Anda di halaman 1dari 17

NAMA : Satiti Dwi Anggraini

NIM : P.07.131.117.040

RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT


RIWAYAT ALAMIAH PERJALANAN PENYAKIT
Jika ditinjau proses yang terjadi pada orang sehat, menderita penyakit dan terhentinya
penyakit tersebut dikenal dengan nama riwayat alamiah perjalanan penyakit (natural history
of disease) terutama untuk penyakit infeksi.
Riwayat alamiah suatu penyakit adalah perkembangan penyakit tanpa campur tangan
medis atau bentuk intervensi lainnya sehingga suatu penyakit berlangsung secara natural.

MANFAAT
Manfaat riwayat mempelajari alamiah perjalanan penyakit :
 Untuk diagnostik : masa inkubasi dapat dipakai pedoman penentuan jenis penyakit,
misal dalam KLB (Kejadian Luar Biasa)
 Untuk Pencegahan : dengan mengetahui rantai perjalanan penyakit dapat dengan
mudah dicari titik potong yang penting dalam upaya pencegahan penyakit.
 Untuk terapi : terapi biasanya diarahkan ke fase paling awal. Pada tahap perjalanan
awal penyakit, adalah waktu yang tepat untuk pemberian terapi, lebih awal terapi akan
lebih baik hasil yang diharapkan.

TAHAPAN
Tahapan Riwayat alamiah perjalanan penyakit :
a. Tahap Pre-Patogenesa
Pada tahap ini telah terjadi interaksi antara pejamu dengan bibit penyakit. Tetapi
interaksi ini masih diluar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh
manusia dan belum masuk kedalam tubuh pejamu.
Pada keadaan ini belum ditemukan adanya tanda – tanda penyakit dan daya tahan
tubuh pejamu masih kuat dan dapat menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.
b. Tahap Patogenesa
1) Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi adalah masuknya bibit penyakit kedalam tubuh pejamu, tetapi gejala-
gejala penyakit belum nampak.
Tiap-tiap penyakit mempunyai masa inkubasi yang berbeda, ada yang bersifat seperti
influenza, penyakit kolera masa inkubasinya hanya 1- 2 hari, penyakit Polio mempunyai
masa inkubasi 7 - 14 hari, tetapi ada juga yang bersifat menahun misalnya kanker paru-paru,
AIDS dan sebagainya.
Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan terus yang
mengakibatkan terjadinya gangguan pada bentuk dan fungsi tubuh.
Pada suatu saat penyakit makin bertambah hebat, sehingga timbul gejalanya. Garis
yang membatasi antara tampak dan tidak tampaknya gejala penyakit disebut dengan horison
klinik.
2) Tahap Penyakit Dini
Tahap penyakit dini dihitung mulai dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada tahap
ini pejamu sudah jatuh sakit tetapi sifatnya masih ringan. Umumnya penderita masih dapat
melakukan pekerjaan sehari-hari dan karena itu sering tidak berobat. Selanjutnya, bagi yang
datang berobat umumnya tidak memerlukan perawatan, karena penyakit masih dapat diatasi
dengan berobat jalan.
Tahap penyakit dini ini sering menjadi masalah besar dalam kesehatan masyarakat,
terutama jika tingkat pendidikan penduduk rendah, karena tubuh masih kuat mereka tidak
datang berobat, yang akan mendatangkan masalah lanjutan, yaitu telah parahnya penyakit
yang di derita, sehingga saat datang berobat sering talah terlambat.
3) Tahap Penyakit Lanjut
Apabila penyakit makin bertambah hebat, penyakit masuk dalam tahap penyakit
lanjut. Pada tahap ini penderita telah tidak dapat lagi melakukan pekerjaan dan jika datang
berobat, umumnya telah memerlukan perawatan.
4) Tahap Akhir Penyakit
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir. Berakhirnya perjalanan penyakit
tersebut dapat berada dalam lima keadaan, yaitu :
Sembuh sempurna : penyakit berakhir karena pejamu sembuh secara sempurna,
artinya bentuk dan fungsi tubuh kembali kepada keadaan sebelum menderita penyakit.
Sembuh tetapi cacat : penyakit yang diderita berakhir dan penderita sembuh.
Sayangnya kesembuhan tersebut tidak sempurna, karena ditemukan cacat pada pejamu.
Adapun yang dimaksudkan dengan cacat, tidak hanya berupa cacat fisik yang dapat dilihat
oleh mata, tetapi juga cacat mikroskopik, cacat fungsional, cacat mental dan cacat sosial.
Karier : pada karier, perjalanan penyakit seolah-olah terhenti, karena gejala penyakit
memang tidak tampak lagi. Padahal dalam diri pejamu masih ditemukan bibit penyakit yang
pada suatu saat, misalnya jika daya tahan tubuh berkurang, penyakit akan timbul kembali.
Keadaan karier ini tidak hanya membahayakan diri pejamu sendiri, tetapi juga masyarakat
sekitarnya, karena dapat menjadi sumber penularan
Kronis : perjalanan penyakit tampak terhenti karena gejala penyakit tidak berubah,
dalam arti tidak bertambah berat dan ataupun tidak bertambah ringan. Keadaan yang seperti
tentu saja tidak menggembirakan, karena pada dasarnya pejamu tetap berada dalam keadaan
sakit.
Meninggal dunia : terhentinya perjalanan penyakit disini, bukan karena sembuh, tetapi
karena pejamu meninggal dunia. Keadaan seperti ini bukanlah tujuan dari setiap tindakan
kedokteran dan keperawatan.
Terapan Riwayat Alamiah Penyakit Demam Berdarah Dengue dan
Tahap Pencegahannya
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin
luas. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang terutama menyerang anak-anak. DBD
adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi perdarahan dan bertendensi
mengakibatkan renjatan atau syok yang menyebabkan kematian. Penyakit ini selalu terjadi
tiap tahun di berbagai tempat di Indonesia terutama pada saat musim hujan.

say no to DHF
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B,
yaitu arthropode-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda dan termasuk
genus Flavivirus dari famili Flaviridae. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes
aegypti (di daerah perkotaan) dan Aedes albopictus (di daerah pedesaan). Nyamuk yang
menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menggigit
manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya).
Mayoritas kasus DBD dilaporkan dari Asia di mana penyakit ini telah mempengaruhi
sebagian besar negara, dan merupakan penyebab utama rawat inap dan kematian di kalangan
anak-anak. Dampak DF / DBD terhadap kesehatan masyarakat yang nyata terjadi selama
wabah penyakit ini (Gubler, 2002).
Timbulnya suatu penyakit dapat diterangkan melalui konsep segitiga
epidemiologi. Faktor tersebut adalah agent (agen), host (manusia), Environment(lingkungan)
dan keberadaan vektor.
Timbulnya penyakit DBD bisa disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
faktorhost (manusia) dengan segala sifatnya (biologis, fisiologis, psikologis, sosiologis),
adanya agent sebagai penyebab dan environment (lingkungan) yang mendukung. Serta
didukung oleh keberadaan vektor dengue yaitu Ae.aegypti dan Ae.albopictus 4.
Dalam teori keseimbangan, interaksi ketiga unsur tersebut harus dipertahankan. Bila
terjadi gangguan keseimbangan maka akan menimbulkan penyakit. Pada kondisi normal,
keseimbangan interaksi tersebut dapat dipertahankan, melalui intervensi alamiah terhadap
salah satu unsur tersebut, atau melalui intervensi buatan manusia dalam bidang pencegahan
maupun dalam bidang meningkatkan derajat kesehatan5.
a.       Agent (Penyebab)
Penyebab demam berdarah dengue (DBD) adalah virus dengue. Virus ini merupakan
virus RNA berantai tunggal yang positif sense. Secara taksonomi virus ini termasuk
kelompok arbovirus yang sekarang lebih dikenal sebagai
genusFlavivirus famili Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotipe yang semuanya terdapat
di Indonesia yaitu Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3, dan Dengue-4. Dari ke empat virus
tersebut, dengue 3 merupakan serotipe yang dominan dan berpotensi membentuk genotipe
baru6. Hasil analisis genetik, secara umum dapat dikatakan bahwa virus dengue yang beredar
di Indonesia baik serotipe 1,2, 3, dan 4 terkelompok dalam kluster tersendiri terpisah dari
strain dengue yang beredar di negara-negara tetangga 6.
b.      Vektor DBD
Penularan penyakit melalui perantara gigitan serangga biasa dikenal sebagaivectorborne
disease (Chandra, 2007). Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictusmenjadi vektor utama
penularan penyakit DBD di Indonesia. Namun dalam keadaan KLB spesies Aedes
scutellaris dan Aedes polynesiensis juga turut berperan sebagai vektor penular penyakit
DBD 7. 
Perjalanan penyakit DBD sering sukar diramalkan, karena sebagian penderita dengan
renjatan yang berat dapat disembuhkan walaupun hanya dengan pengobatan yang sederhana.
Selain itu hal ini juga terjadi karena pengawasan yang minim, sehingga tahap awal penularan
epidemi biasanya tidak terdeteksi, dengan kasus yang banyak tidak dilaporkan sampai
epidemi ini diakui sebagai demam berdarah, yang biasanya terjadi dekat dengan transmisi
puncak; kemudian menjadi terlalu banyak dilaporkan. Keadaan darurat pengendalian nyamuk
biasanya dimulai pada waktu tersebut, tetapi upaya ini biasanya salah arah, terlalu sedikit dan
terlalu terlambat untuk memiliki berbagai pengaruh pada epidemi (Gubler, 2002). Berikut ini
penjelasan tentang riwayat alamiah penyakit deman berdarah dengue beserta tahap-tahap
pencegahannya:

Fase suseptibel (rentan)

Fase Pertumbuhan Nyamuk


Fase suseptibel adalah tahap awal perjalanan penyakit dimulai dari tepaparnya
individu yang rentan (suseptibel). Fase suseptibel dari demam berdarah dengue menurut
Gurbler et al, dalam sumantri (2008) adalah pada saat nyamuk Aedes aegypti yang tidak
infektif kemudian menjadi infektif setelah menggigit manusia yang sakit atau dalam keadaan
viremia (masa virus bereplikasi cepat dalam tubuh manusia). Nyamuk Aedes aegyptiyang
telah menghisap virus dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Ketika menggigit
manusia nyamuk mensekresikan kelenjar saliva melalui proboscis terlebih dahulu agar darah
yang akan dihisap tidak membeku. Bersama sekresi saliva inilah virus dengue dipindahkan
dari nyamuk antar manusia.
Fase Subklinis (asismtomatis)
Fase sublinis adalah waktu yang diperlukan dari mulai paparan agen kausal hingga
timbulnya manifestasi klinis disebut dengan masa inkubasi (penyakit infeksi) atau masa laten
(penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum menampakkan tanda dan gejala klinis, atau
disebut dengan fase subklinis (asimtomatis). Masa inkubasi ini dapat berlangsung dalam
hitungan detik pada reaksi toksik atau hipersensitivitas.
Fase subklinis dari demam berdarah dengue adalah setelah virus dengue masuk
bersama air liur nyamuk ke dalam tubuh, virus tersebut kemudian memperbanyak diri dan
menginfeksi sel-sel darah putih serta kelenjar getah bening untuk kemudian masuk ke dalam
sistem sirkulasi darah. Virus ini berada di dalam darah hanya selama 3 hari sejak ditularkan
oleh nyamuk. (Lestari, 2007). Pada fase subklinis ini, jumlah trombosit masih normal selama
3 hari pertama (Rena, 2009). Sebagai perlawanan, tubuh akan membentuk antibodi,
selanjutnya akan terbentuk kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai
antigennya. Kompleks antigen-antibodi ini akan melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel
pembuluh darah, yang disebut dengan proses autoimun. Proses tersebut menyebabkan
permeabilitas kapiler meningkat yang salah satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori
pembuluh darah kapiler. Hal tersebut akan mengakibatkan bocornya sel-sel darah, antara lain
trombosit dan eritrosit (Widoyono, 2008). Jika hal ini terjadi, maka penyakit DBD akan
memasuki fase klinis dimana sudah mulai ditemukan gejala dan tanda secara klinis adanya
suatu penyakit.
Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit
demam berdarah dengue. Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan
sendirinya, atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit.
Tahapan pencegahan yang dapat diterapkan untuk menghindari terjadinya fase
suseptibel dan fase subklinis atau yang sering disebut dengan fase prepatogenesis ada dua,
yaitu:
Health Promotion, dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
a)      Pendidikan dan Penyuluhan tentang kesehatan pada masyarakat.

Cara Menghindari DBD


Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan
masyarakattentang kesehatan. Selain itu juga dilakukan untuk membina peran serta
masyarakat melalui berbagai jalur komunikasi dan informasi kepada masyarakat, seperti
melalui televisi, radio dan media massa lainnya, kerja bakti dan lomba-lomba yang berkaitan
dengan kesehatan di kelurahan atau desa, sekolah atau tempat-tempat umum lainnya.
b)      Memberdayakan kearifan lokal yang ada.
Misalnya kearifan lokal masyarakat di pedesaan yaitu gotong royong. Hal ini jika
dilakukan secara rutin tiap minggunya dalam bentuk bersama-sama membersihkan
lingkungan sekitar akan sangat berguna untuk meningkatkan status kesehatan.
c)      Perbaikan suplai dan penyimpanan air.
Air sebagai sumber kehidupan memegang peranan yang sangat penting dalam
kelanjutan dan kesejahteraan hidup manusia. Permasalahan sanitasi air bersih menjadi salah
satu permasalahan kesehatan lingkungan di Indonesia. Oleh karena itu, perbaikan suplai dan
penyimpanan air sangat penting untuk dilakukan mengingat permasalahan atau penyakit
berupa water borne disease sangat beraneka ragam. Bahkan air juga bisa menjadi tempat
hidup dan perkembangbiakan vektor penyakit lain seperti demam berdarah dengue (DBD).

d)     Menekan angka pertumbuhan penduduk.


Sebagaimana yang diungkapkan oleh Antonius (2005) dalam Suyasa (2008) bahwa
daerah yang terjangkit DBD pada umumnya adalah kota atau wilayah yang padat penduduk.
Rumah-rumah yang saling berdekatan memudahkan penularan penyakit ini, mengingat
nyamuk Aedes aegypti jarak terbangnya maksimal 200 meter. Hubungan yang baik antar
daerah memudahkan penyebaran penyakit ke daerah lain. Selain itu, hal ini juga berkaitan
erat dengan mobilitas penduduk yang memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat
lainnya dan biasanya penyakit menjalar dimulai dari satu sumber penularan kemudian
mengikuti lalu lintas penduduk. Hal ini juga didukung oleh pernyataan (Gubler, 2002) bahwa
ada banyak faktor yang bertanggung jawab untuk kebangkitan dramatis epidemi DF / DBD
pada tahun-tahun dari abad ke-20, namun beberapa di antaranya tidak dipahami dengan baik.
Demografis dan perubahan sosial seperti pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan transportasi
modern memberikan kontribusi besar terhadap kejadian meningkat dan penyebaran geografis
aktivitas demam berdarah.
e)      Perbaikan sanitasi lingkungan, tata ruang kota dan kebijakan pemerintah.
Hal ini erat kaitannya dengan pemukiman penduduk, tempat-tempat umum, sarana
dan prasarana kota, dan lain-lain. Penataan ruang kota yang baik akan meningkatkan status
kesehatan masyarakat setempat. Selain itu sanitasi lingkungan juga harus diperbaiki karena
beberapa hal berikut ini:
–          Keberadaan Densitas Aedes aegypti pada Daerah Endemis Demam Berdarah
di beberapa daerah menunjukkan bahwa tempat perindukkan nyamuk Aedes
aegypti yang paling banyak berupa bak mandi, kemudian diikuti gentong, bak WC,
tempayan, ember dan tempat wudhu (Suyasa, 2008).
–          Keberadaan pot tanaman hias. Keberadaan pot tanaman hias di rumah
khususnya tanaman hias yang menggunakan media air sebagai pertumbuhan pada
kenyataannya terdapat genangan air. Genangan air ini dijadikan sebagai breeding
place nyamuk Aedes aegypti.
–          Keberadaan saluran air hujan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Arman
(2005) yang menunjukkan adanya hubungan antara keberadaan saluran air hujan
dengan endemisitas demam berdarah dengue. Perubahan musim dari kemarau ke
penghujan menjadi titik rawan ledakan kasus demam berdarah, apalagi didukung oleh
keberadaan saluran air hujan yang dapat menampung genangan air.
–          Keberadaan kontainer. Genangan yang disukai sebagai tempat perindukkan
nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut
kontainer atau tempat penampungan air bukan genangan air di tanah.

2.    Specific protection
a. Abatisasi
Program ini secara massal memberikan bubuk abate secara cuma-cuma kepada
seluruh rumah, terutama di wilayah yang endemis DBD semasa musim penghujan.
Tujuannya agar kalau sampai menetas, jentik nyamuknya mati dan tidak sampai terlanjur
menjadi nyamuk dewasa yang akan menambah besar populasinya (Nadesul, 2007). Abitasasi
selektif atau larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan atau menaburkan larvasida ke
dalam penampungan air yang positif terdapat jentik aedes (Widoyono, 2008).
b. Fogging focus (FF).
Fogging focus adalah kegiatan menyemprot dengan insektisida (malation, losban)
untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per 1 dukuh
(Widoyono, 2008). Penyemprotan bisa membahayakan kesehatan jika dilakukan tidak dengan
hati-hati. Oleh karena itu, takaran insektisida yang dipakai harus diukur dengan cermat, dan
tidak sampai berlebihan (Nadesul, 2007).
c. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
Pemeriksaan Jentik Berkala adalah kegiatan reguler tiga bulan sekali, dengan cara
mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan
cara random atau metode spiral (dengan rumah di tengah sebagai pusatnya) atau metode zig-
zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan jentik atau House Index (HI)
(Widoyono, 2008). Pembersihan jentik bisa dilakukan dengan pogram Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN), menggunakan ikan, dan larvasidasi. Tidak semua jenis ikan memangsa jentik
nyamuk Aedes, hanya ikan jenis gambusia, seperti ikan kepala timah. Selain itu ada beberapa
pemangsa jentik nyamuk Aedes yang ada di alam, yaitu burung air, serangga, dan ikan.
Namun pemangsa itu sudah semakin langka, sehingga campur tangan manusia memang
diperlukan (Nadesul, 2007).
d. Penggerakan PSN
Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak mandi atau WC, drum
seminggu sekali, menutup rapat-rapat TPA seperti gentong air atau tempayan, mengubur atau
menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan serta mengganti air
vas bunga, tempat minum burung seminggu sekali merupakan upaya untuk melakukan PSN
DBD. Masyarakat diharapkan rutin melakukan kegiatan tersebut dan pihak pemerintah
melakukan pemeriksaan jentik berkala, sehingga pencegahan dan pemberantasan penyakit
DBD dapat berjalan dengan baik.

e. Pencegahan gigitan nyamuk.


Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan pemakaian kawat kasa,
menggunakan kelambu, menggunakan obat nyamuk (bakar, oles), dan tidak melakukan
kebiasaan beresiko seperti tidur siang, dan menggantung baju. Pemakaian kasa pada ventilasi
yang dilakukan merupakan pencegahan secara fisik terhadap nyamuk yang bertujuan agar
nyamuk tidak sampai masuk rumah ataupun kamar tidur.
f. Pengendalian vektor.
Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581tahun
1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh
masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus.
Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ).
Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau
dikurangi. Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode komunikasi atau penyampaian
informasi atau pesan yang berdampak pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN
melalui pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Communication for Behavioral
Impact (COMBI) (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010).
Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit DBD belum
ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk
memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian vektornya. Beberapa metode
pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD
di tingkat pusat dan di daerah yaitu: 1. Manajemen lingkungan, 2. Pengendalian Biologis, 3.
Pengendalian Kimiawi, 4. Partisipasi masyarakat, 5. Perlindungan Individu dan 6. Peraturan
perundangan.
g. Fase klinis (proses ekspresi)
Tahap selanjutnya adalah fase klinis yang merupakan tahap ekspresi dari penyakit
tersebut. Pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan gejala (symptom) penyakit secara klinis,
dan penjamu yang mengalami manifestasi klinis. Gejala klinis paling awal disebut dengan
gejala prodromal. Periode waktu untuk mengekspresikan penyakit klinis hingga terjadi hasil
akhir penyakit disebut dengan durasi penyakit.
Gejala dan Tanda DBD
Fase klinis dari demam berdarah dengue ditandai dengan badan yang mengalami
gejala demam dengan suhu tinggi antara 39 sampai 40 derajat celcius. Akibat pertempuran
antara antibodi dan virus dengue terjadi penurunan kadar trombosit dan bocornya pembuluh
darah sehingga membuat plasma darah mengalir ke luar. Penurunan trombosit ini mulai bisa
dideteksi pada hari ketiga. Masa kritis penderita demam berdarah berlangusng sesudahnya,
yakni pada hari keempat dan kelima. Pada fase ini suhu badan turun dan biasanya diikuti oleh
sindrom shock dengue karena perubahan yang tiba-tiba. Muka penderita pun menjadi
memerah atau facial flush. Biasanya penderita juga mengalami sakit kepala, tubuh bagian
balakang, otot, tulang dan perut (antara pusar dan ulu hati). Tidak jarang diikuti dengan
muntah yang berlanjut dan suhu dingin dan lembab pada ujung jari serta kaki (Lestari, 2007).
Tersangka DBD akan mengalami demam tinggi yang mendadak terus menerus selama kurang
dari seminggu, tidak disertai infeksi saluran pernapasan bagian atas, dan badan lemah dan
lesu. Jika ada kedaruratan maka akan muncul tanda-tanda syok, muntah terus menerus,
kejang, muntah darah, dan batuk darah sehingga penderita harus segera menjalani rawat inap.
Sedangkan jika tidak terjadi kedaruratan, maka perlu dilakukan uji torniket positif dan uji
torniket negatif yang berguna untuk melihat permeabillitas pembuluh darah sebagai cara
untuk menentukan langkah penanganan selanjutnya (Arif dkk, 2000).
Manifestasi klinis DBD sangat bervariasi, WHO (1997) membagi menjadi 4 derajat,
yaitu:
Derajat I:  Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi
perdarahan spontan satu satunya adalah uji tourniquet positif.
Derajat II: Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan atau
manifestasi perdarahan yang lebih berat.
Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menyempit (< 20 mmHg), hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan
lembab, gelisah.
Derajat IV: Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.

