Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

RINITIS KRONIS

PEMBIMBING :
dr. Bondan Herwindo Sp.THT-KL
dr. Selvina M. R. Manurung Sp.THT-KL

Disusun Oleh :
Omar Indratno
1765050203

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN-KEPALA LEHER
PERIODE 05 NOVEMBER – 08 DESEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
kemudahan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat
dalam Kepaniteraan Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan di Rumah Sakit Umum
Daerah Pasar Minggu dengan judul “Rinitis Kronis”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepadadr.
Bondan Herwindo Sp.THT-KL dan dr. Selvina M. R. Manurung Sp.THT-KL selaku
pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik
Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para
pembaca. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan dan
masih perlu banyak perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari
pembaca.

Jakarta, 29 November 2018


Penulis

Omar Indratno
NIM:1765050203

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. ii


DAFTAR ISI………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………… 1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi hidung ...................................................... 2


2.1.2 Hidung Luar ........................................................................ 2
2.1.3 Cavitas Nasi ........................................................................ 3
2.1.4 Vaskularisasi ....................................................................... 5
2.1.4 Persarafan Hidung ................................................................ 5
2.2 Rinitis Kronis ................................................................................ 6
2.2.1 Definisi............................................................................. 6
2.2.2 Epidemiologi.................................................................... 6
2.2.3 klasifikasi …………......................................................... 6
2.2.5 Rhinitis Alergi .................................................................. 7
2.2.6 Rhinitis Vasomotor........................................................... 14
2.2.7 Rhinitis Atrofi……........................................................... 19
2.2.8 Rhinitis Hipertrofi………................................................. 22
2.2.8 Rhinitis Granulamatosa…….............................................. 22
2.2.8 Rhinitis Obstructive ……….............................................. 23
2.2.8 Rhinitis Purulent ………….............................................. 23

BAB III KESIMPULAN………………………………………………………. 24


DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hidung merupakan bagian dari saluran pernafasan awal. Udara masuk ke
dalam tubuh manusia melalui mulut dan hidung. Hidung memiliki banyak pembuluh
darah yang berfungsi sebagai termoregulasi udara yang masuk melalui hidung. (Morre
& Arthur, 2013). Pada selaput lendir hidung bisa terjadi peradangan dan
pembengkakan, yang ditandai oleh hidung berair (rhinorrhea), hidung gatal,
hidung tersumbat, dan bersin yang disebut juga rhinitis. 1, 2
Rhinitis berasal dari bahasa Greek, yaitu “rhin/rhino” (hidung) dan “itis”
(radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir
(membran mukosa) hidung.3
Rhinitis memiliki banyak kemungkinan penyebab. Bedasarkan onset, rhinitis
diklasifikasikan menjadi rhinitis akut dan rhinitis kronis. Secara umum, rhinitis
dikategorikan ke dalam tiga area: rinitis alergi, rinitis non-alergi, dan rhinitis
campuran (kombinasi alergi dan non-alergi).2
Rhinitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi virus tetapi mungkin juga
disebabkan oleh alergi, bakteri, atau penyebab lainnya. Rhinitis kronis biasanya
terjadi dengan sinusitis kronis (rinosinusitis kronis), serta merupakan perpanjangan
dari rinitis yang disebabkan oleh peradangan atau infeksi virus. pada kasus yang
parah, rhinitis kronis dapat menyebabkan: krusta, pendarahan yang sering, cairan
yang berbau busuk dan keluar nanah dari hidung. Rhinitis kronis digambarkan
sebagai serangkaian gejala yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun. 1, 4
Rinitis kronik terjadi akibat kerusakan pertahanan mukosa hidung (sistem
transpor mukosilia) terhadap zat-zat yang merusak: paparan debu, asap, zat iritan,
polusi udara, kekeringan, kelembaban yang tinggi, suhu udara yang ekstrim serta
infeksi. Prinsip dasar penanganan rinitis kronik adalah menghindari, menghilangkan
penyebab iritasi dan inflamasi serta memperbaiki fungsi pertahanan mukosa hidung
dengan cara: edukasi, olah raga, medikamentosa dan irigasi hidung. 5

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi hidung

Hidung meliputi hidung luar dan cavitas nasi, yang dibagi menjadi cavitas
nasi kanan dan cavitas nasi kiri oleh septum nasi. Fungsi hidung adalah olfaktori
(penghidu), respirasi (pernapasan), filtrasi debu, kelembapan udara yang dihirup,
eliminasi sekresi dari sinus paranasalis dan ductus nasolacrimalis (Morre & Arthur,
2013).6

2.1.2 Hidung luar

Hidung Luar Hidung luar adalah bagian yang dapat dilihat dan menonjol dari wajah.
Ukuran dan bentuk hidung bervariasi, terutama karena perbedaan kartilagonya.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan cartilago hialin yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung ketika otot-otot yang bekerja pada hidung berkontraksi. 6

Kerangka tulang (pars ossea) terdiri dari: Os.nasal, Processus frontalis os


maxillae, Pars nasalis ossis frontalis dan spina nasalisnya, Pars ossea septi nasi.
Kerangka tulang rawan (pars cartilaginea) terdiri dari sepasang cartilago nasalis
lateralis, Sepasang cartilago alaris, Satu cartilago septi nasi. Pada bagian kerangka
tulang dilapisi oleh kulit tipis, kulit pada kartilago labih tebal dan banyak
mengandung glandula sebasea.6

Kulit membentang ke dalam pada vestibulum nasi, dimana terdapat rambut


hidung (vibrissae).Karena hidung biasanya basah, rambut-rambut menyaring partikel
debu dari udara yang masuk cavitas nasi. Septum nasi membagi ruang hidung menjadi
dua cavitas nasi serta memiliki pars ossea dan pars cartilaginea hialin.6

Komponen utama septum nasi: Lamina perpendicularis ossis ethmoidalis,


yang membentuk pars superior septum nasi, turun dari lamina cribosa dan terus ke
superior lamina tersebut sebagai crista galii dan juga Os. vomer, yang membentuk
pars posteroinferior septum nasi (Morre & Arthur, 2013) 6

2
Gambar 1. Anatomi hidung

2.1.3 Cavitas Nasi

Cavitas nasi, dibagi menjadi dua yaitu kanan dan kiri oleh septum nasi.
Cavitas nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (choanae) yang menghubungkan cavum nasi dengan nasopharynx. Mukosa
melapisi cavitas nasi kecuali vestibulum nasi yang hanya ditutupi kulit dan vibrissae.
Batas-batas cavum nasi : bagian atas yaitu lamina cribosa, os.sphenoid, os.
Frontonasalis, bagian dasar yaitu os.maksila dan os. Palatum, bagian medial yaitu
septum nasi, bagian lateral : conchae nasi.6

Concha nasi (superior, media, inferior) melengkung ke inferomedial, struktur


seperti gulungan yang memberikan area permukaan yang luas untuk pertukaran panas.
Diantara concha terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus ada 3 yaitu:
Meatus nasi superior ( muara sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis), Meatus nasi
media (muara sinus frontal, sinus maksilaris, sinus ethmoidalis anterior), Meatus nasi
inferior (muara ductus nasolcrimalis) ( Soetjipto et al, 2012).6

Mukosa nasal sangat kuat terikat dengan periosteum dan perichondrium tulang
penunjang dan cartilage nasi. Mukosa berlanjut dengan lapisan semua ruangan yang
berhubungan dengan cavitas nasi: nasopharynx di posterior, sinus paranasalis di
superior dan lateral, saccus lacrimalis dan conjunctiva di superior. Dua pertiga

3
inferior mukosa nasal adalah area respiratori dan sepertiga superior adalah area
olfactori. Udara yang berjalan pada area respirasi hangat dan basah sebelum berjalan
melalui bagian lain saluran pernapasan atas ke paru (Morre & Arthur, 2013). 6

Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai lokasi di cavum nasi,


mempengaruhi ketebalan lamina propia dan jumlah kelenjar mukosa. Lamina propia
tipis pada daerah aliran udara lambat / lemah, namun tebal di daerah aliran udara yang
kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret dan sel goblet bersumber dari lapisan mukus
yang sebanding dengan ketebalan lamina propia. Lapisan mucus yang sangat kental
dan lengket menangkap debu, benda asing, dan bakteri yang terhirup, dan melalui
kerja silia benda-benda ini diangkut ke faring, selanjutnya ditelan dan dihancurkan
dalam lambung. Lisozim dan immunoglobulin A (IgA) ditemukan pula dalam lapisan
mukus, dan melindungi lebih lanjut terhadap pathogen. Lisozim bersifat destruktif
terhadap dinding sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam membran hidung
merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Lapisan mukus hidung diperbaharui
3-4 kali dalam 1 jam. Silia adalah struktur kecil mirip rambut yang bergerak serempak
secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak dengan
lebih lambat.7

Gambar 2. Cavitas hidung

4
2.1.4 Vaskularisasi Hidung

Mukosa hidung pada cavum nasi terdapat pembuluh darah. Cavum nasi
mendapatkan pendarahan dari: 6

1. Atas cavum nasi: a.ethmoidalis anterior et posterior, cabang dari


a.ophtalmica dari a.carotis interna.

2. Bawah cavum nasi: a.palatina mayor, cabang dari a. maxillaries interna dan
a.sphenopalatina yang keluar dari foramen sphenopalatina memasuki
rongga hidung dibelakang ujung posterior conchae media cabang dari
a.carotis eksterna.

3. Anterior nasi: cabang-cabang a.facialis

4. Anterior septum: Plexus Kiesselbach, anastomosis dari: a. ethmoidalis


anterior et posterior, a. sphenopalatina, a. palatina mayor, a. labialis
superior

5. Posterior-inferior lateral: Plexus Woodruff, anastomosis dari: a.


sphenopalatina, a. pharyngeal (Fatakia et al, 2010).

2.1.5 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal
dari n. Oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf simpatis dari m. Petrosus
superfisialis mayor profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidung berasal dari n.
Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidung pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 8, 9

5
2.2 Rinitis Kronis

2.2.1 Definisi

Rhinitis didefinisikan bila memiliki 2 gejala di bawah ini selama ≥ 1 jam/ hari selama
≥ 2 minggu, yaitu: hidung tersumbat, hidung berair (termasuk post nasal drip), bersin
(termasuk hidung gatal).10

Rinitis kronik merupakan inflamasi membrana mukosa hidung ditandai dengan


kongesti hidung, rinore, bersin-bersin, hidung gatal dan atau post nasal drip; yang
berlangsung lebih dari 12 minggu.5 Menurut pediatrics in review 2004, rhinitis kronis
setidaknya berlangsung 30 menit setiap hari selama 2 bulan atau lebih. Penyebab
rhinitis kronis bisa alergi atau non-alergi.11

2.2.2 Epidemiologi
Di Inggris, prevalensi rhinitis 10,1% dan 15,3% pada usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun;
dan 26% pada dewasa. Hal ini, memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas
hidup, dan mengganggu kinerja dan kehadiran di sekolah dan bekerja Peningkatan
prevalensi terjadi pada decade ke 3 dan ke-4. Prevalensi di Inggris dan Eropa Barat
telah meningkat secara dramatis selama 4-5 dekade terakhir. Di seluruh dunia,
tampaknya ada korelasi antara pembangunan ekonomi dan industri dengan prevalensi
rhinitis alergi. Ratio prevalensi rhinitis allergic dengan non allergic yaitu 3:1. Rhinitis
sangat terkait dengan asma: 74% -81% penderita asma disertai dengan gejala rinitis.12

2.2.3 Klasifikasi
Menurut World Health Organization (WHO) ICD-10 Rhinitis Kronis dibagi
menjadi:13
 NOS  Obstructive
 Atrophic  Purulent
 Granulomatous  Ulcerative
 Hypertrophic

Tidak termasuk:
 Allergic
 Vasomotor

6
A. Rinitis Alergi
Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit simtomatis pada hidung yang terinduksi oleh
proses inflamasi yang diperantarai IgE pada mukosa hidung setelah pajanan
alergi. Karakteristik gejala rhinitis alergi adalah bersin berulang, hidung
tersumbat, hidung berair dan hidung gatal. Rhinitis alergi merupakan
penyakit inflamasi kronis saluran nafas atas yang sangat sering dijumpai,
dilaporkan prevalensi mencapai 40% dari populasi umum. Gejala-gejala
rhinitis alergi memberikan dampak buruk terhadap kualitas hidup penderita,
baik berupa gangguan aktivitas sehari-hari ditempat kerja, belajar maupun
gangguan tidur.14

Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik
secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi dan
pada 10 – 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka
risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan
dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan,
terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi.15
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu
binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.15

Klasifikasi
Menurut durasi
INTERMITTENT berarti gejala itu hadir: 4 hari seminggu atau selama ≤ 4
minggu berturut-turut
PERSISTEN berarti ada gejala: ≥ 4 hari seminggu dan> 4 minggu berturut-
turut
Menurut tingkat keparahan
Ringan berarti tidak ada item berikut hadir:
- Gangguan tidur

7
- Aktivitas harian, rekreasi, dan / atau olahraga terpengaruh
- Kegiatan sekolah atau kerja terpengaruh
- Gejala-gejala menyebabkan ketidaknyamanan
Sedang berarti satu, dua atau tiga dari item di atas hadir
Berat berarti empat benda tersebut hadir.16

Patofisiologi

8
Gambar 1: Biologi sensitisasi alergi dan reaksi alergi di mukosa hidung menyebabkan timbulnya gejala
dan perubahan fungsional seperti hiperresponsif hidung. Ach/VIP 5 acetylcholine/vasoactive intestinal
peptide; CGRP 5 calcitonin gene-related peptide; ECP 5 eosinophil cationic protein; EPO 5 eosinophil
peroxidase; FceR1 5 high-affinity Fc receptor for IgE; GMCSF 5 granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor; ICAM-1 5 intercellular adhesion molecule-1; LFA-1 5 lymphocyte function–
associated antigen-1; MBP 5 major basic protein; MCP-1, -3, -4 5 monocyte chemotactic protein-1, -3,
-4, respectively; MHC 5 major histocompatibility complex; MIP-1a 5 macrophage inflammatory
protein-1a; NKA 5 neurokinin A; PAF 5 platelet-activating factor; RANTES 5 regulated on activation,
normal T-cell expressed and secreted; sLT 5 sulfidoleukotriene; TARC 5 thymus and activation-
regulated chemokine; TGF-b 5 transforming growth factor-b; Th1, Th2 5 helper T type 1 and type 2
cells, respectively; TNF-a 5 tumor necrosis factor-a; Treg 5 regulatory T cell; TxA2 5 thromboxane
A2; VCAM-1 5 vascular cell adhesion molecule-1; VLA-4 5 very late antigen-4. 17

Inflamasi membrane mukosa disebabkan interaksi kompleks mediator-


mediator inflamasi yang dicetuskan oleh respon yang dimediasi
immunoglobulin E (IgE). Pada individu yang rentan, pajanan terhadap
alegen tertentu menyebabkan sensitisasi. Hal ini ditandai dengan produksi
IgE spesifik terhadap allergen. IgE spesifik tersebut akan menempel pada
permukaan sel mast yang berada pada mukosa nasal. Ketika terhirup ke
dalam hidung, allergen akan berikatan dengan IgE pada sel mast,
menyebabkan pecahnya (degranulasi) sel tersebut dan lepasnya mediator
inflamasi.18

Anamnesis
Gejala hidung: hidung berair, hidung tersumbat, hidung gatal, dan bersin
berulang, umumnya muncul di pagi hari atau malam hari.
Gejala mata seperti mata merah, gatal dan berair
Gejala lain: batuk, tenggorok gatal, gangguan konsentrasi, dan gangguan
tidur, penderita yang disertai asma dapat ditemukan keluhan sesak napas dan
mengi.14

Pemeriksaan Fisik
Pada anak sering ditemukan tanda khas: bayangan gelap di daerah bawah
mata (allergic shiner), sering menggosok-gosok hidung dengan punggung
tangan (allergic salute), dan gambaran garis melintang di bagian dorsum
hidung (allergic crease).14
Gambaran khas pada rongga hidung: mukosa hidung edema atau hipertrofi,
berwarna pucat atau livid, disertai secret encer banyak. Dapat ditemukan
juga konka inferior yang hipertrofi.14, 18

9
Pemeriksaan mata: injeksi dan pembengkakan konjungtiva palpebra dengan
produksi air mata berlebihan, garis Dannie-Morgan (garis dibawah mata
kelopak inferior).18
Pemeriksaan faring: penampakan cobblestone (pembengkakan jaringan
limfoid pada faring posterior) dan pembengkakan arkus faring posterior. 18

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kadar IgE spesifik dengan cara ELISA (enzyme linked immune
sorbent assay test) atau RAST (radio immune sorbent test) sangat bermakna
untuk diagnosis, namun harus berkorelasi dengan gejala klinis.
Pemeriksaan jumlah eosinofil secret hidung hanya sebagai pelengkap
(jumlah eosinofil >5/LPB).14, 18
Pemeriksaan nasoendoskopi
Dilakukan untuk evaluasi keterlibatan kompleks osteomeatal dalam menilai
adanya rinosinusitis, polip hidung atau septum deviasi sebagai ko-morbid.14
Tes kulit alergi
Dengan menggunakan ekstrak allergen dan alat yang terstandarisasi, skin
prick test merupakan baku emas diagnosis rhinitis alergi di klinik dan
skrining
Apabila menggunakan ekstrak allergen yang tidak terstandarisasi, dapat
diteruskan dengan tes intradermal bila tes cukit/tusuk kulit negative.14, 18

Tatalaksana
Farmakoterapi
Obat diberikan bedasarkan dari klasifikasi diagnosis rhinitis alergi. Obat
diberikan selama 2-4 minggu, kemudian dievaluasi ulang ada/tidak adanya
respons. Bila terdapat perbaikan, obat diteruskan lagi 1 bulan. 14
antihistamin oral H1 meningkatkan gejala rinitis, termasuk gejala rhinorrhea,
bersin, hidung dan mata, meskipun obstruksi nasal kurang efektif.
Antihistamin H1 generasi kedua memiliki lebih sedikit efek samping
(cetirizine (10 mg PO 1x/hari), desloratadine, ebastine, fexofenadine (120
mg 1x/hari), levocetirizine, loratadine (10 mg PO 1x/hari), mequitazine,
mizolastine dan rupatadine) dan efek anti-inflammatory ringan. Antihistamin

10
H1 topikal (azelastine, emedastine, ketotifen, levocabastine dan olopatadine)
16
juga menunjukkan efektif dalam kasus rhinitis dan konjungtivitis alergi.
Kortikosteroid (beclomethasone (168-336 µg/hari), budesonide (252
µg/hari), fluticasone (100-200 µg/hari), mometasone furoate (100-200
µg/hari), triamcinolone) adalah obat antiinflamasi yang paling kuat dan
efektif untuk mengobati rhinitis alergi dan rhinitis non-alergi, pada orang
dewasa dan anak-anak. Aplikasi topical glukokortikoid memberikan
konsentrasi obat yang tinggi ke mukosa hidung dengan risiko efek samping
sistemik minimal. Kemanjurannya dalam memperbaiki gejala rhinitis alergi,
termasuk sumbatan hidung dan gejala okular, telah didokumentasikan
dengan baik. Obat ini merupakan lini pertama pengobatan untuk rhinitis
alergi persisten sedang berat.16
Dekongestan intranasal (oxymetazoline dan xylometazoline) dapat
digunakan untuk waktu singkat pada pasien dengan obstruksi hidung yang
substansial. Penggunaan jangka panjang dapat memicu rhinitis yang
diinduksi oleh obat.16
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine
HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun,
30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6
jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia
dan iritabilitas.20
Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast) efektif dalam
pengobatan rinitis alergi dan konjungtivitis. 16
Chromonetopikal (sodium cromoglycate) telah menunjukkan keberhasilan
moderat dalam pengobatan rhinitis dan konjungtivitis alergi. Omalizumab
(anti-IgE) telah terbukti efektif dalam pengobatan rhinitis alergi pada orang
dewasa dan anak-anak di atas 12 tahun.16

11
Penghindaran allergen dan kontrol lingkungan
Bersamaan dengan pemberian obat, pasien diedukasi untuk menghindari
atau mengurangi jumlah allergen pemicu di lingkungan sekitar. Membuat
kondisi lingkungan senyaman mungkin dengan menghindari stimulus non-
spesifik (asap rokok, udara dingin dan kering).14

12
Imunoterapi
Apabila tidak ada perbaikan setelah farmakoterapi optimal dan penghindaran
allergen optimal, maka dipertimbangkan untuk pemberian imunoterapi
secara subkutan atau sublingual (dengan pertimbangan khusus). Imunoterapi
diberikan selama 3-5 tahun untuk mempertahan kan efektifitas terapi jangka
panjang.14
Manfaat penggunaan imunoterapi termasuk:

Mengurangi risiko sensitisasi baru (yaitu mengembangkan antibodi
IgE) dari beberapa hingga multiple aeroallergen pada anak-anak.

Mengurangi risiko perkembangan dari rinitis alergi menjadi asma
pada anak-anak.

Mengurangi eksaserbasi asma.19
Cuci hidung dengan larutan NaCl fisiologis /NaCl isotonic. 18
Edukasi

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah:15
1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.

Prognosis
Quo ad vitam: dubia ad bonam
Qua ad functionam: dubia ad bonam
Qua ad sanactionam: dubia ad bonam.14

13
B. Rinitis vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa
hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis
vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan
adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung
apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan keadaan yang
non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan
vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non
spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.
Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang
banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.15, 21, 22, 23

Faktor Predisposisi
 obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis
(simpatolitik), seperti ergotamine (ergot alkaloid), chlorpromazin,
obat anti hipertensi (metal dopa) dan obat vasokonstriktor topikal.
 faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi, bau yang merangsang, minuman beralkohol,
makanan pedas, pendingin dan pemanas ruangan.
 faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil
anti hamil dan hipotiroidisme.
 faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue. 15, 23

Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi
dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh
sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar.
Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang
menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja
saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem
parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola
dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan
23
menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.

14
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari
selsel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin,
leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-
elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang
menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem
saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore.
Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E
mediated) seperti pada rinitis alergi. 24
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis
vasomotor yaitu : 22,24
 meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
 mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
 mengurangi peptide vasoaktif
 mencari dan menghindari zat-zat iritan.

Klasifikasi

 Golongan bersin (sneezers), respon baik dengan terapi antihistamin


dan kortikosteroid topical
 Golongan rinore (runners), gejala diatasi dengan antikolinergik
topical
 Golongan tersumbat (blockers), respon baik dengan kortikosteroid
topical dan vasokonstriktor oral. 15

\Gambaran Klinis

 Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai.
 Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari
satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi.
 Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan
rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata.

15
 Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga
oleh karena asap rokok dan sebagainya.
 Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke
tenggorok ( post nasal drip ).15

Diagnosis

 Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam


keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa
 Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik
berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah
gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi dapat juga dijumpai
berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak
rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit.
pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan
jumlah yang banyak
 Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST,
serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang
ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam
jumlah yang sedikit.15, 25

16
Tatalaksana

Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab


dan gejala yang menonjol.

Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 8,20

1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )


2. . Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
 Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya :
Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).

17
 Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
 Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat,
rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi
lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya
digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum
dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal :
Budesonide, Fluticasone, Flunisolide, Beclomethasone atau
flutikason propionat
 Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai
keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
 Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3
25% atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun
secara elektrik (electrical cautery).
 Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy
of the inferior turbinate )
 Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
 Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate
resection)
 Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
 Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara
diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan
pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini
sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup
tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi. 15, 25

Symptom Jenis terapi Prosedur
Obstruksi hidung Reduksi konka Kauterisasi konka
(chemical atau
electrical)
Bedah beku
(cryosurgery)
Reseksi konka Turbinektomi parsial
atau total
Turbinektomi dengan
laser ( laser
turbinectomy )

18
Rinore Vidian neurectomy Eksisi nervus
vidianus
Diatermi nervus
vidianus

Terapi operatif terhadap rinitis vasomotor


Komplikasi25
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah

Prognosis

Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang


dapat membaik dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap
pengobatan yang diberikan. 25

C. Rhinitis Atrofi
Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan secret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk
krusta yang berbau busuk.15
Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak bersilia
menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan
submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau atrofi.15

Epidemiologi
Wanita lebih banyak dari pria, terbanyak pada usia pubertas. Sering
ditemukan pada masyarakat dengan tingkat social ekonomi rendah dan
sanitasi lingkungan yang buruk. 15

Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu 15
 infeksi kuman tersering Klebsiella ozaena, Staphylococcus,
Streptococcus, Pseudomonas Aeruginosa.
 defisiensi Fe,

19
 defisiensi vitamin A,
 sinusitis kronis,
 kelainan hormonal, dan
 penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun

Anamnesis

nafas berbau, ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan
penghidu, sakit kepala, dan hidung tersumbat. 15

Pemeriksaan Fisik

Rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media menjadi hipertrofi
atau atrofi, ada secret purulen dan krusta berwarna kehijauan. 15

Pemeriksaan Penunjang 15

 pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsy konka media


 pemeriksaan mikrobiologi
 uji resistensi kuman
 CT-Scan sinus paranasal

Tatalaksana

Tujuan terapi adalah untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala.

Terapi konservatif:

 Antibiotic spectrum luas atau sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis
adekuat. Lama pengobatan bervariasi tergantung dari hilangnya tanda
klinis berupa secret purulen kehijauan.
 Antibiotic local seperti chloromycetine
 Untuk membantu menghilangkan bau busuk, dapat dipakai obat cuci
hidung. Larutan yang digunakan yaitu larutan garam hipertonik.
larutan dimasukkan kedalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi

20
dengan menghembuskan kuat-kuat atau yang masuk ke nasofaring
dikeluarkan melalui mulut, dilakukan 2 kali sehari. Bisa juga dengan
100cc air hangat dicampur dengan 1 sendok makan (15cc) larutan
betadin, atau larutan garamdapur setengah sendok the dicampur
segelas air hangat.
 25 % glukosa dalam gliserin dapat digunkan pada mukosa hidung
untuk menghambat pertumbuhan organisme proteolitik yang
menghasilkan bau busuk
 Vitamin A 3x50.000 unit dan preparat Fe selama 2 minggu
 Vitamin D2 (kemicetine)
 Estradiol spray untuk regenerasi kelenjar seromucinous dan
vaskularisasi mukosa
 Streptomisin sistemik (1 g/ hari) terhadap organisme klebsiella
 Kalium iodide oral untuk pencairan sekresi 15, 26

Terapi Operatif

Dilakukan jika tidak ada perbaikan dengan terapi konservatif

 Operasi penutupan lubang hidung atau penyembitan rongga hidung


dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini
diharapkan akan mengurangi tuberlensi udara dan pengeringan
secret, inflamasi mukosa berkurang, sehingga mukosa kembali
normal. Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares
anterior atau pada koana selama 2 tahun. Untuk menutup koana
dipakai flap palatum.
 Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF / FESS), dengan
melakukan pengangkatan sekat-sekat tulang yang mengalami
osteomielitis, diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi dan
drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi mukosa. 15

21
D. Rhinitis Hipertofi
Rhinitis hipertrofi merupakan perubahan mukosa hidung pada konka inferior
yang mengalami hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang disebabkan
oleh infeksi primer atau sekunder. Konka inferior dapat juga mengalami
hipertrofi tanpa terjadi infeksi bakteri, misalnya lanjutan dari rhinitis alergi
dan vasomotor. 15
Anamnesis
 Gejala utama: sumbatan hidung
 Gejala tambahan: mulut kering, nyeri kepala, gangguan tidur, secret
biasanya banyak dan mukopurulen 15

Pemeriksaan Fisik

 Konka hipertrofi, terutama konka inferior


 Permukaan konka berbenjol-bejol, karena mukosa yang juga
hipertrofi. Akibatnya pasase udara dalam rongga hidung menjadi
sempit
 Terdapat secret mukopurulen diantara konka inferior dan septum
dan juga didasar rongga hidung 15

Tatalaksana

Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis


hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam
trikloroasetat) atau dengan kauter listrik (elektrokauterisasi) dan bila tidak
menolong perlu dilakukan luksasi konka, frakturisasi konka multiple,
konkoplasti atau dilakukan konkotomi parsial 15

E. Rhinitis Granulomatosa
Rinitis granulomatosa dinamai untuk jenis peradangan tertentu, yang
ditandai pembentukan granuloma dalam lapisan hidung. Rhinoscleroma,
tuberculosis dan sifilis semuanya menghasilkan kondisi yang relatif tidak
umum ini. Sinusitis granulomatosa kronis juga dapat melibatkan lapisan
hidung.27 Rinitis granulomatosa (misalnya, granulomatosis Wegener,
sarkoidosis). 28

22
Granulomatosis dengan polyangiitis (GPA), sebelumnya dikenal sebagai
Wegener granulomatosis, adalah penyakit autoimun multisistem langka
dengan etiologi yang tidak diketahui. Ciri khasnya termasuk peradangan
granulomatosa nekrosis dan vaskulitis pauci-imun pada pembuluh darah
kecil dan medium.29
spektrum presentasi klinis yang mencakup infeksi pernapasan berulang pada
orang dewasa dan masalah saluran pernapasan atas dan bawah pada anak-
anak. Selain itu, keluhan konstitusional kronis berikut ini: Demam,
berkeringat di malam hari, Kelelahan, kelesuan, Kehilangan selera makan,
Berat badan turun.29
sinusitis kronis adalah keluhan awal yang paling umum dalam GPA, terjadi
pada 67% kasus. Manifestasi THT lainnya adalah sebagai berikut:

Rhinitis (22%)

Epistaksis (11%)

Collapse dukungan hidung, mengakibatkan deformitas hidung sadel
(umum)

Otitis media serosa dan gangguan pendengaran

Hiperplasia gingiva stroberi

Stridor, mungkin mengarah ke kompromi pernapasan, dari massa
granulomatosa trakea atau subglotis 29

F. Rhinitis Obstruktif
Rhinitis obstruktif kronis (COR) menyebabkan gangguan aliran udara,
sakit kepala, gangguan bau, gangguan tidur, iritabilitas, masalah
perilaku, dll. memiliki dampak yang kuat terhadap kesehatan dan
kualitas hidup, oleh karena itu, setiap upaya harus dilakukan untuk
mengembalikan aliran hidung dan memperbaiki gangguan terkait. 30

G. Rhinitis Purulen
Etimologi: L, purulentus, pembentukan nanah; Gk, rhis, hidung, itis,
peradangan
infeksi pada mukosa hidung yang disertai dengan pembentukan nanah.
Kondisi ini sering sekunder akibat infeksi sistemik, seperti campak. 31

23
BAB III

KESIMPULAN

Rhinitis didefinisikan bila memiliki 2 gejala di bawah ini selama ≥ 1 jam/ hari
selama ≥ 2 minggu, yaitu: hidung tersumbat, hidung berair (termasuk post nasal drip),
bersin (termasuk hidung gatal). Rinitis kronik merupakan inflamasi membrana
mukosa hidung ditandai dengan kongesti hidung, rinore, bersin-bersin, hidung gatal
dan atau post nasal drip; yang berlangsung 30 menit setiap hari selama 2 bulan atau
lebih. Menurut World Health Organization (WHO) ICD-10 Rhinitis Kronis dibagi
menjadi: NOS, atrophic, granulomatous, hypertrophic, obstructive, purulent,
ulcerative, tidak termasuk allergic dan vasomotor. Tindakan pencegahan yang dapat
dilakuakan meliputi istirehat yang cukup,konsumsi makanan dan minuman yang
sehat, olahraga teratur utuk membina system imunisasi yang optimal. Selain itu dapat
juga mengikuti program imunisasi lengkap yang dijalankan oleh pemerintah. Sangat
penting untuk memeriksa gejala pada setiap pasien untuk menentukan patofisiologi
yang terjadi dalam tiap rinitis dan untuk merencanakan pengobatan sehingga bisa
memudahkan pemulihan dengan efek samping yang minimal.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Fried M. P. Rhinitis [online]. 2017 [cited 2017 November]. Avaible from


URL: https://www.msdmanuals.com/home/ear,-nose,-and-throat-
disorders/nose-and-sinus-disorders/rhinitis
2. Cunha J. P. Chronic Rhinitis and Post-Nasal Drip Symptoms, Causes,
Treatment. 2018 [cited 2018 Oktober 1]. Avaible from URL:
https://www.medicinenet.com/chronic_rhinitis/article.htm
3. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and
Throat. Edisi 4. New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8
4. Diunduh dari: https://www.verywellhealth.com/coping-with-chronic-rhinitis-
4160487 [diakses tanggal 22 November 2018]
5. Winarti, Sri. Hasil guna larutan ringer laktat semprot hidung dibandingkan
salin isotonis rinitis kronis di samping terapi standar. Tesis 2004. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada
6. Lubis, Bidasari. Saragih, Rina. Tatalaksana epistaksis berulang pada anak vol.
9 No. 2. Bagian ilmu kesehatan anak FK-USU.Padang, 2017.
7. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
8. Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2011. [
cited 2011 October 25 ]. Available from URL: http://www.medscape.com
9. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5th Edition.
New Delhi : Elsevier; 2011. p. 180-184
10. Jassar. Prescribing Guideline for Rhinitis. Hull & East Riding Prescribing
Comittee (HERPC) July 2017: 1-5
11. Rauch D. Chronic Rhinitis. Pediatrics in Review November 2004: 25 (11):
406-407
12. Scadding G. K, Kariyawasam H. H, Scadding G., et.al. BSACI Guideline for
the diagnosis and management of allergic and non allergic rhinitis (Revised
Edition 2017; first edition 2007). Clin Exp Allergy Mei 2017; 47: 856-889
13. Dikutip dari: apps.who.int [diakses tanggal 27 November 2018]
14. Pengurus pusat perhimpunan dokter spesialis telinga hidung tenggorok bedah
kepala leher Indonesia. Panduan praktik klinis panduan praktik klinis tindakan

25
clinical pathway di bidang hidung tenggorok – kepala leher. Vol. 2. 2016.
Jakarta
15. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke
Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
16. Rhinitis. J investing Allergol clin immunol 2010; vol. 20. Sppl 1:37-42
17. Sin B., Togias A. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis.
Proceedings of The American Thoracic Society; vol. 8. 2011
18. Arifputera A., Irwati N. Rinitis Alergi: Tanto C, Liwang F, Hanifati S,
Pradipta EA, editors. Kapita selekta kedokteran. 4th eds. Jakarta: Media
Aesculapius, 2014: 906.
19. ASCIA Information for Health Professionals: Allergic Rhinitis Clinical
Update. 2017.
20. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy.
1991. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 27 November
2018.
21. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed.
Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.p. 269 – 87
22. Segal S, Shlamkovitch N, Eviatar E, Berenholz L, Sarfaty S, Kessler A.
Vasomotor rhinitis following trauma to the nose. Ann Otorhinolaryng 1999;
108:208-10.
23. Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology.
Scott-Brown‟s Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth-Heinemann,
1997. p. 4/9/1 – 17.
24. Wainwright M, Gombako LA. Vasomotor Rhinitis
http://www.medschool.lsuhsc.edu/otor/Vasorhi.htm
25. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A
Pocket Reference. 2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994.
p. 210-3.
26. deShazo, Richard D.; Stringer, Scott P. (2011-02-01). "Atrophic
rhinosinusitis: progress toward explanation of an unsolved medical
mystery". Current Opinion in Allergy and Clinical Immunology. 11(1): 1–7
27. diunduh dari: https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/17431-rhinitis [
dikutip tanggal 28 NOVEMBER 2018]
28. Sheikh J., allergic Rhinitis Differential Diagnoses. Medscape May 2018
29. Tracy A. L., Granulomatosis with Polyangiitis (Wegener Grabulomatosis).
Medscape Desember 2017.
30. Motta T. G., Outcome assessment in patients with chronic obstructive rhinitis
CO2 laser treated. Dikutip dari: www.ncbi.nlm.niv.gov

26
31. Diunduh dari: https://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/purulent+rhinitis [dikutip tanggal 28
November 2018]

27

Anda mungkin juga menyukai