Anda di halaman 1dari 38

DEHIDRASI

Dehidrasi diartikan sebagai kurangnya cairan di dalam tubuh karena jumlah


yang keluar lebih besar dari pada jumlah yang masuk. Hilangnya cairan tubuh dapat
melalui kulit, paru, ginjal dan saluran cerna. Jika tubuh kehilangan banyak cairan,
maka tubuh akan mengalami dehidrasi. Berdasarkan perbandingan jumlah natrium
dengan jumlah air yang hilang, dehidrasi dibedakan menjadi tiga tipe:

1.  Dehidrasi isotonik yaitu terjadinya defisit air dan natrium secara bersamaan,
sehingga volume cairan ekstraseluler akan berkurang dan perfusi ke jaringan akan
menurun. Kadar natrium dalam darah pada dehidrasi tipe ini 135-145 mmol/L dan
osmolaritas serum 275-295 mOsm/L. Penyebab dehidrasi isotonik adalah muntah,
diare, berkeringat, luka bakar, penyakit ginjal intrinsik, hiperglikemia dan
hipoaldosteronisme.
2. Dehidrasi hipertonik (hipernatremia) terjadi ketika kehilangan air melebihi
kehilangan natrium. Natrium dan osmolalitas serum akan selalu meningkat pada
dehidrasi hipertonik. Dimana kadar natrium >145 mEq/L dan osmolaritas serum
meningkat menjadi >295 mOsm/L. Penyebabnya dapat berupa demam,
peningkatan respirasi dan diabetes insipidus. Karena kadar natrium serum tinggi,
terjadi pergeseran air dari ruang ekstravaskuler ke ruang intravaskuler. Untuk
mengkompensasi, sel akan merangsang partikel aktif (idiogenik osmol) yang akan
menarik air kembali ke sel dan mempertahankan volume cairan dalam sel. Saat
terjadi rehidrasi cepat untuk mengoreksi kondisi hipernatremia, peningkatan
aktivitas osmotik sel tersebut akan menyebabkan influks cairan berlebihan yang
dapat menyebabkan pembengkakan dan ruptur sel. Rehidrasi secara perlahan
dalam lebih dari 48 jam dapat meminimalkan risiko ini.
3. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik) kebanyakan dikarenakan oleh kondisi diuretik
yang menyebabkan lebih banyak kehilangan natrium daripada kehilangan air.
Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya natrium dan osmolalitas. Kadar
natrium rendah yakni <135 mmol/L dan osmolaritas serum < 270 mOsm/L).
Karena kadar natrium rendah, cairan intravaskuler berpindah ke ruang
ekstravaskuler, sehingga terjadi deplesi cairan intravaskuler. Hiponatremia berat
dapat memicu kejang hebat (Leksana, 2015; Taylor & Jones, 2021).

Derajat Dehidrasi

Berdasarkan persentase kehilangan air dari total berat badan, derajat dehidrasi
dapat dibagi menjadi ringan, sedang, hingga derajat berat.

Tanda Klinis Dehidrasi Ringan Dehidrasi Sedang Dehidrasi Berat


Estimasi kehilangan <6% 6 – 10% >10%
cairan (% dari berat
tubuh)
SSP Mengantuk Apatis Koma
Capillary refill 2 detik 2 – 4 detik 4 detik

Hemodinamik Takikardi Takikardi Takikardi


Nadi lemah Nadi sangat lemah Nadi tak teraba
Hipotensi Akral dingin,
ortostatik sianosis
Tingkat/pola Normal Meningkat Meningkat dan
pernapasan hyperpnea
Membran mukosa Normal Kering Kering, pecah-
pecah
Skin turgor (diatas Normal Lambat Tenting
tulang dada atau
paha bagian dalam)

Temuan Pemeriksaan Subjektif dan Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan dehidrasi dapat hadir dengan berbagai macam gejala dan
temuan pemeriksaan fisik. Beberapa gejala dehidrasi yang paling umum diantaranya
kelelahan, haus, kulit dan bibir kering, urin gelap atau penurunan eksresi urin, sakit
kepala, kram otot, pusing, sinkop, hipotensi ortostatik dan palpitasi. Terdapat
beberapa hal yang harus digali pada pasien dehidrasi diantaranya (Sterns, 2017;
Taylor dan Jones, 2021):

- Adanya riwayat demam


- Fluid intake meliputi deksirpsi, jumlah dan frekuensi
- Urine output meliputi frekuensi, tampilan urin dan hematuria
- Diare termasuk durasi, frekuensi, konsistensi, ada atau tidaknya darah
- Muntah, termasuk durasi, frekuensi, konsistensi
- Adanya penyakit yang mendasari (misalnya, hipertiroidisme, penyakit ginjal,
kistik fibrosis, diabetes)
- Riwayat pengobatan (misalnya, penggunaan antibiotik baru-baru ini, diuretik
atau laxatives/pencahar)
- Paparan panas
- Penurunan berat badan
- Aktivitas fisik
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan pada pasien berusia lanjut seperti
tanda dan gejala non-spesifik seperti mulut kering mungkin disebabkan oleh medikasi
dan resiko lebih tinggi untuk hipernatremia karena gangguan stimulus rasa haus dan
keterbatasan untuk peningkatan asupan cairan karena imobilitas ataupun gangguan
menelan (Taylor dan Jones, 2021).

Tanda-tanda vital dapat menunjukkan hipotensi, takikardia, demam, dan


takipnea. Hipotensi tidak akan muncul sampai terjadi dehidrasi yang signifikan.
Takikardia mungkin tidak ada karena obat-obatan seperti beta-blocker. Seorang
pasien mungkin tampak lesu atau tidak sadarkan diri saat diamati pada kasus
dehidrasi yang parah. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan mukosa kering,
penurunan skin turgor, bibir pecah-pecah, penurunan capillary refill dan hpotensi
ortostatik. Operator harus menyadari bahwa tanda klasik dehidrasi seperti hilangnya
turgor kulit, peningkatan rasa haus dan hipotensi ortostatik memiliki sensitivitas yang
rendah pada pasien yang lebih tua. Selain itu, dehidrasi dapat menyebabkan gejala
atipikal seperti kebingungan, sembelit dan demam (Sterns, 2017; Taylor dan Jones,
2021).

Evaluasi

Tidak terdapat tes standar untuk pemeriksaan dehidrasi. Pemeriksaan yang


sering digunakan untuk mendiganosis dehidrasi adalah tes osmolalitas serum dan
plasma. Osmolalitas serum >295 mOsm/kg digunakan untuk menentukan status
dehidrasi. Penurunan berat badan sama dengan atau lebih besar dari 3% selama 7 hari
juga dapat mengindikasikan dehidrasi, apabila data terkait tersedia. Tinjauan
Cochrane 2015 tentang tes diagnostik untuk dehidrasi pada pasien usia lanjut
menunjukkan bioelectrical impedance analysis (BIA), berat jenis urin, tes osmolalitas
urin, saliva atau air mata, volume air mata dan volume urin tidak dapat digunakan
sebagai pemeriksaan yang berdiri sendiri untuk diagnosis dehidrasi pada pasien usia
lanjut (Kusuma, 2020; Taylor dan Jones, 2021).

Rasio nitrogen urea darah terhadap kreatinin harus lebih tinggi dari 10:1 pada
dehidrasi, tetapi hal ini dapat disamakan dengan produksi urea yang tinggi, kreatinin
yang rendah karena otot lemah dan reabsorpsi urea karena perdarahan saluran cerna
bagian atas. Tes urin menunjukkan terjadinya penurunan volume urin. Konsentrasi
natrium pada urin adalah rendah, ekskresi fraksional natrium harus di bawah 1% dan
osmolalitas urin harus lebih besar dari 450 mOsm/kg (Kusuma, 2020; Taylor dan
Jones, 2021).

Manajemen

Secara sederhana prinsip penatalaksanaan dehidrasi adalah mengganti cairan


yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit, sehingga keseimbangan
hemodinamik kembali tercapai. Selain pertimbangan derajat dehidrasi, penanganan
juga ditujukan untuk mengoreksi status osmolaritas pasien. Pasien dengan defisit
cairan harus diberikan bolus cairan isotonik yang disesuaikan dengan keadaan
individu. Pasien dengan dehidrasi lebih parah mendapatkan bolus cairan isotonik
yang lebih besar. Pendekatan yang lebih hati-hati diperlukan pada pasien usia lanjut
dan pasien dengan gagal jantung dan gagal ginjal. Pada pasien ini, bolus kecil harus
diberikan, diikuti dengan penilaian ulang yang sering dan bolus tambahan sesuai
kebutuhan.

Tekanan darah, denyut jantung, serum laktat, hematokrit dan keluaran urin
dapat digunakan untuk menilai defisit volume dan untuk menilai respons terhadap
cairan. Cairan kristaloid isotonik harus digunakan pada kebanyakan kasus dehidrasi.
Koloid seperti albumin dapat digunakan dalam situasi tertentu tetapi tidak
meningkatkan hasil akhir.

Pilihan cairan kristaloid harus disesuaikan dengan pasien. Larutan Ringer


laktat, normal saline dapat digunakan. Normal salin dapat menyebabkan asidosis
metabolik hiperkloremik dalam volume besar. Buffer kristaloid dapat menyebabkan
hiponatremia. Larutan Ringer Laktat juga mengandung kalium, sehingga tidak boleh
digunakan pada gagal ginjal atau hiperkalemia. Tidak ada cairan yang terbukti unggul
pada semua pasien.

Pada pasien dengan dehidrasi dan hiponatremia berat, pengisian volume yang
cepat dapat menyebabkan peningkatan natrium yang cepat. Hal ini dapat
menyebabkan central pontine myelinolysis (CPM). Klinisi harus mempertimbangkan
risiko dehidrasi lanjutan terhadap risiko CPM. Status volume pasien dan natrium
serum harus diikuti dengan cermat. Saat pasien sedang diresusitasi, pemeriksaan
klinis dan laboratorium harus fokus pada penemuan dan koreksi penyebab dehidrasi
(Taylor & Jones, 2021).

Manajemen pasien berdasarkan derajat dehidrasi

Dehidrasi derajat ringan-sedang dapat diatasi dengan efektif melalui


pemberian cairan ORS (oral rehydration solution) untuk mengembalikan volume
intravaskuler dan mengoreksi asidosis. Jenis ORS yang diterima sebagai cairan
rehidrasi adalah dengan kandungan glukosa 2-3 g/dL, natrium 45-90 mEq/L, basa 30
mEq/L, kalium 20-25 mEq/L, dan osmolalitas 200-310 mOsm/L. ORS harus segera
diberikan pada pasien yang bisa duduk atau minum. Apabila tidak tersedia ORS
cairan dapat diganti dengan air. Banyak cairan tidak cocok digunakan sebagai cairan
pengganti, misalnya jus apel, susu, air jahe, dan air kaldu ayam karena mengandung
glukosa terlalu tinggi dan atau rendah natrium. Cairan pengganti yang tidak tepat
akan menciptakan diare osmotik, sehingga akan makin memperburuk kondisi
dehidrasinya (Leksana, 2015).

Adanya muntah bukan merupakan kontraindikasi pemberian ORS, kecuali


jika ada obstruksi usus, ileus atau kondisi abdomen akut, maka rehidrasi secara
intravena menjadi alternatif pilihan. Defisit cairan harus segera dikoreksi dalam 4 jam
dan ORS harus di-berikan dalam jumlah sedikit tetapi sering untuk meminimalkan
distensi lambung dan refleks muntah. Secara umum, pemberian ORS sejumlah 5 mL
setiap menit dapat ditoleransi dengan baik. Jika muntah tetap terjadi, ORS dengan
NGT (nasogastric tube) atau NaCl 0,9% 20-30 mL/kgBB selama 1-2 jam dapat
diberikan untuk mencapai kondisi rehidrasi. Saat pasien telah dapat minum atau
makan, asupan oral dapat segera diberikan (Leksana, 2015).

Dehidrasi derajat berat membutuhkan evaluasi laboratorium dan terapi


rehidrasi intravena. Penyebab dehidrasi harus digali dan ditangani dengan baik.
Penanganan kondisi ini dibagi menjadi 2 tahap.

1. Tahap Pertama berfokus untuk mengatasi kedaruratan dehidrasi, yaitu syok


hipovolemia. Pada tahap ini dapat diberikan cairan kristaloid isotonik, seperti
ringer lactate (RL) atau NaCl 0,9% sebesar 20 mL/kgBB. Perbaikan cairan
intravaskuler dilihat dari perbaikan takikardi, denyut nadi, produksi urin dan
status mental pasien. Apabila perbaikan belum terjadi setelah cairan diberikan
dengan kecepatan hingga 60 mL/kgBB, maka etiologi lain syok harus
dipertimbangkan (misalnya anafilaksis, sepsis, syok kardiogenik). Pengawasan
hemodinamik dan golongan inotropik dapat diindikasikan.
2. Tahap Kedua berfokus mengatasi defisit, pemberian cairan pemeliharaan dan
penggantian kehilangan yang masih berlangsung. Kebutuhan cairan pemeliharaan
diukur dari jumlah kehilangan cairan (urin, tinja) ditambah IWL (insensible water
loss). Jumlah IWL adalah antara 400-500 mL/m2 luas permukaan tubuh dan dapat
meningkat pada kondisi demam dan takipnea. Secara kasar kebutuhan cairan
berdasarkan berat badan adalah:
- Berat badan < 10 kg = 100 mL/kgBB
- Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/kgBB untuk setiap kilogram berat badan
diatas 10 kg
- Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/kgBB untuk setiap kilogram berat badan
diatas 20 kg

Manajemen dehidrasi berdasarkan jenis dehidrasi

1. Dehidrasi isotonik
Pada kondisi isonatremia, defisit natrium secara umum dapat dikoreksi dengan
mengganti defisit cairan ditambah dengan cairan pemeliharaan dextrose 5%
dalam NaCl 0,45-0,9%. Kalium (20 mEq/L kalium klorida) dapat ditambahkan ke
dalam cairan pemeliharaan saat produksi urin membaik dan kadar kalium serum
berada dalam rentang aman.

2. Dehidrasi hipotonik
Pada tahap awal diberikan cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% atau RL 20
mL/kgBB sampai perfusi jaringan tercapai. Pada hiponatremia derajat berat (<130
mEq/L) harus dipertimbangkan penambahan natrium dalam cairan rehidrasi.

Koreksi defisit natrium melalui perhitungan= (Target natrium - jumlah natrium


saattersebut) x volume distribusi x berat badan(kg).

Cara yang cukup mudah adalah memberikan dextrose 5% dalam NaCl 0,9%
sebagai cairan pengganti. Kadar natrium harus dipantau dan jumlahnya dalam
cairan disesuaikan untuk mempertahankan proses koreksi perlahan (<0,5
mEq/L/jam). Korek sikondisi hiponatremia secara cepat sebaiknya dihindari
untuk mencegah mielinolisis pontin (kerusakan selubung mielin), sebaliknya
koreksi cepat secara parsial menggunakan larutan NaCl hipertonik (3%; 0,5
mEq/L) direkomendasikan untuk menghindari risiko ini.

3. Dehidrasi hipertonik
Pada tahap awal diberikan cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% 20
mL/kgBB atau RL sampai perfusi jaringan tercapai. Pada tahap kedua, tujuan
utama adalah memulihkan volume intravaskuler dan mengembalikan kadar
natrium serum sesuai rekomendasi, akan tetapi jangan melebihi 10 mEg/L/24 jam.
Koreksi dehidrasi hipernatremia terlalu cepat dapat memiliki konsekuensi
neurologis, termasuk edema serebral dan kematian. Pemberian cairan harus secara
perlahan dalam lebih dari 48 jam menggunakan dextrose 5% dalam NaCl0,9%.
Apabila pemberian telah diturunkan hingga kurang dari 0,5 mEq/L/jam, jumlahn
atrium dalam cairan rehidrasi juga dikurangi sehingga koreksi hipernatremia
dapat berlangsung secara perlahan (Leksana, 2015).

LE FORT

Gambar. Le Fort menampilkan pola fraktur klasik sepanjang tiga tingkat. A, Fraktur
Le Fort I terjadi di sepanjang rahang atas anterior memanjang dari tepi piriformis ke
posterior melalui sinus maksilaris ke pterygoid plates. B, Fraktur Le Fort II disebut
sebagai piramidal bila bilateral, karena memanjang dari sutura nasofrontal melalui
orbital wall, floor, dan infraorbital rim ke pterygoid. C, Le Fort III memanjang dari
sutura nasofrontal ke lateral dan termasuk zygoma, mengakibatkan dalam disjungsi
kraniofasial (Fonseca dkk, 2018).

