Anda di halaman 1dari 106

PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN

UNTUK DEBIT RANCANGAN BENDUNGAN KARIAN


DI DAS CIBERANG KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN

DESSY ARIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Penggunaan


Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten
Lebak Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015

Dessy Arianti
NIM A156130184
RINGKASAN

DESSY ARIANTI. Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan


Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Dibimbing oleh Kukuh Murtilaksono dan Baba Barus.

Pengaruh perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan kondisi


aliran debit. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan curah hujan lebih
berpotensi menjadi aliran permukaan dari pada terinfiltrasi. Tujuan penelitian ini
adalah (1) mengkaji pola hujan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan
2014; (2) mengkaji perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang pada tahun
2000, 2005, 2010 dan 2014; (3) menganalisis debit rancangan DAS Ciberang pada
prediksi penggunaan lahan tahun 2028 dan (4) menyusun arahan penggunaan
lahan agar debit puncak skenario tidak melebihi debit rancangan bendungan.
Analisis perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang menggunakan
model Cellular Automata-Markov. Penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010
dipakai untuk analisis perubahan penggunaan lahan dengan validasi penggunaan
lahan tahun 2014. Hasil analisis tersebut menghasilkan prediksi penggunaan lahan
tahun 2028.
Analisis debit banjir rancangan menggunakan metode Rasional dengan
empat skenario yakni penggunaan lahan aktual tahun 2014, prediksi penggunaan
lahan tahun 2028, penggunaan lahan pada pola ruang RTRW dan modifikasi
penggunaan lahan pada pola ruang RTRW di DAS Ciberang. Skenario pola
penggunaan lahan terbaik dipilih apabila skenario debit rancangan kurang dari
debit banjir Bendungan Karian. Pola penggunaan lahan terbaik yang memenuhi
syarat dapat dijadikan arahan kebijakan penggunaan lahan bagi pola ruang
RTRW.
Dalam kurun waktu 14 tahun (2000 - 2014), DAS Ciberang mengalami
perubahan hutan menjadi lahan lainnya seluas 24.25 km2, perubahan pertanian
lahan kering menjadi pemukiman seluas 2.2 km2, perubahan pertanian lahan
kering menjadi perkebunan seluas 3.3 km2 dan pertanian lahan kering menjadi
sawah seluas 10.1 km2. Perubahan tersebut mengakibatkan nilai koefisien
limpasan menjadi besar sehingga hujan yang jatuh ke darah tersebut berpotensi
besar menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan semakin meningkat
menyebabkan debit air hujan yang melimpas dipermukaan semakin cepat masuk
ke Sungai Ciberang dan banjir akan lebih cepat terjadi.
Debit banjir rancangan pada periode ulang 50 tahun menunjukkan kapasitas
debit banjir optimum pada Bendungan Karian. Skenario penggunaan lahan pada
debit rancangan periode tersebut menunjukkan yakni debit banjir rancangan tahun
2028 skenario ke-2 tidak memenuhi syarat pola penggunaan lahan terbaik,
sedangkan debit banjir aktual tahun 2014 skenario ke-1, Pola Ruang RTRW
skenario ke-3 dan penyesuaian Pola Ruang RTRW skenario ke-4 memenuhi
syarat pola penggunaan lahan terbaik. Skenario ke-4 digunakan sebagai arahan
perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang yang dianggap sebagai referensi
penggunaan lahan di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Tahun 2014-2034.

Kata kunci: Bendungan Karian, Cellular Automata-Markov, Debit Rancangan,


Perubahan Penggunaan Lahan.
SUMMARY

DESSY ARIANTI. Land Use Planning for Discharge Plan of Karian Dam at
Ciberang Watershed in Lebak Regency of Banten Province. Supervised by Kukuh
Murtilaksono and Baba Barus.

The effects of changes in land use cause changes in the discharge flow
conditions. Changes in land use set off rainfall to be more potential runoff than
infiltrated. The aims of this study were to (1) examine the rainfall patterns at
Ciberang watershed in 2000, 2005, 2010 and 2014; (2) assess the changes in land
use at Ciberang watershed in 2000, 2005, 2010 and 2014; (3) analyze the
discharge plan of Ciberang watershed to predict land use in 2028, and (4)
establish directives on land use so that the scenario of discharge peak does not
exceed the dam discharge plan.
The analysis of changes in land use at Ciberang watershed utilized Cellular
Automata-Markov model. Land uses in 2000 and 2010 were used to analyze the
changes in land use with the land use validation of the 2014. The analysis results
produced the prediction on land use in 2028.
The discharge analysis of the flood plan used Rational method with four
scenarios, namely the actual land use in 2014, the prediction on land use in 2028,
land use in the spatial patterns in the spatial plan, and modifications of land use
in the spatial patterns in the spatial plan at Ciberang watershed. The scenario of
the best land use pattern was selected if the discharge pan scenario was less than
the flood discharge of Karian Dam. The best land use pattern meeting the
requirement can be applied for the policy directives for the land use in the spatial
pattern in the spatial plan.
Within a period of 14 years (2000-2014), Ciberang watershed experienced
changes of 24.25 km2 forest to other land area, 2.2 km2 agricultural dryland to
residential area, 3.3 km2 farming dryland to plantations, and 10.1 km2 dryland
into rice farming area. Such changes resulted in a large runoff coefficient so that
the rain falling into those areas had a large potential to become runoff. The
increasing surface water flow caused the rainwater discharge overflowing the
surface went faster into the Ciberang River and flooding would occur more
quickly.
The plan flood discharge in the 50-year return period showed the optimum
flood discharge capacity in Karian Dam. Land use scenarios in the draft
discharge plan in that period indicated that the second scenario of the 2028 flood
discharge plan was ineligible for the best land-use pattern, whereas the 2014 first
scenario of the actual flood discharge, the third scenario of the spatial pattern in
the spatial plan, and the fourth scenario of the modified spatial pattern in the
spatial plan met the criteria for the best land-use patterns. The 4th scenario is
used as the directives for land use planning which is considered as the reference
for land use at Ciberang watershed of Lebak Regency for 2014-2034.

Key words: Cellular Automata-Markov, Discharge Plan, Karian Dam, Land Use
Changes.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN
UNTUK DEBIT RANCANGAN BENDUNGAN KARIAN
DI DAS CIBERANG KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN

DESSY ARIANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc
Judul Tesis : Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan
Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi
Banten
Nama : Dessy Arianti
NIM : A156130184

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS Dr Baba Barus, MSc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun RP Sitorus


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 20 Maret 2015 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah
penggunaan lahan untuk debit banjir rancangan, dengan judul Perencanaan
Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang
Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Kukuh
Murtilaksono, MS dan Bapak Dr Baba Barus, MSc selaku pembimbing, serta
Bapak Dr Ir Komarsa Gandasasmita, M.Sc (alm.) yang telah banyak memberi
bimbingan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Provinsi Banten,
Pusbindiklatren Bappenas, Pimpinan Balai Hidrologi dan Tata Air Pusat
Penelitian Bandung, Kepala Bappeda Kabupaten Lebak, Kepala Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Lebak, Ditjen Planologi Kehutanan Bogor, Kepala
Seksi Hidrologi dan Kualitas Air Balai Besar Wilayah Sungai Ciujung Cidanau
Cidurian, Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015

Dessy Arianti
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 11
Latar Belakang 11
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 5
Kerangka Pikir Penelitian 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Daerah Aliran Sungai 6
Fungsi Hidrologi di DAS 7
Curah Hujan Wilayah 8
Intensitas Hujan Rata-rata 9
Koefisien Limpasan 9
Debit Rancangan 10
Pengindraan Jauh 11
Interpretasi Citra 12
Penggunaan Lahan 12
Perubahan Penggunaan Lahan 13
Sistem Informasi Geografis (SIG) 14
Model Cellular Automata – Markov Chain 15
3 METODE 16
Lokasi Penelitian 16
Bahan dan Alat 17
Jenis dan Sumber Data 18
Metode Pengumpulan Data 19
Prosedur Analisis Data 19
4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 32
Kondisi Fisik Wilayah 32
Sosial dan Ekonomi 39
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 41
Analisis Curah Hujan Wilayah 41
Analisis Distribusi Frekwensi 43
Analisis Penggunaan Lahan 44
Validasi Model Kappa 48
Perubahan Penggunaan Lahan 49
Peramalan Penggunaan Lahan 54
Analisis Perubahan Lahan terhadap Debit Rancangan 55
Skenario Pengendalian Perubahan Penggunaan Lahan 61
Arahan Penggunaan Lahan 62
6 SIMPULAN DAN SARAN 63
Simpulan 63
Saran 63
DAFTAR PUSTAKA 64
LAMPIRAN 67
RIWAYAT HIDUP 90
DAFTAR TABEL

1. Tipe-tipe Informasi Hasil Ekstraksi dari Data Penginderaan Jauh 11


2. Matriks Data dan Metode Analisa yang Digunakan dalam Penelitian 18
3. Hubungan Reduksi Data Rata-rata (Yn), Deviasi Standar (Sn) dengan
Jumlah Data (n) 21
4. Nilai Faktor Frekuensi (k) sebagai Fungsi dari Nilai CV 21
5. Faktor Frekuensi untuk Distribusi Log Pearson Type III dengan
Koefisien Asimetri (Cs) Negatif 23
6. Nilai Variabel Reduksi Gumbel Tipe II 24
7. Syarat pemilihan distribusi frekuensi 25
8. Faktor Tutupan Lahan atau Koefisien Limpasan 27
9. Susunan Band untuk Analisis Penggunaan Lahan 28
10. Klasifikasi Tutupan Lahan 29
11. Matrik transformasi perubahan penggunaan lahan Tahun 2000-2010 30
12. Penyebaran Formasi Geologi DAS Ciberang 33
13. Sebaran Luas Kelas Elevasi di DAS Ciberang 34
14. Sebaran Luas Kemiringan Lereng di DAS Ciberang 36
15. Sebaran Luas Jenis Tanah di DAS Ciberang 37
16. Penggunaan Lahan Berdasarkan Pola Ruang RTRW DAS Ciberang
(Skenario 3) 38
17. Distribusi Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2012 40
18. Mata Pencaharian Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2013 40
19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998 41
20. Curah Hujan Wilayah Harian Maksimum Tahunan di DAS Ciberang 42
21. Rekap Hujan Rancangan Maksimum Tahunan Tiap Metoda di DAS
Ciberang 43
22. Hasil Uji Kesesuaian Distribusi 44
23. Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Tahun 2000-2014 47
24. Perubahan Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Tahun 2000-
2014 47
25. Tingkat Akurasi Klasifikasi Perubahan Penggunaan Lahan di DAS
Ciberang 48
26. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2000 dan 2005 49
27. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2005 dan 2010 50
28. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2010 dan 2014 51
29. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2005 dan 2014 51
30. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2000 dan 2010 52
31. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode
Tahun 2000 dan 2014 53
32. Luas Prediksi Setiap Penggunaan Lahan Tahun 2028 di DAS
Ciberang 55
33. Koefisien Limpasan setiap Luasan Penggunaan Lahan di DAS
Ciberang Berdasarkan Skenario ke-1 sampai ke-4 59
34. Rekap Hasil Analisa Debit Rancangan Metode Rasional 61

DAFTAR GAMBAR
1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian 6
2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013 8
3. Peta Lokasi Penelitian di DAS Ciberang Outlet Bendungan Karian 17
4. Diagram Alir Tahapan Penelitian 19
5. Analisis Intensitas Hujan Rancangan 26
6. Peta Penyebaran Formasi Geologi di DAS Ciberang 32
7. Peta Penyebaran Kelas Elevasi di DAS Ciberang 34
8. Peta Penyebaran Kelas Kemiringan Lereng di DAS Ciberang 35
9. Peta Penyebaran Jenis Tanah di DAS Ciberang 36
10. Peta Pola Ruang RTRW DAS Ciberang 38
11. Jumlah Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2006-2012 39
12. Mata Pencaharian Penduduk di DAS Ciberang 41
13. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1998 42
14. Analisa Perhitungan Curah Hujan Rancangan di DAS Ciberang 43
15. (a) Penggunaan Lahan Tahun 2000, (b) Penggunaan Lahan Tahun
2005, (c) Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan (d) Penggunaan Lahan
Tahun 2014 di DAS Ciberang 46
16. Luas Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 di DAS
Ciberang 47
17. Diagram Setiap Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciberang 54
18. Peta Prediksi Setiap Penggunaan Lahan Tahun 2028 55
19. (a) Skenario ke-1 Penggunaan Lahan Aktual DAS Ciberang Tahun
2014, (b) Skenario ke-2 Prediksi Penggunaan Lahan DAS Ciberang
Tahun 2028, (c) Skenario ke-3 Penggunaan Lahan Pola Ruang
RTRW dan (d) Skenario ke-4 Penggunaan Lahan pada Sinkronisasi
Pola Ruang RTRW di DAS Ciberang 57
20. Luas Penggunaan Lahan berdasarkan Skenario ke-1 sampai ke-4 di
DAS Ciberang 58

DAFTAR LAMPIRAN
1. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998 67
2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1998 67
3. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1999 68
4. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1999 68
5. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2000 69
6. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2000 69
7. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2001 70
8. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2001 70
9. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2002 71
10. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2002 71
11. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2003 72
12. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2003 72
13. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2004 73
14. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2004 73
15. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2005 74
16. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2005 74
17. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2006 75
18. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2006 75
19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2007 76
20. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2007 76
21. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2008 77
22. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2008 77
23. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2009 78
24. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2009 78
25. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2010 79
26. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2010 79
27. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2011 80
28. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2011 80
29. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2012 81
30. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2012 81
31. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2013 82
32. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013 82
33. Perhitungan Kurva Distribusi Gumbel Tipe I 83
34. Nilai Ekstrim Distribusi Gumbel Tipe I 83
35. Perhitungan Kurva Distribusi Log-Normal Dua Parameter 83
36. Nilai Ekstrim Distribusi Log-Normal Dua Parameter 84
37. Perhitungan Kurva Distribusi Log Pearson Tipe III 84
38. Nilai Ekstrim Distribusi Log Pearson Tipe III 85
39. Perhitungan Kurva Distribusi Frechet 85
40. Nilai Ekstrim Distribusi Frechet 86
41. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Gumbel Tipe I 86
42. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Gumbel Tipe I 86
43. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log Normal 87
44. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Log Normal 87
45. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log-Pearson
Tipe III 88
46. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Log Pearson Tipe III 88
47. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Frechet 88
48. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Frechet 89
49. Uji Kesesuaian Distribusi Smirnov-Kolmogorof 89
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama (Asdak 2007). Pengelolaan DAS dilaksanakan sesuai dengan rencana tata
ruang dan pola pengelolaan sumber daya air sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penataan ruang dan sumber daya air. Pengelolaan
DAS diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi terkait
pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Kegiatan
Pengelolaan DAS dilaksanakan berdasarkan Rencana Pengelolaan DAS yang
telah ditetapkan dan menjadi acuan rencana pembangunan sektor dan rencana
pembangunan wilayah administrasi. Ukuran keberhasilan pengelolaan DAS
adalah dapat dikembangkan dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan
melalui upaya Pengelolaan DAS bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.
Pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah DAS telah menunjukkan
peningkatan yang sejalan dengan pertambahan penduduk. Pemanfaatan sumber
daya alam secara kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan terjadinya
perubahan kondisi lingkungan. Akibat yang ditimbulkan oleh adanya perubahan
tersebut terjadinya penurunan kualitas lingkungan, misalnya terjadi kerusakan
lingkungan seperti adanya kejadian banjir dan kekeringan. Rencana Tata Ruang
dan Wilayah (RTRW) selayaknya disusun untuk mendukung perbaikan ataupun
mempertahankan kondisi lingkungan yang ada.
Mahkluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya
berbagai perubahan kondisi lingkungan. Makluk hidup selain manusia
menimbulkan perubahan alami, yang dicirikan oleh keseimbangan dan
keselarasan, sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk
mengubah secara berbeda karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimilikinya, bahkan seringkali perubahan tersebut merusak lingkungan.
Kondisi lingkungan dan pengelolaan sumberdaya air yang kurang baik dapat
memperbesar masalah kekeringan termasuk juga adanya alih fungsi hutan.
Kekeringan secara umum dapat terjadi karena kondisi hidrometeorologi, kondisi
geologis, kondisi geografis, kondisi vegetasi dan penggunaan lahan, juga
pengelolaan sumberdaya air. Berbagai dampak permasalahan akibat kekeringan
dapat terjadi di berbagai sektor antara lain: pertanian, rumah tangga, industri,
perkotaan, perubahan kondisi ekologi dan sebagainya.
Perubahan penggunaan lahan untuk keperluan pembangunan merupakan
salah satu faktor yang paling berpengaruh pada perubahan lingkungan secara
global. Tingkat perubahan penutupan lahan diperkirakan akan meningkat secara
nyata dalam beberapa dekade mendatang sebagai akibat dari pertumbuhan
penduduk (Ojima et al. 1994 dalam Hutyra et al. 2011).
FAO (2001) mencatat bahwa setiap tahunnya 0,38 % lahan hutan di seluruh
dunia terkonversi menjadi penggunaan lain. Sementara itu, Kemenhut (2012)
menyatakan bahwa angka deforestasi di Indonesia pada tahun 2011 mencapai
832.126 ha/tahun.
2

Perubahan penggunaan lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap


kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan
lainnya (deforestasi), seperti pertanian, perumahan ataupun industri. Apabila
gejala tersebut tidak segera dikelola dengan baik, maka debit puncak akan
meningkat sehingga menyebabkan kelebihan air atau banjir pada saat musim
hujan dan kekeringan pada saat musim kemarau . Hal ini disebabkan hujan yang
jatuh sebagian besar menjadi aliran permukaan. Oleh karena itu, upaya-upaya
pelestarian sumberdaya air sangat diperlukan melalui penataan penggunaan lahan
di dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).
DAS Ciberang merupakan sub DAS di hulu sungai Ciujung sebagai
kawasan resapan air dan daerah pengendali banjir. Eksploitasi di DAS yang tidak
terkendali menyebabkan kondisi lingkungan DAS semakin menurun. Salah satu
fenomena penurunan kondisi DAS adalah luas tutupan hutan semakin berkurang
diantaranya disebabkan oleh alih fungsi kawasan hutan.
Alih fungsi kawasan hutan perlu dianalisis multitemporal sebagai bantuan
untuk memahami proses dan pola perubahan penggunaan lahan selama periode
historis tertentu. Hal ini penting untuk memahami bagaimana perubahan
penggunaan lahan dari waktu ke waktu dan untuk mengenali sifat dinamis dari
perubahan kawasan tersebut. Secara khusus, sangat penting untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mengatur tingkat perubahan penggunaan
lahan di suatu wilayah tertentu, dan bagaimana perubahan penggunaan fungsi
kawasan hutan mungkin bervariasi dalam sub-wilayah (Mendoza et al. 2011).
Alih fungsi kawasan hutan menimbulkan masalah berkurangnya daya resap
air ke dalam tanah sehingga sebagian besar air mengalir di permukaan. Hal
tersebut berpengaruh terhadap besarnya debit puncak pada outlet Bendungan
Karian. Apabila tidak dilakukan pengelolaan lebih lanjut akan menyebabkan
peningkatan debit puncak setiap tahunnya, sehingga daerah di bagian hilir akan
berpotensi terkena dampak banjir.
Hulu DAS Ciberang masuk dalam Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS) dengan luas 14,938 ha (14%) dari luas seluruhnya
sekitar 113,357 ha. Berdasarkan data Ditjen Planologi (2012), tahun 1989-2008
luas hutan di kawasan TNGHS setiap tahun berkurang sekitar 18 hektar. Tahun
1989 luas hutan sebesar 870 km2 sedangkan tahun 2008 luas hutan hanya tinggal
639.5 km2. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadi penurunan luas hutan
satiap tahunnya di kawasan TNGHS dapat mempengaruhi kondisi hulu DAS
sebagai kawasan resapan air. Selain itu menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Lebak menyatakan bahwa luas lahan kritis di DAS Ciberang
meningkat mencapai 36.3% (Dishutbun Lebak 2013).
DAS Ciberang adalah salah satu DAS dengan laju erosi besar yang dapat
menimbulkan degradasi lahan. Upaya perlindungan sumberdaya tanah dan air dari
gejala degradasi lahan perlu segera ditanggulangi. Hal tersebut perlu dilakukan
karena adanya rencana pembangunan Bendungan Karian yang berfungsi utama
sebagai air baku dan irigasi. Agar bendungan tersebut dapat memberikan manfaat
sesuai umur yang direncanakan, maka upaya penataan penggunaan lahan pada
daerah tangkapannya perlu segera dilakukan sebelum bendungan tersebut dimulai
pembangunannya.
3

Berdasarkan data Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman dengan curah
hujan yang relatif sama, debit di sungai pada tahun 1998-2011 rendah sedangkan
pada Tahun 2001, 2006, 2009, 2012 hingga 2013 debit di sungai tinggi berakibat
banjir di hilir Sungai Ciberang yang merendam beberapa desa di Kecamatan
Rangkasbitung (DSDAP Banten 2013).
Perubahan luas tutupan hutan di hulu DAS berpengaruh pada debit puncak
di outlet rencana Bendungan Karian dari tahun ke tahun bertambah besar. Hal
tersebut terlihat pada hasil debit observasi di sungai Ciberang. Debit puncak yang
mengakibatkan banjir sebelumnya terjadi 5 tahunan tetapi akhir-akhir ini menjadi
banjir tahunan, sedangkan perubahan curah hujan dari tahun 1998-2013 relatif
sama. Hal tersebut berakibat banjir di hilir Sungai Ciberang semakin sering terjadi
yang mengakibatkan beberapa desa di Kecamatan Rangkasbitung terendam
(DSDAP Banten 2013).
Kejadian banjir berulang setiap tahun berbanding lurus dengan penurunan
luas kawasan hutan yang terjadi setiap tahunnya pada DAS Ciberang. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pengurangan luas tutupan hutan di hulu DAS
mempengaruhi debit limpasan permukaan yang menyebabkan air hujan melimpas
ke sungai lebih cepat tanpa adanya penyerapan air yang maksimum di hulunya.
Menurut Hamilton dan King (1983 dalam Narendra 2012) banjir terjadi akibat
tingginya intensitas curah hujan, atau hujan berlangsung dalam waktu lama serta
tutupan lahan tidak mampu lagi menginfiltrasi air hujan secara optimal, dan
kapasitas penyimpanan tanah telah terlampaui sehingga kelebihan air melimpas ke
aliran sungai. Dengan kata lain kejadian banjir tidak sematamata hanya
dipengaruhi kondisi penggunaan lahan, tetapi juga tergantung faktor iklim dan
geologi.
Berdasarkan uraian di atas, penggunaan lahan di DAS Ciberang dalam
keadaan terganggu fungsi hidrologisnya, sehingga diperlukan perencanaan
penggunaan lahan terbaik agar peluang debit puncak dapat ditampung oleh
Bendungan Karian.
Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi hidrologis di DAS Ciberang
terganggu sehingga diperlukan perencanaan penggunaan lahan terbaik untuk debit
rancangan Bendungan Karian agar peluang debit puncak dapat ditampung oleh
Bendungan Karian. Perencanaan perubahan penggunaan lahan dalam penelitian
ini digunakan pendekatan Model CA Markov yang dapat memprediksi alih fungsi
lahan. Perencanaan penggunaan lahan tersebut perlu dibandingkan dengan RTRW
yang dianggap sebagai referensi penggunaan lahan.

Perumusan Masalah

Perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian budidaya di DAS Ciberang


yang merupakan kawasan hulu DAS Ciujung dapat berdampak pada berkurangnya
fungsi resapan air dan meningkatnya debit puncak akibat perbedaan debit puncak
yang terjadi di DAS tersebut. Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali akan
menambah panjang daftar DAS kritis di Indonesia, dimana potensi bahaya banjir
dan kekeringan, baik dari sebaran dan frekuensinya akan semakin meningkat.
Dengan kata lain, apabila kemampuan daya resap air daerah hulu pada suatu DAS
4

ini berkurang maka akan terjadi kekritisan sumber daya air, peningkatan debit
banjir, dan sebaliknya, penurunan debit andalan.
Sebetulnya suatu lahan yang tidak mendapatkan gangguan / perubahan
mempunyai kemampuan untuk mengasimilasi air hujan yang jatuh pada saat
kondisi debit puncak. Namun dengan hilangnya tanaman menyebabkan
kemampuan tanah untuk menyimpan air hujan berkurang dan sebaliknya
presentase aliran permukaan meningkat. Hasilnya air yang turun ke bumi
langsung mengalir ke sungai dan berakhir di laut.
Beberapa dampak yang ditimbulkan dengan meningkatnya lahan terbangun
terhadap aliran permukaan beserta dampak selanjutnya yang mengakibatkan
volume aliran permukaan meningkat yang menyebabkan penyerapan air ke dalam
tanah berkurang sehingga cadangan air tanah berkurang, kecepatan aliran
meningkat, terjadi erosi yang menimbulkan sedimentasi di sungai dan perubahan
waktu debit puncak akibatnya berkurangnya aliran dasar (base flow) yaitu debit
air yang ada pada saat musim kering, sebagai dampak tidak adanya cadangan air
dalam tanah sedangkan pada musim hujan, banjir akan cepat terjadi karena
volume aliran permukaan meningkat.
Kajian mengenai pengaruh alih fungsi lahan terhadap perubahan waktu
debit puncak berakibat pada perbedaan debit maksimum-minimum yang tinggi
sehingga perlu dilakukan perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang
mengingat alih fungsi lahan di DAS tersebut yang cenderung mengarah kepada
terjadinya kerusakan DAS. Model CA Markov yang dapat memprediksi alih
fungsi lahan dan pengaruh terhadap respon hidrologi yang dapat digunakan untuk
ekstrapolasi berbagai skenario sistem penggunaan lahan yang akan datang.
Sehingga skenario yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengelolaan DAS
Ciberang yang lebih baik.
Oleh karena itu informasi mengenai prediksi perubahan penggunaan lahan
di masa yang akan datang sangat diperlukan untuk membuat arahan yang dapat
mendukung implementasi RTRW Kabupaten Lebak ke depan khususnya di daerah
aliran sungai. Berdasarkan hal tersebut, dirumuskan beberapa pertanyaan
penelitian mengenai perencanaan penggunaan lahan untuk debit rencana
Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak yang diharapkan akan
didapatkan solusinya dari penelitian ini, diantaranya adalah:
1. Bagaimana pola curah hujan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan
2014 ?
2. Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang tahun 2000,
2005, 2010 dan 2014 ?
3. Bagaimana penggunaan lahan tahun 2028 ?
4. Bagaimana pola penggunaan lahan terbaik agar debit puncak skenario tidak
melebihi debit rancangan Bendungan Karian ?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :


1. Mengkaji pola hujan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014;
2. Mengkaji perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005,
2010 dan 2014;
5

3. Memprediksi penggunaan lahan tahun 2028 di DAS Ciberang;


4. Menyusun arahan penggunaan lahan agar debit puncak skenario tidak
melebihi debit rancangan Bendungan Karian.

Manfaat Penelitian

Memberi gambaran penggunaan lahan dan perubahan di DAS Ciberang


yang menjadi dasar dalam pendugaan debit puncak tepatnya di lokasi Bendungan
Karian. Perubahan penggunaan lahan tersebut digunakan sebagai masukan untuk
menyusun arahan dalam menentukan strategi penggunaan lahan ditinjau dari
kondisi hidrologisnya.

Kerangka Pikir Penelitian

Defisit air yang tercermin dari penurunan debit minimum dan peningkatan
debit maksimum Sungai Ciberang diduga disebabkan oleh perubahan penggunaan
lahan khususnya perubahan luas hutan. Perubahan penggunaan lahan khususnya
penggunaan lahan hutan menjadi non hutan akan meningkatkan aliran permukaan
dan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga sebagian besar air hujan menjadi
aliran permukaan dan terbuang ke laut. Pada saat yang sama maka jumlah air yang
masuk dan tersimpan di dalam tanah juga berkurang akibat penurunan kapasitas
infiltrasi tanah sehingga akan mengurangi jumlah aliran dasar.
Pada konteks hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan
ketersediaan air, maka penataan penggunaan lahan diharapkan dapat menurunkan
aliran permukaan dan meningkatkan jumlah air hujan yang masuk dan tersimpan
di dalam tanah sehingga akan meningkatkan aliran dasar. Penurunan aliran
permukaan ini akan menurunkan debit maksimum sungai karena sebagian air
hujan tersimpan di dalam tanah dan menjadi aliran dasar atau aliran sungai.
Sehingga diharapkan distribusi bulanan aliran sungai akan relatif lebih merata.
Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang yang dikhawatirkan akan
menyebabkan defisit air yang perlu dikendalikan dan diatur berdasarkan proporsi
luas masing-masing jenis penggunaan lahan yang dapat menjamin ketersediaan air
jangka panjang. Sehingga dalam penelitian ini, model spasial perubahan
penggunaan lahan dirancang dengan pendekatan Cellular Automata (CA). Model
ini akan memprediksi debit rancangan penggunaan lahan tahun 2028.
Koefisien aliran diambil dari prediksi penggunaan lahan. Kemudian
dilakukan tahap analisis koefisien aliran dengan hubungannya terhadap perubahan
penggunaan lahan yang terjadi di DAS Ciberang. Kemudian dilakukan analisis
pengaruh perubahan lahan terhadap debit dan analisis hubungan antar jumlah
penduduk, kemiringan lereng, ketinggian, geologi dengan pola
penggunaan/penutupan lahannya dimana nilai debit puncak skenario kurang dari
debit rancangan Bendungan Karian.
Prediksi penggunaan lahan yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan
RTRW untuk menjadi dasar disusunnya arahan penggunaan lahan untuk
mendukung implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak khusus
6

di wilayah rencana Bendungan Karian. Diagram alir kerangka pikir penelitian


disajikan pada Gambar 1.

Pola penggunaan lahan ke depan semakin buruk Debit puncak ke depan semakin besar dari
sehingga rasio debit maksimum / debit minimum kapasitas daya tampung
menjadi bertambah besar. Bendungan Karian

Perencanaan beberapa Penggunaan Lahan

Perubahan Penggunaan Lahan dengan Perhitungan Debit Puncak


Metode CA Markov Skenario dengan Metode Rasional

Arahan penggunaan lahan agar skenario debit puncak


dapat ditampung dan tidak melebihi debit rancangan Bendungan
Karian
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA) yang
merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam
(tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya
alam (Asdak 2007).
Lee (1998) mengatakan bahwa daerah tangkapan air meliputi semua titik
yang terletak di atas elevasi (ketinggian tempat) stasiun penakar dan di dalam
batas topografi (topographic divide) yang memisahkan daerah-daerah tangkapan
beragam cukup besar dengan komposisi dan struktur lapisan batuan di bawahnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, disebutkan bahwa Daerah
Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan sebagai satu kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungai yang berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami.
Sedangkan batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan wilayah bersifat
kompleks yang dipengaruhi oleh karakteristik fisik variabel meteorologinya.
Karakteristik fisik yang berupa pola penggunaan lahan, bentuk jaringan sungai,
kondisi tanah dan topografi yang merupakan karakteristik DAS yang sifatnya
dapat dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Sedangkan variabel meteorologi yang
meliputi curah hujan, suhu, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin
7

bersifat sangat berubah-ubah tergantung kondisi klimatnya (Dewan Riset Nasional


1994).
Penilaian mengenai keberhasilan pengelolaan DAS secara praktis dapat
ditinjau dari segi tata airnya yaitu stabilitas debit air sungai pada musim kemarau
dan musim penghujan seimbang dan fluktuasi debitnya setiap tahun semakin
menurun. Menurut Sinukaban (1995) cara pengelolaan DAS akan mempengaruhi
produktifitas dan fungsi DAS secara keseluruhan. Oleh karena itu yang menjadi
target di dalam system pengelolaan DAS adalah mampu memberikan produktifitas
lahan yang tinggi dan mampu menjamin kelestarian DAS.
Sheng (1968) mengemukakan tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS
yaitu air, lahan dan pengelolaan. Unsur lahan meliputi semua komponen dari satu
unit geografi dan atmosfir tertentu, air dan batuan, vegetasi dan hewan, manusia
dan perkembangannya. Oleh karena itu pengelolaan DAS didefinisikan sebagai
pengelolaan lahan untuk produksi air dengan kualitas yang optimum serta
stabilitas tanah yang maksimum. Pengelolaan DAS harus diorientasikan kepada
segi-segi konservasi tanah dan air dengan menitik beratkan kepada keseimbangan
debit maksimum dan debit minimum.

Fungsi Hidrologi di DAS

DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi proses


interaksi antara faktor biotik, non biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem,
maka setiap ada masukan ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di
dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem tersebut.
Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan
keluaran terdiri dari debit air minimum dan maksimum. Komponen-komponen
DAS yang berupa vegetasi, tanah dan sungai mempengaruhi proses-proses yang
terjadi di dalam DAS (Suripin 2002).
Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi
perlindungan terhadap DAS. Aktifitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan
ekosistem, misalnya perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah hulu, dapat
memberikan dampak pada daerah hilirnya. Adapun kaitannya antara masukan dan
keluaran pada suatu DAS ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis
dampak suatu tindakan atau aktivitas pembangunan di dalam DAS terhadap
lingkungan khususnya hidrologi (Suripin 2002).
Proses perubahan curah hujan menjadi aliran permukaan dapat
dikelompokan menjadi dua bagian yaitu: a) fungsi produksi DAS yang perubahan
dari hujan total menjadi hujan efektif dan b) fungsi transfer DAS yaitu perubahan
hujan efektif menjadi aliran permukaan langsung (Robinson dan Sivapala 1995).
Menurut Suripin (2002), kualitas suatu DAS dapat diukur berdasarkan
fluktuasi debit sungai yang mengalir dalam beberapa kondisi curah hujan yang
berbeda. Data debit sungai dapat ditentukan nilai dari parameter penentu kualitas
DAS diantaranya adalah koefisien rejim sungai (KRS) yang merupakan
perbandingan antara debit harian rata-rata maksimum dan debit harian rata-rata
minimum. Makin kecil harga KRS berarti makin baik kondisi hidrologis suatu
DAS. Disamping KRS, kondisi DAS juga dapat dievaluasi secara makro dengan
nisbah debit maksimum-minimum (Qmax/Qmin). Kualitas DAS ditentukan oleh
8

nilai koefisien aliran permukaan yang biasa diberi notasi C. Nilai ini merupakan
bilangan yang menyatakan perbandingan antara besarnya aliran permukaan
terhadap jumlah curah hujan. Nilai C yang kecil menunjukkan kondisi DAS yang
masih baik, sebaliknya C yang besar menunjukkan kondisi DAS yang telah rusak.
Nilai C berkisar 0-1 (Kodoatie dan Syarief 2005).

Curah Hujan Wilayah

Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan.


Perlunya menghitung curah hujan dalam suatu wilayah adalah untuk penyusunan
suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir
(Sosrodarsono dan Takeda 2006). Perhitungan curah hujan rencana digunakan
untuk meramal besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah
hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk
mencari debit banjir rencana (Sosrodarsono dan Takeda 2006). Metode yang
digunakan ArcGIS dalam perhitungan curah hujan rata-rata wilayah daerah aliran
sungai (DAS) yaitu dengan metode interpolasi grid.
Metode ini memperhitungkan secara aktual pengaruh hujan tiap-tiap pos
hujan dan elevasi di daerah tersebut. Metode ini cocok untuk daerah berbukit dan
tidak teratur dengan luas lebih dari 5000 km 2 (Suripin 2002). Penjelasan garis
interpolasi dapat dilihat pada Gambar 2.

195 mm

191 mm 180 mm

180 mm 168.3 mm

195 mm
128 mm
165 mm
245.7 mm

177.6 mm
195 mm

134.9 mm
180 mm

150 mm

165 mm

150 mm

Gambar 2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013


9

Intensitas Hujan Rata-rata

Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu
kurun waktu di mana air tersebut berkonsentrasi. Analisis intensitas curah hujan
ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau
(Loebis 1992). Untuk menentukan debit banjir rencana (design flood), perlu
didapatkan harga suatu intensitas curah hujan.
Intensitas curah hujan merupakan fungsi dari besarnya curah hujan yang
terjadi dan berbanding terbalik dengan waktu kejadiannya. Artinya besarnya curah
hujan yang terjadi akan semakin tinggi intensitasnya bila terjadi pada periode
waktu yang semakin singkat, demikian pula sebaliknya. Besarnya intensitas hujan
berbeda-beda tergantung pada lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya.
Untuk menghitung intensitas curah hujan, dapat digunakan dengan metode
Mononobe. Metode ini digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan
apabila yang tersedia adalah data curah hujan harian (Loebis 1992).
Hasil analisis berupa intensitas hujan dengan waktu konsentrasi hujan dan
periode ulang tertentu dihubungkan ke dalam kurva Intensity Duration Frequency
(IDF). Kurva IDF menggambarkan hubungan antaran dua parameter penting
hujan yaitu durasi dan intensitas hujan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk
menghitung debit puncak dengan metode rasional. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sosrodarsono dan Takeda (2006), yang mengatakan bahwa lengkung
IDF digunakan dalam menghitung debit puncak dengan metode rasional untuk
menentukan intensitas curah hujan rata-rata dari waktu konsentrasi yang terpilih.

Koefisien Limpasan

Koefisien limpasan merupakan perbandingan antara jumlah air yang


mengalir di suatu daerah akibat turunnya hujan, dengan jumlah hujan yang turun
di daerah tersebut (Subarkah 1980). Koefisien limpasan pada suatu daerah
dipengaruhi oleh kondisi karakteristik (Sosrodarsono dan Takeda 2006), yaitu :
a) Kondisi hujan
b) Luas dan bentuk daerah pengaliran
c) Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai
d) Daya infiltrasi dan perkolasi tanah
e) Kebebasan tanah
f) Suhu udara, angin dan evaporasi
g) Tata guna lahan

Besarnya aliran permukaan dapat menjadi kecil, terlebih bila curah hujan
tidak melebihi kapasitas infiltrasi. Selama hujan yang terjadi adalah kecil atau
sedang, aliran permukaan hanya terjadi di daerah yang impermeable dan jenuh di
dalam suatu DAS atau langsung jatuh di atas permukaan air. Apabila curah hujan
yang jatuh jumlahnya lebih besar dari jumlah air yang dibutuhkan untuk
evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi dan cadangan depresi, maka
barulah bisa terjadi aliran permukaan. Apabila hujan yang terjadi kecil, maka
hampir semua curah hujan yang jatuh terintersepsi oleh vegetasi yang lebat
(Kodoatie dan Syarief 2005).
10

Koefisien limpasan ini diperoleh dengan menghitung data luasan dari


masing-masing penggunaan lahan yang ada. Nilai koefisien limpasan dapat juga
digunakan untuk menentukan kondisi fisik DAS (Kodoatie dan Syarief 2005).
Perubahan tata guna lahan yang terjadi secara langsung mempengaruhi debit
puncak yang terjadi pada suatu DAS. Kondisi fisik DAS harus dilestarikan
melalui upaya peningkatan pelestarian lingkungan agar nilai koefisien limpasan
tidak meningkat secara drastis (Kodoatie dan Syarief 2005).

Debit Rancangan

Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati
suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan
Standar Internasional (SI) besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik
per detik (m3/detik).
Teknik peggukuran debit aliran langsung di lapangan pada dasarnya dapat
dilakukan melalui empat kategori (Gordon et al. 1992 dalam Asdak 2007), yaitu:
(1) pengukuran volume air sungai; (2) pegukuran dengan cara mengukur
kecepatan aliran dan menentukan luas penampang melintang sungai; (3)
pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan
dalam aliran sungai (substance tracing method); (4) pengukuran debit dengan
membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flume
(aliran air cepat). Pengukuran debit pada kategori pertama, biasanya dilakukan
untuk keadaan aliran (sungai) lambat. Pada kategori pengukuran debit yang
kedua, yaitu pengukuran debit dengan bantuan alat ukur current meter atau sering
dikenal sebagai pengukuran debit melalui pendekatan velocity-area method paling
banyak dipraktekkan dan berlaku untuk kebanyakan aliran sungai. Pengukuran
debit dengan menggunakan bahan-bahan kimia, pewarna, atau radioaktif sering
digunakan untuk jenis sungai yang aliran airnya tidak beraturan (turbulent).
Kategori pengukuran debit yang keempat, yaitu pembuatan bangunan pengukuran
debit, biasanya untuk pengukuran debit jangka panjang di stasiun-stasiun
pengamatan hidrologi. Pengukuran debit aliran yang paling sederhana dapat
dilakukan dengan metode apung (floating method). Caranya dengan menempatkan
benda yang tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu
dan mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut bergerak dari satu
titik pengamatan ke titik pengamatan lain yang telah ditentukan.
Menurut Arsyad (2010) aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke
dalam sungai dalam bentuk aliran permukaan, aliran air bawah permukaan, air
bawah tanah, dan butir-butir hujan yang langsung jatuh di permukaan sungai.
Debit aliran sungai akan naik setelah terjadi hujan yang cukup, kemudian akan
turun kembali setelah hujan selesai.
Besarnya banjir rancangan dinyatakan dalam debit banjir sungai dengan
kala ulang tertentu. Kala ulang debit adalah suatu kurun waktu berulang dimana
debit yang terjadi menyamai atau melampaui besarnya debit banjir yang
ditetapkan (banjir rancangan). Sebagai contoh adalah apabila ditetapkan banjir
rancangan dengan kala ulang T tahun, maka dapat diartikan bahwa probabilitas
kejadian debit banjir yang sama atau melampaui dan debit banjir rancangan setiap
tahunnya rata-rata adalah sebesar l/T. pernyataan tersebut dapat pula dikatakan
11

bahwa periode ulang rata-rata kejadian debit banjir sama atau melampaui debit
banjir rancangan adalah sekali setiap T tahun. (Nurrizqi dan Suyono 2012)

Pengindraan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh


informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu peralatan tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah
atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990).
Cara memperoleh obyek dalam penginderaan jauh adalah dengan
mendeteksi gelombang elektromagnetik yang dipantulkan, diserap dan
ditransmisikan atau dipancarkan oleh masing-masing obyek yang datang padanya,
sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat
dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang sedang
diteliti (Lillesand dan Kiefer 1990).
Sistem penginderaan jauh pasif (foto udara dan citra aster), yaitu sistem
penginderaan jauh yang energinya dari matahari. Panjang gelombang yang
digunakan oleh sistem pasif, tidak memiliki kemampuan menembus atmosfer
yang dilaluinya, sehingga atmosfer ini dapat menyerab (absorp) dan
menghamburkan (scatter) energi pantulan (reflektan) obyek yang akan diterima
oleh sensor (Lillesand dan Kiefer 1990). Faktor inilah yang menyebabkan nilai
reflektan obyek yang diterima sensor tidak sesuai dengan nilai reflektan obyek
yang sebenarnya di bumi.
Data penginderaan jauh dapat berupa : (1) data analog, misalnya foto udara
cetak atau data video, dan (2) data digital, misalnya citra satelit. Teknologi
Penginderaan jauh berkembang pesat dewasa ini seiring peranannya yang semakin
diperlukan dalam proses pengambilan dan pengumpulan informasi mengenai
obyek yang diamati. Murai (1996) mengklasifikasikan tipe-tipe informasi yang
bisa diekstrak melalui data penginderaan jauh menjadi 5 tipe dan dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1. Tipe-tipe Informasi Hasil Ekstraksi dari Data Penginderaan Jauh


Tipe Contoh
Klasifikasi Penggunaan lahan, Vegetasi
Deteksi Perubahan Perubahan penggunaan lahan
Ekstraksi Kualitas Fisik Temperatur, Komponen Atmosfer,
Elevasi
Ekstraksi Indeks Index Vegetasi, Index Kekeruhan
Identifikasi Feature Spesifik Identifikasi Bencana Alam seperti
Kebakaran Hutan, atau Banjir, Ekstraksi
of Linearment, Deteksi Feature
Arkeologi
Sumber: Murai (1996)
12

Interpretasi Citra

Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan
maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar dalam citra dan menilai arti
penting obyek tersebut (Estes dan Simonett 1975 dalam Sutanto 1987). Di dalam
pengenalan obyek yang tergambar pada citra, ada rangkaian kegiatan yang
diperlukan, yaitu : deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengamatan
atas ada atau tidaknya suatu obyek pada citra. Identifikasi adalah upaya untuk
mencirikan obyek yang dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup
yaitu menggunakan unsur interpretasi citra. Pada tahap analisis dikumpulkan
keterangan lebih lanjut untuk membuat kesimpulan (Lint dan Simonett 1975
dalam Sutanto 1987).
Pengenalan obyek merupakan tahap yang sangat penting dalam interpretasi
citra, bila obyek tidak dikenal maka analisis maupun pemecahan masalah tidak
mungkin dilakukan. Tujuh unsur-unsur interpretasi citra yang dikemukakan oleh
Lillesand dan Kiefer (1990) yaitu :
1. Bentuk; ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek
demikian mencirikan sehingga citranya dapat diidentifikasi langsung hanya
berdasarkan kriteria ini.
2. Ukuran; obyek harus dipertimbangkan sehubungan dengan skala foto.
3. Pola; ialah hubungan susunan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum
tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak obyek alamiah
maupun bangunan, dan akan memberikan suatu pola yang membantu penafsir
untuk mengenali obyek tersebut.
4. Bayangan; penting bagi penafsir dalam dua hal yang bertentangan, yaitu:
 Bentuk atau kerangka bayangan dapat memberikan gambaran profil suatu
obyek (dapat membantu interpretasi).
 Obyek di bawah bayangan hanya dapat memantulkan sedikit cahaya dan
sukar diamati pada foto (menghalangi interpretasi).
5. Rona; ialah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto.
6. Tekstur; adalah frekuensi perubahan rona pada citra fotografi. Tekstur
dihasilkan oleh kumpulan unit kenampakan yang mungkin terlalu kecil
apabila dibedakan secara individual, seperti daun tumbuhan dan
bayangannya.
7. Situs atau lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek yang lain, dapat
sangat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek.
Kemudian Avery (1992) memberikan penambahan karakteristik asosiasi
yang menunjukkan keterkaitan suatu obyek tehadap lokasi dimana obyek tersebut
ditemukan.

Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia,
baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai,
13

penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi
garam (Hardjowigeno 1993).
Pengertian tentang penutupan dan penggunaan lahan penting untuk berbagai
kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan permukaan
bumi. Penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di
permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan
manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesand dan Kiefer 1990).
Sistem penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan
lahan pertanian antara lain sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, padang
rumput, hutan dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian antara lain
penggunaan lahan pemukiman, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya
(Arsyad 2010).

Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas


terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan
komersial maupun industri (Kazaz dan Charles 2001 dalam Munibah 2008).
Sementara menurut Muiz (2009), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai
suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain
yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi
logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial
ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial
maupun industri. Perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan pada
umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan
lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh
seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan
perubahan penggunaan lahan.
Barlowe (1978) menyatakan bahwa dalam menentukan penggunaan lahan
terdapat empat faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu : faktor fisik
lahan, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor kondisi sosial
dan budaya masyarakat setempat juga akan mempengaruhi pola penggunaan
lahan. Pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan
kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan
terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk.
Demikian pula permintaan terhadap hasil non pertanian seperti kebutuhan
perumahan dan sarana prasarana wilayah. Peningkatan pertumbuhan penduduk
dan peningkatan kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan
dalam penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan
pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal,
pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan
mutu kehidupan yang lebih baik.
Faktor fisik yang mempengaruhi penggunaan dan penutupan lahan yakni
topografi atau perbedaan tinggi, bentuk wilayah suatu daerah, termasuk
didalamnya adalah perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Peranan topografi
14

terhadap penggunaan lahan dibedakan berdasarkan unsur-unsurnya adalah elevasi


dan kemiringan lereng. Peranan elevasi terkait dengan iklim, terutama suhu dan
curah hujan. Elevasi juga berpengaruh terhadap peluang untuk pengairan. Peranan
lereng terkait dengan kemudahan pengelolaan dan kelestarian lingkungan. Daerah
yang berlereng curam mengalami erosi yang terus-menerus sehingga tanah-tanah
ditempat ini bersolum dangkal, kandungan bahan organik rendah dan
perkembangan horison lambat dibandingkan dengan tanah-tanah di daerah datar
yang air tanahnya dalam. Perbedaan lereng juga menyebabkan perbedaan air
tersedia bagi tumbuh-tumbuhan sehingga mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di
tempat tersebut dan seterusnya juga mempengaruhi pembentukan tanah
(Hardjowigeno 1993).
Iklim merupakan faktor fisik yang sulit dimodifikasi dan paling menentukan
keragaman penggunaan lahan. Unsur-unsur iklim seperti hujan, penyinaran
matahari, suhu, angin, kelembaban dan evaporasi, menentukan ketersediaan air
dan energi, sehingga secara langsung akan mempengaruhi ketersediaan hara bagi
tanaman. Penyebaran dari unsur-unsur iklim ini bervariasi menurut ruang dan
waktu, sehingga penggunaan lahan juga beragam sesuai dengan penyebaran
iklimnya (Mather 1986 dalam Gandasasmita 2001).

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Banyak ahli yang mendefnisikan mengenai SIG, namun jika hal tersebut
dirangkum, maka pada intinya SIG merupakan sebuah sistem untuk memasukkan,
mengelola, menyimpan, memproses, menganalisis dan menyajikan data yang
terkait dengan permukaan bumi (Barus dan Wiradisastra 2000). Sebagai suatu
sistem, SIG mempunyai banyak elemen penyusun, dan antar elemen tersebut
saling berhubungan dan bekerjasama untuk melakukan suatu proses atau kegiatan.
Sebagai Sistem informasi, SIG terbentuk dalam suatu jaringan antara perangkat
keras dan lunak yang dapat menjalankan operasi-operasi mulai dari pemasukan,
pengolahan, penyimpanan hingga ke penyajian hasilnya. Kegiatan-kegiatan
tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk mendapatkan
informasi dalam rangka pengambilan keputusan. Kata Geografi menunjukkan
bahwa data yang digunakan serta hasil pengolahannya mempunyai referensi
spasial dipermukaan bumi atau mempunyai koordinat geografi.
Dalam SIG, data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format: yaitu
data vektor dan data raster. Dalam data vektor, bumi direpresentasikan sebagai
suatu mosaik dari garis (arc/line), polygon (daerah yang dibatasi garis yang
berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik/poin (node yang mempunyai
label), dan nodes (titik perpotongan antara dua buah garis). Data raster merupakan
data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jarak jauh. Pada data raster, objek
geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut pixel (picture
element). Pada data raster, resolusi (definisi visual) tergantung pada ukuran
pixelnya.
Masing-masing format data memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan
format data sangat tergantung pada tujuan penggunaan, data yang tersedia,
volume data yang dihasilkan, ketelitian yang diinginkan, dan kemudahan dalam
analisa. Data vektor relatif lebih ekonomis dalam hal ukuran file dan presisi dalam
15

lokasi, tetapi sangat sulit untuk digunakan dalam komposisi matematik.


Sementara data raster biasanya membutuhkan ruang penyimpanan file yang lebih
besar dan presisi lokasi yang lebih rendah, tetapi lebih mudah digunakan secara
matematik (Puntodewo 2003).
Namun, untuk keperluan pemodelan dan analisis spasial tingkat lanjut, data
raster lebih cocok digunakan daripada data vektor. Data raster memiliki struktur
data yang sederhana (seperti bilangan matrik sederhana) sehingga mudah
dimanipulasi dengan fungsi-fungsi matematis sederhana (Prahasta 2001).
Kemampuannya menganalisis spasial secara cepat menjadikan SIG sebagai
sistem yang dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, deteksi perubahan dan
analisis, pemodelan keputusan dan analisis lainnya.
Kajian wilayah dengan penerapan metode SIG untuk satu atau beberapa
tujuan tersebut telah banyak digunakan di Indonesia dewasa ini. Misalnya
perubahan penggunaan lahan untuk memprediksi perubahan volume aliran
permukaan yang dihasilkan oleh DAS menggunakan metode CA Markov.
Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan lahan yang terjadi berpengaruh terhadap
peningkatan volume aliran permukaan. Metode SIG dan CA Markov tersebut
kemudian digunakan untuk membantu simulasi guna mendapatkan arahan
penggunaan lahan yang optimal dalam menurunkan debit puncak.

Model Cellular Automata – Markov Chain

Menurut Huan et al. (2010) konsep Cellular Automata (CA) awalnya


diperkenalkan oleh Ullam dan Neumann (1940-an) untuk menyediakan kerangka
untuk menginvestigasi perilaku sistem yang kompleks. CA mensimulasikan
kondisi lingkungan yang diwakili oleh struktur grid atau raster (piksel), dimana
terdapat seperangkat fungsi transisi. Model yang berbasis pada CA umumnya
berorientasi pada prediksi atau simulasi, dimana model statistika multivariat
difokuskan pada hubungan antara transisi penggunaan lahan dengan faktor-faktor
yang mempengaruhinya (Luo dan Wei 2009).
Salah satu kunci metode CA adalah bahwa pola spasial global yang
kompleks bisa disederhanakan dengan menggunakan separangkat aturan lokal
yang sederhana. CA banyak digunakan untuk mensimulasikan dan memprediksi
fenomena perubahan yang kompleks dari bentuk-bentuk spasial temporal,
misalnya dinamika perubahan penggunaan lahan (Huan et al. 2010).
Vliet et al. (2009) menyatakan bahwa model CA digunakan dalam beberapa
model perubahan penggunaan lahan, dimana digunakan terutama untuk
mensimulasikan dinamika perkotaan. Sekarang ini, model penggunaan lahan
dengan menggunakan CA telah diterapkan sebagai alat untuk mendukung
perencanaan penggunaan lahan dan analisis kebijakan serta mengeksplorasi
skenario untuk pembangunan di masa depan.
Menurut Wen (2008) satuan entitas dari Cellular Automata beragam namun
masing-masing independen. Berdasarkan hal tersebut sangat jelas bahwa model
Markov mempunyai kesamaan dengan teori model Cellular Automata.
Perbedaannya adalah bahwa Cellular Automata tidak hanya tergantung pada
kondisi sebelumnya tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi aktual sel tetangganya
sehingga Cellular Automata memiliki aspek spasial sedangkan model Markov
16

Chain tidak mempresentasikan aspek spasial. Melalui pengintegrasian Cellular


Automata dengan model Markov Chain, karakteristik berbasis rasternya dapat
dikembangkan dan dimodelkan untuk model perubahan spasial sebagai sistem
yang dinamis.
Metode Markov Chain adalah metode yang memproses perubahan
penggunaan lahan dalam dua titik waktu yang hasilnya adalah matriks transition
probability (Eastman 2003). Kombinasi Markov Chain dan Sistem Informasi
Geografis melalui integrasi teknologi penginderaan jauh telah berhasil
menganalisis trend, tingkat dan pola spasial dari perubahan penggunaan lahan
(Weng 2002)
Metode Markov Chain ini memiliki batasan dalam menjelaskan tentang
interaksi antara perubahan penggunaan lahan yang muncul. Metode ini juga tidak
dapat menjawab kenapa perubahan tersebut terjadi. Yang dapat dijelaskan oleh
model ini adalah kapan dan tipe penggunaan lahan yang mana yang akan berubah
(Lambin 1994 dalam Wen 2008).
Model CA Markov Chain merupakan pengganti dari suatu sistem nyata
yang digunakan untuk mempermudah pekerjaan yang secara aktual sulit dilakukan
(Ford 1999). Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau
abstraksi dari suatu obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan
timbal-balik baik langsung ataupun tidak langsung. Namun demikian, sebagai
abstraksi model tetap memiliki kompleksitas yang kurang dibandingkan realitas
sebenarnya.

3 METODE
Lokasi Penelitian

Daerah Aliran Sungai Ciberang secara geografis terletak pada 6º 23' 55.95"
- 6º 43' 18.92" LS dan 106º 17' 13.29" - 106º 29' 4.81" BT, dan termasuk dalam
zona 48S UTM. DAS Ciberang dengan Outlet Bendungan Karian memiliki luas
sebesar 282.87 km². Keadaan topografi didominasi dengan pegunungan pada
wilayah timur dan dataran rendah pada wilayah barat dengan puncaknya Gunung
Halimun di ujung tenggara, yakni di perbatasan dengan Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Sukabumi.
Adapun batas-batas DAS Ciberang adalah Wilayah Utara meliputi Desa
Rangkasbitung Timur, wilayah selatan meliputi Desa Kujangsari, Desa Situmulya,
dan Desa Sirnagalih, wilayah barat meliputi Kecamatan Cimarga, dan Kecamatan
Muncang, sedangkan wilayah timur meliputi Desa Jasinga dan Desa Cigudeg.
DAS Ciberang terletak dalam wilayah administrasi Kabupaten Lebak
Provinsi Banten dan Kabupaten Bogor di Provinsi Jawa Barat. Secara
kewilayahan administrasi pemerintahan di Kabupaten Lebak yang meliputi
Kecamatan Rangkasbitung, Maja, Cimarga, Sajira, Muncang, Cipanas, sedangkan
di Kabupaten Bogor meliputi Jasinga, dan Cigudeg. Luas wilayah penelitian di
DAS Ciberang yang sebagian besar merupakan Kabupaten Lebak Provinsi Banten
yaitu 193.18 km2 dan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat yaitu 89.7 km2. Peta
lokasi penelitian dengan Outlet Bendungan Karian disajikan pada Gambar 3.
17

Pada penelitian ini, lokasi perencanaan Bendungan Karian digunakan


sebagai outlet, yang berlokasi pada 6°24' 27.76" LS dan 106° 17' 14.77" BT.
Penempatan outlet pada lokasi perencanaan bendungan menghasilkan luasan
genangan 1,740 ha dengan elevasi puncak bendungan 72.5 meter, tinggi muka air
maksimum (HWL) 70.85 meter, tinggi muka air normal (NWL) 67.5 meter, tinggi
muka air minimum (LWL) 46.0 meter, debit puncak inflow 3.67 m3/dt, debit
puncak outflow 3.19 m3/dt (BBWS C-3 Banten 2013).

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari data spasial, data numerik data
lapangan dan pendukung. Data spasial antara lain berupa peta rupa bumi dijital
yang diproduksi oleh BIG; peta ikonos tahun 2010 dari Kementrian Pertanian;
citra Landsat tahun 2000, 2005, 2010, dan 2014; peta Pola Ruang RTRW
dikeluarkan Bappeda Kabupaten Lebak dan Kabupaten Bogor. Sedangkan data
numerik meliputi data debit sungai Ciberang, kapasitas daya tampung Bendungan
Karian dan data curah hujan di pos pencatat hujan Pasir Ona, Cimarga, Cisalak
Baru, Ciminyak/Cilaki, Sajira, Banjar Irigasi, Cikasungka, dan Pasir Jaya pada
periode tahun 1998-2013 yang diperoleh dari Dinas Sumber Daya Air dan
Permukiman Provinsi Banten juga Balai Hidrologi dan Tata Air Puslitbang
Sumber Daya Air.
Peralatan yang digunakan terdiri dari seperangkat computer yang dilengkapi
dengan perangkat lunak ArcGIS 10.1, Idrisi Selva, dan Microsoft Office 2013,
Global Positioning System (GPS), printer, kamera dan alat-alat tulis.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di DAS Ciberang Outlet Bendungan Karian


18

Jenis dan Sumber Data

Mengacu pada permasalahan, tujuan serta studi pustaka yang telah dikaji,
selanjutnya menyusun rancangan penelitian yang mencakup langkah-langkah
kegiatan yang perlu diambil dalam penelitian ini, secara garis besar adalah:
1. Survei lapangan, untuk mendalami dan mengetahui kondisi yang nyata di
lapangan mengenai penggunaan lahan di beberapa lokasi penelitian yang tidak
dapat dilihat oleh citra landsat dan google earth.
2. Studi literatur, mandalami dan mengkaji teori yang menyangkut permasalahan
dalam penelitian yakni penggunaan lahan dan dampak penggunaan lahan
terhadap debit serta langkah-langkah atau metode penelitian yang perlu
diambil.
3. Pengumpulan data, menginventarisasi data yang diperlukan sesuai tujuan yang
ingin dicapai termasuk menentukan cakupan wilayah, periode data dan sumber
perolehan data.
4. Pengelolaan data, mengolah data yang dikumpulkan dengen beberapa metode
pendekatan sebagai bahan kajian atau pembahasan.
5. Pembahasan hasil penelitian.
6. Penyusunan laporan.

Jenis data dan sumber data yang diperlukan berdasarkan tujuan penelitian
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Matriks Data dan Metode Analisa yang Digunakan dalam Penelitian
No Tujuan Data Sumber Metode Analisis Output
1 Mengkaji pola - Data hujan tahun 1998- Dinas Sumber - Analisa metode - Curah hujan wilayah
hujan di DAS 2013 Daya Air dan interpolasi
Ciberang Permukiman 1 n P  Pi 1
Provinsi Banten P   Ai i
A i 1 2
- Analisis Distribusi - Curah hujan
- Curah hujan wilayah
Frekwensi rancangan
- Analisis metode - Intensitas hujan
- Curah hujan rancangan
mononobe
2
 R   24 
3
IT   T    
 24   Tc 

2 Mengkaji - Citra landsat 2000, 2005, USGS.gov - Interpretasi citra dengan - Peta penggunaan
penggunaan lahan 2010, 2014 metode visual lahan
- Peta penggunaan lahan - Analisis Markov dalam - Matrik probabilitas /
Idrisi Selva area transisi
3 Memprediksi Penggunaan lahan tahun Keluaran tujuan Celullar Automata-Markov Peta prediksi
penggunaan lahan 2000, 2005, 2010, 2014 2 (CA-Markov) dalam Idrisi penggunaan lahan
tahun 2028 di DAS dan Matrik probabilitas / Selva tahun 2028
Ciberang area transisi
4 Menyusun arahan - Intensitas hujan Keluaran tujuan - Analisa debit rencana Debit puncak skenario
penggunaan lahan - Penggunaan lahan tahun 1, 2 dan 3, metode rational
agar debit puncak 2014, 2028, pola ruang Bappeda di ke-2 Q = 0.278 C * IT * A
skenario tidak RTRW Kabupaten dan
melebihi debit - Kapasitas daya tampung BBWS C3 Arahan Kebijakan
rancangan Bendungan Karian Penggunaan Lahan
Bendungan Karian
19

Metode Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi :


1. Data primer titik-titik koordinat lokasi validasi tutupan lahan.
2. Data sekunder yang berupa :
a. Data spasial yang digunakan, yaitu:
 Citra tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014.
 Peta batas administrasi dan peta RTRW.
b. Data keadaan umum lokasi penelitian, pustaka melalui studi literatur
yang berasal dari instansi terkait, jurnal/karya ilmiah, dan internet.
c. Data curah hujan pos Pasir Ona, Cimarga, Cisalak Baru,
Ciminyak/Cilaki, Sajira, Banjar Irigasi, Cikasungka, dan Pasir Jaya
tahun 1998 – 2013
d. Data debit air pos duga air Sabagi tahun 1998 – 2013
e. Data BPS Kabupaten Lebak

Prosedur Analisis Data

Dalam rangka pengendalian debit puncak Bendungan Karian, maka perlu


dilakukan perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang sebagai arahan
penggunaan lahan terbaik di tinjau dari skenario debit puncak rancangan kurang
dari debit rancangan outlet Bendungan Karian. Secara keseluruhan tahap
penelitian disajikan pada Gambar 4.

Data Hujan Citra Landsat Citra Landsat Citra Landsat Citra Landsat
`
Tahun 2000 `
Tahun 2005 `
Tahun 2010 `
Tahun 2014
1998-2013

Curah Hujan Wilayah Interpretasi Interpretasi Interpretasi Interpretasi

Verifikasi Verifikasi Verifikasi Verifikasi


Curah Hujan Rancangan

Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan


Intensitas Hujan Tahun 2000 Tahun 2005 Tahun 2010 Tahun 2014

Kalibrasi data training

Validasi data training


Model CA Markov

Peramalan Penggunaan Lahan


Tahun 2028

Skenario Pola Penggunaan Lahan Terbaik :


Debit Puncak Skenario < Debit 1. Penggunaan lahan aktual tahun 2014
Rancangan Bendungan Karian 2. Prediksi penggunaan lahan tahun 2028
3. Pola Ruang RTRW
4. Sinkronisasi pola ruang RTRW dengan skenario ke-1 dan
skenario ke-3
Arahan Penggunaan Lahan

Gambar 4. Diagram Alir Tahapan Penelitian


20

Analisis Curah Hujan Wilayah


Hujan maksimum tahunan suatu wilayah (areal rainfall) menggunakan
pendekatan metode interpolasi grid secara Inverse Distance Weighted (IDW).
Metode ini memperhitungkan secara aktual pengaruh hujan tiap-tiap pos hujan
dan elevasi di daerah tersebut. Metode ini mengasumsikan tinggi hujan pada suatu
titik mempunyai pengaruh lokal terhadap titik lain sesuai jaraknya. Model ini
dipandang lebih baik dimana besarnya luas daerah yang mempunyai tebal curah
hujan yang sama sangat diperhitungkan sehingga hasil yang diperoleh lebih teliti.
Nilai curah hujan maksimum tahunan pada stasiun penakar hujan akan
menghasilkan peta zonasi hujan di DAS Ciberang (Gambar 2). Hasil analisis
model ini mendekati kondisi elevasi DAS Ciberang sehingga dapat dijadikan
landasan untuk analisis curah hujan wilayah.
Peta zonasi hujan adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang
mempunyai tinggi hujan yang sama. Metode ini menggunakan sebagai garis-garis
yang membagi daerah aliran sungai menjadi daerah-daerah yang diwakili oleh
stasiun-stasiun yang bersangkutan, yang luasnya dipakai sebagai faktor koreksi
dalam perhitungan hujan rata-rata. Data yang digunakan adalah data curah hujan
maksimum tahunan pada periode tahun 1998-2013. Curah hujan wilayah dihitung
dengan menggunakan rumus:
1 n P  Pi 1
P   Ai i
A i 1 2
keterangan:
P = curah hujan rata-rata wilayah maksimum tahunan (mm)
Ai,i+1 = luas wilayah (km2)
Pi,i+1 = curah hujan masing-masing stasiun (mm)

Analisis Distribusi Frekwensi


Hujan rancangan merupakan kemungkinan tinggi hujan yang terjadi dalam
kala ulang tertentu sebagai hasil dari rangkaian analisis hidrologi yang biasa
disebut analisis frekwensi curah hujan. Analisis frekwensi sesungguhnya
merupakan prakiraan dalam arti probabilitas untuk terjadinya suatu peristiwa
hidrologi dalam bentuk hujan rancangan yang berfungsi sebagai dasar perhitungan
perencanaan hidrologi untuk antisipasi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Analisis frekwensi ini dilakukan dengan menggunakan teori probability
distribution. Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi
dan empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu
distribusi normal, distribusi Log-Normal, distribusi Log-Person III, dan distribusi
Gumbel (Suripin 2002).
 Metode Gumbel
Rumus-rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan rencana menurut
metode Gumbel adalah sebagai berikut :
X = X  Sx  K
Y  Yn
K = T
Sn
  T  1 
YT = ln  ln  r  untuk Tr > 20, maka YT = ln Tr
  Tr 
21

dimana :
X = hujan rencana dengan periode ulang T tahun (mm).
X = nilai rata-rata hitung data X
Sx = simpangan baku data X
K = faktor frekuensi
YT = nilai reduksi data variabel diharapkan terjadi periode ulang tertentu
Yn = nilai rata-rata dari reduksi data, nilainya tergantung dari jumlah data
(n) dan dapat dilihat pada Tabel 3
Sn = deviasi standar dari reduksi data, nilainya tergantung dari jumlah data
(n) dan dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3. Hubungan Reduksi Data Rata-rata (Yn), Deviasi Standar (Sn)


dengan Jumlah Data (n)
n Yn Sn
10 0.4952 0.9496
11 0.4996 0.9676
12 0.5035 0.9833
13 0.507 0.9971
14 0.510 1.0095
15 0.5128 1.0206
16 0.5157 1.0316
17 0.5181 1.0411
18 0.5202 1.0493
19 0.522 1.0565
20 0.5236 1.0628

Tabel 4. Nilai Faktor Frekuensi (k) sebagai Fungsi dari Nilai CV


Koefisien Peluang Kumulatif P(%) : P(X<=X)
Variasi 50 80 90 95 98 99
(CV) Periode Ulang (Tahun)
2 5 10 20 50 100
0.05 -0.025 0.833 1.297 1.686 2.134 2.457
0.1 -0.050 0.822 1.308 1.725 2.213 2.549
0.15 -0.074 0.809 1.316 1.760 2.290 2.261
0.2 -0.097 0.793 1.320 1.791 2.364 2.772
0.25 -0.119 0.775 1.321 1.818 2.432 2.881
0.3 -0.141 0.765 1.318 1.841 2.502 2.987
0.35 -0.160 0.733 1.313 1.860 2.564 3.089
0.4 -0.179 0.710 1.304 1.875 2.621 3.187
0.45 -0.196 0.687 1.292 1.885 2.673 3.280
0.5 -0.211 0.663 1.278 1.891 2.720 3.367
0.55 -0.225 0.638 1.261 1.893 2.761 3.449
Sumber : Soewarno (1995)
22

 Metode Log-Normal
Rumus yang digunakan dalam perhitungan dengan metode ini mempunyai
persamaan transformasi:
Log X = log X  k.S log X
dimana :
Log X = nilai logaritma data X yang diharapkan terjadi pada peluang atau
periode ulang tertentu
LogX = rata-rata nilai logaritma data X hasil pengamatan
S log X = deviasi standar logaritma nilai X hasil pengamatan
K = karakteristik distribusi log normal. Nilai k diperoleh dari tabel yang
merupakan fungsi peluang kumulatif dan periode ulang, (Tabel 4)
CS = koefisien kemencengan
= 3 CV + CV3
CK = koefisien kurtosis
= CV8 + 6CV6 + 15CV4 + 16CV2 + 3
CV = koefisien variasi

=

 = deviasi standar populasi ln X atau log X
 = rata-rata hitung populasi ln X atau log X

 Metode Log-Pearson III


Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkirakan mengikuti distribusi
sudah dikonversi kedalam bentuk logaritmis, ternyata kedekatan antara data
dan teori tidak cukup kuat untuk menyimpulkan pemakaian distribusi Log-
Normal (Suripin 2002).
Person telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat
dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tidak seperti
konsep yang melatar belakangi pemakaian distribusi Log-Normal untuk banjir
puncak, maka distribusi probabilitas ini hampir tidak berbasis teori. Distribusi
ini masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya (Suripin 2002).
Ada tiga parameter penting dalam Log-Person III, yaitu harga rata-rata,
simpangan baku, dan koefisien kemencengan. Yang menarik, jika koefisien
kemencengan sama dengan nol, distribusi kembali ke distribusi Log-Normal
(Suripin 2002).
Berikut ini langkah-langkah penggunaan distribusi Log-Person III :
 Ubah data ke dalam bentuk logaritmis dari Xi menjadi Log Xi.
 Hitung harga rata-rata :
Log Xi
log X rt  in
n
dimana :
Xi = titik tengah tiap interval kelas (mm).
Xrt = rata-rata hitungan (mm).
n = jumlah kelas.
23

 Hitung harga simpangan baku :


 in Log Xi  LogX rt 2 
0,5

s   

 n  1 
dimana :
S = standar deviasi.
Xi = titik tengah tiap interval kelas (mm).
Xrt = rata-rata hitungan (mm).
n = jumlah kelas.
 Hitung koefisien kemencengan (Cs):
 n n Log Xi  LogX rt 3 
0,5

Cs   i 
 n  1n  2S 3 
dimana :
Cs = koefisien kemencengan.
S = standar deviasi.
Xi = titik tengah tiap interval kelas (mm).
Xrt = rata-rata hitungan (mm).
n = jumlah kelas.
 Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan rumus :
Log Xi = Log Xrt + k.s
dimana : (Suripin 2002).
S = standar deviasi.
Xi = titik tengah tiap interval kelas (mm).
Xrt = rata-rata hitungan (mm).
k = variabel standar (standarized variable) tergantung Cs, dapat dilihat
pada Tabel 5.

Tabel 5. Faktor Frekuensi untuk Distribusi Log Pearson Type III dengan
Koefisien Asimetri (Cs) Negatif
Recurrence Interval In Years
Skew Kala Ulang (Tahun)
Coefficient 1.010 1.053 1.111 1.250 2 5 10 25 50 100 200
CS Percent Chance
99 95 90 80 50 20 10 4 2 1 0.5
1 -1.588 -1.317 -1.128 -0.852 -0.164 0.758 1.340 2.043 2.542 3.022 3.489
0.9 -1.660 -1.353 -1.147 -0.854 -0.148 0.769 1.339 2.018 2.498 2.957 3.401
0.8 -1.733 -1.388 -1.166 -0.856 -0.132 0.780 1.336 1.993 2.453 2.891 3.312
0.7 -1.806 -1.423 -1.183 -0.857 -0.116 0.790 1.333 1.967 2.407 2.824 3.223
0.6 -1.880 -1.458 -1.200 -0.857 -0.099 0.800 1.328 1.939 2.359 2.755 3.132
0.5 -1.955 -1.491 -1.216 -0.856 -0.083 0.808 1.323 1.910 2.311 2.686 3.041
0.4 -2.029 -1.524 -1.231 -0.855 -0.066 0.816 1.317 1.880 2.261 2.615 2.949
0.3 -2.104 -1.555 -1.245 -0.853 -0.050 0.824 1.309 1.849 2.211 2.544 2.856
0.2 -2.175 -1.586 -1.258 -0.850 -0.033 0.830 1.301 1.818 2.159 2.472 2.763
0.1 -2.252 -1.616 -1.270 -0.846 -0.017 0.836 1.292 1.785 2.107 2.400 2.670
0 -2.326 -1.645 -1.282 -0.842 0.000 0.842 1.282 1.751 2.054 2.326 2.576
24

 Distribusi Frechet
Distribusi Frechet disebut juga distribusi ekstrem tipe II atau Gumbel tipe II,
dapat digunakan untuk analisis distribusi dari data hidrologi dengan nilai
ekstrem, peluang kumulatif distribusi Frechet dapat ditulis sebagai persamaan
berikut:
Y = a (log X – X0)
Parameter a dan X0 dihitung dengan persamaan berikut:
 1 
a = 1,282 

 S log X 
X0 
= log X  0,445 S log X 
Keterangan:
LogX = rata-rata nilai logaritma data X hasil pengamatan
S log X = deviasi standar logaritma nilai X hasil pengamatan
Y = nilai variabel reduksi Gumbel (Tabel 6)

Tabel 6. Nilai Variabel Reduksi Gumbel Tipe II


T (tahun) Peluang Y
1.001 0.001 -1.93
1.005 0.005 -1.67
1.01 0.01 -1.53
1.05 0.05 -1.09
1.11 0.10 -0.83
1.25 0.20 -0.47
1.33 0.25 -0.33
1.43 0.30 -0.18
1.67 0.40 0.09
2.00 0.50 0.37
2.50 0.60 0.67
3.33 0.70 1.03
4.00 0.75 1.24
5.00 0.80 1.51
10.00 0.90 2.25
20.00 0.95 2.97
50.00 0.98 3.90
100.00 0.99 4.60
200.00 0.995 5.29
500.00 0.998 6.21
1000.00 0.999 6.90

Pemilihan distribusi frekuensi tersebut didasarkan pada uji kecocokan yaitu


uji Chi-kuadrat (chi-square) dan Smirnov – Kolmogorof dengan α = 5%. Dimana
uji chi-kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi
peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data
yang dianalisis. Sedangkan uji kecocokan Smirnov – Kolmogorof sering disebut
uji kecocokan non parametrik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi
distribusi tertentu. Uji ini digunakan untuk menguji simpangan/selisih terbesar
antara peluang pengamatan (empiris) dengan peluang teoritis. Uji ini digunakan
25

untuk menguji simpangan secara horizontal, yaitu merupakan selisih simpangan


maksimum antara distribusi teoritis dan empiris (Do). Dengan pemeriksaan uji ini
akan diketahui :
1. Kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang diharapkan
atau yang diperoleh secara teoritis.
2. Kebenaran hipotesa diterima atau ditolak.
Selain uji kecocokan, pemilihan distribusi frekuensi didasarkan pada
parameter statistik yaitu nilai Cs (Skewness) dan Ck (Kurtosis). Syarat pemilihan
distribusi frekuensi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Syarat pemilihan distribusi frekuensi


No. Jenis Distribusi Syarat
1 Normal Cs ≈ 0
Ck = 0
2 Log Normal Cs = +3 atau Cs = 3Cv + Cv2
3 Gumbel Type I Cs ≤ 1.1396
Ck ≤ 5.4002
4 Log Pearson Type III Cs ≠ 0

Analisis Intensitas Hujan Rancangan


Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan persatuan waktu.
Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya
cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula
intensitasnya. Prosedur analisis intensitas hujan dapat dilihat pada gambar 5.
Intensitas hujan dapat dihitung dengan persamaan Mononobe yaitu saat data hujan
jangka pendek tidak tersedia dan yang ada hanya data hujan harian. Intensitas
hujan dengan persamaan Mononobe sebagai berikut:
2
 R T   24 
3
IT      
 24   Tc 
dimana :
IT = intensitas curah hujan periode ulang T (mm/jam)
RT = curah hujan rencana periode ulang T (mm)
Tc = waktu konsetrasi hujan (jam)
Waktu konsentrasi hujan adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan
air hujan dari titik terjauh menuju suatu titik tertentu ditinjau pada daerah
pengaliran. Umumnya waktu konsentrasi terdiri dari waktu yang diperlukan oleh
air untuk mengalir pada permukaan tanah menuju ke tempat alur terdekat dan
waktu untuk mengalir dalam alur sungai ke tempat yang ditinjau. Waktu
konsentrasi dapat didekati dengan rumus Kirpich sebagai berikut:
Tc = 0.0133 * L * I -0.6
dimana :
L = panjang sungai (km)
I = kemiringan sungai (%)
26

Data Hujan Harian Maksimum Tahunan


Tahun 1998 - 2013

Peta Zonasi Hujan


Tahun 1998 - 2013

Curah Hujan Wilayah

Analisis Distribusi Frekwensi

Distribusi Normal Distribusi Log Distribusi Log Pearson Distribusi


Normal tipe III Gumbel

Uji Kesesuaian Distribusi : Chi-


Kuadrat dengan α=5%

Curah Hujan Rancangan

Intensitas Hujan Rancangan


Rumus Mononobe
Gambar 5. Analisis Intensitas Hujan Rancangan

Analisis faktor pengaruh DAS terhadap perkiraan debit aliran permukaan


Sebetulnya suatu lahan yang tidak mendapatkan gangguan / perubahan
mempunya kemampuan untuk mengasimilasi air hujan yang jatuh selama atau
pada saat kondisi debit puncak. Namun dengan hilangnya tanaman menyebabkan
kemampuan tanah untuk menyimpan air hujan (infiltration) berkurang dan
sebaliknya presentase aliran permukaan (runoff) meningkat. Hasilnya air yang
turun ke bumi langsung mengalir ke sungai dan berakhir di laut.
Beberapa dampak yang ditimbulkan dengan meningkatnya lahan yang keras
(impervious area) terhadap aliran permukaan beserta dampak selanjutnya yang
ditimbulkan adalah sebagai berikut:
1. Volume aliran permukaan meningkat yang mengakibatkan penyerapan air ke
dalam tanah berkurang sehingga cadangan air tanah berkurang
2. Kecepatan aliran meningkat, dampaknya terjadi erosi yang menimbulkan
sedimentasi di sungai
3. Perubahan waktu debit puncak akibatnya
• Berkurangnya aliran dasar (base flow) yaitu debit air yang ada pada saat
musim kering, sebagai dampak tidak adanya cadangan air dalam tanah
• Pada musim hujan, banjir akan cepat terjadi karena volume aliran
permukaan meningkat
Berdasarkan pendapat para peneliti menyimpulkan bahwa dampak langsung
dari perubahan-perubahan tersebut untuk setiap sungai sangat sukar diprediksi
karena setiap sungai mempunyai keunikan tersendiri mengenai kondisi
27

lingkungan area tangkapannya, terutama dari segi kemiringan lahan, jenis tanah
dan tingkat jenuh tanah terhadap air. Debit sungai dipengaruhi oleh tiga hal
penting yaitu luas lahan, intensitas hujan dan koefisien aliran permukaan. Dimana
faktor luas lahan dan koefisien aliran permukaan sangat erat sekali hubungannya
dengan penggunaan lahan.
Berdasarkan SNI-03-2415-1991, metode Rasional digunakan untuk
mengestimasi besarnya limpasan permukaan yang dihasilkan pada kondisi DAS
saat ini dan digunakan untuk memperkirakan debit banjir rancangan untuk Daerah
Aliran Sungai (DAS) yang luasnya lebih dari 100 km 2. Luas keseluruhan DAS
Ciberang adalah 282.86 km², sehingga masih memenuhi persyaratan batasan luas
DAS yang ditetapkan. Persamaan matematikanya adalah :
QT = 0.278 * C * IT * A
dimana,
QT = debit banjir rencana periode ulang T (m3/dt)
C = koefesien limpasan air hujan tergantung kepada karakteristik penggunaan
lahan daerah tangkapan air (Tabel 8)
IT = intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
A = luas daerah aliran (km2)
Koefisien limpasan merupakan indikator apakah suatu DAS telah
mengalami gangguan. Nilai C yang besar menunjukkan bahwa banyak air hujan
yang menjadi limpasan. Nilai tersebut merupakan bilangan yang menunjukkan
perbandingan besarnya air limpasan permukaan terhadap besarnya curah hujan.
Misal 0.1 maka artinya 10% dari total curah hujan akan menjadi aliran
permukaan. Nilai koefsien ini berkisar antara 0-1. angka nol menunjukkan bahwa
semua air hujan terdistribusi menjadi air intersepsi dan terutama infiltrasi. Angka
satu menunjukkan semua air hujan yang jatuh mengalir sebagai aliran permukaan.
Koefisien lipasan permukaan pada kajian ini dihitung berdasarkan
karakteristik penggunaan lahan daerah tangkapan air dapat dilihat pada Tabel 8.
Koefisien tersebut akan digunakan untuk menghitung debit limpasan dengan
menggunakan metode rasional.

Tabel 8. Faktor Tutupan Lahan atau Koefisien Limpasan


No Deskripsi Lahan Koefisien Limpasan
1 Genangan Bendungan Karian 0.80
2 Minapolitan 0.75
3 Permukiman Perkotaan 0.70
4 Permukimana Pedesaan 0.65
5 Tanah Terbuka 0.60
6 Pertanian Pangan Lahan Basah / Sawah 0.50
7 Perkebunan 0.40
8 Pertanian Pangan Lahan Kering 0.30
9 Sempadan Mata Air atau Sungai 0.15
10 Rawan Longsor / Semak belukar / Kawasan Resapan Air 0.07
11 Hutan Produksi Terbatas 0.05
12 Hutan Konservasi 0.03
13 TNGHS 0.005
28

Pengolahan awal citra (pre image processing)


Relief permukaan bumi yang begitu kompleks tidak bisa direkam secara
sempurna oleh sensor penginderaan jauh. Oleh karena itu, data yang direkam pada
umumnya masih mengandung distorsi yang dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas data/citra yang diperoleh. Maka untuk menghilangkan
kesalahan data sebelum dilakukan analisa lebih lanjut perlu dilakukan pra
pengolahan citra yang nantinya akan menghasilkan citra yang telah dikoreksi
secara geometrik.
 Penajaman Citra
Penajaman citra dilakukan untuk memperjelas kenampakan citra. Citra yang
digunakan adalah citra Landsat yang bisa di download bebas di situs usgs.
Citra yang digunakan pada praktikum kali ini menggunakan 4 (empat) titik
tahun yaitu tahun 2000 (Landsat 5), 2005 (Landsat 7), 2010 (ikonos dan
Landsat 7) dan 2014 (Landsat 8) serta berada pada path 123 dan row 64. Pada
citra Landsat 7 susunan band yang digunakan untuk digitasi adalah band 5, 4,
dan 3 sedangkan pada citra Landsat 8 susunan band yang digunakan untuk
digitasi adalah band 6, 5, dan 4. Susunan band pada Tabel 9 digunakan untuk
mempertajam citra sehingga memperoleh kenampakan yang jelas dan
memudahkan dalam menganalisis penggunaan lahan.
Citra Landsat tahun 2000, 2010, dan 2014 yang diperoleh jelas terlihat
sehingga mudah untuk diinterpretasi secara visual, sedangkan citra landsat
tahun 2005 yang diperoleh mengalami kerusakan yaitu terdapat celah atau
yang dikenal dengan striping. Striping terjadi karena sensor pengambil citra
mengalami kerusakan. Striping di citra dapat ditutup dengan menumpang-
tindihkan citra yang rusak dengan citra lain dengan bulan yang berbeda.

Tabel 9. Susunan Band untuk Analisis Penggunaan Lahan


Penggunaan Lahan Susunan Band
Natural Color 432
False Color (urban) 764
Color Infrared (vegetation) 543
Agriculture 652
Healthy Vegetation 562
Land/Water 564
Shortwave Infrared 754
Vegetation Analysis 654

 Mosaik
Mosaik merupakan suatu proses penggabungan dari dua data citra yang
terpisah. Tahap ini sangat penting untuk menampilkan visualisasi citra lokasi
penelitian secara utuh.
 Cropping
Cropping atau pemotongan citra dilakukan dengan membatasi lokasi
penelitian untuk lebih memfokuskan pengamatan pada lokasi penelitian.
 Interpretasi Visual Citra Satelit
Analisis visual (interpretasi secara visual citra satelit) merupakan suatu
kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi obyek-obyek yang ada di
29

permukaan bumi yang tampak pada citra dengan mengenalinya atas dasar
karakteristik spasial. Pendekatan ini melibatkan analis untuk mendapatkan
informasi yang terekam pada citra dengan cara interpretasi visual.
Keberhasilan ini sangat bergantung kepada analis di dalam mengeksploitir
secara selektif obyek-obyek yang tampak pada citra.
Beberapa tahapan yang dilaksanakan pada proses interpretasi visual citra
satelit lokasi penelitian ini adalah :
a. Deliniasi ___
b. Editing (mengidentifikasi kesalahan dan memperbaiki kesalahan)
c. Atributing ___

Tata Guna Lahan


Variabel pertama yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini adalah
penggunaan lahan di DAS Ciberang. Kajian ini perlu dilakukan untuk melihat
perkembangan komposisi penggunaan lahan di DAS selama kurun waktu tertentu.
Dari kondisi ini setiap jenis tata guna lahan dikaji bagaimana pengaruhnya
terhadap perairan sungai, karena setiap jenis pengunaan lahan mempunyai
karakteristik alamiahnya (geologi, jenis tanah, kemiringan, dan curah hujan).
Ada beberapa cara atau metode dalam mencari perubahan penggunaan lahan
suatu wilayah yaitu berdasarkan sensus pertumbuhan penduduk, data penggunaan
lahan dan foto udara (Lazaro 1979). Pada penelitian ini pengambilan data
berdasarkan peta dijitasi hasil foto udara dari USGS. Untuk mengetahui
perubahan tata guna lahan di lokasi penelitian menggunakan citra satelit pada
tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014. Hal-hal yang menjadi kajian pada variabel ini
adalah jenis dan luas untuk setiap tata guna lahan. Untuk jenis tata guna lahan
mengikuti kriteria Direktorat Jenderal Planologi, Kementrian Kehutanan tahun
2012 yang terdiri dari :

Tabel 10. Klasifikasi Tutupan Lahan


No Kode Kelas Notasi
1 2012 Permukiman P
2 2007 Semak Belukar SB
3 20093 Sawah S
4 20091 Pertanian Lahan Kering PLK
5 2010 Perkebunan P
6 2001 Hutan H
7 5001 Tubuh Air TA
8 2014 Lahan Terbuka LT
Sumber: Ditjen Planologi (2012)

Tahapan yang digunakan pada interpretasi citra Landsat untuk


mengklasifikasikan penggunaan lahan di DAS Ciberang sebagai berikut:
1. Melakukan pemotongan batas area penelitian untuk memperoleh DAS yang
akan dianalisis yaitu DAS Ciberang.
2. Melakukan klasifikasi tutupan lahan secara visual untuk daerah vegetasi,
daerah tak bervegetasi dan perairan. Tutupan lahan daerah vegetasi terdiri
30

dari penggunaan lahan sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, semak


belukar dan hutan. Tutupan lahan daerah tak bervegetasi terdiri dari
penggunaan lahan lahan terbuka, dan permukiman sedangkan tutupan lahan
daerah perairan terdiri dari penggunaan lahan tubuh air.
3. Melakukan validasi ke lapangan dan selanjutnya dilakukan koreksi terhadap
peta tutupan lahan untuk memperoleh akurasi peta penggunaan lahan.
4. Melakukan analisis deteksi perubahan lahan. Teknik analisis perubahan dapat
dilakukan pada software ArcGIS dengan metode tumpang susun antara peta
penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010. Hasil matrik perubahan penggunaan
lahan ditunjukkan pada Tabel 11.

Tabel 11 menunjukkan bahwa point “1” adalah mewakili penggunaan lahan


yang berupa permukiman kemudian masih tetap permukiman, “2” adalah
penggunaan lahan yang berupa permukiman yang berubah menjadi semak
belukar, “3” adalah penggunaan lahan yang berupa permukiman yang berubah
menjadi sawah dan seterusnya sampai dengan nomor “64” dimana penggunaan
lahan tubuh air masih tetap menjadi tubuh air. Bagian dalam tabel yang berwarna
hijau adalah asumsi untuk semua jenis tutupan lahan yang tidak mengalami
perubahan.

Tabel 11. Matrik transformasi perubahan penggunaan lahan Tahun 2000-2010


Penggunaan Tahun 2010
Jumlah
lahan P SB S PLK P H TA LT
Permukiman
1 2 3 4 5 6 7 8 P2000
(P)
Semak
9 10 11 12 13 14 15 16 SB2000
belukar (SB)
Sawah (S) 17 18 19 20 21 22 23 24 S2000
Pertanian
Lahan Kering 25 26 27 28 29 30 31 32 PLK2000
(PLK)
Perkebunan
Tahun 2000

33 34 35 36 37 38 39 40 P2000
(P)
Hutan (H) 41 42 43 44 45 46 47 48 H2000
Tubuh Air
49 50 51 52 53 54 55 56 TA2000
(TA)
Lahan
57 58 59 60 61 62 63 64 LT2000
Terbuka (LT)
Jumlah P2010 SB2010 S2010 PLK2010 P2010 H2010 TA2010 LT2010

Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan


Pemodelan yang berbasis spasial dan bersifat dinamik dapat dilakukan
dengan pendekatan Cellular Automata (CA). Model ini dapat memprediksi
kondisi di waktu yang akan datang secara spasial. CA adalah model dinamik dari
interaksi lokal antar sel pada grid yang teratur (Hand 2005). Sel dalam CA
merepresentasikan penggunaan lahan, adapun perubahan penggunaan lahan
tergantung pada aturan yang mempertimbangkan penggunaan lahan tetangganya
(Manson 2005). Komponen utama CA adalah cell (piksel), neigborhood dan
transition function (Chen et al. 2002).
Penyusunan model ini bertujuan untuk memperoleh peta prediksi
penggunaan lahan tahun 2028 yang didapat dari mencoba angka iterasi berbeda
untuk mendapatkan nilai akurasi Kappa tertinggi. Markov menghasilkan
31

Transitional Probababilty/ Area Matrix, yaitu matriks perubahan penggunaan


lahan yang diperoleh dengan cara menumpang-tindihkan peta penggunaan lahan
pada dua titik tahun (Munibah 2008). Data yang diperlukan adalah peta
penggunaan lahan tahun 2000 (t0), tahun 2010 (t1), Transitional
Probababilty/Area Matrix. Model ini dijalankan dengan perangkat lunak Idrisi
dengan modul Cellular Automata Markov (CA Markov).
Simulasi berjalan sesuai dengan pergerakan filter pada seluruh area yang
disimulasi, dan disebut sebagai satu iterasi. Demikian seterusnya sampai dengan
iterasi ke-n. Kondisi penggunaan lahan hasil simulasi dari iterasi sebelumnya
digunakan untuk iterasi tahap berikutnya. Setelah simulasi berakhir dengan
jumlah iterasi yang diinginkan, maka didapatkan penyebaran penggunaan lahan
hasil simulasi. Validasi model dilakukan dengan membandingkan penggunaan
lahan hasil simulasi tahun 2014 dengan penggunaan lahan hasil pengamatan tahun
2014 berdasarkan nilai Kappa. Nilai Kappa mempertimbangkan faktor kesalahan
proses klasifikasi, sehingga nilai kappa dalam proses pemetaan klasifikasi
penggunaan lahan memenuhi syarat dan di anggap benar yaitu > 80%, atau 0,80
(Short 1982 dalam Adibah et al. 2013).

Skenario Pengendalian Perubahan Penggunaan Lahan


Penyusunan skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan di lokasi
penelitian dilakukan dengan merubah penggunaan lahan yang mempunyai nilai
koefisien limpasan yang besar di hulu DAS menjadi penggunaan lahan yang
mempunyai koefisien limpasan yang kecil. Seperti penggunaan lahan terbuka,
pertanian lahan kering atau perkebunan yang terdapat di daerah hulu DAS
Ciberang. Kebijakan tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk penggunaan lahan di
DAS Ciberang yang kemudian digunakan sebagai salah satu input model CA
Markov. Skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan
beberapa tahap, yakni:
1. Skenario 1 : skenario ini menganalisis penggunaan lahan aktual DAS
Ciberang tahun 2014.
2. Skenario 2 : skenario ini menghasilkan model prediksi penggunaan lahan
tahun 2028 dengan input berupa penggunaan lahan tahun 2014, matriks
perubahan penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010.
3. Skenario 3 : skenario pola ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Lebak dan Kabupaten Bogor disepadankan dengan penggunaan
lahan.
4. Skenario 4 : skenario pola ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Lebak dan Kabupaten Bogor disesuaikan dengan penggunaan
lahan ekisting tahun 2014 dan prediksi penggunaan lahan tahun 2028.
Skenario di atas yang memiliki debit rancangan kurang dari kapasitas banjir
di rencana Bendungan Karian merupakan skenario yang paling ideal untuk
mengendalikan perubahan penggunaan lahan. Selanjutnya dapat dirumuskan
suatu arahan penggunaan lahan terbaik ditinjau dari kondisi hidrologi terbaik
di DAS Ciberang
32

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN


Kondisi Fisik Wilayah

DAS Ciberang dengan outlet intake Bendungan Karian yang mempunyai


luas 319 km2 ini merupakan bagian yang penting dan strategis dari DAS Ciujung
bagian hulu, yang diharapkan menjadi sumber air utama dari sistem Sungai
Ciujung. Salah satu kegiatan yang segera dilaksanakan adalah rencana
pembangunan Waduk Karian, dimana luas DAS Ciberang dengan Outlet
Bendungan Karian adalah 282.865 km2. Waduk tersebut diharapkan dapat
menampung air sebesar 314, 71 juta m3 total storage, yang terdiri dari : 207,48
juta m3 effective storage, 60,8 juta m3 flood control storage dan 46,4 juta m3 dead
storage (BBWS C3 2013).

Geologi DAS Ciberang


DAS Ciberang tersusun oleh beberapa formasi yang lebih beragam, antara
lain: Formasi Aluvium, Genteng, Dasit Cisiih, Diorit Kuarsa, Bojongmanik,
Bojongmanik Anggota Batugamping, Bojongmanik Anggota Batulempung,
Bojongmanik Anggota Batupasir, Andesit G. Cabe, Andesit Jayasempur dan
Batuan gunung api Endut, Baduy Anggota Batugamping, hingga Cimapag.
Adapun luas dari masing-masing formasi geologi disajikan pada Tabel 12 dan
penyebaran spasialnya disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Peta Penyebaran Formasi Geologi di DAS Ciberang


33

Tabel 12. Penyebaran Formasi Geologi DAS Ciberang


Luas
No Formasi Geologi Symbol Litologi
km2 %
1 Andesit Gn. Cabe Tac Andesit piroksen horblenda 0.1 0.0
2 Andesit Jayasempur Tma Andesit, andesit hornblenda, andesit 1.6 0.6
hipersten, basalt, diabas, andesit
terpripilitkan
3 Formasi Bojongmanik, Tmbl Bag bawah; selang-seling batulempung, 1.0 0.4
Anggota Batugamping batupasir, konglomerat, breksi polimik,
batuan terubah; bag atas; konglomerat,
tuf, lava dan kayu terkersikkan
4 Formasi Bojongmanik, Tmbl Batugamping 1.3 0.5
Anggota Batugamping
5 Aluvium Qa Batugamping dan napal 0.4 0.1
6 Formasi Genteng Tpg Breksi dan aliran lava, terutama andesit 50.9 18.0
7 Laut Dasit, liparit, bostanit porfir 3.9 1.4
8 Formasi Bojongmanik Tmb/Tmbs 7.3 2.6
9 Batuan Gunungapi Qvu/Qpv 146.7 51.8
Tak Terpisahkan /
Batuan Gunungapi
Endut
10 Formasi Cimapag Tmc 11.3 4.0
11 Aluvium Qa 0.0 0.0
12 Diorit Kuarsa Tmqd Napal pasiran, batulempung pasiran, 4.0 1.4
batupasir tufan
13 Dasit Cisiih Tmda Sedimen klastika halus dengan sisipan 0.4 0.1
tipis lignit
14 Batuan Gunungapi Qpv Sedimen klastika kasar dengan sisipan 2.4 0.9
Endut lignit
15 Formasi Baduy, Tmdi Selang-seling batupasir dengan 0.2 0.1
Anggota Batugamping batulempung, sisipan batugamping
16 Formasi Bojongmanik, Tmbs Tuf berbatuapung, batupasir tufan, napal 2.3 0.8
Anggota Batupasir glaukonitik
17 Formasi Bojongmanik, Tmbc Tuf berbatuapung, konglomerat dan 49.0 17.3
Anggota Batulempung breksi andesitik
Jumlah 282.9 100.0

Geologi DAS Ciberang sesuai dengan didominasi oleh tiga formasi batuan
yaitu Formasi Bojongmanik Anggota Batulempung (17.3%), Genteng (18%) dan
Batuan Gunungapi Tak Terpisahkan/Batuan Gunungapi Endut (51.85%). Batuan
Gunungapi Tak Terpisahkan/Batuan Gunungapi Endut berasal dari Breksi dan
aliran lava, terutama andesit berumur Plistosen. Formasi Genteng berasal dari Tuf
berbatuapung, konglomerat dan breksi andesitik berumur pliosen. Sedangkan
Formasi Bojongmanik Anggota Batulempung berasal dari Sedimen klastika halus
dengan sisipan tipis lignit berumur miosen.

Morfologi DAS Ciberang


Pegunungan menempati bagian tengah dan timur, dicirikan oleh beberapa
pegunungan strato atau kerucut gunung api, ketinggian antara 500-2000 meter dpl.
Beberapa puncaknya antara lain: G. Halimun (1.929 m) dan G. Endut (1.281 m).
Pola aliran sungai umumnya berbentuk radial (memancar) dan dendretik, dimana
34

bagian hulu berlembah sempit berbentuk V dengan tebing curam, pada beberapa
hulu sungai terdapat air jeram dengan sungai utama sebagian berkelok-kelok dan
cukup lebar. Dataran rendah terdapat di sepanjang bagian utara yakni di
Kecamatan Rangkasbitung dan menyebar sekitar Kecamatan Cimarga sampai
Sajira.

Tabel 13. Sebaran Luas Kelas Elevasi di DAS Ciberang


Kelas Elevasi Luas
No Morfologi
(m) (km2) (%)
1 50 - 100 Dataran rendah pedalaman 53.9 19.0
2 100 - 200 Perbukitan rendah 44.3 15.7
3 200 - 500 Perbukitan 56.2 19.9
4 500 - 800 Perbukitan tinggi 63.3 22.4
5 800 - 1200 Perbukitan tinggi 32.0 11.3
6 1200 - 1500 Perbukitan tinggi 21.6 7.6
7 1500 - 1900 Pegunungan 11.6 4.1
Jumlah 282.8 100.0

Gambar 7. Peta Penyebaran Kelas Elevasi di DAS Ciberang

Pada Gambar 7 dan Tabel 13 menunjukkan DAS Ciberang di dominasi oleh


lahan dengan elevasi 500 – 800 m dengan morfologi berupa perbukitan tinggi
sebesar 22.37% yang menyebar pada lahan yang landai hingga curam. Lahan
dengan elevasi 200 – 500 m dengan morfologi berupa perbukitan sebesar 19.87%
yang menyebar pada lahan yang landai hingga curam. Lahan dengan elevasi 50 –
100 m dengan morfologi berupa dataran rendah pedalaman sebesar 19.04% yang
35

menyebar pada lahan yang sangat landai hingga agak curam. Lahan dengan
elevasi 100 – 200 m dengan morfologi berupa perbukitan rendah sebesar 15.7%
yang menyebar pada lahan yang sangat landai hingga landai. Lahan dengan
elevasi 800 – 1200 m dengan morfologi berupa perbukitan tinggi sebesar 11.3%
yang menyebar pada lahan yang curam hingga agak curam. Lahan dengan elevasi
1200 – 1500 m dengan morfologi berupa perbukitan tinggi sebesar 7.6% yang
menyebar pada lahan yang curam hingga sangat curam. Sedangkan lahan dengan
elevasi 1500 – 1900 m dengan morfologi berupa pegunungan sebesar 4.1% yang
menyebar pada lahan yang curam hingga sangat curam.

Klasifikasi Lereng DAS Ciberang


Kemiringan lereng dikelompokkan menjadi enam kelas yaitu 0–3%, 3–8%,
8–15%, 15–25%, 25–40% dan >40%. Luas dari masing-masing kemiringan lereng
disajikan pada Tabel 14 dan penyebaran spasial disajikan pada Gambar 8.
DAS Ciberang didominasi oleh kemiringan lereng 8–15% menyebar sampai
kerucut gunungapi Endut. Kemiringan lereng 15–25% menyebar dari Cipanas,
gunungapi endut sampai gunungapi halimun. Kemiringan lereng 0–3% dan 3–8%
menyebar dari hilir lokasi penelitian sampai Cipanas. Sedangkan kemiringan
lereng 24–40% dan >40% menyebar dari kaki gunungapi endut dan halimun.

Gambar 8. Peta Penyebaran Kelas Kemiringan Lereng di DAS Ciberang


36

Tabel 14. Sebaran Luas Kemiringan Lereng di DAS Ciberang


Kelas Klasifikasi Luas
No
Lereng Lereng (km2) (%)
1 0-3% Datar 13.90 4.92
2 3-8% Sangat Landai 54.20 19.16
3 8 - 15 % Landai 64.27 22.72
4 15 - 25 % Agak Curam 72.45 25.61
5 25 - 40 % Curam 56.29 19.90
6 > 40 % Sangat Curam 21.75 7.69
Jumlah 282.87 100.00

Jenis Tanah DAS Ciberang


Berdasarkan peta tanah tinjau Provinsi Banten dari Lembaga Penelitian
Tanah berskala 1:250,000 pada tahun 1966, DAS Ciberang didominasi oleh 2
(dua) jenis tanah, yaitu Latosol yang menutupi 50.4% dari luasan DAS, serta
Podsolik yang menutupi 37.5% dari luasan DAS. Latosol merupakan tanah
dengan kadar liat lebih dari 30%, berwarna coklat hingga merah, memiliki tekstur
yang halus, bersolum tebal, serta bergembur pada seluruh profilnya (Astisiasari,
2008). Berdasarkan kelas erodibilitas atau koefisien kepekaan erosi, latosol coklat
kemerahan dan latosol coklat, serta latosol merah kekuningan merupakan jenis
tanah dengan erodibilitas rendah. Sebaran jenis tanah DAS Ciberang disajikan
pada Gambar 9 dan Tabel 15.

Gambar 9. Peta Penyebaran Jenis Tanah di DAS Ciberang


37

Tabel 15. Sebaran Luas Jenis Tanah di DAS Ciberang


Formasi Luas
No
Geologi km 2
%
1 Podsolik 105.96 37.5
2 Latosol 142.54 50.4
3 Alluvial 16.66 5.9
4 Andosol 1.52 0.5
5 Rensina 16.18 5.7
Jumlah 282.86 100.0
Sumber: Bappeda Kabupaten Lebak (2013)

Iklim DAS Ciberang


DAS Ciberang terdapat dua stasiun penakar hujan yang terletak di dalam
DAS yakni di Kecamatan Sajira (Sta.Sajira) dan Cipanas (Sta.Banjar Irigasi).
Sedangkan stasiun penakar hujan di luar DAS terdapat tujuh stasiun penakar yakni
di Kecamatan Muncang (Sta.Ciminyak/Cilaki), Cimarga (Sta.Cimarga),
Rangkasbitung (Sta.Pasir Ona), Cigudeg (Sta.Toge), Cigudeg (Sta.Cigudeg),
Leuwiliang (Sta.Cianten), Cijeruk (Sta.Pasir Jaya). Rata-rata musim hujan terjadi
antara bulan Nopember sampai dengan April dan musim kering terjadi antara
bulan Mei sampai dengan Oktober. Curah hujan tahunan bervariasi tergantung
dari lokasi dan topografi, berkisar antara 1.500 mm di bagian selatan sampai 2.000
mm di bagian utara (DAS bagian hulu yang berupa daerah pegunungan). Suhu
udara rata-rata tergantung dari elevasi lokasi. Pada dataran rendah pedalaman
(Kecamatan Rangkasbitung, Cimarga dan Sajira) suhu udara bulanan berkisar
antara 22º-27º C (Pusair 2013).

Penggunaan Lahan Aktual dan Pola Ruang RTRW DAS Ciberang


Penggunaan lahan aktual di DAS Ciberang secara umum di dominasi oleh
hutan seluas 36.6% atau 103.6 km2, pertanian lahan kering seluas 33.3% atau 94.3
km2, persawahan (irigasi dan tadah hujan) seluas 16.9% atau 47.8 km2 dan
perkebunan (rakyat dan swasta) seluas 5.1% atau 14.3 km2.
Pola Ruang RTRW DAS Ciberang berada di dua kabupaten, yaitu
Kabupaten Lebak dan Kabupaten Bogor. Pola Ruang RTRW di Kabupaten Lebak
yang dipakai pada tahun 2014-2034, sedangkan Kabupaten Bogor yang dipakai
pada tahun 2005-2025. Pola Ruang RTRW DAS Ciberang yang disepadankan
dengan penggunaan lahan DAS Ciberang dapat dilihat pada Tabel 16 dan Gambar
10.
Pada Pola Ruang RTRW DAS Ciberang yang disepadankan dengan
penggunaan lahan hutan seluas 65.1% atau 184.2 km2. Penggunaan lahan tersebut
terdiri atas kawasan pelestarian alam TNGHS seluas 21.3% atau 60.3 km2, hutan
produksi terbatas sebesar 19.3% atau 54.7 km2, hutan konservasi seluas 12.7%
atau 35.8 km2 dan kawasan sempadan sungai maupun mata air seluas 8.2% atau
23.0 km2. Penggunaan lahan selanjutnya yakni kawasan perkebunan seluas 15.9%
atau 45.0 km2.
38

Tabel 16. Penggunaan Lahan Berdasarkan Pola Ruang RTRW DAS Ciberang
(Skenario 3)
Penggunaan Lahan Area (km2) %
Minapolitan 0.7 0.2
Kawasan Pelestarian Alam (TNGHS) 60.3 21.3
Rawan Longsor 2.5 0.9
Sempadan Mata Air 0.8 0.3
Sempadan Sungai 22.2 7.9
Genangan Dam Karian 22.7 8.0
Pertanian Pangan Lahan Basah 7.0 2.5
Pertanian Pangan Lahan Kering 6.8 2.4
Hutan Produksi Terbatas 54.7 19.3
Kawasan Resapan Air 7.9 2.8
Permukiman Perkotaan 9.1 3.2
Permukimana Pedesaan 5.4 1.9
Perkebunan 31.3 11.1
Hutan Konservasi 35.8 12.7
Tanaman Tahunan 13.7 4.8
Lahan Basah 2.0 0.7
Jumlah 282.9 100.0

Gambar 10. Peta Pola Ruang RTRW DAS Ciberang


39

Sosial dan Ekonomi

Kependudukan
Penduduk sebagai salah satu komponen dalam suatu sistem wilayah
memiliki peranan yang penting sebagai subyek pelaku perubahan pemanfaatan
ruang melalui berbagai kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain sebagai pelaku perubahan ruang, penduduk juga merupakan pihak yang
akan memperoleh manfaat dari upaya-upaya penataan ruang. Dengan demikian
dinamika kependudukan memiliki peranan yang penting sebagai obyek maupun
dalam dinamika perkembangan suatu wilayah.
Sebagai subyek pembangunan, potensi sumber daya manusia digunakan
sebagai ujung tombak untuk mempercepat peningkatan ke arah kehidupan yang
lebih baik. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia, semakin cepat pulalah
proses peningkatan itu terjadi. Sedangkan sebagai obyek pembangunan, sumber
daya manusia perlu mendapat perhatian, karena pembangunan yang hanya
bertujuan fisik saja, tanpa diiringi dengan mempersiapkan perangkat
pendukungnya, hanya akan menimbulkan kesenjangan dalam kemajuan.
Jumlah penduduk di DAS Ciberang tahun 2012 berdasarkan data Lebak
Dalam Angka Tahun 2013 yaitu sebanyak 417,766 jiwa. Jumlah tersebut
mengalami penurunan sebesar 14,569 jiwa dari tahun sebelumnya yaitu 432,335
jiwa (Bappeda Kabupaten Lebak 2013). Penduduk di DAS Ciberang tersebar di 9
kecamatan, yakni 6 kecamatan di Provinsi Banten dan 2 kecamatan di Provinsi
Jawa Barat.
Ditinjau dari Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di DAS Ciberang dari
tahun ke tahun menunjukkan angka yang relatif menurun. Pada periode 2006-
2013, LPP di DAS Ciberang mengalami kenaikan sebesar 0.45%. Kondisi
tersebut menunjukkan upaya pengendalian penduduk di DAS Ciberang relatif
cukup baik. Walaupun rata-rata petumbuhannya masih di bawah rata-rata
nasional, namun demikian tetap harus dilakukan peningkatan upaya untuk
mengendalikan laju pertumbuhan penduduk.
Tahun 2012, jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Rangkasbitung,
yang merupakan Ibukota Kabupaten Lebak sebesar 120,116 jiwa atau sekitar 28.8
%, sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terendah adalah Kecamatan
Muncang dengan jumlah penduduk 32,535 jiwa atau sekitar 7.8 % dari total
penduduk di DAS Ciberang sebagaimana terlihat pada Gambar 11 dan Tabel 17.

Gambar 11. Jumlah Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2006-2012


40

Tabel 17. Distribusi Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2012


No Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) %
1 Cibeber 55,891 13.4%
2 Muncang 32,535 7.8%
3 Cipanas 46,733 11.2%
4 Sajira 47,739 11.4%
5 Cimarga 62,746 15.0%
6 Rangkasbitung 120,116 28.8%
7 Maja 52,006 12.4%
Jumlah 417,766 100.0%
Sumber: Bappeda Kabupaten Lebak (2013)

Mata Pencaharian
Mata pencaharian di wilayah DAS Ciberang didominasi aktivitas kebun
campuran dan pertanian, dengan luas lahan kebun campuran 45.53% dari luas
DAS Ciberang sedangkan pertanian 16.98% dari luas DAS Ciberang, selain itu
didukung pula oleh komposisi penduduk yang mayoritas bekerja di sektor
pertanian. Terbukti bahwa hingga tahun 2012, penduduk yang bekerja di sektor ini
yakni petani dan buruh tani mencapai 71,58%. Sementara sektor perdagangan,
industri, PNS/TNI/POLRI, dan lainnya dijadikan tumpuan harapan hidup oleh
28.42% jumlah penduduk di DAS Ciberang sebagaimana terlihat pada Tabel 18
dan Gambar 12 (Bappeda Kabupaten Lebak 2013).

Tabel 18. Mata Pencaharian Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2013


PNS,TNI
Buruh Buruh
No Kecamatan Petani dan Industri Perdagangan Lainnya Jumlah
Tani Nelayan
POLRI
1 Cibeber 21,837 4,227 - 360 358 693 2,006 29,481
2 Muncang 5,765 1,941 - 195 67 976 861 9,805
3 Cipanas 7,649 3,691 100 483 3 - 370 12,296
4 Sajira 7,621 2,637 - 717 976 808 3,033 15,792
5 Cimarga 14,956 18,282 - 412 545 942 3,073 38,210
6 Rangkasbitung 5,463 5,051 - 1,965 3,298 9,025 6,557 31,359
7 Maja 3,552 - - 448 615 1,847 23 6,485
Jumlah 66,843 35,829 100 4,580 5,862 14,291 15,923 143,428
Persentase 46.6% 25.0% 0.07% 3.2% 4.1% 10.0% 11.1% 100.0%
Sumber: Bappeda Kabupaten Lebak (2013)
41

Gambar 12. Mata Pencaharian Penduduk di DAS Ciberang

5 HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Curah Hujan Wilayah

Curah hujan wilayah dihitung berdasarkan jumlah perkalian antara luas


masing-masing bagian garis kedalaman hujan dengan curah hujan dari setiap
wilayah yang bersangkutan kemudian dibagi luas total daerah tangkapan air. Hasil
analisis curah hujan harian maksimal tahunan berdasarkan data hujan harian
maksimal tahun 1998 dapat dilihat pada Tabel 19 dan peta hujan wilayah dapat
dilihat pada Gambar 13. Analisis curah hujan tahun 1999-2013 dapat dilihat pada
Lampiran 1-32.

Tabel 19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998
Curah Hujan (mm) Luas
No Volume Hujan
Pi Pi+1 (km2)
1 180 195 6.99 1,311.19
2 180 195 0.66 124.20
3 180 195 12.76 2,392.37
4 195 210 39.40 7,978.13
5 210 225 4.64 1,010.01
6 225 240 5.49 1,276.37
7 285 300 44.25 12,944.42
8 315 330 9.02 2,908.09
9 300 315 23.77 7,309.10
10 240 255 18.94 4,687.43
11 270 285 47.97 13,311.06
12 240 255 3.43 849.34
13 255 270 65.54 17,204.02
Jumlah 282.87 73,305.72
42

Analisis curah hujan wilayah diambil dari data hujan harian di setiap pos
hujan. Data hujan harian diambil dari hujan yang paling besar di tahun 1998,
kemudian di hari dan tanggal yang sama hujan yang terjadi pada stasiun hujan
yang lain diambil untuk kemudian dianalisis interpolasi dan mendapatkan peta
zonasi hujan pada tahun tersebut. Hasil analisis hujan harian maksimal tahunan
(P) pada contoh tahun 1998 adalah jumlah volume hujan dibagi jumlah luas
wilayah, maka hasilnya sebesar 259.2 mm. Analisis curah hujan Wilayah DAS
Ciberang pada tahun selanjutnya disajikan pada Tabel 20.

195 mm

195 mm
195 mm

210 mm
225 mm
255 mm
240 mm 285 mm

300 mm
315 mm

285 mm

255 mm

270 mm

255 mm

Gambar 13. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1998

Tabel 20. Curah Hujan Wilayah Harian Maksimum Tahunan di DAS Ciberang
No. Tahun P (mm)
1 1998 259.2
2 1999 176.6
3 2000 140.7
4 2001 197.0
5 2002 148.1
6 2003 178.6
7 2004 225.3
8 2005 198.3
9 2006 154.0
10 2007 154.1
11 2008 188.4
12 2009 209.3
13 2010 193.5
14 2011 166.7
15 2012 168.8
16 2013 172.2
43

Analisis Distribusi Frekwensi

Analisis distribusi frekwensi/sebaran data curah hujan dilakukan terhadap


data curah hujan harian maksimum tahunan dan telah dihitung dengan kala ulang
1.25, 2, 5, 10, 25, 50, 100, 500, dan 1000 tahun. Analisis distribusi frekwensi tiap
metode dapat dilihat pada Lampiran 33-40, sedangkan hasil rekapitulasi
perhitungan curah hujan rancangan untuk setiap metode disajikan pada Tabel 21
dan Gambar 14.

Tabel 21. Rekap Hujan Rancangan Maksimum Tahunan Tiap Metoda


di DAS Ciberang
Curah hujan rancanan Metode Distribusi (mm)
Periode Log-Normal Log-Pearson
No Gumbel Tipe I Frechet
Ulang Dua Parameter Tipe III
(tahun) (mm) (mm) (mm) (mm)
1 1.25 153.62 175.83 158.16 159.12
2 2 178.72 182.34 181.47 177.95
3 5 212.49 210.87 210.46 207.15
4 10 234.85 227.87 228.40 228.55
5 20 257.06 243.11 242.64 251.48
6 25 263.71 246.13 250.09 256.71
7 50 284.37 261.75 265.69 284.54
8 100 305.02 276.33 280.89 312.27
9 500 352.98 426.38 345.82 386.72
10 1000 373.64 733.26 448.48 423.84

800
700
CH. Rancangan (mm)

600
500
400
300
200
100
0
1.25 2 5 10 20 25 50 100 500 1000
Gumbel Tipe I 153.62 178.72 212.49 234.85 257.06 263.71 284.37 305.02 352.98 373.64
Log Normal 175.83 182.34 210.87 227.87 243.11 246.13 261.75 276.33 426.38 733.26
Log-Pearson 158.16 181.47 210.46 228.40 242.64 250.09 265.69 280.89 345.82 448.48
Frechet 159.12 177.95 207.15 228.55 251.48 256.71 284.54 312.27 386.72 423.84

Kala Ulang (Tahun)

Gambar 14. Analisa Perhitungan Curah Hujan Rancangan di DAS Ciberang

Hasil analisis pemilihan distribusi frekwensi pada Tabel 21 dan Gambar 14


digunakan dalam perhitungan curah hujan rancangan. Uji kesesuaian distribusi
dianalisi untuk mendapatkan nilai curah hujan rancangan. Analisis uji kesesuaian
44

distribusi tiap metode dapat dilihat pada Lampiran 41-49, sedangkan rekap hasil
analisis uji disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22. Hasil Uji Kesesuaian Distribusi


Uji Kecocokan Nilai Keterangan
Gumbel Tipe 1 2cr = 5.991 Distribusi Frekuensi diterima
2 hit = 5.875
2 hit < 2cr
Log Normal 2cr = 5.991 Distribusi Frekuensi ditolak
2 hit = 54.625
2hit > 2cr
Log Pearson Tipe III 2cr = 5.991 Distribusi Frekuensi diterima
2hit = 0.875
2hit < 2cr
Gumbel Tipe II (Frechet) 2cr = 5.991 Distribusi Frekuensi ditolak
2 hit = 66.083
2
hit > 2cr

Hasil uji kecocokan menunjukkan bahwa nilai-nilai untuk tipe sebaran


normal, dan log normal tidak memenuhi syarat sedangkan metode Gumbel Tipe 1
dan Log Pearson Type III memenuhi syarat. Berdasarkan nilai 2hit < 2cr yang
mempunyai derajat bebas, maka untuk menghitung curah hujan rencana dapat
menggunakan distribusi Log Pearson Type III.
Berdasarkan analisis hujan harian maksimum yang diperoleh dengan
menggunakan analisis frekuensi tidak mengikuti pola hujan untuk ketiga metode
lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jayadi (2000), bahwa ciri khas statistik
distribusi Log Pearson Type III adalah tidak menunjukkan sifat-sifat seperti ke
tiga distribusi yang lain dan garis teori probabilitas berupa garis lengkung.

Analisis Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil interpretasi citra secara visual dan cek lapang, DAS
Ciberang memiliki 8 penggunaan lahan yaitu permukiman, semak belukar, sawah,
pertanian lahan kering, perkebunan, hutan, tubuh air, dan tanah terbuka. Peta
penggunaan lahan tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 dapat dilihat pada Gambar
15.
Hasil klasifikasi citra secara visual penggunaan lahan dari tahun ke tahun
secara spasial dilihat pada Gambar 15. Secara visual dapat ditunjukkan bahwa
daerah yang berwarna hijau tua mewakili kelas hutan. Penggunaan lahan hutan
terus menurun dari tahun 2000 sampai tahun 2014. Penggunaan lahan hutan di
hulu das masuk kawasan pelestarian alam Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGHS).
Daerah yang berwarna merah muda adalah pertanian lahan kering.
Penggunaan lahan tersebut mendominasi DAS Ciberang dari tahun 2000 sampai
45

2014. Sama halnya dengan daerah yang berwarna kuning dengan kelas
penggunaan lahan sawah. Penggunaan lahan sawah yang merupakan tertinggi
ketiga setelah pertanian lahan kering terus meningkat sampai tahun 2014. Luas
sawah terlihat menyebar di seluruh DAS Ciberang hingga di zona konservasi
kawasan pelestarian alam TNGHS.
Penggunaan lahan perkebunan ditandai dengan warna hijau muda, dimana
penggunaan lahannya semakin luas sampai tahun 2014. Perkebunan yang letaknya
berada di hulu dan tengah DAS Ciberang penyebarannya berkelompok dengan
luasan yang besar. Jenis tanaman perkebunan di DAS Ciberang didominasi oleh
perkebunan kelapa sawit, kemudian sengon, jabon, dan duren.
Daerah yang berwarna merah yang mewakili penggunaan lahanpermukiman
terlihat semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini mengindikasikan adanya
perubahan kelas dari tutupan lahan lain menjadi lahan terbangun karena
peningkatan jumlah penduduk di DAS Ciberang. Penyebaran kawasan
pemukiman rata-rata terletak di pusat kecamatan, desa atau sepanjang jalan raya
dan sepanjang alur sungai.
Kelas penggunaan lahan semak belukar ditandai dengan warna coklat, tubuh
air dengan warna biru dan tanah terbuka berwarna krem. Perubahan lahan ketiga
luasan penggunaan lahan tersebut relatif kecil. Luasan ketiga penggunaan lahan
tersebut sangat kecil dan menyebar di DAS Ciberang sehingga tidak terlihat pada
Gambar 15.
Luas penggunaan lahan hasil klasifikasi citra tahun 2000, 2005, 2010 dan
2014 dapat dilihat pada Gambar 15 dan Tabel 23, sedangkan luas perubahannya
dapat dilihat pada Tabel 24. Hasil analisis citra yang berisi luas tiap-tiap kelas
tutupan lahan DAS Ciberang menunjukan bahwa penggunaan lahan di ke-4 titik
tahun didominasi oleh pertanian lahan kering, hutan, sawah, perkebunan dan
pemukiman. Sawah pada tahun 2000/2014 mengalami kenaikan sebesar 3.8%.
Begitu pula pemukiman, pertanian lahan kering dan perkebunan mengalami
kenaikan berturut-turut seluas 1.9, 1.7 dan 1.2%. Hal tersebut terjadi karena
meningkatnya kebutuhan bahan pangan akibat penambahan jumlah penduduk,
juga peningkatan luas perkebunan seperti kelapa sawit.
Luas hutan pada tahun 2000/2014 mengalami penurunan sebesar 8.1% atau
seluas 23 km2. Penggunaan lahan pada hutan dari tahun ke tahun semakin
menurun. Penurunan luas lahan tersebut disebabkan oleh kenaikan luas
penggunaan lahan pertanian lahan kering, sawah, pemukiman dan perkebunan.
Diagram luas penggunaan lahan tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 disajikan pada
Gambar 16.
46

Gambar 15 (a) Penggunaan Lahan Tahun 2000, (b) Penggunaan Lahan Tahun
2005, (c) Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan (d) Penggunaan Lahan
Tahun 2014 di DAS Ciberang
47

Tabel 23. Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Tahun 2000-2014


2000 2005 2010 2014
Penggunaan Lahan
km2 % km2 % km2 % km2 %
Permukiman 7.8 2.7 8.4 3.0 8.8 3.1 13.0 4.6
Semak Belukar 7.1 2.5 6.2 2.2 5.9 2.1 6.0 2.1
Sawah 37.2 13.1 36.4 12.9 45.7 16.1 47.8 16.9
Pertanian Lahan Kering 89.6 31.7 95.3 33.7 96.4 34.1 94.3 33.3
Perkebunan 10.9 3.9 11.2 4.0 13.0 4.6 14.3 5.1
Hutan 126.6 44.8 121.7 43.0 109.3 38.6 103.6 36.6
Tubuh Air 3.2 1.1 3.2 1.1 3.2 1.1 3.4 1.2
Tanah Terbuka 0.5 0.2 0.4 0.1 0.6 0.2 0.4 0.1
Jumlah 282.9 100.0 282.9 100.0 282.9 100.0 282.9 100.0

Tabel 24. Perubahan Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Tahun 2000-2014
2000 - 2005 2005 - 2010 2010 - 2014 2000 - 2010 2000 - 2014 2005 - 2014
Penggunaan
Lahan km2 % km2 % km2 % km2 % km2 % km2 %

Permukiman 0.6 0.2 0.4 0.1 4.3 1.5 1.0 0.4 5.3 1.9 4.6 1.6
Semak Belukar -0.8 -0.3 -0.3 -0.1 0.1 0.0 -1.2 -0.4 -1.1 -0.4 -0.2 -0.1
Sawah -0.7 -0.3 9.2 3.3 2.1 0.7 8.5 3.0 10.6 3.8 11.3 4.0
Pertanian
5.7 2.0 1.1 0.4 -2.1 -0.8 6.8 2.4 4.7 1.7 -1.0 -0.4
Lahan Kering
Perkebunan 0.3 0.1 1.8 0.6 1.3 0.5 2.1 0.7 3.4 1.2 3.1 1.1
Hutan -4.9 -1.7 -12.4 -4.4 -5.6 -2.0 -17.3 -6.1 -23.0 -8.1 -18.1 -6.4
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.0 0.2 0.1 0.0 0.0 0.2 0.1 0.2 0.1
Tanah Terbuka -0.2 -0.1 0.2 0.1 -0.2 -0.1 0.0 0.0 -0.1 -0.1 0.0 0.0

Gambar 16. Luas Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 di DAS
Ciberang
48

Penggunaan lahan hutan pada Gambar 16 mengalami penurunan relatif kecil


sampai tahun 2005 sebesar 121.7 km2 dari 126.6 km2 dan naik sebesar 4.9 km2
pada tahun 2000/2005. Tahun 2010 turun kembali menjadi 109.3 km2. Hal
tersebut terjadi karena meningkatnya luas lahan perkebunan pada tahun
2010/2014 sebesar 1.5% atau seluas 19.68km2. Pada tahun 2000/2005 penggunaan
lahan perkebunan relatif sama, sedangkan pada tahun 2005/2010 mengalami
penurunan sebesar 3.82 km2.
Penggunaan lahan permukiman terlihat semakin bertambah dari tahun ke
tahun. Peningkatan terjadi pada tahun 2000/2005 sebesar 0.2 km2, pada tahun
2005/2010 sebesar 0.4 km2 dan meningkat cepat pada tahun 2010/2014 sebesar
4.03 km2. Hal ini mengindikasikan adanya pertambahan penduduk di DAS
Ciberang seperti yang dijelaskan pada BAB 4 mengenai kenaikan jumlah
penduduk sampai tahun 2013. Kenaikan jumlah penduduk mengakibatkan
perubahan penggunaan lahan lain menjadi lahan terbangun.
Penggunaan lahan sawah berada pada urutan ketiga terbesar dari luas
keseluruhan DAS. Luas lahan sawah cenderung meningkat pada tahun 2000
hingga tahun 2014 sebesar 10.6 km2 atau 3.8%. Peningkatan luas lahan sawah
terjadi karena mata pencahariaan petani mayoritas bertani.
Luas lahan semak belukar pada tahun 2000/2005 menurun 0.3 km2, hal
tersebut terjadi karena naiknya pertanian lahan kering, sawah, perkebunan dan
permukiman. Pada tahun 2000/2010 luas lahan mengalami penurunan sebesar 1.2
km2 dan terus menurun sampai tahun 2014 sebesar 1.1 km2. Penggunaan lahan
tubuh air dan tanah terbuka memiliki luasan yang relatif kecil dan cenderung tidak
ada perubahan.

Validasi Model Kappa

Analisis ini dilakukan untuk melihat akurasi setiap klasifikasi perubahan


penggunaan lahan dua titik tahun pada Tabel 25, kemudian diprediksi penggunaan
lahan tahun 2014 dengan CA-markov. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun
2014 divalidasikan dengan penggunaan lahan existing tahun 2014.
Secara keseluruhan nilai akurasi klasifikasi pada setiap penggunaan lahan
ditunjukkan dalam nilai indeks kappa. Nilai indeks kappa mempertimbangkan
faktor kesalahan proses klasifikasi, sehingga nilai kappa dalam proses pemetaan
klasifikasi penggunaan lahan memenuhi syarat dan dianggap benar dapat dilihat
pada Tabel 25.

Tabel 25. Tingkat Akurasi Klasifikasi Perubahan Penggunaan Lahan di DAS


Ciberang
No Penggunaan Lahan Overall Accuracy (%) Validasi Kstandart (%)
1 2000 – 2014 83.6 92.0
2 2000 – 2010 86.3 91.7
3 2000 – 2005 96.7 88.7
4 2005 – 2014 95.8 98.1
5 2005 – 2010 82.6 91.9
6 2010 – 2014 98.2 99.1
49

Perubahan Penggunaan Lahan

Proses interpretasi luas penggunaan lahan yang telah diklasifikasi terdiri


dari objek permukiman, semak belukar, sawah, pertanian lahan kering,
perkebunan, hutan, tubuh air dan lahan terbuka. Perubahan penggunaan lahan
kedua titik tahun pada penggunaan lahan Tabel 25 didominasi oleh hutan,
pertanian lahan kering, sawah, perkebunan, permukiman dan objek dengan
kenampakan luas terkecil adalah tanah terbuka dan tubuh air. Hasil overlay
penggunaan lahan kedua titik tahun, selanjutnya didapat matriks perubahan
penggunaan lahan DAS Ciberang. Matriks perubahan penggunaan lahan dapat
dilihat pada Tabel 26-31.
Analisis dapat dilanjutkan karena nilai Kappa yang dihasilkan pada periode
tersebut sebesar 86.3%. Perubahan penggunaan lahan dikaji dengan tiga
perubahan, yakni perubahan setiap lima tahunan, sepuluh tahunan dan empat belas
tahunan. Masing-masing matrik perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan
cara menumpangtindihkan dua titik tahun penggunaan lahan. Hasilnya didapat
matrik perubahan penggunaan lahan dari tahun ke-0 menjadi penggunaan lahan
tahun ke-1.
Matrik perubahan penggunaan lahan pada Tabel 26 tampak bahwa hutan
tetap menjadi hutan mendominasi. Perubahan hutan menjadi pertanian lahan
kering cukup besar yakni mencapai 12.8 km2. Kenampakan perubahan
penggunaan lahan yang cukup besar pula terdapat pada hutan menjadi sawah
yakni seluas 4.2 km2. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa luas hutan
semakin berkurang akibat penambahan luas pertanian lahan kering.
Perubahan pengguaan lahan hutan menjadi pertanian lahan kering tersebut
mempengaruhi debit aliran permukaan. Debit aliran permukaan bertambah besar
dikarenakan nilai koefisien limpasan permukaan pada hutan yang kecil berubah
menjadi menjadi pertanian lahan kering yang besar. Pada periode ini
kecenderungan penggunaan lahan hutan berubah menjadi lahan lainnya sebesar
2.0% atau 5.52 km2 dari 9.49 km2.

Tabel 26. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang


Periode Tahun 2000 dan 2005
Luas Penggunaan Lahan Tahun 2005 (km2)
Penggunaan
Pertanian Jumlah
Lahan Semak Tanah Tubuh
Hutan Pemukiman Perkebunan Lahan Sawah
Belukar Terbuka Air
Kering
Hutan 121.1 0.1 0.0 5.2 0.1 0.1 0.0 0.0 126.6
Pemukiman 0.0 7.7 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.8
Perkebunan 0.0 0.0 10.9 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.9
Tahun 2000

Pertanian
0.0 0.5 0.6 88.3 0.2 0.1 0.0 0.0 89.6
Lahan Kering
Sawah 0.0 0.2 0.0 0.9 36.0 0.1 0.0 0.0 37.2
Semak
0.0 0.2 0.0 0.8 0.1 6.0 0.0 0.0 7.1
Belukar
Tanah
0.0 0.0 0.0 0.1 0.0 0.1 0.3 0.0 0.5
Terbuka
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 3.2 3.2
Jumlah 121.1 8.7 11.5 95.3 36.4 6.2 0.4 3.2 282.9
50

Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 2005/2010 (Tabel 27)


didominasi oleh hutan tetap menjadi hutan. Perubahan hutan menjadi pertanian
lahan kering cukup besar yakni mencapai 9 km2. Perubahan penggunaan lahan
yang cukup besar terdapat pada hutan menjadi sawah yakni seluas 3.7 km 2.
Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa luas hutan semakin berkurang akibat
penambahan luas pertanian lahan kering dan sawah.
Perubahan pengguaan lahan hutan menjadi pertanian lahan kering sebesar
2.2 km2 dan hutan menjadi sawah sebesar 5.8 km2 tersebut mempengaruhi debit
aliran permukaan. Debit aliran permukaan bertambah besar dikarenakan nilai
koefisien limpasan permukaan pada hutan yang kecil berubah menjadi menjadi
pertanian lahan kering dan sawah yang besar. Pada periode ini kecenderungan
penggunaan lahan hutan berubah menjadi lahan lainnya sebesar 4.7% atau 13.26
km2 dari 24.65 km2.

Tabel 27. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang


Periode Tahun 2005 dan 2010
Luas Penggunaan Lahan Tahun 2010 (km2)
Penggunaan Pertanian
Semak Tanah Tubuh Jumlah
Lahan Hutan Pemukiman Perkebunan Lahan Sawah
Belukar Terbuka Air
Kering
Hutan 108.4 0.1 0.1 9.0 3.7 0.4 0.0 0.0 121.7
Pemukiman 0.0 8.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 8.4
Perkebunan 0.0 0.0 11.0 0.1 0.2 0.0 0.0 0.0 11.2
Tahun 2005

Pertanian
0.0 0.5 2.2 86.6 5.8 0.1 0.2 0.0 95.3
Lahan Kering
Sawah 0.0 0.2 0.1 0.7 35.3 0.2 0.0 0.0 36.4
Semak Belukar 0.0 0.1 0.0 0.2 0.6 5.2 0.1 0.0 6.2
Tanah Terbuka 0.0 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.2 0.0 0.4
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 3.2 3.2
Jumlah 108.5 9.2 13.3 96.6 45.7 5.9 0.6 3.2 282.9

Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 2010/2014 (Tabel 28)


menunjukkan perubahan hutan menjadi hutan tetap dominan. Perubahan hutan
menjadi pertanian lahan kering sebesar 4.7 km2. Kenampakan perubahan
penggunaan lahan yang cukup besar pula terdapat pada hutan menjadi sawah
yakni seluas 2.6 km2. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa luas hutan
semakin berkurang akibat penambahan luas pertanian lahan kering dan sawah.
Perubahan pengguaan lahan pertanian lahan kering menjadi pemukiman
sebesar 2.1 km2, pertanian lahan kering menjadi perkebunan sebesar 1.5 km2 dan
pertanian lahan kering menjadi sawah sebesar 8.2 km2 tersebut mempengaruhi
debit aliran permukaan. Debit aliran permukaan bertambah besar dikarenakan
nilai koefisien limpasan permukaan pada pertanian lahan kering lebih kecil
dibandingkan pemukiman, perkebunan dan sawah yang besar. Pada periode ini
kecenderungan penggunaan lahan hutan berubah menjadi lahan lainnya sebesar
2.9% atau 8.07 km2 dari 33.99 km2.
51

Tabel 28. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang


Periode Tahun 2010 dan 2014
Luas Penggunaan Lahan Tahun 2014 (km2)
Penggunaan Pertanian
Semak Tanah Tubuh Jumlah
Lahan Hutan Pemukiman Perkebunan Lahan Sawah
Belukar Terbuka Air
Kering
Hutan 101.2 0.4 0.1 4.7 2.6 0.3 0.0 0.0 109.3
Pemukiman 0.0 8.7 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 8.8
Perkebunan 0.0 0.1 12.3 0.2 0.4 0.0 0.0 0.0 13.0
Tahun 2010

Pertanian
0.0 2.1 1.5 83.9 8.2 0.2 0.5 0.0 96.4
Lahan Kering
Sawah 0.0 2.2 1.6 4.8 35.9 1.3 0.0 0.0 45.7
Semak Belukar 0.0 0.5 0.1 0.2 0.5 4.5 0.0 0.0 5.9
Tanah Terbuka 0.0 0.1 0.0 0.2 0.1 0.0 0.1 0.0 0.6
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.5 0.2 0.0 0.0 2.3 3.2
Jumlah 101.2 14.1 15.7 94.5 48.0 6.4 0.7 2.4 282.9

Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 2005/2014 (Tabel 29)


menunjukkan perubahan hutan menjadi hutan tetap dominan. Perubahan hutan
menjadi pertanian lahan kering sebesar 12.6 km2. Kenampakan perubahan
penggunaan lahan yang cukup besar pula terdapat pada hutan menjadi sawah
yakni seluas 4.9 km2. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa luas hutan
semakin berkurang akibat penambahan luas pertanian lahan kering dan sawah.
Perubahan pengguaan lahan pertanian lahan kering menjadi pemukiman
sebesar 2.1 km2, pertanian lahan kering menjadi perkebunan sebesar 3.3 km2 dan
pertanian lahan kering menjadi sawah sebesar 11.5 km2 tersebut mempengaruhi
debit aliran permukaan. Debit aliran permukaan bertambah besar dikarenakan
nilai koefisien limpasan permukaan pada pertanian lahan kering lebih kecil
dibandingkan pemukiman, perkebunan dan sawah yang besar. Pada periode ini
kecenderungan penggunaan lahan hutan berubah menjadi lahan lainnya sebesar
6.9% atau 19.6 km2 dari 46.58 km2.

Tabel 29. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang


Periode Tahun 2005 dan 2014
Luas Penggunaan Lahan Tahun 2014 (km2)
Penggunaan
Pertanian Jumlah
Lahan Semak Tanah Tubuh
Hutan Pemukiman Perkebunan Lahan Sawah
Belukar Terbuka Air
Kering
Hutan 102.1 0.7 0.2 12.6 4.9 0.8 0.0 0.2 121.7
Pemukiman 0.0 8.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 8.4
Perkebunan 0.0 0.1 10.4 0.3 0.4 0.0 0.0 0.0 11.2
Tahun 2005

Pertanian
0.0 2.1 3.3 77.9 11.5 0.3 0.2 0.0 95.3
Lahan Kering
Sawah 0.0 1.3 0.5 3.2 30.8 0.6 0.0 0.0 36.4
Semak Belukar 0.0 0.7 0.1 0.3 0.7 4.3 0.0 0.0 6.2
Tanah Terbuka 0.0 0.2 0.0 0.1 0.0 0.0 0.1 0.0 0.4
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.4 0.4 0.0 0.0 2.4 3.2
Jumlah 102.2 13.4 14.6 94.8 48.8 6.0 0.4 2.7 282.9
52

Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 2000/2010 (Tabel 30)


menunjukkan perubahan hutan menjadi hutan tetap dominan. Perubahan hutan
menjadi pertanian lahan kering sebesar 12.8 km2. Kenampakan perubahan
penggunaan lahan yang cukup besar pula terdapat pada hutan menjadi sawah
yakni seluas 4.2 km2. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa luas hutan
semakin berkurang akibat penambahan luas pertanian lahan kering dan sawah.
Perubahan pengguaan lahan pertanian lahan kering menjadi perkebunan
sebesar 2.0 km2 dan pertanian lahan kering menjadi sawah sebesar 5.2 km2
tersebut mempengaruhi debit aliran permukaan. Debit aliran permukaan
bertambah besar dikarenakan nilai koefisien limpasan permukaan pada pertanian
lahan kering lebih kecil dibandingkan pemukiman, perkebunan dan sawah yang
besar. Pada periode ini kecenderungan penggunaan lahan hutan berubah menjadi
lahan lainnya sebesar 6.3% atau 17.93 km2 dari 29.5 km2.

Tabel 30. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang


Periode Tahun 2000 dan 2010
Luas Penggunaan Lahan Tahun 2010 (km2)
Penggunaan
Pertanian Jumlah
Lahan Semak Tanah Tubuh
Hutan Pemukiman Perkebunan Lahan Sawah
Belukar Terbuka Air
Kering
Hutan 108.7 0.1 0.3 12.8 4.2 0.4 0.0 0.0 126.6
Pemukiman 0.0 7.8 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.8
Perkebunan 0.0 0.0 10.7 0.1 0.2 0.0 0.0 0.0 10.9
Tahun 2000

Pertanian
0.0 0.4 2.0 81.9 5.2 0.1 0.1 0.0 89.6
Lahan Kering
Sawah 0.0 0.4 0.1 0.9 35.5 0.2 0.0 0.0 37.2
Semak Belukar 0.0 0.3 0.0 0.7 0.8 5.2 0.0 0.0 7.1
Tanah Terbuka 0.0 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.4 0.0 0.5
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 3.2 3.2
Jumlah 108.7 9.1 13.0 96.4 46.0 5.9 0.6 3.2 282.9

Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 2000/2014 (Tabel 31)


menunjukkan perubahan hutan menjadi hutan tetap dominan. Perubahan hutan
menjadi pertanian lahan kering sebesar 16.4 km2. Kenampakan perubahan
penggunaan lahan yang cukup besar pula terdapat pada hutan menjadi sawah
yakni seluas 5.4 km2. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa luas hutan
semakin berkurang akibat penambahan luas pertanian lahan kering dan sawah.
Perubahan pengguaan lahan pertanian lahan kering menjadi pemukiman
sebesar 2.2 km2, pertanian lahan kering menjadi perkebunan sebesar 3.3 km2 dan
pertanian lahan kering menjadi sawah sebesar 10.1 km2 tersebut mempengaruhi
debit aliran permukaan. Debit aliran permukaan bertambah besar dikarenakan
nilai koefisien limpasan permukaan pada pertanian lahan kering lebih kecil
dibandingkan pemukiman, perkebunan dan sawah yang besar. Pada periode ini
kecenderungan penggunaan lahan hutan berubah menjadi lahan lainnya sebesar
8.6% atau 24.25 km2 dari 51.65 km2 luas lahan yang berubah.
53

Tabel 31. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang


Periode Tahun 2000 dan 2014
Luas Penggunaan Lahan Tahun 2014 (km2)
Penggunaan Pertanian
Semak Tanah Tubuh Jumlah
Lahan Hutan Pemukiman Perkebunan Lahan Sawah
Belukar Terbuka Air
Kering
Hutan 102.4 0.8 0.5 16.4 5.4 0.8 0.3 0.0 126.6
Pemukiman 0.0 7.6 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.8
Perkebunan 0.0 0.1 10.2 0.3 0.4 0.0 0.0 0.0 10.9
Tahun 2000

Pertanian
0.0 2.2 3.3 73.3 10.1 0.5 0.2 0.0 89.6
Lahan Kering
Sawah 0.0 1.4 0.3 3.8 31.0 0.7 0.0 0.0 37.2
Semak Belukar 0.0 1.0 0.1 0.8 0.9 4.2 0.0 0.0 7.1
Tanah Terbuka 0.0 0.2 0.0 0.1 0.0 0.0 0.1 0.0 0.5
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.5 0.2 0.0 0.0 2.3 3.2
Jumlah 102.4 13.4 14.3 95.3 48.1 6.3 0.6 2.4 282.9

Gambar 17 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS


Ciberang periode 2000/2005 relatif kecil dengan luas semua perubahan
penggunaan lahan sebesar 3.4%. Perubahan tersebut terdiri dari perubahan hutan
menjadi lahan lainnya sebesar 2.0%, pertanian lahan kering menjadi lahan lainnya
sebesar 0.5% dan sawah menjadi lahan lainnya sebesar 0.4%. Perubahan hutan
menjadi lahan lainnya kecil maka perubahan debit pada aliran permukaan juga
relatif kecil.
Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang periode 2005/2010 relatif
kecil tetapi dua kali lipat perubahan pada periode sebelummya dengan luas semua
perubahan penggunaan lahan sebesar 8.7%. Perubahan tersebut terdiri dari
perubahan hutan menjadi lahan lainnya sebesar 4.7%, pertanian lahan kering
menjadi lahan lainnya sebesar 3.1% dan sawah menjadi lahan lainnya sebesar
0.4%. Perubahan hutan menjadi lahan lainnya kecil maka perubahan debit pada
aliran permukaan juga relatif kecil dan lebih besar dari perubahan pada periode
2000/2005.
Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang periode 2010/2014 pada
Gambar 17 lebih kecil dari perubahan pada periode 2005/2010 dengan luas semua
perubahan penggunaan lahan sebesar 12.0%. Perubahan tersebut terdiri dari
perubahan hutan menjadi lahan lainnya sebesar 2.9%, pertanian lahan kering
menjadi lahan lainnya sebesar 4.4% dan sawah menjadi lahan lainnya sebesar
3.5%. Perubahan hutan menjadi lahan lainnya kecil maka perubahan debit pada
aliran permukaan juga relatif kecil dan lebih besar dari perubahan pada periode
2000/2005.
Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang ditinjau pada periode
2000/2014 hampir dua kali lipat perubahan pada periode 2000/2010. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perubahan debit aliran permukaan pada periode 2000/2014
lebih besar daripada debit aliran permukaan pada periode 2000/2010.
54

Gambar 17. Diagram Setiap Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciberang

Peramalan Penggunaan Lahan

Nilai kappa yang memenuhi syarat mengijinkan analisis lanjutan yaitu


peramalan penggunaan lahan/prediksi penggunaan lahan. Prosedur analisis yang
digunakan adalah sama dengan prosedur yang dijelaskan terdahulu. Namun
demikian terdapat beberapa perbedaan penting, yaitu penetapan tahun estimasi
mendatang yang dilakukan secara arbitrer serta tidak terdapat pilihan dalam
menentukan akurasi (nilai kappa) produk hasil estimasi.
Prediksi perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui suatu simulasi
menggunakan CA Markov. Analisis untuk memprediksi perubahan penggunaan
lahan dilakukan untuk interval waktu antara tahun 2000-2014. Hasil analisis
prediksi penggunaan lahan tahun 2028 disajikan pada Gambar 18 dan luas
penggunaan lahan tahun 2028 pada Tabel 32.
55

Gambar 18. Peta Prediksi Setiap Penggunaan Lahan Tahun 2028

Tabel 32. Luas Prediksi Setiap Penggunaan Lahan Tahun 2028 di DAS Ciberang
Luas
Penggunaan Lahan
km2 %
Permukiman 13.0 4.6
Semak Belukar 6.0 2.1
Sawah 47.8 16.9
Pertanian Lahan Kering 94.3 33.3
Perkebunan 14.3 5.1
Hutan 103.6 36.6
Tubuh Air 3.4 1.2
Jumlah 282.87 100.0

Pada tahun 2028 terjadi peningkatan penggunaan lahan didominasi oleh


pertanian lahan kering, sawah, perkebunan dan pemukiman sehingga
menyebabkan luas hutan menurun. Hal tersebut terjadi karena meningkatnya
usaha petani yang menyebabkan luas sawah meningkat. Selain itu berkebun
tanaman tahunan meningkat karena hasil kayu dengan nilai ekonomi tinggi
banyak diperlukan untuk bahan baku sektor industri.

Analisis Perubahan Lahan terhadap Debit Rancangan

Analisis debit rancangan dilakukan pada penggunaan lahan aktual Tahun


2014 sebagai skenario ke-1, prediksi penggunaan lahan Tahun 2028 sebagai
56

skenario ke-2, pola ruang RTRW sebagai skenario ke-3 dan skenario ke-4
penyesuaian penggunaan lahan ekisting pada pola ruang yang kemudian
dibandingkan dengan debit rancangan Bendungan Karian untuk mendapatkan pola
penggunaan lahan terbaik di DAS Ciberang. Analisis perubahan penggunaan
lahan terhadap debit rancangan dilakukan dengan persamaan seperti berikut:

Tc = 0.0133 * 52.94 * 0.01898-0.6 = 7.597 jam


2
158.16   24  3
IT =    = 3.305 mm/jam
 24   7.597 
QT = 0.278 * Ctertimbang * 3.305 * A

Nilai Ctertimbang adalah nilai koefisien limpasan tertimbang pada


penggunaan lahan tiap skenario di DAS Ciberang. Nilai ini terdiri dari nilai
koefisien limpasan permukaan setiap luasan penggunaan lahan. Analisis faktor
perubahan lahan terhadap debit rancangan tiap skenario dapat dilihat pada
Gambar 19 dan 20.
Penggunaan lahan skenario ke-1 dan ke-2 secara spasial pada Gambar 19
menunjukkan perubahan penggunaan lahan relatif kecil. Penggunaan lahan yang
berwarna merah muda dinotasikan untuk pertanian lahan kering, warna kuning
untuk sawah, warna hijau muda untuk perkebunan dan warna merah untuk
pemukiman cenderung naik. Penggunaan lahan warna hijau tua dinotasikan
sebagai hutan yang luasannya tampak berkurang. Hal tersebut disebabkan karena
naiknya luas penggunaan lahan pada pertanian lahan kering, sawah, perkebunan
dan pemukiman. Kenaikan penggunaan lahan terbangun dan lahan pertanian yang
menyebabkan penurunan luasan hutan menyebabkan air hujan yang jatuh ke tanah
lebih cenderung menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan yang meningkat
menyebabkan debit air hujan yang masuk ke sungai menjadi lebih besar.
Penggunaan lahan skenario ke-3 pada pola ruang RTRW dan skenario ke-4
pola ruang yang disesuaikan dengan penggunaan lahan aktual dan prediksi tahun
2028 secara spasial pada Gambar 19 menunjukkan perubahan semua penggunaan
lahan cenderung meningkat. Penggunaan lahan yang berwarna merah muda
dinotasikan untuk pertanian lahan kering, warna kuning untuk sawah dan warna
merah untuk pemukiman cenderung naik. Penggunaan lahan warna hijau tua
dinotasikan sebagai hutan dan warna hijau muda untuk perkebunan yang
luasannya tampak berkurang. Hal tersebut disebabkan karena naiknya luas
penggunaan lahan pada pertanian lahan kering, sawah dan pemukiman. Kenaikan
penggunaan lahan terbangun dan lahan pertanian yang menyebabkan penurunan
luasan hutan. Penurunan luasan hutan menyebabkan aliran permukaan meningkat
dan debit air hujan yang masuk ke sungai Ciberang menjadi lebih besar.
57

Gambar 19. (a) Skenario ke-1 Penggunaan Lahan Aktual DAS Ciberang Tahun
2014, (b) Skenario ke-2 Prediksi Penggunaan Lahan DAS Ciberang
Tahun 2028, (c) Skenario ke-3 Penggunaan Lahan Pola Ruang
RTRW dan (d) Skenario ke-4 Penggunaan Lahan pada Sinkronisasi
Pola Ruang RTRW di DAS Ciberang

Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan hutan pada tahun 2028 skenario


ke-2 semakin berkurang sebesar 5.2% dibandingkan dengan tahun 2014 skenario
ke-1. Hal tersebut menyebabkan limpasan hujan di permukaan semakin besar dan
debit aliran permukaan semakin bertambah. Luas hutan pada pola ruang RTRW
skenario ke-3 jauh lebih luas dibandingkan luas hutan aktual tahun 2014 skenario
ke-1. Hal tersebut sangat tidak mungkin diterapkan di DAS Ciberang karena hutan
yang berubah fungsi sulit dikembalikan ke fungsi hutan kembali. Luas hutan pada
skenario ke-4 menjadi lebih kecil 15.7% dibandingkan dengan luas hutan pada
skenario ke-3.
Luas penggunaan lahan aktual pada pertanian lahan kering, sawah dan
pemukiman semakin bertambah dari tahun 2014 (skenario ke-1) ke tahun 2028
(skenario ke-2). Penambahan luas penggunaan lahan tersebut berbanding lurus
58

dengan penambahan debit aliran permukaan karena koefisien terbobot pada aliran
limpasan menjadi lebih besar. Perubahan yang sama terjadi pada skenario ke-3
pola ruang RTRW menjadi skenario ke-4. Skenario ke-4 merupakan sinkronisasi
pola ruang RTRW dengan penggunaan lahan aktual dan prediksi tahun 2028.
Penambahan luas penggunaan lahan perkebunan pada skenario ke-1 sampai ke-4
mempunyai kecenderungan yang sama dengan pertanian lahan kering.

Gambar 20. Luas Penggunaan Lahan berdasarkan Skenario ke-1 sampai ke-4 di
DAS Ciberang

Tabel 33 merupakan analisis koefisien limpasan tertimbang tiap luasan


penggunaan lahan untuk menghitung nilai koefisien limpasan tertimbang tiap
skenario penggunaan lahan. Nilai koefisien tertimbang skenario ke-1 pada Tabel
33 adalah koefisien limpasan terbobot sebesar 70.29 dibagi luas DAS Ciberang
sebesar 282.9 km2, maka nilai koefisien tertimbang yang didapat sebesar 0.25.
Koefisien limpasan terbobot didapat dari koefisien setiap penggunaan lahan
dikalikan luas penggunaan lahannya. Analisis yang sama dilakukan pada skenario
ke-2 sampai ke-4.
Tabel 33 terlihat bahwa koefisien limpasan tertimbang pada skenario ke-2
lebih besar dari penggunaan lahan aktual pada skenario ke-1, sedangkan skenario
ke-3 lebih kecil dari koefisien limpasan aktual tahun 2014. Perencanaan
penggunaan lahan pada pola ruang RTRW di DAS Ciberang sangat tidak
mungkin dilakukan mengingat pemulihan lahan hutan dari penggunaan lahan
aktual di lapangan. Hal tersebut mengingat luas hutan lebih besar dari pada luas
hutan aktual yang ada di lapangan. Perencanaan penggunaan lahan skenario ke-4
merupakan skenario pola ruang yang telah disesuaikan dengan penggunaan lahan
di lapangan dan prediksi penggunaan lahan pada tahun 2028. Hasil analisis dapat
dilihat pada Tabel 33.
59

Tabel 33. Koefisien Limpasan setiap Luasan Penggunaan Lahan di DAS


Ciberang Berdasarkan Skenario ke-1 sampai ke-4
Skenario ke-4
Skenario ke-1 Skenario ke-2 Skenario ke-3
Sinkronisasi Pola
Penggunaan Lahan Prediksi Penggunaan Pola Ruang RTRW di
Ruang RTRW di
Penggunaan Koef Aktual Tahun 2014 Lahan Tahun 2028 DAS Ciberang
No DAS Ciberang
Lahan Limpasan
Koef Koef Koef Koef
Luas Luas Luas Luas
Limpasan Limpasan Limpasan Limpasan
(km2) (km2) (km2) (km2)
Terbobot Terbobot Terbobot Terbobot
1 Minapolitan 0.75 0.00 0.00 0.00 0.00 0.65 0.49 0.54 0.41
2 Kawasan 0.005 103.62 0.52 88.79 0.44 60.33 0.30 54.62 0.27
Pelestarian
Alam
(TNGHS)
3 Rawan 0.07 0.00 0.00 0.00 0.00 2.47 0.17 1.94 0.14
Longsor
4 Sempadan 0.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.83 0.12 0.08 0.01
Mata Air
5 Sempadan 0.15 0.00 0.00 0.00 0.00 22.22 3.33 11.34 1.70
Sungai
6 Genangan 0.80 3.41 2.73 3.53 2.82 22.66 18.13 22.58 18.06
Dam Karian
7 Pertanian 0.50 47.76 23.88 53.36 26.68 9.07 4.53 47.45 23.72
Pangan
Lahan Basah
8 Pertanian 0.30 94.31 28.29 95.97 28.79 6.77 2.03 4.91 1.47
Pangan
Lahan Kering
9 Hutan 0.05 0.00 0.00 0.00 0.00 54.67 2.73 52.42 2.62
Produksi
Terbatas
10 Kawasan 0.07 5.99 0.42 5.78 0.40 7.85 0.55 5.98 0.42
Resapan Air /
Semak
Belukar
11 Permukiman 0.70 0.00 0.00 0.00 0.00 9.12 6.38 5.37 3.76
Perkotaan
12 Permukimana 0.65 13.04 8.48 17.37 11.29 5.41 3.52 13.19 8.57
Pedesaan
13 Perkebunan 0.40 14.35 5.74 17.81 7.13 44.97 17.99 32.70 13.08
14 Hutan 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 35.84 1.08 29.75 0.89
Konservasi
15 Tanah 0.60 0.38 0.23 0.26 0.16 0.00 0.00 0.00 0.00
Terbuka
Koefisien Tertimbang 0.25 0.27 0.22 0.27

Tabel 34 menunjukkan analisis setiap skenario perubahan penggunaan lahan


terhadap debit puncak rancangan metode rasional. Keterangan setiap kolom pada
tabel tersebut yakni:
Kolom (1) = kala ulang atau periode ulang debit puncak rancangan DAS
Ciberang (tahun);
Kolom (2) = analisis curah hujan rancangan DAS Ciberang dengan metode
distribusi frekwensi (mm);
Kolom (3) = analisis intensitas hujan rancangan dengan metode mononobe
(mm/jam);
Kolom (4) = analisis debit puncak skenario ke-1 penggunaan lahan aktual tahun
2014 dengan metode rasional (m3/dt);
Kolom (5) = analisis debit puncak skenario ke-2 prediksi penggunaan lahan
tahun 2028 dengan metode rasional (m3/dt);
60

Kolom (6) = analisis debit puncak skenario ke-3 penggunaan lahan pada Pola
Ruang RTRW DAS Ciberang dengan metode rasional (m3/dt);
Kolom (7) = analisis debit puncak skenario ke-4 penggunaan lahan pada
sinkronisasi Pola Ruang RTRW DAS Ciberang dengan
penggunaan lahan skenario ke-1 aktual tahun 2014 dan penggunaan
lahan skenario ke-4 prediksi tahun 2028 dengan metode rasional
(m3/dt)
Kolom (8) = analisis debit puncak rancangan Bendungan Karian yakni luas
genangan waduk dikali kecepatan aliran sungai (m3/dt)
Kolom (9) = selisih debit puncak skenario ke-1 penggunaan lahan aktual tahun
2014 yakni dari kolom (8) – kolom (4) (m3/dt);
Kolom (10) = selisih debit puncak skenario ke-2 prediksi penggunaan lahan tahun
2028 yakni dari kolom (8) – kolom (5) (m3/dt);
Kolom (11) = selisih debit puncak skenario ke-3 penggunaan lahan dari Pola
Ruang RTRW DAS Ciberang yakni dari kolom (8) – kolom (6)
(m3/dt);
Kolom (12) = selisih debit puncak skenario ke-4 penggunaan lahan pada
sinkronisasi Pola Ruang RTRW DAS Ciberang yakni dari kolom
(8) – kolom (7) (m3/dt);

Selisih debit puncak skenario Tabel 34 pada kolom (9) dengan nilai 12.1
m /dt dan kolom (11) dengan nilai 72.0 m3/dt menunjukkan Bendungan Karian
3

dapat menampung debit puncak rancangan kala ulang 100 tahun. Dapat
disimpulkan bahwa debit puncak skenario ke-1 (kolom (9)) pada penggunaan
lahan aktual tahun 2014 dan debit puncak skenario ke-3 (kolom (11)) pada pola
ruang RTRW masih memenuhi syarat sebagai pola penggunaan lahan terbaik
dengan kala ulang 100 tahun. Debit puncak skenario dengan nilai negatif artinya
penggunaan lahan sudah tidak memenuhi syarat sebagai pola penggunaan lahan
terbaik.
Prediksi debit puncak skenario ke-2 tahun 2028 (kolom (10)) dengan nilai
17.2 m3/dt menunjukkan Bendungan Karian dapat menampung debit puncak
rancangan kala ulang 25 tahun. Kolom (10) tersebut menunjukkan debit puncak
rancangan kala ulang 25 tahun memenuhi syarat sebagai pola penggunaan lahan
terbaik. Debit puncak skenario ke-4 sinkronisasi pola ruang RTRW (kolom (12))
dengan nilai 10.7 m3/dt menunjukkan Bendungan Karian dapat menampung debit
puncak rancangan kala ulang 50 tahun. Kolom (12) tersebut menunjukkan debit
puncak rancangan kala ulang 50 tahun memenuhi syarat sebagai pola penggunaan
lahan terbaik.
Hasil analisis tersebut menunjukkan debit puncak rancangan yang dapat
ditampung bendungan adalah skenario-4 dengan kala ulang 50 tahun. Skenario
tersebut merupakan pola penggunaan lahan terbaik di DAS Ciberang yang
dijadikan suatu arahan penggunaan lahan dan dianggap sebagai acuan penggunaan
lahan yang dikaji berdasarkan kondisi hidrologi.
61

Tabel 34. Rekap Hasil Analisa Debit Rancangan Metode Rasional


Analisis Skenario Debit Rancangan (m 3/dt) Selisih Debit (m3/dt)
Debit
RT IT Prediksi Sinkronisasi Bendungan Prediksi Sinkronisasi
(mm) (mm/jam) Tahun Tahun Pola Ruang Pola Ruang 3
Tahun
Tahun
Pola Ruang
Pola Ruang
Kala 2014 RTRW (m /dt) 2014 RTRW
Ulang 2028 RTRW 2028 RTRW
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
1.25 158.2 14.2 275.5 306.3 241.8 292.1 501.46 225.9 195.2 259.6 209.3
2 181.5 16.3 316.1 351.4 277.5 335.2 501.46 185.3 150.1 224.0 166.3
5 210.5 18.9 366.6 407.5 321.8 388.7 501.46 134.8 93.9 179.7 112.7
10 228.4 20.5 397.9 442.3 349.2 421.9 501.46 103.6 59.2 152.2 79.6
25 250.1 22.4 435.7 484.3 382.4 461.9 501.46 65.8 17.2 119.1 39.5
50 265.7 23.8 462.9 514.5 406.3 490.7 501.46 38.6 -13.0 95.2 10.7
100 280.9 25.2 489.3 543.9 429.5 518.8 501.46 12.1 -42.5 72.0 -17.3
500 345.8 31.0 602.4 669.7 528.8 638.7 501.46 -101.0 -168.2 -27.3 -137.3
1000 448.5 40.2 781.3 868.5 685.7 828.3 501.46 -279.8 -367.0 -184.3 -326.9

Skenario Pengendalian Perubahan Penggunaan Lahan

Penyusunan skenario kebijakan yang akan diambil berdasarkan


pengendalian perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian dilakukan dengan
perencanaan penggunaan lahan yang menghasilkan debit puncak skenario kurang
dari debit rancangan Bendungan Karian. Kebijakan tersebut diterjemahkan ke
dalam bentuk pelestarian daerah kawasan hulu daerah aliran sungai yang
kemudian digunakan sebagai salah satu input pengendalian penggunaan lahan.
Skenario pengendalian tersebut dilakukan dengan beberapa tahap, yakni:
1. Skenario ke-1 diambil dari penggunaan lahan aktual tahun 2014 sebagai
skenario kebijakan yang akan diambil. Berdasarkan Tabel 34 terlihat bahwa
debit banjir aktual skenario pertama kala ulang 50 tahun memiliki debit yang
lebih kecil dari debit banjir di bendungan sehingga saat ini masih memenuhi
syarat sebagai pola penggunaan lahan terbaik. Penggunaan lahan aktual pada
skenario ini harus tetap dipertahankan agar debit banjir yang terjadi di outlet
Bendungan Karian masih bisa ditampung sehingga dapat mengurangi banjir
yang terjadi di hilir DAS Ciberang.
2. Skenario ke-2 diambil dari model prediksi penggunaan lahan tahun 2028
sebagai skenario kebijakan yang akan diambil. Berdasarkan Tabel 34 bahwa
debit banjir rancangan skenario ke dua memiliki debit yang lebih besar dari
debit banjir di Bendungan dengan dengan kala ulang 50 tahun sehingga tidak
memenuhi syarat sebagai pola penggunaan lahan terbaik. Penggunaan lahan
skenario ini mengalami perubahan penggunaan lahan yang dapat
mempengaruhi tingkat kerawanan banjir. Semakin berkurangnya lahan resapan
air atau kawasan penggunaan lahan yang memiliki nilai koefisien kecil seperti
hutan, sawah dan semak belukar, yang berganti menjadi pertanian lahan kering,
perkebunan dan permukiman yang memiliki nilai koefisien besar.
Berkurangnya lahan tersebut akan meningkatkan nilai air larian total yang
dapat menyebabkan banjir.
62

3. Skenario ke-3 diambil dari penggunaan lahan pada Pola Ruang RTRW
Kabupaten Lebak tahun 2014-2034 dan Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor
tahun 2005-2025. Skenario tersebut memiliki debit banjir rancangan kala ulang
50 tahun lebih kecil dari debit rancangan bendungan karian. Penggunaan lahan
pada skenario ini sangat berbeda dengan kondisi penggunaan lahan di lapangan
sehingga pemulihan lahan hutan akan sulit dilakukan pada penggunaan lahan
aktual di lapangan.
4. Skenario ke-4 yang merupakan skenario perencanaan penggunaan lahan pada
Pola Ruang RTRW yang telah disesuaikan dengan kondisi ekisting tahun 2014
dan prediksi tahun 2028. Skenario yang memiliki debit banjir rancangan lebih
kecil dari debit rancangan bendungan karian merupakan skenario yang paling
ideal untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan. Oleh karena itu
skenario ini dijadikan suatu arahan penggunaan lahan yang terbaik yang
dianggap sebagai referensi penggunaan lahan DAS Ciberang dikaji dari kondisi
hidrologi.

Berdasarkan hasil analisis perubahan penggunaan lahan, skenario ke-4


adalah skenario terbaik dimana debit rancangan kurang dari debit banjir rencana
Bendungan Karian pada kala ulang 50 tahun. Skenario penggunaan lahan ini yang
akan dijadikan pola penggunaan lahan terbaik yang dianggap sebagai referensi
penggunaan lahan di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Tahun 2014-2034.

Arahan Penggunaan Lahan

Hasil analisis debit rancangan yang memenuhi syarat sebagai pola


penggunaan lahan terbaik di DAS Ciberang adalah skenario ke empat yang
diambil dari penyesuaian Pola Ruang RTRW 2014-2034 Kabupaten Lebak
dengan kondisi ekisting di lapangan dan prediksi penggunaan lahan tahun 2028.
Pola ruang tersebut selanjutnya dijadikan arahan penggunaan lahan terbaik di
DAS Ciberang karena debit puncak rancangan kurang dari debit rancangan
Bendungan Karian. Rencana arahan penggunaan lahan agar benar-benar
diperhatikan pelaksanaannya di lapangan karena jika pola ruang tersebut tidak
dipantau dan dievaluasi dengan baik, maka penggunaan lahan 14 tahun ke depan
akan berubah menjadi penggunaan lahan hasil prediksi CA-Markov tahun 2028.
Monitoring dan evaluasi merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan
dalam Pengelolaan DAS baik dalam pemulihan maupun mempertahankan Daya
Dukung DAS. Monitoring dilakukan untuk mendapatkan data indikator kinerja
DAS. Hasil monitoring menjadi dasar untuk melakukan evaluasi kinerja
pengelolaan DAS. Hasil evaluasi digunakan dalam rangka penyempurnaan
perencanaan pengelolaan DAS dan pelaksanaan Pengelolaan DAS. Pelaksanaan
tersebut dilaksanakan berdasarkan Skenario Pola Ruang RTRW yang telah
ditetapkan dan menjadi acuan rencana pembangunan sektor dan rencana
pembangunan wilayah administrasi.
Pelaksanaan rencana pola ruang RTRW Kabupaten Lebak Tahun 2014-
2034 akan sulit dilaksanakan mengingat perubahan penggunaan lahan aktual di
lapangan tidak akan sama dengan rencana pola ruang yang telah ditetapkan,
63

sehingga penggunaan lahan kedepan akan berjalan sesuai dengan penggunaan


lahan hasil prediksi CA-Markov.

6 SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

Simpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah:
1. Pola hujan wilayah di DAS Ciberang fluktuatif pada tahun 2000, 2005, 2010
dan 2014.
2. Luas semua perubahan penggunaan lahan Tahun 2000/2014 di DAS Ciberang
sebesar 81.7 km2 atau 18.3% sedangkan luas semua penggunaan lahan yang
tidak mengalami perubahan sebesar 231.14 km 2 atau 81.7 %. DAS Ciberang
mengalami perubahan hutan menjadi pertanian lahan kering seluas 14.9 km 2,
sawah menjadi pertanian lahan kering seluas 12.84 km 2, hutan menjadi sawah
seluas 5.2 km2 dan pertanian lahan kering menjadi perkebunan seluas 3.4
km2.
3. Prediksi penggunaan lahan tahun 2028 (skenario ke-2) menghasilkan debit
puncak lebih besar dari debit puncak rancangan di Bendungan Karian,
sedangkan penggunaan lahan aktual tahun 2014 (skenario ke-1), penggunaan
lahan pada pola ruang RTRW (skenario ke-3) dan penggunaan lahan pada
penyesuaian pola ruang (skenario ke-4) lebih kecil dari debit puncak
rancangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa prediksi penggunaan lahan
tahun 2028 skenario ke-2 tidak memenuhi syarat sebagai pola penggunaan
lahan di DAS Ciberang. Penggunaan lahan aktual tahun 2014 skenario ke-1,
pola ruang skenario ke-3 dan sinkronisasi pola ruang skenario ke-4 memenuhi
syarat sebagai pola penggunaan lahan terbaik.
4. Arahan perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang yang terpilih adalah
pada pola penggunaan lahan skenario ke-4. Dimana skenario tersebut adalah
skenario yang paling ideal untuk mengendalikan perubahan penggunaan
lahan. Skenario dari perencanaan penggunaan lahan pada Pola Ruang RTRW
yang telah disesuaikan dengan kondisi ekisting tahun 2014 dan prediksi tahun
2028. Oleh karena itu skenario ini dijadikan suatu arahan penggunaan lahan
yang terbaik yang dianggap sebagai referensi penggunaan lahan DAS
Ciberang dikaji dari kondisi hidrologi.

Saran

1. Perlu dilakukan sinkronisasi atau penyesuaian pola ruang dengan kondisi lahan
aktual.
2. Pola ruang yang telah disesuaikan akan menjadi acuan dalam arahan
penggunaan lahan terbaik di DAS Ciberang.
3. Pemodelan CA-Markov masih dapat dieksplorasi terutama dengan
membandingkan bermacam pembobotan kesesuaian lahan terhadap hasil
prediksi.
64

DAFTAR PUSTAKA

Adibah N, Sutom K, Bandi S. 2013. Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem


Informasi Geografis untuk Analisis Daerah Resapan Air (Studi Kasus : Kota
Pekalongan). Jurnal Geodesi Undip. 2 : 141-153.
Avery TE. 1992. Fundamental of Remote Sensing and Air–Photo Interpretation,
5th Ed. New Jersey (US): Prentice-Hall, Upper Sadle River.
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press.
Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press.
Astisiasari. 2008. Perubahan Penggunaan Tanah Terkait Penyusutan Luas
Perairan Laguna (Studi Kasus DA Citanduy dan DA Segar Anakan Tahun
1994-2006). [Skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
[Bappeda Kabupaten Lebak] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Lebak. 2013. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten 2014-
2034 Materi Teknis. Banten (ID): Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Lebak.
[BBWS C3] Balai Besar Wilayah Sungai Ciujung, Cidanau Cisadane. 2013.
Publikasi Data 1998 – 2013. Banten (ID): Balai Besar Wilayah Sungai
Ciujung, Cidanau Cisadane.
Barlowe R. 1978. Land Resources Economic Third Edition. Englewood cliffs,
New Jersey: Prentice Hall Inc.
Barus B, Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografi Sarana Manajemen
Sumberdaya. Bogor (ID): Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi.
Institut Pertanian Bogor.
Chen J, Peng G, Chunyang H, Wei L, Masayuki T, Peijun S. 2002. Assessment of
the urban development plan of Beijing by using a CA-based urban growth
model. American Society for Photogrammetry and Remote Sensing. 68:
1063-1071.
Dewan Riset Nasional Kelompok II, Sumberdaya Alam dan Energi. 1994.
Kebutuhan Riset dan Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia.
Jakarta (ID): Dewan Riset Nasional.
[DSDAP Banten] Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Provinsi Banten.
2013. Laporan Tahunan 1998 – 2013. Banten (ID): Dinas Sumber Daya Air
dan Permukiman Provinsi Banten.
[Dishutbun Lebak] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak. 2013.
Laporan Kepala Dinas. Banten (ID): Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Lebak
[Ditjen Planologi] Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2012. Inventarisasi
dan Perpetaan Kehutanan. Bogor (ID): Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan.
Eastman JR. 2003. Guide to GIS and Image Processing. Worcester (MA):
Graduate School of Geography, Clark University.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Main Report Global Forest
Resources Assessment 2000.
65

Ford A. 1999. Modelling The Environment An Introduction to System Dynamic


Models of Environmental System. Washington (DS): Island Press.
Gandasasmita K. 2001. Analisis Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Daerah
Aliran Sungai Cimanuk Hulu Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Hand C. 2005. Simple Cellular Automata on a Spreadsheet. Computers in Higher
Education Economics Review. 17: 9-13.
Hardjowigeno S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta (ID): Akapres.
Huan Y, Zhengwei H, Xin P. 2010. Wetland Shrink Simulation Using Cellular
Automata : A Case Study in Sanjiang, China. Procedia Environmental
Sciences. 2: 225–233.
Hutyra LR, Raciti S, Phillips NG, Munger JW. 2011. Exploring Space-Time
Variation in Urban Carbon Metabolism. UGEC Viewpoints. 6: 11-14.
Jayadi R. 2000. Hidrologi I Pengenalan Hidrologi Teknik Sipil. Yogyakarta (ID):
UGM-Press.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Data dan Informasi Pemanfaatan
Hutan Tahun 2012. Jakarta (ID): Sekretariat Jenderal Kementerian
Kehutanan.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2010. Audit Lahan Sawah Tahun 2010.
Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.
Kodoatie JR, Syarief R. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta (ID): Andi Offset.
Lazaro TR. 1979. Urban Hydrology a Multidisciplinary Perspective. Ann Arbor
Science. Inc, Michigan, USA.
Lee R. 1998. Hidrologi Hutan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Terjemahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University.
Loebis J. 1992. Banjir Rencana untuk Bangunan Air. Jakarta (ID): Depertemen
Pekerjaan Umum.
Luo J, Wei YHD. 2009. Modeling Spatial Variations of Urban Growth Patterns in
Chinese Cities: The Case of Nanjing. Landscape and Urban Planning.
91:51-64
Manson S. 2005. Land use in the southern Yucata´n peninsular region of Mexico:
Scenarios of population and institutional change. Environment and Urban
Systems. 30 : 230–253.
Mendoza ME, Erna LG, Davide G, Diego RPS, Vicente S. 2011. Analysing land
cover and land use change processes at watershed level: A multitemporal
study in the Lake Cuitzeo Watershed, Mexico (1975-2003). Applied
Geography. 31: 237-250.
Muiz A. 2009. Analisis perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi.
[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Munibah K. 2008. Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dan Arahan
Penggunaan Lahan Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus DAS Cidanau,
Provinsi Banten). [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Murai S. 1996. Remote Sensing Note. Japan : Japan Association on Remote
Sensing.
66

Narendra BH. 2012. Alih Fungsi (Konversi) Kawasan Hutan Indonesia: Tinjauan
Aspek Hidrologi Dan Konservasi Tanah. [Prosiding Fungsi Kawasan
Hutan]. Mataram (ID): Balai Penelitian Kehutanan Mataram.
Nurrizqi EH, Suyono. 2012. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap
Perubahan Debit Puncak Banjir Di Sub Das Brantas Hulu. 1: 363-371.
Puntodewo. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumberdaya
Alam. [internet]. [diunduh 2014 Dec 23]:
http://cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/SIGeografis/SIGpart-
1.pdf [17 Juni 2008].
[Pusair] Pusat Litbang Sumber Daya Air. 2013. Publikasi Tahun 1998 – 2013.
Bandung (ID): Balai Hidrologi dan Tata Air.
Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung
(ID): Penerbit Informatika.
Robinson JS, Sivapala M. 1995. Catchment-Scale Runoff Generation Model by
Aggregation and Similarty Analyses. Hydrological Processes. 9: 555-574.
Sheng TC. 1968. Concepts of Watershed Management. Lecture Notes for Forest
Training Course in Watershed Management and Soil Conservation. Jamaica:
UNDP/FAO.
Sinukaban N. 1995. Manajemen / Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Makalah
Diskusi Penelitian Erosi dan Sedimentasi. Bandung (ID): Puslitbang PU.
Soewarno. 1995. Hidrologi : Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid 2.
Bandung (ID): Penerbit Nova
Sosrosudarsono S, Takeda K. 2006. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta (ID):
Pradnya Paramita
Subarkah I. 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. Bandung (ID):
Idea Dharma.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta (ID): Penerbit
Andi
Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh Jilid II. Bulaksumur, Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.
Vliet JV, White R, Dragicevic S. 2009. Modeling Urban Growth Using a Variable
Grid Cellular Automaton. Computers. Environment and Urban Systems. 33:
35–43.
Wen W. 2008. Wetland Change Prediction Using Markov Cellular Automata
Model in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi Province, Indonesia.
Bogor (ID): Bogor Agricultural University.
Weng Q. 2002. Land Use Change Analysis in The Zhujiang Delta of China using
Satellite Remote sensing, GIS and Stochastic Modelling. Journal of
Environmental Management. 64: 273-283.
67

