Anda di halaman 1dari 70

PENGARUH TERAPI BERCERITA TERHADAP

TINGKAT KECEMASAN AKIBAT SIRKUMSISI DI


KLINIK KHITAN………..

PROPOSAL

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
(S.Kep.)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ………

i
i
iii
iv
v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sirkumsisi merupakan suatu proses membuang prepusium penis

sehingga glans penis menjadi terbuka. Tindakan ini merupakan tindakan bedah

minor yang paling banyak dikerjakan di seluruh dunia, baik dikerjakan oleh

dokter, paramedis, ataupun oleh dukun sunat. Sirkumsisi atau sunat ini sering

menimbulkan kecemasan pada anak (Arifin, miftahul. 2013).

Kecemasan merupakan suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan

tidak dapat dibenarkan yang sering disertai dengan gejala fisiologis. Gejala fisiologis

diantaranya yakni: peningkatan tekanan darah, nafas cepat dan pendek, serta gugup

(Tromb, 2000 dalam Nasution, 2011). Cemas tidak hanya menimbulkan gejala

fisiologis tetapi juga gejala psikologis dan gejala somatik. Kecemasan yang terjadi

pada anak kemungkinan pemicunya ialah persepsi yang salah (negatif) tentang

sirkumsisi sehingga mengakibatkan anak takut untuk di sirkumsisi.

Cemas pada anak adalah perasaan takut yang bersifat khayalan yang tidak ada

objeknya. Kecemasan ini muncul akibat situasi yang dikhayalkan berdasarkan

pengalaman yang diperoleh, baik perlakuan orang tua, buku bacaan atau komik, radio

atau film. (Yusuf, 2010).

6
Sirkumsisi pada anak menjadi suatu hal yang menakutkan. Hal ini dikarenakan

orang tua maupun orang dewasa yang berada disekeliling anak tersebut memposisikan

sirkumsisi sebagai sesuatu yang menakutkan atau menyeramkan sehingga ketakutan

anak terhadap sirkumsisi menjadi semakin bertambah. Kecemasan pada anak dapat

timbul oleh beberapa faktor, salah satunya yakni tindakan medis seperti injeksi,

pemeriksaan gigi, dan hospitalisasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh (Yuliana, 2009) tentang “Hubungan peran ibu dengan tingkat kecemasan anak

usia prasekolah (3-6 tahun) saat melakukan perawatan gigi di poli gigi RSUD dr.

Soebandi-Jember”.

Terapi bercerita merupakan metode penyampaian sebuah cerita melalui media

buku cerita, video, gambar, ataupun alat peraga dengan teknik yang interaktif.Bercerita

merupakan kegiatan penyampaian pesan, yang dapat berupa pesan pendidikan,

keteladanan, kepemimpinan, mengembangkan emosi, serta merupakan kegiatan

interaktif antara dua orang atau lebih. Terapi bercerita bermanfaat untuk

mengembangkan moral, guna mengetahui perbuatan yang baik dan buruk. Bercerita

merupakan suatu cara untuk memberikan nasehat, pesan, pencerahan, dan motivasi

kepada seseorang (Putri, Nirmala. 2019)

Judul cerita Timun Mas, Asal Usul Nama Pulau Bali, dan Keong Mas, cerita

ini menggambarkan mengenai sifat-sifat kebaikan, ketamakan, kebijaksanaan, kearifan,

serta ketuhanan Terapi bercerita ini dilakukan dengan cara berkelompok, terapi

kelompok adalah terapi yang dilakukan secara berkelompok untuk memberikan

stimulasi bagi seseorang dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008). Teknik

bercerita mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menurunkan kecemasan anak

7
prasekolah (Elfira, 2011).

Dari data pendahuluan yang peneliti lakukan di Klinik Khitan …… desa

……….kecamatan …… di dapatkan data selama periode tahun 2021 anak yang telah

disirkumsisi sebanyak 48 anak. Dari 48 anak yang telah di sirkumsisi yang mengalami

kecemasan berat sebanyak 13 anak , kecemasan sedang 9 anak sisanya mengalami

kecemasan ringan. Dari studi pendahuluan ini peneliti menyimpulkan bahwa sirkumsisi

pada anak menjadi suatu hal yang menakutkan. Hal ini dikarenakan orang tua maupun

orang dewasa yang berada disekeliling anak tersebut memposisikan sirkumsisi sebagai

sesuatu yang menakutkan atau menyeramkan sehingga ketakutan anak terhadap

sirkumsisi menjadi semakin bertambah.

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan penelitian

dengan judul pengaruh tehnik bercerita terhadap tingkat kecemasan akibat sirkumsisi di

klinik…….

8
9
1.2 Rumusan Masalah

Adakah pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat kecemasan akibat

sirkumsisi di klinik …

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat kecemasan akibat

sirkumsisi di klinik ….

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi tingkat kecemasan akibat sirkumsisi sebelum

dilakukan terapi bercerita di klinik … .

2. Mengidentifikasi tingkat kecemasan akibat sirkumsisi sebelum

dilakukan terapi bercerita di klinik … .

3. Mengidentifikasi tingkat kecemasan akibat bercerita sebelum dan

sesudah dilakukan terapi bercerita di klinik …

10
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Sebagai tambahan wawasan dalam memberikan terapi bercerita,

khususnya dalam keterkaitannya dengan penurunan tingkat

kecemasan anak akibat sirkumsisi.

2. Hasil penelitian dapat menjadi pengembangan intervensi dalam

mencegah kecemasan akibat sirkumsisi khususnya kepada anak usia

pra sekolah maupun usia sekolah di Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Menjadi dasar literatur dan intervensi terapi bercerita dapat

menurunkan tingkat kecemasan pada anak.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk penelitian

selanjutnya, khususnya tentang bagiamana intervensi terapi bercerita.

3. Sebagai tinjauan teori untuk STIKes ……….. dan juga kementerian

kesehatan sebagai pembuat kebijakan.

11
1.5 Keaslian Penelitian

Judul, Nama Metode Penelitian (Desain,


NO. Pengarang, dan Sampel, Variabel, Hasil Penelitian
Tahun Instrumen, dan Analisa data)
1.

2.

3.

12
4.

13
5.

6.

14
7.

15
16
17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Sirkumsisi

2.1.1. Definisi Sirkumsisi

Sunat (sirkumsisi) dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah khitan

atau supit, merupakan tuntunan syariat islam untuk laki-laki maupun

perempuan. Tidak hanya pemeluk agama islam saja yang melakukan

sunat, orang-orang yahudi, nasrani, dan agama lain sekarang juga

banyak yang melakukan sunat karena terbukti memberikan manfaat bagi

kesehatan (Hana, 2010). Dalam ajaran agama Islam, sirkumsisi

dilakukan karena alasan ibadah sebagai kelanjutan dari millah atau

ajaran Nabi Ibrahim a.s Rasulullah SAW bersabda, “Kesucian (fitrah)

itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak,

memendekkan kumis, dan memotong kuku”(HR Bukhari Muslim).

Sirkumsisi (circumcision/khitan) atau dalam Bahasa Indonesia lebih

dikenal dengan istilah “sunat” atau “supit”, adalah operasi pengangkatan

sebagian, atau semua dari kulup (preputium) penis (WHO, 2007).

Prosedur ini biasanya dilakukan untuk alasan agama, kebersihan,

ataupun kosmetik. Sirkumsisi juga dapat mengurangi masalah yang

18
timbul dari kondisi medis tertentu, seperti phimosis (kondisi dimana

kulup tidak bisa ditarik kembali dari sekitar ujung penis). Secara medis,

dikatakan bahwa 10 sirkumsisi sangat menguntungkan bagi kesehatan.

Banyak manfaat dari sirkumsisi yang diidentifikasi untuk mencegah

infeksi saluran kemih, membuat penis menjadi bersih, penularan HIV,

serta mengurangi resiko terkena karsinoma penis (Blank, 2012).

2.1.2. Indikasi Sirkumsisi

1) Agama

Sirkumsisi merupakan tuntunan syariat Islam yang sangat mulia

dan disyariatkan baik untuk laki-laki. Mayoritas ulama Muslim

berpendapat bahwa hukum sirkumsisi bagi laki-laki adalah

wajib. Hadist Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kesucian (fitrah) itu

ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu

ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku” (H.R.

Bukhari Muslim).

2) Sosial dan Budaya

Orang tua memilih melakukan khitan pada anaknya dengan

alasan sosial atau budaya seperti anak merasa malu jika belum

melakukan khitan, sehingga ingin segera melakukannya. Anak

melakukan khitan di usia 6-12 tahun atau ketika duduk

dibangku kelas 3-6 Sekolah Dasar. Selain itu, khitan dilakukan

19
sebagai alasan motivasi menuju kedewasaan pada anak (Miller,

2007)

3) Medis

Selain dilakukan karena alasan agama, budaya, dan tradisi.

Sirkumsisi juga dilakukan untuk meningkatkan higienis dan

kesehatan seseorang, karena penis yang sudah di sirkumsisi

lebih mudah dibersihkan.

Indikasi medis sirkumsisi antara lain (Hutcheson JC., 2004) :

a) Fimosis

Dimana preputium tidak dapat ditarik ke proximal karena

lengket dengan gland penis diakibatkan oleh smegma yang

terkumpul diantaranya.

b) Parafimosis

Dimana preputium yang telah ditarik ke proximal, tidak

dapat dikembalikan lagi ke distal. Akibatnya dapat terjadi

udem pada kulit preputium yang menjepit, kemudian terjadi

iskemi pada glands penis akibat jepitan itu. Lama kelamaan

glands penis dapat nekrosis. Pada kasus parafimosis,

tindakan sirkumsisi harus segera dilakukan.

c) Balanitis

Balanitis merupakan penyakit peradangan pada ujung penis.

20
Kebanyakan kasus balanitis terjadi pada pria yang tidak

melakukan sirkumsisi dan mereka yang tidak menjaga

kebersihan alat vital.

d) Kondiloma Akuminata

Kondiloma akuminata merupakan suatu lesi pre kanker

pada penis yang diakibatkan oleh HPV (human papiloma

virus). Karsinoma sel squamosa pada preputium penis,

namun dilaporkan terjadi rekurensi local pada 22- 50%

kasus.

2.1.3. Kontraindikasi Sirkumsisi

1) Hipospadia

Hipospadia merupakan kelainan konginetal muara uretra

eksterna. Kelainan berada di ventral penis mulai dari glans

penis sampai perineum. Hipospadia terjadi karena kegagalan

atau kelambatan penyatuan lipatan uretra di garis tengah selama

perkembangan embriologi (Baskin LS.& Ebbers MB., 2006).

2) Epispadia

Epispadia adalah kelainan kongenital dimana meatus uretra

terletak pada permukaan dorsal penis. Normalnya, meatus

terletak di ujung penis, namun nak laki-laki dengan epispadia,

meatus terletak di atas penis.Insiden epispadia yang lengkap

21
sekitar 1 dalam 120.000 laki-laki. Perbaikan dengan

pembedahan dilakukan untuk memperluas uretra ke arah glans

penis. Preputium digunakan dalam proses rekonstruksi,

sehingga bayi baru lahir dengan epispadia tidak boleh di

sirkumsisi (Price, SA & Wilson, LM., 2006 ). 3) Kelainan

Hemostasis

Kelainan hemostasis merupakan kelainan yang berhubungan

dengan jumlah dan fungsi trombosit, faktor-faktor pembekuan,

dan vaskuler. Jika salah satu terdapat kelainan dikhawatirkan

akan terjadi perdarahan yang sulit diatasi selama atau setelah

sirkumsisi. Kelinan tersebut adalah hemophilia trombositopenia

dan penyakit kelainan hemostasis lainnya (Seno, 2012).

2.1.4. Prinsip Sirkumsisi

Dalam melakukan sirkumsisi harus diingat beberapa prinsip dasar, yaitu

asepsis, pengangkatan kulit prepusium secara adekuat, hemostasis yang

baik, dan kosmetik. Sirkumsisi yang dikerjakan pada umur neonatus

(kurang dari satu bulan) dapat dikerjakan tanpa memakai anastesi,

sedangkan anak yang lebih besar harus dengan memakai anestesi umum

guna menghindari terjadinya trauma psikologis (Purnomo, 2003).

1) Persiapan pasien

a) Bila pasien sudah besar, maka dilakukan pencukuran rambut pubis

22
terlebih dahulu.

b) Melakukan pendekatan terhadap anak terlebih dahulu, agar anak bisa

kooperatif saat dilakukan tindakan.

c) Menanyakan riwayat penyakit anak, bila ada riwayat alergi obat atau

lainnya.

d) Menjelaskan kepada orang tua anak mengenai tindakan yang akan

dilakukan.

e) Penis dan sekitarnya dibersihkan dengan antiseptik

(Mansjoer, 2000).

2) Alat-alat dan bahan Alat dan bahan yang diperlukan untuk melakukan

sirkumsisi, meliputi

a) Kain kasa yang steril.

b) Cairan disinfekstans.

c) Kain steril untuk mempersempit daerah operasi.

d) Tabung suntik beserta jarumnya serta obat anastesi lokal.

e) Satu set peralatan bedah minor.

f) Handscone steril.

g) Selimut dan handuk.

h) Sabun cuci tangan.

i) Alkohol (Hermana, 2000)

23
3) Hal yang pertama kali dilakukan sebelum sirkumsisi, meliputi

a. Disinfeksi lapangan operasi.

b. Daerah operasi ditutup dengan kain steril.

c. Dilakukan pembiusan dengan menggunakan anastesi lokal, misalnya

lidokain 2 %. Kemudian, ditunggu beberapa saat dan dinyakinkan

bahwa penis sudah terbius.

d. Lakukan dilatasi pada preputium dulu dengan klem sehinggga

preputium dapat ditarik ke proksimal. Selanjutnya prepusium

dibebaskan dari perekatannya dengan glands penis dan dibersihkan dari

smegma atau kotoran lain.

e. Pemotongan preputium (Purnomo, 2003)

2.1.5. Komplikasi Sirkumsisi

1) Perdarahan Pendarahan merupakan komplikasi sirkumsisi yang jarang

terjadi. Sebagian besar perdarahan dapat berhenti dengan sendirinya.

Perdarahan dapat dengan mudah dihentikan dengan mengikat sumber

perdarahan dengan benang bedah. Resiko perdarahan dapat meningkat

pada anak yang mempunyai gangguan pembekuan darah. Oleh karena

itu, sangat penting untuk menginformasikan ke dokter apabila anak

mempunyai gangguan pembekuan darah atau kelainan darah lainnya

(Krill, 2011).

2) Infeksi Infeksi sangat jarang terjadi karena dokter melakukan

24
sirkumsisi dengan teknik dan alat yang steril. Apabila terjadi infeksi,

infeksi biasanya ringan dan dapat diatasi dengan pemberian antibiotik.

Tanda-tanda infeksi seperti demam, kemerahan yang semakin meluas,

nyeri, pembengkakan, dan nanah di sekitar bekas 22 sirkumsisi perlu

diperhatikan dan apabila ada tantda-tanda tersebut sebaiknya dianjurkan

segera ke dokter (Patel, 2001).

3) Komplikasi dari Obat Anestesi Anestesi atau pembiusan lokal

merupakan prosedur yang aman.

Komplikasi anestesi sangat jarang terjadi, dan biasanya berkaitan

dengan adanya masalah medis pada anak. Komplikasi anestesi

diantaranya reaksi alergi dari obat bius atau bisa juga gangguan

pernapasan (Wiess, 2010).

25
26
2.2 Konsep Terapi Bermain

2.1.1 Definisi Terapi Bermain

Bermain adalah media yang baik untuk belajar , karena dengan

bermain anak-anak akan berkata kata atau berkomunikasi selain itu mereka

juga bekajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang

dapat dilakukannya dan mengenai waktu jarak serta suara (Apriana, 2019).

Bermain adalah pekerjaan atau aktivitas anak yang sangat penting.

Melalui bermain akan semakin mengembangkan kemampuan dan

keterampilan motorik anak kemampuan kognitifnya, melalui kontak dengan

dunia nyata, menjadi eksis di lingkungannya, menjadi lebih percaya diri, dan

masih banyak lagi manfaat lainnya (Sarti, 2018).

Menurut Jannah, (2017), Terapi bermain adalah pemanfaatan pola

permainan sebagai media yang efektif dari terapi,melalui kebebasan ekslorasi

dan ekspresi diri. Bermain merupakan bagian integral dari masa kanak-kanak,

salah satu media dan penting untuk memfalitasi perkembangan yaitu ekspresi

bahasa, keterampilan komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan sosial,

keterampilan pengambilan keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak

Terapi bermain adalah bermain sebagai terapi salah satu sarana yang di

gunakan dalam membantu mengatasi anak, sebab bagi anak bermain adalah

simbol verbalisasi (Ditasari, 2019).

Terapi bermain yaitu penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip

27
belajar terhadap suatu kondisi prilaku yang bermasalah atau di anggap

menyimpang dengan melakukan perubahan serta menepatkan anak dalam

situasi bermain (DItasari, 2019).

28
2.1.2 Fungsi bermain

Menurut Seran (2019), Bermain pada anak dapat berkembang sensori

motor, perkembangan intelektual, soaiolisasi, kreativitas, kesadaran diri, nilai

moral, dan perkembangan teraupetik.

a. Perkembangan sensori motor

Aktivitas smainan aktif penting untuk perkembangan otot dan

sensorimotor adalah komponen utama bermain pada semua usia,

permaianan aktif penting untuk perkembangan otot dan bermanfaat

melepas kelebihan energi,pada anak usia usia 5-6 tahun sangat

menyukai gerakan tubuh dan mengeksplorasi segala sesuatu di

ruangan.

b. Perkembangan intelektual

Melalui eksplorasi dan menipulasi anak- anak belajar mengenal

warna, bentuk, ukuran, tekstur, fungsi onjek-objek.

c. Sosialisasi

Perkembangan sosial ditandi dengan kemampuan berinteraksi

dengan lingkungannya. Melalui bermain anak belajat membentuk

hungan sosial dan menyelesaikan masalah, belajar saling member dan

menerima, menerima kritikan, serta belajar pola perilaku dan sikap

yang diterima masyarakat. Anak akan belajar tentang benar dan salah,

standar masyarakat, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.

29
d. Kreatifitas

Kreativitas anak bereksperimen dan mencoba ide mereka dalam

bermain. Kreativitas terutama merupakan hasil aktifitas tunggal,

meskipun, berfikir kreatif sering di tingkatkan dalam kelompok. Anak

puas ketika menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.

e. Kesadaran diri

Melalui bermain anak akan mengembangkan kemampuannya

dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal

kemampuan diri dan membandingkan dengan orang lain, kemudian

menguji kemampuannya dengan mencoba dengan orang lain,

kemudian menguji kemampuannya dengan mencoba berbagai peran

serta mempelajari dampak dan perilaku merka pada orang lain.

f. Nilai moral

Anak mempelajari nilai besar dan salah satu dari lingkungannya

terutama dari orang tua dan guru. Melalui aktivitas bermain, anak akan

memperoleh kesempatan untuk menerapkan nilai nilai tersebut

sehingga dapat diterima di lingkungannya. Selain itu anak juga akan

belajar nilai moral dan etika, belajar membedakan mana yang benar

dan mana yang salah, serta belajar bertanggung jawab terhadap

tindakan yang dilakukannya.

g. Manfaat terapeutik

30
Bermain bersifat terupetik pada berbagai usia. Bermain

memberikan saran untuk melepaskan diri dari ketegangan dan stress

yang dihadapi di lingkungan. Dalam bermain anak dapat

mengekspresikan emosi dan

31
melepaskan implus yang tidak dapat diterima dalam di terima di

masyarakat. Melalui bermain anak-anak mampu mengkomunikasikan

kebutuhan, rasa takut, dan keinginan mereka kepada pengamat yang

tidak dapat mereka ekspresikan karena keterbatasan keterampilan

bahasa mereka.

2.2.3. Faktor yang mempengaruhi pola bermain

Menurut Rahayu, (2018), faktor-faktor yang mempengaruhi pola

bermain pada anak yaitu:

a. Tahap perkembangan, setiap perkembangan mempunyai potensi

atau keterbatasan dalam permainan. Alat permainan pada tiap umur

berbeda.

b. Status kesehatan, pada anak yang sedang sakit kemampuan

psikomotor/kognitif terganggu. Sehingga ada saat-saat dimana anak

sangat ambisius pada permainannya dan ada saat-saat dimana anak

sama sekali tidak punya keinginan untuk bermain

c. Jenis kelamin, anak laki-laki dan perempuan sudah membentuk

komunitas tersendiri. Tipe dan alat permainan pun berbeda,

misalnya anak laki-laki suka main bola dan anak perempuan suka

bermain boneka.

d. Lingkungan, lokasi dimana anak berada sangat mempengaruhi pola

permainan anak.

32
e. Alat permainan yang cocok, disesuaikan dengan tahap Tekhnik

bermain dengan cerita (Montolalu, 2014)

Bercerita

Bercerita atau membaca secara psikologis merupakan salah satu bentuk dari

bermain yang sangat sehat. Banyak anak kecil yang sangat menyukai cerita tentang

hewan atau orang yang mereka kenal. Karena itu pada anak kecil cenderung

egosentrik, mereka senang akan cerita yang berfokus pada dirinya sendiri. Pada

mulanya anak menyukai cerita yang imajinatif kemudian dengan berkembangnya

tahapan pertumbuhan dan perkembangan akan kecerdasan serta pengalaman

sekolah anak yang lebih besar atau dewasa akan lebih realistik dan teralihnya minat

ke cerita petualangan, kemewahan, kekerasan, pendidikan dan cinta.

a. Boneka

Untuk mengembangkan kemampuan linguistik dalam kosakata anak dan belajar

kreatif tentang anak ada cara yang menyenangkan adalah cara memberikan cerita

dengan bermain boneka, atau mendengarkan cerita dengan boneka.

Boneka merupakan mainan yang universal baik bagi anak laki – laki maupun anak

perempuan, secara alami akan tertarik dengan bermain boneka yang menstimulasi

pada anak. Ketika anak sedang menceritakan diri mereka atau mendengarkan cerita

dari terapisnya, akan membantu anak untuk menambah kosakata yang baru, ini juga

mampu membantu anak dalam berkomunikasi dengan baik, anak juga lebih kreatif

33
pada saat mereka memainkan boneka tangan atau bermain boneka tangan sehingga

mereka bisa mengeluarkan ide – ide cerita sesuai karakter yang dibentuk. Ini

merangsang otak anak untuk berfikir kreatif, anak akan mengkomunikasikan

informasi yang penting tentang dirinya dan keluarga sesuai karakter yang dia

mainkan sambil belajar tentang mengekspresikan dan mengusai perasaannya.

Dengan mendengarkan cerita yang diceritakan anak, terapis dapat memahami akan

lebih baik pertahanan anak, perilaku yang dimiliki anak melalui cerita yang

disampaikan, konflik anak, serta kosakata yang dimiliki anak. Proses analisis cerita,

terapis harus mencari alat peraga edukatif yang mendidik anak dan mampu menarik

perhatian anak, mencari tema dan yang sedang diulang anak yang dapat dijadikan

kunci penting akan perjuangan, moral dan perasaan – perasaan pada anak. Terapis

juga harus bisa akrab, mencari alat peraga edukatif seperti boneka baik boneka bayi,

boneka hewan maupun manusia untuk mendidik anak dan menstimulasi untuk

melatih dan mengembangkan kemampuan kerja otak dengan anak serta bersikap

terampil dan kreatif akan menginterpretasikan komunikasi simbolik, menambah

kosakatanya secara tepat dan wajar. Semua tergantung pada pertimbangan terapis

dan keterampilan.

b. Membaca langsung dari buku cerita

Manfaat akan membaca secara langsung sangat banyak sekali yang bisa diambil dan

dipetik khususnya pada proses membaca dan menulis. Pada anak TK dimulai

kegiatan ini. Anak – anak bisa melihat hubungan antara tulisan dan gambar dan

menemukan mula kata atau ejaan maupun suara. Dengan membaca secara langsung

34
dari buku, tanpa bersifat menggurui dan system drilling yang disengaja, tanpa ada

unsur paksaan pada anak.

c. Menceritakan dongeng

Mendongeng adalah cara membaca atau bercerita yang meneruskan warisan budaya

dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dikatakan mendongeng merupakan

sebuah tekhnik yang dikenal lebih lama. Selain itu dapat digunakan untuk

menyampaikan pesan – pesan kebajikan pada anak, dapat mengenalkan suatu

daerah, adat istiadat, budaya dari tempat berasalnya dongeng itu. Sehingga, dongeng

perlu dipertahankan dalam kehidupan anak.

d. Menggunakan ilustrasi buku

Tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan buku – buku cerita yang baik untuk anak

dengan usia dini sangatlah sulit ditemukan.

Kerap sekali kita menjumpai buku cerita yang memiliki isi yang baik dan bagus

namun isinya terlalu panjang dan kurang banyak dalam manampilkan ilustrasi

gambar. Tentu sangat sulit bagi anak TK untuk mandengarkan cerita tanpa sebuah

ilustrasi gambar karena menuntut pemusatan dalam perhatian yang sangat besar

dibandingkan saat anak mendengarkan cerita dari buku gambar.

e. Bercerita menggunakan boneka

35
Tekhnik bercerita dengan menggunakan media boneka juga tidak kalah menarik

untuk anak. Banyak sekali alat atau media boneka yang bisa digunakan pada tekhnik

ini, yaitu boneka tangan dan boneka jari. Seperti pada boneka tangan berbentuk

macam – macam binatang, namun ada juga yang dijual perset, misal boneka tangan

“keluargaku” terdiri atas keluarga inti yaitu kakek, nenek, ayah, ibu, anak laki – laki

dan anak perempuan.

Tekhnik bercerita dengan boneka ini bisa dikombinasikan dengan panggung,

kemudian dikenal sebagai metode sandiwara boneka. Penggunaan panggung ini

yang berupa papan penyekat dilengkapi dengan sebuah penutup atau layar yang

dapat lebih mengundang antusiasme anak sebagai penontonya.

Kecemasan

Kecemasan adalah kekawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan

perasaan tidak pasti dan tidak berdaya dan keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang

spesifik (Stuart, 2006). Kecemasan adalah keadaan ketika individu atau kelompok

mengalami perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan aktivitas sistem saraf autonom dalam

berespon terhadap ancaman yang tidak jelas, non spesifik (Carpenito, 2007). Kecemasan

adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa

cemas, individu merasa tidak nyaman (takut) atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa

malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi.

Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus ansietas (Videbeck, 2008).

36
Tanda-tanda Kecemasan

Menurut Hawari (2008) tanda-tanda kecemasan antara lain:

a. Ketegangan motorik dan alat gerak Gemetar, tegang nyeri otot, tidak dapat santai,

kelopak mata bergerak, kening berkedut, muka tegang, gelisah.

b. Hiperaktif saraf otonom Berkeringat berlebihan, jantung berdebar-debar, rasa dingin,

telapak tangan dan kaki bawah, mulut kering, pusing, kepala terasa dingin, sering BAK,

diare, rasa tidak enak diulu hati, muka merah atau pucat, denyut nadi dan nafas cepat waktu

istirahat.

c. Rasa khawatir yang berlebihan tentang hal yang akan datang Cemas, khawatir, takut

berfikir berulang atau membayangkan akan datangnya kemalangan terhadap dirinya atau

orang lain.

d. Kewaspadaan berlebihan Mengamati lingkungan secara berlebihan, sehingga

mengakibatkan perhatian mudah beralih, sukar konsentrasi, sukar tidur, merasa nyeri,

mudah tersinggung.

Tingkat Kecemasan

Menurut Stuart (2006) tingkat kecemasan terdiri dari:

a.Kecemasan Ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan seharihari dan menyebabkan seseorang

menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya dengan tanda dan gejala sebagai

berikut: detak jantung cepat dan berdebar-debar, tangan terasa gemetar, sedikit gelisah, serta

berkeringat lebih banyak dari biasanya, cemas dapat memotivasi belajar dan menghasilkan

pertumbuhan kreatifitas.

Kecemasan ringan biasanya sedikit mengalami peningkatan tanda-tanda vital.

37
1) Respon fisiologis Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, muka berkerut,

bibir bergetar.

2) Respon kognitif Lapangan persepsi meluas mampu menerima rangsangan yang

kompleks, dapat berkonsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif.

3) Respon perilaku dan emosi Tidak dapat duduk dengan tenang, tremor halus pada tangan,

suara kadang-kadang meninggi.

b. Kecemasan Sedang

Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan

yang lain dengan tanda dan gejala sebagai berikut: mulut kering, anoreksia, gelisah dan

gemetar, ekspresi wajah ketakutan, tidak mampu bersikap rileks, suka tidur banyak,

berbicara dengan suara yang keras dan nadi biasanya lebih cepat. Cemas sedang pada

seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih

terarah.

Kecemasan yang ditandai dengan menurunnya konsentrasi dan persepsi, sakit kepala, sering

berkemih.

1) Respon fisiologis Sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering,

anoreksia, gelisah

2) Respon kognitif Lapang persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima,

berfokus pada apa yang menjadi perhatian.

3) Respon perilaku dan emosi Gerakan tersentak-sentak, meremas tangan, bicara banyak,

susah tidur, perasaan tidak aman.

c. Kecemasan Berat

Lapangan persepsi menyempit, pusat perhatian lebih detail, individu cenderung

38
memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang lain ditandai dengan tanda dan

gejala sebagai berikut: meremas-remas tangan, kecewa, tidak berdaya, merasa tidak

bahagia, merasa bodoh terhadap tindakan yang dilakukan, sangat mengurangi lahan persepsi

seseorang yang cenderung memusatkan pada sesuatu yang spesifik dan tidak dapat berfikir

tentang hal lain, semua perilaku di tujukan untuk mengurangi ketegangan individu

memerlukan banyak pengarahan agar dapat memusatkan area lain.

Perasaan mengancam atau takut meningkat, mengalami peningkatan tanda-tanda vital.

1) Respon fisiologis Nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat dan sakit

kepala, penglihatan kabur dan ketegangan.

2) Respon kognitif Lapangan persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah.

3) Respon perilaku dan emosi Perasaan ancaman meningkat, merasa tidak bahagia.

d. Panik

Individu kacau tidak terkontrol dan persepsi menyimpang, berfikir tidak teratur dan perilaku

tidak tepat, berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain, keadaan kritis dan ditandai dengan

gejala sebagai berikut: penglihatan berkunang-kunang, perasaan berdebardebar, sakit kepala

dan sulit bernafas, rasa mau muntah dan otot tubuh terasa tegang dan tidak mampu

melakukan apa-apa. Pada tingkat ini tahap persepsi sudah terganggu sehingga individu tidak

dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melaksanakan apa-apa walaupun sudah

diberikan pengarahan. Perasaan berdebar-debar penglihatan berkunang-kunang, otot tubuh

terasa tegang, tidak mampu melakukan apa-apa, gangguan realitas.

1) Respon fisiologis :Nafas sesak, rasa tercekik, sakit dada, pucat.

2) Respon kognitif Lapangan persepsi sangat sempit, tidak dapat

berfikir logis.

39
3) Respon perilaku dan emosi Mengamuk dan marah, ketakutan,

berteriak-teriak, kehilangan kontrol diri, persepsi kacau.

Menurut Hawari (2004) tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur

(instrument) yang dikenal dengan nama Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang

terdiri dari 14 kelompok gejala, antara lain:

1. Perasaan cemas: firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan mudah tersinggung.

2. Ketegangan: merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu.

3. Ketakutan: takut terhadap gelap, orang asing, bila ditinggal sendiri.

4. Gangguan tidur: sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak nyenyak.

5. Gangguan kecerdasan: sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun.

6. Perasaan depresi (murung): hilangnya minat, sedih dan perasaan berubah-rubah

sepanjang hari.

7. Gejala somatik/fisik (otot): sakit dan nyeri otot, kaku, kedutan otot.

8. Gejala somatik/fisik (sensorik): Telinga berdengung, penglihatan kabur, muka merah atau

pucat.

9. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah): takikardi (denyut jantung cepat),

berdebar-debar, nyeri dada, denyut nadi mengeras.

10. Gejala respiratori (pernafasan): rasa tertekan atau sempit didada, sering menarik nafas,

nafas pendek atau sesak.

11. Gejala gastrointestinal (pencernaan): sulit menelan, perut melilit, gangguan pencernaan,

nyeri sebelum dan sesudah makan, rasa penuh atau kembung, mual, muntah.

12. Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin): sering BAK, tidak bisa menahan pipis,

tidak datang bulan, darah haid sedikit, haid sangat pendek, ejakulasi dini, ereksi hilang dan

40
impotensi.

13. Gejala autonom: mulut kering, mudah berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat.

14. Tingkah laku (sikap): gelisah, tidak tenang, jari gemetar, wajah tegang, otot

tegang/mengeras, nafas pendek dan cepat.

Respon fisik dan psikologis terhadap cemas

Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku

secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk

melawan kecemasan tersebut. Intensitas perilaku tersebut akan meningkat sejalan dengan

peningkatan tingkat kecemasan (Ramdanes, 2013).

41
BAB III

KERANGKA

KONSEP

3.1 Kerangka konsep Perkembangan

Faktor yang Tingkat Kecemasan


mempengaruhi
Kecemasan :
1. Tahap
perkembangan
2. Status kesehatan
3. Jenis kelamin Kelompok perlakuan Kelompok control
4. Lingkungan (Pre test) (post test)

Tanpa Terapi Terapi


Bercerita Bercerita
Boneka

KPSP KPSP

Tingkat Kecemasan:
1. Ringan
2. Sedang
Keterangan : 3. Berat
: Diteliti
: Tidak diteliti

42
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian pengaruh terapi bercerita terhadap
tingkat kecemasan akibat sirkumsisi pada anak di klinik …

43
3.2 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara yang kebenarannya akan

dibuktikan melalui penelitian. Hipotesis ditarik dari serangkaian fakta yang

muncul sehubungan dengan masalah yang diteliti (Saraswati, 2017).

H1 : Ada pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat kecemasan akibat

sirkumsisi di klinik

44
BAB IV

METODE

PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Desain

penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian jenis quasi

eksperimental design, dimana penelitian eksperimental yang memberikan

manipulasi terhadap independent variable, tetapi tanpa randomisasi antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Jenis quasi ekperimental design

pada penelitian ini mengambil jenis pretest and posttest with control group

design (Sugiyono, 2018). Rancangan penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat kecemasan akibat

sirkumsisi di klinik ….

Variabel independen pada penelitian ini adalah terapi bercerita

sedangkan variabel dependen pada penelitian ini adalah tingkat kecemasan

akibat sirkumsisi. Responden dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok,

yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Kelompok kontrol

diobservasi (pretest) tanpa diberikan perlakuan kemudian di observasi kembali

dengan jangka waktu 1x 24 jam setelah pretest, dan kelompok eksperimen

45
diobservasi terlebih dahulu (pretest) sebelum diberikan perlakuan terapi

bercerita kemudian, diobservasi kembali setelah diberikan terapi bercerita.

46
Selama 1 x 24 jam dalam durasi bercerita 20 menit (posttest) yang dilakukan oleh

peneliti.

Group Pretest Intervention Posttest

A O X O

B O O

Time

Bagan 4.1 Desain penelitian pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat


kecemasan akibat sirkumsisi di klinik.

Keterangan :

A : Kelompok

Eksperimen B :

Kelompok Kontrol

O : Observasi (pretest) sebelum diberikan terapi bercerita pada kelompok


eksperimen dan kelompok kontrol

X : Intervensi pemberian terapi bercerita dalam durasi 20 menit

O : Observasi (posttest) pada kelompok eksperimen setelah diberikan terapi


bercerita setelah 1 x 24 jam dan pada kelompok kontrol dilakukan
observasi (posttest)

T : Diukur dalam satu waktu

47
4.2. Populasi, Sampel, dan Sampling

4.2.1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang di tetapkan oleh

peneliti untuk di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono,

2018:80). Populasi pada penelitian ini adalah anak usia 5 – 8 tahun yang

berjumlah 30 anak.

4.2.2. Sampel

Menurut Sugiyono (2018: 81), sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan

peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya

karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat

menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Sampel dalam penelitian

sejumlah 30 anak.

Sampel yang dijadikan responden adalah yang memenuhi kriteria

inklusi pada saat screening. Kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini

sebagai berikut

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian

dapat mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat

sebagai sampel (Hidayat, 2017).

48
Kriteria inklusi penelitian ini :

a. Anak usia 5-8 tahun.

b. Anak yang tidak mengalami gangguan mental

49
2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian

tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat

sebagai sampel penelitian (Hidayat, 2017).

Kriteria eksklusi penelitian ini :

a. Anak usia di bawah 5 tahun dan diatas 8 tahun.

b. Anak dengan tuna rungu dan tuna wicara

c. Anak dengan tantrum

4.2.3. Sampling

Sampling adalah merupakan tehnik pengambilan sampel. Untuk

menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai

tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive

sampling yaitu Metode penetapan responden untuk dijadikan sampel

berdasarkan pada kriteria tertentu, untuk menetukan sampel peneliti memilih

responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi (Siregar, 2017).

50
4.3. Kerangka Kerja

Judul
Pengaruh terapip bercerita terhdap tingkat kecemasan akibat sirkumsisi di klinik …

Populasi
Semua anak usia 5-8 Tahun di klinik sejumlah 30 anak

Sampel
Anak usia 5-8 Tahun sejumlah 30 anak

Sampling
Tehnik pengambilan sampling dengan purposive sampling

Desain Penelitian
Quasi eksperimen dengan rancangan pretest and posttest with control
group design

Pengolahan Data
Editing, coding,, analiting, cleaning, Scoring

Pengumpulan Data
Kuesioner Hars

Analisa Data
Uji Wilcoxon

Kesimpulan
H0 diterima, jika p value > α = α : 0,05
H1 diterima, jika p value < α = α : 0,05

Bagan 4.2 Kerangka kerja penelitian pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat

51
kecemasan akibat sirkumsisi di klinik …

52
4.4. Variabel Penelitian

Variabel merupakan karakteristik yang memberikan nilai beda

terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Nursalam, 2017). Sedangkan

menurut Sugiyono (2018: 38), variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk

apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh

informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel

penelitian juga merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek,

atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemduian ditarik kesimpulan.

Penelitian ini berjudul pengaruh terapi bermain mewarnai gambar

terhadap perkembangan motorik halus anak usia 5-8 tahun di Klinik …. , maka

variabelnya sebagai berikut :

4.4.1. Variabel Independen (Variabel bebas)

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau

nilainya di menentukan variable lain (Nursalam, 2017). Variabel independen

dalam penelitian ini adalah terapi bercerita .

4.4.2. Variabel Dependen (Variabel terikat)

Variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain, atau variabel

terikat adalah faktor yang diamati atau diukur untuk menentukan ada tidaknya

hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2017). Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan akibat sirkumsisi.

53
4.5. Tempat Pengambilan Data

Pengambilan data ini dilakukan di klinik … Jember dengan hasil

data yang diperoleh dari kepala sekolah sebanyak 30 anak.

4.6. Waktu Pengambilan Data

Waktu pengambilan data ini akan dilaksanakan selama … minggu

yaitu bulan ….

4.7. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan pemberian arti atau makna pada

setiap variabel berdasarkan karakteristik masing-masing variabel untuk

kepentingan akurasi, komunikasi, dan replikasi agar memberikan pemahaman

yang sama kepada setiap orang mengenai variabel yang dirumuskan dalam

penelitian (Nursalam, 2017).

54
Definisi
Variabel Operasional Indikator Alat Ukur Skala Skor

Variabel Memberikan 1 . menyiapkan alat SOP - -


independen : terapi bermain dan tempat
terapi dengan tehnik 2. menyapa klien
bercerita berceritamenggu 3. mempersilahkan
nakan media anak untuk memilih
boneka cerita
4. bercerita
menggunakan media
boneka
5. memberikan feed
back

55
Variabel Keadaan emosi 1. gejala somatic HARS Ordinal Skor
dependen : tanpa objek 2. gejala psikomatik menggunakan
tingkat tertentu penilaian :
kecemasan Tidak
akibat Cemas : <14
sirkumsisi Ringan : 14-
20
Sedang : 21-
27
Berat : 28-41
Panik : 45-56

Tabel 4.3 Definisi operasional pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat


kecemasan akibat sirkumsisi di klinik ….

4.8. Pengumpulan Data

4.8.1. Sumber Data

Menurut Sugiyono (2018: 137) pengumpulan data bila dilihat dari

sumber datanya, dapat menggunakan sumber primer, dan sumber sekunder.

Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung

memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau

lewat dokumen.

4.8.2. Tehnik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dengan beberapa tahapan.

56
Berikut ini merupakan tahapan-tahapan yang

dilalui oleh peneliti, diantaranya adalah :

57
1. Perijinan

2. Skirining Sampel

Skirining sampel dilakukan peneliti dengan upaya menetapkan

responden yang akan dijadikan sampel.

3. Peneliti memberikan penjelasan mengenai tujuan dan manfaat

penelitian

4. Individu yang masuk kriteria dan bersedia menjadi responden

penelitian (pesetujan kepala sekolah) diminta untuk menandatangani

informed consent.

5. Alat ukur HARS yang sudah diisi kemudian dilakukan penghitugan

untuk mengidentifikasi hasil.

6. Editing semua item yang telah diisi.

4.8.3. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen penelitian adalah alat penggumpul data yang di susun

dengan maksud untuk memperoleh data yang sesuai baik data kualitatif

maupun data

58
kuantitatif (Nursalam, 2017). Observasi merupakan cara penggumpulan data

dengan mengadakan pengamatan secara langsung kepada responden

penelitian untuk mencari perubahan atau hal-hal yang akan di teliti.

Alat ukur yang di gunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner

HARS.

4.9. Pengolahan dan Analisa Data

4.9.1. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam

penelitian, oleh karena itu harus dilakukan dengan baik dan benar. Kegiatan

dalam proses pengolahan data adalah sebagai berikut :

a. Memeriksa data (Editing)

Setelah mendapatkan data, kemudian dilakukan pemeriksaan


kebenaran data.

b. Memberi kode (Coding)

Pada tahap Coding dilakukan pemberian kode numerik (angka)

terhadap data yang terdiri dari beberapa kategori.

c. Menyusun data (Entry data)

Pada tahap ini, data yang dikumpulkan dimasukkan ke dalam master


table

atau database computer, kemudian membuat distribusi frekuensi


sederhana.

d. Analisa (Analiting)

59
Data yang telah dikumpul pada saat penelitian kemudian dilakukan
analisis

univariat dan bivariate.

60
e. Cleaning

Pada tahap ini dilakukan pengecekan kembali data yang sudah

dientri apakah ada kesalahan atau tidak (Notoatmodjo, 2012).

f. Scoring

Scoring yaitu penelitian data dengan memberikan skor pada

pertanyaan yang berkaitan dengan tindakan responden.

Menurut Sugiyono (2018: 147), analisa data merupakan kegiatan

setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul.

1. Analisa Univariat

Analisis univariat dilakukan tiap variabel dari hasil penelitian. Pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase di

tiap variabel (Notoadmodjo, 2010).

61
2. Analisa Bivariat

Analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2010),

Untuk mengetahui pengaruh antara dua variabel apakah signifikasi atau

dengan signifikasi atau kebenaran 0,05 dengan mengguanakan uji willcoxon

dengan software SPSS 16.0, dimana p<α = 0,05 maka ada pengaruh terapi

bercerita terhadap tingkat kecemasan akibat sirkumsisi.

4.10. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu mendapatkan adanya

rekomendasi dari institusi atau pihak lain dengan mengajukan permohonan

ijin kepada institusi atau lembaga terkait tempat penelitian. Setelah mendapat

persetujuan dari institusi terkait barulah peneliti melakukan penelitian dengan

menekankan masalah etika yang meliputi :

1. Informed consent

Sebelum lembar persetujuan diberikan kepada responden, dengan

terlebih dalu peneliti memberikan penjelasan maksud dan tujuan penelitian

yang akan dilakukan. Jika responden bersedia maka diberi lembar permohonan

menjadi responden dan lembar persetujuan menjadi responden yang harus

ditandatangani, tetapi jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti

tidak akan memaksa dan tetap akan menghormati hak-haknya.

62
2. Tanpa nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan informasi dari responden, peneliti tidak

akan mencantumkan nama dari responden pada lembar pengumpul data, tetapi

dengan memberikan nomer kode pada masing-masing lembar yang dilakukan

oleh peneliti sebelum lembar pengumpul data diberikan kepada responden.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi yang diberikan responden dijamin oleh

peneliti dengan cara bahwa informasi tersebut hanya akan diketahui oleh

peneliti dan pembimbing atas persetujuan pembimbing dan hanya kelompok

data tertentu yang disajikan sebagai hasil penelitian.

63
DAFTAR PUSTAKA

Aprina, A., Ardiyansa, N., & Sunarsih, S. (2019). Terapi Bermain Puzzle pada
Anak Usia 3-6 Tahun Terhadap Kecemasan Pra Operasi. Jurnal
Kesehatan, 10(2), 291-297.

Aizid. 2011. Sehat dan Cerdas dengan Terapi Musik. Jakarta: Transmedia

Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka


Cipta.

Barbara. 2001. Support Pasien Pre Operasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Budiarto, Eko. 2001. Biostatistik untuk Kedokteran & Kesehatan Masyarakat.


Jakarta: EGC

------------------. 2002. Biostatistik untuk Kedokteran & Kesehatan Masyarakat.


Jakarta: EGC

Carpenito. 2007. Konsep Kecemasan. Dibuka pada tanggal 27 Desember 2011.


Dari website http://teori kecemasan.blogspot.com

Ditasari, D. (2019). Terapi Bermain Untuk Menurunkan Kecemasan


Hospitalisasi Pada Pasien Anak Usia Sekolah (Studi di RS. Budiasih
Serang) (Doctoral dissertation, UIN SMH Banten).

Dorland. 2004. Support Pasien Pre Operasi. Jakarta: Salemba Medika

64
Grace. 2011. Support Pasien Pre Operasi. Bandung: Yayasan IKAPI

Hawari.2004. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: EGC


---------. 2008. Manajemen Stress Cemas dan Depresi. Jakarta: EGC

Hidayat A.Aziz Alimul (2014), Metode Kebidanan dan Teknik Analisa Data,
Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat A.Aziz Alimul (2017), Riset Keperawatan dan tehnik penulisan


ilmiah. Salemba Medika: Jakarta

Hudatama, L. M. (2019). Hubungan Pola Asuh, Pendidikan. Dan Sikap


Orangtua Dengan Perkembangan Kreativitas Anak Usia Pra Sekolah
Di Tk Ra Aisyiah

Mohammad. 2009. Konsep Sehat dan Sakit. Jakarta: SalembaMedika

Notoadmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.


Rineka Cipta.
-----------------------------. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.

Nursalam. 2004. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
------------. 2004. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

65
Tampunik Nagari Kambang Timur Kabupaten Pesisir Selatan
Tahun 2019 (Doctoral dissertation, Stikes perintis Padang).

Jannah, R, D. (2017). Terapi Bermain untuk Meningkatkan Konsentrasi pada


Anak Autis Di SD Al- Firdaus Surakarta.

Khamaliyah, A., Fatimah, A., & Kusumawardani, R. (2019). Pengaruh


Bermain Pasir Kinetik Terhadap Kreativitas Anak. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini, 6(1), 21-28

Khairi, H. (2018). Krakteristik Perkembangan Anak Usia Dini Dari 0-6 Tahun
Jurnal Warna, 2(2), 15-28.

Maghfuroh, L., & Putri, K. C. (2017). Pengaruh Finger Painting Terhadap


Perkembangan Motorik Halus Anak Usia Usia 5-6 tahun Di Tk Sartika
I Sumurgenuk Kecamatan Babat Lamongan. Journal of Health
Sciences, 101

Nabila, N. J. (2019). Pengaruh Bermain Pembanggunan Terhadap


Keterampilan Motorik Halus Anak Usia 5-6 Tahun di PAUD Sekar
Melati Kota Agung Tangamus.SKRIPSI.Program S1 Ilmu
Keperawatan Sekolah Ilmu Tinggi Keperawatan Ihsan Cendekia
Medika Jombang.

Notoadmodjo, S. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka

Cipta

Nursalam. 2017. Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan. edisi 6 Salemba

Medika:Jakarta

Pangestika, R. A., & Setiyorini, E. (2015). Pengaruh Bermain Plastisin


terhadap Perkembangan Motorik Halus pada Anak PRA Sekolah.
Jurnal Ners dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 2(2),
169-175.

Rahayu, F. S. (2018). Penerapan Terapi Bermain Puzzel Terhadap Tingkat


Kecemasan pada Hospitalisasi Anak Usia Usia 5-6 tahun di Bangsal
Dahlia RSUD WonosariI (Doctoral dissertation, poltekkes kemenkes

66
yogyakarta).

Resia, E. (2019, August). Meningkatkan Kemampuan Kreativitas Melalui


Media Clay pada Anak Usia 5-6 Tahun. In Prosiding Seminar
Nasional PG PAUD Untirta 2019 (pp. 103-112).

Rifdiastuty, D. E., Alfiyanti, D., & Purnomo, E. (2015). Pengaruh Clay


Therapy Terhadap Perkembangan Motorik Halus pada Anak Usia 5-6
tahun Usia 4-5 Tahun di TK Mekarsari Kendal. Karya Ilmiah.

67
Siregar, S. 2017. Metode penelitian kuantitatif. Jakarta : KENCANA (Divisi
dari PRENADAMEDIA Group).

Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.


Bandung: Alfabeta.

68
51
70

Anda mungkin juga menyukai