ANTIBIOTIK

Antibiotik (L. anti = lawan, bios = hidup) merupakan zat-zat kimia yang
dihasilkan oleh fungi dan bakteri yang mampu menghambat pertumbuhan atau
mematikan kuman, namun memiliki toksisitas yang rendah bagi manusia. Antibiotik
merupakan salah satu senjata paling ampuh untuk memerangi infeksi yang
mengancam jiwa pada hewan maupun manusia. Antibiotik yang membunuh bakteri
disebut bakterisidal, sedangkan antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri
disebut bakteriostatik (Etebu dan Arikekpar, 2016).

Antibiotik untuk terapi empiris digunakan pada kasus infeksi yang belum
diketahui jenis bakteri penyebab dari infeksi tersebut dan pola kepekaannya.
Pemberian antibiotik empiris bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang
diduga sebagai penyebab infeksi sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
Pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada kondisi klinis pasien, kemampuan
antibiotik untuk menembus jaringan yang terinfeksi, dan pola resistensi bakteri di
komunitas maupun di rumah sakit tersebut. Jangka waktu pemberian antibiotik
empiris selama 48-72 jam kemudian harus dilakukan evaluasi berdasarkan data-data
yang menunjang evaluasi seperti data hasil pemerikasaan mikrobiologis, kondisi
klinis pasien, dan lain-lain. Terapi empiris merupakan upaya terbaik dalam
mengetahui bakteri yang diduga sebagai penyebab infeksi. Namun, terapi empiris
tidak boleh ditujukan terhadap setiap organisme yang diketahui, melainkan organisme
yang paling mungkin sebagai penyebab infeksi (Gallagher dan MacDougall, 2017).

Pemberian antibiotik terapi definitif digunakan pada kasus infeksi yang sudah
diketahui jenis bakteri penyebab dari infeksi tersebut dan pola resistensinya. Tujuan
pemberian antibiotik definitif untuk menghambat pertumbuhan bakteri penyebab
infeksi berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Pemilihan antibiotik definitive
didasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium, kondisi klinis pasien, biaya,
sensitivitas dan diutamakan antibiotik dengan spektrum sempit agar tidak
menimbulkan resistensi antibiotic. Hal ini dapat meminimalisir toksisitas, kegagalan
terapi, dan kemungkinan munculnya antibiotik serta hemat biaya (Gallagher dan
MacDougall, 2017).

Setelah jutaan tahun evolusi, bakteri telah mengembangkan mekanisme


resistensi obat untuk menghindari pembasmian oleh molekul antibiotik. Klasifikasi
komprehensif dari mekanisme resistensi antibiotik menurut rute biokimia yang
terlibat dalam resistensi, di antaranya (Munita dan Arias, 2016):

1. Menghasilkan enzim yang menonaktifkan obat dengan menambahkan


sejumlah zat kimia tertentu ke dalam senyawa antibiotik atau yang
menghancurkan molekul itu sendiri sehingga antibiotik tidak dapat
berinteraksi dengan targetnya. Mekanisme ini dapat dilakukan oleh bakteri
gram negatif maupun gram positif.

2. Mencegah antibiotik mencapai target dengan mengurangi penetrasi molekul


antibiotik ke dalam membran luar dan membran sitoplasma oleh bakteri gram
negatif sehingga mengurangi masuknya antibiotik ke dalam bakteri serta
bakteri mampu mengeluarkan senyawa toksik (efflux pomp) yang
menyebabkan antibiotik keluar dari dalam sel.

3. Mengganggu situs target antibiotik dengan melindurngi dan memodifikasi


situs target yang menghasilkan penurunan afinitas antibiotik.

4. Proses adaptif untuk mendapatkan nutrisi dan menghindari serangan molekul


di dalam inang dengan sintesis dinding sel dan homeostasis membran.

Sedangkan, beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya


resistensi antibiotik adalah (Leekha dkk, 2011):
1. Pemberian terapi antibiotik empiris secara terus menerus tanpa mengetahui
penyebab infeksi

2. Perawatan klinis pasien dengan kultur positif tanpa mengetahui penyakitnya

3. Kegagalan terapi antibiotik dengan spektrum sempit saat sudah diketahui


penyebab infeksinya

4. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama

Antibiotik untuk ibu hamil

Antibiotika adalah substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan


mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme lain. Penggunaan antibiotika pada kehamilan didasarkan pada
berbagai pertimbangan khusus seperti umur kehamilan saat obat diberikan, dosis
obat, kondisi ibu, dan faktor alergi (Noviyani dan Susanti, 2012).

Berikut kategori tingkat keamanan penggunaan obat pada ibu hamil dari FDA
(Food Drug Administration) :

- Kategori A: Aman untuk janin seperti vitamin C asam folat, vit B6,
parasetamol, zinc, dan sebagainya.

- Kategori B: Cukup aman untuk janin seperti amoksisilin, ampisilin,


azitromisin, bisakodil, cefadroksil, cefepim, cefixim, cefotaxim, ceftriaxon,
cetirizin, klopidogrel, eritromisin, ibuprofen, insulinlansoprazol, loratadin, me
penem, metformin, metildopa, metronidazol, dan sebagainya.

- Kategori C: Dapat beresiko, digunakan jika perlu. Obat dianjurkan hanya jika
manfaat yang diperoleh oleh ibu atau janin melebihi resiko yang mungkin tim
bul pada janin. Contohnya albendazol, allopurinol, aspirin, amitriptilin,
kalsitriol, kalsium laktat, kloramfe nikol, ciprofloksasin, klonidin,
kotrimoksazol, codein + parasetamo dektrometorfan, digoksin, enalapril,
efedrin, flukonazol dan sebagainya.

- Kategori D: Ada bukti positif dari resiko, digunakan jika darurat. Pengunaan
obat diperlukan untuk mengatasi situasi yang mengancam jiwa atau penyakit
serius dimana obat yang lebih aman tidak efektif atau tidak dapat diberikan.
Contohnya alprazolam, amikasin, amiodaron, carbamazepin, klordiaz epoksid,
diazepam, kanamisin, fenitoin, asam valproat, dan sebagainya.

- Kategori X: Kontraindikasi dan sangat berbahaya bagi janin, conhnya


(amlodipi atorvastatin), atorvastatin, (kafein + ergotamin), (desogestrel +
etinil es tradiol), ergometrin, estradol, miso prostol, oksitosin, simvastatin,
warfarin (Suffiana, 2019).

Efikasi, kemanjuran (benefit) vs resiko (risk) adalah pertimbangan utama


menggunakan obat khususnya untuk A dan B, untuk obat yang masuk kategori C dan
D dianjurkan untuk benar-benar melalui pertimbangan dokter dengan
mempertimbangkan manfaat, keselamatan jiwa yang lebih besar dibandingkan
resikonya, untuk obat kategori X tidak boleh digunakan pada masa kehamilan.

Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang mempengaruhi


farmakokinetika obat. Perubahan fisiologi tersebut misalnya perubahan volume cairan
tubuh yang dapat menyebabkan penurunan kadar puncak obat-obat di serum,
terutama obat-obat yang terdistribusi di air dan obat dengan volume distribusi yang
rendah.

Peningkatan cairan tubuh juga menyebabkan pengenceran albumin serum


(hipoalbuminemia) yang menyebabkan penurunan ikatan obat-albumin sehing ga obat
bebas banyak terakumulasi dalam darah dan berpotensi meningkatkan efek yang
merugikan. Tetapi hal ini tidak bermakna secara klinis kara bertambahnya kadar obat
dalam bentuk bebas juga akan menyebabkan bertambahnya kecepatan metabolisme
obat (Suffiana, 2019).

Berikut beberapa obat yang dapat digunakan pada masa kehamilan (Suffiana, 2019):

1. Pereda Nyeri dan Demam: Obat parasetamol termasuk obat yang aman
mengatasi nyeri atau demam, untuk sakit kepala, lain dengan mengkonsumsi
parasetamol juga bisa diatasi dengan kompres dingin dan beristirahat. Untuk
demam, bisa dibantu mengatasinya dengan kompres air hangat.

2. Batuk Pilek : Obat batuk pilek yang banyak dijual bebas biasanya berupa
kombinasi sebaiknya dihindari pada saat hamil. Dekongestan adalah obat
yang berfungsi mengatasi hidung tersumbat seperti phenylephrine dan
pseudoe fedrin. Pada saat hamil harus dihindari penggunaan dekongestan oral
(minum). Ibu hamil yang membutuhkan dekongestan sebaiknya disarankan
menggunakan semprot (spray). Obat dekongestan semprot lebih aman karena
mekanisme kerja secara lokal di area hidung, dosis rendah serta paparan obat
dengan tubuh lebih singkat, seperti penggunaan tetes hidung saline. Obat
batuk pada ibu hamil pili pertama adalah dektrometorphan (untuk mengatasi
batuk kering), un tuk batuk berdahak bisa menggunakan asetilsistein. Hindari
sediaan obat batuk yang mengandung alkohol. Selain obat, bisa
mengkonsumsi air lemon, maupun air madu.