Lampiran 1. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 180 195 6.99 1311.19
2 180 195 0.66 124.20
3 180 195 12.76 2392.37
4 195 210 39.40 7978.13
5 210 225 4.64 1010.01
6 225 240 5.49 1276.37
7 285 300 44.25 12944.42
8 315 330 9.02 2908.09
9 300 315 23.77 7309.10
10 240 255 18.94 4687.43
11 270 285 47.97 13311.06
12 240 255 3.43 849.34
13 255 270 65.54 17204.02
Jumlah 282.87 73305.72
P1998 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 259.2 mm

Lampiran 2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1998


68

Lampiran 3. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1999
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 195 210 5.16 1044.05
2 180 195 11.06 2073.88
3 165 180 9.08 1566.12
4 150 165 8.52 1342.53
5 135 150 5.42 772.33
6 105 120 7.90 889.17
7 120 135 11.37 1449.22
8 135 150 4.75 676.78
9 150 165 6.51 1024.85
10 195 210 3.68 744.32
11 180 195 127.71 23945.11
12 195 210 10.76 2179.11
13 165 180 70.96 12239.82
Jumlah 282.87 49947.29
P1999 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 176.6 mm

Lampiran 4. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1999


69

Lampiran 5. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2000
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 135 150 192.52 27434.59
2 180 195 1.42 266.72
3 165 180 8.21 1415.53
4 150 165 10.79 1698.97
5 135 150 9.60 1367.84
6 120 135 6.51 830.56
7 120 135 8.76 1116.29
8 105 120 4.54 510.26
9 105 120 4.84 544.64
10 75 90 4.78 394.21
11 90 105 11.61 1131.73
12 150 165 6.14 967.23
13 150 165 1.95 306.63
14 165 180 3.21 552.92
15 150 165 8.00 1260.31
Jumlah 282.87 39798.42
P2000 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 140.7 mm

Lampiran 6. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2000


70

Lampiran 7. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2001
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 210 225 1.64 355.91
2 195 210 12.28 2487.43
3 195 210 0.09 17.92
4 195 210 0.19 38.30
5 180 195 19.95 3739.96
6 165 180 5.57 960.18
7 165 180 3.33 575.26
8 150 165 7.79 1226.33
9 120 135 0.60 76.91
10 135 150 9.80 1395.79
11 225 240 3.01 699.08
12 210 225 15.90 3458.64
13 180 195 48.14 9026.64
14 255 270 0.31 82.53
15 240 255 2.50 618.94
16 225 240 4.99 1159.19
17 210 225 11.94 2595.97
18 195 210 116.07 23504.60
19 180 195 7.91 1483.11
20 210 225 1.59 345.18
21 195 210 9.28 1879.10
Jumlah 282.87 55726.96
P2001 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 197.0 mm

Lampiran 8. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2001


71

Lampiran 9. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2002
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 105 120 2.06 231.63
2 120 135 39.82 5077.44
3 135 150 64.83 9238.28
4 150 165 77.02 12131.01
5 165 180 34.03 5871.00
6 165 180 2.36 406.85
7 135 150 10.82 1541.86
8 150 165 14.16 2230.87
9 165 180 9.59 1654.08
10 180 195 1.86 348.56
11 120 135 12.63 1610.34
12 105 120 13.68 1538.47
Jumlah 282.87 41880.39
P2002 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 148.1 mm

Lampiran 10. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2002


72

Lampiran 11. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2003
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 120 135 13.46 1716.09
2 135 150 21.22 3023.70
3 150 165 26.56 4182.64
4 165 180 47.63 8216.27
5 180 195 77.81 14589.53
6 195 210 11.15 2258.65
7 210 225 7.66 1665.27
8 225 240 5.36 1247.09
9 240 255 4.03 998.66
10 255 270 2.98 782.60
11 270 285 2.05 567.89
12 285 300 1.55 454.11
13 300 315 1.11 341.84
14 315 330 0.75 240.97
15 330 345 0.26 86.87
16 165 180 25.38 4377.97
17 150 165 6.17 971.44
18 135 150 8.07 1149.91
19 120 135 1.27 161.99
20 180 195 10.20 1912.09
21 195 210 4.45 901.16
22 210 225 1.16 252.94
23 150 165 2.59 407.15
Jumlah 282.87 50506.80
P2003 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 178.6 mm

Lampiran 12. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2003


73

Lampiran 13. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2004
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 210 225 13.45 2926.04
2 225 240 20.24 4704.79
3 255 270 3.09 811.13
4 225 240 1.08 251.18
5 240 255 41.52 10275.49
6 225 240 26.44 6146.57
7 225 240 4.52 1049.99
8 225 240 1.91 444.66
9 210 225 170.62 37110.62
Jumlah 282.87 63720.47
P2004 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 225.3 mm

Lampiran 14. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2004


74

Lampiran 15. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2005
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 195 210 206.75 41867.23
2 180 195 7.27 1362.62
3 180 195 62.98 11808.64
4 210 225 0.84 182.62
5 165 180 5.03 867.19
Jumlah 282.87 56088.29
P2005 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 198.3 mm

Lampiran 16. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2005


75

Lampiran 17. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2006
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 150 165 209.64 33018.58
2 135 150 4.46 635.13
3 135 150 8.97 1277.57
4 150 165 8.10 1276.11
5 135 150 51.70 7367.07
Jumlah 282.87 43574.46
P2006 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 154.0 mm

Lampiran 18. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2006


76

Lampiran 19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2007
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 150 165 209.77 33038.76
2 135 150 0.54 76.30
3 135 150 8.81 1255.15
4 135 150 4.26 607.47
5 135 150 51.41 7325.32
6 150 165 8.08 1273.09
Jumlah 282.87 43576.09
P2007 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 154.1 mm

Lampiran 20. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2007


77

Lampiran 21. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2008
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 165 180 20.43 3524.60
2 165 180 11.55 1992.17
3 165 180 44.67 7704.73
4 180 195 68.92 12921.97
5 195 210 43.48 8805.71
6 225 240 18.20 4231.87
7 210 225 30.62 6660.61
8 150 165 4.29 675.04
9 180 195 12.82 2403.32
10 135 150 1.59 226.22
11 150 165 26.30 4142.32
Jumlah 282.87 53288.56
P2008 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 188.4 mm

Lampiran 22. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2008


78

Lampiran 23. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2009
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 180 195 27.68 5189.90
2 225 240 13.71 3187.13
3 195 210 112.86 22854.84
4 225 240 10.65 2475.79
5 210 225 90.19 19616.42
6 195 210 13.19 2671.92
7 210 225 13.67 2973.57
8 240 255 0.91 224.98
Jumlah 282.87 59194.55
P2009 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 209.3 mm

Lampiran 24. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2009


79

Lampiran 25. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2010
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 210 225 9.49 2062.99
2 210 225 18.41 4003.10
3 195 210 47.63 9644.67
4 165 180 4.55 785.50
5 180 195 131.13 24586.03
6 150 165 4.16 655.83
7 180 195 0.47 88.84
8 165 180 46.05 7942.94
9 240 255 5.49 1357.64
10 225 240 15.50 3603.47
Jumlah 282.87 54731.01
P2010 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 193.5 mm

Lampiran 26. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2010


80

Lampiran 27. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2011
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 210 225 1.28 278.16
2 195 210 17.65 3574.41
3 210 225 2.04 444.10
4 195 210 7.28 1474.97
5 165 180 46.12 7955.23
6 135 150 28.52 4064.30
7 135 150 21.52 3067.24
8 150 165 113.45 17868.32
9 180 195 45.00 8436.83
Jumlah 282.87 47163.57
P2011 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 166.7 mm

Lampiran 28. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2011


81

Lampiran 29. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2012
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 210 225 1.62 352.54
2 195 210 11.58 2344.41
3 180 195 15.86 2972.92
4 165 180 8.25 1422.32
5 135 150 10.45 1489.00
6 150 165 15.32 2412.53
7 165 180 139.10 23994.92
8 180 195 8.21 1539.79
9 150 165 59.49 9370.34
10 135 150 12.99 1851.35
Jumlah 282.87 47750.12
P2012 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 168.8 mm

Lampiran 30. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2012


82

Lampiran 31. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2013
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 195 210 4.90 991.53
2 180 195 30.17 5657.71
3 165 180 150.45 25953.03
4 135 150 12.49 1779.42
5 150 165 52.86 8325.42
6 195 210 0.79 159.81
7 180 195 31.21 5851.09
Jumlah 282.87 48718.02
P2013 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 172.2 mm

Lampiran 32. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013


83

Lampiran 33. Perhitungan Kurva Distribusi Gumbel Tipe I


No. Tahun Xi
1 1998 259.15 0
2 2004 225.27 0
3 2009 209.27 2009
4 2005 198.29 0
5 2001 197.01 0 Rerata X = 183.164
6 2010 193.49 2010 Standar Deviasi (S) - X = 30.740
7 2008 188.39 2008
8 2003 178.55 0
9 1999 176.58 0
10 2013 172.23 2013
11 2012 168.81 2012
12 2011 166.74 2011
13 2007 154.05 2007
14 2006 154.05 2006
15 2002 148.06 0
16 2000 140.70 0
TOTAL 2930.62

Lampiran 34. Nilai Ekstrim Distribusi Gumbel Tipe I


T YT S Yn Sn K X (mm)
1.25 -0.4759 30.740 0.5157 1.0316 -0.9612 153.616
2 0.3665 30.740 0.5157 1.0316 -0.1446 178.718
5 1.4999 30.740 0.5157 1.0316 0.9541 212.493
10 2.2504 30.740 0.5157 1.0316 1.6815 234.854
20 2.9957 30.740 0.5157 1.0316 2.4041 257.065
25 3.2189 30.740 0.5157 1.0316 2.6204 263.714
50 3.9120 30.740 0.5157 1.0316 3.2923 284.369
100 4.6052 30.740 0.5157 1.0316 3.9642 305.023
500 6.2146 30.740 0.5157 1.0316 5.5243 352.982
1000 6.9078 30.740 0.5157 1.0316 6.1963 373.637

Lampiran 35. Perhitungan Kurva Distribusi Log-Normal Dua Parameter


(Log Xi - rerata (Log Xi - rerata (Log Xi - rerata (Log Xi - rerata
No. Xi Log Xi
Log X) Log X)2 Log X)3 Log X)4
1 259.15 2.414 0.151 0.02294 0.00347 0.00053
2 225.27 2.353 0.091 0.00821 0.00074 0.00007
3 209.27 2.321 0.059 0.00344 0.00020 0.00001
4 198.29 2.297 0.035 0.00124 0.00004 0.00000
5 197.01 2.294 0.032 0.00105 0.00003 0.00000
6 193.49 2.287 0.025 0.00060 0.00001 0.00000
7 188.39 2.275 0.013 0.00017 0.00000 0.00000
8 178.55 2.252 -0.010 0.00011 0.00000 0.00000
9 176.58 2.247 -0.015 0.00023 0.00000 0.00000
84

(Log Xi - rerata (Log Xi - rerata (Log Xi - rerata (Log Xi - rerata


No. Xi Log Xi
Log X) Log X)2 Log X)3 Log X)4
10 172.23 2.236 -0.026 0.00068 -0.00002 0.00000
13 154.05 2.188 -0.074 0.00554 -0.00041 0.00003
14 154.05 2.188 -0.074 0.00554 -0.00041 0.00003
15 148.06 2.170 -0.092 0.00840 -0.00077 0.00007
16 140.70 2.148 -0.114 0.01295 -0.00147 0.00017
TOTAL 2595.08 31.669 0.000 0.07109 0.00142 0.00091

Rerata Log X = 2.262


Standar Deviasi (S) - Log X = 0.074
CV = 0.033
CS = 0.098
CK = 3.017

Lampiran 36. Nilai Ekstrim Distribusi Log-Normal Dua Parameter


T P k Log X X (mm)
1.25 0.200 -0.230 2.245 175.829
2 0.500 -0.016 2.261 182.337
5 0.800 0.837 2.324 210.867
10 0.900 1.293 2.358 227.866
20 0.950 1.673 2.386 243.115
25 0.960 1.745 2.391 246.126
50 0.980 2.107 2.418 261.752
100 0.990 2.425 2.441 276.334
500 0.998 4.972 2.630 426.383
1000 0.999 8.156 2.865 733.256

Lampiran 37. Perhitungan Kurva Distribusi Log Pearson Tipe III


(Log Xi - (Log Xi - (Log Xi - (Log Xi - rerata Log
No. Xi Log Xi
rerata Log X) rerata Log X)2 rerata Log X)3 X)4
1 259.15 2.414 0.151 0.02294 0.00347 0.00053
2 225.27 2.353 0.091 0.00821 0.00074 0.00007
3 209.27 2.321 0.059 0.00344 0.00020 0.00001
4 198.29 2.297 0.035 0.00124 0.00004 0.00000
5 197.01 2.294 0.032 0.00105 0.00003 0.00000
6 193.49 2.287 0.025 0.00060 0.00001 0.00000
7 188.39 2.275 0.013 0.00017 0.00000 0.00000
8 178.55 2.252 -0.010 0.00011 0.00000 0.00000
9 176.58 2.247 -0.015 0.00023 0.00000 0.00000
10 172.23 2.236 -0.026 0.00068 -0.00002 0.00000
13 154.05 2.188 -0.074 0.00554 -0.00041 0.00003
14 154.05 2.188 -0.074 0.00554 -0.00041 0.00003
15 148.06 2.170 -0.092 0.00840 -0.00077 0.00007
16 140.70 2.148 -0.114 0.01295 -0.00147 0.00017
TOTAL 2595.08 31.669 0.000 0.07109 0.00142 0.00091
85

Rerata Log X = 2.262


Standar Deviasi (S) - Log X = 0.074
CS = 0.268
CK = 2.850

Lampiran 38. Nilai Ekstrim Distribusi Log Pearson Tipe III


T P(%) Cs G Log X X (mm)
1.25 80 0.268 -0.852 2.199 158.155
2 50 0.268 -0.045 2.259 181.466
5 20 0.268 0.826 2.323 210.459
10 10 0.268 1.306 2.359 228.405
20 5 0.268 1.662 2.385 242.642
25 4 0.268 1.839 2.398 250.091
50 2 0.268 2.194 2.424 265.689
100 1 0.268 2.521 2.449 280.886
500 0.2 0.268 3.742 2.539 345.816
1000 0.1 0.268 5.269 2.652 448.476

Keterangan:
G = lihat Tabel. (Hubungan Cs dengan Kala Ulang (T) atau
= dengan Percent Chance (P%)
Log X = rerata Log X + G.S
X = curah hujan rancangan metoda Log Pearson Tipe III

Lampiran 39. Perhitungan Kurva Distribusi Frechet


Log (Log Xi - rerata (Log Xi - rerata (Log Xi - rerata (Log Xi - rerata
No. Xi
Xi Log X) Log X)2 Log X)3 Log X)4
1 259.15 2.414 0.151 0.02294 0.003475 0.00052633
2 225.27 2.353 0.091 0.00821 0.000744 0.00006740
3 209.27 2.321 0.059 0.00344 0.000201 0.00001180
4 198.29 2.297 0.035 0.00124 0.000044 0.00000154
5 197.01 2.294 0.032 0.00105 0.000034 0.00000110
6 193.49 2.287 0.025 0.00060 0.000015 0.00000036
7 188.39 2.275 0.013 0.00017 0.000002 0.00000003
8 178.55 2.252 -0.010 0.00011 -0.000001 0.00000001
9 176.58 2.247 -0.015 0.00023 -0.000003 0.00000005
10 172.23 2.236 -0.026 0.00068 -0.000018 0.00000046
13 154.05 2.188 -0.074 0.00554 -0.000412 0.00003068
14 154.05 2.188 -0.074 0.00554 -0.000413 0.00003071
15 148.06 2.170 -0.092 0.00840 -0.000770 0.00007059
16 140.70 2.148 -0.114 0.01295 -0.001474 0.00016775
TOTAL 2595.08 31.669 0.000 0.07109 0.00142 0.00091

Rerata Log X = 2.262


Standar Deviasi (S) - Log X = 0.074
86

Lampiran 40. Nilai Ekstrim Distribusi Frechet


T P a X0 Y Log X X (mm)
1.25 0.2000 17.336 2.229 -0.476 2.202 159.121
2 0.5000 17.336 2.229 0.366 2.250 177.950
5 0.8000 17.336 2.229 1.510 2.316 207.151
10 0.9000 17.336 2.229 2.250 2.359 228.545
20 0.9500 17.336 2.229 2.970 2.401 251.480
25 0.9600 17.336 2.229 3.125 2.409 256.711
50 0.9800 17.336 2.229 3.900 2.454 284.544
100 0.9900 17.336 2.229 4.600 2.495 312.268
500 0.9980 17.336 2.229 6.210 2.587 386.721
1000 0.9990 17.336 2.229 6.900 2.627 423.837

Pembagian Kelas:
N = 16
K = 1 + 3,322 log N = 5.0001 = 5 kelas
Peluang batas kelas:
P = 1/kelas = 1/5 = 0.20 = 20%

Uji Kesesuaian Distribusi Chi Square


Lampiran 41. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Gumbel
Tipe I
P(%) T YT S Yn Sn K X (mm)
20.0 5.000 1.6094 30.74 0.516 1.032 1.0602 215.755
40.0 2.500 0.9163 30.74 0.516 1.032 0.3883 195.101
60.0 1.667 0.5108 30.74 0.516 1.032 -0.0047 183.019
80.0 1.250 0.2231 30.74 0.516 1.032 -0.2836 174.446

Sehingga:
Sub kelas 1 : X < 174.446
Sub kelas 2 : 174.446 < X < 183.019
Sub kelas 3 : 183.019 < X < 195.101
Sub kelas 4 : 195.101 < X < 215.755
Sub kelas 5 : X > 215.755

Lampiran 42. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Gumbel Tipe I


Nilai Batas Jumlah Data
No. (EF - OF)2 (EF - OF)2 / EF
Sub Kelas OF EF
1 X < 174.446 7 3.2 14.440 4.513
2 174.446 < X < 183.019 2 3.2 1.440 0.450
3 183.019 < X < 195.101 2 3.2 1.440 0.450
4 195.101 < X < 215.755 3 3.2 0.040 0.013
5 X > 215.755 2 3.2 1.440 0.450
16 16 5.875
87

2hitung = 5.875
DK = K - (P + 1)
K (jumlah kelas) = 6
P (parameter yang terikat dalam agihan frekuensi) = 2
Untuk: DK = 2 dan a = 5% ----> 2cr = 5.991
Ternyata: 2hitung < 2 cr ----> Distribusi Frekuensi Dapat Diterima

Lampiran 43. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log Normal
P T k Log X X (mm)
20.0 0.95 1.68 2.39 243.32
40.0 0.98 2.03 2.41 258.15
60.0 0.98 2.22 2.43 267.00
80.0 0.99 2.36 2.44 273.14

Sehingga:
Sub kelas 1: X < 243.32
Sub kelas 2: 243.32 < X < 258.15
Sub kelas 3: 258.15 < X < 267.00
Sub kelas 4: 267.00 < X < 273.14
Sub kelas 5: X > 273.14

Lampiran 44. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Log Normal


Nilai Batas Jumlah Data
No. (OF - EF)2 (OF - EF)2 / EF
Sub Kelas OF EF
1 X < 243.316 15 3.2 139.240 43.513
2 243.316 < X < 258.146 1 3.2 4.840 1.513
3 258.146 < X < 267.003 0 3.2 10.240 3.200
4 267.003 < X < 273.135 0 3.2 10.240 3.200
5 X > 273.135 0 3.2 10.240 3.200
16 16 54.625

Keterangan:
OF = Nilai Pengamatan
EF = Nilai Teoritis
2hitung = 54.625
DK = K - (P + 1)
K (jumlah kelas) = 6
P (parameter yang terikat dalam agihan frekuensi) = 2
Untuk: DK = 2 dan a = 5% ----> 2cr = 5.991
Ternyata: 2hitung > 2 cr ----> Distribusi Frekuensi di Tolak
88

Lampiran 45. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log-Pearson
Tipe III
P(%) T (th) Cs G Log X X (mm)
20 5 0.268 0.852 2.325 211.398
40 3 0.268 0.314 2.285 192.883
60 2 0.268 -0.246 2.244 175.361
80 1 0.268 -0.826 2.201 158.861

Sehingga:
Sub kelas 1 X < 158.861
Sub kelas 2 158.861 < X < 175.361
Sub kelas 3 175.361 < X < 192.883
Sub kelas 4 192.883 < X < 211.398
Sub kelas 5 X > 211.398

Lampiran 46. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Log Pearson Tipe III
Nilai Batas Jumlah Data
No. (EF - OF)2 (EF - OF)2 / EF
Sub Kelas OF EF
1 X < 158.861 4 3.2 0.640 0.200
2 158.861 < X < 175.361 3 3.2 0.040 0.013
3 175.361 < X < 192.883 3 3.2 0.040 0.013
4 192.883 < X < 211.398 4 3.2 0.640 0.200
5 X > 211.398 2 3.2 1.440 0.450
16 16 0.875

2hitung = 0.875
DK = K - (P + 1)
K (jumlah kelas) = 6
P (parameter yang terikat dalam agihan frekuensi) = 2
Untuk: DK = 2 dan a = 5% ----> 2 cr = 5.991
Ternyata 2hitung < 2 cr ----> Distribusi Frekuensi Dapat Diterima

Lampiran 47. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Frechet
P (%) T a X0 Y Log X X (mm)
20 -0.053 17.336 2.229 2.250 2.359 228.545
40 -0.026 17.336 2.229 3.590 2.436 273.066
60 -0.017 17.336 2.229 4.040 2.462 289.885
80 -0.013 17.336 2.229 4.320 2.478 300.868

Sehingga:
Sub kelas 1 : X < 228.55
Sub kelas 2 : 228.55 < X < 273.07
Sub kelas 3 : 273.07 < X < 289.88
Sub kelas 4 : 289.88 < X < 300.87
Sub kelas 5 : X > 300.87
89

Lampiran 48. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Frechet


Nilai Batas Jumlah Data
No. (OF - EF)2 (OF - EF)2 / EF
Sub Kelas OF EF
1 X < 228.55 15 2.6666667 152.111 57.042
2 228.55 < X < 273.07 1 2.6666667 2.778 1.042
3 273.07 < X < 289.88 0 2.6666667 7.111 2.667
4 289.88 < X < 300.87 0 2.6666667 7.111 2.667
5 X > 300.87 0 2.6666667 7.111 2.667
16 13 66.083
Keterangan:
OF = Nilai Pengamatan
Nilai
EF =
Teoritis
2hitung = 66.083
DK = K - (P + 1)
K (jumlah kelas) = 6
P (parameter yang terikat dalam agihan frekuensi) = 2
Untuk: DK = 2 dan a = 5% ----> 2 cr = 5.991
Ternyata 2 hitung > 2 cr ----> Distribusi Frekwensi Di Tolak

Lampiran 49. Uji Kesesuaian Distribusi Smirnov-Kolmogorof


f(t) = (X-rerata Wilayah Luas Di bawah D
X m PE PT / P'(X)
X)/S Kurva Normal [ P' (X<) ] l PE - PT l
259.2 1 0.0588 2.472 0.9932 0.0068 0.0521
225.3 2 0.1176 1.370 0.9143 0.0857 0.0320
209.3 3 0.1765 0.849 0.8018 0.1982 0.0218
198.3 4 0.2353 0.492 0.6886 0.3114 0.0761
197.0 5 0.2941 0.450 0.6736 0.3264 0.0323
193.5 6 0.3529 0.336 0.6313 0.3687 0.0157
188.4 7 0.4118 0.170 0.5674 0.4326 0.0208
178.6 8 0.4706 -0.150 0.4405 0.5595 0.0889
176.6 9 0.5294 -0.214 0.4152 0.5848 0.0554
172.2 10 0.5882 -0.356 0.3612 0.6388 0.0505
168.8 11 0.6471 -0.467 0.3204 0.6796 0.0325
166.7 12 0.7059 -0.534 0.2967 0.7033 0.0026
154.1 13 0.7647 -0.947 0.1722 0.8278 0.0631
154.0 14 0.8235 -0.947 0.1721 0.8279 0.0044
148.1 15 0.8824 -1.142 0.1270 0.8730 0.0094
140.7 16 0.9412 -1.381 0.0838 0.9162 0.0249
Rerata X = 183.164
Standar Deviasi (S) = 30.740
D Maks. = 0.0889
N (jumlah data) = 16
 = 5%  D Kritis = 0.3300
D Maks. < D Kritis = 0.0889 < 0.3300 (Distribusi diterima)
Maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima
90

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 18 April 1980 sebagai anak


kedua dari pasangan Muhammad Yusuf (alm.) dan Nunung Karwati. Pendidikan
sarjana di tempuh di Jurusan Pengairan, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya,
lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2013, Penulis berkesempatan melanjutkan studi
ke Program Magister pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah
Pascasarjana IPB. Kesempatan melanjutkan studi ini diperoleh atas beasiswa
Program Diklat Gelar dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan
Perencanaan (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staf pelaksana pada Balai PSDA Wilayah Sungai
Ciujung-Cidanau, Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman Provinsi Banten sejak
tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai