1. Dehidrasi isotonik yaitu terjadinya defisit air dan natrium secara bersamaan,
sehingga volume cairan ekstraseluler akan berkurang dan perfusi ke jaringan akan
menurun. Kadar natrium dalam darah pada dehidrasi tipe ini 135-145 mmol/L dan
osmolaritas serum 275-295 mOsm/L. Penyebab dehidrasi isotonik adalah muntah,
diare, berkeringat, luka bakar, penyakit ginjal intrinsik, hiperglikemia dan
hipoaldosteronisme.
2. Dehidrasi hipertonik (hipernatremia) terjadi ketika kehilangan air melebihi
kehilangan natrium. Natrium dan osmolalitas serum akan selalu meningkat pada
dehidrasi hipertonik. Dimana kadar natrium >145 mEq/L dan osmolaritas serum
meningkat menjadi >295 mOsm/L. Penyebabnya dapat berupa demam,
peningkatan respirasi dan diabetes insipidus. Karena kadar natrium serum tinggi,
terjadi pergeseran air dari ruang ekstravaskuler ke ruang intravaskuler. Untuk
mengkompensasi, sel akan merangsang partikel aktif (idiogenik osmol) yang akan
menarik air kembali ke sel dan mempertahankan volume cairan dalam sel. Saat
terjadi rehidrasi cepat untuk mengoreksi kondisi hipernatremia, peningkatan
aktivitas osmotik sel tersebut akan menyebabkan influks cairan berlebihan yang
dapat menyebabkan pembengkakan dan ruptur sel. Rehidrasi secara perlahan
dalam lebih dari 48 jam dapat meminimalkan risiko ini.
3. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik) kebanyakan dikarenakan oleh kondisi diuretik
yang menyebabkan lebih banyak kehilangan natrium daripada kehilangan air.
Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya natrium dan osmolalitas. Kadar
natrium rendah yakni <135 mmol/L dan osmolaritas serum < 270 mOsm/L).
Karena kadar natrium rendah, cairan intravaskuler berpindah ke ruang
ekstravaskuler, sehingga terjadi deplesi cairan intravaskuler. Hiponatremia berat
dapat memicu kejang hebat (Leksana, 2015; Taylor & Jones, 2021).
Derajat Dehidrasi
Berdasarkan persentase kehilangan air dari total berat badan, derajat dehidrasi
dapat dibagi menjadi ringan, sedang, hingga derajat berat.
Pasien dengan dehidrasi dapat hadir dengan berbagai macam gejala dan
temuan pemeriksaan fisik. Beberapa gejala dehidrasi yang paling umum diantaranya
kelelahan, haus, kulit dan bibir kering, urin gelap atau penurunan eksresi urin, sakit
kepala, kram otot, pusing, sinkop, hipotensi ortostatik dan palpitasi. Terdapat
beberapa hal yang harus digali pada pasien dehidrasi diantaranya (Sterns, 2017;
Taylor dan Jones, 2021):
Evaluasi
Rasio nitrogen urea darah terhadap kreatinin harus lebih tinggi dari 10:1 pada
dehidrasi, tetapi hal ini dapat disamakan dengan produksi urea yang tinggi, kreatinin
yang rendah karena otot lemah dan reabsorpsi urea karena perdarahan saluran cerna
bagian atas. Tes urin menunjukkan terjadinya penurunan volume urin. Konsentrasi
natrium pada urin adalah rendah, ekskresi fraksional natrium harus di bawah 1% dan
osmolalitas urin harus lebih besar dari 450 mOsm/kg (Kusuma, 2020; Taylor dan
Jones, 2021).
Manajemen
Tekanan darah, denyut jantung, serum laktat, hematokrit dan keluaran urin
dapat digunakan untuk menilai defisit volume dan untuk menilai respons terhadap
cairan. Cairan kristaloid isotonik harus digunakan pada kebanyakan kasus dehidrasi.
Koloid seperti albumin dapat digunakan dalam situasi tertentu tetapi tidak
meningkatkan hasil akhir.
Pada pasien dengan dehidrasi dan hiponatremia berat, pengisian volume yang
cepat dapat menyebabkan peningkatan natrium yang cepat. Hal ini dapat
menyebabkan central pontine myelinolysis (CPM). Klinisi harus mempertimbangkan
risiko dehidrasi lanjutan terhadap risiko CPM. Status volume pasien dan natrium
serum harus diikuti dengan cermat. Saat pasien sedang diresusitasi, pemeriksaan
klinis dan laboratorium harus fokus pada penemuan dan koreksi penyebab dehidrasi
(Taylor & Jones, 2021).
1. Dehidrasi isotonik
Pada kondisi isonatremia, defisit natrium secara umum dapat dikoreksi dengan
mengganti defisit cairan ditambah dengan cairan pemeliharaan dextrose 5%
dalam NaCl 0,45-0,9%. Kalium (20 mEq/L kalium klorida) dapat ditambahkan ke
dalam cairan pemeliharaan saat produksi urin membaik dan kadar kalium serum
berada dalam rentang aman.
2. Dehidrasi hipotonik
Pada tahap awal diberikan cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% atau RL 20
mL/kgBB sampai perfusi jaringan tercapai. Pada hiponatremia derajat berat (<130
mEq/L) harus dipertimbangkan penambahan natrium dalam cairan rehidrasi.
Cara yang cukup mudah adalah memberikan dextrose 5% dalam NaCl 0,9%
sebagai cairan pengganti. Kadar natrium harus dipantau dan jumlahnya dalam
cairan disesuaikan untuk mempertahankan proses koreksi perlahan (<0,5
mEq/L/jam). Korek sikondisi hiponatremia secara cepat sebaiknya dihindari
untuk mencegah mielinolisis pontin (kerusakan selubung mielin), sebaliknya
koreksi cepat secara parsial menggunakan larutan NaCl hipertonik (3%; 0,5
mEq/L) direkomendasikan untuk menghindari risiko ini.
3. Dehidrasi hipertonik
Pada tahap awal diberikan cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% 20
mL/kgBB atau RL sampai perfusi jaringan tercapai. Pada tahap kedua, tujuan
utama adalah memulihkan volume intravaskuler dan mengembalikan kadar
natrium serum sesuai rekomendasi, akan tetapi jangan melebihi 10 mEg/L/24 jam.
Koreksi dehidrasi hipernatremia terlalu cepat dapat memiliki konsekuensi
neurologis, termasuk edema serebral dan kematian. Pemberian cairan harus secara
perlahan dalam lebih dari 48 jam menggunakan dextrose 5% dalam NaCl0,9%.
Apabila pemberian telah diturunkan hingga kurang dari 0,5 mEq/L/jam, jumlahn
atrium dalam cairan rehidrasi juga dikurangi sehingga koreksi hipernatremia
dapat berlangsung secara perlahan (Leksana, 2015).
LE FORT
Gambar. Le Fort menampilkan pola fraktur klasik sepanjang tiga tingkat. A, Fraktur
Le Fort I terjadi di sepanjang rahang atas anterior memanjang dari tepi piriformis ke
posterior melalui sinus maksilaris ke pterygoid plates. B, Fraktur Le Fort II disebut
sebagai piramidal bila bilateral, karena memanjang dari sutura nasofrontal melalui
orbital wall, floor, dan infraorbital rim ke pterygoid. C, Le Fort III memanjang dari
sutura nasofrontal ke lateral dan termasuk zygoma, mengakibatkan dalam disjungsi
kraniofasial (Fonseca dkk, 2018).
ANTIBIOTIK
Antibiotik (L. anti = lawan, bios = hidup) merupakan zat-zat kimia yang
dihasilkan oleh fungi dan bakteri yang mampu menghambat pertumbuhan atau
mematikan kuman, namun memiliki toksisitas yang rendah bagi manusia. Antibiotik
merupakan salah satu senjata paling ampuh untuk memerangi infeksi yang
mengancam jiwa pada hewan maupun manusia. Antibiotik yang membunuh bakteri
disebut bakterisidal, sedangkan antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri
disebut bakteriostatik (Etebu dan Arikekpar, 2016).
Antibiotik untuk terapi empiris digunakan pada kasus infeksi yang belum
diketahui jenis bakteri penyebab dari infeksi tersebut dan pola kepekaannya.
Pemberian antibiotik empiris bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang
diduga sebagai penyebab infeksi sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
Pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada kondisi klinis pasien, kemampuan
antibiotik untuk menembus jaringan yang terinfeksi, dan pola resistensi bakteri di
komunitas maupun di rumah sakit tersebut. Jangka waktu pemberian antibiotik
empiris selama 48-72 jam kemudian harus dilakukan evaluasi berdasarkan data-data
yang menunjang evaluasi seperti data hasil pemerikasaan mikrobiologis, kondisi
klinis pasien, dan lain-lain. Terapi empiris merupakan upaya terbaik dalam
mengetahui bakteri yang diduga sebagai penyebab infeksi. Namun, terapi empiris
tidak boleh ditujukan terhadap setiap organisme yang diketahui, melainkan organisme
yang paling mungkin sebagai penyebab infeksi (Gallagher dan MacDougall, 2017).
Pemberian antibiotik terapi definitif digunakan pada kasus infeksi yang sudah
diketahui jenis bakteri penyebab dari infeksi tersebut dan pola resistensinya. Tujuan
pemberian antibiotik definitif untuk menghambat pertumbuhan bakteri penyebab
infeksi berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Pemilihan antibiotik definitive
didasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium, kondisi klinis pasien, biaya,
sensitivitas dan diutamakan antibiotik dengan spektrum sempit agar tidak
menimbulkan resistensi antibiotic. Hal ini dapat meminimalisir toksisitas, kegagalan
terapi, dan kemungkinan munculnya antibiotik serta hemat biaya (Gallagher dan
MacDougall, 2017).
4. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama
Berikut kategori tingkat keamanan penggunaan obat pada ibu hamil dari FDA
(Food Drug Administration) :
- Kategori A: Aman untuk janin seperti vitamin C asam folat, vit B6,
parasetamol, zinc, dan sebagainya.
- Kategori C: Dapat beresiko, digunakan jika perlu. Obat dianjurkan hanya jika
manfaat yang diperoleh oleh ibu atau janin melebihi resiko yang mungkin tim
bul pada janin. Contohnya albendazol, allopurinol, aspirin, amitriptilin,
kalsitriol, kalsium laktat, kloramfe nikol, ciprofloksasin, klonidin,
kotrimoksazol, codein + parasetamo dektrometorfan, digoksin, enalapril,
efedrin, flukonazol dan sebagainya.
- Kategori D: Ada bukti positif dari resiko, digunakan jika darurat. Pengunaan
obat diperlukan untuk mengatasi situasi yang mengancam jiwa atau penyakit
serius dimana obat yang lebih aman tidak efektif atau tidak dapat diberikan.
Contohnya alprazolam, amikasin, amiodaron, carbamazepin, klordiaz epoksid,
diazepam, kanamisin, fenitoin, asam valproat, dan sebagainya.
Berikut beberapa obat yang dapat digunakan pada masa kehamilan (Suffiana, 2019):
1. Pereda Nyeri dan Demam: Obat parasetamol termasuk obat yang aman
mengatasi nyeri atau demam, untuk sakit kepala, lain dengan mengkonsumsi
parasetamol juga bisa diatasi dengan kompres dingin dan beristirahat. Untuk
demam, bisa dibantu mengatasinya dengan kompres air hangat.
2. Batuk Pilek : Obat batuk pilek yang banyak dijual bebas biasanya berupa
kombinasi sebaiknya dihindari pada saat hamil. Dekongestan adalah obat
yang berfungsi mengatasi hidung tersumbat seperti phenylephrine dan
pseudoe fedrin. Pada saat hamil harus dihindari penggunaan dekongestan oral
(minum). Ibu hamil yang membutuhkan dekongestan sebaiknya disarankan
menggunakan semprot (spray). Obat dekongestan semprot lebih aman karena
mekanisme kerja secara lokal di area hidung, dosis rendah serta paparan obat
dengan tubuh lebih singkat, seperti penggunaan tetes hidung saline. Obat
batuk pada ibu hamil pili pertama adalah dektrometorphan (untuk mengatasi
batuk kering), un tuk batuk berdahak bisa menggunakan asetilsistein. Hindari
sediaan obat batuk yang mengandung alkohol. Selain obat, bisa
mengkonsumsi air lemon, maupun air madu.
1. β-Laktam
Merupakan antibiotika yang strukturnya mengandung cincin β-Laktam
dan banyak dikembangkan untuk pengobatan infeksi bakteri. Golongan β-
Laktam relatif aman digunakan selama kehamilan kecuali pada pasien yang
memiliki risiko hipersensitifitas. Antibiotika β-Laktam dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu penisilin, sefalosporin, dan β-Laktam lain.
2. Aminoglikosida
Merupakan senyawa bakteriostatik yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif serta efektif terhadap
mikobakteri. Aminoglikosida menghambat sintesis protein bakteri dengan
cara menghambat fungsi ribosom. Penggunaan aminoglikosida pada
kehamilan harus dihindari, terutama pada trimester kedua dan ketiga karena
dapat menyebabkan kerusakan pendengaran atau saraf vestibular pada janin.
Risiko terbesar terjadi pada penggunaan streptomisin, tetapi pada penggunaan
gentamisin dan tobramisin sangat kecil pengaruhnya. Walaupun demikian
penggunaan gentamisin dan tobramisin selama kehamilan tetap harus
dihindari, kecuali bila memang sangat diperlukan.
3. Tetrasiklin
Merupakan antibiotika berspektrum luas dan bersifat bakteriostatik
terhadap bakteri gram positif, gram negatif, Rickettsiae, Mycoplasma,
Chlamydia, dan amoeba. Mekanisme kerjanya dengan cara menghambat
sintesis protein bakteri. Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil
karena bersifat teratogenik. Apabila diberikan pada trimester pertama
kehamilan, maka obat akan tersimpan dalam tulang janin dan mengakibatkan
keabnormalan tulang rangka atau hambatan pertumbuhan tulang. Bila
diberikan pada trimester kedua dan ketiga kehamilan, maka obat akan
tersimpan dalam gigi janin dan mengakibatkan pemudaran warna atau
perubahan warna gigi menjadi kekuningan yang bersifat tetap.
4. Makrolida
Merupakan senyawa bakteriostatik berspektrum sempit dengan
mekanisme kerja menghambat sintesis protein bakteri. Golongan makrolida
antara lain azitromisin, diritromisin, eritromisin, roksitromisin, dan
klaritromisin. Di antara semua makrolida, hanya eritromisin yang relatif aman
digunakan selama kehamilan. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang
mirip dengan penisilin sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pada
pasien yang alergi terhadap penisilin. Sampai saat ini, belum terbukti
eritromisin bersifat teratogenik pada kehamilan. Untuk makrolida lain seperti
azitromisin, diritromisin, roksitromisin, dan klaritromisin dihindari
penggunaannya selama kehamilan dan hanya digunakan bila manfaat
pemberian melebihi risikonya.
5. Kuinolon
Merupakan senyawa bakterisida yang bekerja dengan cara
menghambat sintesis DNA bakteri. Penggunaan kuinolon disarankan untuk
dihindari selama kehamilan. Sebaiknya dipilih alternatif obat lain yang lebih
aman dibanding menggunakan kuinolon, kecuali bila pasien resisten terhadap
obat-obat lain yang tersedia.
b) Klindamisin
Merupakan antibiotika yang bekerja dengan cara menghambat sintesis
protein bakteri. Keamanan klindamisin pada kehamilan belum diketahui
sehingga disarankan hanya digunakan bila manfaat pemberian melebihi
risikonya.
c) Metronidazol
Merupakan senyawa bakterisida yang bekerja dengan menghambat
sintesis DNA bakteri. Penggunaan metronidazol pada kehamilan terutama
untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri Trichomonas vaginalis
(trikomoniasis). Sebaiknya hindari penggunaan metronidazol pada dosis
tinggi.
d) Nitrofurantoin
Merupakan antibiotika yang bekerja dengan cara menghambat sintesis
asam nukleat pada bakteri. Penggunaan nitrofurantoin pada trimester ketiga
kehamilan dapat menyebabkan hemolisis pada neonatus bila digunakan dalam
jangka waktu yang lama. Selain potensi tersebut tidak ada efek teratogenik
lain yang dilaporkan. Nitrofurantoin mempunyai efikasi yang baik untuk
infeksi saluran kemih, namun saat ini tidak ada perusahaan yang
memasarkannya lagi di.
e) Vankomisin
Merupakan senyawa bakterisida yang bekerja dengan menghambat
sintesis dinding sel bakteri. Obat ini hanya digunakan pada kehamilan bila
manfaat pemberian melebihi risikonya. Oleh karena itu, diperlukan
pemantauan selama penggunaan untuk mengurangi risiko toksisitas pada
janin.
f) Linezolid
Merupakan antibiotika yang bekerja dengan cara menghambat sintesis
protein bakteri. Tidak ada informasi yang tersedia mengenai keamanan
penggunaan linezolid selama kehamilan sehingga disarankan hanya digunakan
bila manfaat pemberian melebihi risikonya.
g) Spektinomisin
Merupakan senyawa bakterisida yang aktif terhadap Neisseria
gonorrhoeae dan bakteri gram negatif lain. Spektinomisin hanya digunakan
pada kehamilan bila manfaat pemberian melebihi risikonya.
h) Polimiksin B
Merupakan senyawa bakterisida yang bekerja dengan cara
menghambat sintesis dinding sel bakteri. Keamanan dan penggunaannya
selama kehamilan belum diketahui. Sebaiknya dihindari penggunaan
polimiksin B pada kehamilan.
FRAKTUR MANDIBULA
Fraktur mandibular tergantung pada jenis cedera dan arah dan kekuatan dari
trauma, fraktur mandibula sering terjadi di beberapa lokasi. Salah satu klasifikasi
fraktur mandibular menggambarkan fraktur berdasarkan lokasi anatomis. Fraktur di
condylar, ramus, angle, body, symphyseal, alveolar, dan, jarang pada area prosesus
koronoideus.
- Undisplaced
- Comminuted
- High subcondylar
- Low subcondylar
• Undisplaced
• Fracture dislocation (kondilus menjadi berpindah posisi dari glenoid fossa dan
berpindah posisi ke arah medial di infratemporal fossa yang disebabkan oleh tarikan
otot pterygoid lateral)
SPLINTING
Metode fiksasi dengan dental splint bervariasi tergantung tipe trauma. Pada
sebagian besar kasus, splint didesain sederhana dan digunakan selama 7 sampai 10
hari. Pada kasus fraktur gigi dan tulang alveolar, diperlukan fiksasi jangka panjang
biasanya 2 sampai 4 bulan. Berbagai kontroversi muncul mengenai durasi fiksasi
terkait komplikasi post-traumatic. Penelitian menunjukkan bahwa durasi fiksasi tidak
terkait dengan komplikasi post-traumatic, periode fiksasi sepenuhnya bergantung
pada kondisi klinis kasus (Rahaswanti, 2017)
Prinsip dasar dalam penatalaksanaan fraktur terdiri atas tiga yaitu reduction,
fixation, dan immobilization yang bertujuan untuk mengembalikan bentuk, fungsi,
dan 4 oklusi sehingga pasien tidak harus melewati second surgery seperti
recontouring dan bone graft.
1. Reduction
Suatu proses reposisi fragmen fraktur ke posisi anatomi semula, dibagi
menjadi dua teknik yaitu close reduction dan open reduction. Close reduction
merupakan reposisi fragmen fraktur tanpa tindakan bedah dan menggunakan oklusi
gigi sebagai panduan sedangkan open reduction melalui tindakan bedah. Close
reduction dibagi lagi menjadi reduction by manipulation dan reduction by traction.
Reduction by manipulation
Reduction by traction
Tindakan ini menggunakanarch bars dan head gears. Arch bars yang
dipasang akan diberi elastic traction dan pasien diinstruksikan untuk
membuka dan menutup mulut secara perlahan. Apabila oklusi tercapai, elastic
traction diganti dengan wire sebagai intermaxillary fixation or ligation (IMF
atau IML) dan apabila oklusi tidak tercapai dalam waktu 48 jam maka
dilanjutkan dengan open reduction
Gambar. Reduksi dengan IMF
2. Fixation
Proses setelah reduction untuk memfiksasi fragmen fraktur dengan
struktur anatomi sekitarnya sebagai upaya pencegahan terjadinya displacement,
dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu direct skeletal fixation menggunakan
bone clamps, pin fixation, dan transosseus wiring sedangkanindirect skeletal
fixation yang menggunakan arch bars dan IML atau Gunning splint.
3. Immobilization
Perangkat fiksasi harus dipertahankan hingga terjadi penyatuan tulang.
Periode immobilization tergantung dari jenis fraktur dan tulang yang terlibat.
Periode immobilzation untuk maksila adalah sekitar 3 – 4 minggu sedangkan
untuk mandibula sekitar 4 – 6 minggu sedangkan pada kasus fraktur kondilus
periode immobilization hanya sekitar 2 – 3 minggu untuk mencegah terjadinya
ankilosis di TMJ.
Tipe penyembuhan ini hanya dapat terjadi bila telah dilakukan reposisi
anatomi dan kompresi interfragmen fraktur sehingga terjadi stabilitas absolut (rigid)
dan tidak terjadi pergerakan pada permukaan fraktur bila mendapat beban fungsional.
Proses ini sangat rentan terhadap gerakan (strain) pada tempat fraktur.
Penyembuhan fraktur dibagi dalam tiga fase atau lima fase tergantung cara
memandangnya, masing-masing fase menunjukkan gambaran seluler dan komponen
ekstraseluler matriks yang berbeda. Proses penyembuhan secara mudah dibagi dalam;
pertama, fase inflamasi; kedua, fase reparatif yang meliputi osifikasi
intramembranous, kondrogenesis dan osifikasi endokondral, ada juga yang membagi
fase ini menjadi fase kalus lunak (soft callus) dan fase kalus keras (hard callus); dan
ketiga, fase remodelling. Masing-masing fase saling tumpang tindih satu dengan yang
lain dengan efek penyembuhan berjalan dengan berkelanjutan(Mahyudin dan Utomo,
2018).
a. Fase Inflamasi
b. Fase Reparatif
c. Fase Remodelling
a. Abses
Abses adalah suatu radang supuratif didalam tubuh yang berisi pus karena
hancurnya jaringan, biasanya disebabkan karena kuman-kuman piogenik
(Bakar, 2015). Abses adalah akumulasi pus yang terlokalisasi dalam sebuah
rongga yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat infeksi atau benda
asing. Keadaan ini merupakan reaksi pertahanan jaringan untuk mencegah
penyebaran infeksi kebagian tubuh yang lain (Singh dan Saxena, 2016). Pus
adalah eksudat purulen, berwarna krem atau buram, terdiri dari neutrofil mati
dan hidup, sel darah merah, fragmen debris dan fibrin (Singh dan Saxena,
2015).
b. Kista
c. Tumor
Tabel. Perbedaan abses, Tumor Jinak dan Kista (Bakar, 2015; Mallya dan
Lam, 2019)
Kolesterol adalah suatu zat lemak yang beredar di dalam darah, berwarna
kekuningan dan berupa seperti lilin, yang diproduksi oleh hati dan sangat diperlukan
oleh tubuh. Kolesterol termasuk golongan lipid yang tidak terhidrolisis dan
merupakan sterol utama dalam jaringan tubuh manusia. Kolesterol mempunyai
makna penting karena merupakan unsur utama dalam lipoprotein plasma dan
membran plasma serta menjadi prekursor sejumlah besar senyawa steroid (City dan
Noni, 2013)
Ketika terdeteksi dini, sebagian besar infeksi odontogenik dapat ditangani dengan
aman oleh dokter gigi umum. Namun, beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam
menentukan apakah infeksi harus ditangani oleh spesialis. Keputusan harus
didasarkan pada lokasi, keparahan, akses pembedahan, dan status pertahanan host
(Hupp dkk, 2019).
2. Akses bedah
Akses bedah harus memadai untuk memungkinkan drainase yang tepat dan
kontrol etiologi infeksi. Pasien dengan infeksi odon togenic sering datang dengan
trismus, yang membatasi akses intraoral dan sering menunjukkan infeksi berat.
Pasien-pasien ini biasanya memerlukan perawatan bedah di bawah anestesi
umum, dengan pemantauan selanjutnya dan manajemen medis di rumah sakit.
Pasien tersebut harus segera dirujuk ke spesialis bedah mulut dan maksilofasial
untuk perawatan bedah dan medis yang tepat (Hupp dkk, 2019).