3. Sembelit dan Diare: Bisa menggunakan obat laksatif atau metilselulosa.


Sementara untuk diare, bisa menggunakan obat loperamid. Untuk
menggantikan cairan elektrolit tubuh yang hilang bisa diganti dengan oralit.
Sembelit juga bisa diatasi dengan konsumsi makanan tinggi serat dan cukup
cairan. Olahraga ringan, seperti berenang atau jalan kaki, dapat membantu
mengatasi sembelit karena dapat meningkatkan sirkulasi yang dapat
merangsang sistem pencernaan.
4. Alergi: Bagi ibu hamil yang mengalami alergi bisa menggunakan obat
cetirizin yang aman bagi ibu hamil.

Berdasarkan struktur kimianya, antibiotika dapat dibedakan menjadi beberapa


golongan. Berikut ini akan dijelaskan tentang masing-masing golongan antibiotika
dan keamanan penggunaannya pada kehamilan antara lain (Noviyani dan Susanti,
2012):

1. β-Laktam
Merupakan antibiotika yang strukturnya mengandung cincin β-Laktam
dan banyak dikembangkan untuk pengobatan infeksi bakteri. Golongan β-
Laktam relatif aman digunakan selama kehamilan kecuali pada pasien yang
memiliki risiko hipersensitifitas. Antibiotika β-Laktam dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu penisilin, sefalosporin, dan β-Laktam lain.

2. Aminoglikosida
Merupakan senyawa bakteriostatik yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif serta efektif terhadap
mikobakteri. Aminoglikosida menghambat sintesis protein bakteri dengan
cara menghambat fungsi ribosom. Penggunaan aminoglikosida pada
kehamilan harus dihindari, terutama pada trimester kedua dan ketiga karena
dapat menyebabkan kerusakan pendengaran atau saraf vestibular pada janin.
Risiko terbesar terjadi pada penggunaan streptomisin, tetapi pada penggunaan
gentamisin dan tobramisin sangat kecil pengaruhnya. Walaupun demikian
penggunaan gentamisin dan tobramisin selama kehamilan tetap harus
dihindari, kecuali bila memang sangat diperlukan.

3. Tetrasiklin
Merupakan antibiotika berspektrum luas dan bersifat bakteriostatik
terhadap bakteri gram positif, gram negatif, Rickettsiae, Mycoplasma,
Chlamydia, dan amoeba. Mekanisme kerjanya dengan cara menghambat
sintesis protein bakteri. Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil
karena bersifat teratogenik. Apabila diberikan pada trimester pertama
kehamilan, maka obat akan tersimpan dalam tulang janin dan mengakibatkan
keabnormalan tulang rangka atau hambatan pertumbuhan tulang. Bila
diberikan pada trimester kedua dan ketiga kehamilan, maka obat akan
tersimpan dalam gigi janin dan mengakibatkan pemudaran warna atau
perubahan warna gigi menjadi kekuningan yang bersifat tetap.

4. Makrolida
Merupakan senyawa bakteriostatik berspektrum sempit dengan
mekanisme kerja menghambat sintesis protein bakteri. Golongan makrolida
antara lain azitromisin, diritromisin, eritromisin, roksitromisin, dan
klaritromisin. Di antara semua makrolida, hanya eritromisin yang relatif aman
digunakan selama kehamilan. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang
mirip dengan penisilin sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pada
pasien yang alergi terhadap penisilin. Sampai saat ini, belum terbukti
eritromisin bersifat teratogenik pada kehamilan. Untuk makrolida lain seperti
azitromisin, diritromisin, roksitromisin, dan klaritromisin dihindari
penggunaannya selama kehamilan dan hanya digunakan bila manfaat
pemberian melebihi risikonya.

5. Kuinolon
Merupakan senyawa bakterisida yang bekerja dengan cara
menghambat sintesis DNA bakteri. Penggunaan kuinolon disarankan untuk
dihindari selama kehamilan. Sebaiknya dipilih alternatif obat lain yang lebih
aman dibanding menggunakan kuinolon, kecuali bila pasien resisten terhadap
obat-obat lain yang tersedia.

6. Sulfonamid dan Trimetoprim


Merupakan antibiotika bakteriostatik dengan mekanisme kerja
menghambat sintesis asam folat. Obat ini menghambat bakteri gram positif,
gram negatif, nocardia, Chlamydia trachomatis, protozoa, dan bakteri enterik.
Penggunaan sulfonamid selama kehamilan harus dihindari, terutama pada
trimester akhir kehamilan. Hal ini dikarenakan sulfonamid berkompetisi
dengan bilirubin pada tempat ikatan di albumin sehingga meningkatkan
bilirubin bebas dalam serum yang menyebabkan terjadinya kern-ikterus pada
bayi yang baru dilahirkan. Sulfonamid juga dapat menyebabkan hemolisis dan
methemoglobinemia pada neonates.

Trimetoprim merupakan antibiotika yang menghambat metabolisme


asam folat. Obat ini aktif pada bakteri gram positif dan gram negatif.
Trimetoprim digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih. Keamanan
penggunaannya dalam kehamilan belum diketahui. Sebaiknya dihindari
pemberian trimethoprim pada trimester pertama kehamilan karena adanya
risiko teratogenik .

7. Antibiotik golongan lain


a) Kloramfenikol
Merupakan senyawa bakteriostatik berspektrum luas yang aktif terhadap
bakteri aerob, anaerob gram positif, gram negatif dan Rickettsiae, namun tidak
aktif terhadap Chlamydia. Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat
sintesis protein yang dibutuhkan dalam pembentukan sel-sel bakteri. Pemberian
kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada
minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran. Penggunaan kloramfenikol pada
trimester ketiga kehamilan dapat menyebabkan grey baby syndrome yang ditandai
dengan muntah-muntah, hipotermi, dan perubahan warna kulit menjadi kelabu.

b) Klindamisin
Merupakan antibiotika yang bekerja dengan cara menghambat sintesis
protein bakteri. Keamanan klindamisin pada kehamilan belum diketahui
sehingga disarankan hanya digunakan bila manfaat pemberian melebihi
risikonya.
c) Metronidazol
Merupakan senyawa bakterisida yang bekerja dengan menghambat
sintesis DNA bakteri. Penggunaan metronidazol pada kehamilan terutama
untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri Trichomonas vaginalis
(trikomoniasis). Sebaiknya hindari penggunaan metronidazol pada dosis
tinggi.
d) Nitrofurantoin
Merupakan antibiotika yang bekerja dengan cara menghambat sintesis
asam nukleat pada bakteri. Penggunaan nitrofurantoin pada trimester ketiga
kehamilan dapat menyebabkan hemolisis pada neonatus bila digunakan dalam
jangka waktu yang lama. Selain potensi tersebut tidak ada efek teratogenik
lain yang dilaporkan. Nitrofurantoin mempunyai efikasi yang baik untuk
infeksi saluran kemih, namun saat ini tidak ada perusahaan yang
memasarkannya lagi di.
e) Vankomisin
Merupakan senyawa bakterisida yang bekerja dengan menghambat
sintesis dinding sel bakteri. Obat ini hanya digunakan pada kehamilan bila
manfaat pemberian melebihi risikonya. Oleh karena itu, diperlukan
pemantauan selama penggunaan untuk mengurangi risiko toksisitas pada
janin.
f) Linezolid
Merupakan antibiotika yang bekerja dengan cara menghambat sintesis
protein bakteri. Tidak ada informasi yang tersedia mengenai keamanan
penggunaan linezolid selama kehamilan sehingga disarankan hanya digunakan
bila manfaat pemberian melebihi risikonya.
g) Spektinomisin
Merupakan senyawa bakterisida yang aktif terhadap Neisseria
gonorrhoeae dan bakteri gram negatif lain. Spektinomisin hanya digunakan
pada kehamilan bila manfaat pemberian melebihi risikonya.
h) Polimiksin B
Merupakan senyawa bakterisida yang bekerja dengan cara
menghambat sintesis dinding sel bakteri. Keamanan dan penggunaannya
selama kehamilan belum diketahui. Sebaiknya dihindari penggunaan
polimiksin B pada kehamilan.

FRAKTUR MANDIBULA

Fraktur mandibular tergantung pada jenis cedera dan arah dan kekuatan dari
trauma, fraktur mandibula sering terjadi di beberapa lokasi. Salah satu klasifikasi
fraktur mandibular menggambarkan fraktur berdasarkan lokasi anatomis. Fraktur di
condylar, ramus, angle, body, symphyseal, alveolar, dan, jarang pada area prosesus
koronoideus.

Sistem klasifikasi lain dari fraktur mandibula mengkategorikan: jenis patahan


seperti greenstick, simple, comminuted, dan fraktur majemuk. Fraktur Greenstick
adalah melibatkan fraktur tulang incomplete fractures with flexible bone. Fraktur
Greenstick umumnya menunjukkan mobilitas minimal ketika dipalpasi dan fraktur
tidak lengkap. Simple fraktur adalah transeksi lengkap tulang dengan fragmentasi
minimal pada lokasi fraktur. Pada fraktur kominutif, tulang yang retak adalah
tertinggal di beberapa segmen. Luka tembak, benda tembus, dan cedera berdampak
tinggi lainnya pada rahang sering mengakibatkan fraktur kominutif. Fraktur gabungan
menghasilkan komunikasi batas tulang yang retak dengan lingkungan eksternal. Pada
fraktur maksilofasial, komunikasi dengan rongga mulut lingkungan eksternal dapat
terjadi akibat robekan mukosa, perforasi melalui sulkus gingiva dan ligamen
periodontal, komunikasi dengan lapisan sinus, dan laserasi pada kulit di atasnya. Oleh
definisi, setiap fraktur rahang dalam segmen bantalan gigi adalah fraktur terbuka atau
gabungan.

Fraktur mandibula bisa menguntungkan atau tidak menguntungkan,


tergantung pada angulasi fraktur dan kekuatan tarikan otot proksimal dan distal dari
fraktur. Dalam keadaan yang menguntungkan, garis fraktur dan tarikan otot menahan
perpindahan fraktur. Pada fraktur yang tidak menguntungkan, tarikan otot
menghasilkan perpindahan segmen yang retak (Hupp dkk, 2019).

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya (Hupp, 2019):

 Midline : fraktur diantara incisal sentral.


 Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis
alveolar yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar
3).
 Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.
 Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter
hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar
3).
 Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua
garis apikal pada sigmoid notch.
 Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio
ramus.
 Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibular
hingga regio ramus.
 Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.
Gambar. Lokasi Fraktur mandibular

Selama penanganan fraktur mandibula, beberapa kondisi khusus


membutuhkan perhatian lebih dan perubahan yang tepat pada penanganannya. Salah
satunya adalah cedera kondilus. Fraktur kondilus dapat diklasifikasikan menjadi
(Borle, 2014):

• Intracapsular fractures (fraktur kepala kondilus)

- Undisplaced
- Comminuted

- Cortical injuries/cortical chippling biasanya bagian medialnya.

• Extracapsular fractures (fraktur leher kondilus)

- High subcondylar

- Low subcondylar

Fraktur subkondilar juga dapat diklasifikasikan sebagai:(Borle, 2014)

• Undisplaced

• Medially undisplaced (dikarenakan tarikan oleh lateral pterygoid)

• Laterally displaced (lebih jarang)

• Fracture dislocation (kondilus menjadi berpindah posisi dari glenoid fossa dan
berpindah posisi ke arah medial di infratemporal fossa yang disebabkan oleh tarikan
otot pterygoid lateral)

Permasalahan dengan reduksi yang tepat dan fiksasi fraktur kondilus


menggunakan mini plat tunggal telah dievaluasi. Ditemukan bahwa perpindahan
segmen kondilus yang disebabkan oleh tarikan otot yang merugikan dari otot
pterygoid lateral dan tekanan fungsional yang bekerja pada segmen proksimal
melebihi kemampuan atau rigiditas satu miniplat, terjadinya kegagalan plat dan
melonggarnya sekrup. Oleh karena itu, direkomendasikan penggunaan dua miniplat.
Ditemukan efek menguntungkan yaitu mengembalikan tekanan dan memberikan
stabilitas terhadap tarikan otot (Hammer dkk, 1997).

SPLINTING

Splinting merupakan teknik yang digunakan untuk membatasi pergerakan


gigi, mencegah terlepasnya gigi, menstabilkan gigi yang mengalami trauma dan
mencegah kerusakan lebih lanjut pada jaringan pulpa dan periodontal selama masa
penyembuhan sehingga memungkinkan regenerasi jaringan. Glickman
mendefinisikan splint sebagai alat yang digunakan untuk menstabilisasi bagian yang
mengalami cedera. Splint yang digunakan harus bersifat fleksibel untuk membantu
mempercepat penyembuhan jaringan periodontal. Mempertahankan oral hygiene dan
7 mencegah infeksi merupakan hal yang penting untuk mendukung penyembuhan
jaringan periodontal selama proses stabilisasi.

Metode fiksasi dengan dental splint bervariasi tergantung tipe trauma. Pada
sebagian besar kasus, splint didesain sederhana dan digunakan selama 7 sampai 10
hari. Pada kasus fraktur gigi dan tulang alveolar, diperlukan fiksasi jangka panjang
biasanya 2 sampai 4 bulan. Berbagai kontroversi muncul mengenai durasi fiksasi
terkait komplikasi post-traumatic. Penelitian menunjukkan bahwa durasi fiksasi tidak
terkait dengan komplikasi post-traumatic, periode fiksasi sepenuhnya bergantung
pada kondisi klinis kasus (Rahaswanti, 2017)

Tabel. Durasi Perawatan Splinting

Injury Duration of Immobilization


Mobile tooth 7-10 hari
Tooth displacement 2-3 minggu
Root fracture 2-4 bulan
Replanted tooth (mature) 7-10 hari
Replanted tooth (immature) 3-4 minggu
Sumber : Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery

Penatalaksanaan Fraktur Maxilofacial

Prinsip dasar dalam penatalaksanaan fraktur terdiri atas tiga yaitu reduction,
fixation, dan immobilization yang bertujuan untuk mengembalikan bentuk, fungsi,
dan 4 oklusi sehingga pasien tidak harus melewati second surgery seperti
recontouring dan bone graft.

1. Reduction
Suatu proses reposisi fragmen fraktur ke posisi anatomi semula, dibagi
menjadi dua teknik yaitu close reduction dan open reduction. Close reduction
merupakan reposisi fragmen fraktur tanpa tindakan bedah dan menggunakan oklusi
gigi sebagai panduan sedangkan open reduction melalui tindakan bedah. Close
reduction dibagi lagi menjadi reduction by manipulation dan reduction by traction.

 Reduction by manipulation

Tindakan ini dapat dilakukan ketika pasien fraktur dengan mobilitas


besar datang segera setelah trauma terjadi. Reduction dapat dilakukan dengan
menggunakan instrument khusus memegang fragmen fraktur yaitu
disimpaction forceps. Tindakan ini dilakukan dibawah anestesi LA atau GA
sesuai kebutuhan pasien

Gambar. Reduksi dengan disimpaction forceps

 Reduction by traction

Tindakan ini menggunakanarch bars dan head gears. Arch bars yang
dipasang akan diberi elastic traction dan pasien diinstruksikan untuk
membuka dan menutup mulut secara perlahan. Apabila oklusi tercapai, elastic
traction diganti dengan wire sebagai intermaxillary fixation or ligation (IMF
atau IML) dan apabila oklusi tidak tercapai dalam waktu 48 jam maka
dilanjutkan dengan open reduction
Gambar. Reduksi dengan IMF

2. Fixation
Proses setelah reduction untuk memfiksasi fragmen fraktur dengan
struktur anatomi sekitarnya sebagai upaya pencegahan terjadinya displacement,
dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu direct skeletal fixation menggunakan
bone clamps, pin fixation, dan transosseus wiring sedangkanindirect skeletal
fixation yang menggunakan arch bars dan IML atau Gunning splint.

3. Immobilization
Perangkat fiksasi harus dipertahankan hingga terjadi penyatuan tulang.
Periode immobilization tergantung dari jenis fraktur dan tulang yang terlibat.
Periode immobilzation untuk maksila adalah sekitar 3 – 4 minggu sedangkan
untuk mandibula sekitar 4 – 6 minggu sedangkan pada kasus fraktur kondilus
periode immobilization hanya sekitar 2 – 3 minggu untuk mencegah terjadinya
ankilosis di TMJ.

Beberapa jenis perangkat fiksasi fraktur diaplikasikan pada maxillary


dental arch dan mandibular dental arch serta intermaxillary fixation dibuat
menggunakan wire atau elastic band. Metode utama yang sering digunakan adalah
dental wiring, arch bars dan splint karena mudah diterapkan. Perangkat fiksasi
fraktur memilki beragam jenis dan digunakan sesuai jenis fraktur, lokasi fraktur,
jumlah gigi, status periodontal serta kemampuan perangkat apakah dapat
digunakan untuk kasus tersebut atau tidak (Rahaswanti, 2017).
KIE yang dapat diberikan ke pasien adalah

1. Mengkonsumsi obat yang sudah di resepkan secara teratur


2. Diet cair tinggi kalori dan tinggi protein
3. Kontrol rutin

FASE PENYEMBUHAN TULANG

Kebanyakan fraktur sembuh melalui proses penyembuhan tulang sekunder.


Proses ini berlangsung dalam 5 tahap (fase), yaitu pembentukan hematom, inflamasi,
pembentukan kalus lunak, kemudian kalus keras, dan akhirnya remodelling. Berbagai
bahan dan proses patologis dapat berpengaruh pada satu atau lebih tahapan
penyembuhan fraktur. Penyembuhan fraktur primer terjadi bila fraktur difiksasi
internal secara kaku (rigid). Proses ini terdiri dari cutting cones (terowongan yang
dibuat oleh osteoklas kemudian diikuti oleh osteoblas untuk membentuk tulang baru)
yang berjalan menyeberangi tempat fraktur secara langsung, proses ini mempunyai
kesamaan dengan remodelling tulang normal. Penyembuhan celah (gap healing) dan
penyembuhan kontak (contact healing) merupakan proses penyembuhan tulang
primer. Kedua proses ini baik penyembuhan sekunder maupun primer membawa
serangkaian respons seluler yang dikontrol oleh jalur sinyal interseluler baik melalui
parakrin maupun autokrin dan menunjukkan orkestrasi serangkaian kejadian biologi
(Mahyudin dan Utomo, 2018).

Penyembuhan Tulang Primer (Direct Cortical, Osteonal Atau Haversian)

Tipe penyembuhan ini hanya dapat terjadi bila telah dilakukan reposisi
anatomi dan kompresi interfragmen fraktur sehingga terjadi stabilitas absolut (rigid)
dan tidak terjadi pergerakan pada permukaan fraktur bila mendapat beban fungsional.
Proses ini sangat rentan terhadap gerakan (strain) pada tempat fraktur.

Penyembuhan tulang primer dapat dibagi menjadi penyembuhan celah (gap


healing) dan penyembuhan kontak (contact healing), keduanya dapat menghasilkan
kesembuhan tanpa pembentukan kalus eksternal dan jaringan fibrous atau
pembentukan kartilago pada celah fraktur (Mahyudin dan Utomo, 2018).

1) Penyembuhan Celah (Gap Healing)

Penyembuhan celah terjadi bila setelah fraktur difiksasi tercapai


kondisi stabil dan reposisi anatomis, celah yang terjadi setelah fiksasi fraktur
harus kurang dari 800 μm sampai 1 mm. Penyembuhan celah terjadi melalui
dua tahap, di awali dengan pengisian tulang dan diikuti dengan remodelling
tulang.

Tahap pertama penyembuhan celah, seluruh lebar celah diisi dengan


pembentukan tulang langsung. Pada tahap awal, scaffold tulang immature
(woven) mengisi celah, kemudian diikuti pembentukan serabut-serabut paralel
dan atau tulang lamellar sebagai penyokong dan secara mekanis masih lemah.
Orientasi pembentukan tulang baru yang terbentuk pada tahap awal adalah
transversal terhadap orientasi tulang lamellar normal. Tidak didapatkan
jaringan ikat atau fibrokartilago di dalam celah yang mendahului produksi
tulang.

Tahap kedua penyembuhan celah, terjadi dalam beberapa minggu


kemudian (3–8 minggu), ujung-ujung fraktur yang nekrosis direkonstruksi
dengan longitudinal haversian remodelling dan tulang baru yang terbentuk
pada tempat fraktur diganti dengan osteon dengan orientasi tulang normal.
Hasil akhir dari penyembuhan celah adalah struktur tulang kembali seperti
sebelum fraktur terjadi (Mahyudin dan Utomo, 2018).

2) Penyembuhan Kontak (Contact Healing)

Kontras dengan penyembuhan celah, penyembuhan kontak terjadi


pada saat fragmen fraktur direposisi hampir sempurna dengan celah antara
fragmen fraktur kurang dari 0,01 mm dan strain interfragmen kurang dari 2%.
Pada keadaan ini, terbentuk cutting cone pada kedua ujung osteon yang dekat
dengan tempat fraktur. Osteoklas pada satu sisi fraktur akan merespons
dengan membentuk terowongan dengan cara meresorpsi tulang, membentuk
cutting cone yang menyeberangi tempat fraktur. Rongga resorpsi
memungkinkan penetrasi kapiler dan akhirnya membentuk sistem haversian
baru. Pembuluh darah akan disertai oleh sel-sel endotel dan sel-sel
osteoprogenitor untuk menjadi osteoblas. Akan terjadi aposisi tulang langsung
dan osteon menyebrangi tempat fraktur, paralel dengan aksis panjang tulang
tanpa didahului oleh pembentukan tulang transversal di antara kedua ujung
fraktur. Hasil penyembuhan kontak normal akan membentuk arsitektur tulang
normal (Mahyudin dan Utomo, 2018).

Penyembuhan Tulang Sekunder (Indirect)

Penyembuhan tulang sekunder (indirect) merupakan bentuk penyembuhan


yang paling sering terjadi, terdiri dari proses penyembuhan tulang endokondral dan
intramembranous. Proses penyembuhan ini tidak memerlukan reposisi anatomis atau
fiksasi internal yang rigid.

Penyembuhan fraktur dibagi dalam tiga fase atau lima fase tergantung cara
memandangnya, masing-masing fase menunjukkan gambaran seluler dan komponen
ekstraseluler matriks yang berbeda. Proses penyembuhan secara mudah dibagi dalam;
pertama, fase inflamasi; kedua, fase reparatif yang meliputi osifikasi
intramembranous, kondrogenesis dan osifikasi endokondral, ada juga yang membagi
fase ini menjadi fase kalus lunak (soft callus) dan fase kalus keras (hard callus); dan
ketiga, fase remodelling. Masing-masing fase saling tumpang tindih satu dengan yang
lain dengan efek penyembuhan berjalan dengan berkelanjutan(Mahyudin dan Utomo,
2018).

a. Fase Inflamasi

Trauma akibat fraktur menimbulkan kerusakan tidak hanya pada sel-sel,


pembuluh darah dan matriks tulang juga dapat melibatkan jaringan lunak di
sekitarnya meliputi muskulus dan pembuluh darah. Segera setelah trauma,
respons inflamasi terjadi dengan puncaknya pada hari pertama dan akan
menghilang satu minggu setelah fraktur. Reaksi inflamasi ini akan membantu
imobilisasi fraktur dengan dua cara, yaitu nyeri yang membuat individu
melindungi tempat trauma dan edema yang secara hidrostatik
mempertahankan agar gerakan pada tempat fraktur minimal. Pada tempat
fraktur, kerusakan endotel vaskular akan mengaktifkan cascade komplemen,
agregasi platelet dan melepaskan α-granule (Mahyudin dan Utomo, 2018).

b. Fase Reparatif

Fase reparatif timbul dalam beberapa hari pertama sebelum fase


inflamasi berakhir dan bertahan selama beberapa minggu. Hasil dari fase ini
akan terbentuk jaringan kalus reparatif baik di dalam maupun di sekitar
fraktur, yang akhirnya akan diganti oleh tulang. Peran kalus adalah
meningkatkan stabilitas mekanis dengan cara menyokong dari luar. Osteosit
yang berada pada ujung fraktur akan mengalami gangguan nutrisi dan mati,
yang dapat dilihat oleh adanya lacuna yang kosong sampai jarak tertentu dari
ujung fraktur (Mahyudin dan Utomo, 2018).

Kerusakan periosteum dan bone marrow begitu juga jaringan lunak di


sekitarnya merupakan sumber jaringan nekrosis pada tempat fraktur.
Sementara terjadi resorpsi jaringan nekrosis, sel punca mesenkim pluripoten
mulai berdiferensiasi menjadi sel lain seperti fibroblas, kondroblas, dan
osteoblas. Sel-sel ini dapat berasal dari tempat trauma maupun berasal dari
tempat lain dan bermigrasi ke tempat fraktur bersama-sama pembuluh darah.
Pada fase ini, kalus terdiri dari jaringan ikat fibrous, pembuluh darah,
kartilago, tulang woven, dan osteoid.

Sejalan dengan proses reparasi, pH secara bertahap menjadi netral dan


sedikit basa, yang merupakan kondisi optimal untuk aktivitas alkali fosfatase,
dan perannya dalam mineralisasi kalus. Telah diketahui bahwa pembentukan
tulang yang paling awal berasal dari sel yang terdapat pada lapisan kambium
periosteum. Komposisi jaringan reparasi dan laju reparasi dapat berbeda
tergantung pada daerah tulang yang mengalami fraktur, luasnya kerusakan
jaringan lunak, dan stabilitas daerah fraktur. Pada fase ini, terjadi osifikasi
intramembran, kondrogenesis, dan osifikasi endokondral.

Osifikasi intramembranous dimulai dalam beberapa hari pertama


fraktur, tetapi aktivitas proliferatif dan berhenti 2 minggu setelah fraktur.
Bukti histologi pertama kali menunjukkan aktivitas osteoblas di tulang woven
pada korteks terjadi beberapa millimeter dari tempat fraktur. Formasi tulang
pada area ini terjadi oleh diferensiasi langsung osteoblas dari sel prekusor,
tanpa pembentukan kartilago sebelumnya. Area dengan formasi tulang tipe ini
menimbulkan kalus eksternal yang sering disebut sebagai kalus keras (hard
callus).

Selagi osifikasi intramembranous berlangsung, kondrogenesis terjadi


pada tepi kalus, pada daerah dengan tekanan oksigen rendah. Sel-sel
mesenkim dan sel yang belum berdiferensiasi dari periosteum serta jaringan
lunak di sekitarnya juga terlihat di dalam jaringan granulasi di atas tempat
fraktur. Sel-sel ini akan membesar, mulai terlihat sebagai kartilago, dan mulai
menyintesis matriks basofilik avaskular seperti yang terlihat pada area
proliferatif lempeng pertumbuhan (growth plate). Area ini yang merupakan
jaringan fibrous dan kartilago baru yang disebut sebagai kalus lunak (soft
callus), dimana banyak kartilago diatas tempat fraktur dan kalsifikasi dimulai
dengan proses endokondral (Mahyudin dan Utomo, 2018).

Pada pertengahan minggu kedua penyembuhan fraktur, terdapat


banyak kartilago di atas tempat fraktur dan kalsifikasi dimulai dengan proses
osifikasi endokondral. Proses ini sangat mirip dengan yang terlihat pada
lempeng pertumbuhan (growth plate). Pertama kali kondrosit hipertropik akan
menyekresi neutral proteoglycanases yang akan mengurai glikosaminoglikan,
sebab glikosaminoglikan dengan jumlah banyak akan menghambat
mineralisasi. Selanjutnya sel tersebut dan osteoblas akan melepas membrane-
derived vesicles yang berisi kompleks kalsium fosfat ke matriks. Mereka juga
membawa enzim protease netral dan alkali fosfatase yang akan mengurai
matriks kaya proteoglikan dan hidrolisasi ester fosfat kaya energi guna
presipitasi ion fosfat dengan kalsium (Mahyudin dan Utomo, 2018).

Setelah proses mineralisasi dimulai, kalsifikasi kalus menjadi lebih


kaku (rigid) dan fraktur akan mengalami imobilisasi internal. Kapiler dari
tulang yang berdekatan akan menginvasi kartilago kalsifikasi sehingga
tekanan oksigen meningkat. Hal ini kemudian diikuti dengan invasi osteoblas
yang akan membentuk spongiosa primer yang terdiri dari kartilago dan tulang
woven. Akhirnya, kalus hanya tersusun dari tulang woven, yang
menghubungkan dua ujung fraktur dan proses remodelling dimulai (Mahyudin
dan Utomo, 2018).

c. Fase Remodelling

Fase remodelling merupakan fase terakhir penyembuhan fraktur dan


diawali dengan penggantian tulang woven dengan tulang lamellar dan resorpsi
kalus yang berlebihan. Walaupun fase ini menggambarkan aktivitas normal
remodelling tulang, fase ini dapat berlangsung selama beberapa tahun pada
tempat fraktur. Remodelling penyembuhan fraktur setelah semua tulang woven
diganti terdiri dari resorpsi osteoklastik pada trabekula yang tidak beraturan
dan pembentukan tulang baru searah gaya beban. Hasil dari fase remodelling
adalah modifikasi bertahap daerah fraktur di bawah pengaruh beban mekanis
sampai stabilitas optimal tercapai, akhirnya korteks tulang akan memiliki
arsitektur yang sama dengan sebelum terjadinya fraktur (Mahyudin dan
Utomo, 2018).
PERBEDAAN ABSES, KISTA, TUMOR

a. Abses

Abses adalah suatu radang supuratif didalam tubuh yang berisi pus karena
hancurnya jaringan, biasanya disebabkan karena kuman-kuman piogenik
(Bakar, 2015). Abses adalah akumulasi pus yang terlokalisasi dalam sebuah
rongga yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat infeksi atau benda
asing. Keadaan ini merupakan reaksi pertahanan jaringan untuk mencegah
penyebaran infeksi kebagian tubuh yang lain (Singh dan Saxena, 2016). Pus
adalah eksudat purulen, berwarna krem atau buram, terdiri dari neutrofil mati
dan hidup, sel darah merah, fragmen debris dan fibrin (Singh dan Saxena,
2015).

b. Kista

Kista merupakan struktur seperti kantong yang dikelilingi epitel dan


abnormal (sering berisi cairan) di dalam jaringan. Kavitas patologis ini
semuanya berkembang dalam rahang jika sisa epitel dari gigi yang sedang
berkembang atau erupsi atau struktur embrionik mengalami degenerasi kistik .

c. Tumor

Tumor adalah istilah yang digunakan untuk menyebut massa jaringan


padat dengan diameter lebih dari 1cm, yang mempunyai dimensi kedalaman.
Istilah ini digunakan untuk mewakili neoplasma, pertumbuhan jaringan yang
baru dan mandiri dengan pembelahan sel yang tidak terkontrol dan progresif,
yang tidak mempunyai manfaat fisiologis. Tumor atau neoplasma dapat
mempunyai warna apa saja dan dapat terletak pada jaringan lunak maupun
keras baik intraoral maupun ekstraoral.

Neoplasma jinak adalah massa jaringan abnormal yang berkembang


sebagai akibat dari proliferasi sel yang tidak terkendali. Selain itu, potensi
proliferasi sel dalam neoplasma tidak terbatas. Istilah tumor sering digunakan
secara sinonim untuk neoplasma, tumor adalah istilah yang lebih umum yang
mengacu pada massa jaringan. Hilangnya kontrol pertumbuhan pada neoplasia
seringkali merupakan hasil dari mutasi gen yang dapat diidentifikasi yang
mengatur proliferasi sel. Berbeda dengan neoplasma ganas, neoplasma jinak
tidak memiliki kemampuan untuk bermetastasis; yaitu, sel neoplastik jinak
tidak memiliki kemampuan untuk membentuk massa satelit di tempat yang
jauh. Neoplasma jinak cenderung menyerupai jaringan asal secara histologis.
Neoplasma jinak biasanya memiliki onset yang berbahaya, dan tumbuh
perlahan. Neoplasma ini tidak menimbulkan rasa sakit, tetapi dapat menjadi
agresif secara lokal jika meluas ke ruang jaringan yang berdekatan (Mallya
dan Lam, 2019).

Tabel. Perbedaan abses, Tumor Jinak dan Kista (Bakar, 2015; Mallya dan
Lam, 2019)

Abses Tumor Jinak Kista

Pembengkakan Terjdi jika sudah Membutuhkan Jika kerusakan


kronis sakitnya waktu yang lama sudah sampai
relatif singkat 4- tulang, waktu
5 hari relatif lama, tidak
sakit

Batas Tidak jelas, jika Jelas Jelas, kerusakan


kronis bisa terbatas hanya
sampai subkutan mengenai tulang
keras

Penyebab Intra Infeksi Idiopatik Infeksi


Oral odontogenik dan odontogenik
Iritasi kronis
non odontogenik

Ronsen Foto Radiolusen, Radiopaque, Radiolusen, batas


batas jelas, ada tegas, scallop
kapsul sedikit
lebih tebal dari
jaringan

Infiltrasi Ada infiltrate Tidak ada Isi larutan Kristal


dipalpasi, ada infiltrasi kolesterol, warna
fluktuasi keemasan

Tindakan Insisi, jika Eksisi Enukleasi atau


terdapat pus beri marsupialissasi
antibiotik

Tabel. Ciri-ciri neoplasma jinak dan ganas (Bakar, 2015)

Neoplasma Jinak Neoplasma Ganas

Rasa sakit tidak ada Terjadi rasa sakit


Waktu berkembang lambat Pertumbuhannya infiltratif

Ekspansif Perkembangannya cepat

Bertangkai Tidak bertangkai

Batas tegas, berkapsul/stroma Batas tidak tegas/ tidak berstroma

CAIRAN KISTA (KOLESTERIN/KOLESTEROL)

Kolesterol adalah suatu zat lemak yang beredar di dalam darah, berwarna
kekuningan dan berupa seperti lilin, yang diproduksi oleh hati dan sangat diperlukan
oleh tubuh. Kolesterol termasuk golongan lipid yang tidak terhidrolisis dan
merupakan sterol utama dalam jaringan tubuh manusia. Kolesterol mempunyai
makna penting karena merupakan unsur utama dalam lipoprotein plasma dan
membran plasma serta menjadi prekursor sejumlah besar senyawa steroid (City dan
Noni, 2013)

Kista rongga mulut merupakan suatu rongga patologis yang tertutup,


berkapsul, berbatas jelas dengan atau tidak adanya jaringan epitel, tumbuh abnormal
dalam rongga anatomis, baik pada jaringan keras atau lunak yang berisi cairan,
semifluid atau substansi gas, dan dapat juga mengandung kolesterol. Kista dapat
terjadi di antara tulang ataupun di antara jaringan lunak dan dapat dihubungkan
dengan nyeri ataupun pembengkakan. Pada umumnya kista ini dapat berjalan lambat
dengan lesi yang meluas (Sudiono, 2014; Shear, 2012).
Pada kista rongga mulut dapat dilakukan pemeriksaan biopsi yang jika kista
tersebut di aspirasi menunjukkan adanya cairan kolesterin berwarna kuning. Pada
pemeriksaan radiografi tidak semua kista rahang berbentuk radiolusen bulat/oval
dengan tepi radiopak yang jelas. Faktor yang mempengaruhi hal ini terjadi beragam
bisa saja dipengaruhi tipe, lokasi kista, dan derajat kerusakan tulang serta ada atau
tidaknya infeksi pada kista, sebaliknya tidak semua gambar radiolusen dengan tepi
yang jelas adalah kista, hal ini disebabkan banyak tumor odontogenik seperti
ameloblastoma, ameloblastik fibroma, odontogenik miksoma, serta kelainan lain
seperti central giant cell granuloma, hemangioma sentral yang juga memberikan
gambaran radiologi yang serupa(Sudiono, 2014).

Terdapat dua teori tentang pertumbuhan kista dentigerous, yaitu pertama


bahwa kista dentigerous dimulai dengan pengumpulan cairan antara sisa epitel
pembentuk enamel dengan mahkota gigi. Tekanan cairan akan menyebabkan
terjadinya poliferasi sisa epitel pembentuk enamel menjadi sebuah kista. Kedua
bahwa pembentukan kista dimulai dengan terpecahnya stellate reticulum dan
selanjutnya akan terjadi pembentukan cairan antara outer dan inner epitelium.
Epitelium tersebut masih melekat pada regio cemento enamel junction dan
selanjutnya bagian outer epitelium akan tertekan ke arah permukaan gigi. Kedua teori
ini menganut pendapat yang sama dimana proliferasi kista terjadi oleh proses
hiperosmolaritas sehingga akan terjadi kerusakan sel-sel kista di bagian tengah dan
selanjutnya akan terjadi tekanan gradient osmotic yang akan memompa cairan di luar
kista menuju lumen kista (Danudiningrat, 2006; Woo, 2012).

Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan cara melakukan aspirasi dan


apabila pada aspirasi didapatkan cairan jernih yang kekuningan, maka pada tahap
selanjutnya dapat dilakukan eksplorasi melalui enukleasi dan jika pada aspirasi tidak
didapatkan cairan, maka terdapat dugaan bahwa lesi tersebut merupakan lesi padat
sehingga perlu dilakukan tindakan biopsi insisional. Bila memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan yang lebih canggih dengan menggunakan pemeriksaan
Tomografi Komputer (CT) atau scanning dengan menggunakan Magnetic Resonance
(MRI) untuk mengetahui apakah lesi berisi cairan atau merupakan tumor padat. Dari
pemeriksaan penegakkan diagnosis yang dilakukan di dapat diagnosis banding dari
kista dentigerous yaitu odontogenik keratokista, unikular ameloblastoma,
amaloblastik fibroma pada usia remaja dan anak-anak. Bila kista dentigerous terletak
pada rahang atas, maka dapat dipertimbangkan kemungkinan merupakan suatu kista
adenomatoid odontogenik (Danudiningrat, 2006; Widhianingrum dkk, 2015).

KRITERIA MERUJUK PASIEN DENGAN INFEKSI


ODONTOGENIK

Ketika terdeteksi dini, sebagian besar infeksi odontogenik dapat ditangani dengan
aman oleh dokter gigi umum. Namun, beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam
menentukan apakah infeksi harus ditangani oleh spesialis. Keputusan harus
didasarkan pada lokasi, keparahan, akses pembedahan, dan status pertahanan host
(Hupp dkk, 2019).

1. Lokasi dan keparahan infeksi


Sebagai aturan umum, infeksi odontogenik yang parah dan melibatkan ruang
yang lebih dalam memerlukan manajemen yang cepat oleh ahli bedah mulut dan
maksilofasial, biasanya di rumah sakit. Infeksi ini biasanya muncul dengan tanda
dan gejala seperti demam, kesulitan bernapas dan/atau menelan, trismus, dan
drooling. Kesulitan bernapas, kesulitan menelan, dan kesulitan menangani sekresi
oral merupakan indikator gangguan jalan napas, dan pasien yang menunjukkan
tanda dan gejala tersebut harus segera dibawa ke ruang gawat darurat rumah sakit
setempat (Hupp dkk, 2019).

Infeksi terlokalisir seperti yang melibatkan prosesus alveolar dan vestibulum


dapat dilakukan dengan prosedur bedah minor dalam pengaturan klinik gigi.
Infeksi ini biasanya dapat diatasi dengan eliminasi faktor penyebab infeksi seperti
ekstraksi gigi atau perawatan saluran akar. Infeksi di dekat struktur vital seperti
saraf mental dan saraf infraorbital umumnya harus ditangani oleh spesialis bedah
mulut dan maksilofasial (Hupp dkk, 2019).

2. Akses bedah
Akses bedah harus memadai untuk memungkinkan drainase yang tepat dan
kontrol etiologi infeksi. Pasien dengan infeksi odon togenic sering datang dengan
trismus, yang membatasi akses intraoral dan sering menunjukkan infeksi berat.
Pasien-pasien ini biasanya memerlukan perawatan bedah di bawah anestesi
umum, dengan pemantauan selanjutnya dan manajemen medis di rumah sakit.
Pasien tersebut harus segera dirujuk ke spesialis bedah mulut dan maksilofasial
untuk perawatan bedah dan medis yang tepat (Hupp dkk, 2019).

3. Status pertahanan host


Pasien dengan komorbiditas medis yang mendasari yang mempengaruhi
pertahanan host memerlukan manajemen yang cepat dan agresif oleh ahli bedah
mulut dan maksilofasial. Banyak pasien dengan atau tanpa kondisi yang
mendasarinya sering mengalami dehidrasi dan mengalami peningkatan glukosa
darah, yang selanjutnya dapat membahayakan sistem pertahanan pejamu.
Biasanya pasien dengan pertahanan host yang terganggu memerlukan konsultasi
medis selama perawatan. tabel dibawah merangkum kriteria untuk merujuk pasien
ke spesialis bedah mulut dan maksiloofasial (Hupp dkk, 2019).

Kriteria untuk merujuk pasien ke spesialis bedah mulut dan


maksilofasial
1. Pasien sulit bernapas
2. Pasien mengalami kesulitan menelan
3. Pasien mengalami dehidrasi
4. Trismus sedang hingga berat (pembukaan interinsisal <25mm)
5. Pembengkakan meluas melebihi prosesus alveolaris
6. Peningkatan suhu tubuh >101oF (38.3oC)
7. Malaise dan toxid appearance
8. Compromised host defenses
9. Pasien memerlukan anastesi umum
10. Pasien dengan kegagalan pada pengobatan sebelumnya

Anda mungkin juga menyukai