NIM : P.07.131.117.040
MANFAAT
Manfaat riwayat mempelajari alamiah perjalanan penyakit :
Untuk diagnostik : masa inkubasi dapat dipakai pedoman penentuan jenis penyakit,
misal dalam KLB (Kejadian Luar Biasa)
Untuk Pencegahan : dengan mengetahui rantai perjalanan penyakit dapat dengan
mudah dicari titik potong yang penting dalam upaya pencegahan penyakit.
Untuk terapi : terapi biasanya diarahkan ke fase paling awal. Pada tahap perjalanan
awal penyakit, adalah waktu yang tepat untuk pemberian terapi, lebih awal terapi akan
lebih baik hasil yang diharapkan.
TAHAPAN
Tahapan Riwayat alamiah perjalanan penyakit :
a. Tahap Pre-Patogenesa
Pada tahap ini telah terjadi interaksi antara pejamu dengan bibit penyakit. Tetapi
interaksi ini masih diluar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh
manusia dan belum masuk kedalam tubuh pejamu.
Pada keadaan ini belum ditemukan adanya tanda – tanda penyakit dan daya tahan
tubuh pejamu masih kuat dan dapat menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.
b. Tahap Patogenesa
1) Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi adalah masuknya bibit penyakit kedalam tubuh pejamu, tetapi gejala-
gejala penyakit belum nampak.
Tiap-tiap penyakit mempunyai masa inkubasi yang berbeda, ada yang bersifat seperti
influenza, penyakit kolera masa inkubasinya hanya 1- 2 hari, penyakit Polio mempunyai
masa inkubasi 7 - 14 hari, tetapi ada juga yang bersifat menahun misalnya kanker paru-paru,
AIDS dan sebagainya.
Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan terus yang
mengakibatkan terjadinya gangguan pada bentuk dan fungsi tubuh.
Pada suatu saat penyakit makin bertambah hebat, sehingga timbul gejalanya. Garis
yang membatasi antara tampak dan tidak tampaknya gejala penyakit disebut dengan horison
klinik.
2) Tahap Penyakit Dini
Tahap penyakit dini dihitung mulai dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada tahap
ini pejamu sudah jatuh sakit tetapi sifatnya masih ringan. Umumnya penderita masih dapat
melakukan pekerjaan sehari-hari dan karena itu sering tidak berobat. Selanjutnya, bagi yang
datang berobat umumnya tidak memerlukan perawatan, karena penyakit masih dapat diatasi
dengan berobat jalan.
Tahap penyakit dini ini sering menjadi masalah besar dalam kesehatan masyarakat,
terutama jika tingkat pendidikan penduduk rendah, karena tubuh masih kuat mereka tidak
datang berobat, yang akan mendatangkan masalah lanjutan, yaitu telah parahnya penyakit
yang di derita, sehingga saat datang berobat sering talah terlambat.
3) Tahap Penyakit Lanjut
Apabila penyakit makin bertambah hebat, penyakit masuk dalam tahap penyakit
lanjut. Pada tahap ini penderita telah tidak dapat lagi melakukan pekerjaan dan jika datang
berobat, umumnya telah memerlukan perawatan.
4) Tahap Akhir Penyakit
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir. Berakhirnya perjalanan penyakit
tersebut dapat berada dalam lima keadaan, yaitu :
Sembuh sempurna : penyakit berakhir karena pejamu sembuh secara sempurna,
artinya bentuk dan fungsi tubuh kembali kepada keadaan sebelum menderita penyakit.
Sembuh tetapi cacat : penyakit yang diderita berakhir dan penderita sembuh.
Sayangnya kesembuhan tersebut tidak sempurna, karena ditemukan cacat pada pejamu.
Adapun yang dimaksudkan dengan cacat, tidak hanya berupa cacat fisik yang dapat dilihat
oleh mata, tetapi juga cacat mikroskopik, cacat fungsional, cacat mental dan cacat sosial.
Karier : pada karier, perjalanan penyakit seolah-olah terhenti, karena gejala penyakit
memang tidak tampak lagi. Padahal dalam diri pejamu masih ditemukan bibit penyakit yang
pada suatu saat, misalnya jika daya tahan tubuh berkurang, penyakit akan timbul kembali.
