Anda di halaman 1dari 15

Oleh F.

Rahardi

Harian Kompas tanggal 12 Januari 1988 menurunkan berita utama berjudul Presiden Soeharto :
Pemerintah akan Tindak Tegas Korupsi dan Penyelewengan. Isinya adalah pembicaraan Presiden
sewaktu menerima anggota pimpinan KNPI Pusat dan Ketua DPD Tingkat I KNPI di Bina
Graha, Jakarta, hari Senin 11 Januari 1988. Tanggal 13 Januari 1988, kembali harian ini
menurunka berita utama : Tepat, Tekad Pemerintah yang tak akan Membiarkan Korupsi, dengan
disertai subjudul Rakyat Menunggu Tindakan Konkret. Isinya berupa tanggapan dua orang
Wakil Ketua DPR, dua orang advokat dan Direktur LBH Jakarta.

Dua berita utama Kompas tersebut mengingatkan saya pada hasil pengamatan yang pernah saya
lakukan terhadap pola-pola korupsi di Jakarta antara tahun 1984-tahun 1985. Waktu itu saya
tengah mengerjakan sebuah buku kumpulan sajak yang kemudian terbit dengan judul Catatan
Harian Sang Koruptor. Untuk keperluan itu saya memang memerlukan sekadar pengetahuan
lapangan tentang pola-pola korupsi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Jakarta.

Pengamatan yang saya lakukan, tentunya lain dengan sebuah penelitian. Saya tidak mungkin
menyusun sejumlah kuesioner lalu menyebarkannya kesejumlah responden yang pernah
melakukan korupsi. Pengamatan terhadap gejala korupsi yang menyembul di beberapa lembaga
pemerintah maupun perusahaan swasta/BUMN pun tidak bisa saya lakukan secara langsung
terang-terangan, melainkan dengan teknik yang agak mirip dengan investigative reporting yang
sering dilakukan dalam dunia jurnalistik.

Hasil yang saya peroleh dari pengamatan tersebut ternyata agak mengejutkan diri saya sendiri.
Selama ini, istilah korupsi (dari to corrupt – corruption) selalu saya artikan dalam benak saya
sebagai menggunakan uang kantor atau negara secara langsung untuk keperluan pribadi. Saya
justru hampir tidak menjumpai kasus korupsi seperti yang saya angan-angankan itu. Dewasa ini
pola korupsi demikian memang sudah jarang sekali dilakukan orang. Kalau toh masih juga ada
yang nekad melakukannya, biasanya dalam waktu yang ralatif singkat kasusnya agak segera
terbongkar. Tapi contoh pola korupsi demikian toh cukup banyak juga. Yang cukup terkenal
antara lain kasus Budiaji eks-Kadolog Kaltim.

Beberapa pola korupsi


Dari sekian banyak kasus yang berhasil saya kumpulkan, setelah cukup lama saya otak-atik,
ternyata bisa saya kelompokkan dalam tujuh pola sebagai berikut.
1. pola konvensional; 2. pola kuitansi fiktif; 3. pola komisi; 4. pola upeti; 5. pola menjegal order;
6. pola perusahaan rekanan; 7. pola penyalahgunaan jabatan/wewenang.

Selama ini saya memang selalu beranggapan bahwa yang namanya korupsi itu ya yang
menggunakan pola pertama, yang saya sebut sebgai pola konvensional itu. Artinya, seperti sudah
saya jelaskan di depan, adalah menggunakan uang kantor atau negara secara langsung untuk
keperluan pribadi. Karena pola konvensional ini justru sudah jarang dilakukan orang (karena
risikonya tinggi), lagi pula “skenarionya” sangat sederhana, maka untuk selanjutnya tidak akan
saya bahas secara khusus.

Pola kuitansi fiktif


Sebenarnya pola ini lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah manipulasi alias
penyelewengan. Sesuatu yang kecil dibikin jadi besar. Yang besar dijadikan kecil. Yang ada
dibuat tidak ada. Yang tidak ada diadakan, dan sebagainya. Tapi karena pola ini lebih banyak
mengandalkan pada buku kuitansi dalam rangka menghadapi petugas inspektorat, audit, maupun
pajak, maka saya cenderung menamakannya sebagai pola kuitansi fiktif. Saya sebut kuitansi
fiktif karena kuitansinya memang terbukti ada. Tapi barang atau jasa atau kegiatan yang
dibeli/diselenggarakan justru lain dengan bukti kuitansinya, atau malah sama sekali tidak ada.
Kasus seperti ini boleh dibilang umum dilakukan oleh kantor-kantor pemerintah, swasta, maupun
BUMN.

Contoh yang paling sederhana misalnya, kantor saya membeli barang/jasa atau
menyelenggarakan sebuah kegiatan. Bukti riel uang keluar yang harus saya
pertanggungjawabkan terhadap kantor saya adalah kuitansi. Supaya saya bisa mendapatkan
keuntungan, ada beberapa cara yang bisa saya tempuh. Pertama, barang/jasa yang saya beli atau
kegiatan yang saya selenggarakan saya kecilkan/saya kurangi jumlah maupun mutunya,
sementara harganya tetap. Jumlah yang harus saya bayarkan otomatis juga ikut turun sementara
jumlah yang harus saya pertanggungjawabkan ke kantor tetap seperti rencana. Selisih jumlah
tersebut bisa langsung masuk kantung. Cara kedua, kalau saya sulit menurunkan jumlah maupun
kualitas barang/jasa atau kegiatan, maka harganya yang justru saya naikkan. Selisih antara harga
yang sebenarnya dengan harga yang sudah naik tadilah yang saya kantungi.

Bagi yang sudah cukup profesional, malah bisa lebih gawat lagi. Barang, jasa atau kegiatan yang
diselenggarakan bisa 100 persen difiktifkan. Anggaran tetap turun tapi barang/jasa yang dibeli
atau kegiatan yang diselenggarakan sama sekali tidak ada. Pernah dengar berita tentang Bimas
fiktif, reboisasi fiktif bahkan juga wartawan yang melakukan reportase fiktif? Sering pula terjadi,
sehabis ada seminar atau lokakarya atau raker, seorang ketua OC (organizing committee) buru-
buru menyuruh sekretaris atau bendaharanya mendatangi toko-toko tertentu yang biasa diajak
kerjasama untuk membuat kuitansi fiktif, agar realisasi pengeluaran seminar/lokakarya atau raker
bisa klop dengan rencana anggaran yang dibuat. Ternyata kasus seperti ini masih tergolong
“sopan”. Saya pernah ketemu dengan “oknum” yang sengaja mencetakkan macam-macam
kuitansi dan menyimpan macam-macam stempel buatan tukang reklame kaki lima untuk
mengelabuhi petugas inspektorat, audit, atau malah rekan sekantornya sendiri dari bagian
akunting. Itulah tadi pola kuitansi fiktif alias manipulasi alias penyelewengan.

Pola komisi
Sebuah kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN pastilah sering belanja barang dalam jumlah
besar, baik untuk kegiatan rutin maupun untuk menunjang proyek-proyeknya. Taruhlah kantor
saya perlu 200 baju seragam untuk karyawannya. Harga baju di toko per lembar Rp 10.000. Tapi
karena membeli di pengusaha konfeksi, saya bisa memperoleh potongan harga sampai 20 persen.
Kalau manajemen di kantor saya jelek, dengan mudah seluruh komisi itu saya makan sendiri.

Ini baru baju. Bagaimana kalau mobil, rumah, pesawat terbang atau kapal tanker? Karena jumlah
komisi ini bisa sangat besar, makanya manajemen yang baik akan selalu mencek : betulkah cuma
segitu komisi yang bisa dilepas? Bisakah ditawar lagi? Dalam keadaan seperti ini, tentu uang
komisi itu akan kembali ke kantor lagi. Lalu mati-kutukah oknum di bagian pembelian? Tentu
tidak!

Misalnya komisi resmi yang diberikan oleh perusahaan untuk perusahaan adalah 20 persen.
Ternyata di samping itu masih ada “komisi khusus” 2,5-5 persen yang “diselipkan” ke kantung si
petugas pembelian. Bisakah komisi seperti ini dibuktikan secara hukum di pengadilan; tentu saja
sulit. Bukankah kuitansi atau tanda terimanya tidak ada? Tapi, sangat sulit bukan lalu berarti
mustahil. Kalau kita mampu melakukan pendekatan terhadap pihak pemberi komisi hingga
berhasil membuatnya “menyanyi”, maka bukan mustahil para penerima komisi di kantor kita
mengalami banyak kerepotan seperti halnya eks-PM Jepang Kakuei Tanaka dulu.

Kadang-kadang kasus korupsi dengan pola komisi ini menjadi teramat rumit untuk diusut lebih
lanjut, manakala komisi yang diberikan bukanlah berbentuk uang sesuai dengan persentase
melainkan berupa barang sebagai hadiah, misalnya arloji, video. mobil, rumah, bahkan tak jarang
berupa perempuan cantik yang bisa diajak kencan. Tapi bagaimanapun rumitnya, korupsi dengan
pola ini toh masih tetap ada peluang untuk diusut dan dibuktikan secara hukum.

Pola upeti
Komisi – meski berupa hadiah barang, termasuk Hadiah lebaran, Natal dan Tahun Baru –
asalnya selalu dari relasi dan selalu dihitung sesuai dengan persentase nilai transaksi yang telah
atau akan dilakukan. Upeti meski juga bisa berupa uang maupun barang bahkan juga “pacar”
datangnya dari bawahan untuk atasan. Tujuannya bisa macam-macam. Misalnya saja agar
kondite tetap terjaga baik. Supaya kedudukan aman, tidak digeser atau dimutasikan ke tempat
yang “kering”. Supaya “permainan” yang dilakukannya tetap berlangsung dengan selamat dan
lain-lain.

Dalam kondisi tertentu, bisa terjadi tawar-menawar antara atasan dengan bawahan tentang
jumlah upeti yang mesti disetor. Dalam kondisi yang sudah cukup gawat malahan si atasan bisa
langsung memotong upeti yang sudah menjadi kesepakatan bersama itu. Jadi sifatnya sudah
sangat mirip dengan pola komisi, bedanya cuma yang melakukan. Kalau komisi adalah antara
oknum pembelian dengan relasi, sedang upeti adalah antara bawahan dengan atasan.

Dalam bentuk kecil-kecilan, upeti ini bisa berupa makanan atau cenderamata untuk si pengambil
keputusan atau si penandatangan SPJ (Surat Perintah Jalan) manakala seseorang akan bertugas
keluar kota atau keluar negeri. Sepertinya hal ini sudah menjadi semacam “budaya”. Saya sendiri
selalu mencoba untuk tidak melakukan hal itu bila kebetulan sedang ada tugas keluar. Tapi
ketika teman-teman yang kebetulan saya beri tugas keluar melakukan hal itu, terus terang saya
jadi agak kerepotan untuk menolaknya. Pemecahannya paling dengan ganti membagi-bagikan
makanan atau memberikan cenderamata itu untuk teman yang lain yang kebetulan memang tidak
pernah mendapat tugas keluar.

Pola menjegal order


Misalnya saya bekerja sebagai tenaga sales di sebuah perusahaan konfeksi. Gaji saya Rp 300.000
ditambah persentase dari transaksi yang berhasil saya dapatkan. Tiba-tiba saya mendapatkan
order senilai 500 juta rupiah. Persentase yang saya dapat dari kantor sesuai dengan peraturan
pastilah kecil sekali. Mendingan order ini saya lempar ke pengusaha konfeksi lain hingga saya
menerima komisi yang lebih gede. Kalau order ini datangnya dari relasi baru, kemungkinan
terbongkarnya kasus saya ini akan jadi kecil sekali.

Tapi yang lebih menguntungkan lagi adalah kalau order tadi saya garap sendiri. Itulah sebabnya
kita lalu sering melihat adanya tenaga sales di sebuah perusahaan percetakan yang di rumah juga
punya mesin cetak sendiri. Ada pegawai konfeksi yang di rumah punya usaha jahit sendiri. Ada
pegawai bengkel yang di rumah juga punya usaha perbengkelan dan sebagainya. Order-order
yang dijegal ini sebenarnya secara hukum adalah milik perusahaan. Jadi karena pembuktian
kasus seperti ini juga tidak sulit, penindakannya secara administratif maupn hukum juga paling
mudah untuk dilakukan. Biasanya oknum seperti ini kalau ketahuan akan segera di-PHK.

Penjegalan order seperti ini tidak hanya jadi monopoli para tenaga sales. Resepsionis, penjaga
toko, tenaga administratif bagian pembuka surat, bahkan juga satpam penjaga pintu gerbang pun
bisa saja melakukan penjagalan order. Resepsionis menguasai relasi yang datang lewat telepon,
tenaga administrasi menguasai pesanan lewat surat/wesel, dan satpam selalu bisa menyongsong
relasi yang datang langsung lewat pintu gerbang. Kasus seperti ini pernah terjadi di kantor saya.
Tapi begitu manajemen dibenahi, pola demikian menjadi sangat sulit atau malah boleh dibilang
mustahil untuk dilakukan

Pola perusahaan rekanan


Apabila Anda seorang pimpinan proyek atau pejabat pengambil keputusan, tentu akan terlalu
kentara manakala punya perusahaan yang bisa menangkap order-order dari kantor Anda sendiri.
Kalau Anda bekerja di sebuah kantor penerbitan lalu di rumah Anda punya perusahaan
percetakan untuk menampung order dari kantor, tentu teman-teman akan ribut lantaran hal itu
kelewat mencolok mata. Itulah sebabnya lalu banyak oknum pejabat yang memberi modal pada
si keponakan, si saudara sepupu, mertua, istri, anak, dan kerabat dekat lain untuk bikin
perusahaan rekanan. Kepadanyalah kemudian segala macam order mengalir dengan lumayan
deras. Di kalangan elite di negeri ini, gejala demikian sebenarnya sudah bukan merupakan
barang baru lagi. Cuma siapakah gerangan yang berani menulis atau membeberkannya di muka
umum?

Sebenarnya, sejauh perusahaan rekanan yang dikelola oleh sanak famili tadi kualitasnya sama
dengan perusahaan rekanan yang asli, masalahnya sama sekali tidak ada. Boleh-boleh saja. Tapi
biasanya, karena pemberi order itu masih Oom sendiri, masih Pak De sendiri, dan sebagainya,
maka hukum bisnis jadi sering tersendat untuk diterapkan secara lugas. Terjadilah kemudian
penyimpangan kualitas, waktu, anggaran dan sebagainya.

Pola penyalahgunaan jabatan/wewenang


Pola inilah yang oleh masyarakat banyak lazim disebut sebagai pungli, uang semir, pelicin,
sogok, suap dan lain-lain. Contohnya sudah banyak. Misalnya Polantas yang sering terima
“salam tempel”. Petugas kantor kelurahan yang sering mengutip minimal gopek (lima ratus)
hanya untuk stempel surat keterangan berkelakuan baik, bahkan juga oknum wartawan yang
minta amplop sehabis menjepretkan kamera dan menodongkan tape recorder.

Bagaimanakah kalau masyarakat tidak mau memberikan sesuatu kepada para petugas tadi?
Urusan bakal jadi berbelit, tersendat-sendat atau bahkan macet total. Kalau sudah begini, yang
repot tentunya ya masyarakat sendiri.

Memang selalu ada anjuran untuk tidak memberi iming-iming pungli kepada para petugas, agar
mereka tidak tergoda. Anjuran ini mirip sekali dengan imbauan untuk beli karcis di loket stasiun
dan bukan di calo. Tapi apa lacur. Karena permintaan jauh lebih besar dari penawaran, jadinya
ya tetap saja calo masih laku keras terutama di saat-saat ramai seperti di sekitar Lebaran.

Di kalangan para petugas/pegawai negeri masalahnya sama saja. Selama mereka diberi gaji kecil,
padahal wewenangnya begitu besar, maka pungli pasti akan jalan terus. Soalnya, masyarakat
memang perlu pelayanan dan tidak mau direpotkan. Mereka cenderung keluar uang sedikit asal
urusan cepat selesai.

Bisakah diberantas tuntas?


Korupsi, seperti halnya pelacuran atau tindak kejahatan lain, mustahil bisa dihapuskan dari muka
bumi. Tapi bukan berarti lalu kita harus membiarkan kebusukan ini merajalela tanpa adanya
upaya untuk mencegahnya. Yang perlu diingat adalah, bagaimanapun upaya pencegahan dan
pemberantasan kita lakukan, yang bisa kita capai hanyalah menekan peningkatan jumlah serta
kualitas kejahatan termasuk tindak kejahatan korupsi. Yang bisa kita lakukan memang hanya
sampai disitu. Membasmi korupsi sampai tuntas sebenarnya hanyalah slogan kosong yang tidak
mungkin bisa terlaksana. Hal ini perlu saya tekankan agar kita tak lantas telanjur menggebu-gebu
hingga akhirnya malah kecewa atau frustasi.

Dengan adanya manajemen yang baik, sebenarnya membuktikan adanya tindak korupsi secara
hukum bisa dilakukan, meskipun (kata Presiden) memang tidak bisa dengan mudah. Yang
menjadi masalah adalah seperti yang selama ini sudah sering kita dengar adakah itikad untuk
menindaknya? Tapi karena penegasan tentang akan ditindaknya para pelaku korupsi itu datang
dari Presiden, kita jadi percaya bahwa itikad itu jelas ada dan pasti akan dilakukan. Tentunya hal
itu baru akan bisa terlaksana dengan baik, kalau kita semua ikut serta membantu menumbuhkan
iklim yang baik pula.
Terakhir, pola-pola korupsi yang telah saya kemukakan di atas, sebenarnya hanyalah hasil
pengamatan yang “cuma” selintas. Pasti masih banyak pola baru yang lebih rumit dan canggih
yang barangkali luput dari pengamatan saya. Dengan mengemukakan pola-pola tadi, harapan
saya adalah, kita bisa lebih tahu gambaran dunia korupsi supaya bisa lebih waspada membantu
mengawasi lingkungan kita masing-masing, hingga tidak terjadi kasus korupsi yang
menggunakan pola-pola tadi. Dan bukan malah sebaliknya, yakni mencoba mempraktekkan atau
malah mengembangkan pola-pola “dasar” tadi. ***

* F. Rahardi, Wakil Pemimpin Redaksi majalah Pertanian Trubus.

Sumber : Kompas, Rabu 10 Februari 1988


18 Modus Korupsi

Posted in Ekonomi, Kerinci, Korupsi, Uncategorized with tags DPR, DPRD, Fauzi


Siin, Jambi, Kepala Daerah, Korupsi, KPK, Modus, Modus Korupsi on 15 Februari 2009 by
kerincirealitas

Korupsi dan koruptor adalah dua kata yang sering kita dengar akhir-akhir ini. Tidak ada koran,
televisi atau bahkan di Wikimu sendiri yang sepi dalam jangka waktu lama dari berita atau
pembahasan mengenai ketiga hal tersebut. Ini membuktikan kita semua membenci korupsi dan
menginginkan korupsi dibabat habis dari bumi Indonesia tercinta ini. Namun bagaimana kita bisa
ikut memberantas korupsi kalau ternyata kita secara sadar atau tidak turut berperan
melakukannya atau mungkin menikmati hasilnya ? Bagi anda yang bekerja sebagai pegawai
negeri atau pegawai BUMN atau pun perusahaan swasta dan kebetulan berhubungan langsung
dengan masalah uang dan keuangan serta proyek-proyek barangkali pernah menjumpai urusan-
urusan yang bernuansa atau berbau korupsi. Agar kita tidak terjebak mendukung atau ikut-ikutan
menikmati hasil tindak pidana korupsi, baik di pemerintahan maupun swasta, berikut ini
dikemukakan 18 modus korupsi yang diinventarisir oleh KPK (khusus bagian pemerintahan
adalah dari KPK, untuk swasta adalah interprestasi penulis), yaitu :

1. Pemerintahan : Pengusaha menggunakan pejabat pusat untuk membujuk kepala daerah


mengintervensi proses pengadaan barang/jasa dalam rangka memenangkan pengusaha tertentu
dan meninggikan harga ataupun nilai kontrak.

Swasta : Manajer atau karyawan yang ditunjuk dalam proyek pengadaan barang / jasa di
perusahaan mendekati rekanannya dan berjanji menggunakan jasa atau barangnya asal harga
barang atau nilai kontrak ditinggikan untuk masuk kantong pribadi.

2. Pemerintahan : Pengusaha mempengaruhi kepala daerah untuk mengintervensi proses


pengadaan barang/jasa agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung
dan harga barang dinaikkan (di-mark up).

Swasta : Manajer atau karyawan memenangkan rekanan tertentu dalam tender atau menunjuknya
secara langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (di-mark up) untuk masuk kantong sendiri.

3. Pemerintahan : Panitia pengadaan yang dibentuk Pemda membuat sepesifikasi barang yang
mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu,
serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak.

Swasta : Manajer atau karyawan membuat spesifkasi barang yang mengarah pada merek produk
atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan maksud mendapatkan
keuntungan pribadi dengan melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak.
4. Pemerintahan : Kepala daerah ataupun pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk
mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian
membuat laporan pertangungjawaban fiktif.

Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana/anggaran dari pos yang tidak sesuai dengan
peruntukannya, lalu membuat laporan fiktif.

5. Pemerintahan : Kepala daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana untuk


kepentingan pribadi si pejabat yang bersangkutan atau kelompok tertentu kemudian membuat
pertanggungjawaban fiktif.

Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi
dengan membuat pertanggungjawaban fiktif.

6. Pemerintahan : Kepala daerah menerbitkan Perda sebagai dasar pemberian upah pungut atau
honor dengan menggunakan dasar peraturan perundangan yang lebih tinggi, namun sudah tidak
berlaku lagi.

Swasta : –

7. Pemerintahan : Pengusaha, pejabat eksekutif dan DPRD membuat kesepakatan melakukan


ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan menurunkan (mark down) harga aset Pemda, serta
meninggikan harga aset milik pengusaha.

Swasta : Manajer atau karyawan menjual aset perusahaan dengan laporan barang rusak atau
sudah tidak berfungsi lagi.

8. Pemerintahan : Kepala daerah meminta uang jasa dibayar di muka kepada pemenang tender
sebelum melaksanakan proyek.

Swasta : Manajer atau karyawan meminta uang jasa dibayar di muka kepada rekanan sebelum
melaksanakan proyek.

9. Pemerintahan : Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan
akan diberikan proyek pengadaan.

Swasta : Manajer atau karyawan menerima sejumlah uang atau barang dari rekanan dengan
menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.

10. Pemerintahan : Kepala daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan specimen
pribadi (bukan pejabat atau bendahara yang ditunjuk). Maksudnya, untuk mempermudah
pencairan dana tanpa melalui prosedur.

Swasta : Manajer atau kepala bagian membuka rekening atas nama perusahaan dengan specimen
pribadi untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.
11. Pemerintahan : Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah
yang ditempatkan di bank.

Swasta : Manajer atau bagian keuangan meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana
perusahaan yang ditempatkan di bank atau menempatkan dana perusahaan di bank atau pasar
modal atas nama pribadi.

12. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada
perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya.

Swasta : Manajer atau kepala bagian atau karyawan menyewakan atau mengswakelola aset
perusahaan dan hasilnya masuk ke kantong sendiri.

13. Pemerintahan : Kepala daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses
perijinan yang dikeluarkannya.

Swasta : Manajer atau karyawan menerima uang/barang sehubungan dengan tugas dan
pekerjaannya dari pihak ketiga yang diuntungkan olehnya.

14. Pemerintahan : Kepala daerah, keluarga ataupun kelompoknya membeli lebih dulu barang
dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke Pemda dengan harga yang sudah di-mark
up.

Swasta : Manajer atau karyawan membeli barang dengan harga murah untuk kemudian dijual
kembali kepada perusahaan dengan harga yang di-mark up.

15. Pemerintahan : Kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya
menggunakan anggaran daerah.

Swasta : Manajer atau karyawan mencicil harga barang pribadinya dengan menggunakan uang
kantor.

16. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban pada
anggaran dengan alasan pengurusasn DAK (Dana Alokasi Khusus) atau DAU (Dana Alokasi
Umum).

Swasta : –

17. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan
APBD.

Swasta : –

18. Pemerintahan : Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban
anggaran daerah.
Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana untuk keperluan pribadi dengan beban
perusahaan.

Demikianlah 18 modus tindak pidana korupsi yang dikemukakan oleh Ketua KPK. Semoga
setelah kita mengetahui modus-modus korupsi yang kemungkinan bisa terjadi di sekitar tempat
kita bekerja, kita bisa menghindarinya. Yang penting adanya kemauan dan niat yang kuat dari
kita untuk menghapuskan budaya korupsi di negara Indonesia. Amin.

Karena itu kepada aparat pelaksana pemerintahan, birokrat, anggota Dewan (DPRD dan DPR
RI), serta kalangan swasta yang terlibat khususnya yang mengabdikan diri di Kabupaten Kerinci,
waspadalah. KPK akan segera memburu para Koruptor di daerah, dan…….. di Sumatra, Kerinci
di Provinsi Jambi adalah makanan ‘besar’yang perlu diburu, tinggal menunggu waktu !!!. Mohon
doa dan bantuan kerjasama dengan masyarakat untuk memberantas koruptor dan perilaku Korup
di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
Korupsi di manapun dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-
macam, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Melibatkan lebih dari satu orang,


2. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi negara,
korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta,
3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang
pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita,
4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya,
5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang,
6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat
umum,
7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
tatanan masyarakat,
8. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan sebagainya, untuk
membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak
perusahaan.

https://dongants.wordpress.com/2007/12/13/ciri-ciri-korupsi/
Korupsi merupakan tindakan yang tidak terpuji yang dilakukan secara individu maupun
kelompok dalam upayanya memperkaya diri sendiri maupun kelompok dari sumber-sumber
pendapat yang ilegal secara hukum. Tindakan korupsi merupakan tindakan yang bertentangan
dengan arti penting dan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Selain itu,
tindakan korupsi juga menciderai nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara. Di era
globalisasi yang berkembang sekarang ini, korupsi seolah-olah menjadi budaya dalam
masyarakat hingga pernah terdengar suatu pernyataan yang menyebutkan “korupsi berjamaah”.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berupaya melakukan tindakan pemberantasan korupsi
yang sudah menyasar pada lingkup masyarakat kecil agar negara Indonesia tidak mengalami
kemerosotan di berbagai aspek dan bidang karena dampak dari adanya korupsi ini sendiri. Upaya
yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi terdiri dari upaya
pencegahan, upaya penindakan, dan upaya edukasi. Ketiga upaya pemerintah tersebut dibahas
secara lebih lanjut di dalam artikel ini.

Berikut beberapa macam cara upaya pemerintah dalam melanjutkan tingkat jumlah
pemberantasan korupsi di Indonesia:

1. Upaya Pencegahan

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi
adalah melalui tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan ini dimaksudkan agar masyarakat
memiliki benteng diri yang kuat guna terhindar dari perbuatan yang mencerminkan tindakan
korupsi di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Upaya pencegahan tindakan korupsi dilakukan
oleh permerintah berdasarkan nilai-nilai dasar Pancasila agar dalam tindakan pencegahannya
tidak bertentangan dengan nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri. Adapun tindakan pencegahan
yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melakukan upaya pemberantasan korupsi di
wilayah negara Indonesia diantaranya:

1. Penanaman Semangat Nasional

Penanaman semangat nasional yang positif dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam bentuk
penyuluhan atau diksusi umum terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai kepribadian
bangsa Indonesia. Kepribadian yang berdasarkan Pancasila merupakan kepribadian yang
menjunjung tinggi semangat nasional dalam penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya penanaman semangat nasional Pancasila dalam diri masyarakat, kesadaran
masyarakat akan dampak korupsi bagi negara dan masyarakat akan bertambah. Hal ini akan
mendorong masyarakat Indonesia untuk menghindari berbagai macam bentuk perbuatan korupsi
dalam kehidupan sehari-hari demi kelangsungan hidup bangsa dan negaranya.

2. Melakukan Penerimaan Pegawai Secara Jujur dan Rerbuka


Upaya pencegahan sebagai bentuk upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh
pemerintah dapat dilakukan melalui penerimaan aparatur negara secara jujur dan terbuka.
Kejujuran dan keterbukaan dalam penerimaan pegawai yang dilakukan oleh pemerintah
menunjukkan usaha pemerintah yang serius untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
berkaitan dengan suap menyuap dalam penerimaan pegawai. Pemerintah yang sudah berupaya
melakukan tindakan pencegahan dalam penerimaan pegawai perlu disambut baik oleh
masyarakat terutama dalam mendukung upaya pemerintah tersebut.

Jika pemerintah telah berupaya sedemikian rupa melakukan tindakan pencegahan korupsi dalam
penemerimaan aparatur negara tapi masyarakat masih memberikan peluang terjadinya korupsi,
usaha pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menjadi sia-sia. Selain itu, jika perilaku
masyarakat yang memberikan peluang terjadinya tindakan korupsi dalam penerimaan pegawai
diteruskan, maka tidak dapat dipungkiri praktik tindakan korupsi akan berlangsung hingga dapat
menimbulkan konflik diantara masyarakat maupun oknum pemerintah. (baca juga: Pengertian
Konflik Menurut Para Ahli)

3. Himbauan Kepada Masyarakat

Himbauan kepada masyarakat juga dilakukan oleh pemerintah dalam upaya melakukan
pencegahan sebagai bentuk upaya pemberantasan korupsi di kalangan masyarakat. Himbauan
biasanya dilakukan oleh pemerintah melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan di lingkup
masyarakat kecil dan menekankan bahaya laten adanya korupsi di negara Indonesia. Selain itu,
himbauan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat menekankan pada apa saja yang
dapat memicu terjadinya korupsi di kalangan masyarakat hingga pada elite pemerintahan. (baca
juga: Penyebab Korupsi dan Cara Mengatasinya)

4. Pengusahaan Kesejahteraan Masyarakat

Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi juga dilakukan melalui upaya pencegahan berupa
pengusahaan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan pemerintah. Pemerintah berupa
mensejahterakan masyarakat melalui pemberian fasilitas umum dan penetapan kebijakan yang
mengatur tentang kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat yang diupayakan oleh pemerintah
tidak hanya kesejahteraan secara fisik saja melain juga secara lahir batin. Harapannya, melalui
pengupayaan kesejahteraan masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup dapat
memberikan penguatan kepada masyarakat untuk meminimalisir terjadinya perbuatan korupsi di
lingkungan masyarakat sehingga dapat mewujudkan masyakarat yang madani yang bersih dari
tindakan korupsi dalam kehidupan sehari-hari. (baca juga: Syarat Terwujudnya Masyarakat
Madani)

5. Pencatatan Ulang Aset

Pencatan ulang aset dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memantau sirkulasi aset yang
dimiliki oleh masyarakat. Pada tahun 2017 ini, pemerintah menetapkan suatu kebijakan kepada
masyarakatnya untuk melaporkan aset yang dimilikinya sebagai bentuk upaya pencegahan
tindakan korupsi yang dapat terjadi di masyarakat. Pencatatan aset yang dimiliki oleh masyarakat
tidak hanya berupa aset tunai yang disimpan di bank, tetapi juga terhadap aset kepemilikan lain
berupa barang atau tanah. Selain itu, pemerintah juga melakukan penelurusan asal aset yang
dimiliki oleh masyarakat untuk mengetahui apakah aset yang dimiliki oleh masyarakat tersebut
mengindikasikan tindak pidana korupsi atau tidak.
upaya pencegahan korupsi di indonesia

Upaya pemberantasan korupsi di indonesia.


Korupsi di indonesia sudah sangat tinggi. Perkembangan korupsi meningkat tiap tahunnya. Namun
demikian, kita tentu tidak boleh pesimis begitu saja. Selama ada itikad baik untuk memberantas korupsi
secara tegas, maka selama itu pula ada harapan untuk menghilangkan budaya korupsi dari bumi
indonesia. Berikut ini dijelaskan upaya pemberantasan korupsi di indonesia
1. upaya preventif
Upaya pemberantasan korupsi secara preventif dapat dilakukan melalui:
a. pendidikanmoral agama yang ditanamkan sejak dini pada setiap orang, berupa kesadaran akan bahaya
laten korupsi
b. meningkatkan kesadaran moral masyarakat untuk selalu menjaga perbuatannya sehingga tidak
terperosok pada perbuatan kejahatan yang merugikan
c. meningkatkan kesadaran moral pada pejabat apatur negara dan penegak hukum agar kekuasaannya
dijalankan sebagaimana seharusnya dan tidak sewenang-wenang.

2. upaya represif
Yaitu ditempuh dengan upaya hukum bagi pra pelaku korupsi. Pelaku korupsi jika ia terbukti bersalah
maka ia tidak bisa lepas dari jeratan hukum. Upaya hukum dalam pemberantasan korupsi memerlukan
aturan hukum tentng korupsi secara tegas. Aturan-aturan tersebut meliputi:
a. menetapkan berbagai peraturan perundang undangan tentang korupsi
b. dibentuknya berbagai badan hukum yang khusus mempunyai kewenangan luas, independent, serta
bebas dari kekuasaan manapun, sehingga dengan tegas dan leluasa memberantas tindak pidana korupsi
yang terjadi di indonesia.

DIPOSTING OLEH SHILVY DI 06.54

http://shilvystewart.blogspot.co.id/2011/09/upaya-pencegahan-korupsi-di-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai