Ahmadi Islam Abad XX
Ahmadi Islam Abad XX
A. Pendahuluan
Pasca dibumihanguskannya Baghdad pada tahun 1258 M oleh pasukan
Mongol dibawah pimpinan Khulagu Khan, kondisi politik umat Islam mulai
merosot.1 Keadaan politik umat mulai pulih kembali setelah munculnya tiga
kerajaan besar; Kerajaan Usmani di Turki (1258-1926 M.), Mughal di India
(1206-1526 M.), dan Shafawi di Persia (1501-1732 M.). Dari ketiga kerajaan
tersebut, yang paling besar dan yang bertahan lama adalah Kerajaan Usmani
dibanding dua yang lainnya2.
Namun secara garis besar kejayaan ketiga kerajaan Islam tersebut masih
belum bisa disejajarkan dengan kejayaan Islam pada masa Khulafa’ Rasyidin
hingga Abbasiyah, yang menurut Badri Yatim adalah masa Kemajuan Islam I.
Membahasa hubungan Islam dan ke-modern-an, juga tidak lepas dengan
membahas kondisi Barat, yang mana pada saat Islam mengalami kemunduran,
disaat itu pulalah bangsa Barat mengalami kemajuan. Dan ini berbanding terbalik
saat Islam mengalami kemajuannya, saat itu adalah masa kegelapan bagi Barat3.
Ira M. Lapidus 4 telah membagi pembabakan sejarah Islam dalam tiga
periode, yakni pertama, periode awal peradaban Islam di Timur Tengah (Abad
VII-XIII M.), Kedua, periode penyebaran peradaban Islam Timur Tengah ke
wilayah lain atau disebut juga era “Penyebaran global masyarakat Islam” (Abad
XIII-XIX M.) dan ketiga, periode perkembangan modern umat Islam (Abad XIX-
XX M.).
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan mencoba untuk memaparkan
bagaimana hubungan Islam dan ke-modern-an, serta kondisi Barat, serta harapan
dan ide kebangkitan Islam hubungannya dengan semangat ke-modern-an.
1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2010, hal 49, lihat juga
Siti Maryam (edt), Sejarah Peradaban Islam; dari masa klasik hingga modern, Jogjakarta: LESFI,
2003 hal. 117
2
Yatim, Op.Cit, hal. 129
3
Ibid, 169
4
Dalam Maryam, Op.Cit. hal. 12-15
2
5
Yang paling terasa dari akibat perang salib adalah kontak langsung antara Timur dan
Barat, serta pertukaran pikiran antara keduanya, dan pengetahuan Timur yang progresif dan
menjadi memberi daya dorong yang sangat besar bagi pertumbuhan intelektual Barat, disamping
keuntungan-keuntungan lain yang didapat Barat. Lihat Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 174
6
Yatim, Op.Cit, hal. 169
7
Ibid, hal. 170
3
Inggris, dan beberapa kekuatan Islam di Asia Tenggara jatuh ke tangan Barat,
terlebih Mesir sebagai salah satu pusat peradaban Islam jatuh ke tangan Napoleon
Bonaparte dari Prancis pada tahun 1798 M. Dengan semakin lebarnya jurang
antara Timur dan Barat ini, semakin membuka mata orang Timur untuk banyak
belajar dari Barat, disamping dalam perkembangannya hampir seluruh kekuasaan
Islam jatuh ke tangan Barat8.
Disamping kemunduran yang tersebut diatas, ternyata ada hal yang cukup
signifikan yang perlu kita renungkan, yakni, ternyata keagamaan yang dimiliki
oleh kaum muslim angkatan pertama lebih dahsyat dalam memaknai agamanya,
mereka beranggapan bahwa agama mereka mempunyai keistimewaan dibanding
dengan agama lain. Sedangkan zaman-zaman selanjutnya lebih mengutamakan
lahiriah, sehingga berbagai bentuk ibadah kehilangan jiwanya dan tinggal bentuk
amalan belaka. Bahkan, yang ironis, banyak kaum muslimin yang suka
bermewah-mewah, bermaksiat, meraka merasa berhak menggunakan harta rakyat,
ingin mendapatkan kemenangan dengan gratis, mereka enggan menginfakkan
harta karena putus asa menghadapi musuh yang kuat, dan yang lebih parah lagi,
mereka enggan berkorban dengan jiwa. Sedangkan orang Nasrani pada Perang
Dunia I dan II, tidak menghitung-hitung apa yang mereka korbankan9.
Selain itu sebenarnya Barat mempunyai utang budaya (cultural indebtedness)
terhadap kaum muslimin, namun karena keangkuhannya Barat mengecilkan,
menutupi, dan mengingkari peranan muslim terhadap perkembangan Barat sampai
saat ini10.
11
Yatim, Op.Cit. hal 174
12
Ibid, hal. 176-177
13
Ibid, hal 177
5
Wina Turki terhadap Eropa pada tahun 1683 M, telah membuka mata Barat bahwa
Turki dalam kemunduran14, dan akhir kekuasaan Turki di Eropa ditandai dengan
ditandanganinya Perjanjian San Stefano (Maret, 1878), dan Perjanjian Berlin
(Juni-Juli, 1878) antara Kerajaan Turki Usmani dan Rusia15. Dan kekuasaan Turki
Usmani benar-benar terhapus pada tahun 1924 M, di saat Turki Usmani bersama
Jerman kalah dalam Perang Dunia I, semua kekuasaannya diambil alih oleh
Bangsa Eropa yang menang perang, baik di Asia maupun Afrika. Perang ini
merupakan proses akhir penaklukan Eropa terhadap Islam16.
Lain halnya di Timur Tengah, penetrasi Barat terhadap Islam dilakukan oleh
Prancis yang merasa perlu memutus jalur komunikasi Inggris di Barat dan India di
Timur, dengan menguasai Mesir pada tahun 1789 M17. Selain motivasi tersebut,
sebenarnya motif ekonomi juga melatarbelakangi, yang mana Prancis bermaksud
mendistribusikan barang-barangnya ke Turki, Syiria, Hijaz, pun juga ke Timur
Jauh. Napoleon Bonaparte selaku Panglima Ekspidisi berkeinginan untuk
mengikuti jejak Alexander the Greet dari Macedonia, yang menguasai Eropa dan
Asia, sampai ke India. Namun pada tahun 1799 M. kondisi politik Prancis
memaksa Napoleon untuk meninggalkan Prancis, kemudian digantikan Jenderal
Kleber, yang kemudian kalah dalam peperangan melawan Inggris, dan dipaksa
meninggalkan Mesir Pada 31 Agustus 1801 M18.
Ditengah kekosongan kekuasaan di Mesir, Muhammad Ali (1769-1849 M.),
perwira Turki, mengambil alih kepemimpinan dengan dukungan rakyat berhasil
membangun dinastinya, namun pada tahun 1882 M. Inggris berhasil menaklukkan
kekuasaan ini19.
Persaingan antara Inggris dan Prancis di Timur Tengah sudah berlangsung
lama, ini bisa dilihat dari data berikut20;
Tahun Daerah Terjajah Penjajah
1820 Oman dan Qatare Inggris
14
Ibid, hal. 178
15
Ibid, hal. 180
16
Ibid, hal. 181
17
Loc.Cit
18
Ibid, hal. 182
19
Loc.Cit
20
Loc.Cit
6
21
Ibid, hal. 182-183
22
Ibid, hal. 183
7
‘asing’ yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran itu
bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat, dan
takhyul. Ajaran-ajaran inilah menurut mereka, yang membawa Islam menjadi
mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran
atau faham seperti itu. Gerakan ini dinamakan gerakan reformasi. Kedua, pada
periode ini, Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban.
Persentuhan dengan Barat tersebut, menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan
ketertinggalan mereka. Karena itu, mereka berusaha bangkit dengan mencontoh
Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance
of power23.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya-yang
dikenal dengan nama pembaharuan-sebagai mana yang telah diuraikan di atas,
didorog oleh dua faktor yang saling mendukung. Yaitu usaha pemurnian kembali
ajaran-ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab
kemunduran Islam, dan usaha menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu
pengetahuan dari Barat. Yang pertama ditandai dengan munculnya gerakan
Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787 M) di
Arabiah, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan gerakan Sanusiyah di
Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi. Sedangkan yang kedua
dimulai dengan upaya pengiriman pelajar Muslim oleh penguasa Turki Usmani
dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba Ilmu pengetahuan. Disamping
itu, adanya upaya penterjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam.
Gerakan-gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh umat Islam tersebut,
lambat laun merembet ke dalam dunia politik, hal ini disebabkan karena Islam
tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul
adalah gagasan Pan-Islamisme (Persatuan Islam se-dunia) yang didengungkan
oleh gerakan Wahabiyah dan Sansusiyah. Akan tetapi gagasan Pan-Islamisme ini
23
Ibid.. hal 173-174
8
baru terdengar lantang ketika disuarakan oleh seorang pemikir Islam terkenal,
Jamaluddin al-Afgani (1839-1897 M)24.
