Anda di halaman 1dari 4

Definisi dan Klasifikasi Dehidrasi

A. Definisi Dehidrasi
Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan cairan
yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis penyakit
(Huang et al, 2009). Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih
banyak daripada pemasukan air (input) (Suraatmaja, 2010). Cairan yang
keluar biasanya disertai dengan elektrolit (Latief, dkk., 2005).
Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat badan turun,
kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi kental. Turgor kulit dan tonus
berkurang, anak menjadi apatis, gelisah kadang-kadang disertai kejang.
Akhirnya timbul gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang
berdenyut cepat dan lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, dan
pernapasan kussmaul (Latief, dkk., 2005).
B. Klasifikasi Dehidrasi
1. Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi
menjadi dehidrasi ringan, sedang dan berat seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan


Fisik
Gejala/tanda ringan (3-5%) Sedang (6-9%) Berat (10% atau
lebih)
Tingkat kesadaran Sadar Letargi Tidak sadar
Pengisian kembali 2 detik 2-4 detik Lebih dari 4 detik
kapiler
Membrane mukosa Normal Kering Sangat kering
Denyut jantung Sedikit meningkat Meningkat Sangat meningkat
Laju pernapasan Normal Meningkat Meningat dan
hiperapnea
Tekanan darah Normal Normal; ortostatik Menurun
Denyut nadi Normal Cepat dan lemah Sangat lemah/ samar
atau tidak teraba
Turgor kulit Kembali normal Kembali lambat Tidak segera kembali
Fontanella Normal Agak cekung Cekung
Mata Normal Cekung Sangat cekung
Keluaran urin Menurun Oliguria Anuria
2. Berdasarkan gambaran elektrolit serum, dehidrasi dapat dibagi menjadi :

a. Dehidrasi Hiponatremik atau Hipotonik


Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium yang relatif
lebih besar daripada air, dengan kadar natrium kurang dari 130 mEq/L.
Apabila terdapat kadar natrium serum kurang dari 120 mEq/L, maka akan
terjadi edema serebral dengan segala akibatnya, seperti apatis, anoreksia,
nausea, muntah, agitasi, gangguan kesadaran, kejang dan koma (Garna,
dkk., 2000). Kehilangan natrium dapat dihitung dengan rumus :

Defisit natrium (mEq) = (135 - SNa) air tubuh total (dalam L) (0,6 x berat badan
dalam kg)

SNa bearti konsentrasi natrium serum yang terukur, sedangkan 135 adalah
nilai normal rendah natrium serum. Pada dehidrasi hipotonik atau
hiponatremik, cairan ekstraseluler relatif hipotonik terhadap cairan
intraseluler, sehingga air bergerak dari kompartemen ekstraseluler ke
intraseluler. Kehilangan volume akibat kehilangan eksternal dalam bentuk
dehidrasi ini akan makin diperberat dengan perpindahan cairan
ekstraseluler ke kompartemen intraseluler. Hasil akhirnya adalah
penurunan volume ekstraseluler yang dapat mengakibatkan kegagalan
sirkulasi (Behrman et al, 2000). Dehidrasi hiponatremik dapat disebabkan
oleh penggantian kehilangan cairan dengan cairan rendah solut (Graber,
2003).

b. Dehidrasi Isonatremi atau Isotonik


Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya cairan
sama dengan konsentrasi natrium dalam darah. Kehilangan natrium dan air
adalah sama jumlahnya/besarnya dalam kompartemen cairan
ekstravaskular maupun intravaskular.
Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130-150 mEq/L (Huang
et al, 2009). Tidak ada perubahan konsentrasi elektrolit darah pada
dehidrasi isonatremik (Latief, dkk., 2005).
c. Dehidrasi Hipernatremik atau Hipertonik
Dehidrasi hipernatremik (hipertonik) terjadi ketika cairan yang
hilang mengandung lebih sedikit natrium daripada darah (kehilangan
cairan hipotonik), kadar natrium serum > 150 mEq/L. Kehilangan natrium
serum lebih sedikit daripada air, karena natrium serum tinggi, cairan di
ekstravaskular pindah ke intravaskular meminimalisir penurunan volume
intravaskular (Huang et al, 2009). Dehidrasi hipertonik dapat terjadi
karena pemasukan (intake) elektrolit lebih banyak daripada air (Dell, 1973
dalam Suharyono, 2008). Cairan rehidrasi oral yang pekat, susu formula
pekat, larutan gula garam yang tidak tepat takar merupakan faktor resiko
yang cukup kuat terhadap kejadian hipernatremia (Segeren, dkk., 2005).
Terapi cairan untuk dehidrasi hipernatremik dapat sukar karena
hiperosmolalitas berat dapat mengakibatkan kerusakan serebrum dengan
perdarahan dan trombosis serebral luas, serta efusi subdural. Jejas serebri
ini dapat mengakibatkan defisit neurologis menetap.
Seringkali, kejang terjadi selama pengobatan bersamaan dengan
kembalinya natrium serum ke kadar normal. Selama masa dehidrasi,
kandungan natrium sel-sel otak meningkat, osmol idiogenik intraselular,
terutama taurine, dihasilkan. Dengan penurunan cepat osmolalitas cairan
ekstraselular akibat perubahan natrium serum dan kadang-kadang disertai
penurunan konsentrasi subtansi lainnya yang serasa osmotik aktif misalnya
glukosa, dapat terjadi perpindahan berlebihan air ke dalam sel otak selama
rehidrasi dan menimbulkan udem serebri. Pada beberapa penderita, udem
otak ini dapat ireversibel dan bersifat mematikan. Hal ini dapat tejadi
selama koreksi hipernatremia yang terlalu tergesa-gesa atau dengan
penggunaan larutan hidrasi awal yang tidak isotonis. Terapi disesuaikan
untuk mengembalikan kadar natrium serum ke nilai normal tetapi tidak
lebih cepat dari 10 mEq/L/24 jam (Behrman et al, 2000).
DAFTAR PUSTAKA

Latief, A., dkk., 2005.Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Hassan, R., Alatas, H.
Jilid 1. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI; 278-281.

Graber, M.A., 2003. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik. Jakarta: Farmedia;
15-24

Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian


Farmakologi Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.

Huang, L.H., Anchala, K.R., Ellsbury, L., George, S.C., 2009. Dehydration.
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/906999-overview.
[diakses 15 Desember 2017]

Suraatmaja, S., 2010. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Tubuh. In: Suraatmaja
Sudaryat., ed. Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto; 63-65

Segeren, C., Djuffrie, M., Soenarto, S.S.Y., 2005. Faktor Resiko Kejadian
Hipernatremia pada Anak Balita dengan Diare Cair Akut. Berkala Ilmu
Kedokteran. 37 (4); 198-203

Adelmen, R.D., Solhaug, M.J., 2000. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi
Cairan. In: Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Arvin, Ann.M., Ilmu Kesehatan
Anak Nelson ed 15, jilid 2. Jakarta: EGC; 258-266

Anda mungkin juga menyukai