Anda di halaman 1dari 91

ALTERNATIF PENERAPAN TEKHNIK KONSERVASI

TANAH DAN AIR DALAM PENGELOLAAN DERAH ALIRAN


SUNGAI CILEMER, BANTEN

EVI NURSARI

T P ER
U
T
T

AN
STI

IA N
IN

B
O G O R

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Alternatif


Penerapan Tekhnik Konservasi Tanah dan Air dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Cilemer, Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2018

Evi Nursari

NIM A155150061
iv

RINGKASAN

EVI NURSARI. Alternatif Penerapan Tekhnik Konservasi Tanah dan Air dalam
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cilemer, Banten. Dibimbing oleh LATIEF
MAHIR RACHMAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.

Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki peranan penting sebagai peyangga


kehidupan mahluk hidup. Namun, sudah banyak DAS mengalami penurunan
kualitasnya. Fenomena yang sering terjadi apabila kualitas DAS menurun adalah
terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Banjir
merupakan persoalan rutin yang sering terjadi tiap tahunnya di beberapa wilayah
kabupaten yang ada di Provinsi Banten terutama apabila hujan ekstrim mengguyur
cukup lama. Salah satunya adalah daerah yang dilintasi oleh Sungai Cilemer. DAS
Cilemer sebagian besar merupakan dataran rendah yang rawan akan terjadinya banjir.
DAS Cilemer merupakan salah satu DAS di Provinsi Banten yang memiliki fungsi
sebagai sumber irigasi pertanian di Provinsi Banten yang dijaga fungsi dan
kondisinya. Penerapan Konservasi Tanah dan Air (KTA) merupakan salah satu solusi
efektif dalam peningkatan kualitas DAS Cilemer. Tujuan dari penelitian adalah ingin
mengidentifikasi kondisi hidrologi DAS Cilemer, mensimulasikan beberapa
teknik pengelolaan DAS dalam peningkatan kualitas DAS serta memberikan
arahan pengelolaan DAS terbaik.
Dalam penelitian ini menggunakan model SWAT sebagai alat bantu untuk
mensimulasikan teknik KTA di DAS Cilemer. Ada 6 skenario yang disimulasikan
dalam penelitian yaitu strip cropping (skenario 1), agroforestri (skenario 2),
embung (skenario 3), strip cropping + agroforestri (skenario 4), strip cropping +
embung (skenario 5), dan agroforestri + embung (skenario 6). Berdasarkan hasil
simulasi teknik KTA dengan model SWAT didapatkan bahwa skenario 6
merupakan skenario pengelolaan DAS terbaik. Berdasarkan nilai Koefisien Regim
Aliran (KRA), penerapan pengelolaan DAS skenario 6 dapat menurunkan KRA
jauh lebih besar dibandingkan skenario lainnya yaitu sebesar 34.57 % yakni dari
119.70 (kondisi eksisting) menjadi 78.31. Disamping itu, penerapan skenario 6
mampu menurunkan aliran permukaan langsung sebesar 33.64 %, dimana nilai
KAT menurun dari 0.25 (kondisi eksisiting) menjadi 0.16. Disamping menekan
aliran permukaan, skenario 6 juga dapat meningkatkan aliran dasar sebesar 52.16
% (dari 357.55 mm menjadi 544.07 mm) dan water yield sebesar 4.16%. Water
yield meningkat dari 904.55 mm (kondisi eksisting) menjadi 943.68 mm.

Kata kunci : aliran permukaan, das, debit air, konservasi tanah dan air,
pengelolaan
v

SUMMARY

EVI NURSARI. Techniques Alternative of Soil and Water Conservation


Application in Watershed Management of Cilemer, Banten. Supervised by
LATIEF MAHIR RACHMAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO.

The watershed have an important role as a buffer for life the living things.
However, many watersheds have been degraded in quality. The phenomenon that
often occurs when the quality of watershed degraded is the occurrence of floods in
the rainy season and drought in the dry season. Flood is a routine problem that
happens every year in some districts in Banten Province, especially in the rainfall
event occur. One of them is the area passed by the Cilemer River. The Cilemer
basin is predominantly a lowland area prone to flooding. Cilemer Watershed is
one of the watersheds in Banten Province that has function as a source of
agricultural irrigation which should be maintained by its function and condition.
Application of Soil and Water Conservation (SWC) is one effective solution in
improving the quality of Cilemer watershed. The aims of the research are to
identify the hydrological conditions of Cilemer Watershed, to simulate several of
integrated watershed management techniques in improving the quality of the
watershed and providing the best watershed management direction or scenario.
The study used SWAT model as a tool to simulate SWC techniques in
Cilemer Watershed. There are 6 scenarios simulated in the study: strip cropping
(scenario 1), agroforestry (scenario 2), mini traditional reservoir (scenario 3), strip
cropping + agroforestry (scenario 4), strip cropping + mini traditional reservoir
(scenario 5), and agroforestry + mini traditional reservoir (scenario 6). The result
of SWC techniques simulation with SWAT model shows that scenario 6 is the
best watershed management scenario. Scenario 6 can reduce Qmax/Qmin ratio
much greater than the other scenarios i.e 34.57% from 119.70 (existing condition)
to 78.31. Scenario 6 is also able decreases the surface flow by 33.64%, where the
coefficient of runoff value decreases from 0.25 (existing condition) to 0.16. In
addition, scenario 6 can also increases base flow by 52.16% (from 357.55 mm to
544.07 mm) and water yield by 4.16%. Water yield increases from 904.55 mm
(existing condition) to 943.68 mm.

Key words : discharge, management, runoff, soil and water conservation,


watershed
vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii

ALTERNATIF PENERAPAN TEKHNIK KONSERVASI


TANAH DAN AIR DALAM PENGELOLAAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI CILEMER, BANTEN

EVI NURSARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc
x

PRAKATA

Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis dengan judul “Alternatif Penerapan Tekhnik Konservasi
Tanah dan Air dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cilemer, Banten”.
Penelitian ini dilaksanakan sejak Bulan Januari hingga Agustus 2017 di DAS
Cilemer.
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr Ir Latief M. Rachman, MSc MBA sebagai dosen pembimbing pertama dan
Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc sebagai dosen pembimbing kedua yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
2. Dr Ir Suria Darma Tarigan selaku dosen penguji yang telah memberikan saran
dan masukannya kepada penulis dalam penulisan tesis ini.
3. Bapak dan Ibu serta seluruh keluarga Penulis yang telah mendoakan dan
memberikan dukungan serta kasih sayangnya kepada penulis.
4. Dosen-Dosen Pengajar yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Bapak Isvan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),
Bapak Hardi dari Balai PSDA WS Ciliman-Cisawarna, Badan Klimatologi
dan Meteorologi Kelas 1 Serang, Badan Planologi Kementerian Kehutanan
dan Lingkungan Hidup, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian yang telah memberikan data penelitian.
6. Teman – teman dari Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS dan program studi
lain di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah
memberikan motivasi kepada penulis.
7. Teman-teman kosan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan tesis ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis dengan tulus mengharapkan saran dan
kritik dari pembaca sehingga dapat digunakan untuk pengembangan lebih lanjut.
Akhir kata semoga tesis ini dapat berguna bagi pembacanya. Khususnya
para mahasiswa mendatang yang melakukan penelitian pada kajian yang sama.
Terimakasih.

Bogor, Februari 2018

Evi Nursari
xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii


DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Kerangka Pemikiran 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Siklus Hidrologi 5
Daerah Aliran Sungai 6
Pengelolaan DAS Terpadu 6
Konservasi Tanah dan Air 7
Kinerja DAS 9
Soil and Water Assessment Tool (SWAT) 10

3 METODE PENELITIAN 11
Waktu dan Lokasi Penelitian 11
Alat dan Bahan 12
Prosedur Penelitian 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21


Kondisi Umum Daerah Penelitian 21
Kondisi Hidrologi DAS Cilemer 23
Hasil (Output) Model SWAT 27
Karakteristik Hidrologi Berdasarkan Model SWAT 36
Skenario Teknik Konservasi Tanah dan Air terhadap
Respon Hidrologi DAS Cilemer 45
Arahan Pengelolaan DAS Cilemer 49

5 SIMPULAN DAN SARAN 51


DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xii

DAFTAR TABEL

1. Kriteria Kualitas DAS Berdasarkan Nilai KRA 14


2. Kriteria Kualitas DAS Berdasarkan Nilai KAT 14
3. Tingkat Performa Model Berdasarkan Nilai NSE 17
4. Simulasi Skenario Pengelolaan DAS Cilemer 21
5. Kofisien Regim Aliran DAS Cilemer 23
6. Koefisien Aliran Tahunan DAS Cilemer 24
7. Ketersediaan Air di DAS Cilemer 25
8. Kebutuhan air DAS Cilemer 25
9. Indeks Penggunaan Air DAS Cilemer 26
10. Luas dan Presentase Sub DAS Cilemer Berdasarkan Delineasi
Model SWAT 27
11. Luas dan Presentase Penggunaan Lahan DAS Cilemer Banten
Tahun 2013 28
12. Luas Dan Presentase Satuan Tanah DAS Cilemer 29
13. Luas Dan Presentase Kelerengan DAS Cilemer 30
14. Parameter-Parameter Yang Dimasukkan Kedalam Proses Kalibrasi 32
15. Karakteristik Hidrologi DAS Cilemer Berdasarkan Simulasi
Model SWAT 37
16. Fluktuasi debit (m3/det) DAS Cilemer tahun 2015 Berdasarkan
Model SWAT 39
17. Aliran Permukaan pada Tiap-Tiap Penggunaan Lahan Berdasarkan
Model SWAT 41
18. Aliran Permukaan pad Tiap Sub basin pada tahun 2015 Berdasarkan
Model SWAT 42
19. Koefisien Rejim Aliran (KRA) Pada Tiap Sub Basin Tahun 2015 43
20. Skenario Pengelolaan DAS Terhadap Nilai Koefisien Rejim Aliran 45
21. Skenario Pengelolaan DAS Terhadap Water Yield DAS Cilemer 48

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian 4


2. Siklus Hidrologi 5
3. Bentuk Hidrograf Aliran 10
4. Peta Lokasi Penelitian 12
5. Tahapan Penelitian 13
6. Pola Metode Contour Strip Cropping 18
7. Pola Metode Agroforestri 18
8. Model Embung 19
9. Lokasi Penelitian (DAS Cilemer) 22
10. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan DAS Cilemer 2009-2015 22
11. Curah hujan rata-rata tahunan DAS Cilemer 2009-2015 23
12. Sub Basin Cilemer Hasil Delineasi Model SWAT 27
13. Peta Penggunaan Lahan DAS Cilemer 28
14. Peta Jenis Tanah DAS Cilemer 29
15. Peta Kemiringan Lereng DAS Cilemer 30
16. Perbandingan Debit Simulasi Dan Debit Observasi Sebelum Kalibrasi 31
17. Perbandingan Debit Simulasi Dan Debit Observasi Dalam Bentuk
Scatter Plot Sebelum Kalibrasi 31
18. Perbandingan Debit Observasi Dan Simulasi DAS Cilemer Hasil Kalibrasi
Model SWAT (Tahun 2013) 35
19. Perbandingan Debit Observasi Dan Simulasi DAS Cilemer Hasil Kalibrasi
Model SWAT Dalam Bentuk Scatter Plot 35
20. Perbandingan Debit Observasi Dan Simulasi DAS Cilemer Hasil Validasi
Model SWAT (Tahun 2015) 35
21. Perbandingan Debit Observasi Dan Simulasi DAS Cilemer Hasil Validasi
Model SWAT Dalam Bentuk Scatter Plot 36
22. Neraca Air Berdasarkan Simulasi Model SWAT 37
23. Sebaran Nilai DRO Pada Tiap Sub Basin 43
24. Sebaran Nilai KRA pada Tiap Sub Basin 44
25. Hasil KRA pada Berbagai Skenario 50
26. Hasil KAT pada Berbagai Skenario 50

DAFTAR LAMPIRAN

1. Nilai Parameter Input Data Tanah DAS Cilemer (Lapisan 1 ) 57


2. Nilai Parameter Input Data Tanah DAS Cilemer (Lapisan 2 ) 58
3. Nilai Parameter Input Data Tanah DAS Cilemer (Lapisan 3 ) 59
4. Nilai Parameter Input Data Tanah DAS Cilemer (Lapisan 4 ) 60
5. Perbandingan Debit Observasi dan Simulasi Pada Tahun 2015
Berdasarkan Model SWAT 61
6. Debit Aliran Harian pada Berbagai Skenario Hasil Model SWAT 65
7. Luas Penggunaan Lahan Tiap Sub DAS 74
8. Luas Satuan Tanah Tiap Sub DAS 75
9. Luas Kemiringan Lereng Tiap Sub DAS 76
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki peranan penting sebagai peyangga


kehidupan mahluk hidup, khususnya sebagai penyedia air untuk memenuhi kebutuhan
manusia sehingga perlu dijaga kualitasnya. Saat ini sudah banyak DAS yang
mengalami penurunan kualitasnya yang ditandai dengan meningkatnya koefisien aliran
permukaan dan rasio debit maksimum dan minimum serta sedimentasi. Beberapa
pemicu utamanya yang menyebabkan kualitas DAS menurun diantaranya adalah
maraknya alih fungsi lahan, aktivitas pertanian yang buruk serta perubahan iklim
global. Adanya peningkatan jumlah penduduk yang terus terjadi namun luas lahan tidak
berubah (tetap) mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan lahan sehingga memicu
terjadinya peningkatan alih fungsi lahan yang sebagian besar tidak sesuai peruntukkan
yang mengakibatkan kemampuan DAS dalam meresapkan air menurun. Disamping itu,
rendahnya pengetahuan petani tentang praktek pertanian yang baik menyebakan laju
erosi dari lahan pertanian meningkat sehingga mengakibatkan pendangkalan
(sedimentasi) di sungai. Diperparah lagi dengan terjadinya perubahan iklim yang
mengakibatkan curah hujan sangat ekstrim menambah memperburuk kondisi DAS.
Fenomena yang sering terjadi apabila kondisi DAS buruk yaitu banjir dan
kekeringan. Banjir merupakan persoalan rutin yang sering terjadi tiap tahunnya di
beberapa wilayah kabupaten yang ada di Provinsi Banten terutama apabila hujan
ekstrim mengguyur cukup lama, yang salah satunya adalah daerah yang dilintasi oleh
Sungai Cilemer. Wilayah DAS Cilemer merupakan dataran rendah yang rawan akan
terjadinya banjir. Menurut hasil kajian Dinas PUPR, sebesar 77,38 % wilayah DAS
Cilemer adalah dataran rendah dengan ketinggian 0-25 m. Dengan kondisi tersebut,
wajar saja DAS Cilemer sering mengalami banjir dengan frekuensi banjir yang
semakin meningkat seiring dengan semakin memburuknya kondisi DAS akibat tidak
ada upaya pengelolaan yang efektif.
Berbeda dengan musim hujan, persoalan pada musim kemarau di DAS Cilemer
adalah kekeringan yang mengakibatkan menurunnya secara drastis pasokan irigasi
pertanian. DAS Cilemer merupakan salah satu DAS di Provinsi Banten yang memiliki
fungsi sebagai sumber irigasi pertanian di Provinsi Banten, khususnya untuk wilayah
Banten Selatan terutama Kabupaten Pandeglang. Mengingat sebagian besar
penggunaan lahan di DAS Cilemer adalah sawah dan pertanian lahan kering maka
pasokan irigasi yang memadai sangat diperlukan dalam hal ini. Disamping itu, dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2030 Pemprov Banten
mengalokasikan adanya Daerah Irigasi Cilemer di Kabupaten Pandeglang, seluas 2.672
Ha. Oleh sebab itu, keberadaan DAS Cilemer cukup penting bagi sektor pertanian
Provinsi Banten sehingga fungsi dan kondisinya perlu dijaga.
Upaya peningkatan kualitas DAS Cilemer perlu dilakukan agar permasalahan
banjir dan kekeringan yang merugikan masyarakat Banten terutama sektor
pertaniannya dapat dikendalikan, yaitu salah satunya dengan melakukan pengelolaan
DAS. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas DAS diantaranya
adalah dengan penerapan Konservasi Tanah dan Air (KTA). Konservasi tanah
merupakan penempatan sebidang tanah sesuai dengan kemampuannya dan syarat-
syarat yang diperlukan agar tidak terjadi degradasi lahan. Sementara konservasi air
2

adalah upaya untuk mengawetkan air di dalam tanah, dimana pada saat hujan, air
diusahakan masuk ke dalam tanah dan ditahan di dalam tanah sehingga bisa
dimanfaatkan pada saat musim kemarau (Arsyad 2006).
Berbagai metode KTA baik berupa metode vegetatif, kimia, maupun mekanik
dalam upaya pengelolaan DAS sudah banyak dikembangkan. Namun, menurut
Kustamar (2013) perpaduan antara ketiga metode tersebut pada umumnya sangat
efektif dalam mengendalikan banjir. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan
simulasi teknik KTA sebagai upaya pengelolaan DAS guna mencari pengelolaan DAS
terbaik yang dapat diterapkan di DAS Cilemer.

Perumusan Masalah

Permasalahan banjir dan kekeringan yang melanda DAS Cilemer ditengarai


karena telah terjadinya penurunan kualitas DAS. Menurut Dinas Sumber Daya Air dan
Pemukiman Provinsi Banten (2016), penurunan kualitas DAS di beberapa DAS di
Provinsi Banten termasuk DAS Cilemer diakibatkan oleh beberapa hal: 1)
Meningkatnya luas lahan kritis yang menyebabkan terjadi erosi dan sedimentasi
sehingga menyebabkan pendangkalan, penyempitan alur sungai serta fluktuasi debit
minimum dan maksimum yang tinggi, 2) Perubahan fungsi lahan serta kawasan seperti
kawasan sempadan sungai berubah menjadi kawasan permukiman, fungsi ruang
terbuka hijau dan situ sebagai resapan air (taman dan hutan kota) berubah menjadi
kawasan terbangun, 3) Banyaknya aktivitas pertanian yang tidak mengindahkan kaidah
Konservasi Tanah dan Air, serta 4) Perubahan iklim dan pemanasan global
mengakibatkan ekstrimnya curah hujan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Banten untuk
mengatasi permasalahan DAS Cilemer seperti pembangunan tanggul di sejumlah titik
sungai untuk mencegah luapan air Sungai Cilemer. Disamping itu, Pemerintah Provinsi
Banten sudah melakukan upaya normalisasi Sungai Cilemer yang diawali pada tahun
2011, namun upaya normalisasi belum optimal. Sementara permasalahan banjir terus
terjadi dengan intensitas yang semakin meningkat pada musim penghujan sedangkan
pada musim kemarau terjadi kekeringan di beberapa wilayah. Berkenaan dengan hal
tersebut maka perlu dilakukan identifikasi kondisi hidrologi DAS Cilemer secara tepat
sehingga dapat diketahui solusi apa yang efektif yang sesuai dengan permasalahan yang
terjadi di DAS Cilemer.
Berdasarkan dengan kondisi tersebut, untuk kepentingan penelitian ini
dirumuskan permasalahan-permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Kualitas DAS Cilemer menurun yang ditandai dengan meningkatnya aliran
permukaan, rasio debit maksimum dan minimum serta sedimentasi
2. Belum optimalnya pengendalian banjir DAS Cilemer
3. Belum optimalnya pasokan irigasi pertanian DAS Cilemer
3

Kerangka Pemikiran

Penurunan kualitas DAS terjadi karena adanya perubahan tata guna lahan
dan fungsi kawasan serta praktek pertanian tanpa mengindahkan kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air di hulu DAS. Disamping itu, adanya perubahan iklim
global yang menyebabkan curah hujan yang ekstrim menambah memperburuk
kondisi DAS. Penurunan kualitas DAS ditandai dengan tingginya rasio debit
maksimum dan minimum, dimana debit maksimum semakin tinggi sementara
debit minimum semakin rendah.
Tingginya debit maksimum menunjukkan bahwa banyaknya hujan yang
jatuh menjadi aliran permukaan yang nantinya mengalir ke sungai, dan apabila
daya tampung air sungai semakin berkurang akibat adanya sedimentasi, air sungai
akan meluap dan terjadi banjir. Sementara rendahnya debit minimum
menunjukkan bahwa cadangan air bawah tanah dalam suatu DAS rendah akibat
banyaknya air hujan yang jatuh tidak teresapkan ke dalam tanah secara optimal
sehingga pada musim kemarau terjadi kelangkaan air sungai. Hal tersebut
menyebabkan pasokan air sungai untuk beberapa keperluan salah satunya untuk
irigasi pertanian menjadi berkurang.
Perlu adanya upaya pengelolaan DAS dalam pengendalian banjir serta
untuk peningkatan pasokan air irigasi pertanian, salah satunya dengan penerapan
tekhnik Konservasi Tanah dan Air (KTA). KTA memiliki beberapa metode yang
memiliki keunggulan yang berbeda-beda yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan kualitas DAS sehingga banjir dapat dikendalikan dan pasokan air
untuk irigasi pertanian meningkat (Gambar 1).

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah


1. Mengidentifikasi kondisi hidrologi DAS Cilemer
2. Mensimulasikan beberapa teknik Konservasi Tanah dan Air dalam
peningkatan kualitas DAS Cilemer
3. Menyusun arahan pengelolaan DAS dalam peningkatan kualitas DAS
Cilemer

Manfaat

1. Dapat memberikan informasi karakteristik hidrologi DAS Cilemer


2. Memberikan masukkan bagi pemerintah terkait teknik-teknik pengelolaan
DAS secara terpadu yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas DAS
dalam rangka pengendalian banjir dan peningkatan pasokan irigasi secara
efektif
4

Ruang Lingkup Penelitian

Secara kewilayahan, penelitian ini dibatasi hanya di DAS Cilemer dengan


titik outlet Kadubera, sementara dari segi kajian hanya mencakup aspek biofisik
DAS sedangkan untuk aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan tidak dikaji dalam
penelitian ini. Karakteristik hidrologi yang diteliti dalam penelitian ini mencakup
debit aliran sungai dan neraca air.

Perubahan tata guna Penurunan kualitas DAS Perubahan iklim


lahan, fungsi kawasan (Rasio debit maksimum dan Global yang
dan praktek pertanian minimum serta koefisien mengakibatkan curah
yang buruk aliran meningkat) hujan ekstrim

Banjir meningkat Pasokan air irigasi


berkurang

Upaya peningkatan kualitas


DAS untuk pengendalian
Banjir dan peningkatan
pasokan air irigasi

Penerapan Konservasi
Tanah dan Air

Simulasi skenario
pengelolaan DAS dalam
peningkatan kualitas DAS

Arahan pengelolaan DAS

Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian


5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi merupakan peristiwa yang berulang dimana air yang jatuh
ke bumi dalam bentuk hujan, salju dan embun akan mengalami berbagai
peristiwa, kemudian akan menguap ke udara menjadi awan dan dalam bentuk
hujan, salju dan embun jatuh kembali kebumi (Arsyad 2006). Peristiwa yang
terjadi pada saat hujan turun adalah
1. Intersepsi (interception), merupakan bagian hujan yang jatuh dan ditahan pada
permukaan vegetasi. Air hujan yang tertahan dipermukaan vegetasi sebagian
akan menguap ke udara dan sebagian lagi akan jatuh langsung ke permukaan
tanah melalui ruang antar tajuk disebut lolosan tajuk (through fall), dan juga
mengalir melalui batang sampai permukaan tanah disebut aliran batang (strem
flow).
2. Surface detention, merupakan penambatan aliran permukaan tanah dimana air
dalam proses ini tidak akan terserap kedalam tanah.
3. Depression storage, simpanan permukaan tanah yang mengisi cekungan
tanah.
4. Aliran permukaan (surface runoff/over land flow), merupakan air yang
mengalir di permukaan tanah
5. Infiltrasi (infiltration), merupakan peristiwa masuknya air ke dalam tanah
6. Perkolasi, merupakan pergerakan air di dalam tanah secara vertikal
7. Aliran lateral (inter flow) merupakan air yang mengalir di bawah permukaan
tanah
8. Aliran dasar (base flow/ground water flow) merupakan aliran bawah tanah
yang masuk ke dalam sungai, waduk, danau atau laut.
9. Evapotranspirasi (evapotranspiration) terdiri dari evaporasi dan transpirasi,
evaporasi merupakan peristiwa menguapnya air hujan dari permukaan tanah
atau air, sementara transpirasi peristiwa menguapnya air dari permukaan
vegetasi.

Gambar 2 Siklus hidrologi (sumber: http://xylemfloem.blogspot.co.id)


6

Daerah Aliran Sungai

Menurut PP No. 37 Tahun 2012, daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Fungsi DAS didefinisikan sebagai suatu keadaan bagaimana kondisi suatu
lanskap mempengaruhi kualitas, kuantitas dan periode waktu suatu aliran sungai
(atau air tanah), yang secara rinci dapat dijabarkan bagaimana suatu lanskap
mempengaruhi: (1) transmisi/proses aliran sungai, (2) kemampuan menyangga
dan (3) pelepasan secara perlahan-lahan curah hujan yang disimpan di tanah, (4)
kualitas air dan (5) menjaga keutuhan tanah pada DAS. Kelima kriteria tersebut
terangkum dalam indikator-indikator kuantitatif berikut, yang dapat diterapkan
dalam menilai DAS pada skala yang berbeda (Rahayu 2009).
Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi
menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik daerah hulu dicirikan
oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan
drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih besar
(>15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.
Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan
daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah kemiringan
lereng kecil sampai dengan sangat kecil (<8%), pada beberapa tempat merupakan
daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi,
dan jenis vegetasi didominasi hutan bakau/gambut (Asdak 2007).
Menurut Asdak (2007), dari segi fisik indikator untuk mengetahui normal
tidaknya suatu DAS dapat dilihat dari beberapa hal, dimana suatu DAS
dikategorikan dalam kondisi baik apabila memiliki ciri sebagai berikut :
a. Koefisien air larikan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya air
larikan terhadap besarnya curah hujan, berfluktuasi secara normal, dalam
artian nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan cenderung kurang
lebih sama dari tahun ke tahun.
b. Nisbah debit maksimum dan minimum (Q max/Q min) relatif stabil dari
tahun ke tahun.
c. Tidak banyak terjadi perubahan koefisien arah pada kurva kadar lumpur (Cs)
terhadap debit sungai (Q).