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora ini, mendorong Sultan Kerajaan
Turki Usmani Abdul Hamid II (1876-1909 M), untuk mengundang al-Afagani ke
Istambul. Gagasan ini mendapat sambutan hangat dari dunia Islam. Akan tetapi,
menjadi duri bagi kekuasaan Sultan, sehingga al-Afgani tidak diizinkan berbuat
banyak di Istimbul25. Bermula dari sinilah semangat Pan-Islamisme meredup,
kemudian berkembang semangat nasionalisme (rasa kesetiaan terhadap bangsa
dan Negara).
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk kedalam dunia
Islam melalui persentuhan dunia Islam dengan Barat. Dipercepat lagi dengan
banyaknya pelajar-pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga
pendidikan “Barat” yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada
mulanya mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam karena dinilai tidak
sejalan dengan semangat Ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi, ia berkembang dengan
cepat karena meredupnya gagasan Pan-Islamisme.
Di Mesir benih-benih semangat nasionalisme tumbuh sejak masa al-
Tahtawi (1801-1873 M), dan Jamaluddin al-Afgani. Tokoh pergerakan terkenal
yang memperjuangkan gagasan ini di Mesir adalah Ahmad Uraby Pasha. Dibagian
negeri Arab, lahir gagasan nasionalisme Arab yang mendapat sambutan hangat.
Gagasan ini terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Semangat persatuan Arab itu
semakin kuat, apalagi setelah adanya usaha dari bangsa Barat untuk mendirikan
Negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab dan di negeri yang mayoritas dihuni
orang Arab. Cita-cita mendirikan Negara Arab menghadapi tantangan yang sangat
berat. Paling tidak, untuk mencapai cita-cita itu, mereka harus melalui dua tahap
yaitu; memerdekan wilayah masing-masing dari kekuasaan penjajah, dan kedua
berusaha mendirikan Negara kesatuan Arab. Tanggal 12 Maret 1945 berhasil
didirikan Liga Arab, tetapi cita-cita utama berdirinya Negara Arab bersatu belum
tercapai apalagi ketika itu kekuasaan Barat masih tetap bercokol di sana.
24
Ibid hal. 185
25
Ibid hal. 186
9
26
Ibid, 187
27
Loc.Cit.
28
Loc.Cit
10
1932, tapi rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka tahun 1958. Sebelum
itu, Negara-ngara disekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya seperti
Syria, Jordania, dan Libanon pada tahun 1946. Di Afrika, Libiya merdeka tahun
1951, Sudan dan Maroko tahun 1956, Al-Jazair tahun 1962. Semuanya
membebaskan diri dari Prancis. Dalam waktu yang hamper bersamaan, Yaman
Utara, Yaman Selatan, dan Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula29.
Di Asia Tenggara, Malaysia yang waktu itu termasuk Singapura, mendapat
kemerdekaan dari Inggris tahun 1957, dan Brunai Darussalam tahun 1984 M.
Demikianlah satu-persatu negeri-negeri Islam memerdekakan diri dari penjajahan.
Bahkan beberapa diantaranya baru mendapatkan kemerdekaaan pada tahun-tahun
terakhir seperti negara-negara Islam yang dulunya bersatu dengan Uni Soviet.
Yaitu Uzbekistan, Turkmenistan, Kirghistan, Kazakhtan, Tasjikistan, dan
Azerbaijan pada tahun 1992, dan Bosnia memerdekakan diri dari Yoguslavia juga
pada tahun 199230.
Dari pemaparan yang telah diuraikan diatas, penulis menyimpulkan bahwa,
terlepas dari bentuk dan usaha perlawanan yang telah dilakukan oleh umat Islam
terhadap bangsa-bangsa penjajah, semangat rasa cinta dan kesetiaan terhadap
bangsa (nasionalisme), merupakan unsur penting yang menjadi motor penggerak
dalam jiwa kaum muslimin. Semangat nasionalisme inilah, yang kemudian
memberikan motivasi untuk berjuang melakukan perlawanan terhadap bangsa
penjajah, sehingga kaum muslimin dapat memproklamirkan kemerdekaan
negaranya.
E. Kejayaan Islam, Mungkinkah?
Lalu pertanyaannya kemudian adalah, semangat modern seperti apa yang
sebenarnya harus menjadi jiwa kaum muslimin saat ini? Kalau modern dari sisi
teknologi mungkin kita sudah kalah, tapi itu harus direbut kembali, mengingat
Barat jaya seperti ini adalah bagian dari sumbangsih intelektual muslim yang telah
29
Ibid, 188
30
Ibid, 189
11
meletakkan dasar perkembangan keilmuan, namun ilmu modern tidak lahir dari
rahim kaum muslimin31.
Setidaknya saat ini kita perlu kembali mengkaji al-Qur'an sebagai sumber
ajaran utama Islam, yang mana dalam tafsir al-Jawahir yang ditulis oleh Syaikh
Jauhari Thantawi, disebutkan bahwa dalam al-Qur’an setidaknya ada 150 ayat
fiqih dan 750 ayat kauniah, atau ayat tentang alam semesta. Anehnya para ulama
kita lebih banyak memfokuskan pada masalah fiqih dan cendrung meninggalkan
pembahasan serta pendalaman ayat-ayat kauniah tersebut, bahkan kita cendrung
esoteris dan mengesampikan akal, padahal realitanya tidak kurang dari 43 kali al-
Qur’an berbicara tentang akal32.
Dan alhamdulillah kita telah memiliki, Mohammed Arkoun, al-Jabiri, Hasan
Hanafi, Fadzlur Rahman33, dan masih banyak lagi. Yang mana mereka permikir
muslim dengan akal pikirannya konsen dalam mengembangkan Islam modern,
yang telah didasarkan oleh Jamaluddin al-Afghani, dengan pemikirannya kita
sadar bahwa Barat sangatlah berbahaya.
Dan mungkin kita harus menafsir ulang al-Qur'an dan merenungkan kembali
pernyataan tokoh-tokoh pemikir Islam tentang al-Qur'an seperti "Bacalah al-
Qur’an, layaknya dia diturunkan kepadamu” ungkap Iqbal, atau “Rasakanlah
keagungan al-Qur’an, sebelum kau menyentuhnya dengan nalarmu” menurut
Muhammad Abduh34. Selain itu kita harus kembali belajar memaknai Islam, dan
membangun anggapan bahwa agama yang mempunyai keistimewaan dibanding
dengan agama lain. Rela berkorban jiwa dan harta benda, serta kembali
mendalami spritualitas ibadah, sehingga kita menemukan deep meaning dari
ibadah itu sendiri, seperti apa yang dipahami oleh umat Islam di awal turunnya
Islam kepada umatnya.
31
Amin Ma’ruf (ed), Integrasi Ilmu dan Agama (Jogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat
UGM) hal. 37
32
Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta; Sisi-sisi Al-Qur’an yang Terlupakan, (Bandung;
Mizan, 2009) hal. 24
33
Muhammad In’am Esha, Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang: UIN
Maliki Press, 2011) hal. 155
34
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung; Mizan, 1995) lihat dalam pengantarnya
12
Jikalau kita selalu mendengungkan kejayaan Islam jilid II, maka kita harus
merebut sains sebagai jawaban dari kegamangan dan kegelapan Islam saat ini,
karena kompetisi kita saat ini adalah teknologi yang hanya bisa didapat dengan
sains35. Seharusnya pula para pemimpin ilmuan dan ulama tidak saling mengecam
satu sama lain, kita harus bersatu bangkit dari reruntuhan kolonialisme Barat36,
kebangkitan modern Islam adalah kebangkitan pemikiran tanpa menafikan
sentuhan peradaban Barat modern, meskipun sebenarnya kebangkitan mereka
berawal dari keilmuan Islam.37
Ini perlu dibuktikan, tidak bisa ditunda lagi, kalau bukan sekarang? Kapan
lagi? Wallahu a’alamu bi al-Shawab.
F. Daftar Rujukan
Ahmed, S.Akbar, 1992, Citra Muslim, Tinjaun Sejarah dan Sosiologi, Nunding
Ram (terj), Jakarta; Erlangga
Amin, Ahmad, 1987, Islam dari Masa ke Masa, Abu Laila & Mohammad Thohir,
Bandung; Rosda
Bakri, Syamsul, S.Ag., M.Ag, Peta Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Fajar
Media Press, 2011
Esha, In’am, Muhammad, 2011, Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam,
Malang: UIN Maliki Press
Ma’ruf, Amin (ed), Integrasi Ilmu dan Agama, Jogyakarta: Badan Penerbitan
Filsafat UGM
Maryam, Siti (edt), 2003, Sejarah Peradaban Islam; dari masa klasik hingga
modern, Jogjakarta: LESFI
35
Agus Purwanto, Op.Cit hal. 21
36
Akbar S. Ahmed, Citra Muslim, Tinjaun Sejarah dan Sosiologi, Nunding Ram (terj)
(Jakarta; Erlangga, 1992) hal .224
37
Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag, Peta Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Fajar Media
Press, 2011, hal.161
13
Shihab, Quraish, M., 1995, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung; Mizan
Supriyadi, Dedi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Watt Mongomeri, W. 1995, Islam dan Peradaban Dunia; Pengaruh Islam atas
Eropa Abad Pertengahan, Hendro Prasetyo (terj), Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Yatim, Badri, Dr., MA, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Press