Anda di halaman 1dari 4

DIKLAT PIM IV ANGKATAN V

RESUME

Hal-hal yang menarik dari kuliah umum Etika


dan Kebijakan Publik oleh Ibu Sri Mulyani
Saya rasanya lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil pansus Century. Dan saya bisa
merasakan itu karena sometimes dari moral dan etikanya jelas berbeda. Dan itu yang membuat saya
jarang sekali merasa grogi sekarang menjadi grogi. Saya diajari pak Marsilam untuk memanggil
orang tanpa mas atau bapak, karena diangap itu adalah ekspresi egalitarian. Saya susah manggil
Marsilam, selalu pakai pak, dan dia marah. Tapi untuk Rocky saya malam ini saya panggil Rocky
(Rocky Gerung dari P2D) yang baik. Terimakasih atas (tepuk tangan)
Tapi saya diminta untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik. Dan itu adalah suatu topik
yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian saya, semenjak hari pertama saya bersedia
untuk menerima jabatan sebagai menteri di kabinet di Republik Indonesia itu.
Suatu penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran, dengan segala upaya saya
untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang pada dalam dirinya, setiap hari
adalah melakukan tindakan, membuat pernyataan, membuat keputusan, yang semuanya adalah
dimensinya untuk kepentingan publik.
Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena saya tidak belajar, seperti anda
semua, termasuk siapa tadi yang menjadi MC, tentang filosofi. Namun saya dididik oleh keluarga
untuk memahami etika di dalam pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat
publik, hari pertama saya harus mampu untuk membuat garis antara apa yang disebut sebagai
kepentingan publik dengan kepentingan pribadi saya dan keluarga, atau kelompok.
Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI untuk pintar mengenai
itu. Karena kita belajar selama 30 tahun dibawah rezim presiden Soeharto. Dimana begitu acak
hubungan, dan acak-acakan hubungan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu
merupakan modal awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap hari
harus membuat kebijakan publik dengan domain saya sebagai makhluk, yang juga punya privacy
atau kepentingan pribadi.
Di dalam ranah itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari 5 tahun saya bekerja untuk
pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan publik dan bagaimana kita harus, dari mulai
berpikir, merasakan, bersikap, dan membuat keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak
perlu harus mengulangi, karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi, yaitu kepentingan
masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.
Jadi kebijakan pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat, Kebijakan publik dibuat
melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh institusi publik yang eksis karena dia
merupakan produk dari suatu proses politik dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya.
Disitulah letak bersinggungan, apa yang disebut sebagai ingridient utama dari kebijakan publik,
yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan kita.
Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa adanya pengendalian dan sistim pengawasan, saya
yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah dikenal oleh kita semua. Namun pada saat anda berdiri
sebagai pejabat publik, memiliki kekuasan dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat kita
corrupt, maka pertanyaan kalau saya mau menjadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt, apa yang
harus saya lakukan?
Oleh karena itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi ini lebih saya cerita
daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu khawatirnya, tapi juga pada saat yang sama punya
perasaan anxiety untuk menjalankan kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi,
maka pada hari pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem pengawas internal
anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas menjadi Menteri Keuangan. Dan saya
sadar sesadar sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan Kementrian Keuangan atau Menteri
Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan pada saat saya tidak berpikir corrupt pun orang sudah
berpikir ngeres mengenai hal itu.
Saya sudah melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau governance. pada saat seseorang
memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang yang begitu banyak. Tidak mudah mencari
orang yang tidak tergiur, apalagi terpeleset, sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi
seoalh-olah menjadi barang atau aset miliknya sendiri.

Dan disitulah hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus membuat garis pembatas
yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri dan dalam, bahkan, pikiran kita dan perasaan kita
untuk menjalankan tugas itu secara dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak
membolehkan perasaan ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-abusenya.
Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang boleh dan nggak boleh, buat mereka
menjadi suatu pertanyaan yang sangat janggal. Untuk kultur birokrat, itu sangat sulit dipahami. Di
dalam konteks yang lebih besar dan alasan yang lebih besar adalah dengan rambu-rambu. Kita
membuat standart operating procedure, tata cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan
dibuat. Bahkan menciptakan sistem check and balance.
Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat mudah untuk
memunculkan konflik kepentingan. Saya bisa cerita berhari-hari kepada anda. Banyak contoh
dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan seorang, pada jabatan Menteri Keuangan,
mudah tergoda. Dari korupsi kecil hingga korupsi yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan
ritel sampai korupsi yang sifatnya upstream dan hulu.
Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan itu. Karena
dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli sistem. Dia bisa menciptakan
network. Dia bisa menciptakan pengaruh. Dan pengaruh itu bisa menguntungkan bagi dirinya
sendiri atau kelompoknya. Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu
anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti.
Namun, meskipun kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu, dengan
menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun masih bisa
dilewati. Disinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur etika. Karena etika menempel dalam
diri kita sendiri. Di dalam cara kita melihat apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah
sesuatu itu menghianati atau tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah
kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran. Etika itu ada di dalam diri
kita.

Dan kemudian kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa ekonomi yang keren namanya
agregat, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika yang jumlahnya agregat atau publik,
pertanyaannya adalah apakah di dalam domain publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan
dan menghasilkan barang publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu norma yang mengatur
dan memberikan guidance kepada kita. Saya termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan
selama menjadi menteri. Karena itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya harus
berdiri atau duduk berjam-jam di DPR. Disitu anggota DPR bertanya banyak hal. Kadang-kadang
bernada pura-pura sungguh-sungguh. Merek emngkritik begitu keras. Tapi kemudian mereka dengan
tenangnya mengatakan Ini adalah panggung politik bu.
Waktu di dewan saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya akan menjadi lain lagi,
waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak saya tidak pernah bingung yang mana
saya waktu itu. Dan itu sesuatu yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubahubah. Kalau pagi lain nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam lain lagi dengan
tengah malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu ongkos yang paling mahal bagi
seorang pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin menjalankan secara konsisten.
Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan, saya betulbetul terpana. Waktu saya menjadi executive director di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang
disebut birokrat dari negara maju. HAri pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan
mengenai etika sebagai seorang executive director, do dan donts. Disitu juga disebutkan mengenai
konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir suatu policy publik, untuk
level internasional, mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat di dalam proses politik atau
proses kebijakan itu harus menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh
tanya, apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam domain konflik
kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita untuk bisa membuat keputusan yang baik.
Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir ya
kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia dan saya dengan pemahaman pengenai
konsep konflik kepentingan, saya sering menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana
kebijakan itu akan berimplikasi kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan pihak yang ikut
duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan keuntungan itu. Dan tidak

ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan yang penting pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi
ke siapa itu adalah urusan sekunder.
Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep mengenai etika
dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di republik ini. Dan kalau kita berusaha
untuk menjalankan dan menegakkan, kita dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC
nya menjelaskan bahwa saya ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar dan dunia yang
begitu bagus, di dalam saya dianggap seperti orang yang cerita yang nggak nggak aja. Belum kalau
di dalam konteks politik besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti Lihat saja Sri Mulyani,
neolib.
Jadi saya mungkin akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses politik. Tentu adalah
suatu keresahan buat kita. Karena episod yang terjadi beberapa kali adalah bahwa di dalam ruangan
publik, rakyat atau masyarakat yang harusnya menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia
memilih, kepada siapapun CEO di republik ini dan dia juga memilih dari orang-orang yang diminta
untuk menjadi pengawas atau check terhadap CEO nya.
Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang mengatakan untuk
menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota, propinsi, membutuhkan biaya yang
luar biasa, apalagi presiden pastinya. Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk
suatu beban seseorang. Saya menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan,
tapi saya tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi beban personal.
Sehingga memunculkan suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber finansialnya. Dan
disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak mungkin itu dilakukan dengan membayar melalui
gajinya. Bahkan melalui APBD nya pun tidak mungkin karena size dari APBN nya kadang-kadang
tidak sebesar atau mungkin juga lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy. Policy yang
bisa dijual belikan. Dan itu adalah adalah bentuk hasil dari suatu kolaborasi.
Pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi hal ini didalam konteks bahwa produk dari
kebijakan publik, melalui sebuah proses politik yang begitu mahal sudah pasti akan distated dengan
struktur yang membentuk awalnya. KArena kebijakan publik adalah hilirnya, hasil akhir. Hulunya
yang memegang kekuasaan, lebih hulu lagi adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan itu
demikian mahal.
Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir kuliah saya ini atau cerita saya ini saya
ingin menyampaikan kepada semua kawan-kawan disini. Saya bukan dari partai politik, saya bukan
politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik. Selama lebih dari 5 tahun saya tahu persis
bagaimana proses politik terjadi. Kita punya perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah.
Keresahan itu memuncak pada saat kita menghadapi realita jangan-jangan banyak orang yang ingin
berbuat baik merasa frustasi. Atau mungkin saya akan less dramatic. Banyak orang-orang yang
harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita menghibur diri dengan mengatakan kompromi ini
perlu untuk kepentingan yang lebih besar. Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru, karena saya tahu
betul pergumulan para teknokrat jaman Pak Harto, untuk memutuskan stay atau out adalah pada
dilema, apakah dengan stay saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik sehingga
menyelamatkan suatu kerusakan yang lebih besar. Atau anda out dan anda disitu akan punya kans
untuk berbuat atau tidak, paling tidak resiko getting associated with menjadi less. Personal gain,
public loss. If you are stay, dan itu yang saya rasakan 5 tahun, you suddenly feel that everybody is
your enemy.
Karena no one yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu happy karena kita tetap
berada di dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan ktia juga jengkel karena kita tidak bisa masuk
kelompok yang bisa diajak enak-enakan. Sehingga anda di dalam di sandwich di dua hal itu. Dan itu
bukan suatu pengalaman yang mudah. Sehingga kita harus berkolaborasi untuk membuat space yang
lebih enak, lebih banyak sehingga kita bisa menemukan kesamaan.
Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan menjaga etika kita di
dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan. Dan saya ingin membagi kepada temanteman disini, karena terlalu banyak di media seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di
kementrian keuangan yang sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus.
Saya ingin memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul genuinly adalah
orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta republik sama seperti anda. Mereka juga kritis,
mereka punya nurani, mereka punya harga diri. Dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin
mereka tidak bersuara karena mereka adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak
tapi harus bekerja.

Sebetulnya disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses politik yang didorong, yang
dimotivate, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan membolehkan seseorang untuk dihakimi,
bahkan tanpa pengadilan. Divonis tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah suatu episod yang
sebetulnya sudah berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat publik yang tujuannya
membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah ada etika dan norma yang menjadi
guidance kita dibenturkan dengan realita-realita politik.
Kepergian atau mundurnya Ibu Sri Mulyani Banyak yang menganggap itu adalah suatu loss atau
kehilangan. Ibu Sri Mulyani ingin mengatakan bahwa kemenangan dan keberhasilan definisikan
tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan pemimpin berintegritas ada di
negara Indonesia. Prinsip Ibu Sri Mulyani tidak menghianati kebenaran, tidak mengingkari hati
nurani, dan menjaga martabat dan harga diri.

KESIMPULAN
Bahwasanya integritas seorang pemimpin di Indonesia sangat di uji oleh kondisi dan situasi politik.
Jadi seorang pemimpin yang ingin menegakan etika dan kebijakan publik secara benar atau jujur
akan selalu terhambat oleh proses birokrasi dan kondisi politik sehingga kebijakan ini dan etika ini
terasa seperti terkurung dalam kepentingan politik. Yang menjadi sangat langka di Indonesia ini
memiliki seorang pemimpin yang berintegritas dalam Kebijakan Publik dan ber Etika dalam
pelayanan Publik. Oleh sebab itu untuk menjadi seorang pemimpin yang benar harus di siap
melawan arus dan melawan kepentingan politik dengan segala konsekuensinya, karena itulah
Pemimpin yang di butuhkan oleh Bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai