Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Kejahatan Tindak Pidana Paedofil

Nama: Harley marlen freitas.

NPM : 19.4301.196

Mata Kuliah : Delik Delik Khusus

Kelas : C
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Perbuatan
Percabulan Anak di Bawah Umur ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas H.
Sujasmim, SH.MH pada mata kuliah Delik-delik Khusus . Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Kriminalitas Anak di Bawah
Umur
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak H. Sujasmin, SH.MH selaku dosen
mata kuliah Delik-Delik Khusus yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

COVER MAKALAH…………………………………………………………
DAFTAR ISI……..…………………………………………………………...

BAB 1 PENDAHULUA ……………………………………….........................


BAB I Latar Belakang ……………………………………………………….....
A. Kata Pengantar...........................................................................................
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN………………………………………..........................
A. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan…………………………………..
B. Analisis Hukum Terhadap Putusan No. 396/Pid.B/2012/PN-LP…….....
C. Faktor Penyebab Terjadinya Pencabulan Anak di Bawah Umur dan Upaya
Penanggulangannya. …………………………………………………...
BAB III Kesimpulan dan saran.............................................................................
Kesimpulan………………………………………………………………………
Saran......................................................................................................................
Daftar Pustaka…………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Belakang Masalah


Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan
korban. Korban dapat berupa pelaku kriminal, maupun korban yang timbul akibat
dari tindak pidana yang dilakukan oleh pihak lain. Korban tindak pidana
merupakan pihak yang menderita dalam suatu peristiwa pidana. Begitu juga
dengan korban pencabulan yang menderita akibat tindakan pidana yang
dialaminya.
Perlindungan korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan
untuk memperoleh jaminan hukum atas penderitaan atau kerugian pihak yang
telah menjadi korban tindak pidana.1 Segala sesuatu yang dapat meringankan
penderitaan yang dialami seseorang akibat menjadi korban itulah yang dimaksud
dengan perlindungan korban. Upaya untuk meringankan penderitaan tersebut
dapat dilakukan dengan cara mengurangi penderitaan fisik dan penderitaan mental
korban.
Di dalam KUHP Indonesia, kejahatan dalam bentuk pencabulan ini diatur
dalam pasal 289 KUHP. Pasal ini diatur dalam BUKU II BAB XIV tentang
kejahatan terhadap kesusilaan. Adapun pasal 289 KUHP menyatakan sebagai
berikut: ‘’Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum
karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman
penjara selama-lamanya sembilan tahun.”
Upaya perlindungan hukum terhadap korban pencabulan menyangkut
kebijakan atau politik hukum pidana yang ingin diterapkan, yaitu bagaimana
membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.2 Pada
1
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 56
2
Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. Pertama, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 28
akhirnya upaya perlindungan dan penanggulangan korban dari kejahatan dapat
tercapai. Pengertian kebijakan hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum
maupun politik kriminal.
Dalam hukum positif, undang-undang yang mengatur masalah
perlindungan saksi dan korban adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ada beberapa
macam bentuk perlindungan korban diantaranya restitusi, kompensasi, konseling
dan rehabilitasi. Upaya rehabilitasi yang dilakukan di dalam suatu lembaga
maupun diluar lembaga.
Rehabilitasi korban tindak pidana pencabulan adalah tindakan fisik dan
psikososial sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri secara
maksimal dan untuk mempersiapkan korban secara fisik, mental dan sosial dalam
kehidupannya dimasa mendatang. Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medik,
psikologik, dan sosial. Aspek medik bertujuan mengurangi invaliditas, dan aspek
psikologik serta sosial bertujuan kearah tercapainya penyesuaian diri, harga diri
dan juga tercapainya pandangan dan sikap yang sehat dari keluarga dan
masyarakat terhadap para korban tindak pidana pencabulan. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka para korban tindak pidana pencabulan selalu mendapatkan
pelayanan medik psikiatrik yang intensif. Perlindungan terhadap korban tindak
pidana pencabulan tidak lepas dari akibat yang dialami korban setelah pencabulan.
Korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga mengalami
penderitaan secara psikis. Adapun penderitaan yang diderita korban sebagai
dampak dari pencabulan dapat dibedakan menjadi:
1. Dampak secara fisik
2. Dampak secara mental
3. Dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial
Dalam undang-undang Pengadilan Anak, telah ditentukan pembedaan

Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 28


Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 28
perlakuan didalam hukum acaranya, dari mulai saat penyidikan hingga proses
pemeriksaan perkara anak pada sidang Pengadilan Anak. Pembedaan ancaman
pidana bagi anak ditentukan oleh KUHP, yang penjatuhan pidananya ditentukan
paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana terhadap orang dewasa,
sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak
diberlakukan terhadap anak. Terkait dengan penjatuhan hukuman, bagi anak yang
melakukan tindak pidana dapat dijatuhkan pidana pokok (Pidana pokok, pidana
kurungan, pidana denda, atau pidana pengawasan dan tindakan yang dapat
dijatuhkan adalah:
a. Mengembalikan kepada orangtua, wali, orangtua asuh.
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,
latihan kerja, dan
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan, yang bergerak dibidang Pendidikan, Pembinaan, dan
Latihan Kerja (Pasal 24).

1.2 Rumusan Masalah


 Pengertian Tentang Pencabulan
 Analisis Hukum Terhadap Putusan No. 396/Pid.B/2012/PN-LP
 Faktor Penyebab Terjadinya Pencabulan Anak di Bawah Umur dan Upaya
Penanggulangannya.
1.3 Tujuan
  Mencari solusi mencegah dan mengurangi pencabulan Anak.
  Menyelesaikan tugas dari Dosen.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tindak Pidana Pencabulan


Istilah pencabulan cukup sering digunakan untuk menyebut suatu
perbuatan atau tindakan tertentu yang menyerang kehormatan kesusilaan.
Bila mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal
Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah “semua perbuatan
yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus
mengganggu kehormatan kesusilaan”.
Perbuatan cabul adalah, segala perbuatan yang melanggar kesusilaan
(kesopanan) atau perbuatan yang keji. Misalnya : cium-ciuman, meraba-raba
anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. 13
Persepsi terhadap kata ”pencabulan” tidak dimuat dalam KUHP tetapi
hanya disebutkan di dalam penjelasannya. Kamus Besar Bahasa Indonesia
memuat artinya sebagai berikut :”Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar
kesopanan, kesusilaan)”.
a. Pencabulan menurut Kamus Besar Indonesia (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, adalah pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu
kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh),
tidak susila, bercabul: berzina, melakukan tindak pidana asusila,
mencabul: menzinai, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan,
film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar
kesusilaan, kesopanan).14
b. Pencabulan menurut R. Soesilo, adalah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba
anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.15
c. Pencabulan menurut Moeljatno, adalah segala perbuatan yang melanggar
susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu
ke kelaminannya. Definisi yang diungkapkan Moeljatno lebih menitik
beratkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan
nafsu kelaminannya, di mana langsung atau tidak langsung merupakan
perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.16
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa
pencabulan merupakan tindak pidana yang paling biadab dibandingkan
kesusilaan lainnya, wajar sekiranya pelaku pencabulan harus
menerima hukuman yang lebih tinggi dibanding dengan pelaku kesusilaan
lainnya. Namun demikian hukuman pada pelaku bukan merupakan satu- satunya
cara untuk meredam tindak pencabulan. Penghukuman cuma
berupa pertanggungjawaban perbuatan yang dilakukan.

2.2 Analisis Hukum Terhadap Putusan No. 396/Pid.B/2012/PN-LP


Legalitas Penuntut Umum untuk menuntut Terdakwa sebagai Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah didasarkan atas penyidikan dengan izin/
persetujuan tertulis dari Gubernur3 dan atas pengetahuan Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.4 Pencabulan itu dilakukan terdakwa Rusiadi pada
malam pergantian malam tahun baru 31 Desember 2006 di Hotel Niagara Parapat
Kabupaten Simalungun. Terdakwa melarikan saksi Anggita Zulka dari Medan ke
Jakarta pada tanggal 08 Januari 2010 hingga 10 Januari 2010 tanpa ijin orang tua
Saksi Anggita Zulka tetapi atas kemauan saksi Anggita Zulka. Tanggal 22 Januari
2010 orang tua saksi Anggita Zulka yang bernama Syafaruddin membuat laporan
ke pihak Kepolisian Resor Serdang Bedagai sesuai dengan Laporan Polisi No.
LP/32/I/2010/Sergai.

3
Izin Tertulis Gubernur ini tertuang dalam Surat No. 170/13931 tanggal 13 Desember 2011,
Perihal: Persetujuan Tertulis Untuk Melakukan Pemanggilan, Permintaan Keterangan dan
Penyidikan Terhadap Sdr. Rusiadi Anggota DPRD Kab. Serdang Bedagai, ditujukan: kepada Kepala
Kepolisian Daerah Sumatera Utara, yang ditandatangani A.n Menteri Dalam Negeri Plt. Gubernur
Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, ST
4
Terdakwa Rusiadi pada tahap penyidikan telah dipanggil sebagai Tersangka melalui Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Serdang Bedagai dengan Surat Panggilan No.Pol:
K/4182/XII/2011/Ditreskrimum tanggal 15 Desember 2011 yang ditandatangani oleh Direktur
Reserse Kriminal Umum Polda Sumut a/n Kombes Pol. Drs Bambang Herianto.
Sewaktu perkara ini di tingkat penyidikan, pada tanggal 28 Juni 2011,
Rusiadi mengajukan gugatan izin berpoligami ke Pengadilan Agama Lubuk
Pakam dengan Register No. 603/Pdt.G/2011/PA-Lpk dengan amar pada pokoknya
mengabulkan dan memberikan izin kepada Rusiadi untuk berpoligami kemudian
pada hari Sabtu tanggal 10 September 2011 Rusiadi dengan Anggita Zulka
menikah secara Islam.
Berdasarkan hasil penyidikan, keberadaan secara berduaan terdakwa
berserta saksi Anggita Zulka di sebuah hotel untuk menginap dalam satu ruangan
menimbulkan penilaian kepatutan bahwa telah terjadi pencabulan. Tentu saja
tindakan cabul tidaklah mudah untuk dibuktikan dengan adanya saksi yang
melihat tetapi setidaknya dengan adanya dua orang berbeda jenis kelamin tanpa
terikat perkawinan berada dalam satu ruangan dan bermalam dapat dipandang
telah melakuan tindakan cabul.5 Dugaan ini dikuatkan dengan temuan visum t
entang kerusakan selaput dara saksi Anggita Zulka walaupun seputar kerusakan
selaput daranya kemudian dibantah oleh saksi Anggita dilakukan oleh terdakwa di
depan persidangan tetapi bila dikaitkan dengan keterangannya di hadapan
penyidik keterangan mana diberikan di bawah sumpah dan dikaitkan pula dengan
pengakuannya dihadapkan ibunya (saksi Sri Gema Wahyu) maka penyangkalan
saksi Anggita Zulka seputar kerusakan selaput daranya tidak dilakukan oleh
terdakwa adalah tidak berdasar secara hukum karena itu keterangan saksi Anggita
Zulka tidak lagi objektif mengingat statusnya pada waktu memberikan keterangan
di depan persidangan telah menjadi istri terdakwa dan tidak memberikan alasan
yang patut tentang penyangkalannya sehingga keterangan di depan persidangan
sepanjang penyangkalannya haruslah dikesampingkan.
Fakta hukum yang ditemukan di persidangan menunjukkan bahwa
pembuktian peristiwa pidana yang didakwakan telah sesuai dengan hukum acara
yang berlaku, dan perbuatan ini benar telah terjadi dan terdakwalah pelakunya.

5
Pandangan ini bahkan telah menjadi sebuah pendapat umum sehingga tidak memerlukan
Pembuktian hukum (fakta notoir). Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat 2 menyebutkan: Hal
yang Secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Proses pemeriksaan dalam perkara ini mempergunakan teori pembuktian menurut
undang-undang secara negatif karena selain minimal ada dua alat bukti sah yang
mendukung dakwaan penuntut umum (in casu keterangan saksi-saksi, keterangan
ahli bahkan surat-surat dan keterangan terdakwa yang kesemuanya ini bahkan
dapat menimbulkan petunjuk6) diperlukan lagi keyakinan hakim. Sewaktu
penulisan ini, putusan No. 396/Pid.B/2012/PN-LP belum memiliki kekuatan
hukum tetap (inkrach van gewijsde) karena terhadap putusan tersebut masih
dilakukan upaya hukum7 banding oleh Penuntut Umum dan juga oleh terdakwa
Rusiadi.
2.3 Faktor Penyebab Terjadinya Pencabulan Anak di Bawah Umur dan
Upaya Penanggulangannya.
1. Terjadinya Pencabulan Anak Di Bawah Umur
a. Faktor Intern
Pencabulan dalam Islam sudah jelas-jelas dilarang baik dalam
al-Qur’an maupun Hadist Nabi. Karunia Allah berupa hawa nafsu
sering kali tidak dapat dikendalikan dan justru malah berakibat
merugikan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dan Allah
juga menghendaki agar manusia mau mengendalikan hawa nafsu
dengan akalnya, agar tidak terjadi suatu kejahatan atau perbuatan
buruk, contohnya seperti tindak pidana pemerkosaan. Selain hawa
nafsu yang menjadi faktor penyebab tindak pidana pencabulan.
Latar belakang terjadinya delik kesusilaan pada umumnya
disebabkan dorongan bahwa nafsu yang tidak dapat dikendalikan
atau faktor moral dan tingkah laku serta karakter penjahat (dapat
dilihat dari raut wajahnya yang seram, lingkungannya dan latar

6
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaian, baik antara yang
Satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi Suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi,
surat dan Keterangan terdakwa. Lihat Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP.
7
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan
Pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau terpidana untuk mengajukan
Permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini. Lihat pasal 1 angka 12 KUHAP.
belakang kehidupannya dan keluarganya), apabila diamati secara
seksama, maka menurut hemat penulis faktor tingkah laku dan cepat
guna mencari lokasi yang sunyi, maka munculah niat jahatnya.
Kurang bermoralnya seseorang sering menyebabkan sikap, tindakan
orang lain diselesaikan kekerasannya, yaitu kesusilaan sekaligus
penganiayaan.
Sifat kepribadian seseorang yang demikian mengakibatkan
mudah dipengaruhi oleh nafsu, sehingga setiap persoalan yang
berwatak lemah lembut membuat mudah tersinggung, yang dianggap
cukup berdaya karena suatu persoalan yang mencemaskan nama baik
pribadi atau keluarga yang tidak bersalah akan terus
dipertahankan/dijaga.
b. Faktor Ekstern
Ada beberapa orang yang dapat mendorong terjadinya
kesusilaan antara lain adalah faktor eksternal. Yang termaksud faktor
eksternal adalah faktor yang timbul di luar pribadi pelaku, misalnya
adanya kesempatan dan pengaruh dari korban itu sendiri serta
rendahnya hukuman yang diberikan kepada pelaku delik kesusilaan.
Faktor-faktor kesempatan, hal ini kebanyakan pelakunya ada para
sopir mikrolet, karena melihat penumpangnya tinggal sendirian dan
perempuan (gadis) seorang sopir lalu melarikan kendaraannya dengan
kesusilaan/perbuatan cabul sering pula terjadi karena faktor dari
korban itu sendiri yaitu adannya pergaulan bebas, sehingga korban
sering berteman atau bergaul dengan laki-laki. Di samping itu juga
korban biasa menggunakan pakaian yang minim.
2. Usaha Pemerintah Dalam Menanggulangi Kesusilaan
Adapun beberapa yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk
menanggulangi kesusilaan, yaitu sebagai berikut:
a. Mendidik para remaja untuk memperoleh keterampilan sehingga
memungkinkan mereka memperoleh lapangan kerja.
b. Memberikan pendidikan agama dan moral pancasila kepada
mantan terpidana agar dapat menyadari perbuatan yang dilakukan.
c. Mentranmigrasikan mantan terpidana karena tekanan ekonomi
telah melakukan kejahatan berupa pemerkosaan yang disertai
dengan pencucian atau pemerkosaan.
d. Supaya masyarakat bersedia menerima mantan nara pidana dan
membimbing mereka untuk melaksanakan tugas-tugas seperti
sediakala
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan sebagai berikut :
a. tentang tindak pidana pencabulan terhadap anak menurut hukum di Indonesia
diatur dalam 3 (tiga) Undang-Undang yaitu: 1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) pada Pasal 290 ayat (2) dan (3), Pasal 292, Pasal 293, Pasal
294 ayat (1), Pasal 295 dan Pasal 296; 2) Undang-Undang No. 23 tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak (UUPA) pada Pasal 81 ayat (2), Pasal 82 dan
Pasal 88; 3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUKDRT) pada Pasal 46 dan Pasal 47.
KUHP adalah aturan umum sedangkan UUPA adalah aturan khusus sehingga
berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis, maka UUPA
menghapuskan daya berlaku KUHP sepanjang aturan pencabulan terhadap
anak (yang berumur di bawah 18 tahun) sedangkan jika korban pencabulan
berumur 18 tahun ke atas tetapi masih di bawah 21 tahun dan belum pernah
menikah maka pasal-pasal yang ada dalam KUHP dapat diterapkan.
b. Penegakan hukum dalam perkara No. 396/Pid.B/2012/PN-LP telah sesuai
dengan KUHAP. Proses acara dimulai dengan dakwaan, pemeriksaan saksi,
ahli, surat, terdakwa, tuntutan, pembelaan dan putusan. Berdasarkan
pemeriksaan di depan persidangan dengan alat bukti yang ada, ditambah
keyakinan hakim ditemukan fakta hukum bahwa benar telah terjadi perbuatan
yang didakwakan dan terdakwalah pelakunya.
c. Hambatan-hambatan yang dihadapi hakim dalam memeriksa dan mengadili
perkara No. 396/Pid.B/2012/PN-LP adalah dibidang yuridis dan non yuridis.
Hambatan yuridis terkait dengan ketentuan Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang
menentukan bahwa perkara kesusilaan harus tertutup untuk umum, sementara
itu masyarakat luas ingin agar perkara ini terbuka untuk umum. Hambatan
yuridis lainnya adalah ketentuan Pasal 64 ayat (3) UUPA terkait dengan upaya
penghindaran anak dari publikasi media massa dan labelisasi, sementara itu
media massa sangat gencar memberikan permberitaan secara luas. Hambatan
yuridis lainnya adalah UUPA tidak mengatur secara khusus tentang
pemberatan hukuman terhadap pelaku dewasa yang melakukan pencabulan
terhadap anak.

3.2 SARAN
Berdasarkan uraian di atas, beberapa saran penulis adalah:
1. Demi mencapai perlindungan hukum terhadap anak secara maksimal
seharusnya pengaturan tindak pidana pencabulan terhadap anak cukup diatur
dalam satu undang-undang saja untuk kepastian hukum dan menghindari multi
tafsir.
2. Diharapkan agar para penegak hukum dalam mencermati kasus-kasus
pencabulan terhadap anak tidak hanya memperhatikan normatif tekstual undang-
undang tetapi juga harus memperhitungkan kenyataan kematangan psikologis
pelaku dan
korban dalam menyadari sebuah perbuatan melanggar hukum.
3. Hendaknya dalam setiap sistem peradilan terpadu dimulai dari kepolisian,
kejaksaan, dan terutama sekali pengadilan lebih memperbanyak orang-orang
yang memiliki keahlian khusus yang membidangi persoalan anak baik sebagai
pelaku atau sebagai korban tindak pidana. Ruang yang representatif untuk
perkara-perkara kesusilaan dan untuk tujuan persidangan tertutup untuk umum
hendaknya disediakan dalam setiap Pengadilan. UUPA seharusnya mengatur
secara khusus pemberatan hukuman bagi pelaku dewasa yang melakukan tindak
pidana pencabulan terhadap anak sehingga UUPA ini perlu direvisi.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Achmad Ali, 2013, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,Jakarta;

Kharisma Putra Utama

Adami Chazawi, 2019, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta; PT

Rajagrafindo Persada

Ende Hasbi Nasaruddin, 2016, Kriminologi, Bandung: Pustaka Setia

Ida Hanifah, dkk. Fakultas hukum.2018,Pedoman Penulisan Skripsi. Medan:

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Nursariani dan Faisal, 2017, Kriminolgi Suatu Pengantar, Medan: Pustaka Prima

---------------------------, 2018, Hukum Perlindungan Anak, Medan: Pustaka Prima

Rika Saraswati, 2015, Hukum Pelindungan Anak Di Indonesia, Bandung: Citra

Aditya Bakti

Soejono Soekanto,2014,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta; Universitas

Indonesia

Sugiyono, 2018, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung;

Alfabeta CV

Topo Santoso, Kriminologi, Depok; Raja Grafindo Persada

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Anda mungkin juga menyukai