Keadaan karier ini tidak hanya membahayakan diri pejamu sendiri, tetapi juga masyarakat
sekitarnya, karena dapat menjadi sumber penularan
Kronis : perjalanan penyakit tampak terhenti karena gejala penyakit tidak berubah,
dalam arti tidak bertambah berat dan ataupun tidak bertambah ringan. Keadaan yang seperti
tentu saja tidak menggembirakan, karena pada dasarnya pejamu tetap berada dalam keadaan
sakit.
Meninggal dunia : terhentinya perjalanan penyakit disini, bukan karena sembuh, tetapi
karena pejamu meninggal dunia. Keadaan seperti ini bukanlah tujuan dari setiap tindakan
kedokteran dan keperawatan.
Terapan Riwayat Alamiah Penyakit Demam Berdarah Dengue dan
Tahap Pencegahannya
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin
luas. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang terutama menyerang anak-anak. DBD
adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi perdarahan dan bertendensi
mengakibatkan renjatan atau syok yang menyebabkan kematian. Penyakit ini selalu terjadi
tiap tahun di berbagai tempat di Indonesia terutama pada saat musim hujan.
say no to DHF
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B,
yaitu arthropode-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda dan termasuk
genus Flavivirus dari famili Flaviridae. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes
aegypti (di daerah perkotaan) dan Aedes albopictus (di daerah pedesaan). Nyamuk yang
menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menggigit
manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya).
Mayoritas kasus DBD dilaporkan dari Asia di mana penyakit ini telah mempengaruhi
sebagian besar negara, dan merupakan penyebab utama rawat inap dan kematian di kalangan
anak-anak. Dampak DF / DBD terhadap kesehatan masyarakat yang nyata terjadi selama
wabah penyakit ini (Gubler, 2002).
Timbulnya suatu penyakit dapat diterangkan melalui konsep segitiga
epidemiologi. Faktor tersebut adalah agent (agen), host (manusia), Environment(lingkungan)
dan keberadaan vektor.
Timbulnya penyakit DBD bisa disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
faktorhost (manusia) dengan segala sifatnya (biologis, fisiologis, psikologis, sosiologis),
adanya agent sebagai penyebab dan environment (lingkungan) yang mendukung. Serta
didukung oleh keberadaan vektor dengue yaitu Ae.aegypti dan Ae.albopictus 4.
Dalam teori keseimbangan, interaksi ketiga unsur tersebut harus dipertahankan. Bila
terjadi gangguan keseimbangan maka akan menimbulkan penyakit. Pada kondisi normal,
keseimbangan interaksi tersebut dapat dipertahankan, melalui intervensi alamiah terhadap
salah satu unsur tersebut, atau melalui intervensi buatan manusia dalam bidang pencegahan
maupun dalam bidang meningkatkan derajat kesehatan5.
a. Agent (Penyebab)
Penyebab demam berdarah dengue (DBD) adalah virus dengue. Virus ini merupakan
virus RNA berantai tunggal yang positif sense. Secara taksonomi virus ini termasuk
kelompok arbovirus yang sekarang lebih dikenal sebagai
genusFlavivirus famili Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotipe yang semuanya terdapat
di Indonesia yaitu Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3, dan Dengue-4. Dari ke empat virus
tersebut, dengue 3 merupakan serotipe yang dominan dan berpotensi membentuk genotipe
baru6. Hasil analisis genetik, secara umum dapat dikatakan bahwa virus dengue yang beredar
di Indonesia baik serotipe 1,2, 3, dan 4 terkelompok dalam kluster tersendiri terpisah dari
strain dengue yang beredar di negara-negara tetangga 6.
b. Vektor DBD
Penularan penyakit melalui perantara gigitan serangga biasa dikenal sebagaivectorborne
disease (Chandra, 2007). Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictusmenjadi vektor utama
penularan penyakit DBD di Indonesia. Namun dalam keadaan KLB spesies Aedes
scutellaris dan Aedes polynesiensis juga turut berperan sebagai vektor penular penyakit
DBD 7.
Perjalanan penyakit DBD sering sukar diramalkan, karena sebagian penderita dengan
renjatan yang berat dapat disembuhkan walaupun hanya dengan pengobatan yang sederhana.
Selain itu hal ini juga terjadi karena pengawasan yang minim, sehingga tahap awal penularan
epidemi biasanya tidak terdeteksi, dengan kasus yang banyak tidak dilaporkan sampai
epidemi ini diakui sebagai demam berdarah, yang biasanya terjadi dekat dengan transmisi
puncak; kemudian menjadi terlalu banyak dilaporkan. Keadaan darurat pengendalian nyamuk
biasanya dimulai pada waktu tersebut, tetapi upaya ini biasanya salah arah, terlalu sedikit dan
terlalu terlambat untuk memiliki berbagai pengaruh pada epidemi (Gubler, 2002). Berikut ini
penjelasan tentang riwayat alamiah penyakit deman berdarah dengue beserta tahap-tahap
pencegahannya:
2. Specific protection
a. Abatisasi
Program ini secara massal memberikan bubuk abate secara cuma-cuma kepada
seluruh rumah, terutama di wilayah yang endemis DBD semasa musim penghujan.
Tujuannya agar kalau sampai menetas, jentik nyamuknya mati dan tidak sampai terlanjur
menjadi nyamuk dewasa yang akan menambah besar populasinya (Nadesul, 2007). Abitasasi
selektif atau larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan atau menaburkan larvasida ke
dalam penampungan air yang positif terdapat jentik aedes (Widoyono, 2008).
b. Fogging focus (FF).
Fogging focus adalah kegiatan menyemprot dengan insektisida (malation, losban)
untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per 1 dukuh
(Widoyono, 2008). Penyemprotan bisa membahayakan kesehatan jika dilakukan tidak dengan
hati-hati. Oleh karena itu, takaran insektisida yang dipakai harus diukur dengan cermat, dan
tidak sampai berlebihan (Nadesul, 2007).
c. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
Pemeriksaan Jentik Berkala adalah kegiatan reguler tiga bulan sekali, dengan cara
mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan
cara random atau metode spiral (dengan rumah di tengah sebagai pusatnya) atau metode zig-
zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan jentik atau House Index (HI)
(Widoyono, 2008). Pembersihan jentik bisa dilakukan dengan pogram Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN), menggunakan ikan, dan larvasidasi. Tidak semua jenis ikan memangsa jentik
nyamuk Aedes, hanya ikan jenis gambusia, seperti ikan kepala timah. Selain itu ada beberapa
pemangsa jentik nyamuk Aedes yang ada di alam, yaitu burung air, serangga, dan ikan.
Namun pemangsa itu sudah semakin langka, sehingga campur tangan manusia memang
diperlukan (Nadesul, 2007).
d. Penggerakan PSN
Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak mandi atau WC, drum
seminggu sekali, menutup rapat-rapat TPA seperti gentong air atau tempayan, mengubur atau
menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan serta mengganti air
vas bunga, tempat minum burung seminggu sekali merupakan upaya untuk melakukan PSN
DBD. Masyarakat diharapkan rutin melakukan kegiatan tersebut dan pihak pemerintah
melakukan pemeriksaan jentik berkala, sehingga pencegahan dan pemberantasan penyakit
DBD dapat berjalan dengan baik.
2. Disability Limitation
Pembatasan kecacatan yang dilakukan adalah untuk menghilangkan gangguan
kemampuan bekerja yang diakibatkan suatu penyakit. Dampak dari penyakit DBD yang tidak
segera diatasi, antara lain:
– Paru-paru basah. Hal ini bisa terjadi karena cairan plasma merembes keluar dari
pembuluh, ruang-ruang tubuh, seperti di antara selaput paru (pleura) juga terjadi
penumpukan. Pada anak-anak sering terjadi bendungan cairan pada selubung paru-
parunya (pleural effusion).
– Komplikasi pada mata, otak, dan buah zakar. Pada mata dapat terjadi
kelumpuhan saraf bola mata, sehingga mungkin nantinya akan terjadi kejulingan atau
bisa juga terjadi peradangan pada tirai mata (iris) kalau bukan pada kornea yang
berakhir dengan gangguan penglihatan. Peradangan pada otak bisa menyisakan
kelumpuhan atau gangguan saraf lainnya (Nadesul, 2007).
Umumnya penyakit DBD berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Oleh karena itu,
sebagian besar penderita DBD tidak menunjukkan gejala sisa. Komplikasi pada penderita
DBD misalnya perdarahan paru dan sepsis. Jika virus dengue menyerang otak, dan tergolong
ganas serta daya tahan tubuh penderita rendah, kerusakan daerah otak cukup luas. Oleh
karena itu, mungkin dapat meninggalkan gejala sisa. Namun, keadaan ini jarang terjadi
(Satari, 2004). Selain itu, jika keadaan penderita bertambah parah atau akibat jumlah cairan
yang masuk tidak memadai maka penderita akan memasuki fase syok. Perdarahan yang tak
terkontrol dari berbgaai organ tubuh yang sulit dihentikan juga dapat terjadi sebagai akibat
terjadinya gangguan pembekuan darah secara menyeluruh. Ketika sudah mengalami
perdarahan menunjukkan bahwa kegawatan penyakitnya sudah masuk dalam derajat II yang
merupakan satu tingkat di bawah fase DDS (Dengue Shock Syndrome). Fase DDS merupakan
kondisi paling parah atau stadium akhir dari infeksi virus dengue ini. Jika seorang penderita
DBD sudah masuk dalam fase ini, maka risiko kematian yang mengancamnya menjadi cukup
besar. Bahkan, kalaupun penderita berhasil lolos dari fase ini, besar kemungkinan pula ia
akan mengalami kecacatan akibat kegagalan salah satu atau beberapa fungsi organnya, mulai
dari otak, ginjal, hingga hati.
Pembatasan kecacatan dapat dilakukan dengan pengobatan dan perawatan. Obat-
obatan yang diberikan kepada pasien DBD hanya bersifat meringankan keluhan dan
gejalanya semata. Obat demam, obat mual, dan vitamin tak begitu besar peranannya untuk
meredakan penyakitnya. Jauh lebih penting upaya pemberian cairan atau tranfusi darah,
tranfusi sel trombosit, atau pemberian cairan plasma. Pada tubuh pasien DBD yang terjadi
adalah darah mengalami kehilangan plasma. Plasma merembes keluar pembuluh darah. Pada
tingkat kekentalan tertentu, sirkulasi terganggu. Infus cairan mencegah terjadinya kegagalan
sirkulasi, sehingga syok yang timbul dapat dicegah (Nadesul, 2007).
3. Rehabilitation
Setelah sembuh dari penyakit demam berdarah dengue, kadang-kadang orang menjadi
cacat, untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan tertentu. Oleh
karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak akan segan melakukan
latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu oorang yang cacat setelah sembuh dari
penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat
tidak mau menerima mereka sebagai anggoota masyarakat yang normal. Oleh sebab itu,
pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga
perlu pendidikan kesehatan pada masyarakat. Rehabilitasi pada penderita DBD yang
mengalami kelumpuhan saraf mata yang menyebabkan kejulingan terdiri atas:
Rehabilitasi fisik, yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan fisik semaksimal-
maksimalnya. Misalnya dengan donor mata agar saraf mata dapat berfungsi dengan normal
kembali.
Rehabilitasi mental, yaitu agar bekas penderita dapat menyesuaikan diri dalam
hubungan perorangan dan sosial secara memuaskan. Seringkali bersamaan dengan terjadinya
cacat badaniah muncul pula kelainan-kelainan atau gangguan mental. Untuk hal ini bekas
penderita perlu mendapatkan bimbingan kejiwaan sebelum kembali ke dalam masyarakat.
Rehabilitasi sosial vokasional, yaitu agar bekas penderita menempati suatu pekerjaan
atau jabatan dalam masyarakat dengan kapasitas kerja yang semaksimal-maksimalnya sesuai
dengan kemampuan dan ketidak mampuannya.
Rehabilitasi aesthesis, perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa keindahan,
walaupun kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak dapat dikembalikan
misalnya dengan menggunakan mata palsu.
Daftar Pustaka
https://luluhatta.wordpress.com/2012/11/25/terapan-riwayat-alamiah-penyakit-demam-
berdarah-dengue-dan-tahap-pencegahannya/