Anda di halaman 1dari 17

BAB II

LANDASAN TEORI

1. DEFINISI KORUPSI

Menurut UU No.31 Tahun 1999, Korupsi adalah setiap orang yang


dengan sengaja dengan melawan hukum untuk melakukan perbuatan
dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara.

Menurut UU No. 20 Tahun 2001, Korupsi adalah tindakan


melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain,
atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian
negara

Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk


kepentingan pribadi atau perilaku tidak mematuhi prinsip
mempertahankan jarak (keeping disatance). (Jeremy Pope, 2002)

Korupsi adalah tingkah laku dan tindakan seseorang pejabat publik


yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan
keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang yang tertentu yang
berkaitan erat dengan pelaku korupsi seperti keluarga koruptor, karib
kerabat koruptor, dan teman koruptor.(Philip, 2004)

2. CIRI-CIRI, POLA DAN MODUS KORUPSI


A. Ciri-Ciri Korupsi
Ada bermacam – macam ciri korupsi. Menurut ahli sosiolog
dalam bukunya menerangkan beberapa ciri koruptor, yaitu:
Ø  Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
Ø  Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
Ø  Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbal
balik.
Ø  Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik
perlindungan hukum.
Ø  Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada
badan publik atau masyarakat umum.
Ø  Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Berbicara mengenai Ciri ciri korupsi, Syed Hussein


Alatas memberikan ciri-ciri korupsi, sebagai berikut :
(1) Ciri korupsi selalu melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah
yang membedakan antara korupsi dengan pencurian atau penggelapan.
(2) Ciri korupsi pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama
motif yang melatarbelakangi perbuan korupsi tersebut.
(3) Ciri korupsi yaitu melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan
timbal balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidaklah selalu
berbentuk uang.
(4) Ciri korupsi yaitu berusaha untuk berlindung dibalik pembenaran
hukum.
(5) Ciri korupsi yaitu mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang
memiliki kekuasaan atau wewenang serta mempengaruhi keputusan-
keputusan itu.
(6) Ciri korupsi yaitu pada setiap tindakan mengandung penipuan,
biasanya pada badan publik atau pada masyarakat umum.
(7) Ciri korupsi yaitu setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang
kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan tersebut.
(8) Ciri korupsi yaitu dilandaskan dengan niat kesengajaan untuk
menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi.

B. Bentuk dan Modus Korupsi


Kata korupsi adalah kata yang paling populer di surat kabar.
Hampir tiap hari ada berita tentang korupsi. Image korupsi melekat
pada PNS, Pejabat Negara, Birokrat atau Anggota Dewan. Namun,
apa memang korupsi hanya bisa terjadi pada merek mereka itu?
Kalau kita telisik lebih jauh, sebenarnya setiap manusia
berpotensi korupsi, yang membedakannya hanya masalah bentuk
dan jenisnya serta besar dan kecilnya nilai korupsi. Mari kita cek
satu satu apakah kita pernah korupsi atau tidak. Jangan cuman jadi
komentator bagi para pejabat korup padahal kita sendiri juga
korupsi
Jika dilihat dari 'hal' yang dikorupsi. Kita bisa membagi
menjadi 3 yaitu Korupsi Waktu, Korupsi Fasilitas dan Korupsi
Uang.
1. Korupsi waktu 
Contohnya seorang pagawai seharusnya datang jam 8 pagi
dan pulang jam 4 sore. Pada kenyataannya, banyak pegawai
masuk setelah jam 8 dan pulang sebelum jam 4. Ini yang
namanya korupsi waktu. Pekerja, pegawai kantor, PNS dan
Guru termasuk yang sering korupsi waktu. Tingkat
korupsinya ada yang 5 menit, 10 menit sampai 1 jam
Sekedar info, di jepang jika seorang terlambat 30 menit,
maka dia akan pulang 30 menit setelah jam kantor selesai.
Kenapa? karena dia tidak ingin korupsi waktu. Seorang
pengajar yang telat 15 menit juga seharusnya menambah
waktu mengajar 15 menit kalau kita tidak ingin disebut
Koruptor waktu
2. Korupsi Fasilitas 
Sering dilakukan oleh para pejabat, yang paling nampak
adalah memakai kendaran dinas untuk keperluan pribadi
dan keluarga. Namun sepertinya hal ini sering dimaklumi.
Seorang guru yang membawa spidol atau kapur dari sekolah
dan diapakai dirumah untuk kepentingan pribadi juga
disebut korupsi walaupun itu kecil. Tapi, biasanya segala
yang besar dimulai dari yang kecil kan? .
3. Korupsi Uang/Anggaran
Korupsi inilah yang sering di sorot oleh media. Nilainya
dari jutaan sampai Triliun Rupiah. Untuk bagian ini akan
kami jelaskan dibagian modus :
a) Markup Anggaran
Ini adalah yang paling populer dan paling sering terjadi.
dana anggaran digelembungkan dari kebutuhan
sebenarnya.Parahnya, kadang penggelembungannya
sampai berlipat lipat dari anggaran sebenarnya.
Sebagian besar koruptor di indonesia memakai modus
ini.
b) Markdown Pendapatan/Pemasukan 
Markdown sering terjadi pada petugas lapangan.
Misalkan para petugas parkir, penarik iuran,penarik
pajak dan sebagainya. Misalkan pemasukan sebenarnya
1juta, tapi dilaporan cuma 900ribu. Yang 100rb ditilep
masuk kantong pribadi.  Polantas yang sering nilang
pengendara, sebagian memakai modus ini. Kalau
menurut UU, uang denda itu masuk negara kan? tapi
kenyataanya masuk kantong.
c) Suap Aktif
Suap aktif adalah suap yang dilafalkan secara langsung
oleh pejabat. Misalkan pejabat bidang lelang tender
proyek, sebelum lelang, dia bilang ke peserta
tender, "kalau nanti kamu ngasih saya 20% dari nilai
tender, gue menangin deh tender nih buat loe".  ya itu
contoh suap aktif, Si pejabatlah yang meminta bagian
dari proyek. Contoh kasus ini adalah korupsi alquran
yang sedang ramai diberita. Termasuk para oknum yang
menjanjikan kepada CPNS untuk membayar sekian juta
maka nanti akan diterima jadi PNS.
d) Suap Pasif
suap pasif adalah suap yang berasal dari pihak kedua.
Misalkan seorang mahasiswa yang menyuap dosennya
sekian juta agar bisa lulus pendadaran, Uang ucapan
terimakasih dari sipemenang tender,  padahal pihak
pertama (pejabat) tidak meminta dan sejenisnya.Uang
money politics yang diberikan calon pejabat ke para
partisannya.  Anda bisa memberi contoh yang lain.
Korupsi jenis ini marak dan tersebar diberbagai aspek
kehidupan.
e) Pungutan diluar aturan UU. 
Sering ada di kantor kantor kecamatan, desa, kepolisian,
kantor swasta, pasar dan sebagainya. oknumnya bisa
berseragam atau non seragam. Kalau yang berseragam.
Dari pembuatan KTP,KK dan sebagainya biasanya
pungutan ini tidak ada ketetapan UU pasti tentang
berapa besarnya. Misalkan anda mau buat surat
kehilangan, lalu yang kehilangan bilang:" berapa pak?"
lalu si bapak polisi bilang :" Seiklasnya". Nah ini
sebenarnya juga pungutan liar. Kalau memang ada
peraturan resmi pasti ada keterangan" buat surat
kehilangan 10.000, beradasarkan UU no sekian tahun
sekian. Iya kan?
f) Pemberian hadiah
biasanya sama dengan suap pasif, pihak pejabat diberi
hadiah, entah mobil, tiket, hotel, fasilitas dll yang
sebenarnya tidak ada aturannya. Tentunya si pemberi
hadiah punya maksud agar urusannya di mudahkan.
g) Memotong bantuan 
Sering dilakukan oleh para pejabat penyalur bantuan.
Dari pejabat dinas, petugas lapangan, aparat desa
bahkan sampai RT/RW sering terjadi. Alasannya untuk
alasan administrasi
h) Menaikan biaya dari yang sebenarnya 
Yang paling nampak ada di KAU, kalau di undang
undang hanya sekian puluh ribu, tapi kenyataannya
sampai diatas 500ribu. Itu belum termasuk uang salam
tempel dari mempelai setelah ijab qobul. Termasuk
disini adalah petugas parkir, biasaya 1000, mintanya
2000. Termasuk para penjaga toko, warnet dan
sebagainya yang melakukan pembulatan ketas. misal
biaya warnet hanya 1800, tapi operator bilang 2000.
C. POLA UMUM KORUPSIA.
1. Pola kuitansi fiktif
Sebenarnya pola ini lebih dikenal oleh masyarakat luas
dengan istilah manipulasi alias penyelewengan. Sesuatu yang
kecil dibikin jadi besar. Yang besar dijadikan kecil. Yang ada
dibuat tidak ada. Yang tidak ada diadakan, dan sebagainya.
Tapi karena pola ini lebih banyak mengandalkan pada buku
kuitansi dalam rangka menghadapi petugas inspektorat, audit,
maupun pajak, maka saya cenderung menamakannya sebagai
pola kuitansi fiktif. Saya sebut kuitansi fiktif karena
kuitansinya memang terbukti ada. Tapi barang atau jasa atau
kegiatan yang dibeli/diselenggarakan justru lain dengan bukti
kuitansinya, atau malah sama sekali tidak ada. Kasus seperti
ini boleh dibilang umum dilakukan oleh kantor-kantor
pemerintah, swasta, maupun BUMN.
Contoh yang paling sederhana misalnya, kantor saya
membeli barang/jasa atau menyelenggarakan sebuah
kegiatan. Bukti riel uang keluar yang harus saya
pertanggungjawabkan terhadap kantor saya adalah kuitansi.
Supaya saya bisa mendapatkan keuntungan, ada beberapa
cara yang bisa saya tempuh. Pertama, barang/jasa yang saya
beli atau kegiatan yang saya selenggarakan saya
kecilkan/saya kurangi jumlah maupun mutunya, sementara
harganya tetap. Jumlah yang harus saya bayarkan otomatis
juga ikut turun sementara jumlah yang harus saya
pertanggungjawabkan ke kantor tetap seperti rencana. Selisih
jumlah tersebut bisa langsung masuk kantung. Cara kedua,
kalau saya sulit menurunkan jumlah maupun kualitas
barang/jasa atau kegiatan, maka harganya yang justru saya
naikkan. Selisih antara harga yang sebenarnya dengan harga
yang sudah naik tadilah yang saya kantungi. Bagi yang sudah
cukup profesional, malah bisa lebih gawat lagi. Barang, jasa
atau kegiatan yang diselenggarakan bisa 100 persen
difiktifkan. Anggaran tetap turun tapi barang/jasa yang dibeli
atau kegiatan yang diselenggarakan sama sekali tidak ada.
Pernah dengar berita tentang Bimas fiktif, reboisasi fiktif
bahkan juga wartawan yang melakukan reportase fiktif?
Sering pula terjadi, sehabis ada seminar atau lokakarya atau
raker, seorang ketua OC (organizing committee) buru-buru
menyuruh sekretaris atau bendaharanya mendatangi toko-
toko tertentu yang biasa diajak kerjasama untuk membuat
kuitansi fiktif, agar realisasi pengeluaran seminar/lokakarya
atau raker bisa klop dengan rencana anggaran yang dibuat.
Ternyata kasus seperti ini masih tergolong “sopan”. Saya
pernah ketemu dengan “oknum” yang sengaja mencetakkan
macam-macam kuitansi dan menyimpan macam-macam
stempel buatan tukang reklame kaki lima untuk mengelabuhi
petugas inspektorat, audit, atau malah rekan sekantornya
sendiri dari bagian akunting. Itulah tadi pola kuitansi fiktif
alias manipulasi alias penyelewengan.
2. Pola Komisi
Sebuah kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN
pastilah sering belanja barang dalam jumlah besar, baik untuk
kegiatan rutin maupun untuk menunjang proyek-proyeknya.
Taruhlah kantor saya perlu 200 baju seragam untuk
karyawannya. Harga baju di toko per lembar Rp 10.000. Tapi
karena membeli di pengusaha konfeksi, saya bisa
memperoleh potongan harga sampai 20 persen. Kalau
manajemen di kantor saya jelek, dengan mudah seluruh
komisi itu saya makan sendiri.
Ini baru baju. Bagaimana kalau mobil, rumah, pesawat
terbang atau kapal tanker? Karena jumlah komisi ini bisa
sangat besar, makanya manajemen yang baik akan selalu
mencek : betulkah cuma segitu komisi yang bisa dilepas?
Bisakah ditawar lagi? Dalam keadaan seperti ini, tentu uang
komisi itu akan kembali ke kantor lagi. Lalu mati-kutukah
oknum di bagian pembelian? Tentu tidak!
Misalnya komisi resmi yang diberikan oleh perusahaan
untuk perusahaan adalah 20 persen. Ternyata di samping itu
masih ada “komisi khusus” 2,5-5 persen yang “diselipkan” ke
kantung si petugas pembelian. Bisakah komisi seperti ini
dibuktikan secara hukum di pengadilan; tentu saja sulit.
Bukankah kuitansi atau tanda terimanya tidak ada? Tapi,
sangat sulit bukan lalu berarti mustahil. Kalau kita mampu
melakukan pendekatan terhadap pihak pemberi komisi
hingga berhasil membuatnya “menyanyi”, maka bukan
mustahil para penerima komisi di kantor kita mengalami
banyak kerepotan seperti halnya eks-PM Jepang Kakuei
Tanaka dulu.
Kadang-kadang kasus korupsi dengan pola komisi ini
menjadi teramat rumit untuk diusut lebih lanjut, manakala
komisi yang diberikan bukanlah berbentuk uang sesuai
dengan persentase melainkan berupa barang sebagai hadiah,
misalnya arloji, video. mobil, rumah, bahkan tak jarang
berupa perempuan cantik yang bisa diajak kencan. Tapi
bagaimanapun rumitnya, korupsi dengan pola ini toh masih
tetap ada peluang untuk diusut dan dibuktikan secara hukum.
3. Pola Upeti
Komisi – meski berupa hadiah barang, termasuk Hadiah
lebaran, Natal dan Tahun Baru – asalnya selalu dari relasi dan
selalu dihitung sesuai dengan persentase nilai transaksi yang
telah atau akan dilakukan. Upeti meski juga bisa berupa uang
maupun barang bahkan juga “pacar” datangnya dari bawahan
untuk atasan. Tujuannya bisa macam-macam. Misalnya saja
agar kondite tetap terjaga baik. Supaya kedudukan aman,
tidak digeser atau dimutasikan ke tempat yang “kering”.
Supaya “permainan” yang dilakukannya tetap berlangsung
dengan selamat dan lain-lain.
Dalam kondisi tertentu, bisa terjadi tawar-menawar
antara atasan dengan bawahan tentang jumlah upeti yang
mesti disetor. Dalam kondisi yang sudah cukup gawat
malahan si atasan bisa langsung memotong upeti yang sudah
menjadi kesepakatan bersama itu. Jadi sifatnya sudah sangat
mirip dengan pola komisi, bedanya cuma yang melakukan.
Kalau komisi adalah antara oknum pembelian dengan relasi,
sedang upeti adalah antara bawahan dengan atasan.
Dalam bentuk kecil-kecilan, upeti ini bisa berupa
makanan atau cenderamata untuk si pengambil keputusan
atau si penandatangan SPJ (Surat Perintah Jalan) manakala
seseorang akan bertugas keluar kota atau keluar negeri.
Sepertinya hal ini sudah menjadi semacam “budaya”. Saya
sendiri selalu mencoba untuk tidak melakukan hal itu bila
kebetulan sedang ada tugas keluar. Tapi ketika teman-teman
yang kebetulan saya beri tugas keluar melakukan hal itu,
terus terang saya jadi agak kerepotan untuk menolaknya.
Pemecahannya paling dengan ganti membagi-bagikan
makanan atau memberikan cenderamata itu untuk teman yang
lain yang kebetulan memang tidak pernah mendapat tugas
keluar.
4. Pola Menjegal Order
Misalnya saya bekerja sebagai tenaga sales di sebuah
perusahaan konfeksi. Gaji saya Rp 300.000 ditambah
persentase dari transaksi yang berhasil saya dapatkan. Tiba-
tiba saya mendapatkan order senilai 500 juta rupiah.
Persentase yang saya dapat dari kantor sesuai dengan
peraturan pastilah kecil sekali. Mendingan order ini saya
lempar ke pengusaha konfeksi lain hingga saya menerima
komisi yang lebih gede. Kalau order ini datangnya dari relasi
baru, kemungkinan terbongkarnya kasus saya ini akan jadi
kecil sekali.
Tapi yang lebih menguntungkan lagi adalah kalau order
tadi saya garap sendiri. Itulah sebabnya kita lalu sering
melihat adanya tenaga sales di sebuah perusahaan percetakan
yang di rumah juga punya mesin cetak sendiri. Ada pegawai
konfeksi yang di rumah punya usaha jahit sendiri. Ada
pegawai bengkel yang di rumah juga punya usaha
perbengkelan dan sebagainya. Order-order yang dijegal ini
sebenarnya secara hukum adalah milik perusahaan. Jadi
karena pembuktian kasus seperti ini juga tidak sulit,
penindakannya secara administratif maupn hukum juga
paling mudah untuk dilakukan. Biasanya oknum seperti ini
kalau ketahuan akan segera di-PHK.
Penjegalan order seperti ini tidak hanya jadi monopoli
para tenaga sales. Resepsionis, penjaga toko, tenaga
administratif bagian pembuka surat, bahkan juga satpam
penjaga pintu gerbang pun bisa saja melakukan penjagalan
order. Resepsionis menguasai relasi yang datang lewat
telepon, tenaga administrasi menguasai pesanan lewat
surat/wesel, dan satpam selalu bisa menyongsong relasi yang
datang langsung lewat pintu gerbang. Kasus seperti ini
pernah terjadi di kantor saya. Tapi begitu manajemen
dibenahi, pola demikian menjadi sangat sulit atau malah
boleh dibilang mustahil untuk dilakukan
5. Pola Perusahaan Rekanan
Apabila Anda seorang pimpinan proyek atau pejabat
pengambil keputusan, tentu akan terlalu kentara manakala
punya perusahaan yang bisa menangkap order-order dari
kantor Anda sendiri. Kalau Anda bekerja di sebuah kantor
penerbitan lalu di rumah Anda punya perusahaan percetakan
untuk menampung order dari kantor, tentu teman-teman akan
ribut lantaran hal itu kelewat mencolok mata. Itulah sebabnya
lalu banyak oknum pejabat yang memberi modal pada si
keponakan, si saudara sepupu, mertua, istri, anak, dan kerabat
dekat lain untuk bikin perusahaan rekanan. Kepadanyalah
kemudian segala macam order mengalir dengan lumayan
deras. Di kalangan elite di negeri ini, gejala demikian
sebenarnya sudah bukan merupakan barang baru lagi. Cuma
siapakah gerangan yang berani menulis atau
membeberkannya di muka umum?
Sebenarnya, sejauh perusahaan rekanan yang dikelola
oleh sanak famili tadi kualitasnya sama dengan perusahaan
rekanan yang asli, masalahnya sama sekali tidak ada. Boleh-
boleh saja. Tapi biasanya, karena pemberi order itu masih
Oom sendiri, masih Pak De sendiri, dan sebagainya, maka
hukum bisnis jadi sering tersendat untuk diterapkan secara
lugas. Terjadilah kemudian penyimpangan kualitas, waktu,
anggaran dan sebagainya.
6. Pola Penyalahgunaan Jabatan/Wewenang
Pola inilah yang oleh masyarakat banyak lazim disebut
sebagai pungli, uang semir, pelicin, sogok, suap dan lain-lain.
Contohnya sudah banyak. Misalnya Polantas yang sering
terima “salam tempel”. Petugas kantor kelurahan yang sering
mengutip minimal gopek (lima ratus) hanya untuk stempel
surat keterangan berkelakuan baik, bahkan juga oknum
wartawan yang minta amplop sehabis menjepretkan kamera
dan menodongkan tape recorder.
Bagaimanakah kalau masyarakat tidak mau
memberikan sesuatu kepada para petugas tadi? Urusan bakal
jadi berbelit, tersendat-sendat atau bahkan macet total. Kalau
sudah begini, yang repot tentunya ya masyarakat sendiri.
Memang selalu ada anjuran untuk tidak memberi iming-
iming pungli kepada para petugas, agar mereka tidak tergoda.
Anjuran ini mirip sekali dengan imbauan untuk beli karcis di
loket stasiun dan bukan di calo. Tapi apa lacur. Karena
permintaan jauh lebih besar dari penawaran, jadinya ya tetap
saja calo masih laku keras terutama di saat-saat ramai seperti
di sekitar Lebaran.
Di kalangan para petugas/pegawai negeri masalahnya
sama saja. Selama mereka diberi gaji kecil, padahal
wewenangnya begitu besar, maka pungli pasti akan jalan
terus. Soalnya, masyarakat memang perlu pelayanan dan
tidak mau direpotkan. Mereka cenderung keluar uang sedikit
asal urusan cepat selesai.

3. KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF


a. Dalam perspektif agama
Korupsi dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat
tercela. Dalam perspektif ajaran islam, korupsi termasuk perbuatan
fasad atau perbuatan yang merusak kemslahatan, kemanfaatan
hidup, dan tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan
jinayah kubro (dosa besar). Dalam konteks ajaran islam yang lebih
luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan
prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan
tanggung jawab.
b. Dalam perspektif sosial
Korupsi dipandang suatu perbuatan yang dapat
meningkatkan angka kemiskinan, perusakan moral bangsa,
hilangnya rasa percaya terhadap pemerintah, akan timbul
kesenjangan dalam pelayanan umum dan menurunnya kepercayaan
pemerintah dalam pandangan masyarakat. Dalam sistem ini,
menerima sesuatu dari rakyat, walaupun untuk  rakyat itu sendiri
harus berkorban dan menderita, tanpa diketahui oleh rakyat itu
sendiri mereka telah diperlakukan tidak adil oleh oknum-oknum
korupsi yang tidak bertanggung jawab,  merupakan perbuatan
tercela dan penerimaan itu jelas dapat dimasukkan sebagai
perbuatan korupsi.

c. Dalam perspektif budaya


Korupsi dipandang suatu perbuatan yang akan membentuk
pandangan buruk terhadap reputasi negara, dan secara perlahan
akan memutus budaya luhur bangsa. Almarhum Dr. Mohammad
Hatta yang ahli ekonomi pernah mengatakan bahwa korupsi adalah
masalah budaya. Pernyataan bung Hatta tersebut dapat diartikan
bahwa korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau
masyarakat secara keseluruhan tidak bertekad untuk
memberantasnya.
Masalah hukum dapat ditangani dengan hukum, sedangkan
masalah budaya tentu saja ditangani dengan tindakan – tindakan
dibidang kebudayaan juga. Inilah hal yang tidak mudah. Berbeda
kalau masyarakat secara keseluruhan sudah menganut ukuran yang
sama dalam hal rasa keadilan, maka usaha pengenalan dan
pengendalian korupsi akan jauh lebih mudah.

d. Dalam perspektif teknologi


Korupsi dipandang sebagai sesuatu yang dapat
menghambat perkembangan teknologi yang ada, penyalahgunaan
tindakan yang merugikan negara, dan terorisme yang terus
merajalela.

e. Dalam perspektif hukum


Korupsi menimbulkan pandangan ketidak konsistenan
terhadap hukum yang berlaku, timbul pandangan bahwa hukum
bisa diperjual belikan, kepercayaan masyarakat terhadap hukum
menurun, timbul gambaran orang-orang yang berkuasa dan kaya
sebagai pemilik hukum, timbul pemikiran bahwa hukum terlalu
bobrok, dan timbul rasa ketidakadilan didalam diri masyarakat.

f. Dalam perspektif politik


Korupsi dapat mempersulit demokrasi dan tata cara
pemerintahan yang baik dengan cara menghancurkan proses
formal, sistem politik akan terganggu cenderung tidak dipercaya
oleh masyarakat, akan timbul aklamasi-aklamasi untuk
menguatkan kekuatan politik (menjaga keberlangsungan korupsi)
dan akan timbul ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-
lembaga politik.

g. Dalam perspektif ekonomi


Korupsi berdampak pada pembangunan infrastruktur yang
tidak merata, tidak sesuai dengan yang dianggarkan sebelumnya.
Pemerataan pendapatan yang buruk, membuat pengusaha asing
takut untuk berinvestasi di Indonesia, pendapatan negara
mengalami penurunan dan membuat beban lebih berat pada
masyarakat.

Korupsi dalam perspektif pancasila :


a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang


Maha Esa, dalam hal ini jelas perilaku tindak pidana korupsi ini
tidak mencerminkan perilaku tersebut karena perilaku tindak
pidana korupsi adalah perilaku yang tidak percaya dan taqwa
kepada Tuhan. Dia menafikan bahwa Tuhan itu Maha Melihat lagi
Maha Mendengar.

b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Dalam sila ini perilaku tindak pidana korupsi sangat


melanggar bahkan sama sekali tidak mencerminkan perilaku ini,
seperti mengakui persamaan derajat, saling mencintai, sikap
tenggang rasa, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan serta
membela kebenaran dan keadilan.

c. Sila Persatuan Indonesia

Tindak pidana dan tipikor bila dilihat dalam sila ini,


pelakunya itu hanya mementingkan pribadi, tidak ada rasa rela
berkorban untuk bangsa dan negara, bahkan bisa dibilang tidak
cinta tanah air karena perilakunya cenderung mementingkan nafsu,
kepentingan pribadi atau kasarnya kepentingan perutnya saja.

d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyarawatan Perwakilan

Dalam sila ini perilaku yang mencerminkannya seperti,


mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat, tidak
memaksakan kehendak, keputusan yang diambil harus
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta
menjunjung tinggi harkat martabat manusia dan keadilannya.
Sangat jelaslah bahwa tindak pidana korupsi tidak pernah ada rasa
dalam sila ini.
e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia
Rata-rata bahkan sebagian besar pelaku tindak pidana
korupsi itu, tidak ada perbuatan yang luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana gotong royong, adil, menghormati hak-hak
orang lain, suka memberi pertolongan, menjauhi sikap pemerasan
terhadap orang lain, tidak melakukan perbuatan yang merugikan
kepentingan umum, serta tidak ada rasa bersama-sama untuk
berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.

Jadi semua perilaku tindak pidana dan tipikor itu semuanya


melanggar dan tidak mencerminkan sama sekali perilaku pancasila
yang katanya ideologi bangsa ini. Selain bersifat mengutamakan
kepentingan pribadi, juga tidak adanya rasa kemanusiaan, keadilan,
saling menghormati, saling mencintai sesama manusia, dan yang
paling riskan adalah tidak ada rasa ‘percaya dan taqwa’ kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

4. HUKUMAN YANG SESUAI UNTUK KORUPTOR


a. Hukuman membayar denda dan mengembalikan uang yang
dikorupsi hingga diusir dari negara
Alasan :

b. Memberikan tanda khusus dalam KTP maupun kartu identitas


koruptor yang berlaku seumur hidup
Alasan : Sanksi yang selanjutnya adalah dengan menandai KTP / e-
KTP si pemilik bahwa dia adalah seorang koruptor. Hal ini
dikarenakan e-KTP itu sendiri berperan sangat besar dan mendasar
dalam kehidupan sehari-hari. e-KTP atau KTP Elektronik adalah
dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan /
pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi
informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional.
Dengan diberinya tanda pada KTP si koruptor, diharapkan akan
memuat jera karena tentu ini akan membuat pelaku merasa malu.
Selain itu, akan berdampak juga pada saat pngurusan surat surat
pribadinya yang akan menyulitkan si pelaku koruptor contohnya
kesulitan dalam pembuatan paspor, dll

c. Membangun tempat tahanan koruptor di area rekreasi umum


Alasan : Hal ini dimaksudkan supaya pelaku koruptor
mendapatkan hukuman moral dan sosial atas tindakan yang telah
diperbuat dan agar masyarakat mengenal dan mengetahui siapa
yang mencuri uang rakyat serta menggunakannya untuk
memperkaya dirinya sendiri, bila perlu disana disediakan juga
papan informasi dimana didalamnya terdapat biodata si koruptor
serta apa saja yang sudah ia korupsi. Dan dibangunnya tempat
tersebut juga dimaksudkan untuk pembelajaran masyarakat agar
idak bertindak sebagai koruptor yang merugikan banyak pihak.

Anda mungkin juga menyukai