DESSY ARIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dessy Arianti
NIM A156130184
RINGKASAN
DESSY ARIANTI. Land Use Planning for Discharge Plan of Karian Dam at
Ciberang Watershed in Lebak Regency of Banten Province. Supervised by Kukuh
Murtilaksono and Baba Barus.
The effects of changes in land use cause changes in the discharge flow
conditions. Changes in land use set off rainfall to be more potential runoff than
infiltrated. The aims of this study were to (1) examine the rainfall patterns at
Ciberang watershed in 2000, 2005, 2010 and 2014; (2) assess the changes in land
use at Ciberang watershed in 2000, 2005, 2010 and 2014; (3) analyze the
discharge plan of Ciberang watershed to predict land use in 2028, and (4)
establish directives on land use so that the scenario of discharge peak does not
exceed the dam discharge plan.
The analysis of changes in land use at Ciberang watershed utilized Cellular
Automata-Markov model. Land uses in 2000 and 2010 were used to analyze the
changes in land use with the land use validation of the 2014. The analysis results
produced the prediction on land use in 2028.
The discharge analysis of the flood plan used Rational method with four
scenarios, namely the actual land use in 2014, the prediction on land use in 2028,
land use in the spatial patterns in the spatial plan, and modifications of land use
in the spatial patterns in the spatial plan at Ciberang watershed. The scenario of
the best land use pattern was selected if the discharge pan scenario was less than
the flood discharge of Karian Dam. The best land use pattern meeting the
requirement can be applied for the policy directives for the land use in the spatial
pattern in the spatial plan.
Within a period of 14 years (2000-2014), Ciberang watershed experienced
changes of 24.25 km2 forest to other land area, 2.2 km2 agricultural dryland to
residential area, 3.3 km2 farming dryland to plantations, and 10.1 km2 dryland
into rice farming area. Such changes resulted in a large runoff coefficient so that
the rain falling into those areas had a large potential to become runoff. The
increasing surface water flow caused the rainwater discharge overflowing the
surface went faster into the Ciberang River and flooding would occur more
quickly.
The plan flood discharge in the 50-year return period showed the optimum
flood discharge capacity in Karian Dam. Land use scenarios in the draft
discharge plan in that period indicated that the second scenario of the 2028 flood
discharge plan was ineligible for the best land-use pattern, whereas the 2014 first
scenario of the actual flood discharge, the third scenario of the spatial pattern in
the spatial plan, and the fourth scenario of the modified spatial pattern in the
spatial plan met the criteria for the best land-use patterns. The 4th scenario is
used as the directives for land use planning which is considered as the reference
for land use at Ciberang watershed of Lebak Regency for 2014-2034.
Key words: Cellular Automata-Markov, Discharge Plan, Karian Dam, Land Use
Changes.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN
UNTUK DEBIT RANCANGAN BENDUNGAN KARIAN
DI DAS CIBERANG KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN
DESSY ARIANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc
Judul Tesis : Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan
Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi
Banten
Nama : Dessy Arianti
NIM : A156130184
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah
penggunaan lahan untuk debit banjir rancangan, dengan judul Perencanaan
Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang
Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Kukuh
Murtilaksono, MS dan Bapak Dr Baba Barus, MSc selaku pembimbing, serta
Bapak Dr Ir Komarsa Gandasasmita, M.Sc (alm.) yang telah banyak memberi
bimbingan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Provinsi Banten,
Pusbindiklatren Bappenas, Pimpinan Balai Hidrologi dan Tata Air Pusat
Penelitian Bandung, Kepala Bappeda Kabupaten Lebak, Kepala Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Lebak, Ditjen Planologi Kehutanan Bogor, Kepala
Seksi Hidrologi dan Kualitas Air Balai Besar Wilayah Sungai Ciujung Cidanau
Cidurian, Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Dessy Arianti
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian 6
2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013 8
3. Peta Lokasi Penelitian di DAS Ciberang Outlet Bendungan Karian 17
4. Diagram Alir Tahapan Penelitian 19
5. Analisis Intensitas Hujan Rancangan 26
6. Peta Penyebaran Formasi Geologi di DAS Ciberang 32
7. Peta Penyebaran Kelas Elevasi di DAS Ciberang 34
8. Peta Penyebaran Kelas Kemiringan Lereng di DAS Ciberang 35
9. Peta Penyebaran Jenis Tanah di DAS Ciberang 36
10. Peta Pola Ruang RTRW DAS Ciberang 38
11. Jumlah Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2006-2012 39
12. Mata Pencaharian Penduduk di DAS Ciberang 41
13. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1998 42
14. Analisa Perhitungan Curah Hujan Rancangan di DAS Ciberang 43
15. (a) Penggunaan Lahan Tahun 2000, (b) Penggunaan Lahan Tahun
2005, (c) Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan (d) Penggunaan Lahan
Tahun 2014 di DAS Ciberang 46
16. Luas Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 di DAS
Ciberang 47
17. Diagram Setiap Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciberang 54
18. Peta Prediksi Setiap Penggunaan Lahan Tahun 2028 55
19. (a) Skenario ke-1 Penggunaan Lahan Aktual DAS Ciberang Tahun
2014, (b) Skenario ke-2 Prediksi Penggunaan Lahan DAS Ciberang
Tahun 2028, (c) Skenario ke-3 Penggunaan Lahan Pola Ruang
RTRW dan (d) Skenario ke-4 Penggunaan Lahan pada Sinkronisasi
Pola Ruang RTRW di DAS Ciberang 57
20. Luas Penggunaan Lahan berdasarkan Skenario ke-1 sampai ke-4 di
DAS Ciberang 58
DAFTAR LAMPIRAN
1. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998 67
2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1998 67
3. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1999 68
4. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1999 68
5. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2000 69
6. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2000 69
7. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2001 70
8. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2001 70
9. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2002 71
10. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2002 71
11. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2003 72
12. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2003 72
13. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2004 73
14. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2004 73
15. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2005 74
16. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2005 74
17. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2006 75
18. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2006 75
19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2007 76
20. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2007 76
21. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2008 77
22. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2008 77
23. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2009 78
24. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2009 78
25. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2010 79
26. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2010 79
27. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2011 80
28. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2011 80
29. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2012 81
30. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2012 81
31. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2013 82
32. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013 82
33. Perhitungan Kurva Distribusi Gumbel Tipe I 83
34. Nilai Ekstrim Distribusi Gumbel Tipe I 83
35. Perhitungan Kurva Distribusi Log-Normal Dua Parameter 83
36. Nilai Ekstrim Distribusi Log-Normal Dua Parameter 84
37. Perhitungan Kurva Distribusi Log Pearson Tipe III 84
38. Nilai Ekstrim Distribusi Log Pearson Tipe III 85
39. Perhitungan Kurva Distribusi Frechet 85
40. Nilai Ekstrim Distribusi Frechet 86
41. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Gumbel Tipe I 86
42. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Gumbel Tipe I 86
43. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log Normal 87
44. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Log Normal 87
45. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log-Pearson
Tipe III 88
46. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Log Pearson Tipe III 88
47. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Frechet 88
48. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Frechet 89
49. Uji Kesesuaian Distribusi Smirnov-Kolmogorof 89
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama (Asdak 2007). Pengelolaan DAS dilaksanakan sesuai dengan rencana tata
ruang dan pola pengelolaan sumber daya air sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penataan ruang dan sumber daya air. Pengelolaan
DAS diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi terkait
pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Kegiatan
Pengelolaan DAS dilaksanakan berdasarkan Rencana Pengelolaan DAS yang
telah ditetapkan dan menjadi acuan rencana pembangunan sektor dan rencana
pembangunan wilayah administrasi. Ukuran keberhasilan pengelolaan DAS
adalah dapat dikembangkan dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan
melalui upaya Pengelolaan DAS bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.
Pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah DAS telah menunjukkan
peningkatan yang sejalan dengan pertambahan penduduk. Pemanfaatan sumber
daya alam secara kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan terjadinya
perubahan kondisi lingkungan. Akibat yang ditimbulkan oleh adanya perubahan
tersebut terjadinya penurunan kualitas lingkungan, misalnya terjadi kerusakan
lingkungan seperti adanya kejadian banjir dan kekeringan. Rencana Tata Ruang
dan Wilayah (RTRW) selayaknya disusun untuk mendukung perbaikan ataupun
mempertahankan kondisi lingkungan yang ada.
Mahkluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya
berbagai perubahan kondisi lingkungan. Makluk hidup selain manusia
menimbulkan perubahan alami, yang dicirikan oleh keseimbangan dan
keselarasan, sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk
mengubah secara berbeda karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimilikinya, bahkan seringkali perubahan tersebut merusak lingkungan.
Kondisi lingkungan dan pengelolaan sumberdaya air yang kurang baik dapat
memperbesar masalah kekeringan termasuk juga adanya alih fungsi hutan.
Kekeringan secara umum dapat terjadi karena kondisi hidrometeorologi, kondisi
geologis, kondisi geografis, kondisi vegetasi dan penggunaan lahan, juga
pengelolaan sumberdaya air. Berbagai dampak permasalahan akibat kekeringan
dapat terjadi di berbagai sektor antara lain: pertanian, rumah tangga, industri,
perkotaan, perubahan kondisi ekologi dan sebagainya.
Perubahan penggunaan lahan untuk keperluan pembangunan merupakan
salah satu faktor yang paling berpengaruh pada perubahan lingkungan secara
global. Tingkat perubahan penutupan lahan diperkirakan akan meningkat secara
nyata dalam beberapa dekade mendatang sebagai akibat dari pertumbuhan
penduduk (Ojima et al. 1994 dalam Hutyra et al. 2011).
FAO (2001) mencatat bahwa setiap tahunnya 0,38 % lahan hutan di seluruh
dunia terkonversi menjadi penggunaan lain. Sementara itu, Kemenhut (2012)
menyatakan bahwa angka deforestasi di Indonesia pada tahun 2011 mencapai
832.126 ha/tahun.
2
Berdasarkan data Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman dengan curah
hujan yang relatif sama, debit di sungai pada tahun 1998-2011 rendah sedangkan
pada Tahun 2001, 2006, 2009, 2012 hingga 2013 debit di sungai tinggi berakibat
banjir di hilir Sungai Ciberang yang merendam beberapa desa di Kecamatan
Rangkasbitung (DSDAP Banten 2013).
Perubahan luas tutupan hutan di hulu DAS berpengaruh pada debit puncak
di outlet rencana Bendungan Karian dari tahun ke tahun bertambah besar. Hal
tersebut terlihat pada hasil debit observasi di sungai Ciberang. Debit puncak yang
mengakibatkan banjir sebelumnya terjadi 5 tahunan tetapi akhir-akhir ini menjadi
banjir tahunan, sedangkan perubahan curah hujan dari tahun 1998-2013 relatif
sama. Hal tersebut berakibat banjir di hilir Sungai Ciberang semakin sering terjadi
yang mengakibatkan beberapa desa di Kecamatan Rangkasbitung terendam
(DSDAP Banten 2013).
Kejadian banjir berulang setiap tahun berbanding lurus dengan penurunan
luas kawasan hutan yang terjadi setiap tahunnya pada DAS Ciberang. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pengurangan luas tutupan hutan di hulu DAS
mempengaruhi debit limpasan permukaan yang menyebabkan air hujan melimpas
ke sungai lebih cepat tanpa adanya penyerapan air yang maksimum di hulunya.
Menurut Hamilton dan King (1983 dalam Narendra 2012) banjir terjadi akibat
tingginya intensitas curah hujan, atau hujan berlangsung dalam waktu lama serta
tutupan lahan tidak mampu lagi menginfiltrasi air hujan secara optimal, dan
kapasitas penyimpanan tanah telah terlampaui sehingga kelebihan air melimpas ke
aliran sungai. Dengan kata lain kejadian banjir tidak sematamata hanya
dipengaruhi kondisi penggunaan lahan, tetapi juga tergantung faktor iklim dan
geologi.
Berdasarkan uraian di atas, penggunaan lahan di DAS Ciberang dalam
keadaan terganggu fungsi hidrologisnya, sehingga diperlukan perencanaan
penggunaan lahan terbaik agar peluang debit puncak dapat ditampung oleh
Bendungan Karian.
Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi hidrologis di DAS Ciberang
terganggu sehingga diperlukan perencanaan penggunaan lahan terbaik untuk debit
rancangan Bendungan Karian agar peluang debit puncak dapat ditampung oleh
Bendungan Karian. Perencanaan perubahan penggunaan lahan dalam penelitian
ini digunakan pendekatan Model CA Markov yang dapat memprediksi alih fungsi
lahan. Perencanaan penggunaan lahan tersebut perlu dibandingkan dengan RTRW
yang dianggap sebagai referensi penggunaan lahan.
Perumusan Masalah
ini berkurang maka akan terjadi kekritisan sumber daya air, peningkatan debit
banjir, dan sebaliknya, penurunan debit andalan.
Sebetulnya suatu lahan yang tidak mendapatkan gangguan / perubahan
mempunyai kemampuan untuk mengasimilasi air hujan yang jatuh pada saat
kondisi debit puncak. Namun dengan hilangnya tanaman menyebabkan
kemampuan tanah untuk menyimpan air hujan berkurang dan sebaliknya
presentase aliran permukaan meningkat. Hasilnya air yang turun ke bumi
langsung mengalir ke sungai dan berakhir di laut.
Beberapa dampak yang ditimbulkan dengan meningkatnya lahan terbangun
terhadap aliran permukaan beserta dampak selanjutnya yang mengakibatkan
volume aliran permukaan meningkat yang menyebabkan penyerapan air ke dalam
tanah berkurang sehingga cadangan air tanah berkurang, kecepatan aliran
meningkat, terjadi erosi yang menimbulkan sedimentasi di sungai dan perubahan
waktu debit puncak akibatnya berkurangnya aliran dasar (base flow) yaitu debit
air yang ada pada saat musim kering, sebagai dampak tidak adanya cadangan air
dalam tanah sedangkan pada musim hujan, banjir akan cepat terjadi karena
volume aliran permukaan meningkat.
Kajian mengenai pengaruh alih fungsi lahan terhadap perubahan waktu
debit puncak berakibat pada perbedaan debit maksimum-minimum yang tinggi
sehingga perlu dilakukan perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang
mengingat alih fungsi lahan di DAS tersebut yang cenderung mengarah kepada
terjadinya kerusakan DAS. Model CA Markov yang dapat memprediksi alih
fungsi lahan dan pengaruh terhadap respon hidrologi yang dapat digunakan untuk
ekstrapolasi berbagai skenario sistem penggunaan lahan yang akan datang.
Sehingga skenario yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengelolaan DAS
Ciberang yang lebih baik.
Oleh karena itu informasi mengenai prediksi perubahan penggunaan lahan
di masa yang akan datang sangat diperlukan untuk membuat arahan yang dapat
mendukung implementasi RTRW Kabupaten Lebak ke depan khususnya di daerah
aliran sungai. Berdasarkan hal tersebut, dirumuskan beberapa pertanyaan
penelitian mengenai perencanaan penggunaan lahan untuk debit rencana
Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak yang diharapkan akan
didapatkan solusinya dari penelitian ini, diantaranya adalah:
1. Bagaimana pola curah hujan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan
2014 ?
2. Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang tahun 2000,
2005, 2010 dan 2014 ?
3. Bagaimana penggunaan lahan tahun 2028 ?
4. Bagaimana pola penggunaan lahan terbaik agar debit puncak skenario tidak
melebihi debit rancangan Bendungan Karian ?
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Defisit air yang tercermin dari penurunan debit minimum dan peningkatan
debit maksimum Sungai Ciberang diduga disebabkan oleh perubahan penggunaan
lahan khususnya perubahan luas hutan. Perubahan penggunaan lahan khususnya
penggunaan lahan hutan menjadi non hutan akan meningkatkan aliran permukaan
dan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga sebagian besar air hujan menjadi
aliran permukaan dan terbuang ke laut. Pada saat yang sama maka jumlah air yang
masuk dan tersimpan di dalam tanah juga berkurang akibat penurunan kapasitas
infiltrasi tanah sehingga akan mengurangi jumlah aliran dasar.
Pada konteks hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan
ketersediaan air, maka penataan penggunaan lahan diharapkan dapat menurunkan
aliran permukaan dan meningkatkan jumlah air hujan yang masuk dan tersimpan
di dalam tanah sehingga akan meningkatkan aliran dasar. Penurunan aliran
permukaan ini akan menurunkan debit maksimum sungai karena sebagian air
hujan tersimpan di dalam tanah dan menjadi aliran dasar atau aliran sungai.
Sehingga diharapkan distribusi bulanan aliran sungai akan relatif lebih merata.
Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang yang dikhawatirkan akan
menyebabkan defisit air yang perlu dikendalikan dan diatur berdasarkan proporsi
luas masing-masing jenis penggunaan lahan yang dapat menjamin ketersediaan air
jangka panjang. Sehingga dalam penelitian ini, model spasial perubahan
penggunaan lahan dirancang dengan pendekatan Cellular Automata (CA). Model
ini akan memprediksi debit rancangan penggunaan lahan tahun 2028.
Koefisien aliran diambil dari prediksi penggunaan lahan. Kemudian
dilakukan tahap analisis koefisien aliran dengan hubungannya terhadap perubahan
penggunaan lahan yang terjadi di DAS Ciberang. Kemudian dilakukan analisis
pengaruh perubahan lahan terhadap debit dan analisis hubungan antar jumlah
penduduk, kemiringan lereng, ketinggian, geologi dengan pola
penggunaan/penutupan lahannya dimana nilai debit puncak skenario kurang dari
debit rancangan Bendungan Karian.
Prediksi penggunaan lahan yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan
RTRW untuk menjadi dasar disusunnya arahan penggunaan lahan untuk
mendukung implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak khusus
6
Pola penggunaan lahan ke depan semakin buruk Debit puncak ke depan semakin besar dari
sehingga rasio debit maksimum / debit minimum kapasitas daya tampung
menjadi bertambah besar. Bendungan Karian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA) yang
merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam
(tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya
alam (Asdak 2007).
Lee (1998) mengatakan bahwa daerah tangkapan air meliputi semua titik
yang terletak di atas elevasi (ketinggian tempat) stasiun penakar dan di dalam
batas topografi (topographic divide) yang memisahkan daerah-daerah tangkapan
beragam cukup besar dengan komposisi dan struktur lapisan batuan di bawahnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, disebutkan bahwa Daerah
Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan sebagai satu kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungai yang berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami.
Sedangkan batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan wilayah bersifat
kompleks yang dipengaruhi oleh karakteristik fisik variabel meteorologinya.
Karakteristik fisik yang berupa pola penggunaan lahan, bentuk jaringan sungai,
kondisi tanah dan topografi yang merupakan karakteristik DAS yang sifatnya
dapat dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Sedangkan variabel meteorologi yang
meliputi curah hujan, suhu, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin
7
nilai koefisien aliran permukaan yang biasa diberi notasi C. Nilai ini merupakan
bilangan yang menyatakan perbandingan antara besarnya aliran permukaan
terhadap jumlah curah hujan. Nilai C yang kecil menunjukkan kondisi DAS yang
masih baik, sebaliknya C yang besar menunjukkan kondisi DAS yang telah rusak.
Nilai C berkisar 0-1 (Kodoatie dan Syarief 2005).
195 mm
191 mm 180 mm
180 mm 168.3 mm
195 mm
128 mm
165 mm
245.7 mm
177.6 mm
195 mm
134.9 mm
180 mm
150 mm
165 mm
150 mm
Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu
kurun waktu di mana air tersebut berkonsentrasi. Analisis intensitas curah hujan
ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau
(Loebis 1992). Untuk menentukan debit banjir rencana (design flood), perlu
didapatkan harga suatu intensitas curah hujan.
Intensitas curah hujan merupakan fungsi dari besarnya curah hujan yang
terjadi dan berbanding terbalik dengan waktu kejadiannya. Artinya besarnya curah
hujan yang terjadi akan semakin tinggi intensitasnya bila terjadi pada periode
waktu yang semakin singkat, demikian pula sebaliknya. Besarnya intensitas hujan
berbeda-beda tergantung pada lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya.
Untuk menghitung intensitas curah hujan, dapat digunakan dengan metode
Mononobe. Metode ini digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan
apabila yang tersedia adalah data curah hujan harian (Loebis 1992).
Hasil analisis berupa intensitas hujan dengan waktu konsentrasi hujan dan
periode ulang tertentu dihubungkan ke dalam kurva Intensity Duration Frequency
(IDF). Kurva IDF menggambarkan hubungan antaran dua parameter penting
hujan yaitu durasi dan intensitas hujan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk
menghitung debit puncak dengan metode rasional. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sosrodarsono dan Takeda (2006), yang mengatakan bahwa lengkung
IDF digunakan dalam menghitung debit puncak dengan metode rasional untuk
menentukan intensitas curah hujan rata-rata dari waktu konsentrasi yang terpilih.
Koefisien Limpasan
Besarnya aliran permukaan dapat menjadi kecil, terlebih bila curah hujan
tidak melebihi kapasitas infiltrasi. Selama hujan yang terjadi adalah kecil atau
sedang, aliran permukaan hanya terjadi di daerah yang impermeable dan jenuh di
dalam suatu DAS atau langsung jatuh di atas permukaan air. Apabila curah hujan
yang jatuh jumlahnya lebih besar dari jumlah air yang dibutuhkan untuk
evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi dan cadangan depresi, maka
barulah bisa terjadi aliran permukaan. Apabila hujan yang terjadi kecil, maka
hampir semua curah hujan yang jatuh terintersepsi oleh vegetasi yang lebat
(Kodoatie dan Syarief 2005).
10
Debit Rancangan
Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati
suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan
Standar Internasional (SI) besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik
per detik (m3/detik).
Teknik peggukuran debit aliran langsung di lapangan pada dasarnya dapat
dilakukan melalui empat kategori (Gordon et al. 1992 dalam Asdak 2007), yaitu:
(1) pengukuran volume air sungai; (2) pegukuran dengan cara mengukur
kecepatan aliran dan menentukan luas penampang melintang sungai; (3)
pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan
dalam aliran sungai (substance tracing method); (4) pengukuran debit dengan
membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flume
(aliran air cepat). Pengukuran debit pada kategori pertama, biasanya dilakukan
untuk keadaan aliran (sungai) lambat. Pada kategori pengukuran debit yang
kedua, yaitu pengukuran debit dengan bantuan alat ukur current meter atau sering
dikenal sebagai pengukuran debit melalui pendekatan velocity-area method paling
banyak dipraktekkan dan berlaku untuk kebanyakan aliran sungai. Pengukuran
debit dengan menggunakan bahan-bahan kimia, pewarna, atau radioaktif sering
digunakan untuk jenis sungai yang aliran airnya tidak beraturan (turbulent).
Kategori pengukuran debit yang keempat, yaitu pembuatan bangunan pengukuran
debit, biasanya untuk pengukuran debit jangka panjang di stasiun-stasiun
pengamatan hidrologi. Pengukuran debit aliran yang paling sederhana dapat
dilakukan dengan metode apung (floating method). Caranya dengan menempatkan
benda yang tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu
dan mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut bergerak dari satu
titik pengamatan ke titik pengamatan lain yang telah ditentukan.
Menurut Arsyad (2010) aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke
dalam sungai dalam bentuk aliran permukaan, aliran air bawah permukaan, air
bawah tanah, dan butir-butir hujan yang langsung jatuh di permukaan sungai.
Debit aliran sungai akan naik setelah terjadi hujan yang cukup, kemudian akan
turun kembali setelah hujan selesai.
Besarnya banjir rancangan dinyatakan dalam debit banjir sungai dengan
kala ulang tertentu. Kala ulang debit adalah suatu kurun waktu berulang dimana
debit yang terjadi menyamai atau melampaui besarnya debit banjir yang
ditetapkan (banjir rancangan). Sebagai contoh adalah apabila ditetapkan banjir
rancangan dengan kala ulang T tahun, maka dapat diartikan bahwa probabilitas
kejadian debit banjir yang sama atau melampaui dan debit banjir rancangan setiap
tahunnya rata-rata adalah sebesar l/T. pernyataan tersebut dapat pula dikatakan
11
bahwa periode ulang rata-rata kejadian debit banjir sama atau melampaui debit
banjir rancangan adalah sekali setiap T tahun. (Nurrizqi dan Suyono 2012)
Pengindraan Jauh
Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan
maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar dalam citra dan menilai arti
penting obyek tersebut (Estes dan Simonett 1975 dalam Sutanto 1987). Di dalam
pengenalan obyek yang tergambar pada citra, ada rangkaian kegiatan yang
diperlukan, yaitu : deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengamatan
atas ada atau tidaknya suatu obyek pada citra. Identifikasi adalah upaya untuk
mencirikan obyek yang dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup
yaitu menggunakan unsur interpretasi citra. Pada tahap analisis dikumpulkan
keterangan lebih lanjut untuk membuat kesimpulan (Lint dan Simonett 1975
dalam Sutanto 1987).
Pengenalan obyek merupakan tahap yang sangat penting dalam interpretasi
citra, bila obyek tidak dikenal maka analisis maupun pemecahan masalah tidak
mungkin dilakukan. Tujuh unsur-unsur interpretasi citra yang dikemukakan oleh
Lillesand dan Kiefer (1990) yaitu :
1. Bentuk; ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek
demikian mencirikan sehingga citranya dapat diidentifikasi langsung hanya
berdasarkan kriteria ini.
2. Ukuran; obyek harus dipertimbangkan sehubungan dengan skala foto.
3. Pola; ialah hubungan susunan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum
tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak obyek alamiah
maupun bangunan, dan akan memberikan suatu pola yang membantu penafsir
untuk mengenali obyek tersebut.
4. Bayangan; penting bagi penafsir dalam dua hal yang bertentangan, yaitu:
Bentuk atau kerangka bayangan dapat memberikan gambaran profil suatu
obyek (dapat membantu interpretasi).
Obyek di bawah bayangan hanya dapat memantulkan sedikit cahaya dan
sukar diamati pada foto (menghalangi interpretasi).
5. Rona; ialah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto.
6. Tekstur; adalah frekuensi perubahan rona pada citra fotografi. Tekstur
dihasilkan oleh kumpulan unit kenampakan yang mungkin terlalu kecil
apabila dibedakan secara individual, seperti daun tumbuhan dan
bayangannya.
7. Situs atau lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek yang lain, dapat
sangat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek.
Kemudian Avery (1992) memberikan penambahan karakteristik asosiasi
yang menunjukkan keterkaitan suatu obyek tehadap lokasi dimana obyek tersebut
ditemukan.
Penggunaan Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia,
baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai,
13
penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi
garam (Hardjowigeno 1993).
Pengertian tentang penutupan dan penggunaan lahan penting untuk berbagai
kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan permukaan
bumi. Penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di
permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan
manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesand dan Kiefer 1990).
Sistem penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan
lahan pertanian antara lain sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, padang
rumput, hutan dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian antara lain
penggunaan lahan pemukiman, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya
(Arsyad 2010).
Banyak ahli yang mendefnisikan mengenai SIG, namun jika hal tersebut
dirangkum, maka pada intinya SIG merupakan sebuah sistem untuk memasukkan,
mengelola, menyimpan, memproses, menganalisis dan menyajikan data yang
terkait dengan permukaan bumi (Barus dan Wiradisastra 2000). Sebagai suatu
sistem, SIG mempunyai banyak elemen penyusun, dan antar elemen tersebut
saling berhubungan dan bekerjasama untuk melakukan suatu proses atau kegiatan.
Sebagai Sistem informasi, SIG terbentuk dalam suatu jaringan antara perangkat
keras dan lunak yang dapat menjalankan operasi-operasi mulai dari pemasukan,
pengolahan, penyimpanan hingga ke penyajian hasilnya. Kegiatan-kegiatan
tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk mendapatkan
informasi dalam rangka pengambilan keputusan. Kata Geografi menunjukkan
bahwa data yang digunakan serta hasil pengolahannya mempunyai referensi
spasial dipermukaan bumi atau mempunyai koordinat geografi.
Dalam SIG, data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format: yaitu
data vektor dan data raster. Dalam data vektor, bumi direpresentasikan sebagai
suatu mosaik dari garis (arc/line), polygon (daerah yang dibatasi garis yang
berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik/poin (node yang mempunyai
label), dan nodes (titik perpotongan antara dua buah garis). Data raster merupakan
data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jarak jauh. Pada data raster, objek
geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut pixel (picture
element). Pada data raster, resolusi (definisi visual) tergantung pada ukuran
pixelnya.
Masing-masing format data memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan
format data sangat tergantung pada tujuan penggunaan, data yang tersedia,
volume data yang dihasilkan, ketelitian yang diinginkan, dan kemudahan dalam
analisa. Data vektor relatif lebih ekonomis dalam hal ukuran file dan presisi dalam
15
3 METODE
Lokasi Penelitian
Daerah Aliran Sungai Ciberang secara geografis terletak pada 6º 23' 55.95"
- 6º 43' 18.92" LS dan 106º 17' 13.29" - 106º 29' 4.81" BT, dan termasuk dalam
zona 48S UTM. DAS Ciberang dengan Outlet Bendungan Karian memiliki luas
sebesar 282.87 km². Keadaan topografi didominasi dengan pegunungan pada
wilayah timur dan dataran rendah pada wilayah barat dengan puncaknya Gunung
Halimun di ujung tenggara, yakni di perbatasan dengan Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Sukabumi.
Adapun batas-batas DAS Ciberang adalah Wilayah Utara meliputi Desa
Rangkasbitung Timur, wilayah selatan meliputi Desa Kujangsari, Desa Situmulya,
dan Desa Sirnagalih, wilayah barat meliputi Kecamatan Cimarga, dan Kecamatan
Muncang, sedangkan wilayah timur meliputi Desa Jasinga dan Desa Cigudeg.
DAS Ciberang terletak dalam wilayah administrasi Kabupaten Lebak
Provinsi Banten dan Kabupaten Bogor di Provinsi Jawa Barat. Secara
kewilayahan administrasi pemerintahan di Kabupaten Lebak yang meliputi
Kecamatan Rangkasbitung, Maja, Cimarga, Sajira, Muncang, Cipanas, sedangkan
di Kabupaten Bogor meliputi Jasinga, dan Cigudeg. Luas wilayah penelitian di
DAS Ciberang yang sebagian besar merupakan Kabupaten Lebak Provinsi Banten
yaitu 193.18 km2 dan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat yaitu 89.7 km2. Peta
lokasi penelitian dengan Outlet Bendungan Karian disajikan pada Gambar 3.
17
Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari data spasial, data numerik data
lapangan dan pendukung. Data spasial antara lain berupa peta rupa bumi dijital
yang diproduksi oleh BIG; peta ikonos tahun 2010 dari Kementrian Pertanian;
citra Landsat tahun 2000, 2005, 2010, dan 2014; peta Pola Ruang RTRW
dikeluarkan Bappeda Kabupaten Lebak dan Kabupaten Bogor. Sedangkan data
numerik meliputi data debit sungai Ciberang, kapasitas daya tampung Bendungan
Karian dan data curah hujan di pos pencatat hujan Pasir Ona, Cimarga, Cisalak
Baru, Ciminyak/Cilaki, Sajira, Banjar Irigasi, Cikasungka, dan Pasir Jaya pada
periode tahun 1998-2013 yang diperoleh dari Dinas Sumber Daya Air dan
Permukiman Provinsi Banten juga Balai Hidrologi dan Tata Air Puslitbang
Sumber Daya Air.
Peralatan yang digunakan terdiri dari seperangkat computer yang dilengkapi
dengan perangkat lunak ArcGIS 10.1, Idrisi Selva, dan Microsoft Office 2013,
Global Positioning System (GPS), printer, kamera dan alat-alat tulis.
Mengacu pada permasalahan, tujuan serta studi pustaka yang telah dikaji,
selanjutnya menyusun rancangan penelitian yang mencakup langkah-langkah
kegiatan yang perlu diambil dalam penelitian ini, secara garis besar adalah:
1. Survei lapangan, untuk mendalami dan mengetahui kondisi yang nyata di
lapangan mengenai penggunaan lahan di beberapa lokasi penelitian yang tidak
dapat dilihat oleh citra landsat dan google earth.
2. Studi literatur, mandalami dan mengkaji teori yang menyangkut permasalahan
dalam penelitian yakni penggunaan lahan dan dampak penggunaan lahan
terhadap debit serta langkah-langkah atau metode penelitian yang perlu
diambil.
3. Pengumpulan data, menginventarisasi data yang diperlukan sesuai tujuan yang
ingin dicapai termasuk menentukan cakupan wilayah, periode data dan sumber
perolehan data.
4. Pengelolaan data, mengolah data yang dikumpulkan dengen beberapa metode
pendekatan sebagai bahan kajian atau pembahasan.
5. Pembahasan hasil penelitian.
6. Penyusunan laporan.
Jenis data dan sumber data yang diperlukan berdasarkan tujuan penelitian
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Matriks Data dan Metode Analisa yang Digunakan dalam Penelitian
No Tujuan Data Sumber Metode Analisis Output
1 Mengkaji pola - Data hujan tahun 1998- Dinas Sumber - Analisa metode - Curah hujan wilayah
hujan di DAS 2013 Daya Air dan interpolasi
Ciberang Permukiman 1 n P Pi 1
Provinsi Banten P Ai i
A i 1 2
- Analisis Distribusi - Curah hujan
- Curah hujan wilayah
Frekwensi rancangan
- Analisis metode - Intensitas hujan
- Curah hujan rancangan
mononobe
2
R 24
3
IT T
24 Tc
2 Mengkaji - Citra landsat 2000, 2005, USGS.gov - Interpretasi citra dengan - Peta penggunaan
penggunaan lahan 2010, 2014 metode visual lahan
- Peta penggunaan lahan - Analisis Markov dalam - Matrik probabilitas /
Idrisi Selva area transisi
3 Memprediksi Penggunaan lahan tahun Keluaran tujuan Celullar Automata-Markov Peta prediksi
penggunaan lahan 2000, 2005, 2010, 2014 2 (CA-Markov) dalam Idrisi penggunaan lahan
tahun 2028 di DAS dan Matrik probabilitas / Selva tahun 2028
Ciberang area transisi
4 Menyusun arahan - Intensitas hujan Keluaran tujuan - Analisa debit rencana Debit puncak skenario
penggunaan lahan - Penggunaan lahan tahun 1, 2 dan 3, metode rational
agar debit puncak 2014, 2028, pola ruang Bappeda di ke-2 Q = 0.278 C * IT * A
skenario tidak RTRW Kabupaten dan
melebihi debit - Kapasitas daya tampung BBWS C3 Arahan Kebijakan
rancangan Bendungan Karian Penggunaan Lahan
Bendungan Karian
19
Data Hujan Citra Landsat Citra Landsat Citra Landsat Citra Landsat
`
Tahun 2000 `
Tahun 2005 `
Tahun 2010 `
Tahun 2014
1998-2013
dimana :
X = hujan rencana dengan periode ulang T tahun (mm).
X = nilai rata-rata hitung data X
Sx = simpangan baku data X
K = faktor frekuensi
YT = nilai reduksi data variabel diharapkan terjadi periode ulang tertentu
Yn = nilai rata-rata dari reduksi data, nilainya tergantung dari jumlah data
(n) dan dapat dilihat pada Tabel 3
Sn = deviasi standar dari reduksi data, nilainya tergantung dari jumlah data
(n) dan dapat dilihat pada Tabel 3
Metode Log-Normal
Rumus yang digunakan dalam perhitungan dengan metode ini mempunyai
persamaan transformasi:
Log X = log X k.S log X
dimana :
Log X = nilai logaritma data X yang diharapkan terjadi pada peluang atau
periode ulang tertentu
LogX = rata-rata nilai logaritma data X hasil pengamatan
S log X = deviasi standar logaritma nilai X hasil pengamatan
K = karakteristik distribusi log normal. Nilai k diperoleh dari tabel yang
merupakan fungsi peluang kumulatif dan periode ulang, (Tabel 4)
CS = koefisien kemencengan
= 3 CV + CV3
CK = koefisien kurtosis
= CV8 + 6CV6 + 15CV4 + 16CV2 + 3
CV = koefisien variasi
=
= deviasi standar populasi ln X atau log X
= rata-rata hitung populasi ln X atau log X
s
n 1
dimana :
S = standar deviasi.
Xi = titik tengah tiap interval kelas (mm).
Xrt = rata-rata hitungan (mm).
n = jumlah kelas.
Hitung koefisien kemencengan (Cs):
n n Log Xi LogX rt 3
0,5
Cs i
n 1n 2S 3
dimana :
Cs = koefisien kemencengan.
S = standar deviasi.
Xi = titik tengah tiap interval kelas (mm).
Xrt = rata-rata hitungan (mm).
n = jumlah kelas.
Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan rumus :
Log Xi = Log Xrt + k.s
dimana : (Suripin 2002).
S = standar deviasi.
Xi = titik tengah tiap interval kelas (mm).
Xrt = rata-rata hitungan (mm).
k = variabel standar (standarized variable) tergantung Cs, dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Faktor Frekuensi untuk Distribusi Log Pearson Type III dengan
Koefisien Asimetri (Cs) Negatif
Recurrence Interval In Years
Skew Kala Ulang (Tahun)
Coefficient 1.010 1.053 1.111 1.250 2 5 10 25 50 100 200
CS Percent Chance
99 95 90 80 50 20 10 4 2 1 0.5
1 -1.588 -1.317 -1.128 -0.852 -0.164 0.758 1.340 2.043 2.542 3.022 3.489
0.9 -1.660 -1.353 -1.147 -0.854 -0.148 0.769 1.339 2.018 2.498 2.957 3.401
0.8 -1.733 -1.388 -1.166 -0.856 -0.132 0.780 1.336 1.993 2.453 2.891 3.312
0.7 -1.806 -1.423 -1.183 -0.857 -0.116 0.790 1.333 1.967 2.407 2.824 3.223
0.6 -1.880 -1.458 -1.200 -0.857 -0.099 0.800 1.328 1.939 2.359 2.755 3.132
0.5 -1.955 -1.491 -1.216 -0.856 -0.083 0.808 1.323 1.910 2.311 2.686 3.041
0.4 -2.029 -1.524 -1.231 -0.855 -0.066 0.816 1.317 1.880 2.261 2.615 2.949
0.3 -2.104 -1.555 -1.245 -0.853 -0.050 0.824 1.309 1.849 2.211 2.544 2.856
0.2 -2.175 -1.586 -1.258 -0.850 -0.033 0.830 1.301 1.818 2.159 2.472 2.763
0.1 -2.252 -1.616 -1.270 -0.846 -0.017 0.836 1.292 1.785 2.107 2.400 2.670
0 -2.326 -1.645 -1.282 -0.842 0.000 0.842 1.282 1.751 2.054 2.326 2.576
24
Distribusi Frechet
Distribusi Frechet disebut juga distribusi ekstrem tipe II atau Gumbel tipe II,
dapat digunakan untuk analisis distribusi dari data hidrologi dengan nilai
ekstrem, peluang kumulatif distribusi Frechet dapat ditulis sebagai persamaan
berikut:
Y = a (log X – X0)
Parameter a dan X0 dihitung dengan persamaan berikut:
1
a = 1,282
S log X
X0
= log X 0,445 S log X
Keterangan:
LogX = rata-rata nilai logaritma data X hasil pengamatan
S log X = deviasi standar logaritma nilai X hasil pengamatan
Y = nilai variabel reduksi Gumbel (Tabel 6)
lingkungan area tangkapannya, terutama dari segi kemiringan lahan, jenis tanah
dan tingkat jenuh tanah terhadap air. Debit sungai dipengaruhi oleh tiga hal
penting yaitu luas lahan, intensitas hujan dan koefisien aliran permukaan. Dimana
faktor luas lahan dan koefisien aliran permukaan sangat erat sekali hubungannya
dengan penggunaan lahan.
Berdasarkan SNI-03-2415-1991, metode Rasional digunakan untuk
mengestimasi besarnya limpasan permukaan yang dihasilkan pada kondisi DAS
saat ini dan digunakan untuk memperkirakan debit banjir rancangan untuk Daerah
Aliran Sungai (DAS) yang luasnya lebih dari 100 km 2. Luas keseluruhan DAS
Ciberang adalah 282.86 km², sehingga masih memenuhi persyaratan batasan luas
DAS yang ditetapkan. Persamaan matematikanya adalah :
QT = 0.278 * C * IT * A
dimana,
QT = debit banjir rencana periode ulang T (m3/dt)
C = koefesien limpasan air hujan tergantung kepada karakteristik penggunaan
lahan daerah tangkapan air (Tabel 8)
IT = intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
A = luas daerah aliran (km2)
Koefisien limpasan merupakan indikator apakah suatu DAS telah
mengalami gangguan. Nilai C yang besar menunjukkan bahwa banyak air hujan
yang menjadi limpasan. Nilai tersebut merupakan bilangan yang menunjukkan
perbandingan besarnya air limpasan permukaan terhadap besarnya curah hujan.
Misal 0.1 maka artinya 10% dari total curah hujan akan menjadi aliran
permukaan. Nilai koefsien ini berkisar antara 0-1. angka nol menunjukkan bahwa
semua air hujan terdistribusi menjadi air intersepsi dan terutama infiltrasi. Angka
satu menunjukkan semua air hujan yang jatuh mengalir sebagai aliran permukaan.
Koefisien lipasan permukaan pada kajian ini dihitung berdasarkan
karakteristik penggunaan lahan daerah tangkapan air dapat dilihat pada Tabel 8.
Koefisien tersebut akan digunakan untuk menghitung debit limpasan dengan
menggunakan metode rasional.
Mosaik
Mosaik merupakan suatu proses penggabungan dari dua data citra yang
terpisah. Tahap ini sangat penting untuk menampilkan visualisasi citra lokasi
penelitian secara utuh.
Cropping
Cropping atau pemotongan citra dilakukan dengan membatasi lokasi
penelitian untuk lebih memfokuskan pengamatan pada lokasi penelitian.
Interpretasi Visual Citra Satelit
Analisis visual (interpretasi secara visual citra satelit) merupakan suatu
kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi obyek-obyek yang ada di
29
permukaan bumi yang tampak pada citra dengan mengenalinya atas dasar
karakteristik spasial. Pendekatan ini melibatkan analis untuk mendapatkan
informasi yang terekam pada citra dengan cara interpretasi visual.
Keberhasilan ini sangat bergantung kepada analis di dalam mengeksploitir
secara selektif obyek-obyek yang tampak pada citra.
Beberapa tahapan yang dilaksanakan pada proses interpretasi visual citra
satelit lokasi penelitian ini adalah :
a. Deliniasi ___
b. Editing (mengidentifikasi kesalahan dan memperbaiki kesalahan)
c. Atributing ___
33 34 35 36 37 38 39 40 P2000
(P)
Hutan (H) 41 42 43 44 45 46 47 48 H2000
Tubuh Air
49 50 51 52 53 54 55 56 TA2000
(TA)
Lahan
57 58 59 60 61 62 63 64 LT2000
Terbuka (LT)
Jumlah P2010 SB2010 S2010 PLK2010 P2010 H2010 TA2010 LT2010
Geologi DAS Ciberang sesuai dengan didominasi oleh tiga formasi batuan
yaitu Formasi Bojongmanik Anggota Batulempung (17.3%), Genteng (18%) dan
Batuan Gunungapi Tak Terpisahkan/Batuan Gunungapi Endut (51.85%). Batuan
Gunungapi Tak Terpisahkan/Batuan Gunungapi Endut berasal dari Breksi dan
aliran lava, terutama andesit berumur Plistosen. Formasi Genteng berasal dari Tuf
berbatuapung, konglomerat dan breksi andesitik berumur pliosen. Sedangkan
Formasi Bojongmanik Anggota Batulempung berasal dari Sedimen klastika halus
dengan sisipan tipis lignit berumur miosen.
bagian hulu berlembah sempit berbentuk V dengan tebing curam, pada beberapa
hulu sungai terdapat air jeram dengan sungai utama sebagian berkelok-kelok dan
cukup lebar. Dataran rendah terdapat di sepanjang bagian utara yakni di
Kecamatan Rangkasbitung dan menyebar sekitar Kecamatan Cimarga sampai
Sajira.
menyebar pada lahan yang sangat landai hingga agak curam. Lahan dengan
elevasi 100 – 200 m dengan morfologi berupa perbukitan rendah sebesar 15.7%
yang menyebar pada lahan yang sangat landai hingga landai. Lahan dengan
elevasi 800 – 1200 m dengan morfologi berupa perbukitan tinggi sebesar 11.3%
yang menyebar pada lahan yang curam hingga agak curam. Lahan dengan elevasi
1200 – 1500 m dengan morfologi berupa perbukitan tinggi sebesar 7.6% yang
menyebar pada lahan yang curam hingga sangat curam. Sedangkan lahan dengan
elevasi 1500 – 1900 m dengan morfologi berupa pegunungan sebesar 4.1% yang
menyebar pada lahan yang curam hingga sangat curam.
Tabel 16. Penggunaan Lahan Berdasarkan Pola Ruang RTRW DAS Ciberang
(Skenario 3)
Penggunaan Lahan Area (km2) %
Minapolitan 0.7 0.2
Kawasan Pelestarian Alam (TNGHS) 60.3 21.3
Rawan Longsor 2.5 0.9
Sempadan Mata Air 0.8 0.3
Sempadan Sungai 22.2 7.9
Genangan Dam Karian 22.7 8.0
Pertanian Pangan Lahan Basah 7.0 2.5
Pertanian Pangan Lahan Kering 6.8 2.4
Hutan Produksi Terbatas 54.7 19.3
Kawasan Resapan Air 7.9 2.8
Permukiman Perkotaan 9.1 3.2
Permukimana Pedesaan 5.4 1.9
Perkebunan 31.3 11.1
Hutan Konservasi 35.8 12.7
Tanaman Tahunan 13.7 4.8
Lahan Basah 2.0 0.7
Jumlah 282.9 100.0
Kependudukan
Penduduk sebagai salah satu komponen dalam suatu sistem wilayah
memiliki peranan yang penting sebagai subyek pelaku perubahan pemanfaatan
ruang melalui berbagai kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain sebagai pelaku perubahan ruang, penduduk juga merupakan pihak yang
akan memperoleh manfaat dari upaya-upaya penataan ruang. Dengan demikian
dinamika kependudukan memiliki peranan yang penting sebagai obyek maupun
dalam dinamika perkembangan suatu wilayah.
Sebagai subyek pembangunan, potensi sumber daya manusia digunakan
sebagai ujung tombak untuk mempercepat peningkatan ke arah kehidupan yang
lebih baik. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia, semakin cepat pulalah
proses peningkatan itu terjadi. Sedangkan sebagai obyek pembangunan, sumber
daya manusia perlu mendapat perhatian, karena pembangunan yang hanya
bertujuan fisik saja, tanpa diiringi dengan mempersiapkan perangkat
pendukungnya, hanya akan menimbulkan kesenjangan dalam kemajuan.
Jumlah penduduk di DAS Ciberang tahun 2012 berdasarkan data Lebak
Dalam Angka Tahun 2013 yaitu sebanyak 417,766 jiwa. Jumlah tersebut
mengalami penurunan sebesar 14,569 jiwa dari tahun sebelumnya yaitu 432,335
jiwa (Bappeda Kabupaten Lebak 2013). Penduduk di DAS Ciberang tersebar di 9
kecamatan, yakni 6 kecamatan di Provinsi Banten dan 2 kecamatan di Provinsi
Jawa Barat.
Ditinjau dari Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di DAS Ciberang dari
tahun ke tahun menunjukkan angka yang relatif menurun. Pada periode 2006-
2013, LPP di DAS Ciberang mengalami kenaikan sebesar 0.45%. Kondisi
tersebut menunjukkan upaya pengendalian penduduk di DAS Ciberang relatif
cukup baik. Walaupun rata-rata petumbuhannya masih di bawah rata-rata
nasional, namun demikian tetap harus dilakukan peningkatan upaya untuk
mengendalikan laju pertumbuhan penduduk.
Tahun 2012, jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Rangkasbitung,
yang merupakan Ibukota Kabupaten Lebak sebesar 120,116 jiwa atau sekitar 28.8
%, sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terendah adalah Kecamatan
Muncang dengan jumlah penduduk 32,535 jiwa atau sekitar 7.8 % dari total
penduduk di DAS Ciberang sebagaimana terlihat pada Gambar 11 dan Tabel 17.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian di wilayah DAS Ciberang didominasi aktivitas kebun
campuran dan pertanian, dengan luas lahan kebun campuran 45.53% dari luas
DAS Ciberang sedangkan pertanian 16.98% dari luas DAS Ciberang, selain itu
didukung pula oleh komposisi penduduk yang mayoritas bekerja di sektor
pertanian. Terbukti bahwa hingga tahun 2012, penduduk yang bekerja di sektor ini
yakni petani dan buruh tani mencapai 71,58%. Sementara sektor perdagangan,
industri, PNS/TNI/POLRI, dan lainnya dijadikan tumpuan harapan hidup oleh
28.42% jumlah penduduk di DAS Ciberang sebagaimana terlihat pada Tabel 18
dan Gambar 12 (Bappeda Kabupaten Lebak 2013).
Tabel 19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998
Curah Hujan (mm) Luas
No Volume Hujan
Pi Pi+1 (km2)
1 180 195 6.99 1,311.19
2 180 195 0.66 124.20
3 180 195 12.76 2,392.37
4 195 210 39.40 7,978.13
5 210 225 4.64 1,010.01
6 225 240 5.49 1,276.37
7 285 300 44.25 12,944.42
8 315 330 9.02 2,908.09
9 300 315 23.77 7,309.10
10 240 255 18.94 4,687.43
11 270 285 47.97 13,311.06
12 240 255 3.43 849.34
13 255 270 65.54 17,204.02
Jumlah 282.87 73,305.72
42
Analisis curah hujan wilayah diambil dari data hujan harian di setiap pos
hujan. Data hujan harian diambil dari hujan yang paling besar di tahun 1998,
kemudian di hari dan tanggal yang sama hujan yang terjadi pada stasiun hujan
yang lain diambil untuk kemudian dianalisis interpolasi dan mendapatkan peta
zonasi hujan pada tahun tersebut. Hasil analisis hujan harian maksimal tahunan
(P) pada contoh tahun 1998 adalah jumlah volume hujan dibagi jumlah luas
wilayah, maka hasilnya sebesar 259.2 mm. Analisis curah hujan Wilayah DAS
Ciberang pada tahun selanjutnya disajikan pada Tabel 20.
195 mm
195 mm
195 mm
210 mm
225 mm
255 mm
240 mm 285 mm
300 mm
315 mm
285 mm
255 mm
270 mm
255 mm
Tabel 20. Curah Hujan Wilayah Harian Maksimum Tahunan di DAS Ciberang
No. Tahun P (mm)
1 1998 259.2
2 1999 176.6
3 2000 140.7
4 2001 197.0
5 2002 148.1
6 2003 178.6
7 2004 225.3
8 2005 198.3
9 2006 154.0
10 2007 154.1
11 2008 188.4
12 2009 209.3
13 2010 193.5
14 2011 166.7
15 2012 168.8
16 2013 172.2
43
800
700
CH. Rancangan (mm)
600
500
400
300
200
100
0
1.25 2 5 10 20 25 50 100 500 1000
Gumbel Tipe I 153.62 178.72 212.49 234.85 257.06 263.71 284.37 305.02 352.98 373.64
Log Normal 175.83 182.34 210.87 227.87 243.11 246.13 261.75 276.33 426.38 733.26
Log-Pearson 158.16 181.47 210.46 228.40 242.64 250.09 265.69 280.89 345.82 448.48
Frechet 159.12 177.95 207.15 228.55 251.48 256.71 284.54 312.27 386.72 423.84
distribusi tiap metode dapat dilihat pada Lampiran 41-49, sedangkan rekap hasil
analisis uji disajikan pada Tabel 22.
Berdasarkan hasil interpretasi citra secara visual dan cek lapang, DAS
Ciberang memiliki 8 penggunaan lahan yaitu permukiman, semak belukar, sawah,
pertanian lahan kering, perkebunan, hutan, tubuh air, dan tanah terbuka. Peta
penggunaan lahan tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 dapat dilihat pada Gambar
15.
Hasil klasifikasi citra secara visual penggunaan lahan dari tahun ke tahun
secara spasial dilihat pada Gambar 15. Secara visual dapat ditunjukkan bahwa
daerah yang berwarna hijau tua mewakili kelas hutan. Penggunaan lahan hutan
terus menurun dari tahun 2000 sampai tahun 2014. Penggunaan lahan hutan di
hulu das masuk kawasan pelestarian alam Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGHS).
Daerah yang berwarna merah muda adalah pertanian lahan kering.
Penggunaan lahan tersebut mendominasi DAS Ciberang dari tahun 2000 sampai
45
2014. Sama halnya dengan daerah yang berwarna kuning dengan kelas
penggunaan lahan sawah. Penggunaan lahan sawah yang merupakan tertinggi
ketiga setelah pertanian lahan kering terus meningkat sampai tahun 2014. Luas
sawah terlihat menyebar di seluruh DAS Ciberang hingga di zona konservasi
kawasan pelestarian alam TNGHS.
Penggunaan lahan perkebunan ditandai dengan warna hijau muda, dimana
penggunaan lahannya semakin luas sampai tahun 2014. Perkebunan yang letaknya
berada di hulu dan tengah DAS Ciberang penyebarannya berkelompok dengan
luasan yang besar. Jenis tanaman perkebunan di DAS Ciberang didominasi oleh
perkebunan kelapa sawit, kemudian sengon, jabon, dan duren.
Daerah yang berwarna merah yang mewakili penggunaan lahanpermukiman
terlihat semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini mengindikasikan adanya
perubahan kelas dari tutupan lahan lain menjadi lahan terbangun karena
peningkatan jumlah penduduk di DAS Ciberang. Penyebaran kawasan
pemukiman rata-rata terletak di pusat kecamatan, desa atau sepanjang jalan raya
dan sepanjang alur sungai.
Kelas penggunaan lahan semak belukar ditandai dengan warna coklat, tubuh
air dengan warna biru dan tanah terbuka berwarna krem. Perubahan lahan ketiga
luasan penggunaan lahan tersebut relatif kecil. Luasan ketiga penggunaan lahan
tersebut sangat kecil dan menyebar di DAS Ciberang sehingga tidak terlihat pada
Gambar 15.
Luas penggunaan lahan hasil klasifikasi citra tahun 2000, 2005, 2010 dan
2014 dapat dilihat pada Gambar 15 dan Tabel 23, sedangkan luas perubahannya
dapat dilihat pada Tabel 24. Hasil analisis citra yang berisi luas tiap-tiap kelas
tutupan lahan DAS Ciberang menunjukan bahwa penggunaan lahan di ke-4 titik
tahun didominasi oleh pertanian lahan kering, hutan, sawah, perkebunan dan
pemukiman. Sawah pada tahun 2000/2014 mengalami kenaikan sebesar 3.8%.
Begitu pula pemukiman, pertanian lahan kering dan perkebunan mengalami
kenaikan berturut-turut seluas 1.9, 1.7 dan 1.2%. Hal tersebut terjadi karena
meningkatnya kebutuhan bahan pangan akibat penambahan jumlah penduduk,
juga peningkatan luas perkebunan seperti kelapa sawit.
Luas hutan pada tahun 2000/2014 mengalami penurunan sebesar 8.1% atau
seluas 23 km2. Penggunaan lahan pada hutan dari tahun ke tahun semakin
menurun. Penurunan luas lahan tersebut disebabkan oleh kenaikan luas
penggunaan lahan pertanian lahan kering, sawah, pemukiman dan perkebunan.
Diagram luas penggunaan lahan tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 disajikan pada
Gambar 16.
46
Gambar 15 (a) Penggunaan Lahan Tahun 2000, (b) Penggunaan Lahan Tahun
2005, (c) Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan (d) Penggunaan Lahan
Tahun 2014 di DAS Ciberang
47
Tabel 24. Perubahan Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Tahun 2000-2014
2000 - 2005 2005 - 2010 2010 - 2014 2000 - 2010 2000 - 2014 2005 - 2014
Penggunaan
Lahan km2 % km2 % km2 % km2 % km2 % km2 %
Permukiman 0.6 0.2 0.4 0.1 4.3 1.5 1.0 0.4 5.3 1.9 4.6 1.6
Semak Belukar -0.8 -0.3 -0.3 -0.1 0.1 0.0 -1.2 -0.4 -1.1 -0.4 -0.2 -0.1
Sawah -0.7 -0.3 9.2 3.3 2.1 0.7 8.5 3.0 10.6 3.8 11.3 4.0
Pertanian
5.7 2.0 1.1 0.4 -2.1 -0.8 6.8 2.4 4.7 1.7 -1.0 -0.4
Lahan Kering
Perkebunan 0.3 0.1 1.8 0.6 1.3 0.5 2.1 0.7 3.4 1.2 3.1 1.1
Hutan -4.9 -1.7 -12.4 -4.4 -5.6 -2.0 -17.3 -6.1 -23.0 -8.1 -18.1 -6.4
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.0 0.2 0.1 0.0 0.0 0.2 0.1 0.2 0.1
Tanah Terbuka -0.2 -0.1 0.2 0.1 -0.2 -0.1 0.0 0.0 -0.1 -0.1 0.0 0.0
Gambar 16. Luas Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 di DAS
Ciberang
48
Pertanian
0.0 0.5 0.6 88.3 0.2 0.1 0.0 0.0 89.6
Lahan Kering
Sawah 0.0 0.2 0.0 0.9 36.0 0.1 0.0 0.0 37.2
Semak
0.0 0.2 0.0 0.8 0.1 6.0 0.0 0.0 7.1
Belukar
Tanah
0.0 0.0 0.0 0.1 0.0 0.1 0.3 0.0 0.5
Terbuka
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 3.2 3.2
Jumlah 121.1 8.7 11.5 95.3 36.4 6.2 0.4 3.2 282.9
50
Pertanian
0.0 0.5 2.2 86.6 5.8 0.1 0.2 0.0 95.3
Lahan Kering
Sawah 0.0 0.2 0.1 0.7 35.3 0.2 0.0 0.0 36.4
Semak Belukar 0.0 0.1 0.0 0.2 0.6 5.2 0.1 0.0 6.2
Tanah Terbuka 0.0 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.2 0.0 0.4
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 3.2 3.2
Jumlah 108.5 9.2 13.3 96.6 45.7 5.9 0.6 3.2 282.9
Pertanian
0.0 2.1 1.5 83.9 8.2 0.2 0.5 0.0 96.4
Lahan Kering
Sawah 0.0 2.2 1.6 4.8 35.9 1.3 0.0 0.0 45.7
Semak Belukar 0.0 0.5 0.1 0.2 0.5 4.5 0.0 0.0 5.9
Tanah Terbuka 0.0 0.1 0.0 0.2 0.1 0.0 0.1 0.0 0.6
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.5 0.2 0.0 0.0 2.3 3.2
Jumlah 101.2 14.1 15.7 94.5 48.0 6.4 0.7 2.4 282.9
Pertanian
0.0 2.1 3.3 77.9 11.5 0.3 0.2 0.0 95.3
Lahan Kering
Sawah 0.0 1.3 0.5 3.2 30.8 0.6 0.0 0.0 36.4
Semak Belukar 0.0 0.7 0.1 0.3 0.7 4.3 0.0 0.0 6.2
Tanah Terbuka 0.0 0.2 0.0 0.1 0.0 0.0 0.1 0.0 0.4
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.4 0.4 0.0 0.0 2.4 3.2
Jumlah 102.2 13.4 14.6 94.8 48.8 6.0 0.4 2.7 282.9
52
Pertanian
0.0 0.4 2.0 81.9 5.2 0.1 0.1 0.0 89.6
Lahan Kering
Sawah 0.0 0.4 0.1 0.9 35.5 0.2 0.0 0.0 37.2
Semak Belukar 0.0 0.3 0.0 0.7 0.8 5.2 0.0 0.0 7.1
Tanah Terbuka 0.0 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.4 0.0 0.5
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 3.2 3.2
Jumlah 108.7 9.1 13.0 96.4 46.0 5.9 0.6 3.2 282.9
Pertanian
0.0 2.2 3.3 73.3 10.1 0.5 0.2 0.0 89.6
Lahan Kering
Sawah 0.0 1.4 0.3 3.8 31.0 0.7 0.0 0.0 37.2
Semak Belukar 0.0 1.0 0.1 0.8 0.9 4.2 0.0 0.0 7.1
Tanah Terbuka 0.0 0.2 0.0 0.1 0.0 0.0 0.1 0.0 0.5
Tubuh Air 0.0 0.0 0.0 0.5 0.2 0.0 0.0 2.3 3.2
Jumlah 102.4 13.4 14.3 95.3 48.1 6.3 0.6 2.4 282.9
Tabel 32. Luas Prediksi Setiap Penggunaan Lahan Tahun 2028 di DAS Ciberang
Luas
Penggunaan Lahan
km2 %
Permukiman 13.0 4.6
Semak Belukar 6.0 2.1
Sawah 47.8 16.9
Pertanian Lahan Kering 94.3 33.3
Perkebunan 14.3 5.1
Hutan 103.6 36.6
Tubuh Air 3.4 1.2
Jumlah 282.87 100.0
skenario ke-2, pola ruang RTRW sebagai skenario ke-3 dan skenario ke-4
penyesuaian penggunaan lahan ekisting pada pola ruang yang kemudian
dibandingkan dengan debit rancangan Bendungan Karian untuk mendapatkan pola
penggunaan lahan terbaik di DAS Ciberang. Analisis perubahan penggunaan
lahan terhadap debit rancangan dilakukan dengan persamaan seperti berikut:
Gambar 19. (a) Skenario ke-1 Penggunaan Lahan Aktual DAS Ciberang Tahun
2014, (b) Skenario ke-2 Prediksi Penggunaan Lahan DAS Ciberang
Tahun 2028, (c) Skenario ke-3 Penggunaan Lahan Pola Ruang
RTRW dan (d) Skenario ke-4 Penggunaan Lahan pada Sinkronisasi
Pola Ruang RTRW di DAS Ciberang
dengan penambahan debit aliran permukaan karena koefisien terbobot pada aliran
limpasan menjadi lebih besar. Perubahan yang sama terjadi pada skenario ke-3
pola ruang RTRW menjadi skenario ke-4. Skenario ke-4 merupakan sinkronisasi
pola ruang RTRW dengan penggunaan lahan aktual dan prediksi tahun 2028.
Penambahan luas penggunaan lahan perkebunan pada skenario ke-1 sampai ke-4
mempunyai kecenderungan yang sama dengan pertanian lahan kering.
Gambar 20. Luas Penggunaan Lahan berdasarkan Skenario ke-1 sampai ke-4 di
DAS Ciberang
Kolom (6) = analisis debit puncak skenario ke-3 penggunaan lahan pada Pola
Ruang RTRW DAS Ciberang dengan metode rasional (m3/dt);
Kolom (7) = analisis debit puncak skenario ke-4 penggunaan lahan pada
sinkronisasi Pola Ruang RTRW DAS Ciberang dengan
penggunaan lahan skenario ke-1 aktual tahun 2014 dan penggunaan
lahan skenario ke-4 prediksi tahun 2028 dengan metode rasional
(m3/dt)
Kolom (8) = analisis debit puncak rancangan Bendungan Karian yakni luas
genangan waduk dikali kecepatan aliran sungai (m3/dt)
Kolom (9) = selisih debit puncak skenario ke-1 penggunaan lahan aktual tahun
2014 yakni dari kolom (8) – kolom (4) (m3/dt);
Kolom (10) = selisih debit puncak skenario ke-2 prediksi penggunaan lahan tahun
2028 yakni dari kolom (8) – kolom (5) (m3/dt);
Kolom (11) = selisih debit puncak skenario ke-3 penggunaan lahan dari Pola
Ruang RTRW DAS Ciberang yakni dari kolom (8) – kolom (6)
(m3/dt);
Kolom (12) = selisih debit puncak skenario ke-4 penggunaan lahan pada
sinkronisasi Pola Ruang RTRW DAS Ciberang yakni dari kolom
(8) – kolom (7) (m3/dt);
Selisih debit puncak skenario Tabel 34 pada kolom (9) dengan nilai 12.1
m /dt dan kolom (11) dengan nilai 72.0 m3/dt menunjukkan Bendungan Karian
3
dapat menampung debit puncak rancangan kala ulang 100 tahun. Dapat
disimpulkan bahwa debit puncak skenario ke-1 (kolom (9)) pada penggunaan
lahan aktual tahun 2014 dan debit puncak skenario ke-3 (kolom (11)) pada pola
ruang RTRW masih memenuhi syarat sebagai pola penggunaan lahan terbaik
dengan kala ulang 100 tahun. Debit puncak skenario dengan nilai negatif artinya
penggunaan lahan sudah tidak memenuhi syarat sebagai pola penggunaan lahan
terbaik.
Prediksi debit puncak skenario ke-2 tahun 2028 (kolom (10)) dengan nilai
17.2 m3/dt menunjukkan Bendungan Karian dapat menampung debit puncak
rancangan kala ulang 25 tahun. Kolom (10) tersebut menunjukkan debit puncak
rancangan kala ulang 25 tahun memenuhi syarat sebagai pola penggunaan lahan
terbaik. Debit puncak skenario ke-4 sinkronisasi pola ruang RTRW (kolom (12))
dengan nilai 10.7 m3/dt menunjukkan Bendungan Karian dapat menampung debit
puncak rancangan kala ulang 50 tahun. Kolom (12) tersebut menunjukkan debit
puncak rancangan kala ulang 50 tahun memenuhi syarat sebagai pola penggunaan
lahan terbaik.
Hasil analisis tersebut menunjukkan debit puncak rancangan yang dapat
ditampung bendungan adalah skenario-4 dengan kala ulang 50 tahun. Skenario
tersebut merupakan pola penggunaan lahan terbaik di DAS Ciberang yang
dijadikan suatu arahan penggunaan lahan dan dianggap sebagai acuan penggunaan
lahan yang dikaji berdasarkan kondisi hidrologi.
61
3. Skenario ke-3 diambil dari penggunaan lahan pada Pola Ruang RTRW
Kabupaten Lebak tahun 2014-2034 dan Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor
tahun 2005-2025. Skenario tersebut memiliki debit banjir rancangan kala ulang
50 tahun lebih kecil dari debit rancangan bendungan karian. Penggunaan lahan
pada skenario ini sangat berbeda dengan kondisi penggunaan lahan di lapangan
sehingga pemulihan lahan hutan akan sulit dilakukan pada penggunaan lahan
aktual di lapangan.
4. Skenario ke-4 yang merupakan skenario perencanaan penggunaan lahan pada
Pola Ruang RTRW yang telah disesuaikan dengan kondisi ekisting tahun 2014
dan prediksi tahun 2028. Skenario yang memiliki debit banjir rancangan lebih
kecil dari debit rancangan bendungan karian merupakan skenario yang paling
ideal untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan. Oleh karena itu
skenario ini dijadikan suatu arahan penggunaan lahan yang terbaik yang
dianggap sebagai referensi penggunaan lahan DAS Ciberang dikaji dari kondisi
hidrologi.
Simpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah:
1. Pola hujan wilayah di DAS Ciberang fluktuatif pada tahun 2000, 2005, 2010
dan 2014.
2. Luas semua perubahan penggunaan lahan Tahun 2000/2014 di DAS Ciberang
sebesar 81.7 km2 atau 18.3% sedangkan luas semua penggunaan lahan yang
tidak mengalami perubahan sebesar 231.14 km 2 atau 81.7 %. DAS Ciberang
mengalami perubahan hutan menjadi pertanian lahan kering seluas 14.9 km 2,
sawah menjadi pertanian lahan kering seluas 12.84 km 2, hutan menjadi sawah
seluas 5.2 km2 dan pertanian lahan kering menjadi perkebunan seluas 3.4
km2.
3. Prediksi penggunaan lahan tahun 2028 (skenario ke-2) menghasilkan debit
puncak lebih besar dari debit puncak rancangan di Bendungan Karian,
sedangkan penggunaan lahan aktual tahun 2014 (skenario ke-1), penggunaan
lahan pada pola ruang RTRW (skenario ke-3) dan penggunaan lahan pada
penyesuaian pola ruang (skenario ke-4) lebih kecil dari debit puncak
rancangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa prediksi penggunaan lahan
tahun 2028 skenario ke-2 tidak memenuhi syarat sebagai pola penggunaan
lahan di DAS Ciberang. Penggunaan lahan aktual tahun 2014 skenario ke-1,
pola ruang skenario ke-3 dan sinkronisasi pola ruang skenario ke-4 memenuhi
syarat sebagai pola penggunaan lahan terbaik.
4. Arahan perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang yang terpilih adalah
pada pola penggunaan lahan skenario ke-4. Dimana skenario tersebut adalah
skenario yang paling ideal untuk mengendalikan perubahan penggunaan
lahan. Skenario dari perencanaan penggunaan lahan pada Pola Ruang RTRW
yang telah disesuaikan dengan kondisi ekisting tahun 2014 dan prediksi tahun
2028. Oleh karena itu skenario ini dijadikan suatu arahan penggunaan lahan
yang terbaik yang dianggap sebagai referensi penggunaan lahan DAS
Ciberang dikaji dari kondisi hidrologi.
Saran
1. Perlu dilakukan sinkronisasi atau penyesuaian pola ruang dengan kondisi lahan
aktual.
2. Pola ruang yang telah disesuaikan akan menjadi acuan dalam arahan
penggunaan lahan terbaik di DAS Ciberang.
3. Pemodelan CA-Markov masih dapat dieksplorasi terutama dengan
membandingkan bermacam pembobotan kesesuaian lahan terhadap hasil
prediksi.
64
DAFTAR PUSTAKA
Narendra BH. 2012. Alih Fungsi (Konversi) Kawasan Hutan Indonesia: Tinjauan
Aspek Hidrologi Dan Konservasi Tanah. [Prosiding Fungsi Kawasan
Hutan]. Mataram (ID): Balai Penelitian Kehutanan Mataram.
Nurrizqi EH, Suyono. 2012. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap
Perubahan Debit Puncak Banjir Di Sub Das Brantas Hulu. 1: 363-371.
Puntodewo. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumberdaya
Alam. [internet]. [diunduh 2014 Dec 23]:
http://cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/SIGeografis/SIGpart-
1.pdf [17 Juni 2008].
[Pusair] Pusat Litbang Sumber Daya Air. 2013. Publikasi Tahun 1998 – 2013.
Bandung (ID): Balai Hidrologi dan Tata Air.
Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung
(ID): Penerbit Informatika.
Robinson JS, Sivapala M. 1995. Catchment-Scale Runoff Generation Model by
Aggregation and Similarty Analyses. Hydrological Processes. 9: 555-574.
Sheng TC. 1968. Concepts of Watershed Management. Lecture Notes for Forest
Training Course in Watershed Management and Soil Conservation. Jamaica:
UNDP/FAO.
Sinukaban N. 1995. Manajemen / Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Makalah
Diskusi Penelitian Erosi dan Sedimentasi. Bandung (ID): Puslitbang PU.
Soewarno. 1995. Hidrologi : Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid 2.
Bandung (ID): Penerbit Nova
Sosrosudarsono S, Takeda K. 2006. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta (ID):
Pradnya Paramita
Subarkah I. 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. Bandung (ID):
Idea Dharma.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta (ID): Penerbit
Andi
Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh Jilid II. Bulaksumur, Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.
Vliet JV, White R, Dragicevic S. 2009. Modeling Urban Growth Using a Variable
Grid Cellular Automaton. Computers. Environment and Urban Systems. 33:
35–43.
Wen W. 2008. Wetland Change Prediction Using Markov Cellular Automata
Model in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi Province, Indonesia.
Bogor (ID): Bogor Agricultural University.
Weng Q. 2002. Land Use Change Analysis in The Zhujiang Delta of China using
Satellite Remote sensing, GIS and Stochastic Modelling. Journal of
Environmental Management. 64: 273-283.
67
Lampiran 1. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 180 195 6.99 1311.19
2 180 195 0.66 124.20
3 180 195 12.76 2392.37
4 195 210 39.40 7978.13
5 210 225 4.64 1010.01
6 225 240 5.49 1276.37
7 285 300 44.25 12944.42
8 315 330 9.02 2908.09
9 300 315 23.77 7309.10
10 240 255 18.94 4687.43
11 270 285 47.97 13311.06
12 240 255 3.43 849.34
13 255 270 65.54 17204.02
Jumlah 282.87 73305.72
P1998 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 259.2 mm
Lampiran 3. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1999
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 195 210 5.16 1044.05
2 180 195 11.06 2073.88
3 165 180 9.08 1566.12
4 150 165 8.52 1342.53
5 135 150 5.42 772.33
6 105 120 7.90 889.17
7 120 135 11.37 1449.22
8 135 150 4.75 676.78
9 150 165 6.51 1024.85
10 195 210 3.68 744.32
11 180 195 127.71 23945.11
12 195 210 10.76 2179.11
13 165 180 70.96 12239.82
Jumlah 282.87 49947.29
P1999 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 176.6 mm
Lampiran 5. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2000
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 135 150 192.52 27434.59
2 180 195 1.42 266.72
3 165 180 8.21 1415.53
4 150 165 10.79 1698.97
5 135 150 9.60 1367.84
6 120 135 6.51 830.56
7 120 135 8.76 1116.29
8 105 120 4.54 510.26
9 105 120 4.84 544.64
10 75 90 4.78 394.21
11 90 105 11.61 1131.73
12 150 165 6.14 967.23
13 150 165 1.95 306.63
14 165 180 3.21 552.92
15 150 165 8.00 1260.31
Jumlah 282.87 39798.42
P2000 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 140.7 mm
Lampiran 7. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2001
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 210 225 1.64 355.91
2 195 210 12.28 2487.43
3 195 210 0.09 17.92
4 195 210 0.19 38.30
5 180 195 19.95 3739.96
6 165 180 5.57 960.18
7 165 180 3.33 575.26
8 150 165 7.79 1226.33
9 120 135 0.60 76.91
10 135 150 9.80 1395.79
11 225 240 3.01 699.08
12 210 225 15.90 3458.64
13 180 195 48.14 9026.64
14 255 270 0.31 82.53
15 240 255 2.50 618.94
16 225 240 4.99 1159.19
17 210 225 11.94 2595.97
18 195 210 116.07 23504.60
19 180 195 7.91 1483.11
20 210 225 1.59 345.18
21 195 210 9.28 1879.10
Jumlah 282.87 55726.96
P2001 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 197.0 mm
Lampiran 9. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2002
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 105 120 2.06 231.63
2 120 135 39.82 5077.44
3 135 150 64.83 9238.28
4 150 165 77.02 12131.01
5 165 180 34.03 5871.00
6 165 180 2.36 406.85
7 135 150 10.82 1541.86
8 150 165 14.16 2230.87
9 165 180 9.59 1654.08
10 180 195 1.86 348.56
11 120 135 12.63 1610.34
12 105 120 13.68 1538.47
Jumlah 282.87 41880.39
P2002 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 148.1 mm
Lampiran 11. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2003
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 120 135 13.46 1716.09
2 135 150 21.22 3023.70
3 150 165 26.56 4182.64
4 165 180 47.63 8216.27
5 180 195 77.81 14589.53
6 195 210 11.15 2258.65
7 210 225 7.66 1665.27
8 225 240 5.36 1247.09
9 240 255 4.03 998.66
10 255 270 2.98 782.60
11 270 285 2.05 567.89
12 285 300 1.55 454.11
13 300 315 1.11 341.84
14 315 330 0.75 240.97
15 330 345 0.26 86.87
16 165 180 25.38 4377.97
17 150 165 6.17 971.44
18 135 150 8.07 1149.91
19 120 135 1.27 161.99
20 180 195 10.20 1912.09
21 195 210 4.45 901.16
22 210 225 1.16 252.94
23 150 165 2.59 407.15
Jumlah 282.87 50506.80
P2003 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 178.6 mm
Lampiran 13. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2004
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 210 225 13.45 2926.04
2 225 240 20.24 4704.79
3 255 270 3.09 811.13
4 225 240 1.08 251.18
5 240 255 41.52 10275.49
6 225 240 26.44 6146.57
7 225 240 4.52 1049.99
8 225 240 1.91 444.66
9 210 225 170.62 37110.62
Jumlah 282.87 63720.47
P2004 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 225.3 mm
Lampiran 15. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2005
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 195 210 206.75 41867.23
2 180 195 7.27 1362.62
3 180 195 62.98 11808.64
4 210 225 0.84 182.62
5 165 180 5.03 867.19
Jumlah 282.87 56088.29
P2005 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 198.3 mm
Lampiran 17. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2006
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 150 165 209.64 33018.58
2 135 150 4.46 635.13
3 135 150 8.97 1277.57
4 150 165 8.10 1276.11
5 135 150 51.70 7367.07
Jumlah 282.87 43574.46
P2006 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 154.0 mm
Lampiran 19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2007
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 150 165 209.77 33038.76
2 135 150 0.54 76.30
3 135 150 8.81 1255.15
4 135 150 4.26 607.47
5 135 150 51.41 7325.32
6 150 165 8.08 1273.09
Jumlah 282.87 43576.09
P2007 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 154.1 mm
Lampiran 21. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2008
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 165 180 20.43 3524.60
2 165 180 11.55 1992.17
3 165 180 44.67 7704.73
4 180 195 68.92 12921.97
5 195 210 43.48 8805.71
6 225 240 18.20 4231.87
7 210 225 30.62 6660.61
8 150 165 4.29 675.04
9 180 195 12.82 2403.32
10 135 150 1.59 226.22
11 150 165 26.30 4142.32
Jumlah 282.87 53288.56
P2008 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 188.4 mm
Lampiran 23. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2009
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 180 195 27.68 5189.90
2 225 240 13.71 3187.13
3 195 210 112.86 22854.84
4 225 240 10.65 2475.79
5 210 225 90.19 19616.42
6 195 210 13.19 2671.92
7 210 225 13.67 2973.57
8 240 255 0.91 224.98
Jumlah 282.87 59194.55
P2009 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 209.3 mm
Lampiran 25. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2010
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 210 225 9.49 2062.99
2 210 225 18.41 4003.10
3 195 210 47.63 9644.67
4 165 180 4.55 785.50
5 180 195 131.13 24586.03
6 150 165 4.16 655.83
7 180 195 0.47 88.84
8 165 180 46.05 7942.94
9 240 255 5.49 1357.64
10 225 240 15.50 3603.47
Jumlah 282.87 54731.01
P2010 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 193.5 mm
Lampiran 27. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2011
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 210 225 1.28 278.16
2 195 210 17.65 3574.41
3 210 225 2.04 444.10
4 195 210 7.28 1474.97
5 165 180 46.12 7955.23
6 135 150 28.52 4064.30
7 135 150 21.52 3067.24
8 150 165 113.45 17868.32
9 180 195 45.00 8436.83
Jumlah 282.87 47163.57
P2011 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 166.7 mm
Lampiran 29. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2012
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 210 225 1.62 352.54
2 195 210 11.58 2344.41
3 180 195 15.86 2972.92
4 165 180 8.25 1422.32
5 135 150 10.45 1489.00
6 150 165 15.32 2412.53
7 165 180 139.10 23994.92
8 180 195 8.21 1539.79
9 150 165 59.49 9370.34
10 135 150 12.99 1851.35
Jumlah 282.87 47750.12
P2012 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 168.8 mm
Lampiran 31. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2013
Curah Hujan (mm) Luas Volume
No
Pi Pi+1 (km2) Hujan
1 195 210 4.90 991.53
2 180 195 30.17 5657.71
3 165 180 150.45 25953.03
4 135 150 12.49 1779.42
5 150 165 52.86 8325.42
6 195 210 0.79 159.81
7 180 195 31.21 5851.09
Jumlah 282.87 48718.02
P2013 = Jumlah Volume Hujan / Luas DAS
= 172.2 mm
Keterangan:
G = lihat Tabel. (Hubungan Cs dengan Kala Ulang (T) atau
= dengan Percent Chance (P%)
Log X = rerata Log X + G.S
X = curah hujan rancangan metoda Log Pearson Tipe III
Pembagian Kelas:
N = 16
K = 1 + 3,322 log N = 5.0001 = 5 kelas
Peluang batas kelas:
P = 1/kelas = 1/5 = 0.20 = 20%
Sehingga:
Sub kelas 1 : X < 174.446
Sub kelas 2 : 174.446 < X < 183.019
Sub kelas 3 : 183.019 < X < 195.101
Sub kelas 4 : 195.101 < X < 215.755
Sub kelas 5 : X > 215.755
2hitung = 5.875
DK = K - (P + 1)
K (jumlah kelas) = 6
P (parameter yang terikat dalam agihan frekuensi) = 2
Untuk: DK = 2 dan a = 5% ----> 2cr = 5.991
Ternyata: 2hitung < 2 cr ----> Distribusi Frekuensi Dapat Diterima
Lampiran 43. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log Normal
P T k Log X X (mm)
20.0 0.95 1.68 2.39 243.32
40.0 0.98 2.03 2.41 258.15
60.0 0.98 2.22 2.43 267.00
80.0 0.99 2.36 2.44 273.14
Sehingga:
Sub kelas 1: X < 243.32
Sub kelas 2: 243.32 < X < 258.15
Sub kelas 3: 258.15 < X < 267.00
Sub kelas 4: 267.00 < X < 273.14
Sub kelas 5: X > 273.14
Keterangan:
OF = Nilai Pengamatan
EF = Nilai Teoritis
2hitung = 54.625
DK = K - (P + 1)
K (jumlah kelas) = 6
P (parameter yang terikat dalam agihan frekuensi) = 2
Untuk: DK = 2 dan a = 5% ----> 2cr = 5.991
Ternyata: 2hitung > 2 cr ----> Distribusi Frekuensi di Tolak
88
Lampiran 45. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log-Pearson
Tipe III
P(%) T (th) Cs G Log X X (mm)
20 5 0.268 0.852 2.325 211.398
40 3 0.268 0.314 2.285 192.883
60 2 0.268 -0.246 2.244 175.361
80 1 0.268 -0.826 2.201 158.861
Sehingga:
Sub kelas 1 X < 158.861
Sub kelas 2 158.861 < X < 175.361
Sub kelas 3 175.361 < X < 192.883
Sub kelas 4 192.883 < X < 211.398
Sub kelas 5 X > 211.398
Lampiran 46. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Log Pearson Tipe III
Nilai Batas Jumlah Data
No. (EF - OF)2 (EF - OF)2 / EF
Sub Kelas OF EF
1 X < 158.861 4 3.2 0.640 0.200
2 158.861 < X < 175.361 3 3.2 0.040 0.013
3 175.361 < X < 192.883 3 3.2 0.040 0.013
4 192.883 < X < 211.398 4 3.2 0.640 0.200
5 X > 211.398 2 3.2 1.440 0.450
16 16 0.875
2hitung = 0.875
DK = K - (P + 1)
K (jumlah kelas) = 6
P (parameter yang terikat dalam agihan frekuensi) = 2
Untuk: DK = 2 dan a = 5% ----> 2 cr = 5.991
Ternyata 2hitung < 2 cr ----> Distribusi Frekuensi Dapat Diterima
Lampiran 47. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Frechet
P (%) T a X0 Y Log X X (mm)
20 -0.053 17.336 2.229 2.250 2.359 228.545
40 -0.026 17.336 2.229 3.590 2.436 273.066
60 -0.017 17.336 2.229 4.040 2.462 289.885
80 -0.013 17.336 2.229 4.320 2.478 300.868
Sehingga:
Sub kelas 1 : X < 228.55
Sub kelas 2 : 228.55 < X < 273.07
Sub kelas 3 : 273.07 < X < 289.88
Sub kelas 4 : 289.88 < X < 300.87
Sub kelas 5 : X > 300.87
89
RIWAYAT HIDUP