Fase penyembuhan, kecacatan, atau kematian


Setelah terinfeksi virus dengue maka penderita akan kebal menyeluruh (seumur
hidup) terhadap virus dengue yang menyerangya saat itu (misalnya, serotipe 1). Namun
hanya mempunyai kekebalan sebagian (selama 6 bulan) terhadap virus dengue lain (serotipe
2, 3, dan 4). Demikian seterusnya sampai akhirnya penderita akan mengalami kekebalan
terhadap seluruh serotipe tersebut (Satari, 2004).
Tahap pemulihan bergantung pada penderita dalam melewati fase kritisnya. Tahap
pemulihan dapat dilakukan dengan pemberian infus atau transfer trombosit. Bila penderita
dapat melewati masa kritisnya maka pada hari keenam dan ketujuh penderita akan berangsur
membaik dan kembali normal pada hari ketujuh dan kedelapan, namun apabila penderita
tidak dapat melewati masa kritisnya maka akan menimbulkan kematian (Lestari, 2007).
Pencegahan yang dilakukan pada fase klinis dan fase penyembuhan atau yang sering
disebut dengan tahap patogenesis  ada tiga, yaitu:
1.    Early Diagnosis dan Prompt Treatment
Pengendalian penyakit menular akan berjalan efektif kalau penyakit menular yang
bersangkutan memiliki metode deteksi dini untuk diagnostik. Menurut Achmadi (2008)
dalam Buletin Jendela Epidemiologi Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI,
2010, Alat deteksi dini akan sangat efektif pula apabila diikuti dengan pengobatan (prompt
treatment) secara dini. Gabungan keduanya yakni –early diagnostic dan prompt treatment,
merupakan pendekatan yang amat ampuh untuk mengendalikan penyakit menular.
Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus (antigen) secara dini
dengan metode antigen capture (NS1 atau non-structural protein 1) untuk mendeteksi adanya
virus dalam tubuh. Deteksi virus bisa dilakukan sehari sebelum penderita menderita demam,
hingga virus hilang pada hari ke sembilan. Setelah diketahui ada nya virus, penderita diberi
antiviral yang efektif membunuh virus DBD (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi,
Kemenkes RI, 2010).
Deteksi dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader dengan mencari kasus DBD
secara pro aktif disekitar penderita pertama yang diketahui alamatnya, atau menggunakan
petugas yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD disetiap RW, atau Kelurahan.
Beberapa metode lain untuk melakukan pencegahan pada tahap Early
Diagnosisdan Prompt Treatment antara lain sebagai berikut:
Pelacakan penderita. Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis) yaitu kegiatan
mendatangi rumah-rumah dari kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk mencari penderita
lain dan memeriksa angka jentik dalam radius ±100 m dari rumah indeks (Widoyono, 2008).
Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain. Jika
terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan kasus termasuk
merujuk ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terdekat (Widoyono, 2008).
Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium penting dan bermanfaat untuk
mengetahui beberapa hal. Pertama, dapat lebih dini mengetahui benar ada infeksi virus
dengue. Kedua, sudah seberapa parah penyakitnya berlangsung, apa sedang terancam syok,
dan tindakan medis apa yang perlu segera dilakukan. Ketiga, untuk memonitor apakah
penyakitnya sudah dalam proses menyembuh (Nadesul, 2007). Selain itu dengan melakukan
pemeriksaan darah berkala, sekurang-kurangnya setiap 4-6 jam dapat diketahui pasien DBD
masih dalam stadium yang ringan atau sudah stadium berat. Pemeriksaan juga dilakukan pada
bagian hati penderita. Hati yang lunak menjadi tanda penderita demam berdarah mendekati
fase kritis. Selain itu, pemeriksaan laboratorium  akan dilakukan pada hari ketiga, kelima, dan
selanjutnya untuk mengetahui keadaan penderita secara lebih pasti. Berikut ini beberapa
pemeriksaan darah yang mungkin dilakukan pada penderita DBD:
–       Pemeriksaan darah tepi untuk mengetahui jumlah leukosit. Pemeriksaan ini
digunakan untuk mengantisipasi terjadinya leukopenia.
–       Pemeriksaan limfosit atipikal (sel darah putih yang muncul pada infeksi virus).
Jika terjadi peningatan, mengindikasikan dalam waktu kurang lebih 24 jam penderita
akan bebas demam dan memasuki fase kritis.
–       Pemeriksaan trombositopenia dan trombosit. Jika terjadi penurunan jumlah
keduanya, mengindikasikan penderita DBD memasuki fase kritis dan memerlukan
perawatan ketat di rumah sakit (Satari, 2004).
Pengobatan penderita demam berdarah dapat dilakukan dengan cara:
–       Pemberian cairan yang cukup untuk mengurangi rasa haus dan dehidrasi akibat
dari demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Penderita diberi minum sebanyak 1, 5- 2
liter dalam 24 jam.
–       Antipiretik, seperti golongan Acetaminofen (parasetamol) dan jangan diberikan
golongan salisilat karena dapat menyebabkan bertambahnya perdarahan.
–       Surface cooling
–       Antikonvulsan.
–       Pada penderita kejang dapat diberikan diazepam (valium) dan fenobarbital
(luminal) (Rampengan, 2008).
Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan penyakit
demam dengue maupun demam dengue berdarah ini (Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010). Riset masih dalam progress untuk mengembangkan
vaksin dengue tetravalent yang efektif dan aman. Dalam keadaan tidak adanya
vaksin dengue untuk kesehatan masyarakat pada saat sekarang, pencegahan dan
pertahananoutbreak dengue akan menjadi pengendalian vektor jangka panjang yang efektif
dengan partisipasi komunitas dan surveilans epidemiologi yang agresif.

2.    Disability Limitation
Pembatasan kecacatan yang dilakukan adalah untuk menghilangkan gangguan
kemampuan bekerja yang diakibatkan suatu penyakit. Dampak dari penyakit DBD yang tidak
segera diatasi, antara lain:
–       Paru-paru basah. Hal ini bisa terjadi karena cairan plasma merembes keluar dari
pembuluh, ruang-ruang tubuh, seperti di antara selaput paru (pleura) juga terjadi
penumpukan. Pada anak-anak sering terjadi bendungan cairan pada selubung paru-
parunya (pleural effusion).
–       Komplikasi pada mata, otak, dan buah zakar. Pada mata dapat terjadi
kelumpuhan saraf bola mata, sehingga mungkin nantinya akan terjadi kejulingan atau
bisa juga terjadi peradangan pada tirai mata (iris) kalau bukan pada kornea yang
berakhir dengan gangguan penglihatan. Peradangan pada otak bisa menyisakan
kelumpuhan atau gangguan saraf lainnya (Nadesul, 2007).
Umumnya penyakit DBD berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Oleh karena itu,
sebagian besar penderita DBD tidak menunjukkan gejala sisa. Komplikasi pada penderita
DBD misalnya perdarahan paru dan sepsis. Jika virus dengue menyerang otak, dan tergolong
ganas serta daya tahan tubuh penderita rendah, kerusakan daerah otak cukup luas. Oleh
karena itu, mungkin dapat meninggalkan gejala sisa. Namun, keadaan ini jarang terjadi
(Satari, 2004). Selain itu, jika keadaan penderita bertambah parah atau akibat jumlah cairan
yang masuk tidak memadai maka penderita akan memasuki fase syok. Perdarahan yang tak
terkontrol dari berbgaai organ tubuh yang sulit dihentikan juga dapat terjadi sebagai akibat
terjadinya gangguan pembekuan darah secara menyeluruh. Ketika sudah mengalami
perdarahan menunjukkan bahwa kegawatan penyakitnya sudah masuk dalam derajat II yang
merupakan satu tingkat di bawah fase DDS (Dengue Shock Syndrome). Fase DDS merupakan
kondisi paling parah atau stadium akhir dari infeksi virus dengue ini. Jika seorang penderita
DBD sudah masuk dalam fase ini, maka risiko kematian yang mengancamnya menjadi cukup
besar. Bahkan, kalaupun penderita berhasil lolos dari fase ini, besar kemungkinan pula ia
akan mengalami kecacatan akibat kegagalan salah satu atau beberapa fungsi organnya, mulai
dari otak, ginjal, hingga hati.
Pembatasan kecacatan dapat dilakukan dengan pengobatan dan perawatan. Obat-
obatan yang diberikan kepada pasien DBD hanya bersifat meringankan keluhan dan
gejalanya semata. Obat demam, obat mual, dan vitamin tak begitu besar peranannya untuk
meredakan penyakitnya. Jauh lebih penting upaya pemberian cairan atau tranfusi darah,
tranfusi sel trombosit, atau pemberian cairan plasma. Pada tubuh pasien DBD yang terjadi
adalah darah mengalami kehilangan plasma. Plasma merembes keluar pembuluh darah. Pada
tingkat kekentalan tertentu, sirkulasi terganggu. Infus cairan mencegah terjadinya kegagalan
sirkulasi, sehingga syok yang timbul dapat dicegah (Nadesul, 2007).

3.  Rehabilitation
Setelah sembuh dari penyakit demam berdarah dengue, kadang-kadang orang menjadi
cacat, untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan tertentu. Oleh
karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak akan segan melakukan
latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu oorang yang cacat setelah sembuh dari
penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat
tidak mau menerima mereka sebagai anggoota masyarakat yang normal. Oleh sebab itu,
pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga
perlu pendidikan kesehatan pada  masyarakat. Rehabilitasi pada penderita DBD yang
mengalami kelumpuhan saraf mata yang menyebabkan kejulingan terdiri atas:
Rehabilitasi fisik, yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan fisik semaksimal-
maksimalnya. Misalnya dengan donor mata agar saraf mata dapat berfungsi dengan normal
kembali.
Rehabilitasi mental, yaitu agar bekas penderita dapat menyesuaikan diri dalam
hubungan perorangan dan sosial secara memuaskan. Seringkali bersamaan dengan terjadinya
cacat badaniah muncul pula kelainan-kelainan atau gangguan mental. Untuk hal ini bekas
penderita perlu mendapatkan bimbingan kejiwaan sebelum kembali ke dalam masyarakat.
Rehabilitasi sosial vokasional, yaitu agar bekas penderita menempati suatu pekerjaan
atau jabatan dalam masyarakat dengan kapasitas kerja yang semaksimal-maksimalnya sesuai
dengan kemampuan dan ketidak mampuannya.
Rehabilitasi aesthesis, perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa keindahan,
walaupun kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak dapat dikembalikan
misalnya dengan menggunakan mata palsu.

Daftar Pustaka
https://luluhatta.wordpress.com/2012/11/25/terapan-riwayat-alamiah-penyakit-demam-
berdarah-dengue-dan-tahap-pencegahannya/

Arif, Mansjoer dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.


Gubler, Duane J. 2002. Epidemic Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever as A Public Health,
Social, and Economic Problem in The 21st Century. TRENDS in Microbiology Vol. 10 No.2
February 2002. Page 100-103.
Lestari, Keri. 2007. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Indonesia. Farmaka, Vol. 5 No. 3, Desember 2007. Jatinangor: Fakultas Farmasi Universitas
Padjadajaran.
Nadesul, Hendrawan. 2007. Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara.
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi:
Topik Utama ‘Demam Berdarah Dengue’. Volume 2, Agustus 2010. ISSN-2087-1546.
Rampengan, T.H dan Laurenzt I.R. 2008. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Edisi 2.
Jakarta: Bumi Aksara.
Rena, Ni Made Renny a, dkk. 2009. Kelainan Hematologi pada Demam Berdarah Dengue. J
Peny Dalam, Volume 10 Nomor 3 September 2009. Denpasar: FK Unud RSUP Sanglah
Denpasar.
Satari, Hindra I dan Meiliasari, Mila. 2004. Demam Berdarah: Perawatan di Rumah dan
Rumah Sakit plus Menu. Jakarta: Puspa Swara.
Sumantri, Arif. 2008. Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran
Penyakit Demam Berdarah Dengue di Provinsi DKI Jakarta. Bogor: Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Suyasa, dkk. 2008. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan
Keberadaan Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I
Denpasar Selatan. Ecotrophic 3(1):1-6. ISSN: 1907-5626.
WHO. 1999. Demam Berdarah Dengue: Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan
Pengendalian. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta:Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai