Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

MATA KULIAH ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA

“Sistem Endokrin”

Dosen Pengampu:
Dr. Lisdiana, M.Si.

Oleh:
Virgin Fortuna (4401419006)
Sevina Risti Utami (4401419007)
Evi Safira (4401419008)

Rombel: Pendidikan Biologi B/ 2019

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2021

1
Lembar Analisis Obesitas

Hormon terganggu Hormon leptin


Penyebab hormon terganggu Leptin adalah hormon yang dibuat oleh sel
lemak.
Tugasnya yaitu mengendalikan nafsu makan
serta rasa lapar. Leptin memberi sinyal pada
otak untuk memberi tahu ketika perut sudah
merasa kenyang.
Pada bagian otak bernama hipotalamus,
terdapat reseptor atau zat khusus yang
menerima sinyal hormon leptin yang akan
aktif jika kadar leptin di tubuh terlalu tinggi.
Hormon leptin akan meningkat jika
seseorang sudah kenyang dan kemudian
akan memberikan sinyal ke reseptor.
Reseptor khusus yang ada di hipotalamus
akan menerima pesan bahwa perut sudah
terisi penuh dan menurunkan rasa lapar serta
nafsu makan.
Jika hormon leptin terlalu rendah di dalam
tubuh, maka dapat menyebabkan seseorang
menjadi makan berlebihan.
Orang yang mengalami obesitas memiliki
banyak lemak tubuh di sel-sel lemaknya.
Karena hormon leptin diproduksi oleh sel-sel
lemak, maka jumlah leptin yang ada pada
tubuh seseorang sebanding dengan jumlah
lemak dalam tubuh. Oleh sebab itu, orang
yang gemuk juga memiliki tingkat leptin
yang sangat tinggi.
Seharusnya kadar leptin ini bisa menahan
orang untuk tidak makan, karena otak
seseorang seharusnya tahu bahwa seseorang
sudah memiliki banyak kalori yang
tersimpan dalam tubuh.
Namun, yang menjadi masalah adalah sinyal
leptin ini tidak berfungsi.
Ada banyak leptin tetapi otak seseorang

2
tidak bisa mendeteksinya. Kondisi inilah
yang disebut dengan resistensi leptin. Leptin
menjadi resistan dan tidak berfungsi lagi
dengan baik karena terlalu banyak lemak
yang masuk. Akibatnya, terlalu tinggi kadar
leptin di dalam tubuh.
Saat ini, resistensi leptin diyakini sebagai
gangguan biologis utama pada orang
obesitas.
Ketika otak tidak menerima sinyal leptin,
otak seseorang akan berpikir bahwa tubuh
seseorang sedang kelaparan dan
membutuhkan makanan, meskipun
seseorang sebetulnya memiliki simpanan
kalori yang sudah lebih dari cukup.
Hal ini membuat otak seseorang mengubah
fisiologi dan perilaku seseorang untuk
mendapatkan kembali lemak. Otak seseorang
salah berpikir bahwa seseorang harus makan
supaya tidak mati kelaparan, sehingga
seseorang cenderung makan lebih banyak.
Selain itu, otak seseorang juga berpikir
bahwa seseorang perlu menghemat energi,
sehingga membuat seseorang merasa lebih
malas dan membakar lebih sedikit kalori saat
istirahat.
Dengan demikian, makan kebanyakan dan
kurang olahraga bukanlah penyebab
kelebihan berat badan, melainkan akibat dari
resistensi leptin.
Kedua kondisi ini saling berhubungan satu
sama lain. Di mana orang menjadi lebih
gemuk dan kadar leptin akan semakin tinggi.
Dampak bagi organ tubuh lain 1. Jantung
Sel lemak di dalam tubuh membutuhkan
oksigen untuk tetap hidup. Artinya jantung
bekerja lebih keras untuk memompa darah
ke lebih banyak pembuluh darah. Semakin
banyak lemak yang terakumulasi pada
dinding arteri, maka semakin sempit ruang
darah bergerak di dalamnya dan jantung
harus bekerja lebih keras.

3
2. Usus besar
Peneliti belum pernah menemukan hubungan
antara obesitas dengan kanker yang begitu
kuat, kecuali untuk risiko kanker usus besar
atau kolon. Pada pria maupun wanita yang
tergolong obesitas, risiko kanker kolon
meningkat. Ini terjadi karena pola makan
tinggi daging merah dan daging olahan,
kedua makanan itu merupakan faktor utama
terjadinya polip kolon, tanda awal potensial
kanker kolon.
3. Otak
Hubungan antara tubuh dan pikiran sudah
lama diketahui. Sebuah studi menemukan,
fungsi kognitif menunjukkan hubungan
dengan obesitas. Menurut studi tersebut
obesitas dapat berisiko menurunkan fungsi
kognitif secara dini.
Salah satu hipotesis yang menjelaskan
bahwa obesitas mempengaruhi kerusakan
area putih pada otak yang memberikan
sinyal pada organ tubuh. John Gunstad,
profesor di Kent State University
mengatakan, rusaknya hubungan ini tidak
sekasar putusnya "kabel" saraf, tetapi
obesitas membuat kemampuan penghantaran
sinyal ini melemah secara keseluruhan.
4. Kulit
Gangguan obesitas terhadap kulit, misalnya
munculnya stretch mark, seringkali dianggap
remeh. Padahal ganguan kulit yang terjadi
mungkin akan lebih banyak dan berbahaya.
Beberapa di antaranya adalah perubahan
hormon terkait obesitas dapat menyebabkan
acanthosis nigricans, penebalan dan
menggelapnya warna kulit terutama di
sekitar leher, atau pembengkakan dan
tertariknya kulit yang menyebabkan ruam
dan iritasi yang disebut dengan stasis
dermatitis.
5. Paru-paru
Organ ini ternyata juga menerima risiko

4
yang tinggi akibat lemak berlebihan di dalam
tubuh. Sebuah studi tahun 2010
menunjukkan, banyaknya jumlah sel lemak
di dalam tubuh mengurangi kapasitas organ
secara keseluruhan untuk memperoleh
udara. Orang dengan obesitas juga
cenderung untuk mengalami sleep apnea
atau henti napas saat tidur. Jika tidak segera
ditangani, maka henti napas akan
mengurangi kadar oksigen yang masuk ke
dalam tubuh, sehingga mengakibatkan
pengentalan darah.
6. Sistem Pencernaan
Seseorang yang mengalami obesitas mudah
sekali mengalami masalah pada pencernaan
meski tidak secara langsung. Tubuh yang
lebih berlemak menyebabkan risiko
mengalami GERD atau asam lambung naik
sangat besar. Kondisi GERD ini sulit di atasi
dan bisa menjadi penyakit menahun.
Selanjutnya seseorang dengan jumlah lemak
di tubuh sangat besar bisa mengalami
beberapa masalah seperti pengerasan di
kantung empedu. Jika hal ini sampai terjadi,
pencernaan akan mengalami masalah yang
besar. Terakhir, lemak yang besar bisa
menyebabkan gangguan di hati dan
fungsinya untuk pencernaan anjlok.
7. Sistem Kardiovaskular dan Endokrin
Sistem kardiovaskular akan mengalami
gangguan jika kegemukan terjadi dan tidak
ada keinginan untuk menguranginya.
Masalah ini muncul saat terjadi masalah
dengan jantung. Mereka yang mengalami
obesitas cenderung mudah sekali mengalami
masalah seperti tekanan darah yang terlalu
tinggi atau hipertensi.
Selanjutnya masalah juga muncul jika sel
darah sudah tidak sensitif lagi dengan insulin
yang dihasilkan tubuh. Seseorang bisa
mengalami kenaikan gula darah hingga
memicu terjadinya obesitas.
Terakhir ,kondisi seperti kolesterol yang

5
tinggi dan memicu gangguan peredaran
darah bisa terjadi.
8. Sistem Reproduksi
Obesitas menyebabkan masalah pada pria
seperti penurunan kualitas dari sperma yang
dimiliki. Saat obesitas terjadi, produksi dari
testosteron di dalam tubuh juga mengalami
perubahan. Dampaknya, seseorang akan sulit
mendapatkan keturunan karena sperma
kurang berkualitas hingga penurunan gairah
seksual.
Sistem reproduksi pada wanita juga bisa
mengalami penurunan. Saat terjadi obesitas,
siklus menstruasi bisa saja mengalami
gangguan seperti tertunda, telat, hingga sel
telur yang dihasilkan tidak berkualitas.
Dampaknya, wanita akan sulit sekali
mengalami pembuahan meski mereka bisa
menghasilkan sel telur secara rutin.
Jika pria dan wanita bisa menurunkan berat
badan perlahan-lahan baik dengan diet atau
dengan olahraga, kesuburannya akan
membaik. Selanjutnya proses pembuahan
bisa berjalan dengan lancar sehingga
seseorang akan mudah sekali mengalami
kehamilan.
9. Sistem Otot dan Tulang
Mengalami obesitas bisa menyebabkan
beberapa gangguan seperti penurunan
kualitas tulang. Kepadatannya akan menurun
dengan sendirinya setiap saat. Jika hal ini
terus dibiarkan, tulang di tubuh akan
semakin sering keropos dan rawan sekali
mengalami patah dan memicu masalah pada
tubuh.
Selanjutnya otot juga akan terganggu
fungsinya jika tulang yang digunakan untuk
menempel patah. Lebih lanjut, tulang dan
otot akan mengalami masalah yang besar
jika berat tubuh bertambah. Saat digunakan
untuk berjalan dan juga berdiri, beban akan
membuat persendian ikut nyeri dan mobilitas

6
menurun.
10. Sistem Integumentary (kulit)
Jika seseorang mengalami obesitas,
gangguan pada kulit juga akan terjadi. Kulit
akan lebih melar karena mendapatkan
tekanan dari lemak di tubuh yang banyak.
Akhirnya ada bagian yang seperti pecah dan
muncul dalam bentuk selulit. Jika hal ini
sampai terjadi, estetika tubuh akan menurun.
Selanjutnya jika seseorang mengalami
penurunan berat badan, kulit akan menjadi
sangat menggelambir. Hal ini tentu akan
sangat mengganggu sehingga seseorang
disarankan untuk melakukan olahraga agar
area yang menggelambir menjadi lebih
singsat.
Gambar pendukung

7
Lembar Analisis Anterior Pituitary Hormones Menstimulasi
GnRH LH Sistem reproduksi produksi hormon
seksual oleh
gonad

Hipotalamus akan mengeluarkan hormon GnRH, kemudian GnRH akan merangsang


pengeluaran hormon LH, setelah hormon LH terbentuk, hormon LH akan menuju ke sistem
reproduksi baik pada pria maupun wanita, hasil akhir dari hormon LH ini akan merangsang
sekresi steroid seks dari gonad.
GnRH dikeluarkan oleh hipotalamus dengan proses sekresi melalui aliran portal hipothalamo
hipofisial yang terjadi setiap 90 hingga 120 menit. Setibanya di hipofisis anterior, GnRH akan
melakukan pengikatan terhadap sel gonadotrop serta melakukan perangsangan terhadap
pengeluaran LH dan FSH. Lutheinizing Hormone (LH) sering dikenal dengan nama lutropin atau
luthophin yang merupakan salah satu hormon yang dihasilkan oleh sel-sel gonadotropic di bagian
kelenjar hipofisis anterior. Pada pria,  hormon LH dikenal dengan ICSH (Interestial Cell
Stimulating Hormone). Hormon ini dapat merangsang sekresi steroid seks dari gonad, hormon LH
merangsang Sel Leydig untuk mengekskresikan hormon testosteron, yang nantinya hormon
tersebut akan bekerja untuk merangsang pertumbuhan organ seks primer pada pria dan
mendorong pertumbuhan spermatogenesis.
Sedangkan pada wanita hormon ini berfungsi untuk mengatur siklus menstruasi. Hormon ini
juga dapat menyebabkan ovulasi serta pengembangan korpus luteum apabila terjadi kenaikan akut
atau yang dikenal dengan Surge LH. Hormon LH merangsang korpus luteum guna menghasilkan
hormon progresteron serta merangsang terjadinya ovulasi. Kadar hormon LH akan mengalami
peningkatan secara drastis di dalam darah dan urine sesaat sebelum terjadinya ovulasi. LH sendiri
nantinya akan memicu pelepasan sel telur yang telah matang di dalam ovarium menuju tuba
fallopi untuk mengalami proses pembuahan.

8
Keberadaan GnRH akan menstimulasi pelepasan LH dan FSH dengan mekanisme yang
melibatkan kalsium atau fosfoinositida sebagai messenger kedua. Pelepasan LH dan FSH
bergantung pada umur dan status hormonal.

9
Lembar Analisis Kelainan Kelenjar Endokrin

A. Nama Penyakit : Goiter


Goiter disebut juga dengan struma atau lebih dikenal dengan penyakit gondok. Goiter atau
struma berasal dari bahasa Latin “tumidum gutter” artinya tenggorokan yang membesar.
Goiter mengakibatkan pembesaran kelenjar tiroid menjadi dua kali atau lebih dari ukuran
normal ditandai dengan adanya pembengkakan di bagian leher. Goiter dapat meluas ke ruang
retrosternal dengan dan atau tanpa pembesaran anterior substansial. Karena hubungan anatomi
kelenjar tiroid ke trakea, laring, saraf laring, superior dan inferior, dan esophagus,
pertumbuhan abnormal dapat menyebabkan berbagai sindrom komperhensif. Setiap orang
berisiko 5% hingga 10% untuk menderita goiter dan perempuan berisiko 4 kali lipat lebih
beresioko dibanding laki-laki.

B. Kelainan pada Hormon : Tiroid


Kelainan terjadi pada hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid yang terletak di trakea di
bagian depan atau leher yang mengalami penghambatan dalam pembentukannya sehingga
menimbulkan gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.

C. Penyebab
Penyakit goiter dapat disebabkan oleh :
1. Kekurangan yodium
Yodium adalah suatu zat yang terkandung di dalam garam. Jika kelenjar tiroid kekurangan
konsumsi garam, maka pembesaran kelenjar akan terjadi karena kelenjar tiroid membutuhkan
yodium untuk memproduksi hormon tiroid. Akibat kekurangan yodium menyebabkan
pembentukan hormon tiroid terhambat pada kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan
hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH yang berlebihan inilah
yang kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang

10
besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tiroid kemudian makin lama makin bertambah
besar. Akibat kekurangan yodium juga akan menimbulkan tidak terjadinya peningkatan
pembentukan T4 dan T3, sehingga ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid
dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.
2. Penyakit Grave.
Penyakit grive dapat meimbulkan gejala kelenjar tiroid menjadi terlalu aktif, sehingga
memproduksi hormon tiroid secara berlebihan. Kondisi ini menyebabkan hipertiroid. Penyakit
grave sendiri merupakan penyakit autoimun (sistem kekebalan menyerang tubuh sendiri).
3. Akibat penyakit lainya seperti penyakit Hashimoto (penyakit autoimun,
mengakibatkan kelenjar tiroid kurang aktif untuk memproduksi hormone tiroid),
Penyakit Goiter Multinodular (mengakibatkan terbentuk beberapa benjolan padat
ataupun benjolan berisi cairan yang disebut dengan nodul pada kedua kelenjar tiroid
(kiri dan kanan), mengakibatkan pembesaran kelenjar tiroid secara keseluruhan),
Tumor (Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma), dan akibat
kanker tiroid (tiroid mengalami keganasan dan lebih jarang terjadi dibandingkan
dengan nodul soliter tiroid jinak).
4. Akibat odul soliter tiroid, menyebabkan terbentuk satu benjolan/nodul pada salah
satu sisi kelenjar tiroid. Kebanyakan dari benjolan ini bersifat jinak dan tidak
mengarah kepada suatu keganasan (kanker).
5. Kehamilan
Saat hamil. Hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) yang di produksi oleh tubuh
bisa menyebabkan sedikit pembesaran pada kelenjar tiroid.
6. Inflamasi atau dikenal dengan istilah tiroiditis.
Merupakan suatu kondisi inflamasi yang dapat disertai dengan rasa nyeri di leher. Hal ini
dapat terjadi akibat kelebihan atau kekurangan hormon tiroxin.

Selain itu faktor penyebab penyakit goiter yaitu :


1. Jenis kelamin : perempuan lebih rentan untuk mengalami penyakit gondok daripada
laki-laki.
2. Kehamilan dan menopause : wanita yang sedang hamil atau sudah mengalami
menopause lebih berisiko untuk mengalami gangguan kelenjar tiroid.
3. Usia : penyakit gondok lebih umum dialami oleh orang yang berusia 40 tahun ke atas.
4. Penyakit autoimun : penderita kelainan autoimun memiliki risiko lebih tinggi untuk
terkena penyakit gondok.
5. Obat-obatan tertentu : beberapa jenis obat diperkirakan bisa menambah risiko
gangguan gondok, contohnya litium dan amiodarone.
6. Paparan radiasi : orang yang terpapar oleh radiasi memiliki risiko tinggi untuk
mengalami penyakit gondok. Misalnya, orang yang pernah menjalani terapi radiasi
pada leher dan dada, atau terpapar radiasi karena profesi maupun kecelakaan kerja.
7. Merokok : kandungan tiosianat pada rokok dapat menyebabkan hambatan penyarapan
yodium.

D. Gejala Pasien
1. Goiter menyebabkan terjadinya pembengkakan pada leher.

11
2. Umumnya, gejala goiter yang terjadi adalah, esulitan menelan, nada suara menjadi
sangat tinggi., gejala pada tenggorokan seperti suara serak, sakit tenggorokan, dan
batuk.
3. Dalam kasus yang lebih parah pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi
kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid
terdapat trakea dan esophagus. Goiter dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong
trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal
tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan
dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar
dan tidak simetris dan dapat disertai kesulitan bernapas dan disfagia, perubahan suara,
rasa sesak di tenggorokan, muncul suara saat bernapas.
4. Terkadang, goiter bisa juga disebabkan karena kondisi atau kelainan medis lainnya
dalam tubuh. Dalam kasus ini, muncul gejala-gejala lain yang berbeda dalam setiap
orang seperti Pusing, Hiperaktif, Rambut rontok, Jantung berdebar, Nafsu makan
berlebih, Penurunan berat badan.

Gejala goiter juga tergantung pada jenis goiter yang diderita. klasifikasi goiter beserta gejala
yang ditimbulkannya adalah sebagai berikut :

Berdasarkan Fisiologisnya
Eutiroidisme Gejala : Goiter jenis ini biasanya tidak
Yaitu eadaan hipertrofi pada kelenjar menimbulkan gejala kecuali
tiroid yang disebabkan stimulasi kelenjar pembesaran pada leher yang jika terjadi
tiroid yang berada di bawah normal secara berlebihan dapat mengakibatkan
sedangkan kelenjar hipofisis kompresi trakea.
menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat.
Hipotiroidisme Gejala : Penderitanya mempunyai
Merupakan kelainan struktural atau kelenjar yang mengalami atrofi atau
fungsional kelenjar tiroid yang tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat
menyebabkan sintesis dari hormon tiroid pembedahan/ablasi radioisotop atau
menjadi berkurang dan terjadi kegagalan akibat destruksi oleh antibodi autoimun
dari kelenjar untuk mempertahankan yang beredar dalam sirkulasi.
kadar plasma yang cukup dari hormon. Gejala hipotiroidisme lainya adalah
penambahan berat badan, sensitif
terhadap udara dingin, dementia, sulit
berkonsentrasi, gerakan lamban,
konstipasi, kulit kasar, rambut rontok,
mensturasi berlebihan, pendengaran
terganggu dan penurunan kemampuan
bicara.
Hipertiroidisme/ tirotoksikosis atau Gejala : berat badan menurun, nafsu
Graves makan meningkat, keringat berlebihan,
Merupakan respon jaringan-jaringan kelelahan, leboh suka udara dingin,

12
tubuh terhadap pengaruh metabolik sesak napas. Selain itu juga terdapat
hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan gejala jantung berdebar-debar, tremor
ini dapat timbul spontan atau adanya pada tungkai bagian atas, mata melotot
sejenis antibodi dalam darah yang (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur,
merangsang kelenjar tiroid, sehingga rambut rontok, dan atrofi otot.
tidak hanya produksi hormon yang
berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid
menjadi besar.

Berdasarkan Klinisnya
Goiter Toksik Gejala : memperlihatkan benjolan
Disebabkan oleh kekurangan yodium yang secara klinik teraba satu atau
yang kronik, dibedakan menjadi goiter lebih benjolan. Penyakit ini banyak
diffusa toksik dan goiter nodusa toksik. tidak disadari oleh pasien meskipun
Istilah diffusa dan nodusa mengarah telah diiidap selama berbulan-bulan.,
kepada perubahan bentuk anatomi. Goiter terjadi peningkatan pembentukan
diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan antibodi, Apabila gejala gejala
hipermetabolisme karena jaringan tubuh hipertiroidisme bertambah berat d a n
dipengaruhi oleh hormon tiroid yang mengancam jiwa penderita maka akan
berlebihan dalam darah, jika dibiarkan terjadi krisis tirotoksik, adanya rasa
maka akan menimbulkan goiter nodusa khawatir yang berat, mual, muntah,
toksik. kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan
menelan, koma dan dapat meninggal

Goiter Non Toksik Gejala : Biasanya tiroid sudah mulai


disebabkan oleh kekurangan yodium membesar pada usia muda dan
yang kronik. Goiter ini disebut sebagai berkembang menjadi multinodular
simple goiter, goiter endemik, atau pada saat dewasa. Kebanyakan
goiter koloid yang sering ditemukan di penderita tidak mengalami keluhan
daerah yang air minumya kurang sekali karena tidak ada hipotiroidisme atau
mengandung yodium dan goitrogen yang hipertiroidisme. Namun sebagian
menghambat sintesa hormon oleh zat pasien mengeluh adanya gejala
kimia. mekanis yaitu penekanan pada
esofagus (disfagia) atau trakea (sesak
napas), biasanya tidak disertai rasa
nyeri kecuali bila timbul perdarahan di
dalam nodul.

E. Pengobatan
Pengobatan pasien goiter atau gondok berbeda-beda. Dalam kasus goiter yang ringan,
terutama apabila benjolan tidak terlalu besar dan tidak ada masalah pada kadar hormon tiroid,
dokter akan melakukan observasi mengenai goiter pasien dan kondisi kelenjar tiroidnya
kemudian biasanya doker menyarankan untuk menunggu dan melihat perkembangan dari
goiter yang dimiliki oleh pasien, jika goiter ringan makan cukup membiarkan goiter pasien

13
untuk sembuh dengan sendirinya. Pengobatan goiter sendiri tergantung pada ukuran goiter,
gejala yang dialami, dan penyebabnya.
Apabila goiter yang diderita cukup serius maka pengobatan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
1. Pengobatan medikasi melalui pemberian obat-obatan seperti tiroksin dan obat anti-
tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran goiter, selama ini diyakini bahwa
pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan
TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4), hal ini juga diberikan untuk
mengatasi hipotiroidisme yang terjadi setelah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Selain itu
obat lain yang dapat dikonsumsi yaitu obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini
adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.
2. Terapi yodium radioaktif (RAI)
Pengobatan dilakukan dengan memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar
tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Terapi yodium radioaktif dapat mengurangi
gondok sekitar 50%. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga
memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan
resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk
kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat
minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.
3. Operasi/Pembedahan
Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium
radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Operasi dilakukan dengan
melakukan pembedahan guna mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari.
Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup
memproduksi hormon dalam jumlah yang kuat dan harus menjalani pemeriksaan
laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.

F. Pencegahan
1. Pencegahan Primer, yaitu langkah yang dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan yaitu :
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai merubah pola perilaku
makanmenjadi lebih baik dan memasyarakatkan pentingnya pemakaian garam
yodium.
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan,ntelur,
susu, daging, rumput laut, sayur, dan buah-buahan.
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium ketika
memasak makanan, dan tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak
untuk menghindari hilangnya yodium dari makanan.
d. Melakukan iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah
endemik berat dan endemik sedang.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) yang diberikan 3

14
tahun sekali.
2. Pencegahan Sekunder, yaitu upaya pencegahan dengan mendeteksi secara dini yaitu
dengan melakukan diagnosis, untuk mendiagnosis goiter dapat dilakukan melalui :
 Inspeksi : dilakkan dengan pemeriksa berada di depan penderita pada posisi
duduk dan kepala penderita sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat
pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi,
ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien
diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.
 Palpasi : dilakukan dengan pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi.
Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu
jari kedua tangan pada tengkuk penderita.
 Pemeriksaan fisik, dokter atau petugas kesehatan akan menyentuh apakah ada
benjolan di sekitar leher kita, merasakan bentuk dan ukurannya. 
 Tes Fungsi Hormon : emeriksaan tatus fungsional kelenjar tiroid dengan perantara
tes-tes fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total
tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas
serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif.
Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH
plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada
pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien
peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal
penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium
radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam
menangkap dan mengubah yodida.
 Foto Rontagen leher : pemeriksaan untuk melihat goiter telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas) atau tidak melalui.
 Ultrasonografi (USG) : pemeriksaan menggunakan alat yang ditempelkan di
depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar. USG dapat
memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang
mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher.
 Scan tiroid : dilakukan dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif
bernama technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah..

3. Pencegahan Tersier, yaitu pencegahan yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi


mental, fisik dan sosial penderita setelah sembuh agar tidak kembali terserang goiter.
Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
 Kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan mendeteksi adanya kekambuhan
atau penyebaran.
 Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar
dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui
melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan
rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan
rehabilitasi aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.

15
G. Gambar Pendukung

Kondisi Penderita Penyakit Goiter

Penampakan Pembengkan Perbedaan Kelenjar Tiroid Normal dengan yang


Kelenjar Tiroid Mengalami Goiter

16
Lembar Analisis Kelainan Kelenjar Endokrin

A. Nama Penyakit : Krisis Adrenal


Banyak yang menganggap krisis adrenal sama dengan penyakit Addison, namun keduanya
berbeda, dimana penyakit addison merupakan sindroma insufisiensi adrenal jangka panjang,
dengan gejala primer berupa kelemahan, anoreksia, penurunan berat badan dan
hiperpigmentasi. Sedangkan krisis adrenal merupakan insufisiensi adrenal akut yang dapat
bermanifestasi dengan muntah, nyeri perut dan syok hipovolemik.

B. Kelainan Pada Hormon : Glukokortikoid (Kortisol)


Krisis adrenal, atau yang disebut juga dengan insufisiensi adrenal akut, merupakan suatu kondisi
mengancam nyawa akibat kurangnya produksi hormon glukokortikoid dan/atau mineralokortikoid
oleh kelenjar adrenal. Korteks adrenal menghasilkan 3 hormon steroid yaitu glukokortikoid
(kortisol), mineralokortikoid(aldosteron, 11-deoksikortikosteron), dan androgen
(dehidroepiandrosteron). Hormon utama yang berperan dalam krisis adrenal akut adalah
kortisol, sedangkan produksi aldosteron adrenal relatif sedikit.

C. Penyebab
Penyebab krisis adrenal dapat terjadi secara primer (kegagalan pada kelenjar adrenal), secara
sekunder (kegagalan pada regulasi kortisol di pituitari) dan tersier (gangguan di hipotalamus).
1. Penyebab Primer
Krisis adrenal disebabkan akibat kegagalan kelenjar adrenal itu sendiri tidak mampu
menghasilkan hormon. Penyebab tersebut akibat dari :
 Operasi pengangkatan kelenjar adrenal
 Penyakit adrenal kongenital (congenital adrenal hyperplasia/CAH)
 Perdarahan adrenal bilateral
 Adrenomyeloneuropathy/ adrenoleukodystrophy
 Penyakit infeksi (tuberkulosis paru, infeksi jamur, dan HIV AID).

2. Penyebab Sekunder
Penyebab sekunder krisis adrenal berhubungan dengan gangguan regulasi kortisol oleh
kelenjar pituitari yang memproduksi adrenocorticotropin hormone (ACTH). Penyebab
tersebut akibat dari :
 Penggunaan glukokortikoid eksogen jangka panjang
 Tumor
 Metastasis kanker
 Pituitary apoplexy
 Operasi pituitari
 Radiasi
 cedera otak traumatik.

3. Penyebab Tersier

17
Krisis adrenal akibat adanya gangguan pada hipotalamus yang menyebabkan penurunan
produksi ACTH.

Selain itu terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabakan terjadinya krisis adrenal lebih
tinggi seperti :
1. Memiliki riwayat Insufisiensi Adrenal
2. Insufisiensi Pituitari, atau insufisiensi produksi hormon pituitari
melalui hypothalamic–pituitary-adrenal axis (HPA axis) dapat menyebabkan
kelenjar adrenal mengalami penurunan produksi yang dapat menyebabkan suatu
kondisi krisis adrenal.
3. Adrenalektomi pada Cushing Disease, menyebabkan menurunnya produksi
hormon adrenal secara drastis yang berisiko menyebabkan krisis adrenal.
4. Penggunaan Kortikosteroid Jangka Panjang, menyebabkan kelenjar adrenal
mengalami supresi.
5. Hipofisitis, atau peradangan pada kelenjar pituitari dan merupakan salah satu
penyebab hipopituitarisme. Kondisi ini dapat berupa lesi primer (idiopatik) atau
sekunder berupa lesi sella dan parasellar, penyakit sistemik, atau obat-obatan.
6. Adrenalitis, yaitu eradangan kelenjar adrenal atau adrenalitis disebabkan oleh
autoimun atau infeksi dan dapat menyebabkan insufisiensi adrenal.

Krisis adrenal yang sudah pernah dialami pasien dapat terjadi lagi dengan adanya berbagai
faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus antara lain:
1. Infeksi: bakteri (Streptococcus, Pseudomonas, Haemophilus influenzae,
Treponema pallidum), mycobacteria, fungi (Histoplasmosis, Pneumocystis
carinii, Candida), parasit (Toxoplasmosis,  African trypanosomiasis) dan virus
(HIV, herpes simplex, cytomegalovirus (CMV), echovirus).
2. Medikamentosa : Obat antiadrenal, mitotane, metyrapone, obat
antikanker, immune checkpoint inhibitors, tyrosine kinase inhibitors (sunitinib,
imatinib), ketoconazole, fluconazole, etomidate, rifampicin, cyproterone acetate,
diuretik, dan megestrol acetate.
3. Trauma, Kehamilan, Tindakan bedah, Stress emosional, Aktivitas fisik yang berat,
Tirotoksikosis, Penyakit saluran cerna, Udara panas, Dehidrasi, Intoksikasi
alkohol, Migrain berat, Kejang, Acute myeloid leukemia (AML), Pencetus yang
idiopatik, penderita penyakit autoimun, wanita dan usia 30-40 lebih beresiko
mengalami krisis adrenal.

18
D. Gejala Pasien
Gejala yang biasanya terjadi adalah:
 Penurunan nafsu makan
 Penurunan berat badan
 Kelemahan otot
 Kelelahan
 Rasa ingin makan makanan asin
 Mual, muntah, diare
 Sakit perut
 Tekanan darah rendah (hipotensi)
 Kulit yang menghitam terutama pada bekas luka, lipatan kulit, siku, lutut,
buku jari, jari kaki, dan bibir
 Rambut rontok
 Nyeri sendi
 Depresi
 Siklus haid tidak teratur pada wanita
 Disfungsi seksual pada wanita
 Kadar gula darah rendah (hipoglikemia)

Karena perkembangannya lambat, biasanya gejala tersebut tidak disadari sampai pada
saat dimana penderita mengalami peristiwa stres fisik seperti sakit atau kecelakaan, baru
gejala akan memburuk dan krisis adrenal pada akhirnya menimbulkan penyakit berupa
krisis Addison, yang ditandai dengan gejala seperti:
 Nyeri pada punggung bagian bawah dan perut
 Diare dan muntah berat
 Dehidrasi
 Tekanan darah sangat rendah
 Kehilangan kesadaran

E. Pengobatan
Pengobatan krisis adrenal dapat dilakukan melalui :
1. Pemberian Cairan
Cairan yang diberikan yaitu berupa cairan isotonik, seperti cairan salin
normal, atau dextrose 5% dalam cairan salin normal. Cairan diberikan melalui infus pada 12-
24 jam pertama. Pada kondisi khusus, seperti disertai gagal jantung dan penyakit ginjal
kronis, memerlukan monitoring ketat terhadap tanda vital dan pastikan tidak
terjadi overload cairan. Pemberian cairan dihentikan apabila muncul tanda-tanda edema paru
akut.
2. Kortikosteroid Intravena
Kortikosteroid merupakan penatalaksanaan utama untuk krisis adrenal. Kortikosteroid
intravena meliputi :

19
 Hydrocortison, merupakan drug of choice penanganan krisis adrenal.
Hydrocortisone 100 mg bolus diikuti dosis harian 100 mg dibagi menjadi dua
sampai tiga kali per hari. Pada anak balita hingga usia 3 tahun, digunakan
dosis 25 mg IV, 3-12 tahun sebesar 50 mg IV dan >12 tahun menggunakan
dosis 100 mg IV. Hydrocortisone merupakan glukokortikoid short acting
sehingga memiliki waktu paruh yang sangat cepat. Selain memiliki aktivitas
glukokortikoid, hydrocortisone juga berperan sebagai mineralokortikoid.
Absorpsi hydrocortisone secara intravena, intramuskular, gastrik, dan
sublingual pun hampir sama sehingga dapat diberikan secara bolus intravena
maupun intramuskular apabila akses intravena sulit didapat.
Lakukan tapering off steroid hanya jika perbaikan klinis telah
didapatkan, tapering off juga dilakukan secara bertahap.
 Dexamethasone, pemberian steroid intravena berupa dexamethasone 4 mg
bolus dapat dilakukan. Pada pasien yang tidak diketahui riwayat insufisiensi
adrenal sebelumnya, injeksi dexamethasone intravena lebih dianjurkan. Pada
kondisi syok yang dicurigai disebabkan oleh krisis adrenal, injeksi
dexamethasone dapat dilakukah sampai kadar serum kortisol diketahui.
Setelah itu, lanjutkan dengan dosis rumatan, yaitu 4 mg setiap 12 jam secara.
 Fludrocortisone, sering digunakan sebagai regimen maintenance harian pada
penanganan krisis adrenal. Fludrocortisone merupakan suatu
mineralokortikoid yang berfungsi sebagai terapi insufisiensi adrenal primer.
Fludrocortisone bekerja pada tubulus distal ginjal, memiliki efek retensi
natrium dan meningkatkan ekskresi kalium melalui ginjal.
 Methylprednisolone, digunakan sebagai terapi krisis adrenal, namun tidak
lebih superior dibanding steroid lainnya karena memiliki aktivitas
mineralokortikoid yang rendah. Methylprednisolone biasanya digunakan
pada pasien yang mengalami overload cairan, edema, dan hipokalemia.
3. Vasopressor, untuk meningkatkan tekanan darah. Dopamin atau norepinephrine
dapat diberikan, meskipun pada krisis adrenal kondisi refrakter sering terjadi.
4. Penanganan Hipoglikemia, dilakuka dengan mmelakukan pemberian cairan
yang mengandung dextrose (dextrose 10% atau dextrose 40%) untuk
memperbaiki kondisi hipoglikemia.
5. Koreksi Elektrolit
Penggunaan glukokortikoid yang dikombinasikan dengan mineralokortikoid dapat
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, yaitu hiponatremia dan hiperkalemia, akibat
peningkatan kehilangan natrium dalam urine. Hydrocortisone lebih disukai karena dapat
mengoreksi ketidakseimbangan elektrolit. Penggunaannya yang didampingi dengan
infus cairan salin normal 0,9% cukup untuk memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit.
6. Pengobatan Lanjutan
Penyakit dasar yang mencetuskan krisis adrenal seperti infeksi dan perdarahan perlu
ditangani dengan seksama. Penderita perlu dikonsultasikan dengan endokrinologis, spesialis
penyakit Infeksi, ahli critical care, kardiologis, dan ahli bedah.

20
F. Pencegahan
1. Pencegahan Primer
 Berkonsultasi dengan dokter jika Anda merasakan gejala-gejala
insufisiensi adrenal yang memburuk
 Bertanya dengan dokter tentang apa yang harus dilakukan jika mengalami
krisis Addison, seperti berapa dosis obat tambahan yang harus diminum.
 Saat Anda merasa sangat sakit seperti sangat lemas, ingin pingsan, muntah
berat, dan tidak mampu minum obat, segera pergi ke unit gawat darurat
terdekat.

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahannya sekunder dilakukan dengan mendeteksi secara dini yaitu dengan
melakukan diagnosis, untuk mendiagnosis goiter dapat dilakukan melalui :
 Pemeriksaan darah untuk mengecek kadar natrium, kalium, kortisol, dan
ACTH dalam darah. Juga dapat ditemukan antibodi jika penyebabnya
adalah penyakit autoimun
 Uji ACTH: mengukur kadar kortisol darah 30-60 menit setelah
penyuntikkan ACTH. Jika didapatkan kadar kortisol ≥18μg/dl berarti
respon kelenjar adrenal normal. Uji ini dapat mendiagnosis insufisiensi
adrenal sekunder yang disebabkan oleh kurangnya kadar ACTH tubuh
sehingga menyebabkan pengecilan kelenjar adrenal dan penurunan
responnya.
 Pemeriksaan hipoglikemia terinduksi insulin: dilakukan jika terdapat
kemungkinan insufisiensi adrenal sekunder karena kelainan pituitari.
Kadar gula darah dan kortisol diukur setelah penyuntikan insulin.
Normalnya, setelah insulin masuk, kadar glukosa darah akan turun dan
kortisol akan naik.
 Pemeriksaan radiologi seperti rontgen, CT Scan, MRI untuk menemukan
penyebab insufisiensi adrenal dengan melihat gambaran kelenjar adrenal
maupun pituitari.

G. Gambar Pendukung:

21
Penderita Krisis Adrenal Kelenjar Adrenal

Anda mungkin juga menyukai