Pengelolaan DAS Terpadu

Menurut PP No. 37 Tahun 2012, Pengelolaan DAS merupakan upaya


manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan
manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan
keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi
manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS secara utuh diselenggarakan
7

melalui empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi,


serta pembinaan dan pengawasan.
Pengelolaan terpadu pada dasarnya merupakan pengembangan keserasian
tujuan antar berbagai sistem pengelolaan sumberdaya alam. Bilamana suatu obyek
dikelola oleh banyak pengelola sesuai dengan keterkaitan dan kepentingannya
terhadap obyek yang dikelola itu. Keterpaduan di dalam pengelolaan kegiatan
harus dapat terciptakan: (1) terkoordinasinya para pengelola suatu obyek saling
kait-mengkait dalam suatu sistem untuk mencapai suatu keserasian tujuan; (2)
memadukan setiap usaha pemanfaatan penataan, pemeliharaan, pengawasan dan
pengendalian serta pengembangan yang didasarkan pada unsur keterkaitan atau
ketergantungan dari obyek yang dikelola (Haeruman dalam Sudaryono 2002).
Pengelolaan DAS terpadu adalah upaya terpadu dalam pengelolaan
sumberdaya alam, meliputi tindakan pemanfaatan, penataan, pemeliharaan,
pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan DAS berazaskan
pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang
pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Dilihat dari aspek pengelolaan terpadu hutan, tanah, air, masyarakat dan lain-lain
tersebut merupakan sasaran atau obyek yang akan dikelola, dengan demikian dapat
dilihat adanya keterkaitan antara ekosistem, DAS dan pengelolaan terpadu. Sasaran
kegiatan pengelolaan DAS meliputi 4 kegiatan, antara lain: a) pengelolaan hutan
(vegetasi), b) pengelolaan lahan, c) pengelolaan air, d) pembinaan aktivitas manusia
dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia (Sudaryono 2002).
Pengelolaan DAS dijalankan atas prinsip kelestarian sumberdaya yang
memadukan kepentingan produktivitas dan konservasi sumberdaya untuk mencapai
beberapa tujuan. Untuk mencapai kelestarian (pemeliharaan dan pemulihan) DAS,
pengelola DAS harus mengambil langkah-langkah yang dapat menjamin
terpeliharanya keseimbangan ekosistem yang dapat terjadi apabila kondisi hubungan
timbal balik antar komponen berjalan baik dan optimal (Soemarno 2011).

Konservasi Tanah dan Air

Konservasi tanah dan air mengandung dua pengertian yaitu konservasi tanah
dan konservasi air. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan sebidang tanah pada
cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Sementara konservasi air adalah perilaku yang disengaja dengan
tujuan mengurangi penggunaan air segar, melalui metode teknologi atau perilaku sosial.
Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah
seefisien mungkin untuk pertanian dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir
yang dapat merusak serta tersediannya air pada musim kemarau (Arsyad 2006).
Menurut Arsyad (2006) teknik atau metode konservasi tanah dan air dapat
dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu: (1) teknik konservasi vegetatif (metode
vegetatif), sering juga disebut sebagai teknik konservasi (metode) biologi; (2) teknik
konservasi mekanik (metode mekanik), disebut juga sebagai teknik konservasi sipil
teknis; dan (3) teknik konservasi kimia (metode kimia). Banyak cara konservasi tanah
dan air yang tergolong ke dalam pengendalian erosi secara sipil teknis, tetapi yang
sering dilakukan oleh petani hanya beberapa saja, yaitu teras gulud dan teras bangku.
8

Sementara berdasarkan Undang-Undang Konservasi Tanah dan Air No. 37


Tahun 2014, penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air dilakukan dengan metode 1)
Vegetatif, 2) Agronomi, 3) Sipil teknis pembuatan bangunan Konservasi Tanah dan
Air, 4) Manajemen dan 5) metode lain yang sesuai dengan perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
Konservasi tanah merupakan model teknologi inovasi yang dapat memberikan
kontribusi menciptakan lingkungan yang lestari serta mendukung peningkatan
ketahanan pangan. Hal ini karena dapat meningkatkan kualitas lahan dan mengatasi
degradasi lahan (Rachman dan Dariah 2007).
Teknologi konservasi air dirancang untuk meningkatkan masuknya air ke
dalam tanah melalui proses infiltrasi dan pengisian kantong-kantong air di daerah
cekungan serta mengurangi kehilangan air melalui proses evapotranspirasi dan
menguap ke atmosfer. Keuntungan yang diperoleh melalui strategi konservasi air yang
diarahkan untuk peningkatan cadangan air tanah pada lapisan tanah dan sekitar zona
perakaran tanaman pada wilayah pertanian adalah terwujudnya pegendalian aliran
permukaan, peningkatan insfiltrasi dan pengurangan evaporasi (Santoso et al 2004).
Penerapan Teknologi KTA memiliki beberapa manfaat diantaranya dari segi
ekologi dapat menurunkan kerugian tanah, dari segi ekonomi dapat meningkatkan hasil
pertanian dan dari sosial budaya dapat meningkatkan komunitas kelembagaan (Liniger
et al. dalam Saiz et al. 2016).
Teknologi KTA memang memiliki prospek atau peluang yang cukup besar
apabila diterapkan, namun dalam kenyataannya terdapat beberapa tantangan yang
dihadapi dalam penerapannya yang terkait dengan petani. Mengubah kebiasaan petani
agar berusaha tani dengan menerapkan kaidah konservasi tanah dan air merupakan
bukan hal yang mudah, sehingga diperlukan berbagai upaya diseminasi agar petani
dapat menerima dan menerapkannya. Petani menilai pembuatan bedengan tegak lurus
lereng menyebabkan drainase kurang baik, sehingga hasil tanaman menurun. Oleh
karena itu, petani membuat bedengan searah lereng agar drainase baik dan hasil tinggi,
meskipun cara ini menyebabkan erosi menjadi sangat tinggi dan tanah cepat
terdegradasi (Sutrisno dan Heryani 2013).
Menurut penelitian Bagdi et al. (2015) bahwa sekitar 73% teknologi KTA telah
diadopsi secara kontinu oleh petani India dalam pengembangan DAS untuk konservasi
sumberdaya alam. Sementara sekitar 27% teknologi KTA tidak diadopsi secara kontinu
oleh petani disekitar lokasi penelitian. Masih adanya petani yang tidak melanjutkan
untuk mengadopsi teknik KTA karena menganggap tidak ada kepastian dari teknik
KTA dan mereka sulit untuk beralih ke metode pertanian yang baru.
Adopsi KTA oleh petani dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
pendapatan, akses informasi, level pendidikan, kepemilikan lahan, tingkat kesadaran
masyarakat, mudah tidaknya KTA diterapkan, ukuran pertanian, tingkat penyuluhan,
ukuran rumah tangga (Huckett 2010). Sementara, menurut Gebre et al. (2013) Ada
beberapa alasan mengapa para petani tidak mau mengadopsi KTA karena kurangnya
tenaga kerja, desain teknologi yang sulit untuk diterapkan, kurangnya penyuluhan,
kurangnya ketersediaan lahan, dan juga sumber pendapatan yang rendah. Oleh sebab
itu, perlu adanya penyuluhan yang lebih intensif disertai partisipasi efektif dari petani,
dan apabila perlu diberikan insentif kepada masyarakat petani agar mau menerapkan
teknologi KTA.
Menurut Hayati et al. (2008) ada beberapa kendala dalam penerapan teknik
KTA diantaranya adalah : keterbatasan pengetahuan petani, keterbatasan luas lahan,
9

modal, dan kelangkaan tenaga kerja. Alternatif pemecahan masalah masing–masing


adalah : training/penyuluhan, usahatani dengan komoditas bernilai ekonomi tinggi dan
atau pertanian vertikal, revolving fund/subsidi dan gotong royong serta mendatangkan
tenaga kerja dari daerah lain.

Kinerja DAS

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 61 Tahun 2014, terdapat


beberapa kriteria untuk melihat kinerja DAS, yaitu:
1. Koefisien Regim Aliran (KRA)
Koefisien Regim Aliran merupakan perbandingan antara debit maksimum
(Qmaks) dengan debit minimum (Qmin) dalam suatu DAS. Nilai KRA ini
menggambarkan fluktuasi debit aliran sebagai respon curah hujan yang masuk ke
dalam outlet DAS. Semakin tinggi nilai rasio debit maksimum dan minimum
menunjukkan bahwa semakin tidak meratanya debit aliran yang terjadi sepanjang tahun
di DAS.
2. Koefisien Aliran Tahunan (KAT)
Koefisien Aliran Tahunan (KAT) atau Koefisien Runoff merupakan
perbandingan antara tebal aliran tahunan (mm) dengan tebal hujan (mm) di suatu DAS.
Semakin tinggi nilai KAT maka semakin banyak air hujan yang jatuh mengalir sebagai
aliran permukaan, sedangkan sebaliknya apabila semakin rendah maka semakin banyak
air hujan yang terdistirbusi menjadi air intersepsi dan infiltrasi.
3. Muatan Sedimen
Sedimentasi adalah jumlah material tanah berupa kadar lumpur dalam air oleh
aliran air sungai yang berasal dari hasil proses erosi di hulu, yang diendapkan pada
suatu tempat di hilir dimana kecepatan pengendapan butir-butir material suspensi telah
lebih kecil dari kecepatan angkutannya. Makin besar kadar sedimen yang terbawa oleh
aliran berarti makin tidak sehat kondisi DAS.
4. Banjir
Banjir dalam pengertian umum adalah debit aliran air sungai dalam jumlah
yang tinggi, atau debit aliran air di sungai secara relatif lebih besar dari kondisi normal
akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu terjadi secara terus
menerus, sehingga air tersebut tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada, maka
air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya. Semakin tinggi frekuensi
banjir dalam suatu DAS maka dapat dinyatakan bahwa kinerja DAS buruk.
5. Indeks Penggunaan Air (IPA)
Indeks Penggunaan Air digunakan untuk mengetahui gambaran jumlah
kebutuhan air dibandingkan dengan ketersediaan air di DAS. Nilai IPA suatu DAS
dikatakan baik jika jumlah air yang digunakan di DAS masih lebih sedikit daripada
potensinya sehingga DAS masih menghasilkan air yang keluar dari DAS untuk wilayah
hilirnya, sebaliknya dikatakan jelek jika jumlah air yang digunakan lebih besar dari
potensinya sehingga volume air yang dihasilkan dari DAS untuk wilayah hilirnya
sedikit atau tidak ada.
10

Komponen Hidrograf

Hidrograf aliran menggambarkan suatu distribusi waktu dari aliran (dalam


hal ini debit) di sungai dalam suatu DAS pada suatu lokasi tertentu. Hidrograf
aliran suatu DAS merupakan bagian penting yang diperlukan dalam berbagai
perencanaan bidang sumber daya air (Natakusumah et al. 2011).
Hidrograf menjadi 3 bagian yaitu sisi naik (rising limb), puncak (crest)
dan sisi resesi (recession limb). Maka demikian, bentuk hidrograf dapat ditandai
dari tiga sifat pokoknya, yaitu waktu naik (time of rise), debit puncak (peak
discharge) dan waktu dasar (base time). Waktu naik adalah waktu yang diukur
dari saat hidrograf mulai naik sampai terjadinya debit puncak. Debit puncak (Qp)
adalah debit maksimum yang terjadi dalam kejadian hujan tertentu. Waktu dasar
(Tb) adalah waktu yang diukur saat hidrograf mulai naik sampai waktu dimana
debit kembali pada suatu besaran yang ditetapkan (Seyhan 1977, Viessman et al.
1989 dan Harto 1993 dalam Sofyan et al. 2017).

Gambar 3 Bentuk hidrograf aliran (Indarto 2015)


Komponen penyusun hidrograf aliran antara lain; air yang berasal
langsung dari hujan (precipitation), limpasan permukaan (over land flow), aliran
bawah tanah (inter flow) dan aliran air tanah (base flow) (Harto 1993 dalam
Susilowati 2007).
Beberapa faktor yang mempengaruhi hidrograf antara lain faktor hujan
(jumlah, intensitas, distrubusi dan durasi hujan), faktor permukaan lahan (tanah,
topografi, penggunaan lahan), karakteristik fisik DAS (bentuk dan luas DAS), dan
komponen penyusun DAS (Nugroho 2001).

Soil and Water Assesment Tool (SWAT)

Soil and Water Assesment Tool (SWAT) adalah model yang


dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an untuk
pengembangan Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Model tersebut
dikembangkan untuk melakukan prediksi dampak jangka panjang dari manajemen
lahan pertanian terhadap air, sedimentasi, dan jumlah bahan kimia, pada suatu
11

area DAS yang kompleks dengan mempertimbangkan variasi jenis tanahnya, tata
guna lahan, serta kondisi manajemen suatu DAS setelah melalui periode yang
lama (Neitsch et al. 2012).
SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model terdistribusi
yang terhubung dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan mengintegrasikan
Spatial DSS (Decision Support System). Model SWAT dioperasikan pada interval
waktu harian dan dirancang untuk memprediksi dampak jangka panjang dari
praktek pengelolaan lahan terhadap sumber daya air, sedimen dan hasil
agrochemical pada DAS besar dan komplek dengan berbagai skenario tanah,
penggunaan lahan dan pengelolaan berbeda (Pawitan 2004).
SWAT memungkinkan sejumlah proses fisik yang berbeda untuk
disimulasikan pada suatu DAS. Penggunaan model SWAT dapat
mengidentifikasi, menilai, mengevaluasi tingkat permasalahan suatu DAS dan
sebagai alat untuk memilih tindakan pengelolaan dalam mengendalikan
permasalahan tersebut. Dengan demikian, diharapkan dengan penggunaan model
SWAT dapat dikembangkan beberapa skenario guna menentukan kondisi
perencanaan pengelolaan DAS terbaik. Penggunaan model SWAT dapat
digunakan pada beberapa fase pengelolaan DAS (Junaidi dan Tarigan 2012).
SWAT yang diintegrasikan dengan Sistem Informas Geografis (SIG) dapat
digunakan untuk mempelajari pengaruh metode yang berbeda pada manajemen
sedimen suatu DAS. Selain itu, dapat digunakan untuk mempelajari strategi untuk
pengelolaan sumber daya air serta dapat memberikan rekomendasi bagi para
pembuat kebijakan sebagai alat pendukung keputusan untuk mengevaluasi biaya
dan manfaat dari mengadopsi Manajemen Best Practices (BMP) terutama untuk
kontrol sedimen erosi pada DAS rawan (Adeougun et al. 2016).

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 8 bulan dari Bulan Januari 2017 hingga


Agustus 2017. Lokasi Penelitian terletak di DAS Cilemer (titik outlet Kadubera)
yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Pandeglang dan Lebak, Provinsi
Banten. Pengolahan Data dan Analisis Laboratorium dilakukan di Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Kampus IPB Dramaga (Gambar 4).
12

Titik Outlet
Kadubera

Gambar 4 Peta lokasi penelitian di DAS Cilemer (Sumber: Dinas PUPR, Banten)

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah seperangkat komputer,


Software ArcGIS 10.1, Arc SWAT versi 10.1.18, Microsoft Office 2010, global
Positioning System (GPS), ring sampler, double ring infiltrometer dan alat-alat
lainnya yang diperlukan untuk pengambilan sample fisik tanah dan analisis di
laboratorium.
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data spasial
dan numerik yaitu :
1. Peta DEM (Digital Elevation Model) Banten yang diturunkan dari citra
SRTM resolusi 30 m (sumber download dari CGIAR-CSI)
2. Peta tutupan lahan DAS Cilemer skala 1:250.000 (Badan Planologi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
3. Peta Tanah DAS Cilemer skala 1:250.000 (Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian)
4. Data Iklim tahun 2010-2015 (sumber dari BMKG kota Serang):
5.a. Data curah hujan harian (mm)
5.b. Data temperatur maksimum dan minimum harian (°C)
5.c. Data kelembaban udara harian (%)
5.d. Data radiasi matahari harian (MJ m-2 hari-1)
5.e. Data kecepatan angin harian (m s-1)
5. Data debit observasi harian Sungai Cilemer tahun 2010-2015 (sumber dari
Balai PSDA WS Ciliman-Cisawarna)
6. Data karakteristik fisik tanah DAS Cilemer (pengamatan lapang).
13

Prosedur Penelitian

Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari tahap
pengumpulan data sekunder, survei lapang (pengumpulan data primer), analisis data,
running model, simulasi KTA, dan skenario pengelolaan DAS. Adapun diagram alir
penelitian disajikan pada Gambar 5.

Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder
diperoleh dari lembaga atau instansi terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Banten, Balai PSDA Wilayah Sungai Ciliman-
Ciwasarna, Badan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan
Meterologi dan Klimatologi Kota Serang. Disamping itu ada beberapa data diperoleh
yang diunduh dari internet.

Mulai

Pengumpulan data

Data Primer Survei Data Sekunder


- Data Sifat Fisik Lapang - Peta DEM
Tanah - Peta Tutupan lahan
- Peta Batas DAS
- Peta Tanah
- Data Iklim
Analisis
Laboratorium - Data Debit

Analisis Data

Running Model SWAT

Simulasi KTA Arahan Pengelolaan


DAS

Gambar 5 Tahapan penelitian


Edited by Foxit Reader
Copyright(C) by Foxit Software Company,2005-2008
14 For Evaluation Only.

Data Primer diperoleh dengan observasi lapang untuk mengamati parameter


di lapangan dan pengambilan sampel tanah yang nantinya diujikan di laboratorium.
Adapun parameter yang diamati diantaranya laju infiltrasi tanah, kedalaman solum,
kedalaman efektif tanah, bulk density, tekstur, c-organik, kadar air tersedia,
permeabilitas, dan kandungan batuan (Lampiran 1-4). Metode yang digunakan untuk
penentuan jumlah dan lokasi sampel tanah mengacu pada satuan peta tanah.

Analisis Data
1. Identifikasi Kondisi Hidrologi DAS Cilemer
Ada beberapa parameter hidrologi yang dianalisis untuk melihat kondisi
hidrologi DAS Cilemer yaitu:
a. Koefisien Regim Aliran (KRA)

Menurut Dirjen RLPS (2014) dalam Permenhut No.61 tahun 2014 bahwa
kriteria kualitas DAS berdasarkan rasio debit maksimum dan minimum ditunjukan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Kriteria kualitas DAS berdasarkan nilai KRA
Kategori KRA Klasifikasi DAS
Sangat Rendah ≤20 Sangat baik
Rendah 20-50 Baik
Sedang 50-80 Sedang
Tinggi 80-110 Buruk
Sangat Tinggi >110 Sangat Buruk
b. Koefisien Aliran Tahunan (KAT)
( )
( )
Menurut Permenhut No.61 tahun 2014 bahwa kriteria kualitas DAS
berdasarkan Koefisien Aliran Tahunan ditunjukan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kriteria kualitas DAS berdasarkan nilai KAT
Kategori KAT Klasifikasi DAS
Sangat Rendah ≤0.2 Sangat baik
Rendah 0.2-0.3 Baik
Sedang 0.3-0.4 Sedang
Tinggi 0.4-0.5 Buruk
Sangat Tinggi >0.5 Sangat Buruk

c. Indeks Penggunaan Air (IPA)


Indeks penggunaan air digunakan untuk mengetahui kondisi ketersediaan
air dibandingkan kebutuhan air dalam suatu DAS. Indikator IPA dalam
pengelolaan tata air DAS sangat penting kaitannya dengan mitigasi bencana
kekeringan tahunan di DAS (Dirjen RLPS 2014). Indeks penggunaan air dihitung
dengan menggunakan persamaan:
( )
( )
15

- Ketersediaan air diasumsikan berasal dari aliran permukaan sehingga


perhitungannya mengacu pada data debit rata-rata DAS Cilemer dengan
persamaan sebagai berikut:

( ) dx84600
Dimana:
Q : debit rata-rata (m3/det)
d : jumlah hari dalam satu bulan

- Kebutuhan air dihitung dari masing-masing sektor diantaranya sektor


pertanian, peternakan, industri, dan penggelontoran.

1. Kebutuhan Air Pertanian (QP)


Kebutuhan air pertanian didominasi untuk irigasi lahan sawah, sehingga
perhitungan kebutuhan air pertanian dihitung dengan persamaan.
( )

dimana:
KAI : kebutuhan air irigasi (liter/detik)
Etc : kebutuhan air konsumtif (mm/hari)
IR : kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm/hari)
WLR : kebutuhan air untuk mengganti lapisan air (mm/hari)
P2 : perkolasi (mm/hari)
Re : curah hujan efektif (mm/hari)
IE : efisiensi irigasi (%)
A1 : luas areal irigasi (ha)
2. Kebutuhan Air Domestik (Qd)
Kebutuhan air domestik merupakan air yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari baik untuk mandi, minum, memasak, dan
lain-lain. Adapun perhitungan untuk menghitung kebutuhan air domestik adalah

Dimana: Qd = kebutuhan air domestik (m3/tahun), p = jumlah penduduk (orang), dh =


kebutuhan air per orang per hari (m3/orang/hari) , t = waktu (365 hari).
3. Kebutuhan Air Peternakan (Qt)
Kebutuhan air peternakan merupakan air yang dibutuhkan untuk budidaya hewan
ternak. Perhitungan kebutuhan air peternakan digunakan persamaan :
* ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
3
Dimana : Qt = kebutuhan air peternakan (m /tahun), q(s/k) = kebutuhan air untuk
sapi dan kerbau (m3/ hari), q(d/k) = kebutuhan air untuk domba/kambing (m3/
hari), q(u) = kebutuhan air untuk unggas (m3/ hari), p = jumlah masing-masing
ternak (ekor).
4. Kebutuhan Air Industri (Qi)
Kebutuhan air industri merupakan air yang dibutuhkan untuk segala proses
kegiatan industri. Kebutuhan air industri dapat dihitung berdasarkan jumlah
tenaga kerja yang bekerja di suatu industri dikalikan dengan standar kebutuhan air
untuk masing-masing tenaga kerja.
( ) ( )
16

Dimana : Qi = kebutuhan air industri (m3/tahun), q(k) = jumlah tenaga kerja


dalam suatu industri (orang), q (k) = standar kebutuhan air tenaga kerja industri
(m3/orang/hari), t = jumlah hari (365 hari).
5. Kebutuhan air untuk Penggelontoran Sungai (Qs)
Kebutuhan air penggelontoran sungai digunakan untuk pemeliharaan
sungai. Perhitungan kebutuhan air penggelontoran sungai didasarkan pada jumlah
penduduk dan standar untuk penggelontoran sungai (Adhmadani et al. 2013).
( ) ( ) ( )
Dimana Q(s) = kebutuhan air untuk penggelontoran sungai (m3/tahun), p(n) =
jumlah penduduk perkotaan (orang), dan q (f)= standar kebutuhan air untuk
penggelontoran (300 lt/orang/hari).

2. Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air dengan Model SWAT


Dalam mensimulasikan pengelolaan DAS Terpadu dengan menerapkan
teknik konservasi tanah dan air digunakan salah satu model hidrologi yaitu model
SWAT (Soil Water Assesment Tool). Model SWAT merupakan alat yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi, menilai dan mengevaluasi kondisi hidrologi
DAS sehingga dapat ditetapkan tindakan pengelolaan DAS yang tepat dan sesuai
(Junaidi dan Tarigan 2012). Terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan
dalam mensimulasikan pengelolaan DAS yaitu :
- Menjalankan Model SWAT
Adapun tahapan yang perlu dilakukan dalam menjalankan model SWAT
adalah :
Persiapan Data. Persiapan data disini ditujukan untuk mempersiapkan data-
data yang diperlukan untuk input model SWAT seperti peta penggunaan lahan, peta
tanah, peta lereng, serta data iklim. Disamping itu, dilakukan pembuatan basis data
untuk membuat data generator iklim (weather generator data).
Deleniasi DAS. Deleniasi DAS terbentuk dari input peta DEM. Pada tahap
deleniasi DAS ini akan terbentuk jaringan sungai, outlet DAS, serta sub DAS.
Analisis HRU. Pada tahap ini dilakukan input peta penggunaan lahan, tanah,
dan lereng untuk di overlay sehingga membentuk unit respon hidrologi. Selanjutnya
dilakukan pendefinisian HRU (HRU definition) untuk menentukan kriteria spesifik
yang akan diaplikasikan dalam HRU. Dalam pendefinisian HRU digunakan metode
threshold by percentage. Metode ini digunakan untuk menentukan seberapa besar
batas (threshold) untuk jenis tanah, tutupan lahan dan lereng di dalam Sub DAS
yang diabaikan oleh model dalam pembentukan HRU (Sulaeman 2016).
Input Data Iklim. Input data iklim yang berasal dari data generator iklim
diinput kedalam weather data definition. Kemudian diikuti dengan input data curah
hujan, temperatur, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin.
Membangun Input Data. Pada tahap ini dilakukan pemasukkan informasi
data input ke dalam basis data. Pembuatan input data dilakukan dengan memilih opsi
Write All. Default input ini dapat diedit dengan menggunakan menu Edit SWAT
Input.
Run SWAT. Tahap selanjutnya adalah proses running model SWAT untuk
menghasilkan output simulasi.
- Kalibrasi dan Validasi Model SWAT
Sebelum model digunakan untuk proses simulasi Konservasi Tanah dan Air,
model perlu dilakukan uji kalibrasi dan validasi.
17

Kalibrasi. Proses kalibrasi dilakukan guna mencari parameter model


yang sesuai agar hasil simulasi mendekati dengan hasil yang sebenarnya
dilapangan. Kalibrasi menggunakan data debit observasi harian tahun 2013.
Validasi. Proses validasi merupakan proses pengujian konsistensi model.
Dalam penelitian ini proses validasi akan menggunakan data debit observasi
harian tahun 2015. Kalibrasi dan validasi dilakukan pada Automatic Water Level
Recorder (AWLR) yang terdapat di outlet Kadubera.
Pengujian hasil kalibrasi dan validasi dihitung berdasarkan persamaan
koefisien determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe Efficiency (ENS). Nilai R2
merupakan nilai yang digunakan untuk menggambarkan seberapa banyak sebaran
data observasi yang dapat dijelaskan oleh data simulasi (Sulaeman, 2016). Kisaran
nilai R2 adalah 0-1, nilai R2dapat dihitung dengan persamaan :
( ) ( )
( )
Nilai NSE merupakan nilai yang menggambarkan kemiripan data simulasi
dengan data observasinya. NSE dapat dihitung dengan persamaan:
∑ ( )
∑ ( )
Keterangan :
R2 = koefisien determinasi
ENS = koefisien Nash-Sutcliffe
QSi = nilai simulasi model
QMi = nilai observasi
QM = rata-rata nilai observasi
n = jumlah data
Kisaran nilai NSE adalah 0 sampai 1, jika nilai NSE (Nash-Sutcliffe
Efficency) semakin mendekati angka 1 maka performa model dapat dikatakan
optimal dimana hasil simulasi mendekati hasil pengukuran dilapangan. Tingkat
performa model berdasarkan NSE ditunjukan pada Tabel 3.
Tabel 3 Tingkat performa model berdasarkan NSE
Tingkat Performa NSE
Sangat baik (very good) 0.75-1.00
Baik (good) 0.65-0.75
Memuaskan (Satisfactory) 0.50-0.65
Tidak memuaskan (unsatisfactory) ≤0.50
Sumber : Moriasi et al. 2007

- Simulasi Konservasi Tanah dan Air


Pengelolaan DAS Cilemer dalam peningkatan kualitas DAS disusun
berdasarkan pendekatan tekhnik Konservasi Tanah dan Air (KTA) metode vegetatif
dan sipil teknis. Adapun pengelolaan DAS yang diusulkan dalam penelitian ini adalah
1. Pengelolaan DAS dengan penanaman dalam strip (strip cropping) (metode
vegetatif)
Strip Cropping merupakan sistem bercocok tanam dengan beberapa jenis
tanaman yang di tanam dalam strip yang berselang-seling dalam sebidang tanah
dan disusun memotong lereng atau menurut garis kontur (Arsyad 2006). Tanaman
yang diterapkan bisanya tanaman utama seperti tanaman pangan atau tanaman
18

semusim diselingi dengan tanaman cover crop (penutup tanah) dengan lebar strip
berkisar 20-50 cm. Ada berbagai macam metode strip cropping diantaranya
contour strip cropping, field strip cropping dan buffer strip cropping. Praktek
KTA ini biasanya diterapkan pada lahan pertanian kering atau tegalan dengan
kemiringan yang tidak terlalu curam. Mengingat sebagian besar topografi di DAS
Cilemer adalah datar sampai landai sehingga cocok untuk diterapkan metode KTA
strip cropping terutama contour strip cropping. Praktek KTA ini memiliki
keunggulan dari segi biaya penerapannya cukup murah sehingga bisa diterapkan
oleh semua petani, dapat meningkatkan nutrisi tanah karena tanaman penutup
tanah yang digunakan dapat berfungsi sebagai pupuk hijau. Selain itu, adanya
tanaman penutup tanah dapat meminimalisir pukulan air hujan yang dapat
merusak partikel tanah, air hujan akan lebih banyak terinfiltrasikan kedalam tanah
sehingga mengurangi aliran permukaan.

Gambar 6 Pola metode contour strip cropping (sumber : www.bswm.da.gov.ph)

2. Pengelolaan DAS dengan Agroforestri (metode vegetatif)


Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan (usaha tani) yang
mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan
keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan (Ruijter dan Agus 2004).
Sistem KTA ini ditujukan untuk pemanfaatan lahan yang berkelanjutan dan
produktif.

Gambar 7 Pola metode agroforestri penanaman lorong (alley cropping) (sumber :


http://www.fao.org/ag/agp/AGPC/doc/Gallery/pic.htm)
Menurut Arsyad (2006) berbagai bentuk usaha tani yang bisa
dikategorikan agroforestri adalah kebun pekarangan, talun kebun, mamar,
perladangan, tumpeng sari, silvopastura, silvofishery, alley cropping, dll. Sistem
agroforestri memiliki berbagai keunggulan diantaranya dari segi ekonomi dapat
meningkatkan pendapatan petani, dari segi ekologi dapat meningkatkan kesuburan
tanah, mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta meningkatkan cadangan air
19

bawah tanah. Sistem agroforestri merupakan suatu metode KTA yang sudah
familiar bagi masyarakat Banten khususnya Banten Selatan. Menurut Senoaji
(2012) agroforestri di Banten Selatan berupa kebun sengon campuran telah
menjadi budaya khususnya bagi masyarakat Baduy Luar.
3. Pengelolaan DAS dengan pembangunan embung (metode sipil teknis)
Sesuai rakernas pertanian tahun 2017, pemerintah mentargetkan akan
membuat 30.000 unit embung di seluruh Indonesia termasuk di Provinsi Banten
guna mendukung pertanian dan ketersediaan air baku pertanian. Oleh sebab itu,
dalam penelitian ini diusulkan embung sebagai salah satu pengelolaan DAS untuk
melihat bagaimana dampak penerapan embung terhadap peningkatan kualitas
DAS khususnya dalam dalam menurunkan Koefisien Aliran Tahunan (KAT) dan
Koefisien Rejim Aliran (KRA). Embung merupakan kolam yang berfungsi
menampung air saat musim hujan. Limpasan air dari hujan ditampung ke dalam
embung melalui saluran-saluran air untuk persediaan air di musim kemarau
(Balitbang Pertanian 2017).

Gambar 8 Model embung yang dikembangkan (Sumber : Riatmoko 2013)


Berdasarkan usulan pengelolaan DAS tersebut, ditetapkan 6 skenario yang
diterapkan untuk melihat pengaruhnya terhadap karakteristik hidrologi DAS Cilemer,
yang antara lain (Tabel 4):
 Skenario 1: penerapan KTA dengan metode strip cropping
Penerapan teknik KTA metode vegetatif denga strip cropping disimulasikan pada
areal pertanian lahan kering dengan kemiringan 0-15%. Metode strip cropping
yang dipilih dalam penelitian ini dalah contur strip cropping dengan tanaman
pokok jagung berselang seling dengan rumput. Parameter model SWAT yang
dirubah dengan adanya skenario ini adalah STRIP_CN (bilangan kurva aliran
permukaan untuk strip cropping), STRIP_P (factor P USLE untuk stripcropping),
STRIP_C (factor C USLE untuk strip cropping) berdasarkan Arsyad (2006). Luas
areal yang disimulasikan dengan skenario 1 adalah 13 852 ha.
 Skenario 2: penerapan KTA dengan sistem agroforestri
Sistem agroforestri disimulasikan pada lahan pertanian dengan kemiringan 15-
45% dengan metode alley cropping (penanaman dalam lorong) yang
mengkombinasikan tanaman tahunan seperti sengon dengan tanaman pertanian
(jagung) dan penutup tanah (rumput). Parameter model SWAT yang berubah
dengan diterapkannya skenario ini yaitu CN2 (Curve Number), SOL_C (bahan
organik tanah), dan SOL_BD (bobot isi tanah) (Sulaeman, 2016). Nilai-nilai
parameter yang diterapkan mengacu pada hasil penelitian Wijayanto dan Rifa’i
(2010). Luas areal yang disimulasikan dengan skenario 2 adalah 1 999 ha.
 Skenario 3: penerapan KTA dengan pembuatan embung
Embung merupakan merupakan salah satu tekhnik KTA sipil teknis dengan
dimensi luasan 50-100 m2, kedalaman 3 m dan volume tampungan kurang dari
20

300 m3 yang bisa mengairi lahan sekitar 0,5-1 ha (Puslitbang Tanamana Pangan,
1994). Lokasi penetapan embung diarahkan pada daerah cekungan tempat
mengalirnya aliran permukaan, pada tanah bukan berpasir dan porous (mudah
meresapkan air) karena air cepat hilang. Skenario embung diterapkan pada lahan
pertanian dengan kemiringan 0-15%. Parameter yang disesuaikan untuk skenario
ini adalah PND_PSA (luas area permukaan embung), PND_VOL (Volume
embung) (Almendinger et al. 2010). Selain itu, parameter CN2 (Curve Number)
turut dirubah dan disesuaikan. Luas areal yang disimulasikan dengan skenario 3
adalah 10 913 ha.
 Skenario 4 : gabungan skenario 1 dan 2
Skenario ini merupakan merupakan gabungan dari penerapan KTA strip cropping
(metode contour strip cropping) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering
dan lahan kering campur dengan kemiringan 0-15% dengan agroforestri (metode
alley crooping) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering dan lahan kering
campur dengan kemiringan 15-45%. Parameter model SWAT yang dirubah
dengan adanya skenario ini adalah STRIP_CN, STRIP_P, STRIP_C, CN2
agroforestri, SOL_C, dan SOL_BD. Luas areal yang disimulasikan dengan
skenario 4 adalah 15 852 ha.
 Skenario 5: gabungan skenario 1 dan 3
Skenario ini merupakan merupakan gabungan dari penerapan KTA strip cropping
(metode contour strip cropping) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering
dan lahan kering campur dengan kemiringan 0-15% dengan embung pada lahan
pertanian dengan kemiringan 0-15% dipilih pada tanah bukan berpasir. Parameter
model SWAT yang dirubah dengan adanya skenario ini adalah STRIP_CN,
STRIP_P, STRIP_C, PND_PSA, PND_VOL, CN2 agroforstri. Luas areal yang
disimulasikan dengan skenario 5 adalah 13 852 ha.
 Scenario 6: gabungan skenario 2 dan 3
Skenario ini merupakan merupakan gabungan dari penerapan KTA agroforestri
(metode alley crooping) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering dan lahan
kering campur dengan kemiringan 15-45% dengan embung pada lahan pertanian
dengan kemiringan 0-15% dipilih pada tanah bukan berpasir. Parameter model
SWAT yang dirubah dengan adanya skenario ini adalah CN2 agroforestri,
SOL_C, dan SOL_BD PND_PSA, PN_VOL, CN2 embung. Luas areal yang
disimulasikan dengan skenario 6 adalah 12 912 ha.

3. Penyusunan Arahan dalam Pengelolaan DAS Cilemer


Arahan pengelolaan DAS didasarkan pada skenario yang paling baik dalam
meningkatkan kualitas DAS. Dari ke enam skenario tersebut kemudian dipilih skenario
mana yang paling baik dalam meningkatkan kualitas DAS. Adapun beberapa kriteria
untuk menetapakan skenario terbaik adalah
- Debit maksimum menurun
- Debit minimum meningkat
- Koefisien Regim Aliran menurun
- Koefisien Aliran Tahunan menurun
- Aliran Dasar (Base Flow) meningkat
- Hasil Air (Water Yield) meningkat
21

Tabel 4 Simulasi skenario pengelolaan DAS Cilemer


Metode Simulasi Parameter
Skenario Lokasi Simulasi Luas %
KTA Hidrologi
1 Strip STRIP_CN, 1,2, 5-24 13 852 49.44
cropping STRIP_P, dan
STRIP_C
2 Agroforestri SOL_BD, SOL_C, 1,2, 5-10,12- 1 999 7.14
SOL AWC, dan 18,20-24
CN2
3 Embung PND_SA, 1,2,5,6-10,12-24 10 913 38.95
PND_VOL, dan
CN2
4 Strip STRIP_CN, 1,2, 5-24 15 852 56.57
cropping STRIP_P,
dan STRIP_C,
Agroforestri SOL_BD, SOL_C,
SOL AWC, dan
CN2
5 Strip STRIP_CN, 1,2, 5-24 13852 49.44
cropping STRIP_P,
dan Embung STRIP_C,
PND_SA,
PND_VOL, dan
CN2
6 Agroforestri SOL_BD, SOL_C, 1,2, 5-10,12- 12 912 46.08
dan Embung SOL AWC, 18,20-24
PND_SA,
PND_VOL, dan
CN2

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Daerah Penelitian

1. Lokasi dan Luas Daerah Penelitian


DAS Cilemer terletak pada 105°48’25”-106°05’05” BT serta 6°16’58”-
6°35’13”LS. DAS Cilemer memiliki luas kurang lebih 569.6 km2 dengan panjang
sungai sekitar 94.3 km. DAS Cilemer Bagian Utara : dibatasi oleh DAS Cidanau,
Bagian Barat : dibatasi oleh Selat Sunda, Bagian Timur : dibatasi oleh DAS Ciujung,
dan Bagian Selatan : dibatasi oleh DAS Ciliman. Secara Administrasi DAS Cilemer
masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Lebak, Provinsi
Banten (Gambar 9).
22

Gambar 9 Peta batas DAS Cilemer (Sumber: Dinas PUPR, Banten)

2. Curah Hujan
Curah hujan yang turun selama enam tahun (2009-2015) di DAS Cilemer, rata-
rata curah hujan bulanan terendah jatuh pada Bulan Agustus yaitu sebesar 66 mm,
sementara tertinggi jatuh pada Bulan Januari yaitu sebesar 550 mm. Menurut
klasifikasi Oldeman, curah hujan yang jatuh di DAS Cilemer memiliki Bulan Kering
(<100mm) 2 bulan berturut-turut yaitu Bulan Agustus-September, Bulan Lembab (100-
200mm) terjadi 4 bulan yaitu Mei-Juli, dan Oktober, kemudian Bulan Basah (>200mm)
terjadi 6 bulan yaitu Januari-April, dan November-Desember. Sehingga berdasarkan
kondisi tersebut DAS Cilemer diklasifikasikan kedalam iklim C2 (Gambar 10).

600
500
Curah Hujan (mm)

400
300
200
100
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
Bulan

Gambar 10 Curah hujan rata-rata bulanan DAS Cilemer 2009-2015


23

Sedangkan curah hujan rata-rata tahunan yang jatuh di DAS Cilemer tertinggi
terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 3 666 mm, sementara terendah terjadi pada tahun
2015 yaitu sebesar 2234 mm (Gambar 11).
4000 3666 3597
3119
Curah hujan (mm)
2745 2656 2805
3000 2234
2000
1000
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tahun

Gambar 11 Curah hujan rata-rata tahunan DAS Cilemer 2009-2015

Kondisi Hidrologi DAS Cilemer

1. Koefisien Regim Aliran (KRA)


Koefisien Regim Aliran sungai merupakan perbandingan atau rasio debit
maksimum dan minimum. Nilai rasio ini menjadi salah satu indikator dalam melihat
kinerja suatu DAS. Debit maksimum menggambarkan kondisi ketersediaan air
pada musim penghujan yang dijadikan sebagai indikator penting untuk menilai
karakteristik hidrologi banjir dari suatu sungai. Sedangkan debit minimum
menyatakan kondisi ketersediaan air pada musim kering yang tentunya harus
digunakan terbatas untuk jenis penggunaan air tertentu saja, seperti penggunaan
domestik dan industri, dan tidak untuk pertanian (Pawitan 2003).
Berdasarkan data KRA DAS Cilemer tahun 2009-2015 dapat diklasifikasikan
ke dalam kelas buruk hingga sangat buruk. Nilai KRA tertinggi terjadi pada tahun 2011
yaitu sebesar 519,50 (kategori sangat buruk) dengan nilai Q max sebesar 103,9 dan Q
min sebesar 0,2. Sementara nilai KRA terendah terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar
101,56 (kategori buruk) dengan nilai Q max sebesar 91,4 dan Q min sebesar 0.9 (Tabel
5). Rendahnya nilai KRA pada tahun 2014 menunjukkan bahwa adanya
peningatan kualitas DAS dari tahun-tahun sebelumnya (2011-2014).
Tabel 5 Koefisien regim aliran DAS Cilemer
Tahun Qmax Q min KRA Klasifikasi DAS
2009 105.0 0.3 350.00 Sangat Buruk
2010 81.0 0.6 135.00 Sangat Buruk
2011 103.9 0.2 519.50 Sangat Buruk
2012 78.3 0.2 391.50 Sangat Buruk
2013 96.7 0.8 120.88 Sangat Buruk
2014 91.4 0.9 101.56 Buruk
2015 59.8 0.2 299.00 Sangat Buruk
Nilai KRA yang tinggi menunjukkan bahwa kisaran nilai limpasan pada
musim penghujan (air banjir) yang terjadi besar, sedang pada musim kemarau
aliran air yang terjadi sangat kecil atau menunjukkan kekeringan. Secara tidak
langsung kondisi ini menunjukkan bahwa daya resap lahan di DAS kurang
24

mampu menahan dan menyimpan air hujan yang jatuh dan air limpasannya
banyak yang terus masuk ke sungai dan terbuang ke laut sehingga ketersediaan air
di DAS saat musim kemarau sedikit (Dirjen RLPS 2014).

2. Koefisien Aliran Tahunan (KAT)


Koefisien Aliran Tahunan merupakan perbandingan antara volume aliran
dengan volume hujan yang jatuh. KAT dapat dijadikan sebagai indikator
gangguan fisik dalam DAS (Wahyuningrum dan Pramono 2007). Semakin besar
nilai KAT menunjukkan bahwa semakin banyak air hujan yang menjadi aliran
permukaan dan hanya sedikit yang terinfiltrasikan sehingga kualitas DAS dapat
dikatakan buruk, begitu sebaliknya semakin rendah nilai KAT maka dapat
dikatakan bahwa air hujan yang jatuh banyak yang terinfiltrasikan ke dalam tanah
sehingga sedikit yang menjadi aliran permukaan.
Tabel 6 Koefisien Aliran Tahunan DAS Cilemer (2009-2015)
Total Aliran
Tahun P (mm) KAT Klasifikasi DAS
(mm)
2009 582.05 2 744.70 0.21 Baik
2010 726.11 3 665.52 0.20 Sangat Baik
2011 797.59 2 656.49 0.30 Baik
2012 610.63 3 119.19 0.20 Sangat Baik
2013 632.70 3 597.10 0.18 Sangat Baik
2014 545.20 2 805.39 0.19 Sangat Baik
2015 452.22 2 234.42 0.20 Sangat Baik
Hasil identifikasi kondisi hidrologi DAS Cilemer tahun 2009-2015
berdasarkan nilai KAT menunjukkan bahwa nilai KAT DAS Cilemer masih
tergolong rendah dengan rata-rata nilanya <0.3. Nilai KAT tertinggi terjadi pada
tahun 2011 yaitu sebesar 0.30, meskipun nilai tertinggi dibandingkan tahun
lainnya namun nilai KAT tersebut masih tergolong rendah. Sementara nilai KAT
terendah terjadi pada tahun 2013 yaitu hanya sebesar 0.18. Rendahnya nilai KAT
di DAS Cilemer selama beberapa tahun terakhir mengindikasikan bahwa DAS
masih bekerja dengan baik khususnya dalam menginfiltrasikan air hujan ke dalam
tanah.
Bila dilihat dari kedua parameter hidrologi yang sudah dianalisis (KRA
dan KAT), keduanya menunjukan nilai kualitas DAS yang berkebalikan.
Berdasarkan parameter KRA, kondisi DAS Cilemer dinyatakan buruk hingga
sangat buruk, sementara berdasarkan parameter KAT, kondisi DAS Cilemer
dinyatakan baik hingga sangat baik. Perbedaan tersebut bisa saja dikarenakan
komponen penyusun hidrograf aliran pada kedua parameter tersebut berbeda.
KAT lebih dipengaruhi oleh direct runoff, sementara KRA selain dipengaruhi oleh
direct runoff dipengaruhi juga oleh base flow. Sehingga ketika direct runoff
rendah, hal tersebut otomatis akan menyebabkan nilai KATnya rendah, namun
belum tentu KRAnya rendah juga. Perlu dilihat terlebih dahulu komponen base
flownya, apabila base flownya tinggi maka akan menyebabkan nilai KRA rendah,
sebaliknya apabila base flownya rendah justru akan menyebabkan nilai KRA
tinggi.
Edited by Foxit Reader
Copyright(C) by Foxit Software Company,2005-2008
For Evaluation Only. 25

3. Pasokan Air dan Kebutuhan Air di DAS Cilemer


a. Pasokan atau Ketersediaan Air di DAS Cilemer
Ketersediaan air di DAS Cilemer berasal dari aliran yang masuk ke sungai yang
dihasilkan oleh DAS Cilemer. Hasil perhitungan ketersediaan air DAS Cilemer tahun
2011-2015 dapat diketahui bahwa ketersediaan air tertinggi terjadi pada tahun 2011
dengan total sebesar 453 768 248 m3/tahun, sementara ketersediaan air terendah terjadi
pada tahun 2015 yaitu sebesar 253 041 782 m3/tahun (Tabel7). Tinggi rendahnya
ketersediaan air di suatu DAS sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Selama lima tahun
(2011-2015), curah hujan tahun 2015 merupakan curah hujan terendah sehingga
pasokan air yang dihasilkan juga sangat rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Tabel 7 Ketersedian air di DAS Cilemer (2011-2015)
Ketersedian Air (m3)
Bulan
2011 2012 2013 2014 2015
Jan 60 048 000 96 733 440 110 410 560 63 996 480 54 916 128
Feb 39 648 960 50 051 520 39 744 000 22 213 440 41 395 200
Mar 135 639 360 67 046 400 22 239 360 21 660 480 45 916 704
Apr 85 803 840 36 054 720 45 437 760 34 387 200 10 162 428
May 44 928 000 13 400 640 25 030 080 12 052 800 31 060 512
Jun 11 007 360 5 590 080 22 567 680 10 065 600 12 414 786
Jul 16 113 600 3 248 640 26 948 160 8 268 480 4 214 016
Aug 2 048 516 1 086 968 13 361 342 11 103 794 1 546 560
Sep 2 285 568 392 832 8 347 680 8 499 456 1 745 578
Oct 7 516 800 2 909 729 4 841 187 23 838 039 4 570 560
Nov 20 659 392 27 614 304 19 061 280 41 086 656 10 824 430
Dec 28 068 852 43 002 116 21 923 303 52 057 394 34 274 880
Total 453 768 248 347 131 389 359 912 392 309 229 818 253 041 782
Menurut Solin (2014) besarnya intensitas curah hujan yang jatuh ke DAS
dapat berpengaruh terhadap surplus yang ada, jika curah hujannya banyak maka
surplus air akan meningkat, sebaliknya jika curah hujan sedikit maka surplus
airnya juga akan menurun. Disamping itu, penggunaan lahan juga turut
mempengaruhi ketersediaan air pada suatu DAS. Menurut Kumalajati et al.
(2015) penurunan ketersediaan air dalam suatu DAS disebabkan adanya
perubahan penggunaan lahan yang menurunkan hasil air total.

b. Kebutuhan Air
Sumber daya air di DAS Cilemer digunakan untuk berbagai sektor diantaranya
pertanian, domestik, peternakan, industri dan penggelontoran/pemeliharaan sungai.
Dari ke lima sektor tersebut, penggunaan air untuk sektor pertanian merupakan yang
paling besar dengan rata-rata pemakaian sebesar 143 274 732 m3/tahun, sementara
penggunaan air untuk sektor peternakan merupakan yang paling rendah dengan rata-
rata pemakaian sebesar 934 300 m3/tahun. Total kebutuhan air tertinggi selama lima
tahun (2011-2015) terjadi pada tahun 2015 dengan besaran pemakaian sebesar 215 089
933 m3/tahun, sementara total kebutuhan air terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar
212 076 335 m3/tahun (Tabel 8).
26

Tabel 8 Kebutuhan air DAS Cilemer (2011-2015)


Kebutuhan Air di Berbagai Sektor (m3/tahun) Kebutuhan
Tahun
Pertanian Domestik Peternakan Industri Penggelontoran Air Total
2011 142 939 026 17 797 131 969 830 1 832 717 48 537 630 212 076 335
2012 143 424 163 18 060 820 989 455 1 850 159 49 256 782 213 581 380
2013 143 358 435 18 110 857 915 624 1 868 148 49 393 246 213 646 311
2014 142 841 999 18 128 145 927 470 1 872 215 49 440 395 213 210 225
2015 143 810 036 18 387 303 869 122 1 876 283 50 147 189 215 089 933
Rata- 143 274 732 18 096 851 934 300 1 859 904 49 355 049 213 520 836
rata
Meningkatnya kebutuhan air merupakan implikasi dari meningkatnya jumlah
penduduk. Jumlah penduduk meningkat dari tahun ketahun sehingga berdampak pada
peningkatan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Keberadaan air tidak akan terlepas
dalam pemenuhan sandang, pangan dan papan bagi manusia, sehingga dengan
meningkatnya kebutuhan sandang, pangan dan papan maka akan menyebabkan
meningkatnya kebutuhan akan air.

c. Indeks Penggunaan Air


Indeks penggunaan air menggambarkan perbandingan antara total kebutuhan
air dengan ketersediaan air di suatu wilayah. Bila dilihat dari perbandingan ketersediaan
dan kebutuhan air DAS Cilemer selama 5 tahun (2011-2015), DAS Cilemer mengalami
surplus air. Surplus air tertinggi terjadi pada tahun 2011 karena ketersediaan air DAS
Cilemer sebesar 453 768 248 m3, sementara kebutuhan airnya hanya sebesar 212 076
335 m3 sehingga indeks penggunaan airnya tergolong rendah yaitu sebesar 0.47. Tahun
2015 mengalami surplus air terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan
ketersediaan air sebesar 253 041 782 m3, sementara kebutuhan airnya sebesar 215 089
933 m3 sehingga indeks penggunaan airnya sebesar 0.85 dan tergolong tinggi (Tabel 9).
Tabel 9 Indeks penggunaan air DAS Cilemer (2011-2015)
Indeks
Kebutuhan Air
Tahun Pasokan Air (m3) Penggunaan Klasifikasi
(m3)
Air
2011 453 768 248 212 076 335 0.47 rendah
2012 347 131 389 213 581 380 0.62 sedang
2013 359 912 392 213 646 311 0.59 sedang
2014 309 229 818 213 210 225 0.69 sedang
2015 253 041 782 215 089 933 0.85 tinggi
Tingginya indeks penggunaan air menunjukkan bahwa potensi air yang tersedia
lebih sedikit dibandingkan kebutuhan airnya. Apabila indeks penggunaan air tersebut
terus menerus meningkat maka akan berdampak pada bahaya kekeringan karena
potensi air yang tersedia tidak mampu memenuhi lagi kebutuhan air di suatu wilayah.
Sebaliknya apabila nilai indeks penggunaan airnya rendah maka dapat dikatakan baik
karena potensi ketersediaan airnya cukup tinggi dibandingkan kebutuhan airnya.
27

Hasil (Output) Model SWAT

Delineasi Sub Basin


Berdasarkan hasil delineasi model SWAT dengan ambang batas (threshold)
500 ha, didapatkan 24 sub basin yang terdelineasi oleh model dengan titik outlet berada
di outlet Kadubera. Outlet Kadubera di dalam model SWAT berada di Sub Basin 11.
Luasan DAS yang terdelineasi secara keseluruhan sebesar 28 019.96 ha, dimana luasan
terbesar berada di Sub Basin 12 dengan luasan sebesar 4 696.27 ha (sekitar 16.76% dari
luas DAS), sementara luasan terkecil berada di Sub Basin 4 dengan luasan sebesar
274.45 ha (sekitar 0.98 % dari luas DAS) (Tabel 10).
Tabel 10 Luas dan presentasi Sub DAS Cilemer berdasarkan delineasi model SWAT
Sub Luas % Sub Luas (ha) %
Basin (ha) Basin
1 705.72 2.52 14 665.66 2.38
2 919.65 3.28 15 652.02 2.33
3 570.20 2.03 16 2 664.35 9.51
4 274.45 0.98 17 460.25 1.64
5 1 390.98 4.96 18 580.43 2.07
6 1 063.69 3.80 19 1 024.49 3.66
7 893.23 3.19 20 871.92 3.11
8 865.10 3.09 21 782.43 2.79
9 502.01 1.79 22 1 081.59 3.86
10 2 210.91 7.89 23 2 077.10 7.41
11 526.73 1.88 24 1 785.61 6.37
12 4 696.27 16.76 Total 28 019.94 100.00
13 755.15 2.70

Gambar 12 Sub basin Cilemer hasil delineasi model SWAT


28

Pembentukan Hidrology Response Unit (HRU)


Hydrology Response Unit (HRU) merupakan unit satuan hidrologi yang terdiri
dari penggunaan lahan, jenis tanah dan lereng. Analisis HRU dalam model SWAT
menggunakan treshold 0% baik untuk penggunaan lahan, tanah dan lereng, dengan kata
lain tidak ada batasan penggunaan lahan, jenis tanah dan lereng yang diabaikan oleh
model. Hasil HRU yang terbentuk sebanyak 493 HRU.
A. Penggunaan Lahan
Jenis penggunaan lahan di DAS Cilemer hasil delineasi dari titik outlet
Kadubera terdapat 8 jenis penggunaan lahan yang digunakan untuk proses simulasi
model SWAT yaitu hutan lahan kering sekunder, pemukiman, pertanian lahan kering,
sawah, hutan tanaman industri, pertanian lahan kering campuran, perkebunan dan
semak/belukar. Penggunaan lahan yang digunakan untuk input model SWAT adalah
peta penggunaan lahan tahun 2013 dari Badan Planologi. Hasil analisis HRU
menunjukkan bahwa proporsi penggunaan lahan tertinggi di DAS Cilemer adalah
untuk pertanian lahan kering campuran yaitu sekitar 49.17% (13 778 ha), sementara
proporsi terendah adalah untuk semak/belukar yaitu sebesar 0.57% (159 ha) (Tabel 11).
Tabel 11 Luas dan presentase penggunaan lahan DAS Cilemer Banten tahun 2013
No Penggunaan Lahan Kode SWAT Luas (ha) %
1. Hutan lahan kering sekunder FRST 1 824 6.51
2. Pemukiman UMRL 1 039 3.11
3. Pertanian lahan kering AGRL 872 7.40
4. Sawah RICE 2 689 19.92
5. Hutan Tanaman Industri FRSD 2 072 3.71
6. Pertanian lahan kering campuran AGRR 13 778 49.17
7. Perkebunan RICE 5 582 9.60
8. Semak/belukar PAST 159 0.57
Jumlah 28 019 100

Gambar 13 Peta penggunaan lahan DAS Cilemer


29

B. Satuan Tanah
Satuan tanah di DAS Cilemer hasil delineasi dari Titik Outlet Kadubera
terdapat 9 jenis satuan tanah, dimana setiap satu satuan tanah (soil great group) terdiri
dari tiga sampai dua macam tanah (Tabel 12). Kelompok satuan tanah Tropudults dan
Tropudalfs mendominasi Wilayah DAS Cilemer dengan luasan sebesar 5 445 ha
(28.44% dari total luasan), sementara kelompok satuan tanah Tropudults, Dystropepts
dan Eutropepts memiliki luasan terkecil dengan luasan sebesar 518 ha (1.85% dari total
luasan).
Tabel 12 Luas dan presentase satuan tanah DAS Cilemer
Kode
No Soil great group Luas (ha) %
SWAT
1. Dystrandepts; Humitropepts; Hydrandepts TDHH 3 679 16.70
2. Dystrandepts; Tropudults; Eutropepts TDTE 570 2.04
3. Dystropepts; Dystrandepts; Tropudults; TDDT 1 369 4.89
4. Dystropepts; Eutropepts; Tropudalfs; TDET 1 292 4.61
5. Tropaquepts; Fluvaquents; Tropohemists TTFT 2 505 8.94
6. Tropudalfs; Eutropepts; Tropaquepts TTET 5 445 19.43
7. Tropudalfs; Tropudults TTAT 3 668 13.09
8. Tropudults; Dystropepts; Eutropepts TTDE 518 1.85
9. Tropudults; Tropudalfs TTUT 7 969 28.44
Jumlah 28 019 100

Gambar 14 Peta satuan tanah DAS Cilemer


30

C. Kelerengan
Kelas lereng DAS Cilemer terbagi ke dalam lima kelas yaitu 0-8%, 8-15%, 15-
25%, 25-45%, dan >45%. Hasil analisis HRU menunjukkan bahwa kelas lereng 0-8%
yang diklasifikasikan datar mendominasi wilayah DAS Cilemer dengan luasan sebesar
17 648 ha (62.99%), sedangkan kelas lereng >45% yang diklasifikasikan sangat curam
hanya sedikit dengan luasan sebesar 378 ha (%).
Tabel 13 Luas dan presentase kelerengan DAS Cilemer
No Kelas Lereng Klasifikasi Luas(ha) %
1. 0-8 % Datar 17 648 62.99
2. 8-15% Landai 5 889 21.02
3. 15-25% Agak Curam 2 552 9.11
4. 25-45% Curam 1 550 5.53
5. >45% Sangat Curam 378 1.35
Total 28 019 100

Gambar 15 Peta kemiringan lereng DAS Cilemer

Kalibrasi dan Validasi Model SWAT


Kalibrasi merupakan proses pengujian parameter sehingga menghasilkan nilai
NSE (Nash Sutclife Efficiensy) yang bagus. Nilai NSE dikatakan baik apabila hasil
simulasi model mendekati hasil observasi. Pada penelitian ini, kalibrasi dilakukan
secara manual yakni pemilihan nilai parameter dilakukan secara coba-coba (trial an
error) sampai menemukan nilai parameter yang cocok sehingga menghasilkan nilai
NSE yang bagus. Menurut Arnold et al. (2012), pendekatan yang biasanya digunakan
untuk kalibrasi manual melibatkan langkah-langkah berikut: (1) melakukan simulasi;
(2) membandingkan nilai terukur dan simulasi; (3) menilai jika hasil yang wajar telah
diperoleh; (4) jika tidak, sesuaikan masukan parameter berdasarkan penilaian ahli dan
31

pedoman lainnya dalam rentang nilai parameter yang masuk akal; dan (5) ulangi
prosesnya sampai menemukan hasil terbaik. Shanthi et al. (2001) juga mengusulkan
pendekatan kalibrasi manual dimana berdasarkan hasil penelitiannya didapatkan 15
fungsi parameter yang sensitif dengan rentang ketidakpastian yang realistis dan hasil R2
dan NSE yang memuaskan.
Sebelum dilakukan proses kalibrasi hasil model SWAT berdasarkan nilai NSE
dan R2 masing-masing adalah -0.45 dan 0.39 yang dikategorikan belum memuaskan
(Gambar 16).
Debit Simulasi Debit Observasi Curah Hujan
350 0
Debit (m3/detik)

300 100

Curah Hujan (mm)


250 200
200 300
150 400
100 500
50 600
0 700

Waktu
Gambar 16 Perbandingan debit simulasi dan debit observasi sebelum kalibrasi
Berdasarkan nilai NSE dan R2 yang didapat sebelum kalibrasi maka dapat
dinyatakan model belum bisa digunakan untuk simulasi KTA sehingga perlu dilakukan
proses kalibrasi karena masih < 0.5.
250 y = 0,5267x
Debit simulasi (m3/det)

R² = 0,3875
200

150

100

50

0
0 50 100 150 200 250
Debit Observasi (m3/det)

Gambar 17 Perbandingan debit simulasi dan debit observasi dalam bentuk scatter plot
sebelum kalibrasi
Proses kalibrasi dalam penelitian ini menggunakan data debit aliran tahun 2013
dari hasil pengamatan Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) Kadubera di DAS
Cilemer. Adapun parameter yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 14
parameter yaitu CH_K(2), CH_N(2), GW-DELAY, GW_QMIN, ALPHA_BNK,
ALPHA_BF, ESCO, EPCO, CN2, REVAPMN, RCHRG_DP, OV_N, GW_REVAP,
SHALLST. Parameter-parameter tersebut dipilih berdasarkan acuan dari beberapa
penelitian sebelumnya (Tabel 14).
Parameter-parameter yang dipilih untuk proses kalibrasi mengacu pada
beberapa penelitian sebelumnya dimana parameter tersebut sering digunakan dalam
32

proses kalibrasi karena sensitif seperti halnya yang dilakukan oleh Sulaeman (2016),
dalam proses kalibrasinya menggunakan parameter diantaranya dimulai dari yang
paling sensitif yaitu CN2, SHALLST, SURLAG, GWQMN, ESCO, RCHRG_DP,
ALPHA_BNK, GW_REVAP, EPCO, CH_N(2), CH_K(2), ALPHA_BF, OV_N,
GW_DELAY, dan REVAPMN.
Tabel 14 Paramater-parameter yang dimasukan kedalam proses kalibrasi
Satuan Nilai Nilai Nilai yang
No Parameter Keterangan
Min Max Digunakan
1 Esco Faktor kompensasi 0.01 0.5 0.3
evaporasi tanah -
2 Epco Faktor kompensasi 0.5 1 0.98
uptake tanaman -
3 Ov-n Nilai koefisien 0.01 0.48 *0.012-0.41
-
manning
4 Gw Delay Waktu delay air bawah Hari 100 150 90
tanah
5 Alpha bnk Faktor alpha base flow 0 0.9 0.25
Hari
untuk “bank storage”.
6 Alpha Bf Faktor alpha base flow Hari 0.1 0.848 0.5
7 Ch_k(2) Konduktivitas hidrolik 11 100 90
-
pada saluran utama
8 Ch_n(2) Koefisein kekasaran 0.03 0.065 0.03
manning untuk saluran mm/jam
utama
9 Gw Qmin Batas kedalaman air 500 3000 3500
pada aquifer dangkal
yang dibutuhkan untuk mmH2O
kembali terjadinya
aliran
10 Rchrg_Dp Fraksi perkolasi 0 0.2 0.08
-
aquifer dalam
11 Gw revap Koefisien revap air 0 0.2 0.15
bawah tanah -
12 Shallst Kedalaman aquifer mmH2O 1000 4000 3000
dangkal
13 Revapmn Batas kedalaman air di 20 500 500
aquifer dangkal untuk mmH2O
terjadinya “revap”
14 CN2 Bilangan kurva aliran 45 94 *45-92
permukaan pada
-
kondisi kelembaban
tanah kondisi II
* Berdasarkan penggunaan lahan
Van Liew et al. dalam Feyereisen et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat
beberapa kelompok parameter yang berpengaruh terhadap respon aliran permukaan,
aliran bawah permukaan dan basin. Kelompok yang berpengaruh terhadap respon
33

aliran permukaan yaitu CN2 dan ESCO, sedangkan GW_DELAY, ALPHA_BF,


SHALLST, GW_QMIN, GW_REVAP, REVAPMN, dan RCHRG_DP berpengaruh
terhadap respon aliran bawah permukaan, sementara CH_K(2), SURLAG, CH_N(2)
berpengaruh terhadap basin.
ESCO merupakan faktor kompensasai evaporasi tanah yang diakibatkan oleh
faktor kapilaritas, pengerakkan dan peretakkan tanah. Nilai ESCO berkisar antara 0.01-
1, semakin besar nilai ESCO menunjukkan bahwa permintaan untuk penguapan dari
lapisan tanah yang semakin dalam semakin tinggi, begitupula sebaliknya. Nilai ESCO
yang digunakan pada proses kalibrasi ini sebesar 0.3.
EPCO merupakan faktor kompensasi dari jumlah air yang diambil untuk
transpirasi tanaman. Kisaran nilai EPCO adalah 0-1. Jika mendekati 1 berarti model
membiarkan lebih banyak air yang diambil oleh tanaman sampai ke lapisan bawah
tanah. Sementara, jika EPCO mendekati 0 menunjukkan bahwa model hanya sedikit
membiarkan air yang diambil oleh tanaman atau hanya sedikit variasi dari distribusi
kedalaman tanah sebenarnya ke tempat pengambilan air. Nilai EPCO yang dipakai
dalam kalibrasi adalah 0.98.
OV_N merupakan nilai koefisien kekasaran manning untuk aliran permukaan.
Nilai OV_N sangat dipengaruhi oleh kondisi permukaan lahannya. Semakin rapat
tutupan permukaan lahannya maka nilai OV_N semakin tinggi. Sebaliknya, semakin
rendah kerapatan tutupan permukaan lahannya maka nilai OV_N semakin rendah. Nilai
yang digunakan pada proses kalibrasi penelitian ini adalah berkisar 0.012-0.41.
GW_DELAY merupakan waktu yang diperlukan air berpindah dari zona
dalam profil tanah menuju zona aquifer dangkal. Nilai ini tidak dapat diukur secara
langsung namun sangat dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah, sifat hidraulik
formasi geologi di zona vedos dan air bawah tanah. Nilai GW_DELAY yang
digunakan dalam kalibrasi adalah 90 hari.
ALPHA_BNK merupakan faktor alpha_bf untuk bank storage. Bank storage
berkontribusi terhadap aliran pada saluran utama di sub basin. ALPHA_BANK
disimulasikan dengan kurva resesi, kisaran nilai ALPHA_BNK adalah 0-1. Semakin
mendekati angka satu maka kurva resesi semakin datar dan apabila semakin mendakit 0
maka kurva resesi semakin curam. Nilai ALPHA_BNK yang digunakan untuk
kalibrasi pada penelitian ini adalah 0.25
ALPHA_BF merupakan faktor alpha baseflow yang merupakan respon aliran
bawah tanah terhadap perubahan dalam aliran. Nilai ALPHA_BF bervariasi mulai dari
0.1-0.3 (untuk lahan dengan respon aliran lambat) hingga 0.9-1.0 (untuk lahan respon
aliran cepat). Nilai ALPHA_BF yang ditetapkan untuk kalibrasi ini adalah 0.5 atau
dapat dikatakan respon alirannya sedang.
CH_K(2) merupakan konduktivitas hidraulik efektif pada saluran utama.
Konduktivitas hidraulik sangat dipengaruhi oleh bahan material saluran, semakin
halus bahan material salurannya maka tingkat kehilangan aliran sangat kecil,
sebaliknya jika bahan material saluran semakin kasar makan tingkat kehilangan
aliran tanah semakin besar. Nilai CH_K(2) yang ditetapkan pada proses kalibrasi
ini adalah 90 mm/jam, dengan begitu dapat dikatakan tingkat kehilangan alirannya
adalah cepat.
CH_N(2) merupakan kekasaran manning untuk saluran utama, nilai acuan
kekasaran manning mengacu pada Chow (1959), dalam kalibrasi kali ini nilai
CH_N(2) nya adalah 0.03 karena saluran sungai utamanya sudah dilakukan proses
normalisasi.
34

REVAPMN merupakan batas kedalaman air di aquifer dangkal untuk


terjadinya “revap”. Pergerakan air dari aquifer dangkal menuju zona tidak jenuh
akan terjadi jika volume air di aquifer dangkal sama atau lebih besar dari
REVAPMN. Nilai REVAPMN yang digunakan dalam kalibrasi ini adalah 500.
RCHRG_DP merupakan fraksi perkolasi dari zona perakaran yang mengisi
aquifer dalam. Nilainya antara 0.0-1.0, yang digunakan pada kalibrasi kali ini
adalah 0.08.
SHALLST merupakan kedalaman awal air di aquifer dangkal, nilai SHALLST
yang digunakan dalam kalibrasi adalah 3000. GW_QMIN merupakan batas
kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan untuk kembali terjadinya
aliran. Aliran bawah tanah akan terjadi jika hanya kedalaman aquifer dangkal
sama atau lebih besar dari GW_QMIN. Nilai GW_QMIN yang digunakan adalah
3500.
GW_REVAP merupakan koefisien revap air bawah tanah, menurut
Yustika (2013) GW_REVAP merupakan parameter yang cukup penting bila
dalam suatu DAS terdapat zona jenuh yang terletak tidak jauh dari permukaan
tanah atau terdapat vegetasi yang mempunyai akar cukup dalam. Nilai
GW_REVAP berkisar 0.0-0.20, apabila semakin mendekati angka 0 menunjukkan
bahwa pergerakan air dari aquifer dangkal ke zona perakaran terbatas, sebaliknya
apabila mendekati 1 maka laju transfer dari aquifer dangkal ke zona perakaran
mendekati laju evapotranspirasi potensial. Nilai GW_REVAP yang digunakan
dalam kalibrasi ini adalah 0.15.
CN2 merupakan bilangan kurva pada kondisi II. Semakin tinggi nilai CN2
menunjukkan bahwa jumlah aliran permukaan akan semakin tinggi. Nilai CN2 berkisar
0-100, semakin mendekati angka 100 menunjukkan bahwa jumlah aliran permukaan
semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Pada proses kalibrasi ini, nilai CN2 yang
digunakan berbeda-beda untuk masing-masing jenis penggunaan lahan, nilai yang
digunakan berkisar 45-92.
Hasil kalibrasi model SWAT menunjukkan bahwa nilai R2 dan NSE yang
didapat masing-masing adalah 0.63 dan 0.62. Berdasarkan kategori tingkat performa
model menurut Moriasi et al.(2007) model tersebut dapat dikatakan memuaskan karena
>0.5 (Gambar 18). Sementara untuk validasi yang dilakukan pada tahun 2015
menghasilkan R2 dan NSE masing-masing adalah 0.57 dan 0.52 dikategorikan
memuaskan (Gambar 20).
Debit Simulasi Debit Observasi Curah Hujan
200 0
Curah Hujan (mm)

100
150 200
300
Debit (m3/det)

100 400
50 500
600
0 700

Waktu

Gambar 18 Perbandingan debit observasi dan simulasi DAS Cilemer hasil kalibrasi
model SWAT (tahun 2013)
35

120
y = 0,9312x

Debit Simulasi (m3/det)


100 R² = 0,64
80
60
40
20
0
0 20 40 60 80 100 120
Debit Observasi (m3/det)

Gambar 19 Perbandingan debit observasi dan simulasi DAS Cilemer hasil kalibrasi
model SWAT dalam bentuk scatter plot

Debit Simulasi Debit Observasi Curah Hujan

350 0

Curah Hujan (mm)


300 100
Debit (m3/det)

250 200
200 300
150 400
100 500
50 600
0 700

Waktu

Gambar 20 Perbandingan debit observasi dan simulasi DAS Cilemer hasil validasi
model SWAT (tahun 2015)

70
y = 0,8603x
60 R² = 0,5503
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70

Gambar 21 Perbandingan debit observasi dan simulasi DAS Cilemer hasil validasi
model SWAT dalam bentuk scatter plot
36

Kalibrasi dan validasi model merupakan faktor kunci dalam mengurangi


ketidakpastian dan peningkatan kepercayaan pengguna terhadap kemampuan
prediksinnya, yang mana membuat aplikasi model menjadi efektif (White dan
Chaubey, 2005). Kalibrasi dan validasi juga dapat dijadikan sebagai ukuran kehandalan
simulasi dalam suatu model, kehandalan simulasi model dipengaruhi oleh lama
panjangnya periode simulasi serta kualitas data pengukuran yang digunakan
(keakuratanya) (Saleh et al. 2009). Setelah dilakukan kalibrasi dan validasi pada model,
dan model dinyatakan memuaskan maka dengan begitu model dapat digunakan untuk
simulasi skenario untuk menghasilkan arahan pengelolaan suatu DAS.

Karakteristik Hidrologi Berdasarkan Simulasi Model SWAT

Neraca Air
Hasil neraca air berdasarkan simulasi model SWAT tahun 2013-2015
menunjukkan bahwa jumlah air hujan yang jatuh sebesar 2 385.1 mm sebagian besar
terevapotranspirasikan sekitar 46.92% (1 119 mm), kemudian menghasilkan air (water
yield) sebanyak 854.49 mm (35.85%). Hasil air tersebut terdiri limpasan permukaan
sebesar 27.73% (653.98 mm), aliran lateral (inter flow) sebesar 6.30% (148.56 mm)
dan aliran bawah tanah (base flow) sebesar 1.82% (42.95 mm). Kemudian air hujan
yang jatuh terdistribusi pula untuk perkolasi sebesar 21.39% (504.55 mm), mengisi
akuifer dalam sebesar 3.21% (75.68 mm). Hasil neraca air ditunjukkan pada Gambar
22.
Proporsi evapotranspirasi yang lebih tinggi dikarenakan penggunaan lahan di
DAS Cilemer yang didominasi oleh lahan pertanian. Lahan pertanian di DAS Cilemer
sebagian besar lahan kering dimana rendah akan naungan sehingga pada saat kondisi
ketersediaan air tanah tak terbatas makan proses evaporasi akan maksimum. Disamping
itu pula, tingginya jumlah air yang digunakan tanaman untuk proses transpirasi.

Gambar 22 Neraca air berdasarkan simulasi model SWAT


37

Evapotranspirasi memegang peranan yang penting dalam siklus hidrologi


dan keseimbangan air di daerah tangkapan air. Dalam kegiatan irigasi pertanian,
evapotranspirasi yang menyebabkan kehilangan air yang cukup besar merupakan
faktor yang mempengaruhi secara signifikan kebutuhan air di lahan (Yanto 2011).

Respon Hidrologi DAS Cilemer Terhadap Water Yield


Karakteristik hidrologi DAS Cilemer tahun 2015 berdasarkan prediksi
model SWAT menunjukkan bahwa curah hujan yang jatuh pada Wilayah DAS
Cilemer (outlet Kadubera) sebesar 1972.58 mm (Tabel 15). Dari total curah hujan
yang jatuh, menghasilkan air (water yield) sebesar 904.55 mm (45.86%). Water
yield tersebut berasal dari aliran permukaan sebesar 475.72 mm (24.12%), aliran
lateral 10.26 mm (0.52%), dan aliran dasar sebesar 357.55 mm (18.13%).
Berdasarkan rata-rata bulanannya, total curah hujan tertinggi terjadi pada
Bulan Januari sebesar 459.58 mm, dari curah hujan tersebut kemudian
terdistribusi menjadi aliran permukaan sebesar 142.28 mm, dan aliran lateral
sebesar 2.54 mm, sehingga KAT yang dihasilkan sebesar 0.31, kemudian
terdistribusi menjadi aliran dasar sebesar 81.01 mm sehingga total air hujan yang
menjadi water yield pada Bulan Januari sebesar 230.53 mm. Berkebalikan dengan
Bulan Januari, total curah hujan Bulan September merupakan yang terendah,
dimana pada Bulan September tidak ada hujan (0.0 mm), namun pada saat itu
masih ada water yield yang dihasilkan yaitu sebesar 5.10 mm yang berasal dari
aliran lateral (0.05 mm) dan aliran dasar (0.87).
Tabel 15 Karakteristik hidrologi DAS Cilemer berdasarkan simulasi model SWAT
tahun 2015
Curah Aliran Aliran Aliran Water
DRO
Hujan Permukaan Lateral KAT Dasar Yield
Bulan (mm)
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
1 459.58 142.28 2.54 144.82 0.32 81.01 230.53
2 201.39 39.82 1.57 41.39 0.21 66.27 113.05
3 331.79 51.20 1.53 52.73 0.16 63.15 122.50
4 88.13 5.15 1.16 6.32 0.07 54.30 67.41
5 298.44 98.23 1.19 99.43 0.33 43.78 150.21
6 24.04 0.09 0.52 0.60 0.03 29.15 36.18
7 11.15 0.03 0.23 0.26 0.02 13.83 20.05
8 3.76 0.01 0.12 0.12 0.03 4.33 9.58
9 0.00 0.00 0.05 0.05 0.00 0.87 5.10
10 8.18 0.01 0.03 0.04 0.01 0.02 3.63
11 125.57 5.94 0.12 6.06 0.05 0.00 8.87
12 420.55 132.96 1.19 134.16 0.32 0.83 137.46
2015 1 972.58 475.72 10.26 485.98 0.25 357.55 904.55
1. Aliran Permukaan Langsung (Direct Runoff)
Total curah hujan yang menjadi aliran permukaan langsung (direct runoff)
485.98 mm dengan koefisien aliran permukaan langsung (KAT) sebesar 0.25.
nilai KAT semakin mendekati angka 0 maka dikatakan kualitas DAS semakin
baik karena semakin sedikit curah hujan yang menjadi aliran permukaan,
38

begitupula sebaliknya apabila semakin mendekati angka 1 maka kualitas DAS


semakin buruk karena banyaknya jumlah curah hujan yang jatuh berubah menjadi
aliran permukaan. Sehingga bila dilihat dari nilai KAT yang dihasilkan oleh
model SWAT, dapat dikatakan bahwa kemampuan DAS Cilemer dalam
meresapkan air hujan ke dalam tanah masih baik karena nilai koefisien aliran
tahunan (KAT) yang masih dikatakan rendah <0.3.
2. Aliran Dasar
Aliran dasar menggambarkan ketersediaan air pada sungai bawah tanah di
musim kemarau ketika komponen aliran saluran/ lorong dan celahan sudah tidak
ada lagi sehingga dapat digunakan sebagai prediksi ketersediaan air untuk
berbagai keperluan terutama pada musim kemarau (Adji 2011). Aliran dasar DAS
Cilemer tahun 2015 menurut model SWAT sebesar 357.55 mm (18.13% dari total
curah hujan). Aliran dasar tertinggi terjadi pada Bulan Januari yaitu sebesar 81.01
m, sedangkan terendah terjadi pada Bulan November dimana tidak ada aliran
dasar. Aliran dasar sangat dipengaruhi formasi batuan (geologi). Ada beberapa
formasi batuan yang mempengaruhi aliran dasar diantaranya formasi batuan
geologi yang tembus air (permeable) yang dinamakan akuifer, yaitu formasi-
formasi batuan yang mempunyai struktur yang memungkinkan adanya gerakan air
melaluinya dalam kondisi medan (field condition) biasa. Sebaliknya formasi
batuan yang sama sekali tidak tertembus oleh air (impermeable) dinamakan
aquiclude. Formasi batuan tersebut mengandung air, teteapi tidak memungkinkan
adanya gerakan air yang melaluinya, sebagai contoh air dalam tanah liat. Ada juga
aquifuge adalah formasi batuan kedap air yang tidak mengandung atau
mengalirkan air, dan batuan yang yang termasuk dalam ini adalah batuan granit
yang keras. Dan juga jika suatu lapisan yang kedap yang mengalasi sebuah
penghantar dan lapisan itu tersingkap di permukaan, maka air tanah dapat muncul
di permukaan pada jalur rembasan atau sebagai mata air (Matondang et al. 2012).
3. Water Yield
Water yield merupakan aliran total yang keluar dari suatu DAS yang
dihasilkan dari proses aliran permukaan, aliran lateral dan aliran dasar (Asdak
2007). Water yield DAS Cilemer yang dihasilkan pada tahun 2015 menurut model
SWAT sebesar 904.55 mm. Water yield tertinggi terjadi pada Bulan Januari
sebesar 230.53 mm. Tingginya water yield pada Bulan Januari karena curah
hujan yang jatuh pada bulan tersebut sangat tinggi. Sedangkan Bulan Oktober
menghasilkan water yield paling rendah yaitu hanya 3.63 mm karena curah hujan
yang jatuh pada bulan tersebut cukup rendah.
Menurut Basuki et al. (2017), water yield dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya pengelolaan lahan, formasi geologi, geomorfologi, jenis tanah,
input hujan dan luasan DAS.

Respon Hidrologi DAS Cilemer Terhadap Fluktuasi Debit


Fluktuasi debit menurut prediksi model SWAT, rata-rata debit yang terjadi
pada tahun 2015 pada titik outlet Kadubera sebesar 8.41 m3/det, dengan rata-rata
debit tertinggi terjadi pada Bulan Januari yaitu sebesar 24.84 m3/det. Sementara
untuk rata-rata debit terendah terjadi pada Bulan November yaitu sebesar 0.45
m3/det. Nilai Koefisien Regim Aliran (KRA) yang menggambarkan rasio debit
maksimum dan debit minimum sebagai respon curah hujan yang masuk kedalam
suatu outlet DAS, menunjukkan bahwa KRA yang terjadi pada tahun 2015 cukup
39

tinggi yaitu sebesar 119.70 (klasifikasi DAS tergolong sangat buruk) dengan nilai
debit maksimum sebesar 41.08 m3/det, dan debit minimum sebesar 0.34 m3/det
(Tabel 16).
Tabel 16 Fluktuasi debit aliran (m3/det) DAS Cilemer tahun 2015 berdasarkan
model SWAT
Debit Debit Debit
Bulan Rata- Harian Harian KRA
rata Maksimum Minimum
1 24.84 40.39 11.48 3.52
2 14.54 31.48 9.45 3.33
3 12.62 26.20 9.16 2.86
4 8.73 16.82 6.68 2.52
5 16.30 41.08 5.14 8.00
6 4.53 5.06 4.03 1.26
7 3.26 3.96 2.43 1.63
8 1.62 2.37 1.14 2.07
9 0.83 1.12 0.62 1.82
10 0.48 0.61 0.39 1.57
11 0.45 1.17 0.34 3.39
12 12.68 38.85 1.11 35.16
8.41 41.08 0.34 119.70

1. Debit Maksimum
Debit maksimum menggambarkan kondisi ketersediaan air pada musim
penghujan yang dijadikan sebagai indikator penting untuk menilai karakteristik
hidrologi banjir dari suatu sungai (Pawitan 2003). Debit maksimum tertinggi di
DAS Cilemer menurut model SWAT terjadi pada Bulan Mei sebesar 41.08
m3/det, sementara debit maksimum terendah terjadi pada Bulan Oktober yaitu
sebesar 0.61 m3/det. Tingginya debit harian maksimum pada Bulan Mei
mengindikasikan bahwa curah hujan pada Bulan Mei tahun 2015 cukup tinggi
sehingga menghasilkan debit maksimum paling tinggi, sementara redahnya debit
maksimum pada Bulan Oktober menunjukkan bahwa curah hujan yang terjadi
pada Bulan Oktober 2015 cukup rendah.
2. Debit Minimum
Debit minimum menyatakan kondisi ketersediaan air pada musim kering
yang tentunya harus digunakan terbatas untuk jenis penggunaan air tertentu saja,
seperti penggunaan domestik dan industri, dan tidak untuk pertanian (Pawitan
2003). Hasil simulasi model SWAT menunjukkan bahwa debit minimum tertinggi
terjadi pada Bulan Januari sebesar 11.48 m3/det, sementara debit minimum
terendah terjadi pada Bulan November yaitu sebesar 0.34 m3/det. Tingginya nilai
debit minimum pada Bulan Januari disebabkan karena Bulan Januari merupakan
musim penghujan sehingga debit harian minimumnya cukup tinggi, sementara
Bulan November merupakan bulan peralihan antara musim kemarau ke penghujan
sehingga nilai debit minimumnya tidak begitu tinggi.
40

3. Koefisien Regim Aliran


Nilai KRA yang tinggi menunjukkan bahwa kisaran nilai limpasan pada
musim penghujan (air banjir) yang terjadi besar, sedang pada musim kemarau
aliran air yang terjadi sangat kecil atau menunjukkan kekeringan. Secara tidak
langsung kondisi ini menunjukkan bahwa daya resap lahan di DAS kurang
mampu menahan dan menyimpan air hujan yang jatuh dan air limpasannya
banyak yang terus masuk ke sungai dan terbuang ke laut sehingga ketersediaan air
di DAS saat musim kemarau sedikit (Dirjen RLPS 2014). Hasil simulasi model
SWAT menunjukkan bahwa nilai KRA bulanan di DAS Cilemer masih tergolong
rendah dimana KRA bulanan tertinggi terjadi pada Bulan Desember yaitu sebesar
35.16 dengan nilai debit harian maksimum dan debit harian minimum masing-
masing adalah 38.85 m3/det dan 1.11 m3/det. Sedangkan nilai KRA bulanan
terendah terjadi pada Bulan Juni yaitu hanya sebesar 1.26 dengan nilai debit
harian maksimum dan debit harian minimum masing-masing adalah 5.06 m3/det
dan 4.03 m3/det.

Respon Hidrologi Berdasarkan Penggunaan Lahan


Berdasarkan penggunaan lahan di DAS Cilemer pada tahun 2015, penggunaan
lahan pemukiman menghasilkan aliran permukaan tertinggi yaitu 818.24 mm dengan
koefisien aliran 0.37. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebesar 37 % air hujan yang
jatuh berubah menjadi aliran permukaan sementara sisanya terinfiltrasi ke dalam tanah.
Tingginya aliran permukaan pada penggunaan lahan pemukiman dikarenakan adanya
pemampatan permukaan tanah sehingga air hujan yang jatuh sulit terinfiltrasi ke dalam
tanah, akibatnya air hujan banyak yang menjadi aliran permukaan. Sementara pada
penggunaan lahan hutan tanaman, aliran permukaan yang dihasilkan memiliki nilai
terendah dengan total aliran permukaan sebesar 96.28 mm dengan koefisien aliran
sebesar 0.04, yang menunjukkan bahwa sekitar 4% air hujan yang jatuh berubah
menjadi aliran permukaan, sisanya 96% terinfiltrasi ke dalam tanah. Tingginya
biomassa pohon pada hutan alam memperbaiki sifat fisik tanah dan meningkatkan
laju infiltrasi. Adanya vegetasi dan serasah pada penggunaan lahan hutan melindungi
permukaan tanah dari pukulan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah.
Apabila agregat tanah hancur maka akan menjadi partikel-partikel yang dapat
menyumbat pori tanah makro sehingga terjadi pemadatan tanah, akibatnya air akan
sulit terinfiltrasi dan memperbesar aliran permukaan (Masnang et al. 2014). Oleh sebab
itu, keberadaan vegetasi dan serasah berperan penting dalam penurunan aliran
permukaan.
Secara keseluruhan koefisien aliran untuk berbagai penggunaan lahan di DAS
Cilemer masih tergolong sangat baik hingga sedang karena masih dibawah <0.4. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar air hujan yang turun terinfiltrasi ke dalam
tanah, sementara yang menjadi aliran permukaan hanya sebagian kecil.
41

Tabel 17 Aliran permukaan pada tiap-tiap penggunaan lahan berdasarkan model


SWAT
Curah
Tebal Aliran Koefisien
No Penggunaan Lahan Hujan
(mm) Aliran
(mm)
1 Pertanian Lahan Kering 2246.07 425.08 0.19
2 Pertanian Lahan Kering Campuran 2215.00 350.70 0.16
3 Pemukiman 2236.54 818.24 0.37
4 Perkebunan 2273.20 274.74 0.12
5 Hutan Lahan Kering Sekunder 2300.89 193.23 0.08
6 Hutan Tanaman 2309.20 96.28 0.04
7 Semak Belukar 2150.00 167.70 0.08
8 Sawah 2239.29 373.34 0.17

Respon Hidrologi Tiap Sub Basin


1. Respon Hidrologi Tiap Sub Basin terhadap Water Yield
Respon hidrologi untuk tiap sub basin berdasarkan nilai KAT menunjukkan
sebagian besar sub basin memiliki nilai KAT yang masih baik hingga sedang yakni
>0.4. Nilai KAT tertinggi berada di sub basin 4 yaitu 0.33 (tergolong sedang), itu
artinya hanya sekitar 33 % dari total curah hujan yang menjadi aliran permukaan
langsung sementara sisanya terinfiltrasikan ke dalam tanah, dimana total curah hujan
yang jatuh pada wilayah sub das tersebut sebesar 2 093.79 mm dan aliran permukaan
langsung (DRO) sebesar 689.67 mm. Tingginya aliran permukaan di sub basin 4
dikarenakan penggunaan lahan di sub basin 4 adalah permukiman (17.86%) dan sawah
(84.81%). Menurut Staddal (2016) bahwa daerah pemukiman merupakan daerah kedap
air yang terdiri dari bangunan-bangunan yang terbuat dari bahan-bahan kedap air
seperti semen, beton dan batu bata sehingga proses infiltrasi tanah akan terhambat
akibatnya air hujan yang jatuh akan menjadi aliran permukaan. Begitu pula
dengan sawah, dimana pada lahan sawah terdapat lapisan kedap yang
menghambat proses infiltrasi. Penggunaan lahan dengan tutupan lahan rendah
akan menimbulkan aliran permukaan yang tinggi karena bahan organik rendah
sehingga kerapatan jenis tanah tinggi akibatnya koefisien aliran permukaannya
tinggi (Budiyanto 2015).
Berkebalikan dengan sub basin 4, sub basin 3 memiliki nilai KAT terendah
dengan nilai sebesar 0.11 (tergolong sangat baik), itu artinya hanya 11% dari total curah
hujan yang menjadi aliran permukaan. Total curah hujan yang jatuh pada wilayah sub
basin 3 sebesar 2087.53 mm dengan aliran permukaan sebesar 656.35 mm. Rendahnya
aliran permukaan pada sub basin ini dikarenakan sebagian besar penggunaan lahan di
sub basin ini adalah hutan tanaman (52.18%). Penggunaan lahan hutan berarti memiliki
tutupan vegetasi dan lapisan serasah yang lebih dominan dibandingkan penggunan
lahan lainnya. Vegetasi dan lapisan serasah melindungi permukaan tanah dari pukulan
langsung tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga terjadi
pemadatan tanah, hancuran partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori
tanah makro sehingga menghambat infiltrasi air tanah, akibatnya limpasan
permukaan akan meningkat (Masnang et al. 2014).
42

Tabel 18 Aliran permukaan pada tiap sub basin pada tahun 2015 berdasarkan model
SWAT
Curah Aliran Aliran Aliran Water
Sub
Hujan Permukaan Lateral DRO KAT Dasar Yield
Basin
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
1 2 063.45 525.10 12.04 537.14 0.26 352.75 949.23
2 2 037.52 478.98 15.31 494.29 0.24 334.89 888.39
3 2 087.53 220.94 18.36 239.29 0.11 656.35 981.01
4 2 093.79 686.36 3.31 689.67 0.33 340.88 1 085.97
5 1 776.90 378.83 13.84 392.66 0.22 528.61 994.25
6 2 093.79 434.80 16.31 451.12 0.22 436.34 950.84
7 2 093.79 525.87 11.41 537.28 0.26 372.69 969.16
8 2 093.79 603.95 10.50 614.44 0.29 388.10 1 062.90
9 2 093.79 603.84 8.64 612.49 0.29 320.52 987.94
10 2 093.79 562.04 10.79 572.83 0.27 389.77 1 022.64
11 1 699.04 441.96 9.01 450.97 0.27 44.67 495.64
12 2 041.35 444.46 10.41 454.87 0.22 476.82 1 000.74
13 2 093.79 434.60 11.19 445.80 0.21 444.33 956.87
14 1 699.04 447.63 8.37 456.00 0.27 41.99 497.99
15 2 019.89 348.17 8.46 356.63 0.18 506.77 933.76
16 1 877.45 437.71 10.09 447.80 0.24 466.90 982.39
17 2 070.53 460.75 7.53 468.28 0.23 392.40 921.37
18 1 699.04 426.56 7.41 433.97 0.26 40.62 474.59
19 1 699.04 424.41 10.60 435.01 0.26 41.32 476.33
20 2 000.78 527.31 8.42 535.73 0.27 419.74 1018.87
21 2 000.78 617.97 8.56 626.53 0.31 370.36 1053.38
22 1 944.02 335.97 9.30 345.27 0.18 604.56 1032.04
23 2 000.78 553.67 7.70 561.37 0.28 370.04 992.75
24 1 968.31 495.47 8.73 504.20 0.26 408.49 980.22
Total 1 972.58 475.72 10.26 485.98 0.25 357.55 904.55
Dilihat dari nilai aliran dasarnya, sub basin yang menghasilkan aliran dasar
paling tinggi adalah sub basin 3 yaitu sebesar 656.35 mm. Tingginya aliran dasar
menggambarkan bahwa ketersediaan air pada musim kemarau di sub 3 cukup tinggi.
Tingginya aliran dasar pada sub basin 3 dikarenakan sebagian besar penggunaan
lahannya adalah hutan tanaman. Penggunaan lahan hutan dapat memperbaiki sifat fisik
tanah sehingga air hujan yang jatuh dapat terinfiltrasi lebih banyak mengisi cadangan
air bawah tanah. Sementara sub basin 17 menghasilkan aliran dasar paling rendah yaitu
sebesar 40.62 mm, mengingat sebagian besar penggunaan lahannya adalah pertanian
campuran, dimana air hujan yang jatuh lebih banyak menjadi aliran permukaan dan
sedikit yang terinfiltrasi dan menjadi aliran dasar.
43

Gambar 23 Sebaran nilai DRO pada tiap sub basin


Berdasarkan nilai total air yang dihasilkan (water yield) di DAS Cilemer
menurut model SWAT, sub basin yang menghasilkan total air paling tinggi berada di
sub basin 4 dengan nilai sebesar 1 085. 97 mm. Sementara terendah berada di sub basin
18 sebesar 474.59 mm. Besar kecilnya water yield yang dihasilkan oleh suatu sub basin
adalah tingginya curah hujan, luasan sub basin, dan pengguaan lahan pada suatu sub
basin.
2. Respon Hidrologi Tiap Sub Basin Terhadap KRA
Respon hidrologi tiap sub basin berdasarkan nilai KRA dapat dilihat pada Tabel
19 bahwa hampir semua sub basin memiliki KRA yang dikategorikan sangat buruk
yaitu >110. Nilai KRA yang tertinggi berada di sub basin 6 yaitu 425.80. Sementara
nilai KRA terendah berada di sub basin 11 yaitu sebesar 119.70.
Tabel 19 Koefisien Regim Aliran (KRA) pada tiap sub basin pada tahun 2015
Debit Debit
Sub
Maksimum Minimum KRA
Basin
(m3/det) (m3/det)
1 3.36 0.01 335.50
2 3.50 0.01 349.80
3 1.50 0.01 150.30
4 11.23 0.04 280.75
5 3.96 0.02 198.00
6 4.26 0.01 425.80
7 3.39 0.01 338.70
8 9.62 0.03 320.63
9 2.80 0.01 279.70
10 14.54 0.06 242.33
11 41.08 0.35 119.70
12 29.01 0.11 263.73
13 2.37 0.01 237.40
44
Tabel 19 Koefisien Regim Aliran (KRA) pada tiap sub basin pada tahun 2015
(lanjutan)
Debit Debit
Sub
Maksimum Minimum KRA
Basin
(m3/det) (m3/det)
14 3.34 0.01 334.10
15 1.94 0.01 193.80
16 6.42 0.03 214.03
17 12.86 0.08 160.75
18 3.06 0.01 305.70
19 38.50 0.27 142.59
20 33.69 0.21 160.43
21 31.81 0.25 127.24
22 2.57 0.01 256.90
23 8.03 0.02 401.55
24 5.89 0.02 294.55
Tingginya KRA menunjukkan bahwa terjadi perbedaan nilai cukup jauh antara
debit maksimum dan minimum, dimana debit maksimum semakin meningkat pada
musim penghujan, sementara debit minimum semakin menurun pada musim kemarau.
Tingginya nilai KRA pada sub basin 6 dikarenakan sebagian besar penggunaan
lahan di sub basin tersebut adalah pertanian lahan kering campuran. Pola
pertanian oleh petani yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air
dapat menyebabkan kualitas DAS menurun yang ditandai dengan meningkatnya
nilai rasio debit maksimum dan minimum. Sementara rendahnya nilai KRA di sub
basin 11 lebih dikarenakan luasan sub basin yang sangat rendah dibandingkan sub
basin lainnya.

Gambar 24 Sebaran nilai KRA pada tiap sub basin


45

Skenario Teknik Konservasi Tanah dan Air terhadap Respon Hidrologi DAS
Cilemer

Hasil Simulasi KTA Terhadap KRA


Berdasarkan hasil simulasi skenario pengelolaan DAS menggunakan
model SWAT menunjukkan bahwa penerapan teknik KTA mampu menurunkan
debit maksimum (Q maks) serta meningkatkan debit minimum (Q min) sehingga
nilai KRA menurun (Tabel 20).
Tabel 20 Skenario pengelolaan DAS terhadap nilai Koefisien Regim Aliran
(KRA)
Δ
Rata- Qmax Qmin
Skenario 3 %Δ 3 %Δ KRA % Δ Klasifikasi
Rata (m /det) (m /det)
DAS
Eksisting 8.41 41.08 0.34 119.70
+ 1 kelas
Skenario 1 8.61 39.20 - 4.58 0.42 +22.96 92.89 -26.81 (SB-B)
+ 1 kelas
Skenario 2 8.49 39.59 - 3.63 0.37 +6.88 107.93 -11.76 (SB-B)
+ 1 kelas
Skenario 3 8.68 39.15 - 4.70 0.42 +21.04 94.25 -25.45 (SB-B)
+ 1 kelas
Skenario 4 8.56 37.93 - 7.67 0.41 +19.87 92.20 -27.50 (SB-B)
+ 2 kelas
Skenario 5 8.68 34.04 -17.14 0.43 +25.90 78.78 -40.92 (SB-S)
+ 2 kelas
Skenario 6 8.70 34.38 -16.31 0.44 +27.91 78.31 -41.38 (SB-S)
SB = Sangat Buruk, B = Buruk, S = Sedang
- Skenario 1
Skenario 1 merupakan penerapan KTA dengan metode strip cropping.
Hasil simulasi model SWAT menunjukkan bahwa dengan adanya penerapan strip
cropping mampu menurunkan debit maksimum sebesar 4.58% (menurun dari
41.08 m3/det dari kondisi eksisting menjadi 39.20 m3/det), meningkatkan debit
minimum sebesar 22.96% (dari 0.34 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 0.42
m3/det) sehingga KRA menurun sebesar 26.81% (menurun dari 119.70 pada
kondisi eksisting menjadi 92.89, dengan begitu klasifikasi DAS berubah dari kelas
sangat buruk menjadi buruk. Menurunnya KRA dengan adanya penerapan strip
cropping disebabkan karena penanaman strip cropping mampu memperpendek
jarak fluktuasi antara debit maksimum dan minimum dengan adanya penanaman
berselang seling antara tanaman penutup tanah dan tanaman pokok sehingga tanah
semaksimal mungkin akan terlindungi oleh tanaman. Tanaman akan menghalau
air hujan yang jatuh sehingga partikel tanah tidak akan rusak dan air hujan yang
jatuh sebisa mungkin akan terinfiltrasikan ke dalam tanah mengisi cadangan air
bawah tanah sehingga pada musim penghujan air yang masuk ke sungai akan
sedikit akibatnya debit maksimum menurun. Sementara pada musim kemarau,
cadangan air tanah akan mengalir sebagai aliran dasar yang mengalir ke sungai
sehingga debit minimum meningkat.
46

- Skenario 2
Hasil simulasi penerapan KTA pada skenario 2 menunjukkan bahwa
terjadi penurunan debit maksimum sebesar 3.63% dari 41.08 m3/det pada kondisi
eksisting menjadi 39.59 m3/det. Kemudian debit minimum meningkat sebesar
6.88% dari 0.34 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 0.37 m3/det sehingga KRA
menurun sebesar 11.76% dari 119.70 pada kondisi eksisting menjadi 107.93
dengan begitu klasifikasi DAS berubah dari kelas sangat buruk menjadi buruk.
Adanya penerapan agroforestri mampu memperbaiki kualitas DAS karena adanya
naungan yang berlapis-lapis dari tanaman tahunan dan tanaman semusim dalam
satu lahan membuat permukaan tanah terlindungi dari pukulan air hujan secara
maksimal sehingga air hujan yang menjadi aliran permukaan akan berkurang
dengan begitu debit maksimum pada musim penghujan akan menurun, sedangkan
pada musim kemarau debit minimum meningkat karena dengan adanya pola
agroforestri dapat memperbaiki sifat fisik tanah terutama kemampuan dalam
menginfiltrasikan air ke dalam tanah sehingga pada saat hujan turun air lebih
banyak terinfiltrasi ke dalam tanah mengisi cadangan air bawah tanah yang akan
mengalir sebagai aliran dasar ketika musim kemarau sehingga meningkatkan debit
minimum.
- Skenario 3
Simulasi skenario 3 dengan teknik embung dapat menurunkan debit
maksimum sebesar 4.70% dari 41.08 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 39.15
m3/det. Debit minimum meningkat sebesar 21.04% dari 0.34 m3/det pada kondisi
eksisting menjadi 0.42 m3/det sehingga KRA menurun sebesar 25.45% dari
119.70 pada kondisi eksisting menjadi 94.25 dengan begitu klasifikasi DAS
berubah dari sangat buruk menjadi buruk. Menurunnya KRA dengan
diterapkannya embung karena embung dirancang khusus untuk menampung air
hujan yang jatuh sehingga ketika hujan turun, air hujan yang menjadi aliran
permukaan dan yang masuk ke sungai berkurang, akibatnya debit maksimum akan
menurun. Sedangkan pada musim kemarau, air hujan yang sudah tertampung pada
musim penghujan dapat dialirkan ke sungai atau saluran irigasi untuk kebutuhan
musim kemarau sehingga debit minimumnya meningkat.
- Skenario 4
Skenario 4 yang merupakan gabungan teknik KTA strip cropping dan
agroforestri mampu menurunkan debit maksimum sebesar 7.67% yakni dari 41.08
m3/det pada kondisi eksisting menjadi 37.93 m3/det. Debit minimum meningkat sebesar
19.87% dari 0.34 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 0.41 m3/det sehingga KRA
menurun sebesar 27.50% dari 119.70 pada kondisi eksisting menjadi 92.20 dengan
begitu klasifikasi DAS berubah dari kelas sangat buruk menjadi buruk. Skenario 4 yang
merupakan gabungan dari dua teknik KTA mampu menurunkan KRA lebih besar
dibandingkan skenario KTA tunggal. Adanya penerapan KTA gabungan yakni strip
cropping yang diterapkan di daerah landai 0-15% dapat menurunkan debit maksimum
dan meningkatkan debit minimum di dataran rendah, kemudian agroforestri yang
diterapkan didaerah curam 25-45% dapat menurunkan debit maksimum dan
meningkatkan debit minimum di dataran tinggi sehingga dapat memperbaiki kondisi
hidrologi DAS secara menyeluruh sehingga hasilnya lebih signifikan dibandingkan
skenario tunggal.
47

- Skenario 5
Skenario 5 yang merupakan gabungan teknik KTA strip cropping dan
embung mampu menurunkan debit maksimum sebesar 17.14% yakni dari 41.08
m3/det pada kondisi eksisting menjadi 34.04 m3/det. Debit minimum meningkat
sebesar 25.90% dari 0.34 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 0.43 m3/det
sehingga KRA menurun sebesar 40.92% dari 119.70 pada kondisi eksisting
menjadi 78.78 dengan begitu klasifikasi DAS berubah dari kelas sangat buruk
menjadi buruk. Adanya penerapan KTA ganda yaitu strip cropping dan embung
pada lahan dengan kemiringan yang sama yaitu 0-15% dapat memaksimalkan
penurunan debit maksimum pada musim penghujan dan peningkatan debit
minimum pada musim kemarau. Perpaduan antara metode KTA vegetatif dan sipil
teknis lebih menguntungkan bila dibandingkan penerapan KTA dengan satu jenis
atau seragam. Keuntungan yang didapat yakni peningkatan sifat fisik dan kimia
tanah yang berasal dari pupuk hijau hasil metode vegetatif, kemudian dari segi
ketersediaan air pada musim kemarau dapat meningkat karena adanya cadangan
air dari embung yang dapat dialirkan ke sungai maupun ke saluran irigasi
sehingga dengan begitu debit minimum akan meningkat, dan nilai KRA akan
menurun.
- Skenario 6
Skenario 6 yang merupakan gabungan teknik KTA agroforestri dan
embung mampu menurunkan debit maksimum sebesar 16.31% yakni dari 41.08
m3/det pada kondisi eksisting menjadi 34.38 m3/det. Debit minimum meningkat
sebesar 27.91% dari 0.34 m3/det pada kondisi eksisting menjadi 0.44 m3/det
sehingga KRA menurun sebesar 41.38% dari 119.70 pada kondisi eksisting
menjadi 78.31 dengan begitu klasifikasi DAS berubah dari kelas sangat buruk
menjadi buruk. Penurunan KRA yang cukup efektif pada skenario 6 ini
dikarenakan adanya perpaduan penerapan KTA di daerah hulu dan daerah hilir,
dimana agroforestri diterapkan di daerah curam (15-45%) yang sebagian besar di
daerah hulu, sementara embung diterapkan di daerah landai yang sebagian besar
berada di daerah hilir sehingga dengan begitu perpaduan metode pada skenario 6
ini merupakan kombinasi yang representatif sehingga dapat meurunkan KRA
lebih besar dibandingkan skenario lainnya.

Hasil Simulasi KTA Terhadap Water Yield


Pengaruh skenario pengelolaan DAS terhadap water yield dapat dilihat
pada Tabel 21. Adanya penerapan KTA dapat menekan aliran permukaan dan
meningkatkan hasil air, dimana masing-masing skenario mengalami penurunan
aliran permukaan dan peningkatan aliran dasar serta water yield.
- Skenario 1
Skenario 1 mampu menurunkan aliran permukaan langsung (DRO)
sebesar 28.93% (dari 485.98 mm menjadi 345.42 mm) sehingga nilai KAT
menurun dari 0.25 menjadi 0.18. Dilihat dari aliran dasarnya, skenario 1 mampu
meningkatkan aliran dasar sebesar 40.56% (dari 357.55 mm menjadi 502.58 mm)
dan hasil air sebesar 2.06% (dari 904.55 mm menjadi 923.21 mm). Penurunan
KAT pada skenario ini dikarenakan adanya penanaman pola strip cropping dapat
melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan sehingga struktur tanah
terjaga. Air hujan yang jatuh akan lebih banyak terinfiltrasi sehingga aliran
permukaan hanya sedikit, dan yang menjadi aliran dasar lebih banyak.
48

Tabel 21 Skenario pengelolaan DAS terhadap water yield DAS Cilemer


Curah Δ Klasifikasi Aliran Water
DRO %Δ
Skenario Hujan KAT DAS Dasar %Δ Yield %Δ
(mm) DRO
(mm) (mm) (mm)
Eksisting 1 972.58 485.98 0.25 357.55 904.55
Skenario 1 1 972.74 345.42 0.18 + 1 kelas (B-SB) -28.93 502.58 +40,56 923.21 +2.06
Skenario 2 1 972.74 442.90 0.22 Tetap (B-B) -8.87 404.46 +13,12 912.78 +0.89
Skenario 3 1 972.74 343.92 0.17 + 1 kelas (B-SB) -29.24 522.05 +46,00 940.97 +3.99
Skenario 4 1 972.74 363.84 0.18 + 1 kelas (B-SB) -25.14 480.23 +34,31 917.53 +1.38
Skenario 5 1 972.74 335.53 0.17 + 1 kelas (B-SB) -30.97 529.48 +48,08 940.72 +3.94
Skenario 6 1 972.74 322.52 0.16 + 1 kelas (B-SB) -33.64 544.07 +52,16 943.68 +4.16
SB = Sangat baik, B= Baik
- Skenario 2
Skenario 2 yang merupakan metode KTA pola agroforestri mampu
menurunkan aliran permukaan langsung (DRO) sebesar 8.87% (dari 485.98 mm
menjadi 442.90 mm) sehingga nilai KAT menurun dari 0.25 menjadi 0.22. Dilihat
dari aliran dasarnya, skenario 2 mampu meningkatkan aliran dasar sebesar
13.12% (dari 357.55 mm menjadi 404.46 mm) dan hasil air sebesar 0.89% (dari
904.55 mm menjadi 912.78mm). Naungan yang berasal dari pola agroforestri
yang mengkombinasikan penanaman tanaman tahunan dan semusim dapat
memaksimalkan perlindungan tanah dari pukulan air hujan. Disamping itu,
keberadaan serasah hasil dari sisa-sisa tanaman pohon dapat memperbaiki sifat
fisik tanah terutama struktur tanahnya sehingga kemampuan infiltrasinya
meningkat. Dengan begitu, air hujan yang jatuh akan lebih banyak terinfiltrasi dan
aliran permukaan akan berkurang dan aliran dasar akan meningkat.
- Skenario 3
Diterapkan skenario 3 yang merupakan metode embung mampu
menurunkan aliran permukaan langsung sebesar 29.24% (485.98 mm menjadi
343.92 mm) sehingga nilai KAT menurun dari 0.25 menjadi 0.17, kemudian aliran
dasar meningkat sebesar 46.00% (dari 357.55 mm menjadi 522.05 mm) dan hasil
air meningkat sebesar 3.99 % (dari 904.55 mm menjadi 940.97 mm). Menurunnya
aliran permukaan serta meningkatnya aliran dasar dan water yield dikarenakan
keberadaan embung dapat menekan aliran permukaan pada musim penghujan,
selain itu juga embung dapat berfungsi untuk mengalirkan air hasil tampungan
padan musim penghujan ke saluran baik saluran sungai maupun irigasi ketika
musim kemarau.
- Skenario 4
Skenario 4 yang merupakan gabungan teknik KTA strip cropping dan
agroforestri mampu menurunkan aliran permukaan langsung sebesar 25.14% (485.98
mm menjadi 363.84 mm) sehingga nilai KAT menurun dari 0.25 menjadi 0.18,
kemudian aliran dasar meningkat sebesar 34.31% (dari 357.55 mm menjadi 480.23
mm) dan hasil air meningkat sebesar 1.38% (dari 904.55 mm menjadi 917.53 mm).
Sistem gabungan dua metode vegetatif ternyata dapat menurunkan aliran permukaan,
serta meningkatkan aliran dasar lebih besar dibandingkan metode tunggal. Hal ini
dikarenakan kerapatan tajuk vegetasi akan meningkat dua kali lipat dibandingkan
metode KTA tunggal sehingga air hujan yang jatuh akan lebih banyak terinfiltrasikan
serta yang menjadi aliran permukaan akan lebih sedikit daripada metode KTA tunggal.
49

- Skenario 5
Skenario 5 yang merupakan gabungan metode KTA strip cropping dan
embung mampu menurunkan aliran permukaan langsung sebesar 30.97% (485.98
mm menjadi 335.53 mm) sehingga nilai KAT menurun dari 0.25 menjadi 0.17,
kemudian aliran dasar meningkat sebesar 48.08% (dari 357.55 mm menjadi
529.48 mm) dan hasil air meningkat sebesar 3.94% (dari 904.55 mm menjadi
940.72 mm). Kombinasi metode KTA strip cropping yang merupakan metode
vegetatif dengan embung yang merupakan metode sipil tekhnis akan saling
melengkapi. Adanya vegetasi dengan pola penanaman strip cropping akan
melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan memperbaiki sifat fisik
tanah terutama struktur tanah sehingga air akan lebih mudah terinfiltrasikan.
Kemudian ditambah dengan keberadaan embung yang akan menjadi wadah
penampung aliran permukaan apabila lolos dari lahan yang disimulasikan strip
cropping sehingga aliran permukaan menjadi sangat rendah, sementara air yang
tertampung dalam embung nantinya dapat digunakan dan dialirkan ke saluran
ketika musim kemarau.
- Skenario 6
Skenario 6 yang merupakan metode gabungan agroforestri dan embung
mampu menurunkan aliran permukaan langsung sebesar 33.64% (485.98 mm
menjadi 322.52 mm) sehingga nilai KAT menurun dari 0.25 menjadi 0.16,
kemudian aliran dasar meningkat sebesar 52.16% (dari 357.55 mm menjadi
544.07 mm) dan hasil air meningkat sebesar 4.16% (dari 904.55 mm menjadi
943.68 mm). Manfaat yang dirasakan dengan penerapan skenario 6 sama halnya
dengan skenario 5 yakni kombinasi tepat antara metode vegetatif dan sipil teknis.
Namun yang membedakan skenario 6 dengan skenario 5 adalah komposisi
vegetasi, dimana pada skenario 6 metode KTA yang diterapkan adalah
agroforestri yang komposisi vegetasinya terdiri dari tanaman naungan tinggi dan
naungan rendah, sementara pada skenario 5 hanya tanaman naungan rendah.
Kemudian dari segi sebaran lokasi simulasinya. Pada skenario 6 lebih
representatif karena lokasi simulasinya tersebar di daerah datar hingga curam,
sementara pada skenario 5 hanya dilakukan pada daerah datar saja (0-15%).
Menurut Budiyanto (2015) praktek konservasi mampu menurunkan KRA
dan KAT serta meningkatkan aliran dasar dan water yield disebabkan karena
dengan adanya praktek konservasi akan memberikan kesempatan air hujan yang
jatuh ke permukaan tanah masuk ke dalam air tanah sebagai air infiltrasi dan
kemudian akan menjadi aliran lateral, aliran dasar dan sebagian akan
meningkatkan kelembaban tanah.

Arahan Pengelolaan DAS Cilemer

Pengelolaan DAS Cilemer untuk meningkatkan kualitas DAS diarahkan


pada pengelolaan yang mampu menurunkan KRA, KAT serta meningkatkan
aliran dasar dan water yield. Berdasarkan hasil simulasi KTA di DAS Cilemer
diketahui bahwa pengelolaan DAS dengan penerapan Konservasi Tanah dan Air
dapat menurunkan KRA, KAT, aliran dasar dan water yield sehingga dapat
meningkatkan kualitas DAS. Didapatkan dari ke enam skenario yang diusulkan,
skenario 6 dianggap merupakan skenario terbaik dalam pengelolaan DAS
50

Cilemer. Skenario ini merupakan skenario yang menerapkan KTA dengan


menggabungkan metode agroforestri dan embung dalam suatu wilayah subdas.
Dapat dilihat dari nilai KRA, skenario 6 memiliki nilai terendah yaitu 78.31
dengan nilai debit maksimum sebesar 34.38 m3/det dan debit minimum sebesar
0.44 m3/det. Skenario 6 mampu meningkatkan kualitas DAS dari kategori sangat
buruk menjadi sedang dengan presentasi penurunan KRA sebesar 34.57%.

120,00
100,00
80,00
KRA

60,00
40,00
20,00
0,00
Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
1 2 3 4 5 6

Gambar 25 Hasil KRA pada berbagai skenario


Skenario 6 mampu menekan aliran permukaan lebih besar dibandingkan
skenario lainnya yang diusulkan yaitu sebesar 33.64%, dimana nilai KAT
menurun dari 0.25 (kondisi eksisiting) menjadi 0.16 sehingga dapat dikatakan
lebih efektif dalam menekan aliran permukaan dibandingkan ke lima skenario
lainnya. Disamping menekan aliran permukaan, skenario 6 juga lebih efektif
dalam meningkatkan aliran dasar dan water yield, dilihat dari peningkatan yang
lebih besar dari ke lima skenario lainnya yaitu sebesar 52.16 % dan hasil air
(water yield) sebesar 4.16%. Aliran dasar dan water yield dapat dijadikan tolak
ukur dalam meningkatkan ketersediaan air terutama pada musim kemarau,
sehingga dengan meningkatnya aliran dasar dan water yield pada skenario 6,
maka dapat dikatakan skenario 6 lebih efektif dibandingkan skenario lainnya
dalam meningkatkan ketersediaan air di DAS Cilemer.
1000,00
900,00
800,00
700,00
600,00
Aliran Permukaan
mm

500,00
400,00 Aliran Dasar
300,00
Water Yield
200,00
100,00
0,00
Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
1 2 3 4 5 6

Gambar 26 Hasil KAT pada berbagai skenario


51

Perubahan respon hidrologi DAS Cilemer ke arah yang lebih baik pada
skenario 6 dibandingkan lima skenario lainnya dikarenakan adanya perpaduan
metode KTA yang tepat dan representatif yaitu agroforestri di daerah curam yang
mewakili daerah hulu dan embung di daerah landai yang mewakili daerah hilir.
Penerapan pola agroforestri di tegalan menunjukkan bahwa adanya komponen
penyusun tanaman kayu (pohon) pada sistem agroforestri akan memperbaiki
karakteristik tanah baik sifat fisika, kimia maupun biologi tanah. Perakaran pohon
akan memperbaiki sifat fisika tanah terutama struktur dan porositas tanah.
Keberadaan pohon juga akan memperbaiki sifat kimia tanah dengan menambah
kandungan bahan organik tanah. Penerapan pola agroforestri akan memperbaiki
infiltrasi dan perkolasi tanah, sehingga meningkatkan air tanah (aliran dasar)
(Junaidy 2013). Disamping itu, diterapkannya embung dapat dijadikan sebagai
wadah untuk menampung aliran permukaan yang datang dari areal lahan di bagian
hulu DAS Cilemer. Embung juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air
tanaman selama musim kemarau yang ditetapkan dengan mempertimbangkan
ketersediaan air dalam embung (Rejekiningrum dan Haryati 2002).
Metode agroforestri dan embung sudah familiar dimata masyarakat
Banten. Metode agroforestri sudah banyak diterapkan masyarakat Banten
khususnya Banten Selatan yaitu masyarakat baduy luar, sehingga apabila sistem
agroforestri ini disarankan kepada masyarakat Banten khususnya masyarakat di
DAS Cilemer, mereka sudah paham mengenai pola agroforestri. Begitu pula
untuk metode embung, embung juga merupakan metode konservasi yang sudah
familiar di masyarakat Banten karena sudah ada embung yang dibangun disana
namun jumlahnya tidak banyak, setidaknya apabila metode embung ini
ditawarkan masyarakat DAS Cilemer, mereka sudah memiliki gambaran
mengenai embung.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Karakteristik hidrologi DAS Cilemer tahun 2015 berdasarkan model SWAT


menunjukkan bahwa nilai Koefisen Regim Aliran (KRA) klasifikasi DAS
tergolong sangat buruk, dengan nilai sebesar 119.70 (nilai debit maksimum
sebesar 51.53 m3/det, dan debit minimum sebesar 0.19 m3/det). Sementara dari
nilai KAT (Koefisien Aliran Tahunan), kualitas DAS Cilemer masih dikatakan baik
karena memiliki nilai KAT yang rendah yaitu 0.25.
2. Simulasi beberapa teknik konservasi tanah dan Air (KTA) dapat menurunkan
KRA, KAT dan aliran permukaan serta meningkatkan water yield.
3. Dari ke enam skenario yang diusulkan, skenario 6 (gabungan tekhnik KTA
agroforestri dan embung) ditetapkan skenario terbaik yang dapat diterapkan di
DAS Cilemer karena kemampuannya dalam menurunkan KRA sebesar 34.57
dan aliran permukaan sebesar 33.64%, serta meningkatkan water yield sebesar
4.16%.
52

Saran

Penelitian yang dilakukan hanya sebatas dari aspek lingkungan yaitu


kondisi hidrologinya, sementara aspek sosial dan ekonomi tidak dilakukan.
Sebaiknya agar arahan pengelolaan DAS yang diusulkan bisa diterapkan wilayah
DAS penelitian perlu analisis dari aspek lainnya seperti aspek sosial (respon
petani terhadap penerapan KTA), dan aspek ekonomi (dampak penerapan KTA
terhadap peningkatan petani, dan biaya untuk penerapan KTA). Disamping itu,
agar penelitian lebih baik lagi, pengambilan contoh tanah untuk input model
SWAT perlu diperbanyak lagi sehingga lebih representatif. Kualitas data perlu
ditingkatkan terutama data iklim untuk pembangkitan input model disarankan
menggunakan data iklim yang berada di dalam DAS sehingga hasil model bisa
akurat.

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2016. Proses Terjadinya Siklus Hidrologi.


http://xylemfloem.blogspot.co.id [diunduh 21 Januari 2018 ].
Adhmadani DN, Haji ATS, Susanawati LD. 2013. Analisis ketersediaan dan
kebutuhan air untuk daya dukung lingkungan (studi kasus Kota Malang).
J. Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Adeougun AG, Sule BF, Salami AW. 2016. Cost effectiveness of sediment
management strategies for mitigation of sedimentation at Jebba Hydropower
reservoir, Nigeria. Journal of Saud University-Engineering Sciences.In press.
Adji TN. 2011. Pemisahan Aliran Dasar Bagian Hulu Sungai Bribin pada Aliran
Gua Gilap, di Kars Gunung Sewu, Gunung Kidul, Yogyakarta. J. Geologi
Indonesia. 6(3):163-175.
Almeninger JE, Ulrich J, Nieber J, Ribanszky S. 2010. Final Report to Constructing a
SWAT model of the Sunrise River watershed, Eastern Minnesota.
Arnold JG, Moriasi DN, Gassman PW, Abbaspour MJ, Srinivasan R, Santhi C,
Harmel R, van Griensven A, Van Liew MW, Kannan N, Jha MK. 2012.
SWAT: model use, calibration and validation. Trans.ASABE. 55(4):1491-
1508.
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air . Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
Press.
Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID) :
Universitas Gadjah Mada Press.
Bagdi GL, Mishra PK, Kurothe RS, Arya SL, Patil AL, Singh AK, Bihari B,
Prakash O, Kumar A, Sundarambal P. 2015. Post-adoption behavior of
farmers towards soil and water conservation technologies of watershed
management in India. International Soil and Water Conservation
Research. 3:161-169.
Budiyanto, S. 2015. Aplikasi Teknologi Konservasi Tanah dan Air dalam Upaya
Pengelolaan Sumberdaya Air DAS Kaligarang, Provinsi Jawa Tengah.
[Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
53

Bustomi, 2000. Prinsip Dasar Analisis Kebutuhan Air dan Ketersediaan Air Irigasi,
Kursus Singkat Sistem Sumber Daya Air Dalam Otonomi Daerah II, Grup
Sumber Daya Air Laboratorium Hidrolika, JTS-FT UGM. Yogjakarta.
Dariah A, Nurida NL, Sutono. 2007. Fomulasi bahan pembenah tanah untuk
rehabilitasi lahan terdegradasi. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya
Lahan dan Lingkungan Pertanian. Bogor, 7 -8 November 2007. 289-297.
[Dinas PUPR] Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2015. Kajian Evaluasi
Kinerja Penyelesaian Pengendalian Banjir DAS Cilemer. Laporan Akhir.
Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman Provinsi Banten. 2016. Banjir Di Sebagian
Daerah Provinsi Banten Di Tahun 2015 Dan Upaya Penanganannya. Http:
dsdap.bantenprov.go.id [diakses 17 februari 2016].
[Dirjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
2014. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial Nomor: P. 61 /Menhut-II/2014 tentang Pedoman Monitoring dan
Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta.
[Dirjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
2014. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial Nomor: P. 60 /Menhut-II/2014 tentang Kriteria Penetapan
Klasifikasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta.
Feyereisen GW, Strickland TC, Bosch DD, Sullivan DG. 2007. Evaluation of SWAT
manual calibration and input parameter sensitivity in the little river watershed.
Trans.ASABE. 50(3):843-855.
Gebre T, Mohammed Z, Taddesse M, Narayana SC. 2013. Adoption of structural
soil and water conservation technologies by small holder farmers in Adama
Wereda, East Shewa, Ethiopia. International Journal of Advanced
Structures and Geotechnical Engineering. 2(2):2319-5347.
Haryati U, Hartatik W, Rachman A. 2008. Teknologi konservasi tanah dan air
untuk usahatani berbasis tanaman hias di lahan kering. Seminar Nasional
dan Dialog Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, 18-20 November 2008.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Huckett SP. 2010. A Comparative Study to Identify Factors Affecting Adoption of
Soil and Water Conservation Practices Among Smallhold Farmers in the
Njoro River Watershed of Kenya. Utah State University.
Indarto. 2015. Hidrologi : Metode Analisis dan Tool untuk Interpretasi Hidrograf
Aliran Sungai. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Junaidi E, Tarigan SD. 2012. Penggunaan model hidrologi SWAT (Soil and Water
Assessment Tool) dalam pengelolaan DAS Cisadane (application SWAT
hydrology model in Cisadane watershed management). Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam. 9 (3) : 221-237.
Junaidy E. 2013. Peranan penerapan agroforestry terhadap hasil air daerah aliran
sungai (DAS) Cisadane. Jurnal Penelitian Agroforestry. 1(1) : 41-53.
Kumalajati E, Sabarnudi S, Budiadi, Sudira P. 2015. Analisis kebutuhan dan
ketersediaan air di DAS Keduang Jawa Tengah. J. Teknosains. 5(1) :1-80.
Kustamar. 2013. Strategi pengendalian banjir berbasis konservasi sumber daya air di
DAS Sungai Nangka, Lombok Timur. Konferensi Nasiona Teknik Sipil 7,
Surakarta 24-26 Oktober.
54

Masnang A, Sinukaban N, Sudarsono, Gintings N. 2014. Kajian tingkat aliran


permukaan dan erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di Subdas
Jenneberang Hulu. J. Agroteknos. 4(1):32-37.
Moriasi DN, Arnold JG, Van Liew MW, Bingner RL, Harmel RD, Veith TL. 2007.
Model evaluation guidelines for systematic quantification of accuracy in
watershed simulation. American Society of Agricultural and Biological
Engineers. 50(3):885-900.
Natakusumah DK, Hatmoko W, Harlan D. 2011. Prosedur umum perhitungan
hidrograf satuan sintetis dengan cara ITB dan beberapa contoh
penerapannya. J. Teknik Sipil. 18(3).
Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, Williams JR, Haney EB. 2012. Soil
and Water Assessment Tool: Input/Output File Documentation, Version 2012.
Temple, Texas (US): Texas Water Resources Institute-Texas A&M
University.
Nugroho SP. 2001. Analisis hidrograf satuan sintetik metode snyder, clark dan scs
dengan menggunakan model hec-1 di DAS Ciliwung Hulu. J. Sains dan
Teknologi Modifikasi Cuaca. 2(1):57-67.
Nurcahyo HK. 2017. Bagaimana pola atau model agroforestry saat ini?. http :
//www.dictio.id. [diakses 2 Januari 2018].
Pawitan H. 2004. Aplikasi model erosi dalam perspektif pengelolaan daerah aliran
sungai. Prosiding Seminar Degradasi Lahan dan Hutan. Masyarakat
Konservasi Tanah dan Air Indonesia; 2004 Des 10-11; Yogyakarta,
Indonesia. Jakarta (ID): Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia
(MKTI). hlm 102-117.
[Pemprov Banten] Pemerintah Provinsi Banten. 2011. Peraturan Daerah No. 2
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2030.
Banten (ID) : Pemerintah Provinsi Banten.
Pilcat SLM. 2016. Guidelines on soil and water conservation. http :
//www.bswm.da.gov.ph/philcat-slm/Publication [ di unduh 21 Januari 2018].
Presiden Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No.37 tentang Konservasi
Tanah dan Air. Jakarta (ID) : Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah No.37 tentang
Pengelolaan DAS. Jakarta (ID) : Presiden Republik Indonesia.
[Puslitbang Tanaman Pangan] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
1994. Embung Kolam Penampung Air. Wonocolo : Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian.
Rahayu S, Widodo RH, Noordwijk MV, Suryadi I, Verbist B. 2009. Monitoring Air
di Daerah Aliran Sungai. Bogor (ID): World Agroforestry Centre - Southeast
Asia Regional Office. 104 p.
Rejekiningrum P, Haryati U. 2002. Panen hujan dan aliran permukaan untuk
meningkatkan produktivitas lahan kering di Nyatnyono, DAS Kaligarang,
Semarang. J. Agromet. 1:61-75.
Riatmoko FI. 2013. Dispar DIY dukung pengembangan desa wisata Nglanggeran.
http://travel.kompas.com// [diunduh 21 Januari 2018].
Saleh DK, Kratzer CR, Green CH, Evans DG. 2009. Using the Soil and Water
Assesment Tool (SWAT) to Simulate Runoff in Mustang Creek Basin,
California. Scientific Investigation Report. US Department of Interior.
55

Santhi C, Arnold JG, Williams JR, Dugas WA, Srinivasan R, Hauck LM. 2001.
Validation of the SWAT model on a large river basin with point and
nonpoint sources. J. American Water Resour. Assoc. 37(5): 1169-1188.
Santoso D, Purnomo J, Wigena IGP, Tuherkih E. 2004. Teknologi Konservasi Tanah
Vegetatif. Dalam Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan Kering
Berlereng. Editor: U.Kurnia, dkk 2004. Bogor (ID) : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Saiz G, Wandera FM, Plester DE, Ngetich W, Okalebo JR, Rufino MC, Bahl KB.
2016. Long-term assessment of soil and water conservation measures
(Fanya-juu terraces) on soil organic matter in South Eastern Kenya.
Geoderma. 274 : 1–9.
Senoaji G. 2012. Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri oleh Mayarakat
Baduy di Banten Selatan. J. Bumi Lestari. 12 (2) : 283-293.
Sofyan ER, Saidi A, Istijono B, Herdianto R. 2017. Model hidrograf akibat
perubahan tataguna lahan DAS Batang Kuranji (Studi Kasus Sub DAS
Danau Limau Manis). J. Poli Rekayasa. 13 (1).
Sudaryono. 2002. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) terpadu konsep
pembangunan berkelanjutan. Jurnal Teknologi Lingkungan. 3(2):153-158.
Sulaeman D. 2016. Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan
Sipil Teknis Menggunakan Model SWAT. [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Susilowati. 2007. Analisis Hidrograf Aliran Sungai Dengan Adanya Beberapa
Bendung Kaitannya Dengan Konservasi Air. [Tesis]. Surakarta (ID) :
Universitas Sebelas Maret.
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta (ID) : Andi.
Sutrisno N, Heryani N. 2013. Teknologi konservasi tanah dan air untuk mencegah
degradasi lahan pertanian berlereng. J. Litbang Pertanian. 32(3):122-130.
Staddal I. 2016. Analisis aliran permukaan menggunakan model SWAT di DAS
Bila Sulawesi Selatan. Jtech. 4(1): 57-63.
Wahyuningrum N, Pramono IB. 2007. Aplikasi sistem informasi geografis untuk
perhitungan koefisien aliran permukaan di sub DAS Ngunut i, Jawa Tengah.
J. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 4(6):561-571.
White KL, Chaubey I. 2005. Sensitivity analysis, calibration, and validation for a
multisite and multivariable SWAT Model.
Wijayanto, N, Rifa’i, M. 2010. Pertumbuhan Gmelina arborea Roxb. Pada
berbagai pola agroforestry. J. Silvikultur Tropika. 1(1): 29-34.
Yanto. 2011. Model evapotranspirasi pada vegetasi dengan ketebalan kanopi
berbeda. J. Dinamika Rekayasa . 7(1):17-22.
Yustika RD, Tarigan SD, Hidayat Y, Sudadi U. 2013. Simulasi manajemen lahan di
DAS Ciliwung Hulu menggunakan model SWAT. Informatika Pertanian. 21
(2): 71-79.
56

LAMPIRAN
57

Lampiran 1 Nilai parameter input data tanah DAS Cilemer (lapisan 1)


Kelas Kedalaman Kedalaman Bobot Kadar
Jenis Jumlah Permeabilitas C-Org Pasir Debu Batuan Erodi-
Hidrologi Tanah Lapisan Isi Air Klei (%) Albeo
Tanah Lapisan (mm/Jam) (%) (%) (%) (%) bilitas
Tanah (mm) (mm) (g/cm3) Tersedia
TDHH 3 C 1380 450 1.06 0.27 23.66 1.13 9.64 18.02 72.34 50.00 0.13 0.22
TDTE 3 D 1270 250 0.98 0.13 21.98 1.83 9.53 20.73 69.74 0.00 0.13 0.12
TDDT 2 C 1000 330 1.10 0.27 25.33 2.11 44.56 17.97 37.47 0.00 0.13 0.24
TDET 3 C 1470 600 0.86 0.11 51.70 2.45 5.26 11.14 83.59 0.00 0.13 0.19
TTFT 2 A 750 540 1.39 0.24 67.33 0.95 80.41 11.26 8.33 0.00 0.13 0.32
TTMT 2 B 630 220 1.00 0.24 36.07 2.40 42.79 15.83 41.38 0.00 0.13 0.21
TTET 3 C 1110 300 1.07 0.21 8.90 3.46 23.63 15.03 61.34 0.00 0.13 0.14
TTAT 2 C 810 300 0.97 0.10 284.50 1.91 15.93 31.73 52.34 0.00 0.13 0.14
TTDE 4 C 1500 450 0.87 0.10 8.78 2.31 7.55 11.94 80.51 0.00 0.13 0.15
TTUT 3 C 1200 230 0.98 0.16 26.33 4.31 4.16 7.00 85.84 0.00 0.13 0.14
57
58

58
Lampiran 2 Nilai parameter input data tanah DAS Cilemer (lapisan 2)
Kedalaman Bobot
Jenis Kadar Air Permeabilitas C-Org Pasir Klei Batuan
Lapisan Isi Debu (%) Albeo Erodibilitas
Tanah Tersedia (mm/jam) (%) (%) (%) (%)
(mm) (g/cm3)
TDHH 820 1.03 0.170 16.65 0.96 10.89 19.93 69.17 0 0.13 0.17
TDTE 760 0.94 0.130 49.84 1.53 9.51 18.81 71.68 0 0.13 0.11
TDDT 1000 1.02 0.230 0.37 2.33 36.48 27.86 35.66 0 0.13 0.34
TDET 1000 0.93 0.090 53.85 2.88 8.12 14.68 77.2 0 0.13 0.13
TTFT 750 1.39 0.180 70.25 0.56 71.17 10.62 18.2 0 0.13 0.28
TTMT 630 1.05 0.220 3.45 1.23 39.6 23.36 37.03 0 0.13 0.31
TTET 420 1.07 0.220 0.19 1.91 19.98 48.9 31.12 0 0.13 0.42
TTAT 810 1.04 0.150 0.5 1.71 14.92 44.48 40.6 0 0.13 0.40
TTDE 800 0.92 0.110 72.13 1.66 7.71 20.9 71.9 0 0.13 0.53
TTUT 480 0.98 0.120 17.55 0.73 6.9 10.13 82.97 0 0.13 0.12
59

Lampiran 3 Nilai parameter input data tanah DAS Cilemer (lapisan 3)


Kedalaman Bobot
Jenis Kadar Air Permeabilitas C-Org Pasir Klei Batuan
Lapisan Isi Debu (%) Albeo Erodibilitas
Tanah Tersedia (mm/jam) (%) (%) (%) (%)
(mm) (g/cm3)
TDHH 1380 1.06 0.087 26.9 1.02 8.64 25.36 66.00 0 0.13 0.19
TDTE 1270 0.93 0.147 77.7 1.13 6.99 21.089 71.93 0 0.13 0.09
TDDT - - - - - - - - - - -
TDET 1470 1 0.109 3.9 1.33 6.66 16.03 77.31 0 0.13 0.21
TTFT - - - - - - - - - - -
TTMT - - - - - - - - - -
TTET 1110 1.2 0.076 17.6 1.1 15.77 15.02 69.21 0 0.13 0.15
TTAT - - - - - - - - -- - -
TTDE 1000 0.99 0.160 45.9 1.25 4.99 17.96 77.05 0 0.13 0.10
TTUT 1200 1.04 0.130 35.1 0.94 3.87 13.81 82.32 0 0.13 0.09
59
60

60
Lampiran 4 Nilai parameter input data tanah DAS Cilemer (lapisan 4)
Kedalaman Bobot
Jenis Kadar Air Permeabilitas C-Org Pasir Klei Batuan
Lapisan Isi Debu (%) Albeo Erodibilitas
Tanah Tersedia (mm/jam) (%) (%) (%) (%)
(mm) (g/cm3)
TDHH - - - - - - - - - - -
TDTE - - - - - - - - - - -
TDDT - - - - - - - - - - -
TDET - - - - - - - - - - -
TTFT - - - - - - - - - - -
TTMT - - - - - - - - - - -
TTET - - - - - - - - - - -
TTAT - - - - - - - - - - -
TTDE 1500 1.05 0.070 16.4 1.29 1.37 18.87 76.76 0 0.13 0.13
TTUT - - - - - - - - - - -
61 61

Lampiran 5 Perbandingan debit observasi dan simulasi pada tahun 2015


berdasarkan Model SWAT

Debit Debit Debit Debit


Tanggal Tanggal
Observasi Simulasi Observasi Simulasi

1/1/2015 30.4 43.4 7/3/2015 4.1 1.9


1/2/2015 34.6 59.3 7/4/2015 4.0 1.8
1/3/2015 37.5 35.4 7/5/2015 4.0 1.6
1/4/2015 35.2 37.5 7/6/2015 3.9 1.4
1/5/2015 34.2 17.8 7/7/2015 3.9 1.5
1/6/2015 39.8 13.6 7/8/2015 3.8 1.7
1/7/2015 32.6 11.9 7/9/2015 3.8 2
1/8/2015 32.7 26.6 7/10/2015 3.8 1.8
1/9/2015 38.6 21.2 7/11/2015 3.7 1.5
1/10/2015 35.1 11.7 7/12/2015 3.7 1.5
1/11/2015 30.1 13.8 7/13/2015 3.6 1.8
1/12/2015 27.1 15.8 7/14/2015 3.6 1.7
1/13/2015 24.9 19.8 7/15/2015 3.6 1.5
1/14/2015 29.3 11.8 7/16/2015 3.5 1.3
1/15/2015 28.0 7.3 7/17/2015 3.5 1.1
1/16/2015 22.9 19.5 7/18/2015 3.5 0.9
1/17/2015 20.7 26.2 7/19/2015 3.4 0.8
1/18/2015 18.5 21.6 7/20/2015 3.4 1
1/19/2015 17.2 16.2 7/21/2015 3.3 1.4
1/20/2015 16.8 10.3 7/22/2015 3.3 1.7
1/21/2015 15.4 26.5 7/23/2015 3.2 2
1/22/2015 14.5 28.6 7/24/2015 3.2 2
1/23/2015 13.8 14.8 7/25/2015 3.1 1.7
1/24/2015 13.7 9.1 7/26/2015 3.0 1.4
1/25/2015 13.0 26.1 7/27/2015 3.0 1.3
1/26/2015 12.4 22.3 7/28/2015 2.9 1.4
1/27/2015 11.9 10.5 7/29/2015 2.9 1.6
1/28/2015 11.9 19.5 7/30/2015 2.8 2
1/29/2015 16.5 18.4 7/31/2015 2.7 1.9
1/30/2015 28.1 29 8/1/2015 2.6 2.3
1/31/2015 14.8 13 8/2/2015 2.6 1.5
2/1/2015 14.0 15.4 8/3/2015 2.5 1.2
2/2/2015 15.3 18.5 8/4/2015 2.4 0.9
2/3/2015 13.3 13.6 8/5/2015 2.4 0.7
2/4/2015 12.4 14 8/6/2015 2.3 0.4
2/5/2015 12.1 23.5 8/7/2015 2.2 0.4
2/6/2015 16.9 30.1 8/8/2015 2.2 0.9
2/7/2015 13.0 28.4 8/9/2015 2.1 0.4
2/8/2015 28.8 13.3 8/10/2015 2.1 0.4
62
Lampiran 5 Perbandingan debit observasi dan simulasi pada tahun
2015 berdasarkan Model SWAT lanjutan
Debit Debit Debit Debit
Tanggal Tanggal
Observasi Simulasi Observasi Simulasi

2/9/2015 30.9 18.2 8/11/2015 2.0 0.6


2/10/2015 16.4 17.6 8/12/2015 1.9 0.6
2/11/2015 18.2 18.2 8/13/2015 1.9 0.9
2/12/2015 15.8 28.2 8/14/2015 1.8 0.6
2/13/2015 15.0 25.4 8/15/2015 1.8 0.5
2/14/2015 13.9 19.9 8/16/2015 1.8 0.8
2/15/2015 13.3 14.7 8/17/2015 1.7 1
2/16/2015 13.7 9.9 8/18/2015 1.7 0.7
2/17/2015 14.2 6.4 8/19/2015 1.6 0.4
2/18/2015 13.2 12.4 8/20/2015 1.6 0.2
2/19/2015 18.2 14.6 8/21/2015 1.6 0.5
2/20/2015 13.1 9.7 8/22/2015 1.5 0.8
2/21/2015 12.3 17.1 8/23/2015 1.5 0.6
2/22/2015 11.8 12.7 8/24/2015 1.5 0.5
2/23/2015 11.1 10.4 8/25/2015 1.5 0.3
2/24/2015 10.4 20 8/26/2015 1.4 0.3
2/25/2015 10.2 18.7 8/27/2015 1.4 0.3
2/26/2015 9.9 11.9 8/28/2015 1.4 0.3
2/27/2015 12.0 17.7 8/29/2015 1.4 0.4
2/28/2015 10.7 16.9 8/30/2015 1.3 0.5
3/1/2015 12.2 11.6 8/31/2015 1.3 0.3
3/2/2015 13.6 14.5 9/1/2015 1.3 0.5
3/3/2015 11.0 14.6 9/2/2015 1.3 0.4
3/4/2015 10.6 11.8 9/3/2015 1.2 0.3
3/5/2015 10.0 8.7 9/4/2015 1.2 0.3
3/6/2015 14.0 8.5 9/5/2015 1.2 0.2
3/7/2015 13.1 6 9/6/2015 1.1 0.4
3/8/2015 12.9 6.5 9/7/2015 1.1 0.3
3/9/2015 14.3 7.8 9/8/2015 1.1 0.3
3/10/2015 11.7 10 9/9/2015 1.1 0.5
3/11/2015 14.4 15 9/10/2015 1.0 0.3
3/12/2015 12.0 20.3 9/11/2015 1.0 0.5
3/13/2015 12.6 22.1 9/12/2015 1.0 0.3
3/14/2015 11.6 18.2 9/13/2015 0.9 0.2
3/15/2015 11.5 20.9 9/14/2015 0.9 1
3/16/2015 10.9 25 9/15/2015 0.9 1.7
3/17/2015 10.3 23.5 9/16/2015 0.9 1.2
3/18/2015 10.9 18.5 9/17/2015 0.9 0.8
3/19/2015 12.3 26.5 9/18/2015 0.8 0.9
3/20/2015 10.4 27.3 9/19/2015 0.8 0.4
3/21/2015 9.9 17.6 9/20/2015 0.8 0.4
63
Lampiran 5 Perbandingan debit observasi dan simulasi pada tahun 2015 berdasarkan
Model SWAT (lanjutan)
Debit Debit Debit Debit
Tanggal Tanggal
Observasi Simulasi Observasi Simulasi

3/22/2015 9.5 12.6 9/21/2015 0.8 0.6


3/23/2015 9.6 16.2 9/22/2015 0.8 0.7
3/24/2015 17.2 19.7 9/23/2015 0.8 0.4
3/25/2015 14.1 14.2 9/24/2015 0.7 0.9
3/26/2015 12.0 16.4 9/25/2015 0.7 0.5
3/27/2015 11.4 15.4 9/26/2015 0.7 0.3
3/28/2015 11.8 28.5 9/27/2015 0.7 0.5
3/29/2015 15.6 26.6 9/28/2015 0.7 1.3
3/30/2015 24.7 26.7 9/29/2015 0.7 2.2
3/31/2015 13.3 14.7 9/30/2015 0.7 1.1
4/1/2015 16.1 1.9 10/1/2015 0.7 0.7
4/2/2015 12.9 2 10/2/2015 0.6 0.5
4/3/2015 12.2 4.4 10/3/2015 0.6 0.5
4/4/2015 12.3 3.1 10/4/2015 0.6 2.1
4/5/2015 11.6 3.7 10/5/2015 0.6 1.1
4/6/2015 11.0 3.5 10/6/2015 0.6 0.9
4/7/2015 10.3 2.4 10/7/2015 0.6 0.6
4/8/2015 9.8 2.6 10/8/2015 0.6 1.2
4/9/2015 9.7 2.7 10/9/2015 0.6 1.8
4/10/2015 9.3 1.8 10/10/2015 0.5 2.2
4/11/2015 9.0 1.8 10/11/2015 0.5 1.8
4/12/2015 8.6 1.5 10/12/2015 0.5 2
4/13/2015 8.5 1.3 10/13/2015 0.5 1.8
4/14/2015 8.3 0.8 10/14/2015 0.5 1.6
4/15/2015 8.5 1.9 10/15/2015 0.5 1.5
4/16/2015 8.4 2.8 10/16/2015 0.5 1.1
4/17/2015 8.2 3.4 10/17/2015 0.5 1.6
4/18/2015 8.1 3.7 10/18/2015 0.5 2.3
4/19/2015 8.2 4.1 10/19/2015 0.5 4.7
4/20/2015 7.9 5 10/20/2015 0.5 2.7
4/21/2015 7.7 5.9 10/21/2015 0.5 1.5
4/22/2015 7.5 2.5 10/22/2015 0.5 2.8
4/23/2015 7.3 2.1 10/23/2015 0.5 2.2
4/24/2015 7.4 15.8 10/24/2015 0.4 2.1
4/25/2015 7.3 9.2 10/25/2015 0.4 1.4
4/26/2015 7.4 4.2 10/26/2015 0.4 2.2
4/27/2015 7.4 5.6 10/27/2015 0.4 1.3
4/28/2015 7.6 5.4 10/28/2015 0.4 1.6
4/29/2015 7.4 6.4 10/29/2015 0.4 2.1
4/30/2015 7.1 4.1 10/30/2015 0.4 1.6
5/1/2015 16.7 37.3 10/31/2015 0.4 2.1
64
Lampiran 5 Perbandingan debit observasi dan simulasi pada tahun 2015 berdasarkan
Model SWAT (lanjutan)
Debit Debit Debit Debit
Tanggal Tanggal
Observasi Simulasi Observasi Simulasi

5/2/2015 27.4 34.5 11/1/2015 0.4 3.8


5/3/2015 36.6 28.8 11/2/2015 0.4 2.1
5/4/2015 39.4 24.9 11/3/2015 0.4 1.4
5/5/2015 39.3 20.5 11/4/2015 0.4 2.1
5/6/2015 29.3 17.6 11/5/2015 0.4 3.9
5/7/2015 36.4 17.1 11/6/2015 0.4 5.9
5/8/2015 30.1 12.4 11/7/2015 0.4 3.4
5/9/2015 25.5 10.7 11/8/2015 0.4 2.4
5/10/2015 22.0 9 11/9/2015 0.4 2.3
5/11/2015 18.8 7.4 11/10/2015 0.4 1.6
5/12/2015 16.4 6 11/11/2015 0.4 2.2
5/13/2015 14.7 6.8 11/12/2015 0.4 1.4
5/14/2015 13.4 5.4 11/13/2015 0.4 3.1
5/15/2015 12.6 5 11/14/2015 0.4 3.5
5/16/2015 11.0 7.1 11/15/2015 0.4 2.6
5/17/2015 10.8 7 11/16/2015 0.4 2.4
5/18/2015 9.7 5.4 11/17/2015 0.4 2.3
5/19/2015 9.2 5.7 11/18/2015 0.4 1.9
5/20/2015 8.7 8.4 11/19/2015 0.4 3.7
5/21/2015 8.2 10.9 11/20/2015 0.4 7.1
5/22/2015 7.7 9.4 11/21/2015 0.4 5.2
5/23/2015 7.3 7.7 11/22/2015 0.4 3.2
5/24/2015 7.1 6.9 11/23/2015 0.4 4.6
5/25/2015 7.0 7.4 11/24/2015 0.4 3.7
5/26/2015 6.6 6.3 11/25/2015 0.4 8.3
5/27/2015 6.3 10.4 11/26/2015 0.4 9.1
5/28/2015 6.1 15.4 11/27/2015 0.7 6.2
5/29/2015 6.0 11.6 11/28/2015 1.0 5.4
5/30/2015 5.7 9.7 11/29/2015 1.0 9.7
5/31/2015 5.6 12.5 11/30/2015 1.1 6.5
6/1/2015 5.5 12.5 12/1/2015 1.0 6.9
6/2/2015 5.4 9.9 12/2/2015 1.0 7.7
6/3/2015 5.5 7.8 12/3/2015 1.1 6.2
6/4/2015 5.3 6.7 12/4/2015 1.1 5.3
6/5/2015 5.2 6.1 12/5/2015 1.1 4
6/6/2015 5.1 4.6 12/6/2015 1.1 2.2
6/7/2015 5.2 6.1 12/7/2015 1.2 2.1
6/8/2015 5.0 5.7 12/8/2015 1.7 2.8
6/9/2015 5.2 4.3 12/9/2015 1.7 1.8
6/10/2015 5.3 3.7 12/10/2015 1.8 2.1
6/11/2015 5.4 2.9 12/11/2015 1.9 1.7
65
Lampiran 5 Perbandingan debit observasi dan simulasi pada tahun 2015
berdasarkan Model SWAT (lanjutan)
Debit Debit Debit Debit
Tanggal Tanggal
Observasi Simulasi Observasi Simulasi

6/12/2015 5.2 3.5 12/12/2015 2.0 2.4


6/13/2015 5.0 5.1 12/13/2015 3.9 1.5
6/14/2015 5.1 4.6 12/14/2015 3.9 2.6
6/15/2015 4.9 7.1 12/15/2015 27.8 4.5
6/16/2015 4.8 6.4 12/16/2015 33.8 8.9
6/17/2015 4.9 4.5 12/17/2015 30.3 28.8
6/18/2015 4.9 5.5 12/18/2015 39.6 59.8
6/19/2015 4.8 7.8 12/19/2015 39.5 44.4
6/20/2015 4.8 7.9 12/20/2015 25.0 14.6
6/21/2015 4.7 6.4 12/21/2015 31.4 29.8
6/22/2015 4.6 3.6 12/22/2015 22.3 28.6
6/23/2015 4.6 2.6 12/23/2015 17.9 26.5
6/24/2015 4.6 2.4 12/24/2015 16.1 20
6/25/2015 4.5 2.4 12/25/2015 11.9 17.2
6/26/2015 4.4 2.4 12/26/2015 9.7 12.9
6/27/2015 4.4 2.5 12/27/2015 8.0 11.6
6/28/2015 4.3 2.2 12/28/2015 6.8 10.3
6/29/2015 4.3 2 12/29/2015 5.7 12.7
6/30/2015 4.3 2.2 12/30/2015 5.2 11.8
7/1/2015 4.2 2.1 12/31/2015 4.8 11.9
7/2/2015 4.2 2 - - -

Lampiran 6 Debit aliran harian pada berbagai skenario (m3/det)


Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
Tanggal
1 2 3 4 5 6
1/1/2015 34.62 30.30 29.66 28.00 25.04 24.56
1/2/2015 32.15 36.43 30.19 35.91 26.48 34.38
1/3/2015 30.76 37.94 24.88 36.24 30.64 24.63
1/4/2015 35.50 34.05 34.66 37.93 28.96 33.70
1/5/2015 31.65 33.70 31.39 33.33 27.77 29.35
1/6/2015 29.56 38.80 23.50 30.83 22.26 28.24
1/7/2015 25.19 32.40 29.25 25.94 28.24 23.72
1/8/2015 27.22 32.12 28.43 27.00 27.70 23.98
1/9/2015 30.68 38.43 34.40 32.00 32.28 29.02
1/10/2015 32.66 23.56 34.37 32.91 34.04 32.02
1/11/2015 28.40 32.67 29.87 28.54 29.73 28.19
1/12/2015 25.91 29.36 27.55 25.99 27.53 26.35
1/13/2015 23.70 26.60 25.44 23.79 25.51 24.46
1/14/2015 24.85 30.72 28.64 25.80 25.62 24.06
1/15/2015 26.58 29.21 28.49 26.79 28.50 27.83
66

Lampiran 6 Debit aliran harian pada berbagai skenario (m3/det) lanjutan


Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
Tanggal
1 2 3 4 5 6
1/16/2015 23.36 23.90 24.16 23.23 24.30 23.97
1/17/2015 21.25 21.58 22.11 21.11 22.36 22.10
1/18/2015 19.57 19.33 20.07 19.39 20.39 20.28
1/19/2015 18.59 17.93 19.01 18.35 19.38 19.37
1/20/2015 18.14 17.52 18.77 17.92 19.18 19.23
1/21/2015 17.15 15.98 17.42 16.88 17.86 18.00
1/22/2015 16.40 15.09 16.64 16.14 17.11 17.28
1/23/2015 15.78 14.35 15.97 15.52 16.47 16.67
1/24/2015 15.61 14.20 15.94 15.30 16.45 16.65
1/25/2015 15.07 13.47 15.22 14.78 15.73 15.98
1/26/2015 14.59 12.94 14.71 14.31 15.23 15.48
1/27/2015 14.10 12.42 14.18 13.82 14.70 14.98
1/28/2015 13.96 12.38 14.19 13.63 14.72 14.98
1/29/2015 17.26 16.94 18.12 17.17 18.37 18.32
1/30/2015 25.89 28.67 28.38 26.42 26.44 26.25
1/31/2015 16.46 15.34 16.91 16.20 17.03 17.22
2/1/2015 15.84 14.50 16.19 15.53 16.38 16.58
2/2/2015 15.94 15.63 16.59 15.85 16.84 16.96
2/3/2015 14.94 13.70 15.29 14.65 15.60 15.80
2/4/2015 14.25 12.80 14.38 13.93 14.75 14.96
2/5/2015 14.06 12.51 14.19 13.73 14.59 14.83
2/6/2015 17.12 17.32 18.29 17.12 18.46 18.38
2/7/2015 14.42 13.45 15.10 14.17 15.29 15.45
2/8/2015 27.31 28.70 26.91 27.80 24.84 24.51
2/9/2015 29.36 20.60 18.13 29.95 27.03 27.62
2/10/2015 17.55 19.37 21.07 17.34 18.53 18.59
2/11/2015 18.13 20.46 21.95 18.10 20.01 19.85
2/12/2015 16.64 17.71 19.36 16.43 17.91 17.87
2/13/2015 16.15 16.57 18.29 15.90 17.25 17.27
2/14/2015 15.27 15.24 16.98 15.01 16.28 16.31
2/15/2015 14.79 14.36 16.15 14.49 15.73 15.81
2/16/2015 14.64 14.62 16.14 14.46 15.92 15.98
2/17/2015 15.09 15.09 16.18 14.94 16.15 16.22
2/18/2015 14.00 13.71 14.83 13.87 14.91 14.96
2/19/2015 18.93 20.15 17.95 19.23 18.14 17.97
2/20/2015 14.14 13.11 14.33 13.80 14.58 14.73
2/21/2015 13.63 12.39 13.78 13.27 14.08 14.27
2/22/2015 13.33 11.94 13.42 12.94 13.77 13.95
2/23/2015 12.82 11.33 12.83 12.41 13.21 13.42
2/24/2015 12.18 10.64 12.16 11.79 12.58 12.78
2/25/2015 12.07 10.44 12.00 11.64 12.44 12.66
2/26/2015 11.81 10.18 11.75 11.39 12.20 12.43
67

Lampiran 6 Debit aliran harian pada berbagai skenario (m3/det) lanjutan


Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
Tanggal
1 2 3 4 5 6
2/27/2015 12.64 12.46 13.84 12.36 14.18 14.28
2/28/2015 12.20 10.95 12.42 11.79 12.79 12.96
3/1/2015 13.02 12.50 13.89 12.78 14.16 14.21
3/2/2015 13.93 13.59 14.16 13.77 14.48 14.52
3/3/2015 12.54 11.26 12.60 12.14 12.95 13.11
3/4/2015 12.22 10.83 12.21 11.82 12.59 12.77
3/5/2015 11.76 10.30 11.71 11.36 12.10 12.30
3/6/2015 14.24 14.18 15.17 14.08 15.41 15.35
3/7/2015 14.25 13.54 14.86 14.02 15.14 15.26
3/8/2015 13.75 13.28 13.88 13.45 14.21 14.34
3/9/2015 14.85 14.45 15.11 14.74 15.48 15.52
3/10/2015 12.63 11.95 12.80 12.27 13.17 13.29
3/11/2015 15.06 14.82 14.76 14.78 15.14 15.28
3/12/2015 12.72 12.33 13.23 12.40 13.57 13.65
3/13/2015 13.14 12.92 13.97 12.77 14.26 14.30
3/14/2015 12.60 11.86 12.95 12.23 13.25 13.33
3/15/2015 12.44 11.72 12.80 12.10 13.13 13.21
3/16/2015 12.24 11.15 12.33 11.84 12.68 12.82
3/17/2015 11.87 10.60 11.85 11.44 12.22 12.39
3/18/2015 12.05 11.22 12.44 11.65 12.82 12.95
3/19/2015 12.84 12.68 13.69 12.54 13.96 14.00
3/20/2015 11.62 10.66 11.80 11.26 12.10 12.20
3/21/2015 11.35 10.15 11.40 10.96 11.73 11.87
3/22/2015 11.10 9.76 11.07 10.69 11.42 11.58
3/23/2015 11.29 9.94 11.33 10.86 11.68 11.86
3/24/2015 15.83 17.36 17.10 15.85 17.23 17.05
3/25/2015 13.60 14.33 15.00 13.47 15.05 14.99
3/26/2015 12.89 12.31 13.42 12.57 13.53 13.56
3/27/2015 12.56 11.65 12.87 12.20 13.04 13.10
3/28/2015 12.60 11.97 13.07 12.29 13.30 13.34
3/29/2015 14.71 15.51 14.74 14.80 15.01 14.93
3/30/2015 21.87 25.03 23.74 22.29 22.25 21.89
3/31/2015 14.14 13.60 14.50 13.94 14.62 14.69
4/1/2015 15.14 16.06 16.09 15.25 16.14 16.04
4/2/2015 13.67 13.25 14.07 13.47 14.18 14.19
4/3/2015 13.30 12.50 13.50 13.03 13.67 13.72
4/4/2015 13.21 12.52 13.50 12.95 13.73 13.80
4/5/2015 12.88 11.84 12.93 12.58 13.19 13.30
4/6/2015 12.46 11.24 12.40 12.13 12.69 12.83
4/7/2015 11.89 10.58 11.76 11.56 12.09 12.24
4/8/2015 11.43 10.05 11.26 11.10 11.60 11.78
4/9/2015 11.48 10.01 11.27 11.12 11.63 11.83
68

Lampiran 6 Debit aliran harian pada berbagai skenario (m3/det) lanjutan


Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
Tanggal
1 2 3 4 5 6
4/10/2015 11.07 9.57 10.83 10.72 11.20 11.41
4/11/2015 10.79 9.26 10.53 10.43 10.91 11.12
4/12/2015 10.41 8.87 10.16 10.05 10.54 10.74
4/13/2015 10.34 8.78 10.07 9.98 10.45 10.67
4/14/2015 10.19 8.61 9.90 9.82 10.27 10.50
4/15/2015 10.37 8.77 10.07 10.00 10.46 10.68
4/16/2015 10.33 8.72 10.02 9.97 10.40 10.64
4/17/2015 10.13 8.53 9.80 9.76 10.19 10.42
4/18/2015 9.91 8.34 9.61 9.56 9.99 10.22
4/19/2015 10.07 8.46 9.73 9.70 10.12 10.35
4/20/2015 9.75 8.19 9.44 9.40 9.82 10.05
4/21/2015 9.49 7.96 9.19 9.15 9.57 9.80
4/22/2015 9.31 7.81 9.01 8.97 9.38 9.61
4/23/2015 9.04 7.57 8.76 8.71 9.13 9.34
4/24/2015 9.11 7.62 8.81 8.77 9.17 9.39
4/25/2015 9.05 7.56 8.74 8.71 9.11 9.32
4/26/2015 9.18 7.68 8.86 8.85 9.22 9.46
4/27/2015 9.14 7.66 8.83 8.81 9.18 9.41
4/28/2015 9.15 7.84 8.92 8.83 9.27 9.53
4/29/2015 9.06 7.74 8.86 8.75 9.21 9.44
4/30/2015 8.68 7.35 8.42 8.39 8.76 8.98
5/1/2015 22.30 16.31 21.86 23.94 22.21 22.03
5/2/2015 21.15 29.09 29.55 22.75 27.89 27.51
5/3/2015 38.36 36.30 39.15 27.79 31.03 29.70
5/4/2015 32.98 39.44 30.30 36.80 33.42 32.52
5/5/2015 34.47 39.59 26.00 37.91 21.90 21.57
5/6/2015 23.87 29.52 20.87 25.84 19.15 19.19
5/7/2015 32.51 36.54 30.08 33.79 28.86 28.91
5/8/2015 27.44 30.30 25.59 28.45 24.73 24.81
5/9/2015 23.76 25.64 22.36 24.54 21.80 21.91
5/10/2015 21.07 22.15 19.97 21.65 19.64 19.78
5/11/2015 18.42 18.94 17.59 18.84 17.43 17.59
5/12/2015 16.49 16.61 15.89 16.79 15.88 16.04
5/13/2015 14.94 14.83 14.56 15.13 14.66 14.82
5/14/2015 13.60 13.46 13.46 13.76 13.64 13.77
5/15/2015 12.84 12.63 12.89 12.95 13.13 13.25
5/16/2015 11.75 11.10 11.62 11.76 11.92 12.06
5/17/2015 11.45 10.82 11.51 11.44 11.84 11.97
5/18/2015 10.65 9.73 10.58 10.57 10.93 11.09
5/19/2015 10.38 9.27 10.29 10.25 10.68 10.84
5/20/2015 10.04 8.84 9.97 9.89 10.37 10.54
5/21/2015 9.63 8.36 9.56 9.45 9.97 10.15
69

Lampiran 6 Debit aliran harian pada berbagai skenario (m3/det) lanjutan


Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
Tanggal
1 2 3 4 5 6
5/22/2015 9.12 7.83 9.07 8.94 9.49 9.66
5/23/2015 8.80 7.46 8.74 8.60 9.17 9.34
5/24/2015 8.57 7.19 8.51 8.36 8.94 9.11
5/25/2015 8.33 7.08 8.37 8.10 8.80 8.97
5/26/2015 8.01 6.68 7.99 7.79 8.42 8.58
5/27/2015 7.80 6.43 7.77 7.57 8.20 8.36
5/28/2015 7.65 6.28 7.61 7.42 8.05 8.21
5/29/2015 7.49 6.09 7.45 7.24 7.87 8.04
5/30/2015 7.25 5.87 7.21 7.01 7.64 7.81
5/31/2015 7.12 5.74 7.08 6.87 7.50 7.67
6/1/2015 7.02 5.64 6.99 6.78 7.41 7.57
6/2/2015 6.88 5.51 6.84 6.64 7.25 7.42
6/3/2015 7.08 5.68 7.03 6.83 7.44 7.62
6/4/2015 6.77 5.42 6.73 6.53 7.14 7.31
6/5/2015 6.72 5.36 6.67 6.48 7.07 7.25
6/6/2015 6.55 5.21 6.50 6.31 6.90 7.07
6/7/2015 6.71 5.36 6.67 6.48 7.07 7.24
6/8/2015 6.48 5.16 6.44 6.25 6.83 7.00
6/9/2015 6.68 5.34 6.63 6.45 7.02 7.20
6/10/2015 6.78 5.45 6.73 6.55 7.11 7.28
6/11/2015 6.82 5.49 6.76 6.59 7.14 7.32
6/12/2015 6.63 5.33 6.57 6.40 6.95 7.12
6/13/2015 6.41 5.15 6.37 6.19 6.74 6.90
6/14/2015 6.48 5.21 6.43 6.26 6.80 6.97
6/15/2015 6.19 4.96 6.15 5.97 6.51 6.68
6/16/2015 6.19 4.95 6.14 5.97 6.50 6.66
6/17/2015 6.32 5.07 6.26 6.10 6.62 6.79
6/18/2015 6.24 5.01 6.19 6.03 6.54 6.70
6/19/2015 6.15 4.94 6.10 5.94 6.45 6.61
6/20/2015 6.08 4.90 6.03 5.88 6.38 6.54
6/21/2015 5.95 4.81 5.90 5.74 6.24 6.39
6/22/2015 5.81 4.71 5.77 5.60 6.11 6.26
6/23/2015 5.79 4.68 5.74 5.59 6.08 6.22
6/24/2015 5.82 4.70 5.77 5.62 6.11 6.25
6/25/2015 5.70 4.61 5.65 5.50 5.98 6.14
6/26/2015 5.55 4.50 5.51 5.36 5.84 5.98
6/27/2015 5.46 4.44 5.43 5.27 5.75 5.89
6/28/2015 5.35 4.35 5.34 5.17 5.66 5.79
6/29/2015 5.27 4.33 5.26 5.08 5.58 5.71
6/30/2015 5.15 4.29 5.16 4.96 5.47 5.60
7/1/2015 4.98 4.25 5.02 4.82 5.33 5.46
7/2/2015 4.96 4.22 4.98 4.80 5.29 5.43
70

Lampiran 6 Debit aliran harian pada berbagai skenario (m3/det) lanjutan


Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
Tanggal
1 2 3 4 5 6
7/3/2015 4.81 4.16 4.84 4.66 5.14 5.26
7/4/2015 4.65 4.10 4.71 4.50 4.96 5.09
7/5/2015 4.53 4.04 4.67 4.39 4.82 4.95
7/6/2015 4.40 3.97 4.63 4.35 4.68 4.80
7/7/2015 4.36 3.90 4.58 4.30 4.60 4.66
7/8/2015 4.32 3.86 4.54 4.26 4.57 4.62
7/9/2015 4.29 3.84 4.50 4.22 4.55 4.61
7/10/2015 4.27 3.82 4.48 4.19 4.54 4.60
7/11/2015 4.23 3.78 4.42 4.14 4.50 4.56
7/12/2015 4.23 3.74 4.40 4.13 4.51 4.57
7/13/2015 4.22 3.71 4.38 4.12 4.50 4.57
7/14/2015 4.21 3.67 4.35 4.10 4.49 4.56
7/15/2015 4.19 3.63 4.31 4.08 4.47 4.55
7/16/2015 4.19 3.60 4.30 4.07 4.47 4.55
7/17/2015 4.19 3.56 4.27 4.06 4.46 4.54
7/18/2015 4.19 3.53 4.26 4.05 4.45 4.54
7/19/2015 4.11 3.49 4.16 3.98 4.36 4.46
7/20/2015 4.06 3.45 4.09 3.92 4.31 4.40
7/21/2015 4.00 3.40 4.03 3.87 4.25 4.34
7/22/2015 3.94 3.35 3.95 3.86 4.18 4.28
7/23/2015 3.87 3.30 3.87 3.83 4.11 4.21
7/24/2015 3.86 3.24 3.86 3.80 4.05 4.16
7/25/2015 3.84 3.19 3.84 3.76 3.98 4.08
7/26/2015 3.80 3.12 3.80 3.71 3.89 3.99
7/27/2015 3.75 3.06 3.75 3.65 3.86 3.90
7/28/2015 3.70 2.99 3.69 3.60 3.83 3.87
7/29/2015 3.64 2.92 3.63 3.53 3.80 3.84
7/30/2015 3.58 2.85 3.57 3.46 3.75 3.80
7/31/2015 3.51 2.78 3.49 3.39 3.69 3.75
8/1/2015 3.44 2.71 3.42 3.32 3.63 3.70
8/2/2015 3.37 2.64 3.35 3.25 3.57 3.64
8/3/2015 3.30 2.57 3.28 3.17 3.49 3.57
8/4/2015 3.23 2.50 3.20 3.10 3.43 3.51
8/5/2015 3.15 2.43 3.13 3.02 3.35 3.44
8/6/2015 3.08 2.36 3.05 2.95 3.28 3.36
8/7/2015 3.01 2.30 2.98 2.87 3.21 3.29
8/8/2015 2.94 2.23 2.91 2.80 3.14 3.22
8/9/2015 2.87 2.17 2.84 2.73 3.07 3.15
8/10/2015 2.80 2.11 2.78 2.67 3.00 3.08
8/11/2015 2.74 2.05 2.71 2.60 2.94 3.02
8/12/2015 2.68 2.00 2.65 2.54 2.88 2.96
8/13/2015 2.61 1.94 2.59 2.48 2.81 2.89
71

Lampiran 6 Debit aliran harian pada berbagai skenario (m3/det) lanjutan


Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
Tanggal
1 2 3 4 5 6
8/14/2015 2.56 1.90 2.54 2.43 2.76 2.84
8/15/2015 2.51 1.85 2.48 2.38 2.71 2.78
8/16/2015 2.46 1.81 2.43 2.33 2.65 2.73
8/17/2015 2.41 1.77 2.39 2.28 2.61 2.68
8/18/2015 2.37 1.73 2.34 2.24 2.56 2.63
8/19/2015 2.32 1.69 2.30 2.19 2.51 2.58
8/20/2015 2.27 1.65 2.25 2.14 2.46 2.53
8/21/2015 2.23 1.62 2.21 2.10 2.42 2.49
8/22/2015 2.20 1.59 2.18 2.07 2.38 2.45
8/23/2015 2.16 1.56 2.14 2.04 2.35 2.42
8/24/2015 2.13 1.53 2.11 2.01 2.32 2.39
8/25/2015 2.10 1.51 2.08 1.98 2.28 2.35
8/26/2015 2.06 1.48 2.05 1.94 2.25 2.31
8/27/2015 2.03 1.46 2.01 1.91 2.21 2.27
8/28/2015 1.99 1.43 1.98 1.87 2.17 2.24
8/29/2015 1.95 1.40 1.94 1.84 2.13 2.20
8/30/2015 1.91 1.38 1.90 1.80 2.09 2.15
8/31/2015 1.87 1.35 1.87 1.76 2.05 2.11
9/1/2015 1.83 1.32 1.83 1.72 2.01 2.07
9/2/2015 1.79 1.30 1.79 1.68 1.97 2.02
9/3/2015 1.75 1.27 1.75 1.64 1.93 1.98
9/4/2015 1.70 1.24 1.71 1.59 1.88 1.93
9/5/2015 1.65 1.21 1.66 1.55 1.83 1.88
9/6/2015 1.61 1.18 1.62 1.50 1.79 1.83
9/7/2015 1.56 1.15 1.58 1.46 1.75 1.79
9/8/2015 1.51 1.12 1.54 1.41 1.70 1.74
9/9/2015 1.46 1.08 1.50 1.37 1.66 1.70
9/10/2015 1.42 1.06 1.47 1.33 1.62 1.66
9/11/2015 1.38 1.03 1.44 1.28 1.59 1.62
9/12/2015 1.34 1.00 1.41 1.25 1.56 1.59
9/13/2015 1.30 0.97 1.38 1.21 1.52 1.55
9/14/2015 1.27 0.95 1.35 1.17 1.49 1.52
9/15/2015 1.23 0.92 1.32 1.14 1.46 1.48
9/16/2015 1.20 0.90 1.30 1.11 1.43 1.45
9/17/2015 1.16 0.88 1.27 1.08 1.40 1.42
9/18/2015 1.13 0.86 1.24 1.05 1.37 1.39
9/19/2015 1.11 0.84 1.22 1.02 1.35 1.37
9/20/2015 1.08 0.82 1.20 1.00 1.32 1.34
9/21/2015 1.05 0.80 1.18 0.97 1.29 1.31
9/22/2015 1.03 0.79 1.15 0.95 1.27 1.28
9/23/2015 1.01 0.77 1.13 0.93 1.24 1.26
9/24/2015 0.98 0.76 1.10 0.91 1.21 1.23
72

Lampiran 6 Debit aliran harian pada berbagai skenario (m3/det) lanjutan


Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
Tanggal
1 2 3 4 5 6
9/25/2015 0.96 0.74 1.07 0.89 1.18 1.20
9/26/2015 0.94 0.73 1.05 0.87 1.15 1.17
9/27/2015 0.91 0.71 1.02 0.85 1.12 1.14
9/28/2015 0.89 0.70 0.99 0.83 1.09 1.11
9/29/2015 0.87 0.69 0.97 0.81 1.06 1.08
9/30/2015 0.85 0.67 0.94 0.79 1.04 1.05
10/1/2015 0.83 0.66 0.92 0.77 1.01 1.02
10/2/2015 0.81 0.65 0.90 0.75 0.98 1.00
10/3/2015 0.79 0.63 0.88 0.74 0.96 0.97
10/4/2015 0.77 0.62 0.86 0.72 0.94 0.95
10/5/2015 0.75 0.61 0.84 0.71 0.91 0.92
10/6/2015 0.73 0.60 0.82 0.69 0.89 0.90
10/7/2015 0.71 0.59 0.80 0.67 0.87 0.88
10/8/2015 0.70 0.57 0.78 0.66 0.84 0.85
10/9/2015 0.68 0.56 0.76 0.65 0.82 0.83
10/10/2015 0.67 0.55 0.74 0.63 0.80 0.81
10/11/2015 0.65 0.54 0.73 0.62 0.78 0.79
10/12/2015 0.64 0.53 0.71 0.61 0.77 0.78
10/13/2015 0.62 0.53 0.70 0.60 0.75 0.76
10/14/2015 0.61 0.52 0.68 0.59 0.73 0.74
10/15/2015 0.60 0.51 0.67 0.58 0.71 0.72
10/16/2015 0.59 0.50 0.65 0.57 0.70 0.71
10/17/2015 0.58 0.49 0.64 0.56 0.68 0.69
10/18/2015 0.57 0.49 0.63 0.55 0.67 0.67
10/19/2015 0.56 0.48 0.61 0.54 0.65 0.66
10/20/2015 0.55 0.47 0.60 0.53 0.64 0.65
10/21/2015 0.54 0.47 0.59 0.53 0.62 0.63
10/22/2015 0.54 0.46 0.58 0.52 0.61 0.62
10/23/2015 0.53 0.45 0.57 0.51 0.60 0.61
10/24/2015 0.52 0.45 0.55 0.51 0.59 0.59
10/25/2015 0.52 0.44 0.54 0.50 0.58 0.58
10/26/2015 0.51 0.44 0.54 0.49 0.56 0.57
10/27/2015 0.50 0.43 0.53 0.49 0.55 0.56
10/28/2015 0.50 0.43 0.52 0.48 0.54 0.55
10/29/2015 0.49 0.42 0.51 0.48 0.54 0.54
10/30/2015 0.49 0.42 0.50 0.47 0.53 0.53
10/31/2015 0.48 0.42 0.49 0.47 0.52 0.53
11/1/2015 0.48 0.41 0.49 0.46 0.51 0.52
11/2/2015 0.47 0.41 0.48 0.46 0.50 0.51
11/3/2015 0.47 0.40 0.47 0.46 0.50 0.50
11/4/2015 0.47 0.40 0.47 0.45 0.49 0.50
11/5/2015 0.46 0.40 0.46 0.45 0.48 0.49
73

Lampiran 6 Debit aliran harian pada berbagai skenario (m3/det) lanjutan


Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
Tanggal
1 2 3 4 5 6
11/6/2015 0.46 0.40 0.46 0.45 0.48 0.49
11/7/2015 0.46 0.39 0.46 0.44 0.48 0.48
11/8/2015 0.45 0.39 0.45 0.44 0.47 0.48
11/9/2015 0.45 0.39 0.45 0.44 0.47 0.48
11/10/2015 0.45 0.39 0.45 0.44 0.46 0.47
11/11/2015 0.45 0.39 0.44 0.43 0.46 0.47
11/12/2015 0.44 0.38 0.44 0.43 0.46 0.46
11/13/2015 0.44 0.38 0.44 0.43 0.45 0.46
11/14/2015 0.44 0.38 0.43 0.43 0.45 0.46
11/15/2015 0.43 0.38 0.43 0.42 0.45 0.45
11/16/2015 0.43 0.38 0.43 0.42 0.45 0.45
11/17/2015 0.43 0.37 0.42 0.42 0.44 0.45
11/18/2015 0.43 0.37 0.42 0.42 0.44 0.45
11/19/2015 0.43 0.37 0.42 0.42 0.44 0.45
11/20/2015 0.42 0.37 0.42 0.41 0.44 0.44
11/21/2015 0.42 0.37 0.42 0.41 0.43 0.44
11/22/2015 0.42 0.37 0.42 0.41 0.43 0.44
11/23/2015 0.42 0.37 0.42 0.41 0.43 0.44
11/24/2015 0.42 0.37 0.42 0.41 0.43 0.44
11/25/2015 0.42 0.37 0.42 0.41 0.43 0.44
11/26/2015 0.42 0.37 0.42 0.41 0.43 0.44
11/27/2015 0.68 0.78 0.69 0.69 0.71 0.71
11/28/2015 0.90 1.13 0.85 0.94 0.86 0.87
11/29/2015 0.93 1.16 0.88 0.97 0.89 0.90
11/30/2015 0.93 1.16 0.89 0.97 0.91 0.92
12/1/2015 0.91 1.13 0.88 0.95 0.90 0.91
12/2/2015 0.89 1.09 0.87 0.92 0.88 0.89
12/3/2015 0.95 1.21 0.93 1.00 0.94 0.95
12/4/2015 0.96 1.23 0.95 1.01 0.96 0.96
12/5/2015 0.96 1.22 0.95 1.00 0.96 0.96
12/6/2015 0.95 1.19 0.95 0.99 0.96 0.96
12/7/2015 1.00 1.28 1.00 1.05 1.01 1.01
12/8/2015 1.18 1.79 1.17 1.30 1.15 1.15
12/9/2015 1.31 1.87 1.29 1.42 1.27 1.25
12/10/2015 1.39 1.92 1.39 1.50 1.35 1.33
12/11/2015 1.48 1.98 1.51 1.58 1.44 1.42
12/12/2015 1.57 2.08 1.63 1.67 1.55 1.52
12/13/2015 1.97 4.07 1.96 2.14 1.80 1.75
12/14/2015 2.21 4.10 3.31 2.38 2.14 2.04
12/15/2015 17.27 26.59 14.71 19.35 19.74 20.44
12/16/2015 23.36 33.89 22.13 25.85 26.86 24.64
12/17/2015 25.03 30.12 25.77 27.70 13.72 23.55
74

Lampiran 6 Debit aliran harian pada berbagai skenario (m3/det) lanjutan


Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario
Tanggal
1 2 3 4 5 6
12/18/2015 39.20 38.87 25.49 27.48 32.01 27.97
12/19/2015 25.45 39.01 27.05 30.41 27.53 24.75
12/20/2015 25.56 24.04 29.04 29.33 21.29 18.76
12/21/2015 21.93 31.08 25.47 24.56 19.38 17.29
12/22/2015 15.84 22.20 18.24 17.73 13.58 11.94
12/23/2015 12.82 17.75 15.01 14.29 11.47 10.13
12/24/2015 11.69 16.15 13.78 12.92 11.14 10.01
12/25/2015 8.85 11.88 10.75 9.69 8.81 7.88
12/26/2015 7.50 9.66 9.13 8.10 7.74 6.98
12/27/2015 6.43 7.90 7.75 6.88 6.76 6.19
12/28/2015 5.60 6.72 6.87 5.90 6.20 5.74
12/29/2015 5.18 5.71 6.07 5.40 5.66 5.26
12/30/2015 4.81 5.16 5.54 4.97 5.21 4.87
12/31/2015 4.47 4.77 5.25 4.59 4.91 4.76

Lampiran 7 Luas penggunaan lahan pada tiap Sub DAS


Luas-Penggunaan-Lahan-(Ha)
Sub
FRST FRSD AGRL AGRR COCO PAST RICE URML
1 189.0 - 211.8 - - - 280.9 32.4
2 286.1 28.9 378.9 - - - 196.0 28.9
3 297.5 107.6 - - - - 158.4 20.1
4 - - - - - - 232.8 49.0
5 420.9 115.5 12.3 186.4 - - 388.5 88.4
6 80.5 190.8 - 433.1 - - 382.4 5.3
7 30.6 67.4 73.5 298.4 - - 408.6 38.5
8 - - - 656.3 - - 217.9 14.0
9 - - 72.6 395.5 - - 41.1 6.1
10 - - - 1414.1 - - 754.3 101.5
11 - - - 287.9 - - 233.6 19.3
12 519.8 157.5 83.1 2076.5 425.3 - 1199.7 238.9
13 - - 70.0 338.6 345.6 5.3 - 15.8
14 - - - 400.8 - - 267.8 14.9
15 - 106.8 - 301.0 238.0 - - -
16 - - 58.6 1611.0 462.0 106.8 203.9 10.5
17 - - 45.5 294.0 120.8 7.0 - -
18 - - - 421.8 - - 165.4 8.8
19 - - - 586.3 - 37.6 418.3 9.6
20 - - 74.4 659.8 130.4 2.6 - 28.0
21 - - - 691.3 - - 33.3 78.8
22 - 265.1 112.0 386.8 315.0 - - -
23 - - 406.9 1426.3 238.0 - - 61.3
24 - - 473.4 912.7 414.8 - - 2.6
Jumlah 1824.5 1039.6 2073.0 13778.5 2689.9 159.3 5582.8 872.4
75

Lampiran 8 Luas jenis tanah pada tiap sub DAS


Sub Luas-Jenis-Tanah-(Ha)
TDHH TTAT TDTE TDET TTUT TTET TTFT TTDT TDDT
1 441.0 273.0 - - - - - - -
2 789.3 95.4 34.1 - - - - - -
3 318.5 126.0 139.1 - - - - - -
4 - 281.8 - - - - - - -
5 646.7 565.3 - - - - - - -
6 924.9 28.9 - 138.3 - - - - -
7 605.5 311.5 - - - - - - -
8 183.8 109.4 - 592.4 2.6 - - - -
9 - 98.0 - 59.5 357.9 - - - -
10 - - - 502.3 1007.2 179.4 581.0 - -
11 - - - - - 93.6 447.2 - -
12 770.0 1507.7 397.3 - 1902.4 123.4 - - -
13 - - - - 648.4 126.9 - - -
14 - - - - 2.6 218.8 462.0 - -
15 - - - - - 645.8 - - -
16 - 271.3 - - 1913.7 267.8 - - -
17 - - - - 42.0 425.3 - - -
18 - - - - 84.9 284.4 226.6 - -
19 - - - - - 193.4 405.1 453.3 -
20 - - - - 137.4 651.9 98.9 7.0 -
21 - - - - - 54.3 265.1 65.6 418.3
22 - - - - - 1078.9 - - -
23 - - - - 1010.7 158.4 19.3 - 944.2
24 - - - - 860.2 943.3 - - -
Jumlah 4679.8 3668.2 570.5 1292.4 7970.0 5445.4 2505.3 525.9 1362.5
76

Lampiran 9 Luas kemiringan lereng pada tiap Sub DAS


Luas-Kemiringan-Lereng-(Ha)
Sub
0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45%
1 296.6 152.3 136.5 101.5 27.1
2 272.1 289.6 198.6 107.6 50.8
3 177.6 101.5 111.1 133.0 60.4
4 256.4 21.9 3.5 - -
5 421.8 158.4 261.6 294.9 75.3
6 164.5 284.4 254.6 295.8 92.8
7 469.0 147.0 130.4 148.8 21.9
8 519.8 249.4 103.3 15.8 -
9 486.5 27.1 1.8 - -
10 1750.1 337.8 168.9 13.1 -
11 533.8 7.0 - - -
12 2885.0 898.7 457.7 409.5 49.9
13 652.8 93.6 28.9 - -
14 600.3 57.8 25.4 - -
15 510.2 134.8 0.9 - -
16 2080.9 308.9 63.0 - -
17 264.3 180.3 21.9 0.9 -
18 427.0 130.4 38.5 - -
19 944.2 107.6 - - -
20 544.3 291.4 59.5 - -
21 518.9 248.5 35.9 - -
22 753.4 293.1 32.4 - -
23 1126.2 772.7 231.0 2.6 -
24 993.2 595.0 187.3 27.1 0.9
Jumlah 17648.9 5889.1 2552.5 1550.6 378.9
77

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 29 September


1991 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan
Bapak Sumanta dan Ibu Masinah. Penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di SD Negeri Salakadomas pada tahun
2003, kemudian melanjutkan ke sekolah menengah pertama
di SMP Negeri 2 Mandirancan dan luluspada tahun 2006.
Setelah itu melanjutkan ke SMA Negeri 1 Mandirancan dan
lulus pada tahun 2009. Kemudian penulis diterima sebagai
mahasiswa di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) pada tahun 2009 dan berhasil menyelesaikan studi pada tahun 2014.
Penulis selanjutnya melanjutkan studi magister di Institut Pertanian Bogor pada
Program Pengelolaan Daerah Aliran Sungai pada tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai