat diterapkan
dalam menilai DAS pada skala yang berbeda (Rahayu 2009).
Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi
menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik daerah hulu dicirikan
oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan
drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih besar
(>15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.
Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan
daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah kemiringan
lereng kecil sampai dengan sangat kecil (<8%), pada beberapa tempat merupakan
daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi,
dan jenis vegetasi didominasi hutan bakau/gambut (Asdak 2007).
Menurut Asdak (2007), dari segi fisik indikator untuk mengetahui normal
tidaknya suatu DAS dapat dilihat dari beberapa hal, dimana suatu DAS
dikategorikan dalam kondisi baik apabila memiliki ciri sebagai berikut :
a. Koefisien air larikan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya air
larikan terhadap besarnya curah hujan, berfluktuasi secara normal, dalam
artian nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan cenderung kurang
lebih sama dari tahun ke tahun.
b. Nisbah debit maksimum dan minimum (Q max/Q min) relatif stabil dari
tahun ke tahun.
c. Tidak banyak terjadi perubahan koefisien arah pada kurva kadar lumpur (Cs)
terhadap debit sungai (Q).
Konservasi tanah dan air mengandung dua pengertian yaitu konservasi tanah
dan konservasi air. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan sebidang tanah pada
cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Sementara konservasi air adalah perilaku yang disengaja dengan
tujuan mengurangi penggunaan air segar, melalui metode teknologi atau perilaku sosial.
Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah
seefisien mungkin untuk pertanian dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir
yang dapat merusak serta tersediannya air pada musim kemarau (Arsyad 2006).
Menurut Arsyad (2006) teknik atau metode konservasi tanah dan air dapat
dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu: (1) teknik konservasi vegetatif (metode
vegetatif), sering juga disebut sebagai teknik konservasi (metode) biologi; (2) teknik
konservasi mekanik (metode mekanik), disebut juga sebagai teknik konservasi sipil
teknis; dan (3) teknik konservasi kimia (metode kimia). Banyak cara konservasi tanah
dan air yang tergolong ke dalam pengendalian erosi secara sipil teknis, tetapi yang
sering dilakukan oleh petani hanya beberapa saja, yaitu teras gulud dan teras bangku.
8
Kinerja DAS
Komponen Hidrograf
area DAS yang kompleks dengan mempertimbangkan variasi jenis tanahnya, tata
guna lahan, serta kondisi manajemen suatu DAS setelah melalui periode yang
lama (Neitsch et al. 2012).
SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model terdistribusi
yang terhubung dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan mengintegrasikan
Spatial DSS (Decision Support System). Model SWAT dioperasikan pada interval
waktu harian dan dirancang untuk memprediksi dampak jangka panjang dari
praktek pengelolaan lahan terhadap sumber daya air, sedimen dan hasil
agrochemical pada DAS besar dan komplek dengan berbagai skenario tanah,
penggunaan lahan dan pengelolaan berbeda (Pawitan 2004).
SWAT memungkinkan sejumlah proses fisik yang berbeda untuk
disimulasikan pada suatu DAS. Penggunaan model SWAT dapat
mengidentifikasi, menilai, mengevaluasi tingkat permasalahan suatu DAS dan
sebagai alat untuk memilih tindakan pengelolaan dalam mengendalikan
permasalahan tersebut. Dengan demikian, diharapkan dengan penggunaan model
SWAT dapat dikembangkan beberapa skenario guna menentukan kondisi
perencanaan pengelolaan DAS terbaik. Penggunaan model SWAT dapat
digunakan pada beberapa fase pengelolaan DAS (Junaidi dan Tarigan 2012).
SWAT yang diintegrasikan dengan Sistem Informas Geografis (SIG) dapat
digunakan untuk mempelajari pengaruh metode yang berbeda pada manajemen
sedimen suatu DAS. Selain itu, dapat digunakan untuk mempelajari strategi untuk
pengelolaan sumber daya air serta dapat memberikan rekomendasi bagi para
pembuat kebijakan sebagai alat pendukung keputusan untuk mengevaluasi biaya
dan manfaat dari mengadopsi Manajemen Best Practices (BMP) terutama untuk
kontrol sedimen erosi pada DAS rawan (Adeougun et al. 2016).
3 METODE PENELITIAN
Titik Outlet
Kadubera
Gambar 4 Peta lokasi penelitian di DAS Cilemer (Sumber: Dinas PUPR, Banten)
Prosedur Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari tahap
pengumpulan data sekunder, survei lapang (pengumpulan data primer), analisis data,
running model, simulasi KTA, dan skenario pengelolaan DAS. Adapun diagram alir
penelitian disajikan pada Gambar 5.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder
diperoleh dari lembaga atau instansi terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Banten, Balai PSDA Wilayah Sungai Ciliman-
Ciwasarna, Badan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan
Meterologi dan Klimatologi Kota Serang. Disamping itu ada beberapa data diperoleh
yang diunduh dari internet.
Mulai
Pengumpulan data
Analisis Data
Analisis Data
1. Identifikasi Kondisi Hidrologi DAS Cilemer
Ada beberapa parameter hidrologi yang dianalisis untuk melihat kondisi
hidrologi DAS Cilemer yaitu:
a. Koefisien Regim Aliran (KRA)
Menurut Dirjen RLPS (2014) dalam Permenhut No.61 tahun 2014 bahwa
kriteria kualitas DAS berdasarkan rasio debit maksimum dan minimum ditunjukan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Kriteria kualitas DAS berdasarkan nilai KRA
Kategori KRA Klasifikasi DAS
Sangat Rendah ≤20 Sangat baik
Rendah 20-50 Baik
Sedang 50-80 Sedang
Tinggi 80-110 Buruk
Sangat Tinggi >110 Sangat Buruk
b. Koefisien Aliran Tahunan (KAT)
( )
( )
Menurut Permenhut No.61 tahun 2014 bahwa kriteria kualitas DAS
berdasarkan Koefisien Aliran Tahunan ditunjukan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kriteria kualitas DAS berdasarkan nilai KAT
Kategori KAT Klasifikasi DAS
Sangat Rendah ≤0.2 Sangat baik
Rendah 0.2-0.3 Baik
Sedang 0.3-0.4 Sedang
Tinggi 0.4-0.5 Buruk
Sangat Tinggi >0.5 Sangat Buruk
( ) dx84600
Dimana:
Q : debit rata-rata (m3/det)
d : jumlah hari dalam satu bulan
dimana:
KAI : kebutuhan air irigasi (liter/detik)
Etc : kebutuhan air konsumtif (mm/hari)
IR : kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm/hari)
WLR : kebutuhan air untuk mengganti lapisan air (mm/hari)
P2 : perkolasi (mm/hari)
Re : curah hujan efektif (mm/hari)
IE : efisiensi irigasi (%)
A1 : luas areal irigasi (ha)
2. Kebutuhan Air Domestik (Qd)
Kebutuhan air domestik merupakan air yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari baik untuk mandi, minum, memasak, dan
lain-lain. Adapun perhitungan untuk menghitung kebutuhan air domestik adalah
semusim diselingi dengan tanaman cover crop (penutup tanah) dengan lebar strip
berkisar 20-50 cm. Ada berbagai macam metode strip cropping diantaranya
contour strip cropping, field strip cropping dan buffer strip cropping. Praktek
KTA ini biasanya diterapkan pada lahan pertanian kering atau tegalan dengan
kemiringan yang tidak terlalu curam. Mengingat sebagian besar topografi di DAS
Cilemer adalah datar sampai landai sehingga cocok untuk diterapkan metode KTA
strip cropping terutama contour strip cropping. Praktek KTA ini memiliki
keunggulan dari segi biaya penerapannya cukup murah sehingga bisa diterapkan
oleh semua petani, dapat meningkatkan nutrisi tanah karena tanaman penutup
tanah yang digunakan dapat berfungsi sebagai pupuk hijau. Selain itu, adanya
tanaman penutup tanah dapat meminimalisir pukulan air hujan yang dapat
merusak partikel tanah, air hujan akan lebih banyak terinfiltrasikan kedalam tanah
sehingga mengurangi aliran permukaan.
bawah tanah. Sistem agroforestri merupakan suatu metode KTA yang sudah
familiar bagi masyarakat Banten khususnya Banten Selatan. Menurut Senoaji
(2012) agroforestri di Banten Selatan berupa kebun sengon campuran telah
menjadi budaya khususnya bagi masyarakat Baduy Luar.
3. Pengelolaan DAS dengan pembangunan embung (metode sipil teknis)
Sesuai rakernas pertanian tahun 2017, pemerintah mentargetkan akan
membuat 30.000 unit embung di seluruh Indonesia termasuk di Provinsi Banten
guna mendukung pertanian dan ketersediaan air baku pertanian. Oleh sebab itu,
dalam penelitian ini diusulkan embung sebagai salah satu pengelolaan DAS untuk
melihat bagaimana dampak penerapan embung terhadap peningkatan kualitas
DAS khususnya dalam dalam menurunkan Koefisien Aliran Tahunan (KAT) dan
Koefisien Rejim Aliran (KRA). Embung merupakan kolam yang berfungsi
menampung air saat musim hujan. Limpasan air dari hujan ditampung ke dalam
embung melalui saluran-saluran air untuk persediaan air di musim kemarau
(Balitbang Pertanian 2017).
300 m3 yang bisa mengairi lahan sekitar 0,5-1 ha (Puslitbang Tanamana Pangan,
1994). Lokasi penetapan embung diarahkan pada daerah cekungan tempat
mengalirnya aliran permukaan, pada tanah bukan berpasir dan porous (mudah
meresapkan air) karena air cepat hilang. Skenario embung diterapkan pada lahan
pertanian dengan kemiringan 0-15%. Parameter yang disesuaikan untuk skenario
ini adalah PND_PSA (luas area permukaan embung), PND_VOL (Volume
embung) (Almendinger et al. 2010). Selain itu, parameter CN2 (Curve Number)
turut dirubah dan disesuaikan. Luas areal yang disimulasikan dengan skenario 3
adalah 10 913 ha.
Skenario 4 : gabungan skenario 1 dan 2
Skenario ini merupakan merupakan gabungan dari penerapan KTA strip cropping
(metode contour strip cropping) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering
dan lahan kering campur dengan kemiringan 0-15% dengan agroforestri (metode
alley crooping) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering dan lahan kering
campur dengan kemiringan 15-45%. Parameter model SWAT yang dirubah
dengan adanya skenario ini adalah STRIP_CN, STRIP_P, STRIP_C, CN2
agroforestri, SOL_C, dan SOL_BD. Luas areal yang disimulasikan dengan
skenario 4 adalah 15 852 ha.
Skenario 5: gabungan skenario 1 dan 3
Skenario ini merupakan merupakan gabungan dari penerapan KTA strip cropping
(metode contour strip cropping) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering
dan lahan kering campur dengan kemiringan 0-15% dengan embung pada lahan
pertanian dengan kemiringan 0-15% dipilih pada tanah bukan berpasir. Parameter
model SWAT yang dirubah dengan adanya skenario ini adalah STRIP_CN,
STRIP_P, STRIP_C, PND_PSA, PND_VOL, CN2 agroforstri. Luas areal yang
disimulasikan dengan skenario 5 adalah 13 852 ha.
Scenario 6: gabungan skenario 2 dan 3
Skenario ini merupakan merupakan gabungan dari penerapan KTA agroforestri
(metode alley crooping) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering dan lahan
kering campur dengan kemiringan 15-45% dengan embung pada lahan pertanian
dengan kemiringan 0-15% dipilih pada tanah bukan berpasir. Parameter model
SWAT yang dirubah dengan adanya skenario ini adalah CN2 agroforestri,
SOL_C, dan SOL_BD PND_PSA, PN_VOL, CN2 embung. Luas areal yang
disimulasikan dengan skenario 6 adalah 12 912 ha.
2. Curah Hujan
Curah hujan yang turun selama enam tahun (2009-2015) di DAS Cilemer, rata-
rata curah hujan bulanan terendah jatuh pada Bulan Agustus yaitu sebesar 66 mm,
sementara tertinggi jatuh pada Bulan Januari yaitu sebesar 550 mm. Menurut
klasifikasi Oldeman, curah hujan yang jatuh di DAS Cilemer memiliki Bulan Kering
(<100mm) 2 bulan berturut-turut yaitu Bulan Agustus-September, Bulan Lembab (100-
200mm) terjadi 4 bulan yaitu Mei-Juli, dan Oktober, kemudian Bulan Basah (>200mm)
terjadi 6 bulan yaitu Januari-April, dan November-Desember. Sehingga berdasarkan
kondisi tersebut DAS Cilemer diklasifikasikan kedalam iklim C2 (Gambar 10).
600
500
Curah Hujan (mm)
400
300
200
100
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
Bulan
Sedangkan curah hujan rata-rata tahunan yang jatuh di DAS Cilemer tertinggi
terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 3 666 mm, sementara terendah terjadi pada tahun
2015 yaitu sebesar 2234 mm (Gambar 11).
4000 3666 3597
3119
Curah hujan (mm)
2745 2656 2805
3000 2234
2000
1000
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tahun
mampu menahan dan menyimpan air hujan yang jatuh dan air limpasannya
banyak yang terus masuk ke sungai dan terbuang ke laut sehingga ketersediaan air
di DAS saat musim kemarau sedikit (Dirjen RLPS 2014).
b. Kebutuhan Air
Sumber daya air di DAS Cilemer digunakan untuk berbagai sektor diantaranya
pertanian, domestik, peternakan, industri dan penggelontoran/pemeliharaan sungai.
Dari ke lima sektor tersebut, penggunaan air untuk sektor pertanian merupakan yang
paling besar dengan rata-rata pemakaian sebesar 143 274 732 m3/tahun, sementara
penggunaan air untuk sektor peternakan merupakan yang paling rendah dengan rata-
rata pemakaian sebesar 934 300 m3/tahun. Total kebutuhan air tertinggi selama lima
tahun (2011-2015) terjadi pada tahun 2015 dengan besaran pemakaian sebesar 215 089
933 m3/tahun, sementara total kebutuhan air terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar
212 076 335 m3/tahun (Tabel 8).
26
B. Satuan Tanah
Satuan tanah di DAS Cilemer hasil delineasi dari Titik Outlet Kadubera
terdapat 9 jenis satuan tanah, dimana setiap satu satuan tanah (soil great group) terdiri
dari tiga sampai dua macam tanah (Tabel 12). Kelompok satuan tanah Tropudults dan
Tropudalfs mendominasi Wilayah DAS Cilemer dengan luasan sebesar 5 445 ha
(28.44% dari total luasan), sementara kelompok satuan tanah Tropudults, Dystropepts
dan Eutropepts memiliki luasan terkecil dengan luasan sebesar 518 ha (1.85% dari total
luasan).
Tabel 12 Luas dan presentase satuan tanah DAS Cilemer
Kode
No Soil great group Luas (ha) %
SWAT
1. Dystrandepts; Humitropepts; Hydrandepts TDHH 3 679 16.70
2. Dystrandepts; Tropudults; Eutropepts TDTE 570 2.04
3. Dystropepts; Dystrandepts; Tropudults; TDDT 1 369 4.89
4. Dystropepts; Eutropepts; Tropudalfs; TDET 1 292 4.61
5. Tropaquepts; Fluvaquents; Tropohemists TTFT 2 505 8.94
6. Tropudalfs; Eutropepts; Tropaquepts TTET 5 445 19.43
7. Tropudalfs; Tropudults TTAT 3 668 13.09
8. Tropudults; Dystropepts; Eutropepts TTDE 518 1.85
9. Tropudults; Tropudalfs TTUT 7 969 28.44
Jumlah 28 019 100
C. Kelerengan
Kelas lereng DAS Cilemer terbagi ke dalam lima kelas yaitu 0-8%, 8-15%, 15-
25%, 25-45%, dan >45%. Hasil analisis HRU menunjukkan bahwa kelas lereng 0-8%
yang diklasifikasikan datar mendominasi wilayah DAS Cilemer dengan luasan sebesar
17 648 ha (62.99%), sedangkan kelas lereng >45% yang diklasifikasikan sangat curam
hanya sedikit dengan luasan sebesar 378 ha (%).
Tabel 13 Luas dan presentase kelerengan DAS Cilemer
No Kelas Lereng Klasifikasi Luas(ha) %
1. 0-8 % Datar 17 648 62.99
2. 8-15% Landai 5 889 21.02
3. 15-25% Agak Curam 2 552 9.11
4. 25-45% Curam 1 550 5.53
5. >45% Sangat Curam 378 1.35
Total 28 019 100
pedoman lainnya dalam rentang nilai parameter yang masuk akal; dan (5) ulangi
prosesnya sampai menemukan hasil terbaik. Shanthi et al. (2001) juga mengusulkan
pendekatan kalibrasi manual dimana berdasarkan hasil penelitiannya didapatkan 15
fungsi parameter yang sensitif dengan rentang ketidakpastian yang realistis dan hasil R2
dan NSE yang memuaskan.
Sebelum dilakukan proses kalibrasi hasil model SWAT berdasarkan nilai NSE
dan R2 masing-masing adalah -0.45 dan 0.39 yang dikategorikan belum memuaskan
(Gambar 16).
Debit Simulasi Debit Observasi Curah Hujan
350 0
Debit (m3/detik)
300 100
Waktu
Gambar 16 Perbandingan debit simulasi dan debit observasi sebelum kalibrasi
Berdasarkan nilai NSE dan R2 yang didapat sebelum kalibrasi maka dapat
dinyatakan model belum bisa digunakan untuk simulasi KTA sehingga perlu dilakukan
proses kalibrasi karena masih < 0.5.
250 y = 0,5267x
Debit simulasi (m3/det)
R² = 0,3875
200
150
100
50
0
0 50 100 150 200 250
Debit Observasi (m3/det)
Gambar 17 Perbandingan debit simulasi dan debit observasi dalam bentuk scatter plot
sebelum kalibrasi
Proses kalibrasi dalam penelitian ini menggunakan data debit aliran tahun 2013
dari hasil pengamatan Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) Kadubera di DAS
Cilemer. Adapun parameter yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 14
parameter yaitu CH_K(2), CH_N(2), GW-DELAY, GW_QMIN, ALPHA_BNK,
ALPHA_BF, ESCO, EPCO, CN2, REVAPMN, RCHRG_DP, OV_N, GW_REVAP,
SHALLST. Parameter-parameter tersebut dipilih berdasarkan acuan dari beberapa
penelitian sebelumnya (Tabel 14).
Parameter-parameter yang dipilih untuk proses kalibrasi mengacu pada
beberapa penelitian sebelumnya dimana parameter tersebut sering digunakan dalam
32
proses kalibrasi karena sensitif seperti halnya yang dilakukan oleh Sulaeman (2016),
dalam proses kalibrasinya menggunakan parameter diantaranya dimulai dari yang
paling sensitif yaitu CN2, SHALLST, SURLAG, GWQMN, ESCO, RCHRG_DP,
ALPHA_BNK, GW_REVAP, EPCO, CH_N(2), CH_K(2), ALPHA_BF, OV_N,
GW_DELAY, dan REVAPMN.
Tabel 14 Paramater-parameter yang dimasukan kedalam proses kalibrasi
Satuan Nilai Nilai Nilai yang
No Parameter Keterangan
Min Max Digunakan
1 Esco Faktor kompensasi 0.01 0.5 0.3
evaporasi tanah -
2 Epco Faktor kompensasi 0.5 1 0.98
uptake tanaman -
3 Ov-n Nilai koefisien 0.01 0.48 *0.012-0.41
-
manning
4 Gw Delay Waktu delay air bawah Hari 100 150 90
tanah
5 Alpha bnk Faktor alpha base flow 0 0.9 0.25
Hari
untuk “bank storage”.
6 Alpha Bf Faktor alpha base flow Hari 0.1 0.848 0.5
7 Ch_k(2) Konduktivitas hidrolik 11 100 90
-
pada saluran utama
8 Ch_n(2) Koefisein kekasaran 0.03 0.065 0.03
manning untuk saluran mm/jam
utama
9 Gw Qmin Batas kedalaman air 500 3000 3500
pada aquifer dangkal
yang dibutuhkan untuk mmH2O
kembali terjadinya
aliran
10 Rchrg_Dp Fraksi perkolasi 0 0.2 0.08
-
aquifer dalam
11 Gw revap Koefisien revap air 0 0.2 0.15
bawah tanah -
12 Shallst Kedalaman aquifer mmH2O 1000 4000 3000
dangkal
13 Revapmn Batas kedalaman air di 20 500 500
aquifer dangkal untuk mmH2O
terjadinya “revap”
14 CN2 Bilangan kurva aliran 45 94 *45-92
permukaan pada
-
kondisi kelembaban
tanah kondisi II
* Berdasarkan penggunaan lahan
Van Liew et al. dalam Feyereisen et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat
beberapa kelompok parameter yang berpengaruh terhadap respon aliran permukaan,
aliran bawah permukaan dan basin. Kelompok yang berpengaruh terhadap respon
33
100
150 200
300
Debit (m3/det)
100 400
50 500
600
0 700
Waktu
Gambar 18 Perbandingan debit observasi dan simulasi DAS Cilemer hasil kalibrasi
model SWAT (tahun 2013)
35
120
y = 0,9312x
Gambar 19 Perbandingan debit observasi dan simulasi DAS Cilemer hasil kalibrasi
model SWAT dalam bentuk scatter plot
350 0
250 200
200 300
150 400
100 500
50 600
0 700
Waktu
Gambar 20 Perbandingan debit observasi dan simulasi DAS Cilemer hasil validasi
model SWAT (tahun 2015)
70
y = 0,8603x
60 R² = 0,5503
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Gambar 21 Perbandingan debit observasi dan simulasi DAS Cilemer hasil validasi
model SWAT dalam bentuk scatter plot
36
Neraca Air
Hasil neraca air berdasarkan simulasi model SWAT tahun 2013-2015
menunjukkan bahwa jumlah air hujan yang jatuh sebesar 2 385.1 mm sebagian besar
terevapotranspirasikan sekitar 46.92% (1 119 mm), kemudian menghasilkan air (water
yield) sebanyak 854.49 mm (35.85%). Hasil air tersebut terdiri limpasan permukaan
sebesar 27.73% (653.98 mm), aliran lateral (inter flow) sebesar 6.30% (148.56 mm)
dan aliran bawah tanah (base flow) sebesar 1.82% (42.95 mm). Kemudian air hujan
yang jatuh terdistribusi pula untuk perkolasi sebesar 21.39% (504.55 mm), mengisi
akuifer dalam sebesar 3.21% (75.68 mm). Hasil neraca air ditunjukkan pada Gambar
22.
Proporsi evapotranspirasi yang lebih tinggi dikarenakan penggunaan lahan di
DAS Cilemer yang didominasi oleh lahan pertanian. Lahan pertanian di DAS Cilemer
sebagian besar lahan kering dimana rendah akan naungan sehingga pada saat kondisi
ketersediaan air tanah tak terbatas makan proses evaporasi akan maksimum. Disamping
itu pula, tingginya jumlah air yang digunakan tanaman untuk proses transpirasi.
tinggi yaitu sebesar 119.70 (klasifikasi DAS tergolong sangat buruk) dengan nilai
debit maksimum sebesar 41.08 m3/det, dan debit minimum sebesar 0.34 m3/det
(Tabel 16).
Tabel 16 Fluktuasi debit aliran (m3/det) DAS Cilemer tahun 2015 berdasarkan
model SWAT
Debit Debit Debit
Bulan Rata- Harian Harian KRA
rata Maksimum Minimum
1 24.84 40.39 11.48 3.52
2 14.54 31.48 9.45 3.33
3 12.62 26.20 9.16 2.86
4 8.73 16.82 6.68 2.52
5 16.30 41.08 5.14 8.00
6 4.53 5.06 4.03 1.26
7 3.26 3.96 2.43 1.63
8 1.62 2.37 1.14 2.07
9 0.83 1.12 0.62 1.82
10 0.48 0.61 0.39 1.57
11 0.45 1.17 0.34 3.39
12 12.68 38.85 1.11 35.16
8.41 41.08 0.34 119.70
1. Debit Maksimum
Debit maksimum menggambarkan kondisi ketersediaan air pada musim
penghujan yang dijadikan sebagai indikator penting untuk menilai karakteristik
hidrologi banjir dari suatu sungai (Pawitan 2003). Debit maksimum tertinggi di
DAS Cilemer menurut model SWAT terjadi pada Bulan Mei sebesar 41.08
m3/det, sementara debit maksimum terendah terjadi pada Bulan Oktober yaitu
sebesar 0.61 m3/det. Tingginya debit harian maksimum pada Bulan Mei
mengindikasikan bahwa curah hujan pada Bulan Mei tahun 2015 cukup tinggi
sehingga menghasilkan debit maksimum paling tinggi, sementara redahnya debit
maksimum pada Bulan Oktober menunjukkan bahwa curah hujan yang terjadi
pada Bulan Oktober 2015 cukup rendah.
2. Debit Minimum
Debit minimum menyatakan kondisi ketersediaan air pada musim kering
yang tentunya harus digunakan terbatas untuk jenis penggunaan air tertentu saja,
seperti penggunaan domestik dan industri, dan tidak untuk pertanian (Pawitan
2003). Hasil simulasi model SWAT menunjukkan bahwa debit minimum tertinggi
terjadi pada Bulan Januari sebesar 11.48 m3/det, sementara debit minimum
terendah terjadi pada Bulan November yaitu sebesar 0.34 m3/det. Tingginya nilai
debit minimum pada Bulan Januari disebabkan karena Bulan Januari merupakan
musim penghujan sehingga debit harian minimumnya cukup tinggi, sementara
Bulan November merupakan bulan peralihan antara musim kemarau ke penghujan
sehingga nilai debit minimumnya tidak begitu tinggi.
40
Tabel 18 Aliran permukaan pada tiap sub basin pada tahun 2015 berdasarkan model
SWAT
Curah Aliran Aliran Aliran Water
Sub
Hujan Permukaan Lateral DRO KAT Dasar Yield
Basin
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
1 2 063.45 525.10 12.04 537.14 0.26 352.75 949.23
2 2 037.52 478.98 15.31 494.29 0.24 334.89 888.39
3 2 087.53 220.94 18.36 239.29 0.11 656.35 981.01
4 2 093.79 686.36 3.31 689.67 0.33 340.88 1 085.97
5 1 776.90 378.83 13.84 392.66 0.22 528.61 994.25
6 2 093.79 434.80 16.31 451.12 0.22 436.34 950.84
7 2 093.79 525.87 11.41 537.28 0.26 372.69 969.16
8 2 093.79 603.95 10.50 614.44 0.29 388.10 1 062.90
9 2 093.79 603.84 8.64 612.49 0.29 320.52 987.94
10 2 093.79 562.04 10.79 572.83 0.27 389.77 1 022.64
11 1 699.04 441.96 9.01 450.97 0.27 44.67 495.64
12 2 041.35 444.46 10.41 454.87 0.22 476.82 1 000.74
13 2 093.79 434.60 11.19 445.80 0.21 444.33 956.87
14 1 699.04 447.63 8.37 456.00 0.27 41.99 497.99
15 2 019.89 348.17 8.46 356.63 0.18 506.77 933.76
16 1 877.45 437.71 10.09 447.80 0.24 466.90 982.39
17 2 070.53 460.75 7.53 468.28 0.23 392.40 921.37
18 1 699.04 426.56 7.41 433.97 0.26 40.62 474.59
19 1 699.04 424.41 10.60 435.01 0.26 41.32 476.33
20 2 000.78 527.31 8.42 535.73 0.27 419.74 1018.87
21 2 000.78 617.97 8.56 626.53 0.31 370.36 1053.38
22 1 944.02 335.97 9.30 345.27 0.18 604.56 1032.04
23 2 000.78 553.67 7.70 561.37 0.28 370.04 992.75
24 1 968.31 495.47 8.73 504.20 0.26 408.49 980.22
Total 1 972.58 475.72 10.26 485.98 0.25 357.55 904.55
Dilihat dari nilai aliran dasarnya, sub basin yang menghasilkan aliran dasar
paling tinggi adalah sub basin 3 yaitu sebesar 656.35 mm. Tingginya aliran dasar
menggambarkan bahwa ketersediaan air pada musim kemarau di sub 3 cukup tinggi.
Tingginya aliran dasar pada sub basin 3 dikarenakan sebagian besar penggunaan
lahannya adalah hutan tanaman. Penggunaan lahan hutan dapat memperbaiki sifat fisik
tanah sehingga air hujan yang jatuh dapat terinfiltrasi lebih banyak mengisi cadangan
air bawah tanah. Sementara sub basin 17 menghasilkan aliran dasar paling rendah yaitu
sebesar 40.62 mm, mengingat sebagian besar penggunaan lahannya adalah pertanian
campuran, dimana air hujan yang jatuh lebih banyak menjadi aliran permukaan dan
sedikit yang terinfiltrasi dan menjadi aliran dasar.
43
Skenario Teknik Konservasi Tanah dan Air terhadap Respon Hidrologi DAS
Cilemer
- Skenario 2
Hasil simulasi penerapan KTA pada skenario 2 menunjukkan bahwa
terjadi penurunan debit maksimum sebesar 3.63% dari 41.08 m3/det pada kondisi
eksisting menjadi 39.59 m3/det. Kemudian debit minimum meningkat sebesar
6.88% dari 0.34 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 0.37 m3/det sehingga KRA
menurun sebesar 11.76% dari 119.70 pada kondisi eksisting menjadi 107.93
dengan begitu klasifikasi DAS berubah dari kelas sangat buruk menjadi buruk.
Adanya penerapan agroforestri mampu memperbaiki kualitas DAS karena adanya
naungan yang berlapis-lapis dari tanaman tahunan dan tanaman semusim dalam
satu lahan membuat permukaan tanah terlindungi dari pukulan air hujan secara
maksimal sehingga air hujan yang menjadi aliran permukaan akan berkurang
dengan begitu debit maksimum pada musim penghujan akan menurun, sedangkan
pada musim kemarau debit minimum meningkat karena dengan adanya pola
agroforestri dapat memperbaiki sifat fisik tanah terutama kemampuan dalam
menginfiltrasikan air ke dalam tanah sehingga pada saat hujan turun air lebih
banyak terinfiltrasi ke dalam tanah mengisi cadangan air bawah tanah yang akan
mengalir sebagai aliran dasar ketika musim kemarau sehingga meningkatkan debit
minimum.
- Skenario 3
Simulasi skenario 3 dengan teknik embung dapat menurunkan debit
maksimum sebesar 4.70% dari 41.08 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 39.15
m3/det. Debit minimum meningkat sebesar 21.04% dari 0.34 m3/det pada kondisi
eksisting menjadi 0.42 m3/det sehingga KRA menurun sebesar 25.45% dari
119.70 pada kondisi eksisting menjadi 94.25 dengan begitu klasifikasi DAS
berubah dari sangat buruk menjadi buruk. Menurunnya KRA dengan
diterapkannya embung karena embung dirancang khusus untuk menampung air
hujan yang jatuh sehingga ketika hujan turun, air hujan yang menjadi aliran
permukaan dan yang masuk ke sungai berkurang, akibatnya debit maksimum akan
menurun. Sedangkan pada musim kemarau, air hujan yang sudah tertampung pada
musim penghujan dapat dialirkan ke sungai atau saluran irigasi untuk kebutuhan
musim kemarau sehingga debit minimumnya meningkat.
- Skenario 4
Skenario 4 yang merupakan gabungan teknik KTA strip cropping dan
agroforestri mampu menurunkan debit maksimum sebesar 7.67% yakni dari 41.08
m3/det pada kondisi eksisting menjadi 37.93 m3/det. Debit minimum meningkat sebesar
19.87% dari 0.34 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 0.41 m3/det sehingga KRA
menurun sebesar 27.50% dari 119.70 pada kondisi eksisting menjadi 92.20 dengan
begitu klasifikasi DAS berubah dari kelas sangat buruk menjadi buruk. Skenario 4 yang
merupakan gabungan dari dua teknik KTA mampu menurunkan KRA lebih besar
dibandingkan skenario KTA tunggal. Adanya penerapan KTA gabungan yakni strip
cropping yang diterapkan di daerah landai 0-15% dapat menurunkan debit maksimum
dan meningkatkan debit minimum di dataran rendah, kemudian agroforestri yang
diterapkan didaerah curam 25-45% dapat menurunkan debit maksimum dan
meningkatkan debit minimum di dataran tinggi sehingga dapat memperbaiki kondisi
hidrologi DAS secara menyeluruh sehingga hasilnya lebih signifikan dibandingkan
skenario tunggal.
47
- Skenario 5
Skenario 5 yang merupakan gabungan teknik KTA strip cropping dan
embung mampu menurunkan debit maksimum sebesar 17.14% yakni dari 41.08
m3/det pada kondisi eksisting menjadi 34.04 m3/det. Debit minimum meningkat
sebesar 25.90% dari 0.34 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 0.43 m3/det
sehingga KRA menurun sebesar 40.92% dari 119.70 pada kondisi eksisting
menjadi 78.78 dengan begitu klasifikasi DAS berubah dari kelas sangat buruk
menjadi buruk. Adanya penerapan KTA ganda yaitu strip cropping dan embung
pada lahan dengan kemiringan yang sama yaitu 0-15% dapat memaksimalkan
penurunan debit maksimum pada musim penghujan dan peningkatan debit
minimum pada musim kemarau. Perpaduan antara metode KTA vegetatif dan sipil
teknis lebih menguntungkan bila dibandingkan penerapan KTA dengan satu jenis
atau seragam. Keuntungan yang didapat yakni peningkatan sifat fisik dan kimia
tanah yang berasal dari pupuk hijau hasil metode vegetatif, kemudian dari segi
ketersediaan air pada musim kemarau dapat meningkat karena adanya cadangan
air dari embung yang dapat dialirkan ke sungai maupun ke saluran irigasi
sehingga dengan begitu debit minimum akan meningkat, dan nilai KRA akan
menurun.
- Skenario 6
Skenario 6 yang merupakan gabungan teknik KTA agroforestri dan
embung mampu menurunkan debit maksimum sebesar 16.31% yakni dari 41.08
m3/det pada kondisi eksisting menjadi 34.38 m3/det. Debit minimum meningkat
sebesar 27.91% dari 0.34 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 0.44 m3/det
sehingga KRA menurun sebesar 41.38% dari 119.70 pada kondisi eksisting
menjadi 78.31 dengan begitu klasifikasi DAS berubah dari kelas sangat buruk
menjadi buruk. Penurunan KRA yang cukup efektif pada skenario 6 ini
dikarenakan adanya perpaduan penerapan KTA di daerah hulu dan daerah hilir,
dimana agroforestri diterapkan di daerah curam (15-45%) yang sebagian besar di
daerah hulu, sementara embung diterapkan di daerah landai yang sebagian besar
berada di daerah hilir sehingga dengan begitu perpaduan metode pada skenario 6
ini merupakan kombinasi yang representatif sehingga dapat meurunkan KRA
lebih besar dibandingkan skenario lainnya.
- Skenario 5
Skenario 5 yang merupakan gabungan metode KTA strip cropping dan
embung mampu menurunkan aliran permukaan langsung sebesar 30.97% (485.98
mm menjadi 335.53 mm) sehingga nilai KAT menurun dari 0.25 menjadi 0.17,
kemudian aliran dasar meningkat sebesar 48.08% (dari 357.55 mm menjadi
529.48 mm) dan hasil air meningkat sebesar 3.94% (dari 904.55 mm menjadi
940.72 mm). Kombinasi metode KTA strip cropping yang merupakan metode
vegetatif dengan embung yang merupakan metode sipil tekhnis akan saling
melengkapi. Adanya vegetasi dengan pola penanaman strip cropping akan
melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan memperbaiki sifat fisik
tanah terutama struktur tanah sehingga air akan lebih mudah terinfiltrasikan.
Kemudian ditambah dengan keberadaan embung yang akan menjadi wadah
penampung aliran permukaan apabila lolos dari lahan yang disimulasikan strip
cropping sehingga aliran permukaan menjadi sangat rendah, sementara air yang
tertampung dalam embung nantinya dapat digunakan dan dialirkan ke saluran
ketika musim kemarau.
- Skenario 6
Skenario 6 yang merupakan metode gabungan agroforestri dan embung
mampu menurunkan aliran permukaan langsung sebesar 33.64% (485.98 mm
menjadi 322.52 mm) sehingga nilai KAT menurun dari 0.25 menjadi 0.16,
kemudian aliran dasar meningkat sebesar 52.16% (dari 357.55 mm menjadi
544.07 mm) dan hasil air meningkat sebesar 4.16% (dari 904.55 mm menjadi
943.68 mm). Manfaat yang dirasakan dengan penerapan skenario 6 sama halnya
dengan skenario 5 yakni kombinasi tepat antara metode vegetatif dan sipil teknis.
Namun yang membedakan skenario 6 dengan skenario 5 adalah komposisi
vegetasi, dimana pada skenario 6 metode KTA yang diterapkan adalah
agroforestri yang komposisi vegetasinya terdiri dari tanaman naungan tinggi dan
naungan rendah, sementara pada skenario 5 hanya tanaman naungan rendah.
Kemudian dari segi sebaran lokasi simulasinya. Pada skenario 6 lebih
representatif karena lokasi simulasinya tersebar di daerah datar hingga curam,
sementara pada skenario 5 hanya dilakukan pada daerah datar saja (0-15%).
Menurut Budiyanto (2015) praktek konservasi mampu menurunkan KRA
dan KAT serta meningkatkan aliran dasar dan water yield disebabkan karena
dengan adanya praktek konservasi akan memberikan kesempatan air hujan yang
jatuh ke permukaan tanah masuk ke dalam air tanah sebagai air infiltrasi dan
kemudian akan menjadi aliran lateral, aliran dasar dan sebagian akan
meningkatkan kelembaban tanah.
120,00
100,00
80,00
KRA
60,00
40,00
20,00
0,00
Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
1 2 3 4 5 6
500,00
400,00 Aliran Dasar
300,00
Water Yield
200,00
100,00
0,00
Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
1 2 3 4 5 6
Perubahan respon hidrologi DAS Cilemer ke arah yang lebih baik pada
skenario 6 dibandingkan lima skenario lainnya dikarenakan adanya perpaduan
metode KTA yang tepat dan representatif yaitu agroforestri di daerah curam yang
mewakili daerah hulu dan embung di daerah landai yang mewakili daerah hilir.
Penerapan pola agroforestri di tegalan menunjukkan bahwa adanya komponen
penyusun tanaman kayu (pohon) pada sistem agroforestri akan memperbaiki
karakteristik tanah baik sifat fisika, kimia maupun biologi tanah. Perakaran pohon
akan memperbaiki sifat fisika tanah terutama struktur dan porositas tanah.
Keberadaan pohon juga akan memperbaiki sifat kimia tanah dengan menambah
kandungan bahan organik tanah. Penerapan pola agroforestri akan memperbaiki
infiltrasi dan perkolasi tanah, sehingga meningkatkan air tanah (aliran dasar)
(Junaidy 2013). Disamping itu, diterapkannya embung dapat dijadikan sebagai
wadah untuk menampung aliran permukaan yang datang dari areal lahan di bagian
hulu DAS Cilemer. Embung juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air
tanaman selama musim kemarau yang ditetapkan dengan mempertimbangkan
ketersediaan air dalam embung (Rejekiningrum dan Haryati 2002).
Metode agroforestri dan embung sudah familiar dimata masyarakat
Banten. Metode agroforestri sudah banyak diterapkan masyarakat Banten
khususnya Banten Selatan yaitu masyarakat baduy luar, sehingga apabila sistem
agroforestri ini disarankan kepada masyarakat Banten khususnya masyarakat di
DAS Cilemer, mereka sudah paham mengenai pola agroforestri. Begitu pula
untuk metode embung, embung juga merupakan metode konservasi yang sudah
familiar di masyarakat Banten karena sudah ada embung yang dibangun disana
namun jumlahnya tidak banyak, setidaknya apabila metode embung ini
ditawarkan masyarakat DAS Cilemer, mereka sudah memiliki gambaran
mengenai embung.
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bustomi, 2000. Prinsip Dasar Analisis Kebutuhan Air dan Ketersediaan Air Irigasi,
Kursus Singkat Sistem Sumber Daya Air Dalam Otonomi Daerah II, Grup
Sumber Daya Air Laboratorium Hidrolika, JTS-FT UGM. Yogjakarta.
Dariah A, Nurida NL, Sutono. 2007. Fomulasi bahan pembenah tanah untuk
rehabilitasi lahan terdegradasi. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya
Lahan dan Lingkungan Pertanian. Bogor, 7 -8 November 2007. 289-297.
[Dinas PUPR] Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2015. Kajian Evaluasi
Kinerja Penyelesaian Pengendalian Banjir DAS Cilemer. Laporan Akhir.
Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman Provinsi Banten. 2016. Banjir Di Sebagian
Daerah Provinsi Banten Di Tahun 2015 Dan Upaya Penanganannya. Http:
dsdap.bantenprov.go.id [diakses 17 februari 2016].
[Dirjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
2014. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial Nomor: P. 61 /Menhut-II/2014 tentang Pedoman Monitoring dan
Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta.
[Dirjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
2014. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial Nomor: P. 60 /Menhut-II/2014 tentang Kriteria Penetapan
Klasifikasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta.
Feyereisen GW, Strickland TC, Bosch DD, Sullivan DG. 2007. Evaluation of SWAT
manual calibration and input parameter sensitivity in the little river watershed.
Trans.ASABE. 50(3):843-855.
Gebre T, Mohammed Z, Taddesse M, Narayana SC. 2013. Adoption of structural
soil and water conservation technologies by small holder farmers in Adama
Wereda, East Shewa, Ethiopia. International Journal of Advanced
Structures and Geotechnical Engineering. 2(2):2319-5347.
Haryati U, Hartatik W, Rachman A. 2008. Teknologi konservasi tanah dan air
untuk usahatani berbasis tanaman hias di lahan kering. Seminar Nasional
dan Dialog Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, 18-20 November 2008.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Huckett SP. 2010. A Comparative Study to Identify Factors Affecting Adoption of
Soil and Water Conservation Practices Among Smallhold Farmers in the
Njoro River Watershed of Kenya. Utah State University.
Indarto. 2015. Hidrologi : Metode Analisis dan Tool untuk Interpretasi Hidrograf
Aliran Sungai. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Junaidi E, Tarigan SD. 2012. Penggunaan model hidrologi SWAT (Soil and Water
Assessment Tool) dalam pengelolaan DAS Cisadane (application SWAT
hydrology model in Cisadane watershed management). Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam. 9 (3) : 221-237.
Junaidy E. 2013. Peranan penerapan agroforestry terhadap hasil air daerah aliran
sungai (DAS) Cisadane. Jurnal Penelitian Agroforestry. 1(1) : 41-53.
Kumalajati E, Sabarnudi S, Budiadi, Sudira P. 2015. Analisis kebutuhan dan
ketersediaan air di DAS Keduang Jawa Tengah. J. Teknosains. 5(1) :1-80.
Kustamar. 2013. Strategi pengendalian banjir berbasis konservasi sumber daya air di
DAS Sungai Nangka, Lombok Timur. Konferensi Nasiona Teknik Sipil 7,
Surakarta 24-26 Oktober.
54
Santhi C, Arnold JG, Williams JR, Dugas WA, Srinivasan R, Hauck LM. 2001.
Validation of the SWAT model on a large river basin with point and
nonpoint sources. J. American Water Resour. Assoc. 37(5): 1169-1188.
Santoso D, Purnomo J, Wigena IGP, Tuherkih E. 2004. Teknologi Konservasi Tanah
Vegetatif. Dalam Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan Kering
Berlereng. Editor: U.Kurnia, dkk 2004. Bogor (ID) : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Saiz G, Wandera FM, Plester DE, Ngetich W, Okalebo JR, Rufino MC, Bahl KB.
2016. Long-term assessment of soil and water conservation measures
(Fanya-juu terraces) on soil organic matter in South Eastern Kenya.
Geoderma. 274 : 1–9.
Senoaji G. 2012. Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri oleh Mayarakat
Baduy di Banten Selatan. J. Bumi Lestari. 12 (2) : 283-293.
Sofyan ER, Saidi A, Istijono B, Herdianto R. 2017. Model hidrograf akibat
perubahan tataguna lahan DAS Batang Kuranji (Studi Kasus Sub DAS
Danau Limau Manis). J. Poli Rekayasa. 13 (1).
Sudaryono. 2002. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) terpadu konsep
pembangunan berkelanjutan. Jurnal Teknologi Lingkungan. 3(2):153-158.
Sulaeman D. 2016. Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan
Sipil Teknis Menggunakan Model SWAT. [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Susilowati. 2007. Analisis Hidrograf Aliran Sungai Dengan Adanya Beberapa
Bendung Kaitannya Dengan Konservasi Air. [Tesis]. Surakarta (ID) :
Universitas Sebelas Maret.
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta (ID) : Andi.
Sutrisno N, Heryani N. 2013. Teknologi konservasi tanah dan air untuk mencegah
degradasi lahan pertanian berlereng. J. Litbang Pertanian. 32(3):122-130.
Staddal I. 2016. Analisis aliran permukaan menggunakan model SWAT di DAS
Bila Sulawesi Selatan. Jtech. 4(1): 57-63.
Wahyuningrum N, Pramono IB. 2007. Aplikasi sistem informasi geografis untuk
perhitungan koefisien aliran permukaan di sub DAS Ngunut i, Jawa Tengah.
J. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 4(6):561-571.
White KL, Chaubey I. 2005. Sensitivity analysis, calibration, and validation for a
multisite and multivariable SWAT Model.
Wijayanto, N, Rifa’i, M. 2010. Pertumbuhan Gmelina arborea Roxb. Pada
berbagai pola agroforestry. J. Silvikultur Tropika. 1(1): 29-34.
Yanto. 2011. Model evapotranspirasi pada vegetasi dengan ketebalan kanopi
berbeda. J. Dinamika Rekayasa . 7(1):17-22.
Yustika RD, Tarigan SD, Hidayat Y, Sudadi U. 2013. Simulasi manajemen lahan di
DAS Ciliwung Hulu menggunakan model SWAT. Informatika Pertanian. 21
(2): 71-79.
56
LAMPIRAN
57
58
Lampiran 2 Nilai parameter input data tanah DAS Cilemer (lapisan 2)
Kedalaman Bobot
Jenis Kadar Air Permeabilitas C-Org Pasir Klei Batuan
Lapisan Isi Debu (%) Albeo Erodibilitas
Tanah Tersedia (mm/jam) (%) (%) (%) (%)
(mm) (g/cm3)
TDHH 820 1.03 0.170 16.65 0.96 10.89 19.93 69.17 0 0.13 0.17
TDTE 760 0.94 0.130 49.84 1.53 9.51 18.81 71.68 0 0.13 0.11
TDDT 1000 1.02 0.230 0.37 2.33 36.48 27.86 35.66 0 0.13 0.34
TDET 1000 0.93 0.090 53.85 2.88 8.12 14.68 77.2 0 0.13 0.13
TTFT 750 1.39 0.180 70.25 0.56 71.17 10.62 18.2 0 0.13 0.28
TTMT 630 1.05 0.220 3.45 1.23 39.6 23.36 37.03 0 0.13 0.31
TTET 420 1.07 0.220 0.19 1.91 19.98 48.9 31.12 0 0.13 0.42
TTAT 810 1.04 0.150 0.5 1.71 14.92 44.48 40.6 0 0.13 0.40
TTDE 800 0.92 0.110 72.13 1.66 7.71 20.9 71.9 0 0.13 0.53
TTUT 480 0.98 0.120 17.55 0.73 6.9 10.13 82.97 0 0.13 0.12
59
60
Lampiran 4 Nilai parameter input data tanah DAS Cilemer (lapisan 4)
Kedalaman Bobot
Jenis Kadar Air Permeabilitas C-Org Pasir Klei Batuan
Lapisan Isi Debu (%) Albeo Erodibilitas
Tanah Tersedia (mm/jam) (%) (%) (%) (%)
(mm) (g/cm3)
TDHH - - - - - - - - - - -
TDTE - - - - - - - - - - -
TDDT - - - - - - - - - - -
TDET - - - - - - - - - - -
TTFT - - - - - - - - - - -
TTMT - - - - - - - - - - -
TTET - - - - - - - - - - -
TTAT - - - - - - - - - - -
TTDE 1500 1.05 0.070 16.4 1.29 1.37 18.87 76.76 0 0.13 0.13
TTUT - - - - - - - - - - -
61 61
RIWAYAT HIDUP